Anda di halaman 1dari 29

KESIAPAN INDONESIA DALAM MENYIAPKAN REGULASI

DAN MENGIMPLEMENTASIKAN SISTEM PERPAJAKAN


BERBASIS DIGITAL DALAM ERA KETERBUKAAN
INFORMASI KEUANGAN (Kendala, Tantangan, Benefit)

Dalam Rangka Memenuhi Tugas Mata Kuliah Topik Khusus Akuntansi

Dosen Pengampu: Prof. Dr. Amilin, S.E., M.Si., Ak., CA., BKP.,
QIA., CRMP

Disusun Oleh:

Kelompok 6

Dinda Fitria Utami 11160820000011

Dewi Fitri Ambarwati 11160820000032

Muhammad Fikkih Abdillah 11160820000051

Dimas Sarchico Ganjar 11160820000065

Rahmawati 11160820000080

Prodi Akuntansi
Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur marilah panjatkan kehadirat Allah yang Maha Esa karena
karena selalu menurunkan berkah, rahmah, dan taufik untuk kita semua. Tak lupa
pula shalawat dan salam selalu kita panjatkan kepada baginda Rasulullah SAW,
yang selalu memancarkan sinar kedamaian untuk alam semesta, karena telah
terselesaikannya pembuatan paper dengan judul “Kesiapan Indonesia Dalam
Menyiapkan Regulasi Dan Mengimplementasikan Sistem Perpajakan Berbasis
Digital Dalam Era Keterbukaan Informasi Keuangan (Kendala, Tantangan,
Benefit)”
Tak lupa pula kami ucapkan banyak terimakasih kepada Bapak Prof. Dr.
Amilin, SE., M.Si., Ak., CA., BKP., QIA., CRMP dosen kami dalam mata kuliah
Topik Khusus Akuntansi yang kami pelajari, karena telah meluangkan waktu
baik di dalam jam pelajaran untuk membimbing kami dalam menyelesaikan
pembuatan paper ini.
Akhirnya kami berharap, bahwa pembuatan paper ini dapat bermanfaat
untuk para mahasiswa maupun secara umum, dan memberikan inspirasi dan
informasi untuk masyarakat. Demikian kata pengantar dari kami menyadari
banyak sekali kekurangannya, dan kesempurnaan itu hanya untuk Allah SWT.

Jakarta, November 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i


DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. iv
BAB I ...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
1.1 Latar belakang .......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 5
1.3 Tujuan Penelitian ...................................................................................... 5
1.4 Manfaat Penelitian .................................................................................... 5
BAB II ..................................................................................................................... 6
TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 6
2. 1 Pajak ......................................................................................................... 6
2. 2 Regulasi Perpajakan ................................................................................. 7
2. 3 Sistem Perpajakan Digital ........................................................................ 8
2. 4 Era Keterbukaan Informasi Keuangan ..................................................... 8
BAB III ................................................................................................................. 10
METODE PENULISAN ....................................................................................... 10
3.1 Sumber dan Jenis Data ........................................................................... 10
3.2 Pengumpulan Data ................................................................................. 10
3.3 Analisis Data .......................................................................................... 10
BAB IV ................................................................................................................. 11
PEMBAHASAN ................................................................................................... 11
4.1 Kondisi Perpajakan Indonesia ................................................................ 11
4.2 Implementasi Dan Regulasi Sistem Perpajakan Berbasis Digital Di Era
Keterbukaan Informasi Keuangan ..................................................................... 13
4.3 Kendala Sistem Perpajakan Berbasis Digital Dalam Era Keterbukaan
Informasi ........................................................................................................... 14
4.4 Tantangan Sistem Perpajakan Berbasis Digital Dalam Era Keterbukaan
Informasi ........................................................................................................... 16
4.5 Benefit Sistem Perpajakan Berbasis Digital Dalam Era Keterbukaan
Informasi ........................................................................................................... 18

ii
BAB V................................................................................................................... 22
PENUTUP ............................................................................................................. 22
5.1 Kesimpulan ............................................................................................. 22
5.2 Saran ....................................................................................................... 22
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 24

iii
DAFTAR GAMBAR

Nomor Keterangan Halaman

Gambar 1 Perkembangan wajib pajak di Indonesia 11


2015 – 2019

Gambar 2 Target dan Realisasi Penerimaan Pajak 12

iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Saat ini Indonesia telah memasuki era keterbukaan informasi keuangan.


Awalnya, kesepakatan untuk menyonsong era keterbukaan bermula dari
deklarasi yang dilakukan oleh G20 Leaders' pada London Summit April 2009,
dimana Indonesia adalah salah satu anggota G20. Menyusul kemudian pada
September 2009 Indonesia bergabung menjadi salah satu anggota Global Forum
on Transparancy and Exchange of Information for Tax Purposes (Global
Forum). Berikutnya pada November 2011 Pemerintah Indonesia
menandatangani Convention on Mutual Administrative Assistance in Tax
Matters (MAC), dimana pada Pasal 6-nya mengatur tentang pelaksanaan AEOI
(Automatic Exchange of Information).

Selanjutnya, September 2013, G20 Leaders' Saint Petersburg Summit


mendeklarasikan dukungan bagi OECD untuk menetapkan standar global untuk
pelaksanaan AEOI. Pada November 2014, G20 Leaders' Brisbane Summit
mendeklarasikan komitmen untuk mengimplementasikan AEOI secara
resiprokal berdasarkan Common Reporting Standard (CRS) mulai tahun 2017
atau tahun 2018. Terakhir pada Juni 2015, Indonesia menandatangani
Multilateral Competent Authority Agreement (MCAA), yang di dalam Annex
F-nya mencantumkan komitmen Indonesia untuk memulai AEOI pada
September 2018.

Maka, diterbitkan regulasi domestik yang mewajibkan lembaga


keuangan untuk mengumpulkan dan melaporkan informasi keuangan kepada
otoritas perpajakan dan memberikan kewenangan kepada otoritas perpajakan
untuk mempertukarkan dengan negara lain. Perppu Nomor 1 Tahun 2017
tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan maupun
aturan pelaksanaannya yaitu Peraturan Menteri Keuangan Nomor
70/PMK.03/2017 tentang Petunjuk Teknis Mengenai Akses Informasi

1
Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan pun dibuat. Hal tersebut sebagai
salah satu pertanda bahwa Indonesia telah memasuki era keterbukaan informasi
keuangan untuk tujuan perpajakan. Belakangan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 70/PMK.03/2017 mengalami. penyempurnaan dengan terbitnya
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.03/2017. Bila ditinjau dari sudut
pandang kepentingan domestik, dengan berlakunya Perppu Nomor 1 Tahun
2017 berikut aturan pelaksaannya diharapkan akan menambah luasnya basis
data perpajakan yang dimiliki oleh Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak).
Mengingat Indonesia menganut sistem perpajakan berdasarkan self-assessment,
basis data yang kuat adalah kunci untuk meningkatkan penerimaan pajak
sekaligus tax ratio. Dengan adanya keterbukaan informasi keuangan,
diharapkan indonesia dapat memanfaatkan potensi pajak yang ada di luar
negeri. Namun, Indonesia juga harus memaksimalkan infrastruktur teknologi
perpajakannya juga. Karena di era keterbukaan informasi ini diperlukan data
yang terintegrasi.

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebagai administrator perpajakan


Indonesia mulai menancapkan pilar-pilar utama reformasi, salah satunya adalah
teknologi informasi dan basis data. Tantangan disrupsi digital dalam
perekonomian dapat berubah menjadi peluang dengan responsivitas otoritas
pajak dalam memperbaiki infrastruktur teknologi perpajakan. Peningkatan
efektivitas dan efisiensi proses bisnis organisasi diharapkan dapat terdampak
secara menyeluruh. Selain itu, otoritas pajak dapat memposisikan diri lebih baik
untuk membantu serta membimbing Wajib Pajak dalam pemberian pelayanan
perpajakan.

Langkah reformasi dalam teknologi informasi diwujudkan salah satunya


melalui pengembangan core tax system DJP maupun sistem pendukung lainnya.
Di lain pihak, wajib pajak akan mengharapkan kemudahan pelayanan
perpajakan yang didukung melalui digital atau online services. Melalui
administrasi pajak berbasis digital, otoritas pajak akan memiliki kapabilitas

2
baru yang lebih tinggi untuk mendukung analisa big tax data dan mendukung
produktivitas operasi organisasi.

Proses digitalisasi administrasi perpajakan akan mempercepat rencana


pembangunan transformasi kelembagaan di setiap proses bisnis dan pelayanan
perpajakan. Teknologi dalam administrasi perpajakan memungkinkan untuk
berkurangnya tingkat interaksi antara petugas pajak dan Wajib Pajak sehingga
meningkatkan integritas sistem perpajakan. Teknologi digital akan
mengembangkan proses bisnis perpajakan Indonesia ke tahap yang lebih maju
tidak hanya pada e-filling untuk pelaporan pajak namun juga dapat mencapai
eassessment untuk menerbitkan SKP/STP secara elektronik. Hal tersebut bukan
tidak mungkin dilakukan oleh otoritas pajak, diperlukan kemauan dan
dukungan seluruh stakeholder dalam melakukan shifting menuju administrasi
pajak digital.

Implementasi online tax service akan meningkatkan digital maturity


wajib pajak ke tahap yang lebih tinggi sehingga dapat menjadi pemicu dalam
pembuatan standar pelayanan baru bagi instansi pemerintah saat ini. Teknologi
informasi membuat kemajuan dan layanan yang ditawarkan kepada warga
semakin sederhana (Mustapha, Normala, & Sheikh, 2015). Stigma administrasi
pajak yang rumit akan berubah dengan sendirinya melalui pelaksanaan
digitalisasi perpajakan.

Gray dan Regan (Dalam OECD,2016) menyatakan bahwa keberhasilan


dalam pengaplikasian teknologi informasi merupakan kunci yang akan
menentukan keberhasilan otoritas pajak di masa mendatang dalam mengelola
compliance risk dan peningkatan pelayanan secara efektif-efisien. Investasi
teknologi perpajakan merupakan suatu keniscayaan di era ekonomi digital
karena dapat memberikan dampak jangka panjang berkaitan dengan
produktivitas organisasi dan peforma penerimaan pajak. Digitalisasi
administrasi perpajakan secara tidak langsung akan meningkatkan dukungan
otoritas pajak terhadap pemberian pelayanan perpajakan yang efektif kepada
wajib pajak.

3
Teknologi informasi merupakan pilar utama dari reformasi perpajakan
yang dijalankan Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Dimana, ke depannya, proses
bisnis dan administrasi perpajakan dari sisi pelayanan, pengawasan dan
penegakan hukum akan sangat diwarnai oleh sistem IT yang modern. Untuk
memaksimalkan penggunaan teknologi tersebut, Direktorat Jenderal Pajak
(DJP) menyatakan akan mengalokasikan dana sebesar Rp38 miliar untuk
proyek nasional Sistem Inti Administrasi Perpajakan (Core Tax Administration
System) tahun depan. Anggaran itu masuk dalam pagu DJP pada 2020
mendatang sebesar Rp7,6 triliun. Pengembangan sistem ini diatur dalam
Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2018 tentang Pembaruan Core Tax System
atau Sistem Inti Perpajakan. Sistem ini akan memudahkan bagi DJP dalam
melakukan proses pendaftaran bagi Wajib Pajak (WP), pemrosesan pembayaran
pajak, pemeriksaan pajak hingga proses penagihan.

Untuk mengatur administrasi pajak modern, Direktorat Jenderal Pajak


melakukan penerapan teknologi informasi melalui administrasi pajak online
(Yusup, Hardiyana, & Sidharta, 2015). Hingga saat ini terdapat 31 layanan
perpajakan yang telah digital. Misalnya, efiling, e-reg, e-billing, surat
keterangan domisili (SKD), Surat Keterangan Fiskal (SKF) dan sebagainya.
DJP memiliki total 152 jenis layanan perpajakan. Sebagai contoh kanal
pelayanan perpajakan secara digital tersebut adalah penyampaian SPT Tahunan.
Dari sekitar 12,3 juta WP, sekitar 92% disampaikan melalui layanan e-Filing.

Bahkan penyampaian SPT melalui e-Filing meningkat melampaui target


yang ditetapkan. Ini membuktikan bahwa masyarakat menyambut baik adanya
fasilitas digital yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam hal
pelaporan pajak yakni dengan sebutan e-Filling, ini menandakan bahwa
Indonesia dapat beradaptasi dengan cepatnya perkembangan era globalisasi
yang sedang terjadi.

4
1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang telah dipaparkan, dapat ditarik rumusan


masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana sistem perpajakan di Indonesia?


2. Apa saja kendala dan tantangan Indonesia dalam menyiapkan regulasi dan
mengimplementasikan sistem perpajakan berbasis digital dalam era
keterbukaan informasi keuangan?
3. Apa saja benefit yang diterima Indonesia dalam pengimplementasian sistem
perpajakan berbasis digital dalam era keterbukaan informasi keuangan?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui sistem perpajakan di Indonesia


2. Untuk mengetahui kendala dan tantangan Indonesia dalam menyiapkan
regulasi dan mengimplementasikan sistem perpajakan berbasis digital
dalam era keterbukaan informasi keuangan
3. Untuk mengetahui benefit yang diterima Indonesia dalam
pengimplementasian sistem perpajakan berbasis digital dalam era
keterbukaan informasi keuangan.

1.4 Manfaat Penelitian


1. Manfaat Teoritis
Menambah pengetahuan bagi penulis dan pembaca serta menjawab
pertanyaan dari penulis sendiri mengenai kesiapan indonesia dalam
menyiapkan regulasi dan mengimplementasikan sistem perpajakan berbasis
digital dalam era keterbukaan informasi keuangan (kendala, tantangan,
benefit).

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2. 1 Pajak
Pajak merupakan sebuah pungutan wajib, yang pada umunya berbentuk
uang yang harus dibayarkan oleh masyarakat sebagai sumbangan wajib kepada
negara atau pemerintahan sehubungan dengan pendapatan, kepemilikan, harga
beli suatu barang, dan sebagainya. Berdasarkan KUP NOMOR 28 TAHUN
2007, Pasal 1 , Ayat 1, pengertian Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara
yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa
berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara
langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro SH, dalam bukunya ‘Dasar-dasar
Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan’ berpendapat bahwa pajak adalah iuran
rakyat kepada Kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat
dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung
dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.
Definisi tersebut di atas kemudian dikoreksinya yang berbunyi sebagai
berikut: “Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada Kas
Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk
public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public
investment”
Berdasarka definisi-definisi di atas dapat diketahui beberapa ciri pajak,
seperti:
a. Pajak merupakan kontribusi wajib warga negara
b. Pajak bersifat memaksa bagi warga negara
c. Warga negara tidak mendapat imbalan langsung

6
2. 2 Regulasi Perpajakan
Waranti Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata regulasi berarti
peraturan. regulasi merupakan seperangkat aturan yang dibuat untuk
membantu mengendalikan suatu kelompok, lembaga atau organisasi, dan
msyarakat demi mancapai tujuan tertentu dalam kehidupan bersama,
bermasyarakat, dan bersosialisasi. Regulasi dibuat dangan tujuan untuk
mengendalikan manusia atau masyarakat dengan batasan-batasan tertentu.
Regulasi atau aturan ini diberlakukan pada berbagai
lembagamasyarakat, baik untuk keperluan masyarakat umum maupun untuk
kepentingan bisnis. Dengan adanya regulasi, kehidupan bemasyarakat akan
menjadi lebih tertata karena adanya aturan-aturan yang dengan jelas mengatur
tatakehidupan serta sanksi bagi pelanggarnya.
Di Indonesia, terdapat beberapa gerulasi atau peraturan yang secara
husus mengatur mengenai perpajakan. Mulai dari siapa saja yang harus
membayar pajak, apa saja yang dikenai pajak, berapa jumlah pajak yang harus
dibayarkan, tata cara pembayaran hngga pelaporan pajaknya. Berikut beberapa
regulasi perpajakan:
a. Peraturan Dirjen Pajak No. PER-01/PJ/2016, yang berisi ketentuan
mengenai tata cara penerimaan dan pengolahan surat pemberitahuan
tahunan (SPT) pajak
b. Peraturan Menteri Keuangan No. 16/PMK.10/2016, yang menatur
tentang pemungutan pajak panghasilan (PPh) Pasal 21
c. Peraturan Dirjen Pajak No. PER-47/PJ/2015, ketentuan terkait tata
cara pengenaan pajak bumi dan bangunan sektor pertambangan untuk
pertambangan mineral dan batubara.
d. Peraturan Pemerintah No. 81 Tahun 2015, yang mengatur tentang
impor dan/atau penyerahan BKP tertentu yang dibebaskan dari
pengenaan PPN
e. Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2015, tentang PPN atas
penyerahan jasa kepelabuhanan tertentu
f. Dan masih banyak lagi lainnya.

7
2. 3 Sistem Perpajakan Digital
Untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi yang,
Direktorat Jendral Pajak (DJP) selaku administrator perpajakan di Indonesia
terus malakukan transformasi digital guna meningkatkan kuaitas pelayanan
dan meningkatkan efektivitas pengawasan terhadap kepatuhan wajib pajak.
Sebab, dalam pemungutannya selain membutuhkan partisipasi aktif para
pegawai pajak, yang paling dibutuhkan juga adalah kesadaran dari wajib pajak
untuk membayar pajak.
Guna mengahadapi zaman yang serba canggih saat ini, DJP telah
menyiapkan senjata baru untuk mendukung pengumpulan pajak. Core Tax
System Baru merupakan pengmbangan dari teknologi Core Tax yang telah ada
sebelumnya. Core Tax System adalah sistem teknologi informasi yang
menyediakan dukungan terpadu bagi pelaksanaan tugas DJP termasuk otomasi
proses bisnis mulai dari proses pendaftaran wajib pajak, pemrosesan surat
pemberitahuan dan dokumen perpajakan lainnya, pemrosesan pembayaran
pajak, dukungan pemeriksaan dan penagihan, hingga fungsi taxpayer
accounting.
Selain itu, pembaruan yang telah dilakukan adalah penerapan sistem
administrasi perpajakan yang memanfaatkan teknologi yaitu e-system. Sistem
elektronik untuk administrasipajak ini diantaranya adalah e-Registration, e-
Filling, e-SPT, dan e-Billing.

2. 4 Era Keterbukaan Informasi Keuangan


Era keterbukaan informasi adalah era dimana segala jenis informasi
baik informasi keuangan atau non-keuangan dapat diakses secara terbuka serta
diperoleh dengan mudah dan cepat. Indonesia saat ini tengah menghadapi era
keterbukaan informasi keuangan yang berjutuan untuk kepentingan
perpajakan. Momentum ini sejalan dengan upaya pemerintah dalam penegakan
hukum terhadap Wajib Pajak yang masih belum mematuhi aturan perpajakan
setelah program Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) berakhir pada tahun 2017
lalu.

8
Era keterbukaan informasi untuk tujuan perpajakan ini disebut dengan
AEOI atau Automatic Exchange of Information. Indonesia bersama 101 negara
lain di dunia berkomitmen untuk menerapkan keterbukaan informasi ini.
Beberapa negara yang dianggap sebagai tax haven, seperti Hongkong,
Singapura, Swiss, dan Australia juga ikut melaksanakan kebijakan AEOI ini.
Negara-negara yang menjadi bagian dari perjanjian ini harus memahami data-
data keuangan akan dapat diakses dan dipertukarkan oleh otoritas pajak
masing-masing negara.
Akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan meliputi
akses untuk menerima dan memperoleh informasi keuangan dalam rangka
pelaksanaan ketentuan peraturan perundangan-undangan dan pelaksanaan
perjanjian internasional di bidang perpajakan. Data keuangan yang diserahkan
terdiri dari data identitas nasabah, data keuangan nasabah, data identitas
lembaga keuangan tempat rekening nasabah, penghasilan yang diperoleh
nasabah, dan saldo akhir yang terdapat di dalam rekening nasabah.
Ketentuan teknis penerapan AEOI di Indonesia diatur dalam Peraturan
Menteri Keuangan PMK Nomor 73/PMK.03/2017.

9
BAB III

METODE PENULISAN

3.1 Sumber dan Jenis Data


Data-data yang kami gunakan dalam menyusun tulisan ini berasal
dari berbagai sumber. Utamanya merupakan literatur kepustakaan yang
berkaitan dengan topik dan permasalahan yang dibahas. Beberapa jenis
referensi utama yang kami gunakan adalah buku-buku tentang pelajaran
akuntansi, jurnal-jurnal ilmiah, serta artikel-artikel ilmiah lainnya yang
bersumber dari internet. Dari penelusuran dan pencarian yang kami lakukan,
kami memperoleh jenis data yang beragam dan variatif, ada data yang
bersifat kualitaif dan ada pula yang bersifat kuantitatif. Data yang kami
gunakan dalam tulisan ini merupakan data-data sekunder.
3.2 Pengumpulan Data
Metode yang digunakan dalam penulisan bersifat studi pustaka.
Data dan informasi diperoleh dari berbagai literatur dan kemudian disusun
berdasarkan hasil informasi dan data yang diperoleh tersebut. Penyusunan
tulisan diupayakan agar saling berkaitan menjadi satu kesatuan yang saling
berkesinambungan antara satu dan lainnya sehingga dapat sesuai dengan
permasalah dan topic yang dibahas.
3.3 Analisis Data
Data dan informasi yang telah dikumpulkan kemudian diseleksi dan
diurutkan sesuai dengan topik kajian yang dibahas. Selanjutnya tulisan
disusun berrdasarkan data yang telah dipersiapkan sebelumnya secara logis
dan sistemtis. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis data
bersifat deskriptif. Analisis data deskriptif merupakan deskripsi atau
penggambaran atau visualisasi suatu objek data yang dilihat melalui sudut
pandang tertentu. Beberapa hal yang digambarkan dalam penelititan
deskriptif meliputi variabel independen dan variabel dependen.

10
BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Kondisi Perpajakan Indonesia


Penerimaan perpajakan merupakan salah satu sumber penerimaan
negara dalam menjalankan program pembangunan yang telah dicanangkan
oleh pemerintah. Jika banyak wajib pajak yang tidak melaksanakan
kewajibannya untuk membayar pajak, maka kegiatan negara akan sulit
terpenuhi. Oleh karena itu, optimalisasi penerimaan negara yang bersumber
dari perpajakan harus terus dioptimalkan dari tahun ke tahun.
Negara menggunakan penerimaan pajak untuk menopang pembiayaan
pembangunan. Penerimaan pajak diharapkan terus meningkat agar
pembangunan Negara dapat berjalan dengan baik. Peningkatan penerimaan
pajak tercapai jika peningkatan jumlah wajib pajak terjadi. Usaha
memaksimalkan penerimaan pajak tidak dapat hanya mengandalkan peran dari
Direktorat Jenderal Pajak maupun petugas pajak, tetapi dibutuhkan juga peran
aktif dari para wajib pajak itu sendiri. Mengingat begitu pentingnya peranan
pajak, maka pemerintah dalam hal ini DJP telah melakukan berbagai upaya
untuk memaksimalkan penerimaan pajak.

Gambar 1: perkembangan wajib pajak di Indonesia 2015 – 2019


Pada tahun 2019, pemerintah mencatat ada sebanyak 42 juta wajib
pajak. Jumlah tersebut naik dari tahun 2018 sebesar 38,7 juta. Dari seluruh

11
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang tercatat di Direktorat Jenderal Pajak,
sebanyak 38,7 juta diantaranya merupakan wajib pajak orang pribadi.
Sementara 3,3 juta sisanya adalah wajib pajak banda (korporasi/perusahaan).
Dari data wajib pajak tersebut terkumpul penerimaan pajak sekitar
1.316 triliun rupiah pada tahun 2018 serta terkumpul sekitar 603 triliun rupiah
pada semester I tahun 2019 atau lebih lengkapnya sebagai berikut:

Gambar 2: Target dan Realisasi Penerimaan Pajak


Walaupun jumlah penerimaan naik setiap tahunnya, namun jumlah
tersebut masih di bawah dari target penerimaan pajak. Oleh sebab itu
Direktorat Jenderal Pajak terus berypaya melakukan perbaikan dan terobosan
guna memaksimalkan capaian realisasi penerimaan pajak tiap tahunnya. Salah
satunya dengan mengimplementasikan penggunaan teknologi informasi guna
memudahkan wajib pajak melaksanakan kewajiban perpajakannya.
Diharapkan dengan penerapan pajak berbasis digital juga bisa meningkatkan
kepatuhan pajak. Kemudian dengan adanya AEOI juga diharapkan dapat
menjaring potensi pajak yang ada di luar negeri. Apalagi jika mengingat
potensi pajak sangatlah besar dan juga melihat realisasi dari penerimaan pajak
yang selalu tidak mencapai target sehingga potensi ini harus dimaksimalkan
dengan baik.

12
4.2 Implementasi Dan Regulasi Sistem Perpajakan Berbasis Digital Di Era
Keterbukaan Informasi Keuangan
Semakin banyaknya perusahaan multinasional yang berkembang di
Indonesia tentunya diikuti dengan semakin banyaknya transaksi intra-grup
perusahaan multinasional (transaksi afiliasi). Hal ini berdampak adanya risiko
bagi administrasi perpajakan (tax administration) di setiap negara melalui
upaya penghindaran pajak pada transaksi afiliasi (cross-border transactions),
atau yang lebih dikenal dengan istilah Base Erosion and Profit Shifting
(BEPS). Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan bahwa
Indonesia sebagai negara anggota G20 siap berpartisipasi dalam implementasi
kerjasama pertukaran informasi perpajakan otomatis atau Automatic Exchange
of Information (AEOI) dan pelaksanaan prinsip penghindaran Base Erosion
and Profit Shifting (BEPS) secara menyeluruh dan efektif. AEOI merupakan
sebuah rencana dari negara G20 dan diinisiasi oleh Organisation for Economic
Cooperation and Development (OECD) mengenai sistem yang mendukung
adanya pertukaran informasi rekening wajib pajak antarnegara. Dengan adanya
sistem ini, wajib pajak yang telah membuka rekening di negara lain akan bisa
terlacak secara langsung oleh otoritas pajak negara asalnya.
Kesiapan Indonesia dalam implementasi tersebut diwujudkan dengan
telah diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2017
(PMK 39) tentang Tata Cara Pertukaran Informasi Berdasarkan Perjanjian
International dan sebelumnya juga telah diterbitkan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 213/PMK.03/2016 (PMK 213) tentang Jenis Dokumen
dan/atau Informasi Tambahan yang Wajib Disimpan oleh Wajib Pajak yang
Melakukan Transaksi dengan Para Pihak yang Mempunyai Hubungan
Istimewa dan Tata Cara Pengelolaannya. Peraturan Menteri Keuangan tentang
Tata Cara Pertukaran Informasi telah ada sebelumnya, yaitu: Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 60/PMK.03/2014 dimana telah diubah dengan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 125/PMK.010/2015.
Dalam Pasal 5 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor
39/PMK.03/2017 diuraikan Pertukaran Informasi secara otomatis dilakukan

13
atas: (a) Informasi terkait pemotongan pajak atas penghasilan yang dibayarkan
kepada subjek pajak Indonesia atau pemotongan pajak atas penghasilan, yang
dibayarkan kepada subjek pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra; (b)
Informasi keuangan Nasabah Asing; (c) Informasi laporan per negara; dan/
atau (d) Informasi perpajakan lainnya berdasarkan kesepakatan bersama antara
Indonesia dan Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra. Poin (c) dan (d) merupakan
tambahan informasi yang belum dilakukan pertukaran informasi sebagaimana
PMK sebelumnya.
Informasi pada poin (a) didapatkan dari SPT Masa PPh Pasal 26 yang
dilaporkan pada setiap masa oleh wajib pajak dalam negeri yang merupakan
perusahaan multinasional. Informasi pada poin (b) didapatkan dari Lembaga
Jasa Keuangan sebagaimana yang telah diatur pada Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 25/POJK.03/2015 tentang Penyampaian Informasi Nasabah
Asing Terkait Perpajakan kepada Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra.
Sedangkan, informasi pada poin (c) didapatkan dari Form CBC-1 yang wajib
dilampirkan pada saat perusahaan multinasional yang memiliki transaksi
afiliasi melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan PPh Badan, sejalan dengan
diterbitkannya PMK 213. Dalam PMK 213 diatur tentang kewajiban
menyelenggarakan dan menyimpan Dokumen Penentuan Harga Transfer atau
yang lebih dikenal dengan Transfer Pricing Documentation (TP-Doc). Selain
itu diatur pula kewajiban melampirkan dokumen dan/atau informasi tambahan
sebagaimana PMK 213 pada saat pelaporan SPT Tahunan PPh Badan.

4.3 Kendala Sistem Perpajakan Berbasis Digital Dalam Era Keterbukaan


Informasi
Di era keterbukaan informasi keuangan sekarang ini, implementasi
AEoI, diklaim bisa menutup peluang para wajib pajak khususnya wajib pajak
kelas kakap yang menyembunyikan harta/penghasilan di luar negeri maupun
dalam negeri. Meski demikian masih terdapat kendala dalam masalah
perpajakan berbasis digital dalam era keterbukaan informasi, diantaranya:

14
1. Teknologi Sudah Siap, Tapi Butuh Waktu Transisi. Direktur Jenderal Pajak
Robert Pakpahan mengklaim, kesiapan infrastruktur teknologi Ditjen Pajak
dalam menyimpan data-data nasabah dari para lembaga jasa keuangan
(LJK) sudah cukup mumpuni. Meski demikian, nyatanya infrastruktur
teknologi di internal otoritas pajak belum bisa digunakan begitu saja.
Pasalnya, data-data para nasabah yang masuk ke data base Ditjen Pajak
harus diolah terlebih dahulu.
2. Masih Ada Instansi yang Belum Buka Data. Ribuan lembaga keuangan
memang diwajibkan untuk mendaftarkan diri dalam rangka persiapan
implementasi AEoI. Setelah mendaftar, ribuan instansi tersebut harus
melaporkan data-data para nasabahnya kepada DJP. Total lembaga
keuangan yang sudah mendaftar ke Ditjen Pajak sebanyak 5.000 instansi.
Namun, otoritas pajak mencatat, lembaga keuangan yang sudah melaporkan
data nasabahnya baru berkisar 4.000 instansi.
Selain itu dari sisi perpajakan sendiri salah satu kendala yang dapat
menghambat keefektifan pengumpulan pajak adalah kepatuhan Wajib Pajak
(tax compliance). Kepatuhan wajib pajak yaitu bagaimana sikap dari seorang
Wajib Pajak yang mau dan melaksanakan kewajiban perpajakan yang ada.
Kepatuhan Wajib Pajak diketahui dapat meningkatkan pendapatan negara. Bila
ingin memaksimalkan penerimaan pajak, maka pemerintah harus berupaya
agar wajib pajak semakin sadar bahwa peranan pajak sangatlah penting bagi
tercapainya pembangunan nasional. Pelayanan yang diberikan oleh fiskus juga
penting mengingat Wajib Pajak membutuhkan kenyamanan dalam membayar
pajak.
Selain itu, upaya Ditjen Pajak mendorong wajib pajak melaporkan
Surat Pemberitahuan (SPT) pajak secara elektronik atau online selama
beberapa tahun sering terkendala persoalan teknis. Masyarakat lebih memilih
melaporkan SPT di ujung-ujung tenggat waktu. Selain itu juga persoalan
tersebut biasanya terkendala juga dengan persoalan teknis, seperti server DJP
yang down. Situs web yang disiapkan DJP menjelang batas akhir pelaporan
SPT wajib pajak orang pribadi 21 sering tidak bisa diakses dan mengalami

15
kendala. Masalah tersebut terkait kesiapan infrastruktur yang seharusnya terus
diperbaiki dan ditingkatkan secara berkala agar masyarakat tidak lagi
menemukan kendala-kendala seperti demikian.

4.4 Tantangan Sistem Perpajakan Berbasis Digital Dalam Era Keterbukaan


Informasi
Pengembangan infrastruktur teknologi perpajakan selain menjadi
katalis dalam transfromasi kelembagaan namun juga memiliki tantangan
dalam pelaksanaannya. Kemampuan individu untuk mengolah big tax data dan
mengimbangi kapabilitas administrasi pajak yang meningkat akan menentukan
efektivitas penggunaan teknologi. Kemudian, masifnya data yang dimiliki
otoritas pajak memberikan tanggung jawab besar dalam penggunaan informasi
perpajakan. Oleh sebab itu diperlukan regulasi yang mampu memberikan
kepastian hukum akan perlindungan data perpajakan sehingga muncul
kepercayaan wajib pajak terkait bagaimana otoritas pajak menggunakan data
mereka. Pelaksanaan transformasi bukanlah suatu hal yang mudah namun hasil
dari pelaksanaannya akan dirasakan tidak hanya oleh otoritas pajak namun juga
wajib pajak dan perekonomian secara keseluruhan.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (3) dan (5) OECD Model Tax
Treaty, ketentuan mengenai apa saja jenis informasi dan kerahasiaan yang
dapat dipertukarkan untuk tujuan perpajakan dibedakan menjadi tiga jenis
yaitu; (i) kerahasiaan bisnis; (ii) kerahasiaan professional; serta (iii)
kerahasiaan bank dan kepemilikan informasi. Kerahasiaan bank menjadi salah
satu jenis pertukaran informasi yang menghadapi tantangan terbesar di
Indonesia. Berbagai tantangan yang dihadapi Indonesia terkait dengan
kerahasiaan perbankan, yaitu:

Regulasi: Keterbatasan Wewenang Otoritas Pajak dalam Mengakses


Data & Informasi
Ketentuan terkait keterbukaan akses informasi perbankan untuk tujuan
perpajakan diatur oleh dua undang-undang (UU), yaitudari sisi perbankan

16
maupun perpajakan melalui Pasal 41ayat (1) UU Perbankan dan Pasal 35 UU
KUP. Pasal 41 ayat (1) UU Perbankan menyatakan bahwa Pimpinan Bank
Indonesia atas permintaan Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan
perintah tertulis kepada bank agar memberikan keterangan dan
memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat-surat mengenai keadaan
keuangan nasabah penyimpan tertentu kepada pejabat pajak dan Pasal 35 UU
KUP yang menyatakan bahwa Apabila dalam menjalankan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan diperlukan keterangan atau bukti
dari bank, akuntan publik, notaris, konsultan pajak, kantor administrasi,
dan/atau pihak ketiga lainnya, yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak
yang dilakukan pemeriksaan pajak, penagihan pajak, atau penyidikan tindak
pidana dibidang perpajakan, atas permintaan tertulis dari Direktur Jenderal
Pajak, pihak-pihak tersebut wajib memberikan keterangan atau bukti yang
diminta.
Berdasarkan hal tersebut, DJP meminta perluasan kapasitas yang
dimiliki dalam hal akses informasi bank, yakni agar akses informasi bank yang
semula hanya diperbolehkan dalam rangka pemeriksaan pajak, penagihan
pajak, atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, kini juga
diperbolehkan untuk kepentingan pengawasan dan penggalian potensi
penerimaan pajak. Di lain sisi, perbankan cenderung resisten terhadap
pertukaran informasi tersebut. Oleh karenanya, diperlukan harmonisasi dan
koordinasi antara otoritas pajak dan perbankan dalam mengimplementasikan
kebijakan pertukaran data dan informasi untuk tujuan perpajakan tersebut.

Taxpayer Protection (Resiko terjadinya Fishing Expedition)


Dalam Taxpayers Rights and Obligations Practice Note oleh OECD
Committee of Fiscal Affairs on Tax Administration dijelaskan bahwa pada
Negara demokrasi, Wajib Pajak akan memiliki beberapa hak dan kewajiban
dasar dalam hubungannya dengan pemerintah dan kementerian/lembaga di
bawah pemerintah. Pada tahun 1990 dilakukan survey terhadap Negara-negara

17
anggota OECD lalu didapatkan kesimpulan bahwa beberapa hak dasar yang
diberikan kepada WP, antara lain:
1) Hak untuk mendapatkan informasi, panduan, dan perhatian
(The right to be informed, assisted and heard);
2) Hak untuk menggugat (The right of appeal);
3) Hak untuk tidak membayar lebih dari jumlah pajak yang benar
(The right to pay no more than the correct amount of tax);
4) Hak atas kepastian (The right to certainty);
5) Hak atas privasi individu (The right to privacy);
6) Hak atas kerahasiaan (The right to confidentiality and secrecy).
Khususnya, prinsip Right to Confidentiality and Secrecy mengatur
kewajiban otoritas pajak untuk: (i) tidak menggunakan atau membuka infomasi
pribadi atau keuangan WP, kecuali diperkenankan oleh hukum; dan (ii) hanya
mengizinkan petugas hukum berwenang untuk mengakses data privasi atau
informasi keuangan WP (OECD:2003). Berdasarkan hal tersebut, Indonesia
dalam UU KUP telah memiliki Pasal 34 yang menyatakan bahwa “setiap
pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang
diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh WP dalam rangka jabatan atau
pekerjaannya.” Namun demikian, sebagian besar WP tetap merasa khawatir
jika informasi bank yang diberikan kepada Ditjen Pajak tidak terjamin
kerahasiaannya atau digunakan untuk tujuan lainnya (fishing expeditions),
sehingga resistansi WP menjadi suatu tantangan lumrah yang harus dihadapi
oleh negara Indonesia.

4.5 Benefit Sistem Perpajakan Berbasis Digital Dalam Era Keterbukaan


Informasi
Katalis Transformasi Kelembagaan
Proses digitalisasi administrasi perpajakan akan mempercepat rencana
pembangunan transformasi kelembagaan di setiap proses bisnis dan pelayanan
perpajakan. Struktur organisasi dapat lebih efektif dengan mengeliminasi
operasional administrasi manual yang dapat digantikan melalui bantuan

18
teknologi dan otomatisasi. Otoritas pajak dapat memiliki ruang lebih dalam
mengoptimalkan peran dan posisi pegawai yang terbatas. Teknologi dalam
administrasi perpajakan memungkinkan untuk berkurangnya tingkat interaksi
antara petugas pajak dan Wajib Pajak sehingga meningkatkan integritas sistem
perpajakan. Otomatisasi merupakan salah satu kunci dalam administrasi pajak
yang modern, hal ini juga esensial dalam pendekatan manajemen berbasis
risiko di tubuh organisasi.
Salah satu upaya DJP dalam mengelola compliance risk adalah
melalaui pengembangan sistem Compliance Risk Management (CRM) secara
komperehensif dalam administrasi perpajakan. Peningkatan arus volume
informasi dan data yang berkualitas dari implementasi Automatic Exchange of
Information (AEoI) serta keterbukaan informasi lembaga keuangan akan
mengoptimalkan dukungan pemetaan wajib pajak berdasarkan profil risiko.
Ketersediaan data yang berkualitas menjadi aset strategis dalam meningkatkan
efektivitas kepatuhan wajib pajak dan proses bisnis organisasi. Tingkat
transparansi perpajakan juga akan meningkat seiring dengan pelayanan wajib
pajak berbasis digital baik itu transparansi dalam administrasi perpajakan
maupun penggunaan data wajib pajak. Digitalisasi membuat setiap
pelaksanaan prosedur perpajakan akan memilki digital traces atau jejak digital
yang memperkuat kontrol dalam setiap proses.
Teknologi digital akan mengembangkan proses bisnis perpajakan
Indonesia ke tahap yang lebih maju tidak hanya pada e-filling untuk pelaporan
pajak namun juga dapat mencapai e-assessment untuk menerbitkan SKP/STP
secara elektronik. Hal tersebut bukan tidak mungkin dilakukan oleh otoritas
pajak, diperlukan kemauan dan dukungan seluruh stakeholder dalam
melakukan shifting menuju administrasi pajak digital. Ketersediaan data dan
sumber informasi perpajakan yang luas dengan penggunaan teknologi
advanced analytics dalam proses pengawasan dan pemeriksaan wajib pajak
akan menurunkan beban fiskus dalam proses tax assessment.
Pengembangan infrastruktur teknologi perpajakan selain menjadi
katalis dalam transfromasi kelembagaan namun juga memiliki tantangan

19
dalam pelaksanaannya. Kemampuan individu untuk mengolah big tax data dan
mengimbangi kapabilitas administrasi pajak yang meningkat akan menentukan
efektivitas penggunaan teknologi. Kemudian, masifnya data yang dimiliki
otoritas pajak memberikan tanggung jawab besar dalam penggunaan informasi
perpajakan. Oleh sebab itu diperlukan regulasi yang mampu memberikan
kepastian hukum akan perlindungan data perpajakan sehingga muncul
kepercayaan wajib pajak terkait bagaimana otoritas pajak menggunakan data
mereka. Pelaksanaan transformasi bukanlah suatu hal yang mudah namun hasil
dari pelaksanaannya akan dirasakan tidak hanya oleh otoritas pajak namun juga
wajib pajak dan perekonomian secara keseluruhan.

Fundamental Perbaikan Tax Compliance


Transformasi digital dalam administrasi perpajakan akan mengubah
fundamental dari proses kepatuhan wajib pajak. Meningkatkan kepatuhan
dalam pelaporan dan pembayaran pajak merupakan salah satu tujuan utama
otoritas pajak dalam mengamankan penerimaan. Sistem CRM yang
dikembangkan oleh DJP merupakan salah satu pendekatan berdasarkan profil
risiko wajib pajak sehingga fiskus dapat memberikan pendekatan yang lebih
variatif untuk tiap tingkat risiko. Pendekatan wajib pajak berdasarkan risiko
sudah jamak dilakukan oleh banyak otoritas pajak negara maju dimana hal ini
bertujuan mengubah perilaku wajib pajak untuk patuh memenuhi kewajiban
perpajakannya melalui komunikasi yang tepat.
Inovasi teknologi dapat memberikan wajib pajak pengalaman yang
berbeda dalam melaksanakan kepatuhan perpajakannya. Pelaksanaan tax
compliance yang awalnya membutuhkan waktu lama dan kompleks dapat
semakin cepat dan mudah untuk seluruh wajib pajak. Populasi wajib pajak
Indonesia yang besar akan menjadikan otoritas pajak sangat tergantung dengan
tingkat voluntary compliance wajib pajak untuk mencapai target penerimaan.
Teknologi menawarkan simplifikasi administrasi dan peningkatan peforma
institusi dalam memberikan pelayanan yang optimal. Wajib pajak akan

20
mendapatkan kepastian dalam setiap proses pelayanan perpajakan yang
dilaluinya karena pelayanan dilaksanakan melalui media digital.
Implementasi online tax service akan meningkatkan digital maturity
wajib pajak ke tahap yang lebih tinggi sehingga dapat menjadi pemicu dalam
pembuatan standar pelayanan baru bagi instansi pemerintah saat ini. Era
ekonomi digital yang didorong oleh millennials yang adaptif terhadap
teknologi menjadi peluang bagi otoritas pajak untuk mengedukasi masyarakat
melalui pendekatan berbasis teknologi. Stigma administrasi pajak yang rumit
akan berubah dengan sendirinya melalui pelaksanaan digitalisasi perpajakan.
Meskipun begitu, akan tetap ada masyarakat yang menghadapi hambatan
signifikan dalam memanfaatkan perpajakan digital. Masyarakat yang berada di
wilayah dengan jaringan internet kurang memadai dan wajib pajak lansia yang
mungkin tidak nyaman dengan perkembangan teknologi digital merupakan
beberapa contoh yang mungkin akan kesulitan menyesuaikan dengan
perkembangan teknologi perpajakan.

21
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Pada era saat ini Indonesia telah memasuki keterbukaan informasi
keuangan. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebagai administrator perpajakan
Indonesia mulai menancapkan pilar-pilar utama reformasi, salah satunya
adalah teknologi informasi dan basis data. Tantangan disrupsi digital dalam
perekonomian dapat berubah menjadi peluang dengan responsivitas otoritas
pajak dalam memperbaiki infrastruktur teknologi perpajakan. Peningkatan
efektivitas dan efisiensi proses bisnis organisasi diharapkan dapat terdampak
secara menyeluruh terhadap siklus administrasi disetiap bidang. Selain itu,
otoritas pajak dapat memposisikan diri lebih baik untuk membantu serta
membimbing Wajib Pajak dalam pemberian pelayanan perpajakan.
Teknologi informasi merupakan pilar utama dari reformasi perpajakan
yang dijalankan Direktorat Jenderal Pajak (DJP. Dimana, ke depannya, proses
bisnis dan administrasi perpajakan dari sisi pelayanan, pengawasan dan
penegakan hukum akan sangat diwarnai oleh sistem IT yang modern. Bahkan
dengan adanya reformasi dalam bidang perpajakan berdampak penyampaian
SPT melalui e-Filing meningkat melampaui target yang ditetapkan. Ini
membuktikan bahwa masyarakat menyambut baik adanya fasilitas digital yang
disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
5.2 Saran
Teknologi merupakan hal yang fundamental untuk terus dipelajari dan
dikembangkan untuk itu kedepannya pemerintah bisa melakukan perubahan
yang lebih baik dalam sistem administrasi, terkhusus yang sudah diterapkan
dalam bidang pajak agar dapat diimplementasikan dalam bidang-bidang yang
lainnya. Kendala, tantangan, serta manfaat merupakan hal yang pasti dirasakan
dalam melakukan proses perubahan, oleh karena itu kita semua untuk terus
meningkatkan kemampuan kita agar menjadi pribadi yang mempunyai nilai
lebih guna menyikapi kemajuan era globalisasi yang terus berkembang pesat.

22
Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam penulisan
ini, untuk itu penulis menyarankan kepada pembaca untuk mencari informasi
dalam artikel lain tentang Kesiapan Indonesia Dalam Menyiapkan Regulasi
Dan Mengimplementasikan Sistem Perpajakan Berbasis Digital Dalam Era
Keterbukaan Informasi Keuangan (Kendala, Tantangan, Benefit).

23
DAFTAR PUSTAKA

https://www.pajak.go.id/id/artikel/menuju-administrasi-pajak-digital, diakses pada


9 November 2019
https://pajak.go.id/id/artikel/modernisasi-teknologi-informasi-perpajakan-di-era-
ekonomi-digital, diakses pada 9 November 2019
https://www.poetramerdeka.com/2017/06/menyambut-era-keterbukaan-
informasi.html, diakses pada 10 November 2019
https://nasional.kontan.co.id/news/kian-dekat-ke-era-keterbukaan-informasi-
keuangan, diakses pada 10 November 2019

24

Anda mungkin juga menyukai