Anda di halaman 1dari 37

Tugas Mata Kuliah Riset Akuntansi Keuangan Dan Perpajakan

“Tax Planning, Tax Management, Tax Complience, Tax Morale Dan Pajak Internasional”

Dosen Pengampu :

Dr. Nela Safelia, S.E., M.Si. CIQnR

Disusun Oleh Kelompok 3 :

Emalia Fitri (P2C322026)

Zuska Ega (P2C322014)

Nur Izzah (P2C322015)

Fergisa Rindang Primadi (P2C322023)

Agung Sulistio (P2C322017)

Muhammad Farhan (P2C322002)

PROGRAM STUDI
MAGISTER ILMU AKUNTANSI
PASCASARJANA UNIVERSITAS JAMBI
2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya sehingga makalah
dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak terimakasih atas
bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun
pikirannya.
Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi para pembaca, Untuk kedepannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi
makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, kami yakin masih banyak
kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang
membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Jambi, Mei 2023

Kelompok 3

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................................i
DAFTAR ISI...................................................................................................................................ii
BAB I...............................................................................................................................................1
PENDAHULUAN...........................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang..................................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.............................................................................................................2
BAB II.............................................................................................................................................3
PEMBAHASAN..............................................................................................................................3
2.1 Tax Planning, Tax Management, Tax Complience dan Tax Morale................................3
2.1.1 Tax Planning..............................................................................................................3
Pengertian perencanaan (Tax Planning)...................................................................................3
2.1.2 Tax Management.......................................................................................................6
2.1.3 Tax Complience.........................................................................................................7
2.1.4 Tax Morale.................................................................................................................7
2.1.5 Tax Avoidance...........................................................................................................8
2.1.6 Tax Evasion.............................................................................................................12
2.2 Pajak Internasional..........................................................................................................14
2.2.1 Pengertian pajak internasional.................................................................................14
2.2.2 Pajak penghasilan pasal 24......................................................................................15
2.2.3 Pajak PPh 26............................................................................................................17
2.2.4 P3B (Perjanjian penghindaran pajak berganda) atau Tax Treaty............................22
2.2.5 Pengertian Transfer Pricing.....................................................................................28
2.2.6 Dampak Transfer Pricing terhadap kualitas manajemen.........................................30
BAB III..........................................................................................................................................33
PENUTUP.....................................................................................................................................33
3.1 Kesimpulan..........................................................................................................................33
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................34

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perkembangan teknologi dan informasi dan pengaruh era globalisasi telah meningkatkan arus

investasi, terutama di negara berkembang. Maka sudah menjadi hal yang lumrah bagi negara-

negara maju untuk menanamkan modalnya di negara berkembang, tidak terkecuali Indonesia.

Badan Pusat Statistik Indonesia mencatat Indeks pembangunan teknologi informasi dan

komunikasi Indonesia pada tahun 2015 sebesar 4,83 pada skala 0 sampai 10, meningkat dari

tahun 2014 sebesar 4,59 dari skala 0 sampai 10 dan terus berkembang hingga saat ini.

Dengan semakin bertambah luas dan majunya teknologi, hubungan ekonomi internasional

pun menjadi semakin berkembang, transaksi ekonomi internasional sudah menjadi hal yang

lumrah dan juga memberikan peluang di sektor perpajakan. Karena transaksi tersebut melibatkan

aktivitas antara dua negara atau lebih, maka akan berpotensi besar meningkatkan pendapatan dari

sektor pajak, meskipun demikian, aktivitas ekonomi ini sangat memerlukan peraturan hukum

yang pasti akan aspek-aspek yang dapat menimbulkan permasalahan dikemudian hari. Segala

bentuk peraturan dan permasalahan perpajakan ini termasuk dalam lingkup hukum perpajakan

internasional. Hukum pajak internasional adalah bagian hukum pajak nasional yang terdiri dari

kaidah, baik berupa kaidah-kaidah nasional maupun kaidah yang berasal dari traktat antar negara

dan dari prinsip atau kebiasaan yang telah diterima baik oleh negara-negara di dunia untuk

mengatur soal-soal perpajakan dan dalam mana dapat ditunjukkan adanya unsur-unsur asing,

baik mengenai subjek pajak maupun objek pajak. Faktanya, meskipun telah ada hukum pajak

internasional, dengan sistem perpajakan yang berbeda beda antar negara, dapat menimbulkan

terjadinya pengenaan pajak berganda, yang dapat menimbulkan terjadinya penyelundupan pajak

1
atau penghindaran pajak dengan melakukan kegiatan illegal agar mendapatkan beban pajak yang

minim dengan memanfaatkan berbagai celah yang ada dan terbuka untuk tidak dan atau

mengelak membayar kewajiban pajak di negara sumber penghasilan atau di negara domisili.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan permasalahannya adalah sebagai berikut :

1. Apa pengertian perencanaan dan manajemen pajak ?

2. Bagaimana etika dan moral dalam perpajakan ?

3. Apa faktor yang mempengaruhi ketaatan pajak ?

4. Apa itu tax avoidance dan tax evasion ?

5. Apa pengertian pajak internasional ?

6. Bagaimana pajak penghasilan pasal 24 ?

7. Bagaimana pajak penghasilan pasal 26 ?

8. Bagaimana perjanjian penghindaran pajak berganda ?

9. Apa itu transfer pricing ?

10. Bagaimana dampak transfer pricing terhadap pengambilan keputusan manajemen ?

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Tax Planning, Tax Management, Tax Complience dan Tax Morale

2.1.1 Tax Planning

Pengertian perencanaan (Tax Planning)


Perencanaan pajak merupakan salah satu bentuk dari fungsi manajemen pajak dalam
upaya penghematan pajak secara legal. Menurut Erly (2008:6) “Perencanaan pajak adalah
langkah awal dalam manajemen pajak dimana dalam tahap ini dilakukan pengumpulan dan
penelitian terhadap peraturan perpajakan, dengan maksud dapat diseleksi jenis tindakan
penghematan pajak yang dilakukan.” Perencanaan pajak pada umumnya tertuju pada suatu
proses untuk merekayasa usaha dan transaksi Wajib Pajak sehingga kewajiban pembayaran
pajak berada dalam jumlah serendah mungkin tetapi masih dalam lingkup peraturan
perpajakan.

Zain (2007:119) mendefinisikan “Perencanaan Pajak adalah proses mengorganisasikan


usaha wajib pajak atau sekelompok Wajib Pajak sedemikian rupa sehingga utang pajaknya,
baik pajak penghasilan maupun pajak-pajak lainnya, berada dalam posisi yang serendah
mungkin, sepanjang hal ini dimungkinkan baik oleh ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan maupun secara komersial.”

Tujuan Perencanaan Pajak ( Tax planning)

Tax planning dilakukan antara lain untuk tujuan:

1. Memperkecil pengeluaran perusahaan untuk membayar pajak sehingga biaya yang


dikeluarkan lebih efisien.

2. Memperhitungkan dan menyiapkan pembayaran pajak sesuai peraturan yang berlaku agar
tidak timbul sanksi atau denda yang justru memperbeasr pengeluaran pajak. Bukan untuk
mengelak membayar pajak tetapi untuk mengatur agar pajak yang dibayar tidak lebih dari
jumlah yang seharusnya.

3
Tahap Melakukan Tax Planning

1. Menganalisis Informasi yang Ada

Tahap pertama dari perencanaan pajak adalah menganalisis komponen yang berbeda atas
pajak yang terlibat dalam suatu proyek dan menghitung seakurat mungkin beban pajak
yang ditaanggung. Hal ini hanya bisa dilakukan dengan mempertimbangkan masing-
masing elemen dari pajak, baik secara sendiri-sendiri maupun secara total pajak yang
harus dapat dirumuskan sebagai perencanaan pajak yang paling efisien.

2. Buat Satu Model atau Lebih Rencana Besarnya Pajak

Pilih bentuk transaksi operasi atau hubungan internasional. Pada hampir semua sistem
perpajakan internasional, paling tidak ada dua negara yang ditentukan lebih dahulu. Dari
sudut pandang perpajakan, proses perencanaan tidak bisa berada di luar dari tahapan
pemilihan transaksi, operasi, dan hubungan yang paling menguntungkan.

3. Evaluasi atas Perencanaan Pajak

Tax planning sebagai suatu perencanaan yang merupakan bagian kecil dari seluruh
perencanaan strategis perusahaan. Oleh karena itu, perlu dilakukan evaluasi untuk
melihat sejauh mana hasil pelaksanaan suatu perencanaan pajak terhadap beban pajak,
perbedaan laba kotor, dan pengeluaran selain pajak atas berbagai alternatif perencanaan.

4. Mencari Kelemahan Dan Kemudian Memperbaiki Kembali Rencana Pajak

Untuk mengatakan bahwa hasil suatu perencanaan pajak baik atau tidak, tentu harus
dievaluasi melalui berbagai rencana yang dibuat. Tindakan perubahaan (up to date
planning) harus tetap dijalankan walaupun diperlukan penambahan biaya atau
kemungkinan keberhasilannya sangat kecil.

5. Memutakhirkan Rencana Pajak

Meskipun suatu rencana pajak telah dilaksanakan dan proyek juga telah berjalan, tetap
perlu diperhitungkan setiap perubahan yang terjadi, baik dari undang-undang maupun

4
pelaksanaannya sesuai negara di mana aktivitas tersebut dilakukan yang dapat berdampak
terhadap komponen suatu perjanjian.

Skema Tax Planning

Pada umumnya, ada lima strategi yang biasa perusahaan lakukan dalam membuat
perencanaan pajak:

1. Tax Avoidance

Tax avoidance atau penghindaran pajak merupakan upaya perusahaan menghhindari


pengenaan pajak melalui transaksi yang bukan merupakan objek pajak. Contohnya,
perusahaan mengubah tunjangan karyawan dalam bentuk uang menjadi natura karena
natura bukan objek pajak PPh21. Upaya ini biasanya dilakukan oleh perusahaan yang
masih mengalami kerugian.

2. Tax Saving

Upaya efisiensi beban pajak melalui pemilihan alternatif pengenaan pajak dengan tarif
yang lebih rendah. Contohnya, perusahaan melakukan perubahan pemberian natura
kepada karyawan menjadi tunjangan dalam bentuk uang.

3. Mengoptimalkan Kredit Pajak yang Diperkenankan

Kebanyakan Wajib Pajak badan kurang mengetahui bahwa mereka dapat mengkreditkan
pajak yang sudah dipotong asalkan tidak menyimpang dari peraturan. Misalnya, Pajak
Penghasilan (PPh) 22 atas pembelian solar dan/atau impor, PPh 23 atas penghasilan jasa
atau sewa, serta pajak fiskal luar negeri atas perjalanan dinas pegawai.

4. Melakukan Penundaan dalam Membayar Kewajiban Pajak

Perusahaan sebagai Wajib Pajak dapat menunda pembayaran Pajak Pertambahan Nilai
(PPn) dengan menunda penerbitan faktur pajak keluaran hingga batas waktu yang
diperkenankan, khususnya untuk penjualan kredit. PPN dapat dibayar pada akhir bulan
berikutnya setelah bulan penyerahan barang.

5
5. Menghindari Pelanggaran atas Peraturan Perpajakan

Wajib Pajak badan harus menguasai peraturan pajak yang berlakuagar terhindar dari
timbulnya sanksi perpajakan berupa sanksi administrasi, seperti denda, bunga, atau
kenaikan, hingga sanksi pidana.

Jenis-Jenis Tax Planning

Jika dilihat dari jenisnya, perencanaan pajak dapat dibagi menjadi dua, yakni:

1. National Tax Planning yang praktiknya berpedoman pada Undang-Undang domestik.


Perencanaan pajak jenis ini biasanya dilakukan oleh Wajib Pajak badan yang hanya
memiliki usaha di Indonesia saja atau melakukan transaksi dengan Wajib Pajak dalam
negeri saja

2. International Tax Planning, biasanya dilakukan oleh Wajib Pajak badan yang memiliki
kegiatan usaha di dalam negeri dan di luar negeri. Perencanaan pajak ini dilakukan jika
Wajib Pajak melakukan transaksi tak hanya dengan Wajib Pajak dalam negeri, tetapi juga
dengan Wajib Pajak di luar negeri. Berbeda dengan National Tax Planning, International
Tax Planning harus turut memperhatikan Undang-Undang atau perjanjian pajak (Tax
Treaty) dari negara-negara yang ikut terlibat.

2.1.2 Tax Management


Definisi manajemen perpajakan (tax management) adalah usaha menyeluruh yang
dilakukan manajer pajak (tax manager) dalam suatu perusahaan atau organisasi.
Sehingga, hal-hal yang bersangkutan dengan perpajakan dari perusahaan atau organisasi
tersebut dapat dikelola dengan baik, efisien dan ekonomis dan memberi kontribusi
maksimal bagi perusahaan. Tujuan manajemen pajak dapat dicapai melalui fungsi-fungsi
manajemen pajak yang terdiri dari:

1. Perencanaan Pajak (tax planning);

2. Pelaksanaan kewajiban perpajakan (tax implementation)

3. Pengendalian Pajak (tax control).

6
Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, perencanaan pajak (tax planning) adalah suatu
alat dan suatu tahap awal dalam manajemen pajak (tax management), yang berfungsi
untuk menampung aspirasi yang berkembang dari sifat dasar manusia. Secara definitive,
manajemen pajak memiliki ruang lingkup yang lebih luas dari sekedar tax
planning. Sebagai manajemen pajak, pastilah hal tersebut tidak terlepas dari konsep
manajemen secara umum yang merupakan upaya-upaya sistematis yang meliputi:

1. Perencanaan (planning)

2. Pengorganisasian (organizing)

3. Pelaksanaan (actuating) dan

4. pengendalian (controlling).

Semua fungsi manajemen tersebut tercakup dalam manajemen pajak. Dengan kata lain,
manajemen perpajakan merupakan segenap upaya untuk mengimplementasikan fungsi-fungsi
manajemen agar pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan berjalan efisien dan efektif. Dalam
melaksanakan fungsi manajemen pajak, perencanaan pajak merupakan tahap pertama dalam
urutan hierarki. Dalam praktik bisnis, istilah tax planning lebih popular dari pada tax
management itu sendiri

2.1.3 Tax Complience


Kepatuhan pajak (tax compliance) dapat didefinisikan sebagai suatu perilaku di mana
Wajib Pajak (WP) memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak
perpajakannya.

2.1.4 Tax Morale

Moral pajak merupakan sebuah motivasi yang menyatu pada seseorang dalam mematuhi

kewajibannya sebagai wajib pajak. Hal ini juga mengacu pada rasa kemauan atau insting

seseorang dalam berkontribusi secara sukarela pada negara dengan mematuhi dan membayar

pajak tepat waktu. Singkatnya tax moral merupakan sebuah motivasi seseorang secara sukarela

dan tidak dalam paksaan dalam menjalani kewajibannya membayar pajak.

7
Faktor Yang Mempengaruhi Tax Morale

Sejauh ini, masih banyak wajib pajak yang “enggan” dalam membayar kewajiban pajaknya,

baik pada wajib pajak pribadi maupun badan, hal ini bukan hanya semata-mata kurangnya

pemahaman setiap wajib pajaknya, melainkan beberapa faktor yang mendasari hal tersebut,

diantaranya :

 Masih kurangnya kesadaran batin dan hati dalam membayar secara sukarela

 Motivasi melakukan pembayar atas dasar takut kena hukuman atau sanksi.

Dalam konteks ini pun, Organisation for Economic Co-operation and

Development (OECD) selaku organisasi global yang memiliki misi dalam mewujudkan

perekonomian global yang kuat, bersih, dan berkeadilan juga mengungkapkan setidaknya 3

faktor yang mempengaruhi moral ajak, di antaranya :

 Kepuasan terhadap pelayanan publik

 Kepercayaan terhadap pemerintah

 Tanggapan atas korupsi.

Menurut OECD, rendahnya moral pajak pada wajib pajak, terlebih pada situasi saat ini,

akan sangat mempengaruhi tingkat kepatuhan dan perolehan penerimaan pajak semakin

terhambat.

2.1.5 Tax Avoidance

Penghindaran Pajak ( Tax Avoidance ) merupakan tindakan legal, dapatdibenarkan

karena tidak melanggar undang'undang, dalam hal ini sama sekalitidak ada suatu pelanggaran

8
hukum yang dilakukan. Tujuan penghindaran pajak adalah menekan atau meminimalisasi jumlah

pajak yang harus dibayar.

Tax avoidance merupakan perlawanan aktif yang dilakukan oleh wajib pajak untuk

mengurangi pajak yang mereka bayarkan. Perlawanan terhadap pajak dapat dibedakan menjadi

dua, yaitu perlawanan pasif dan perlawanan aktif (Brotodiharjo, 2013). Perlawanan pasif berupa

hambatan yang mempersulit pemungutan pajak dan mempunyai hubungan erat dengan struktur

ekonomi. Contoh dari pajak pasif misalnya kebiasaan masyarakat desa yang menyimpan uang

dirumah atau dibelikan emas, bukan karena meraka menghindari PPh namun mereka belum

terbiasa dengan perbankan. Perlawanan aktif adalah semua usaha perbuatan secara langsung

ditunjukan kepada pemerintah (fiskus) dengan tujuan untuk menghindari pajaknya baik secara

legal maupun ilegal. Contoh dari perlawanan secara aktif dan legal adalah tax avoidance, dimana

tax avoidance menggunakan kelemahan peraturan perundang-undangan (loopholes) untuk

memperkecil pajak perusahaan.

Menurut Pohan (2013), Tax avoidance adalah strategi dan teknik penghindaran pajak

yang dilakukan secara legal dan aman bagi wajib pajak karena tidak bertentangan dengan

ketentuan perpajakan. Menurut konsep yang ada tax avoidance tidak dilarang meskipun

seringkali mendapat sorotan kurang baik karena dianggap memiliki konotasi negatif ataupun

dianggap kurang nasionalis. Tax avoidance dilakukan dengan cara-cara atau strategi perencanaan

pajak dan memanfaatkan celah atau kelemahan ketentuan perpajakan. Contoh saat melakukan tax

avoidance adalah dengan cara mempercepat depresiasi sehingga diperoleh nilai penyusutan yang

besar. Dalam laporan keuangan penyusutan merupakan salah satu komponen yang mengurangi

penghasilan atau laba usaha yang digunakan sebagai dasar perhitungan pajak. Komite urusan

9
fiskal OECD (organization of economic corporation development) menyebutkan ada 3 karakter

penghindaran pajak (Suandy, 2006), yaitu: 1) Unsur artifisial, dimana berbagai pengaturan

seolah-olah terdapat di dalamnya padahal tidak, dan ini dilakukan karena ketiadaan faktor pajak.

2) Skema semacam ini sering memanfaatkan loopholes undangundang untuk menerapkan

ketentuan-ketentuan legal untuk berbagai tujuan, padahal bukan itu yang sebetulnya

dimaksudkan oleh pembuat undang-undang. 3) Kerahasiaan juga sebagai bentuk skema ini,

dimana umumnya para konsultan menunjukan alat atau cara untuk melakukan tax avoidance

dengan syarat wajib pajak menjaga kerahasiaan.

Pengukuran Tax avoidance

Terdapat banyak pengukuran tax avoidance. Hanlon dan heitzman (2010), menyebutkan

terdapat dua belas cara yang dapat digunakan dalam mengukur tax avoidance yaitu pada tabel

berikut :

No. Pengukuran Cara Perhitungan Keterangan


1. GAAP ETR worldwide total income tax expense Total tax
worldwide total pre−tax accounting income exspense per
dollar of pre
2. Current worldwide current income tax expensee Current tax
ETR worldwide total pre−tax accounting income exspense per
dollar of pre-tax
book income
3. Cash ETR worldwide cash tax expense Cash taxes paid
worldwide total pre−tax accounting income per dollar of
pretax book
income
4. Long-turn worldwide cash taxes paid Sum of cash taxes
cash ETR worldwide total pre−tax accounting income paid over n years
divided by the
sum of pre-tax
earnings over n
years
5. ETR Statutory ETR-GAAP ETR The difference of

10
Differential between the
statutory ETR and
firm’s GAAP
ETR
6. DTAX Error term from the following regression: ETR The unexplained
differential x Pre-tax book income= a + b x protion of the
Control + e ETR differential
7. Total BTD Pre-tax book income – ((U.S. CTE + Fgn The total
CTE)/U.S. STR) – (NOLt – NOLt-1)) difference
between book and
taxable income
8. Temporary Deferred tax expense/U.S.STR The total
BTD difference
between book and
taxable income
9. Abnormal Residual from BTD/TAit = βTAit + βmi + eit A measure of
total BTD unexplained total
book-tax
differences
10. Unrecogniz Disclosed amount post-FIN48 Tax liability
ed tax accured for taxes
benefits not yet paid on
uncertain
positions
11. Tax shelter Indicator variable for firms accused of engaging Firms indentified
activity in a tax shelter via firm
disclosure, the
press, or IRS
confidential data
12. Marginal in a tax shelter Present value of
tax rate taxes on an
additional dollar
of income

ETR (effective tax rate) mempunyai 5 jenis pengukuran yakni GAAP ETR, Cash ETR,

Current ETR, Long-turn cash ETR dan ETR Defferential. GAAP ETR menggunakan

perhitungan jumlah total pajak perusahaan, berbeda dengan Current ETR yang hanya

memperhitungkan pajak kini perusahaan. Cash ETR menggunakan jumlah kas yang dibayarkan

untuk pajak dibagi dengan laba sebelum pajak. Cash ETR memiliki kelemahan adanya

penundaan pajak yang dibayarkan yang mengakibatkan kurang tergambarnya pajak tahun yang

11
akan dibayarkan. Pembanding pada Cash ETR berbeda antara kas yang dibayarkan untuk pajak

tahun ini dengan laba sebelum pajak tahun sebelumnya. Long-turn Cash ETR mengukur jumlah

kas yang dibayarkan untuk pajak selama lebih dari 10 tahun dibagi dengan jumlah pendapatan

sebelum pajak untuk periode yang sama. Namun, ukuran ini tidak dapat secara langsung

menggambarkan penghindaran, karena pada periode berjalan ada hal yang tidak terduga yang

mengubah satuan pajaknya. GAAP ETR yang dihitung dengan beban pajak dibagi dengan laba

sebelum pajak. Beban pajak yang digunakan ialah beban pajak kini dan pajak tangguhan, karena

pada beban pajak kini dimungkinkan untuk melakukan pemilihan kebijakan-kebijakan yang

terkait dengan perpajakan dan akuntansi. GAAP ETR digunakan karena dalam penghindaran

pajak tidak hanya bersumber dari pajak penghasilan saja tetapi beban pajak lainya yang

tergolong dapat dibebankan pada perusahaan..

2.1.6 Tax Evasion

Penggelapan Pajak terjadi sebelum $KP dikeluarkan. 0al ini merupakan pelanggaran terh

adap undang'undang dengan maksud melepaskan diri dari pajak/mengurangi dasar penetapan paj

ak dengan "ara menyembunyikan sebagiandari penghasilannya. Wajib pajak di setiap negara

terdiri dari wajib pajak besar %berasal dari multinational "orporation yang terdiri dari

perusahaan'perusahaan penting nasional& dan wajib pajak ke"il %berasal dari pro(esional bebas 

yangterdiri dari dokter yang membuka praktek sendiri, penga"ara yang bekerja sendiri,dll.

12
Indikator Penggelapan Pajak 

Adapun yang menjadi indikator dari Penggelapan Pajak menurut M. Zain (2008 : 51)

yaitu :

1. Tidak menyampaikan SPT

2. Penyampaikan SPT dengan tidak benar

3. Tidak mendaftarkan diri atau menyalahgunakan NPWP atau Pengukuhan PKP

4. Tidak menyetorkan pajak yang telah dipungut atau dipotong

5. Berusaha menyuap Fiskus.

Penyebab Penggelapan Pajak

Menurut siti Kurnia rahayu (2010:149) yang menyebabkan terjadinya tax evasion yaitu :

1. Kondisi lingkungan

Lingkungan sosial masyarakat menjadi hal yang tak terpisahkan dari manusia sebagai makhluk


sosial, manusia akan selalu saling bergantung satu samalain.

2. Pelayanan fiskus yang mengecewakan

Pelayanan aparat pemungut pajak terhadap masyarakat cukup menentukan dalam pengambilan

keputusan wajib pajak untuk membayar pajak. hal tersebut disebabkan oleh perasaan wajib pajak

yang merasa dirinya telah memberikan kontribusi pada negara dengan membayar pajak. Jika

pelayanan yang diberikan telah memuaskan wajib pajak, mereka tentunya merasa telah

diapresiasi oleh fiskus. mereka menganggap bahwa kontribusinya telah dihargai meskipun hanya

sekedar dengan pelayanan yang ramah saja.

13
Tapi jika yang dilakukan tidak menunjukkan penghormatan atas usaha wajib pajak, masyarakat

merasa malasuntuk membayar pajak kembali.

3. Tingginya tarif pajak

Pemberlakuan tarif pajak mempengaruhi wajib pajak dalam hal pembayaran pajak. Pembebanan 

pajak yang rendah membuat masyarakat tidak terlalu keberatan untuk memenuhi kewajibannya.

meskipun masih ingin berkelit dari pajak, mereka tidak akan terlalu membangkang terhadap

aturan perpajakan karena harta yang berkurang hanyalah sebagian kecilnya. Dengan pembebanan

tarif yang tinggi, masyarakat semakin serius berusaha untuk terlepas dari

jeratan pajak yang menghantuinya.

4. Sistem administrasi perpajakan yang buruk

Penerapan sistem administrasi pajak mempunyai peranan penting dalam proses pemugutan pajak

suatu negara. Dengan sistem administrasi yang bagus, pengelolaan perpajakan akan berjalan

lancar dan tidak akan terlalu banyak menemui hambatan yang berarti. Sistem yang baik akan

menciptakan manajemen pajak yang profesional, prosedur berlangsung sistematis akan membuat

masyarakat menjadi terbantu karena pengelolaan pajak yang tidak membingungkan dan

transparan.

2.2 Pajak Internasional

2.2.1 Pengertian pajak internasional


Pajak internasional didefinisikan sebagai perjanjian antar negara yang memiliki
Perjanjian Berdampak Ganda (P3B). Ketentuan utama perpajakan internasional mengacu
pada Konvensi Wina 23 Mei 1969, yang merupakan perjanjian yang berisi  hukum

14
perjanjian antar negara. Ketentuan utama pajak internasional ini mengacu pada Konvensi
Wina.

Menurut Gillian (Brock, 2014) pajak internasional adalah studi atau penentuan pajak atas
seseorang atau bisnis yang tunduk pada undang-undang perpajakan dari berbagai negara atau
aspek internasional dari undang-undang perpajakan suatu negara.

Ketentuan pajak internasional di ketentuan domestik diatur di Undang-Undang PPh.


Berikut pasal-pasal di Undang-Undang PPh terkait pajak ternasional:

 Pasal 2 tentang Subjek Pajak Dalam Negeri (ayat 3), Subjek Pajak Luar Negeri (ayat 4),
dan Bentuk Usaha Tetap (ayat 5).
 Pasal 3 mengatur yang dinyatakan bukan subjek pajak.
 Pasal 5 mengatur objek pajak Bentuk Usaha Tetap (BUT).
 Pasal 15 mengatur norma penghitungan khusus untuk menghitung penghasilan neto
pelayaran, atau penerbangan internasional, dan kantor perwakilan dagang asing (KPDA).
 Pasal 18 mengatur perbandingan utang terhadap modal (ayat 1), Controlled Foreign
Company (ayat 2), Hubungan Istimewa (ayat 3, 3D, dan 4), Prosedur Persetujuan
Bersama dan Kesepakatan Harga Transfer (ayat 3A), Special Purpose Company (ayat 3B,
dan 3C).
 Pasal 24 tentang kredit pajak luar negeri
 Pasal 26 tentang objek pajak dari subjek pajak luar negeri
 Pasal 32A tentang kewenangan melakukan tax treaty.

2.2.2 Pajak penghasilan pasal 24


Definisi

Jika berdasarkan aturannya, PPh Pasal 24 diartikan sebagai peraturan yang mengatur hak
Wajib Pajak untuk memanfaatkan kredit pajak mereka di luar negeri, untuk mengurangi nilai
pajak terutang yang dimiliki di Indonesia.

“Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri, boleh dikreditkan terhadap pajak yang

15
terutang berdasarkan undang-undang ini dalam tahun pajak yang sama,” bunyi Pasal 24 ayat 1
UU Nomor 36 tahun 2008 tentang PPh.

Lebih lanjut pada Pasal 2 UU 36/2008, disebutkan bahwa besarnya kredit pajak adalah
sebesar PPh yang dibayar atau terutang di luar negeri, tetapi tidak boleh melebihi penghitungan
pajak yang terutang berdasarkan aturan UU PPh.

Subjek dan objek

Sebagaimana disebutkan pula dalam UU 36/2008, subjek yang termasuk dalam PPh Pasal
24 adalah Wajib Pajak dalam negeri yang terutang pajak atas seluruh penghasilan—termasuk
penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri. Di sisi lain, yang menjadi objek PPh
Pasal 24 adalah penghasilan yang berasal dari luar negeri.

Perhitungan

Perhitungan PPh Pasal 24

Supaya lebih memahami perhitungan PPh Pasal 24, Anda bisa menyimak ilustrasi sederhana
berikut ini:

Di tahun 2022, PT Usaha Maju memperoleh pendapatan neto dari luar negeri sebesar Rp 200 juta
dan penghasilan dalam negeri senilai Rp 300 juta. Sesuai peraturan perpajakan di negara
tersebut, diasumsikan badan usaha ini harus membayar pajak sebesar 15 persen.

Untuk dapat menghitung total pajak terutang yang harus dibayarkan di Indonesia, maka Wajib
Pajak Badan ini harus menjumlahkan total pendapatan neto keseluruhan yang menjadi Rp 500
juta. Selanjutnya, total PPh terutang dapat dihitung dengan cara:

15% x Rp 500.000.000 = Rp 75.000.000.000

Setelah mendapat total PPh terutang, maka perlu dihitung jumlah pajak maksimum yang dapat
dikreditkan melalui rumus:

(Penghasilan Neto dari Luar Negeri/Total Penghasilan) x Total PPh Terutang

(Rp 200.000.000/Rp 500.000.000) x Rp 75.000.000 = Rp 30.000.000

16
Berdasarkan ilustrasi perhitungan di atas, maka total pajak yang dapat dikreditkan Wajib Pajak
ini adalah Rp 30.000.000.

2.2.3 Pajak PPh 26


Menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, PPh pasal 26 merupakan pajak
penghasilan yang dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar
negeri dari Indonesia selain bentuk usaha tetap (BUT) yang berada di Indonesia. Kriteria seorang
individu atau perusahaan yang dikategorikan sebagai Wajib Pajak luar negeri adalah:

1. Seorang individu yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, individu yang tinggal di
Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam setahun/12 bulan, dan perusahaan yang tidak
didirikan atau berada di Indonesia, yang mengoperasikan usahanya melalui bentuk usaha
tetap di Indonesia.

2. Seorang individu yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, individu yang tinggal di
Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam setahun/12 bulan, dan perusahaan yang tidak
didirikan atau berada di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan
dari Indonesia tidak melalui menjalankan usaha melalui suatu bentuk usaha tetap di
Indonesia.

Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 26

Subjek pajak pemotong PPh pasal 26 wajib dilakukan oleh:

1. Badan Pemerintah
2. Subjek pajak dalam negeri
3. Penyelenggara kegiatan
4. Bentuk usaha tetap
5. Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya yang melakukan pembayaran kepada Wajib
Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap

17
Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 26

Jenis-jenis penghasilan atau objek pajak yang wajib dipotong Pajak Penghasilan pasal 26
adalah:

1. Deviden;
2. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan
pengembalian utang;
3. Royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
4. Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan ;
5. Hadiah dan penghargaan;
6. Pensiun dan pembayaran berkala lainnya;
7. Premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya;
8. Keuntungan karena pembebasan utang.

Tarif Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 26

Tarif yang dikenakan sesuai dengan persetujuan penghindaran pajak berganda (P3B) antar
negara atau tax treaty, yaitu sebesar 20% untuk setiap pengenaan jenis Pajak Penghasilan pasal
26. Ketentuan dasar pengenaan pajak adalah sebagai berikut:

1. Tarif 20% dari penghasilan bruto;


2. Tarif 20% dari penghasilan neto;
3. Tarif 20% dari peghasilan setelah pajak (penghasilan kena pajak dikurangi dengan pajak
penghasilan).

Dasar Pengenaan Tarif Pajak

1. Dua puluh persen dari jumlah penghasilan bruto yang diterima atau yang diperoleh Wajib
Pajak luar negeri berupa:
a. Deviden;
b. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan
pengembalian utang;
c. Royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
d. Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan ;

18
e. Hadiah dan penghargaan;
f. Pensiun dan pembayaran berkala lainnya;
g. Premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya;
h. Keuntungan karena pembebasan utang.

20% x Penghasilan Bruto atau Tax Treaty (P3B)

2. Dua puluh persen dari perkiraan penghasilan neto adalah:


 Penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta di Indonesia yang diperoleh WP luar
negeri;
 Penjualan saham. Saham yang diperjualbelikan adalah saham dari PT di dalam negeri
dan tidak berstatus sebagai emiten atau perusahaan publik;
20% x Penghasilan Neto
- Perkiraan Neto = 25%
- Tarif Efektif      = 20% x 25% Harga Jual = 5% Harga Jual
 Premi asuransi dan premi reasuransi yang dibayarkan langsung maupun melalui
pialang kepada perusahaan asuransi di luar negeri.
20% x Penghasilan Neto
 50% dari Premi yang dibayarkan oleh pihak yang tertanggung kepada perusahaan
asuransi LN.
Sehingga tarif efektif: 20% x 50% = 10%
 10% dari Premi yang dibayar oleh perusahaan asuransi di Indonesia kepada perusahaan
asuransi LN.
Sehingga tarif efektif: 20% x 10% = 2%
 5% dari Premi yang dibayar oleh perusahaan reasuransi di Indonesia kepada
perusahaan asuransi di LN.
Sehingga tarif efektif: 20% x 5% = 1%

3. 20% persen dari penghasilan setelah pajak (penghasilan kena pajak dikurangi dengan
pajak penghasilan) diterapkan      pada BUT di Indonesia yang penghasilan atau bagian
labanya tidak ditanamkan kembali di Indonesia.
20% x Penghasilan Setelah Pajak

19
 Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan PPh Pasal 26

1. Pajak penghasilan pasal 26 dipotong pada akhir bulan pada saat dilakukannya
pembayaran penghasilan, disediakan untuk dibayarkan penghasilan, atau jatuh temponya
pembayaran penghasilan bersangkutan tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.

2. Pajak Penghasilan pasal 26 saat terutang dipotong pada saat pembayaran, disediakan
untuk dibayarkan (deviden) dan jatuh tempo (bunga dan sewa), atau saat yang ditentukan
dalam kontrak atau perjanjian atau faktur (royalti, imbalan jasa teknik atau jasa
manajemen atau jasa lainnya).

3. Pemotong PPh pasal 26 wajib membuat bukti pemotongan PPh pasal 26 rangkap tiga:
- Lembar pertama untuk Wajib Pajak Luar Negeri
- Lembar kedua untuk kantor pelayanan pajak
- Lembar ketiga untuk arsip pemotong

4. Pembayaran PPh pasal 26 dilakukan oleh pihak pemotong dan disetorkan ke bank
Persepsi atau Kantor Pos yang sudah ditunjuk oleh Kementerian Keuangan dengan
menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP), paling lambat tanggal 10 bulan takwim
berikutnya setelah bulan saat terutangnya pajak.

5. SPT Masa PPh Pasal 26, dengan dilampiri SSP lembar kedua, bukti pemotongan lembar
kedua dan daftar bukti pemotongan disampaikan ke KPP setempat paling lambat 20 hari
setelah Masa Pajak berakhir.

Apabila jatuh tempo penyetoran atau batas akhir pelaporan PPh pasal 26 bertepatan dengan hari
libur, penyetoran atau pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.

Contoh Perhitungan PPh Pasal 26

1. Tarif 20% dari penghasilan Bruto

Contoh : 1.1
Pada Mei 2021 PT ABC membayar royalti kepada alexando yang berkewarganegaraan Amerika
sebagai penulis buku sebesar Rp 85.000.000

20
PPh pasar 26 yang dipotong adalah?
20% x Rp 85.000.000 = Rp 17.000.000

Contoh 1.2
PT Djarum memberikan hadiah perlombaan kepada Lee Tay Wei warga China sebagai juara
tunggal putra bulu tangkis sebesar Rp 150.000.000
PPh pasal 26 yang dipotong adalah?
20% x Rp 150.000.000 = Rp 30.000.00

2. Tarif 20% dari Penghasilan Neto

Contoh 2.1
PT Abadi Jaya mengasuransikan gedungnya kepada perusahaan asuransi luar negeri dengan
membayar premi asuransi selama tahun 2021 sebesar Rp 130.000.000
20% x 50% x Rp 130.000.000 = Rp 13.000.000

Contoh 2.2
PT Rembulan mengasuransikan gedungnya kepada perusahaan asuransi dalam negeri, yaitu
perusahaan asuransi Cempaka Baru dengan membayar premi asuransi sebesar Rp 250.000.000.
Untuk mengurangi risiko Cempaka Baru mengasuransi sebagian polis asuransinya kepada
perusahaan luar negeri dengan premi sebesar Rp 125.000.000
20% x 10% x Rp 125.000.000

3. Tarif 20% dari Penghasilan Setelah Pajak

Contoh 3

Penghasilan Kena Pajak BUT di Indonesia                      Rp 15.500.000.000

Pajak Penghasilan :

22% x Rp 15.500.000.000 (tarif pajak badan 2021)        Rp   3.410.000.000

Penghasilan Kena Pajak setelah pajak                             Rp 12.090.000.000

21
Pajak Penghasilan pasal 26 yang terutang

20% x Rp 12.090.000.000 = Rp 2.418.000.000

Pengecualian Objek Pemotongan PPh Pasal 26

Khusus untuk BUT dikecualikan dari pemotongan apabila penghasilan kena  pajak sesudah
dikurangi pajak penghasilan dari BUT ditanamkan kembali di Indonesia, dengan syarat:

1. Penanaman kembali dilakukan dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan yang
didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri, dan;
2. Penanaman kembali dilakukan pada tahun berjalan atau selambat-lambatnya tahun pajak
berikutnya dari tahun pajak diterima atau diperoleh penghasilan tersebut;
3. Tidak melakukan pengalihan atas penanaman kembali tersebut sekurang-kurangnya
dalam waktu 2 tahun sesudah perusahaan tempat penanaman dilakukan mulai
berproduksi komersial.

2.2.4 P3B (Perjanjian penghindaran pajak berganda) atau Tax Treaty


Pengertian

Dalam dunia perpajakan, Anda pasti pernah mendengar istilah P3B yang merupakan
kepanjangan dari Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda. Istilah ini pun dikenal dengan
nama tax treaty. P3B adalah perjanjian internasional di bidang perpajakan antar kedua
negara yang mengatur pembagian hak pemajakan atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh penduduk salah satu negara atau penduduk kedua negara dalam persetujuan itu.

Pembagian hak tersebut diatur dengan tujuan untuk mencegah seminimal


mungkin terjadinya pengenaan pajak berganda.

Tujuan P3B

Pada prinsipnya, tax treaty ditujukan untuk menentukan alokasi hak pemajakan yang
timbul dari suatu transaksi yang terjadi antara negara sumber (negara tempat sumber
penghasilan berasal) dan negara domisili (negara tempat wajib pajak tinggal atau menetap)

22
(Martin Hearson, 2016). Perlu Anda ketahui, ada lima tujuan perjanjian penghindaran pajak
berganda.

1. Tidak terjadi pemajakan ganda yang memberatkan iklim dunia usaha


Adanya perjanjian penghindaran pajak berganda ini menjadikan pengenaan pajak atas
laba usaha tidak dapat dikenakan di kedua tempat, yaitu negara sumber atau negara
domisili. Jadi, laba usaha dikenakan pajak di tempat mereka berkedudukan. Harapannya,
dunia usaha bisa mendapatkan kepastian hukum karena membayar pajak hanya
dikenakan pada satu kali, yaitu di negara domisili.

2. Peningkatan investasi modal dari luar negeri


Perjanjian penghindaran pajak berganda diharapkan dapat menarik negara luar untuk
menanamkan modalnya di Indonesia. Sebab jika investasi berupa bunga, dividen atau
royalti dikenakan pajak yang tinggi, hal ini akan menimbulkan keraguan pada negara
luar. Tentunya, ini dapat memperlambat pertumbuhan investasi modal di Indonesia dari
luar negeri.

3. Peningkatan sumber daya manusia


Pembebasan pajak atas mahasiswa dan pelatihan karyawan di negara tempat menempuh
pendidikan maupun pelatihan akan meningkatkan kemampuan mereka, menjadikannya
sebagai sumber daya manusia yang lebih kompeten.

4. Pertukaran informasi guna mencegah pengelakan pajak


Pertukaran informasi di sini adalah kedua negara yang terlibat dalam perjanjian
penghindaran pajak berganda dapat mengetahui jika ada penduduk yang tidak memenuhi
kewajiban perpajakan sehingga dapat dideteksi sedini mungkin.
Negara yang terkait dengan P3B dapat melaporkan penghasilan penduduk asing di
negara sumber, misalnya dengan mengirimkan bukti penerimaan penghasilan dari negara
sumber. Informasi penghasilan tersebut seharusnya dilaporkan oleh penerima
penghasilan di negara domisili, dan diperhitungkan kembali di akhir tahun pajak.

23
5. Kedudukan yang setara dalam hal pemajakan antar kedua negara
P3B mengatur adanya pemajakan yang sama dan setara antar kedua negara dengan
prinsip saling menguntungkan serta tidak memberatkan penduduk asing antar kedua
negara dalam menjalankan usaha.

Model P3B

Dalam perpajakan internasional, perjanjian penghindaran pajak berganda ini menjadi


salah satu sumber hukum yang digunakan dalam setiap transaksi. Aspek perpajakannya
ditetapkan berdasarkan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam perjanjian penghindaran pajak
berganda yang bersangkutan sesuai jenis transaksinya.

Setiap negara yang terlibat dapat menyusun tax treaty-nya sendiri berdasarkan model
perjanjian yang diakui secara internasional. Ada dua model utama perjanjian penghindaran pajak
berganda yang digunakan sebagai acuan.

1. Model OECD
OECD merupakan singkatan dari Organization for Economic Cooperation and
Development, dengan anggota yang terdiri dari 26 negara. Perjanjian model OECD ini
disusun dan dikembangkan oleh komite yang dibentuk oleh negara-negara OECD khusus
untuk memecahkan masalah-masalah perpajakan yang dihadapi kumpulan negara
tersebut.
Model OECD dalam tax treaty ini bertujuan untuk meningkatkan perdagangan antara
negara-negara yang menandatangani P3B dengan cara menghilangan pajak berganda
secara Internasional. Pada model ini, hak pemajakan diusahakan lebih banyak pada
negara domisili. Karena itu, perumusan definisi dalam model ini umumnya lebih sempit
ketimbang model tax treaty lainnya.

2. Model UN
Berlatar belakang pergerakan PBB yang mulai memperbarui masalah kepentingan dalam
perjanjian penghindaran pajak berganda akibat tingginya arus modal dari negara maju ke
negara berkembang, Sekjen PBB menerbitkan The United Nations Model Double
Taxation Convention Between Developed and Developing Countries atau dikenal dengan

24
nama Model UN.
Model UN memiliki tujuan tax treaty yang lebih luas, yaitu meningkatkan investasi asing,
serta sebagai alat untuk pertumbuhan ekonomi dan sosial dari negara-negara
berkembang. Berdasarkan tujuan ini, Model UN menginginkan hak pemajakan lebih
banyak di negara berpenghasilan sehingga pada perumusan pasal-pasal, definisinya lebih
luas ketimbang model OECD.

Kedua model ini menjadi acuan yang digunakan oleh negara-negara yang akan
melakukan perjanjian. Indonesia sendiri membentuk dan mengembangkan modelnya
sendiri yang dikenal dengan nama Model Indonesia. Model ini merupakan penggabungan
dan pengembangan dari dua model utama.

Prosedur Penerapan P3B

Untuk menerapkan perjanjian penghindaran pajak berganda ini, ada tahapan dalam
prosedur yang perlu dilalui, di antaranya:

1. Mencari tahu jika subjek pajak, objek pajak, negara, dan ketentuan pemberlakukan
P3B yang dibahas termasuk dalam cakupan atau ruang lingkup dari perjanjian
penghindaran pajak yang bersangkutan.
2. Memastikan definisi penghasilan yang dibahas untuk memastikan penghasilan
tersebut akan masuk dalam ketentuan atau pasal substantif yang tepat.
3. Menentukan pasal substantif yang berlaku. Tahap ini penting karena akan
menentukan negara yang akan menerima hak pemajakan.
4. Menghilangkan dampak pajak berganda jika seandainya dalam pasal-pasal substantif
dalam perjanjian itu, masing-masing negara diberikan hak pemajakan dengan cara
mewajibkan negara domisili untuk memberikan keringanan pajak melalui metode
pembebasan (exemption method) atau metode kredit (credit method) yang diatur
dalam ketentuan domestiknya.
5. Jika masih terdapat perbedaan atau belum terbentuknya kesepakatan antar negara,
tahap terakhir dalam penerapan ini adalah menyelesaikan masalah pajak berganda
melalui prosedur persetujuan bersama atau mutual agreement procedure (MAP).

25
Syarat Memanfaatkan P3B

Berdasarkan PER-10/PJ/2017 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran


Pajak Berganda, pemungut/pemotong pajak dapat memungut/memotong pajak sesuai dengan
ketentuan dalam P3B dengan syarat sebagai berikut:

1. Terdapat perbedaan antara ketentuan yang diatur dalam UU PPh dan ketentuan dalam
perjanjian penghindaran pajak berganda.
Pada umumnya, tarif P3B dibuat lebih kecil daripada tarif aturan domestik. Untuk
memanfaatkan tarif ini, subjek pajak luar negeri (SPLN) harus menunjukkan Surat
Keterangan Domisili (SKD) atau Certificate of Residence.

2. Penerima penghasilan bukan subjek pajak dalam negeri Indonesia.


Jika penerima penghasilan merupakan subjek pajak dalam negeri, akan dikenakan
pemotongan PPh Pasal 21, Pasal 23, atau Pasal 4 ayat 2. Sedangkan menurut undang-
undang yang berlaku, pemotongan PPh untuk subjek pajak luar negeri adalah PPh 26
sebesar 20%. Namun, pemberi penghasilan di Indonesia boleh tidak menggunakan pasal
tersebut, tetapi menggunakan perjanjian penghindaran pajak berganda ini.
Penerima penghasilan merupakan orang pribadi atau badan yang merupakan subjek pajak
dalam negeri dari negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B. Artinya, hanya negara yang
memiliki perjanjian dapat memanfaatkan tarif khusus ini. Negara lain di luar perjanjian
penghindaran pajak dengan Indonesia tidak dapat memanfaatkannya.

3. Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) menyampaikan SKD WPLN yang telah memenuhi
persyaratan administratif dan persyaratan tertentu lainnya.
Untuk memanfaatkan tarif P3B ini, SPLN perlu memperlihatkan SKD yang telah
memenuhi persyaratan lainnya, seperti menggunakan Form DGT. Ini adalah formulir
yang diisi oleh SPLN yang telah menyelesaikan double taxation convention (DTC)
dengan Indonesia. Formulir ini wajib dilengkapi dengan benar dan ditandatangani, serta
disertifikasi oleh pihak berwenang yang sah atau kantor pajak resmi di negara
penerimaan penghasilan sebelum diserahkan ke kustodian Indonesia.

26
Form DGT digunakan sesuai periode yang tercantum pada SKD dan disampaikan
bersamaan dengan penyampaian SPT Masa.

4. Tidak terjadi penyalahgunaan P3B

Ada batasan agar pemanfaatan P3B tidak disalahgunakan oleh WPLN, di antaranya:

a. Substansi ekonomi dalam pendirian entitas atau pelaksanaan transaksi.


b. Bentuk hukum yang sama dengan substansi ekonomi dalam pendirian entitas atau
pelaksanaan transaksi.
c. Kegiatan usaha yang dikelola oleh manajemen sendiri dan manajemen tersebur
mempunyai kewenangan yang cukup untuk melakukan transaksi.
d. Aset tetap dan aset tidak tetap yang cukup serta memadai untuk melaksanakan
kegiatan usaha di negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B selain aset yang
mendatangkan penghasilan dari Indonesia.
e. Penerima penghasilan merupakan beneficial owner dalam hal dipersyaratkan
dalam P3B

Masih menurut peraturan yang sama, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar
WPLN dianggap sebagai beneficial owner. Bagi WPLN orang pribadi, tidak bertindak
sebagai Agen atau Nominee.

Sedangkan Bagi WPLN badan, tidak bertindak sebagai Agen, Nominee, atau Conduit.
Persyaratan WPLN badan ini agar dianggap sebagai beneficial owner adalah:

- Mempunyai kendali untuk menggunakan atau menikmati dana, aset, atau hak
yang mendatangkan penghasilan dari Indonesia
- Penghasilan badan yang digunakan untuk memenuhi kewajiban kepada pihak lain
tidak lebih dari 50%. Penghasilan badan yang dimaksud di sini adalah seluruh
penghasilan WPLN dengan nama dan dalam bentuk apapun serta dari sumber
manapun, sesuai dengan laporan keuangan non-konsolidasi WPLN.
- Menanggung risiko atas aset, modal, atau kewajiban yang dimiliki dan tidak
mempunyai kewajiban (tertulis maupun tidak tertulis) untuk meneruskan sebagian
atau seluruh penghasilan yang diterima dari Indonesia kepada pihak lain.

27
Perjanjian penghindaran pajak berganda, yang umum disingkat menjadi P3B, dan juga
dikenal dengan nama tax treaty, termasuk salah satu sumber hukum yang digunakan dalam
perpajakan internasional. Perjanjian penghindaran pajak berganda ini adalah perjanjian
internasional di bidang perpajakan antar kedua negara yang mengatur pembagian hak
pemajakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh penduduk salah satu negara atau
penduduk kedua negara dalam persetujuan itu.

Secara garis besar, pembagian hak tersebut diatur dengan tujuan untuk mencegah
seminimal mungkin terjadinya pengenaan pajak berganda dan menarik investasi modal asing ke
dalam negeri.

Ada dua model utama P3B yang digunakan sebagai acuan, yaitu Model OECD dan
Model UN. Namun, masing-masing negara mengembangkan sendiri model perjanjian mereka.
Indonesia turut mengembangkan model perjanjian dengan menggabungkan dua model utama,
yang dikenal dengan nama Model Indonesia.

Ada tahapan prosedur yang harus dilakukan untuk menerapkan perjanjian penghindaran
pajak berganda, serta syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menggunakan manfaat tax treaty
ini. Beberapa di antaranya adalah memperlihatkan surat keterangan domisili yang telah
memenuhi persyaratan administrasi, seperti mengisi dan melampirkan form DGT dan
menyampaikannya bersama SPT Masa.

2.2.5 Pengertian Transfer Pricing


Definisi Transfer pricing adalah harga transfer yang ditetapkan oleh Wajib Pajak pada
saat menjual, membeli, atau membagi sumber daya dengan afiliasinya. Praktik transfer pricing
bertujuan untuk melakukan penghindaran pajak (tax avoidance) akan sangat merugikan bagi
penerimaan pajak suatu negara, karena potensi penerimaan pajak yang seharusnya diperoleh
menjadi hilang.

Tujuan Transfer Pricing

Transfer pricing dapat diaplikasikan untuk tiga tujuan yang berbeda. Pertama, dari sisi
hukum perseroan, transfer pricing dapat digunakan sebagai alat untuk meningkatkan efisiensi
dan sinergi antara perusahaan dengan pemegang sahamnya.

28
Kedua, dari sisi akuntansi manajerial, transfer pricing dapat digunakan untuk
memaksimumkan laba suatu perusahaan melalui penentuan harga barang atau jasa oleh suatu
unit organisasi dari suatu perusahaan kepada unit organisasi lainnya dalam perusahaan yang
sama.

Ketiga, dari perspektif perpajakan, transfer pricing adalah suatu kebijakan harga dalam
transaksi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa.

Transfer pricing seringkali dimaknai sebagai suatu yang tidak baik dan bermakna
pejorative karena merupakan pengalihan atas penghasilan kena pajak dari suatu perusahaan
dalam suatu grup perusahaan multinasional ke perusahaan lain, dalam grup perusahaan yang
sama di negara yang memiliki tarif pajak lebih rendah. Hal ini dilakukan untuk mengurangi total
beban pajak dari grup perusahaan multinasional. Praktik ini terjadi di seluruh negara.

Penanganan transfer pricing di Indonesia

Di Indonesia, praktik transfer pricing diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 36


Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh). Secara umum aturan ini menegaskan bahwa
DJP berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan kena pajak bagi Wajib Pajak
yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya, sesuai dengan kewajaran dan
kelaziman usaha.

Kemudian, regulasi turunan tentang transfer pricing juga dituangkan dalam Peraturan
Dirjen Pajak Nomor 32 Tahun 2011. Di dalam aturan ini disebutkan pengertian arm’s length
principle, yaitu harga atau laba atas transaksi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak
mempunyai hubungan istimewa ditentukan oleh kekuatan pasar, sehingga transaksi itu
mencerminkan harga pasar yang wajar.

Regulasi terus diperbaharui dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor


213 Tahun 2016 tentang Jenis Dokumen dan/atau Informasi Tambahan yang Wajib Disimpan
oleh Wajib Pajak yang Melakukan Transaksi dengan Para Pihak yang Mempunyai Hubungan
Istimewa, dan Tata Cara Pengelolaannya.

Direktur Perpajakan Internasional Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Mekar Satria Utama

29
mengatakan, untuk meminimalisasi sengketa transfer pricing diperlukan sinergi pemangku
kepentingan dalam lanskap perpajakan internasional.

“Bagi Wajib Pajak yang mengalami sengketa, selain upaya hukum domestik (keberatan
dan banding), apa bila koreksi transfer pricing berdampak pada afiliasi di luar negeri, Wajib
Pajak juga secara pararel bisa menempuh jalur penyelesaian internasional. Mekanisme ini
diatur dalam Pasal 35 P3B (Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda), yaitu melalui prosedur
persetujuan bersama atau mutual agreement procedure (MAP),” jelas Mekar dalam webinar
bertajuk Implikasi Pandemi Covid-19 Terhadap Dokumentasi Harga Transfer, Potensi, dan
Pencegahan Sengketa yang diselenggarakan oleh TaxPrime beberapa waktu lalu.

Ketentuan proses MAP dalam domestik Indonesia diatur dalam PMK 49/PMK 03/2019
dan PER-16/PJ/2020. Dalam MAP proses penyelesaian sengketa dilaksanakan melalui
konsultasi bilateral antar-pejabat yang berwenang (competent authority) dari dua negara yang
terlibat dalam P3B.

Indonesia juga telah diterapkan skema advance pricing agreement (APA) sebagai solusi
bagi Wajib Pajak untuk mendukung keberlangsungan usaha atau bisnis yang lebih stabil.
Melalui mekanisme APA, Wajib Pajak akan mendapatkan kepastian atas kewajiban
perpajakannya; memitigasi risiko terjadinya sengketa transfer pricing; lower compliance cost
karena pengajuan APA tidak dipungut biaya; hemat waktu; Wajib Pajak akan terhindar dari
sengketa perpajakan yang berkepanjangan.

Bagi DJP, APA memberikan kepastian perlakuan perpajakan atas transaksi afiliasi;
memitigasi risiko terjadinya sengketa transfer pricing; mendorong terciptanya cooperative
compliance; dan alokasi sumber daya yang lebih baik.

2.2.6 Dampak Transfer Pricing terhadap kualitas manajemen


Transfer Pricing adalah suatu kebijakan harga dalam transaksi yang dilakukan oleh
pihakpihak yang mempunyai hubungan istimewa. Namun, transfer pricing sering digunakan
perusahaan multinasional untuk mengurangi total pajak dari grup perusahaan multinasional
tersebut.

30
Penentuan harga transfer (Transfer Pricing) merupakan istilah yang digunakan untuk
menggambarkan semua aspek pengaturan harga antar entitas bisnis terkait, yang biasanya
berlaku untuk transfer harta berwujud dan harta tidak berwujud antar perusahaan (Ngundi,
2012). Pengertian transfer pricing tersebut merupakan pengertian yang netral, namun istilah
transfer pricing sering kali dikonotasikan sebagai sesuatu yang tidak baik dan bermakna
peyoratif, kegiatan transfer pricing yang tidak baik disebut abuse of transfer pricing atau
manipulasi transfer pricing. Mangoting (1999) menjelaskan tujuan dilakukannya transfer pricing
oleh perusahaan, yaitu untuk meningkatkan evaluasi kinerja perusahaan (performance
evaluation), dan untuk penentuan pajak yang optimal (optimal determination of taxes). Seiring
perkembangan skema bisnis Global dan pertumbuhan perusahaan multinasional, transfer pricing
kerap dijadikan Skema yang digunakan perusahaan multinasional untuk meminimalkan pajak
yang Ditanggung, sehingga isu mengenai manipulasi transfer pricing menjadi salah satu Isu inti
dalam perpajakan internasional. Watt dan Zimmerman, 1990 (dalam Januarti, 2004) sebagai
pelopor teori akuntansi positif menyatakan terdapat tiga hipotesis yang bertujuan menjelaskan
dan memprediksi praktik akuntansi yang dilakukan manajer untuk mencapai tujuan perusahaan,
maupun tujuan pribadinya. Hipotesa yang digunakan, antara lain: Hipotesis Rencana Bonus
(The Bonus Plan Hypotesis), Hipotesis Perjanjian Hutang (The Debt Convenat Hypotesis) dan
Hipotesis Biaya Politik (The Political Cost Hypotesis).

Teori tersebut kemudian berkembang dan mencetuskan teori lanjutan, yaitu teori
keagenan. Teori keagenan menjelaskan mengenai paradigma hubungan principal dan agent.

Dua teori tersebut menjelaskan kegiatan transfer pricing yang dilakukan perusahaan
untuk memperkecil pajak sebagai biaya politik perusahaan kepada pemerintah yang berperan
sebagai principal. Perusahaan memanfaatkan perbedaan regulasi pajak antar negara atau
loopholes yang ada di negara lain. Grup perusahaan multinasional cenderung mendirikan anak
perusahaan di negara betarif pajak rendah atau tax haven countries untuk melaporkan laba
sebelum pajak yang lebih tinggi. Sehingga menyebabkan semakin kecil jumlah pajak yang
ditanggung dan memperbesar laba setelah pajak.

Kusumasari, Fadilah dan Sukarmanto (2018) juga meneliti pengaruh pajak terhadap
transfer pricing perusahaan dan menemukan bahwa pajak berpengaruh signifikan terhadap tra-

31
nsfer pricing, hal ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi nilai Cash ETR, maka semakin
tinggi perusahaan melakukan transfer pricing. Hasil yang berbeda dapat dilihat dalam penelitian
Marisa (2017) yang menyatakan untuk meminimalisir pajak yang ditanggung perusahaan,
perusahaan tidak harus melakukan transfer pricing.

Motivasi pajak menjadi salah satu yang mendasari keputusan perusahaan dalam
melakukan skema transfer pricing. Perusahaan besar terutama perusahaan multinasional
cenderung memiliki jumlah pajak yang besar pula, terutama perusahaan yang berada di negara
dengan tarif pajak tinggi. Perusahaan tersebut mencoba mencari cara untuk mengalihkan
labanya, alih-alih tidak membayarkan pajaknya perusahaan mencoba memperkecil labanya agar
pajaknya juga menjadi lebih kecil. Mangoting (1999) menyatakan bahwa dalam lingkup
perusahaan multinasional transfer pricing digunakan untuk meminimalkan pajak dan bea yang
mereka keluarkan di seluruh dunia.

32
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Perencanaan pajak adalah langkah awal dalam manajemen pajak dimana dalam tahap ini

dilakukan pengumpulan dan penelitian terhadap peraturan perpajakan, dengan maksud dapat

diseleksi jenis tindakan penghematan pajak yang dilakukan. manajemen perpajakan (tax

management) adalah usaha menyeluruh yang dilakukan manajer pajak (tax manager) dalam

suatu perusahaan atau organisasi. Sehingga, hal-hal yang bersangkutan dengan perpajakan dari

perusahaan atau organisasi tersebut dapat dikelola dengan baik, efisien dan ekonomis dan

memberi kontribusi maksimal bagi perusahaan. Kepatuhan pajak (tax compliance) dapat

didefinisikan sebagai suatu perilaku di mana Wajib Pajak (WP) memenuhi semua kewajiban

perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya. Moral pajak merupakan sebuah motivasi yang

menyatu pada seseorang dalam mematuhi kewajibannya sebagai wajib pajak. Pajak internasional

didefinisikan sebagai perjanjian antar negara yang memiliki Perjanjian Berdampak Ganda (P3B).

Ketentuan utama perpajakan internasional mengacu pada Konvensi Wina 23 Mei 1969, yang

merupakan perjanjian yang berisi hukum perjanjian antar negara. Ketentuan utama pajak

internasional ini mengacu pada Konvensi Wina..

33
DAFTAR PUSTAKA

Ngundi, Mutua. 2012. Transfer Pricing Management Strategies by Multinational Enterprises


within The Main Investment Segment of The Nairobi Securities Exchange. A Research
Project of The Requirement of The Degree of Master of Business Administration.
University of Nairobi.

https://www.online-pajak.com/tentang-efiling/p3b

https://www.pajak.com/pajak/definisi-transfer-pricing-serta-penanganannya-di-indonesia/

34

Anda mungkin juga menyukai