“Tax Planning, Tax Management, Tax Complience, Tax Morale Dan Pajak Internasional”
Dosen Pengampu :
PROGRAM STUDI
MAGISTER ILMU AKUNTANSI
PASCASARJANA UNIVERSITAS JAMBI
2022/2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya sehingga makalah
dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak terimakasih atas
bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun
pikirannya.
Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi para pembaca, Untuk kedepannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi
makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, kami yakin masih banyak
kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang
membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Kelompok 3
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................................................i
DAFTAR ISI...................................................................................................................................ii
BAB I...............................................................................................................................................1
PENDAHULUAN...........................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang..................................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.............................................................................................................2
BAB II.............................................................................................................................................3
PEMBAHASAN..............................................................................................................................3
2.1 Tax Planning, Tax Management, Tax Complience dan Tax Morale................................3
2.1.1 Tax Planning..............................................................................................................3
Pengertian perencanaan (Tax Planning)...................................................................................3
2.1.2 Tax Management.......................................................................................................6
2.1.3 Tax Complience.........................................................................................................7
2.1.4 Tax Morale.................................................................................................................7
2.1.5 Tax Avoidance...........................................................................................................8
2.1.6 Tax Evasion.............................................................................................................12
2.2 Pajak Internasional..........................................................................................................14
2.2.1 Pengertian pajak internasional.................................................................................14
2.2.2 Pajak penghasilan pasal 24......................................................................................15
2.2.3 Pajak PPh 26............................................................................................................17
2.2.4 P3B (Perjanjian penghindaran pajak berganda) atau Tax Treaty............................22
2.2.5 Pengertian Transfer Pricing.....................................................................................28
2.2.6 Dampak Transfer Pricing terhadap kualitas manajemen.........................................30
BAB III..........................................................................................................................................33
PENUTUP.....................................................................................................................................33
3.1 Kesimpulan..........................................................................................................................33
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................34
ii
BAB I
PENDAHULUAN
investasi, terutama di negara berkembang. Maka sudah menjadi hal yang lumrah bagi negara-
negara maju untuk menanamkan modalnya di negara berkembang, tidak terkecuali Indonesia.
Badan Pusat Statistik Indonesia mencatat Indeks pembangunan teknologi informasi dan
komunikasi Indonesia pada tahun 2015 sebesar 4,83 pada skala 0 sampai 10, meningkat dari
tahun 2014 sebesar 4,59 dari skala 0 sampai 10 dan terus berkembang hingga saat ini.
Dengan semakin bertambah luas dan majunya teknologi, hubungan ekonomi internasional
pun menjadi semakin berkembang, transaksi ekonomi internasional sudah menjadi hal yang
lumrah dan juga memberikan peluang di sektor perpajakan. Karena transaksi tersebut melibatkan
aktivitas antara dua negara atau lebih, maka akan berpotensi besar meningkatkan pendapatan dari
sektor pajak, meskipun demikian, aktivitas ekonomi ini sangat memerlukan peraturan hukum
yang pasti akan aspek-aspek yang dapat menimbulkan permasalahan dikemudian hari. Segala
bentuk peraturan dan permasalahan perpajakan ini termasuk dalam lingkup hukum perpajakan
internasional. Hukum pajak internasional adalah bagian hukum pajak nasional yang terdiri dari
kaidah, baik berupa kaidah-kaidah nasional maupun kaidah yang berasal dari traktat antar negara
dan dari prinsip atau kebiasaan yang telah diterima baik oleh negara-negara di dunia untuk
mengatur soal-soal perpajakan dan dalam mana dapat ditunjukkan adanya unsur-unsur asing,
baik mengenai subjek pajak maupun objek pajak. Faktanya, meskipun telah ada hukum pajak
internasional, dengan sistem perpajakan yang berbeda beda antar negara, dapat menimbulkan
terjadinya pengenaan pajak berganda, yang dapat menimbulkan terjadinya penyelundupan pajak
1
atau penghindaran pajak dengan melakukan kegiatan illegal agar mendapatkan beban pajak yang
minim dengan memanfaatkan berbagai celah yang ada dan terbuka untuk tidak dan atau
mengelak membayar kewajiban pajak di negara sumber penghasilan atau di negara domisili.
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Tax Planning, Tax Management, Tax Complience dan Tax Morale
2. Memperhitungkan dan menyiapkan pembayaran pajak sesuai peraturan yang berlaku agar
tidak timbul sanksi atau denda yang justru memperbeasr pengeluaran pajak. Bukan untuk
mengelak membayar pajak tetapi untuk mengatur agar pajak yang dibayar tidak lebih dari
jumlah yang seharusnya.
3
Tahap Melakukan Tax Planning
Tahap pertama dari perencanaan pajak adalah menganalisis komponen yang berbeda atas
pajak yang terlibat dalam suatu proyek dan menghitung seakurat mungkin beban pajak
yang ditaanggung. Hal ini hanya bisa dilakukan dengan mempertimbangkan masing-
masing elemen dari pajak, baik secara sendiri-sendiri maupun secara total pajak yang
harus dapat dirumuskan sebagai perencanaan pajak yang paling efisien.
Pilih bentuk transaksi operasi atau hubungan internasional. Pada hampir semua sistem
perpajakan internasional, paling tidak ada dua negara yang ditentukan lebih dahulu. Dari
sudut pandang perpajakan, proses perencanaan tidak bisa berada di luar dari tahapan
pemilihan transaksi, operasi, dan hubungan yang paling menguntungkan.
Tax planning sebagai suatu perencanaan yang merupakan bagian kecil dari seluruh
perencanaan strategis perusahaan. Oleh karena itu, perlu dilakukan evaluasi untuk
melihat sejauh mana hasil pelaksanaan suatu perencanaan pajak terhadap beban pajak,
perbedaan laba kotor, dan pengeluaran selain pajak atas berbagai alternatif perencanaan.
Untuk mengatakan bahwa hasil suatu perencanaan pajak baik atau tidak, tentu harus
dievaluasi melalui berbagai rencana yang dibuat. Tindakan perubahaan (up to date
planning) harus tetap dijalankan walaupun diperlukan penambahan biaya atau
kemungkinan keberhasilannya sangat kecil.
Meskipun suatu rencana pajak telah dilaksanakan dan proyek juga telah berjalan, tetap
perlu diperhitungkan setiap perubahan yang terjadi, baik dari undang-undang maupun
4
pelaksanaannya sesuai negara di mana aktivitas tersebut dilakukan yang dapat berdampak
terhadap komponen suatu perjanjian.
Pada umumnya, ada lima strategi yang biasa perusahaan lakukan dalam membuat
perencanaan pajak:
1. Tax Avoidance
2. Tax Saving
Upaya efisiensi beban pajak melalui pemilihan alternatif pengenaan pajak dengan tarif
yang lebih rendah. Contohnya, perusahaan melakukan perubahan pemberian natura
kepada karyawan menjadi tunjangan dalam bentuk uang.
Kebanyakan Wajib Pajak badan kurang mengetahui bahwa mereka dapat mengkreditkan
pajak yang sudah dipotong asalkan tidak menyimpang dari peraturan. Misalnya, Pajak
Penghasilan (PPh) 22 atas pembelian solar dan/atau impor, PPh 23 atas penghasilan jasa
atau sewa, serta pajak fiskal luar negeri atas perjalanan dinas pegawai.
Perusahaan sebagai Wajib Pajak dapat menunda pembayaran Pajak Pertambahan Nilai
(PPn) dengan menunda penerbitan faktur pajak keluaran hingga batas waktu yang
diperkenankan, khususnya untuk penjualan kredit. PPN dapat dibayar pada akhir bulan
berikutnya setelah bulan penyerahan barang.
5
5. Menghindari Pelanggaran atas Peraturan Perpajakan
Wajib Pajak badan harus menguasai peraturan pajak yang berlakuagar terhindar dari
timbulnya sanksi perpajakan berupa sanksi administrasi, seperti denda, bunga, atau
kenaikan, hingga sanksi pidana.
Jika dilihat dari jenisnya, perencanaan pajak dapat dibagi menjadi dua, yakni:
2. International Tax Planning, biasanya dilakukan oleh Wajib Pajak badan yang memiliki
kegiatan usaha di dalam negeri dan di luar negeri. Perencanaan pajak ini dilakukan jika
Wajib Pajak melakukan transaksi tak hanya dengan Wajib Pajak dalam negeri, tetapi juga
dengan Wajib Pajak di luar negeri. Berbeda dengan National Tax Planning, International
Tax Planning harus turut memperhatikan Undang-Undang atau perjanjian pajak (Tax
Treaty) dari negara-negara yang ikut terlibat.
6
Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, perencanaan pajak (tax planning) adalah suatu
alat dan suatu tahap awal dalam manajemen pajak (tax management), yang berfungsi
untuk menampung aspirasi yang berkembang dari sifat dasar manusia. Secara definitive,
manajemen pajak memiliki ruang lingkup yang lebih luas dari sekedar tax
planning. Sebagai manajemen pajak, pastilah hal tersebut tidak terlepas dari konsep
manajemen secara umum yang merupakan upaya-upaya sistematis yang meliputi:
1. Perencanaan (planning)
2. Pengorganisasian (organizing)
4. pengendalian (controlling).
Semua fungsi manajemen tersebut tercakup dalam manajemen pajak. Dengan kata lain,
manajemen perpajakan merupakan segenap upaya untuk mengimplementasikan fungsi-fungsi
manajemen agar pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan berjalan efisien dan efektif. Dalam
melaksanakan fungsi manajemen pajak, perencanaan pajak merupakan tahap pertama dalam
urutan hierarki. Dalam praktik bisnis, istilah tax planning lebih popular dari pada tax
management itu sendiri
Moral pajak merupakan sebuah motivasi yang menyatu pada seseorang dalam mematuhi
kewajibannya sebagai wajib pajak. Hal ini juga mengacu pada rasa kemauan atau insting
seseorang dalam berkontribusi secara sukarela pada negara dengan mematuhi dan membayar
pajak tepat waktu. Singkatnya tax moral merupakan sebuah motivasi seseorang secara sukarela
7
Faktor Yang Mempengaruhi Tax Morale
Sejauh ini, masih banyak wajib pajak yang “enggan” dalam membayar kewajiban pajaknya,
baik pada wajib pajak pribadi maupun badan, hal ini bukan hanya semata-mata kurangnya
pemahaman setiap wajib pajaknya, melainkan beberapa faktor yang mendasari hal tersebut,
diantaranya :
Masih kurangnya kesadaran batin dan hati dalam membayar secara sukarela
Motivasi melakukan pembayar atas dasar takut kena hukuman atau sanksi.
perekonomian global yang kuat, bersih, dan berkeadilan juga mengungkapkan setidaknya 3
Menurut OECD, rendahnya moral pajak pada wajib pajak, terlebih pada situasi saat ini,
akan sangat mempengaruhi tingkat kepatuhan dan perolehan penerimaan pajak semakin
terhambat.
karena tidak melanggar undang'undang, dalam hal ini sama sekalitidak ada suatu pelanggaran
8
hukum yang dilakukan. Tujuan penghindaran pajak adalah menekan atau meminimalisasi jumlah
Tax avoidance merupakan perlawanan aktif yang dilakukan oleh wajib pajak untuk
mengurangi pajak yang mereka bayarkan. Perlawanan terhadap pajak dapat dibedakan menjadi
dua, yaitu perlawanan pasif dan perlawanan aktif (Brotodiharjo, 2013). Perlawanan pasif berupa
hambatan yang mempersulit pemungutan pajak dan mempunyai hubungan erat dengan struktur
ekonomi. Contoh dari pajak pasif misalnya kebiasaan masyarakat desa yang menyimpan uang
dirumah atau dibelikan emas, bukan karena meraka menghindari PPh namun mereka belum
terbiasa dengan perbankan. Perlawanan aktif adalah semua usaha perbuatan secara langsung
ditunjukan kepada pemerintah (fiskus) dengan tujuan untuk menghindari pajaknya baik secara
legal maupun ilegal. Contoh dari perlawanan secara aktif dan legal adalah tax avoidance, dimana
Menurut Pohan (2013), Tax avoidance adalah strategi dan teknik penghindaran pajak
yang dilakukan secara legal dan aman bagi wajib pajak karena tidak bertentangan dengan
ketentuan perpajakan. Menurut konsep yang ada tax avoidance tidak dilarang meskipun
seringkali mendapat sorotan kurang baik karena dianggap memiliki konotasi negatif ataupun
dianggap kurang nasionalis. Tax avoidance dilakukan dengan cara-cara atau strategi perencanaan
pajak dan memanfaatkan celah atau kelemahan ketentuan perpajakan. Contoh saat melakukan tax
avoidance adalah dengan cara mempercepat depresiasi sehingga diperoleh nilai penyusutan yang
besar. Dalam laporan keuangan penyusutan merupakan salah satu komponen yang mengurangi
penghasilan atau laba usaha yang digunakan sebagai dasar perhitungan pajak. Komite urusan
9
fiskal OECD (organization of economic corporation development) menyebutkan ada 3 karakter
penghindaran pajak (Suandy, 2006), yaitu: 1) Unsur artifisial, dimana berbagai pengaturan
seolah-olah terdapat di dalamnya padahal tidak, dan ini dilakukan karena ketiadaan faktor pajak.
ketentuan-ketentuan legal untuk berbagai tujuan, padahal bukan itu yang sebetulnya
dimaksudkan oleh pembuat undang-undang. 3) Kerahasiaan juga sebagai bentuk skema ini,
dimana umumnya para konsultan menunjukan alat atau cara untuk melakukan tax avoidance
Terdapat banyak pengukuran tax avoidance. Hanlon dan heitzman (2010), menyebutkan
terdapat dua belas cara yang dapat digunakan dalam mengukur tax avoidance yaitu pada tabel
berikut :
10
Differential between the
statutory ETR and
firm’s GAAP
ETR
6. DTAX Error term from the following regression: ETR The unexplained
differential x Pre-tax book income= a + b x protion of the
Control + e ETR differential
7. Total BTD Pre-tax book income – ((U.S. CTE + Fgn The total
CTE)/U.S. STR) – (NOLt – NOLt-1)) difference
between book and
taxable income
8. Temporary Deferred tax expense/U.S.STR The total
BTD difference
between book and
taxable income
9. Abnormal Residual from BTD/TAit = βTAit + βmi + eit A measure of
total BTD unexplained total
book-tax
differences
10. Unrecogniz Disclosed amount post-FIN48 Tax liability
ed tax accured for taxes
benefits not yet paid on
uncertain
positions
11. Tax shelter Indicator variable for firms accused of engaging Firms indentified
activity in a tax shelter via firm
disclosure, the
press, or IRS
confidential data
12. Marginal in a tax shelter Present value of
tax rate taxes on an
additional dollar
of income
ETR (effective tax rate) mempunyai 5 jenis pengukuran yakni GAAP ETR, Cash ETR,
Current ETR, Long-turn cash ETR dan ETR Defferential. GAAP ETR menggunakan
perhitungan jumlah total pajak perusahaan, berbeda dengan Current ETR yang hanya
memperhitungkan pajak kini perusahaan. Cash ETR menggunakan jumlah kas yang dibayarkan
untuk pajak dibagi dengan laba sebelum pajak. Cash ETR memiliki kelemahan adanya
penundaan pajak yang dibayarkan yang mengakibatkan kurang tergambarnya pajak tahun yang
11
akan dibayarkan. Pembanding pada Cash ETR berbeda antara kas yang dibayarkan untuk pajak
tahun ini dengan laba sebelum pajak tahun sebelumnya. Long-turn Cash ETR mengukur jumlah
kas yang dibayarkan untuk pajak selama lebih dari 10 tahun dibagi dengan jumlah pendapatan
sebelum pajak untuk periode yang sama. Namun, ukuran ini tidak dapat secara langsung
menggambarkan penghindaran, karena pada periode berjalan ada hal yang tidak terduga yang
mengubah satuan pajaknya. GAAP ETR yang dihitung dengan beban pajak dibagi dengan laba
sebelum pajak. Beban pajak yang digunakan ialah beban pajak kini dan pajak tangguhan, karena
pada beban pajak kini dimungkinkan untuk melakukan pemilihan kebijakan-kebijakan yang
terkait dengan perpajakan dan akuntansi. GAAP ETR digunakan karena dalam penghindaran
pajak tidak hanya bersumber dari pajak penghasilan saja tetapi beban pajak lainya yang
Penggelapan Pajak terjadi sebelum $KP dikeluarkan. 0al ini merupakan pelanggaran terh
adap undang'undang dengan maksud melepaskan diri dari pajak/mengurangi dasar penetapan paj
terdiri dari wajib pajak besar %berasal dari multinational "orporation yang terdiri dari
perusahaan'perusahaan penting nasional& dan wajib pajak ke"il %berasal dari pro(esional bebas
12
Indikator Penggelapan Pajak
yaitu :
Menurut siti Kurnia rahayu (2010:149) yang menyebabkan terjadinya tax evasion yaitu :
1. Kondisi lingkungan
keputusan wajib pajak untuk membayar pajak. hal tersebut disebabkan oleh perasaan wajib pajak
yang merasa dirinya telah memberikan kontribusi pada negara dengan membayar pajak. Jika
pelayanan yang diberikan telah memuaskan wajib pajak, mereka tentunya merasa telah
diapresiasi oleh fiskus. mereka menganggap bahwa kontribusinya telah dihargai meskipun hanya
sekedar dengan pelayanan yang ramah saja.
13
Tapi jika yang dilakukan tidak menunjukkan penghormatan atas usaha wajib pajak, masyarakat
Pemberlakuan tarif pajak mempengaruhi wajib pajak dalam hal pembayaran pajak. Pembebanan
meskipun masih ingin berkelit dari pajak, mereka tidak akan terlalu membangkang terhadap
aturan perpajakan karena harta yang berkurang hanyalah sebagian kecilnya. Dengan pembebanan
tarif yang tinggi, masyarakat semakin serius berusaha untuk terlepas dari
jeratan pajak yang menghantuinya.
Penerapan sistem administrasi pajak mempunyai peranan penting dalam proses pemugutan pajak
suatu negara. Dengan sistem administrasi yang bagus, pengelolaan perpajakan akan berjalan
lancar dan tidak akan terlalu banyak menemui hambatan yang berarti. Sistem yang baik akan
menciptakan manajemen pajak yang profesional, prosedur berlangsung sistematis akan membuat
masyarakat menjadi terbantu karena pengelolaan pajak yang tidak membingungkan dan
transparan.
14
perjanjian antar negara. Ketentuan utama pajak internasional ini mengacu pada Konvensi
Wina.
Menurut Gillian (Brock, 2014) pajak internasional adalah studi atau penentuan pajak atas
seseorang atau bisnis yang tunduk pada undang-undang perpajakan dari berbagai negara atau
aspek internasional dari undang-undang perpajakan suatu negara.
Pasal 2 tentang Subjek Pajak Dalam Negeri (ayat 3), Subjek Pajak Luar Negeri (ayat 4),
dan Bentuk Usaha Tetap (ayat 5).
Pasal 3 mengatur yang dinyatakan bukan subjek pajak.
Pasal 5 mengatur objek pajak Bentuk Usaha Tetap (BUT).
Pasal 15 mengatur norma penghitungan khusus untuk menghitung penghasilan neto
pelayaran, atau penerbangan internasional, dan kantor perwakilan dagang asing (KPDA).
Pasal 18 mengatur perbandingan utang terhadap modal (ayat 1), Controlled Foreign
Company (ayat 2), Hubungan Istimewa (ayat 3, 3D, dan 4), Prosedur Persetujuan
Bersama dan Kesepakatan Harga Transfer (ayat 3A), Special Purpose Company (ayat 3B,
dan 3C).
Pasal 24 tentang kredit pajak luar negeri
Pasal 26 tentang objek pajak dari subjek pajak luar negeri
Pasal 32A tentang kewenangan melakukan tax treaty.
Jika berdasarkan aturannya, PPh Pasal 24 diartikan sebagai peraturan yang mengatur hak
Wajib Pajak untuk memanfaatkan kredit pajak mereka di luar negeri, untuk mengurangi nilai
pajak terutang yang dimiliki di Indonesia.
“Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri, boleh dikreditkan terhadap pajak yang
15
terutang berdasarkan undang-undang ini dalam tahun pajak yang sama,” bunyi Pasal 24 ayat 1
UU Nomor 36 tahun 2008 tentang PPh.
Lebih lanjut pada Pasal 2 UU 36/2008, disebutkan bahwa besarnya kredit pajak adalah
sebesar PPh yang dibayar atau terutang di luar negeri, tetapi tidak boleh melebihi penghitungan
pajak yang terutang berdasarkan aturan UU PPh.
Sebagaimana disebutkan pula dalam UU 36/2008, subjek yang termasuk dalam PPh Pasal
24 adalah Wajib Pajak dalam negeri yang terutang pajak atas seluruh penghasilan—termasuk
penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri. Di sisi lain, yang menjadi objek PPh
Pasal 24 adalah penghasilan yang berasal dari luar negeri.
Perhitungan
Supaya lebih memahami perhitungan PPh Pasal 24, Anda bisa menyimak ilustrasi sederhana
berikut ini:
Di tahun 2022, PT Usaha Maju memperoleh pendapatan neto dari luar negeri sebesar Rp 200 juta
dan penghasilan dalam negeri senilai Rp 300 juta. Sesuai peraturan perpajakan di negara
tersebut, diasumsikan badan usaha ini harus membayar pajak sebesar 15 persen.
Untuk dapat menghitung total pajak terutang yang harus dibayarkan di Indonesia, maka Wajib
Pajak Badan ini harus menjumlahkan total pendapatan neto keseluruhan yang menjadi Rp 500
juta. Selanjutnya, total PPh terutang dapat dihitung dengan cara:
Setelah mendapat total PPh terutang, maka perlu dihitung jumlah pajak maksimum yang dapat
dikreditkan melalui rumus:
16
Berdasarkan ilustrasi perhitungan di atas, maka total pajak yang dapat dikreditkan Wajib Pajak
ini adalah Rp 30.000.000.
1. Seorang individu yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, individu yang tinggal di
Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam setahun/12 bulan, dan perusahaan yang tidak
didirikan atau berada di Indonesia, yang mengoperasikan usahanya melalui bentuk usaha
tetap di Indonesia.
2. Seorang individu yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, individu yang tinggal di
Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam setahun/12 bulan, dan perusahaan yang tidak
didirikan atau berada di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan
dari Indonesia tidak melalui menjalankan usaha melalui suatu bentuk usaha tetap di
Indonesia.
1. Badan Pemerintah
2. Subjek pajak dalam negeri
3. Penyelenggara kegiatan
4. Bentuk usaha tetap
5. Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya yang melakukan pembayaran kepada Wajib
Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap
17
Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 26
Jenis-jenis penghasilan atau objek pajak yang wajib dipotong Pajak Penghasilan pasal 26
adalah:
1. Deviden;
2. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan
pengembalian utang;
3. Royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
4. Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan ;
5. Hadiah dan penghargaan;
6. Pensiun dan pembayaran berkala lainnya;
7. Premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya;
8. Keuntungan karena pembebasan utang.
Tarif yang dikenakan sesuai dengan persetujuan penghindaran pajak berganda (P3B) antar
negara atau tax treaty, yaitu sebesar 20% untuk setiap pengenaan jenis Pajak Penghasilan pasal
26. Ketentuan dasar pengenaan pajak adalah sebagai berikut:
1. Dua puluh persen dari jumlah penghasilan bruto yang diterima atau yang diperoleh Wajib
Pajak luar negeri berupa:
a. Deviden;
b. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan
pengembalian utang;
c. Royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
d. Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan ;
18
e. Hadiah dan penghargaan;
f. Pensiun dan pembayaran berkala lainnya;
g. Premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya;
h. Keuntungan karena pembebasan utang.
3. 20% persen dari penghasilan setelah pajak (penghasilan kena pajak dikurangi dengan
pajak penghasilan) diterapkan pada BUT di Indonesia yang penghasilan atau bagian
labanya tidak ditanamkan kembali di Indonesia.
20% x Penghasilan Setelah Pajak
19
Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan PPh Pasal 26
1. Pajak penghasilan pasal 26 dipotong pada akhir bulan pada saat dilakukannya
pembayaran penghasilan, disediakan untuk dibayarkan penghasilan, atau jatuh temponya
pembayaran penghasilan bersangkutan tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.
2. Pajak Penghasilan pasal 26 saat terutang dipotong pada saat pembayaran, disediakan
untuk dibayarkan (deviden) dan jatuh tempo (bunga dan sewa), atau saat yang ditentukan
dalam kontrak atau perjanjian atau faktur (royalti, imbalan jasa teknik atau jasa
manajemen atau jasa lainnya).
3. Pemotong PPh pasal 26 wajib membuat bukti pemotongan PPh pasal 26 rangkap tiga:
- Lembar pertama untuk Wajib Pajak Luar Negeri
- Lembar kedua untuk kantor pelayanan pajak
- Lembar ketiga untuk arsip pemotong
4. Pembayaran PPh pasal 26 dilakukan oleh pihak pemotong dan disetorkan ke bank
Persepsi atau Kantor Pos yang sudah ditunjuk oleh Kementerian Keuangan dengan
menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP), paling lambat tanggal 10 bulan takwim
berikutnya setelah bulan saat terutangnya pajak.
5. SPT Masa PPh Pasal 26, dengan dilampiri SSP lembar kedua, bukti pemotongan lembar
kedua dan daftar bukti pemotongan disampaikan ke KPP setempat paling lambat 20 hari
setelah Masa Pajak berakhir.
Apabila jatuh tempo penyetoran atau batas akhir pelaporan PPh pasal 26 bertepatan dengan hari
libur, penyetoran atau pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.
Contoh : 1.1
Pada Mei 2021 PT ABC membayar royalti kepada alexando yang berkewarganegaraan Amerika
sebagai penulis buku sebesar Rp 85.000.000
20
PPh pasar 26 yang dipotong adalah?
20% x Rp 85.000.000 = Rp 17.000.000
Contoh 1.2
PT Djarum memberikan hadiah perlombaan kepada Lee Tay Wei warga China sebagai juara
tunggal putra bulu tangkis sebesar Rp 150.000.000
PPh pasal 26 yang dipotong adalah?
20% x Rp 150.000.000 = Rp 30.000.00
Contoh 2.1
PT Abadi Jaya mengasuransikan gedungnya kepada perusahaan asuransi luar negeri dengan
membayar premi asuransi selama tahun 2021 sebesar Rp 130.000.000
20% x 50% x Rp 130.000.000 = Rp 13.000.000
Contoh 2.2
PT Rembulan mengasuransikan gedungnya kepada perusahaan asuransi dalam negeri, yaitu
perusahaan asuransi Cempaka Baru dengan membayar premi asuransi sebesar Rp 250.000.000.
Untuk mengurangi risiko Cempaka Baru mengasuransi sebagian polis asuransinya kepada
perusahaan luar negeri dengan premi sebesar Rp 125.000.000
20% x 10% x Rp 125.000.000
Contoh 3
Pajak Penghasilan :
21
Pajak Penghasilan pasal 26 yang terutang
Khusus untuk BUT dikecualikan dari pemotongan apabila penghasilan kena pajak sesudah
dikurangi pajak penghasilan dari BUT ditanamkan kembali di Indonesia, dengan syarat:
1. Penanaman kembali dilakukan dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan yang
didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri, dan;
2. Penanaman kembali dilakukan pada tahun berjalan atau selambat-lambatnya tahun pajak
berikutnya dari tahun pajak diterima atau diperoleh penghasilan tersebut;
3. Tidak melakukan pengalihan atas penanaman kembali tersebut sekurang-kurangnya
dalam waktu 2 tahun sesudah perusahaan tempat penanaman dilakukan mulai
berproduksi komersial.
Dalam dunia perpajakan, Anda pasti pernah mendengar istilah P3B yang merupakan
kepanjangan dari Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda. Istilah ini pun dikenal dengan
nama tax treaty. P3B adalah perjanjian internasional di bidang perpajakan antar kedua
negara yang mengatur pembagian hak pemajakan atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh penduduk salah satu negara atau penduduk kedua negara dalam persetujuan itu.
Tujuan P3B
Pada prinsipnya, tax treaty ditujukan untuk menentukan alokasi hak pemajakan yang
timbul dari suatu transaksi yang terjadi antara negara sumber (negara tempat sumber
penghasilan berasal) dan negara domisili (negara tempat wajib pajak tinggal atau menetap)
22
(Martin Hearson, 2016). Perlu Anda ketahui, ada lima tujuan perjanjian penghindaran pajak
berganda.
23
5. Kedudukan yang setara dalam hal pemajakan antar kedua negara
P3B mengatur adanya pemajakan yang sama dan setara antar kedua negara dengan
prinsip saling menguntungkan serta tidak memberatkan penduduk asing antar kedua
negara dalam menjalankan usaha.
Model P3B
Setiap negara yang terlibat dapat menyusun tax treaty-nya sendiri berdasarkan model
perjanjian yang diakui secara internasional. Ada dua model utama perjanjian penghindaran pajak
berganda yang digunakan sebagai acuan.
1. Model OECD
OECD merupakan singkatan dari Organization for Economic Cooperation and
Development, dengan anggota yang terdiri dari 26 negara. Perjanjian model OECD ini
disusun dan dikembangkan oleh komite yang dibentuk oleh negara-negara OECD khusus
untuk memecahkan masalah-masalah perpajakan yang dihadapi kumpulan negara
tersebut.
Model OECD dalam tax treaty ini bertujuan untuk meningkatkan perdagangan antara
negara-negara yang menandatangani P3B dengan cara menghilangan pajak berganda
secara Internasional. Pada model ini, hak pemajakan diusahakan lebih banyak pada
negara domisili. Karena itu, perumusan definisi dalam model ini umumnya lebih sempit
ketimbang model tax treaty lainnya.
2. Model UN
Berlatar belakang pergerakan PBB yang mulai memperbarui masalah kepentingan dalam
perjanjian penghindaran pajak berganda akibat tingginya arus modal dari negara maju ke
negara berkembang, Sekjen PBB menerbitkan The United Nations Model Double
Taxation Convention Between Developed and Developing Countries atau dikenal dengan
24
nama Model UN.
Model UN memiliki tujuan tax treaty yang lebih luas, yaitu meningkatkan investasi asing,
serta sebagai alat untuk pertumbuhan ekonomi dan sosial dari negara-negara
berkembang. Berdasarkan tujuan ini, Model UN menginginkan hak pemajakan lebih
banyak di negara berpenghasilan sehingga pada perumusan pasal-pasal, definisinya lebih
luas ketimbang model OECD.
Kedua model ini menjadi acuan yang digunakan oleh negara-negara yang akan
melakukan perjanjian. Indonesia sendiri membentuk dan mengembangkan modelnya
sendiri yang dikenal dengan nama Model Indonesia. Model ini merupakan penggabungan
dan pengembangan dari dua model utama.
Untuk menerapkan perjanjian penghindaran pajak berganda ini, ada tahapan dalam
prosedur yang perlu dilalui, di antaranya:
1. Mencari tahu jika subjek pajak, objek pajak, negara, dan ketentuan pemberlakukan
P3B yang dibahas termasuk dalam cakupan atau ruang lingkup dari perjanjian
penghindaran pajak yang bersangkutan.
2. Memastikan definisi penghasilan yang dibahas untuk memastikan penghasilan
tersebut akan masuk dalam ketentuan atau pasal substantif yang tepat.
3. Menentukan pasal substantif yang berlaku. Tahap ini penting karena akan
menentukan negara yang akan menerima hak pemajakan.
4. Menghilangkan dampak pajak berganda jika seandainya dalam pasal-pasal substantif
dalam perjanjian itu, masing-masing negara diberikan hak pemajakan dengan cara
mewajibkan negara domisili untuk memberikan keringanan pajak melalui metode
pembebasan (exemption method) atau metode kredit (credit method) yang diatur
dalam ketentuan domestiknya.
5. Jika masih terdapat perbedaan atau belum terbentuknya kesepakatan antar negara,
tahap terakhir dalam penerapan ini adalah menyelesaikan masalah pajak berganda
melalui prosedur persetujuan bersama atau mutual agreement procedure (MAP).
25
Syarat Memanfaatkan P3B
1. Terdapat perbedaan antara ketentuan yang diatur dalam UU PPh dan ketentuan dalam
perjanjian penghindaran pajak berganda.
Pada umumnya, tarif P3B dibuat lebih kecil daripada tarif aturan domestik. Untuk
memanfaatkan tarif ini, subjek pajak luar negeri (SPLN) harus menunjukkan Surat
Keterangan Domisili (SKD) atau Certificate of Residence.
3. Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) menyampaikan SKD WPLN yang telah memenuhi
persyaratan administratif dan persyaratan tertentu lainnya.
Untuk memanfaatkan tarif P3B ini, SPLN perlu memperlihatkan SKD yang telah
memenuhi persyaratan lainnya, seperti menggunakan Form DGT. Ini adalah formulir
yang diisi oleh SPLN yang telah menyelesaikan double taxation convention (DTC)
dengan Indonesia. Formulir ini wajib dilengkapi dengan benar dan ditandatangani, serta
disertifikasi oleh pihak berwenang yang sah atau kantor pajak resmi di negara
penerimaan penghasilan sebelum diserahkan ke kustodian Indonesia.
26
Form DGT digunakan sesuai periode yang tercantum pada SKD dan disampaikan
bersamaan dengan penyampaian SPT Masa.
Ada batasan agar pemanfaatan P3B tidak disalahgunakan oleh WPLN, di antaranya:
Masih menurut peraturan yang sama, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar
WPLN dianggap sebagai beneficial owner. Bagi WPLN orang pribadi, tidak bertindak
sebagai Agen atau Nominee.
Sedangkan Bagi WPLN badan, tidak bertindak sebagai Agen, Nominee, atau Conduit.
Persyaratan WPLN badan ini agar dianggap sebagai beneficial owner adalah:
- Mempunyai kendali untuk menggunakan atau menikmati dana, aset, atau hak
yang mendatangkan penghasilan dari Indonesia
- Penghasilan badan yang digunakan untuk memenuhi kewajiban kepada pihak lain
tidak lebih dari 50%. Penghasilan badan yang dimaksud di sini adalah seluruh
penghasilan WPLN dengan nama dan dalam bentuk apapun serta dari sumber
manapun, sesuai dengan laporan keuangan non-konsolidasi WPLN.
- Menanggung risiko atas aset, modal, atau kewajiban yang dimiliki dan tidak
mempunyai kewajiban (tertulis maupun tidak tertulis) untuk meneruskan sebagian
atau seluruh penghasilan yang diterima dari Indonesia kepada pihak lain.
27
Perjanjian penghindaran pajak berganda, yang umum disingkat menjadi P3B, dan juga
dikenal dengan nama tax treaty, termasuk salah satu sumber hukum yang digunakan dalam
perpajakan internasional. Perjanjian penghindaran pajak berganda ini adalah perjanjian
internasional di bidang perpajakan antar kedua negara yang mengatur pembagian hak
pemajakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh penduduk salah satu negara atau
penduduk kedua negara dalam persetujuan itu.
Secara garis besar, pembagian hak tersebut diatur dengan tujuan untuk mencegah
seminimal mungkin terjadinya pengenaan pajak berganda dan menarik investasi modal asing ke
dalam negeri.
Ada dua model utama P3B yang digunakan sebagai acuan, yaitu Model OECD dan
Model UN. Namun, masing-masing negara mengembangkan sendiri model perjanjian mereka.
Indonesia turut mengembangkan model perjanjian dengan menggabungkan dua model utama,
yang dikenal dengan nama Model Indonesia.
Ada tahapan prosedur yang harus dilakukan untuk menerapkan perjanjian penghindaran
pajak berganda, serta syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menggunakan manfaat tax treaty
ini. Beberapa di antaranya adalah memperlihatkan surat keterangan domisili yang telah
memenuhi persyaratan administrasi, seperti mengisi dan melampirkan form DGT dan
menyampaikannya bersama SPT Masa.
Transfer pricing dapat diaplikasikan untuk tiga tujuan yang berbeda. Pertama, dari sisi
hukum perseroan, transfer pricing dapat digunakan sebagai alat untuk meningkatkan efisiensi
dan sinergi antara perusahaan dengan pemegang sahamnya.
28
Kedua, dari sisi akuntansi manajerial, transfer pricing dapat digunakan untuk
memaksimumkan laba suatu perusahaan melalui penentuan harga barang atau jasa oleh suatu
unit organisasi dari suatu perusahaan kepada unit organisasi lainnya dalam perusahaan yang
sama.
Ketiga, dari perspektif perpajakan, transfer pricing adalah suatu kebijakan harga dalam
transaksi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa.
Transfer pricing seringkali dimaknai sebagai suatu yang tidak baik dan bermakna
pejorative karena merupakan pengalihan atas penghasilan kena pajak dari suatu perusahaan
dalam suatu grup perusahaan multinasional ke perusahaan lain, dalam grup perusahaan yang
sama di negara yang memiliki tarif pajak lebih rendah. Hal ini dilakukan untuk mengurangi total
beban pajak dari grup perusahaan multinasional. Praktik ini terjadi di seluruh negara.
Kemudian, regulasi turunan tentang transfer pricing juga dituangkan dalam Peraturan
Dirjen Pajak Nomor 32 Tahun 2011. Di dalam aturan ini disebutkan pengertian arm’s length
principle, yaitu harga atau laba atas transaksi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak
mempunyai hubungan istimewa ditentukan oleh kekuatan pasar, sehingga transaksi itu
mencerminkan harga pasar yang wajar.
Direktur Perpajakan Internasional Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Mekar Satria Utama
29
mengatakan, untuk meminimalisasi sengketa transfer pricing diperlukan sinergi pemangku
kepentingan dalam lanskap perpajakan internasional.
“Bagi Wajib Pajak yang mengalami sengketa, selain upaya hukum domestik (keberatan
dan banding), apa bila koreksi transfer pricing berdampak pada afiliasi di luar negeri, Wajib
Pajak juga secara pararel bisa menempuh jalur penyelesaian internasional. Mekanisme ini
diatur dalam Pasal 35 P3B (Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda), yaitu melalui prosedur
persetujuan bersama atau mutual agreement procedure (MAP),” jelas Mekar dalam webinar
bertajuk Implikasi Pandemi Covid-19 Terhadap Dokumentasi Harga Transfer, Potensi, dan
Pencegahan Sengketa yang diselenggarakan oleh TaxPrime beberapa waktu lalu.
Ketentuan proses MAP dalam domestik Indonesia diatur dalam PMK 49/PMK 03/2019
dan PER-16/PJ/2020. Dalam MAP proses penyelesaian sengketa dilaksanakan melalui
konsultasi bilateral antar-pejabat yang berwenang (competent authority) dari dua negara yang
terlibat dalam P3B.
Indonesia juga telah diterapkan skema advance pricing agreement (APA) sebagai solusi
bagi Wajib Pajak untuk mendukung keberlangsungan usaha atau bisnis yang lebih stabil.
Melalui mekanisme APA, Wajib Pajak akan mendapatkan kepastian atas kewajiban
perpajakannya; memitigasi risiko terjadinya sengketa transfer pricing; lower compliance cost
karena pengajuan APA tidak dipungut biaya; hemat waktu; Wajib Pajak akan terhindar dari
sengketa perpajakan yang berkepanjangan.
Bagi DJP, APA memberikan kepastian perlakuan perpajakan atas transaksi afiliasi;
memitigasi risiko terjadinya sengketa transfer pricing; mendorong terciptanya cooperative
compliance; dan alokasi sumber daya yang lebih baik.
30
Penentuan harga transfer (Transfer Pricing) merupakan istilah yang digunakan untuk
menggambarkan semua aspek pengaturan harga antar entitas bisnis terkait, yang biasanya
berlaku untuk transfer harta berwujud dan harta tidak berwujud antar perusahaan (Ngundi,
2012). Pengertian transfer pricing tersebut merupakan pengertian yang netral, namun istilah
transfer pricing sering kali dikonotasikan sebagai sesuatu yang tidak baik dan bermakna
peyoratif, kegiatan transfer pricing yang tidak baik disebut abuse of transfer pricing atau
manipulasi transfer pricing. Mangoting (1999) menjelaskan tujuan dilakukannya transfer pricing
oleh perusahaan, yaitu untuk meningkatkan evaluasi kinerja perusahaan (performance
evaluation), dan untuk penentuan pajak yang optimal (optimal determination of taxes). Seiring
perkembangan skema bisnis Global dan pertumbuhan perusahaan multinasional, transfer pricing
kerap dijadikan Skema yang digunakan perusahaan multinasional untuk meminimalkan pajak
yang Ditanggung, sehingga isu mengenai manipulasi transfer pricing menjadi salah satu Isu inti
dalam perpajakan internasional. Watt dan Zimmerman, 1990 (dalam Januarti, 2004) sebagai
pelopor teori akuntansi positif menyatakan terdapat tiga hipotesis yang bertujuan menjelaskan
dan memprediksi praktik akuntansi yang dilakukan manajer untuk mencapai tujuan perusahaan,
maupun tujuan pribadinya. Hipotesa yang digunakan, antara lain: Hipotesis Rencana Bonus
(The Bonus Plan Hypotesis), Hipotesis Perjanjian Hutang (The Debt Convenat Hypotesis) dan
Hipotesis Biaya Politik (The Political Cost Hypotesis).
Teori tersebut kemudian berkembang dan mencetuskan teori lanjutan, yaitu teori
keagenan. Teori keagenan menjelaskan mengenai paradigma hubungan principal dan agent.
Dua teori tersebut menjelaskan kegiatan transfer pricing yang dilakukan perusahaan
untuk memperkecil pajak sebagai biaya politik perusahaan kepada pemerintah yang berperan
sebagai principal. Perusahaan memanfaatkan perbedaan regulasi pajak antar negara atau
loopholes yang ada di negara lain. Grup perusahaan multinasional cenderung mendirikan anak
perusahaan di negara betarif pajak rendah atau tax haven countries untuk melaporkan laba
sebelum pajak yang lebih tinggi. Sehingga menyebabkan semakin kecil jumlah pajak yang
ditanggung dan memperbesar laba setelah pajak.
Kusumasari, Fadilah dan Sukarmanto (2018) juga meneliti pengaruh pajak terhadap
transfer pricing perusahaan dan menemukan bahwa pajak berpengaruh signifikan terhadap tra-
31
nsfer pricing, hal ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi nilai Cash ETR, maka semakin
tinggi perusahaan melakukan transfer pricing. Hasil yang berbeda dapat dilihat dalam penelitian
Marisa (2017) yang menyatakan untuk meminimalisir pajak yang ditanggung perusahaan,
perusahaan tidak harus melakukan transfer pricing.
Motivasi pajak menjadi salah satu yang mendasari keputusan perusahaan dalam
melakukan skema transfer pricing. Perusahaan besar terutama perusahaan multinasional
cenderung memiliki jumlah pajak yang besar pula, terutama perusahaan yang berada di negara
dengan tarif pajak tinggi. Perusahaan tersebut mencoba mencari cara untuk mengalihkan
labanya, alih-alih tidak membayarkan pajaknya perusahaan mencoba memperkecil labanya agar
pajaknya juga menjadi lebih kecil. Mangoting (1999) menyatakan bahwa dalam lingkup
perusahaan multinasional transfer pricing digunakan untuk meminimalkan pajak dan bea yang
mereka keluarkan di seluruh dunia.
32
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Perencanaan pajak adalah langkah awal dalam manajemen pajak dimana dalam tahap ini
dilakukan pengumpulan dan penelitian terhadap peraturan perpajakan, dengan maksud dapat
diseleksi jenis tindakan penghematan pajak yang dilakukan. manajemen perpajakan (tax
management) adalah usaha menyeluruh yang dilakukan manajer pajak (tax manager) dalam
suatu perusahaan atau organisasi. Sehingga, hal-hal yang bersangkutan dengan perpajakan dari
perusahaan atau organisasi tersebut dapat dikelola dengan baik, efisien dan ekonomis dan
memberi kontribusi maksimal bagi perusahaan. Kepatuhan pajak (tax compliance) dapat
didefinisikan sebagai suatu perilaku di mana Wajib Pajak (WP) memenuhi semua kewajiban
perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya. Moral pajak merupakan sebuah motivasi yang
menyatu pada seseorang dalam mematuhi kewajibannya sebagai wajib pajak. Pajak internasional
didefinisikan sebagai perjanjian antar negara yang memiliki Perjanjian Berdampak Ganda (P3B).
Ketentuan utama perpajakan internasional mengacu pada Konvensi Wina 23 Mei 1969, yang
merupakan perjanjian yang berisi hukum perjanjian antar negara. Ketentuan utama pajak
33
DAFTAR PUSTAKA
https://www.online-pajak.com/tentang-efiling/p3b
https://www.pajak.com/pajak/definisi-transfer-pricing-serta-penanganannya-di-indonesia/
34