Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH MANAJEMEN PERPAJAKAN

TENTANG

TAX PLANNING DALAM PENERAPAN TAX TREATY

DISUSUN OLEH:

MARGARETHA A. LOISA SINAGULA (2017017042)

KHOIRUNNISA’ SEPTIROHMAWATI (2017017043)

BONEFENTURA SOA (2017017050)

ASTUTI LETEK OLA (2017017058)

DEVI CAHYANINGRUM (2017017079)

PROGRAM STUDI AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI

i
UNIVERSITAS SARJANAWIYATA TAMANSISWA

2020

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
nikmat dan dan hidayah-Nya terutama nikmat kesempatan dan kesehatan sehingga
penulis bisa menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya
tentunya kami tidak akan sanggup menyelesaikan makalah ini dengan baik. Makalah ini
dibuat dengan maksud untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Manajemen
Perpajakan.

Dalam penulisan makalah ini kami selaku penulis menyampaikan ucapan terima
kasih yang tak terhingga kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan
makalah ini, khusunya kepada

1. Bapak Adia Adi Prabowo., M.Acc., Ak., CA selaku dosen mata kuliah
Manajemen Perpajakan yang telah memberikan tugas dan petunjuk kepada
penulis, sehinga dapat menyelesaikan makalah ini.
2. Teman-teman kelompok yang telah menyumbangkan tenaga serta pikirannya
dalam penulisan makalah ini.

Penulis menyadari dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, penulis mohon saran dan kritiknya yang bersifat membangun untuk
menyempurnakan makalah ini dengan harapan untuk memperbaiki kualitas makalah ini.

Demikian makalah ini penulis susun, apabila ada kata-kata yang kurang
berkenan dan banyak terdapat kekurangan penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

ii
Yogyakarta, Maret 2020

Penulis

iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................i
KATA PENGANTAR......................................................................................ii
DAFTAR ISI....................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang......................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.................................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan...................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tax Planning....................................................................................3
2.1.1 Pengertian Tax Planning.........................................................3
2.1.2 Tujuan Tax Planning...............................................................3
2.1.3 Jenis-Jenis Tax Planning.........................................................4
2.2 Tax Treaty........................................................................................5
BAB III PEMBAHASAN
3.1 Definisi Tax Treaty..........................................................................8
3.2 Tujuan Tax Treaty............................................................................8
3.3 Modal Tax Treaty.............................................................................9
3.4 Bagian-bagian Dalam Tax Treaty....................................................10
3.4.1 Cakupan Tax Treaty................................................................10
3.4.2 Minimalisasi Pemajakan Berganda.........................................12
3.4.3 Pencegahan Penghindaran Pajak.............................................15
3.4.4 Ketentuan Lain-Lain...............................................................16
3.5 Pengaruh Tax Treaty terhadap Arus Investasi.................................17
3.6 Pengaruh Tax Treaty terhadap Arus Investasi Antara
Indonesia denganNegara-Negara Mitra...........................................19
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan..........................................................................................21
4.2 Saran....................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perencanaan pajak (Tax Planning) merupakan langkah awal dalam manajemen
laba. Pada tahap ini dilakukaan pengumpulan dan penelitian terhadap peraturan
perpajakan agar dapat diseleksi jenis tindakan pengehematan pajak yang akan
dilakukan. Strategi pengehmatan pajak disusun pada saat perencanaan. Perencanaan
pajak merupakan upaya legal yang bisa dilakukan wajib pajak. Tindakan tersebut
legal karena penghematan pajak dilakukan dengan memanfaatkan hal-hal yang
tidak diatur (loophles). Secara umum perencanaan pajak (Tax Planning)
didefinisikan sebagai proses mengorganisasikan usaha wajib pajak atau kelompok
wajib pajak sehingga hutang pajaknya baik pajak penghasilan maupun pajak-pajak
lainya dapat ditekan seminimal mungkin, sepanjang hal ini dimungkinkan oleh
ketentuan peraturan undang-undang yang berlaku.
Inbound investment adalah investasi yang pembiayaanya bersal dari luar negri.
Semakin berkembangnya prusahaan di Indonesia tentunya membutuhkan banyak
modal untuk mencapai tujuan perusahaan, salah satunya mencari laba sebanyak-
banyaknya.
P3B Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (Tax Treaty) adalah perjanjian
yang dilakukan oleh dua atau lebih Negara atau yursidiksi pajak yang mengatur
perlakuan pajak penghasilan atas penghasilan yang diterima oleh wajib pajak dalam
negri dari dua atau lebih negara atau yurisdiksi pajak yang berbeda. Ada lima
tujuan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda yaitu tidak terjadi pemajakan
berganda, peningkatan investasi modal dari luar negri, peningkatan sumber daya,
pertukaran informasi guna mencegah pengelakan pajak, kedudukan yang setara
dalam hal perpajakan antar kedua negara. Ada dua model utama Perjanjian
Penghindaran Pajak Berganda yang digunakan sebagai acuan yaitu model OECD
dan model UN. Cakupan Tax Treaty antara lain personal scope, taxes covered,
residence, permanent establishment, entry into force, termination. Meminimalisi

1
pajak berganda dalam Tax Treaty antara lain income, from immovable property,
bussines profits, shipping, inland waterways transport and air transport, devidens,
royalties, capital gains, independent personal services, dependent personal services,
directors’ fees, pensions, government services dan dida Tax Treaty juga mengatur
pencegahan penghindaran pajak antara lain associated enterprises, exchange of
information. Adanya Tax Treaty itu sendiri memiliki pengaruh terhadap arus
investasi dan arus investasi antara Indonesia dengan negara-negara mitra
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah definisi Tax Treaty ?
2. Apakah tujuan dari Tax Treaty ?
3. Model apa yang digunakan dalam Tax Treaty ?
4. Bagian apa saja yang mencakup Tax Treaty ?
5. Bagaimana pengaruh Tax Treaty terhadap arus investasi ?
6. Bagaimana pengaruh Tax Treaty terhadap arus investasi antara Indonesia
dengan negara-negara mitra ?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui definisi Tax Treaty
2. Untuk mengetahui tujuan Tax Treaty
3. Untuk mengetahui modela yang digunakan dalam Tax Treaty
4. Untuk mengetahui cakupan Tax Treaty
5. Untuk mengetahui pengaruh Tax Treaty terhadap arus investasi
6. Untuk mengetahui pengaruh Tax Treaty terhadap arus investasi antar Indonesia
dengan negara-negara mitra

2
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tax Planning


2.1.1 Pengertian tax planning
Tax Planning adalah suatu cara yang dapat dilakukan atau direncanakan oleh
Wajib Pajak agar pajak yang menjadi tanggungannya menjadi minimal atau
kecil tanpa melanggar peraturan perpajakan yang berlaku atau bisa juga
disebut sebagai cara menghindari pajak tanpa melanggar peraturan
perpajakan yang berlaku.
Tax Planning dilakukan oleh suatu perusahaan karena bagi perusahaan pajak
merupakan beban atau biaya yang akan mengurangi pendapatan bersih
perusahaan. Sehingga perusahaan akan berusaha mengecilkan atau
menghindari pajak yang harus dibayar. Namun demikian agar tidak
bermasalah dengan hukum, maka tindakan yang harus dilakukan oleh
perusahaan dalam menghindari atau mengecilkan pajak tidak boleh
melanggar peraturan perpajakan yang berlaku.
2.1.2 Tujuan Tax Planning
a. Agar perhitungan pajak atau pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak
tepat dan sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku sehingga
apabila dilakukan penelitian atau pemeriksaan oleh kantor pajak tidak ada
pajak yang harus dibayar lagi dan tidak menimbulkan sanksi perpajakan
bagi wajib pajak.
b. Agar Pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak menjadi lebih kecil, maka
dilakukan dengan cara memanfaatkan celah yang ada dalam peraturan
perpajakan tanpa melanggar peraturan perpajakan yang ada.

Untuk merealisasikan tax planning yang tidak melanggar peraturan


perpajakan, maka perlu pemahaman tentang peraturan perpajakan itu sendiri,
karena peraturan perpajakan yang membuat manusia maka dimungkinkan

3
adanya celah dalam peraturan yang dapat dimanfaatkan oleh wajib pajak
untuk menghindari pajak tanpa melanggar undang-undang.

2.1.3 Jenis – jenis Tax Planning


a. National Tax Planning
Tax Planning yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang mempunyai kegiatan
usaha di Indonesia saja atau Wajib Pajak yang mempunyai transaksi
dengan Wajib Pajak dalam negeri saja.
Tax Planing dilakukan dengan mempelajari peraturan perpajakan yang
berlaku di Indonesia, yaitu antara lain :
 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang KUP dan peraturan
pelaksanaannya.
 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang PPh dan peraturan
pelaksanaannya.
 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang PPN dan PPnBM
serta peraturan pelaksanaannya.
b. Internasional Tax Planning
Tax Planning yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang mempunyai kegiatan
usaha di Indonesia dan di Luar Negeri. Sehingga Wajib Pajak ini selain
melakukan transaksi dengan Wajib Pajak dalam negeri juga melakukan
transaksi dengan Wajib Pajak Luar Negeri dan Perusahaan yang
berkedudukan di Luar Indonesia.
Tax Planing dilakukan dengan mempelajari peraturan perpajakan yang
berlaku di Indonesia dan Tax Treaty atau P3B (Persetujuan Penghindaran
Pajak Berganda) yang berlaku antara Indonesia dengan Negara dimana
lawan transaksi tersebut berada, yaitu antara lain :
 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang KUP dan peraturan
pelaksanaannya.
 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang PPh dan peraturan
pelaksanaannya.

4
 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang PPN dan PPnBM
serta peraturan pelaksanaannya.
 Tax Treaty atau P3B (Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda).
2.2 Tax Treaty
Tax treaty adalah perjanjian perpajakan antara dua negara yang dibuat dalam
rangka meminimalisir pemajakan berganda dan berbagai usaha penghindaran
pajak. Perjanjian ini digunakan oleh penduduk dua negara untuk menentukan
aspek perpajakan yang timbul dari suatu transaksi di antara mereka. Penentuan
aspek perpajakan tersebut dilakukan berdasarkan klausul-klausul yang terdapat
dalam tax treaty yang bersangkutan sesuai jenis transaksi yang sedang dihadapi.
Martin Hearson (2016) menyatakan pada prinsipnya tax treaty ditujukan untuk
menentukan alokasi hak pemajakan yang timbul dari suatu transaksi yang terjadi
di antara negara sumber dan negara domisili. Pengertian dari negara sumber
adalah negara tempat sumber penghasilan berasal, sedangkan negara domisili
adalah negara tempat wajib pajak berdomisili. Secara sederhana,
perjanjian pajak internasional ini memiliki peran untuk mengatur batasan
penerapan ketentuan pajak domestik masing-masing negara berdasarkan hukum
kebiasaan internasional dan tax treaty yang telah ditetapkan.
Sebagai suatu perjanjian, sebuah treaty adalah kontrak yang mengikat
suatu negara dengan negara lain dalam hal perlakuan perpajakan. Oleh sebab itu,
di dalamnya selalu berisi klausul-klausul, pasal-pasal dan ayat-ayat yang
berkaitan dengan suatu aspek transaksi dan pihak tertentu tertentu. Pasal-pasal
atau ayat-ayat yang terdapat dalam sebuah tax treaty pada dasarnya dapat
dikelompokkan menjadi empat bagian besar yaitu bagian yang mengungkapkan
cakupan tax treaty, bagian yang mengatur minimalisasi pengenaan pajak
berganda, bagian tentang pencegahan penghindaran pajak dan bagian yang
mencakup hal-hal lainnya.
Sementara itu, Vienna Convention on the Law of Treaties
mendefinisikan ‘treaty’ sebagai perjanjian internasional yang ditetapkan

5
antarnegara dalam bentuk tertulis dan diatur dalam hukum internasional, baik
yang berwujud instrumen tunggal atau lebih dalam desain spesifik. Tax
treaty digunakan sebagai salah satu sumber hukum dalam perpajakan
internasional selain dari peraturan perpajakan domestik. Penentuan aspek
perpajakan tersebut dilakukan berdasarkan klausul-klausul yang terdapat
dalam tax treaty yang bersangkutan sesuai jenis transaksi yang sedang dihadapi.
Setiap tax treaty mempunyai prinsip-prinsip dasar yang hampir sama
sebagai bagian dari konvensi internasional, di mana setiap negara yang terlibat
dapat menyusun tax treaty-nya masing-masing berdasarkan model-model
perjanjian yang diakui secara internasional. Saat ini, terdapat dua
model treaty yang sering dijadikan acuan yaitu OECD Model dan UN Model.
Tax treaty merupakan perjanjian yang bersifat lex specialis terhadap
ketentuan PPh (lex generalis). Artinya, kedudukan P3B berada di atas ketentuan
PPh. Kendati demikian, perlu diketahui bahwa tax treaty ini tidak memberikan
hak pemajakan baru kepada negara yang mengadakan tax treaty. Tax treaty akan
dianggap sebagai sumber hukum suatu negara apabila telah melalui proses
ratifikasi atau pengesahan. Di banyak negara, proses ratifikasi tax treaty harus
melalui persetujuan lembaga perwakilan rakyat atau parlemen. Kemudian
apabila tax treaty tersebut telah diratifikasi maka harus diberitahukan kepada
negara mitranya. Adapun, objek pajak yang tercantum dalam tax treaty pada
umumnya terdiri atas 15 jenis penghasilan, yaitu:
a. Penghasilan dari harta tetap atau barang tak bergerak.
b. Penghasilan dari usaha.
c. Penghasilan dari usaha perkapalan atau angkutan udara.
d. Dividen
e. Bunga
f. Royalti
g. Keuntungan dari penjualan harta
h. Penghasilan dari pekerjaan bebas
i. Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja

6
j. Gaji untuk direktur
k. Penghasilan seniman, artis dan atlet
l. Uang pensiun dan jaminan sosial tenaga kerja
m. Penghasilan pejabat pemerintah
n. Penghasilan pelajar dan peserta pelatihan
o. Penghasilan lain-lain

7
BAB III

PEMBAHASAN

3.1. Definisi Tax Treaty


P3B yang merupakan kepanjangan dari Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda
adalah perjanjian internasional di bidang perpajakan antar kedua negara yang
mengatur pembagian hak pemajakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh
penduduk salah satu negara atau penduduk kedua negara dalam persetujuan itu.
Istilah lain pun dikenal dengan nama tax treaty. Pembagian hak tersebut diatur
dengan tujuan untuk mencegah seminimal mungkin terjadinya pengenaan pajak
berganda
3.2. Tujuan Tax Treaty
Pada prinsipnya, tax treaty ditujukan untuk menentukan alokasi hak pemajakan
yang timbul dari suatu transaksi yang terjadi antara negara sumber (negara tempat
sumber penghasilan berasal) dan negara domisili (negara tempat wajib pajak tinggal
atau menetap) (Martin Hearson, 2016). Terdapat 5 (lima) tujuan perjanjian
penghindaran pajak berganda, antara lain :
a. Tidak terjadi pemajakan berganda yang memberatkan iklim dunia usaha
Adanya perjanjian penghindaran pajak berganda ini menjadikan pengenaan
pajak atas laba usaha tidak dapat dikenakan di kedua tempat, yaitu negara
sumber atau negara domisili. Jadi, laba usaha dikenakan pajak di tempat mereka
berkedudukan. Harapannya, dunia usaha bisa mendapatkan kepastian hukum
karena membayar pajak hanya dikenakan pada satu kali, yaitu di negara
domisili.
b. Peningkatan investasi modal dari luar negeri
Perjanjian penghindaran pajak berganda diharapkan dapat menarik negara luar
untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Sebab jika investasi berupa bunga,
dividen atau royalti dikenakan pajak yang tinggi, hal ini akan menimbulkan
keraguan pada negara luar. Tentunya, ini dapat memperlambat pertumbuhan
investasi modal di Indonesia dari luar negeri.

8
c. Peningkatan sumber daya manusia
Pembebasan pajak atas mahasiswa dan pelatihan karyawan di negara tempat
menempuh pendidikan maupun pelatihan akan meningkatkan kemampuan
mereka, menjadikannya sebagai sumber daya manusia yang lebih kompeten.
d. Pertukaran informasi guna mencegah pengelakan pajak
Pertukaran informasi di sini adalah kedua negara yang terlibat dalam perjanjian
penghindaran pajak berganda dapat mengetahui jika ada penduduk yang tidak
memenuhi kewajiban perpajakan sehingga dapat dideteksi sedini mungkin.
Negara yang terkait dengan P3B dapat melaporkan penghasilan penduduk asing
di negara sumber, misalnya dengan mengirimkan bukti penerimaan penghasilan
dari negara sumber. Informasi penghasilan tersebut seharusnya dilaporkan oleh
penerima penghasilan di negara domisili, dan diperhitungkan kembali di akhir
tahun pajak.
e. Kedudukan yang setara dalam hal pemajakan antar kedua negara
P3B mengatur adanya pemajakan yang sama dan setara antar kedua negara
dengan prinsip saling menguntungkan serta tidak memberatkan penduduk asing
antar kedua negara dalam menjalankan usaha.
3.3. Model Tax Treaty
Dalam perpajakan internasional, perjanjian penghindaran pajak berganda ini
menjadi salah satu sumber hukum yang digunakan dalam setiap transaksi. Aspek
perpajakannya ditetapkan berdasarkan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam
perjanjian penghindaran pajak berganda yang bersangkutan sesuai jenis
transaksinya. Setiap negara yang terlibat dapat menyusun tax treaty-nya sendiri
berdasarkan model perjanjian yang diakui secara internasional. Ada dua model
utama perjanjian penghindaran pajak berganda yang digunakan sebagai acuan.
a. Model OECD
OECD merupakan singkatan dari Organization for Economic Cooperation and
Development, dengan anggota yang terdiri dari 26 negara. Perjanjian model
OECD ini disusun dan dikembangkan oleh komite yang dibentuk oleh negara-

9
negara OECD khusus untuk memecahkan masalah-masalah perpajakan yang
dihadapi kumpulan negara tersebut.
Model OECD dalam tax treaty ini bertujuan untuk meningkatkan perdagangan
antara negara-negara yang menandatangani P3B dengan cara menghilangan
pajak berganda secara Internasional. Pada model ini, hak pemajakan diusahakan
lebih banyak pada negara domisili. Karena itu, perumusan definisi dalam model
ini umumnya lebih sempit ketimbang model tax treaty lainnya.
b. Model UN
Berlatar belakang pergerakan PBB yang mulai memperbarui masalah
kepentingan dalam perjanjian penghindaran pajak berganda akibat tingginya
arus modal dari negara maju ke negara berkembang, Sekjen PBB menerbitkan
The United Nations Model Double Taxation Convention Between Developed
and Developing Countries atau dikenal dengan nama Model UN.
Model UN memiliki tujuan tax treaty yang lebih luas, yaitu meningkatkan
investasi asing, serta sebagai alat untuk pertumbuhan ekonomi dan sosial dari
negara-negara berkembang. Berdasarkan tujuan ini, Model UN menginginkan
hak pemajakan lebih banyak di negara berpenghasilan sehingga pada
perumusan pasal-pasal, definisinya lebih luas ketimbang model OECD.
Kedua model ini menjadi acuan yang digunakan oleh negara-negara yang akan
melakukan perjanjian. Indonesia sendiri membentuk dan mengembangkan
modelnya sendiri yang dikenal dengan nama Model Indonesia. Model ini
merupakan penggabungan dan pengembangan dari dua model utama.
3.4. Bagian – bagian dalam tax treaty
3.4.1 Cakupan tax treaty
a. Personal Scope
Pasal dan ayat ini mengatur tentang kepada siapa sajakah ketentuan dalam
treaty yang bersangkutan bisa diterapkan. Di sini diatur ketentuan tentang
siapa saja yang merupakan orang pribadi, badan usaha dan entitas lainnya
yang berdasarkan treaty tersebut dianggap sebagai penduduk dari salah
satu negara yang terikat perjanjian termasuk di dalamnya orang pribadi,

10
badan atau entitas lainnya yang dianggap sebagai penduduk dengan status
kependudukan ganda (double residence).
b. Taxes Covered
Di sini diatur tentang jenis-jenis pajak yang perlakuannya menggunakan
ketentuan dalam tax treaty yang Di sini diatur tentang jenis-jenis pajak
yang perlakuannya menggunakan ketentuan dalam tax treaty yang
bersangkutan. Jenis pajak yang diatur di sini akan mengikuti ketentuan
sesuai tax treaty dan mengabaikan ketentuan internal yang berlaku di
masing-masing negara. Dalam beberapa hal, ketentuan suatu tax treaty
memiliki kekuatan yang berada di atas sistem perundang-undangan yang
berlaku secara internal di dalam suatu negara. Aturan dalam tax treaty
hanya diberlakukan untuk jenis pajak langsung seperti Pajak Penghasilan
(PPh). Atas pajak tidak langsung seperti Pajak Pertambahan Nilai atau
pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah tidak diatur dalam tax treaty.
c. Residence
Di sini diatur tentang dua hal yaitu definisi penduduk (berkaitan dengan
personal scope) serta tie breaker rule yaitu ketentuan yang menentukan
tidak berlakunya status residence atas suatu pihak dengan karakteristik
tertentu. Penduduk adalah Subjek Pajak dalam negeri suatu negara yang
dikenai pajak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan lokal yang
berlaku di negara tersebut. Tie breaker rule dibedakan menjadi dua yaitu
yang diterapkan untuk orang pribadi dan yang diterapkan untuk selain
orang pribadi. Tie breaker rule untuk orang pribadi terdiri dari penentuan
permanent home (tempat tinggal tetap), center of economic and social
interests (pusat kepentingan ekonomi dan sosial), habitual abode (tempat
kebiasaan center of economic and social interests (pusat kepentingan
ekonomi dan sosial), habitual abode (tempat kebiasaan untuk tinggal),
national (kewarganegaraan) serta mutual agreement (perjanjian antar
otoritas perpajakan). Sementara itu tie breaker rule untuk pihak selain

11
orang pribadi hanya ada satu ketentuan yaitu tempat di mana
manajemennya efektif berada.
d. Permanent Establishment
Klausul ini mengatur tentang seberapa jauh jangkauan suatu negara dalam
mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber dari negara tersebut.
Pada zaman sekarang, suatu usaha tidak hanya dilakukan di negara sendiri.
Di negara lain pun suatu pihak melakukan usaha. Apabila usaha di negara
lain itu ternyata berhasil, adalah hal yang logis jika otoritas pajak di
negara tersebut ingin mengenakan pajak atas penghasilan yang diterima.
e. Entry Into Force
Klausul ini menjelaskan tentang saat berlakunya sebuah tax treaty. Saat
berlakunya tax treaty sangat tergantung dari selesainya tahap-tahap
pembentukannya. Pembentukan sebuah tax treaty yang dimulai dari
penandatanganan oleh kedua otoritas yang berwenang dan dilanjutkan
dengan ratifikasi di kedua negara. Setelah kedua negara selesai
meratifikasi, selanjutnya dilakukan pertukaran dokumen-dokumen
ratifikasi. Setelah pertukaran dokumen ratifikasi ini selesai dilakukan
maka tax treaty pun dapat diberlakukan.
f. Termination
Klausul ini menjelaskan tentang saat berakhirnya sebuah tax treaty. Tax
treaty dapat berakhir setelah periode tertentu yang telah disepakati oleh
kedua negara. Salah satu negara dapat mengakhiri sebuah tax treaty
dengan cara mengadakan pemberitahuan terlebih dahulu yang harus
dilakukan dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan yang telah
disepakati.
3.4.2 Minimalisasi Pemajakan Berganda
a. Income from Immovable Property
Klausul ini mengatur tentang pemajakan atas penghasilan yang berasal
dari harta tak bergerak termasuk penghasilan yang bersumber dari
pertanian atau sektor perhutanan. Di dalamnya diatur bahwa negara tempat

12
harta tak bergerak tersebut terletak juga dapat mengenakan pajak atas
penghasilan dari harta tersebut. Definisi harta tak bergerak disesuaikan
dengan undang-undang domestik negara tempat harta tersebut terletak.
b. Business Profits
Klausul ini merupakan perluasan dari klausul permanent establishment
yang mengatur tentang pengenaan pajak atas Klausul ini merupakan
perluasan dari klausul permanent establishment yang mengatur tentang
pengenaan pajak atas laba usaha milik penduduk suatu negara yang
bersumber dari negara treaty partner (negara pasangan dalam tax treaty).
Penentuan dapat atau tidaknya negara treaty partner mengenakan pajak,
sangat tergantung pada ada atau tidaknya BUT di suatu negara.
c. Shipping, Inland Waterways Transport and Air Transport
Klausul ini menjelaskan tentang pemajakan atas penghasilan yang diterima
oleh perusahaan pelayaran (termasuk pengangkutan di sungai dan danau)
dan perusahaan penerbangan yang beroperasi di jalur internasional.
Perusahaan yang bergerak di bidang ini bisa memperoleh penghasilan dari
beberapa negara. Jika setiap negara mengenakan pajak atas laba yang
diterimanya maka perusahaan pelayaran atau penerbangan tersebut
tentunya akan menanggung beban pajak yang terlalu besar. Umumnya
diatur dua alternatif pengenaan pajak. Alternatif pertama, memberikan hak
pemajakan kepada negara tempat di mana manajemen efektif berada.
Alternatif kedua, sama dengan alternatif pertama dengan pengecualian
untuk penghasilan dari pengoperasian kapal laut yang hak pemajakannya
diberikan kepada kedua negara sekaligus.
d. Dividends
Klausul dividends, sebagaimana namanya, memang merupakan aturan
mengenai pengenaan pajak atas penghasilan berupa dividen. Dalam
klausul ini dinyatakan bahwa negara tempat dividen berasal juga berhak
mengenakan pajak atas dividen tersebut. Selanjutnya, tarif pajak maksimal
yang dapat dikenakan di negara asal dividen tersebut yang dibedakan

13
menjadi dua yaitu tarif untuk dividen portofolio (saham dengan
kepentingan semata-mata investasi) dan untuk dividen dari penyertaan
langsung (saham dengan kepentingan kontrol). Pada setiap tax treaty,
besar tarif tersebut berbeda-beda namun umumnya lebih kecil dari tarif
pajak domestik bagi dividen yang berlaku di kedua negara.
e. Interest Interest
Klausul ini mengatur tentang pemajakan atas penghasilan bunga yang
diterima dari negara treaty partner. Selain memberikan definisi tentang
bunga, klausul ini juga mengatur bahwa negara tempat bunga berasal
(treaty partner) juga dapat mengenakan pajak atas bunga tersebut. Tak
berbeda dari artikel dividen, artikel bunga pun mengatur tentang tarif
maksimal pemotongan pajak untuk negara tempat dividen berasal.
f. Royalties
Klausul ini mengatur tentang pemajakan atas penghasilan royalti yang
diterima dari negara treaty partner.
g. Capital Gains
Ketentuan dalam tax treaty pada umumnya mengatur bahwa negara tempat
harta tersebut terletak sebelum dipindahkan juga berhak untuk
mengenakan pajak, termasuk harta berupa perumahan dalam suatu
kawasan real estate.
h. Independent Personal Services
Klausul ini mengatur tentang pemajakan atas penghasilan yang diterima
orang pribadi yang bersumber dari negara treaty partner sebagai imbalan
dari jasa-jasa profesional yang diberikannya di negara tersebut. Negara
treaty partner tempat jasa tersebut dilakukan dapat mengenakan pajak
sepanjang orang pribadi tersebut memiliki pangkalan tetap di sana atau
berada di negara treaty partner melebihi batas waktu yang disepakati
bersama.
i. Dependent Personal Services

14
Klausul ini mengatur tentang pemajakan atas penghasilan yang diterima
oleh orang pribadi sehubungan dengan pemberian jasa yang dilakukannya
di negara lain dalam suatu hubungan kerja.
j. Directors' Fees
Klausul ini mengatur tentang pemajakan atas penghasilan yang diterima
oleh direktur yang bekerja pada perusahaan yang berada di negara lain
(merupakan penduduk di negara tersebut). Dalam klausul ini dinyatakan
bahwa penghasilan yang diterima oleh direktur dalam kapasitasnya yang
murni sebagai seorang direktur dapat dikenai pajak di negara domisili
perusahaannya tanpa memandang jangka waktu keberadaannya di sana.
k. Pensions
Klausul ini mengatur tentang penghasilan yang diterima oleh pensiunan
swasta. Pada umumnya, penghasilan berupa pensiun dikenai pajak di
negara tempat di mana pekerjaan itu dahulunya dilakukan. Namun
sebagian besar tax treaty mengatur bahwa penghasilan tersebut dikenai
pajak di negara di mana yang bersangkutan menjadi penduduk pada saat
pensiun.
l. Government Service
Klausul ini mengatur tentang perlakuan perpajakan atas penghasilan yang
diterima oleh para pegawai negeri. Pada prinsipnya, hak pemajakan atas
penghasilan yang diterima oleh para pegawai negeri diberikan kepada
negara di mana ia bekerja. Hal yang sama juga berlaku atas penghasilan
yang diterima oleh pensiunan pegawai negeri. Namun demikian, apabila
pegawai negeri atau pensiunan tersebut merupakan warga negara dari
salah satu negara dan sudah sejak awal menjadi penduduk di negara
tersebut maka penghasilan yang diterimanya hanya dikenakan pajak di
sana.
3.4.3 Pencegahan Penghindaran Pajak
a. Associated Enterprises

15
Klausul ini mengatur tentang perlakuan perpajakan atas pihak-pihak yang
memiliki hubungan istimewa. Apabila terjadi transaksi antara pihak-pihak di
kedua negara yang memiliki hubungan istimewa, akan ada kecenderungan
di mana harga transaksi yang disepakati bukan merupakan harga yang
wajar. Salah satu efek dari adanya harga yang tidak wajar itu adalah
terjadinya pergeseran laba dari suatu negara kepada negara lainnya. Hal ini
dipandang sebagai suatu usaha untuk mengihindari pajak dari suatu negara.
Dalam kondisi demikian, kepada negara yang bersangkutan diberikan untuk
mengihindari pajak dari suatu negara. Dalam kondisi demikian, kepada
negara yang bersangkutan diberikan hak untuk mengadakan penyesuaian-
penyesuaian sehubungan dengan pergeseran laba tersebut.
b. Exchange of Information
Klausul ini mengatur tentang pertukaran informasi antar otoritas pajak di
kedua negara yang terikat dalam suatu tax treaty. Dengan adanya pertukaran
informasi, dapat dikatakan bahwa klausul ini merupakan salah satu senjata
dalam menanggulangi praktek-praktek penyelundupan atau penggelapan
pajak.
3.4.4 Ketentuan Lain – lain
a. Non Discrimination
Klausul ini mengatur tentang persamaan perlakuan perpajakan yang
diberikan oeh suatu negara kepada warga negara dan kepada bukan warga
negara. Suatu negara yang terikat tax treaty memiliki kewajiban untuk
memberikan perlakuan perpajakan yang sama untuk warga negaranya dan
untuk mereka yang bukan warga negaranya.
b. Mutual Agreement Procedure
Klausul ini mengatur tentang prosedur yang digunakan oleh kedua negara
untuk berkomunikasi dalam menyelesaikan berbagai perbedaan pandangan
antara pembayar pajak dengan otoritas pajak mengenai kasus perpajakan
tertentu. Mutual agreement procedure tidak mencakup seluruh klausul yang
terdapat dalam sebuah tax treaty. Klausul-klausul yang dapat menerapkan

16
ketentuan dalam Mutual agreement antara lain adalah business profits,
related persons dan royalty.
c. Member of Diplomatic Missions and Consular Posts
Klausul ini mengatur tentang perlakuan perpajakan yang diberikan kepada
anggota dari suatu misi diplomatik dan Klausul ini mengatur tentang
perlakuan perpajakan yang diberikan kepada anggota dari suatu misi
diplomatik dan konsulat. Dalam kesepakatan internasional, setiap
penghasilan yang diterima oleh anggota suatu korps diplomatik atau
konsulat, ditetapkan hanya dikenai pajak di negara di mana mereka berasal.
Ketentuan dalam klausul ini pun mengatur hal yang sama.
3.5. Pengaruh Tax Treaty terhadap Arus Investasi
Menurut penelitian Sarwedi (2002), masuknya penanaman modal asing (PMA)
dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Hasil penelitian tersebut juga
menunjukan bahwa potensi pembiayaan asing masih relatif besar dan terbuka.
Fenomena ini memberi sinyal arah kebijakan ekonomi yang harus kita tempuh,
yaitu kebijakan yang lebih mengarah pada keterbukaan ekonomi. Hal tersebut perlu
menjadi perhatian yang serius mengingat adanya persaingan di antara negara
berkembang lainnya. Disamping itu, berbeda dengan investasi pada pasar keuangan
yang mengharapkan keuntungan dalam jangka pendek, motivasi investor untuk
menanamkan modalnya secara langsung pada suatu negara adalah profit dalam
jangka panjang. Oleh karena itu, Indonesia juga harus memiliki kebijakan insentif
ekonomi yang bersifat permanen dan jangka panjang. Salah satu bentuk kebijakan
ekonomi tersebut adalah kebijakan di bidang perpajakan.
Dari sisi perpajakan, masuknya PMA akan meningkatkan potensi penerimaan
pajak. Perusahaan PMA memiliki kewajiban yang sama seperti wajib pajak badan
lainnya. Namun demikian tetap saja timbul permasalahan pajak utamanya yang
terkait dengan passive income atas beneficial owner. Terdapat dua otoritas yang
memiliki kepentingan dalam pengenaan pajak yang terkait dengan beneficial
owner, yaitu negara asal beneficial owner (domisili) dan negara tempat PMA
(sumber). Permasalahan perpajakan muncul ketika kedua negara tersebut hendak

17
mengenakan pajak atas jenis pendapatan yang sama (passive income). Jika
pengenaan pajak didasarkan atas domisili, maka aspek keadilan dan efisiensi
investasi akan dapat lebih dipastikan. Tetapi di sisi lain sangatlah sulit menentukan
dengan pasti penghasilan dari wajib pajak yang berasal dari luar negeri. Sebaliknya,
jika pengenaan pajak didasarkan atas sumber, maka akan mudah menentukan
dengan pasti nilai penghasilan yang akan dikenai pajak. Tetapi di sisi lain, kurang
memenuhi keadilan dan efisiensi investasi juga tidak dapat dipastikan. Disamping
itu tarif pajak yang dikenakan untuk objek yang sama juga berbeda antara
pengenaan yang didasarkan atas sumber dengan yang didasarkan atas domisili.
Jika negara asal PMA mengenakan pajak atas pendapatan yang diperoleh
beneficial owner dengan menggunakan tarif pajak domestiknya dan negara tempat
PMA mengenakan pajak dengan menggunakan tarif pajak domestiknya juga, maka
akan terjadi pengenaan pajak berganda atas objek pajak yang sama. Singkatnya,
pada saat penduduk suatu negara mendapatkan income dari luar negeri (foreign-
source income), maka akan terjadi tumpang tindih pengenaan pajak penghasilan
atas income tersebut. Di satu sisi adalah hak negara untuk mengenakan pajak atas
penghasilan berdasarkan residence jurisdiction-nya, tetapi di sisi lain juga
merupakan hak negara lain untuk memungut pajak penghasilan berdasarkan source
jurisdiction. Inilah yang kemudian menimbulkan international double taxation,
yaitu wajib pajak dikenakan pajak berganda atas income yang sama oleh negara
yang berbeda dalam periode yang sama juga (pribadi).
Agar tidak terjadi pengenaan pajak berganda atas objek pajak yang sama, maka
perlu dilakukan persetujuan penghindaran pajak berganda (P3B) secara bilateral.
Disamping itu, adanya P3B juga dimaksudkan untuk menutup celah penghindaran
pajak internasional, pembagian wilayah perpajakan, keputusan bersama atas isu-isu
perpajakan internasional dan kerja sama ekonomi untuk pembangunan. Dengan
demikian keberadaan P3B, di satu sisi sangat penting untuk memastikan bahwa
PMA yang masuk ke Indonesia tidak akan terlepas dari kewajiban perpajakannya.
Di sisi lain, keberadaan P3B diharapkan tidak menjadi penghambat PMA.

18
3.6. Pengaruh Tax Treaty terhadap Arus Investasi Antara Indonesia dengan
Negara-Negara Mitra
Perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B)/tax treaty disinyalir mempunyai
pengaruh dalam meningkatkan arus investasi dan perdagangan. Beberapa literatur
mendukung pendapat ini, namun beberapa literatur juga menyatakan bahwa tidak
ada pengaruh yang signifikan antara P3B dengan arus investasi dan perdagangan.
Penelitian ini dilakukan untuk memberikan analisis terhadap pengaruh P3B dalam
meningkatkan arus investasi dan perdagangan antara Indonesia dengan beberapa
negara mitra dagang dan investasi.
P3B adalah perjanjian yang dilakukan oleh dua/lebih negara/yurisdiksi pajak
yang mengatur perlakuan pajak penghasilan atas penghasilan yang diterima oleh
wajib pajak dalam negeri dari dua/lebih negara/yurisdiksi pajak yang berbeda.
Perjanjian ini terkait dengan passive income atas beneficial owner. Terdapat dua
otoritas yang memiliki kepentingan dalam pengenaan pajak yang terkait dengan
beneficial owner, yaitu negara asal wajib pajak/beneficial owner (asas domisili) dan
negara tempat wajib pajak mendapatkan penghasilan (asas sumber).
Permasalahan perpajakan muncul ketika kedua negara tersebut hendak
mengenakan pajak atas jenis pendapatan yang sama (passive income). Jika
pengenaan pajak didasarkan atas domisili, maka aspek keadilan dan efisiensi
investasi akan dapat lebih dipastikan. Tetapi di sisi lain sangatlah sulit menentukan
dengan pasti penghasilan dari wajib pajak yang berasal dari luar negeri. Sebaliknya,
jika pengenaan pajak didasarkan atas sumber, maka akan mudah menentukan
dengan pasti nilai penghasilan yang akan dikenai pajak. Tetapi di sisi lain, hal itu
kurang memenuhi keadilan dan efisiensi investasi juga tidak dapat dipastikan.
Disamping itu tarif pajak yang dikenakan untuk objek pajak yang sama juga
berbeda antara pengenaan pajak yang didasarkan atas asas sumber dengan yang
didasarkan atas asas domisili. Hal lain yang perlu diperhatikan yaitu bahwa hak
suatu negara untuk mengenakan pajak atas penghasilan berdasarkan residence
jurisdiction-nya, tetapi di sisi lain juga merupakan hak negara lain untuk memungut
pajak penghasilan berdasarkan source jurisdiction. Inilah yang kemudian

19
menimbulkan international double taxation, yaitu wajib pajak dikenakan pajak
berganda atas income yang sama dalam periode yang sama oleh negara yang
berbeda.
Tujuan awal dari dibuatnya P3B adalah untuk menghindari pengenaan pajak
berganda atas penghasilan yang sama yang diterima oleh wajib pajak yang sama
oleh dua/lebih yurisdiksi pajak (negara) yang berbeda. Tujuan selanjutnya adalah
untuk menghilangkan adanya penyelundupan pajak yang dilakukan oleh wajib
pajak yang mendapatkan penghasilan di dua/lebih yurisdiksi pajak (negara) yang
berbeda sehingga wajib pajak tidak membayar pajak di kedua/lebih yurisdiksi pajak
(negara) dimana wajib pajak tersebut menjalankan usahanya. Selain dua tujuan
utama tersebut, tujuan lain yang ingin dicapai dari adanya P3B adalah peningkatan
arus perdagangan dan investasi di antara negara-negara yang melakukan perjanjian
karena adanya insentif pajak berupa pengurangan tarif pajak di dalam P3B.
Disamping itu, adanya P3B juga dimaksudkan untuk pembagian wilayah
perpajakan, keputusan bersama atas isu-isu perpajakan internasional dan kerja sama
ekonomi untuk pembangunan.
Banyak faktor yang dapat meningkatkan arus perdagangan dan investasi antara
dua negara atau lebih. Sesuai dengan tujuan dari P3B di atas, maka perpajakan
diharapkan juga dapat meningkatkan arus perdagangan dan investasi tersebut. Hal
ini didasari dengan argumentasi bahwa penurunan tarif pajak di dalam P3B akan
meningkatkan keinginan investor dalam menanamkan investasinya di negara
tertentu karena dengan penghasilan yang sama, wajib pajak dikenakan pajak yang
lebih kecil daripada pajak yang dikenakan dengan tarif normal. Efek selanjutnya
dari penanaman investasi ini adalah meningkatnya arus perdagangan antara negara
asal/domisili wajib pajak dengan negara sumber penghasilan dimana wajib pajak
tersebut mendapatkan penghasilan.

20
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

4.2 Saran

21
DAFTAR PUSTAKA

Laporan Hasil Kajian Tax Treaty dan Pengaruhnya Terhadap Arus Investasi antara
Indonesia dengan Negara-negara Mitra
https://www.online-pajak.com/p3b
http://www.fiskal.kemenkeu.go.id/dw-konten-view.asp?id=20131016101216807419441
https://news.ddtc.co.id/apa-itu-tax-treaty-9578?page_y=2697
http://www.wibowopajak.com/2015/05/pengertian-tax-planning.html

22

Anda mungkin juga menyukai