Oleh karena saat pengenaan pajak atas penghasilan yang diperoleh oleh perusahaan
anak yang berdomisili di negara lainnya (Negara Singapura) baru dapat dikenakan pajak di
negara domisili pemegang sahamnya (Negara Indonesia) ketika penghasilan dalam bentuk
dividen tersebut dibagikan kepada perusahan Indonesia. Akan tetapi kebanyakan perusahaan
biasanya akan melakukan penundaan pembagian dividen tersebut atau tetap menahan
penghasilan tersebut di perusahaan anaknya yaitu perusahaan Singapura sehingga dengan
demikian penghasilan berupa dividen tersebut tidak dapat dikenakan pajak di Negara D.
Kondisi di atas akan lebih menguntungkan lagi bagi perusahaan di Indonesia apabila
perusahaan anak (perusahaan Singapura) tersebut didirikan di negara-negara yang di
katagorikan sebagai negara tax haven. Hal ini disebabkan karena penghasilan tersebut akan
dikenakan pajak dengan tarif yang lebih rendah atau bahkan tidak dikenakan pajak sama
sekali pada negara tax haven. Contoh berikut ini mungkin akan memberikan penjelasan pada
pernyataan diatas :
Skema 1 Transaksi Pemberian Pinjaman
Jika kita lihat pada skema pemebrian Pinjaman diatas dapat dijelaskan sebagai
berikut:
a. Misalkan perusahaan D memberikan pinjaman kepada Perusahaan B sebesar 100 milyar
dengan mengasumsikan tingkat bunga pinjaman sebesar 10%. Dengan demikian
penghasilan atas bunga pinjaman yang diterima oleh Perusahaan D adalah sebesar 10% x
Rp. 100 milyar = Rp. 10 Milyar.
b. Berdasarkan pasal 23 UU PPh, pembayaran bunga pinjaman dari perusahaan B kepada
perusahaan D akan di potong PPh dengan tarif 15% dan bersifat tidak final. Oleh Karena
itu perusahaan B melakukan pemotongan PPh Pasal 23 sebesar 15% x Rp. 10 Milyar = Rp.
1,5 Milyar
c. Bagi Perusahaan D, Pemotongan PPh Pasal 23 sebesar 1,5 Milyar tersebut merupakan
kredit pajak. Dalam SPT Tahunan, Perusahaan D akan melaporkan penghasilan atas Bunga
Pinjaman sebesar Rp. 10 Milyar untuk dikenakan tarif seperti yang diatur dalam pasal 17
UU PPh yaitu sebesar 25% x Rp. 10 Milyar = Rp. 2,5 Milyar.
Untuk dapat menghindari beban pajak sebesar 2,5 milyar, perusahaan D bisa juga melakukan
skema transaksi melalui CFC sebagai berikut :
Skema 2 Pengalihan Penghasilan Melalui CFC
Perusahaan D, didirikan di Indonesia. Untuk memperkecil beban pajak sebesar 2,5 Milyar
tersebut dengan cara mendirikan Perusahaan anak (CFC) pada negara tax haven. Adapun
skemanya adalah sebagai berikut :
a. Membuat perusahaan anak (perusahaan s) dengan kepemilikan saham 100% dengan
jumlah nominal 100 milyar.
b. Perusahaan anak (perusahaan s) tersebut didirikan di Negara S yang nerupakan negara tax
haven yang menganut teritorial system (negara yang tidak mengenakan pajak atas
penghasilan yang tidak bersumber dari negaranya) dan di asumsikan tidak ada perjanjian
P3B antara negara Indonesia dan Negara S.
c. Kemudian uang sebesar Rp. 100 Milyar tersebut oleh perusahaan anak (perusahaan s)
dipinjamkan kepada perusahaan B dengan tingkat suku bunga 10% per tahun. Dengan
demikian jumlah bunga sebesar 10% x Rp. 100 milyar = Rp. 10 Milyar.
d. Ketika Perusahaan B membayar bunga kepada perusahaan S, perusahaan b melakukan
pemotongan pajak atas dasar Pasal 26 UU PPh (Karena tidak ada P3B) sebesar 20% x Rp.
10 Milyar = Rp. 2 Milyar
e. Di Negara S, penghasilan sebesar 10 Milyar tersebut tidak dikenakan pajak (menganut
teritorial system). Dengan demikian beban pajak efektif sebesar 20% x 10 Milyar = Rp. 2
Milyar. Jadi, penghematan pajak yang didapat oleh perusahaan D dengan cara melakukan
skema CFC adalah sebesar Rp. 2,5 milyar 2 milyar = Rp. 500 Juta
Dari Internet :
https://diskusipajak.wordpress.com/2008/01/18/hello-world/
http://taxationindonesia.blogspot.co.id/2009/05/cfc-rule-penghindaran-pajak-dan-tax.html