Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

PRINSIP-PRINSIP PERADILAN PAJAK DALAM PENYELESAIAN

SENGKETA PAJAK

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sstem Peradilan Khusus

Dosen Pengampu : Dr. Kriswanto, SH., SE., MH., MM., MAP.

Disusun Oleh :

MUJAHIDIN (734220008)

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER ILMU HUKUM

UNIVERSITAS MATHLA’UL ANWAR

2023

     
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur tim penulis panjatkan kehadirat Allah Ta’ala. atas limpahan rahmat
dan karunia-Nya sehingga makalah yang berjudul, Prinsip-Prinsip Peradilan Pajak
Dalam Penyelesaian Sengketa Pajak dapat diselesaikan dengan baik. Penulis berharap
makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca, Begitu pula atas
limpahan kesehatan dan kesempatan yang Allah SWT karuniai kepada kami sehingga
makalah ini dapat kami susun melalui beberapa sumber yakni melalui kajian pustaka
maupun melalui media internet.

Pada kesempatan ini, Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah memberikan semangat dan motivasi dalam pembuatan tugas makalah ini. Kepada
kedua orang tua yang telah memberikan banyak kontribusi, dosen pembimbing, Dr.
Kriswanto, SH., SE., MH., MM., MAP. dan juga kepada teman-teman seperjuangan yang
membantu penulis dalam berbagai hal. Harapan kami, informasi dan materi yang terdapat
dalam makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Tiada yang sempurna di dunia,
melainkan Allah SWT. Tuhan Yang Maha Sempurna, karena itu kami memohon kritik dan
saran yang membangun bagi perbaikan makalah selanjutnya.

Demikian makalah ini dibuat, apabila terdapat kesalahan dalam penulisan, atau pun
adanya ketidaksesuaian materi yang kami angkat pada makalah ini, kami mohon maaf. Tim
penulis menerima kritik dan saran seluas-luasnya dari pembaca agar bisa membuat karya
makalah yang lebih baik pada kesempatan berikutnya.

Serang, 23 Maret 2023

ii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ............................................................................................. ii
Daftar Isi ...................................................................................................... iii

BAB I Pendahuluan
1.1.Latar Belakang ........................................................................................1
1.2.Permasalahan ..........................................................................................5
1.3.Tujuan Penulisan.....................................................................................5

BAB II Pembahasan
2.1. pengertian pajak ......................................................................................... 6

2.2.fungsi pajak .............................................................................................7

2.3.kedudukan hukum Pajak ............................................................................. 8

2.4. Jenis Pajak ............................................................................................... 10

2.5. jenis – jenis pajak di indonesia ................................................................ 11

2.6 Sistem Perpajakan di Indonesia ................................................................. 12

2.6 Prinsip yang Mendasari dalam Penyelesaian Sengketa dalam

Peradilan Pajak.......................................................................................14

BAB III Penutup


3.1 KESIMPULAN ......................................................................................16

Daftar Pustaka

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG

Pajak merupakan salah satu komponen penting dalam perjalanan suatu


bangsa. Hampir semua negara yang ada di dunia ini menerapkan suatu aturan
maupun skema tentang pengenaan pajak. Baik secara langsung maupun tidak
langsung. Tak terkecuali di Indonesia ini. Sejarah panjang tentang pengenaan
pajak di Indonesia telah berlangsung sejak zaman kerajaan, kolonial sampai
dengan sekarang.1

Pajak telah dikenakan kepada masyarakat sejak masa kerajaan. Pada saat
itu masyarakat memberikan upeti kepada raja sebagai persembahan. Masuk di
zaman kolonial, badan otonomi Belanda yaitu VOC memungut pajak
diantaranya Pajak Rumah, Pajak Usaha dan Pajak Kepala kepada pedagang
Tionghoa dan pedagang asing lainnya. Kemudian pada masa Gubernur
Jenderal Daendels juga ada pemungutan pajak yaitu memungut pajak dari pintu
gerbang (baik orang dan barang) dan pajak penjualan barang di pasar
(bazarregten), termasuk pula pungutan pajak terhadap rumah.2

Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), Negara


Indonesia mempunyai kewajiban untuk melindungi segenap bangsa Indonesia
serta memajukan kesejahteraan umum untuk terwujudnya Negara Indonesia
yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur. Kemakmuran nasional dibagi
menjadi dua definisi. Yang pertama, kemakmuran nasional didefinisikan
sebagai semua harta milik dan kekayaan potensi yang dimiliki negara untuk
keperluan seluruh rakyat. Yang kedua, kemakmuran nasional didefinisikan
sebagai keadaan kehidupan negara yang rakyatnya mendapat kebahagiaan

1
Mukhamad Wisnu Nagoro, ‘Menengok Sejarah Perpajakan Di Indonesia: Bagian Pertama’
(Direktorat Jenderal Pajak)
2
Ibid

1
jasmani dan rohani akibat terpenuhi kebutuhannya. Dengan arti lain,
kemakmuran yang diharapkan dari hasil pengumpulan pajak adalah keadaan
penduduk yang sejahtera, serba kecukupan dan tidak kekurangan.3

Untuk mencapai tujuan tersebut, maka Negara Indonesia memberlakukan


pajak sebagai salah satu sumber pendapatan negara. Pajak merupakan salah
satu sumber pemasukan negara yang digunakan untuk pembangunan dengan
tujuan akhir kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Hal ini sesuai dengan
pandangan Fjeldstad sebagai berikut:4
“An effective tax system is considered central for sustainable development because
it can mobilize the domestic revenue base as a key mechanism for developing
countries to escape from aid or single natural resource dependency”.

Hal tersebut mengandung makna bahwa sistem pajak yang efektif mampu
menggerakkan roda pembangunan untuk dapat keluar dari ketergantungan
terhadap bantuan luar dan sumber daya alam.5 Oleh karena itu, sektor pajak
memegang peranan penting dalam perkembangan kesejahteraan bangsa. Namun,
tak bisa dipungkiri bahwa sulitnya negara melakukan pemungutan pajak karena
banyaknya wajib pajak yang tidak patuh dalam membayar pajak merupakan suatu
tantangan tersendiri.

Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh oreng
pribadi maupun badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang,
dengan tidak mendapat imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan
negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana terdapat pada pasal
1 angka 1 Undang-Undang nomor 6 Tahun 2009 Tentang Tata Cara Perpajakan
menjadi undang-undang (yang selanjutnya disebut dengan UU KUP), maka

3
Andi Zulfikar, ‘Pajak Untuk Kesejahteraan, Potret Sumpah Pemuda’ (Direktorat Jenderal Pajak)
4
Tim Edukasi Perpajakan, Materi Terbuka Kesadaran Pajak Untuk Perguruan Tinggi (Direktorat
Jenderal Pajak 2016).[69].

2
masyarakat ikut serta dalam pembangunan maupun perekonomian di Indonesia,
sehingga dapat menimbulkan kesadaran dan tanggung jawab.

Dalam melakukan pemungutan pajak, pemerintah menggunakan Self


Assessment System, Official Assessment System, dan With Holding Assessment
System. Self assessment system merupakan sistem pemungutan pajak yang
memberikan kepercayaan penuh kepada wajib pajak untuk menghitung sendiri
utang pajaknya.5Dalam hal ini, kegiatan menghitung, memperhitungkan,
menyetorkan dan melaporkan pajak yang terutang dilakukan oleh wajib pajak.
Peran institusi pemungut pajak hanyalah mengawasi melalui serangkaian tindakan
pengawasan maupun penegakan hukum (pemeriksaan dan penyidikan pajak).6

Pemerintah meciptakan suatu mekanisme yang dapat memberikan daya


pemaksa bagi para wajib pajak yang tidak taat hukum. Salah satu mekanisme
tersebut adalah gijzeling atau lembaga paksa badan. Keberadaan lembaga ini
dianggap masih kontroversial. Beberapa kalangan masih beranggapan bahwa
memberlakukan lembaga paksa badan merupakan hal yang berlebihan. Dilain
pihak, muncul pula pendapat bahwa lembaga ini diperlukan untuk memberikan
efek jera yang potensial dalam menghadapi wajib pajak yang nakal.8 Pengaturan
pajak harus didasarkan pada Undang-Undang sebagaimana diamantkan dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (selanjutnya disebut
UUD 1945) Pasal 23A yang menyatakan bahwa “Pajak dan pemungutan lain yang
bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang“.

Dalam hal ini pemungutan pajak juga terkadang mengalami kendala, ketika
wajib pajak menghindar atau melakukan pembayaran pajak akan tetapi tidak sesuai
dengan yang ditentukan oleh undang-undang, yang dapat berakibat timbulnya
sengketa pajak antara wajib pajak dan pemungut pajak. Sebagai contoh pada tahun

5
Deddy Sutrisno, Hakikat Sengketa Pajak: Karakteristik Pengadilan Pajak; Fungsi Pengadilan Pajak
(Kencana 2016).[10].
6
NN, ‘Sistem Perpajakan’ (Direktorat Jenderal Pajak)

3
2017 Kantor Wilayah (Kanwil) I Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Selatan resmi
menyerahkan tersangka dan berkas penanggung pajak bernama DHR (50 tahun)
yang merupakan Direktur Utama PT TP atas kerugian negara yang mencapai 6,3
miliar rupiah ke Lembaga Pemasyarakatan Cipinang Jakarta karena telah
melakukan tindak pidana dengan tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT)
Tahunan. Namun menyampaikan SPT Tahunan dengan keterangan yang tidak
benar untuk perioder Juni 2007 sampai Desember 2008. Tak hanya itu, Kanwil I
juga telah memberikan Surat Pemberitahuan (SP) atas tunggakan pajak yang harus
diselesaikan namun tidak dihiraukan.7

Menurut Undang-Undang Nomor 14 tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak


(yang selanjutnya disebut UU Pengadilan Pajak) Pasal 1 angka 5 menyatakan
bahwa sengketa pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara
wajib pajak atau penanggung pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat
dikeluarkannya keputusan yang akan diajukan banding atau gugatan kepada
pengadilan pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan,
termasuk gugatan atas pelaksanaan penagihan berasarkan UndangUndang
Penagihan Pajak dengan surat paksa.

Salah satu ciri khas negara hukum adalah adanya kekuasaan kehakiman
(judicial power) yang merdeka.10 Karena itu mengkaji kekuasaan kehakiman di
Indonesia pertama-tama harus didekati dari landasan Konstitusional. Pendekatan
Konstitusional tersebut bertumpu pada ketentuan pasal 24 ayat 2 UUD 1945 yang
menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan Badan Peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan
umum,lingkungan peradilan agama, lingkungan pengadilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

7
Yulianna Fauzi, ‘Tunggak Pajak Rp 6,3 Miliar, Pengusaha Dijebloskan Ke Penjara’

4
Sama halnya yang dijelaskan di dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (yang selanjutnya disebut dengan UU
Kekuasaan Kehakiman), Pasal 25 menyatakan bahwa “Peradilan di bawah
Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum,
Peradilan Agama,Peradilan Militer, Peradilan Tata Usaha Nagara,”, di sisi lain
kedudukan Pengadilan Pajak menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002
Tentang Pengadilan Pajak, Pasal 2 dijelaskan bahwa “Pengadilan pajak adalah
badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi wajib pajak atau
penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak dengan Undang-
Undang Kekuasaan Kehakiman.

Menurut Undang-Undang Pengadilan Pajak, pasal 5 dinyatakan bahwa


pembinaan teknis peradilan bagi pengadilan pajak dilakukan oleh Mahkamah
Agung sedangkan pembinaan Organisasi, administrasi, dan Keuangan bagi
pengadilan pajak dilakukan oleh Departemen Keuangan hal ini menunjukan bahwa
status kedudukan pengadilan tidak mandiri, sebagai Lembaga peradilan yang
menjalankan fungsi yudisial dan juga menjalankan fungsi eksekutif yang dapat
mengakibatkan tidak adanya kemandirian dalam memutus perkara.

1.2. Permasalahan
Bagaiamana cara mengetahui prinsip-prinsip tentetang hukum pajak khusus
nya di indonesia?

1.3.Tujuan Penulisan
Agar mengetahui mengetahui prinsip-prinsip tentetang hukum pajak khusus
nya di indonesia

5
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. PENGERTIAN PAJAK
Pajak (Inggris, Tax) adalah iuran wajib dari rakyat kepada negara dengan
tidak menerima imbalan jasa secara langsung berdasarkan undang-undang, untuk
membiayai pengeluaran-pengeluaran umum. Oleh karena itu, pajak merupakan
salah satu sumber penerimaan negara sehingga pemungutannya dapat dipaksakan,
baik secara perseorangan maupun dalam bentuk badan usaha. Adapun yang
dimaksud dengan tidak menerima imbalan jasa secara langsung adalah imbalan
khusus yang erat hubungannya dengan pembayaran iuran tersebut. Imbalan jasa
dari negara antara lain menggunakan jalan-jalan, perlindungan dari pihak
keamanan, pembangunan jembatan yang tidak ada hubungannya langsung dengan
pembayaran itu.8 Ada pun beberapa defenisi pajak yang diungkapkan oleh para ahli,
diantaranya:

A. Pajak menurut Rochmat Soemitro, mengatakan“Pajak adalah iuran kepada kas


negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak
mendapat jasa timbal balik (kontraprestasi) yang langsung dapat ditujukan, dan
yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum”9
B. Menurut S.I Djajadiningrat, “Pajak sebagai suatu kewajiban menyerahkan
sebagaian dari kekayaan ke kas negara yang disebabkan suatu keadaan, kejadian,
dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan sebagai
hukuman, menurut peraturan yang ditetapkan pemerintah serta dapat
dipaksakan, tetapi tidak ada jasa timbal balik dari negara secara langsung, untuk
memelihara kesejahteraan secara umum”.10

8
Mardiasmo, Perpajakan, (Yogyakarta: Penerbit Andi, 2011), hlm. 1
9
Milka Magrita Pangkey dkk, Analisis Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi Sebelum Dan
Sesudah Pelaksanaan Tax Amnesty Di Kpp Pratama Manado, (Manado: Fakultas Ekonomi dan
Bisnis, Jurusan Akuntansi, Universitas Sam Ratulangi, Jurnal Riset Akuntansi Going Concern Vol
12(2), 2017)
10
Priska Febriani Sahilatua, Naniek Noviari, Penerapan Perencanaan Pajak Penghasilan Pasal 21
Sebagai Strategi Penghematan Pembayaran Pajak, (Bali: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas
Udayana, EJurnal Akuntansi Universitas Udayana 5.1, 2013), di unduh tanggal 28/06/2018, jam
14.36 WIB, hlm. 235

6
C. Defenisi pajak menurut Undang-Undang No. 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan“Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara
yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan
undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan
digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat”.Dari pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri
yang melekat pada pengertian pajak adalah:
1) Iuran kepada rakyat kepada negara
2) Pajak dipungut berdasarkan undang-undang serta aturan pelaksanaan
yang sifatnya dapat dipaksakan
3) Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi
individual oleh pemerintah
4) Pajak dipungut oleh negara baik pemerintaah pusat maupun pemerintah
daerah
5) Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang
dari pemasukannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk
membiayai Public Investment.

2.2. FUNGSI PAJAK


Pajak didalam masyarakat mempunyai dua fungsi utama: fungsi budgeter
(fungsi financial) dan fungsi regulered (fungsi mengatur). Selain itu terdapat juga
fungsi distribusi dn fungsi demokrasi.
1. Fungsi Budgeter atau Fungsi Financial Fungsi budgeter adalah fungsi
pajak untuk memasukkan uang sebanyak-banyaknya ke dalam kas
Negara, dengan maksud untuk membiayai pengualaran-pengualaran
Negara. Atau dengan kata lain fungsi budgeteradalah fungsi pajak
sebagai sumber penerimaan Negara dan dipergunakan untuk
membiayai pengeluran negara baik pengeluaran rutin maupun
pengeluran untuk pembangunan.
2. Fungsi Regulered (Mengatur) Fungsi regulered adalah fungsi pajak
untuk mengatur suatu keadaan dalam masyarakat di bidang sosial,

7
ekonomi, maupun politik sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah.
Dalam fungsinya yang mengatur, pajak merupakan suatu alat untuk
mencapai tujuan tertentu yang letaknya di luar bidang keuangan
3. Fungsi Distribusi Pajak yang dibayar masyarakat sebagai penerimaan
Negara, pemanfaatannya tidak hanya dinikmati oleh masyarakat
diwilayah sekitarnya atau oleh kelompoknya, melainkan oleh seluruh
masyarakat tanpa terkecuali. Fungsi distribusi dibagi menjadi dua:
a. Bedasarkan Sektor Dijalankan oleh instansi pemerintahan sesuai
dengan tugas pokoknya. Misalnya, pendidikan, kesehatan,
infrasuktrur, dll.
b. Berdasarkan Wilayah Dilakukan melalui pembagian anggaran
belanja untuk masing-masing daerah.
4. Fungsi Demokrasi Sesuai dengan pengertian dan ciri khasnya, pajak
ternyata merupakan salah satu perwujudan pelaksanaan demokrasi
dalam suatu Negara. Pajak berasal dari masyarakat yaitu dibayar
masyarakat sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku. Pajak
juga dibuat oleh rakyat melalui wakilnya di Parlemen (DPR) dalam
bentuk Undang-Undang Perpajakan.11

2.3. KEDUDUKAN HUKUM PAJAK


Hukum pajak mempunyai kedudukan diantara hukum-hukum sebagai
berikut: (1) Hukum Perdata, mengatur hubungan antara satu individu dengan
individu lainnya. (2) Hukum Publik, mengatur hubungan antara pemerintah dengan
rakyatnya. Hukum ini dapat dirincikan lagi sebagai berikut:
1) Hukum Tata Negara
2) Hukum Tata Usha (Hukum Administrasi)
3) Hukum Pajak
4) Hukum Pidana

11
Ziski Azis dkk, Pepajakan Teori dan Kasus, (Medan: CV Madenatera, 2016), hlm. 2-3

8
Pembagian hukum pajak dibagi menjadi dua bagian, yaitu hukum pajak material
dan hukum pajak formil.
1) Hukum Pajak Material
Hukum pajak material membuat norma-norma yang menerangkan
keadaankeadaan, perbuatan-perbuatan dan peristiwa-peristiwa hukum yang
harus dikenakan pajak, siapa-siapa yang harus dikenakan pajak ini, berapa
besar pajaknya. Dengan kata lain hukum pajak material mengatur segala
sesuatu tentang timbulnya, besarnya, dan hapusnya hutang pajak dan pola
hubungan hukum antara pemerintah dan Wajib Pajak. Hukum pajak
material di atur dalam peraturan perundang-undangan sebagai berikut:
A) UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, sebagaimana telah
beberapa kali di ubah terakhir dengan UU No 36 Tahun 2008
B) UU No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Nilai dan Pajak
Penjualan Barang Mewah, sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan UU No. 42 Tahun 2009.
C) UU No. 13 Tahun 1985 tentang Beamaterai
2) Hukum Pajak Formil
Hukum pajak formil adalah peraturan-peraturan mengenai cara-cara untuk
menjalankan hukum material tersebut di atas menjadi suatu kenyataan.
Bagian hukum ini memuat cara-cara penyelenggaraan mengenai penetapan
suatu utang pajak, kontrol oleh pemerintahan terhadap penyelenggaranya,
kewajiban para Wajib Pajak (sebelum dan sesudah menerima surat
ketetapan pajak), kewajiban pihak ketiga, dan prosedur dalam
pemungutannya. Maksud hukum formil adalah untuk melindungi, baik
fiskus maupun Wajib Pajak. Jadi untuk memberi jaminan bahwa hukum
materialnya akan dapat diselenggarakan setepat-tepatnya. Undang-undang
pajak yang termasuk hukum formil ialah sebagai berikut:
a) UU No. 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintahan
Pengganti UU No. 5 Tahubn 2008 tentang Perubahan Keempat Atas UU
No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

9
b) UU No. 19 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 19
Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Pajak.12

2.4. JENIS PAJAK


1) Pajak Menurut Golongan
A) Pajak Langsung (Direct Tax)
Pajak langsung adalah pajak yang dikenakan secara berkala pada
Wajib Pajak berdasarkan Surat Ketatapan Pajak (SKP) yang
dibuat oleh kantor pajak. Pada intinya, Surat Ketetapan Pajak
(SKP) memuat berapa besar pajak yang harus dibayar Wajib
Pajak. Pajak langsung harus dipikul sendiri oleh si Wajib Pajak,
sebab pajak ini tidak bisa dialihkan kepada pihak lain, berbeda
dengan pajak yang tidak langsung yang bebannya bisa dialihkan
kepad pihak lain. Contoh pajak langsung yaitu Pajak Penghasilan
dan PBB (Pajak Bumi dan Bangunan)
B) Pajak Tidak Langsung ( Indirect Tax)
Pajak tidak langsung adalah pajak yang dikenakan pada Wajib
Pajak hanya jika Wajib Pajak melakukan perbuatan atau
peristiwa tertentu. Oleh karena itu, pajak tidak langsung tidak
bisa dipungut secara berkala, pajak hanya bisa dipungut jika
terjadi perbuatan atau peristiwa tertentu yang menimbulkan
kewajiban membayar pajak. Contoh pajak tidak langsung yaitu,
Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Pajak ini bisa dikenakan,
jika ada Wajib Pajak yang melakukan penjaulan barang mewah.
2) Pajak Menurut Sifatnya
A) Pajak Subjektif
Pajak subjektif adalah pajak yang pemungutannya berdasar atas
subjeknya (orangnya), di mana keadaan diri pajak dapat mempengaruhi

12
Ziski Azis dkk, Pepajakan Teori dan Kasus, (Medan: CV Madenatera, 2016), hlm. 4-8

10
jumlah yang harus dibayar. Contoh: Pajak Penghasilan dan Pajak
Kekayaan.
B) Pajak Objektif
Pajak objektif adalah pajak yang pemungutannya berdasarkan atas
objeknya. Contoh: Pajak Kekayaan, Bea Masuk, Bea Meterai, Pajak
Impor, Pajak Kendaraan Bermotor, Pajak Bumi dan Bangunan, dan
sebagainya
3) Pajak Menurut Pemungutannya
A) Pajak Negara (Pusat)
Pajak Negara adalah pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat
melalui aparatnya, yaitu Dirjen Pajak, Kantor Inspeksi Pajak yang
tersebar di seluruh Indonesia, maupun Dirjen Bea dan Cukai. Contoh:
Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas
Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan, dan Bea Meterai
B) Pajak Daerah (Lokal)
Pajak Daerah (lokal) adalah pajak yang dipungut oleh Pemerintah
Daerah dan terbatas pada rakyat daerah itu sendiri, baik yang dilakukan
oleh Pemda Tingkat I maupun Pemda Tingkat II. Contoh: Pajak Radio,
Pajak Televisi, Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan dan Pajak
Sarang Burung Walet.13

2.5. JENIS-JENIS PAJAK DI INDONESIA


Pajak yang berlaku di Indonesia saat ini adalah:
1) Pajak yang dipakai oleh Pemerintahan Pusat
a) Pajak Penghasilan (PPh)
b) Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa (PPN)
c) Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)
d) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

13
Siti Resmi, Perpajakan Teori dan Kasus, (Jakarta: Penerbit Salemba Empat, 2011), hal. 3-8

11
e) Bea Materai
f) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
g) Cukai dan
h) Bea Masuk
2) Pajak yang dipakai oleh Pemerintah Daerah Tingkat I
a) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PKB) dan Kendaraan di
Atas Air
b) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB)
c) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) dan Kendaraan di
Atas Air, dan
d) Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air
Permukaan
3) Pajak yang dipajaki oleh Pemerintah Daerah Tingkat II
a) Pajak Hotel
b) Pajak Restoran
c) Pajak Reklame
d) Pajak Hiburan
e) Pajak Penerangan Jalan
f) Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C, dan
g) Pajak Parkir
h) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
i) Pajak Kendaraan Bermotor
2.6. . SISTEM PERPAJAKAN DI INDONESIA
Guna meningkatkan penagihan pajak, maka pemerintah melakukan
pembaruan dalam bidang perpajakan (Tax Reform) yang dilakukan sejak 1
Januari 1984, hal ini dikarenakan situasi perpajakan nasional pada saat
reformasi perpajakan ditandai oleh hal-hal sebagai berikut.
1. Sangat lemahnya peraturan perundang-undangan, sebagai akibat
warisan zaman kolonial. Peraturan perpajakan sebelumnya tidak
memperhatikan asas serta aspek pemerataan, keadilan, kepastian
hukum, dan pertumbuhan ekonomi.

12
2. Citra pajak dan aparatnya kurang baik
3. Sikap masyarakat apatis dan berprasangka jelek
4. Jumlah wajib pajak selama 38 tahun Indonesia merdeka hanya 435.517
5. Pemerintah pajak pada 1983/1984 sebesar Rp. 2,9 Triliun
Sebelum reformasi perpajakan berlaku di Indonesia, sistem pemungutan
pajaknya hanya bertumpu kepada Official Assessment System juga Self
Assessment System. Namun tetap berlaku juga With Holding System, yaitu sistem
pemungutan pajak diberikan kewenangannya kepada pihak ketiga (bukan Wajib
Pajak dan bukan juga fiskus). Sistem pembayaran pajak yang berlaku di Indonesia
saat ini dilandasi oleh sistem pemungutan di mana Wajib Pajak boleh menghitung
dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus disetorkan. Sistem ini dikenal
dengan sistem Self Assessment System.

Pada pasal 12 ayat 1 dan 2 UU No. 28 Tahun 2007 tentang Kententuan


Umum dan Tata Cara Perpajakan dinyatakan bahwa:
1. Setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak
menggantungkan pada adanya Surat Ketetapan Pajak (SKP).
2. Jumlah pajak yang terutang menurut surat pemberitahuan yang
disampaikan oleh Wajib Pajak adalah jumlah pajak yang terutang menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Jadi, penekanannya adalah Wajib Pajak harus aktif menghitung dan
melaporkan jumlah pajak terutangnya tanpa campur tangan fiskus.
Konsekuensi dijalankannya sistem ini adalah bahwa masyarakat harus benar-
benar mengetahui tata cara perhitungan pajak dan segala sesuatu yang
berhubungan dengan pelunasan pajaknya.14

14
Waluyo, Perpajakan Indonesia, (Jakarta: Selemba Empat, 2011), hal. 1-2

13
2.7. Prinsip yang Mendasari dalam Penyelesaian Sengketa dalam
Peradilan Pajak
Pengertian sengketa pajak menurut Undang – Undang Nomor 14 Tahun
2002 Tentang Pengadilan Pajak, dijelaskan bahwa Pasal 1 angka 5 adalah
“sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara wajib pajak atau
penanggung pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat di keluarkan
nya keputusan yang dapat diajukan banding atau gugatan kepada pengadilan
pajak berdasarkan peraturan perundang – undangan perpajakan, termasuk
gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang – undang penagihan
pajak dengan surat paksa. Timbulnya sengketa pajak berintrik pada dua (2) hal
yang sangat principal yaitu:15
1. Tidak melakukan perbuatan hukum yang sebagaimana telah di perintahkan
oleh kaidah hukum pajak;
2. Melakukan perbuatan hukum, tetapi tidak sesuai dengan kaidah hukum.
Proses penyelesaian sengketa perpajakan (dispute settlement) dapat
dilakukan
melalui berbagai cara. Menurut Thuronyi, sengketa pajak dapat diselesaikan
dengan cara: 16
a. Compromises, yaitu fiskus diberikan diskresi untuk menyelesaikan
permasalahan dengan Wajib Pajak, misalnya Fiskus diberikan kewenangan
untuk mengurangi sanksi administrasi;
b. Disputes Within the Taxation Authority, yaitu proses penyelesaian masih
dilakukan oleh fiskus, dimana pertama kali dilakukan oleh pihak yang
mengeluarkan ketetapan, dan apabila selanjutnya pihak WP masih tidak
dapat menerima, maka WP dapat mengajukan keberatan kepada pihak yang
merupakan divisi yang berbeda dari pihak yang mengeluarkan ketetapan;
dan

15
Muhammad Djafar Saidi, Hukum Acara Peradilan Pajak (Raja Grafindo Persada 2013).[30]
16
Hertanto Wijaya, Asas Keadilan Penyelesaian Sengketa Pajak Badan Usaha Terhadap Dirjen
Pajak Berdasarkan Hukum Pajak Indonesia (Repository Universitas Pasundan 2016). [19].

14
c. Tax Adjudications, yaitu proses penyelesaian yang dilakukan di pengadilan
pajak yaitu pihak yang independen dan terpisah fiskus.
Sengketa pajak merupakan sengketa hukum public, karena sengketa pajak
berkaitan dengan penggunaan wewenang negara dalam hal memungut pajak,
dengan demikian hukum materiel yang di terapkan adalah hukum publik,
dalam hal ini hukum pajak yang pada dasarnya berkarakteristik hukum
administrasi.13 Sehingga yang melandasi hukum acara peradilan administrasi
yang termasuk di dalam nya hukum acara Pengadilan Pajak sebagai hukum
public adalah asas praduga rechmatig (vermoeden van rechmatigheid), asas
pembuktian bebas, asas keaktifan hakim (dominus litis), dan putusan
pengadilan yang memiliki kekuatan mengikat erga omnes.17

17
Sutrisno, (n 6)., Op.Cit.

15
BAB III
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
Peradilan pajak adalah suatu proses penyelesaian semua bentuk sengketa
pajak, baik oleh pejabat administrasi pajak maupun oleh badan peradilan yang
independen. Prinsip yang mendasari dalam penyelesaian sengketa dalam
peradilan pajak adalah prinsip Kekuasaan Kehakiman (dominius litis) karena
dengan adanya prinsip Kekuasaan Kehakiman hakim Pengadilan Pajak
memiliki wewenang dalam memberikan arahan kepada penggugat untuk
melengkapi gugatan yang akan disampaikan secara jelas dalam persidangan.
Sehingga Hakim Pengadilan Pajak diperbolehkan untuk mengadakan
pemeriksaan persiapan sehingga dapat mengetahui pokok permasalahan
KTUN yang disengketakan.

Pengadilan pajak merupakan pengadilan tingkat pertama sekaligus terakhir


dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak. Kewenangan pengadilan pajak
tertera dalam Bab III tentang Kekuasaan Pengadilan Pajak.. Kompetensi relatif
pengadilan pajak adalah mencakup seluruh wilayah hukum yang ada di
Indonesia. Dengan kata lain, pengadilan pajak tidak mengikuti kompetensi
relatif badan peradilan di lingkungan peradilan tata usaha negara. Sedangkan
Kompetensi absolut pengadilan pajak adalah pengadilan pajak berwenang
untuk memeriksa dan memutus sengketa pajak berupa banding maupun
gugatan yang akan diajukan oleh pihak-pihak yang berkehendak untuk
memeriksa dan memutus sengketa pajak dan tidak boleh dilakukan oleh badan
peradilan lainnya termasuk pengadilan dalam lingkungan peradilan tata usaha
negara.

16
DAFTAR PUSTAKA
• Agus Satrija Utara, Modul Pengantsr Hukum Pajak (Kementerian Keuangan Republik
Indonesia Badan Pendidikan Dan Pelatihan Keuangan Pusat Pendidikan Dan Pelatihan
Pajak 2011).
• Bohari, Pengantar Hukum Pajak (Rajawali Pers 2008).
• Deddy Sutrisno, Hakikat Sengketa Pajak, Edisi Pertama (Kencana 2016).
• E.C.S Wade dan G. Godfrey Philips, Constitutional Law: An Outline of The Lawa and
Practice of The Constitution, Including Central and Local Government, the Citizen and
the State and Administrative Law (Longmans 1965).
• Erly Suandy, Hukum Pajak, Edisi Kedua (Salemba Empat 2005)
• Galang Asmara, Peradilan Pajak & Lembaga Penyanderaan (Gijzeling) Dalam Hukum
Pajak di Indonesia, (LasBang PRESSindo 2006).
• Hertanto Wijaya, Asas Keadilan Penyelesaian Sengketa Pajak Badan Usaha Terhadap
Dirjen Pajak Berdasarkan Hukum Pajak Indonesia (Repository Universitas Pasundan
2016).
• Ibrahim Saifudin dan Pranoto K, Pajak Pertambahan Nilai (Jaya Persada 1984)
• Ismail Rumadan, Laporan Penelitian Kedudukan Pengadilan Pajak Dalam Sistem
Peradilan Di Indonesia (Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Diklat Kumdil
Mahkamah Agung RI 2011).
• Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Pph (Pajak Penghasilan) (Direktorat
Jenderal Pajak 2013).
• M. Asrun, Krisis Peradilan di Bawah Mahkamah Agung, (ELSAM 2004).
• Mardiasmo, Perpajakan (Andi Offset 2003).
• Martitah, Mahkamah Konstitusi: Dari Negative Legislature ke Positive Legislature,
(Konstitusi Press 2013).

Anda mungkin juga menyukai