Anda di halaman 1dari 28

PERPAJAKAN I

HAK DAN KEWAJIBAN WAJIB PAJAK DAN FISKUS

Oleh:

KELOMPOK 9

Ni Putu Serli Anggita (2107531251)

I Gede Suradipa Brata (2107531282)

I Komang Adi Suryanada (2107531288)

PROGRAM STUDI SARJANA AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS UDAYANA

TAHUN 2022

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami mampu menyelesaikan ringkasan materi
kuliah Perpajakan I yang berjudul Hak dan Kewajiban Wajib Pajak dan Fiskus ini tepat pada
waktunya.

Adapun tujuan dari penulis makalah ini adalah untuk memenuhi tugas ringkasan mata
kuliah materi Perpajakan I. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan
tentang pengetahuan kita mengenai Hak dan Kewajiban Wajib Pajak dan Fiskus kepada
pembaca dan penulis.

Dalam penyusunan makalah ini, penulis dibantu oleh banyak pihak. Sehingga, melalui
kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak
yang telah membantu penulis makalah ini. Penulis menyadari, bahwa tidak ada sesuatu yang
sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak yang
bersifat konstruktif, untuk kesempurnaan karya tulis ini. Akhir kata, penulis berharap agar
karya tulis ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Jimbaran, 13 April 2022

Tim Penulis

2
DAFTAR ISI

JUDUL ....................................................................................................................................... 1

KATA PENGANTAR ............................................................................................................... 2

DAFTAR ISI.............................................................................................................................. 3

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................................... 4

1.1 Latar Belakang Masalah ..................................................................................................... 4


1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................................... 6
1.3 Tujuan ................................................................................................................................. 6
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................................... 7
2.1 Hak Wajib Pajak .................................................................................................................. 7

2.2 Kewajiban Wajib Pajak...................................................................................................... 13

2.3 Hak Fiskus ......................................................................................................................... 16

2.4 Kewajiban Fiskus ............................................................................................................... 18

2.5 Penghindaran Pajak ............................................................................................................ 20

2.6 Rahasia Jabatan .................................................................................................................. 22

2.7 Kuasa/Wakil Wajib Pajak .................................................................................................. 24

BAB III PENUTUP ................................................................................................................. 26

Kesimpulan ............................................................................................................................. 26

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 28

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Berbicara masalah pajak tentu tidak terlepas dari masalah hak dan kewajiban yang dimiliki
Wajib Pajak maupun Fiskus. Untuk itu, perlu dilihat kembali bagaimana sebenarnya literatur
pajak memandang hal demikian. Dalam literatur pajak, tidak permah ada satu definisi atau
pengertian yang menyebutkan bahwa pajak adalah hak masyarakat (rakyat). Bahlan, para ahli
pajak seperti prof. Adriani dan Prof. Rochmat Soemitro selalu memberikan pengertian yang
menyebutkan bahwa pajak bukanlah hak, melainkan kewajiban. Pengertian yang dijelaskan
menyatakan bahwa pajak adalah iuran kepada negara yang sifatnya dapat dipaksakan.

Pengertian ini menunjukan adanya kewajiban yang harus dilaksanakan oleh masyarakat
untuk membayar pajak. Apabila masyarakat tidak melaksanakan kewajibannya, pemerintah
bisa memaksanya. Sementara itu, pengertian hak tidak ada unsur pemaksa yang bisa dilakukan
dari pihak lain. Lalu pertanyaannya, apakah rakyat hanya menjalankan kewajiban saja bayar
pajak dan tidak ada hak yang diperolehnya? Tentu tidak demikian maksudnya.

Persoalan pajak memang tidak terlepas dari segala aspek kehidupan manusia. Setiap
aktivitas selalu terkait dengan masalah pajak terkecuali undang-undang sendiri menyebutkan
lain. Oleh karen itu, masyarakat perlu menyadari betapa pentingnya pajak walaupun tidak
menyenangkan karena sifatnya yang memaksa dan tidak ada imbalan langsung yang bisa
dirasakan. Kita menyadari bahwa kebutuhan sendiri. Bahwa, measlahatan hidup manusia tidak
akan pernah ada tanpa didukung dengan apa yang dinamakan pajak.

Tiap-tiap orang tidak akan mungkin bisa menyediakan fasilitas yang dibutuhkan sendiri
seperti rumah sakit, sekolah, rasa aman, transportasi, dan lainnya. Semua itu hanya bisa terjadi
bila ada kewajiban pembayaran yang dilakukan rakyat dengan nama pajak. Dari pajaklah
pemerintah menyediakan semua fasilitas umum tersebut untuk bisa dimanfaatkan bersama
sama. Kalau masyarakat telah melaksanakan kewajiban perpajakannya sesuai undang-undang,
baru masyarakat bisa menuntut haknya untuk mendapatkan pelayanan atas barang dan jasa
publik (public goods and service) dari pemerintah. Masyarakat harus melaksanakan
kewajibannya terlebih dahulu, baru menuntut haknya.

4
Dalam hidup bermasyarakat, seseorang tidak mungkin bisa menuntut haknya tanpa pernah
melaksanakan kewajibannya terlebih dahulu. Akan tetapi, ada hak yang sejak awalnya memang
melekat dalam diri seseorang, yaitu hak asasi manusia, seperti diatur dalam UUD 1945 beserta
perubahannya. Apabila masyarakat telah melaksanakan kewajibannya membayar pajak, maka
pemerintah memberikan segala bentuk pelayanan umum yang dibutuhkan masyarakat.
Pemberian ini tidak terbatas hanya kepada mereka yang membayar pajak, tetapi juga kepada
mereka yang belum membayar pajak.

Pertanyaannya, bagaimana bila pemerintah tidak melakukan kewajibannya? Bila ini yang
terjadi, masyarakat, khususnya mereka yang telah membayar pajak dengan benar, dapat
mengeluhkannya (complaint) kepada pemerintah. Inilah perwujudan hak demokrasi terkait
dengan kewajiban membayar pajak yang telah dilakukan rakyat untuk menuntut haknya.

Memahami hal demikian, maka para pengambil kebijakan atas setiap aktivitas ekonomi
yang terjadi di masyarakat haruslah menyadari bahwa pada akhirnya masyarakatlah yang
menjadi tujuan. Kebijakan politik maupun ekonomi yang diambil tidak boleh untuk
kepentingan segolongan masyarakat saja. Sekarang ini masyarakat sudah cukup cerdas untuk
menilai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Masyarakat adalah pemangku kepentingan
(stakeholder) dari segala aktivitas dan program kerja pemerintah, terlebih terkait dengan
kewajiban perpajakan yang wajib dilaksanakan oleh masyarakat itu sendiri.

Sejak diberlakukannya sistem self-assessment dalam undang-undang Perpajakan


Indonesia, telah diatur adanya hak dan kewajiban Wajib Pajak yang seimbang dengan hak dan
kewajiban fiskus (pegawai Direktorat Jenderal Pajak), sehingga Wajib Pajak dan Fiskus dapat
melaksanakan ketentuan yang ada dengan sebaik-baiknya.

5
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, kami susun rumusan masalah. Adapun rumusan masalah ini
dibuat lebih fokus dengan permasalahan yang terjadi.untuk mengatasi permasalahan yang
terjadi, kita harus mengetahui lebih dalam mengenai hak dan kewajiban wajib pajak dan
fiskus itu sendiri. Rumusan disusun sebagai berikut:
1. Hak Wajib Pajak
2. Kewajiban Wajib Pajak
3. Hak fiskus
4. Kewajiban Fiskus
5. Penghindaran Pajak
6. Rahasia Jabatan
7. Kuasa/wakil Wajib Pajak

1.3 Tujuan
Adapun tujuan pembelajaran umum yang akan dicapai dalam topik ini adalah anda dapat
mengetahui secara jelas atau terperinci mengenai Hak dan Kewajiban Wajib Pajak dan
Fiskus. Tujuan pembelajaran umum tersebut dapat diperinci dalam tujuan pembelajaran
khusus yang akan dicapai adalah sebagai berikut.

1. Dapat mengetahui hak wajib pajak


2. Dapat mengetahui kewajiban wajib pajak
3. Dapat mengetahui hak fiskus
4. Dapat mengetahui kewajiban fiskus
5. Dapat mengetahui apa itu penghindaran pajak
6. Dapat mengetahui rahasia jabatan dalam perpajakan
7. Dapat mengetahui tentang kuasa/wakil wajib pajak

6
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 HAK WAJIB PAJAK

Hak-hak Wajib Pajak yang diatur dalam undang-undang perpajakan adalah sebagai berikut.

1. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pengarahan dari fiskus.


Hak ini merupakan konsekuensi logis dari sistem self-assessment yang mewajibkan Wajib
Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan pajaknya sendiri.
Untuk dapat melaksanakan sistem tersebut, hak Wajib Pajak untuk mendapatkan
pembinaan dan pengarahan sesuai ketentuan yang berlaku tentu merupakan prioritas dari
seluruh hak yang dimiliki Wajib Pajak. Sekalipun sistem self-assessment berjalan, bukan
berarti Wajib Pajak akan paham semua ketentuan yang ada. Untuk itulah hak ini merupakan
prioritas yang perlu diketahui Wajib Pajak, berarti sosialisasi dan penerapan atas ketentuan
yang berlaku dapat berjaan dengan baik.

2. Hak untuk membetulkan Surat Pemberitahuan


Apabila Wajib Pajak dalam penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) terdapat kekeliruan
dalam pengisiannya, misalnya, karena ada data yang belum dilaporkan atau terdapat
kesalahan dalam menghitung, Wajib Pajak masih diberikan kesempatan untuk
membetulkannya dengan syarat fiskus belum melakukan tindakan pemeriksaan. Ketentuan
Pasal 8 ayat (1) UU KUP menegaskan bahwa pembetulan SPT tersebut diberikan dalam
jangka waktu 2 (dua) tahun sesudah berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak, atau tahun
pajak.

3. Hak untuk memperpanjang waktu penyampaian Surat Pemberitahuan.


Pasal 3 ayat (3) dan ayat (4) UU KUP menegaskan bahwa batas waktu penyampaian SPT
Masa paling lama 20 (dua puluh) hari setelah akhir masa pajak dan untuk SPT Tahunan
paling lambat 3 (tiga) bulan setelah akhir tahun pajak. Batas waktu tersebut dapat
diperpanjang paling lama 6 (enam) bulan dengan mengajukan permohonan secara tertulis.

7
4. Hak memperoleh kembali kelebihan pembayaran pajak.
Apabila Wajib Pajak dalam melakukan pembayaran pajaknya mengalami kelebihan, maka
atas kelebihan tersebut dapat diminta kembali (restitusi) dengan suatu permohonan tertulis,
sesuai ketentuan Pasal 11 UU KUP. Setelah fiskus (Kepala Kantor Pelayanan Pajak/Kantor
Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan-KPP/KPPBB tempat di mana Wajib Pajak terdaftar)
melakukan pemeriksaan, maka pengembaliannya dilakukan paling lama I (satu) bulan sejak
diterimanya permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sehubungan
diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB).

5. Hak mengajukan keberatan.


Apabila Wajib Pajak merasa tidak puas atas ketetapan pajak yang diterbitkan atau
pemotongan atau pemungutan pajak yang dilakukan pihak ketiga. Wajib Pajak dapat
mengajukan upaya hukum keberatan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal surat,
tanggal pemotongan atau pemungutan kecuali Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa
jangka waktu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya. Upaya keberatan
diajukan ke Kepala KPP/KPPBB sesuai ketentuan Pasal 25 UU KUP.

6. Hak mengajukan banding.


Apabila Wajib Pajak sudah mendapatkan keputusan atas upaya keberatan yang diajukan ke
kantor pajak dan merasa keputusan tersebut tidak memuaskannya, maka Wajib Pajak dapat
mengajukan upaya hukum banding ke Pengadilan Pajak sesuai ketentuan Pasal 27 UU
KUP. Permohonan banding diajukan dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak keputusan diterima
yang dilampiri dengan salinan dari surat keputusan dimaksud.

7. Hak mengadukan pejabat yang membocorkan rahasia Wajib Pajak.


Dalam penjelasan Pasal 34 UU KUP ditegaskan bahwa setiap pejabat, petugas pajak
maupun mereka yang melakukan tugas di bidang perpajakan untuk tidak mengungkapkan
kerahasiaan Wajib Pajak yang menyangkut masalah perpajakan, antara lain:
a. SPT, Laporan Keuangan, dan lain-lain yang dilaporkan oleh Wajib Pajak
b. Data yang diperoleh dalam rangka pemeriksaan
c. Dokumen/ data yang diperoleh dari pihak ketiga yang bersifat rahasia
d. Dokumen/ rahasia Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan peerundang-
undangan yang berkenan.

8
Apabila pejabat tersebut membocorkan rahasia Wajib Pajak kepada pihak lain, maka Wajib
Pajak dapat mengadukan pejabat tersebut karena telah melakukan tindak pidana perpajakan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 UU KUP.

8. Hak mengajukan permohonan untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak.


Dalam hal-hal tertentu, ada kalanya Wajib Pajak tidak dapat melunasi utang pajaknya
secara sekaligus. Misalnya, Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas atau mengalami
keadaan di luar kekuasaannya. Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan untuk
mengangsur atau menunda pembayaran pajaknya. Hak yang diberikan berdasarkan
ketentuan Pasal 9 ayat (4) UU KUP ini dimaksudkan untuk membantu Wajib Pajak yang
mengalami kondisi tersebut, sehingga Wajib Pajak tetap dapat melaksanakan kewajibannya
dengan baik dan tetap dapat menjalankan usahanya sesuai kondisi nyata Wajib Pajak yang
bersangkutan.

9. Hak meminta keterangan mengenai koreksi dalam penerbitan ketetapan pajak.


Pasal 25 ayat (6) UU KUP memberikan hak kepada Wajib Pajak agar Direktur Jenderal
Pajak memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan pajak,
penghitungan pajak, pemotongan atau pemungutan pajak. Hal ini terkait dengan proses
pengajuan upaya hukum keberatan yang akan disampaikan Wajib Pajak.

10. Hak memberikan alasan tambahan.


Pasal 26 ayat (2) UU KUP menegaskan bahwa sebelum surat keputusan atas keberatan
diterbitkan, maka Wajib Pajak dapat menyampaikan alasan tambahan atau penjelasan
tertulis. Alasan tambahan atau penjelasan tertulis ini merupakan suatu hal yang sangat baik
dalam rangka memperoleh gambaran yang lebih objektif terlebih disebabkan adanya
pemeriksaan yang dilaksanakan secara terburu-buru yang umumnya atas dasar batas waktu
pemeriksaan yang harus segera selesai.

11. Hak mengajukan gugatan.


Pasal 23 ayat (2) UU KUP menegaskan adanya hak Wajib Pajak untuk mengajukan gugatan
atas;
a. Pelaksaaan surat paksa, Surat Pemerintah Melaksanakan Penyitaan, atau pengumuman
lelang
b. Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yang
ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26
c. Keputusan pembetulan sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 yang berkaitan dengan

9
Surat Tagihan Pajak
d. Keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 yang berkaitan dengan Surat
Tagihan Pajak
Gugatan diajukan secara tertulis menggunakan bahasa Indonesia dan terhadap satu
pelaksanaan penagihan atau satu keputusan diajukan satu surat gugatan.

12. Hak untuk menunda penagihan Pajak


Hak untuk menunda penagihan pajak adalah berkaitan dengan proses banding yang sedang
dilakukan Wajib Pajak. Pasal 43 ayat (2) Undang Undang Pengadilan Pajak (UU PP)
menegaskan bahwa penggugatan dapat mengajukan permohonan agar tindak lanjut
penagihan pajak ditunda selama pemeriksaan sengketa pajak sedang berjalan, sampai ada
putusan pengadilan pajak. Permohonan tersebut diajukan sekaligus dalam surat gugatan
dan dapat diputus terlebih dahulu dari pokok sengketanya. Pengadilan pajak tentu dapat
mengabulkan permohonan dimaksud apabila terdapat keadaan yang sangat mendesak yang
mengakibatkan kepentingan penggugat sangat dirugikan jika pelaksanaan penagihan pajak
yang digugat itu dilaksanakan. Ketentuan tersebut merupakan pengecualian dari ketentuan
ayat (1) yang menegaskan bahwa gugatan tidak menunda atau menghalangi
dilaksanakannya penagihan pajak atau kewajiban perpajakan Wajib Pajak.

13. Hak memperoleh imbalan bunga.


Hak Wajib Pajak untuk memperoleh imbalan bunga didasarkan pada Pasal 27A UU KUP
bahwa apabila pengajuan keberatan atau banding diterima sebagian atau seluruhnya,
sepanjang utang pajak dalam SKPKB atau SKPKBT telah dibayar yang menyebabkan
kelebihan pembayaran pajak, maka kelebihan pembayaran pajak tersebut dikembalikan
dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua) persen sebulan untuk paling lama 24
(dua puluh empat) bulan dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan
pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya keputusan keberatan atau putusan
banding.

14. Hak mengajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.


Hak ini timbul berdasarkan ketentuan Pasal 91 UU PP yang hanya bisa dilakukan
berdasarkan alasan-alasan tertentu yang disebutkan dalam undang-undang. Misalnya,
adanya bukti tertulis baru yang penting dan bersifat menentukan, yang apabila diketahui
pada tahap persidangan, akan menghasilkan putusan yang berbeda

10
15. Hak mengurangi penghasilan kena pajak dengan biaya yang telah dikeluarkan.
Dalam menghitung besarnya penghasilan kena pajak. Wajib Pajak (khususnya Wajib Pajak
Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap-BUT) dapat mengurangi penghasilannya dengan
segala pengeluaran-pengeluaran yang telah ditentukan dalam undang-undang. Pasal 6 UU
PPh menegaskan adanya pengeluaran atau biaya yang dapat dikurangkan, adalah sebagai
berikut.
a. Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk biaya
pembelian bahan, biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji,
honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang,
bunga, sewa, royalti, biaya perjalanan, biaya pengolahan limbah, premi asuransi, biaya
administrasi, dan pajak kecuali PPh.
b. Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas
pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat
lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 11A.
c. Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan olehMenteri Keuangan.
d. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam
perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan.
e. Kerugian dari selisih kurs mata uang asing.
f. Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia.
g. Biaya beasiswa, magang, dan pelatihan.
h. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, dengan syarat:
1) telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial
2) telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau Badan
Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) atau adanya perjanjian tertulis
mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang
bersangkutan;
3) telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; dan
4) Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada
Direktorat Jenderal Pajak, yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan
Keputusan Direktur Jenderal Pajak.

11
16. Hak pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
Sesuai Pasal 7 UU PPh hak ini khusus diberikan kepada Wajib Pajak orang pribadi dengan
memberikan pengurangan sebesar Penghasilan Tidak Kena Pajak yang telah ditentukan.
Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 15/PJ/2006 tanggal 23 februari
2006, besarnya PTKP tersebut dihitung berdasarkan penghasilan netonya dikurangi dengan
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).

17. Hak menggunakan norma penghitungan penghasilan neto.


Hak ini diberikan kepada Wajib Pajak yang mempunyai peredaran bruto usaha dalam satu
tahun kurang dari Rp600 juta dengan syarat memberitahukan kepada Direktur Jenderal
Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan
sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 14 UU PPh. Norma penghitungan adalah suatu
pedoman untuk menentukan besarnya penghasilan neto yang diterbitkan oleh Direktur
Jenderal Pajak. Wajib Pajak yang menghitung penghasilan netonya dengan menggunakan
norma penghitungan penghasilan neto, wajib menyelenggarakan pencatatan. Wajib Pajak
yang tidak memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk menghitung penghasilan
neto dengan menggunakan norma penghitungan penghasilan neto, dianggap memilih
menyelenggarakan pembukuan.

18. Hak memperoleh fasilitas perpajakan.. Dalam Pasal 31A UU PPh ditegaskan adanya
fasilitas perpajakan yang diberikan kepada Wajib Pajak yang melakukan penanaman modal
pada bidang usaha tertentu dan/atau daerah tertentu dalam bentuk:
a. pengurangan penghasilan neto paling tinggi 30% dari jumlah penanaman yang
dilakukan;
b. penyusutan dan amortisasi yang dipercepat;
c. kompensasi kerugian yang lebih lama, tetapi tidak lebih dari 10 (sepuluh) tahun; dan
d. pengenaan PPh atas dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 sebesar 10%
kecuali apabila tarif menurut perjanjian perpajakan yang berlaku menetapkan lebih
rendah.
Sementara itu, Pasal 31B menyebutkan bahwa terhadap Wajib Pajak melakukan
restrukturisasi utang usaha melalui lembaga khusus yang dibentuk pemerintah, dapat
memperoleh fasilitas pajak yang bersifat terbats, baik dalam jangka waktu maupun jenisnya
berupa keringanan PPh yang terutang atas:

12
a. pembebasan utang
b. pengalihan harta kepada kreditur untuk penyelesaian
c. perubahan utang menjadi penyertaan modal

19. Hak untuk melakukan pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran.
Dalam UU PPN ditegaskan bahwa apabila Wajib Pajak (Pengusaha Kena Pajak)
mempunyai Pajak Masukan (Pajak yang dibayar kepada pihak lain), maka atas Pajak
Masukan tersebut dapat dikreditkan terhadap Pajak Keluaran (pajak yang dipungut dari
pihak lain). Apabila Pajak Masukan lebih besar daripada Pajak Keluaran, maka kondisi
laporan SPT Masa PPN menjadi lebih bayar. Bila kondisinya lebih bayar, atas lebih bayar
tersebut dapat dimintakan pengembaliannya (restitusi) atau dapat pula dikompensasikan ke
utang pajak pada masa pajak berikutnya. Sebaliknya, apabila Pajak Masukan lebih kecil
daripada Pajak Keluaran, maka kondisi laporan SPT Masa PPN menjadi kurang bayar. Bila
kurang bayar berarti PKP harus menyetor sebesar yang kurang bayar tersebut.

2.2 KEWAJIBAN WAJIB PAJAK

Kewajiban Wajib Pajak yang diatur dalam undang-undang perpajakan adalah sebagai berikut.

1. Kewajiban untuk mendaftarkan diri.


Ketentuan Pasal 2 UU KUP menegaskan bawah setiap Wajib Pajak wajib mendaftarkan
diri pada Ditektorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau
tempat kedudukan Wajib Pajak (NPWP). Sementara itu, khusus terhadap Wajib Pajak yang
harus menjadi pengusaha yang mempunyai kewajiban PPN berdasarkan UU PPN, wajib
melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), dan
kepadanya diberikan Nomor Pokok Pengusaha kena Pajak (NPPKP)/

2. Kewajiban mengisi dan menyampaikan Surat Pemberitahuan.


Ketentuan Pasal 3 ayat (1) UU KUP menegaskan bahwa setiap Wajib Pajak wajib mengisi
SPT dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf latin, angka arab, satuan mata
uang rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor pajak tempat Wajib
Pajak terdaftar.

13
3. Kewajiban membayar atau menyetor pajak.
Kewajiban Wajib Pajak untuk membayar atau menyetor pajak yang terutang dilakukan di
kas negara melalui kantor pos dan/atau bank Badan Usaha Milik Negara atau bank Badan
Usaha Milik Daerah atau tempat pembayaran lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan,
sesuai ketentuan Pasal 10 ayat (1) UU KUP. Bahkan, dalam penjelasannya disebutkan
bahwa pembayaran atau setoran pajak tidak diperbolehkan melalui Direktorat Jenderal
Pajak. Hal ini perlu dipahami oleh Wajib Pajak bahwa Direktorat Jenderal Pajak ataupun
petugas pajak tidak diperbolehkan menerima setoran pajak.

4. Kewajiban membuat pembukuan atau pencatatan.


Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan
Wajib Pajak badan di Indonesia diwajibkan membuat pembukuan, sesuai ketentuan Pasal
28 ayat (1) UU KUP. Sementara itu, pencatatan dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi
yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang diperbolehkan menghitung
penghasilan neto dengan menggunakan norma penghitungan penghasilan neto dan Wajib
Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan
huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang rupiah, dan disusun dalam bahasa Indonesia
dan/atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan. Pembukuan atau
pencatatan tersebut harus dibuat dengan memperhatikan iktikad baik dan mencerminkan
keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya.

5. Kewajiban Menaati Pemeriksaan Pajak


Terhadap Wajib Pajak yang diperiksa, sesuai ketentuan Pasal 29 ayat (3) UU KUP,
tentunya wajib menaati ketentuan pemeriksaan pajak. Misalnya, Wajib Pajak wajib
memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan dan dokumen lain yang
berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, memberikan kesempatan untuk
memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu dan memberi bantuan guna kelancaran
pemeriksaan, serta meberikan keterangan yang diperlukan oleh pemeriksa pajak.

6. Kewajiban melakukan pemotongan atau pemungutan pajak.


Kewajiban melakukan pemotongan atau pemungutan pajak ini dilakukan Wajib Pajak
terhadap pihak lain dalam rangka melaksanakan perintah UU PPh, seperti Pasal 21, Pasal
22, Pasal 23, Pasal 26, dan ketentuan UU PPN. Pajak yang telah dipotong atau dipungut
tersebut harus disetorkan ke kas negara melalui bank.

14
7. Kewajiban membuat Faktur Pajak.
Setiap Pengusaha Kena Pajak (PKP) wajib membuat Faktur Pajak untuk setiap penyerahan
Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP), sesuai ketentuan Pasal 13 UU PPN.
Faktur Pajak yang dibuat merupakan bukti adanya pungutan pajak yang dilakukan oleh
PKP. Faktur Pajak tersebut bisa berbentuk Faktur Pajak Standar yang isi dan bentuknya
telah ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak, dan Faktur Pajak Sederhana yang bentuknya
dibuat sesuai kebutuhan WP, namun tidak bertentangan dengan elemen yang diatur UU.

8. Kewajiban melunasi Bea Meterai.


Dalam UU Bea Meterai Nomor 13 Tahun 1985 disebutkan bahwa Bea Meterai merupakan
pajak yang dikenakan atas dokumen. Dokumen-dokumen yang wajib dilunasi Bea
Meterainya adalah dokumen yang berbentuk: Surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang
dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan,
kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata; akta-akta notaris termasuk salinannya; akta-
akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah termasuk rangkap rangkapnya; surat
yang yang memuat jumlah uang lebih dari Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) yang
menyebutkan penerimaan uang, yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan
uang dalam rekening di bank; yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank; yang
berisi pengakuan bahwa utang uang seluruhnya atau sebagiannya telah dilunasi atau
diperhitungkan; surat berharga seperti wesel, promes, aksep, dan cek yang harga
nominalnya lebih dari Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); efek dengan nama dan dalam
bentuk apa pun, sepanjang harga nominalnya lebih dari Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
Bahkan, atas dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka pengadilan,
seperti surat-surat biasa dan surat-surat kerumahtanggan, serta surat-surat yang semula
tidak dikenakan bea materai berdasarkan tujuannya, jika digunakan untuk tujuan lain atau
digunakan oleh orang lain, lain dari maksud semula, akan dikenakan bea cukai.

15
2.3 HAK FISKUS

Sekarang kita lihat apa saja hak-hak fiskus yang diatur dalam undang-undang Perpajakan
Indonesia. Hak-hak fiskus tersebut adalah sebagai berikut:

1. Hak menerbitkan NPWP atau NPPKP secara jabatan.


hak menerbitkan NPWP dan NPPKP dilakukan secara jabatan oleh karena Wajib Pajak
atau Pengusaha Kena Pajak tidak melaksanakan kewajibannya untuk mendaftarkan diri
dan/atau melaporkan usahanya ke kantor pajak sesuai Pasal 2 ayat (4) UU KUP. Hal ini
dilakukan apabila berdasarkan data yang diperoleh atau dimiliki kantor pajak ternyata
Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak telah memenuhi syarat untuk memperoleh NPWP
dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP)

2. Hak menerbitkan surat ketetapan pajak.


Berbagai surat ketetapan pajak yang merupakan hak fiskus untuk menerbitkannya adalah
Surat Tagihan Pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar
(SKPLB), Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN), Pengertian menerbitkan surat ketetapan
pajak sekaligus juga dalam arti membetulkannya secara jabatan, sesuai Pasal 16 ayat (1)
UU KUP.

3. Hak menerbitkan Surat Paksa dan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan.


Dalam hal Wajib Pajak tidak melunasi utang pajak sebagaimana ditentukan dalam Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar setelah jatuh tempo pembayaran, maka fiskus mempunyai
hak untuk menerbitkan Surat Paksa agar Wajib Pajak dalam waktu yang ditentukan, yaitu
2 x 24 jam harus melunasi utang pajaknya. Apabila dalam jangka waktu tersebut Wajib
Pajak tetap tidak melunasinya, maka fiskus dapat menindaklanjutinya dengan menerbitkan
Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, agar terhadap harta kekayaan Wajib Pajak
dilakukan penyitaan guna sebagai jaminan untuk melunasi utang pajaknya.

4. Hak melakukan pemeriksaan dan penyegelan.


Hak fiskus untuk melakukan pemeriksaan dalam rangka menguji kepatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan diatur dalam Pasal 29 UU KUP. Sementara itu,

16
terhadap penyegelan dilakukan fiskus terhadap tempat atau ruangan tertentu apabila Wajib
Pajak tidak memenuhi kewajibannya, yaitu tidak memberikan kesempatan kepada
pemeriksa pajak untuk memasuki tempat atau ruangan yang dipandang perlu guna
kelancaran pemeriksaan. Penyegelan dimaksudkan untuk mengamankan atau mencegah
hilangnya pembukuan, catatan-catatan, dan dokumen-dokumen lain yang diperlukan.

5. Hak menghapuskan atau mengurangi sanksi administrasi.


Dalam praktik penerbitan Surat Ketetapan Pajak, tentu dapat terjadi adanya ketidaktelitian
petugas pajak yang dapat membebani Wajib Pajak yang tidak bersalah atau tidak
memahami peraturan perpajakan. Dalam hal yang demikian, maka sanksi administrasi
berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terdapat dalam ketetapan pajak tersebut dapat
dihapuskan atau dikurangkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Bahkan, karena jabatannya pula
dan berlandaskan unsur keadilan, Direktur Jenderal Pajak dapat mengurangkan atau
membatalkan ketetapan pajak yang tidak benar. Misalnya, terhadap Wajib Pajak yang
ditolak pengajuan keberatannya karena tidak memenuhi persyaratan formal (memasukkan
surat keberatan tidak sesuai dengan batas waktunya) meskipun persyaratan material
dipenuhi. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 36 UU KUP

6. Hak melakukan penyidikan.


Penyidikan terhadap Wajib Pajak dapat dilakukan oleh Pejabat Pegawai Negeri Sipil
(PPNS) tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang diberi wewenang khusus
untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana diatur dalam
Pasal 44 UU KUP.

7. Hak melakukan pencegahan.


Hak melakukan pencegahan terhadap Wajib Pajak untuk pergi ke luar negeri didasarkan
pada ketentuan Pasal 29 UU tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (UU PPSP).
Pencegahan dilakukan apabila Wajib Pajak atau penanggung pajak mempunyai utang
sekurang-kurangnya Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan diragukan iktikad baiknya
dalam melunasi utang pajak.

17
8. Hak-hak melakukan penyanderaan.
Hak melakukan penyanderaan terhadao Wajib Pajak atau Penanggung Pajak didasarkan
pada ketentuan Pasal 33 ayat (1) UU PPSP, yaitu apabila masih mempunyai utang pajak
sekurang-kurangnya sebesar Rp.100.000,00 (seratus juta rupiah) dan diragukan iktikad
baiknya dalam melunasi utang pajak.

2.4 KEWAJIBAN FISKUS

Kewajiban fiskus yang diatur dalam undang-undang perpajakan adalah

1. Kewajiban untuk membina WP.


Kewajiban fiskus untuk membina Wajib Pajak merupakan satu kewajiban yang sangat
penting sekalipun sistem perpajakan yang dipakai sekarang adalah sistem self assessment.
Suksesnya penerimaan pajak antara lain juga ditentukan melalui pembinaan yang dilakukan
oleh fiskus. Pembinaan dapat dilakukan melalui berbagai upaya antara lain pemberian
penyuluhan ketentuan perpajakan terbaru, pemberian pengetahuan perpajakan, baik
melalui media massa maupun penerangan langsung kepada masyarakat.

2. Kewajiban menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.


Berdasarkan permohonan Wajib Pajak atas adanya kelebihan pembayaran pajak dan fiskus
telah melakukan pemeriksaan atas permohonan tersebut, maka sepanjang proses
pemeriksaan benar menghasilkan adanya kelebihan pembayaran pajak, fiskus
berkewajiban menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) paling lambat 12
(dua belas) bulan sejak surat permohonan diterima kantor pajak (Pasal 17B UU KUP).
Sementara itu, untuk Wajib Pajak dengan kriteria tertentu, akan diterbitkan Surat
Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak paling lambat 3 (tiga) bulan sejak
permohonan diterima untuk PPh dan paling lambat 1 (satu) bulan untuk PPN (Pasal 17C
UU KUP). Yang dimaksud dengan Wajib Pajak dengan kriteria tertentu adalah antara lain
yang mempunyai kriteria (penjelasan Pasal 17C ayat 2):
a. Patuh dalam menyampaikan SPT dan tidak mempunyai tunggakan pajak
b. Laporan keuangan diaudit oleh Akuntan Publik dengan pendapat wajar tanpa
pengecualian
c. Penghitungan jumlah peredaran usaha dan pajaknya mudah diketahui karena berkaitan
dengan aturan pemerintah lainnya, seperti peredaran usaha dan Pajak Pertambahan

18
Nilai (PPN) atas produsen rokok diketahui dari pelaksanaan cukai.

3. Kewajiban merahasiakan data WP


Setiap petugas pajak, sesuai ketentuan Pasal 34 UU KUP, dilarang mengungkapkan
kerahasiaan Wajib Pajak kepada pihak lain atas segala sesuatu yang menyangkut masalah
data perpajakan. Masalah kerahasiaan data di bidang perpajakan merupakan hal yang
sangat penting, karena data yang disampaikan oleh Wajib Pajak kepada fiskus bertalian
erat dengan masalah data perusahaan, penghasilan, kekayaan, pekerjaan, dan data-data
lainnya yang tidak boleh diketahui pihak lain. Kerahasiaan bertalian dengan data pribadi
Wajib Pajak sehingga perlu dijaga informasinya oleh fiskus.
Setiap pejabat pajak dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang
diketahuinya. Pejabat yang dimaksud adalah setiap petugas pajak maupun mereka yang
melakukan tugas di bidang perpajakan. Para ahli seperti ahli bahasa, akuntan, pengacara,
dan sebagainya yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk membantu pelaksanaan
undang-undang Perpajakan adalah sama dengan pengertian petugas pajak. Mereka dilarang
untuk mengungkapkan kerahasiaan WP. Sementara itu, yang dimaksud dengan rahasia
adalah segala sesuatu yang tersembunyi dan hanya boleh diketahui oleh seseorang atau
beberapa orang atau pun yang sengaja disembunyikan supaya orang lain tidak
mengetahuinya.
Jika Wajib Pajak telah melaporkan kewajiban perpajakannya dan keterangan lainnya
kepada pejabat yang menangani masalah perpajakan, Wajib Pajak harus merasa aman
bahwa segala sesuatu yang telah diberikannya tidak akan diketahui pihak lain. Apabila
kerahasiaan ini dilanggar, maka tindakan pejabat tersebut telah melanggar undang-undang
dan dapat dipidana sesuai Pasal 41 UU KUP. Namun demikian, kerahasiaan tersebut
dikecualikan apabila pejabat atau tenaga ahli tersebut bertindak sebagai saksi atau saksi
ahli dalam sidang pengadilan.

Untuk kepentingan pemeriksaan dalam sidang pengadilan, baik dalam perkara pidana
maupun perdata, maka atas permintaan tertulis dari hakim, Menteri Keuangan dapat
memberi izin tertulis meminta pejabat untuk memberikan bukti tertulis dan keterangan
Wajib Pajak yang ada pada pejabat tersebut. Permintaan hakim harus menyebutkan nama
tersangkan atau nama tergugat, keterangan-keterangan yang diminta serta kaitan antara
perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta.

19
2.5 PENGHINDARAN PAJAK

Penghindaran pajak adalah suatu skema yang dilakukan oleh Wajib Pajak untuk
mengurangi beban pajak dengan memanfaatkan celah dalam kebijakan dan peraturan
perpajakan. Ronen Palan (2008) menyebutkan suatu transaksi dikatakan sebagai penghindaran
pajak apabila melakukan salah satu tindakan sebagai berikut

a. Wajib pajak berusaha untuk membayar pajak lebih sedikit dari yang seharusnya.
b. Wajib pajak berusaha agar pajak dikenakan atas keuntungan yang di nyatakan dan bukan
atas keuntungan yang sebenarnya yang diperoleh
c. Wajib pajak mengusahakan penundaan pembayaran pajak.

Menurut James Kessler pengertian penghindaran pajak dibagi menjadi dua jenis, yakni:

1. Penghindaran pajak yang dapat diterima


Upaya wajib pajak dalam menghindari pajak yang bisa diterima secara hukum.
Penghindaran pajak ini dinamakan demikian karena dianggap memiliki tujuan yang baik
serta tidak dilakukan dengan transaksi yang direkayasa

2. Penghindaran pajak yang tidak dapat diterima


Upaya wajib pajak dalam menghindari pajak yang tidak bisa diterima secara hukum.
Penghindaran pajak ini tidak bisa dikatakan legal karena berdasarkan tujuan yang jahat dan
dilakukan dengan transaksi yang di rekayasa agar bisa menghindari kewajiban pembayaran
pajak.

Wajib Pajak mempunyai berbagai cara untuk melakukan penghindaran pajak, berikut
beberapa contohnya:

1. Hibah
Pasal 4 ayat (3) Huruf a Angka 2 dalam UU No. 36 tahun 2008 menjelaskan bahwa harta
hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah yang masih ada dalam garis keturunan lurus
dan dari satu derajat akan dikecualikan dari objek pajak. Sebagai contoh, seorang kakek
memberikan harta hibahan berupa tanah dan bangunan kepada cucunya. Menurut hukum
yang berlaku, hibahan ini tentu saja dianggap sebagai objek pajak karena penerima hibah
bukan merupakan garis keturunan lurus satu derajat.

20
Untuk menghindari pembebanan pajak pada hibahan ini, pemberi hibahan memanfaatkan
celah dari ketentuan pajak yang ada. Caranya adalah dengan terlebih dahulu menghibahkan
tanah dan bangunan ke anak kandung kakek tersebut guna mematuhi bagian “garis
keturunan lurus satu derajat”. Setelah itu, tanah dan bangunan dihibahkan sekali lagi dari
anak ke cucu sang kakek yang merupakan penerima hibahan yang sebenarnya

2. Pinjaman nominal besar ke bank


Mengutip Pasal 6 ayat (1) Huruf a dalam Undang- Undang Pajak Penghasilan, bunga
merupakan biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan
usaha. Saat Wajib Pajak menerima pinjaman dengan nominal besar, maka otomatis bunga
yang diberikan akan proporsional dengan total pinjaman yang didapat. Wajib Pajak
kemudian membebankan bunga pinjaman tadi dalam laporan keuangan fiskal, namun
pinjaman tersebut tidak tercatat menambah modal, sehingga penjualan tidak berkembang
dan keuntungan tidak bertambah. Dengan keuntungan yang kecil maka Wajib Pajak bisa
menghindari pembebanan pajak yang signifikan sehingga banyak yang melakukan
penghindaran pajak dengan cara ini.

3. Pemanfaatan PP No.23 tahun 2018


Keringanan yang didapatkan oleh para pengusaha UMKM Indonesia melalui ketentuan
pada PP No. 23 tahun 2018 seringkali disalahgunakan oleh pengusaha-pengusaha nakal
yang enggan membayar pajak penghasilan. Seperti yang umum diketahui, dengan
kebijakan ini pengusaha UMKM hanya diwajibkan membayar pajak penghasilan dengan
tarif 0,5% dari peredaran bruto bisnis. Guna memanfaatkan fasilitas ini, oknum nakal bisa
memecah laporan keuangan badan dan usaha pribadi agar peredaran bruto tidak melebihi
Rp4,8 miliar.

21
2.6 RAHASIA JABATAN

Rahasia jabatan adalah rahasia yang tidak akan diberitahukan kepada pihak lain supaya
wajib pajak dalam memberikan data dan keterangan tidak ragu-ragu.

Pejabat dilarang meberitahukan rahasia Wajib Pajak kepada pihak lain kecuali

1. Sebagai saksi atau saksi ahli dalam sidang pengadilan.


2. Memberikan keterangan kepada pihak lain yang ditetapkan Menteri Keuangan
3. Untuk kepentingan negara
4. Untuk pemeriksaan perkara pidana/pidata atas permintaan hakim dengan izin tertulis
Menteri Keuangan.

Pejabat yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang yang
menyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34
yakni:

Setiap pejabat, baik petugas pajak maupun mereka yang melakukan tugas di bidang perpajakan
dilarang mengungkapkan kerahasiaan Wajib Pajak yang menyangkut masalah perpajakan,
antara lain:

1. Surat Pemberitahuan, laporan keuanganm dan lain-lain yang dilaporkan oleh Wajib
Pajak
2. Data yang diperoleh dalam rangka pelaksanaan pemeriksaan
3. Dokumen dan/atau data yang diperoleh dari pihak ketiga yang besifat rahasia
4. Dokumen dan/ atau rahasia wajib pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undang yang berlaku

Para ahli, seperti ahli bahasa, akuntan, dan pengacara yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal
Pajak untuk membantu pelaksanaan undang-undang perpajakan adalah sama dengan petugas
pajak yang dilarang pula untuk mengungkapkan kerahasiaan Wajib Pajak sebagaimana
dimaksud pada pasal 34.

22
Keterangan yang dapat diberitahukan adalah identitas Wajib Pajak dan informasi yang bersifat
umum tentang perpajakan identitas Wajib Pajak meliputi:

1. Nama wajib pajak


2. Nomor Pokok Wajib Pajak
3. Alamat Kegiatan usaha
4. Alamat wajib pajak
5. Merek usaha
6. Kegiatan usaha wajib pajak

Informasi yang bersifat umum tentang perpajakan meliputi

1. Penerimaan pajak secara nasional


2. Penerimaan pajak per kantor wilayah Direktorat Jenderal Pajak dan per Kantor
Pelayanan Pajak
3. Penerimaan pajak per jenis pajak
4. Penerimaan pajak per klasifikasi lapangan usaha
5. Jumlah wajib pajak dan atau pengusaha kena pajak terdaftar
6. Register permohonan wajib pajak
7. Tunggakan pajak secara nasional dan
8. Tunggakan pajak per kantor Wilayah Diretorat Jenderal Pajak dan atau per Kantor
Pelayanan Pajak

Untuk kepentingan negara, misalnya dalam rangka penyidikan, penuntutan, atau dalam
rangka mengadakan kerja sama dengan instansi pemerintah lain, keterangan atau bukti
tertulis dari atau tentang Wajib Pajak dapat diberikan atau diperlihatkan kepada pihak
tertentu yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.

Dalam surat izin yang diterbitkan oleh Menteri Keuangan harus dicantumkan nama Wajib
Pajak, nama pihak yang ditunjuk, dan nama pejabat, ahli, atau tenaga ahli yang diizinkan
untuk memberikan keterangan atau memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib
Pajak. Pemberian izin tersebut dilakukan secara terbatas dalam hal-hal yang dipandang
perlu oleh Menteri Keuangan.

Untuk melaksanakan pemeriksaan pada sidang pengadilan dalam perkara pidana atau
perdata yang berhubungan dengan masalah perpajakan, demi kepentingan peradilan,

23
Menteri Keuangan memberikan izin pembebasan atas kewajiban kerahasiaan kepada
pejabat pajak dan para ahli sebagaimana dimaksud dalam pasal ini atas permintaan tertulis
hakim ketua sidang.

Ayat ini merupakan pembatasan dan penegasan bahwa keterangan perpajakan yang diminta
hanya mengenai perkara pidana atau perdata tentang perbuatan atau peristiwa yang
menyangkut bidang perpajakan dan hanya terbatas pada tersangka yang bersangkutan.
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

Perbuatan atau tindakan seperti dimaksud pada pasal ini yang dilakukan dengan sengaja
dikenai sanksi yang lebih berat dibandingkan dengan perbuatan atau tindakan yang
dilakukan karena kealpaan agar pejabat yang bersangkutan lebih berhati-hati untuk tidak
melakukan perbuatan membocorkan rahasia Wajib Pajak.

Penuntutan terhadap tindak pidana sebagaimana tertera dalam pasal ini hanya dilakukan
atas pengaduan orang yang kerahasiaannya dilanggar. Tuntutan pidana terhadap
pelanggaran kerahasiaan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini sesuai dengan sifatnya
adalah menyangkut kepentingan pribadi seseorang atau badan selaku Wajib Pajak.

2.7 KUASA/WAKIL WAJIB PAJAK

Wajib Pajak dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan
hak dan memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang perpajakan. Seorang kuasa harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

1. Menguasai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan


2. Memiliki surat kuasa khusus dari wajib pajak yang memberi kuasa
3. Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak
4. Telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak
Terakhir

24
5. Tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan Surat kuasa
khusus sedikit memuat:
a) Nama, alamat, dan tanda tangan di atas materai serta Nomor Pokok Wajib Pajak dari
Wajib Pajak pemberi kuasa
b) Nama, alamat, dan tandatangan serta Nomor Pokok Wajib Pajak penerima kuasa
c) Hak dan /atau kewajiban perpajakan tertentu yang dikuasakan

Seorang kuasa tidak dapat melimpahkan kuasa yang diterima dari Wajib Pajak kepada orang
lain. Dalam melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban perpajakan tertentu yang
dikuasakan, dengan surat penunjukan seorang kuasa hanya dapat meminta orang lain atau
karyawannya untuk menyampaikan dan/atau menerima dokumen perpajakan tertentu yang
diperlukan kepada dan/atau dari pegawai Direktorat Jenderal Pajak. Orang lain atau karyawan
yang ditunjuk oleh seorang kuasa, harus menyerahkan surat penunjukan kepada pegawai
Direktorat Jenderal Pajak pada saat melaksanakan tugasnya.

Seorang kuasa hanya mempunyai hak dan/atau kewajiban perpajakan tertentu yang dikuasakan
Wajib Pajak sesuai dengan surat kuasa khusus. Dalam melaksanakan hak dan/atau memenuhi
kewajiban perpajakan tertentu, seorang kuasa wajib mematuhi ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang perpajakan. Seorang kuasa tidak dapat melaksanakan hak dan/atau
kewajiban Wajib Pajak yang dikuasakan kepadanya apabila dalam melaksanakan hak dan/atau
memenuhi kewajiban perpajakannya:

1. Melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan


2. Menghalang-halangi pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
perpajakan
3. Dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana lainnya.

25
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN

Wajib pajak memiliki hak untuk mendapatkan pembinaan dan pengarahan dari fiskus, hak
untuk membetulkan Surat Pemberitahuan, hak untuk memperpanjang waktu penyampaian
Surat Pemberitahuan, Hak memperoleh kembali kelebihan pembayaran pajak, hak mengajukan
keberatan, hak mengajukan banding, hak mengadukan pejabat yang membocorkan rahasia
Wajib Pajak, hak mengajukan permohonan untuk mengangsur atau menunda pembayaran
pajak, hak meminta keterangan mengenai koreksi dalam penerbitan ketetapan pajak, hak
meberikan alasan tambahan, hak mengajukan gugatan, hak untuk menunda penagihan pajak,
hak memperoleh imbalan bunga, hak mengajukan peninjauan kembali ke MA, hak mengurangi
penghasilan kena pajak dengan biaya yang dikeluarkan, hak pengurangan berupa penghasilan
tidak kena pajak, hak menggunakan norma penghitungan penghasilan neto, hak memperoleh
fasilitas perpajakan, dan terakhir hak untuk melakukan pengkreditan Pajak Masukan terhadap
Pajak Keluaran.

Wajib Pajak memiliki kewajiban yaitu; kewajiban untuk mendaftarkan diri, kewajibban
mengisi dan menyampaikan surat pemberitahuan, kewajiban membayar atau menyetor pajak,
kewajiban membuat pembukuan atau pencatatan, kewajiban menaati pemeriksaan pajak,
kewajiban melakukan pemotongan atau pemungutan pajak, kewajiban membuat faktur pajak,
dan terakhir kewajiban melunasi Bea Materai.

Hak-hak fiskus yaitu; hak menerbitkan NPWP atau NPPKP secara jabatan, hak
menerbitkan surat ketetapan pajak, hak menerbitkan surat paksa dan surat perintah
melaksanakan penyitaan, hak melakukan pemeriksaan dan penyegelan, hak menghapuskan
atau mengurangi sanksi administrasi, hak melakukan penyidikan, hak melakukan pencegahan,
dan terakhir hak melakukan penyanderaan.

Fiskus memiliki kewajiban yaitu; kewajiban untuk membina wajib pajak, kewajiban
menerbitkan surat ketetapan pajak lebih bayar, kewajiban merahasiakan data WP, dan terakhir
kewajiban melaksanakan putusan.

26
Penghindaran pajak adalah suatu skema yang dilakukan oleh Wajib Pajak untuk
mengurangi beban pajak dengan memanfaatkan celah dalam kebijakan dan peraturan
perpajakan

Rahasia jabatan adalah rahasia yang tidak akan diberitahukan kepada pihak lain supaya
wajib pajak dalam memberikan data dan keterangan tidak ragu-ragu.

Wajib Pajak dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan
hak dan memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang perpajakan

27
DAFTAR PUSTAKA

Ilyas, Wirawan B. Dan Richard Burton. (2014). Hukum Pajak. Jakarta Selatan: Salemba
Empat

Direktorat Jenderal Pajak. (2018). Kuasa Hukum Pajak. Diakses pada 17 April 2022, dari
https://pajak.go.id/id/kuasa-wajib-pajak

Ariyanti, Fiki. (2017). Sanksi Petugas Pajak yang Bocorkan Data Nasabah Makin Berat.
Diakses pada 17 April 2022, dari https://m.liputan6.com/bisnis/read/2986312/sanksi-petugas-
pajak-yang-bocorkan-data-nasabah-makin-berat

Tommy, Josua. (2020). Praktik Penghindaran Pajak di Indonesia. Diakses pada 17 April
2022, dari https://pajak.go.id/id/artikel/praktik-penghindaran-pajak-di-indonesia

Ayo! Pajak. (2021). Mengenal Apa Itu Tax Avoidance. Diakses pada 17 April 2022, dari
https://ayopajak.com/tax-avoidance-adalah/

Asosiasi Tax Center Perguruan Tinggi Seluruh Indonesia. (2016). Memahami Arti Tax
Avoidance. Diakses pada 17 April 2022, dari https://atpetsi.or.id/memahami-arti-tax-avoidance

28

Anda mungkin juga menyukai