Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

PAJAK DALAM PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM

Mata kuliah manajemen ziswaf dan Perpajakan

Semester III A Ekonomi Syariah

Dosen pengampu :

Dr. H Irpan Jamil, MA

Disusun Oleh :

Astri Nur Annisa 6020221009

Muhammad Fikri 6020221024

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS SURYAKENCANA

2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, sebagai pencipta atas segala
kehidupan yang senantiasa memberikan rahmat sehingga penulis dapat
menyelesaikan tugas makalah ini.
Dalam kesempatan ini, penulis juga ingin mengucapkan terima kasih dengan
hati yang tulus kepada seluruh teman-teman yang telah membantu dalam
penyelesaian makalah ini semoga Tuhan senantiasa membalas dengan kebaikan
yang berlipat ganda. Aminn...
Kami menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna,
oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun
dari semua saudara/saudari guna perbaikan di masa yang akan datang. Harapan
penulis semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua saudara/saudari.

Cianjur, 12 Januari 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................i
DAFTAR ISI....................................................................................................................ii

BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG...........................................................................................4
RUMUSAN MASALAH......................................................................................5
TUJUAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN......................................................5

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian, fungsi, dan jenis – jenis pajak di indonesia...................................6
B. Produk hukum perpajakan di indonesia............................................................8
C. Pajak dalam perspektif hukum islam................................................................9
D. Analisi perbedaan pajak dan zakat..................................................................14
E. Konsep pajak dalam prespektif Ekonomi Islam..............................................16

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan..........................................................................................................16
Saran ...................................................................................................................17
Daftar pustaka .....................................................................................................18

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masyarakat Indonesia mayoritas beragama Islam, persentasenya


mencapai 88%. Bahkan merupakan jumlah muslim terbesar di dunia.
Berkaitan dengan harta dan penghasilan umat Islam, terdapat kewajiban
berupa zakat bagi yang telah memenuhi syarat. Di sisi lain, sebagai warga
negara Indonesia, umat Islam juga memiliki kewajiban pajak bagi yang telah
memenuhi syarat, karena telah dibuat undang-undang yang mewajibkan itu.
Pembayaran pajak merupakan perwujudan dari kewajiban kenegaraan dan
peran serta Wajib Pajak untuk secara langsung dan bersama-sama
melaksanakan kewajiban perpajakan untuk pembiayaan negara dan
pembangunan nasional. Sesuai falsafah undang-undang perpajakan, membayar
pajak bukan hanya merupakan kewajiban, tetapi merupakan hak dari setiap
warga Negara untuk ikut berpartisipasi dalam bentuk peran serta terhadap
pembiayaan negara dan pembangunan nasional.
Menyikapi kewajiban pajak berdasarkan undang-undang ini, terdapat
beberapa pendapat di kalangan umat Islam dari yang pro maupun yang kontra
karena telah ada kewajiban zakat terhadap harta dan penghasilannya yang
telah memenuhi syarat. Pro kontra terkait dengan hal ini harus didudukkan
pada proporsi yang semestinya agar terjadi mutual understanding yang
membawa kemaslahatan bagi masa depan kesejahteraan umat Islam
khususnya dan bangsa Indonesia umumnya. Dalam konteks itulah makalah ini
ditulis. Makalah ini akan mulai membahas tentang beberapa pertanyaan
apakah makna,
B. Rumusan Masalah
Terdapat beberapa permasalahan yang dibahas dalam penulisan makalah ini,
yaitu :
1. Apa fungsi dan jenis-jenis pajak?
2. Adakah pajak dalam Islam?
3. Apa saja sumber pendapatan negara menurut Islam?
4. Bagaimana posisi zakat terhadap pajak?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah agar mahasiswa mengerti


dan memahami tentang Pajak dalam perspektif hukum islam. Dan dapat
dijadikan sebagai bahan pedoman dalam mempelajari mata kuliah.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian, Fungsi, dan Jenis-Jenis Pajak di Indonesia

1. Pengertian Pajak

Menurut UU No 28 Tahun 2007, pasal 1, pajak adalah kontribusi wajib


kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat
memaksa berdasarkan Undang-Undang dengan tidak mendapatkan imbalan
secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya
untuk kemakmuran rakyat.1
Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, ciri-ciri pajak adalah
sebagai berikut:
a) Pajak adalah pengalihan sumber-sumber dari sektor swasta ke sektor
negara, artinya bahwa yang berhak melakukan pemungutan pajak adalah
negara, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah (Pemda). Di
Indonesia Pemda yang berwenang memungut pajak adalah pemerintah
propinsi maupun pemerintah Kabupaten/Kota. Sedangkan yang dipungut
adalah pihak swasta dalam pengertian luas baik sektor swasta, koperasi
maupun BUMN dan BUMD dan lain-lain. Secara konsep pajak dapat
dibayar dengan uang maupun barang atau jasa selain uang.
b) Berdasarkan UU, artinya bahwa walaupun negara mempunyai hak untuk
memungut pajak namun pelaksanaannya harus memperoleh persetujuan
dari wakil-wakil rakyat dengan menyetujui UU. Karena pemungutan pajak
berdasarkan UU berarti bahwa pemungutannya dapat dipaksakan.
c) Tanpa imbalan dari negara yang langsung dapat ditunjuk secara individual,
artinya bahwa imbalan tersebut tidak dikhususkan bagi rakyat secara
individual dan tidak dapat dihubungkan secara langsung dengan besarnya
pajak. Imbalan dari negara kepada rakyat sifatnya tidak langsung.

1 UU No 28 Tahun 2007, pasal 1


d) Untuk membiayai pengeluaran pemerintah baik pengeluaran rutin maupun
pengeluaran pembangunan.2

2. Fungsi Pajak

Fungsi pajak dibagi menjadi dua, yaitu: fungsi budgetair atau


fungsi finansial dan fungsi redistribusi pendapatan bagi masyarakat.
Fungsi yang pertama, sebagaimana halnya perekonomian dalam suatu
rumah tangga atau keluarga, perekonomian negara juga mengenal sumber-
sumber penerimaan dan pos-pos pengeluaran. Pajak merupakan sumber
utama penerimaan negara. Tanpa pajak, sebagian besar kegiatan negara
sulit untuk dapat dilaksanakan. Penggunaan uang pajak meliputi mulai dari
belanja pegawai sampai dengan pembiayaan berbagai proyek
pembangunan. Pembangunan sarana umum seperti jalan-jalan, jembatan,
sekolah, rumah sakit/puskesmas, kantor polisi dibiayai dengan
menggunakan uang yang berasal dari pajak. Uang pajak juga digunakan
untuk pembiayaan dalam rangka memberikan rasa aman bagi seluruh
lapisan masyarakat.
Setiap warga negara mulai saat dilahirkan sampai dengan
meninggal dunia, menikmati fasilitas atau pelayanan dari pemerintah yang
semuanya dibiayai dengan uang yang berasal dari pajak. Dengan demikian
jelas bahwa peranan penerimaan pajak bagi suatu negara menjadi sangat
dominan dalam menunjang jalannya roda pemerintahan dan pembiayaan
pembangunan.3
Disamping fungsi budgetair (fungsi penerimaan) di atas, pajak
juga melaksanakan fungsi regulerend atau fungsi mengatur yaitu fungsi
pajak untuk mengatur sesuatu keadaan di masyarakat di bidang sosial/
ekonomi/ politik sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah. Oleh karena itu
tingkat kepatuhan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban
2 Kesit, op.cit., hal. 3. Lihat juga Waluyo, Perpajakan Indonesia. (Jakarta: Penerbit Salemba Empat, 2006),
hal. 3.
3 Buku Panduan Hak dan Kewajiban Perpajakan, diterbitkan dalam bentuk e-book oleh Dirjen Pajak
Depkeu RI, http://www.pajakonline.com/engine/learning/view.php?id=765, diakses 01 Desember 2009.
perpajakannya secara baik dan benar merupakan syarat mutlak untuk
tercapainya fungsi ini. Sehingga pada akhirnya kesenjangan ekonomi dan
sosial yang ada dalam masyarakat dapat dikurangi secara maksimal.

B. Produk Hukum Perpajakan di Indonesia

Hukum pajak adalah kumpulan peraturan yang mengatur hubungan


antara pemerintah dengan rakyat atau wajib pajak. Pemerintah sebagai
pemungut pajak dan wajib pajak atau rakyat sebagai pembayar pajak. Hukum
pajak sering disebut hukum fiskal. Pemerintah sebagai pemungut dan
administratur pajak disebut dengan Fiskus. Hukum pajak dapat dibagi
menjadi 2 macam; yaitu hukum pajak materiel dan hukum pajak formil.4

Hukum pajak materiel adalah hukum pajak yang memuat norma-


norma tentang:

1. Obyek pajak: yaitu obyek apa yang dikenakan pajak. Obyek pajak sering
disebut tatsbestand .

- Subyek pajak; yaitu siapa yg dikenakan pajak

- Tarip pajak

- Sanksi-sanksi dalam hubungan hukum antara pemerintah dengan


wajib pajak

Hukum pajak formil adalah hukum pajak yang memuat cara-cara


untuk mewujudkan hukum pajak materiel menjadi suatu kenyataan atau
realisasi. Hukum pajak formil antara lain memuat:

- Tata cara (prosedur) penetapan jumlah utang pajak.

- Hak-hak fiskus untuk mengadakan monitoring dan pengawasan

- Kewajiban mengadakan pembukuan atau pencatatan


4 Kesit Bambang Prakosa, op.cit., hal. v
- Prosedur pengajuan surat keberatan, banding dan sebagainya.

Pokok-pokok produk hukum nasional yang mengatur tentang


perpajakan dapat disebutkan sebagai berikut:

a. Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas


Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan

b. Undang-undang No. 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum


Perpajakan. Perubahan terhadap UU No. 6 Tahun 1983.

c. Undang-undang No. 12 Tahun 1985 tentang pajak bumi dan bangunan

d. UU Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor


8 Tahun 1983 tentang pajak pertambahan nilai barang dan jasa dan
pajak penjualan atas barang mewah.

e. UU Nomor 21 Tahun 1997 tentang bea perolehan hak atas tanah


dan/atau bangunan (telah diamandemen menjadi UU Nomor 20 Tahun
2000.5

C. Pajak dalam Perspektif Hukum Islam

Ulama berbeda pendapat terkait apakah ada kewajiban kaum muslim


atas harta selain zakat. Mayoritas fuqaha berpendapat bahwa zakat adalah
satu-satunya kewajiban kaum muslim atas harta. Barang siapa telah
menunaikan zakat, maka bersihlah hartanya dan bebaslah kewajibannya.
Dasarnya adalah berbagai hadis Rasulullah. Di sisi lain ada pendapat ulama
bahwa dalam harta kekayaan ada kewajiban lain selain zakat. Dalilnya adalah
QS Al-Baqarah: 177; Al-An’am: 141; Al-Ma’un: 4-7; Al-Maidah: 2; Al-Isra’:
26; An-Nisa’: 36; al-Balad: 11-18, dan lain-lain. Jalan tengah dari dua
perbedaan pendapat ini adalah bahwa kewajiban atas harta yang wajib adalah

5 http://www.pajakonline.com/engine/learning/index_cat.php?id=226,. Diakses pada tanggal 01 Desember


2010
zakat, namun jika datang kondisi yang menghendaki adanya keperluan
tambahan (darurah), maka aka nada kewajiban tambahan lain berupa pajak
(dharibah). Pendapat ini misalnya dikemukakan oleh Qadhi Abu Bakar Ibn al-
Aarabi, Imam Malik, Imam Qurtubi, Imam Syatibi, Mahmud Syaltut, dan lain-
lain.6
Diperbolehkannya memungut pajak menurut para ulama tersebut di atas,
alasan utamanya adalah untuk kemaslahatan umat, karena dana pemerintah
tidak mencukupi untuk membiayai berbagai “pengeluaran”, yang jika
pengeluaran itu tidak dibiayai, maka akan timbul kemadaratan. Sedangkan
mencegah kemudaratan adalah juga suatu kewajiban. Sebagaimana kaidah
ushul fiqh:

Ma layatimmul wajib illa bihi fahuwa wajib

Oleh karena itu pajak tidak boleh dipungut dengan cara paksa dan
kekuasaan semata, melainkan karena ada kewajiban kaum muslimin yang
dipikulkan kepada Negara, seperti member rasa aman, pengobatan dan
pendidikan dengan pengeluaran seperti nafkah untuk para tentara, gaji
pegawai, hakim, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, pajak memang
merupakan kewajiban warga Negara dalam sebuah Negara muslim, tetapi
Negara berkewajiban pula untuk memenuhi dua kondisi (syarat):
1. Penerimaan hasil-hasil pajak harus dipandang sebagai amanah dan
dibelanjakan secara jujur dan efisien untuk merealisasikan tujuan-tujuan
pajak.
2. Pemerintah harus mendistribusikan beban pajak secara merata di antara
mereka yang wajib membayarnya.7
Para ulama yang mendukung diperbolehkannya memungut pajak
menekankan bahwa yang mereka maksud adalah system perpajakan yang adil,

6 Gusfahmi, Pajak Menurut Syariah. (Jakarta: Rajawali Press, 2007), hal. 169-181.
7 Umer Chapra, Islam and The Economic challenge. (Herndon: IIIT, 1995). Diterjemahkan oleh
Ikhwan Abidin Basri, Islam dan Tantangan Ekonomi. (Jakarta: GIP, 2000), hal. 299.
yang selaras dengan spirit Islam. Menurut mereka, system perpajakan yang
adil adalah apabila memenuhi tiga criteria:

1. Pajak dikenakan untuk membiayai pengekuaran yang ebnar-benar


diperlukan untuk merealisasikan maqasid Syariah.

2. Beban pajak tidak boleh terlalu kaku dihadapkan pada kemampuan rakyat
untuk menanggung dan didistribusikan secara merata terhadap semua
orang yang mampu membayar

3. Dana pajak yang terkumpul dibelanjakan secara jujur bagi tujuan yang
karenanya pajak diwajibkan.

Dalam istilah bahasa Arab, pajak dikenal dengan nama Adh-Dharibah,


yang artinya adalah beban. Ia disebut beban karena merupakan kewajiban
tambahan atas harta setelah zakat, sehingga dalam pelaksanaannya akan
dirasakan sebagai sebuah beban. Secara bahasa maupun tradisi, dharibah
dalam penggunaannya memang mempunyai banyak arti, namun para ulama
memakai ungkapan dharibah untuk menyebut harta yang dipungut sebagai
kewajiban dan menjadi salah satu sumber pendapatan negara. Sedangkan
kharaj adalah berbeda dengan dharibah, karena kharaj adalah pajak yang
obyeknya adalah tanah (taklukan) dan subyeknya adalah non-muslim.
Sementara jizyah obyeknya adalah jiwa (an-nafs) dan subyeknya adalah juga
non-muslim.

Sumber utama pendapatan Negara menurut Islam dapat diklasifikasikan


sebagai berikut:
Selain itu, Negara juga mendapatkan sumber pendapatan sekunder, yaitu
dari denda-denda (kafarat), hibah, hadiah, dan lain-lain yang diterima secara
tidak tetap.
Adapun pengertian pajak menurut Yusuf Qaradhawi adalah kewajiban
yang ditetapkan terhadap wajib pajak, yang harus disetorkan kepada Negara
sesuai dengan ketentuan, tanpa mendapat prestasi kembali dari Negara, dan
hasilnya untuk membiayai pengeluran-pengeluaran umum di satu pihak dan
untuk merealisasi sebagian tujuan ekonomi, social, politik dan tujuan-tujuan
lain yang ingin dicapai oleh Negara. Gazi Inayah berpendapat bahwa pajak
adalah kewajiban untuk membayar tunai yang ditentukan oleh pemerintah atau
pejabat berwenang yang bersifat mengikat tanpa adanya imbalan tertentu.
Ketentuan pemerintah ini sesuai dengan kemampuan si pemilik harta dan
dialokasikan untuk mencukupi kebutuhan pangan secara umum dan untuk
memenuhi tuntutan politik keuangan bagi pemerintah.
Abdul Qadim berpendapat pajak adalah harta yang diwajibkan Allah Swt
kepada kaum muslim untuk membiayai berbagai kebutuhan dan pos-pos
pengeluaran yang memang diwajibkan atas mereka, pada kondisi baitul mal
tidak ada uang/harta.
Dari berbagai definisi tersebut, nampak bahwa definisi yang
dikemukakan Abdul Qadim lebih dekat dan tepat dengan nilai-nilai Syariah,
karena di dalam definisi yang dikemukakannya terangkum lima unsur penting
pajak menurut Syariah, yaitu:
1. Diwajibkan oleh Allah Swt
2. Obyeknya harta
3. Subyeknya kaum muslim yang kaya
4. Tujuannya untuk membiayai kebutuhan mereka
5. Diberlakukan karena aanya kondisi darurat (khusus), yang harus segera
diatasi oleh Ulil Amri.
Adapun karakteristik pajak (dharibah) menurut Syariat, yang hal ini
membedakannya dengan pajak konvensional adalah sebagai berikut:
1. Pajak (dharibah) bersifat temporer, tidak bersifat kontinyu, hanya boleh
dipungut ketika di baitul mal tidak ada harta atau kurang. Ketika baitul
mal sudah terisi kembali, maka kewajiban pajak bisa dihapuskan.
Berbeda dengan zakat, yang tetap dipungut, sekalipun tidak ada lagi
pihak yang membutuhkan (mustahik). Sedangkan pajak dalam perspektif
konvensional adalah selamanya (abadi).
2. Pajak (dharibah) hanya boleh dipungut untuk pembiayaan yang
merupakan kewajiban bagi kaum muslimin dan sebatas jumlah yang
diperlukan untuk pembiayaan wajib tersebut, tidak boleh lebih.
Sedangkan pajak dalam perspektif konvensional ditujukan untuk seluruh
warga tanpa membedakan agama.
3. Pajak (dharibah) hanya diambil dari kaum muslim, tidak kaum non-
muslim. Sedangkan teori pajak konvensional tidak membedakan muslim
dan non-muslim dengan alasan tidak boleh ada diskriminasi.
4. Pajak (dharibah) hanya dipungut dari kaum muslim yang kaya, tidak
dipungut dari selainnya. Sedangkan pajak dalam perspektif
konvensional, kadangkala juga dipungut atas orang miskin, seperti PBB.
5. Pajak (dharibah) hanya dipungut sesuai dengan jumlah pembiayaan
yang diperlukan, tidak boleh lebih.
6. Pajak (dharibah) dapat dihapus bila sudah tidak diperlukan. Menurut
teori pajak konvensional, tidak akan dihapus karena hanya itulah sumber
pendapatan.8

8 Yahya Abdurrahman, http://Hayatulislam.net, diakses 9 Nopember 2009


Dalam konteks Indonesia, payung hukum bagi Direktorat Jenderal
(Ditjen) Pajak untuk tidak tebang pilih dalam menerapakan aturan
perpajakan pada berbasis syariah di Indonesia telah terbit, yaitu Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2009 dengan tajuk Pajak Penghasilan
(PPh) Atas Bidang Usaha Berbasis Syariah. Maka mulai tahun ini,
penghasilan yang di dapat dari usaha maupun transaksi berbasis syariah baik
oleh wajib pajak (WP) pribadi maupun badan bakal dikenakan PP.
Penerbitan PP PPh Syariah ini merupakan bentuk aturan pelaksana yang
diamanatkan Pasal 31D UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang PPh.9

D. Analisis Perbedaan Pajak Dan Zakat


Zakat adalah rukun Islam yang langsung bersentuhan dengan aspek-
aspek sosial kemasyarakatan, itu terlihat pada Rukun Islam yang ketiga, yaitu
menunaikan zakat. Orang yang berzakat dengan baik, dengan ikhlas, insya
Allah dia akan menjadi orang yang sholeh. Kita seringkali beranggapan bahwa
setelah membayar Pajak, tidak perlu lagi membayar Zakat. Atau sebaliknya
sudah membayar Zakat, untuk apa lagi kita harus membayar Pajak.
Memang ada banyak kesamaan antara pajak dengan zakat, tetapi tidak
bisa dipungkiri bahwa antara kedua tetap ada perbedaan yang hakiki. Sehingga
keduanya tidak bisa disamakan begitu saja. Persamaan zakat dengan pajak
adalah sebagai berikut:
1. Bersifat wajib dan mengikat atas harta penduduk suatu negeri, apabila
melalaikannya terkena sanksi.
2. Zakat dan pajak harus disetorkan pada lembaga resmi agar tercapai
efisiensi penarikan keduanya dan alokasi penyalurannya.
3. Dalam pemerintahan Islam, zakat dan pajak dikelola oleh negara.
4. Tidak ada ketentuan memperoleh imbalan materi tertentu didunia.
5. Dari sisi tujuan ada kesamaan antara keduanya yaitu untuk menyelesaikan
problem ekonomi dan mengentaskan kemiskinan yang terdapat di
masyarakat.
9 http://syiar.republika.co.id/36836/Payung_Hukum_Pajak_Untuk_Syariah_Telah_Terbit, diakses 9
Nopember 2009
Namun dengan semua kesamaan di atas, bukan berarti pajak bisa
begitu saja disamakan dengan zakat. Sebab antara keduanya, ternyata ada
perbedaan-perbedan mendasar dan esensial. Sehingga menyamakan begitu
saja antara keduanya, adalah tindakan yang fatal. Pajak bisa digunakan untuk
membangun jalan raya, dan dalam banyak hal bisa lebih leluasa dalam
penggunaannya. Sedangkan zakat, dalam penggunaannya akan terikat ke
dalam Ashnaf sebagai pada tercantum dalam Al Quran. Zakat dengan dalih
apapun tidak dapat disamakan dengan pajak. Zakat tidak identik dengan pajak.
Banyak hal yang membedakan antara keduanya, diantaranya :
1. Zakat merupakan manifestasi ketaatan ummat terhadap perintah Allah
SWT dan Rasulullah SAW sedangkan pajak merupakan ketaatan seorang
warganegara kepada ulil amrinya (pemimpinnya).
2. Zakat telah ditentukan kadarnya di dalam Al Qur’an dan Hadits,
sedangkan pajak dibentuk oleh hukum negara.
3. Zakat hanya dikeluarkan oleh kaum muslimin sedangkan pajak
dikeluarkan oleh setiap warganegara tanpa memandang apa agama dan
keyakinannya.
4. Zakat berlaku bagi setiap muslim yang telah mencapai nishab tanpa
memandang di negara mana ia tinggal, sedangkan pajak hanya berlaku
dalam batas garis teritorial suatu negara saja.
5. Zakat adalah suatu ibadah yang wajib di dahului oleh niat sedangkan pajak
tidak memakai niat. Dan sesungguhnya masih baanyak laagi hal-hal yang
membedakan antara zakat dan pajak.
E. Konsep Pajak dalam prespektif Ekonomi Islam
Dalam Islam, segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah memiliki maksud dan
tujuan tertentu. Di dalam Al-Qur’an, Allah telah memberikan segala perintah dan
petunjuk sebagai pedoman hidup umat-Nya di muka bumi ini. Dan sebagai umat-
Nya yang ditunjuk sebagai Khalifah di muka bumi, tugas manusia adalah
mengikuti segala perintah dan menjauhi larangan-Nya selama hidup di dunia ini.
Ini berarti bahwa umat Muslim berkewajiban melaksanakan semua perintah Allah
di seluruh aktivitasnya di muka bumi. Umat Muslim hanya perlu mengikuti apa
yang diperintahkan Allah di dalam Al-Qur’an untuk mendapatkan rahmat dan
rezeki dari-Nya, dan jika manusia memungkirinya, maka dia akan mendapatkan
dosa yang besar. Segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia di muka bumi
haruslah berdasarkan nash Al-Quran. Perintah melaksanakan shalat lima waktu,
puasa di bulan Ramadhan, membayar zakat, dan menunaikan ibadah haji
merupakan sebahagian perintah Allah kepada Umatnya di dalam Al-Qur’an.
Namun bukan berarti Allah tidak pernah memerintahkan pemungutan pajak.
Di dalam Al-Qur’an, Ulil Amri (Pemerintah) hanya diperintahkan untuk
memungut pajak dari para kaum non-muslim yang kafir. Itupun tidak disebutkan
dengan nama dharibah di Al-Qur’an melainkan kharaj dan jizyah. Kedua pajak ini
dipungut dari kaum kafir dengan tujuan berbeda. Kharaj merupakan pajak yang
dikenakan kepada kaum kafir atas tanah kharajiyah dan jizyah dikenakan sebagai
denda atas keamanan dan perlindungan yang didapatkan karena hidup di negara
Islam.
Namun yang terjadi sekarang ini adalah Pemerintah (Ulil Amri) mewajibkan
pajak bukan hanya kepada umat non-muslim, tetapi kaum muslimin juga telah
diwajibkan membayar pajak, padahal umat Muslim juga telah memiliki kewajiban
zakat sebelumnya. Hal ini kembali memunculkan pertanyaan bagi peneliti, apakah
ternyata ada kewajiban lain umat Muslim selain zakat dalam Islam? apakah
membayar pajak ternyata juga merupakan perintah dari Allah?
Pertanyaan ini ternyata menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan fuqaha
(Ulama Muslim). Sebagian berpendapat bahwa “Tidak ada kewajiban lain atas
harta selain zakat”. Mayoritas fuqaha berpendapat bahwa zakat adalah satu-
satunya kewajiban muslim atas harta. Barangsiapa telah berzakat, maka bersihlah
hartanya dan bebaslah kewajibannya. Dia pun tidak punya kewajiban lain lagi,
kecuali bila dia hendak bersedekah dan berinfaq. Pendapat para fuqaha ini
diperkuat dengan beberapa hadis yang bersumber dari para sahabat seperti
Thalhah ra., Abu Hurairah ra., dalam lain-lain sebagai berikut:
1. Hadis riwayat Bukhari-Muslim dari Thalhah ra., ia berkata: “seorang
lakilaki penduduk nejd masai datang menghadap Rasulullah Saw. Ia
berambut kusut dan suaranya parau, keliatan bagai orang dungu. Setelah
dekat dengan NabI Saw., ia pun bertanya kepada beliau tentang Islam.
Rasulullah Saw berkata: “Islam itu ialah mengerjakan shalat lima kali
sehari semalam. Orang itu berkata: “Apakah ada kewajiban lain?” Beliau
menjawab: “Tidak ada kecuali engkau lakukan shalat sunnah dan puasa
Ramadhan.” Ia bertanya lagi: “Apakah ada kewajiban puasa selain itu?”
Beliau menjawab: “Tidak ada kecuali kamu melakukan puasa sunnah.”
Kemudian Nabi menyebut kewajiban berzakat. Ia bertanya lagi: “Apakah
ada kewajiban lain selain berzakat?” Beliau menjawab: “Tidak ada,
kecuali sedekah sunnah.” Lalu Ia mundur sambil berkata: “Saya tidak akan
menambah atau menguranginya.” Rasulullah Saw berkata: “Beruntunglah
jika ia benar (ia akan masuk surga kalau benar).” (HR Bukhari dan
Muslim)
2. Dari Abu Hurairah ra. berkata bahwa Rasulullah Saw. Bersabda, “Apabila
engkau menunaikan zakat untuk hartamu, maka hak-hak (yang wajib)
atasmu untuk harta itu telah ditunaikan. Siapa yang mengumpulkan harta
yang diperoleh dengan cara yang haram, lalu ia bersedekah dengannya,
maka dia tidak akan memperoleh apa-apa untuk sedekahnya itu, bahkan ia
akan mendapatkan keburukan (dosa). (HR Ibnu Hiban, Ibnu Khazimah).
Dari kedua hadis di atas, seluruhnya mengungkapkan bahwa jika umat
muslim ingin menjadi ahli surga, cukup melakukan apa yang diperintahkan
oleh Allah, tidak menambah ataupun menguranginya. Oleh karena itu, mereka
berpendapat bahwa pajak merupakan suatu kewajiban yang tidak pernah
diperintahkan oleh Allah ataupun Rasulullah Saw sehingga umat Muslim tidak
memiliki kewajiban untuk membayarnya karena tidak ada nash Al-Qur’an
yang memerintahkannya.
Sehingga mewajibkan pajak selain zakat, menurut mereka, merupakan
sesuatu yang mendzalimi umat Muslim. Hal ini senada dengan pendapat salah
satu informan yang diwawancarai oleh peneliti yang mengatakan:
“Pajak ini mendzalimi umat Muslim. Karena konsep pajak dalam Islam
kan sebenarnya hanya ditujukan untuk kaum non-muslim dan umat
Muslim memiliki kewajiban zakat. Artinya kewajiban umat muslim
menjadi double, artinya ini mendzalimi. Dan kalaupun pemerintah
mengatakan untuk pembangunan dan kepentingan negara, seharusnya
pemerintahlah yang harus berusaha mencari penghasilan untuk
membiayainya, bukan hanya menjadi perantara dengan menarik pajak dari
rakyatnya. Seharusnya pemerintah dapat menghasilkan banyak dari jika
mereka bisa mengembangkan dan memaksimalkan potensi BUMN- nya,
bukan dengan pajak!”
Jadi mereka memandang pajak sebagai sesuatu yang mendzalimi umat
Muslim dan segala sesuatu yang mendzalimi sesama umat manusia adalah sebuah
dosa besar yang dilarang oleh Allah.
Adapula sebagian ulama yang berpendapat bahwa, “Ada kewajiban lain
atas harta selain zakat”. Para ulama ini tidak menentang bahwa kewajiban atas
harta yang wajib adalah zakat, namun jika datang kondisi yang menghendaki
adanya keperluan tambahan (darurah), maka akan ada kewajiban tambahan berupa
pajak (dharibah). Berbagai pos pengeluaran yang tidak tercukupi oleh Baitul Maal
adalah menjadi kewajiban kaum Muslimin. Jika berbagai kebutuhan dan pos-pos
pengeluaran itu tidak dibiayai, maka akan timbul kemudharatan atas kaum
muslimin, padahal Allah juga telah mewajibkan negara dan umat-Nya untuk
menghilangkan kemudharatan yang menimpa kaum muslimin. Maka jika kondisi
tersebut, negara mewajibkan kaum muslimin untuk membayar pajak, hanya untuk
menutupi berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran yang diwajibkan, tanpa
berlebih. Meskipun begitu, para ulama memberikan syarat dan ketentuan dalam
pemungutan pajak tersebut.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pajak merupakan iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang
(yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa imbalan (kontra prestasi),
yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar
pengeluaran umum. Fungsi pajak dibagi menjadi dua, yaitu: fungsi budgetair atau
fungsi finansial dan fungsi redistribusi pendapatan bagi masyarakat. Secara
umum, pajak yang berlaku di Indonesia dapat dibedakan menjadi Pajak Pusat dan
Pajak Daerah. Pajak Pusat adalah pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah
Pusat yang dalam hal ini sebagian dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak -
Departemen Keuangan RI. Sedangkan Pajak Daerah adalah pajak-pajak yang
dikelola oleh Pemerintah Daerah baik di tingkat Propinsi maupun
Kabupaten/Kota.

Dalam ajaran Islam, kewajiban utama kaum muslim atas harta adalah zakat.
Ulama berbeda pendapat terkait apakah ada kewajiban kaum muslim atas harta
selain zakat. Mayoritas fuqaha berpendapat bahwa zakat adalah satu-satunya
kewajiban kaum muslim atas harta. Barang siapa telah menunaikan zakat, maka
bersihlah hartanya dan bebaslah kewajibannya. Di sisi lain ada pendapat ulama
bahwa dalam harta kekayaan ada kewajiban lain selain zakat. Jalan tengah dari
dua perbedaan pendapat ini adalah bahwa kewajiban atas harta yang wajib adalah
zakat, namun jika datang kondisi yang menghendaki adanya keperluan tambahan
(darurah), maka aka nada kewajiban tambahan lain berupa pajak (dharibah).
Pendapat ini misalnya dikemukakan oleh Qadhi Abu Bakar Ibn al-Aarabi, Imam
Malik, Imam Qurtubi, Imam Syatibi, Mahmud Syaltut, dan lain-lain.
Diperbolehkannya memungut pajak menurut para ulama tersebut di atas, alasan
utamanya adalah untuk kemaslahatan umat, karena dana pemerintah tidak
mencukupi untuk membiayai berbagai “pengeluaran”, yang jika pengeluaran itu
tidak dibiayai, maka akan timbul kemadaratan. Sedangkan mencegah
kemudaratan adalah juga suatu kewajiban.

Karakteristik pajak (dharibah) menurut Syariat, yang hal ini membedakannya


dengan pajak konvensional adalah sebagai berikut: (a) Pajak (dharibah) bersifat
temporer, tidak bersifat kontinyu, hanya boleh dipungut ketika di baitul mal tidak
ada harta atau kurang. (b) Pajak (dharibah) hanya boleh dipungut untuk
pembiayaan yang merupakan kewajiban bagi kaum muslimin dan sebatas jumlah
yang diperlukan untuk pembiayaan wajib tersebut, tidak boleh lebih. (c) Pajak
(dharibah) hanya diambil dari kaum muslim, tidak kaum non-muslim. (d) Pajak
(dharibah) hanya dipungut dari kaum muslim yang kaya, tidak dipungut dari
selainnya. (e) Pajak (dharibah) hanya dipungut sesuai dengan jumlah pembiayaan
yang diperlukan, tidak boleh lebih. (f) Pajak (dharibah) dapat dihapus bila sudah
tidak diperlukan.

B. Saran
Kepada rekan-rekan Mahasiswa selaku mahasiswa yang berbasiskan
keislaman yang tentunya Ekonomi Islam untuk itu hendaknya lebih memahami
lagi tentang hal-hal yang berkenaan dengan ekonmi islam, dan juga penulis
mohon maaf jikalau ada kesalahan kata, penulisan dan sebagainya, penulis juga
mohon saran dan kritikannya yang bersifat membangun makalah ini untuk lebih
baik di waktu yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Qadim, al-Amwal fi daulah al-Khilafah, (Dar al-ilmi lilmalayin, 1988), Edisi
terjemah oleh Ahmad dkk, Sistem Keuangan di Negara Khilafah. (Bogor: Pustaka
Thariq al-Izzah, 2002)

Buku Panduan Hak dan Kewajiban Perpajakan, diterbitkan dalam bentuk e-book oleh
Dirjen Pajak Depkeu RI, http://www.pajakonline.com/engine/learning/view.php?id=765,
diakses 9 November 2009.

Gazi Inayah, al-Iqtishad al-Islami az-Zakah wa ad-dharibah, Dirasah Muqaranah,


1995, Edisi terjemah oleh Zainuddin Adnan dan Nailul Falah, Teori Komprehensif
tentang Zakat dan Pajak. (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005)

Gusfahmi, Pajak Menurut Syariah. (Jakarta: Rajawali Press, 2007), hal. 169-181.

Harvey S. Rosen, Public Finance. (Sinagpore: Mc Graw Hill (Asia), 2005), hal. 273.

http://syiar.republika.co.id/36836/Payung_Hukum_Pajak_Untuk_Syariah_Telah_Terbit,
diakses 9 Nopember 2009
http://www.pkpu.or.id/, diakses 9 Nopember 2009

Kesit Bambang Prakosa, Hukum Pajak. (Yogyakarta: EKONISIA, 2005, hal. 2.

Kompilasi Undang-Undang Perpajakan Terlengkap Tahun 2009.


Penyusun Primandita Fitriandi dkk, (Jakarta: Salemba Empat, 2009).

Majalah Prisma, LP3ES, 1985

Muqodim, Perpajakan, Buku Satu, (Yogyakarta: EKONISIA dan UII Press, edisi Revisi,
1999)

Simon James and Christopher Nobes, The Economics of Taxation. (Edinburgh: Pearson
Educatioan Limited, ed. 7, 2003), hal. 10
Soemarso, Perpajakan Pendekatan Komprehensif. (Jakarta: Salemba Empat, 2007)

Umer Chapra, Islam and The Economic challenge. (Herndon: IIIT, 1995).
Diterjemahkan oleh Ikhwan Abidin Basri, Islam dan Tantangan Ekonomi. (Jakarta: GIP,
2000)

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UU No. 7


Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan

UU No 28 Tahun 2007

UU No 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

Waluyo, Perpajakan Indonesia. (Jakarta: Penerbit Salemba Empat, 2006), hal. 3.

Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton, Hukum Pajak. (Jakarta: Salemba Empat, edisi 3,
2007)

Yahya Abdurrahman, http://Hayatulislam.net, diakses 9 Nopember 2009

Yusuf Qaradhawi, Fiqh az-Zakah, (Beirut: Muasssasah al-Risalah, 1973), hal. 998.

Anda mungkin juga menyukai