Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

KEADILAN DALAM PERPAJAKAN


Disusun Untuk Memenuhi Tugas Perpajakan
Dosen : Hadi Susilo ,S.Pd.I.,M.Pd

Disusun Oleh :
1. Ahmad kasan (60220012)
2. Maratul Izza ladani ( 60220113)
3. Dicky Valentinno (60220220)

Kelas : MB3B
DAFTAR ISI
Kata Pengantar.................................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………………………………………………
1. Latar Belakang.............................................................................................................. 4
2. Rumusan Masalah........................................................................................................ 4
3. Tujuan........................................................................................................................... 5
BAB II PEMBAHASAN ……………………………………………………………………………………………………
A. Keadilan dalam perpajakan..........................................................................................6
B. Beban wajib pajak........................................................................................................ 7
C. Kepastian hukum......................................................................................................... 10
D. Ketepatan waktu pemungutan................................................................................... 14
E. Efisiensi........................................................................................................................ 15
F. Persyaratan struktur pajak yang baik.......................................................................... 17

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………………………………………………………19

2
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala nikmatnya sehingga penulis dapat
menyusun makalah tentang "Keadilan Dalam Perpajakan" dengan sebaik-baiknya.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk menyampaikan pengertian
terkait dengan Keadilan dalam perpajakan. Saya ucapkan terima kasih kepada seluruh pihak
yang telah membantu, memfasilitasi, memberi masukan, dan mendukung penulisan makalah ini
sehingga selesai tepat pada waktunya. Semoga dibalas oleh Allah SWT dengan ganjaran yang
berlimpah.

Meski penulis telah menyusun makalah ini dengan maksimal, tidak menutup
kemungkinan masih banyak kekurangan. Oleh karena itu sangat diharapkan kritik dan saran
yang konstruktif dari pembaca sekalian.

Akhir kata, saya berharap makalah ini dapat menambah referensi keilmuan masyarakat.

Penulis

3
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang perlu meningkatkan pertumbuhan
ekonomi negara agar dapat sejajar dengan negara lain. Untuk mewujudkannya Negara
Indonesia memerlukan sumber dana yang cukup besar. Salah satu sumber dana tersebut
berasal dari pajak (Ardi, 2016).
Menurut Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas
UndangUndang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan,
pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang
bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara
langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa pajak merupakan kontribusi dan kewajiban dari
setiap warga negara untuk ikut berpartisipasi dalam bentuk peran serta terhadap pembiayaan
negara dan pembangunan nasional.
Data dari Kementerian Keuangan Republik Indonesia memperlihatkan bahwa
penyumbang dana paling tinggi dalam APBN 2019 berasal dari pajak yaitu sebesar 1.786,4
triliun rupiah (http://kemenkeu.go.id, 2019). Besarnya peran pajak dalam memberikan
kontribusi bagi penerimaan negara memerlukan adanya upaya agar penerimaan tersebut dapat
direalisasikan.
Upaya peningkatan penerimaan pajak tidak hanya mengandalkan peranan Direktorat
Jenderal Pajak saja, tetapi juga partisipasi dan antusias dari para wajib pajak sendiri (Friskianti
dan Handayani, 2014).
Makalah ini disusun untuk menyampaikan beberapa aspek keadlian dalam perpajakan
yang perlu diperhatikan, untuk meningkatkan pemerataan pajak yang adil terhadap para wajib
pajak.

1. PERUMUSAN MASALAH
Di Indonesia, banyak sekali kasus penggelapan pajak, tetapi terkadang penggelapan pajak
tidak terungkap oleh hukum, salah satu penyebabnya sistem hukum yang kurang memadai,
memicu pergerakan yang signifikan atas penggelapan pajak. Penggelapan pajak dilakukan
dengan meminimalkan atau bahkan menghilangkan beban pajak yang terutang, dengan
melanggar peraturan perundangan perpajakan. Penggelapan pajak yang marak terjadi saat ini
merupakan salah satu hal yang sangat penting diperhatikan untuk meningkatkan target dalam
sektor penerimaan pajak.
Meskipun demikian, pada kondisi saat ini masih banyak masyarakat yang tidak patuh dan
melakukan kecurangan pajak yaitu dengan melakukan penggelapan pajak. Adapun perlakuan
penggelapan pajak (tax evasion) dipengaruhi oleh berbagai hal seperti keadilan pajak, sanksi
perpajakan yang tidak menimbulkan efek jera sehingga timbul peluang melakukan penggelapan
pajak dan pemahaman perpajakan yang minim (Izza dan Hamzah, 2009).

4
2. TUJUAN
Berdasarkan penjelasan diatas, tujuan dari penyusunan makalah ini untuk
menyampaikan pengertian dari:
a. Keadilan dalam perpajakan
b. Beban wajib pajak
c. Kepastian hukum
d. Ketepatan waktu pemungutan
e. Efisiensi
f. Persyaratan struktur pajak yang baik

5
BAB II
PEMBAHASAN
Pajak adalah pungutan wajib dari rakyat untuk negara. Setiap sen uang pajak yang
dibayarkan rakyat akan masuk dalam pos pendapatan negara dari sektor pajak. Penggunaannya
untuk membiayai belanja pemerintah pusat maupun daerah demi kesejahteraan masyarakat.
Uang pajak digunakan untuk kepentingan umum, bukan untuk kepentingan pribadi. Pajak
merupakan salah satu sumber dana pemerintah untuk mendanai pembangunan di pusat dan
daerah, seperti membangun fasilitas umum, membiayai anggaran kesehatan dan pendidikan,
dan kegiatan produktif lain. Pemungutan pajak dapat dipaksakan karena dilaksanakan
berdasarkan undang-undang.
Berdasarkan UU  KUP Nomor 28 Tahun 2007, pasal 1, ayat 1, pengertian pajak adalah
kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat
memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung
dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Berdasarkan pengertian tersebut, maka pajak memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1. Pajak Merupakan Kontribusi Wajib Warga Negara
Artinya setiap orang memiliki kewajiban untuk membayar pajak. Namun hal tersebut
hanya berlaku untuk warga negara yang sudah memenuhi syarat subjektif dan syarat
objektif. Yaitu warga negara yang memiliki penghasilan melebihi Penghasilan Tidak Kena
Pajak (PTKP).
PTKP yang berlaku saat ini adalah Rp54 juta setahun atau Rp4,5 juta per bulan. Itu
artinya, jika Anda memiliki pendapatan lebih dari Rp4,5 juta sebulan akan kena pajak.
Sementara bila Anda adalah seorang pengusaha atau wirausaha dengan omzet, tarif PPh
Final 0,5% berlaku dari total peredaran bruto (omzet) sampai dengan Rp4,8 miliar dalam
satu tahun pajak (berdasarkan PP 23 Tahun 2018).
2. Pajak Bersifat Memaksa untuk Setiap Warga Negara
Jika seseorang sudah memenuhi syarat subjektif dan objektif, maka wajib
untuk membayar pajak. Dalam undang-undang pajak sudah dijelaskan, jika seseorang
dengan sengaja tidak membayar pajak yang seharusnya dibayarkan, maka ada ancaman
sanksi administratif maupun hukuman secara pidana.
3. Warga Negara Tidak Mendapat Imbalan Langsung
Pajak berbeda dengan retribusi. Contoh retribusi: ketika mendapat manfaat parkir,
maka harus membayar sejumlah uang, yaitu retribusi parkir, namun pajak tidak seperti
itu. Pajak merupakan salah satu sarana pemerataan pendapatan warga negara.
Jadi ketika membayar pajak dalam jumlah tertentu, Anda tidak langsung menerima
manfaat pajak yang dibayar. Yang akan Anda dapatkan, misalnya berupa perbaikan jalan
raya di daerah Anda, fasilitas kesehatan gratis bagi keluarga, beasiswa pendidikan bagi
anak Anda, dan lainnya.
4. Berdasarkan Undang-undang
Artinya pajak diatur dalam undang-undang negara. Ada beberapa undang-undang yang
mengatur tentang mekanisme perhitungan, pembayaran, dan pelaporan pajak.
6
A. KEADILAN DALAM PERPAJAKAN
Teori keadilan dalam perpajakan, Richard A. Musgrave dan feggy B. Musgrave dalam buku
nya yang berjudul “”public finance in theory and practice. membagi keadilan horizontal dan
keadilan vertical. Keadilan horizontal adalah keadilan perpajakan yang menekankan keadilan
berdasarkan undang-undang pajak yang bersangkutan, yaitu setiap subjek pajak harus di kenakan
subjek yang sama. Sedangkan keadilan pajak secara vertika adalah keadilan yang menekankan
beban pajak sesuai dengan objek pajaknya
Keadilan vertical diadakan menjadi tiga dimensi yaitu:
 Pemerataan secara vertical yaitu hubungan dalam pembebanan pajak atas pendapatan
yang berbeda-beda.
 Keadilan secara horizontal yaitu hubungan pembebanan pajak dengan sumber
penghasilan.
 Keadilan secara geografis yaitu pembebanan pajak harus adil antara penduduk di
berbagai daerah.
Dari uraian diatas menunjukkan bahwa beban pajak merupakan ukuran adil tidaknya pemungutan
pajak yang diterapkan sedangkan besarnya beban pajak dipengaruhi oleh dasar perhitungan, atau
dasar pengenaan pajak, disamping susunan tariff pajak yang di terapkan.
1. dasar pengenaan pajak
Pada umumnya, sebagai dasar pengenaan pajak ada yang menerapkan penghasilan
yang diterima, dan ada pula yang menerapkan kemampuan dalam mengonsumsi
penghasilan. Dalam hal tinjauan dari kemudaan atas kesederhanaan, maka kemampuan
untuk mengosumsikan penghasilan sebagai ukuran menghitung beban pajak adalah yang
lebih baik. Dasar pengenalan pajak dengan menerapkan penghasilan yang diterima, pada
umumnya penghasilan netto, yaitu penghasilan bruto, setelah dikurangi dengan biaya-
biaya, baik yang berkaitan dengan biaya untuk mendapatkan, menagih maupun
memelihara dan biaya lainnya yang berkaitan dengan upaya memperoleh penghasilan
pajak untuk orang pribadi, sebagai dasar pengenaan pajak tersebut setelah dikurangi
dengan bebn pribadi, seperti beban keluara yang dicerminkan pada penghasilan tidak
kena pajak (PTKP).
2. kekayaan sebagai dasar pengenaan pajak
aRichard A. Musgrave dan Feggy B. Musgrave dalam bukunya yang sama menguraikan
tentang alas an mengapa harta kekayaan dapat dipertimbangkan sebagai dasar
pengenaan pajak.
Misalnya, pajak atas kekayaan yang pernah berlaku di Indonesia, bila diperlukan
kembali, maka pajak atas kekayaan berupa tanah dan bangunan harus dihapus, karena
objek pajak sebagai barang modal sudah meliputi tanah dan bangunan. Atau dengan kata
lain, kalau menghidupkan kembali pajak atas kekayaan, maka pajak bumi dan bangunan
harus di hapus. Tetapi di balik itu, terdapat keuntungan yang baik dibidang keadilan
perpajakan, yaitu bergesernya pajak kebendaan menjadi pajak subjektif.
Penerapan Asas Keadilan dalam Pemungutan Pajak Salah satu kriteria dalam merancang
sistem perpajakan adalah perlu diterapkan prinsip keadilan. Keadilan pajak (tax equity) berarti
bahwa wajib pajak menyumbang fair share (bagian yang wajar) atas cost of government (biaya
pemerintah). Keadilan pajak mencakup dua hal yaitu keadilan vertical (vertical equity) dan
keadilan horizontal (horizontal equity). Keadilan vertical sering dijelaskan dengan kalimat
7
“seseorang yang penghasilannya lebih besar akan membayar pajak lebih besar”. Sementara itu,
keadilan horizontal dijelaskan dengan kalimat “dua orang yang mempunyai penghasilan yang
sama sehingga akan membayar pajak dalam jumlah sama”.
Keadilan vertical ditinjau dari subjeknya (orang yang membayar pajak) sedangkan keadilan
horizontal dilihat dari aspek objeknya. Terdapat 2 pendekatan yang dapat digunakan untuk
mengukur keadilan pajak yang dibebankan kepada masyarakat yaitu yang disebut degan prinsip
manfaat (benefit principle) dan kemampuan membayar (ability to pay principle). Pembebanan
jasa kepada konsumen jasa public yang mempunyai pendapat berbeda dapat dilakukan secara
professional, progresif, atau regresif (Murthi et al., 2015). Dari sudut keadilan, tarif pajak
progresif adalah yang terbaik. Konsep manfaat khusus didasarkan atas pandangan bahwa pajak
harus dikenakan pada manfaat khusus yang diterima oleh pembayarnya. Contoh mengenai hal
ini adalah pajak tontonan; pajak reklame; opzetten bensin, told dan lain-lain.
Kadang-kadang pengenaan pajak yang langsung dikaitkan dengan manfaat ini
mengakibatkan biayanya menjadi terlalu tinggi. Dalam hal ini, pajak dikenakan terhadap
barang-barang komplementernya, misalnya SWP3D (sumbangan wajib pembangunan dan
pemeliharaan prasana daerah). Dalam hal ini, pajak dikenakan terhadap kendaraan bermotor,
walaupun tujuan pengenaannya adalah untuk pemeliharaan jalan. Dalam konsep kemampuan
membayar kaitan antara pajak (sisi penerimaan) dengan manfaat (sisi pengeluaran) tidak
diperhatikan. Jumlah jasa-jasa yang harus disediakan ditetapkan, kemudian setiap WP
membayar sesuai kemampuan. Ada beberapa ukuran untuk menentukan kemampuan
membayar, yaitu
(a) penghasilan (income);
(b) konsumsi (consumption);
(c) kekayaan (wealth).
Selain ukuran tersebut di atas, keadaan dari pembayar pajak juga harus diperhatikan.
Masalah yang kemudian timbul adalah cara mengukur minimum kehidupan atau kebutuhan
primer. Beberapa penulis beranggapan bahwa kebutuhan primer tidak sekedar kebutuhan fisik
minimum belaka. Tetapi, termasuk didalamnya adalah semua kebutuhan yang diperlakukan
untuk menjamin kehidupan yang sepadan dengan martabat manusia dengan mengindahkan
peradaban yang ada. Walaupun demikian, mereka sepakat bahwa pengeluaran mewah dan
kebutuhan-kebutuhan social yang membedakan kedudukan seseorang dengan orang lain
adalah layak untuk dikeluarkan dari kebutuhan primer.
Susunan keluarga juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain, yaitu keadaan keuangan Negara,
distribusi pendapatan dan daya beli uang. Setelah ukuran untuk menentukan kemampuan
membayar dapat ditetapkan, persoalan lain yang perlu dipecahkan adalah bagaimana
mengkaitkan kemampuan membayar ini dengan pajak yang harus dibayar. Asas keadlan
menentukan kemampuan seseorang yang besar harus membayar pajak yang lebih besar pula
(Wulandari & Budiaji, 2017). Ketentuan ini, sering dianggap belum cukup. Pembayaran pajak
yang lebih besar tersebut haruslah tidak dipandang dari sisi absolutnya saja, tetapi juga dari sisi
relatifnya. Dalam kaitan ini muncul pengenaan pajak yang progresif. Pajak yang dikenakan
secara progresif akan terasa lebih adil dibandingkan dengan pengenaan yang proporsional.
Apalagi pajak yang dikenakan secara regresif. Progresivitas, proporsionalitas serta regresivitas
pajak berkenaan dengan beban pajak yang harus ditanggung dikaitkan dengan kemampuan
membayar.
8
Ketiga hal tersebut dapat dihubungkan dengan tarif maupun dasar pengenaan pajak.
Kewajiban utang dan penagihan pajak muncul karena adanya undang-undang yang
memberikan hak kepada Negara memungut pajak. Asas pemungutan pajak dapat digunakan
sebagai dasar untuk menentuan siapa (Negara mana) yang berhak untuk memungut pajak
(Murandika & Friansyah, 2014).
Penggunaan asas yang berbeda antar Negara dapat mengakibatkan timbulnya pajak
berganda. Untuk menghindarinya, Negara yang bersangkutan dapat mengadakan perjanjian
penghindaran pajak berganda. Disisi lain dapat dijadikan sebagai pedoman untuk menentukan
siapa yang berwenang memungut pajak, asas pemungutan pajak dapat digunakan untuk
menentukan siapa yang akan dikenakan pajak dalam suatu Negara. Hal tersebut penting karena
menentukan siapa yang akan dikenakan pajak dalam Negara yang mempunyai kewajiban
terhadap pajak yang dikenakan Negara.
Terdapat tiga sistem yang dapat dipilih dalam pemungutan pajak, yaitu:
(1) sistem nyata merupakan sistem yang berdasarkan keadaan yang sebenarnya,
(2) sistem anggapan merupakan pajak yang dipungut tanpa menunggu diketahuinya
pajak terutang yang sesungguhnya, dan
(3) sistem campuran merupakan penggabungan dari kedua cara pemungutan.
Penerapan Asas Keadilan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 Dalam
Negara demokrasi, Rakyat sebagai pembayar pajak juga sebagai pengawas langsung dari setiap
peraturan perpajakan yang dikeluarkan pemerintah. Sehingga apabila terdapat peraturan
perpajakan yang dirasa tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat tentu mereka tidak akan
tinggal diam karena hal tersebut berdampak langsung terhadap kehidupan individu dalam
Negara.
Sesuai dengan konsep teori gaya pikul yang diadopsi oleh Pemerintah Indonesia dalam
Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan adalah adanya biaya hidup
minimum. Biaya hidup minimum adalah kebutuhan pokok yang tidak bisa ditunda pemenuhnya,
seperti: makanan, pakaian dan perumahan. Biaya hidup minimum tercermin dalam
diberikannya suatu pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang tergantung
pada dua variabel, yaitu status wajib pajak (Kawin/ tidak Kawin) dan Jumlah Tanggungan
(maksimal 3 tanggungan).
Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 mengatur pengenaan PPh FinaI Pasal 4 Ayat
(2) untuk wajib pajak memiIiki predaran bruto (omset) sampai 4,8 Miliar Rupiah dalam satu
tahun pajak. Pokok-pokok perubahan diantaranya adaIah turunnya tarif PPh FinaI atas
Pengahasilan Bruto Tertentu dari semuIa 1% menjadi 0,5% dari omzet. PPh Final ini wajib
dilunaskan setiap buIan sebeIum tanggal 15 buIan berikutnya, tergantung besar rendahnya
omzet wajib pajak setiap buIan. Berbeda dengan Peraturan Pemerintah No 46 Tahun 2013 yang
tidak membatasi jangka waktu dalam pengenaan tariff Pajak Penghasilan Final. PP No 23 Tahun
2018 ini sudah mengatur tentang jangka waktu pengenaan tariff Pajak Penghasilan Final 0,5%
baik wajib pajak orang pribadi atau badan. Untuk wajib pajak orang pribadi diberikan waktu 7
tahun. Untuk wajib pajak badan berbentuk Firma, Koperadi dan CV diberikan waktu 4 tahun.
Sementara untuk wajib pajak berbentu PT (perseroan terbatas) diberikan waktu 3 tahun.
Perubahan PP 46 Tahun 2013 ini karena desakan pelaku usaha khususnya UMKM beranggapan
bahwa tarif Pajak Penghasilan ini terlalu tinggi dan memberatkan para pelaku usaha. Sehingga
Presiden memerintahkan Dirjen Pajak dan Menteri Keuangan untuk menghitung ulang total
9
penerimaan pajak khususnya dari pelaku UMKM dan berapa persen keringan tarif yang dapat
diberikan untuk pelaku UMKM.
Dengan penurunan tarif ini diharapkan mampu memberikan keaadilan kepada pelaku
usaha khususnya UMKM sehingga wajib pajak mampu membayar sesuai dengan
kemampuannya. Peraturan Pemerintah ini juga dimaksudkan untuk mendorong peIaku UMKM
agar lebih ikut berperan aktif dalam kegiatan ekonomi formal dengan cara memberikan
kemudahan dan kesederhanaan kepada para peIaku UMKM daIam melakukan pembayaran
pajak dan pengenaan pajak (Sunaryo et al., 2018).
Selain itu Peraturan Pemerintah ini sudah memberikan keadilan kepada wajib pajak yang
memiliki peredaran bruto tertentu tapi sudah dapat melakukan pembukuan. Wajib pajak yang
termasuk dalam kategori ini dapat memiliki untuk dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif
Pasal 17 Undang undang Pajak Penghasilan. Sebuah pilihan yang sebelumnya tidak ada pada PP
Nomor 46 Tahun 2013. Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2018 mencerminkan keadilan
dalam pemungutan pajak dibandingkan dengan PP 46 Tahun 2013 karena dalam pengenaan
pajak penghasilan UMKM pada akhirnya akan berbasis penghasiIan neto dan dikenakan dengan
tarif umum berdasarkan Undang-Undang Pajak Penghasilan yang berlaku.

B. BEBAN WAJIB PAJAK


Beban tambahan pemenuhan kewajiban perpajakan di Indonesia sehingga kini belum
pernah dilakukan penelitian sejauh mana compliance cost tersebut membebani setiap wajib
pajak. Dimungkinkan lebih besar atau lebih keci bila dibandingkan dengan yang terjadi di
Amerika Serikat, sehingga kini masih belum dapat dikemukakan, karena perpajakan di Indonesia
masih mencari bentuk.
Pemungutan pajak penghasilan secara final
Sejak tahun 1984 pajak penghasilan di Indonesia menerapkan suatu system yang disebut
setiap pajak berkewenangan untuk menghitumg dan melaporkan utang pajaknya melalui surat
pemberitahuan tahunan setiap tahunnya.Prinsip-prinsip perpajakan sebagaimana diuraikan
diatas yang oleh adam smith dalam bukunya yang berjudu “sommerfeld concept of taxation”
telah merumuskan empat kaidah perpajakan yang meliputi:
 Adil (equitable)
 Mudah (convenient)
 Pasti (certain)
 Murah (economical)
Dengan penerapan pemungutan sepajak penghasilan secara finan ini diperkirakan akan didapat
keuntungan berupa:
 Pemungutan pajak secara efisien
 Tepat waktu, atau sewaktu wajib pajak mempunyai kemampuan
 Diperoleh kepastian hukum, sekaligus menciptakan pelayanan prima
 Menjamin tersedianya dana dalam rangka menjamin terlaksananya pelaksanaan tugas
rutin pemerintah
Wajib Pajak merupakan orang pribadi ataupun badan yang memiliki kewenangan
untuk membayar pajak, memotong pajak, dan memungut pajak, serta memiliki hak dan
kewajiban yang berkaitan dengan perpajakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
10
Salah satu hal yang berkaitan atau hal yang identik dengan Wajib Pajak adalah Nomor
Pokok Wajib Pajak (NPWP). Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) merupakan nomor yang
diberikan kepada Wajib Pajak yang dapat digunakan sebagai sarana dalam melakukan
administrasi perpajakan, dimana nomor ini dapat dipergunakan oleh Wajib Pajak sebagai
tanda pengenal diri atau identitas diri Wajib Pajak yang bersangkutan dalam
melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) akan diberikan kepada Wajib Pajak yang telah
memenuhi persyaratan subjektif dan objektif yang sesuai dengan ketentuan Undang-
Undang (UU). Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) ini tidak akan berubah sekalipun Wajib
Pajak berpindah tempat tinggal atau tempat kedudukan atau mengalami pemindahan
tempat terdaftar.

Pengelompokkan Wajib Pajak


Wajib Pajak pada umumnya terdiri atas Wajib Pajak orang pribadi dan Wajib Pajak
badan. Berikut ini merupakan pengelompokkan dari Wajib Pajak orang pribadi dan Wajib
Pajak badan:
1. Wajib Pajak orang pribadi
 Orang Pribadi (Induk)
Meliputi Wajib Pajak yang belum menikah dan Wajib Pajak yang merupakan suami
sebagai kepala keluarga.
 Hidup Berpisah (HB)
Meliputi Wajib Pajak yang merupakan wanita kawin dan dikenai pajak secara
terpisah karena hidup berpisah berdasarkan dengan putusan dari hakim.
 Pisah Harta (PH)
Wajib Pajak yang merupakan pasangan suami dan istri dan dikenai pajak secara
terpisah karena telah menghendaki perjanjian pemisahan harta dan penghasilan
secara tertulis.
 Memilih Terpisah (MT)
Meliputi Wajib Pajak yang merupakan wanita kawin, tetapi selain dari kategori
Hidup Berpisah dan Pisah Harta, yang dikenakan pajak secara terpisah karena
memilih untuk melaksanakan hak dan kewajiban atas perpajakannya secara
terpisah dari suaminya.
 Warisan Belum Terbagi (WBT)
Merupakan satu kesatuan, dimana subjek pajak ini adalah pengganti.
Menggantikan mereka yang berhak, yaitu ahli waris.
2. Wajib Pajak badan
 Badan
Wajib Pajak yang merupakan sekumpulan orang atau modal yang menjadi satu
kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha.
 Joint Operation
Merupakan Wajib Pajak yang berbentuk kerja sama operasi dalam melakukan
penyerahan atas Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang
mengatasnamakan bentuk kerja sama operasi.
11
 Kantor Perwakilan Perusahaan Asing
Merupakan Wajib Pajak dari perwakilan dagang asing atau kantor perwakilan
perusahaan asing di Indonesia, namun yang bukan termasuk ke dalam Bentuk
Usaha Tetap (BUT).
 Bendahara
Merupakan bendahara pemerintah yang bertugas membayar gaji, upah,
honorarium, tunjangan, dan pembayaran lainnya dan diwajibkan untuk melakukan
pemotongan atau pemungutan pajak.
 Penyelenggara Kegiatan
Meliputi Wajib Pajak yang merupakan pihak selain dari keempat Wajib Pajak badan
lainnya yang melakukan pembayaan imbalan dengan nama dan dalam bentuk
apapun yang sehubungan dengan pelaksanaan kegiatan.

Hak Wajib Pajak


Setelah ditetapkan sebagai Wajib Pajak, maka terdapat beberapa hak dan kewajiban
dalam perpajakan yang wajib untuk dilaksanakan oleh setiap Wajib Pajak. Berikut
merupakan hak-hak dari Wajib Pajak:
1. Hak pada saat Wajib Pajak dilakukan pemeriksaan
Sebagai Wajib Pajak yang tengah menjalankan pemeriksaan pajak, maka Wajib
Pajak sendiri berhak untuk melihat tanda pengenal pemeriksa, meminta surat
perintah untuk pemeriksaan, menerima penjelasan terkait maksud dan tujuan dari
pemeriksaan yang akan dilakukan, meminta detail perbedaan antara hasil
pemeriksaan dan Surat Pemberitahuan (SPT), serta memiliki hak untuk hadir dalam
pembahasan atas akhir hasil pemeriksaan sesuai batas waktu yang ditentukan.
2. Hak untuk mengajukan keberatan, banding, dan peninjauan kembali
Wajib Pajak yang merasa dirinya tidak setuju dengan Surat Ketetapan Pajak (SKP)
yang diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP), maka berhak untuk mengajukan
keberatan. Selain itu, Wajib Pajak juga berhak untuk mengajukan banding hingga
peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.
3. Hak atas kelebihan pembayaran pajak
Pada saat Wajib Pajak membayar pajak dengan jumlah yang lebih banyak
daripada yang seharusnya, maka Wajib Pajak berhak untuk menerima kelebihan
atas pembayaran pajak tersebut dengan cara mengirimkan surat permohonan ke
Kepala KPP atau melalui surat pemberitahuan.
4. Hak atas pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak
Bagi Wajib Pajak yang patuh, memiliki hak untuk mendapat pengembalian
pendahuluan atas kelebihan pembayaran pajak dalam jangka waktu minimal satu
bulan untuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan jangka waktu tiga bulan untuk
Pajak Penghasilan (PPh) terhitung sejak surat permohonan tersebut diterima oleh
Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
5. Hak atas pengangsuran dan penundaan pembayaran
Pada kondisi tertentu, Wajib Pajak berhak untuk meminta permohonan
pengangsuran atau penundaan atas pembayaran pajak sesuai dengan ketentuan
12
yang berlaku.
6. Hak atas kerahasiaan
Wajib Pajak juga berhak untuk dijaga kerahasiaannya atas semua informasi
yang disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terkait dengan
perpajakan. Hal yang dilindungi adalah data dari pihak ketiga yang bersifat rahasia.
7. Hak atas Pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
Apabila Wajib Pajak mengalami kondisi tertentu, seperti kerusakan bumi dan
bangunan yang diakibatkan dari bencana alam, maka Wajib Pajak berhak untuk
mengajukan pengurangan pajak yang terutang atas Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
8. Hak atas penundaan pelaporan SPT
Wajib Pajak juga berhak mengajukan permohonan perpanjangan atau
penundaan atas penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi
maupun Pajak Penghasilan (PPh) badan sesuai dengan kondisi tertentu.
9. Hak atas pembebasan pajak
Wajib Pajak berhak untuk mengajukan permohonan atas pembebasan
pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) sesuai dengan kondisi
tertentu.
10. Hak atas Pengurangan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25
Sesuai dengan kondisi tertentu, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan
atas pengurangan jumlah angsungan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25.
11. Hak atas insentif perpajakan
Terdapat sejumlah kegiatan atau Barang Kena Pajak (BKP) yang berhak untuk
diberikan fasilitasn pembebasan dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN), diantaranya buku-
buku, pesawat udara, kereta api, kapal laut, ataupun perlengkapan TNI/Polri yang
diimpor atau diserahkan sekitar area pabean oleh Wajib Pajak tertentu.
12. Hak atas Pajak yang ditanggung pemerintah
Wajib Pajak berhak untuk mendapatkan atau menerima hal-hal yang berkaitan
dengan aspek perpajakan yang ditanggung oleh pemerintah sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.

Kewajiban Wajib Pajak


Selain hak, Wajib Pajak juga memiliki sejumlah kewajiban yang perlu dilaksanakan, yaitu:
1. Kewajiban untuk mendaftarkan diri
Salah satu hak dan kewajiban Wajib Pajak yang utama adalah mendaftaran
dirinya atau usahanya untuk mendapatkan NPWP.
2. Kewajiban untuk memberi data
Wajib Pajak diwajibkan untuk memberikan informasi yang berhubungan
dengan aspek perpajakan yang akan dilakukan kepada DJP.
3. Kewajiban untuk melakukan pembayaran, pelaporan, pemungutan atau
pemotongan pajak
Wajib Pajak diharuskan untuk menghitung, membayar, dan melaporkan pajak
terutangnya sesuai dengan ketentuan perpajakan.
4. Kewajiban Pemeriksaan
13
Wajib Pajak yang tidak patuh dalam menjalankan kewajiban perpajakannya,
maka wajib untuk memenuhi panggilan untuk menghadiri pemeriksaan,
memberikan izin untuk memasuki ruangan atau tempat yang dirasa perlu untuk
diperiksa, dan memberikan keterangan apabila diperlukan.

C. KEPASTIAN HUKUM
Santoso brotodihardjo, dalam bukunya yang berjudul “pengantar ilmu hukum pajak”
menekankan pentingnya kepastian hukum mengenai subjek pajak, objek pajak sekaligus besarnya
pajak terutang harus jelas tidak mengenal kompromi merupakan sasaran dari asas kepastian
hukum dari kaidah kedua “four canons ”nya adam smith.
Subjek pajak yang diatur dalam undang0undang harus jelas dan tidak meragukan. Seperti
subjek pajak penghasilan yang terdiri dari orang pribadi dan badan ditentukan secara pasti.
Apakah mereka merupakan subjek pajak dalam negeri atau subjek pajak luar negeri juga
ditentukan secara pasti dan tidak meragukan.
Penerapan tariff pajak pun harus terang dan transparan. Penerapan tarif harus di umumkan
seluas mungkin, sehingga wajib pajak dapat menghitung sendiri pajaknya.
Seperti halnya dengan kebijaksanaan pemungutan pajak yang penghasilan secara final yang
diuraikan diatas juga merupakan suatu pencerminan upaya adanya kepastian hukum, sekali
dipungut tidak terulang lagi untuk di pungut, bebas dari pengusutan dan pemeriksaan.

D. KETEPATAN WAKTU PEMUNGUTAN


Keberhasilan dalam pemungutan pajak, ukurannya dirumuskan dalam tridharma
perpajakan. Tridharma perpajakan meliputi:
A. Dharma pertama: pemungutan pajak harus meliputi seluruh wajib pajak.
B. Dharma kedua: besarnya beban pajak terutang sesuai dengan objek yang semestinya.
C. Dharma ketiga: waktu pemungutnnya tepat pada waktunya.
Pemungutan pajak harus tepat waktu sebagaimana dirumuskan dalam ketiga dari tridharma
perpajakan tersebut, dalam praktek perpajakan di identikkan dengan penagihan pajak, terutama
pada masa penerapan official assessment pada perundang-undangan perpajakan di Indonesia.
Tetapi pada system self assessment sebagaimana terkandung pada perundang-undangan pajak
nasional, di identikkan dengan pemungutan pajak dalam tahunan berjalan.
Dalam pratek, hasil pemungutan pajak yang disesuaikan dengan keadaan wajib pajak
mampu membayar pajak sebagaimana dilakukan dalam pemungutan pajak penghasilan
karyawan, pajak penghasilan impor dan pajak penghasilan karyawan. Sebaliknya, pemungutan
pajak penghasilan menunggu akhir tahun, teryata hasilnya tidak optimal.
Dalam memungut pajak, institusi pemungut pajak hendaknya memerhatikan berbagai
faktor yang selanjutnya dikenal sebagai asas pemungutan pajak. Pada uraian di bawah ini
disajikan berbagai asas pemungutan pajak menurut para ahli ekonomi.
Adam Smith
1. Asas Equality, pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara harus sesuai dengan
kemampuan dan penghasilan wajib pajak. Negara tidak boleh bertindak diskriminatif
terhadap wajib pajak.
2. Asas Certainty, semua pungutan pajak harus berdasarkan UU, sehingga bagi yang
melanggar akan dapat dikenai sanksi hukum.
14
3. Asas Convinience of Payment, pajak harus dipungut pada saat yang tepat bagi wajib
pajak (saat yang paling baik), misalnya disaat wajib pajak baru menerima
penghasilannya atau disaat wajib pajak menerima hadiah.
4. Asas Efficiency, biaya pemungutan pajak diusahakan sehemat mungkin, jangan
sampai terjadi biaya pemungutan pajak lebih besar dari hasil pemungutan pajak.
W.J. Langen
1. Asas Daya Pikul, besar kecilnya pajak yang dipungut harus berdasarkan besar
kecilnya penghasilan wajib pajak. Semakin tinggi penghasilan maka semakin tinggi
pajak yang dibebankan.
2. Asas Manfaat, pajak yang dipungut oleh negara harus digunakan untuk kegiatan-
kegiatan yang bermanfaat untuk kepentingan umum.
3. Asas Kesejahteraan, pajak yang dipungut oleh negara digunakan untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat.
4. Asas Kesamaan, dalam kondisi yang sama antara wajib pajak yang satu dengan yang
lain harus dikenakan pajak dalam jumlah yang sama (diperlakukan sama).
5. Asas Beban Yang Sekecil-kecilnya, pemungutan pajak diusahakan sekecil-kecilnya
(serendah-rendahnya) jika dibandingkan dengan nilai obyek pajak sehingga tidak
memberatkan para wajib pajak.
Adolf Wagner
1. Asas Politik Finansial, pajak yang dipungut negara jumlahnya memadai sehingga
dapat membiayai atau mendorong semua kegiatan negara.
2. Asas Ekonomi, penentuan obyek pajak harus tepat, misalnya: pajak pendapatan,
pajak untuk barang-barang mewah
3. Asas Keadilan, pungutan pajak berlaku secara umum tanpa diskriminasi, untuk
kondisi yang sama diperlakukan sama pula.
4. Asas Administrasi, menyangkut masalah kepastian perpajakan (kapan, dimana harus
membayar pajak), keluwesan penagihan (bagaimana cara membayarnya) dan
besarnya biaya pajak.
5. Asas Yuridis, segala pungutan pajak harus berdasarkan undang-undang.

E. EFISIENSI PAJAK
Pengertian efisiensi dirumuskan oleh ahli ekonomi dari italia, pareto, sehingga rumusannya
tersebut dinamakan pareto efficiency, menegaskan bahwa dapat dikatakan efisiensi bila tidak
dapat dilakukan pengaturan kembali yang akan menyebabkan seorang akan lebih baik tanpa
memperburuk posisi orang lain. Jadi, bila perubahan itu masih memungkinkan, maka susunan
terdahulu belum efisien.
Peningkatan efisien dapat diperoleh dengan melakukan perubahan. Perubahan dilakukan di
A dan menguntungkan A, tetapi pada B dan C tidak merasa dirugikan atas perubahan tersebut.
Pengertian efisiensi menurut Nick Devas adalah kebijaksanaan perpajakan hendaknya dapat
mendorong, atau setidak-tidaknya tidak menghambat penggunaan sumber daya secara berdaya
dalam kehidupan ekonomi.
Pengertian efisiensi menurut santoso brotodihardjo adalah upaya pemungutan pajak
dilakukan sehemat-hematnya, jangan sekali-kali biaya pemungutan melebihi
pemasukan/penerimaan pajak.
15
Pemungutan pajak dikatakan efisiensi bila biaya yang dikeluarkan untuk menagih pajak
adalah sehemat mungkin, sekecil mungkin, minimal biaya yang dikeluarkan tidak melebihi
penerimaan pajak.
Dengan demikian, yang dikatakan efisiensi bila biaya operasional rendah dan waktu
pencapaiannya singkat dengan memperoleh penerimaan pajak yang optimal.
Seperti yang sudah kita ketahui bersama bahwa pada dasarnya tax planning atau
yang biasa disebut dengan perencanaan pajak merupakan suatu upaya guna untuk
mengurangi atau membuat suatu beban pajak seminimal mungkin untuk dapat dibayarkan
kepada negara sehingga nantinya pajak yang harus dibayarkan kepada negara tidak
melebihi jumlah yang sebenarnya.
Namun sebelum kita melakukan kegiatan tax planning, sebaiknya kita harus tau nih
strategi seperti apa yang dapat digunakan dalam pengupayaan tax planning ini. Setidaknya
ada beberapa strategi yang perlu kita ketahui yaitu antara lain:

1. Tax Saving
Tax Saving merupakan upaya untuk mengefisienkan beban pajak melalui cara
pemilihan alternatif atas pengenaan pajak dengan tarif yang cukup lebih rendah.
seperti contohnya ketika suatu perusahaan memberikan natura kepada karyawan
pada dasarnya pemberian natura tersebut tidak diperbolehkan untuk dibebankan
sebagai biaya dalam perhitungan PPh badan, namun kebijakan pemberian natura
tersebut dapat diubah menjadi pemberian yang tidak dalam bentuk natura sehingga
nantinya dapat dimasukkan sebagai penghasilan karyawan dan dapat dikurangkan
sebagai bentuk biaya. Dalam hal ini, pengubahan kebijakan akan dapat
mengakibatkan pajak penghasilan badan menjadi turun, tetapi tidak dengan PPh 21
yang malah akan naik karena adanya turunnya PPh badan akan lebih besar daripada
kenaikan PPh 21 yang dilakukan dengan asumsi bahwa perusahaan tersebut
memperoleh laba kena pajak di atas Rp 100 JT dan PPh badan dikenakan tidak bersifat
final

2. Tax Avoidance
Tax avoidance merupakan suatu upaya guna untuk mengefisiensikan beban atau biaya
pada pajak dengan cara menghindari pengenaan atas pajak dengan cara
mengarahkannya pada transaksi yang bukan merupakan objek pajak. seperti misalnya
dengan contoh suatu perusahaan yang pajak penghasilannya tidak dikenakan secara
final guna untuk mengefisiensikan PPh 21 atas karyawannya dan dapat dilakukan
dengan cara memberikan sebaik mungkin kesejahteraan atas setiap karyawannya
dengan memberikan natura.

3. Penundaan Pembayaran Pajak


Dengan menggunakan strategi penundaan pembayaran pajak ini perusahaan dapat
melakukan kegiatan perencanaan pajak tanpa adanya resiko melanggar peraturan
yang berlaku. Hal ini dijelaskan lebih lanjut dengan contoh ketika perusahaan
berencana untuk menunda pembayaran PPN terutangnya maka dapat dilakukan
dengan cara menunda penerbitan dari faktur pajak dengan batas waktu yang
16
diperkenankan namun secara khusus hanya dapat digunakan atas penjualan kredit,
karena dengan penjualan kredit dapat menerbitkan faktur atas pajak pada akhir bulan
berikutnya setelah penyerahan pajak dilakukan.
4. Mengoptimalkan Kredit Pajak yang Diperkenankan
Strategi ini dapat dijelaskan dengan contoh ketika PPh 22 atas pembelian solar dari
pertamina yang pada dasarnya bersifat final jika dalam pembelian perusahaan
tersebut bergerak dalam bidang migas, namun jika dalam pembelian perusahaan
tersebut bergerak dalam bidang manufaktur maka PPh 22 tersebut dapat dikreditkan
dengan pajak penghasilan badannya. Perlakuan pengkreditan ini terbilang lebih
menguntungkan dan memudahkan dari pada dibebankan sebagai suatu biaya.

F. PERSYARATAN STRUKTUR PAJAK YANG BAIK


Persyaratan struktur pajak yang baik menurut Richard A. Musgrave dan Feggy B.Musgrave
dalam bukunya yang sama adalah:
 Penerimaan harus ditentukan dengan tepat
 Distribusi beban pajak harus adil. Setiap subjek pajak harus dikenakan sesuai dengan
kemampuannya.
 Yang menjadi masalah penting adalah bukan hanya pada titik mana pajak tersebut harus
dibebankan, tetapi oeh siapakah pajak tersebut pada akhirnya harus ditanggung.
 Pajak harus dipilih sedemikian rupa untuk untuk meminimumkan terhadap keputusan
perekonomian, dalam hubungannya dengan pasar yang efisien
 Struktur pajak harus memudahkan penggunaan kebijaksanaan fiscal untuk mencapai
stabilisasi dan pertumbuhan ekonomi.
 System pajak harus menerapkan administrasi yang wajib dan tegas serta pasti, dan harus
dapat dipahami oleh wajib pajak

Syarat pemungutan pajak adalah landasan prinsip yang harus ada dalam setiap aktivitas
pemungutan pajak. Berikut ini 5 syarat pemungutan pajak di Indonesia.
 Syarat Keadilan (pemungutan pajak harus adil).
 Syarat Yuridis (pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang).
 Syarat Ekonomis (pemungutan pajak tidak mengganggu perekonomian nasional).
 Syarat Finansial (pemungutan pajak harus efisien).
 Syarat Sederhana (sistem pemungutan pajak harus sederhana).
Dalam setiap aktivitas pemungutan pajak, penerapan sekian syarat tersebut punya arti yang
penting. Sebab, tanpa syarat tersebut, aktivitas pemungutan pajak bisa menghadapi kendala
bahkan melenceng dari target yang ditetapkan.
Agar lebih jelas lagi, berikut ini uraian dari masing-masing syarat pemungutan pajak
tersebut:
1. Syarat Keadilan
Pemungutan pajak harus berlandaskan keadilan, baik dalam peraturan perundang-
undangan maupun dalam pelaksanaan pemungutan pajak. Landasan keadilan ini
17
merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk mencapai keadilan bagi masyarakat.
Contoh dari adil yang dimaksud antara lain:
 Wajib pajak memiliki hak dan kewajiban yang diatur oleh undang-undang.
 Setiap warga negara yang memenuhi syarat sebagai wajib pajak haruslah
menyetorkan pajaknya.
 Adanya sanksi untuk pelanggaran-pelanggaran pajak yang terjadi.
2. Syarat Yuridis
Pemungutan pajak selalu didasarkan pada undang-undang yang berlaku. Salah satu
undang-undang yang mengatur pemungutan pajak adalah Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Perpajakan. Dengan adanya pengaturan dalam
bentuk undang-undang, pemerintah memberikan jaminan hukum bagi terlaksananya
aktivitas pemungutan pajak.
3. Syarat Ekonomis
Pemungutan pajak tidak boleh mengganggu aktivitas perekonomian yang dapat
mengakibatkan kelesuan perekonomian nasional. Contohnya, pemungutan pajak tidak
boleh mengganggu aktivitas produksi ataupun perdagangan yang sedang berlangsung.
Syarat Finansial
Pemungutan pajak harus dilakukan dengan efisien dan efektif sehingga hasil yang
diperoleh maksimal. Efisien maksudnya pemungutan pajak harus dilakukan dengan
mudah, tepat sasaran, tepat waktu dan biaya minimal.
Efektif artinya pemungutan pajak harus membawa hasil sesuai perhitungan yang telah
dilakukan. Dalam syarat ini, biaya pemungutan pajak harus lebih kecil daripada
pemasukan pajak yang diterima kas negara.
4. Syarat Sederhana
Sistem pemungutan pajak harus sederhana dan mudah dimengerti wajib pajak. Sistem
pemungutan pajak yang sederhana akan membantu wajib pajak dalam melaporkan
pajak mereka dan mendorong masyarakat memenuhi kewajiban perpajakan. Dengan
demikian, pemasukan negara dari pajak akan semakin meningkat.

18
DAFTAR PUSTAKA

a. Modul Praktikum Perpajakanprodi Diploma III Fakultas Ekonomi Dan Bisnis


b. Made Dwi Surya Suasa, I Made Arjaya, I Putu Gede Seputra Fakultas Hukum Universitas
Warmadewa Denpasar-Bali, Indonesia; ASAS KEADILAN PEMUNGUTAN PAJAK DALAM
PERATURAN PEMERINTAH NO 23 TAHUN 2018 TENTANG PAJAK PENGHASILAN
c. https://bppk.kemenkeu.go.id/content/artikel/balai-diklat-keuangan-denpasar-selayang-
pandang-sejarah-keadilan-pajak-dan-penerapanya-2020-01-07-0bfb8cbd/
d. https://kamus.tokopedia.com/w/wajibpajak#:~:text=Apa%20itu%20Wajib%20Pajak%3F,ketentu
an%20peraturan%20perundang%2Dundangan%20perpajakan.

19

Anda mungkin juga menyukai