Anda di halaman 1dari 25

Mata Kuliah : Ekonomi Makro Islam

PAJAK

OLEH :
SEFRYANA SARI

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH


PASCASARJANA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
PAREPARE

2022
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji dan syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan
berkah, rahmat, karunia serta hidayah-Nyalah penyusun dapat menyalesaikan tugas ini dengan
baik.
Tugas makalah yang berjudul "Pajak" ini bertujuan untuk mengetahui ruang lingkup yang
ada pada pajak serta juga untuk memenuhi tugas yang diberikan kepada penyusun sebagai tugas
wajib pada mata kuliah Ekonomi Makro Islam.
Penyusun sangat mengetahui atas segala keterbatasan dan kekurangan dalam tugas makalah
ini, yang mana masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penyusun mengharap kritik dan saran
yang membangun dari para pembaca. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua,
terutama bagi penyusun.

Pinrang, 16 Desember 2022

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pajak mempunyai peranan yang sangat dominan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara

khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan, karena pajak merupakan sumber pendapatan

negara untuk membiayai semua pengeluaran termasuk pengeluaran pembangunan. Pajak

merupakan salah satu sumber pendapatan negara yang diandalkan untuk memenuhi kebutuhan
finansialnya, namun pasca kemerdekaan Republik Indonesia pola perpajakan masih

menggunakan tata cara kolonial Belanda dalam penerapannya, sehingga menyebabkan

kebinggungan di masyarakat pada saat itu, dan sistem kolonial ini juga menimbulkan tidak

efektifnya pendapatan negara dari

sektor pajak, maka dari itu diperlukan suatu perubahan dalam mengefektifkan sistem perpajakan

di Indonesia.1 Pajak merupakan sumber utama penerimaan negara yang bertujuan untuk

meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan cara meningkatkan pelayanan publik. Namun

permasalahan pajak di Indonesia terus berlangsung, padahal pajak merupakan kewajiban

masyarakat sebagai warga negara, tetapi masih banyak warga negara yang tidak membayar

pajak. Bahkan banyak wajib pajak tidak

melakukan pembayaran pajak. Hal ini jelas merugikan negara.

Masalah kepatuhan wajib pajak adalah masalah penting di seluruh dunia, baik negara maju

maupun negara berkembang. Karena jika wajib pajak tidak patuh maka akan menimbulkan

keinginan untuk melakukan tindakan penghindaran, pengelakan penyelundupan, dan pelalaian

pajak, yang pada akhirnya tindakan tersebut akan menyebabkan penerimaan pajak negara akan

berkurang.

1
Rochmat Soemitro. 1986. Pajak penghasilan. Eresco Bandung. Bandung. hal.4
Pelaksanaan Pemungutan pajak suatu negara memerlukan suatu sistem yang telah disetujui

masyarakat melalui perwakilannya didewan perwakilan, dengan menghasilkan suatu peraturan

perundang-undangan yang menjadi dasar pelaksanaan perpajakan bagi fiskus maupun maupum

bagi wajib pajak. Sistem pemungutan pajak yang berlaku di Indonesia berdasarkan peraturan

perundang-undangan perpajakan menuntut wajib pajak untuk turut aktif dalam pemenuhan

kewajiban pepajakannya. Sistem pemungutan yang berlaku adalah Self Assesment System,

dimana segala pemenuhan kewajiban perpajakan di lakukan sepenuhnya oleh wajib pajak, fiskus

hanya melakukan pengawasan melalui prosedur pemeriksaan.


Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk membiayai semua

kepentingan umum, termasuk juga untuk membiayai pembangunan sehingga dapat membuka

kesempatan kerja, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan

masyarakat. Kewenangan memungut pajak di Indonesia saat ini dilaksanakan oleh Direktorat

Jenderal Pajak, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai pada Kementerian Keuangan dan Dinas

Pendapatan Daerah pada Pemerintah Daerah baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Disadari

begitu pentingnya pungutan pajak agar sesuai dengan rasa keadilan, konstitusi dasar Republik

Indonesia dalam Amandemen ke3-tiga UUD 1945 mengatur pajak dalam pasal tersendiri yaitu

dalam Pasal 23 A : Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara

diatur dengan undang-undang.2

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pajak dalam Ekonomi Konvensional?

2. Bagaimana bentuk dan jenis pajak?

3. Bagaimana pajak dalam Ekonomi Islam

4. Bagaimana pajak dalam masa Rasulullah SAW dan Khulafaurrasyidin?

C. Tujuan Masalah

1. Untuk mengetahui bagaimana pajak dalam ekonomi konvensional.

2. Untuk mengetahui bagaimana bentuk dan jenis pajak.


2
UUD RI 1945. Pasal 23 ayat (2) UUD RI 1945. 9 November 2001
3. Untuk mengetahui bagaimana pajak dalam ekonomi Islam.

4. Untuk mengetahui bagaimana pajak pada masa Rasulullah SAW dan Khulafaurrasyidin.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Pajak

Menurut Undang-Undang dan Tata Cara Perpajakan, pajak adalah kontribusi Wajib Pajak

kepada Negara yang terutang oleh Orang Pribadi atau Badan yang bersifat yang terutang oleh

orang pribadi atau badan yang sifatnya dapat di paksakan dan di pungut oleh Undang-Undang,

serta tidak mendapat imbalan secara langsung dan di gunakan untuk keperluan Negara bagi

sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.3 Selain itu pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara
berdasarkan Undang-Undang (yang dapat di paksakan) dengan tidak mendapatkan jasa timbal

(kontra prestasi) yang langsung dapat di tunjukkan dan yang di gunakan untuk membayar

pengeluaran umum.4 Menurut S.I. Djajadiningrat yang di kutip oleh Siti Resmi bahwa pajak

adalah sebagai suatu kewajiban menyerahkan sebagian dari kekayaan ke kas Negara yang di

sebabkan suatu

keadaan, kejadian,dan perbuatan yang memeberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan sebagai

hukuman, menurut peraturan yang di tetapakan pemerintah serta dapat di paksakan, tetapi tidak

ada jasa timbal balik dari Negara secara langsung untuk memelihara kesejahtraan secara umum.5

Dari beberapa definisi di atas yang telah di kemukakan oleh beberapa ahli bahwa terdapat

ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak yaitu sebagai berikut:

1. Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta aturan

pelaksanaannya.

2. Dalam pembayaran pajak tidak dapat di tunjukan antara kontraprestasi individual oleh

pemerintah.

3. Pajak di pungut oleh Negara, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

3
Mardiasmo. Perpajakan. (Edisi Revisi 2009, Yogyakarta, Penerbit Andi. Muljono,
Djoko, 2010). Hal.22-23.
4
Rochmat Soemitro. 1984. Pajak penghasilan. Eresco: Bandung. hal.4
5
Siti Resmi. 2009. Perpajakan, Teori dan Kasus. Yogyakarta: Salemba Empat. Hal.1
4. Pajak di peruntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dalam

pemasukannya masih terdapat surplus, di gunakan untuk membiayai.6

B. Fungsi Pajak

Pajak mempunyai peranan penting dalam kehidupan bernegara, khususnya dalam

pelaksanaan pebangunan karena pajak merupakan sumber pendapatan Negara untuk membiayai

semua pengeluaran, termasuk pengeluaran pembangunan. Pajak mempunyai beberapa fungsi

yaitu sebagai berikut:7

a. Fungsi anggaran (budgetair)


Fungsi ini terletak pada sector fublik, yaitu mengumpulkan uang pajak sebanyak-

banyaknya, sesuai dengan undang-undang yang berlaku untuk membiayai pengeluaran Negara.

Sebagai sumber pendapatan Negara pajak, berfungsi untuk membiayai pengeluaran

Negara.untuk menjalankan tugas-tugas rutin Negara dan melaksanakan pembangunan.

Digunakan untuk pembiayaan rutin, seperti belanja pegawai, belanja barang, pemeliharaan, dan

sebagainya.

b. Fungsi mengatur (regulered)

Fungsi mengatur berarti pajak di jadikan alat bagi pemerintah untuk mencapai tujuan

tertentu, baik dalam bidang ekonomi moneter, social, kultural, maupun dalam bidang politik.

Selain dua fungsi di atas, pajak juga memiliki fungsi lain yaitu:

1) Fungsi stabilitas

Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk melaksanakan kebijakan yang

berkaitan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat di kendalikan.

Hal ini dapat di lakukan dengan mengatur peredaran uang yang beredar di masyarakat,

pemungutan pajak, penggunaan pajak yang efektif dan efisien.

2) Fungsi redistribusi pendapatan

6
Siti Resmi. Perpajakan, Teori dan Kasus. Hal.2
7
Neneng Hartati. 2015. Pengantar Perpajakan. Cv Pustaka Setia. Hal. 35-37
Pajak yang sudah di pungut oleh Negara di gunakan untuk membiayai kepentingan

umum, termasuk untuk membiayai pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan

kerja yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan masyarakat.

3) Fungsi demokrasi

Pajak yang sudah di fungut oleh Negara merupakan wujud sistem gotong royong.

Fungsi ini dikaitkan dengan tingkat pelayanan pemerintah kepada masyarakat pembayar

pajak.8

C. Syarat Pemungutan Pajak


Tidaklah mudah untuk membebankan pajak pada masyarakat. Bila terlalu tinggi,

masyarakat enggan membayar bila terlalu rendah maka pembangunan tidak akan berjalan karena

dana yang kurang. Agar pemungutan pajak tidak menimbulkan hambatan atau perlawanan, maka

pemungutan pajak harus memenuhi syarat sebagai berikut:9

a. Pemungutan pajak harus adil (syarat keadilan).

Sesuai dengan tujuan hukum, yakni mencapai keadilan, undang-ungang dan pelaksanaan

pemungutan harus adil. Adil dalam perundang-undangan diantaranya mengenakan pajak

secara umum dan merata, serta di sesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Sedang adil

dalam pelaksanaannya yakni dengan memberikan hak bagi wajib pajak untuk mengajukan

keberatan, penundaan dalam pembayaran dan mengajukan banding kepada majlis

pertimbangan pajak.

b. Pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang (syarat yuridis).

Di Indonesia pajak di atur dalam UUD 1945 pasal 23 ayat 2. Hal ini memberikan jaminan

hukum untuk menyatakan keadilan, baik bagi Negara maupun warganya.

c. Tidak mengganggu perekonomian (syarat ekonomi).

8
Diana Sari. 2013. Konsep Dasar Perpajakan. Bandung: Rapika Aditama. Hal.40
9
Mardiasmo. 2009. Perpajakan, edisi revisi tahun 2009. Yogyakarta: Andi. Hal.23
Pemungutan tidak boleh mengganggu kelancaran kegiatan produksi maupun

perdagangan, sehingga tidak menimbulkan kelesuan perekonomian masyarakat.

d. Pemungutan pajak harus efisien (syarat finansial).

Sesuai fungsi butgetair, biaya pemungutan pajak harus bias di tekan sehingga lebih

rendah dari hasil pemungutannya.

e. Sitem pemungutan pajak harus sederhana.

System pemungutan yang sederhana akan memudahkan dan mendorong masyarakat

dalam memenuhi kewajiban perpajakan.


D. Jenis Pajak

Pajak dapat dikelompokkan dalam tiga jenis, yaitu:10

a. Berdasarkan golongannya, pajak di kelompokan atas dua golongan yaitu:

1) Pajak Langsung

Pajak yang harus di pikul sendiri oleh wajib pajak dan tidak dapat di bebankan atau tidak

dapat di limpahkan kepada orang lain. Contoh: PPh, PPN, PPn BM, Pajak Bumi dan Bangunan

(PBB), dan Bea Materai.

2) Pajak Tidak Langsung

Pajak tidak langsung merupakan pajak yang proses pembayarannya dapat dibebankan

kepada pihak lain. Jadi, Wajib Pajak memiliki wewenang untuk menyerahkan pembayaran

pajak dengan diwakilkan oleh pihak yang lain.

3) Pajak yang pada akhirnya dapat di bebankan atau dapat di limpahkan kepada orang lain.

Contoh: Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

b. Berdasarkan sifatnya, pajak di kelompokan atas:11

1) Pajak Subjektif

Siti Resmi. 2009. Perpajakan, Teori dan Kasus. Hal. 7-8


10

Siti Kurnia Rahayu. 2013. Perpajakan Indonesia (Konsep Dan


11

AspekFormal).Yogyakarta: Graha Ilmu. Hal.45-46


Pajak berpangkal atau berada pada subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri

wajib pajak. Contoh: Pajak Penghasilan (PPn).

2) Pajak Objektif

Pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri wajib

pajak.Contoh: Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak atas Barang Mewah (PPn BM).

c. Berdasarkan Lembaga Pemungutannya pajak di kelompokan atas:

1) Pajak Pusat

Pajak yang di pungut oleh pemerintah pusat dan di gunakan untuk membiayai rumah
tangga Negara. Contoh: Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Atas Penjualan

Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan Dan Beamatrai.

2) Pajak Daerah

Pajak yang di pungut oleh pemerintah daerah dan di gunakan untuk membiayai rumah

tangga daerah.

a) Pajak provinsi, contoh: pajak kendaraan bermotor dan pajak bahan bakar kendaraan

bermotor.

b) Pajak kabupaten/kota, contoh: pajak hotel pajak restoran pajak hiburan.

Adapun Pajak Penghasilan (PPh) menjadi salah satu jenis pajak yang memegang porsi

terbesar dalam sumber penerimaan negara. Pajak atas penghasilan ini dikenakan terhadap Wajib

Pajak Orang Pribadi atau Badan dan tak dapat diwakilkan. Penghasilan yang dikenakan tidak

hanya berasal dari gaji, melainkan juga dari laba usaha, honorarium, hadiah dan penghasilan

lainnya dalam perhitungan satu tahun pajak. Dalam konteks Wajib Pajak Badan, pemungutan

atau penarikan pajak itu diambil dari barang atau jasa yang dikelola. Seluruh jenis pajak tersebut

nantinya dikelola untuk memenuhi kepentingan negara dan akan kembali kepada rakyat. Sesuai

dalam ketentuan perundang-undangan perpajakan, setidaknya ada 8 jenis pajak penghasilan yang

berlaku untuk individu dan badan usaha. Adapun delapan jenis pajak perusahaan berikut: (UUD

Pasal Pajak Penghasilan)

a) Pajak Penghasilan Pasal 15


PPh Pasal 15 adalah pajak umum dimiliki oleh setiap perusahaan ataupun pengusaha yang

berhubungan dengan Norma Perhitungan Khusus. Begitu sebuah perusahaan didirikan, maka

mereka sudah dianggap sebagai Wajib Pajak badan. Ini juga berlaku kepada individu yang

menjadi pengusaha dan berhak sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi. Umumnya jenis pajak yang

harus dibayarkan sudah tertera pada Surat Keterangan Terdaftar (SKT),

b) Pajak Penghasilan Pasal 21

PPh Pasal 21 adalah pajak yang harus dibayarkan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi atas

segala penghasilan yang diterima dari pekerjaan, jasa atau kegiatan dengan nama dan dalam
bentuk apapun. Pajak Penghasilan ini harus rutin dibayarkan setiap bulannya.

c) Pajak Penghasilan Pasal 22

PPH Pasal 22 adalah pajak penghasilan yang menyasar Wajib Pajak Badan, baik milik

pemerintah maupun swasta. Umumnya pajak ini dikenakan pada jenis kegiatan badan usaha

sektor perdagangan ekspor, impor dan re-impor. Adapun pihak pemungut dari jenis PPH ini

adalah Badan pemerintah Pusat atau Daerah khusus, Badan-badan khusus dalam bidang ekspor

dan impor, dan Wajib Pajak yang melakukan pejualan barang mewah.

d) Pajak Penghasilan Pasal 23

PPh Pasal 23 adalah pajak yang dikenakan pada penghasilan atas penyerahan jasa, hadiah,

royalti, dan lainnya selain yang telah di potong oleh PPh Pasal 21. Tarif dari PPh Pasal 23

dikenakan atas nilai DPP dari penghasilannya dan ditentukan dalam 2 tarif yaitu 15% dan 2%

tergantung pada objeknya. Misalnya dalam imbalan jasa maka dikenakan tarif sebesar 2%.

e) Pajak Penghasilan Pasal 25

PPH Pasal 25 adalah angsuran pajak yang berasal dari jumlah PPh terutang menurut SPT

tahunan. Hanya saja Wajib Pajak harus membayar sendiri tanpa diwakilkan oleh siapapun dan

dilaksanakan secara berangsur. Pajak jenis ini memiliki tujuan untuk meringankan beban wajib

pajak dalam melaksanakan pembayaran pajak tahunannya.

f) Pajak Penghasilan Pasal 26


PPh Pasal 26 dikenakan atas penghasilan yang bersumber dari Indonesia, yang mana

diterima oleh wajib pajak luar negeri, kecuali bentuk usaha tetap (BUT) yang ada di Indonesia.

PPh ini merupakan penerapan dari asas sumber yang dianut dalam sistem pemungutan pajak

yang ada di Indonesia.

g) Pajak Penghasilan Pasal 29

PPh Pasal 29 adalah pajak yang berlaku bagi Wajib Pajak Orang Pribadi dan/atau Badan.

Pajak ini muncul sebagai akibat PPh terutang dalam SPT tahunan, jumlahnya lebih besar

ketimbang kredit pajak yang telah dipotong atau dipungut oleh pihak lain. Pajak ini harus
dibayarkan dan dilunasi sebelum SPT tahunan PPh Badan tersebut dilaporkan.

h) PPh Pasal 4 ayat (2)

PPh jenis ini adalah pajak atas penghasilan yang bersifat final serta tidak dapat dikreditkan

dengan pajak penghasilan terutang. Objek pajak dari pajak ini adalah investasi atau simpanan

seperti bunga obligasi, bunga deposito dan Surat Utang Negara (SUN), dan lain sebagianya

sebagaimana diatur dalam Undang-Undang.

E. Asas-asas Perpajakan.

1. Asas Keadilan

a. Menurut Teori yang mendasari pengertian.

1) Asas Equality

Pemungutan pajak harus bersifat adil dan merata, yaitu dikenakan pada orang pribadi

yang harus sebanding dengan kemampuan membayar pajak (ability to pay) dan sesuai

dengan manfaat yang diterima

2) Asas Certainty

Penetapan pajak hendaknya tidak sewenang-wenang, jadi wajib pajak harus mengetahui

kapan membayar dan batas waktu pembayaran

3) Asas Convenience of Payment


Kapan Wajib Pajak itu harus membayar pajak sebaiknya sesuai dengan saat-saat yang

tidak menyulitkan Wajib Pajak, misalnya pada saat memperoleh penghasilan.

4) Asas Economy

Secara ekonomi, biaya pemungutan dan pemenuhan kewajiban pajak bagi Wajib Pajak

diharapkan seminimum mungkin, demikian pula beban yang dipikul.

b. Teori yang memisahkan hak negara memungut pajak

1) Teori Asuransi

Dalam perjanjian asuransi diperlukan pembayaran premi. Premi tersbut dimaksudkan


sebagai pembayaran atas usaha melindungi orang dari segala kepentingannya, misalnya

keselamatan atau keamanan harta bendanya. Teori asuransi ini menyamakan pembayaran

premi dengan pajak. Walaupun kenyataannya menyatakan hal tersebut dengan premi

tidaklah tepat.

2) Teori Kepentingan

Teori kepentingan ini memperhatikan beban pajak yang harus dipungut dari masyarakat.

Pembebanan ini harus didasarkan pada kepentingan setiap orang pada tugas pemerintah

termasuk perlindungan jiwa dan raganya. Oleh karena itu, pengeluaran negara untuk

melindunginya dibebankan pada masyarakat

3) Teori Gaya Pikul

Teori ini mengandung bahwa dasar keadilan pemungutan pajak terletak dalam jasa-jasa

yang diberikan oleh negara kepada masyarakat berupa perlindungan jiwa dan harta

bendanya. Oleh karena itu, untuk kepentingan perlindungan, maka masyarakat akan

membayar pajak menurut daya pikul seseorang.

4) Teori Asas Daya Beli

Teori ini didasarkan pada pendapat bahwa penyelenggaraan kepentingan masyarakat

dianggap sebagai dasar keadilan pemungutan pajak yang bukan kepentingan individu atau

Negara, sehingga lebih menitikberatkan pada fungsi mengatur.

2. Asas Manfaat
Pengenaan pajak hendaknya seimbang dengan keuntungan (manfaat) yang didapat wajib

pajak dari jasa-jasa publik yang diberikan oleh pemerintah. Berdasarkan kriteria ini, maka

pajak dikatakan adil bila seseorang yang memperoleh kenikmatan lebih besar dari jasa-jasa

publik yang dihasilkan oleh pemerintah dikenakan proporsi lebih besar. PBB menggunakan

prinsip benefit dalam mengukur aspek keadilan dalam perpajakan. Fungsi negara adalah

memberikan perlindungan terhadap kekayaan warga, dan karenanya pemiliknya

berkewajiban ikut membayar keperluan-keperluan negara.

3. Asas Pembuatan Undang-undang


a. Asas Yuridis

Untuk menyatakan suatu keadilan, hukum pajak harus memberikan jaminan hukum kepada

negara atau warganya. Oleh karena itu, pemungutan pajak harus didasarkan pada undang-

undang. Landasan hukum pemungutan pajak di Indonesia adalah pasal 23 ayat (2) Undang-

Undang Dasar 1945.

b. Asas Ekonomis

Seperti pada uraian sebelumnya, pajak mempunyai fungsi regular dan budgeter. Asas

ekonomi ini lebih menekankan pada pemikiran bahwa negara menghendaki agar kehidupan

ekonomi masyarakat terus meningkat. Untuk itu, pemungutan pajak harus diupayakan tidak

menghambat kelancaran ekonomi, sehingga kehidupan ekonomi tidak terganggu.

c. Asas Finansial

Berkaitan dengan hal ini, fungsi pajak yang terpenting adalah fungsi budgeter nya, yakni

untuk memasukkan uang sebanyak-banyaknya ke dalam kas Negara. Sehubungan dengan

itu, agar diperoleh hasil yang besar, maka biaya pemungutannya harus sekecil-kecilnya.

4. Asas yuridiksi pemungutan pajak

a. Asas Tempat Tinggal

Negara-negara mempunyai hak untuk memungut atas seluruh penghasilan wajib Pajak

berdasarkan tempat tinggal Wajib Pajak. Wajib Pajak yang bertempat tinggal di Indonesia
dikenai pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh, yang berasal dari Indonesia

atau berasal dari luar negeri (Pasal 4 Undang-undang Pajak Penghasilan).

b. Asas Kebangsaan

Pengenaan pajak dihubungkan dengan suatu Negara. Asas ini diberlakukan kepada setiap

orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia untuk membayar pajak.

c. Asas Sumber.

Negara mempunyai hak untuk memungut pajak atas penghasilan yang bersumber pada suatu

Negara yang memungut pajak. Dengan demikian Wajib Pajak yang menerima atau
memperoleh penghasilan dari Indonesia dikenai pajak di Indonesian tanpa memperhatikan

tempat tinggal Wajib Pajak.

Adapun keberadaan pengadilan pajak merupakan peradilan khusus yang menangani perkara

perpajakan sangat dinantikan para pengusaha dan investor di Indonesia, di mana dalam

penanganannya dilakukan dengan adil melalui prosedur dan proses yang cepat, murah dan

sederhana dengan memberikan putusan yang bersifat final. Hal tersebut sangat diperlukan,

mengingat bahwa perkembangan dunia usaha yang pesat memicu terjadinya konflik

diakibatkan adanya analogi dan interpretasi terhadap suatu peraturan yang diterbitkan

Pemerintah. Manakala terjadi hal tersebut, maka putusan pengadilan akan membentuk suatu

kaidah hukum yang harus dipatuhi oleh para pihak, dalam teori hukum disebut dengan

common law.

Penyelesaian perkara perpajakan telah dilakukan oleh sebuah institusi khusus yang

mempunyai kewenangan menanganinya, yang kemudian berkembang sesuai dengan

kebutuhan dan sistem peradilan yang berlaku. Pembentukan lembaga-lembaga tersebut

dapat dilihat dalam kilasan sejarah penyelesaian perkara pajak dari masa ke masa.

Adapun dalam undang-undang tentang Pengadilan Pajak terdapat beberapa istilah, antara

lain:
a) Pajak: “Pajak adalah semua jenis pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat, termasuk

bea masuk dan cukai, dan pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah, berdasarkan

peraturan perundang-undangan yang berlaku

b) Sengketa Pajak: “Sengketa pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan

antara wajib pajak atau penanggung pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat

dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan Banding atau Gugatan kepada Pengadilan

Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk gugatan atas

pelaksanaan penagihan berdasarkan undangundang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa”


Tentang upaya hukum yang dapat dilakukan :

1) Banding: “Banding adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh wajib pajak atau

penanggung pajak terhadap suatu keputusan yang dapat diajukan Banding, berdasarkan

peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.”

2) Gugatan: “Gugatan adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh wajib pajak atau

penanggung pajak terhadap pelaksanaan penagihan Pajak atau terhadap keputusan yang

dapat diajukan gugatan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang

berlaku”.

3) Peninjauan Kembali/PK: “Pihak-Pihak yang berperkara dapat mengajukan peninjauan

kembali atas putusan Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung.12

E. Pajak dalam Ekonomi Islam

Dalam Islam, segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah memiliki maksud dan tujuan

tertentu. Di dalam Al-Qur’an, Allah telah memberikan segala perintah dan petunjuk sebagai

pedoman hidup umat-Nya di muka bumi ini. Dan sebagai umat-Nya yang ditunjuk sebagai

Khalifah di muka bumi, tugas manusia adalah mengikuti segala perintah dan menjauhi larangan-

Nya selama hidup di dunia ini. Ini berarti bahwa umat Muslim berkewajiban melaksanakan

semua perintah Allah di seluruh aktivitasnya di muka bumi. Umat Muslim hanya perlumengikuti

apa yang diperintahkan Allah di dalam Al-Qur’an untuk mendapatkan rahmat dan rezeki dari-
12
Pasal 77 ayat 3 Undang-Undang no.14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak
Nya, dan jika manusia memungkirinya, maka dia akan mendapatkan dosa yang besar. Segala

sesuatu yang dilakukan oleh manusia dimuka bumi haruslah berdasarkan nash Al-Quran.

Perintah melaksanakan shalat lima waktu, puasa di bulan Ramadhan, membayar zakat, dan

menunaikan ibadah haji merupakan sebahagian perintah Allah kepada Umatnya di dalam Al-

Qur’an.

Namun bukan berarti Allah tidak pernah memerintahkan pemungutan pajak. Di dalam Al-

Qur’an, Ulil Amri (Pemerintah) hanya diperintahkan untuk memungut pajak dari para kaum non-

muslim yang kafir. Itupun tidak disebutkan dengan nama dharibah di Al-Qur’an melainkan
kharaj dan jizyah. Kedua pajak ini dipungut dari kaum kafir dengan tujuan berbeda. Kharaj

merupakan pajak yang dikenakan kepada kaum kafir atas tanah kharajiyah dan jizyah dikenakan

sebagai denda atas keamanan dan perlindungan yang didapatkan karena hidup di negara Islam.

Namun yang terjadi sekarang ini adalah Pemerintah (Ulil Amri) mewajibkan pajak bukan

hanya kepada umat non-muslim, tetapi kaum muslimin juga telah diwajibkan membayar pajak,

padahal umat Muslim juga telah memiliki kewajiban zakat sebelumnya. Namun Berbagai pos

pengeluaran yang tidak tercukupi oleh Baitul Maal adalah menjadi kewajiban kaum Muslimin.

Jika berbagai kebutuhan dan pos-pos

pengeluaran itu tidak dibiayai, maka akan timbul kemudharatan atas kaum muslimin, padahal

Allah juga telah mewajibkan negara dan umat-Nya untuk menghilangkan kemudharatan yang

menimpa kaum muslimin. Maka jika kondisi tersebut, negara mewajibkan kaum muslimin untuk

membayar pajak, hanya untuk menutupi berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran yang

diwajibkan, tanpa berlebih.13

F. Pajak pada masa Rasulullah

Adapun Macam-macam pajak yang ada pada zaman Rasulullah Saw. adalah sebagai

berikut:14

Gusfahmi. 2007. Pajak Menurut Syariah. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Hal.159


13

Muhammad MAG. 2002. Kebijakan Fiskal dan Moneter dalam Ekonomi Islam. Jakarta:
14

Salemba Empat. hal.180


a. Jizyah

Jizyah adalah pajak yang dibayarkan orang non muslim khususnya ahli kitab untuk jaminan

perlidungan jiwa, harta atau kekayaan, bebas dari nilai-nilai dan tidak wajib militer. Pada zaman

Rasulullah besarnya jizyah adalah satu dinar pertahun untuk orang dewasa yang mampu

membayarnya. Pembayaran tidak harus tunai tetapi dapat juga berupa barang dan jasa.

b. Kharaj

Kharaj adalah pajak tanah yang dipungut dari non muslim ketika khaibar ditaklukan,

tanahnya diambil alih oleh orang muslim dan pemilik lamanya menawarkan untuk mengolah
tanah tersebut sebagi pengganti sewa tanah dan bersedia memberikan setengah hasil produksi

kepada negara. Jumlah kharaj dari tanah ini tetap. Rasulullah biasanya mengirim orang yang

memiliki pengetahuan dalam masalah ini untuk memperkirakan jumlah hasil produksi. Setelah

mengurangi sepertiga sebagai kelebihan perkiran, dua pertiga bagian diberikan dan mereka bebas

memilih; menerima atau menolak pembagian tersebut. Prosedur yang sama diterapkan di daerah

lain. Kharaj menjadi sumber pendapatan yang penting pada saat itu.15

c. Ushr

Ushr adalah (pajak cukai sepersepuluh) yang dikenakan kepada para pedagang non muslim

karena pedagang muslim harus membayar pajak yang sama atas tanah mereka.

d. Nawaib

Nawaib adalah pajak yang jumlahnya cukup besar yang dibebankan pada kaum

muslimin yang kaya dalam rangka menutupi pengeluaran negara selama masa darurat dan ini

pernah terjadi pada masa perang Tabuk.

e. Khums

Khums adalah pajak proporsional yang jumlahnya tidak konstan, hal ini menyebabkan

kestabilan harga dan menurunkan Inflasi dalam kondisi kelebihan permintaan atas penawaran.

G. Pajak pada masa Rasulullah SAW

Issawi, C. 1996. Ibnu Khaldun, Analysis of Economic Issues dalam Readings In Islamic
15

Economic Thought, Sadeq Editor, Longman Malaysia. hal.32


Pada masa Rasulullah penerimaan negara yang paling utama adalah zakat dan ushr, karena

zakat dan ushr adalah kewajiban agama dan masuk salah satu pilar Islam. Pengeluaran untuk

keduanya telah diatur dalam Al- Quran 9:60, sehingga pengeluaran zakat tidak bisa untuk

pengeluaran umum.16Untuk kebijakan alokasi dana pajak yang diperoleh, sebagaimana

diungkapkan oleh Kadim Shadr (1996) bahwa setiap dana pajak mempunyai tujuan pengeluaran

sendiri. Khums juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan pasukan dan perlengkapan perang.

Pengeluaran khusus untuk penerimaan kharaj adalah untuk memelihara kebutuhan publik. Pada

saat yang sama, penerimaan yang disebut diatas juga dikeluarkan untuk hal yang bermanfaat bagi
publik secara umum. Selanjutnya dana yang dikumpulkan dari setiap daerah terutama

dikeluarkan untuk daerah itu sendiri. Akhirnya seluruh dana yang tersisa dikirim ke baitul maal.

Semua Khulafaurasyidin, terutama Umar bin Khattab, Ali bin abi thalib, dan Umar bin Abdul

Azis dilaporkan telah menekankan bahwa pajak harus dikumpulkan dengan keadilan dan

kemurahan, tidak diperbolehkan melebihi kemampuan rakyat untuk membayar, juga jangan

sampai membuat mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok mereka sehai-hari. Oleh

karena itu, Beliau sangat mendukung hak pemerintah untuk meningkatkan atau menurunkan

pajak menurut kemampuan rakyat yang terbebani.

H. Pajak pada masa Khulafaurrasyidin

a. Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq RA

Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah sahabat pertama yang melanjutkan dan menggantikan

kepemimpinan setelah Rasulullah Saw. Sebelum menjadi khalifah beliau tinggal di Sikh,

dipinggir kota Madinah tempat baitul maal dibangun. Abu Ubaidah ditunjuk menjadi

penanggung jawab Baitul maal. Setelah 6 bulan Abu Bakar pindah ke Madinah dna bersamaan

dengan itu sebuah rumah dibangun untuk Baitul Maal Selama sekitar 27 bulan

kepemimipinannya, Abu Bakar telah banyak menangani masalah murtad, cukai dan masalah

orang yang menolak membayar zakat kepada negara. Abu bakar adalah Khalifah yang

Muhammad MAG. 2002 Kebijakan Fiskal dan Moneter dalam Ekonomi Islam. Jakarta:
16

Salemba Empat. Hal.184


mencontohkan pentingnya integritas moral seorang pemimpin dalam penggunaan kekayaan

publik yaitu dengan mengembalikan penggunaan pendapatan negara dalam operasionalnya

sebesar 8000 dirham, serta mengemblikan fasilitas yang diberikan kepadanya selama menjabat

sebagai khalifah.

b. Khalifah Umar Bin Khattab RA

Umar menggantikan Abu Bakar yang dipilih secara aklamasi. Kontribusi Umar yang paling

baik adalah membentuk perangkat administrasi yang baik untuk menjalankan roda pemerintahan

yang besar. Ia mendirikan institusi admisistratif yang hampir tak mungkin didirikan pada abad
ketujuh sesudah masehi. Pada tahun 16 Hijriah Abu Huraira yang bertugas sebagai amil Bahrain,

mengunjungi Madinah dan membawa 500.000 dirham kharaj. Itu adalah jumlah besar sehingga

mengadakan pertemuan dengan majelis syuro untuk menanyakan pendapat mereka dan

diputuskan bersama bahwa jumlah tersebut tidak untuk didistribusikan melainkan untuk

disimpan sebagai cadangan darurat. Untukmenyimpan dana tersebut dibentuklah baitul maal

untuk pertama kalinya yang bersifat reguler dan permanen. Didirikan di ibukota dan didirikan

cabang-cabangnya di ibukota propinsi. Abdullah bin Irqam ditunjuk sebagai pengurus

baitul maal (menteri keuangan). Baitul Maal secara tidak langsung bertugas sebagai pelaksana

kebijaksaan fiskal negara Islam. Khalifah adalah yang berkuasa penuh atas dana tersebut, tetapi

tidak boleh menggunakannya untuk keperluan pribadi. Khalifah

mendapat tunjangan tersendiri sebagai gajinya. Properti baitul maal dianggap sebagai harta

kaum muslim sedangkan amil-amilnya hanyalah pemegang kepercayan. Jadi merupakan

tanggung jawab negara untuk menyediakan fasilitas yang berkesinambungan untuk janda, anak

yatim, anak terlantar, membiayai penguburan orang miskin, membayar utang orang bangkrut,

membayar uang diyat untuk kasus tertentu dan memberikan pinjaman tanpa bunga untuk urusan

komersial, bahkan Umar pernah meminjam sejumlah uang untuk keperluan pribadinya.

Bersamaan dengan reorganisasi baitul maal, Umar mendirikan diwan Islam yang pertama,

yang disebut Ad-Diwan. Sebenarnya lembaga tersebut adalah kantor yang ditujukan untuk

membayar tunjangan-tunjangan angkatan perang dan pensiun serta tunjangan lain dalam basis
yang reguler dan tepat. Khalifah juga membentuk komite yang terdiri dan ternama, untuk

membuat sensus penduduk Madinah sesuai dengan tingkat kepentingan dan kelasnya untuk

diberi tunjangan.Daerah penumpukan kharaj adalah mencakup bagian yang cukup besar dari

kerajaan Roma dan Sasanid karena itu sistem yang terelaborasi dibutuhkan untuk penilaian,

pengumpulan dan pendistribusian penghasilan yang diperolehdari tanah-tanah tersebut. Berdasar

itu Umar mengirimkan Usman Ibn Hunaif Al-Anshari untuk membuka batas-batas tanah di

Sawad. Umar menetapkan peraturan sebagai berikut:

1. Wilayah Irak yang ditaklukan dengan kekuatan, menjadi milik muslim dan kepemilikan ini
tidak dapat diganggu gugat, sedangkan bagian yang berada dibawah perjanjian damai tetap

dalam pemilikan sebelumnya dan kepemilikan tersebut dapat dialihkan.

2. Kharaj dibebankan pada semua tanah yang dibawah kategori pertama, meskipun pemilik

tersebut kemudian memeluk Islam. Dengan demikian tanah tersebut tidak dapat dikonversikan

menjadi tanah ushr.

3. Bekas pemilik tanah diberi hak kepemilikan, sepanjang mereka membayar kharaj dan jizya.

4. Sisa tanah yang tidak ditempati atau ditanami (tanah mati) atau tanah yang diklaim kembali

(seperti Basra) bila ditanami oleh muslim diperlakukan sebagai ushr. Di Sawad, kharaj

dibebankan sebesar satu dirham dan satu rafiz (satu ukuran lokal) gandum dan barley (jenis

gandum), dengan anggapan tanah tersebut dapat dilalui air. Harga/tarif yang lebih tinggi

dikenakan kepada rathbah (rempah atau cengkeh) dan

perkebunan. Di Mesir menurut perjanjian Amar, dibebankan dua dinar. Hingga tiga irdab

gandum, dua qist untuk setiap minyak, cuka dan madu dan rancangan itu disetujui khalifah.

5. Perjanjian Damaskus (Syiria) menetapkan pembayaran tunai, pembagiantanah dengan

muslim. Beban perkepala sebesar satu dinar dan beban jarib (unit berat) yang diproduksi per

jarib (ukuran tanah). Pada masa Umar pendapatan negara meningkat tajam, pendapatan yang

diterima di Baitul maal terdiri dari :

a. Pendapatan yang diperoleh zakat dan ushr yang dikenakan terhadap kaum muslimin.
b. Pendapat yang diperoleh dari khums dan shodaqah.

c. Pendapatan yang diperoleh dari kharaj, jizya, ushr dan sewa tetap tahunan tanah yang

diberikan.

c. Khalifah Usman bin Affan RA

Usman adalah Khalifah ketiga. Beliau adalah seorang yang jujur dan saleh tetapi sangat

tua dan lemah lembut. Dia adalah salah seorang dari beberapa terkaya diantara sahabat nabi.

Kekayaannya membantu terwujudnya Islam beberapa peristiwa penting sejarah. Pada enam

tahun pertama kepemimipinannya, Balkh Kabul, Ghazni, Kerman dan Sistani ditaklukan.
Untuk menata pendapatan baru, kebijakan Umar diikuti. Tidak lama setelah negara-negara

ditaklukan, kemudian tindakan efektif dilakukan dalam rangka pengembangan sumber daya

alam. Aliran air digali, jalan dibangun, pohon buah-buahan ditanami dan keamanan

perdagangan diberikan dengan cara pembentukan kepolisian tetap.Kebijakan perpajakan yang

dilakukan Usman adalah dengan membuat perubahan administrasi dan mengganti gubernur

Mesir, Busra, Assawad dan lain-lain. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan pemasukan

negara dalam rangka pembiayan pertanahan dan kelautan, untuk peningkatan dana pensiun dan

pembangunan di wilayah taklukan baru.

d. Khalifah Ali bin Abi Thalib RA

Segera setelah pengangkatan Ali sebagai khalifah, beliau segera memberikan perintah untuk

memberhentikan pejabat korup yang ditunjuk Usman dan membuka kembali tanah perkebunan

yang sudah diberikan kepada orang kesayangan Usman dan mendistribusikan pendapatan sesuai

dengan aturan yang telah ditetapkan Umar. Ali berkuasa selama 5 tahun dan dia mempunyai

konsep yang jelas mengenai pemerintahan dan administrasi umum dan masalah yang berkaitan

dengannya. Serta Pada zaman Utsman Bin Affan dan Ali Bin Abi Thalib tidak ada perbedaan

dalam jenis penarikan jemis pajak yaitu hanya jenis Jizyah saja, akan tetapi yang membedakan

hanya penambahan luas wilayah.

Salah satu gagasan peraturan bidang ekonomi semasa beliau menjabat yaitu, mengutamakan

kesetaraan dan mengalokasikan harta negara teruntuk masyarakat, dan yang paling penting Ali
RA memastikan pajak untuk yang mempunyai kebun dan memperbolehkan pemungutan zakat

terhadap hasil dari kebun tersebut seperti syuran. Khalifah Ali RA sangat ingin menuntaskan

kemiskinan beliau memegang dua prinsip yang pertama, semua harta baitul maal, tanah serta

penghasilan adalah properti negara dan harus dialokasikan untuk masyarakat yang memerlukan.

Pajak yang mempunyai kebun atau pemilik hutan akan dikenakan senilai 4000 dirham.

Khalifah Ali RA melanjutkan kebijakan yang ada di Utsman RA yaitu tentang angkatan

laut, namun pembiayaan angkatan laut di masa Utsman RA yang bertambah maka pada masa Ali

RA telah dihapuskan. Tetapi beliau membuat kepolisian tertata secara formal yang terkenal
dengan sebutan syurthah dan sebutan untuk komandannya adalah shahibu al-sulthah.

Keunggulan pada masa Ali RA yaitu tentang perencanaan administrasi yang sangat teratur. 17

17
Tzamarah Fiqriyyah Zahrah. 2022. Sejarah Perpajakan dan Sistem Perpajakan. Al-Ibar: Artikel Sejarah
Pemikiran Ekonomi Islam. Vol. 1, No.1.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pajak merupakan sumber utama pembiayaan negara dan pembangunan nasional yang

sumbernya dapat diperbaharui (renewable resource) sesuai dengan perkembangan yang terjadi,

serta merupakan salah satu kewajiban kenegaraan yang nantinya akan dikembalikan kepada

masyarakat luas. Oleh karenanya, setiap anggota masyarakat wajib berperan aktif dalam

melaksanakan sendiri kewajiban perpajakan.

Dalam konsep negara Islam pajak merupakan penerimaan terpenting di era permulaan

pemerintahanan Islam. Pajak pada masa pemerintahan Islam terdiri dari zakat, kharaj, jizyah, dan

usyur. Negara islam menjadikan agama sebagai dasar untuk

mengenakan pajak bagi masyarakat. Dengan demikian pemungutan pajak diawal pemerintahan

Islam mempunyai dasar yang sesuai dengan ajaran Islam. Dalam kontek ekonomi modern, pajak

merupakan salah satu sektor pendapatan negara yang terpenting dan terbesar. Dengan alasan

bahwa pendapatan tersebut dialokasikan pada kepentingan umum dan memiliki tujuan retribusi

dan sebagai alat untuk menstabilkan

pertumbuhan ekonomi.
DAFTAR PUSTAKA

C, Issawi. 1996. Ibnu Khaldun, Analysis of Economic Issues dalam Readings In Islamic
Economic Thought, Sadeq Editor, Longman Malaysia.

Hartati, Neneng. 2015. Pengantar Perpajakan. Cv Pustaka Setia.

Mag, Muhammad. 2002. Kebijakan Fiskal dan Moneter dalam Ekonomi Islam. Jakarta: Salemba
Empat.

Mardiasmo. Perpajakan. (Edisi Revisi 2009, Yogyakarta, Penerbit Andi. Muljono, Djoko, 2010).

Rahayu, Siti Kurnia. 2013. Perpajakan Indonesia (Konsep Dan Aspek Formal). Yogyakarta:
Graha Ilmu.

Sari, Diana. 2013. Konsep Dasar Perpajakan. Bandung: Rapika Aditama.

Resmi, Siti. 2009. Perpajakan, Teori dan Kasus. Yogyakarta: Salemba Empat.

Soemitro, Rochmat. 1986. Pajak penghasilan. Eresco Bandung. Bandung.

UUD RI 1945. Pasal 23 ayat (2) UUD RI 1945. 9 November 2001

Zahrah, Tzamarah Fiqriyyah. 2022. Sejarah Perpajakan dan Sistem Perpajakan. Al-Ibar: Artikel Sejarah
Pemikiran Ekonomi Islam. Vol. 1, No.1.

Anda mungkin juga menyukai