Anda di halaman 1dari 213

PERPAJAKAN

Dosen pengajar :
Merida, S.E., M.Ak.

Disusun oleh :
Rahmad rinaldo
(1716220027)

SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI PUTRA PERDANA INDONESIA


PROGRAM STUDI AKUNTANSI
2019/2020
1
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI………………………………………………………………………2
KATA PENGANTAR …………….……...……………………………………….3
PENDAHULUAN……………………...………………………………………….4
BAB I PENGANTAR PERPAJAK………………………………………………5
BAB II DASAR DASAR PERPAJAKAN……………………………….………11
BAB III KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN 1.………17
BAB IV KETENTUAN UMUM DAN TAT CARA PERPAJAKAN 2…..……...41
BAB V PAJAK NEGARA DAN DAERAH……………………………….…….57
BAB VI PAJAK PENGHASILAN UMUM………………………………….…..63
BAB VII PAJAK PENGHASILAN PASAL 21……………………………...…..93
BAB VIII PAJAK PENGAHSILAN PASAL 22 DAN PASAL 23……………..106
BAB IX PAJAK PENGHASILAN PASAL 24 DAN PASAL 25……………….120
BAB X PAJAK PENGHASILAN PASAL 26…………………………………..131
BAB XI PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS
BARANG MEWAH…………………………………………………………….148
BAB XII BEA MATERAI………………………………………………………168
BAB XIII PAJAK BUMI DAN BANGUNAN…………………………………183
BAB XIV PAJAK BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN
BANGUNAN……………….......………………………………………………198
BAB XV PENUTUP……………………………………………………………212

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
limpahan rahmat dan hidayah-Nya, kami selaku penyusun makalah alhamdulillah
dapat menyelesaikan makalah tentang Pengantar Perpajakan.
Makalah ini memuat tentang Definisi dan Unsur Pajak, Fungsi Pajak, dan
materi lainnya terkait pajak. Dimana didalamnya diterangkan secara lebih rinci
tentang hal-hal yang berkaitan dengan materi tersebut. Maka dengan hal ini, semoga
kita semua akan lebih memahami dan juga mengerti tentang Definisi dan Unsur
Pajak, Fungsi Pajak, materi lainnya terkait pajak.
Semoga makalah yang kami susun dapat memenuhi tugas yang telah
diberikan oleh Ibu Merida, S.E., M.Ak. selaku dosen mata kuliah Perpajakan 1 di
Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Putra Perdana Indonesia. Serta semoga makalah ini
dapat berguna bagi para pembaca dalam belajar Perpajakan, khususnya materi Pengantar Pajak.
Atas nama penyusun, kami mohon maaf apabila ada kekurangan dan
kesalahan yang ada dalam makalah ini baik yang disengaja maupun tidak. Kesempurnaan
hanyalah milik-Nya bukan milik kami sebagai makhluk ciptaann-Nya.

Tangerang, 18 Mei 2019

3
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Menurut Rochmat Soemitro dalam buku Pengantar Singkat Hukum Pajak
(Eresco, Bandung, 1992) pajak adalah gejala masyarakat, artinya pajak hanya ada di
dalam masyarakat. Masyarakat adalah kumpulan manusia yang pada suatu waktu
berkumpul untuk tujuan tertentu. Negara adalah masyarakat yang mempunyai tujuan
tertentu. Kelangsungan hidup negara juga berarti kelangsungan hidup masyarakat dan
kepentingan masyarakat. Untuk kelangsungan hidup masing-masing diperlukan biaya.
Biaya hidup individu, menjadi beban dari individu yang bersangkutan dan berasal dari
penghasilannya sendiri. Biaya hidup negara adalah untuk kelangsungan alat-alat
negara, administrasi negara, lembaga negara, dan seterusnya, dan harus dibiayai dari
penghasilan negara. Pada mulanya pajak belum merupakan suatu pungutan, tetapi
hanya merupakan pemberian sukarela oleh rakyat kepada raja dalam memelihara
kepentingan negara, seperti menjaga keamanan negara, menyediakan jalan umum,
membayar gaji pegawai dan lain-lain. Bagi penduduk yang tidak melakukan penyetoran
maka ia diwajibkan melakukan pekerjaan-pekerjaan untuk kepentingan umum untuk
beberapa hari lamanya dalam satu tahun. Penghasilan negara adalah berasal dari
rakyatnya melalui pungutan pajak, dan atau dari hasil kekayaan alam yang ada dalam
negara itu (natural resources). Dua sumber itu merupakan sumber terpenting yang
memberikan penghasilan kepada negara. Penghasilan itu untuk membiayai kepentingan
umum yang akhirnya juga mencakup kepentingan pribadi individu seperti kesehatan
masyarakat, pendidikan, kesejahteraan dan sebagainya. Jadi, dimana ada kepentingan
masyarakat, disana timbul pungutan pajak sehingga pajak adalah senyawa dengan
kepentingan umum. Pungutan pajak mengurangi penghasilan atau kekayaan individu
tetapi sebaliknya merupakan penghasilan masyarakat yang kemudian dikembalikan lagi
kepada masyarakat, melaui pengeluaran-pengeluaran rutin dan pengeluaran
pembangunan yang akhirnya kembali.

Hal ini mendorong pemerintah menciptakan suatu mekanisme yang dapat


memberikan daya pemaksa bagi para wajib pajak yang tidak taat hukum. Salah satu
mekanisme tersebut adalah gijzeling atau lembaga paksa badan. Keberadaan lembaga
ini masih kontroversial.

4
BAB I
PEMBAHASAN
PENGANTAR PAJAK

2.1. Definisi dan Unsur Pajak


Definisi pajak menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang
perubahan ke-empat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan pada Pasal 1 Ayat 1 yang berbunyi pajak adalah
kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang
bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan
secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.

Sedangkan menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH., Pajak adalah iuran rakyat
kepada kas negara berdasarkan undang-undang yang dapat dipaksakan dengan tidak
mendapat jasa timbal yang langsung dapat ditunjukan dan yang digunakan untuk
membayar pengeluaran umum.

Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur-unsur,


yaitu sebagai berikut:
1. Iuran dari rakyat kepada negara, yang berhak memungut pajak hanyalah negara.
Iuran tersebut berupa uang (bukan barang).
2. Berdasarkan undang-undang, pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuataan
undang-undang serta aturan pelaksanaannya.
3. Tanpa jasa timbal atau kontraprestasi dari negara yang secara langsung dapat
ditunjuk. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukan adanya kontraprestasi
individual oleh pemerintah.
4. Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yaitu pengeluaran-pengeluaran
yang bermanfaat bagi masyarakat luas

2.2. Fungsi Pajak


Dilihat dari definisi dan unsur pajak diatas, pajak mempunyai fungsi untuk
membiayai pengeluaran-pengeluaran umum. Namun sebenarnya fungsi membiayai
pengeluaran umum hanyalah salah satu fungsi pajak sebab pajak memiliki dua fungsi,
yaitu:
2.2.1. Fungsi Anggaran (Budgetair)
Dalam fungsi Budgetair, pajak berfungsi sebagai salah satu sumber dana
pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. Contoh:
penerimaan yang berasal dari sector pajak mencapai 71,4% dari keseluruhan
penerimaan negara pada RAPBN 2001.
2.2.2. Fungsi Mengatur (Regulerend)
Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan
pemerintah di bidang sosial dan ekonomi. Contoh :
a. Pajak yang tinggi dikenakan terhadap minuman keras untuk mengurangi
konsumsi minuman keras.
b. Pajak yang tinggi dikenakan terhadap barang-barang mewah untuk
mengurangi gaya hidup konsumtif.

5
c. Tarif pajak untuk ekspor sebesar 0%, bertujuan untuk mendorong ekspor
produk Indonesia di pasaran dunia.
2.2.3. Syarat Pemungutan Pajak
Agar pemungutan pajak tidak menimbulkan hambatan atau perlawanan, maka
pemungutan pajak harus memenuhi syarat sebagai berikut:
1. Pemungutan Pajak Harus Adil (Syarat Keadilan)
Sesuai dengan tujuan hukum, yaitu mencapai keadilan, undang-undang
maupun pelaksanaan pemungutan pajak harus adil. Adil dalam perundang-
undangan diantaranya pemungutan pajak secara umum dan merata, serta
disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Sedangkan adil dalam
pelaksanaannya, yaitu dengan memberikan hak bagi wajib untuk mengajukan
keberatan, penundaan dalam pembayaran, dan mengajukan banding kepada
Pengadilan Pajak.
2. Pemungutan Pajak Harus Berdasarkan Undang-undang (Syarat Yuridis)
Di Indonesia pajak diatur dalam UUD 1945 pasal 23 ayat 2. Hal ini
memberikan jaminan hukum untuk menyatakan keadilan, baik bagi negara
maupun warganya.
3. Tidak Mengganggu Perekonomian (Syarat Ekonomis)
Negara menghendaki agar perekonomian negara dan masyarakat dapat
senantiasa meningkat. Oleh karena itu, pemungutan pajak tidak boleh
mengganggu kelancaran kegiatan produksi dan perdagangan yang akan
mengakibatkan kelesuan perekonomian negara. Oleh karena itu
dimungkinkan pemberian fasilitas perpajakan sejauh pemberian fasilitas ini
berdampak positif bagi perekonomian negara.
4. Pemungutan Pajak Harus Efisien (Syarat Finansial)
Sesuai fungsi Budgetair, biaya pemungutan pajak harus lebih kecil dari pajak
yang dipungut.
5. Sistem Pemungutan Pajak Harus Sederhana
Pemungutan pajak hendaknya dilaksanakan secara sederhana sehingga syarat
kesederhanaan akan memudahkan wajib pajak untuk memenuhi kewajiban
perpajakannya. Dengan demikian kesadaran wajib pajak untuk membayar
pajak dapat terwujud.
Contoh:
a) Bea materai disederhanakan dari 167 macam tarif menjadi 2 macam
tarif.
b) Tarif PPN yang beragam disederhanakan menjadi hanya satu tarif, yaitu
10%.
c) Pajak perseroan untuk badan dan pajak pendapatan untuk perseorangan
disederhanakan menjadi Pajak Penghasilan (PPh) yang berlaku bagi
badan maupun perseorangan (orang pribadi).

2.3. Asas-asas Pemungutan Pajak


2.3.1. Asas Domisili (Asas Tempat Tinggal)
Negara berhak mengenakan pajak atas keseluruhan penghasilan Wajib Pajak yang
bertempat tinggal di wilayahnya, baik penghasilan yang berasal dari dalam
maupun dari luar negeri.
2.3.2. Asas Sumber
Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber di
wilayahnya tanpa memperhatikan tempat tinggal Wajib Pajak.

6
2.3.3. Asas Kebangsaan
Pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu negara.

2.4. Teori Yang Mendukung Pemungutan Pajak


Atas dasar apakah Negara mempunyai hak untuk memungut paja? Terdapat beberapa
teori yang menjelaskan atau memberikan justifikasi pemeberian hak kepada negara untuk
memungut pajak. Teori-teori tersebut diantara lain:
2.4.1. Teori Asuransi
Dalam teori asuransi ini dijelaskan bahwa negara wajib melindung keselamatan
jiwa maupun harta benda beserta hak-hak rakyatnya. Maka dari itu rakyat harus
membayar pajak sebagai premi asuransi karena memperoleh jaminan
perlindungan tersebut.
2.4.2. Teori Kepentingan
Dalam teori kepentingan ini, pembagian beban pajak kepada rakyat harus
didasarkan pada kepentingan masing-masing rakyat, misalnya perlindungan
masing-masing orang, semakin besar kepentingan seseorang terhadap negara,
semakin tinggi pajak yang harus dibayar. Contohnya yang memiliki banyak harta
akan membayar pajak lebih besar dari pada yang memiliki sedikit harta.

2.4.3. Teori Daya Pikul


Teori ini menjelaskan beban pajak untuk semua orang harus sama beratnya,
artinya pajak sesuai dengan daya pikul masing-masing orang. Untuk mengukut
daya pikul dapat digunakan 2 pendekatan yaitu:
a) Unsur Objektif, dengan melihat besarnya penghasilan atau kekayaan yang
dimiliki oleh seseorang.
b) Unsur subjektif, dengan memerhatikan besarnya kebutuhan material yang
harus dipenuhi.
Contoh: Tuan A Tuan B
Penghasilan/bulan Rp. 100 juta Rp. 100 juta
Status Menikah, memilik 3 Belum menikah
anak

Secara Objektif, PPh Tuan A dengan tuan B sama besarnya, karena memiliki
penghasilan yang sama besarnya yaitu Rp 100 juta, sedangkan secara
subjektif, pph untuk tuan A lebih kecil dari pada tuan B karena kebutuhan
material yang harus di penuhi tuan A lebih besar.

2.4.4. Teori Bakti


Dasar keadilan pemungutan pajak terletak pada hubungan rakyat dengan
negaranya. Sebagai warga yang berbakti, rakyat harus selalu menyadari bahwa
pembayaran pajak adalah sebagai suatu kewajiban.

Teori ini menjelaskan bahwa setiap negara memiliki hak mutlak untuk memungut
pajak, maka dari itu teori bakti ini disebut juga teori daya mutlak. Dan warga
negara pun menyadari bahwa mereka memiliki kewajiban untuk membayar pajak
agar pemerintahan negara menjadi lancar.

7
2.4.5. Teori Asas Daya Beli
Dasar keadilan terletak pada akibat pemungutan pajak. Maksudnya memungut
pajak berarti menarik daya beli dari rumah tangga masyarakat untuk rumah
tangga negara. Selanjutnya Negara akan menyalurkannya kembali ke masyarakat
dalam bentuk pemeliharaan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian,
kepentingan seluruh masyarakat lebih diutamakan.

Teori ini berkaitan dengan kemampuan warga negara dalam melakukan transaksi
dengan pihak lain, misalkan PPNBM (Pajak Pertambahan Nilai atas Barang
Mewah).

2.5. Perbedaan Pajak Dengan Pungutan Lainnya


Berikut Perbedaan pajak dengan pungutan resmi lainnya :
PAJAK PUNGUTAN RESMI LAINNYA
1. Pajak dipungut berdasarkan 1. Pungutan resmi dipungut
undang-undang. berdasarkan peraturan
pemerintah atau peraturan kepala
daerah.
2. Pajak tidak memberikan 2. Pungutan resmi memberikan
imbalan secara langsung imbalan secara langsung.
kepada masyarakat.
3. Perhitungan tarif pajak 3. Perhitungan pungutan resmi
dilakukan oleh wajib pajak. dilakukan pemerintah.
4. Jatuh tempo pembayaran 4. Pembayaran pungutan resmi
pajak adalah pada tahun disesuaikan dengan pemakaian.
fiskal (1 Tahun).
5. Pelaksanaan pemungutan 5. Pungutan lain sesuai dengan
pajak bersifat memaksa kebijakan.

2.6. Pengertian dan Kedudukan Hukum Pajak


Hukum pajak adalah hukum yang bersifah publik dalam mengatur hubungan Negara dan
orang/badan hukum yang wajib untuk membayar pajak. Selain itu, hukum pajak diartikan
sebagai keseluruhan dari peraturan-peraturan yang mencakup tentang kewenangan
pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkan kembali kepada
masyarakat melalui uang/kas Negara.
Hukum pajak dibedakan menjadi dua bagian, yaitu:
1. Hukum pajak formal adalah hukum pajak yang memuat adanya ketentuan - ketentuan
dalam mewujudkan hukum pajak material menjadi kenyataan.
2. Hukum pajak material adalah hukum pajak yang memuat tentang ketentuan-ketentuan
terhadap siapa yang dikenakan pajak dan siapa yang dikecualikan dengan pajak serta
berapa harus dibayar.
Selain itu, hukum pajak juga merupakan bagian dari hukum publik. Hal ini disebabkan
karena hukum pajak mengatur hubungan antara pemerintah dengan wajib
pajak atau warga negara. Meski demikian, walaupun hukum pajak merupakan bagian
dari hukum publik, namun hukum pajak juga banyak berkaitan dengan hukum privat,

8
yakni hukum perdata. Hal ini dikarenakan hukum pajak banyak berkaitan dengan materi-
materi perdata seperti kekayaan seseorang atau badan hukum yang diatur dalam hukum
perdata namun menjadi salah satu objek dalam hukum pajak.
Menurut Prof Dr. Rochmat Soemitro, S.H, hukum pajak mempunyai kedudukan diantara
hukum-hukum sebagai berikut:
2.6.1. Hukum perdata, mengatur hubungan antara satu individu dengan individu
lainnya.
2.6.2. Hukum publik, mengatur hubungan antara pemerintah dengan rakyatnya. Hukum
ini dapat dirinci lagi sebagai berikut:
a. Hukum Tata Negara
b. Hukum Tata Usaha (Hukum Administratif)
c. Hukum Pajak
d. Hukum Pidana
Dengan demikian, kedudukan hukum pajak merupakan bagian dari hukum
publik.
2.6.3. Hukum Pajak Materiil dan Hukum Pajak Formil
Hukum Pajak mengatur hubungan antara pemerintah (fiscus) selaku pemungut
pajak dengan rakyat sebagai wajib pajak. Ada 2 macam Hukum Pajak, yaitu:
1. Hukum pajak materiil, memuat norma-norma yang menerangkan keadaan
perbuatan, antara lain peristiwa hukum yang dikenai pajak (objek pajak),
siapa yang dikenakan pajak (subjek pajak), berapa besar pajak yang
dikenakan (tarif pajak), segala sesuatu tentang timbul dan hapusnya utang
pajak, dan hubungan hukum antara pemerintah dengan Wajib Pajak.
Contoh: Undang-Undang Pajak Penghasilan.
2. Hukum pajak formil, memuat bentuk/tata cara untuk mewujudkan hukum
materiil menjadi kenyataan (cara melaksanakan hukum pajak materiil).
Hukum ini memuat, antara lain:
a) Tata cara penyelenggaraan (prosedur) penetapan suatu utang pajak.
b) Hak-hak fiskus untuk mengadakan pengawasan terhadap para Wajib
Pajak mengenai keadaan, perbuatan, dan peristiwa yang menimbulkan
utang pajak.
c) Kewajiban Wajib Pajak misalnya menyelenggarakan
pembukuan/pencatatan, dan hak-hak Wajib Pajak misalnya mengajukan
keberatan dan banding.
Contoh: Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

2.7. Hambatan Dalam Pemungutan Pajak


Hambatan dalam pemungutan pajak dapat dikelompokan menjadi:
2.7.1. Perlawanan Pasif
Masyarakat enggan (pasif) membayar pajak yang dapat disebabkan oleh:
a. Perkembangan intelektual dan moral masyarakat.
b. Sistem perpajakan yang mungkin sulit untuk dipahami oleh masyarakat.
c. Sistem kontrol tidak dapat dilakukan atau dilaksanakan dengan baik.
2.7.2. Perlawanan Aktif
Perlawanan aktif meliputi semua usaha dan perbuatan yang dilakukan oleh wajib
pajak dengan tujuan untuk menghindari pajak. Bentuk perlawanan tersebut
adalah:

9
a. Tax avoidance, usaha meringankan beban pajak dengan tidak melanggar
peraturan perpajakan/undang-undang.
b. Tax evasion, usaha meringankan beban pajak dengan cara melanggar
peraturan perpajakan/undang-undang atau dengan kata lain penggelapan
pajak.

10
BAB II
PEMBAHASAN
DASAR-DASAR PERPAJAKAN

2.1 HUKUM PAJAK MATERIIL DAN HUKUM PAJAK FORMIL

Hukum pajak mengatur hubungan antara pemerintah (fiscus) selaku pemungut pajak
dengan rakyat sebgai wajib pajak. Ada 2 macam Hukum Pajak, yaitu:
1. Hukum Pajak Materiil
Memuat norma-norma yang menerangkan keadaan perbuatan, antara lain peristiwa
hukum yang dikenai pajak (objek pajak), siapa yang dikenakan pajak (subjek pajak),
berapa besar pajak yang dikenakan (tarif pajak), segala sesuatu tentang timbul dan
hapusnya utang pajak, dan hubungan hokum antara pemerintah dengan Wajib Pajak.
Contoh : Undang-Undang Pajak Penghasilan

2. Hukum Pajak Formil


Memuat bentuk/tata cara untuk mewujudkan hukum materiil menjadi kenyataan (cara
melaksanakan hukum pajak materiil). Hukum ini memuat, antara lain:
a. Tata cara penyelenggaraan (prosedur) suatu utang pajak
b. Hak-hak fiskus untuk mengadakan pengawasan terhadap para Wajib Pajak mengenai
keadaan, perbuatan dan peristiwa yang menimbulkan utang pajak.
c. Kewajiban Wajib Pajak misalnya menyelenggarakan pembukuan/pencatatan, dan
hak-hak Wajib Pajak misalnya mengajukan keberatan dan banding.
Contoh: Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

2.1 PENGELOMPOKAN PAJAK


1. Menurut Golongannya
a. Pajak Langsung
Yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh wajib pajak dan tidak dapat di
bebankan atau dilimpahkan kepada orang lai. Contoh: Pajak Penghasilan.
b. Pajak Tidak Langsung

11
Yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebenkan atau dilimpahkan kepada orang
lain. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai

2. Menurut Sifatnya
a. Pajak Subjektif
Yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya, dalam arti
memerhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contoh: Pajak Penghasilan
b. Pajak Objektif
Yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memerhatikan keadaan diri
Wajib Pajak. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah.

3. Menurut Lembaga Pemungutnya


a. Pajak Pusat
Yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk
membiayai rumah tangga negara. Contoh: Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan
Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan Bea Materai.
b. Pajak Daerah
Yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk
membiayai rumah tangga daerah. Pajak Daerah terdiri atas:
1) Pajak Provinsi, contoh: Pajak Kendaraan Bermotor dan Pajak Bahan Bakar
Kendaraan Bermotor
2) Pajak Kabupaten/Kota, contoh: Pajak Hotel, Pajak Restoran, dan Pajak
Hiburan.

2.2 TATA CARA PEMUNGUTAN PAJAK


1. Stelsel Pajak
Stelsel Pajak adalah suatu sistem yang digunakan untuk
memperhitungkan pajak yang harus kita bayarkan. Pemungutan pajak didasarkan pada
objek (penghasilan yang nyata), sehingga pemungutan yang baru dapat dilakukan pada
akhir tahun pajak, yakni setelah penghasilan yang sesungguhnya diketahui. Pemungutan
pajak dapat dilakukan berdasarkan 3 stelsel :
a. Stelsel Nyata ( Riel Stelsel )
Pengenaan pajak didasakan pada objek ( penghasilan yang nyata ), sehingga
pemungutannnya baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak, yaitu setelah
penghasilan yang sesungguhnya diketahui. Stelsel nyata mempunyai kelebihan atau
dan kekurangan.
 Kebaikan stelsel ini adalah pajak yang di kenakan lebih realistis. Besarnya pajak
yang dipungut sesuai dengan besaran pajak yang sesungguhnya terutang karena
pemungutan pajak dilakukan setelah tutup buku, sehingga penghasilan yang
sesungguhnya telah diketahui.
 Kelemahannya adalah pajak baru dapat dikenakan pada akhir periode (setelah
penghasilan riil diketahui). Pemungutan pajak baru bisa dilakukan pada akhir tahun
pajak atau periode pajak. Padahal pemerintahan membutuhkan penerimaan pajak
untuk membiayai pengeluaran sepanjang tahun dan tidak hanya pada akhir tahun
saja.

b. Stelsel Anggapan ( Fictieve Stelsel )

12
Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh undang-undang.
Misalnya penghasilan suatu tahun dianggap sama dengan tahun sebelumnya, sehingga
pada awal tahun pajak sudah dapat ditetapkan besarnya pajak yang terutang untuk
tahun pajak berjalan.
 Kebaikan stelsel ini adalah pajak dapat dibayar selama tahun berjalan, tanpa harus
menunggu pada akhir tahun. Pemungutan pajak sudah bisa dilakukan diawal tahun
pajak, karena berdasarkan suatu anggapan, sehingga penerimaan pajak oleh
pemerintah untuk membiayai pengeluaran sepanjang tahun dan tidak hanya pada
akhir tahun.

 Kelemahannya adalah pajak yang dibayar tidak berdasarkan pada keadaan yang
sesungguhnya. Besarnya pajak belum tentu sesuai dengan besar pajak yang
sesungguhnya terutang karena pemungutan pajak dilakukan berdasarkan suatu
anggapan, bukan dari penghasilan yang sesungguhnya.

c. Stelsel Campuran
Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dengan stelsel anggapan. Pada
awal tahun besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan, kemudian pada akhir
tahun besarnya pajak disesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya. Bila besarnya
pajak menurut kenyataan lebih besar daripada pajak menurut anggapan, maka Wajib
Pajak harus menambah. Sebaliknya, jika lebih kecil kelebihannya dapat diminta
kembali.

2. Asas Pemungutan Pajak


a. Asas Domisili ( Asas Tempat Tinggal )
Negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan Wajib Pajak yang bertempat
tinggal di wilayahnya, baik penghasilan yang berasal dari dalam maupun dari luar
negeri. Asas ini berlaku untuk Wajib Pajak dalam negeri.
b. Asas Sumber
Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber di wilayahnya
tanpa memerhatikan tempat tinggal Wajib Pajak.
c. Asas Kebangsaan
Pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu negara. Pengenaan pajak
dihubungkan dengan kebangsaan suatu negara, misalnya pajak bangsa asing di
Indonesia dikenakan pada setiap orang yang bukan berkebangsaan Indonesia yang
bertempat tinggal di Indonesia. Asas ini berlaku bagi Wajib Pajak luar negeri.

3. Sistem Pemungutan Pajak


a. Official Assessment System
Official Assessment System adalah suatu sistem pemungutan yang memberikan
wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang
oleh Wajib Pajak.
Ciri-cirinya :
1) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutama ada pada fiskus
2) Wajib Pajak bersifat pasif
3) Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus

b. Self Assessment System

13
Self Assessment System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberikan
wewenang kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang
terutang.

Ciri-cirinya :
1) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada Wajib Pajak sendiri.
2) Wajib pajak aktif mulai dari menghitung, menyetor, dan melaporkan sendiri pajak
yang terutang.
3) Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.

c. Withholding System
Withholding System dalah suatu system pemungutan pajak yang memberi wewenang
kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan wajib pajak yang bersangkutan) untuk
memposing atau memungut pajak yang terutang oleh wajib pajak. Ciri-ciri wewenang
memotong atau memungut yang terutang pada pihak ketiga, yaitu pihak selain fiskus
dan wajib pajak.

2.3 TIMBUL DAN HAPUSNYA HUTANG PAJAK


Ada dua ajaran yang mengatur timbulnya utang pajak
1. Ajaran formil
Utang pajak timbul karena di keluarkannya surat ketetapan pajak oleh fiskus. Ajaran
ini di terapkan pada official assement system.
2. Ajaran materiil
Utang pajak timbul karna berlakunya undang undang. Seseorang di kenai pajak karna
suatu keadaan dan perbuataan. Ajaran ini di terapkan kepada self assessment system.
Hapusnya utang pajak dapat di sebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut ;
1. Pembayaraan
Utang pajak dapat dihilangkan dengan cara wajib pajak atau penanggung pajak
membayar utang pajaknya kepada negara. Berdasarkan penjelasan tersebut, utang
pajak dapat dibayar oleh pihak lain yang bukan merupakan wajib pajak.
2. Kompensasi
Kompensasi dapat dilakukan apabila wajib pajak memiliki kelebihan dalam
membayar pajak. Kelebihan ini dapat digunakan untuk membayar pajak lainnya
yang terutang.
3. Daluwarsa
Utang pajak dapat dihapuskan apabila telah lewat jangka waktu berlakunya
sebagaimana yang terdapat dalam undang-undang. Dalam hal ini, kedaluwarsa
yang dimaksud adalah kedaluwarsa penagihan pajak.
4. Pembebasaan
Utang pajak dapat hilang karena ditiadakan. Pembebasan di sini tidak benar-benar
menghilangkan pokok utang pajak, melainkan meniadakan sanksi administratif
terkait utang pajak.
5. Penghapusan
Hilangnya utang pajak dapat dilakukan dengan cara penghapusan. Penghapusan
utang pajak hampir sama dengan pembebasan utang pajak. Namun, penghapusan
14
utang pajak dilakukan karena kondisi tertentu dari wajib pajak, misalnya kondisi
keuangan wajib pajak yang tidak memungkinkan untuk membayar utang pajak.

2.4 HAMBATAN DAN PEMUNGUTAN PAJAK


Hambatan dan pemungtan pajak dapat di kelompokan menjadi;
1. Perlawanan Pasif
Masyarakat enggan (pasif) membayar pajak yang dapat di sebabkan oleh:
a. Perkembangan intelektual dan moral masyarakat.
b. Sistem perpajakan yang (mungkin)sulit di pahami oleh masyarakat.
c. System kontrol tidak dapat di lakukan atau di laksanakan dengan baik.
2. Perlawanan Aktif
Perlawanan aktif meliputi semua usaha dan perbuatan yang di lakukan oleh wajib pajak
dengan tujuan untuk menghindari pajak. Bentuknya antara lain:
a. Tax Avoidance: Usaha meringankan beban pajak dengan tidak melanggar undang-
undang.
b. Tax Evasion : Usaha meringankan beban pajak dengan cara melanggar undang -
undang (menggelapkan pajak).

2.5 TARIF PAJAK


Ada empat macam tarif pajak :
1. Tarif Sebanding / Proporsional
Tarif berupa presentase yang tetap terhadap berapapun jumlah yang di kenai pajak
sehingga besarnya pajak yang terutang proporsional terhadap besarnya nilai yang di
kenai pajak.
Contoh: Untuk penyerahan barang kena pajak di dalam daerah pabean akan di kenakan
pajak pertambahan nilai sebesar 10%
2. Tarif Tetap
Tarif berupa jumlah yang tetap (sama) terhadap berapapun jumlah yang di kenai pajak
sehingga besarnya pajak yang terutang tetap.
Contoh: Besarnya tarif bea materai untuk cek dan bilyet giro dengan nilai nominal
berapapun adalah Rp.3.000,-
3. Tarif Progresif
Presentase tarif yang digunakan semakin besar bila jumlah yang di kenai pajak semakin
besar.
Contoh: Pasal 17 undang-undang pajak penghasilan untuk wajib pajak orang pribadi
dalam negeri.

Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tariff Pajak


Sampai dengan Rp. 50.000.000,- 5%
Di atas Rp. 50.000.000,- s.d Rp. 25.000.000,- 15%
Di atas Rp.25.000.000,- s.d Rp. 500.000.000,- 25%
Di atas Rp.500.000.000,- 30%

Menurut kenaikan presentase tarifnya, tarif progresif di bagi menjadi:


a. Tarif progresif progresif : kenaikan presentase semakin besar.
b. Tariff progresif tetap : kenaikan presentase tetap.
c. Tariff progresif degresif : kenaikan presentase semakin kecil.
15
4. Tarif Degresif
Presentase tarif yang di gunakan bila jumlah yang di kenai semakin besar. Tarif pajak
degresif adalah tari pajak akan semakin naik sebanding dengan naiknya dasar
pengenaan pajak.

16
BAB III
PEMBAHASAN
KETENTUAN UMUM & TATA CARA PERPAJAKAN

2.1 Kewajiban Pembukuan/ Pencatatan


A. Pengertian Kewajiban Pembukuan/ Pencatatan
Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk
mengumpulkan data-data dan informasi keuangan meliputi harta, hutang dan
kewajiban, modal, penghasilan dan biaya serta jumlah harga perolehan dan
penyerahan barang dan jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa
neraca, dan laporan laba rugi untuk Periode Tahun Pajak tersebut.
Sedangkan pencatatan terdiri atas data yang dikumpulkan secara teratur tentang
peredaran usaha atau penerimaan bruto dan atau penghasilan bruto sebagai dasar
menghitung jumlah pajak yang terutang, termasuk penghasilan yang bukan objek
pajak dan atau dikenai pajak yang bersifat final.

B. Ketentuan Umum Pembukuan dan Pencatatan


Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas
atau Wajib Pajak Badan di Indonesia wajib menyelenggarakan pembukuan.
Wajib pajak yang dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan
tetapi wajib melakukan pencatatan, adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan
kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan diperbolehkan menghitung penghasilan neto dan
Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.

C. Syarat-syarat Penyelenggaraan Pembukuan dan Pencatatan


1. Diselenggarakan dengan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan
usaha yang sebenarnya.
2. Harus diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf latin, angka
arab, satuan mata uang rupiah dan disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam
bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan
3. Pembukuan dilakukan dengan prinsip taat azas dan dengan stelsel akrual atau
stelsel kas. Perubahan terhadap metode pembukuan dengan atas tahun buku harus
mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak.
4. Pembukuan sekurang-sekurangnya terdiri atas catatan mengenai harta,
kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian
sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang.
5. Pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah
dapat diselenggarakan oleh Wajib Pajak setelah mendapat izin Menteri
Keuangan.
6. Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atas pencatatan dan
dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola
secara elektronik atau secara program on-line wajib disimpan selama 10 (sepuluh)
tahun di Indonesia, yaitu di tempat kegiatan atau tempat tinggal Wajib Pajak
orang pribadi atau tempat kedudukan Wajib Pajak Badan

17
D. Sanksi tidak Memenuhi Kewajiban Pembukuan
1. Tidak mengadakan pembukuan/pencatatan, pajak yang terutang ditetapkan SKP
ditambah sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% dan khusus untuk
PPh Pasal 29 ditambah kenaikan sebesar 50%.
2. Setiap orang dengan sengaja:
a. Memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau
dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan yang
sebenarnya.
b. Tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak
memperlihatkan atau tidak memimjamkan buku, catatan, atau dokumen lain.
c. Tidak menyimpan buku, atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau
pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data elektronik atau
diselenggarakan secara program aplikasi on-line di Indonesia.
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling
lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terhutang
yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak
yang terhutang yang tidak atau kurang dibayar. Pidana menjadi 2 (dua) kali sanksi
apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum
lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang
dilakukan.

E. Pembukuan dalam Mata Asing dan Mata Uang Selain Rupiah


Menurut Pasal 28 UU KUP dijelaskan bahwa pembukuan dengan bahasa asing
dan mata uang selain rupiah digunakan oleh Wajib Pajak yang dalam rangka:
1. Kontrak bagi hasil;
2. WP yang mempunyai afilisiasi dengan pengusaha di Luar Negeri;
3. Bentuk Usaha Tetap (BUT);
4. Kontrak karya, yaitu WP yang beroperasi berdasarkan kontrak dengan
pemerintah RI sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Perundang-undangan
yang mengatur mengenai pertambangan;
5. Penanaman modal asing yaitu WP yang beroperasi berdasarkan Peraturan
Perundang-undangan yang mengatur mengenai Penanaman Modal Asing;
6. Kontrak Investasi Kolektif (KIK) yang menerbitkan Reksadana dalam
denominasi mata uang Dollar Amerika Serikat dan telah memperoleh Surat
Pemberitahuan efektif Pernyataan Pendaftaran dari Badan Pengawasan Pasar
Modal – Lembaga Keuangan sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan.

F. Tujuan Penyelenggaraan Pembukuan dan Pencatatan


Penyelenggaraan pembukuan/pencatatan bertujuan untuk mempermudah:
1. Pengisian SPT;
2. Penghitungan Penghasila Kena Pajak;
3. Penghitungan PPN dan PPnBM;
4. Penyelenggaraan pembukuan juga untuk mengetahui posisi keuangan dan hasil
kegiatan usaha/pekerjaan bebas.

G. Perubahan Tahun Buku dan Metode Pembukuan


Pada dasarnya metode pembukuan yang dianut harus taat asas, yaitu harus sama
dengan tahun-tahun sebelumnya, misalnya dalam hal penggunaan metode pengakuan

18
penghasilan dan biaya (metode kas atau akrual), metode penyusutan aktiva tetap, dan
metode penilaian persediaan. Namun, perubahan metode pembukuan masih
dimungkinkan dengan syarat telah mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak
sebelum dimulainya tahun buku yang bersangkutan dengan menyampaikan alasan
yang logis dan dapat diterima serta akibat yang mungkin timbul dari perubahan
tersebut.
Perubahan metode pembukuan akan mengakibatkan perubahan dalam prinsip taat
asas yang dapat meliputi perubahan metode dari kas ke akrual atau sebaliknya atau
perubahan penggunaan metode pengakuan penghasilan atau pengakuan biaya itu
sendiri, misalnya dalam metode pengakuan biaya yang berkenaan dengan penyusunan
aktiva tetap dengan menggunakan metode penyusutan tertentu.

2.2 Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak


A. Pemeriksaan Pajak
1. Pengertian Pemeriksaan
Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan,
mengolah data dan atau keterangan lainnya untuk menguji kepatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
2. Sasaran Pemeriksaan
Yang menjadi sasaran pemeriksaan pajak adalah:
a. Interpretasi Undang-Undang yang tidak benar
b. Kesalahan hitung
c. Penggelapan secara khusus dari penghasilan
d. Pemotongan dan pengurangan yang tidak sesungguhnya, yang dilakukan
wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakan.
3. Ruang Lingkup Pemeriksaan Pajak
Berdasarkan jenis dan periode pencatatan, ruang lingkup pemeriksaan pajak
memiliki cakupan objek pemeriksaan, antara lain:
a. Berdasarkan Jenis Pajaknya, meliputi:
1) Satu Jenis Pajak
2) Beberapa Jenis Pajak
3) Seluruh Jenis Pajak
b. Berdasarkan Periode Pencatatannya, meliputi:
1) Satu Masa Pajak
2) Beberapa Masa Pajak
3) Bagian Tahun Pajak
4) Tahun Pajak
4. Kriteria Pemeriksaan Pajak
Pemeriksaan pajak, bisa dilakukan dengan dua kriteria berdasarkan latar
belakang alasan dilakukannya pemeriksaan, yaitu:
a. Pemeriksaan Rutin
Pemeriksaan pajak rutin ini dilakukan karena berhubungan dengan
pemenuhan hak atau pelaksanaan kewajiban perpajakan WP, antara lain:
1) Menyampaikan SPT Tahunan PPh atau SPT Masa PPN yang
menyatakan LB restitusi
2) Menyampaikan SPT Tahunan PPh atau SPT Masa PPN yang
menyatakan LB tidak disertai permohonan pengembalian kelebihan.
3) Menyampaikan SPT Masa PPN LB kompensasi.
19
4) Sudah mendapat pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran
pajak
5) Menyampaikan SPT rugi
6) Melakukan penggabungan, peleburan, pemekaran, likuidasi, atau akan
meninggalkan Indonesia selamanya
7) Melakukan perubahan tahun buku, metode pembukuan, dan penilaian
aktiva tetap
b. Pemeriksaan Khusus
Pemeriksaan pajak khusus ini dilakukan berdasarkan hasil analisis risiko
yang menunjukkan adanya indikasi ketidakpatuhan pemenuhan kewajiban
perpajakan. Pemeriksaan khusus dijalankan dengan mengacu pada beberapa
ketentuan, seperti:
1) Berdasarkan analisis risiko yang dibuat berdasarkan profil WP atau data
internal lainnya serta data eksternal secara manual ataupun
komputerisasi
2) Ruang lingkupnya dapat meliputi satu, beberapa, atau seluruh jenis pajak
3) Pemeriksaannya menggunakan pemeriksaan lapangan.
5. Jenis Pemeriksaan Pajak
Jenis Pemeriksaan sehubungan dengan pengujian kepatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakan Wajib Pajak, antara lain:
a. Pemeriksaan Kantor
Pemeriksaan Kantor adalah Pemeriksaan yang dilakukan di kantor
Direktorat Jenderal Pajak. Pemeriksaan Kantor terkait dengan pemeriksaan
dalam rangka menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan
dilakukan dalam jangka waktu paling lama paling lama 4 (empat) bulan, yang
dihitung sejak tanggal Wajib Pajak memenuhi Surat Panggilan Dalam
Rangka Pemeriksaan Kantor sampai dengan tanggal Surat Pemberitahuan
Hasil Pemeriksaan (SPHP) disampaikan kepada Wajib Pajak. dapat
diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan, kecuali untuk
Pemeriksaan atas keterangan lain berupa data konkret yang dilakukan dengan
Pemeriksaan Kantor tidak dapat diperpanjang. Perpanjangan jangka waktu
pengujian Pemeriksaan Kantor dilakukan dalam hal:
1) Pemeriksaan Kantor diperluas ke Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau
Tahun Pajak lainnya
2) Terdapat konfirmasi atau permintaan data dan/atau keterangan kepada
pihak ketiga
3) Ruang lingkup Pemeriksaan Kantor meliputi seluruh jenis pajak
dan/atau
4) Berdasarkan pertimbangan kepala unit pelaksana Pemeriksaan.
Pemeriksaan ini dilakukan di kantor Direktorat Jenderal Pajak atau
Kantor Pelayanan Pajak, dan saat pelaksanaan pemeriksaan kantor.
Wajib pajak diwajibkan untuk:
5) Memenuhi panggilan untuk menghadiri pemeriksaan sesuai dengan
waktu yang telah ditentukan
6) Memperlihatkan dokumen yang menjadi dasar pembukuan dan dokumen
lain termasuk data yang dikelola secara elektronik yang berhubungan
dengan penghasilan, kegiatan usaha maupun pekerjaan bebas wajib
pajak
7) Memberi bantuan untuk kelancaran pemeriksaan

20
8) Menyampaikan tanggapan secara tertulis atas Surat Pemberitahuan Hasil
Pemeriksaan
9) Meminjamkan kertas kerja
10) Bersedia memberikan keterangan baik secara lisan maupun tertulis jika
dibutuhkan oleh pemeriksa pajak.
b. Pemeriksaan Lapangan
Pemeriksaan Lapangan adalah Pemeriksaan yang dilakukan di tempat
kedudukan, tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, tempat tinggal
Wajib Pajak, atau tempat lain yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Pemeriksaan Lapangan terkait dengan pemeriksaan dalam rangka
menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dilakukan dalam
jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan, yang dihitung sejak Surat
Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan disampaikan kepada Wajib Pajak
sampai dengan tanggal SPHP disampaikan kepada Wajib Pajak. Selanjutnya
dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan. dilakukan
dalam hal:
1) Pemeriksaan Lapangan diperluas ke Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak,
atau Tahun Pajak lainnya
2) Terdapat konfirmasi atau permintaan data dan/atau keterangan kepada
pihak ketiga
3) Ruang lingkup Pemeriksaan Lapangan meliputi seluruh jenis pajak
dan/atau
4) Berdasarkan pertimbangan kepala unit pelaksana Pemeriksaan.
Sedangkan terkait dengan:
5) Wajib Pajak Kontraktor Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi
6) Wajib Pajak dalam satu grup atau
7) Wajib Pajak yang terindikasi melakukan transaksi transfer pricing
dan/atau transaksi khusus lain yang berindikasi adanya rekayasa
transaksi keuangan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama
6 (enam) bulan dan dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) kali sesuai
dengan kebutuhan waktu untuk melakukan pengujian.
Jangka waktu untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban
perpajakan dalam rangka Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dan
pelaporan paling lama 2 (dua) bulan, yang dihitung sejak tanggal SPHP
disampaikan kepada Wajib Pajak sampai dengan tanggal LHP.
Pemeriksaan Lapangan terkait dengan pemeriksaan untuk tujuan lain
dilakukan paling lama 4 (empat) bulan yang dihitung sejak tanggal Surat
Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan disampaikan kepada Wajib Pajak
sampai dengan tanggal LHP.
Pemeriksaan dapat dilakukan terhadap Wajib Pajak, termasuk terhadap
instansi pemerintah dan badan lain sebagai pemungut pajak atau pemotong
pajak. Dalam pelaksanaannya, Wajib Pajak diwajibkan untuk:
1) Memperlihatkan buku atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan
dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan, kegiatan
usaha, pekerjaan bebas WP, atau objek yang terutang pajak
2) Memberi kesempatan untuk mengakses data yang dikelola secara
elektronik
3) Memberi kesempatan memasuki dan memeriksa ruangan, barang
bergerak atau tidak bergerak yang diduga digunakan untuk menyimpan

21
buku atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan, dokumen lain, uang
atau barang yang memberi petunjuk penghasilan yang diperoleh,
kegiatan usaha, pekerjaan bebas WP atau objek yang terutang pajak
Memberi bantuan untuk kelancaran pemeriksaan, berupa:
4) Menyediakan tenaga dan atau peralatan atas biaya WP jika dalam
mengakses data yang dikelola secara elektronik memerlukan peralatan
dan atau keahlian khusus
5) Memberikan kesempatan Pemeriksa Pajak membuka barang bergerak
dan atau tidak bergerak
6) Menyediakan ruangan khusus tempat dilakukannya Pemeriksaan
Lapangan untuk memeriksa buku, catatan, dan dokumen yang tidak
memungkinkan dibawa ke Kantor Direktorat Jenderal Pajak
7) Menyampaikan tanggapan secara tertulis atas Surat Pemberitahuan Hasil
Pemeriksaan
8) Memberikan keterangan lisan atau tertulis yang diperlukan.

B. Penyidikan
1. Pengertian Penyedikan
Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan adalah serangkaian tindakan
yang dilakukan oleh penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti, yang
dengan bukti itu dapat membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan yang
terjadi, serta menemukan tersangkanya. Tidak pidana di bidang perpajakn
meliputi perbuatan:
a. Dilakukan oleh seseorang atau oleh badan yang diwakili orang tertentu
(pengurus);
b. Memenuhi rumusan undang-undang;
c. Diancam dengan sanksi pidana;
d. Melawan hukum;
e. Dilakukan di bidang perpajakan;
f. Dapat menimbulkan kerugian bagi pendapatan negara;
Penyidik adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Dirjen
Pajak yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan
penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.
2. Wewenang Penyidik
Dalam melakukan penyidikan, petugas penyidik tidak boleh sembarangan
melakukan tugasnya. Terdapat beberapa wewenang yang diberikan penyidik
yaitu diantaranya:
a. Menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan
berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan agar keterangan atau
laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
b. Meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi
atau badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan
tindak pidanan di bidang perpajakan;
c. Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan
sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
d. Memeriksa buku-buku, catatan-catatn, dan dokumen-dokumen lain
berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan;

22
e. Melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan,
pencatatan, dan dokumen-dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap
bahan bukti tersebut;
f. Meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan
tindak pidan di bidang perpajakan;
g. Menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau
tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memerikasa identitas
orang dan/atau dokumen yang dibawa sebagaimana dimaksud pada nomor 5;
h. Memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang
perpajakan;
i. Memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai
tersangka atau saksi;
j. Menghentikan penyidikan;
k. Melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak
pidana di bidang perpajakan menurut hukum yang dapat
dipertanggungjawabkan;
3. Kewajiban Penyidik
Penyidik sebagaimana memberitahukan dimulainya penyidikan dan
menyampaikan hasil penyelidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik
pejabat Polisi Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan yang diatur
dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana
4. Sanksi yang Berkenaan dengan Penyidik
Di bawah ini merupakan sanksi yang berkenaan dengan penyidikan,
diantaranya:
a. Pihak ke-3 (Bank, Akuntan, Notaris, Konsultan Pajak, Kantor Administrasi
dan lainnya) yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan atau bukti
yang diminta, atau memberi keteranagan atau bukti yang tidak benar, maka
diancam dengan pidana penjara selama-lamnya 1 tahun dan denda setinggi-
tingginya Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah)
b. Siapa saja yang dengan sengaja menghalangi atau mempersulit penyidikan
tindak pidana di bidang perpajakan, maka diancam dengan penjara pidana
selama-lamanya 3 tahun dan denda setinggi-tingginya Rp 10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah).
5. Asas Hukum Penyidikan
Asas praduga tak bersalah, adalah bahwa setiap orang yang disangka,
dituntut, atau dihadapkan dimuka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak
bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahan-
kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.
a. Asas persamaan dimuka hukum, adalah bahwa setiap orang mempunyai hak
dan kewajiban yang sama dimuka hukum, tanpa perbedaan.
b. Asas hak memperoleh bantuan/penasehat hukum, adalah bahwa setiap
tersangka perkara tindak pidana di bidang perpajakan wajib diberi
kesempatan memperoleh bantuan hukum yang semata-mata diberikan untuk
melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya sejak dilakukan
pemeriksaan terhadapnya.

23
2.3 Keberatan dan Banding
A. Keberatan
1. Pengertian Keberatan
Keberatan adalah cara yang ditempuh oleh Wajib Pajak jika merasa
tidak/kurang puas atas suatu ketetapan pajak yang dikenakan kepadanya atau atas
pemotongan/pemungutan oleh pihak ketiga.
2. Tata Cara Penyelesaian Keberatan
a. Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal
Pajak atas suatu:
1) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar;
2) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan
3) Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar
4) Surat Ketetapan Pajak Nihil; atau
5) Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
b. Pengajuan keberatan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1) Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia
2) Mengemukakan jumlah pajak yang terutang atau jumlah pajak yang
dipotong atau dipungut atau jumlah rugi menurut penghitungan Wajib
Pajak dengan disertai alasan-alasan yang menjadi dasar penghitungan;
3) 1 (satu) keberatan diajukan hanya untuk 1 (satu) surat ketetapan pajak,
untuk 1 (satu) pemotongan pajak, atau untuk 1 (satu) pemungutan pajak;
4) Diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikirim surat
ketetapan pajak diterbitkan; atau pemotongan atau pemungutan pajak
oleh pihak ketiga, kecuali Wajib Pajak dapat menunjukan bahwa jangka
waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan
Wajib Pajak;
5) Surat Keberatan ditandatangani oleh Wajib Pajak, dan dalam hal Surat
Keberatan ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak, Surat Keberatan
tersebut harus dilampiri dengan surat kuasa khusus.
c. Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak,
Wajib Pajak wajib melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sedikit
sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak dalam pembahasan akhir hasil
pemeriksaan, sebelum surat keberatan disampaikan.
d. Dalam hal surat keberatan yang disampaikan oleh wajib pajak belum
memenuhi persyaratan, Wajib Pajak dapat menyampaikan perbaikansurat
keberatan dengan melengkapi persyaratan yang belum dipenuhi sebelum
jangka waktu 3 (tiga) bulan.
e. Surat keberatan yang tidak memenuhi persyaratan bukan merupakan surat
keberatan sehingga tidak dipertimbangkan dan tidak diterbitkan surat
Keputusan Keberatan.
f. Pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain yang tidak
diberikan pada saat pemeriksaan tidak dipertimbangkan dalam penyelesaian
keberatan, kecuali pembukuan, pencatatan, data, informasi, atau keterangan
lain tersebut berada dipihak ketiga dan belum diperoleh Wajib Pajak pada
saat pemeriksaan.
g. Direktorat Jendral Pajak dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak
tanggal Surat Keberatan diterima, harus memberi keputusan. Keputusan
Direktorat Jendral Pajak dapat berupa:

24
1) Mengabulkan seluruhnya.
2) Mengabulkan sebagian.
3) Menolak.
4) Menambah besarnya jumlah pajak yang harrus dibayar.
h. Apabila dalam jangka waktu 12 bulantelah terlampaui dan Direktur Jendral
Pajak tidak menerbitkan Surat Keputusan Keberatan, keberatan yang
diajukan Wajib Pajak dianggap dikabulkan dan Dirjen Pajak wajib
menerbitkan Surat Keputusan Keberatan sesuai dengan keberatan Wajib
Pajak.
i. Apabila pengajuan keberatan dikabulkan sebagian atau seluruhnya,
kelebihan pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah bunga sebesar
2% perbulan untukpaling lama 24 bulan dengan ketentuan:
1) Untuk SKPKB dan SKPKBT dihitung sejak tanggal pembayaran yang
menyebabkan kelebihan pembayaran pajak sampai dengan
diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan.
2) Untuk SKPN dan SKPLB dihitung sejak tanggal penerbitan surat
ketetapan pajak sampaidengan diterbitkannya Surat Keputusan
Keberatan.
j. Dalam hal keberatan WP ditolak atau dikabulkan sebagian, WP dikenai
sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% dari jumlah pajak berdasarkan
keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yangtelah dibayar sebelum
mengajukan keberatan.
k. Tetapi apabila WP mengajukanpermohonan banding atas Surat Keputusan
Keberatan, sanksi tersebut tidak dikenakan.
l. Apabila pengajuan keberatan dikabulkan sebagian atau seluruhnya,yang
menyebabkan kelebihan pembayaran pajak, kelebihan pembayaran tersebut
dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% perbulan paling
lama 24 bulan dengan ketentuan berikut:
1) Untuk SKPKB dan SKPKBT dihitung sejak tanggal pembayaran yang
menyebabkan kelebihan pembayaran pajak sampai dengan
diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan, atau
2) Untuk SKPN dan SKPLB dihitung sejak tanggal penerbitan surat
ketetapan pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan
Keberatan.

B. Banding
1. Pengertian Banding
Banding adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau
Penanggung Pajak terhadap suatu keputusan yang dapat diajukan Banding,
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Tata Cara Penyelesaian Banding
a. WP dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan
pajak atas Surat Keputusan Keberatan.
b. Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan pengadilan khusus di
lingkaran peradilan tata usaha negara.
c. Permohonan banding diajukanpaling lama 3 bulan sejak Surat Keputusan
Keberatan diterima, dengan cara:
1) Tertulis dalam bahasa Indonesia.
2) Mengemukakan alasan-alasan yang jelas.

25
3) Melampirkan salinan Surat Keputusan Keberatan.
d. Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan banding
belum merupakan pajak yang yang terutang sampai dengan Putusan Banding
diterbitkan.
e. Apabila permohonan banding ditolak atau diterima sebagian, WP dikenai
sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% dari jumlah pajak
berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang
telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
f. Apabila pengajuan keberatan atau banding dikabulkan sebagian atau
selurunya, yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak, kelebihan
pembayaran tersebut dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar
2% per bulan paling lama 24 bulan dengan ketentuan sebagai berikut:
1) Untuk SKPKB dan SKPKBT dihitung sejak tanggal pembayaran yang
menyebabkan kelebihan pembayaran pajak sampai dengan
diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau
2) Untuk SKPN dan SKPLB dihitung sejak tanggal penerbitan surat
ketetapan pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan
Keberatan, Putusan Banding.

2.4 Penagihan Pajak


A. Dasar Hukum, Pengertian, dan Jenis-jenis Penagihan Pajak
Dasar hukum melakukan tindakan penagihan pajak adalah Undang-undang no.
19 tahun 1997 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa. Undang-undang ini
mulai berlaku tanggal 23 Mei 1997. Undang-undang ini kemudian diubah dengan
Undang-undang no. 19 tahun 2000 yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2001.
Penagihan pajak adalah tindakan penagihan yang dilaksanakan oleh fiskus atau
juru sita pajak kepada penanggung pajak tanpa menunggu jatuh tempo pembayaran
yang meliputi seluruh utang pajak dari semua jenis pajak, masa pajak dan tahun pajak.
Definisi penagihan pajak menurut Soemitro (1996:17), yaitu Penagihan pajak
adalah perbuatan yang dilakukan Direktorat Jendral Pajak karena Wajib Pajak tidak
mematuhi ketentuan Undang-undang pajak, khususnya mengenai pembayaran pajak
yang terutang
Definisi lain menurut Rusdji (2004:6), yaitu Penagihan pajak adalah serangkaian
tindakan agar Wajib Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan
menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus
memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan,
melaksanakan penyanderaan dan menjual barang yang telah disita.
Sedangkan Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang
bertanggungjawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan
memenuhi kewajiban Wajib Pajakmenurut ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
Biaya Penagihan Pajak adalah biaya pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah
Melaksanakan Penyitaan, Pengumuman Lelang, Pembatakan Lelang, Jasa Penilai, dan
biaya lainnya sehubungan dengan penagihan pajak.
Pejabat adalah orang yang berwenang mengangkat dan memberhentikan Jurusita
Pajak, menerbitkan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus, Surat Paksa,
Surat Perintah Melakukan Penyitaan, Surat Pencabutan Sita, Pengumuman Lelang,
dan surat lain yang diperlukan untuk penagihan pajak sehubungan dengan
Penanggung Pajak.
26
Jurusita adalah pelaksana tindakan penagihan pajak yang meliputi penagihan
seketika dan sekaligus, pemberitahuan Surat Paksa, penyitaan dan penyanderaan.
Penagihan pajak dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu penagihan pajak aktif
dan penagihan pajak asif. Penagihan pajak pasif dilakukan melalui surat tagihan pajak
atau surat ketetapan pajak. Penagihan pajak aktif atau penagihan pajak dilakukan
dengan surat aksab diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 sebagaimana
yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000.
1. Penagihan Pajak Pasif
Penagihan pajak pasif dilakukan dengan menggunakna Surat Tagihan Pajak
(STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar(SKPKB), Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan(SKPKBT), Surat Keputusan Pembetulan yang
menyebabkan pajak terutang menjadi lebih besar, Surat Keputusan Keberatan
yang menyebabkan pajak terutang menjadi lebih besar, Surat Keputusan Banding
yang menyebabkan pajak terutang menjadi lebih besar. Jika dalam jangka waktu
30 hari belum dilunasi, maka tujuh hari setelah jatuh tempo akan diikuti dengan
penagihan pajak secara aktif yang dimulai dengan menerbitkan surat teguran.
2. Penagihan Pajak Aktif
Penagihan pajak aktif merupakan kelanjutan dari penagihan pajak pasif,
dimana dalam upaya penagihan pajak ini fiskus berperan aktif dalam arti tidak
hanya mengirim surat tagihan atau surat ketetapan pajak tetapi akan diikuti
dengan tindakan sita, dan dilanjutkan dengan pelaksanaan lelang.
3. Penagihan Seketika dan Sekaligus
Penagihan seketika dan sekaligus adalah tindakan penagihan pajak yang
dilakukan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal
jatuh tempo pembayaran.
Jurusita pajak melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus berdasarkan
Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus yang diterbitkan apabila:
1. Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau
berniat untuk itu.
2. Penanggung Pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau yang
dikuasai dalam rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan,
atau pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia.
3. Terdapat tanda-tanda bahwa Penanggung Pajak akan membubarkan
usahanya, atau menggabungkan usahanya, atau memekarkan usahanya, atau
memindahtangankan perusahaan yang dimiliki atau dikuasainya, atau
melakukan perubahan bentuk lainnya.
4. Badan usaha akan dibubarkan oleh Negara.
5. Terjadinya penyitaan atas penyitaan atas barang Penanggung Pajak oleh
Pihak Ketiga atau terdapat tanda-tanda kepailitan.
Dalam Surat Penagihan Seketika dan Sekaligus sekurang-kurangnya memuat
hal-hal sebagai berikut:
1. Nama Wajib Pajak, atau nama Wajib Pajak dan Penanggung Pajak
2. Besarnya Utang Pajak
3. Perintah untuk membayar
4. Saat pelunasan pajak
Surat Penagihan Seketika dan Sekaligus diterbitkan sebelum penerbitan
Surat Paksa.

27
B. Tahapan Penagihan Pajak
Adapun tahapan penagihan pajak antara lain sebagai berikut:
1. Surat Teguran
Apabila utang pajak yang tercantum dalam surat tagihan pajak, surat
ketetapan pajak kurang bayar, surat ketetapan pajak kurang bayar tambahan, tidak
dilunasi sampai melewati 7 hari dari batas waktu jatuh tempo (satu bulan sejak
tanggal diterbitkan).
2. Surat Paksa
Apabila utang pajak tidak dilunasi setelah 21 hari dari tanggal surat teguran
maka akan diterbitkan surat paksa yang disampaikan oleh juru sita pajak negara
dengan dibebani biaya penagihan sebesar 25.000 (dua puluh ribu rupiah), utang
pajak harus dilunasi dalam waktu 2×24 jam.
Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan
pajak. Surat kuasa memiliki kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang
sama dengan pututsan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan tetap
(inkracht). Surat Paksa sekurang-kurangnya meliputi:
a. Nama wajib pajak, atau nam Wajib Pajak dan Penanggung Pajak
b. Dasar penagihan
c. Besarnya Utang Pajak
d. Perintah untuk membayar.
Surat paksa diterbitkan apabila:
a. Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajak dan kepadanya diterbitkan
Surat Teguran atau surat lain yang sejenis.
b. Terhadap penanggung Pajak telah dilaksanakan penagihan seketika dan
sekaligus.
c. Penanggung Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam
keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak
Surat Paksa terhadap orang Pribadi diberitahukan oleh jurusita pajak kepada:
a. Penanggung Pajak
b. Orang dewasa yang bertempat tinggal bersama ataupun bekerja di tempat
usaha penanggung pajak, apabila penanggung pajak apabila yang
bersangkutan tidak dapat dijumpai.
c. Salah satu ahli waris atau pelaksana wasiat atau yang mengurus harta
peninggalannya apabila wajib pajak telah meninggal dunia dan harta warisan
belum dibagi.
d. Para ahli waris, apabila wajib pajak telah meninggal dunia dan harta warisan
telah dibagi.
Surat Paksa terhadap badan diberitahukan oleh jurusita pajak kepada:
a. Pengurus, kepala perwakilan, kepala cabang, penanggungjawab, pemilik
modal.
b. Pegawai tetap di tempat kedudukan atau tempat usaha badan apabila jurusita
pajak tidak dapat menjumpai salah seorang sebagaimana dimaksud dalam
huruf.
Hal yang harus diperhatikan:
a. Pengajuan keberatan oleh wajib pajak tidak mengakibatkan penundaan
pelaksanaan Surat Paksa.
b. Pelaksanaan surat paksa tidak dapat dilanjutkan dengan penyitaan sebelum
lewat waktu 2 x 24 jam setelah surat paksa diberitahukan.

28
3. Surat Sita
Apabila utang pajak belum juga dilunasi dalam waktu 2×24 jam dapat
dilakukan tindakan penyitan atas barang-barang Wajib Pajak dengan dibebani
biaya pelaksanaan sita sebesar Rp 75.000.
Penyitaan adalah tindakan jurusita pajak untuk menguasai barang
penanggung pajak guna dijadikan jaminan untuk melunasi utang pajak menurut
peraturan perundan-undangan. Apabila utang pajak tidak dilunasi oleh
penanggung pajak dalam waktu 2 x 24 jam setelah diberitahukan , Pejabat
menerbitkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan.
Setiap melaksanakan penyitaan, jurursita pajak membuat berita acara
pelaksanaan sita yang ditandatangani oleh jurusita pajak, penanggung pajak, dan
saksi-saksi. Berita Acara Pelaksanaan Sita mempunyai kekuatan mengikat
meskipun penanggung pajak menolak untuk menandatanganinya, barang yang
dapat disita berupa:
a. Barang bergerak termasuk mobil, perhiasan, uang tunai, dan deposito
berjangka, tabungan, giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan
itu, obligasi, saham.
b. Barang tidak bergerak termasuk tanah, bangunan, dam kapal dengan isi kotor
tertentu.
Pencabutan sita dilaksanakan apabila Penanggung Pajak telah melunasi biaya
penagihan dan utang pajak atau berdasarkan putusan pengadilan atau putusan
Badan Perdilan Pajak atau ditetapkan lain dengan Keputusan Menteri Keuangan
atau Keputusan Kepala Daerah.
4. Lelang
Lelang adalah setiap penjualan barang di muka umum dengan cara
penawaran harga secara lisan dan atau tertuli melalui usaha pengumpulan peminat
atau calon pembeli.
Jika dalam waktu 14 hari setelah tindakan penyitaan, utang pajak belum
dilunasi maka akan dilanjutkan dengan tindakan pelelangan melalui kantor lelang
negara. Dalam hal biaya penagihan paksa dan biaya pelaksanaan sita belum di
bayar maka akan dibebankan bersama-sama dengan biaya iklan untuk pengumuan
lelang dalam surat kabar dan biaya pada saat pelelangan.
Hasil lelang dipergunakan terlebih dahulu untuk membayar biaya penagihan
pajak yang belum dibayar, dan sisanya untuk membayar utang pajak. Apabila
hasil lelang sudah mencapai jumlah yang cukup untuk melunasi baya penagihan
pajak dan utang pajak, pelaksanaan lelang dihentikan oleh pejabat walaupun
barang yang akan dilelang masih ada. Sisa barang beserta uang kelebihan hasil
lelang dikembalikan oleh pejabat kepada penanggung pajak segera setelah
pelaksanaan lelang.

C. Dasar-dasar Penagihan
Dasar penagihan pajak dibedakan berdasarkan jenis pajaknya. Berikut ini, dasar
penagihan pajak yang perlu Anda tahu: Dasar penagihan pajak untuk PPh, PPN, dan
PPnBM, serta bunga penagihan adalah:
1. Surat Tagihan Pajak.
2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar.
3. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan.
4. Surat Keputusan Pembetulan.
5. Surat Keputusan Pemberatan.

29
6. Putusan Banding.
7. Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus
dibayar bertambah.
Dasar penagihan pajak untuk PBB adalah:
1. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang.
2. Surat Ketetapan.
3. Surat Tagihan Pajak.

2.5 Pembetulan, Pengurangan, Penghapusan atau Pembatalan dan Daluwarsa


Penagihan Pajak
A. Pembetulan
Apabila terdapat kesalahan atau kekeliruan dalam ketetapan pajak yang tidak
mengandung persengketaan antara fiskus dan Wajib Pajak, dapat dibetulkan oleh
Direktur Jenderal Pajak secara jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak.
Kesalahan atau kekeliruan dalam ketetapan pajak dapat dibetulkan. Ruang
lingkup pembetulan ketetapan pajak, terbatas pada kesalahan atau kekeliruan dari:
1. Kesalahan tulis antara lain: kesalahan yang dapat berupa penulisan nama, alamat,
NPWP, nomor surat ketetapan pajak, Jenis Pajak, Masa atau Tahun Pajak dan
tanggal jatuh tempo;
2. Kesalahan hitung, yang berasal dari penjumlahan dan atau pengurangan dan atau
perkalian dan atau pembagian suatu bilangan; atau
3. Kekeliruan dalam penerapan tarif, penerapan persentase Norma Penghitungan
Penghasilan Neto, penerapan sanksi administrasi, Penghasilan Tidak Kena Pajak
(PTKP), penghitungan PPh dalam tahun berjalan, dan pengkreditan pajak.

Ketetapan pajak yang dapat dibetulkan karena kesalahan atau kekeliruan, antara
lain:
1. Surat ketetapan pajak yang meliputi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
(SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), Surat
Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB), Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN);
2. Surat Tagihan Pajak (STP);
3. Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak;
4. Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga;
5. Surat Keputusan Pembetulan
6. Surat Keputusan Keberatan
7. Surat Keputusan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi;
8. Surat Keputusan Pengurangan atau Pembatalan Ketetapan Pajak yang tidak
benar.

Tata Cara dan Jangka Waktu Penyelesaian Permohonan Wajib Pajak.


Permohonan pembetulan oleh WP harus disampaikan ke Kantor Direktorat Jenderal
Pajak yang menerbitkan surat ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak (STP), atau surat
keputusan lain yang terkait dengan bidang perpajakan yang diajukan pembetulan,
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. 1 (satu) permohonan diajukan untuk 1 (satu) surat ketetapan pajak, STP, atau
surat keputusan lain yang terkait dengan bidang perpajakan
b. Permohonan harus diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia disertai alasan
yang mendukung permohonannya; dan

30
c. Surat permohonan ditandatangani oleh WP dan dalam hal surat permohonan
ditandatangani oleh bukan WP, surat permohonan tersebut harus dilampiri surat
kuasa khusus.
Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal surat
permohon pembetulan diterima, harus memberikan keputusan. Apabila jangka waktu
tersebut telah lewat Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan suatu keputusan, maka
permohonan pembetulan yang diajukan dianggap dikabulkan dan paling lama 1 (satu)
bulan sejak berakhir jangka waktu 6 (enam) bulan tersebut Direktorat Jenderal Pajak
wajib menerbitkan surat keputusan pembetulan tersebut.

B. Pengurangan, Penghapusan atau Pembatalan


Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya atau atas permohonan Wajib Pajak
dapat:
1. Mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan
kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak
atau bukan karena kesalahannya.
2. Mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak atau Surat Tagihan Pajak
yang tidak benar.
3. Membatalkan hasil pemeriksaan atau surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan
yang dilaksanakan tanpa:
a. Penyampaian Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan atau
b. Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dengan Wajib Pajak
Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengurangan atau pembatalan Surat
Ketetapan Pajak apabila:
1. Wajib Pajak tidak mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak; atau
2. Wajib Pajak mengajukan keberatan, tetapi keberatannya tidak dipertimbangkan
oleh Direktur Jenderal Pajak karena tidak memenuhi persyaratan.
Permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Ketetapan Pajak yang tidak
benar tidak dapat diajukan dalam hal Wajib Pajak mencabut pengajuan keberatan yang
telah disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak.

C. Daluwarsa Penagihan Pajak


Berdasarkan Pasal 22 UU KUP, hak untuk melakukan penagihan pajak, termasuk
bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan, daluwarsa setelah lampau waktu 10
tahun terhitung sejak terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak, bagian tahun
pajak, atau tahun pajak yang bersangkutan.
Penagihan pajak dapat dilakukan setelah melampaui 10 tahun dengan syarat-
syarat sebagai berikut:
1. Diterbitkan surat teguran dan surat paksa. Kadaluwarsa dihitung sejak tangal
penyampaian surat paksa tersebut
2. Adanya pengakuan utang dari Wajib Pajak, baik secara langsung maupun tidak
langsung. Hal ini dikarenakan sebagai berikut:
3. Adanya permohonan angsuran atau penundaan pembayaran utang pajak sebelum
jatuh tempo pembayaran. Untuk daluwarsa penagihan pajak dihitung sejak
tanggal surat permohonan angsuran atau penundaan pembayaran utang pajak
diterima.
4. Adanya permohonan keberatan. Untuk daluwarsa ini penagihan pajak dihitung
sejak tanggal surat permohonan keberatan diterima. Wajib Pajak melaksanakan

31
pembayaran sebagian utang pajaknya. Untuk daluwarsa ini penagihan pajak
dihitung sejak tanggal pembayaran sebagian utang pajak tersebut.

2.6 Sengketa dalam Perpajakan dan Penyelesaiannya


A. Pengertian Sengketa Pajak
Menurut pasal 1 Undang-Undang No. 17 tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian
Sengketa Pajak (UUBPSP) ditegaskan bahwa sengketa pajak adalah sengketa yang
menurut peraturan perundang-undangan perpajakan dapat diajukan banding dan
gugatan ke Badan Penyelesaian Sengketa Pajak.
Menurut ketentuan pasal 1 angka 5 Undang-undang Nomor 14 tahun 2002 tentang
Pengadilan Pajak (UU Pengadilan Pajak) yang dimaksud dengan sengketa pajak
adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara wajib pajak atau
penanggung pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya
keputusan yang dapat diajukan banding atau gugataan kepada pengadilan pajak
berdasarkan peratuaran perundang-undangan perpajakan termasuk gugatan kepada
pengadilan pajak berdasarkan undang-undang penagihan pajak dengan surat paksa.
Jadi yang menyebabkan terjadinya sengketa pajak adalah karena adanya
kediksamaan perepsi atau perbedaan pendapat antara wajib pajak dengan petugas
pajak mengenai penetapan pajak terhutang yang diterbitkan atau adanya tindakan
penagihan yang dilakukan oleh Direktorat Jendral Pajak.
Jadi dapat disimpulkan bahwa sengketa pajak adalah dimana antara wajib pajak
atau penanggung pajak dengan petugas pajak atau fiscus terjadi perbedaan pendapat
atau pesepsi menegenai penetapan pajak terhutang dan menurut peraturan undang-
undang perpajakan dapat mengajukan banding dan gugatan kepada Badan
Penyelesaian Sengketa Pajak.

B. Upaya yang dilakukan untuk Menyelesaikan Sengketa Pajak


Sengketa pajak diawali dari diterbitkannya surat ketetapan pajak atau
diterbitkannaya surat tindakan penagiahan pajak. Surat Ketetapan Pajak ada empat,
SKPKB, SKPKBT, SKPLB, SKPN. Maka upaya untuk menyelesaiakn sengketa pajak
tersebut dapat dilakukan dengan cara berikut:
1. Upaya Hukum Keberatan
Sesuai ketentuan pasal 25 UU KUP, upaya hukum keberatan diajukan ke
Direktorat Jendral Pajak, yaitu ke kantor pelayanan pajak tempat dimana wajib
pajak terdaftar.
Untuk dapat mengajukan upaya hukum keberatan, maka wajib pajak harus
memenuhi syarat-syarat yang ditentukan yaitu;
a. Diajukan secara tertulis dengan menggunakan bahasa Indonesia.
b. Diajukan dalam jangka 3 bulan sejak tanggal surat, tanggal pemotongan atau
pemungutan, kecuali wajib pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu
itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan diluar kekuasaan.
c. Mengemukan jumlah pajak terhutang atau jumlah pajak yang dipotong atau
dipungut atau jumlah rugi menurut penghitungan wajib pajak disertai alasan-
alasan yang jelas.
d. Untuk satu surat keberatan diajukan terhadap waktu ketetapan pajak atau
pemotongan/pemungutan pajak.

32
Keputusan keberatan
Direktur Jenderal pajak dalam jangka waktu paling lama 12 bulan
sejak tanggal surat keberatan diterima harus memberi keputusan atas keberatan
yang diajukan wajib pajak Jika jangka waktu 12 bulan terlewati, maka keberatan
dianggap DITERIMA.
Setelah kantor pajak melakukan proses pemerikasaan, sesuai pasal 26 ayat 3
UU KUP, ada 4 kemungkinan keputusan yang dapat diterbitkan atau dikeluarkan
oleh Direktorat Jendral Pajak sebagai berikut:
a. Ditolak
Apabila dalam proses pemerikasaan yang dilakukan oleh direktur jendal
pajak diketahui tidak terdapat cukup alasan dan bukti, maka direktur jendral
pajak akan mengluarkan keputusan menolak keberatan wajib pajak. Jika
demikian maka hanya ada dua pilihan yaitu pertama wajib pajak harus tetap
melunasi utang pajak.
Sebesar tercantum dalam keputusan keberatan. Kedua, wajib pajak dapat
mengajukan upaya hukum lebih lanjut, yaitu banding ke pengadilan pajak.
b. Diterima Sebagian
Apabila surat keberatan wajib pajak setelah dilakukan pemeriksaan
ternyata hanya sebagian alasan dan bukti yang mendukung untuk
dikuranginya jumlah utang pajak yang tercantum dalam ketetapan pajak akan
mengeluarkan keputusan menerima sebagian.
c. Diterima Seluruhnya
Apabila dalam proses pemeriksaan yang diketahui adanya alasan dan
bukti yang mendukung untuk diterimanya seluruh keberatan wajib pajak
sesuai perhitungan wajib pajak, maka Direktur Jendral Pajak akan
menebitkan keputusan menerima seluruh keberatan.
d. Menambah Ketetapan Pajak
Apabila wajib pajak telah ditetapkan mempunyai utang pajak lalu
diajukan keberatan maka setelah dilakukan pemeriksaan oleh Direktur
Jendral Pajak ternyata berdasarkan bukti yang ada utang pajak wajib pajak
menjadi lebih besar dari semula.
2. Upaya Hukum Banding
Menurut Undang-undang perpajakan apabila wajib pajak tidak merasa puas
atas keputusan keberatan yang telah dikeluarkan oleh Direktur Jendral Pajak
berarti wajib pajak berhak mengajukan upaya hukum banding sesuai undang-
undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
Apabila wajib pajak hendak mengajukan upaya hukum banding harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Permohonan diajukan secara tertulis dengan menggunakan bahasa indonesia.
b. Diajukan dalam jangka wakru 3 bulan sejak tanggal diterima keputusan
mengenai keberatan.
c. Terhadap satu keputusan diajukan satu surat banding.
d. Melampirkan satu keputusan yang dibanding dan bukti-buti pendukung lain.
e. Melunasi 50% dari jumlah yang terhutang atas keputusan yang dibanding.
3. Upaya Hukum Gugatan
Upaya hukum gugatan dapat dilakukan oleh wajib pajak terhadap
pelaksanaan penagihan pajak atau terhadap keputusan yang diajukan gugatan
berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

33
Dalam pasal 23 ayat 2 undang-undang KUP menyatakan bahwa gugatan
bukan hanya terhadap penagihan pajak tetapi juga terhadap hal berikut:
a. Pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan atau
Pengumuman Lelang.
b. Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan.
c. Keputusan pembetulan sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 yang berkatan
dengan Surat Tagihan Pajak.
d. Keputusan menurut pasal 36 yang berkaitan dengan Surat Tagihan Pajak.
Untuk dapat mengajukan gugatan wajib pajak harus memenuhi syarat-syarat
berikut:
a. Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia
b. Jangka waktu untuk gugatan terhadap pelaksanaan penagihan pajak adalah
14 hari semenjak tanggal pelaksanaan penagihan, sedangkan gugatan
terhadap putusan 30 hari sejak tanggal diterima putusan gugat.
c. Terhadap satu pelaksanaan surat penagihan atau keputusan diajukan satu
surat gugatan.
4. Upaya Hukum Peninjauan Kembali (PK)
Upaya hukum ini merupakan upaya hukum luar biasa setelah adanya
keputusan yang berkekuatan hukum tetap yaitu ke Mahkamah Agung (MA)
sesuai dengan ketentuann undang-undang.
Sesuai ketentuan pasal 91 Undang-undang Pengadialn Pajak, permohonan
Peninjauan kembali hanya dapat dilakukan berdasarkan 5 alasan yaitu:
a. Apabila Putusan Pengadilan Pajak didasarkan pada suatu kebohongan atau
tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau
didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan
palsu.
b. Apabila terdapat bukti tertulis baru yang penting dan bersifat menentukan
apabila dikethui pada tahap persidangan di Pengadilan Pajak akan
menghasilakan putusn yang berbeda.
c. Apabila telah dikabulkan suatu hal ang tidak dituntut atau lebih dari pada
yang dituntut.
d. Apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa
dipertimbangkan sebab-sebabnya.
e. Apabila terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan
perturan perundang-undangan yang berlaku.

C. Proses Pemeriksaan di Pengadilan Pajak


Undang-undang Pengadilan Pajak pada prinsipnya membedakan proses
Pemeriksaaan di pengadilan Pajak menjadi 2 yaitu proses pemeriksaan dengan cara
biasa dan proses pemeriksaan dengan cara cepat.
1. Pemeriksaan dengan cara biasa
Pemeriksaan dengan cara biasa dilakukan apabila:
a. Surat Permohonan Banding sudah memenuhi ketentuan formal
b. Gugatan telah memenuhi ketentuan formal
Pemeriksaan dengan cara biasa dilakukan oleh Majelis yang ditunjuk oleh
Ketua Pengadilan Pajak yang terdiri dari 3 orang Hakim, satu orang sebagai
Ketua, dan satu orang lagi sebagai Hakim Anggota.
2. Pemeriksaan dengan cara cepat
Pemeriksaan dengan cara cepat dapat dilakukan dalam hal-hal berikut:
34
a. Sengketa Pajak tertentu, sengketa pajak berupa banding atau gugatan yang
tidak memenuhi persyaratan formal.
b. Gugatan yang tidak diputus dalam jangka waktu 6 bulan sejak surat gugatan
diterima.
c. Tidak dipenuhinya salah satu ketentuan Putusan Pengadilan Pajak yang
seharusnya dimuat atau kesalahan tulis, salah hitung dalam Putusan
Pengadilan Pajak.
d. Sengketa yang berdasarkan pertimbangan hukum bukan merupakan
wewenang Pengadilan Pajak, misal gugatan pihak ketiga terhadap
pelaksanaan sita berdasarkan pengakuan hak milik atas barang yang disista.

2.7 Sanksi-sanksi dalam Perpajakan


Pengetahuan tentang sanksi dalam perpajakan menjadi penting karena pemerintah
lndonesia memilih menerapkan self assessment system dalam rangka pelaksanaan
pemungutan pajak. Berdasarkan sistem ini, Wajib Pajak diberikan kepercayaan untuk
menghitung menyetor, dan melaporkan pajaknya sendiri.
Untuk dapat menjalankannya dengan baik, maka setiap Wajib Pajak memerlukan
pengetahuan pajak, baik dari segi peraturan maupun teknis administrasinya. Agar
pelaksanaannya dapat tertib dan sesuai dengan target yang diharapkan, pemerintah telah
menyiapkan rambu-rambu yang diatur dalam UU Perpajakan yang berlaku.
Dari sudut pandang yuridis, pajak memang mengandung unsur pemaksaan. Artinya,
jika kewaiiban perpajakan tidak dilaksanakan, maka ada konsekuensi hukum yang bisa
terjadi. Konsekuensi hukum tersebut adalah pengenaan sanksi-sanksi perpajakan.
Pada hakikatnya, pengenaan sanksi perpajakan diberlakukan untuk menciptakan
kepatuhan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Itulah sebabnya,
penting bagi Wajib pajak memahami sanksi-sanksi perpajakan sehingga mengetahui
konsekuensi hukum dari apa yang dilakukan ataupun tidak dilakukan.
Untuk dapat memberikan gambaran mengenai hal-hal apa saja yang perlu dihindari
agar tidak dikenai sanksi perpajakan, di bawah ini akan diuraikan tentang jenis-jenis sanksi
perpajakan dan perihal pengenaannya. Ada 2 macam Sanksi Perpajakan:

A. Sanksi Administrasi
Sanksi administrasi merupakan pembayaran kerugian kepada Negara, khususnya
yang berupa bunga dan kenaikan
1. Denda Administrasi
Sanksi denda adalah jenis sanksi yang paling banyak ditemukan dalam UU
perpajakan. Terkait besarannya denda dapat ditetapkan sebesar jumlah tertentu,
persentase dari jumlah tertentu, atau suatu angka perkalian dari jumlah tertentu.
Pada sejumlah pelanggaran, sanksi denda ini akan ditambah dengan sanksi
pidana. Pelanggaran yang juga dikenai sanksi pidana ini adalah pelanggaran yang
sifatnya alpa atau disengaja.
No Pasal Masalah Sanksi Keterangan
SPT Terlambat disampaikan :
Rp100.000 atau
a. Masa Rp500.000 Per SPT
1 7 (1) Rp100.000 atau
b. Tahunan Rp 1.000.000 Per SPT
Dari jumlah pajak
2 8 (3) Pembetulan sendiri dan belum disidik 150% yang kurang
dibayar
35
pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai
PKP, tetapi tidak membuat faktur pajak atau 2% Dari DPP
membuat faktur pajak, tetapi tidak tepat
waktu;

Dari DPP
3 14 pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai
(4) PKP yang tidak mengisi faktur pajak secara 2%
lengkap

Dari DPP
PKP melaporkan faktur pajak tidak sesuai
dengan masa penerbitan faktur pajak 2%

2. Bunga 2% per bulan


Sanksi administrasi berupa bunga dikenakan atas pelanggaran yang
menyebabkan utang pajak menjadi lebih besar. Jumlah bunga dihitung
berdasarkan persentase tertentu dari suatu jumlah, mulai dari saat bunga itu
menjadi hak/kewajiban sampai dengan saat diterima dibayarkan.
Terdapat beberapa perbedaan dalam menghitung bunga utang biasa dengan
bunga utang paiak. Penghitungan bunga utang pada umumnya menerapkan bunga
majemuk (bunga berbunga). Sementara, sanksi bunga dalam ketentuan pajak
tidak dihitung berdasarkan bunga majemuk.
Besarnya bunga akan dihitung secara tetap dari pokok pajak yang tidak atau
kurang dibayar. Tetapi, dalam hal Wajib Paiak hanya membayar sebagian atau
tidak membayar sanksi bunga yang terdapat dalam surat ketetapan pajak yang
telah diterbitkan, maka sanksi bunga tersebut dapat ditagih kembali dengan
disertai bunga.
Perbedaan lainnya dengan bunga utang pada umumnya adalah sanksi bunga
dalam ketentuan perpajakan pada dasarnya dihitung 1 (satu) bulan penuh. Dengan
kata lain, bagian dari bulan dihitung 1 (satu) bulan penuh atau tidak dihitung
secara harian.

No Pasal Masalah Sanksi Keterangan


1. 8 (2 Pembetulan SPT Masa dan Tahunan 2% Per bulan, dari jumlah
dan 2a) pajak yang kurang dibayar
2. 9 (2a Keterlambatan pembayaran pajak masa dan 2% Per bulan, dari jumlah
dan 2b) tahunan pajak terutang
3. 13 (2) Kekurangan pembayaran pajak dalam 2% Per bulan, dari jumlah
SKPKB kurang dibayar, max 24
bulan
4. 13 (5) SKPKB diterbitkan setelah lewat waktu 5 48% Dari jumlah paak yang
tahun karena adanya tindak pidana tidak mau atau kurang
perpajakan maupun tindak pidana lainnya dibayar.

5. 14 (3) a. PPh tahun berjalan tidak/kurang bayar 2% Per bulan, dari jumlah
pajak tidak/ kurang
dibayar, max 24 bulan

36
b. SPT kurang bayar 2% Per bulan, dari jumlah
pajak tidak/ kurang
dibayar, max 24 bulan
14 (5) PKP yang gagal berproduksi dan telah 2% Per bulan, dari jumlah
diberikan pengembalian Pajak Masukan pajak tidak/ kurang
dibayar, max 24 bulan
6. 15 (4) SKPKBT diterbitkan setelah lewat waktu 5 48% Dari jumlah pajak yang
tahun karena adanya tindak pidana tidak atau kurang dibayar
perpajakan maupun tindak pidana lainnya
7. 19 (1) SKPKB/T, SK Pembetulan, SK Keberatan, 2% Per bulan, atas jumlah
Putusan Banding yang menyebabkan kurang pajak yang tidak atau
bayar terlambat dibayar kurang dibayar
8. 19 (2) Mengangsur atau menunda 2% Per bulan, bagian dari
bulan dihitung penuh 1
bulan
9. 19 (3) Kekurangan pajak akibat penundaan SPT 2% Atas kekurangan
pembayaran pajak

3. Kenaikan 50% dan 100%


Jika melihat bentuknya, bisa jadi sanksi administrasi berupa kenaikan adalah
sanksi yang paling ditakuti oleh wajib Pajak. Hal ini karena bila dikenakan sanksi
tersebut, jumlah pajak yang harus dibayar bisa menjadi berlipat ganda. Sanksi
berupa kenaikan pada dasarnya dihitung dengan angka persentase tertentu dari
jumlah pajak yang tidak kurang dibayar.
Jika dilihat dari penyebabnya, sanksi kenaikan biasanya dikenakan karena
Wajib Pajak tidak memberikan informasi-informasi yang dibutuhkan dalam
menghitung jumlah pajak terutang.

Pasal Masalah Sanksi Keterangan


8 (5) Pengungkapan ketidak benaran SPT sebelum terbitnya 50% Dari pajak yang
SKP kurang dibayar
13 Apabila: SPT tidak disampaikan sebagaimana disebut
(3) dalam surat teguran, PPN/PPnBM yang tidak seharusnya
dikompensasikan atau tidak tarif 0%, tidak terpenuhinya
Pasal 28 dan 29
50% Dari PPh yang tidak/
a. PPh yang tidak atau kurang dibayar kurang dibayar
100% Dari PPh yang tidak/
b. tidak/kurang dipotong/ dipungut/ disetorkan kurang dipotong/
dipungut
100% Dari PPN/ PPnBM
c. PPN/PPnBM tidak atau kurang dibayar yang tidak atau
kurang dibayar
15 100% Dari jumlah
(2) Kekurangan pajak pada SKPKBT kekurangan pajak
tersebut

B. Sanksi Pidana
Kita sering mendengar isilah sanksi pidana dalam peradilan umum. Dalam
perpajakan pun dikenai adanya sanksi pidana. UU KUP menyatakan bahwa pada
dasarnya, pengenaan sanksi pidana merupakan upaya terakhir untuk
meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak.
37
Namun, pemerintah masih memberikan keringanan dalam pemberlakuan
sanksi pidana dalam pajak, yaitu bagi Wajib Pajak yang baru pertama kali
melanggar ketentuan Pasal 38 UU KUB tidak dikenai sanksi pidana, tetapi
dikenai sanksi administrasi. Pelanggaran Pasal 38 UU KUP adalah tidak
menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar atau tidak
lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat
menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.
Hukum pidana diterapkan karena adanya tindak pelanggaran dan tindak
kejahatan. Sehubungan dengan itu, di bidang perpajakan, tindak pelanggaran
disebut dengan kealpaan, yaitu tidak sengaja, lalai, tidak hati-hati, atau kurang
mengindahkan kewajiban pajak sehingga dapat menimbulkan kerugian pada
pendapatan negara. Sedangkan tindak kejahatan adalah tindakan dengan sengaja
tidak mengindahkan kewajiban pajak sehingga dapat menimbulkan kerugian pada
pendapatan negara.
Meski dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, tindak pidana
di bidang perpajakan tidak dapat dituntut setelah jangka waktu 10 (sepuluh) tahun
terlampaui.Jangka waktu ini dihitung sejak saat terutangnya pajak, berakhirnya
masa pajak, berakhirnya bagian tahun pajak, atau berakhirnya tahun pajak yang
bersangkutan. Penetapan jangka waktu 10 (sepuluh) tahun ini disesuaikan dengan
daluarsa penyimpanan dokumen-dokumen perpajakan yang dijadikan dasar
penghitungan jumlah pajak yang terutang, yaitu selama 10 (sepuluh) tahun.
Dalam UU Perpajakan Indonesia, ketentuan mengenai sanksi pidana pada
intinya diatur dalam Bab VIII UU KUP sebagai hukum pajak formal. Namun,
dalam UU Perpajakan lainnya, dapat juga diatur sanksi pidana. Sanksi pidana
biasanya disertai dengan sanksi administrasi berupa denda, walaupun tidak selalu
ada.
Menurut ketentuan dalam undang-undang perpajakan, ada 3 macam sanksi
pidana, yaitu: denda pidana, kurungan, dan penjara.
1. Denda pidana
Sanksi berupa denda pidana dikenakan kepada Wajib Pajak dan
diancamkan juga kepada pejabat pajak atau pihak ketiga yang melanggar
norma. Denda pidana dikenakan kepada tindak pidana yang bersifat
pelanggaran maupun bersifat kejahatan.
2. Pidana Kurungan
Pidana kurungan hanya diancamkan kepada tindak pidana yang bersifat
pelanggaran. Dapat ditujukan kepada Wajib Pajak, dan pihak ketiga. Karena
pidana kurungan diancamkan kepada si pelanggar norma itu ketentuannya
sama dengan yang diancamkan dengan denda pidana, maka masalahnya
hanya ketentuan mengenai denda pidana sekian itu diganti dengan pidana
kurungan selama-lamanya sekian.
3. Pidana Penjara
Pidana penjara seperti halnya pidana kurungan, merupakan hukuman
perampasan kemerdekaan. Pidana penjara diancamkan terhadap kejahatan.
Ancaman pidana penjara tidak ada yang ditujukan kepada pihak ketiga,
adanya kepada pejabat dan kepada Wajib Pajak.
Yang dikenakan sanksi tindak pidana di bidang perpajakan yaitu:
1. Setiap orang yang karena kealpaannya:
a. Tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT); atau

38
b. Menyampaikan SPT, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau
melampirkan keterangan yang isinya tidak benar,
sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara,
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda
paling tinggi 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang
dibayar.
2. Setiap orang yang dengan sengaja :
a. Tidak mendaftarkan diri, atau menyalahgunakan, atau menggunakan
tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau Pengukuhan
Pengusaha Kena Pajak (PKP); atau
b. Tidak menyampaikan SPT; atau menyampaikan SPT dan atau
keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap; atau
c. Menolak untuk dilakukan pemeriksaan; atau
d. Memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu
atau dipalsukan seolah-olah benar; atau
e. Tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan, tidak
memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen
lainnya; atau
f. Tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut,
sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara, di
pidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling
tinggi 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
3. Apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan
sebelum lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak selesainya menjalani pidana
penjara yang dijatuhkan, dikenakan pidana 2 (dua) kali lipat dari ancaman
pidana yang diatur sebagaimana butir 2.
4. Setiap orang yang melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana
menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak NPWP atau Pengukuhan
PKP, atau menyampaikan SPT dan atau keterangan yang isinya tidak benar
atau tidak lengkap dalam rangka mengajukan permohonan restitusi atau
melakukan kompensasi pajak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2
(dua) tahun dan denda paling tinggi 4 (empat) kali jumlah restitusi yang
dimohon dan atau kompensasi yang dilakukan oleh Wajib Pajak.
Sanksi tindak pidana berlaku juga bagi wakil, kuasa, atau pegawai dari Wajib
Pajak, yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, yang
menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang
perpajakan.
Daluwarsa Tindak Pidana Di Bidang Perpajakan: Tindak pidana di bidang
perpajakan tidak dapat dituntut setelah lampau waktu sepuluh tahun sejak saat
terutangnya pajak, berakhirnya Masa Pajak, berakhirnya Bagian Tahun Pajak,
atau berakhirnya Tahun Pajak yang bersangkutan.
Delik Aduan dan Sanksinya: Setiap pejabat baik petugas pajak maupun
mereka yang melakukan tugas di bidang perpajakan, dilarang mengungkapkan
kerahasiaan WP yang menyangkut masalah perpajakan.
Pelanggaran atas larangan mengungkapkan kerahasiaan WP tersebut dapat
diancam sanksi pidana sebagai berikut:
1. Pejabat yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan
hal kerahasiaan Wajib Pajak, dipidana dengan pidana kurungan paling lama
1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 4.000.000,00 (empat juta rupiah).

39
2. Pejabat yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang
yang menyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban pejabat, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak
Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
Keterlibatan dan Sanksi bagi Pihak ketiga:
1. Setiap orang yang menurut ketentuan wajib memberikan keterangan atau
bukti yang diminta tetapi dengan sengaja tidak memberi keterangan atau
bukti; atau memberi keterangan atau bukti yang tidak benar, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp.
10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
2. Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi atau mempersulit penyidikan
tindak pidana perpajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah).
Ketentuan ini berlaku juga bagi yang menyuruh melakukan, yang
menganjurkan atau membantu melakukan tindak pidana di bidang
perpajakan.

40
BAB IV
PEMBAHASAN
KETENTUAN UMUM & TATA CARA PERPAJAKAN 2

A. PENDAHULUAN
Sistem perpajakan yang lama ternyata sudah tidak sesuai lagi dengan tingkat
kehidupan social ekonomi masyarakat Indonesia, baik dari segi kegotong-royongan
nasional maupun dari laju pembangunan nasional yang telah dicapai. Disamping itu,
system perpajakan yang lama tersebut belum dapat menggerakan peran dari semua
lapisan subjek pajak yang besar perannya dalam menghasilkan penerimaan dalam negeri
yang sangat diperlukan guna mewujudkan kelangsungan dan peningkatan pembangunan
nasional. Oleh karena itu, pemerintah menciptakan system perpajakan yang baru, yaitu
dengan lahirnya undang-undang perpajakan baru yang terdiri atas: UU NO. 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan dan UU No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, UU NO. 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi
dan Bangunan dan UU No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai.
Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dilandasi oleh
Falsafah Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 yang didalamnya tertuang ketentuan
yang menjunjung tinggi hak negara dan menempatkan kewajiban perpajakan sebagai
kewajiaban kenegaraan. Undang-undang ini membuat ketentuan umum dan tata cara
perpajakan yang pada prinsipnya diberlakukan bagi undang-undang pajak material, kecuali
dalam undang-undang pajak yang bersangkutan telah mengatur sendiri mengenai ketentuan
umumdan tata cara perpajakan.
Sejalan dengan perkembangan ekonomi,teknologi informasi, social dan politik,
disadari bahwa perlu dilakukan perubahan undang-undang tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan. Perubahan tersebut bertujuan untuk lebih memberikan keadilan,
meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak, meningkatkan kepastiandan penegakan
hukum, serta mengantisipasi kemajuan dibidang teknologi informasi dan perubahan
ketentuan material dibidang perpajakan, Selain itu, perubahan tersebut juga dimaksudkan
untuk meningkatkan profesionalisme aparatur perpajakan, meningkatkan keterbukaan
administrasi perpajakan, dan meningkatkan kepatuhan sukarela Wajib Pajak.
Sistem, mekanisme, dan tata cara pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan yang
sederhana menjadi ciri dan corak dalam perubahan undang-undang ini dengan tetap
menganut system self assessment. Perubahan tersebut khususnya berkaitan dengan
peningkatan keseimbangan hak dan kewajiban bagi masyarakat Wajib Pajak, sehingga
masayarakat Wajib Pajak dapat melaksanakan hand an kewajiban perpajakan dengan lebih
baik.
Dengan berpegang teguh pada prinsip kepastian umum, keadilan, dan keserhanaan,
arah dan tujuan perubahan undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan ini mengacu pada kebijakan pokok sebagai berikut:
1. Meningkatkan efisiensi pemungutan pajak dalam rangka mendukung penerimaan
negara.

41
2. Meningkatkan pelayanan, kepastian umum dan keadilan bagi masyarakat guna
meningkatkan daya saing dalam bidang penanaman modal, dengan tetap mendukung
pengembangan usaha kecil dan menengah.
3. Menyesuaikan tuntutan perkembangan social ekonomi masyarakat serata
perkembangan dibidang teknologi informasi.
4. Meningkatkan keseimbangan antara hak dan kewajiban.
5. Menyederhanakan prosedur administrasi perpajakan.
6. Meningkatkan penerpan prinsip self assessment sacara akuntabel dan konsisten
7. Mendukung iklim usaha kearah yang lebih kondusif dan kompetitif.
Dengan dilaksanakannya kebijakan pokok tersebut diharapkan dapat meningkatkan
penerimaan negara dalam jangka menengah dan panjang seiring dengan meningkatkan
kepatuhan sukarela dan membaiknya iklim usaha.

B. Dasar Hukum
Dasar hukum Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah Undang-Undang
No. 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang No. 16
Tahun 2009.

C. Pengertian-pengertian
Dalam pembahasan Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan akan dijumpai pengertian-
pengertian atau istilah-istilah yang sudah baku. Pengertianatau istilah-istilah tersebut, antara
lain:
1. Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan
yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidakmendapatkan imbalan
secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.

2. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayaran pajak, pemotongan
pajak, dan pemungutan pajak yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan perpajakan.

3. Badan adalah sekumpulan orang atau modal yang merupakan kesatuan baik yang
melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseorangan terbatas,
perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik
daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pension,
persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi social politik, atau
organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif
dan bentuk usaha tetap.

4. Masa Pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar bagi wajib pajak untuk menghitung,
menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang dalam suatu jangka waktu tertentu
sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang KUP Masa Pajak sama dengan 1 (satu)
bulan kalender atau jangka waktu lain yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan
paling lama 3 (tiga) bulan kalender.

42
5. Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila wajib pajak
menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.

6. Bagian Tahun Pajak adalah bagian dari jangka waktu 1 (satu) tahun pajak.

7. Pajak Yang Terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam Masa Pajak,
dalam Tahun Pajak, atau dalam Bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan
perungan-undangan perpajakan.

8. Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak.

9. Kredit Pajak untuk Pajak Penghasilan adalah pajak yang dibayar sendiri oleh Wajib
Pajak ditambah dengan pokok pajak yang terutang dalam Surat Tagihan Pajak keran Pajak
Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar, ditambah dengan pajak atas
penghasilan yang dibayar atau terutang diluar negeri, dikurangi dengan pengembalian
pendahuluan kelebihan pajak, yang dikurangi dari pajak yang terutang.

10. Kredit pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai adalah Pajak Masukan yang dapat
dikreditkan setelah dikurangi dengan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak atau
setelah dikurangi dengan pajak yang telah dikompensasikan yang dikurangkan dari pajak
yang terutang.

1. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keteranga,


dan atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan professional berdasarkan suatu
standar pemeriksaan untuk menguji kepatuahn pemenuhan kewajiban perjakan atau untuk
tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.

2. Bukti Permulaan adalah keadaan, perbuatan, dana tau bukti berupa keterangan tulisan,
atau benda yang dapat memberikan petunjuk adanya dugaan kuat bahwa sedang atau telah
terjadi suatu tindak pidana dibidang perpajakan yang dilakukan oleh siapa saja yang dapat
menimbulkan kerugian padaa pendaptan negara.

3. Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mendapatkan


bukti permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana dibidang perpajakan.

4. Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atau
pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib
Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

5. Penelitian adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai kelengkapan


pengisian Surat Pemberitahuan dan lampiran-lampirannya, termasuk penilaiantentang
kebenaran penulisan dan perhitungannya.

43
D. TAHUN PAJAK
Pada umumnya tahun pajak sama dengan tahun takwim atau tahun kalender.akan tetapi
wajib pajak dapat menggunakan tahun pajak tidak sama dengan tahun takwim dengan
syarat konsisten ( taat asas ) selama 12 bulan,dan melapor atau memberitahukan kepada
kantor pelayan pajak pratama setempat.
Cara menentukan suatu tahun pajak sebagai berikut :
1.Tahun Pajak sama dengan tahun takwim
1 januari 2016

31 desember 2016
Pembukaan dimulai 1 Januari 2016 dan Berakhir 31 Desember 2016 disebut tahun pajak
2016.

2. Tahun Pajak tidak sama dengan Tahun Takwim

a. 1 Juli 2016

30 Juni 2017

Pembukuan dimulai 1 Juli 2016 dan berakhir 30 Juni 2017 .Disebut Tahun Pajak 2016
karena 6 Bulan pertama jatuh pada tahun 2016

b. 1 April 2016

31 Maret 2017
Pembukuan dimulai 1 April 2016 dan Berakhir 31Maret 2017. Disebut tahun pajak 2016
karena lebih dari 6 bulan jatuh pada tahun 2016.

E. NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak)

1. Pengertian NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak)


Nomor Pokok Wajib Pajak adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai
sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri
atau indentitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban.
Contoh Gambar NPWP Perusahaan

44
Contoh Gambar NPWP Perorangan

2. Fungsi NPWP
Fungsi NPWP sebagai berikut:
-Sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak.
-Untuk menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan dalam pengawasan administrasi
perpajakan.

3. Pencantuman NPWP
Dalam hal berhubungan dengan dokumen perpajakan, Wajib Pajak diwajibkan
mencantumkan Nomor Pokok Wajib Pajak yang dimilikinya.

4. Pendaftaran NPWP
Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektid dan objektif sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dibidang perpajakan wajib
mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi
tempat tinggal atau tempat kedudukan wajib pajak dan kepada wajib pajak diberikan
Nomor Pokok Wajib Pajak.
Yang dimaksud dengan “persyaratan subjektif” adalah persyaratan yang sesuai dengan
ketentuan mengenai subjek pajak delam Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan
perubahannya. “Persyaratan objektif’ adalah persyaratan bagi subjek pajak yang
menerima atau memperoleh penghasilan atau diwajibkan untuk melakukan
pemotongan/pemungutan sesuai dengan Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan
perubahannya.
Tempat pendaftaran dilakukan dikantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya
meliputi tempat tinggal dan kantor Direktorat Jenderal Pajak yang diwilayah kerjanya
meliputi tempat kegiatan usaha dilakukan, bagi wajib pajak orang pribadi pengusaha
tertentu.
Kewajiban mendaftarkan diri tersebut berlaku pula terhadap wanita kawin yang dikenai
pajak secara terpisah karena hidup terpisah berdasarkan keputusan hukum atau
dikehendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta.
Wanita kawin selain tersebut diatas dapat mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor
Pokok Wajib Pajak atas namanya sendiri agar wanita kawin terseebut dapat
melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan terpisah dari hak dan kewajiban
perpajakan suaminya.
Bagi wanita kawin yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan
ketentuan peraturan perundnag-undnagan dibidang perpajakan dan;
- Tidak hidup terpisah
- Tidak melakukan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta secara tertulis.
45
Hak dan kewajiban perpajakannya digabungkan dengan pelaksanaan hak dan pemenuhan
kewajiban perpajakan suaminya. Tetapi apabila ingin melaksanakan hak dan memenuhi
kewajiban perpajakan terpisah dari hak dan kewajiban perpajakan suami, harus
mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak.
Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak dalam
kedudukannya sebagai subjek pajak menggunakan Nomor Pokok Wajib Pajak dari orang
pribadi yang meninggalkan warisan tersebut dan diwakili oleh:
- Salah seorang ahli waris
- Pelaksana wasiat
- Pihak yang mengurus harta peninggalan.
Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan apabila
wajib pajak yang memenuhi persyaratan subjektif dan objektif tidak mendaftarkan diri
untuk mendapatkan NPWP. Kewajiban perpajakan bagi wajib pajak yang diterbitkan
Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan dimulai sejak saat wajib pajak memenuhi
persyaratan subjektif dan objektif susai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan, paling lama 5 (lima) tahun sebelum diterbitkannya Nomor Pokok Wajib
Pajak.
Kewajiban mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP dibatasi batas waktunya karena
hal ini berkaitan dengan saat pajak terutang dan kewajiban mengenakan pajak terutang.
Jangka waktu pendaftaran NPWP adalah:
- Bagi wajib pajak orang pribadi yang menjalakan usaha ataupun pekerjaan bebas dan
wajib pajak badan, wajib mendaftarkan diri paling lambat 1 (satu) bulan setelah saat
usaha mulai dijalankan.
- Wajib pajak orang pribadi yang tidak menjalankan suatu usaha atau tidak melakukan
pekerjaan bebas apabila jumlah penghasilannya sampai dengan suatu bulan yang
disetahunkan telah melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak, wajib mendaftarkan diri
paling lama pada akhir bulan berikutnya.
Terhadap Wajib Pajak yang tidak mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP akan
dikenakan sanksi perpajakan.
1. Sanksi
Setiap orang yang dengan sengaja tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor
Pokok Wajib Pajak atau menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak NPWP,
sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara pidana dengan
pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan
denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang
dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau
kurang dibayar.
Pidana tersebut ditambahkan 1 (satu) kali menajdi 2 (dua) kali sanksi pidana apabila
seseorang melakukan lagi tindak pidana dibidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu)
tahun, terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan.
Setiap orang yang melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana
menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak NPWP dalam rangka mengajukan
permohonan restitusi atau melakukan kompensasi pajak atau pengkreditan pajak,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 2
(dua) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah resitusi yang dimohonkan

46
dana tau kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan dan paling banyak 4 (empat)
kali jumlah resitusi yang dimohonkan dan atau kompensasi atau pengkreditan yang
dilakukan.

2. Penghapusan NPWP
Penghapusan NPWP adalah tindakan penghapusan NPWP dari administrasi Kantor
Pelayanan Pajak. Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dilakukan oleh Direktur
Jenderal Pajak apabila;
- Wajib pajak sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan atau objektif
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
- Wajib pajak badan dalam rangka likuidasi atau pembubaran karena penghentian
atau penggabungan usaha.
- Wanita yang sbelumnya telah memiliki NPWP dan menikah tanpa membuat
perjanjian pemisahan harta dan penghasilan.
- Wajib pajak bentuk usaha tetap menghentikan kegiatan usahanya di Indonesia.
- Dianggap perlu oleh Direktur Jenderal Pajak untuk menghapus NPWP dari
wajib pajak yang sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan objektif
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan.
Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan atau vertifikasi harus
memberikan keputusan atas permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak
dalam jangka waktu 6 (enam) bulan untuk wajib pajak orang pribadi atau 12
(duabelas) bulan untuk wajib pajak badan, sejak tanggal permohonan diterima
secara lengkap. Apabila jangka waktu sebagimana dimaksud telah lewat dan
Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, permohonan penghapusan
NPWP dianggap dikabulkan,

5. Format NPWP
NPWP terdiri dari 15 digit, yaitu 9 (sembilan) digit pertama merupakan Kode Wajib Pajak
dan 6 (enam) digit berikutnya merupakan Kode Administrasi Perpajakan. Formatnya adalah
sebagai berikut: XX. XXX. XXX. X-XXX. XXX

F. PPKP (Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak)


Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun yang dalam usaha atau
pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha
perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar daerah pabean, melakukan usaha
jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar daerah pabean.
Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena
Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang
Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya.

Setiap wajib pajak sebagai pengusaha yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai bersadarkan
Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan penambahan wajib melaporkan usahanya
untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

Pengusaha kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pajak Penambahan Nilai 1984
yang:
47
- Memilih sebagai pengusaha kena pajak
- Tidak memilih sebagai pengusaha kena pajak, tidak sampai dengan suatu bulan dalam suatu
tahun buku jumlah nilai peredaran bruto atas penyerah Barang Kena Pajak atau Jasa Kena
Pajak telah melampaui batasan yang ditentukan sebagai pengusaha kecil. Wajib melaporkan
usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak yang paling lama akhir bulan
berikutnya.
Kewajiban melaporkan untuk dikukuhkan Pengusaha Kena Pajak dilakukan sebelum
melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak. Terhadap pengusaha
yang telah memenuhi syarat sebagai PKP, tetapi tidak melaporkan usahanya untuk dilakukan
sebagai PKP akan dikukuhkan sebagai PKP secara jabatan dan dikenakan sanksi perpajakan.
1. Fungsi Pengukuhan PKP
Fungsi pengukuhan PKP sebagai berikut:
- Sebagai identitas PKP yang bersangkutan.
- Melaksanakan hak dan kewajiban dibidang Pajak Pertambahan NIlai dan Pajak Penjualan
Atas Barang Mewah.
- Pengawasan administrasi perpajakan.

2. Tempat Pengukuhan PKP


Wajib pajak yang memiliki ketentuan sebagai PKP wajib melaporkan usahanyauntuk
dikukuhkan sebagai PKP pada:
- Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan
yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan, dan tempat kegiatan
usaha wajib pajak.
- Kantor Pelayanan Pajak tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
dibidang perpajakan.
Dalam hal tempat tinggal atau tempat kedudukan, dan atau tempat kegiatan usaha wajib pajak
berada dalam 2 (dua) atau lebih wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak, Direktur Jenderal Pajak
dapat menetapkan Kantor Pelayanan Pajak tempat wajib pajak terdaftar.
3. Pencabutan Pengukuhan PKP
Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan wajib pajak dapat melakukan
pencabutan pengukuhan pengusaha kena pajak, pencabutan pengukuhan pengusaha kena
pajak dapat dilakukan dalam hal:
- PKP pindah alamat ke wilayah kerja kantor pelayanan pajak lain.
- Sudah tidak memenuhi persyaratan sebagai PKP termasuk PKP yang jumlah peredaran dan
atau penerima bruto untuk suatu tahun buku tidak melebihi batas jumlah peredaran dan atau
penerima bruto untuk pengusaha kecil.
- PKP telah dipusatkan ditempat terutangnya pajak pertambahan nilai di tempat lain.
- PKP menyalahkan pengukuhan PKP.
Atas permohonan wajib pajak untuk melakukan pencabutan pengukuhan pengusaha kena
pajak, Direktur jenderal pajak setelah melakukan pemeriksaan atau veritifikasi harus
memberikan keputusan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal permohonan diterima
secara lengkap. Apabila jangka waktu tersebut telah lewat, Direktur Jenderal Pajak tidak
memberi suatu keputusan, maha permohonan pencabutan pengukuhan pengusaha kena pajak
dianggap dikabulkan dan surat keputusan mengenai pencabutan pengukuhan pengusaha kena
pajak harus diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan setelah jangka waktu 6
(enam) bulan terakhir.

48
4. Sanksi
Setiap orang yang dengan sengaja tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak atau menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak
pengukuhan pengusaha kena pajak, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan
negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6
(enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau
kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau
kurang bayar.
Pidana tersebut ditambahkan 1 (satu) kali menajdi 2 (dua) kali sanksi pidana apabila
seseorang melakukan lagi tindak pidana dibidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun,
terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan.
Setiap orang yang melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana
menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Pengukuhan Kena Pajak dalam rangka
mengajukan permohonan resitusi atau melakukan kompensasi pajak atau pengkreditan
pajak, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 2
(dua) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah resitusi yang dimohonkan dan atau
kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan daan paling banyak 4 (empat) kali jumlah
resitusi yang dimohonkan dan atau kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan.

G. SPT, SSP dan Pembayaran Pajak

A. SPT (Surat Pemberitahuan Tahunan)


1. Pengertian SPT
Suat Pemberitahuan (SPT) adalah surat yang oleh wajib pajak digunakan untuk
melaporkan perhitungan dan atau pembayaran pajak,objek pajak,dan atau bukan objek
pajak,dan atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan.

2. Fungsi SPT
Fungsi surat pemberitahuan bagi wajib pajak , pajak penghasilan sebagai sarana untuk
melaporkan dan mempertanggung jawabkan perhitungan jumlah pajak yang sebenarnya
terutang dan untuk melaporkan tentang :
 Pembayaran/pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiridan atau melalui
pemotongan/pemungutan pihak lain dalam 1 tahun pajak/bagian tahun pajak.
 Penghasilan yang merupakan objek pajak dan atau bukan objek pajak.
 Harta dan kewajiban dan atau,
 Pembayaran dari pemotongan/pungutan tentang pemotongan/pemungutan pajak
orang pribadi/badan lain dalam 1 masa pajak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-perundangan perpajakan.

Bagi Pengusaha Kena Pajak, fungsi SPT adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan
mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang:
 Pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran dan,
 Pembayaran/pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri oleh Pengusaha Kena
Pajak dan atau melalui pihak lain dalam satu masa pajak, sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.

49
Bagi Pemotong/Pemungut Pajak, fungsi Surat Pemberitahuan adalah sebagai sarana
melaporkan dan mempertanggungjawabkan pajak yang dipotong/dipungut dan
disetorkan.

Sedangkan yang dimaksud dengan istilah benar, lengkap dan jelas dalam mengisi SPT
adalah :
 Benar yaitu benar dalam perhitungan, termasuk benar dalam penerapan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan, dalam penulisan dan sesuai dengan
keadaan yang sebenarnya.
 Lengkap yaitu memuat semua unsur-unsur yang berkaitan dengan objek pajak dan
unsur-unsur lain yang harus dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan dan.
 Jelas yaitu melaporkan asal-usul atau sumber dari objek pajak dan unsur-unsur lain
yang harus dilaporkan dalama SPT.

3. Jenis Dan Bentuk SPT


Jenis SPT sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
181/PMK.03/2007 meliputi:
a. SPT Tahunan Pajak Penghasilan, yaitu SPT untuk suatu tahun pajak/bagian tahun
pajak.
b. SPT Masa, yaitu SPT untuk suatu masa pajak yang terdiri atas :
 SPT Masa Pajak Penghasilan.
 SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai.
 SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai bagi pemungut Pajak Pertambahan Nilai.

Dari jenis SPT baik SPT Tahunan maupun SPT Masa berbentuk:
a. Formulir kertas (hardcopy)
b. e-SPT yaitu data SPT Wajib Pajak dalam bentuk elektronik yang dibuat oleh Wajib
Pajak dengan menggunakan aplikasi e-SPT yang disediakan Direktorat Jenderal
Pajak.

4. Isi Surat Pemberitahuan


A. SPT Tahunan
Suatu SPT terdiri dari SPT induk dan lampirannya sebagai suatu kesatuan yang tidak
terpisahkan. Untuk data dasar (formal) SPT paling sedikit memuat :
- Nama Wajib Pajak, NPWP dan alamat Wajib Pajak.
- Masa pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak yang bersangkutan.
- Tanda tangan Wajib Pajak atau kuasa Wajib Pajak.

Disamping data dasar (data formal) juga terdapat/memuat data materiil mengenai :
- Jumlah peredaran usaha.
- Jumlah penghasilan, termasuk penghasilan yang bukan merupakan objek pajak.
- Jumlah penghasilan kena pajak.
- Jumlah pajak yang terutang.
- Jumlah kredit pajak.
- Jumlah kekurangan atau kelebihan pajak.
- Jumlah harta dan kewajiban.
- Tanggal pembayaran Pajak Penghasilan (Pasal 29).
- Data lainnya yang terkait dengan kegiatan usaha Wajib Pajak.

50
B. SPT Masa
Dalam SPT Masa disamping data dasar berisi pula data materiil untuk SPT Masa Pajak
Penghasilan meliputi :
- Jumlah objek pajak, jumlah pajak yang terutang dan atau jumlah pajak dibayar.
- Tanggal pembayaran/penyetoran.
- Data lainnya yang terkait dengan kegiatan usaha Wajib Pajak.

Sedangkan untuk SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai dipisahkan dengan SPT Masa
Pajak Pertambahan Nilai bagi pemungutan Pajak Pertambahan Nilai sebagai berikut :
1. SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai meliputi :
 Jumlah penyerahan.
 Jumlah Pajak Keluaran.
 Jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan.
 Jumalah kekurangan atau kelebihan pajak.
 Tanggal penyetoran.
 Data lainnya yang terkait dengan kegiatan usaha Wajib Pajak.

2. SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai bagi pemungut PPN memuat :


 Jumlah dasar pengenaan pajak.
 Jumlah pajak yang dipungut.
 Jumlah pajak yang disetor.
 Tanggal pemungutan.
 Tanggal penyetoran.
 Data lainnya yang terkait dengan kegiatan usaha Wajib Pajak.

1. Penyampaian SPT
Terhadap SPT yang telah diisi selanjutnya Wajib Pajak menyampaikan SPT tersebut ke
Kantor Pelayanan Pajak atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak,
dapat dilakukan :
a. Secara langsung.
b. Melalui pos dengan bukti pengiriman surat
c. Cara lain.

Penyampaian SPT cara lain ini dilakukan :


a. Melalui perusahaan jasa ekspedisi / jasa kurir (perusahaan yang berbentuk badan
hukum yang memberikan jasa pengiriman surat jenis tertentu termasuk pengiriman
SPT ke Direktorat Jenderal Pajak) dengan bukti pengiriman surat.
b. e-Filling melalui ASP (application service provider).
c. ASP atau penyedia jasa aplikasi ini sebagai perusahaan penyedia jasa aplikasi yang
telah ditunjuk dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak sebagai perusahaan yang
dapat menyalurkan penyampaian SPT atau pemberitahuan perpajakan SPT Tahunan
secara elektronik ke Direktorat Jenderal Pajak.

2. Batas Waktu Penyampai Surat Pemberitahuan


Sesuai Pasal 3 Ayat (3) Undang-Undangan Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan yang diikuti dengan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 80/PMK.03/2010 Tanggal 5 April 2010 Tanggal 5 April 2010, batas waktu
penyampaian SPT diatur :
a. Untuk SPT Masa, paling lambat 20 hari setelah akhir masa pajak.
51
b. Untuk SPT Tahunan, paling lambat 3 bulan setelah akhir tahun pajak.

3. Perpajangan Jangka Waktu Penyampaian SPT


Wajib Pajak dapat memperpanjang waktu penyampaian SPT Tahunan sebagimana
dimaksud untuk paling lama 2 (dua) bulan sejak batas waktu penyampaian SPT Tahunan
dengan cara menyampaikan pemberitahuan perpanjangan SPT Tahunan.

Pemberitahuan perpanjangan SPT Tahunan dibuat secara tertulis dan disampaikan ke


Kantor Pelayanan Pajak, sebelum batas waktu penyampaian SPT Tahunan berakhir
dengan dilampiri :
 Perhitungan sementara pajak terhutang dalam satu tahun pajak yang batas waktu
penyampaiannya diperpanjang.
 Laporan keuangan sementara.
 Surat setoran pajak sebagai bukti pelunasan kekurangan pembayaran pajak yang
terutang.
Pemberitahuan perpanjangan SPT Tahunan wajib ditandatangai oleh wajib pajak atau
kuasa wajib pajak. Dalam hal pemberitahuan perpanjangan SPT Tahunan ditandatangani
oleh kuasa wajib pajak, pemberitahuan SPT Tahunan harus dilampiri dengan surat kuasa
khusus.
Pemberitahuan perpanjangan SPT Tahunan dapat disampaikan ;
a. Secara langsung.
b. Melalui pos dengan bukti pengiriman surat
c. Dengan cara lain, yang meliputi :

Batas Waktu
Jenis
No Pembayaran/Penyetoran/
Pemotongan/Pemungutan
Pelusanan
Harus disetor paling lambat tanggal
PPh Pasal 4 ayat (2) yang 10 bulan berikutnya setelah masa
1.
dipotong oleh pemotong PPh. pajak berakhir kecuali ditetapkan lain
oleh Materi Keuangan.
Harus dibayar paling lambat tanggal
PPh Pasal 4 ayat (2) yang
15 bulan berikut setelah masa pajak
2. harus dibayar sendiri oleh
berakhir kecuali ditetapkan lain oleh
Wajib Pajak.
Materi Keuangan.
Harus disetor paling lambat tanggal
PPh Pasal 15 yang dipotong
3. 10 bulan berikutnya setelah masa
oleh pemotong PPh.
pajak berakhir.
PPh Pasal 15 yang harus Harus disetor paling lambat tanggal
4. dibayar sendiri oleh Wajib 15 bulan berikutnya setelah masa
Pajak. pajak berakhir.
Harus disetor paling lambat tanggal
PPh Pasal 21 yang dipotong
5. 10 bulan berikutnya setelah masa
oleh pemotong PPh.
pajak berakhir.
PPh Pasal 23 dan PPh Pasal Harus disetor paling lambat tanggal
6. 26 yang dipotong oleh 10 bulan berikutnya setelah masa
pemotong PPh. pajak berakhir.
52
Harus dibayar paling lambat tanggal
7. PPh Pasal 25 15 bulan berikutnya setelah masa
pajak berakhir.
Harus dilunasi bersamaan dengan
saat pembayaran Bea Masuk dan
dalam hal Bea Masuk
PPh Pasal 22, PPN atau PPn ditunda/dibebankan, PPh Pasal 22,
8.
dan PPnBM atas Impor PPN/PPN dan PPnBM atas impor
harus dilunasi pada saat penyelesaian
dokumen pemberitahuan pabean
impor.
PPh Pasal 22, PPN atau
Harus disetor dalam jangka waktu 1
PPnBM atas Impor yang
9. hari kerja setelah dilakukan
dipungut oleh Direktorat
pemungutan pajak.
Jenderal Bea Cukai.
Harus disetor pada hari yang sama
dengan pelaksanaan pembayaran atas
penyerahan barangyang dibiayai dari
PPh Pasal 22 yang dipungut
10. hari belanja negara/belanja daerah,
oleh Bendahara
dengan menggunakan Surat Setoran
Pajak atas nama rekanan dan
ditandatangani oleh bendahara.
PPh Pasal 22 atas penyerahan
bahan bakar minyak, gas dan
pelumas kepada
Harus disetor paling lambat tanggal
penyalur/agen/industri yang
11. 10 bulan berikutnya setelah masa
dipungut oleh Wajib Pajak
pajak berakhir.
Bdan yang bergerak dalam
bidang produksi bahan bakar
minyak, gas dan pelumas
PPh Pasal 22 yang
pemungutannya dilakukan Harus disetor paling lambat tanggal
12. oleh Wajib Pajak Badan 10 bulan berikutnya setelah masa
tertentu sebagai pemungut pajak berakhir.
pajak.
PPN yang terutang atas
kegiatan membangun sendiri
Harus disetor paling lambat tanggal
harus disetor oleh orang
13. 15 bulan berikutnya setelah masa
pribadi atau badan yang
pajak berakhir.
melakukan kegiatan
membangun sendiri.
PPN yang terutang atas
pemanfaatan Barang Kena
Pajak tidak berwujud dan
Harus disetor paling lambat tanggal
atau Jasa Kena Pajak dari luar
14. 15 bulan berikutnya setelah masa
Daerah Pabean harus disetor
pajak berakhir.
oleh orang pribadi atau badan
yang memanfaatkan
barang/jasa tersebut.
53
PPN atau PPN dan PPnBM
yang pemungutannya Harus disetor paling lambat tanggal 7
15. dilakukan oleh Bendahara bulan berikutnya setelah masa pajak
Pengeluaran sebagai berakhir.
pemungut PPN
PPN atau PPN dan PPnBM Harus disetor pada hari yang sama
yang pemungutannya dengan pelaksanaan pembayaran
dilakukan oleh pejabat kepada Pengusaha Kena Pajak
16.
penandatangan Surat Rekanan Pemerintah melalui Kantor
Perintah Membayar sebagai Pelayanan Perbendaharaan Negara
Pemungut PPN. (KPPN).
PPN dan PPnBM yang
pemungutannya dilakukan Harus disetor paling lambat tanggal
17. oleh pemungut PPN selain 15 bulan berikutnya setelah masa
Bendahara Pemerintah yang pajak berakhir.
ditunjuk.
PPh Pasal 25 bagi Wajib
Pajak dengan kriteria tertentu
(Pasal 3 ayat (3b) UU KUP) Harus dibayar paling lama pada akhir
18.
yg melaporkan bebrapa masa masa pajak terakhir.
pajak dalam satu Surat
Pemeberitahuan Masa
Pembayaran masa selainPPh
Pasal 25 bagi Wajib Pajak
dengan kriteria tertentu (pasal Harus dibayar paling lama sesuai
19. 3 ayat (3b) UU KUP) yang dengan batas waktu untuk masing-
melaporkan beberapa masa masing jenis pajak.
pajak dalam satu Surat
Pemberitahuan Masa
 Melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan buti pengiriman surat
 Saluran tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak sesuai dengan
perkembangan teknologi informasi.
Pemberitahuan perpanjangan SPT Tahunan yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dianggap bukan merupakan pemberitahuan perpanjang SPT Tahunan.

A. SSP (Surat Setoran Pajak) dan Pembayaran Pajak


1. Pengertian SSP
Surat setoran pajak adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah
dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke
kas negara melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh menteri keuangan.

2. Fungsi SSP
SSP berfungsi sebagai bukti pembayaran pajak apabila telah disahkan oleh pejabat
kantor penerima pembayaran yang berwenang atau apabila telah mendapatkan
validasi.

54
3. Tempat Pembayaran dan Penyetoran Pajak
a. Bank ditunjuk oleh menteri keuangan.
b. Kantor pos

4. Jangka Waktu Pembayaran atau Penyetoran Pajak


Batas waktu pembayaran/penyetoran pajak diatur dengan mengacu pada Peraturan
menteri keuangan Nomor 80/PMK.03/2010 Tanggal 5 April 2010 yang berlaku per
1 April 2010 sebagai penyempurnaan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
184/PMK.03/2007 sebagai mana tercantum dalam sebuah bagan.

5. Tata cara menunda atau mengangsur pembayaran ayas ketetapan pajak


Wajib pajak dapat mengajukan permohonan secara tertulis untuk mengangsur
atau menunda pembayaran pajak yang masih harus dibayar dalam surat tagihan
pajak,surat ketetapan pajak kurang bayar,surat ketetapan pajak kurang bayar
tambahan,dan surat keputusan pembetulan,surat keputusan keberatan,putusan
banding,serta putusan peninjauan kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang
terutang bertambah,serta pajak penghasilan pasal 29 kepada direktur jendral pajak.
Permohonan harus diajukan paling lama 9(Sembilan) hari kerja sebelum jatuh
tempo pembayaran utang pajak berakhir disertai dengan alasan dan bukti yang
mendukung permohonan.wajib pajak yang mengajukan permohonan pengangsuran
atau penundaan pembayaran pajak harus memberikan jaminan yang dapat berupa
garansi bank,surat / dokumen bukti kepemilikan barang bergerak.penaggungan
utang oleh pihak ketiga,sertifikat tanah,atau sertifikat deposito.
Wajib pajak yang mengajukan permohonan penggangsuran pembayaran pajak
setelah melampaui batas waktu harus memberikan jaminan berupa garansi bank
sebesar hutang pajak yang dapat dicairkan sesuai dengan jangka waktu
penggangsuran.
Direktur jendral pajak menerbitkan surat keputusan atas permohonan tersebut
berupa menerima seluruhnya, menerima sebagian , atau menolak. Surat keputusan
diterbitkan paling lama 7 (Tujuh) hari kerja stelah tanggal diterimanya
permohonan. Apabila jangka waktu 7 (Tujuh) Hari kerja telah terlampaui dan
direkur jendral pajak tidak menerbitkan suatu keputusan,permohonan disetujui
sesuai dengan permohonan wajib pajak dan keputusan persetujuan penggangsuran
pembayaran pajak atau keputusan persetujuan penundaan pembayaran pajak harus
diterbitkan paling lama 5 ( Lima ) hari kerja setelah jangka waktu 7 (Tujuh) hari
kerja tersebut berakhir.

2 SKP (Surat Ketetapan Pajak)


1. Pengertian SKP
Surat ketetapan pajak adalah surat ketetapan yang meliputi surat ketetapan pajak
kurang bayar, surat ketetapan pajak kurang bayar tambahan, surat ketetapan pajak
nihil,atau surat ketetapan pajak lebih bayar.

2. Fungsi Ketetapan Pajak


Beberapa fungsi ketetapan pajak, meliputi ;
- Koreksi atas jumlah pajak yang terhutang menurut SPT wajib pajak.
- Sarana untuk mengenakan sanksi.
- Sarana untuk menagih pajak.
- Sarana untuk mengembalikan kelebihan pajak dalam hal lebih bayar.
55
- Sarana untuk memberitahukan jumlah pajak terhutang.

3. Jenis Ketetapan Pajak


Dibawah ini merupakan jenis ketetapan pajak, adalah sebagai berikut ;
- Surat Tagihan Pajak (STP) adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan atau
sanksi administrasi berupa bunga atau benda.
- Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) adalah surat ketetapan pajak
yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah
kekurangan pembayaran pokok pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok
pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah pajak yang masih harus
dibayar.
- Surat Ketetepan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) adaalah ketetpan
pajak yang menentukan tambahan atau jumlah pajak yang telah ditetapkan.
- Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) adalah surat ketetepan pajak yang
menentukan pajak kelebihan pembayaran pajak yang menentukan jumlah
kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar dari pada
pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
- Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) adalah surat ketetapan pajak yang
menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak
atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
- Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) adalah surat keputusan kepala
kantor pelayan pajak bumi dan bangunan mengenai pajak terutang yang harus
dibayar dengan satu tahun pajak. SPPT diterbitkan berdasarkan SPOP
pelunsannya paling lambat 6 (enam) bulan sejak diterimanya SPPT oleh wajib
pajak, jika terlambat dikenakan sanksi 2% per-bulan maksimal 24 bulan.

56
BAB V

PEMBAHASAN
PAJAK NEGARA DAN PAJAK DAERAH

1. Pajak Negara Dan Pajak Daerah


Pengenaan pajak di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi 2 bagian, yaitu Pajak Negara
dan Pajak Daerah.
 Pajak Negara
Pajak negara merupakan pajak yang dipungut pemerintah pusat melalui instansi terkait,
seperti: Dirjen Pajak, Dirjen Bea dan Cukai, maupun kantor inspeksi pajak yang
tersebar di seluruh Indonesia.
Pajak Negara yang sampai saat ini masih berlaku adalah :
1) Pajak Penghasilan (PPh)
Dasar hukum pengenaan Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang No.7 Tahun
1984 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang No.36 Tahun
2008. Undang-Undang Pajak Penghasilan berlaku mulai tahun 1984 dan
merupakan pengganti UU Pajak Perseroan 1925, UU Pajak Pendapatan 1944, UU
PBDR 1970.
2) Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Dasar hukum pengenaan PPN adalah Undang-Undang No.8 Tahun 1983
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang No.42 Tahun 2009.
Undang-Undang PPN efektif mulai berlaku sejak tanggal 1 April 1985 dan
merupakan pengganti UU Pajak Penjualan 1951.
3) Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)
Dasar hukum pengenaan PPN adalah Undang-Undang No.8 Tahun 1983
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang No.42 Tahun 2009.
Undang-Undang PPN efektif mulai berlaku sejak tanggal 1 April 1985 dan
merupakan pengganti UU Pajak Penjualan 1951.
4) Bea Materai
Dasar hukum pengenaan Bea Materai adalah Undang-Undang No.13 tahun 1985.
Undang-Undang Bea Materai berlaku mulai tanggal 1 Januari 1986 menggantikan
peraturan dan Undang-Undang Bea Materai yang lama (Aturan Bea Materai 1921).

 Pajak Daerah
Pajak daerah merupakan pajak yang dipungut pemerintah daerah dan terbatas hanya
pada rakyat daerah itu sendiri, baik yang dipungut Pemda Tingkat II maupun Pemda
Tingkat I.
Dasar hukum pemungutan Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah adalah Undang-undang
No.28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah.
Beberapa pengertian atau istilah yang terkait dengan pajak daerah antara lain :
1) Daerah Otonom
Selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai
batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan
dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

57
2) Pajak Daerah
Yang selanjutnya disebut pajak, adalah kontribusi wajib kepada daerah yang
tertuang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan
Undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan
digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
3) Badan
Adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang
melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan
terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, BUMN, BUMD, dengan nama
dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, yayasan dan
bentuk badan lainnya.
4) Subjek Pajak
Adalah orang pribadi atau badan yang dapat dikenakan Pajak.
5) Wajib Pajak
Adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan
pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.

2. Jenis Pajak dan Objek Pajak Daerah


Pajak Daerah dibagi menjadi 2 bagian :
 Pajak Provinsi, terdiri dari :
1) Pajak Kendaraan Bermotor
2) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
3) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
4) Pajak Air Permukaan dan
5) Pajak Rokok.
 Pajak Kabupaten / Kota, terdiri dari :
1) Pajak Hotel
2) Pajak Restoran
3) Pajak Hiburan
4) Pajak Reklame
5) Pajak Penerangan Jalan
6) Pajak Mineral Bukan Logam Dan Batuan
7) Pajak Parkir
8) Pajak Air Tanah
9) Pajak Sarang Burung Walet
10) Pajak Bumi Dan Bangunan Perdesaan Dan Perkotaan
11) Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan
Khusus untuk daerah yang setingkat dengan daerah provinsi, tetapi tidak terbagi dalam
daerah kabupaten / kota otonom, seperti DKI Jakarta, jenis pajak yang dapat dipungut
merupakan gabungan dari pajak untuk daerah provinsi dan pajak untuk daerah
kabupaten / kota.
3. Tarif Pajak
Tarif untuk setiap jenis pajak adalah :
1) Tarif Pajak Kendaraan Bermotor pribadi ditetapkan sebagai berikut :
a. Untuk kepemilikan kendaraan bermotor pertama paling rendah sebesar 1 % dan
paling besar 2 %.

58
b. Untuk kepemilikan kendaraan bermotor kedua dan seterusnya tarif dapat
ditetapkan secara progresif paling rendah sebesar 2 % dan paling tinggi sebesar
10 %.
2) Tarif Pajak Kendaraan Bermotor angkutan umum, ambulans, pemadam
kebakaran,sosial keagamaan, lembaga sosial dan keagamaan,
Pemerintah/TNI/POLRI, Pemerintah Daerah, dan kendaraan lain yang ditetapkan
dengan Peraturan daerah, ditetapkan paling rendah sebesar 0,5 % dan paling tinggi
sebesar 1 %.
3) Tarif Pajak Kendaraan Bermotor alat alat berat dan alat – alat besar ditetapkan
paling rendah sebesar 0,1% dan paling tinggi sebesar 0,2%.
4) Tarif Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor ditetapkan paling tinggi masing-masing
sebagai berikut :
a. Penyerahan pertama sebesar 20 %
b. Penyerahan kedua dan seterusnya sebesar 1 %.
5) Khusus untuk Kendaraan Bermotor alat-alat berat dan alat-alat besar yang tidak
menggunakan jalan umum tarif pajak ditetapkan paling tinggi masing – masing
sebagai berikut :
a. Penyerahan pertama sebesar 0,75 %
b. Penyerahan kedua dan seterusnya sebesar 0,075 %.
6) Tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor ditetapkan paling tinggi sebesar 10%.
Khusus tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor untuk bahan bakar kendaraan
umum dapat ditetapkan paling sedikit 50% lebih rendah dari tarif Pajak Bahan Bakar
Kendaraan Bermotor untuk kendaraan pribadi.
7) Tarif Pajak Air Permukaan ditetapkan paling tinggi sebesar 10%.
8) Tarif Pajak Rokok ditetapkan sebesar 10% dari cukai rokok.
9) Tarif Pajak Hotel ditetapkan paling tinggi sebesar 10%.
10) Tarif Pajak Restoran ditetapkan paling tinggi sebesar 10%.
11) Tarif Pajak Hiburan ditetapkan paling tinggi sebesar 35%.
12) Tarif Pajak Rekalame ditetapkan paling tinggi sebesar 25%.
13) Tarif Pajak Penerangan Jalan ditetapkan paling tinggi sebesar 10%.
14) Tarif Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan ditetapkan paling tinggi sebesar 25%.
15) Tarif Pajak Parkir ditetapkan paling tinggi sebesar 30%.
16) Tarif Pajak Air Tanah ditetapkan paling tinggi sebesar 20%.
17) Tarif Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan paling tinggi sebesar 10%.
18) Tarif Pajak Bumi dan Bangunan ditetapkan paling tinggi sebesar 0,3%.
19) Tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ditetapkan paling
tinggi sebesar 5%.

4. Tata Cara Pemungutan Pajak


Pemungutan Pajak dilarang diborongkan. Setiap Wajib Pajak wajib membayar
Pajak yang terutang berdasarkan surat ketetapan pajak atau dibayar sendiri oleh Wajib
Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan. Wajib Pajak yang
memenuhi kewajiban perpajakan berdasarkan penetapan Kepala Daerah dibayar dengan
menggunakan Surat ketetapan Pajak Daerah (SKPD) atau dokumen lain yang
dipersamakan berupa karcis dan nota perhitungan.
Wajib Pajak yang memenuhi kewajiban perpajakan sendiri dibayar dengan
menggunakan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah (SPTPD), Surat Daerah urang Bayar
(SPDKB), dan/atau Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan
(SKPDKBT).

59
5. Retribusi Daerah
Definisi atau pengertian retribusi daerah adalah iuran yang dibayarkan oleh
rakyat kepada daerah yang dapat dipaksakan yang mendapat prestasi kembalinya secara
langsung, misalnya retribusi perizinan tertentu, yang penerapannya berlaku umum. Dari
pengertian retribusi daerah unsur paksanya bersifat ekonomis sehingga pada hakikatnya
diserahkan kepada pihak yang berkepentingan untuk membayar retribusi perzinan
tertentu, agar orang tersebut dapat memperoleh izin yang diperlukan (Handbook Modul
Pendapatan Daerah:2013).
Beberapa pengertian istilah yang terkait denga retribusi daerah, antara lain:
1) Retribusi Daerah
Sesuai ketentuan umum dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah menyatakan bahwa retribusi daerah adalah pungutan
daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus
disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang
pribadi atau Badan
2) Jasa
Jasa adalah kegiatan Pemerintah Daerah berupa usaha dan pelayanan yang
menyebabkan barang, fasilitas, atau kemanfaatan lainnya yang dapat dinikmati oleh
orang pribadi atau Badan.
3) Jasa Umum
Jasa Umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk
tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dinikmati oleh orang pribadi atau
badan.
4) Jasa Usaha
Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan oleh Pemerintah Daerah dengan menganut
prinsip-prinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor
swasta.
5) Perizinan Tertentu
Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka
pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan,
pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, serta
penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna
melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.

6. Objek, Subjek, dan Tata Cara Pemungutan Retribusi


 Objek Retribusi Daerah
1) Retribusi Jasa Umum
Retribusi yang dikenakan tas jasa umum digolongkan sebagai Retribusi Jasa Umum.
Objek Retribusi jasa Umum adalah pelayanan yang disediakan atau diberikan
Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat
dinikmati oleh orang pribadi atau Badan. Jenis Retribusi Jasa Umum adalah:
a. Retribusi Pelayanan Kesehatan
b. Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan
c. Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk dan Akta Catatan Sipil
d. Retribusi Pelayanan Pemakaman Pengabuan Mayat
e. Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum
f. Retribusi Pelayanan Pasar
g. Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor
h. Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran

60
i. Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta
j. Retribusi Penyediaan dan/atau Penyedotan Kakus
k. Retribusi Pengolahan Limbah Cair
l. Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang
m. Retribusi Pelayanan Pendidikan
n. Retribusi Pengendaliaan Menara Telekomunikasi

2) Retribusi Jasa Usaha


Retribusi yang dikenakan atas jasa usaha digolongkan sebagai Retribusi Jasa Usaha.
Objek Retribusi Jasa Usaha adalah pelayanan yang disediakan oleh Pemerintah
Daerah dengan menganut prinsip komersial yang meliputi:
a. Pelayan dengan menggunakan/memanfaatkan kekayaan Daerah yang belum
dimanfaatkan secara optimal.
b. Pelayanan oleh Pemerintah Daerah sepanjang belum disediakan secara memadai
oleh pihak swasta.
Jenis Retribusi Jasa Usaha adalah
a. Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah
b. Retribusi Pasar Grosir dan/atau Pertokoan
c. Retribusi Tempat Pelelangan
d. Retribusi Terminal
e. Retribusi Tempat Khusus Parkir
f. Retribusi Tempat Penginapan /Pesanggrahan/Villa
g. Retribusi Rumah Potong Hewan
h. Retribusi Pelayanan Kepelabuhanan
i. Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga
j. Retribusi Penyebrangan di Air
k. Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah

3) Retribusi Perizinan Tertentu


Retribusi yang dikenakan atau perizinan tertentu digolongkan sebagai Retribusi
Perizinan Tertentu. Objek Retribusi Perizinan tertentu adalah pelayanan perizinan
tertentu oleh Pemerintah Daerah kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan
untuk pengaturan dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan
sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi
kepentingan dan menjaga kelestarian lingkungan.
Jenis Retribusi Perizinan Tertentu adalah
a. Retribusi Izin Mendirikan Bangunan
b. Retribusi Izin Tempat Penjualan Beralkohol
c. Retribusi Izin Gangguuan
d. Retribusi Izin Trayek
e. Retribusi Izin Usaha Perikanan

 Subjek Retribusi Daerah


1) Retribusi Jasa Umum
Retribusi Jasa Umum adalah orang pribadi atau badan yang mnggunakan
menikmati pelayanan jasa umum yang bersangkutan.
2) Retribusi Jasa Usaha
Retribusi Jasa Usaha adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan
menikmati pelayanan jasa usaha yang bersangkutan.

61
3) Retribusi Perizinan Tertentu
Retribusi Perizinan Daerah adalah orang pribadi atau badan yang memeproleh
izin tertentu dari Pemerintah Daerah.

 Tata Cara Pemungutan Retribusi Daerah


Retribusi dipungut dengan menggunakan Surat Ketetapan Retribusi Daerah (SKRD)
atau dokumen lain yang dipersamakan berupa Karcis, kupon, dan kartu langganan.
Dalam hal Wajib Retribusi tertentu tidak membayar tepat pada waktunya atau kurang
membayar, dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% setiap bulan dari
Retribusi yang terutang yang tidak atau kurang dibayar dan ditagih dengan
menggunakan Surat Retribusi Daerah (STRD). Penagihan Retribusi terutang
sebagaimana didahului dengan Surat Teguran. Tata cara pelaksanaan pemungutan
Retribusi ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah.

7. Daluwarsa Retribusi
Hak untuk melakukan penagihan Retribusi menjadi kedaluwarsa setelah melampui waktu
3 tahun terhitung sejak saat terutangnya Retribusi, kecuali jika Wajib Retribusi
melakukan tindak pidana di bidang retribusi.

62
BAB VI
PEMBAHASAN
PAJAK PENGHASILAN UMUM

1. Pengertian Wajib Pajak, Subjek dan Objek Pajak


A. Wajib Pajak
1. Pengertian Wajib Pajak adalah orang pribadi ataupun badan yang berdasarkan
ketentuan perundang undangan perpajakan untuk menjalankan kewajiban
perpajakan termasuk didalamnya pemungut pajak atau pemotongg pajak tertentu
Berdasarkan Pengertian diatas, Wajib Pajak terdiri atas :
a. Wajib Pajak (WP) Orang Pribadi
b. Wajib Pajak (WP) Badan
c. Wajib Pajak (WP Bendahara yang sebagai pemungut serta pemotong Pajak
Dan berdasar pada tempat terdaftarnya, Wajib Pajak terdiri atas :
a. Wajib Pajak (WP) Domisili atau tunggal
b. Wajib Pajak (WP) Pusat
c. Wajib Pajak (WP) Cabang serta WP orang pribadi tertentu
Wajib Pajak memiliki kewajiban untuk mendaftarken diri, melakukan sendiri
perhitungan pembayaran serta pelaporan pajak yang terutang sesuai denagn sistem
self assessment.
B. Subjek Pajak
1. Pengertian Subjek Pajak
Subjek pajak adalah istilah dalam peraturan perundang-undangan perpajakan untuk
perorangan (pribadi) atau organisasi (kelompok) berdasarkan peraturan perundang-
undangan perpajakan yang berlaku. Seseorang atau suatu badan merupakan subjek
pajak, tapi bukan berarti orang atau badan itu punya kewajiban pajak. Kalau dalam
peraturan perundang-undangan perpajakan tertentu seseorang atau suatu badan
dianggap subjek pajak dan mempunyai atau memperoleh objek pajak, maka orang
atau badan itu jadi punya kewajiban pajak dan disebut wajib pajak.
a. Subjek Pajak Penghasilan
Pph merupakan termasuk pajak subyektif yakni pajak dikenakan karena ada,
yakni mematuhi criteria yang ditetapkan dalam peraturan perpajakan. Dalam
Undang-undang nomor 17 tahun 2000 mengenai perubahan atas undang-undang
nomor 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan, subjek pajak terdiri dari tiga
jenis, yaitu orang pribadi, badan, dan warisan. Subjek pajak juga digolongkan
menjadi subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri.
Yang dimaksud dengan Subjek Pajak dalam negeri adalah salah satu di bawah
ini :
1. Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia;
2. Orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh
tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang
dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk
bertempat tinggal di Indonesia;
3. Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia;
4. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang
berhak.
63
Yang dimaksud dengan Subjek Pajak luar negeri adalah salah satu di bawah ini :
1. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka
waktu 12 (dua belas) bulan, yang menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia;
2. Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia,
yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap
di Indonesia;
3. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka
waktu 12 (dua belas) bulan, yang dapat menerima atau memperoleh
penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia;
4. Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia,
yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan
dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap
di Indonesia.
b. Subjek Pajak Pertambahan Nilai
Subjek PPN adalah Pengusaha Kena Pajak, yaitu pengusaha yang melakukan
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang
dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang PPN, tidak termasuk pengusaha
kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan, kecuali pengusaha
kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Subyek yang menjadi sasaran pajak yaitu :
1. Pengusaha adalah orang pribadi atau badan yang dalam kegiatan usaha atau
pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang,
melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari
luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar
Daerah Pabean. Pengusaha Kena Pajak adalah Pengusaha yang melakukan
penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang di
kenakan pajak, tidak termasuk Pengusaha Kecil yang batasannya ditetapkan
dengan Keputusan Menteri Keuangan, kecuali Pengusaha Kecil yang
memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
2. Pembeli adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau seharusnya
menerima penyerahan Barang Kena Pajak dan yang membayar atau
seharusnya membayar harga Barang Kena Pajak tersebut.
3. Penerima jasa adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau
seharusnya menerima penyerahan Jasa Kena Pajak dan yang membayar atau
seharusnya membayar Penggantian atas Jasa Kena Pajak tersebut.
c. Subjek Pajak Bumi dan Bangunan
Yang menjadi Subjek pajak dalam PBB adalah orang atau badan yang secara
nyata – nyata mempunyai status hak atas bumi dan bangunan, dan/atau
memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai dan/atau
memperoleh manfaat atas bangunan. Tanda pembayaran/pelunasan pajak bukan
merupakan bukti pemilikan hak.
Subjek PBB yang dikenakan kewajiban membayar PBB berdasarkan ketentuan
perundang-undangan perpajakan yang berlaku menjadi wajib pajak. Dalam hal
objek PBB belum jelas diketahui wajib pajaknya, maka Direktur Jenderal Pajak
dapat menetapkan subjek pajak. Subjek pajak yang ditetapkan sebagaimana

64
dimaksud sebelumnya dapat memberikan keterangan secara tertulis kepada
Direktur Jenderal Pajak bahwa ia bukan wajib pajak terhadap objek pajak
dimaksud. Bila keterangan yang diajukan oleh wajib pajak sebagaimana
dimaksud sebelumnya disetujui, maka Direktur Jenderal Pajak membatalkan
penetapan sebagai wajib pajak. Bila keterangan yang diajukan itu tidak
disetujui, maka Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan surat keputusan
penolakan dengan disertai alasan – alasannya.
d. Subjek Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Subjek Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah orang pribadi atau
badan yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan. Subjek pajak yang
dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi Wajib Pajak BPHTB menurut
Undang-Undang BPHTB.
Pihak yang terkena kewajiban melunasi bea perolehan hak atas tanah dan
bangunan adalah orang pribadi dan badan hukum. Selain itu terdapat pihak yang
dikecualikan dari kewajiban melunasi bea perolehan hak atas tanah dan
bangunan, yaitu :
1. Perwakilan diplomatik dan konsulat dengan asas timbal balik
2. Negara untuk melaksanakan kepentingan umum
3. Badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan oleh keputusan
menteri untuk menjalankan fungsinya
4. Orang pribadi atau badan, karena konversi hak atas tanah dan bangunan dengan
tidak ada perubahan nama
5. Orang pribadi atau badan yang diperoleh dari wakaf
6. Orang pribadi atau badan yang diperuntukan untuk kepentingan ibadah.
5) Subjek Bea Meterai
Subyek Bea Materai adalah yang mendapat manfaat dari dokumen, kecuali pihak
atau pihak-pihak yang bersangkutan menentukan lain. Pengaturan masalah Bea
Meterai diatur dalam UU No. 13 Tahun 1985. Dokumen yang dikenakan Bea
Meterai hanyalah dokumen yang disebutkan dalam UU tersebut. Pihak yang
menggunakan dokumen-dokumen yang disebutkan dalam UU adalah subjek dari
bea meterai artinya merekalah yang wajib melunasi sejumlah bea meterai yang
telah ditentukan.
C. Objek Pajak
1. Pengertian Objek Pajak
Dalam perpajakan, yang dimaksud dengan objek pajak yaitu apa-apa yang
dikenakan pajak. Mengingat penting dan strategisnya objek pajak dalam
perpajakan, baik hukum maupun akuntansi, sehingga dalam UU perpajakan
Indonesia dengan tegas. Dalam website pemerintah pengurus dan pengelola pajak
negara dinyatakan bahwa Objek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal
dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau
untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan
dalam bentuk apapun.
a. Objek Pajak Penghasilan
Objek Pajak Penghasilan adalah penghasilan yaitu setiap tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak (WP), baik
yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai
untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib pajak yang
bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun termasuk :

65
a) penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang
diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium,
komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun atau imbalan dalam bentuk lainnya
kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang Pajak Penghasilan;
b) hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan dan penghargaan;
c) laba usaha
d) keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk :
 keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan
badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
 keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya
karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu atau anggota ;
 keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran,
pemecahan atau pengambilalihan usaha;
 keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau
sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis
keturunan lurus satu derajat, dan badan keagamaan atau badan
pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi
yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan
dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-
pihak yang bersangkutan.
b. Objek Pajak Pertambahan Nilai
Pada prinsipnya semua barang dan jasa merupakan objek PPN, karena PPN
dikenakan atas konsumsi barang dan atau jasa di dalam Daerah Pabean.
Namun demikian, dengan pertimbangan ekonomi, sosial dan budaya, ada
barang dan jasa tertentu yang tidak dipungut serta dikecualikan dari pengenaan
PPN dan dibebaskan dari pungutan PPN.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 tahun 2008, Pajak Pertambahan
Nilai dikenakan atas :
1. Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan
oleh Pengusaha.
Yang termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah :
a. Penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian;
b. Pengalihan Barang Kena Pajak oleh karena suatu perjanjian sewa beli
dan perjanjian leasing;
c. Penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang perantara atau melalui
juru lelang
d. Pemakaian sendiri dan atau pemberian cuma-cuma atas Barang Kena
Pajak
e. Persediaan Barang Kena Pajak dan aktiva yang menurut tujuan semula
tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran
perusahaan, sepanjang Pajak Pertambahan Nilai atas perolehan aktiva
tersebut menurut ketentuan sepanjang Pajak Pertambahan Nilai atas
perolehan aktiva tersebut menurut ketentuan dapat dikreditkan;
 Penyerahan Barang Kena Pajak dari Pusat ke Cabang atau sebaliknya
dan
 penyerahan Barang Kena Pajak antar Cabang;
 Penyerahan Barang Kena Pajak secara konsinyasi.

66
Yang tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak
adalah:
 Penyerahan Barang Kena Pajak kepada makelar sebagaimana
dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang
 Penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan utang piutang
 Penyerahan Barang Kena Pajak dalam hal Pengusaha Kena Pajak
memperoleh ijin pemusatan tempat pajak terutang.
2. Impor Barang Kena Pajak
Impor adalah setiap kegiatan memasukkan barang dari luar Daerah Pabean
ke dalam Daerah Pabean.
3. Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh
Pengusaha. Penyerahan Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan pemberian
Jasa Kena Pajak yang berupa setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu
perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau
fasilitas atau kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa
yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan
dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan.
4. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di
dalam Daerah Pabea. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari
luar Daerah Pabean adalah setiap kegiatan pemanfaatan Barang Kena Pajak
tidak berwujud dari luar Daerah Pabean karena suatu perjanjian di dalam
Daerah Pabean.
5. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean adalah setiap
kegiatan pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam
Daerah Pabean.
6. Ekspor Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak. Ekspor adalah
setiap kegiatan mengeluarkan barang dari dalam Daerah Pabean ke luar
Daerah Pabean. Penetapan jenis barang yang tidak dikenakan Pajak
Pertambahan Nilai didasarkan atas kelompok-kelompok barang sebagai
berikut :
o Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil
langsung dari sumbernya;
 Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat
banyak;
 Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan,
warung, dan sejenisnya;
 Uang, emas batangan, dan surat-surat berharga.
 Objek Pajak Bumi dan Bangunan
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah salah satu jenis pajak yang
dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) selain Pajak Penghasilan
(PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Bea Meterai (BM) dan Bea
Perolehan Hak Tas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB). PBB adalah
termasuk jenis pajak objektif, di mana yang lebih ditekankan dalam
pengenaan pajak ini adalah pada objeknya. Hal ini bisa kita lihat dari
susunan pasal dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 dan
perubahannya yang menempatkan pasal tentang objek pajak lebih dahulu
daripada subjeknya.
67
Objek PBB adalah bumi dan/atau bangunan, yaitu :
1. Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan
pedalaman, serta laut wilayah Indonesia, dan tubuh bumi yang ada di
bawahnya
2. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam / dilekatkan secara
tetap pada tanah dan/atau perairan. Termasuk dalam pengertian bangunan
adalah :
Jalan lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunan seperti
hotel, pabrik, dan emplasemennya, dan lain-lain yang merupakan satu
kesatuan dengan kompleks bangunan tersebut :
• jalan tol
• kolam renang
• tempat olahraga
• galangan kapal, dermaga
• taman mewah
• tempat penampungan / kilang minyak, aiar dan gas, pipa minyak
• fasilitas lain yang memberikan manfaat
2. Yang Tidak Termasuk Subjek Dan Objek Pajak
a) Tidak Subjek Pajak
1. Badan perwakilan negara asing
2. Pejabat – pejabat pewakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat – pejabat
lain dari asing serta orang orang yang diperbantukan oleh mereka yang bukan
warga negara Indonesia, serta tidak memperoleh penghasilan lain di luar
jabatannya selama di Indonesia. Di samping itu negara tesebtut memberikan
perlakuan yang sama sebagai timbal balik.
3. Organisasi – organisasi yang ditetapkan oleh menteri keuangan dengan syarat
bahwa indonesia menjadi anggota organisasinya dan tidak menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari
indonesia selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang dananya
berasal dari iuran pajak,. Mengenai organisasi – organisasi internasional yang
tidak termasuk subjek pajak telah ditetapkan daftar organisasinya melalui
keputusan menteri keuangan No. 574/KMK.04/2000 yang diubah terakhir
kali oleh PMK No 87/PMK.03/2007.
4. Pejabat perwakian organisasi internasional yang ditetapkan oleh menteri
keuangan dengan syarat bukan warga negara indonesia serta tidak
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di indonesia.
b) Tidak Objek Pajak
Berdasarkan pasal 4 ayat (3) Undang – undang Pph, penghasilan yang tidak
termasuk objek pajak adalah :
1. Bantuan atau sumbangan, harta hibah yang diterima oleh keluarga sedarah
dalam garis keturunan sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan
oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau
pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh menteri keuangan
68
2. Warisan
3. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti
saham atau penyertaan modal tunai
4. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang
diterima atau diproleh dalam bentuk natura atau kenikmatan wajib pajak atau
pemerintah
5. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan
dengan asuransi keehatan, kecelakaan, jiwa, dwiguna dan beasiswa
6. Dividen atau bagian laba yang diperoleh perseroan terbatas sebagai wajib
pajak dalam negeri, koperasi, yayasan atau organisasi sejenis, BUMN atau
BUMD dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan
bertempat kedudukan di Indonesia.

2. Dasar Pengenaan Pajak


A. Pengertian Dasar Pengenaan Pajak
Dasar Pengenaan Pajak adalah nilai berupa uang yang dijadikan sebagai dasar
untuk menghitung pajak yang terutang. Pajak Pertambahan Nilai yang terutang
dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan Dasar Pengenaan Pajak.
Dasar Pengenaan Pajak tersebut adalah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor,
Nilai Ekspor atau Nilai Lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan dengan tarif pajak.
Dengan demikian rumus penghitungan Pajak yang terutang adalah :
PPN terutang = Tarif Pajak x Dasar Pengenaan Pajak
Jenis-Jenis Dasar Pengenaan Pajak :
a. Harga Jual
Harga jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh penjual, karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak
termasuk PPN yang dipungut menurut UU PPN dan Potongan harga yang
dicantumkan dalam faktur pajak.
Contoh 1:
Pengusaha Kena Pajak "A" menjual Barang Kena Pajak dengan Harga Jual
Rp25.000.000,00. ditambah biaya pengiriman Rp. 1.000.000 dan biaya
pemasangan Rp. 750.000.
Dasar Pengenaan Pajak adalah :
Harga jual Rp. 25.000.000
Biaya pengiriman Rp. 1.000.000
Biaya pemasangan Rp. 750.000
Dasar Pengenaan Pajak Rp. 26.750.000
PPN terutang = DPP x 10% Rp. 2.675.000
Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp2.675.000,00 tersebut merupakan Pajak
Keluaran, yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak "A".

69
b. Penggantian
Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta
atau seharusnya diminta oleh pemberi jasa karena penyerahan Jasa Kena Pajak,
tidak termasuk PPN yang dipungut menurut UU PPN dan potongan harga yang
dicantumkan dalam faktur pajak.
Faktor yang menjadi dipertimbangkan terhadap biaya yang merupakan unsur
harga jual atau penggantian sehubungan dengan penyerahan BKP atau JKP
antara lain, menurut Sukardji (2003:256) adalah adanya kaitan antara biaya
tersebut dengan penyerahan BKP atau JKP, apabila biaya tersebut tidak
dibayar.
Sebagaimana telah disepakati dalam perjanjian, akan menghambat kelancaran
penyerahan BKP atau JKP tersebut. Biaya tersebut antara lain biaya
pengangkutan, biaya asuransi, biaya bantuan teknik, biaya pemeliharaan, biaya
pengiriman, dan biaya garansi.
Contoh 2:
PKP B melakukan penyerahan Jasa Kena Pajak dengan memperoleh
Penggantian Rp 20.000.000,00. Maka DPP = Rp. 20.000.000 dan Pajak
Pertambahan Nilai yang terutang = 10% x Rp20.000.000,00 =
Rp2.000.000,00.
Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp2.000.000,00 tersebut merupakan Pajak
Keluaran, yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak "B".
c. Nilai Impor
Nilai impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea
masuk ditambah pungutan lainnya yang dikenakan pajak berdasarkan
ketentuan perundang-undangan Pabean untuk impor Barang Kena Pajak, tidak
termasuk PPN yang dipungut menurut UU PPN.
Contoh 3:
PT. Hamida mengimpor bahan baku pada harga CIF Usd. 100.000. Bea masuk
5 %, dan bea masuk tambahan 2,5%, kurs KMK pada saat itu Rp. 9.000.
Penghitungan Dasar Pengenaan Pajak adalah :
Harga CIF $100.000 x Rp. 9.000 = Rp. 900.000.000
Bea masuk 5 % x Rp. 900.000.000 = Rp. 45.000.000
BM Tambahan 2,5 % x Rp.900.000.000 = Rp. 22.500.000
DPP = Nilai Impor Rp. 967.500.000
PPN terutang = DPP x 10% Rp. 96.750.000

70
d. Nilai Ekspor
Nilai ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh eksportir.
Contoh 4:
PT. Zaki Putra Perkasa mengekspor BKP seharga $ 50.000 kurs KMK 9.000.
Dasar Pengenaan Pajak = $50.000 x Rp. 9.000 = Rp. 45.000.000
PPN terutang = DPP x 0% = Rp. 45.000.000 x 0% = Rp. 0.
e. Nilai Lain
Nilai Lain adalah suatu nilai berupa uang yang digunakan sebagai Dasar
Pengenaan Pajak untuk penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena pajak
yang memenuhi Kriteria tertentu. Pengenaan dengan menggunakan nilai lain
diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan No. 567/KMK.04/2000 jo. KMK
No. 251/KMK.03/2002. Nilai Lain yang ditetapkan tersebut adalah :
o Pemakaian sendiri
DPP untuk pemakaian sendiri BKP dan atau JKP adalah harga jual atau harga
penggantian tidak termasuk laba kotor.
Contoh 5:
PT. Riau Shoes, PKP, perusahaan industri sepatu pada Tgl. 28 Januari,
menyerahkan kepada karyawan, sejumlah sepatu dengan harga jual Rp.
6.000.000, termasuk laba kotor 20 %.
DPP atas pemakaian sendiri tersebut adalah :
Harga jual Rp. 6.000.000
Laba kotor 20/120 x 6.000.000 = Rp. 1.000.000
Dasar Pengenaan Pajak = Rp. 5.000.000
PPN terutang = DPP X 10% = Rp. 500.000
o Pemberian Cuma-Cuma
DPP adalah harga jual atau harga penggantian setelah dikurangi laba kotor.
Contoh sama seperti pemakaian sendiri
o Penyerahan BKP kepada Pedagang Perantara atau Melalui Juru Lelang
Dasar Pengenaan Pajak adalah harga lelang.

71
Contoh 6:
Harga lelang atas BKP X sebesar Rp. 50.000.000
Maka :
Dasar Pengenaan Pajak = Rp. 50.000.000
PPN terutang = 10% x DPP = Rp. 5.000.000
o Penyerahan Rekaman Suara/Gambar
DPPnya adalah perkiraan harga jual rata-rata.
o Penyerahan Film Cerita
DPPnya adalah perkiraan hasil rata-rata per judul film.
o Persediaan BKP yang tersisa Saat Pembubaran Perusahaan
Dasar Pengenaan Pajaknya adalah Harga Pasar yang wajar.
o Penyerahan BKP dan atau JKP dari Pusat ke Cabang atau sebaliknya dan
Penyerahan BKP dan atau JKP antar Cabang
Dasar Pengenaan Pajak adalah harga jual atau harga penggantian setelah
dikurangi laba kotor.
o Aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan sepanjang
PPN atas perolehan aktiva tersebut menurut ketentuan dapat dikreditkan.
Dasar Pengenaan Pajaknya adalah Harga Pasar yang wajar.
Pajak masukan yang dibayar oleh PKP yang menggunakan DPP nilai lain di
atas tetap dapat dikreditkan, sepanjang berhubungan langsung dengan kegiatan
usahanya dan menggunakan faktur pajak Standar.
o Penyerahan Jasa Biro Perjalanan atau Pariwisata
Dasar Pengenaan Pajak = 10 % x jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya
ditagih.
o Penyerahan Jasa Pengiriman Paket
Dasar Pengenaan Pajak = 10 % dari jumlah tagihan atau jumlah yang
seharusnya ditagih.
o Penyerahan Kendaraan Bermotor Bekas
Dasar Pengenaan Pajak = 10 % dari harga jual.
o Penyerahan Jasa Anjak Piutang
Dasar Pengenaan Pajak = 5 % x jumlah seluruh imbalan yang diterima berupa
service charge, provisi, dan diskon.
Pajak masukan yang dibayar oleh PKP Biro Perjalanan/pariwisata, jasa
pengiriman paket, Kendaraan bermotor bekas, jasa anjak piutang yang
menggunakan DPP nilai lain di atas tidak dapat dikreditkan, karena pajak

72
masukan atas perolehan BKP dan atau JKP dalam rangka usaha telah
diperhitungkan dalam nilai lain.
o Ketentuan Nilai Lain Bagi Pedagang Eceran
KMK 567/KMK.04/2000 menentukan Dasar Pengenaan Pajak dengan nilai
lain yang dapat digunakan Pengusaha Kena Pajak Pedagang Eceran dengan
cara sebagai berikut :
PPN terutang = 10% X Harga Jual Barang Kena Pajak.
Jumlah PPN yang harus dibayar oleh PKP Pedagang Eceran = 10% X 20% X
jumlah seluruh penyerahan barang dagangan.
Sejak berlakunya KMK 251/KMK.03/2002, Ketentuan KMK
567/KMK.04/2000 tentang nilai lain bagi PKP Pedagang Eceran yang
membayar PPN sebesar 2 % dihapus.
o Penyerahan Rumah / Tanah Siap Bangun oleh Real / Industrial Estat.
Dasar Pengenaan Pajaknya diatur dalam Surat Edaran No. 55/PJ.3/1985 jo.
S.1376/PJ.3/1986.
v Apabila PKPnya melakukan penyerahan Tanah Matang
DPP = 80 % x harga jual.
v Apabila PKPnya melakukan penyerahan Bangunan beserta Tanah Matang
DPP = 100% Harga Jual bangunan + 80% (harga jual tanah)
Pajak masukan atas transaksi penjualan bangunan dan tanah matang dapat
dikreditkan.
Tetapi sejak 1 Juni 2002 berdasarkan SE-22/PJ.51/2002 DPP tanah matang
adalah 100 % x harga jualnya. Dan Faktor pengurang sebesar 20 % dinyatakan
tidak berlaku. Dengan DPPnya menjadi :
DPP = 100% (Harga Jual bangunan + harga jual tanah)
o Dasar Pengenaan Pajak Apabila Terdapat PPnBM (PP 143 tahun 2000 jo
PP 24 tahun 2002)
v Atas penyerahan BKP yang tergolong mewah yang dilakukan oleh PKP
yang menghasilkan BKP yang tergolong mewah, Dasar Pengenaan Pajak PPN
tidak termasuk PPN & PPn BM yang dikenakan atas penyerahan BKP tersebut.
v Atas penyerahan BKP yang tergolong mewah yang dilakukan oleh PKP
selain pengusaha yang menghasilkan BKP yang tergolong mewah atau oleh
PKP yang melakukan Impor BKP yang tergolong mewah, Dasar Pengenaan
Pajak PPN termasuk PPn BM yang dikenakan atas perolehan atau atas impor
yang tergolong mewah tersebut.
Contoh 7:
Produsen BKP yang tergolong mewah menjual BKP tersebut
kepada PKP Pedagang biasa sbb :
73
Harga jual Rp. 100.000.000
PPN Rp. 10.000.000
PPnBM asumsi 20 % Rp. 20.000.000
Jumlah yang harus dibayar PKP biasa Rp. 130.000.000

Kemudian PKP Pedagang biasa menjual lagi BKP tersebut, kepada PKP
Pedagang lainnya, sbb:
Harga Beli PKPP Rp. 100.000.000
PPnBM yang telah dibayar Rp. 20.000.000
Keuntungan yang diharapkan Rp. 15.000.000
Maka Dasar Pengenaan Pajak Rp. 135.000.000
Contoh 8:
Pengusaha Kena Pajak C mengimpor Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah,
sebagai berikut :
Nilai Impor = Rp 200.000.000
Pajak Pertambahan Nilai = Rp 20.000.000
Pajak Penjualan atas Barang Mewah (misalnya dengan= Rp 60.000.000 +
tarif 30%)
Jumlah yang dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak C = Rp 280.000.000
Kemudian Pengusaha Kena Pajak C tersebut menjual
Barang Kena Pajak tersebut kepada konsumen sebagai
berikut :
Harga Beli Pengusaha Kena Pajak C = Rp 200.000.000
Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang telah dibayar= Rp 60.000.000
Keuntungan yang diharapkan = Rp 40.000.000 +
Dasar Pengenaan Pajak = Rp 300.000.000
Pajak Pertambahan Nilai 10% x Rp 300.000.000,00 = Rp 30.000.000 +
Jumlah yang dibayar oleh konsumen = Rp 330.000.000
o Penyerahan Jasa Persewaan Ruangan
Dasar Pengenaan Pajak PPNnya adalah :
 Seluruh harga sewa adalah 100 %
 Service Charge adalah 40 %
Pajak masukan atas transaksi sewa dapat dikreditkan.
Beberapa ketentuan lain dalam menentukan dasar pengenaan pajak :
74
Sebagaimana diatur dalam pasal 5 dan 6 PP no. 143 tahun 2000, yaitu sbb :
 Dalam kontrak atau perjanjian tertulis mengenai penyerahan BKP atau JKP,
harus disebutkan dengan jelas nilainya, Dasar Pengenaan Pajak, dan
besarnya PPN yang terutang.
 Jika dalam kotrak atau perjanjian telah termasuk pajak, maka wajib
disebutkan dengan jelas bahwa nilai tersebut telah termasuk pajak.
 Apabila tidak terpenuhi, maka jumlah harga yang tercantum dalam kontrak
atau perjanjian tertulis tersebut dianggap sebagai Dasar Pengenaan Pajak.
Pasal 6 PP 143 tahun 2000 :
Jika tercantum PPN menjadi bagian dari harga atau pembayaran atas
penyerahan BKP / JKP, maka PPN terutang adalah 10/110 x harga atau
pembayaran atas penyerahan BKP / JKP;
 Jika tercantum PPN & PPnBM (misalnya 20 %) menjadi bagian dari harga
atau pembayaran atas penyerahan BKP barang mewah, maka :
 PPN terutang adalah 10/130 x harga atau pembayaran atas penyerahan
BKP / JKP;
 PPnBM terutang adalah 20/130 x harga atau pembayaran atas penyerahan
BKP / JKP.

3. PTKP, PKP, DAN TARIF PAJAK


A. Pengertian PTKP
PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) yaitu merupakan besarnya penghasilan yang
menjadi batasan tidak kena pajak bagi Wajib Pajak Orang yang Pribadi, dengan kata
lain apabila penghasilan neto Wajib Pajak Orang Pribadi yang akan menjalankan usaha
atau pekerjaan bebas lainnya maka jumlahnya akan dibawah PTKP tidak akan
dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) dan memiliki Pasal 25/29.
Apabila berstatus sebagai pegawai atau penerima penghasilan sebagai objek PPh Pasal
21, maka penghasilan tersebut tidak akan dapat dilakukan dalam pemotongan PPh Pasal
21.
Besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak ini tidak sama dari tahun ke tahun. Pemerintah
melalui Kementerian Keuangan telah menetapkan perubahan PTKP berdasarkan
sejumlah pertimbangan seperti kondisi perekonomian nasional, pergerakan upah
minimum dan biaya hidup manusia.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 101/PMK.010/2016 tentang
Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak, PTKP Indonesia yaitu sebesar
Rp 54 juta.
Jika wajib pajak sudah kawin, terdapat tambahan senilai Rp 4,5 juta. Begitu pula jika
wajib pajak memiliki tambahan tanggungan untuk setiap anggota keluarga sedarahnya,
maka akan dikenai tambahan senilai Rp 4,5 juta.
Berikut ini adalah tabel jumlah PTKP yang berlaku sejak tahun 2019, yaitu antara lain
:
Kode PTKP Tahun 2016-2019

75
TK/0 Rp 54.000.000
K/0 Rp 58.500.000
K/1 Rp 63.000.000
K/2 Rp 67.500.000
K/3 Rp 72.000.000

B. Macam-Macam Tarif PTKP 2019


PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) juga memiliki tiga golongan WP orang pribadi
dalam tarif PTKP tahun 2019, yaitu antara lain :
1. Tarif PTKP Tahun 2019 Pria/Wanita Lajang Kode TK (Tidak Kawin)
TK/0 adalah Tarif PTKP untuk Pria/Wanita lajang tanpa adanya tanggungan atau
tanggungan sebesar Rp 54.000.000./tahun.
TK/1 adalah Tarif PTKP untuk Pria/Wanita lajang dengan adanya 1
tanggungan(berupa ibu, bapak, atau anak) tanggungan sebesar Rp
58.500.000./tahun.
TK/2 adalah Tarif PTKP untuk Pria/Wanita lajang dengan adanya 2
tanggungan(berupa ibu, bapak, atau anak) tanggungan sebesar Rp
63.000.000./tahun.
TK/3 adalah Tarif PTKP untuk Pria/Wanita lajang dengan adanya 3
tanggungan(berupa ibu, bapak, atau anak) tanggungan sebesar Rp
67.500.000./tahun.

2. Tarif PTKP Tahun 2019 Pria Kawin Kode K (Kawin)


K/0 adalah Tarif PTKP untuk Pria sudah kawin tanpa adanya tanggungan hanya
Pria tersebut dan istrinya sebesar Rp 58.500.000./tahun.
K/1 adalah Tarif PTKP untuk Pria sudah kawin mempunyai 1 tanggungan(berupa
ibu, bapak, atau anak) sebesar Rp 63.000.000./tahun.
K/2 adalah Tarif PTKP untuk Pria sudah kawin mempunyai 2 tanggungan(berupa
ibu, bapak, atau anak) sebesar Rp 67.500.000./tahun.
K/3 adalah Tarif PTKP untuk Pria sudah kawin mempunyai 3 tanggungan(berupa
ibu, bapak, atau anak) sebesar Rp 72.000.000./tahun.
3. Tarif PTKP Tahun 2019 Penghasilan Suami dan Istri Kode KI (Kawin + Istri)
KI/0 adalah Tarif PTKP untuk Penghasilan Suami dan Istri digabung tanpa
tanggungan hanya Suami dan istrinya sebesar Rp 112.500.000./tahun.
KI/1 adalah Tarif PTKP untuk Penghasilan Suami dan Istri digabung dengan 1
tanggungan(berupa ibu, bapak, atau anak) sebesar Rp 117.000.000./tahun.
KI/2 adalah Tarif PTKP untuk Penghasilan Suami dan Istri digabung dengan 2
tanggungan(berupa ibu, bapak, atau anak) sebesar Rp 121.500.000./tahun.
KI/3 adalah Tarif PTKP untuk Penghasilan Suami dan Istri digabung dengan 3
tanggungan(berupa ibu, bapak, atau anak) sebesar Rp 126.000.000./tahun.

76
C. Cara Perhitungan PTKP
Untuk lebih mudah memahami bagaimana cara menghitung PTKP tersebut, kita akan
bahas lebih jelas dibawah ini, yaitu antara lain :
Contoh Perhitungan PPh 21 PTKP diatas PTKP :
1. Rama baru saja memperoleh pekerjaan di tempat lain dengan gaji Rp 6.000.000.
Maka perhitungannya PTKP nya adalah
Penyelesaian :
Gaji : 6.000.000
Komponen Pengurang :
Biaya Jabatan (5%) : Rp 300.000
Biaya iuran pensiun : Rp 100.000
Total Pengurang : Rp 400.000
Penghasilan netto sebulan : Gaji – Pengurang
= Rp 6.000.000 – Rp 400.000
= Rp 5.600.000

Penghasilan netto setahun : 5.600.000 x 12


= Rp 5.600.000 x 12
= Rp 67.200.000
Contoh Perhitungan PTKP Kode K/0 :
WP pribadi = Rp 54.000.000
K/0 = + Rp 4.500.000
PTKP setahun = Rp 58.500.000
Maka :
Rp 67.200.000 – Rp 58.500.000
= Rp 8.700.000
Jadi, penghasilan kena pajak setahun PPh 21 yang terutang adalah 5% x Rp
8.700.000 = Rp 435.000

D. Pengertian PKP
Pengusaha Kena Pajak, sering disebut PKP adalah Pengusaha yang melakukan
penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenakan
pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN) 1984 dan
perubahannya, tidak termasuk Pengusaha Kecil yang batasannya ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Keuangan, kecuali Pengusaha Kecil yang memilih untuk
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Sedangkan Pengusaha dapat didefinisikan sebagai orang pribadi atau badan dalam
bentuk apapun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang,
mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan,
memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa,
atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean.
Singkatan PKP juga biasa dipakai untuk menyebut Penghasilan Kena Pajak dalam
konteks Pajak Penghasilan.
dalam artian bisa di katakan mengenai Pengertian Pengusaha Kena Pajak (PKP)
adalah :
Orang Pribadi atau Badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau
pekerjaannya:
 menghasilkan Barang Kena Pajak (BKP)
 mengimpor Barang Kena Pajak (BKP)
77
 mengekspor Barang Kena Pajak (BKP)
 melakukan usaha perdagangan.
 memanfaatkan Barang Kena Pajak (BKP) tidak berwujud dari luar daerah pabean
 melakukan usaha Jasa Kena Pajak (JKP)
 memanfaatkan Jasa Kena Pajak (JKP) dari luar daerah pabean.
Untuk menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP) bagi Orang Pribadi atau Badan harus
mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan Nomor
Pokok Pengusaha Kena Pajak (NPPKP) ke Kantor Pelayanan Pajak dengan ketentuan
sebagai berikut:
 Setiap Orang Pribadi atau Badan harus mendaftarkan diri untuk mendapatkan
Nomor Pokok Pengusaha Kena Pajak (PKP) apabila Peredaran usaha atau Omzet
dalam 1 (satu) tahun lebih dari Rp.4.800.000.000,-.
 Bagi Orang Pribadi atau Badan yang mempunyai Peredaran usaha atau Omzet dalam
1 (satu) tahun tidak lebih dari Rp.4.800.000.000,-. dapat mendaftarkan diri untuk
mendapatkan Nomor Pokok Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan disebut Pengusaha
Kecil Kena Pajak.
 Dalam hal Orang Pribadi atau Badan telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak (PKP) dan jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya dalam satu
tahun buku tidak melebihi Rp 4.800.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dapat
mengajukan permohonan pencabutan pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

E. Kewajiaban Pengusaha Kena Pajak


Apabila Wajib Pajak sudah menjadi Pengusaha Kena Pajak, maka mempunyai
beberapa kewajiban dalam bidang perpajakan, yaitu antara lain :
 Menerbitkan Faktur Pajak untuk setiap Penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa
Kena Pajak
 Menyetorkan PPN yang kurang bayar dengan menggunakan Surat Setoran Pajak
(SSP) ke Kantor Pos atau Bank Persepsi paling lambat pada akhir bulan berikut
sebelum melaporkan SPT Masa PPN
 Melaporkan Transaksi Penyerahan Barang Kena Pajak, Barang Tidak Kena Pajak,
Jasa Kena Pajak dan Jasa Tidak Kena Pajak ke Kantor Pelayanan Pajak dengan
menggunakan SPT Masa PPN paling lambat pada akhir bulan berikut.

F. Batasan Penguasaha Kena Pajak


Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan nomor PMK-197/PMK.03/2013 disebutkan
bahwa Pengusaha wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha
Kena Pajak, apabila sampai dengan suatu bulan dalam tahun buku jumlah peredaran
bruto dan/atau penerimaan brutonya melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar
delapan ratus juta rupiah).
Kewajiban melaporkan usaha untuk dikukuhkan sebagai PKP dilakukan paling lama
akhir bulan berikutnya setelah bulan saat peredaran bruto dan/atau penerimaan
brutonya melebihi Rp4.800.000.000,00.
Dalam hal pengusaha telah dikukuhkan sebagai PKP dan jumlah peredaran bruto
dan/atau penerimaan brutonya dalam satu tahun buku tidak melebihi
Rp4.800.000.000,00, PKP dapat mengajukan permohonan pencabutan pengukuhan
sebagai PKP.
Berdasarkan ketentuan tersebut maka atas pengusaha sebagaimana telah diuraikan
diatas dibedakan menjadi tiga yaitu.

78
 Pengusaha yang wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP apabila
peredaran usahanya sudah melebihi batasan PKP Rp. 4.800.000.000,00
 Pengusaha yang dapat melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP, yaitu
pengusaha yang peredaran usahanya kurang dari Rp. 4.800.000.000,00 tetapi
memilih untuk menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP). dan
 Pengusaha yang tidak wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP
yaitu pengusaha yang peredaran usahanya kurang dari Rp. 4.800.000.000,00.

G. Sansi Jika Tidak Melaporkan Usahanya Untuk Dikukuhkan Sebagai PKP


Apabila WP yang penghasilan brutonya telah melebihi Rp4.800.000.000,00 tetapi tidak
melaksanakan kewajibannya untuk melaporkan usaha untuk dikukuhkan sebagai PKP,
maka Direktur Jenderal Pajak dapat mengukuhkan pengusaha sebagai Pengusaha Kena
Pajak secara jabatan.
Selain itu juga Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan SKP dan/atau STP untuk
Masa Pajak sebelum pengusaha dikukuhkan secara jabatan sebagai PKP, terhitung
sejak saat jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya melebihi
Rp4.800.000.000,00

H. Fungsi Pengukuhan PKP


 Pengawasan dalam melaksanakan hak dan kewajiban PKP di bidang PPN dan
PPnBM.
 Sebagai identitas PKP yang bersangkutan.
 Sarana dalam pemenuhan Kewajiban Pajak Pertambahan Nilai & Pajak Penjualan
Barang Mewah (PPnBM).

I. Tarif Pajak
Tarif Pajak Merupakan Dasar Pengenaan Besarnya Pajak Yang Harus Dibayar Subjek
Pajak Terhadap Objek Pajak Yang Menjadi Tanggungannya. Tarif Pajak Pada
Umumnya Dinyatakakan Dengan Persentase.
Menurut Rismawati Sudirman, SE., M.SA. Dan Antong Amiruddin, SE., M.Si
Tarif Pajak Ialah Ketentuan Persentase (%) Atau Jumlah (Rupiah) Pajak Yang Harus
Dibayar Oleh Wajib Pajak Sesuai Dengan Dasar Pajak Atau Objek Pajak.
(2012:9)
Menurut Prof. Supramono, SE., MBA., DBA Dan Theresia Woro Damayanti SE.
Tarif Pajak Adalah Tarif Yang Dipakai Untuk Menentukan Besarnya Pajak Yang Harus
Dibayar. Secara Umum, Tarif Pajak Dinyatakan Dalam Bentuk Persentase.
(2010:7)
Menurut Dwi Sunar Prasetyono
Tarif Pajak Adalah Dalam Pemungutan Pajak Harus Ditetapkan Terlebih Dahulu Jenis
Tarif Yang Dipergunakan, Karena Tarif Ini Berhubungan Erat Dengan Fungsi Pajak,
Yaitu Fungsi Butget Dan Fungsi Mengatur.
(2012:31)

J. Macam-Macam Tarif Pajak


1. Tarif Pajak Proposional Atau Sebanding
Tarif Pajak Proposional Atau Sebanding Ialah Besarnya Sama Seberapapun
Besarnya PKP (Penghasilan Kena Pajak) Maksudnya Tarif Pajak Proposional
Menggunakan Persentasi Tetap Seberapapun Jumlah Objek Pajak.

79
Jadi Dapat Digabarkan Bahwa Besar Pajak Proposional Berbanding Lurus Dengan
Jumlah Objek Pajak. Contohnya Saja Seperti Pajak PPn (Pajak Pertambahan Nilai)
10% Dan PBB (Pajak Bumi Dan Bangunan) 0,5% Dari Seberapapun Jumlahnya.
2. Tarif Pajak Progresif
Tarif Pajak Progresif Yaitu Pajak Yang Semakin Naik Jika Pengenaan Pajaknya
Semakin Banyak. Contoh Dari Pajak Progresif Yaitu Pajak Penghasilan (PPh) Yang
Telah Ditentukan Sebagai Berikut:
Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negri Yang Mempunyai Penghasilan Selama
Setahun Sebesar 0 Sampai Rp 50.000.000 Maka Tariff Pajak Yang Dikenakan
Sebesar 5% Jika Memiliki NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) Bila Tidak
Mempunyai NPWP Maka Pajak Yang Dikenakan 6%.
Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negri Yang Mempunyai Penghasilan Selama
Setahun Sebesar Rp 50.000.000 Sampai Rp 250.000.000 Maka Tariff Pajak Yang
Dikenakan Sebesar 15% Bila Mempunyai NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) Bila
Tidak Mempunyai NPWP Maka Pajak Yang Dikenakan 18%.
Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negri Yang Mempunyai Penghasilan Selama
Setahun Sebesar Rp 250.000.000 Sampai Rp 500.000.000 Maka Tariff Pajak Yang
Dikenakan Sebesar 25% Jika Memiliki NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) Jika
Tidak Mempunyai NPWP Maka Pajak Yang Dikenakan %.
Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negri Yang Mempunyai Penghasilan Selama
Setahun Sebesar Rp 500.000.000 Sampai Rp … Maka Tariff Pajak Yang Dikenakan
Sebesar 30% Jika Memiliki NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) Jika Tidak
Memiliki NPWP Maka Pajak Yang Dikenakan %.

K. Tarif Pajak Tetap


Tarif Pajak Tetap Ialah Tarif Pajak Yang Ditetapkan Dalam Nilai Rupiah Tertentu
Yang Jumlahnya Tidak Berubah Atau Tetap.
Contohnya : Yaitu Paajak Materai Atau Bea Materai Yang Besar Tarifnya Tidak
Berubah Dengan Tariff Senilai Rp 3.000 Atau Rp 6.000.

L. Tarif Pajak Regresif dan Degresif


Tarif Pajak Regresif Atau Pajak Degresif Ialah Tarfi Pajak Yang Dimana Persentasinya
Akan Semakin Kecil Atau Berkurang Ketika Jumlah Objek Yang Akan Dipajakan
Semakin Besar Atau PKP (Penghasilan Kena Pajak) .
Contohnya Yaitu Seperti Bea Cukai. Hal Ini Dimaksudkan Untuk Memicu Supaya
Lebih Meningkatkan Perdagangan Ingternasional (Ekspor Dan Impor).
Ketika Objek Pajak Yang Ingin Di Impor Atau Ekspor Berkisaran Antara 0 Sampai Rp
25.000.000 Maka Barang Tersebut Akan Terkena Bea Cukai Sebesar 15%
Ketika Objek Pajak Yang Ingin Di Impor Atau Ekspor Berkisaran Antara Rp
25.000.000 Sampai Rp 50.000.000 Maka Barang Tersebut Akan Terkena Bea Cukai
Sebesar 12, 5%
Ketika Objek Pajak Yang Ingin Di Impor Atau Ekspor Berkisaran Antara Rp
50.000.000 Sampai Rp 100.000.000 Maka Barang Tersebut Akan Terkena Bea Cukai
Sebesar 10%.

80
4. Cara Perhitungan PPH Terhutang
Tarif PPh Pasal 17 ayat 1 huruf (b)
Berdasarkan Pasal 17 ayat 1 huruf (b) undang-undang Pajak Penghasilan nomor 36 tahun
2008 bahwa Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah sebesar 28%
(dua puluh delapan persen). untuk tahun pajak 2010 diatur pada Pasal 17 ayat 2a menjadi
25%. untuk itu pph terutang badan pada tahun 2012 menggunakan tarif 25 %.
contoh :
PT sempurna memiliki jumlah peredaran bruto dalam tahun pajak 2012 Rp
54.000.000.000,00 dan jumlah Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 4.000.000.000,00.
PPh terutangnya adalah = 25% x Rp 4.000.000.000,00 = Rp 1.000.000.000,00
Tarif Pasal 17 ayat 2b
Tarif ini diterapkan bagi Wajib Pajak badan dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka
yang paling sedikit 40% dari jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan di
bursa efek di indonesia dan dan memenuhi persyaratan tertentu lainnya. Wajib Pajak
tersebut dapat dapat memperoleh tarif sebesar 5% lebih rendah daripada tarif sebagaimana
dimaksud pada pasal 17 ayat 1 huruf b dan ayat 2a Undang-undang nomor 36 tahun 2008.
PPh Terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan Penghasilan Kena Pajak.
Contoh :
PT Meranti tbk memiliki penghasilan Kena Pajak tahun 2012 sebesar Rp.
1.250.000.000,00. PPh terutangnya = (25% - 5% ) x Rp 1.250.000.000,00
= Rp 250.000.000,00
Peraturan terkait : Peraturan Pemerintah Nomor 81 tahun 2007 tentang penurunan tarif PPh
bagi Wajib Pajak Badan dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka.
Tarif PPh berdasarkan Pasal 31 E Undang-undang Pajak Penghasilan nomor 36 tahun 2008
dijelaskan bahwa Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan
Rp. 50.000.000.000 (lima puluh milyar rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif
sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif pasal 17 ayat 1 huruf b dan ayat 2a yang
dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan
Rp.4.800.000.000,00 (empat milyar delapan ratus juta rupiah).
Penghitungan PPh terutang berdasarkan Pasal 31E dibagi menjadi dua cara yaitu :
1. Jika peredaran bruto sampai dengan Rp. 4.800.000.000,00 maka penghitungan PPh
terutang yaitu sebagai berikut :
PPh Terutang = 50% x 25% x Seluruh Penghasilan Kena Pajak.
Contoh :
Peredaran bruto PT Saraswati tahun Pajak 2012 sebesar Rp.4.500.000.000,00 dengan
Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp. 500.000.000,00. Maka PPh terutangnya adalah :
= 50% x 25% x Rp. 500.000.000,00
= Rp. 62.500.000,00

2. Jika peredaran bruto lebih dari Rp 4.800.000.000,00 sampai dengan Rp


50.000.000.000,00 penghitungan PPh terutangnya adalah sebagai berikut :

a. Cara menghitung Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang
memperoleh fasilitas yaitu :
81
b. Cara menghitung Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak
memperoleh fasilitas yaitu Penghasilan Kena Pajak dari bagian bruto yang
memperoleh fasilitas.
Contoh :
Peredaran bruto PT Nusantara tahun pajak 2012 sebesar Rp. 30.000.000.000,00
dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 3.000.000.000,00. Cara Menghitung PPh
Terutang Badan tahun 2012 untuk PT Nusantara sebagai berikut :
1. Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh
fasilitas :
= (Rp 4.800.000.000,00 : Rp 30.000.000.000,00) x Rp 3.000.000.000,00
= Rp. 480.000.000,00
2. Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak
memperoleh fasilitas :
= Rp 3.000.000.000,00 - Rp 480.000.000,00
= Rp 2.520.000.000,00
3. PPh Badan yang Terutang tahun 2012 :
= (50% x 25% x Rp 480.000.000,00) + ( 25% x Rp 2.520.000.000,00)
= Rp 60.000.000,00 + Rp 630.000.000,00
= Rp 690.000.000,00

5. Pemotongan Dan Pemungutan PPH Yang Bersifat Finansial


Pajak Penghasilan Final
Resmi (2014:139) mengemukakan pajak penghasilan final merupakan pajak penghasilan
yang pengenaannya sudah final (berakhir) sehingga tidak dapat dikreditkan (dikurangkan)
dari total Pajak Penghasilan yang terutang pada akhir tahun pajak. Berdasarkan Pasal 4 ayat
(2) UU PPh, pajak penghasilan yang bersifat final terdiri atas :
o Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat
utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota
koperasi orang pribadi
o Penghasilan berupa hadiah undian
o Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang
diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan
modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura
o Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa
konstruksi, usaha real estate dan persewaan tanah dan/atau bangunan
o Penghasilan tertentu lainnya (penghasilan dari pengungkapan ketidakbenaran,
penghentian penyidikan tindak pidana, dan lain-lain)
Dalam Undang-Undang PPh Pasal 4 ayat (2) huruf e disebutkan bahwa pemotong PPh
adalah sebagai berikut :
o Koperasi
o Penyelenggara kegiatan
o Otoritas bursa
82
o Bendaharawan
Lebih lanjut dalam pasal 4 ayat (2) Penerima Penghasilan Yang Dipotong PPh pasal 4
ayat (2) adalah sebagai berikut :
o Penerima bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara,
dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang
pribadi
o Penerima hadiah undian
o Penjual saham dan sekuritas lainnya
o Pemilik properti berupa tanah dan/atau bangunan
Keterangan lain-lain dari Undang-Undang PPh Pasal 4 ayat (2) adalah sabagai berikut :
a. Pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) adalah bersifat final
b. Karena bersifat final, maka pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) tidak dapat dikreditkan
c. Omset terkait transaksi yang dikenakan PPh Pasal 4 ayat (2) tidak dimasukkan dalam
omzet usaha, namun dimasukkan dalam omzet penghasilan yang telah dipotong PPh
final.
Dasar hukum lainnya adalah Pasal 17 ayat (7) UU PPh yang berbunyi :
“Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan tarif pajak tersendiri atas penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (2) sepanjang tidak memenuhi tarif pajak
tertinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”

6. Cara Melunasi Pajak


Pada dasarnya, wajib pajak dapat menghitung dan melunasi pajak penghasilan melalui dua
cara yaitu :
Pelunasan pajak tahun berjalan, yaitu pelunasan pajak dalam masa pajak yang meliputi :
a) Pembayaran sendiri oleh wajib (PPh pasal 25) untuk setiap masa pajak
b) Pembayaran pajak melaui pemotonga/pemungutan pihak ketiga (orang pribadi atau
badan baik swasta maupun pemerintah) berupa kredit pajak yang dapat diperhitungkan
dengan jumlah pajak terutang selama tahun pajak yaitu :
o Pemotongan PPh atas penghasilan dari pekerjaan, jasa atau kegiatan (PPh pasal 21)
o Pemungutan PPh atas penghasilan dari kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha
dibidang lain, dan pembayaran atas penyerahan barang kepada badan pemerintah (PPh
pasal 22)
o Pemotongan PPh atas penghasilan dari modal atau penggunaan harta oleh orang lain,
Jasa, Hadiah dan penghargaan (PPh pasal 23)
o Pelunasan PPh di luar negeri atas penghasilan di luar negeri (PPh pasal 24)
o Pemotongan PPh atas penghasilan yang terutang atas wajib pajak luar negeri (PPh
pasal 26)
o Pemotongan atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan-tabungan lainnya,
penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya dibursa efek, penghasilan dari
penghasilan harta berupa tanah dan atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya
(PPh pasal 4 ayat 2). Untuk PPh pasal 4 ayat 2 tidak dikreditkan.

83
c) Pelunasan pajak sesudah akhir tahun
Pelunasan pajak sesudah tahun pajak berakhir dilakukan dengan cara :
 Membayar pajak yang kurang disetor yaitu dengan menghitung sendiri jumlah pajak
penghasilan terutang untuk suatu tahun pajak dikurangi dengan jumlah kredit pajak
tahun yang bersangkutan
 Membayar pajak yang kurang disetor berdasarkan surat ketetapan pajak atau surat
tagihan pajak yang ditetapkan oleh direktur jendral pajak, apabila terdapat buktu
bahwa jumlah pajak penghasilan terutang tidak benar.

7. Bentuk Usaha Tetap


A. Pengertian Bentuk Usaha Tetap
Yang dimaksud dengan Bentuk Usaha Tetap (BUT) (bahasa Inggris: permanent
establishment)adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak
bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus
delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau badan yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, untuk menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan di Indonesia. Suatu bentuk usaha tetap mengandung pengertian
adanya suatu tempat usaha (place of business) yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan
gedung termasuk juga mesin-mesin dan peralatan.
Tempat usaha tersebut bersifat Permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan dari Orang Pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang
tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia.
Pengertian bentuk usaha tetap mencakup pula orang pribadi atau badan selaku agen yang
kedudukannya tidak bebas yang bertindak untuk dan atas nama orang pribadi atau badan
yang tidak bertempat tinggal atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia. Orang pribadi
yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia tidak dapat dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia
apabila orang pribadi atau badan dalam menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di
Indonesia menggunakan agen, broker atau Perantara yang mempunyai kedudukan bebas,
asalkan agen atau perantara tersebut dalam kenyataannya bertindak sepenuhnya dalam
rangka menjalankan perusahaannya sendiri.
Perusahaan Asuransi yang didirikan dan bertempat kedudukan di luar Indonesia dianggap
mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila perusahaan asuransi tersebut
menerima pembayaran Premi Asuransi di Indonesia atau menanggung risiko di Indonesia
melalui pegawai, perwakilan atau agennya di Indonesia. Menanggung risiko di Indonesia
tidak berarti bahwa peristiwa yang mengakibatkan risiko tersebut terjadi di Indonesia.
Yang perlu diperhatikan adalah bahwa pihak tertanggung bertempat tinggal, berada atau
bertempat kedudukan di Indonesia.

84
Menurut Undang-Undang Perpajakan Indonesia, bentuk usaha yang dipergunakan oleh
Subjek Pajak Luar Negeri untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di
Indonesia, dapat dikatakan sebagai BUT yang dapat berupa :

o tempat kedudukan manajemen;


o cabang perusahaan;
o kantor perwakilan;
o gedung kantor;
o pabrik;
o bengkel;
o pertambangan dan penggalian sumber alam; wilayah kerja pengeboran yang
digunakan untuk eksplorasi pertambangan;
o perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan;
o proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
o pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang lain, sepanjang
dilakukan lebih dari 60 hari dalam jangka waktu 12 bulan;
o orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas;
o agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di
Indonesia.

A. Objek Pajak Penghasilan Bentuk Usaha Tetap


Yang menjadi pajak penghasilan BUT adalah:
1. Penghasilan dari usaha atau kegiatan BUT tersebut dan dari harta yang di miliki
atau dikuasai
Sebagai contoh : Communitel Ltd yang bergerak dalam usaha penjualan satelit
komunikasi mempunyai cabang di Jakarta dengan nama Communitel Indonesia.
Apabila Communitel Indonesia memperoleh laba melalui usaha penjualan satelit
komunikasi, maka atas laba penjualan tersebut dikenakan pajak penghasilan
sebagai pajak atas penghasilan wajib pajak BUT
2. Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang atau pemberian jasa
di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau dilakukan di Indonesia
Sebagai contoh: New York Bank mempunyai cabang di Jakarta (New York Bank
Indonesia). Apabila New York Bank mendapatkan penghasilan berupa bunga atas
pinjaman yang diberikan tanpa melalui New York Bank Indonesia, maka penghasilan
bunga tersebut tetap dianggap sebagai penghasilan BUT (NewYork Bank-Indonesia)
3. Penghasilan sebagaimana tersebut pada PPh pasal 26 yang diterima atau diperoleh kantor
pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara BUT dengan harta atau kegiatan yang
memberikan penghasilan dimaksud.
Sebagai contoh: Foodz Inc. membuat perjanjian dengan PT Lezzat untuk menggunakan
merk dagang Foodz Inc. atas penggunaan hak tersebut Foodz Inc. menerima imbalan
berupa royalti dari PT Lezzat. Dalam rangka pemasaran produk, foodz Inc. juga
memberikan jasa manajemen kepada PT Lezzat melalui Foodz-Indonesia (BUTnya di
Indonesia). Dalam hal demikian merek dagang oleh PT Lezzat mempunyai hubungan.

85
2.2 Penentuan Laba BUT
Dalam menentukan besarnya laba BUT ada beberapa ketentuan yang harus diperhatikan
yaitu:
1. Biaya adminstrasi kantor pusat yang diperbolehkan dibebankan adalah biaya yang
berkaitan dengan usaha atau kegiatan BUT, yang besarnya ditetapkan direktur jendral
pajak
2. Pembayaran oelh BUT kepada kantor pusat yang tidak diperbolehkan dibebankan
sebagai biaya adalah:
 Royalti atau imbalan lain sehubungan dengan penggunaan harta, paten atau hak
hak lainnya
 Imbalan sehubungan dengan jasa manajemen dan jasa lainnya
 Bunga, kecuali bungan yang berkenaan dengan usaha perbankan
Sebagai konsukuensinya, atas pembayaran seperti tersebut diatas, yang diterima atau
diperoleh BUT dari kantor pusat tidak dianggap sebagai objek pajak, kecuali bunga yang
berkenaan dengan usaha perbankan. Perlakuan Pajak atas Penghasilan Kena Pajak dari
Suatu BUT yang di nyatakan kembali di Indonesia
Penghasilan kena pajak sesudah dikurangi pajak penghasilan dari suatu bentuk usaha tetap
di indonesia, akan dikenakan PPh pasal 26 sebesar 20% (bersifat final) kecuali penghasilan
tersebut ditanamkan kembali di indonesia. Penanaman kembali tersebut harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
1. Penanaman kembali dilakukan atas seluruh penghasilan kena pajak setelah dikurangi
pajak penghsilan dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan yang baru didirikan
dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri.
2. Perusahaan baru yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagaimana dimaksud
hruf a, harus secara aktif melakukan kegiatan usaha sesuai dengan akte pendiriannya,
paling lama 1(satu) tahun sejak perusahaan tersebut didirikan
3. Penanaman kembali dilakukan dalam tahun pajak berjalan atau paling lama tahun pajak
berikutnya dari tahun pajak diterima atau diperolehnya penghasilan tersebut dan
4. Tidak melakukan pengalihan atas penanaman kembali tersebut paling singkat dalam
jangka waktu 2 (dua) tahun sesudah perusahaan baru tersebut telah berproduksi
komersial
Bentuk usaha tetap yang melakukan penanaman kembali, wajib menyampaikan
pemberitahuan secara tertulis mengenai bentuk penanaman yang dilakukan kepada
Dirjen Pajak sebagai lampiran SPT Tahunan PPH tahun pajak diterima atau diperolehnya
penghasilan yang bersangkutan.
Contoh:
Foodz Indonesia yang merupakan bentuk usaha tetap mempunyai penghasilan kena pajak
dalam tahun 2009 sebesar Rp.1.000.000.000,00
Penghasilan Pajak atas BUT tersebut adalah sebagai berikut:
Penghasilan kena pajak Rp.1.000.000.000,00
PPh terutang
28% x Rp.1.000.000.000,00 = Rp.280.000.000,00
Penghasilan kena pajak BUT sesudah
86
Dikurangi dengan pajak penghasilan Rp.720.000.000,00
Atas penghasilan tersebut akan dikenakan pajak lagi sebesar
20% x RP.720.000.000,00 atau sama dengan Rp.144.000.000,00
Namun apabila atas penghasilan kena pajak BUT sesudah dikurangi pajak penghasilan
tersebut (sebesar Rp.720.000.000,00) ditanamkan kembali di Indonesia, maka atas
penghasilan tersebut tidak dipotong pajak. Jadi tidak ada pemotongan pajak penghasilan
sebesar 20% atau sebesar 144.000.000,00
8. PENYUSUTAN, AMORTISASI, DAN REVALUASI
A. Penyusutan
Untuk menghitung besarnya penyusutan harga tetap berwujud dibagi menjadi dua
golongan, yaitu:
1. Harta berwujud yang bukan berupa bangunan
2. Harta berwujud yang berupa bangunan
Harta berwujud yang bukan bangunan terdiri dari empat kelompok, yaitu:
Kelompok 1: kelompok harga berwujud bukan bangunan yang mempunyai masa
manfaat 4 tahun
Kelompok 2: kelompok harga berwujud bukan bangunan yang mempunyai masa
manfaat 8 tahun
Kelompok 3: kelompok harga berwujud bukan bangunan yang mempunyai masa
manfaat 16 tahun
Kelompok 4: kelompok harga berwujud bukan bangunan yang mempunyai masa
manfaat 20 tahun
Harta berwujud yang berupa bangunan dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Permanen: masa manfaatnya 20 tahun
2. Tidak permanen: bangunan yang bersifat sementara, terbuat dari bahan yang tidak
tahan lama, atau bangunan yang tidak dapat dipindah-pindahkan. Masa manfaatnya
tidak lebih dari 10 tahun.

B. Metode Dan Tarif Penyusutan


Metode penyusutan yang dipergunakan adalah metode garis lurus (straight line method)
dan metode saldo menurun (declining balance method). Wajib pajak diperkenankan
untuk memilih salah satu metode untuk melakukan penyusutan. Metode garis lurus
diperkenankan dipergunakan untuk semua kelompok harta tetap berwujud. Sedangkan
metode saldo menurun hanya diperkenankan digunakan untuk kelompok harta
berwujud bukan bangunan saja.
Tabel berikut menggambarkan pengelompokan harta berwujud, metode, serta tarif
penyusutannya:

87
TARIF DEPRESIASI

ELOMPOK HARTA MASA GARIS SALDO


BERWUJUD MANFAAT LURUS MENURUN

1. I. Bukan
Bangunan
Kelompok 1 4 Tahun 25% 50%

Kelompok 2 8 Tahun 12,5% 25%

Kelompok 3 16 Tahun 6,25% 12,5%

Kelompok 4 20 Tahun 5% 10%

1. II. Bangunan
Permanen 20 Tahun 5% –

Tidak Permanen 10 Tahun 10% –

CONTOH PENGHITUNGAN PENYUSUTAN


Contoh 1:
PT nusantara mengeluarkan dana sebesar Rp 150.000.000,00 untuk pembangunan
sebuah gedung. Pembangunan dimulai sejak tanggal 10 Agustus tahun 2008. Gedung
tersebut selesai dibangun dan digunakan pada bulan Mei 2009. Penyusustan atas
bangunan tersebut dimulai sejak bulan Mei 2009.
Contoh 2:
PT Sarimadu yang bergerak dalam bidang perkebunan tebu membeli traktor pada bulan
Maret 2007. Perkebunan tersebut mulai memanen hasilnya pada bulan Juni 2009.
Dengan persetujuan Dirjen Pajak, penyususn traktor dapat dilakukan mulai bulan Juni
2009.
Contoh 3:
PT Agri Jaya pada bulan Juli 2009 membeli sebuah alat pertanian yang mempunyai
masa manfaat 4 tahun seharga Rp 1.000.000,00. Penghitungan penyusutan atas harta
tersebut adalah sebagai berikut:
88
Alternatif I : Metode Garis Lurus:
Penyusutan tahun 2009:
6/12 x 25% x Rp 1.000.000,00 = Rp 125.000,00
Penyusutan tahun 2010
25% x Rp 1.000.000,00 = Rp 250.000,00
Penyusutan tahun 2011:
25% x Rp 1.000.000,00 = Rp 250.000,00
Penyusutan tahun 2012:
25% x Rp 1.000.000,00 = Rp 250.000,00
Penyusutan tahun 2013:
Sisanya disusutkan sekaligus = Rp 125.000,00

Alternatif II Metode Saldo Menurun


Penyusutan tahun 2009 :
6/12 x 50% x Rp 1.000.000 = Rp 250.000
Penyusutan tahun 2010 :
50% x (Rp 1.000.000 – Rp 250.000) =
50% x Rp 750.000 = Rp 375.000
Penyusutan tahun 2011 :
50% x (Rp 750.000 – Rp 375.000) =
50% x Rp 375.000 = Rp 187.500
Penyusutan tahun 2012 :
50% x (Rp 375.000 –Rp 187.500)
50% x Rp 187.500 = Rp 93.750
Penyusutan tahun 2013 :
Sisanya disusutkan sekaligus = Rp 93. 750

89
C. Amortisasi
Harta tak berwujuddigolongkan menjadi :
1. Kelompok 1 : kelompok harta tak berwujud yang mempunyai masa manfaat 4 tahun.
2. Kelompok 2 : kelompok harta tak berwujud yang mempunyai masa manfaat 8 tahun.
3. Kelompok 3 : kelompok harta tak berwujud yang mempunyai masa mafaat 16 tahun.
4. Kelompok 4 : kelompok harta tak berwujud yang mempunyai masa manfaat 20 tahun.

METODE DAN TARIF AMORTISASI


Harga perolehan harta tak berwujud dan pengeluaran lainnya termasuk biaya perpanjangan
hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai, dan muhibah (goodwill) yang mempunyai
masa manfaat lebih dari satu tahun diamortisasi dengan metode garis lurus ( straight line
method) dan metode saldo menurun (declining balnce method). Wajib pajak
diperkenankan untuk memlih salah satu metode untuk melakukan amortisasi.
Tabel berikut menggambarkan pengelompokkan harta tak berwujud,metode, serta tariff
amortisasinya.

Tarif Amortisasi

Kelompok Harta Tak Masa Saldo


Berwujud Manfaat Garis Lurus Menurun

Kelompok 1 4 Tahun 25% 50%

Kelompok 2 8 Tahun 12,5% 25%

16
Kelompok 3 Tahun 6,25% 12,5%

20
Kelompok 4 Tahun 5% 10%

Kelompok, metode, dan tariff amortisasi seperti disebutkan dalam tabel di atas berlaku
juga untuk :
a. Pengeluaran untuk biaya pendirian dan biaya perluasan modal suatu perusahaan.
Pengeluaran ini dapat juga dibebankan pada tahun terjadinya pengeluaran.
b. Pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi komersial, misalnya biaya studi
kelayakan dan biaya produksi percobaan, yang mempunyai masa manfaat lebih dari
satu tahun. Pengeluaran ini dikapitalisasikan kemudian diamortisasi sesuai tabel di atas.
Satu hal yang harus diperhatikan adalah bahwa biaya operasional yang bersifat rutin,
seperti biaya rekening listrik dan telepon, gaji pegawai, dan biaya kantor lainnya, tidak
boleh dikapitalisasi tetapi dibebankan sekaligus pada tahun pengeluaran.

90
CONTOH PENGHITUNGAN AMORTISASI
Contoh 4 :
PT Asti Jaya pada tanggal 4 Januari 2009 mengeluarkan uang sebanyak Rp 100.000.000
untuk memperoleh hak lisensi dari Phoenyxcycle Ltd selama 4 tahun untuk
memproduksi Sepeda Phoenix. Penghitungan amortisasi atas hak lisensi tersebut adalah
sebagai berikut:
Alternatif I : Metode Garis Lurus
Amortisasi tahun 2009 :
25% x Rp 100.000.000,00 = Rp 25.000.000,00
Amortisasi tahun 2010 :
25% x Rp 100.000.000,00 = Rp 25.000.000,00
Amortisasi tahun 2011 :
25% x Rp 100.000.000,00 = Rp 25.000.000,00
Amortisasi tahun 2012 :
25% x Rp 100.000.000,00 = Rp 25.000.000,00
Alternatif II : Metode Saldo Menurun
Amortisasi tahun 2009 :
50% x Rp 100.000.000,00 = Rp 50.000.000,00
Amortisasi tahun 2009 :
50% x (Rp 100.000.000,00 – Rp 50.000.000,00)
50% x Rp 50.000.000,00 = Rp 25.000.000,00
Amortisasi tahun 2011 :
50% x (Rp 50.000.000,00 – Rp 25.000.000,00)
50% x Rp 25.000.000,00 = Rp 12.500.000,00
Amortisasi tahun 2012 :
Diamortisasi sekaligus = Rp 12.500.000,00

D. Revaluasi
Revaluasi adalah penilaian kembali atas aktiva tetap yang dimiliki oleh perusahaan dengan
menggunakan nilai wajar atau nilai pasar riil aktiva per tanggal revaluasi. Adanya revaluasi
akan mengakibatkan aktiva tetap dinilai pada nilai wajar atau nilai pasarnya bukan nilai
buku aktiva tetap sehingga dapat menyebabkan kenaikan nilai atas aktiva tetap tersebut.
Selisih lebih antara nilai wajar dengan nilai buku aktiva tetap yang direvaluasi akan
dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 10%.

91
Revaluasi atas aktiva tetap harus didasarkan pada nilai wajar atau nilai pasar aktiva tetap
yang berlaku pada saat revaluasi yang ditetapkan oleh perusahaan jasa penilai atau ahli
penilai, yang memperoleh izin dari pemerintah. Dalam hal nilai wajar atau nilai pasar yang
ditetapkan oleh ahli penilai tidak mencerminkan kondisi yang sebenarnya, Direktur
Jenderal pajak menetapkan kembali nilai wajar atau nilai pasar aktiva tetap yang
bersangkutan.

Yang boleh melakukan revaluasi atas aktiva tetap adalah Wajib Pajak badan dan Badan
Usaha Tetap, tidak termasuk wajib pajak badan yang menyelenggarakan pembukuan
dalam bahasa inggris dan uang dollar Amerika Serikat, yang telah memenuhi semua
kewajiban pajak sampai dengan masa pajak terakhir sebelum masa pajak dilakukannnya
revaluasi. Kewajiban pajak tersebut mencakup seluruh kewajiban pajak badan yang
bersangkutan seperti PPh, PPN dan PPnBM, PBB, yang telah terutang sampai dengan
masa pajak sebelum masa pajak dilakukannya revaluasi.

Sejak bulan dilakukannya revaluasi berlaku hal-hal sebagai berikut:


1. Dasar penyusutan fiskal aktiva tetap adalah nilai pada saat revaluasi
2. Masa manfaat fiskal aktiva tetap yang direvaluasi disesuaikan kembali menjadi masa
manfaat penuh untuk kelompok aktiva tetap tersebut
3. Perhitungan penyusutan dilakukan sejak bulan dilakukannya revaluasi atas aktiva tetap
Untuk bagian tahun pajak sampai dengan bulan sebelum bulan dilakukannya revaluasi atas
aktiva tetap berlaku ketentuan sebagai berikut:
1. Dasar penyusutan fiskal aktiva tetap adalah dasar penyusutan aktiva tetap pada awal
tahun pajak yang bersangkutan
2. Sisa manfaat fiskal aktiva tetap adalah sisa manfaat fiskal aktiva tetap pada awal tahun
yang bersangkutan
3. Perhitungan penyusutan aktiva tetap dilakukan secara prorata sesuai dengan banyaknya
bulan dalam bagian tahun pajak tersebut.
Aktiva tetap yang tidak memperoleh persetujuan untuk direvaluasi disusutkan
menggunakan dasar penyusutan fiskal dan sisa manfaat fiskal semula sebelum
dilakukannya revaluasi atas aktiva tetap tersebut.

92
BAB VII
PEMBAHASAN
PAJAK PENGHASILAN PASAL 21

1.1. Pengertian PPH 21


Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang-Undang
(yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang
langsung dapat ditujukan dan digunakan untuk membayar pengeluaran Umum.
PPh 21 menurut Peraturan Direktur Jenderal (Perdirjen) Pajak Nomor PER-
32/PJ/2015 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan
pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun yang sehubungan dengan
pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi subjek
pajak dalam negeri.

1.2. Wajib Pajak PPh pasal 21 dan tidak termasuk WP PPh pasal 21
1.2.1. Wajib Pajak PPh Pasal 21
Peraturan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pemungutan dan penentuan
Wajib Pajak (WP), dalam pelaksanaannya tentu telah diatur dalam undang-
undang perpajakan (Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang KUP,
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang PPh dan Undang-Undang Nomor
42 Tahun 2009 Tentang PPN dan PPnBM, serta peraturan pelaksanaannya) yang
dilaksanakan oleh Direktorat Jendral Pajak beserta instansi publik terkait. Wajib
pajak memiliki hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan dan diterima agar tidak
menyalahi aturan yang ada. Dalam Undang-undang nomor 28 Tahun 2007 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 1 ayat 2 disebutkan pengertian
Wajib Pajak yaitu:
“Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong
pajak dan pemungut pajak yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan.”
Dari pengertian menurut undang-undang di atas tidak disebutkan bahwa Wajib
Pajak adalah orang yang sudah memiliki NPWP saja dan wajib untuk membayar
pajak, karena pengertian yang terkandung di dalam pasal di atas orang yang belum
memiliki NPWP pun dapat dikategorikan sebagai Wajib Pajak apabila benar-benar
sudah mempunyai hak dan kewajiban perpajakan.
Pertanyaannya lagi adalah bagaimana membedakan orang atau badan atau
pemotong dan pemungut yang sudah mempunyai hak dan kewajiban perpajakan
itu?. Perbedaannya adalah pada syarat subjektif dan objektif sebagai Wajib Pajak.
Jadi orang pribadi atau badan atau pemotong dan pemungut yang sudah memenuhi
syarat subjektif dan syarat objektif sebagai Wajib Pajak maka disebut Wajib Pajak
walaupun belum memiliki NPWP dan kepadanya terdapat hak dan kewajiban untuk
melaksanakan ketentuan perpajakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku
Sebagai contoh misalnya anda bekerja sebagai karyawan di perusahaan dengan gaji
melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak . Dari contoh ini dua syarat sebagai Wajib
Pajak yaitu syarat subjektif dan syarat objektiftelah terpenuhi. Subjek pajaknya
adalah anda dan objek pajaknya adalah penghasilan dari gaji anda, sehingga

93
menurut ketentuan anda dikenakan PPh Pasal 21 walupun anda belum memiliki
NPWP.
Wajib pajak PPh Pasal 21 adalah orang yang dikenai pajak atas penghasilannya
atau penerima penghasilan yang dipotong PPh 21 berdasarkan Perdirjen PER-
32/PJ/2015 Pasal 3 wajib pajak PPh 21. Jika disimpulkan peserta wajib pajak
terbagi menjadi 6 kategori, antara lain pegawai, bukan pegawai, penerima pensiun
dan pesangon, anggota dewan komisaris, mantan pegawai dan peserta kegiatan.
Secara lebih rinci peserta wajib pajak adalah sebagai berikut:
A. Pegawai;
B. Penerima uang pesangon, pensiun, atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari
tua, atau jaminan hari tua, termasuk ahli warisnya juga merupakan wajib pajak
PPh 21.
C. Wajib pajak PPh 21 kategori bukan pegawai yang menerima atau memperoleh
penghasilan sehubungan dengan pemberian jasa, meliputi:

1. Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan,
arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai dan aktuaris;
2. Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron,
bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain
drama, penari, pemahat, pelukis dan seniman lainnya;
3. Olahragawan;
4. Penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
5. Pengarang, peneliti, dan penerjemah;
6. Pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik, komputer dan sistem
aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi, dan sosial serta
pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan;
7. Agen iklan;
8. Pengawas atau pengelola proyek;
9. Pembawa pesanan atau menemukan langganan atau yang menjadi perantara;
10. Petugas penjaja barang dagangan;
11. Petugas dinas luar asuransi; dan/atau
12. Distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan
sejenis lainnya.
D. Anggota dewan komisaris atau dewan pengawas tidak merangkap sebagai Pegawai
Tetap pada perusahaan yang sama
E. Mantan pegawai; dan/atau
F. Wajib pajak PPh Pasal 21 kategori peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh
penghasilan sehubungan dengan keikutsertaannya dalam suatu kegiatan, antara lain:

1. Peserta perlombaan dalam segala bidang, antara lain perlombaan olah raga, seni,
ketangkasan, ilmu pengetahuan, teknologi dan perlombaan lainnya;
2. Peserta rapat, konferensi, sidang, pertemuan, atau kunjungan kerja;

94
3. Peserta atau anggota dalam suatu kepanitiaan sebagai penyelenggara kegiatan
tertentu;
4. Peserta pendidikan dan pelatihan; atau
5. Peserta kegiatan lainnya.

2.2.2. Yang tidak termasuk Wajib Pajak PPh Pasal 21 yaitu :


a. Pejabat perwakilan diplomatic dan konsulat atau pejabat lain dari Negara asing dan
orang – orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat
tinggal bersama mereka, dengan syarat bukan warga Negara Indonesia dan di
Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau
pekerjaannya tersebut, serta Negara yang bersangkutan memberikan perlakuan
timbal balik.
b. Pejabat perwakilan organisasi internasional dimaksud dalam pasal 3 ayat (1) huruf
c Undang – Undang Pajak Penghasilan, yang telah ditetapkan oleh Menteri
Keuangan, dengan syarat bukan warga Negara Indonesia dan tidak menjalankan
usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari
Indonesia.

2.3. Hak dan Kewajiban Wajib Pajak PPh pasal 21


2.3.1. Hak-hak WP PPh 21

1. Wajib pajak berhak meminta bukti pemotongan PPh Pasal 21 kepada Pemotong Pajak. Jumlah
PPh Pasal 21 yang telah dipotong dapat dikreditkan dari PPh Pasal 21 untuk tahun pajak yang
bersangkutan, kecuali PPh Pasal 21 yang bersifat final.
2. Wajib pajak berhak mengajukan surat keberatan kepada Direktur Jendral Pajak,jika PPh Pasal
21 yang dipotong oleh Pemotong Pajak tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku. Pengajuan
surat keberatan ini dilakukan dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak
yang dipotong menurut perhitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan-alasan yang jelas.
Pengajuan surat keberatan ini dilakukan dalam jngka waktu 3 bulan setelah tanggal
pemotongan, kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut
tdak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan.
3. Wajib pajak berhak mengajukan permohonan banding secara tertulis dalam bahasa Indonesia
dengan alasan yang jelas kepada Badan Penyelesaian Sengketa Pajak terhadap keputusan
mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Permohonan banding
ini diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan alasan yang jelas, dan dilakukan
dalam jangka waktu 3 bulan sejak keputusan diterima, dilampiri salinan surat keputusan
tersebut. Apabila badan pengadilan pajak belum terbentuk, maka permohonan bandingdapat
diajukan kepada Badan Penyelesaian Sengketa Pajak. Putusan Badan Penyelesaian Sengketa
Pajak bukan merupakan keputusan Tata Usaha Negara.

2.3.2. Kewajiban Wajib Pajak PPH pasal 21

A. Wajib Mendaftarkan Diri ke KPP (Kantor Pelayanan Pajak)


B. Pegawai, Penerima Pensiun Berkala, dan Bukan Pegawai tertentu Wajib Membuat Surat
Pernyataan Yang Berisi Jumlah Tanggungan Keluarga Pada Awal Tahun Kalender Atau
Pada Saat Menjadi Subjek Pajak Dalam Negeri
C. Wajib Menyerahkan Surat Pernyataan Tanggungan Keluarga kpd Pemotong Pajak Pada
Saat Mulai Bekerja Atau Mulai Pensiun.

95
2.4. Pemotong Pajak PPh Pasal 21 serta hak dan kewajibannya
Para pemotongan PPh 21 adalah:
1. Pemberi Kerja yang terdiri dari orang pribadi maupun badan, yang merupakan induk,
cabang, perwakilan atau unit perusahaan, yang membayar atau terutang gaji, upah,
honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama apapun (mis: bonus, tunjangan,
tantiem, dll), sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai
atau bukan pegawai. Sedangkan yang dimaksud bukan pegawai adalah orang pribadi yang
menerima atau memperoleh penghasilan dari pemberi kerja sehubungan dengan ikatan kerja
tidak tetap, misalnya artis yang menerima atau memperoleh honorarium.
2. Bendahara Pemerintah termasuk bendahara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, instansi
atau lembaga pemerintah, lembaga-lembaga Negara lainnya dan Kedutaan Besar Republik
Indonesia di luar negeri.
3. Dana Pensiun atau badan lain(misalnya badan penyelenggara Jaminan Sosial Tenaga Kerja)
yang memberi uang pensiun, tunjangan hari tua, dan tabungan hari tua.
4. Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas serta Badan yang
Membayar: honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa
dan/atau kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak Dalam
Negeri dan Luar Negeri, dan honorarium atau imbalan lain kepada peserta pendidikan,
pelatih, dan magang.
5. Penyelenggara Kegiatan, termasuk badan pemerintah, organisasi termasuk organisasi
internasional, perkumpulan, orang pribadi, serta lembaga lain yang menyelenggarakan
kegiatan, yang membayar honorarium, hadiah dan penghargaan dalam bentuk apapun
kepada WP Dalam Negeri orang pribadi berkenaan dengan suatu kegiatan.

Dibawah ini merupakan pemberi kerja yang dikecualikan dari pemotongan PPh pasal 21 antara
lain:

1. kantor perwakilan negara asing;


2. organisasi-organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri
Keuangan yang mengatur mengenai penetapan organisasi-organisasi internasional yang
tidak termasuk subjek Pajak Penghasilan;
3. organisasi-organisasi internasional yang ketentuan Pajak Penghasilannya didasarkan pada
ketentuan perjanjian internasional dan dalam perjanjian internasional tersebut
mengecualikan kewajiban pemotongan pajak, serta organisasi-organisasi dimaksud telah
ditetapkan oleh Menteri Keuangan;
4. pemberi kerja orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang
semata-mata mempekerjakan orang pribadi untuk melakukan pekerjaan rumah tangga atau
pekerjaan bukan dalam rangka melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.

2.4.1. Berikut adalah hak yang dapat digunakan oleh Pemotong Pajak :

1. Jika ada hal yang membuat penyampaian SPT Tahunan menjadi tidak tepat waktu, maka
pemotong pajak dapat mengajukan permohonan perpanjangan waktu untuk menyampaikan
SPT Tahunan Pasal 21.
2. Pemotong pajak berhak memperhitungkan kelebihan setoran PPh dalam satu bulan takwin
yang terutang pada bulat berikutnya pada satu tahun masa pajak PPh Pasal 21.
3. Pemotong pajak berhak memperhitungkan kelebihan setoran PPh dalam satu bulan pada
bulan atau tahun berikutnya.
4. Jika ada kesalahan penulisan, pemotong pajak dapat membetulkan SPT dengan
menyampaikan pernyataan tertulis dalam selang waktu 2 tahun setelah berakhir masa pajak,
asalkan SPT itu belum diperiksa oleh Direktur Jenderal Pajak.

96
Apabila ada yang kurang sesuai, pemotong pajak dapat mengajukan surat keberatan kepada
Direktur Jenderal Pajak berupa:
 Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
 Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan
 Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, dan
 Surat Ketetapan Pajak Nihil.
5. Apabila ada keberatan tentang keputusan Dirjen Pajak, pemotong pajak dapat mengajukan
permohonan banding secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan alasan yang jelas
kepada badan peradilan Pajak.
2.4.2. Kewajiban Pemotong Pajak PPh pasal 21
Berikut adalah kewajiban yang dimiliki oleh pemotong pajak :
1. Pemotong Pajak harus mendaftarkan diri sebagai Pemotong Pajak ke Kantor
Pelayanan Pajak atau Kantor Penyuluhan Pajak setempat.
2. Dalam pemenuhan kewajiban perpajakan, pemotong Pajak harus mengambil sendiri
formulir yang diperlukannya di Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Penyuluhan
Pajak setempat. Pengambilan formulir ini tidak dapat dilimpahkan pada orang lain.
3. Pemotong Pajak wajib melaporkan penyetoran PPh Pasal 21 yang terutang pada
setiap bulan takwim.
4. Pemotong Pajak wajib melapor penyetoran PPh Pasal 21 meskipun nihil dengan
menggunakan surat pemberitahuan (SPT) masa ke Kantor Pelayanan Pajak atau
Kantor Penyuluhan Pajak setempat. Penyetoran ini paling lambat dilakukan pada
tanggal 20 bulan takwim berikutnya.
5. Saat melakukan pemotongan pajak, pemotong pajak harus memberikan bukti
pemotongan pajak kepada siapapun itu, tanpa terkecuali, entah diminta atau tidak.
Hal ini termasuk orang-orang yang bukan sebagai pegawai tetap, penerimaan
Jaminan Hari Tua, penerimaan uang tembusan pensiun, penerima dana pensiun dan
penerima uang pesangon.
6. Bukti pemotongan pajak tetap harus disampaikan pada pegawai yang pajaknya
dipotong. Jika pegawai yang dipotong pajaknya berhenti bekerja atau pensiun, maka
bukti pemotongan paling lambat diberikan 1 bulan setelah pegawai berhenti bekerja
atau pensiun.
7. Dalam waktu 2 bulan setelah tahun takwim berakhir, pemotong pajak harus
menghitung lagi jumlah PPh pasal 21 yang terutang oleh pegawai tetap dan penerima
pensiun bulanan sesuai tarif.
8. Dalam pengurusan SPT Tahunan, pemotong Pajak wajib mengisi, menandatangani,
serta menyampaikan SPT itu ke Kantor Pelayanan Pajak tempat pemotong pajak
terdaftar.
9. Pemotong pajak harus mematuhi penyampaian SPT sesuai ketentuan. Hal ini
termasuk melampiri SPT Tahunan PPh Pasal 21 dengan lampiran-lampiran yang
ditentukan dalam petunjuk pengisian SPT Tahunan PPh Pasal 21 untuk Tahun pajak
yang bersangkutan.
10. Pemotong pajak diharuskan menyetor kekurangan PPh Pasal 21 yang terutang jika
jumlah PPh Pasal 21 yang terutang dalam satu tahun takwim lebih besar daripada
PPh Pasal 21 yang telah disetor.

97
2.5. Objek PPh Pasal 21 dan Penghasilan yang dikecualikan dalam PPh Pasal 21
Pada dasarnya, penghasilan yang diterima oleh karyawan akan dipotong PPh Pasal 21. Tetapi
tidak semua penghasilan tersebut merupakan objek yang harus dikenakan PPh Pasal 21. Objek PPh
Pasal 21 terdiri dari penghasilan yang berhubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan
nama dan dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak PPh 21. Secara garis
besar, penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 terbagi atas dua kategori, yaitu Objek Pajak PPh
21 (yang terbagi lagi menjadi “dikenakan PPh final” dan “tidak dikenakan PPh final”) dan Bukan
Objek Pajak PPh 21.
2.5.1. Objek PPh Pasal 21
Berikut ini merupakan Objek Pajak Penghasilan Pasal 21 berdasarkan Peraturan Dirjen Pajak
terbaru PER-16/PJ/2016, yaitu:

1. Penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tetap, baik berupa penghasilan yang
bersifat teratur maupun tidak teratur. Contoh: Gaji, Upah Lembur, Bonus, Tunjangan-
tunjangan
2. Penghasilan yang diterima atau diperoleh Penerima Pensiun secara teratur berupa uang
pensiun atau penghasilan sejenisnya,
3. Penghasilan berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan
hari tua yang dibayarkan sekaligus, yang pembayarannya melewati jangka waktu 2 tahun
sejak pegawai berhenti bekerja. Contoh: Susilo berusia 60 tahun dan memutuskan untuk
berhenti dari pekerjaannya. Susilo melakukan klaim Jaminan Pensiun ke kantor BPJS dan
menerima uang sebesar 100jt, maka atas uang 100jt tersebut akan dikenakan pajak
penghasilan pasal 21.
4. Penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah harian, upah mingguan,
upah satuan, upah borongan atau upah yang dibayarkan secara bulanan,
5. Imbalan kepada bukan pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan imbalan
sejenisnya dengan nama dan dalam bentuk apapun sebagai imbalan sehubungan dengan
pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan,
6. Imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang representasi, uang rapat,
honorarium, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, dan imbalan
sejenis dengan nama apapun.
7. Penghasilan berupa honorarium atau imbalan yang bersifat tidak teratur yang diterima atau
diperoleh anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap sebagai
Pegawai Tetap pada perusahaan yang sama,
8. Penghasilan berupa jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus, atau imbalan lain yang bersifat
tidak teratur yang diterima atau diperoleh mantan pegawai,
9. Penghasilan berupa penarikan dana pensiun oleh peserta program pensiun yang masih
berstatus sebagai pegawai dari dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
keuangan.

Termasuk pula penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan lainnya dengan nama
dan dalam bentuk apapun yang diberikan oleh:

A. Wajib Pajak yang dikenakan pajak penghasilan yang bersifat final, atau
B. Wajib Pajak yang dikenakan pajak penghasilan berdasarkan norma penghitungan khusus.

2.5.2. Bukan Objek Pajak Penghasilan Pasal 21


Jenis penghasilan yang tidak dikenakan Pph Pasal 21 diatur dalam Peraturan Dirjen Pajak
Nomor PER-16/PJ/2016, yaitu:

98
1. Pembayaran manfaat asuransi atau santunan asuransi dari perusahaan asuransi sehubungan
dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan
asuransi beasiswa. Contoh: Hendra menderita sakit gagal ginjal dan diharuskan untuk
dirawat di rumah sakit. Hendra memutuskan untuk menggunakan asuransi kesehatan untuk
meringankan biaya rumah sakit. Atas uang asuransi kesehatan tersebut tidak akan dipotong
pph pasal 21 karena bukan objek pph pasal 21.
2. Penerimaan dalam betuk natura dan/atau kenikmatan dalam bentuk apapun yang diberikan
oleh Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak
yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final dan yang dikenakan Pajak Penghasilan
berdasarkan norma perhitungan khusus (deemed profit). Contoh: Riko saat ini bekerja di
Kantor Konsultan, selain mendapat gaji dan tunjangan transport, Riko juga mendapatkan
jatah makan siang dari kantor. Untuk gaji dan tunjangan transport akan dikenai pph pasal
21, namun atas jatah makan yg didapat oleh Riko tidak akan dipotong pajak, kecuali yang
diberikan dalam bentuk uang.
3. Iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh
Menteri Keuangan dan iuran tunjangan hari tua atau iuran jaminan hari tua kepada badan
penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja yang dibayar oleh pemberi kerja,
Contoh: Pada bulan Januari 2017 PT Sempurna membayar dana pensiun ke kantor BPJS
senilai 500jt. Atas dana pensiun tersebut tidak dipotong pph pasal 21, akan dipotong pada
saat karyawan melakukan klaim jaminan pensiun.
4. Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga amil zakat
yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah, atau sumbangan keagamaan yang sifatnya
wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia yang diterima oleh orang pribadi yang
berhak dari lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah, sepanjang
tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-
pihak yang bersangkutan,
5. Beasiswa yang diterima atau diperoleh Warga Negara Indonesia dari Wajib Pajak pemberi
beasiswa dalam rangka mengikuti pendidikan formal/nonformal yang terstruktur baik di
dalam negeri maupun luar negeri.

2.6. Mekanisme Pemotongan Pajak PPh 21


a. Pemotong Pajak setelah memotong pajak wajib menyetorkan pajak tersebut ke Bank
Persepsi, Kas Negara atau Kantor Pos dengan menggunakan SSP selambat-
lambatnya tanggal 10 bulan takwim berikutnya.
b. Pemotong Pajak wajib melaporkan penyetoran tersebut ke KPP tempat wajib pajak
terdaftar dengan menggunakan SPT Masa selambat-lambatnya pada tanggal 20
bulan takwim berikutnya. SPT dibuat rangkap dua, lembar pertama untuk KPP, dan
lembar kedua untuk arsip wajib pajak.
c. Pemotong pajak wajib memberikan bukti pemotongan baik dimintan maupun tidak
pada saat dilakukannya pemotongan pajak kepada pegawai yang bersangkutan.
d. Pemotong pajak wajib memberikan Bukti
e. Pemotong pajak wajib memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 tahunan (1721
A1 bagi pegawai tetap atau penerima pensiun, atau THT/ JHT dan 1721 A2 bagi
pegawai negeri sipil, anggota TNI/ Polri, pejabat negara dan pensiunannya).
Formulir ini tidak dipakai sebagai lampiran SPT Tahunan PPh Pasal 21 oleh
Pemotong Pajak.

99
f. Pemotong Pajak setelah tahun takwim berakhit berkewajiban melaporkan seluruh
penghasilan bruto dan PPh yang terutang/dibayar dalam SPT Masa PPh Pasal 21/ 26
(1721 dan 121-I) bulan Desember tahun yang bersangkutan.

2.7. PERHITUNGAN PPH PASAL 21


2.7.1. Tarif Pajak
A. Tarif Umum PPh pasal 21, sebagaimana diatur dalam pasal 17 UU PPh,
sebagai berikut.

Penghasilan Netto Tarif pajak


Sampai dengan 50 juta 5%
50 juta sampai dengan 250 juta 15%
250 juta sampai dengan 500 juta 25%
Diatas 500 juta 30%

B. Tarif berdasarkan pasal 17 UU PPh, diterapkan atas penghasilan bruto berupa:


 Honorarium,uang saku, hadiah, penghargaan, komisi,dan pembayaran lain
dengan nama sebagai imbalan atas jasa atau kegiatan yang jumlahnya dihitung
tidak atas dasar banyaknya hari yang diperlukan untuk menyelesaikan jasa atau
kegiatan yang diberikan yang diterima atau diperoleh dalam satu bulan takwin.
Pada tahun 2009 beasiswa tidak menjadi objek PPh pasal 21.
 Honorarium yang diterima atau diperoleh anggota dewan komisaris atau dewan
pengawas yang tidak merangkap sebagai pegawai tetap pada perusahaan yang
sama selama satu tahun takwin
 Jasa produksi,tantiem,gratifikasi,bonus yang diterima atau diperoleh mantan
pegawai selama satu tahun takwin
 Penarikan dana pensiun oleh peserta program pensiun yang dibayarkan oleh
penyelenggara program pensiun
PPh Pasal 21 = Penghasilan Bruto x Tarif Pasal 17 UU PPh.
C. Tarif 15%,
Diterapkan atas perkiraan penghasilan neto yang dibayarkan atau terutang kepada
tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas
(pengacara,akuntan,dokter,arsitek,notaris, penilai,aktuaris). Besarnya perkiraan
penghasilan neto adalah 50% dari penghasilan bruto berupa honorarium atau imbalan
lain.
PPh Pasal 21 = (Penghasilan Bruto x 50%)x 15%

D. Tarif 5%
Diterapkan atas upah harian,upah mingguan,upah satuan,upah borongan dan uang saku
harian yang jumlahnya melebihi Rp 300.000 sehari tetapi tidak melebihi Rp 4.500.000
dalam satu bulan takwin dan/ tidak dibayarkan secara bulanan.
PPh Pasal 21 sehari = 5% x upah kena pajak sehari Upah Kena Pajak sehari = upah
sehari – Rp300.000.

100
2.7.2. Ketetapannya

PTKP 2016 Wajib Pajak Tidak Kawin (TK)

Uraian Status PTKP


Wajib Pajak TK0 54.000.000,-
Tanggungan 1 TK1 58.500.000,-
Tanggungan 2 TK2 63.000.000,-
Tanggungan 3 TK3 67.500.000,-

PTKP 2016 Wajib Pajak Kawin

Uraian Status PTKP


WP Kawin K0 58.500.000,-
Tanggungan 1 K1 63.000.000,-
Tanggungan 2 K2 67.500.000,-
Tanggungan 3 K3 72.000.000,-

PTKP 2016 Wajib Pajak Kawin, penghasilan istri dan suami digabung

Uraian Status PTKP


WP Kawin K/I/0 112.500.000,-
Tanggungan 1 K/I/1 117.000.000,-
Tanggungan 2 K/I/2 121.500.000,-
Tanggungan 3 K/I/3 126.000.000,-
Catatan:
 Tunjangan PTKP untuk anak atau tanggungan maksimal 3 orang
 TK : Tidak Kawin
 K : Kawin
 K/I : Kawin dan penghasilan pasangan digabung

2.7.3. Penerapannya

A. Pegawai tetap, penerima pensiun bulanan, pegawai tidak tetap, pemagang dan
calon pegawai serta distributor MLM/direct selling dan kegiatan sejenis, dikenakan
tarif Pasal 17 Undang-undang PPh dikalikan dengan Penghasilan Kena Pajak
(PKP). PKP dihitung berdasarkan sebagai berikut:
 Pegawai Tetap; Penghasilan bruto dikurangi biaya jabatan (5% dari penghasilan
bruto, maksimum Rp 6.000.000,- setahun atau Rp 500.000,- (sebulan);
dikurangi iuran pensiun. Iuran jaminan hari tua, dikurangi Penghasilan Tidak
Kena Pajak (PTKP).
 Penerima Pensiun Bulanan; Penghasilan bruto dikurangi biaya pensiun (5% dari
penghasilan bruto, maksimum Rp 2.400.000,- setahun atau Rp 200.000,-
sebulan); dikurangi PTKP.
 Pegawai tidak tetap, pemagang, calon pegawai : Penghasilan bruto dikurangi
PTKP yang diterima atau diperoleh untuk jumlah yang disetahunkan.

101
 Distributor Multi Level Marketing/direct selling dan kegiatan sejenis;
penghasilan bruto tiap bulan dikurangi PTKP perbulan.

B. Penerima honorarium, uang saku, hadiah atau penghargaan, komisi, bea siswa, dan
pembayaran lain sebagai imbalan atas jasa dan kegiatan yang jumlahnya dihitung
tidak atas dasar banyaknya hari yang diperlukan untuk menyelesaikan jasa atau
kegiatan; mantan pegawai yang menerima jasa produksi, tantiem, gratifikasi,
bonus; peserta program pensiun yang menarik dananya pada dana pensiun;
dikenakan tarif berdasarkan Pasal 17 Undang-undang PPh dikalikan dengan
penghasilan bruto.
C. Tenaga Ahli yang melakukan pekerjaan bebas (pengacara, akuntan, arsitek, dokter,
konsultan, notaris, penilai dan aktuaris) dikenakan tarif PPh Psl 17 x 50% dari
perkiraan penghasilan bruto - PTKP perbulan.
D. Pegawai harian, pegawai mingguan, pemagang, dan calon pegawai, serta pegawai
tidak tetap lainnya yang menerima upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah
borongan dan uang saku harian yang besarnya melebihi Rp.150.000 sehari tetapi
dalam satu bulan takwim jumlahnya tidak melebihi Rp. 1.320.000,- dan atau tidak
di bayarkan secara bulanan, maka PPh Pasal 21 yang terutang dalam sehari adalah
dengan menerapkan tarif 5% dari penghasilan bruto setelah dikurangi Rp. 150.000.
Bila dalam satu bulan takwim jumlahnya melebihi Rp.1.320.000,- sebulan, maka
besarnya PTKP yang dapat dikurangkan untuk satu hari adalah sesuai dengan
jumlah PTKP sebenarnya dari penerima penghasilan yang bersangkutan dibagi
360.
E. Penerima pesangon, tebusan pensiun, Tunjangan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua
yang dibayarkan sekaligus dikenakan tarif PPh final sebagai berikut:
 5% dari penghasilan bruto diatas Rp 25.000.000 s.d. Rp. 50.000.000.
 10% dari penghasilan bruto diatas Rp. 50.000.000 s.d. Rp. 100.000.000.
 15% dari penghasilan bruto diatas Rp. 100.000.000 s.d.Rp. 200.000.000.
 25% dari penghasilan bruto diatas Rp. 200.000.000.
Penghasilan bruto sampai dengan Rp. 25.000.000,- dikecualikan dari
pemotongan pajak.
E. Pejabat Negara, PNS, anggota TNI/POLRI yang menerima honorarium dan imbalan
lain yang sumber dananya berasal dari Keuangan Negara atau Keuangan Daerah
dipotong PPh Ps. 21 dengan tarif 15% dari penghasilan bruto dan bersifat final, kecuali
yang dibayarkan kepada PNS Gol. lId kebawah, anggota TNI/POLRI Peltu kebawah/
Ajun Insp./Tingkat I Kebawah.

2.7.4. Perhitungannya

A. Penghasilan Pegawai Tetap yang diterima Bulanan


Contoh:
Saefudin adalah pegawai tetap di PT Insan Selalu Lestari sejak 1 Januari 2018. la memperoleh
gaji sebulan sebesar Rp. 6.000.000,- memiliki tunjangan jabatan, transpot, dan makan masing
– masing 500.000 serta memperoleh JKK DAN JKM masing- masing Rp. 250.000,- dan
membayar iuran pensiun sebesar Rp. 350.000,- sebulan, serta iuran JHT Rp. 300.000 Saefudin

102
menikah telah mempunyai 2 anak (status K/2).
Penghasilan Bruto
gaji pokok Rp 6.000.000
Tunjangan jabatan Rp 500.000
Tunjangan transport Rp 500.000
Tunjangan makan Rp 500.000
JKK (dibayar permberi kerja) Rp 250.000
JKM (dibayar pemberi kerja) Rp 250.000
Jumlah Penghasilan Bruto Rp 8.000.000

Pengurangan
Biaya jabatan Rp 400.000
Iuran pensiun (dibayar pegawai)Rp 350.000
Iuran JHT ( dibayar pegawai ) Rp 300.000
Jumlah pengurangan Rp 1.050.000
penghasilan netto sebulan Rp 6.950.000
penghasilan netto setahun Rp 83.400.000
penghasilan tidak kena pajak (k/2)
wajib pajak Rp 54.000.000
status kawin Rp 4.500.000
tanggungan 2 orang Rp 9.000.000
jumlah PTKP Rp 67.500.000
penghasilan kena pajak Rp 15.900.000
PPh terutang setahun :
5% x Rp. 15.900.000
PPh terutang setahun Rp 795.000
PPh terutang sebulan = 1/12 x Rp. 795.000 Rp 66.250

B. Penerima pensiun yang dibayarkan secara bulanan


Contoh:
Teja status kawin dengan 1 anak pegawai PT. Mulia, pensiun tahun 2009. Tahun 2009 Teja
menerima pensiun sebulan Rp. 6.000.000,-
perhitungan pph pasal 21
pensiun sebulan Rp 6.000.000
pengurangan
biaya pensiun 5% x 6.000.000 Rp 300.000
penghasilan neto sebulan Rp 5.700.000
penghasilan neto setahun Rp 68.400.000
PTKP (K/1)
1. WP Rp 54.000.000
2. Kawin Rp 4.500.000
3. Tanggunggan 1 Rp 4.500.000
jumlah PTKP Rp 63.000.000
PKP Rp 5.400.000
PPh ps. 21 Setahun = 5% x 5.400.000 Rp 270.000
PPh ps. 21 sebulan Rp 22.500

103
C. Premi Dan Penghasilan Yang Sifatnya Tidak Tetap, Diberikan Sekali Saja Atau Sekali
Setahun.
pph pasal 21 atas gaji dan THR
Penghasilan bruto setahun = 12 x 5.500.000 Rp 66.000.000
THR Rp 600.000
JUMLAH PENGHASILAN BRUTO Rp 66.600.000
pengurangan
biaya jabatan 5% x 66.600.000 Rp 3.330.000
iuran pensiun 12 x 25.000 Rp 300.000
total pengurangan Rp 3.630.000
penghasilan neto setahun Rp 62.970.000
PTKP (K/0)
1. WP Rp 54.000.000
2. KAWIN Rp 4.500.000
TOTAL PTKP Rp 58.500.000
PKP SETAHUN Rp 4.470.000
PPh ps. 21 terutang 5% x 4.470.000 Rp 223.500
pph pasal 21 atas gaji
penghasilan bruto setahun Rp 66.000.000
pengurangan
biaya jabatan Rp 3.300.000
iuran pensiun Rp 300.000
total pengurangan Rp 3.600.000
penghasilan neto setahun Rp 62.400.000
PTKP (K/0) Rp 58.500.000
PKP setahun Rp 3.900.000
PPh ps. 21 terutang 5% X 3.900.000 Rp 195.000
PPh ps. 21 atas gaji dan thr - PPh pasal 21 atas gaji
223.500 - 195.000
Rp 28.500

D. Penerima Honorarium atau Pembayaran lain


Contoh : Ali seorang penceramah memberikan ceramah pada lokakarya dan menerima
honorarium Rp. 1.000.000,00.
Penghitungan PPh Pasal 21 yang dipotong (tarif Pasal 17) : 5%xRp.1.000.000,00 = Rp.
50.000,00
E. Komisi yang dibayarkan kepada penjaja barang dagangan atau petugas dinas luar
asuransi.
Contoh : Tri seorang penjaja barang dagangan hasil produksi PT Jaya, dalam bulan April 2009
menerima komisi sebesar Rp. 750.000,00 PPh Pasal 21 = 5% x Rp. 750.000,00 = Rp. 37.500,00
F. Penerima Hadiah atau Penghargaan sehubungan dengan Perlombaan.
Contoh : Ali pemain tenis yang tinggal di Jakarta, menjadi juara dalam suatu turnamen dan
mendapat hadiah Rp. 30.000.000,00 PPh Pasal 21 yang terutang atas hadiah turnamen adalah :
5% x Rp. 30.000.000,- = Rp. 1.500.000,-
G. Honorarium yang diterima tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas.
Contoh : Gatot seorang arsitek, bulan Maret 2009 menerima honorarium Rp.20.000.000,00 dari
PT.Abang sebagai imbalan atas jasa teknik. Penghitungan PPh Pasal 21 :
15% x 50% x Rp. 20.000.000,00 = Rp. 1.500.000,00

104
H. Penghasilan atas Upah Harian
Contoh : Eko pada bulan Agustus 2009 bekerja sebagai buruh harian pada PT Dayat Harini
Perkasa. la bekerja sehari sebesar Rp. 120.000,00. Penghitungan PPh Pasal 21 terutang : Upah
sehari = Rp. 120.000,00 Batas Upah harian yang Tidak di potong PPh = Rp. 150.000,00
PKP Sehari = Rp. 0,00 PPh Pasal 21 Sehari = (5% x Rp. 0,00) = Rp. 0,00
Upah Harian Rp 450.000
PTKP Rp 150.000
PKP Rp 300.000
PPh pasal 21 Rp 15.000
I. Penghasilan berupa uang tebusan pensiun, Tugan Hari Tua (THT), dan uang pesangon
yang dibayarkan sekaligus oleh Dana Pensiun yang telah disahkan Menteri Keuangan
Contoh : Eko bulan Maret 2009 menerima tebusan pensiun dari Dana Pensiun “ X” Rp.
70.000,000. Penghasilan Bruto Rp.70.000.000, Dikecualikan dari Pemotongan Rp.25.000.000
Penghasilan dikenakan pajak Rp.45.000.000, PPh Pasal 21 terutang : 5% x Rp. 45.000.000,00
= Rp. 2.250.000,- Jumlah PPh Pasal 21 terutang = Rp. 2.250.000,-
J. Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang tidak
memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
Menjadi lebih tinggi 20% (dua puluh persen) daripada tariff yang ditetapkan terhadap wajib
Pajak yang dapat menunjukkan NPWP.
Contoh : Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp75.000.000,00 Pajak Penghasilan yang harus
dipotong bagi Wajib Pajak yang memiliki NPWP adalah : 5% x Rp50.000.000,00 = Rp
2.500.000,00 15% x Rp25.000.000,00 = Rp 3.750.000,00 (+) Jumlah Rp 6.250.000,00
Pajak Penghasilan yang harus dipotong jika Wajib Pajak tidak memiliki NPWP adalah : 5% x
120% x Rp50.000.000,00 Rp 3.000.000,00 15% x 120% x Rp25.000.000,00 Rp 4.500.000,00
(+) Jumlah Rp 7.500.000,00

105
BAB VIII
PEMBAHASAN
PAJAK PENGHASILAN PASAL 22 DAN PASAL 23

3.1. Pengertian PPh Pasal 22


PPh Pasal 22 adalah pemungutan pajak yang dilakukan atas pembelian barang,
impor barang dan pembelian/penjualan barang di bidang usaha tertentu. Oleh karena itu
yang dikenakan pemungutan PPh pasal 22 adalah pemasok barang kepada pemerintah,
importer, dan pemasok/pembeli barang dari badan – badan tertentu.

3.1.1. Pemungut PPh Pasal 22


Bendahara & badan-badan yang memungut PPh Pasal 22 sebesar 1,5% dari
pembelian adalah:
 Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) atas objek
PPh Pasal 22 impor barang;
 Bendahara Pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sebagai
pemungut pajak pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Instansi atau
Lembaga Pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya, berkenaan
dengan pembayaran atas pembelian barang;
 Bendahara pengeluaran berkenaan dengan pembayaran atas pembelian
barang yang dilakukan dengan mekanisme uang persediaan (UP);
 Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau pejabat penerbit Surat Perintah
Membayar yang diberikan delegasi oleh Kuasa Pengguna Anggaran (KPA),
berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang kepada pihak ketiga
yang dilakukan dengan mekanisme pembayaran langsung (LS);
 Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yaitu badan usaha yang seluruh atau
sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara
langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan, yang meliputi:
o PT Pertamina (Persero), PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), PT
Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk., PT Telekomunikasi Indonesia
(Persero) Tbk., PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk., PT Pembangunan
Perumahan (Persero) Tbk., PT Wijaya Karya (Persero) Tbk., PT Adhi

106
Karya (Persero) Tbk., PT Hutama Karya (Persero), PT Krakatau Steel
(Persero);
o Bank-bank Badan Usaha Milik Negara, berkenaan dengan pembayaran
atas pembelian barang dan/atau bahan-bahan untuk keperluan kegiatan
usahanya.
 Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan,
pertanian, peternakan, dan perikanan, atas pembelian bahan-bahan dari
pedagang pengumpul untuk keperluan industrinya atau ekspornya.
 Industri atau badan usaha yang melakukan pembelian komoditas tambang
batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam, dari badan atau orang
pribadi pemegang izin usaha pertambangan.

3.1.2. Objek dan Pemungut PPh Pasal 22


Berikut merupakan objek dan pemungut PPH Pasal 22, antara lain :

No. Objek Pemungut

Pembelian Barang oleh Pihak yang membayar /


Bendaharawan Pemerintah dan DJA membeli:
1
( Direktorat Jenderal Anggaran ) - Bendaharawan Pemerintah
- DJA
Pembelian barang oleh BUMN/D
2 BUMN/BUMD yang bersumber dari
dana APBN dan atau APBD
Pembelian barang oleh badan tertentu Badan tertentu
3 yang bersumber dari dana APBN
maupun non APBN
Impor Barang : - Direktorat Jenderal Bea
- Dilakukan oleh importer yang dan Cukai ( DJBC )
memiliki API - Bank Devisa
4
- Dilakukan oleh importer yang
tidak memiliki API
- Yang tidak dikuasai ( lelang)

107
Pembelian bahan untuk industri Industri tertentu yang bergerak

5 tertentu atau eksportir dari pedagang di bidang pertanian,


pengumpul perkebunan dan perikanan

Penjualan bahan bakar minyak, gas, Produsen atau importer bahan


6 dan pelumas bakar minyak, gas, dan
pelumas

Penjualan barang yang tergolong Wajib Pajak Badan yang


7
mewah melakukan penjualan tersebut

Penjualan hasil industry tertentu : Industry tertentu yang menjual


- Kertas
- Baja
8
- Otomotif
- Semen
- Rokok

3.1.3. Tarif PPh Pasal 22


Berikut merupakan tariff PPH Pasal 22, antara lain:

No. Objek Tarif

Pembelian barang yang dilakukan oleh DPJB,


1 Bendahara Pemerintah, BUMN/D, dan badan 1,5%

tertentu
Impor Barang:
- Yang menggunakan API 2,5%
2 - Yang tidak menggunakan API 7,5%
- Yang tidak dikuasai (Lelang) 7,5%

Pembelian bahan – bahan untuk keperluan


3 2,5%
industry/ekspor dari pedagang pengumpul
Penjualan oleh pertamina :
4
- Premium, Solar, Premix, Super TT 0,25%

108
- Minyak Tanah, LPG, Pelumas 0,3%

Penjualan oleh Selain Pertamina:


- Premium, Solar, Premix, Super TT 0,3%
5
- Minyak tanah, LPG, Pelumas 0,3%

Penjualan hasil industry tertentu :


0,1%
- Kertas
0,3%
- Baja
6 0,45%
- Otomotif
0,25%
- Semen 0,15%
- Rokok

3.1.4. Saat Terutang dan Pelunasan/Pemungutan PPh Pasal 22


 Atas impor barang terutang dan dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran
Bea Masuk. Dalam hal pembayaran Bea Masuk ditunda atau dibebaskan,
maka PPh Pasal 22 terutang dan dilunasi pada saat penyelesaian dokumen
Pemberitahuan Impor Barang (PIB);
 Atas pembelian barang (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 2,3,
dan 4 ) terutang dan dipungut pada saat pembayaran;
 Atas penjualan hasil produksi (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir
5) terutang dan dipungut pada saat penjualan;
 Atas penjualan hasil produksi (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir
6) dipungut pada saat penerbitan Surat Perintah Pengeluaran Barang
(Delivery Order);
 Atas pembelian bahan-bahan (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir
7) terutang dan dipungut pada saat pembelian.

3.1.5. Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan PPh Pasal 22


 PPh Pasal 22 atas impor barang (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22
butir 1) disetor oleh importir dengan menggunakan formulir Surat Setoran
Pajak, Cukai dan Pabean (SSPCP). PPh Pasal 22 atas impor barang yang
dipungut oleh DJBC harus disetor ke bank devisa, atau bank persepsi, atau
bendahara Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, dalam jangka waktu 1 (satu)
109
hari setelah pemungutan pajak dan dilaporkan ke KPP secara mingguan
paling lambat 7 (tujuh) hari setelah batas waktu penyetoran pajak berakhir.
 PPh Pasal 22 atas impor harus dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran
Bea Masuk dan dalam hal Bea Masuk ditunda atau dibebaskan, PPh Pasal 22
atas impor harus dilunasi saat penyelesaian dokumen pemberitahuan pabean
impor. Dilaporkan ke KPP paling lambat tanggal 20 setelah masa pajak
berakhir.
 PPh Pasal 22 atas pembelian barang (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal
22 butir 2) disetor oleh pemungut atas nama dan NPWP Wajib Pajak
rekanan ke bank persepsi atau Kantor Pos pada hari yang sama dengan
pelaksanaan pembayaran atas penyerahan barang. Pemungut menerbitkan
bukti pungutan rangkap tiga, yaitu:
o Lembar pertama untuk pembeli;
o Lembar kedua sebagai lampiran laporan bulanan ke Kantor Pelayanan
Pajak;
o Lembar ketiga untuk arsip Pemungut Pajak yang bersangkutan, dan
dilaporkan ke KPP paling lambat 14 (empat belas ) hari setelah masa
pajak berakhir.

3.1.6. Cara Menghitung PPh Pasal 22


1. Cara menghitung PPh pasal 22 atas kegiatan Impor Barang
 Besarnya PPh pasal 22 atas impor: Yang menggunakan Angka
Pengenal Importir (API), tarif pemungutannya sebesar 2,5% dari nilai
impor.
PPh Pasal 22 = 2,5% x Nilai Importir
 Yang tidak menggunakan Angka Pengenal Imortir (API), tarif
pemungutannya sebesar 7,5% dari nilai impor.
PPh Pasal 22 = 7,5% x Nilai Importir
 Yang tidak dikuasai,tarif pemungutannya sebesar 7,5% dari harga jual
lelang.
PPh Pasal 22 = 7,5% x Harga Jual Lelang
 Catatan : Yang dimaksud dengan nilai impor adalah nilai berupa uang
yang digunakan sebagai dasar perhitungan bea masuk. Nilai impor
110
dihitung sebesar Cost Insurance Freight (CIF) +Bea Masuk+ Pungutan
pabean lainnya.
 Contoh 1:
PT ANGGARA, memiliki nomor API, melakukan impor komputer dari
Amerika Serikat dengan perincian sbb:
Harga Komputer (Cost)……………………US$ 20,000.00
Asuransi (Insurance) ………………………US$ 1,000.00
Biaya angkut (Freight) …………………….US$ 4,000.00
Harga Pabean ……………………………..US$ 25,000.00
Pungutan :
- Bea Masuk 20% …………………………US$ 5,000.00
- Bea Masuk Tambahan 10% ……………US$ 2,500.00
NILAI IMPOR ………………………………US$ 32,500.00
Apabila pada tanggal impor (sesuai dokumen impor: pemberitahuan impor
barang) nilai kurs US $ 1.00= Rp 10.000,00 maka:
— Dasar pengenaan PPh Pasal 22: US$ 32,500.00 x Rp 10.000,00= Rp
325.000.000,-
— PPh Pasal 22 yang harus dipungut :Rp 325.000.000,00 x 2,5% = Rp
8.125.000,00.
 Contoh 2:
Seperti soal nomor diatas, tetapi PT ANGGARA tidak memiliki API, maka
perhitungan PPh Pasal 22 adalah:
Dasar pengenaan PPh Pasal 22: US$ 32,500.00 x Rp 10.000,00= Rp
325.000.000,-
PPh Pasal 22 yang harus dipungut :Rp 325.000.000,00 x 7,5% = Rp
24.375.000,-

2. Cara Menghitung PPh Pasal 22 Atas Pembelian Barang Yang Dibiayai


dengan APBN/ APBD
PPh Pasal 22 = 1,5% x Harga Perolehan.
Atas pembelian barang yang dananya dari belanja Negara atau belanja daerah
dikenakan pemungutan PPh Pasal 22 sebesar 1,5% dari harga pembelian.
Pembayaran yang dikecualikan dari pemungutan PPh Pasal 22 adalah:
Pembayaran atas penyerahan barang (bukan merupakan jumlah yang
dipecah-pecah) yang meliputi jumlah kurang dari Rp 1.000.000,00.
111
Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, air
minum/PDAM, dan benda-benda pos. Pembayaran/pencairan dana Jaring
Pengaman Sosial (JPS) oleh kantor Perbendaharaan dan Kas Negara.

Contoh:
PT Jayadi Maju melakukan penjualan lemari arsip kepada Departemen
Dalam Negri senilai Rp 220 juta. Pembayaran dilakukan oleh Bendaharawan
Depdagri. Dalam kontrak penjualan dengan pemerintah yang didanai dari
APBN/APBD, biasanya harga jual sudah termasuk Pajak Pertambahan Nilai
sebesar 10%.
Diminta : Hitunglah PPh Pasal 22 PT Jayadi Maju
Jawab :
- Dasar Pengenaan PPh Pasal 22: (100/110 x Rp 220 juta)=
Rp200.000.000,00.
- PPh Pasal 22 yang dipungut Bendaharawan Pemerintah dari transaksi
pembayaran: Rp 200.000.000,00 x 1,5%= Rp 3.000.000,00

3.2. PPh Pasal 22 Impor


1. Setiap wajib pajak yang melakukan impor akan dikenakan PPh Pasal 22 Impor oleh
Ditjen Bea dan Cukai kecuali yang mendapat fasilitas pembebasan (memperoleh
Surat Keputusan Bersama).

2. Besarnya PPh Pasal 22 Impor adalah sbb:


 Importir yang memiliki Angka Pengenal Impor (API) sebesar 2,5% x Nilai
Impor
 Importir yang tidak memiliki Angka Pengenal Impor (API) sebesar 7,5% x Nilai
Impor
3. Atas barang-barang impor yang dilelang oleh Ditjen Bea Cukai sebesar 7,5% x Nilai
Lelang.
4. Nilai impor = Harga Patokan Impor (CIF) + Pungutan berdasarkan UU Pabean (Bea
Masuk).
5. Untuk menghitung Nilai Impor digunakan kurs bedasarkan Keputusan Menteri
Keuangan (Kurs KMK, bukan kurs Bank Indonesia).

112
3.3. PPh Pasal 22 Bendaharawan
PPh Pasal 22 Bendahara adalah PPh Pasal 22 yang dipungut oleh Bendaharawan
Pemerintah (pusat maupun daerah). Dalam konteks ini yang dimaksud dengan
Bendaharawan Pemerintah meliputi:
 Bendahara pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sebagai pemungut
pajak pada pemerintah pusat, pemerintah daerah, instansi atau lembaga pemerintah
dan lembaga-lembaga negara lainnya;
 Bendahara pengeluaran yang melakukan pembayaran dengan mekanisme uang
persediaan (UP); dan
 KPA atau pejabat penerbit Surat Perintah Membayar yang diberi delegasi oleh KPA,
untuk pembayaran yang dilakukan dengan mekanisme pembayaran langsung (LS).

3.3.1. Subjek yang Dipungut


Sesuai dengan ketentuan yang berlaku, para Bendaharawan Pemerintah tersebut
wajib melakukan pemungutan (pemotongan) PPh Pasal 22 terhadap rekanan pada
saat Bendaharawan melakukan pembayaran. Kata ‘pembayaran’ di sini
maksudnya adalah pembayaran atas pembelian atau pengadaan barang, bukan
pembelian atau pengadaan jasa. Sebab khusus untuk pembayaran jasa sudah
menjadi objek PPh withholding lainnya seperti PPh Pasal 21, PPh Pasal 23, PPh
Pasal 4 ayat (2) dan lain-lain.

Dengan demikian, subjek yang dikenakan PPh Pasal 22 adalah vendor atau
rekanan yang menjual barang (atau melakukan pengadaan barang) kepada
instansi atau lembaga pemerintah.

3.3.2. Tarif dan DPP PPh Pasal 22


Bendaharawan wajib memotong PPh Pasal 22 atas pembayaran tersebut dengan
tarif PPh Pasal 22 sebesar 1,5% (satu setengah persen). Sedangkan nilai yang
dijadikan DPP atau Dasar Pengenaan Pajaknya sebesar harga pembelian.

Sampai saat ini, saya belum pernah menemukan surat atau penjelasan mengenai
kata ‘harga pembelian’ tersebut. Tetapi menurut pendapat saya, ‘harga

113
pembelian’ itu tentunya harga jual dari rekanan atau vendor yang tidak termasuk
PPN maupun PPn-BM (exclude PPN/PPn-BM). Alasan saya sederhana karena
tidak mungkin pajak dikenakan pajak.

Misalnya kita menjual barang (melakukan pengadaan barang) kepada salah satu
instansi pemerintah dengan nilai tagihan Rp 25.000.000,-. Karena kita sudah
PKP, atas pengadaan barang tersebut terutang PPN 10% dan asumsikan juga kena
PPn-BM 20% sehingga jumlah tagihan kita ke instansi pemerintah tadi menjadi
= Rp 25.000.000,- + ((10% x Rp 25.000.000,-) + (20% x Rp 25.000.000,-)) = Rp
32.500.000,-.

Dari ilustasi itu dapat dihitung jumlah PPh Pasal 22 yang harus dipotong (baca:
dipungut) oleh Bendaharawan Pemerintah sebesar 1,5% x Rp 25.000.000,- atau
sebesar Rp 375.000,-. Jadi uang pembayaran yang akan kita terima dari instansi
pemerintah tadi (seharusnya) = Rp 25.000.000,- dikurangi PPh Pasal 22 Rp
375.000,- atau sejumlah Rp 24.625.000,-.

Untuk PPN (Rp 2,5 juta) dan PPn-BM (Rp 5 juta) tidak dibayarkan ke kita
(penjual), melainkan akan disetor sendiri oleh Bendaharawan Pemerintah karena
kebetulan Bendaharawan Pemerintah adalah Wapu PPN.

3.3.3. Bersifat Tidak Final


Bendaharawan Pemerintah selanjutnya wajib menyetorkan PPh Pasal 22 dengan
menggunakan SSP yang dibuat atas nama vendor atau rekanan, dan
ditandatangani oleh Bendaharawan yang bersangkutan. Jadi, satu SSP hanya
untuk satu vendor atau rekanan. Sesuai PMK Nomor 184/PMK.03/2007,
Bendaharawan pemerintah seharusnya menyetor PPh Pasal 22 tersebut pada hari
yang sama dengan pembayaran kepada vendor atau rekanan.

Kemudian setelah menyetorkan PPh Pasal 22 tadi, Bendaharawan Pemerintah


harus menyerahkan lembar ke-1 dan ke-3 SSP penyetoran tersebut kepada vendor
atau rekanan. SSP ini diperlakukan sama seperti Bukti Potong PPh dan dapat

114
dikreditkan oleh vendor atau rekanan di SPT Tahunan PPh karena PPh Pasal 22
Bendaharawan Pemerintah ini tidak bersifat final.

3.4. Pengecualian Pemungutan PPh Pasal 22


Berikut ini adalah daftar pengecualian terhadap pemungutan PPh Pasal 22:
1. Impor barang-barang dan/atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan tidak terutang PPh. Pengecualian tersebut,
harus dinyatakan dengan Surat Keterangan Bebas PPh Pasal 22 yang diterbitkan oleh
Direktur Jenderal Pajak.
2. Impor barang-barang yang dibebaskan dari bea masuk:
 Yang dilakukan ke dalam Kawasan Berikat (kawasan tanpa bea masuk hingga
barang tersebut dikeluarkan untuk impor, ekspor atau re-impor) dan Entrepot
Produksi Untuk Tujuan Ekspor (EPTE), yaitu tempat penimbunan barang
dagangan karena pengimpornya tidak membayar bea masuk sebagaimana
mestinya;
 Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7 PP Nomor 6 Tahun 1969
tentang Pembebanan atas Impor sebagaimana diubah dan ditambah terakhir
dengan PP Nomor 26 tahun 1988 Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 2 tahun 1973;
 Berupa kiriman hadiah;
 Untuk tujuan keilmuan.
3. Pembayaran atas penyerahan barang yang dibebankan kepada belanja
negara/daerah yang meliputi jumlah kurang dari Rp 2.000.000,- (bukan merupakan
jumlah yang dipecah-pecah).
4. Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, air
minum/PDAM, benda-benda pos, dan telepon.

3.5. Pengertian PPh Pasal 23


Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 adalah pajak yang dipotong atas penghasilan yang
berasal dari modal, penyerahan jasa, atau hadiah dan penghargaan, selain yang telah
dipotong PPh Pasal 21.

3.6. Objek Pajak PPh Pasal 23


1. Dikenakan PPh Pasal 23 sebesar 15% dari jumlah bruto (tidak final):
115
- Dividen (Pasal 4 ayat 1 huruf g Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000)
- Bunga (Pasal 4 ayat 1 huruf f Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000)
- Royalti
- Hadiah dan penghargaan selain yang telah dikenakan PPh Pasal 21
Dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh wajib pajak
dalam negeri atau Bentuk Usaha Tetap.

2. Dikenakan PPh Pasal 23 sebesar 15% dari jumlah bruto dan bersifat final;
- Atas bunga simpanan yang dibayarkan oleh Koperasi kepada anggotanya.

3. Dikenakan PPh Pasal 23 sebesar 15% dari perkiraan penghasilan neto (tidak
final):
- Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta (tidak
termasuk sewa tanah dan/atau bangunan, karena telah dikenakan PPh Final
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 TAHUN 1996 )
- Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa kostruksi, jasa
konsultan, dan jasa lain (KEP - 170/PJ./2002), selain jasa yang telah dipotong
PPh Pasal 21
Untuk Jasa konstruksi yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang memenuhi kualifikasi
sebagai usaha kecil berdasarkan sertifikat yang dikeluarkan oleh Lembaga yang
berwenang, serta yang mempunyai nilai pengadaan sampai dengan Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dikenakan PPh Final (Peraturan Pemerintah
Nomor 140 TAHUN 2000).

3.7. Pemungut/Pemotong PPh Pasal 23


Pemotong dan Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 23
1. Pemotong PPh Pasal 23:
a. badan pemerintah;
b. Wajib Pajak badan dalam negeri;
c. penyelenggaraan kegiatan;
d. bentuk usaha tetap (BUT);
e. perwakilan perusahaan luar negeri lainnya;

116
f. Wajib Pajak Orang pribadi dalam negeri tertentu, yang ditunjuk oleh Direktur
Jenderal Pajak.

2. Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 23:


a. WP dalam negeri;
b. BUT

3.8. Dasar Pemotongan dan Tarif PPh 23


Tarif dari pajak penghasilan (PPh Pasal 23) dikenakan atas Dasar Pengenaan Pajak (DPP)
atau jumlah bruto dari penghasilan. Di dalam PPh Pasal 23, terdapat dua jenis tarif yang
diberlakukan, yaitu 15% dan 2% tergantung dari objek pajaknya. Di bawah ini
adalah tarif dan objek pajak yang terkena PPh Pasal 23 yang berlaku di Indonesia.
1. Dikenakan 15% dari jumlah bruto atas:
a. dividen kecuali pembagian dividen kepada orang pribadi dikenakan final,
bunga, dan royalti;
b. hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong PPh pasal 21.
2. Dikenakan 2% dari jumlah bruto atas sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan
penggunaan harta, kecuali sewa tanah dan/atau bangunan.
3. Dikenakan 2% dari jumlah bruto atas imbalan jasa teknik, jasa manajemen, jasa
konstruksi, dan jasa konsultan.
4. Dikenakan 2% dari jumlah bruto atas imbalan jasa lainnya, misalnya:
a. Jasa penilai;
b. Jasa aktuaris;
c. Jasa akuntansi, pembukuan, dan atestasi laporan keuangan;
d. Jasa hukum;
e. Jasa arsitektur;
f. Jasa perencanaan kota dan arsitektur landscape;
g. Jasa perancang;
h. Jasa pengeboran di bidang migas kecuali yang dilakukan BUT;
i. Jasa penunjang di bidang penambangan migas;
j. Jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang penambangan selain migas;
k. Jasa penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara;
l. Jasa penebangan hutan.

117
5. Untuk yang tidak ber-NPWP dipotong 100% lebih tinggi dari tarif PPh Pasal 23.
6. Yang dimaksud dengan jumlah bruto adalah seluruh jumlah penghasilan yang
dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya
oleh badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk
usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak
dalam negeri atau bentuk usaha tetap. Tidak termasuk:
a. Pembayaran gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sebagai
imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dibayarkan WP penyedia tenaga
kerja kepada tenaga kerja yang melakukan pekerjaan, berdasarkan kontrak
dengan pengguna jasa;
b. Pembayaran atas pengadaan/pembelian barang atau material (dibuktikan dengan
faktur pembelian);
c. Pembayaran kepada pihak kedua (sebagai perantara) untuk selanjutnya
dibayarkan kepada pihak ketiga (dibuktikan dengan faktur tagihan pihak ketiga
disertai dengan perjanjian tertulis);
d. Pembayaran penggantian biaya (reimbursement), yaitu penggantian
pembayaran sebesar jumlah yang nyata-nyata telah dibayarkan pihak kedua
kepada pihak ketiga (dibuktikan dengan faktur tagihan atau bukti pembayaran
yang telah dibayarkan kepada pihak ketiga).

Jumlah bruto tersebut tidak berlaku:


a. Atas penghasilan yang dibayarkan sehubungan dengan jasa katering;
b. Dalam hal penghasilan yang dibayarkan sehubungan dengan jasa, telah
dikenakan pajak yang bersifat final.

3.9. Perhitungan PPh 23


Untuk memahami lebih mudah tentang bagaimana perhitungan PPh Pasal 23, ilustrasi di
bawah ini akan menjelaskannya kepada Anda. Penghitungan PPh Pasal 23
menggunakan tarif dikalikan dengan jumlah bruto.

118
PT Insan Media Print adalah perusahaan yang bergerak di bidang penerbitan buku dan
percetakan. Perusahaan ini melakukan sejumlah pembayaran yang terkait dengan PPh
Pasal 23 kepada beberapa pihak dengan rincian:
1. Pembayaran terhadap royalti tiga orang penulis: Damayanti dengan NPWP
01.444.888.2.987.000, Nurmadina NPWP 01.888.555.2.456.000, dan Azzahra yang
belum memiliki NPWP. Royalti yang diberikan kepada Damayanti sebesar
Rp25.000.000. Royalti untuk Nurmadina sebesar Rp10.000.000, dan royalti untuk
Azzahra sebesar Rp5.000.000.
2. Pembayaran bunga pinjaman kepada BRI dengan NPWP 03.111.222.2.541.000
untuk bulan September sebesar Rp1.500.000.

Jadi, perhitungan pajak penghasilan (PPh Pasal 23) untuk PT Insan Media Print adalah
sebagai berikut:
1. Untuk pembayaran royalti kepada penulis:
 Damayanti 15% x Rp25.000.000 = Rp3.750.000
 Nurmadina 15% x Rp10.000.000 = Rp1.500.000
 Azzahra 15% x Rp5.000.000 = Rp750.000
 Karena Azzahra masih belum memiliki NPWP, maka dikenakan tambahan PPh
sebesar 100% dengan nominal = 100% x Rp750.000 = Rp750.000
 Dengan demikian, Azzahra akan terkena pemotongan sebesar Rp750.000 +
Rp750.000 = Rp1.500.000. Setelah melakukan pemotongan PPh Pasal 23,
penulis akan mendapatkan hasil bukti pemotongan.
2. Untuk pembayaran atas bunga pinjaman pada BRI, tidak dikenakan PPh Pasal 23.
Sebab termasuk penghasilan yang dibayarkan atau terutang kepada bank dan
merupakan pengecualian terhadap PPh Pasal 23.

119
BAB IX
PEMBAHASAN
PAJAK PENGHASILAN PASAL 24 DAN PASAL 25

2.1 Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 24


Pajak Penghasilan PPH Pasal 24 mengatur tentang nominal pajak yang
dibayarkan di luar negeri yang berfungsi sebagai pengurang nilai pajak terutang yang
dimiliki di Indonesia.

2.2 Penggabungan Penghasilan


Penggabungan penghasilan yang berasal dari luar negeri dilakukan sebagai berikut:

1. Penggabungan penghasilan dari usaha dilakukan dalam tahun pajak diperolehnya


penghasilan tersebut (accrual basic)
2. Penggabungan penghasilan lainnya dilakukan dalam tahun pajak diterimanya
pengasilan tersebut (cash basic)
3. Penggabungan penghasilan yang berupa dividen ( Pasal 18 Ayat 22 UU PPh )
dilakukan dalam tahun pajak pada saat perolehan dividen tersebut ditetapkan sesuai
dengan Keputusan Mentri Keuangan.

2.3 Batas Maksimum Kredit Pajak


Dalam menghitung batas jumlah pajak yang dikreditkan, sumber penghasilan
saham ditentukan sebagai berikut:

1. Penghasilan saham dan sekuritas lainnya serta keuntungan dari penghasilan saham dan
sekuritas lainnya adalah negara tempat badan yang menerbitkan saham atau sekuritas
tersebut didirikan atau bertempat kedudukan.
2. Penghasila berupa bunga, royalty, dan sewa sehubungan dengan penggunaan harta
gerak adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani bunga, royalty, atau
sewa tersebut bertempat kedudukan atau berada.
3. Penghasilan berupa sewa sehubungan dengan penggunaan harta tak bergerak adalah
negara tempat harta tersebut terletak.
120
4. Penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan adalah
tempat negara pihak yang membayar atau dibebani imbalan tersebut bertempat
kedudukan tersebut atau berada.
5. Penghasilan bentuk usaha tetap adalah negara tempat bentuk usaha tetap tersebut
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan.
6. Penghasilan dari penghasilan sebagai atau seluruh hak penambangan atau tanda turut
serta dalam pembiayaan atau permodalan dalam perusahaan pertambangan adalah
negara tempat lokasi penambangan berada.
7. Keuntungan karena pengalihan harta tetap adalah negara tempat harta tetap berada.
8. Keuntungan karena pengalihan harta yang menjadi bagian dari suatu bentuk usaha tetap
adalah negara tempat bentuk usaha tetap berada.

Batas maksimum kredit pajak dapat diambil dari yang terendah di antara 3
unsur/perhitungan berikut ini:

1. Jumlah pajak yang terutang atau dibayar di luar negeri.


2. (Penghasilan luar negeri/Seluruh penghasilan kena pajak) x PPh atas seluruh yang
dikenakan tarif pasal 17.
3. Jumlah pajak yang terutang untuk seluruh penghasilan kena pajak (dalam hal
penghasilan kena pajak adalah lebih kecil daripada penghasilan luar negeri).

Contoh: PT Anugerah Sejahtera memperoleh penghasilan netto dalam tahun pajak


2014 sebagai berikut:

1. Penghasilan dari luar negeri Rp5.000.000.000 dengan tarif pajak sebesar 35%.
2. Penghasilan usaha di Indonesia Rp3.000.000.000.

Maka jumlah penghasilan nettonya adalah:

Rp5.000.000.000 + Rp3.000.000.000 = Rp8.000.000.000

Batas maksimum kredit pajak diambil yang terendah dari 3 unsur/perhitungan berikut:

1. PPh terutang atau dibayar di luar negeri adalah: 35% x Rp5.000.000.000 =


Rp1.750.000.000
2. (Rp5.000.000.000/Rp8.000.000.000) x Rp2.000.000.000 = Rp1.250.000.000
3. PPh terutang (menurut tarif pasal 17) = Rp8.000.000.000 x 25% = 2.000.000.000

121
Dengan demikian kredit pajak yang diperkenankan adalah pada poin 2 sebesar
Rp1.250.000.000.

2.4 Batas Maksimum Kredit Pajak Untuk Setiap Negara ( Per Country
Limitation )
Apabila penghasilan luar negeri berasal dari beberapa negara, maka perhitungan
batas maksimum kredit pajak dilakukan untuk masing – masing negara.

Contoh: PT Ermawati memperoleh penghasilan neto dalam tahun 2016 sebagai berikut:

1. Di Negara A memperoleh penghasilan (laba) Rp. 2.000.000.000 dengan tarif pajak


sebesar 35% ( Rp. 700.000.000).
2. Di Negara B memperoleh penghasilan (laba) Rp. 1.000.000.000 dengan tarif pajak 20%
( Rp. 200.000.000 )
3. Penghasilan usaha di Indonesia Rp. 5.000.000.000

Penghitungan kredit pajak luar negeri sebagai beikut:

1. Penghasilan luar negeri


a. Laba di Negara A 2.000.000.000
b. Laba di Negara B 1.000.000.000 +

Jumlah penghasilan luar negeri 3.000.000.000

2. Penghasilan dalam negeri Rp. 5.000.000.000


3. Jumlah penghasilan neto atau jumlah penghasilan kena pajaknya adalah:
3000.000.000 + 5.000.000.000 = 8.000.000.000

4. PPh terutang menurut tarif pasal 17

8.000.000.000 x 25% = 2.000.000.000

5. Batas maksimum kredit pajak untuk masing-masing negara adalah:

a. Untuk negara A:

( 2.000.000.000 : 8.000.000.000 ) x 2.000.000.000 = 500.000.000

Pajak terutang di negara A sebesar 700.000.000 maka maksimum kredit pajak yang
dapat dikreditkan adalah 500.000.000

b. Untuk negara B
122
( 1.000.000.000 : 8.000.000.000 ) x 2.000.000.000 = 250.000.000

Pajak teruang di negara B sebesar 200.000.000 maka maksimum kredit pajak yang dapat
di kreditkan adalah 250.000.000

6. Jumlah kredit pajak luar negeri yang diperkenankan adalah sebesar:

500.000.000 + 250.000.000 = 750.000.000

2.5 Perubahan Besarnya Penghasilan Di Luar Negeri


Apabila terjadi perubahan besarnya penghasilan yang berasal dari luar negeri,
wajib pajak harus melakukan pembetulan SPT untuk tahun pajak yang bersangkutan
dengan melampirkan dokumen yang berkenaan dengan perubahan tersebut.

Jika karena perubahan tersebut menyebabkan adanya tambahan penghasilan


yang mengakibatkan pajak yang terutang atas penghasilan luar negeri menjadi lebih besar
daripada yang dilaporkan dalam SPT tahunan, sehingga pajak yang terutang di LN menjadi
kurang bayar, maka terdapat kemungkinan pajak penghasilan di Indonesia juga kurang
bayar. Sesuai dengan pasal 8 UU No. 16 tahun 2000 tentang ketentuan Umum dan tatacara
perpajakan, apabila WP membetulkan sendiri SPT yang mengakibatkan pajak yang
terutang menjadi lebih besar, maka kepadanya dikenakan bunga sebesar 2% sebulan atas
jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak saat penyampaian SPT terakhir sampai
dengan tanggal pembayaran karena pembetulan SPT tersebut.

Apabila karena pembetulan SPT tersebut menyebabkan penghasilan dan pajak


atas penghasilan yang terutang di luar negeri menjadi lebih kecil daripada yang dilaporkan
dalam SPT tahunan, sehingga pajak di luar negeri lebih di bayar, yang akan mengakibatkan
pajak penghasilan yang terutang di Indonesia menjadi lebih kecil, sehingga pajak
penghasilan menjadi lebih dibayar. Atas kelebihan bayar pajak tersebut dapat
dikembalikan kepada wajib pajak setelah diperhitungkan dengan utang pajak lainnya.

Contoh:

Berikut ini data yang berhubungan dengan penghitungan PPh pasal 24 pada tahun 2006:

– Penghasilan di luar negeri (sesuai SPT) Rp. 800.000.000

– Penghasilan dari dalam negeri Rp1.000.000.000


123
– Penghasilan di luar negeri (setelah koreksi di luar negeri) Rp1.000.000.000

– Tarif pajak di luar negeri 40%

– PPh pasal 25 Rp 200.000.000

SPT disampaikan pada 30 Maret 2007 dan pembetulan dilakukan pada bulan mei 2007.

PPh sebelum dan sesudah koreksi fiskal di luar negeri adalah sebagai berikut:

SPT Pembetulan

Penghasilan Luar Negeri 800.000.000 Penghasilan LN 1.000.000.000

Penghasilan DN 1.000.000.000 Penghasilan DN 1.000.000.000

Penghasilan Kena Pajak 1.800.000.000 Penghasilan KP 2.000.000.000

PPh terutang: PPh terutang:

10% x 50.000.000 = 5.000.000 10% x 50.000.000 = 5.000.000

15% x 50.000.000 = 7.500.000 15% x 50.000.000 = 7.500.000

30% x 1.700.000.000 = 510.000.000 30% x 1.900.000.000 = 570.000.000

PPh terutang 522.500.000 PPh terutang 582.500.000

Kredit pajak LN= Kredit pajak LN:

(0,8M : 1,8 M) x (1M : 2M) x

522.500.000= 232.222.222 582.500.0


291.250.000
Harus di bayar
PPh di bayar di Ind 291.250.000
di Indonesia 290.277.778
PPh psl 25 200.000.000
PPh Psl 25 200.000.000
PPh psl 29 91.250.000
PPh Psl 29 90.277.778
Masih harus dibayar:

– kekurangan psl 29 972.222

– bunga 2×2%x972.222 38.888,88

124
1.011.110,88

2.6 Cara Melaksanakan Kredit Pajak Luar Negeri


Untuk melaksanakan pengkreditan pajak yang terutang atau dibayar di liuar negeri,
wajib pajak harus menyampaikan permohonan kepada Direktur jendral Pajak dengan
dilampiri:

1. Laporan keuangan dari penghasilan yang berasal dari luar negeri.


2. Fotokopi surat pemberitahuan pajak yang di sampaikan di luar ngeri.
3. Dokumen pembayaran pajak di luar negeri.

Penyampaian permohonan kredit pajak yang trutang atau dibayar di luar negeri
tersebut dilakukan bersamaan dengan penyampaian SPT Tahunan PPh.

2.7 Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 25


Pajak Penghasilan Pasal 25 (PPh Pasal 25) adalah pembayaran Pajak
Penghasilan secara angsuran. Tujuannya adalah untuk meringankan beban Wajib Pajak,
mengingat pajak yang terutang harus dilunasi dalam waktu satu tahun. Pembayaran ini
harus dilakukan sendiri dan tidak bisa diwakilkan.

2.8 Cara Menghitung Besarnya PPh Pasal 25


Besarnya angsuran pajak dalam tahun berjalan yang harus dibayar sendiri oleh
Wajib Pajak untuk setiap bulan adalah sebesar Pajak Penghasilan yang terutang menurut
Surat Pemberitahuan Pajak Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu dikurangi
dengan:
1. Pajak penghasilan yang dipotong sebegaimana dibentuk dalam pasal 21 dan pasal 23,
serta pajak penghasilan yang dipungut sebgaimana dimaksud dalam pasal 22.
2. Pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh di kreditkan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 24.

Dibagi 12 atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.

125
2.9 Beberapa Masalah Atau Kasus Untuk Menghitung Besarnya PPh Pasal
25
1. Angsuran Bulanan Untuk Bulan Sebelum Batas Waktu Penyampaian SPT
Tahunan PPh.

Besarnya angsuran buanan untuk bulan sebelum batas waktu penyampaian SPT
Tahun PPh adalah sebesar angsuran pajak untuk bulan terakhir dari tahun pajak yang
lalu

Contoh: Tuan Dias menyampaikan SPT Tahunan PPh 2016 pada bulan mart 2017.
Angsuran PPh pasal 25 pada bulan Desember 2016 adalah 1.000.000 maka besaranya
angsuran PPh pasal 25 untuk Bulan Januari dan Februari 2017 masing-masing adalah
1.000.000 Jad, Tuan Dias harus membayar sendiri angsuran PPh Pasal 25 pada bulan
Januari dan Februari 2017masing masing adalah 1.000.000

2. Apabila Dalam Tahun Berjalan, Diterbitkan SKP Untuk Tahun Pajak Yang Lalu.
Apabila dalam tahun pajak berjalan diterbitkan suara ketepan pajak untuk tahun
pajak yang lalu, maka angsuran pajak di hitung kembali berdasarkan suara ketetapan
pajak tersebut dan berlaku mulai bulan berikutnya setelah bulan penertiban surat
ketetapan pajak.

126
Contoh: Berdasarkan surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan tahun pajak 2016
yang disampaikan wajib pajak alam bulan maret 2017, perhitungan besarnya angsuran
pajak yang harus dibayar adalah sebesar Rp. 1.250.000. dalam Bulan Juli 2017
diterbitkan surat ketetapan pajak tahun pajak 2016 yang menghasilkan besarnya
angsran pajak setiap bulan sebesar Rp. 2.000.000. berdasarkan ketentuan yang berlaku,
maka besarnya angsuran pajak mulai bulan agustus 2017 sebesar Rp. 2.000.000.
Penetapan besarnya angsuran pajak berdasarkan surat ketetpan pajak tersebut bisa
sama, lebih besar atau lebih kecil dari angsuran pajak sebelumnya berdasarkan surat
pemberitahuan tahunan ( SPT ).

2.10 Hal-Hal Tertentu Untuk Penghitungan Besarnya Angsuran PPh Pasal


25
Direktur Jendral Pajak diberi wewenang untuk menyesuaikan besarnya angsuran
pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak dalam tahun berjalan, apabila :

1. Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian.


2. Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur.
3. SPT Tahunan PPh Tahun yang lalu disampaikan setelah lewat batas waktu yang
ditentukan.
4. Wajib pajak diberikan perpanjang jangka waktu penyampaian SPT Tahunan PPh.
5. Wajib Pajak membetulkan sendiri SPT Tahuna PPh yang mengakibatkan angsuran
bulanan lebih besar dari angsuran bulanan sebelum pembetulan.
6. Terjadi perubahahan keadaan usaha atau kegiatan wajib pajak.

127
2.11 Angsuran PPH Pasal 25 Bagi Wajib Pajak Baru, Bank, BUMN,
NUMD, dan WP Tertentu Lainnya.
Sesuai pasal 25 ayat 7 UU PPh, penghitungan PPh pasal 25 bagi WP Baru, BUMN,
BUMD, dan WP tertentu bainnya ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

1. Angsuran PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak Baru


a. Wajib pajak baru adalah Wajib Pajak orang pribadi dan badan yang baru pertama kali
memperoleh penghasilan dari usaha atau pekerjaan bebas dalam tahun pajak berjalan.
b. PPh Pasal 25 dihitung dengan menerapkan tarif umum Pasal 17 Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2000 terhadap Penghasilan Kena Pajak sebulan yang disetahunkan,
dibagi 12 (dua belas).
c. Penghasilan neto dihitung berdasarkan pembukuan (dalam hal wajib pajak wajib
melaksanakan pembukuan) atau berdasarkan Norma Penghitungan (dalam hal wajib
pajak tidak wajib melaksanakan pembukuan/melaksanakan pembukuan tetapi tidak
diketahui penghasilan netonya.
d. Untuk wajib pajak orang pribadi, penghasilan netonya dikurangi PTKP terlebih dahulu.

2. Besarnya Angsuran PPh Pasal 25 Bagi Wajib Pajak Bank

Besarnya Angsuran PPh Pasal 25 Bagi Wajib Pajak Bank atau sewa guna usaha
dengan hak opsi ( financial lease ) adalah sebesar jumlah pajak penghasilan yang dihitung
berdasarkan penerapan tarif umum atas laba rugi fiscal menurut lapoan keuangan triwuln
terakhir yang disetahunkan dikurang pajak penghasilan pasala 24 yang dibayar atau terutang
di luar negeri untuk tahun pajak yang lalu, dibagi 12.

128
3. Besarnya Angsuran PPh Pasal 25 Bagi Wajib Pajak BUMN dan BUMD

Besarnya Angsuran PPh Pasal 25 Bagi Wajib Pajak BUMN dan BUMD dengan
nama dan dalam bentuk apapun, kecuali wajib pajak Bank dan sewa guna usaha dengan
hak opsi adalah sebesar pajak penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan tarif
umum atas laba rugi fiscal menurut rencana kerja dan anggaran pendapatan ( RKAP )
Tahun pajak yang bersangkutan dan telah di sahkan Rapat Umum Pemegang Saham (
RUPS ), dikurangi dengan pemotongan dan pemungutan PPh Pasal 22 dan pasal 23 serta
PPh Pasal 24 yang dibayar atau terutang di luar negeri tahun pajak yang lalu, dibagi 12.

Dalam hal Rencana Kerja dan Anggaran Pendapatan ( RKAP ) sebagaimana


dimaksud pada ayat 1 belum di sahkan, maka besarnya angsuran pph pasal 25 untuk bulan-
bulan sebelum bulan pengesahan adalah sama dengan angsuran PPh Pasal 25 bulan
terakhir tahun pajak sebelumnya.

129
4. Besarnya angsuran PPh Pasal 25 untuk wajib pajak masuk bursa dan wajib pajak
lainnya yang berdasarkan ketentuan diharuskan membuat laporan keuangan berkala
adalah sebesar Pajak Penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas
laba rugi fiscal menurut laporan keuangan berkala terakhir yang disetahunkan dikurangi
dengan pemotongan dan pemungutan PPh Pasal 22 dan pasal 23 serta PPh Pasal 24 yang
dibayar atau terutang di luar negeri utuk tahun pajak yang lalu di bagi 12.

5. Besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk wajib pajak orang pribadi
pengusaha tertentu, ditetapkan sebesar 0,75% dari jumlah peredaran bruto setiap bulan
dari masing-masing tempat usaha. Untuk Pajak Penghasilan atas penghasilan dari usaha
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tidak melebihi
Rp. 4.800.000.000 akan dibahas tersendiri dalam bagian Pajak Penghasilan Pasal 4 Ayat
2.

130
BAB X
PEMBAHASAN
PAJAK PENGHASILAN PASAL 26

2.1. Pengertian Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26


Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 adalah PPh yang dikenakan/dipotong atas
penghasilan yang bersumber dari Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak (WP)
luar negeri selain bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia. Bentuk usaha tetap merupakan
subjek pajak yang perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak badan.
Negara domisili dari Wajib Pajak luar negeri selain yang menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan usaha melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, adalah Negara tempat
tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak luar negeri yang sebenarnya menerima manfaat
dari penghasilan tersebut (beneficial owner).

2.2. Wajib dan Objek PPh Pasal 26


2.2.1. Wajib Pajak PPh Pasal 26
Kategori Perusahaan Maupun Individu Wajib Pajak Luar Negeri. Individu
maupun perusahaan dapat dikategorikan sebagai Wajib Pajak Luar Negeri atas Pajak
Penghasilan ditentukan berdasarkan Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2008 sebagai
berikut.
1. Individu yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, individu yang tinggal di
Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam setahun/12 bulan, dan perusahaan
yang tidak didirikan atau berada di Indonesia namun operasional usahanya
melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
2. Individu yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, individu yang tinggal di
Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam setahun/12 bulan, dan perusahaan
yang tidak didirikan atau berada di Indonesia, yang dapat menerima atau
memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak menjalankan usaha melalui suatu
bentuk usaha tetap di Indonesia.
Berdasarkan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah tentang kategori
individu maupun perusahaan yang menjadi Wajib Pajak Luar Negeri, khususnya
perusahaan yang tidak didirikan atau bukan berada di Indonesia namun
melakukan kegiatan operasional di Indonesia akan dikenai PPh Pasal 26.

131
2.2.2. Objek pajak PPh pasal 26
a. dividen;
b. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan
pengembalian utang;
c. royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
d. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
e. hadiah dan penghargaan
f. pensiun dan pembayaran berkala lainnya.
g. Premi swap dan transaksi lindung lainnya; dan/atau
h. Keuntungan karena pembebasan utang

2.3. Tarif pph pasal 26 dan penerapannya

1. Tarif 20% (final) dari jumlah penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
Luar Negeri berupa :
 dividen;
 bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan
pengembalian utang;
 royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
 imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
 hadiah dan penghargaan
 pensiun dan pembayaran berkala lainnya.
 Premi swap dan transaksi lindung lainnya; dan/atau
 Keuntungan karena pembebasan utang.

2. 20% (final) dari perkiraan penghasilan neto berupa :


Pnghasilan dari penjualan harta di Indonesia; premi asuransi, premi reasuransi yang
dibayarkan langsung maupun melalui pialang kepada perusahaan asuransi di luar negeri.
20% (final) dari perkiraan penghasilan neto atas penjualan atau pengalihan saham
perusahaan antara conduit company atau spesial purpose company yang didirikan atau
bertempat kedudukan di negara yang memberikan perlindungan pajak yang mempunyai
hubungan istimewa dengan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia
atau BUT di Indonesia; 20% (final) dari Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak
dari suatu BUT di Indonesia, kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di
Indonesia.

132
Tarif berdasarkan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Indonesia dengan
negara pihak pada persetujuan.
Catatan : Apabila penghasilan dari penjualan harta tersebut telah dikenai pajak berdasarkan
ketentuan PPh PASAL 4 AYAT (2)
 Penghasilan dari penjualan harta di Indonesia (keputusan menkeu no.
434/KMK.04/1999)
 Penghasilan berupa premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi di luar
negeri, yaitu :
- 20% x 50% x Premi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi di Luar Negeri.
- 20% x 10% x Premi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi LN oleh
perusahaan asuransi yang berkedudukan di Indonesia.
- 20% x 5% x Premi yang dibayarkan kepada perusahaan reasuransi LN oleh
perusahaan asuransi yang berkedudukan di Indonesia.
- Lihat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 624/KMK.04/1994

Penerapannya :
 Tarif PPh Pasal 26 (bersifat final) adalah tarif tunggal 20% dengan dasar pengenaan
pajak nya adalah jumlah bruto yang dibayarkan kepada Wajib Pajak luar negeri.
Misalkan PT ABC di Indonesia membayarkan dividen kepada Tuan X di negara Y
sebesar Rp100 Juta, maka PPh Pasal 26 yang harus dipotong adalah 20% x Rp100 Juta
= Rp20 Juta.
 Pengenaan PPh Pasal 26 juga tergantung kepada perjanjian perpajakan (P3B) dengan
negara lain. Biasanya dalam P3B ditentukan tarif yang lebih rendah untuk pemotongan
PPh Pasal 26 atas dividen, bunga, royalti dan/atau penghasilan lainnya. Apabila ada
P3B, maka ketentuan yang berlaku adalah ketentuan P3B bukan ketentuan domestik
berdasarkan Undang-undang Pajak Penghasilan Indonesia.
Contoh Penghitungan PPh Pasal 26
1. Suatu perusahaan penyewaan gedung kantor, PT Cunha, mengasuransikan bangunan
bertingkat ke perusahaan asuransi di luar negeri dengan membayar jumlah premi
selama tahun 1995 sebesar Rp 1 Miliar.
Perkiraan penghasilan = 50% x Rp1 Miliar = Rp500.000.000,-
PPh Pasal 26 = 20% x Rp500.000.000,- = Rp100.000.000,- (10% x Rp1 Miliar)
* Jika PT Cunha mengasuransikan kepada perusahaan asuransi di dalam negeri, PT
Handoko, dengan membayar jumlah premi yang sama sebesar Rp1 Miliar, dan
kemudian PT Handoko mereasuransikan sebagian polis asuransi tersebut kepada
perusahaan asuransi luar negeri dengan membayar premi sebesar Rp500 juta.

133
Perkiraan penghasilan neto = 10% x Rp500 juta = Rp50.000.000,-
PPh Pasal 26 yang wajib dipotong oleh PT Handoko adalah = 20% x Rp50 juta =
Rp10.000.000,- (2% x Rp500.000.000,-)

2.4. Saat Terutang, Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan PPh
Pasal 26
PPh pasal 26 terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau akhir bulan
terutangnya penghasilan, tergantung yang mana terjadi lebih dahulu.
Pemotong PPh pasal 26 wajib membuat bukti pemotongan PPh pasal 26 rangkap 3 :
1. lembar pertama untuk Wajib Pajak luar negeri;
2. lembar kedua untuk Kantor Pelayanan Pajak;
3. lembar ketiga untuk arsip Pemotong.
PPh pasal 26 wajib disetorkan ke bank Persepsi atau Kantor Pos dengan
menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP), paling lambat tanggal 10 bulan takwim berikutnya
setelah bulan saat terutangnya pajak. SPT Masa PPh Pasal 26, dengan dilampiri SSP lembar
kedua, bukti pemotongan lembar kedua dan daftar bukti pemotongan disampaikan ke KPP
setempat paling lambat 20 hari setelah Masa Pajak berakhir.
Contoh: Pemotongan PPh Pasal 26 dilakukan tanggal 24 Mei 2009, penyetoran
paling lambat tanggal 10 Juni 2009 dan dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak paling lambat
tanggal 20 Juni 2009. Dalam hal jatuh tempo penyetoran atau batas akhir pelaporan PPh
Pasal 26 bertepatan degan hari libur termasuk hari sabtu atau hari libur nasional, penyetoran
atau pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.

2.5. Pemotong PPh Pasal 26


Berdasarkan ketentuan Pasal 26 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 (Undang-
undang Pajak Penghasilan 1984), pemotong Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 ayat
(1) adalah :
 Badan Pemerintah
Tidak ada penjelasan dalam Undang-undang Pajak Penghasilan tentang arti Badan
Pemerintah ini. Namun demikian, tidak sulit untuk mengartikan bahwa yang dimaksud
dengan Badan Pemerintah adalah Pemerintah negara Republik Indonesia dan
Pemerintah Daerah di Indonesia beserta instansi-instansi di bawahnya.

134
 Subjek Pajak Badan dalam negeri
Berdasarkan Pasal 2 ayat (3) huruf b Undang-undang Pajak Penghasilan 1984, subjek
pajak badan dalam negeri adalah badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di
Indonesia. Istlah didirikan mengandung arti bahwa badan tersebut didirikan
berdasarkan ketentuan hukum di Indonesia. Sementara itu istilah bertempat kedudukan
menunjukkan bahwa badan tersebut memiliki efektif manajemen di Indonesia di mana
pengambilan keputusan-keputusan penting tentang badan tersebut dilakukan di
Indonesia. Pengertian badan sendiri berdasarkan Pasal 2 ayat (1) huruf b Undang-
undang Pajak Penghasilan 1984 adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang
merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha
yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan
usaha milik Negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa
pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan,
organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan
bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap

 Penyelenggara kegiatan
Penyelenggara kegiatan bisa berbentuk badan, orang pribadi atau kepanitiaan yang
melakukan suatu event atau kegiatan. Contoh penyelenggara kegiatan adalah orang
pribadi atau badan yang mengorganisir suatu acara seperti pertunjukkan, perlombaan,
seminar dan lain-lain.

 Bentuk Usaha Tetap (BUT)


BUT adalah bagian dari Subjek Pajak luar negeri yang melakukan kegiatan di
Indonesia sehingga menerima atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari
Indonesia. Walaupun termasuk Wajib Pajak luar negeri, pemenuhan hak dan kewajiban
BUT disamakan dengan pemenuhan hak dan kewajiban Wajib Pajak dalam negeri.
Pengertian BUT bisa kita temukan dalam Pasal 2 ayat (5) Undang-undang Pajak
Penghasilan, yaitu bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak
bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari
183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan
badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa tempat
kedudukan manajemen, cabang perusahaan, kantor perwakilan, gedung kantor, pabrik,
bengkel dan lain-lain.

135
 Perwakilan Perusahaan Luar Negeri Lainnya
Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya selain BUT yang ada di Indonesia juga
merupakan pemotong PPh Pasal 23. Contohnya adalah Representative Office (RO) dari
perusahaan-perusahaan asing.

2.6. Pihak Yang Dipotong PPh Pasal 26


Beda dengan pemotongan jenis pajak lain, pemotongan PPh Pasal 26 dikenakan
terhadap Wajib Pajak luar negeri selain Bentuk Usaha Tetap. Pengertian Wajib Pajak luar
negeri bisa kita temukan dalam Pasal 2 ayat (4) huruf b Undang-undang Pajak Penghasilan
1984. Pada ketentuan ini Subjek Pajak (juga Wajib Pajak) luar negeri selain BUT adalah
orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua
belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia,
yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
Jadi, Wajib Pajak luar negeri seperti ini mendapatkan penghasilan dari Indonesia
tanpa perlu melakukan kegiatan usaha di Indonesia melalui BUT. Misalnya warga negara
Singapura yang memiliki saham PT Indosat yang menerima penghasilan berupa dividen dari
PT Indosat. Di sisi lain, pengenaan Pajak Penghasilan terhadap Wajib Pajak BUT adalah
hampir sama dengan Wajib Pajak dalam negeri melalui sistem self assesment pelaporan SPT
Tahunan.

2.7. Pengecualian
BUT dikecualikan dari pemotongan PPh Pasal 26 apabila Penghasilan Kena Pajak
sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari BUT ditanamkan kembali di Indonesia dengan
syarat:
Penanaman kembali dilakukan atas seluruh penghasilan kena pajak setelah
dikurangi PPh dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan yang didirikan dan
berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri, dan; dilakukan dalam tahun
berjalan atau selambat-lambatnya tahun pajak berikutnya dari tahun pajak diterima atau
diperoleh penghasilan tersebut; tidak melakukan pengalihan atas penanaman kembali
tersebut sekurangkurangnya dalam waktu 2 (dua) tahun sesudah perusahaan tempat
penanaman dilakukan, mulai berproduksi komersil serta Badan-badan Internasional yang
ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

136
2.8. Contoh Penghitungan Pemotongan PPh Pasal 26
Suatu badan subjek pajak dalam negeri membayarkan royalti sebesar Rp.
100.000.000,00 kepada Wajib Pajak Luar Negeri, subjek pajak dalam negeri tersebut
berkewajiban untuk memotong Pajak Penghasilan sebesar 20% dari Rp. 100.000.000,00.
Seorang atlet dari luar negeri yang ikut mengambil bagian dalam perlombaan lari
marathon di Indonesia kemudian merebut hadiah uang maka atas hadiah tersebut dikenai
pemotongan Pajak Penghasilan sebesar 20%.
PKP BUT di Indonesia 2009 Rp. 17.500.000,00
Pajak Penghasilan :
28% x Rp. 17.500.000,00 Rp. 4.900.000,00
PKP setelah pajak Rp. 12.600.000,00
PPh Pasal 26 terutang :
20% x Rp. 12.600.000,00 = Rp. 2.520.000,00
Apabila penghasilan setelah pajak sebesar Rp. 12.600.000,00 tersebut ditanamkan
kembali di Indonesia sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
257/PMK.03/2008, atas penghasilan tersebut tidak dipotong pajak.
Mike adalah karyawan asing pada perusahaan PT Dira Consult. Mike bertempat
tinggal kurang dari 183 hari. Mike sudah beristri, dan mempunyai seorang anak. Dalam
bulan April 2009, Mike memperoleh gaji US$ 5,000 sebulan. Kurs yang berlaku adalah Rp.
10.500,00 per US$ 1.
Penghitungan PPh pasal 26 :
Penghasilan bruto berupa gaji sebulan :
5,000 x Rp. 10.500,00 = Rp. 52.500.000,00
Penerapan tarif :
20% x Rp. 52.500.000,00 = Rp. 10.500.000,00
PPh pasal 26 atas gaji Mike bulan April 2009 adalah Rp. 10.500.000,00.

2.9. Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) /PPh Final


PPh Pasal 4 (2) adalah Pajak Penghasilan yang dikenakan terhadap penghasilan
yang merupakan objek PPh Pasal 4 (2) Undang-Undang no.36 Tahun 2008 tentang Pajak
Penghasilan. PPh Pasal 4 (2) bersifat final sehingga apabila wajib pajak telah dipotong PPh
Pasal 4 (2) maka atas bukti potong tersebut tidak dapat dikreditkan. Pemberi penghasilan
berupa bunga deposito dan tabungan-tabungan lainnya, Pemberi penghasilan dari transaksi
saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, Penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah
dan/atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya,dll

137
2.10. Objek Pajak Penghasilan (PPh) / Jenis Penghasilan Yang Dikenakan PPh
Pasal 4 (2)
Yang menjadi objek pajak PPh Pasal 4 (2) yang bersifat final antara lain:

1) Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya


2) Bunga obligasi dan surat utang Negara.
3) Bunga simpanan anggota yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi
orang pribadi.
4) Penghasilan berupa hadiah undian.
5) Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, dan transaksi penjualan saham
atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh
perusahaan modal ventura.
6) Penghasilan dari transaksi pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan (harta
berupa tanah dan/atau bangunan dan usaha real estate)
7) Persewaan tanah dan/atau bangunan.

2.11. Tarif PPh Pasal 4 Ayat 2

Ada berbagai macam jenis penghasilan yang dikenakan PPh Pasal 4 ayat 2 dan
setiap penghasilan memiliki tarif yang berbeda beda yang diatur dalam Peraturan
Pemerintah (PP).

 Bunga deposito, jenis-jenis tabungan, SBI, dan diskon jasa giro dikenakan tarif 20% (PP
No 131 Tahun 2000).
 Bunga simpanan yang dibayarkan koperasi pada anggotanya dikenakan tarif 10% ( PP
No 15 Tahun 2009).
 Bunga dari kewajiban dengan berbagai jenis tarif dari 0-20% (PP No 15 Tahun 2009).
 Dividen yang diterima Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri dikenakan tarif 10%
sebagaimana telah diatur dalam Pasal 17 ayat 2C.
 Hadiah atau undian dikenakan tarif 25% (PP No 132 Tahun 2000).
 Transaksi derivatif berjangka panjang yang telah diperdagangkan di bursa dikenakan
tarif 2,5% (PP No 17 Tahun 2009).
 Transaksi penjualan saham pendiri dan saham bukan pendiri, tarifnya masing-masing
0,5% dan 0,1% (PP No 14 Tahun 1997).
 Jasa Konstruksi dikenakan tarif 2-6% (PP No 40 Tahun 2009).
 Sewa atas dan atau bangunan, tarifnya adalah 10% (PP No 5 Tahun 2002).

138
 Pengalihan hak atas tanah dan dalam hal ini termasuk usaha real estatetarifnya adalah
5% (PP No 71 Tahun 2008).
 Transaksi dari penjualan saham atau pengalihan ibu kota mitra perusahaan adalah 0,1 %
(PP No 4 Tahun 1995).

2.12. Kewajiban Bagi Pemotong PPh Pasal 4 (2)


Kewajiban Bagi Pemotong PPh Pasal 4 (2) adalah :
- Melakukan Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 4 (2) paling lambat dilakukan pada akhir
bulan :
1. Dibayarkannya penghasilan.
2. Disediakan untuk dibayarkannya penghasilan.
3. Jatuh temponya pembayaran penghasilan yang bersangkutan tergantung peristiwa yang
terjadi terlebih dahulu :

 Membuat bukti pemotongan PPh Pasal 4 (2)


 Memberikan bukti pemotongan kepada pihak yang dipotong PPh Pasal 4 (2).
 Melakukan Penyetoran PPh Pasal 4 (2) paling lambat tanggal 10 bulan berikut setelah
masa pajak berakhir ke bank atau kantor pos.

Contoh: PPh Pasal 4 (2) masa pajak Januari 2012 paling lambat dilaporkan tanggal 20
Pebruari 2012

 Sanksi terlambat/tidak menyetor adalah 2 % sebulan, paling banyak 24 bulan (45 %),
dihitung sejak saat jatuh tempo pembayaran s/d saat pembayaran, apabila ditagih dengan
sebelumnya ditegor oleh kantor pajak sanksi sebesar 100 %.
 Sanksi terlambat/tidak melaporkan SPT Masa PPh Pasal 4 (2) sebesar Rp.100.000,-.

Dasar hukum :

1. UU No.36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh)


2. UU No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata cara perpajakan (KUP)

2.13. Cara dan contoh perhitungan pph pasal 4 ayat 2


CV.Adit Sentosa yang mempunyai sertifikat Jasa Konstruksi dengan kualifikasi
usaha kecil, pada Tanggal 21 Desember 2012 menyerahkan Jasa Pembuatan Gedung Kantor
kepada Bendahara Dinas Pendidikan Kab.Banyumas dengan nilai proyek Rp.220.000.000,-
termasuk PPN.
139
Penghitungan Pajak PPh Pasal 4 Ayat (2) atas Jasa Konstruksi untuk proyek
pembuatan gedung kantor Tanggal 21 Desember Tahun 2012 adalah sebagai berikut
:
Nilai Proyek 220.000.000

Objek PPh Pasal 4 Ayat (2) 200.000.000

(100/110 x 220.000.0000)

PPh Pasal 4 Ayat (2) 4.000.000

(2 % x 200.000.000)

Atas Jasa Pembuatan Gedung Kantor tersebut bendahara Dinas Pendidikan Kab.Banyumas
mempunyai kewajiban memotong, menyetor dan melaporkan pemotongan PPh Pasal 4 ayat
2 sebesar 2 % dari objek PPh Pasal 4 ayat (2) serta harus memberikan bukti pemotongan
PPh Pasal 4 ayat (2) tersebut kepada CV.Adit Sentosa.

Bunga Deposito:

1. Aditya menyimpan uang di Bank ABC dalam bentuk deposito sebesar Rp100.000.000
dengan tingkat bunga 12% per tahun. Atas deposito tersebut, Aditya menerima bunga
setiap bulan sebesar Rp1.000.000. Berapa besaran pajak yang harus dibayarkan atas
bunga deposito Aditya?

Jawab:

PPh Pasal 4 ayat 2 yang dipotong Bank ABC adalah 20% x Rp1.000.000 = Rp200.000

Pajak deposito per tahun = Rp200.000 x 12 bulan = Rp2.400.000

Tabungan:

Alice Key memiliki tabungan di Bank Moneytalk Indonesia dengan saldo rata-rata bulan
Juni 2017 adalah Rp450.000.000. Bunga yang diberikan oleh Bank Moneytalk Indonesia
adalah 9% per tahun. Bunga yang diterima Alice Key pada bulan Juni 2017 adalah
Rp3.375.000. Bagaimana kewajiban pemotongan atau pemungutan PPh terkait transaksi
tersebut?

Jawab:

PPh Pasal 4 ayat 2 yang dipotong oleh Bank Moneytalk Indonesia pada Juni 2017 adalah
20% x Rp3.375.000 = Rp675.000. Pajak tabungan per tahun = Rp675.000 x 12 bulan =
Rp8.100.000.
140
Diskonto SBI:

Dana Pensiun Solusi Abadi yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan
membeli Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dari Bank Indonesia dengan nominal
Rp1.000.000.000 dengan memperoleh diskonto sebesar Rp20.000.000. Pada tanggal 1 April
2017, Dana Pensiun Solusi Abadi menjual SBI tersebut kepada PT Rosa Sentosa dengan
harga Rp980.000.000 dan dibayarkan pada saat yang sama. Bagaimana kewajiban
pemotongan atau pemungutan PPh atas transaksi tersebut?

Jawab:

Besarnya diskonto SBI yang diperoleh PT Rosa Sentosa adalah Rp1.000.000.000 –


Rp980.000.000 = Rp20.000.000.

PPh Pasal 4 ayat 2 yang dipotong oleh Dana Pensiun Solusi Abadi adalah 20% x
Rp20.000.000 = Rp4.000.000.

 Perhitungan PPh atas Bunga Obligasi dan Bunga Simpanan Koperasi

Bunga Obligasi:

Pada tanggal 1 Juli 2011, PT ABC (emiten) menerbitkan obligasi dengan kupon (interest
bearing bond) dengan nilai nominal Rp10.000.000 per lembar. Jangka waktu Obligasi 5
tahun (jatuh tempo tanggal 1 Juli 2016). Bunga tetap sebesar 16% per tahun, jatuh tempo
bunga setiap tanggal 30 Juni dan 31 Desember. Penerbitan perdana tercatat di Bursa Efek
Indonesia (BEI).

PT MNO (investor) pada saat penerbitan perdana membeli 10 lembar Obligasi dengan harga
di bawah nilai nominal (at discount) dengan harga Rp9.000.000 per lembar. Berapa besaran
pajak yang harus dibayarkan atas bunga obligasi tersebut?

Jawab:

PPh Pasal 4 ayat 2 yang harus dipotong oleh PT ABC pada saat jatuh tempo bunga tanggal
31 Desember 2011 adalah sebagai berikut:

Bunga = (6/12 x 16% x Rp10.000.000) x 10 lembar = Rp8.000.000


PPh Pasal 4 ayat 2 = 15% x Rp8.000.000 = Rp1.200.000

Apabila dalam contoh di atas investor atau pembeli obligasi adalah wajib pajak
reksadana maka penghitungan PPh Pasal 4 ayat 2 atas bunga yang diperoleh pada saat jatuh
tempo tanggal 31 Desember 2011 adalah sebagai berikut:

141
Bunga = (6/12 x 16% x Rp10.000.000) x 10 lembar = Rp8.000.000
PPh Pasal 4 ayat 2 = 5% x Rp8.000.000 = Rp400.000

Simpanan Koperasi:

Koperasi Sumber Rezeki membagikan bunga simpanan koperasi kepada anggotanya setiap
bulan yang dibayarkan setiap tanggal 25, anggota koperasi yang memperoleh bunga
simpanan antara lain Rahmawati dan Koperasi Kasih Rezeki(bukan merupakan koperasi
simpan pinjam). Berdasarkan data yang ada Rahmawati mendapatkan bunga simpanan
sebagai berikut:

Rp350.000
Januari 2016
Rp200.000
Februari 2016
Rp500.000
Maret 2016
Rp240.000
Mei 2016
Rp250.000
Juni 2016
Rp300.000

Sedangkan Koperasi Kasih Rezeki mendapatkan


bunga simpanan sebagai berikut:

Rp1.000.000
Januari 2016
Rp600.000
Februari 2016

Maret 2016
Rp1.300.000
April 2016
Rp650.000
Mei 2016
Rp700.000

Bagaimana kewajiban pemotongan atau pemungutan PPh Pasal 4 ayat 2 atas bunga
simpanan tersebut?

Jawab:

Tarif PPh Pasal 4 ayat 2 atas bunga simpanan koperasi yang dibayarkan kepada orang
pribadi adalah sebagai berikut:

142
 0% untuk penghasilan berupa bunga simpanan sampai dengan Rp240.000 per bulan;
atau

 10% dari jumlah bruto bunga untuk penghasilan berupa bunga simpanan lebih dari
Rp240.000 per bulan.

Penghitungan PPh Pasal 4 ayat 2 atas bunga simpanan koperasi yang diperoleh Rahmawati
adalah:

Januari 2016 10% x Rp350.000 = Rp35.000

Februari 2016 0% x Rp200.000 = Rp0

Maret 2016 10% x Rp500.000 = Rp50.000

April 2016 0% x Rp240.000 = Rp0

Mei 2016 10% x Rp250.000 = Rp25.000

Juni 2016 10% x Rp300.000 = Rp30.000

Sedangkan atas penghasilan yang diterima oleh Koperasi Kasih Rezeki dari pembagian
bunga simpanan koperasi tersebut tidak termasuk yang dikenai PPh yang bersifat
final, tetapi termasuk dalam pengertian bunga yang wajib dipotong PPh Pasal 23.

 Perhitungan PPh atas Transaksi Saham dan Sekuritas Lainnya

Tuan Galan menjual 1000 lembar saham dengan harga Rp3.000 per lembar. Berapa pajak
yang harus dikenakan atas transaksi penjualan saham tersebut?

Jawab:

PPh Pasal 4 ayat 2 atas penjualan saham adalah 0,1% x Rp3.000 x 1000 = Rp3.000.

Jadwal Penyetoran & Pelaporan PPh Pasal 4 Ayat 2

Penghasilan Batas Waktu Penyetoran Batas Waktu Pelaporan

Omzet penjualan Tanggal 15 bulan berikutnya Jika sudah validasi NTPN, WP tidak

(peredaran bruto) usaha setelah masa pajak berakhir perlu lapor lagi. Cukup menyertakan
lampiran laporan PPh Final 0,5% pada

143
pelaporan SPT Tahunan Badan / Pribadi
(SPT 1770)

Bunga,
deposito/tabungan, Tanggal 10 bulan berikutnya
20 hari setelah masa pajak berakhir
diskonto SBI, setelah masa pajak berakhir
bunga/diskonto

Tanggal 20 bulan berikutnya


Tanggal 25 bulan berikutnya setelah
Transaksi penjualan setelah bulan
bulan terjadinya transaksi penjualan
saham terjadinya transaksi penjualan
saham
saham

Tanggal 10 bulan berikutnya


Hadiah undian setelah bulan saat 20 hari setelah masa pajak berakhir
terutangnya pajak

Tanggal 10 (bagi Pemotong


Pajak) atau tanggal 15 (bagi
Persewaan tanah 20 hari setelah masa pajak
WP pengusaha persewaan)
dan/atau bangunan berakhir
dari bulan berikutnya setelah
masa pajak berakhir.

Tanggal 10 (bagi Pemotong


Pajak) dan tanggal
20 hari setelah masa pajak
Jasa konstruksi 15 (bagi WP jasa konstruksi)
berakhir
bulan berikutnya setelah
masa pajak berakhir

2.14. Pembayaran PPh Bagi Orang Pribadi Yang Bertolak Ke Luar Negeri
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2000 tentang
Pembayaran Pajak Penghasilan Orang Pribadi Yang Akan Bertolak ke Luar Negeri
menetapkan bahwa orang pribadi yang akan bertolak keluar negeri diwajibkan
membayar pajak penghasilan.

Besarnya Pajak Penghasilan yang wajib dibayar oleh Orang Pribadi adalah :
 Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap orang setiap kali bertolak ke lu
ar negeri dengan menggunakan pesawat udara;
144
 Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) untuk setiap orang setiap kali bertolak k
e luar negeri dengan menggunakan kapal laut.
Ketentuan sebagaimana dimaksud atas tidak berlaku kepada :
1) Anggota Korps Diplomatik, pegawai perwakilan Negara Asing, staf dari Badan
-badan Perserikatan Bangsa-Bangsa, tenaga ahli dalam rangka kerjasama tekni
k, dan staf dari Badan/Organisasi Internasional yang mendapat persetujuan Pe
merintah Republik Indonesia, sepanjang mereka bukan Warga Negara Indonesi
a dan di samping jabatan resmi tidak melakukan pekerjaan lain atau kegiatan u
saha di Indonesia;
2) Anggota keluarga dan pembantu rumah tangga yang bukan Warga Negara Indo
nesia dari sebagaimana tersebut pada angka 1;
3) Pejabat Negara, Anggota Tentara Nasional Indonesia/Polisi Republik Indonesi
a dan Pegawai Negeri Sipil yang bertolak ke luar negeri dalam rangka dinas ya
ng menggunakan paspor dinas dan dilengkapi dengan surat tugas perjalanan ke
luar negeri untuk setiap kali keberangkatan;
4) Anggota keluarga dari mereka sebagaimana tersebut pada angka 3 dalam hal ke
berangkatannya ke luar negeri dalam rangka penempatan di luar negeri;
5) Anggota Tentara Nasional Indonesia/Polisi Republik lndonesia yang mendapa
t tugas sebagai pasukan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau dalam rangka latihan
bersama dengan pasukan negara lain di luar negeri;
6) Anggota Tentara Nasional Indonesia/Polisi Republik Indonesia dan Pegawai N
egeri Sipil yang melakukan tugas di bidang keamanan dan pelayanan pemerint
ah di daerah perbatasan yang melaksanakan tugas dinas ke luar negeri dalam ra
ngka kerjasama dengan Negara yang berbatasan;
7) Anggota misi kesenian, misi olahraga dan misi keagamaan yang mewakili Pem
erintah Republik Indonesia ke luar negeri dengan persetujuan Menteri Pendidik
an Nasional, Menteri Negara Pemuda dan Olahraga atau Menteri Agama;
8) Petugas Imigrasi yang melakukan tugas pemeriksaan keimigrasian dalam pesa
wat terbang perusahaan penerbangan nasional atau kapal laut perusahaan pelay
aran nasional;
9) Jemaah haji yang penyelenggaraannya dilakukan oleh Departemen Agama dan
petugas pelaksana pemberangkatan haji yang pembiayaannya dibebankan pada
dana Ongkos Naik Haji;
10) Mahasiswa atau pelajar Indonesia yang akan belajar di luar negeri serta guru In
donesia dalam rangka program resmi pertukaran mahasiswa, pelajar atau guru y
ang diselenggarakan pemerintah atau Badan Asing dengan persetujuan Menteri
terkait;

145
11) Para pekerja Warga Negara Indonesia yang akan bekerja di luar negeri dalam r
angka program pengiriman Tenaga Kerja Indonesia dengan persetujuan Menter
i Tenaga Kerja;
12) Penduduk Indonesia yang melakukan perjalanan lintas batas wilayah Republik
Indonesia dengan menggunakan Pas Lintas Batas sesuai dengan perjanjian linta
s batas dengan negara terkait;
13) Penduduk Indonesia yang bertempat tinggal tetap di Pulau Batam yang mempu
nyai Kartu Tanda Penduduk yang diterbitkan oleh pihak yang berwenang di pu
lau tersebut, sepanjang mereka telah dipotong Pajak Penghasilan oleh pemberi
penghasilan atau telah terdaftar sebagai Wajib Pajak dan telah memenuhi kewa
jiban Pajak Penghasilannya pada Kantor Pelayanan Pajak Batam;
14) Orang asing yang berada di Indonesia dengan visa turis, visa transit, visa sosial
budaya, visa kunjungan usaha dan tidak menerima atau memperoleh penghasil
an dari Indonesia, sepanjang tidak bertempat tinggal atau berada di Indonesia ti
dak lebih dan 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua
belas) bulan;
15) Warga Negara Indonesia yang bertempat tinggal tetap di luar negeri yang mem
iliki tanda pengenal resmi sebagai penduduk negeri tersebut dan tidak menerim
a atau memperoleh penghasilan dari Indonesia, sepanjang berada di Indonesia t
idak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (d
ua belas) bulan, dan pembebasan tersebut hanya diberikan untuk 4 (empat) kali
dalam masa 1 (satu) tahun takwim;
16) Tenaga kerja Warga Negara Asing pendatang yang bekerja di Pulau Batam, Pu
lau Bintan, Pulau Karimun, sepanjang mereka telah dipotong Pajak Penghasila
n oleh pemberi kerja;
17) Orang asing yang menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia yang
tidak bertempat tinggal atau tidak bermaksud menetap di Indonesia dan berada
di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka
waktu 12 (dua belas) bulan sepanjang atas penghasilan tersebut telah dipotong
Pajak Penghasilan Pasal 26 oleh pemberi penghasilan;
18) Mahasiswa atau pelajar asing yang berada di Indonesia dalam rangka belajar de
ngan rekomendasi dan pimpinan sekolah atau Perguruan Tinggi yang bersangk
utan dan tidak menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia;
19) Orang asing yang berada di Indonesia dalam rangka melakukan penelitian di bi
dang ilmu pengetahuan dan kebudayaan di bawah koordinasi Lembaga Ilmu Pe
ngetahuan Indonesia atau lembaga resmi Pemerintah lainnya serta Departemen
Pendidikan Nasional, sepanjang tidak menerima atau memperoleh penghasilan
dari Indonesia;
20) Orang asing yang berada di Indonesia dalam pelaksanaan program kerja sama t
eknik dengan mendapat persetujuan Sekretariat Kabinet serta tidak menerima a
tau memperoleh penghasilan dari Indonesia;
146
21) Orang asing yang berada di Indonesia dalam rangka melakukan tugas sebagai a
nggota misi keagamaan di bawah koordinasi Departemen Agama dan misi kem
anusiaan di bawah koordinasi Departemen terkait;
22) Orang asing yang karena sesuatu hal diperintahkan oleh Pemerintah Indonesia
untuk meninggalkan Wilayah Republik Indonesia;
23) Awak dari pesawat terbang dan kapal laut serta kendaraan umum angkutan dar
at yang beroperasi di jalur internasional atau melakukan penerbangan, pelayara
n, dan operasi berdasarkan perjanjian carter pengangkutan;
24) Penyandang cacat atau orang sakit yang akan berobat ke luar negeri atas biaya
organisasi sosial termasuk 1 (satu) orang pendamping, dengan persetujuan Men
teri Kesehatan;
25) Orang Pribadi yang bertempat tinggal dalam wilayah Kerja Sama Ekonomi Su
b Regional ASEAN yang bertolak ke luar negeri dalam daerah kerja sama mela
lui pelabuhan atau tempat pemberangkatan keluar negeri dalam daerah kerja sa
ma, yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan;
26) Orang Pribadi yang bertempat tinggal dalam wilayah Kerja Sama Ekonomi Su
b Regional Indonesia - Australia (AIDA) yang bertolak ke Australia melalui pe
labuhan atau tempat pemberangkatan ke luar negeri dalam daerah kerja sama k
ecuali Bali, yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan;
27) Anak-anak yang berangkat ke luar negeri sepanjang umurnya tidak lebih dari 1
2 (dua belas) tahun;
28) Orang Pribadi Warga Negara Asing yang bekerja di Indonesia untuk kepenting
an Kantor Perwakilan Perusahaan Asing, yang ditetapkan oleh Menteri Keuang
an;
29) Orang Pribadi yang berasal dari bekas Propinsi Timor Timur yang berada di In
donesia dalam status pengungsi, yang telah memutuskan untuk menjadi Warga
Negara bekas Propinsi Timor Timur dan akan kembali ke Timor Timur, berdas
arkan rekomendasi Palang Merah Indonesia.

147
BAB XI
PEMBAHASAN
PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS
BARANG MEWAH

DASAR HUKUM
Undang-undang yang mengatur pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan
atas Barang mewah ( PPn BM ) adalah UNdang undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang pajak
pertambahan nilai barang dan jasa dan pajak penjualan atas barang mewah sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009. Undang-
Undang pajak pertambahan nilai 1984.

PENGERTIAN-PENGERTIAN
1. Daerah paben adalah wilayah republic Indonesia yang meliputi wilayah darat,perairan, dan
ruang udara di atasnya,serta tempat-tempat tertentun di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas
kontinen yang di dalamnya berlaku undang-undang yang mengatur mengenai kepabeanan.
2. Impor adalah setiap kegiataan memasukakan dari luar Daerah pabean ke dalam daerah
pabean.
3. Ekspor barang kena pajak berwujud adalah setia kegiatan mengeluarkan barang kena pajak
berwujud dan dalam daerah keluar pabean.
4. Ekspor barang kena pajak tidak berwujud adalah setiap kegiatan pemanfatan barang kena
pajak tidak berwujud dari dalam daerah pabean di luar daerah pabean.
5. Ekspor jasa kena pajak adalah setiap kegiatan penyerahan jasa kena pajak ke luar daerah
pabean
6. Menghasilkan adalah kegiatan mengolah melalui proses mengubah bentuk dan atau sifat
suatu barang dari bentuk aslinya menjadi barang baru atau mempunyai daya guna baru
kegiatan mengola sumber daya alam, termasuk menyuruh orang pribadi atau badan lain
melakukan kegiatan tersebut.
7. Pajak masukan adalah pajak pertambahan nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh
pengusaha kena pajak karena perolehan barang kena pajak dan atau perolehan jasa kena
oajak dan atau pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean dan
atau pemanfaatan jasa kena pajak dari luar daerah pabean dan atau impor barang kena pajak.
8. Pajak keluaran adalah pajak pertambahan nilai terutang yang wajib dipungut oleh pengusaha
kena pajak yang melakukan penyerahan barang kena pajak ,penyerahan jasa kena
pajak,ekspor barang kena pajak berwujud,ekspor barang kena pajak tidsk berwujud dan atau
ekspor jasa kena pajak.
9. Masa pajak adalah jangka waktu yang lamanya sama dengan 1 (satu) bulan takwim atau
jangka waktu lain yang ditetapkan dengan keputusan menteri keuangan paling lama 3
(tiga)bulan takwim.
148
BARANG KENA PAJAK (BKP)
1. Pengertian

Barang adalah barang berwujud, yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang
bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud.
Barang kena pajak adalah barang yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang PPN 1984.
Yang dimaksud dengan “Barang kena pajak tidak berwujud” adalah :
a. Penggunaan atau hak menggunakan hak cipta dibidang kesusastraan,kesenian atau karya
ilmiah, paten, desain atau model ,rencana , formula atau pross rahasia, merek dagang, atau
nemtuk hak kekayaan intelektuan/industrial atau hak serupa lainnya.
b. Penggunaan atau hak mengguanakan peralatan/perlengkapan industrial, komersial, atau
ilmiah.
c. Pemberian pengetahuan atau informasi dibidang ilmiah ,teknikal, industrial, atau komersial.
d. Pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan penggunaan atau hak
menggunakan hak-hak tersebut pada huruf (a), penggunaan atau hak menggunakan
peralatan/perlengkapan tersebut pada huruf (b), atau pemberian pengetahuan atau informasi
tersebut pada huuruf (c),berupa :
1) Penerimaan atau hak menerima rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya ,yang
disalurkan kepada masyarakat melalui satelit, kabel, serat optic, atau teknologi yang
serupa.
2) Penggunaan atau hak menggunakan gambar atau rekaman suara atau keduanya untuk
siaran televise atau radio yang disiarkan/dipancarkan melalui satelit, kabel ,serat optic,
atau teknologi yang serupa.
3) Penggunaan atau hak menggunakan sebagai atau seluruh spectrum radio komunikasi.
e. Penggunaan atau hak menggunakan film gambar hidup (motion picture films) , film atau
pita video untuk siaran televisi,atau pita suara untuk siaran radio.
f. Pelepasan seluruhnya atau sebagian hak yang berkenaan dengan penggunaan atau
pemberian hak kekayaan intelektual/industrial atau hak-hak lainnya sebagaimana tersebut
di atas.

2. Pengecualian BKP

Pada dasarnya semua barang adalah BKP,kecuali Undang-Undang menetapkan sebaliknya.


Jenis barang yang tidak dikenakan PPN ditetapkan dengan peraturan pemerintak didasarkan
atas kelompok-kelompok barang sebagai berikut:
a. Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari
sumbernya,seperti :
1) Minyak mentah (crude oil )
2) Gas bumi,tidak termasuk gas bumi seperti elpiji yang siap dikonsumsi langsung oleh
masyarakat
3) Panas bumi
149
4) Asbes, batu tulis, batu setengah pemata, batu kapur, batu apung, batu permata, bentonit ,
dolomit, garam batu,pasir dan kerikil, tanah liat dan hasil pertambangan lainnya.
5) Batu bara sebelum diproses menjadi briket batu bara.
6) Bijih besi, bijih timah, bijih emas, bijih nikel, bijih perak, serta bijih bauksit.
b. Barang-baraang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak seperti :
1) Beras
2) Gabah
3) Jagung
4) Sagu
5) Kedelai
6) Garam, baik yang beryodium maupun yang tidak beryodim
7) Daging, yaitu daging segar yang tanpa diolah tetapi yang telah melalui proses
disembelih, dikuliti, dipotong, didinginkan , diawetkan dengan cara lain, dan atau
direbus.
8) Telur, yaitu telur yang tidak diolah, termasuk telur yang dibersihkan, diasinkan, atau
dikemas.
9) Susu, yaitu susu parah, baik yang telah melalui proes didinginkan maupun dipanaskan,
tidak mengandung tambahan gula atau bahan lainnya,dan atau dikemas atau tidak
dikemas.
10) Buah-buahan dan sayur-sayuran
c. Makanan dan minuman yang disajikan dihotel ,restoran, rumah makan, warung dan
sejenisnya
d. Uang , emas batangan dan surat-surat berharga (saham, obligasi dan lainnya)

JASA KENA PAJAK (JKP)


1. Pengertian
Jasa dalah setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hokum
yang menyebabkan suatu barang,fasibilitas,kemudahan,atau hak tersedia untuk untuk dipakai,
termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan
dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan. Jasa kena pajak adalah jasa yang dikenai pajak
berdasarkan Undang-Undang PPN 1984.

2. Pengecualian JKP
Padaa dasarnya semua jasa dikenakan pajak,kecuali yang ditentukan lain oleh Undang-Undang
PPN.jenis jasa yang yang tidak dikenakan PPN ditetapkan dengan peraturan pemerintah
didasarkan atas kelompok-kelompok jasa sebagai berikut:
a. Jasa pelayanan kesehatan medis, meliputi:
1) jasa dokter umum,dokter spesialis,dan dokter gigi
2) jasa dokter hewan
3) jasa ahli kesehatan seperti ahli akupuntur,ahli gigi,ahli gizi,dan ahli fisioterapi
4) jasa kebidanan
5) jasa pramedis dan perawat

150
6) jasa rumah sakit ,rumah berssalin, klinik kesehatan, laboratorium kesehatan, dan
sanatorium
7) jasa psikolog dan psikiater dan jasa pengobatan alternatif

b. Jasa dibidang pelayanan social,meliputi:


1) Jasa pelayanan panti asuhan dan panti jompo
2) Jsa pemadam kebakaran
3) Jasa pemberian pertolongan pada kecelakaan
4) Jasa lembaga rehabilitas
5) Jasa penyediaan rumah duka atau jasa pemakaman, termasuk crematorium
6) Jasa di bidang olahraga kecuali yang bersifat komersial

c. Jasa dibidang pengiriman surat dengan prangko


d. Jasa keuangan,meliputi:
1) Jasa menghimpun dana dari masyarakat berupa giro,deposito berjangka, sertifikat
depositti, tabungan , dan atau be tuk lain yang dipersamakan dengan itu.
2) Jasa menempatkan dana,meminjam dana, atau meminjamkan dana kepada pihak lain
dengan menggunakan surat,sarana telekomunikasi maupun dangan wesel unjuk,cek atau
sarana lainnya.
3) Jasa pembiayaan, termasuk pembiayaan berdasarkan perinsip syariah,berupa sewa guna
usaha dengan hak opsi, anjak piutang, usaha kartu kredit dan atau pembiayaan konsumen.
4) Jasa penyaluran pinjaman atas dasar hokum gadai syariah dan fidusia
5) Jasa penjaminan

e. Jasa asuransi, yaitu jasa pertanggungan yang meliputi asuransi kerugian,asuransi jiwa,dan
reasuransi yang dilakukan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis asuransi, tidak
termasuk jasa penunjang asuransi seperti agen asuransi,penilaian kerugian asuransi, dan
konsultan asuransi.
f. Jasa dibidang keagamaan, seperti jasa pelayanan rumah ibadah, jasa pemberian khotbah
atau dakwah, jasa penyelenggaran kgiatan keagamaan, dan jasa lain dibidang keagamaan.
g. Jasa pendidikan, seperti jasa penyelenggaraan pendidikan sekolah dan jasa penyelenggaraan
pendidikan di luar sekolah
h. Jasa kesenin dan hiburan meliputi semua jenis jasa yang dilakukan oleh pekerja seni dan
hiburan
i. Jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan meliputi jasa penyiaran radio atau televise yang
dilakukan oleh instansi pemerintah atau swasta yang tidak bersifat iklan dan tidak dibiayai
oleh sponsor yang bertujuan komersial.
j. Jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negri.
k. Jasa tenaga kerja, meliputi:
1) Jasa tenaga kerja
2) Jasa penyediaan tenaga kerja sepanjng pengusaha penyedia tenaga kerja tidak
bertanggung jawab atas hasil kerja dari tenaga kerja tersebut.
3) Jasa penyelenggaraan pelatihan bagi tenaga kerja.

151
l. Jasa perhotelan, meliputi:
1) Jasa penyewaan kamar,termasuk tambahannya dihotel,rumah penginapan,losmen hostel,
serta fasilitas yang terkait dengan kegiatan perhotelan untuk tamu yang menginap.
2) Jasa penyewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan dihotel,rumah
penginapan,motel, losmen dan hostel.

m. Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam jangka menjalankan pemerintahan secara
umum, meliputi jenis-jenis jasa yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah antara lain
pemberian izinmendirian bangunan ,pemberian izin usaha perdagangan, pemberian Nomor
Pokok Wajib Pajak, dan pembuatan kartu Tanda Penduduk.
n. Jasa penyediaan tempat parker, yaitu jasa penyediaan tempat parker yang dilakukan oleh
pemilik tmpat parker dan atau pengusa kepada pengguna tempat parker dengan dipungut
bayaran.
o. Jasa telepon ummum dengan menggunakan uang logam yang diselenggararakan oleh
pemerintah maupun swasta.
p. Jasa pengiriman uang dengan wesel pos.
q. Jasa boga atau catering.

PENGUSAHA KENA PAJAK (PKP)


1. Pengertian
a. Pengusaha adalah orang pribadi atau dalam bentuk apapun yang dalam kegiatan usaha
atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang
melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar daerah
pabean, melakukan usaha jasa termasuk mengekspor jasa, atauu memanfaatkan jasa dari
luar daerh pabean.
b. Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah pengusaha yang melakukan penyerahan barang
karena pajak dan atau penyerahan jasa kena pajak yang dikenai pajak berdasarkan
Undang-Undang 1984.

2. Kewajban pengusaha kena pajak


Pengusaha kena pajak berkewajiban,antara lain untuk:
a. Melaporkan usahanya untuk dikukuhkan menjadi pengusaha kena pajak.
b. Memungut PPn BM yang terutang.
c. Menyetorkan PPN yang masih harus dibayar dalam hal pajak keluaran lebih besar
daripada pajak masukan yang dapat dikreditkan serta penyetoran pajak penjualan atas
barang mewah yang terutang.
d. Melaporkan penghitungan pajak

3. Pengecualian kewajiban pengusaha kena pajak


Pengusaha yang dikecualikan dari kewajiban sebagai pengusaha kena pajak adalah:
a. Pengusaha kecil
152
b. Pengusaha yang semata-mata menyerahkan barang dan atau jasa yang tidak dikenakan
PPN.

4. Pengusaha kecil
Pengusaha kecil adalah pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan
barang kena pajak dan atau jasa kena pajak dengan jumlah peredaran bruto dan atau jasa
pajak dengan jumlah Berdasarkan bruto dan atau penerimaan bruto tidak lebih dari:
a. Sebelum 1 januari 2014= Rp 600.000.000,00
b. Setelah 1 januari 2014= Rp 4.800.000,00

Pengusaha kecil wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai pengusaha kena
pajak, apabila sampai dengan suatu bulan dalam tahun buku, jumlah peredaran bruto dan
atau penerimaan brutonya melebihi batas yang telah ditetapkan.pengusaha tersebut wajib
melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP paling lama akhir bulan berikutnya
setelah bulan saat jumlah peredaran bruto dan atau penerimaan brutonya melebihi batas
pengusaha kecil.
PKP dapat mengajukan permohonan pencabutan pengukuhan sebagai PKP apabila jumlah
predaran bruto dan atau penerimaan brutonya dalam satu tahun buku tidak melebihi batas
yang telah ditentukan dengan mengajukan permohonan kepada kepala kantor pelayann
pajak tempat pengusaha dikukuhkan sebagai PKP paling lambat 1 (satu) bulan sejak
berakhirnya tahun buku.direktur jendral pajak wajin memberikan keputusan dalam jangka
waktu 2 (dua) bulan sejak permohonan pencabutan pengokohan pencabutan
diterima.Apabila dalam jangka waktu tersebut direktur jendral pajak tidak memberikan
keputusan,permohonan pencabutan pengukuhan dianggap diterima.apabila dalam jangka
waktu tersebut direktur jendral pajak tidak memberikan keputusan ,permohonan pencabutan
pengukuhan dianggap diterima.
Beberapa hal yang perlu diketahui sehubungan dengan pengusaha kecil:
a. Dilarang membuat faktur pajak
b. Tidak wajib memasukan SPT Masa PPN
c. Diwajibkan membuat pembukuan atau pencatatan
d. Wajib lapor untuk dikukuhkan sebagai PKP,bagi pengusaha kecil yang memperoleh
predaran bruto diatas batas yang telah ditentukan

PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK


Penyerahan barang kena pajak adalah setiap kegiatan penyerahan barang kena
pajak.penyerahan barang yang termsuk dlam pengertian penyerahan BKP adalah :
1. Penyerahan atas BKP karena suatu perjanjian
2. Pengalihan bkp karena suatu perjanjian sewa beli dan atas perjanjian sewa guna usaha
(leasing)
3. Penyerahan BKP kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang
4. Pemakain sendiri dan atau pemberian Cuma-Cuma atas BKP

153
5. BKP berupa persediaan dan atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjual
belikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan
6. Penyerahan bkp dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan atau penyerahan BKP antar
cabang
7. Penyerahan BKP secara konsinyasi
8. Penyerahan BKP dan PKP dalam rangka perjanjian pembiayaan yang dilakukan
berdasarkan prinsip syariah, yang penyerahannya dianggap langsung dari PKP ke pada
pihak yang membutuhkan BKP

Sedangkan penyerahan barang yang tidak termasuk dalam pengertian penyerahan BKP adalah:
1. Penyerahan BKP kepada makelar sebagaimana dimaksud dalam kitab Undang-Undang
hokum dagang
2. Penyerahan BKP untuk jaminan utang piutang
3. Penyeraha BKP dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan atau penyerahan BKP antar cabang
dalam hal PKP melakukan pemusatan tempat pajak terutang
4. Pengalihan BKP dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan
pengambilalihan usaha dengan syarat pihak yang melkukan pengalihan dan yang menerima
pengalihan adalah pengusaha kena pajak
5. BKP berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjual belikan, yang masih
tersisa pada saat pembubaran perusahaan, dan yang pajak masukan atas prolehannya tidak
dapat dikreditkan

OBJEK PAJAK PERTAMBAHAN NILAI


PPN dikenakan asas:
1. Penyerahan BKP di dalam daerah paban yang dilakukan oleh pengusaha.syarat-syaratnya
adalah:
a. Barang berwujud yang diserahkan merupakan BKP
b. Barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan BKP tidak berwujud
c. Penyerahan dilakukan di dalam daerah pabean
d. Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatann usaha atau pekerjaannya
2. Imprr BKP
3. Penyerahan JKP didalam daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha.syarat-syaratnya
adalah:
a. Jasa yang diserahkan merupakan JKP
b. Penyerahan dilakukan di dalam daerah pabean
c. Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya
4. Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar daerh pabean didalam daerah pabean
5. Pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean
6. Ekspor BKP berwujud oleh pengusaha kena pajak
7. Ekspor BKP tidak berwujud oleh pengusaha kena pajak
8. Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan
oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain

154
9. Penyerahan BKP berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan
oleh PKP, kecuali atas penyerahan aktiva yang pajak masukannya tidak dapat dikreditkan

PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH (PPn BM )


Dengan pertimbangan bahwa:
1. Perlu keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen yang berpenghasilan rendah dan
konsumen yang berpenghasilan tinggi
2. Perlu adanya pengendalian pola konsumsi atas bkp yang tergolong mewah
3. Perlu adanya perlindungan terhadap produsen kecil atau tradisional
4. Perlu untuk mengamankan penerimaan Negara

Maka atas penyerahan BKP yang tergolong oleh porodusen atau impor BKP yang tergolong
mewah, disamping dikenakan pajak pertambahan nilai (PPN) juga dikenakan pajak penjualan
atas barang mewah (PPn BM).

Batasan suatu barang termasuk BKP yang tergolong mewah adalah:


1. Barang tersebut bukan merupakan barang ke butuhana pokok
2. Barang tersebut di konsumsi oleh masyarakat tertentu
3. Pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi
4. Barang tersebut bekonsumsi untuk menunjukan status

PPn BM dikenakan atas:


1. Penyerahan BKP yang tergolong mewah yang dilakukan oleh pengusaha yang
menghasilkan BKP yang tergolong mewah tersebut di dalam daerah pabean dalam
kegiatan usaha atau pekerjaannya.
2. Impor BKP yang tergolong mewah.
PPn BM merupakan pungutan tambahan di samping PPN. PPn BM hanya dikenakan 1
(satu) kali pada waktu oenyerahan BKP yang tergolong mewah oleh pengusaha yang
menghasilkan atau pada waktu impor BKP yang tergolong mewah.

DASAR PENGENAAN PAJAK


Untuk menghitung besarnya pajak (PPN dan PPn BM) yang terutang perlu adanya Dasar
Pengenaan Pajak (DPP). Yang menjadi DPP adalah :
1. Harga jual
2. Penggantian
3. Nilai impor
4. Nilai ekspor
5. Nilai lain yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan

155
Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya
diminta oleh penjual karena penyerahan BKP, tidak termasuk Pajak PertambahanNilai yang
dipungut menurut UU PPN 1984 dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya
diminta oleh pengusaha karena penyerahan JKP, ekspor JKP, atau ekspor BKP Tidak
Berwujud, tetapi tidak termasuk Pajak Pertamabahn Nilai yang dipungut menurut Undang-
Undang PPN 1984 dan potongan harga yang dicantumkan dalam faktur pajak atau nilai berupa
uang yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh penerima jasa karena pemanfaatan JKP dan
atau oleh penerimaan manfaat BKP Tidak Berwujud karena pemanfaatan BKP Tidak Berwujud
dari luar Daerah Pabean didalam Dareah Pabean.
Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar perhitungan bea masuk ditambah
pungutan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai kepabean dan cukai untuk impor BKP, tidak termasuk PPN adan PPn BM yang
dipungut menurut Undang-Undang PPN 1984.
Nilai Ekspor adalah niali berupa uang, termasuk biaya yang diminta atau seharusnya diminta
oleh pengekspor.
Penerapan DPP diatur dalam berbagai peraturan pelaksanaan Undang-Undang sebagaimana
berikut :
1. Untuk penyerahan atau penjualan BKP, yang menjadi DPP adalah jumlah harga jual.
2. Untuk penyerahan JKP, yang menjadi DPP adalah penggantian.
3. Untuk impor, yang menajdi DPP adalah nilai impor.
4. Untuk eskpor, yang menajdi DPP adalah nilai ekpsor.
5. Atas kegiatan membangun sendiri banguan permanen dengan luas 300 m2 atau lebih yang
dilakukan oleh orang pribadi atau badan tidak dalam lingkungan perusahaan atau
pekerjaannya, DPP-nya adalah 40% (empat puluh persen) dari jumlah biaya yang
dikeluarkan untuk membangun (tidak termasuk harga perolehan tanah).
6. Untuk pemakaian sendiri BKP dana tau JKP adalah harga jual atau penggantian setelah
dikurangi laba kotor.
7. Untuk pemberian Cuma-Cuma BKP dan atau JKP adalah harga jual atau penggantian
setelah dikurangi laba kotor.
8. Untuk penyerahan media rekaman suara atau gambar perkiraan harga jual rata-rata.
9. Untuk penyerahan film cerita adalah perkiraan hasil rata-rata perjudul film.
10. Untuk penyerahan produk hasil tembakau adalah harga jual eceran.
11. Untuk BKP berupa persediaan dan atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak
diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan adalah harga pasar
wajar.
12. Untuk penyerahan BKP dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan atau penyerahan BKP
antar cabang adalah harga pokok penjualan atau harag perolehan.
13. Untuk penyerahan BKP melalui pedangang perantara adalah harga yang disepakati antara
pedangang perantara dan pembeli.
14. Untuk penyerahan BKPnmelalui juru lelang adalah harag lelang.
15. Untuk penyerahan jasa pengiriman paket adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah yang
ditagih atau jumlah yang seharusnya ditagih.
156
16. Untuk penyerahan jasa biro perjalanan atau jasa biro pariwisata adalah 10% (sepuluh
persen) dari jumalah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih.

TARIF
1. Tarif Pajak Petambahan Nilai
Tarif PPN yang berlaku saat ini adalah 10% (sepuluh persen). Sedangkan tariff PPN sebesar
0% (nol persen) diterapkan atas :
a. Ekspor BKP Berwujud.
b. Ekspor BKP Tidak Berwujud.
c. Ekspor JKP.
Pengenaan tariff 0% (nol persen) tidak berarti pembebasan dari pengenaan Pajak
Pertambahan NIlai. Dengan demikian, Pajak Masukan yang teah dibayar untuk perolehan
BKP/JKP yang berkaitan dengan kegiatan tersebut dapat dikreditkan.
Berdasarkan pertimbangan perkembangan ekonomi dan atau peningkatan kebutuhan dana
untuk pembangunan, pemerintahan diberi wewenang mengubah tariff Pajak Pertambahan
Nilai menjadi paling rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi 15% (lima belas persen)
dengan tetap memakai prinsif tariff tanggal. Perubahan tariff sebagimana dimaksud ppada
ayat ini dikemukakan oleh pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat dalam rangka
pembahasan dan penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
2. Tarif Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
Tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah dapat ditetapkan dalam beberapa kelompok tariff,
yaitu tariff paling rendah 10% (sepuluh persen) dan paling tinggi 200% (dua ratus persen).
Ketentuan mengenai tariff kelompok Barang Kena Pajak yangtergolong mewah yang
dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan Peraturan Pemerintah. Sedangkan
ketentuan mengenai jenis Barang yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Atas ekspor Barang Kena Pajak yang tergolong newah dikenai pajak dengan tariff 0% (nol
persen). PPn BM yang telah dibayar atas perolehan BKP yang tergolong mewah yang
dieskpor dapat diminta kembali (restitusi).

MEKANISME PENGENAAN PPN

Undang-undang pajak pertambahan nilai 1984 metode kredit pajak (Credit method) serta pajak
faktur (Invoice method). Dalam metode ini pajak pertama bahan nilai (PPN) dikenakan atas
penyerahan barang kena pajak (BKP) atau jasa kena pajak (JKP) oleh pengusaha kena pajak
(PKP). PPN di pungut secara bertingkat pada setiap jalur produksi dan distribusi. Unsur
pengenaan pajak berganda atau pengenaan pajak atas pajak dapat dihindari dengan di
terapkannya mekanisme pengkreditan pajak masukan (Metode Kredit Pajak). Untuk

157
melakukan pengkreditan pajak masukan, sarana yang digunakan adalah faktur pajak (Metode
faktur pajak).

Mekanisme pengenaan PPN dapat digambarkan sebagai berikut:

1. Pada saat membeli/memperoleh BKP/JKP, akan di pungut PPN oleh PKP penjual. Bagi
pembeli, PPN yang dipungut oleh PKP penjual tersebut merupakan pembayaran pajak di
muka dan di sebut dengan pajak masukan. Pembeli berhak menerima bukti pemungutan
berupa faktur pajak.
2. Pada saat menjual/menyerahkan BKP/JKP kepada pihak lain, wajib memungut PPN bagi
penjual, PPN tersebut merupakan pajak keluaran, sebagai bukti telah memungut PPN, PKP
penjual wajib membuat faktur pajak.
3. Apabila dalam suatu masa pajak (jangka waktu yang lamanya sama dengan 1 bulan takwim),
jumlah pajak pengeluaran lebih besar daripada jumlah pajak masukan, selisih nya harus di
setorkan ke kas Negara.
4. Apabila dalam suatu masa pajak, jumlah pajak keluaran lebih kecil daripada paja masukan,
selisihnya dapat di restitusi (diminta kembali) atau di kompensasikan ke masa pajak
berikutnya.
5. Pelaporan penghitungan PPN dilakukan setiap masa pajak dengan menggunakan surat
pemberitahuan masa pajak pertambahan nilai (SPT masa PPN).

Contoh:
Sepanjang bulan Maret 2017, PT ABC mempunyai transaksi sebagai berikut:
1. Membeli bahan baku seharga Rp. 100.000.000 (dipungut PPN sebesar Rp.10.000.000).
2. Membeli bahan penolong seharga Rp. 40.000.000 (dipungut PPN sebesar Rp. 4.000.000).
3. Menjual produknya seharga Rp. 200.000.000 (dipungut PPN sebesar Rp. 20.000.000).

Perhitungan PPN : Rp. 20.000.000


Jumlah pajak masukan : (Rp. 14.000.000)
PPN kurang bayar : Rp. 6.000.000
Jumlah PPN kurang bayar sebesar Rp. 6.000.000 ini harus di setorkan ke kas Negara.

158
CARA MENGHITUNG PPN

Cara menghitung PPN sebagai berikut:

PPN = dasar pengenaan pajak × tarif pajak.

Contoh:

1. Pengusaha Kena Pajak “A” menjual tunai BKP kepada pengusaha kena pajak “B” dengan
harga jual Rp. 25.000.000 PPN yang terutang :
10% × Rp. 25.000.000 = Rp. 2.500.000
PPN sebesar Rp. 2.500.000 tersebut merupakan pajak keluaran, yang di pungut oleh
pengusaha kena paja “A” sedangkan bagi pengusaha kena paja “B”, PPN tersebut
merupakan pajak masukan.

CARA MENHITUNG PPn BM

Cara menghitung PPn sebagai berikut:

PPn BM = dasar pengenaan pajak × tariff pajak.

Contoh:

PKP “ABC” sebagai pabrikan menyerahkan barang hasil produksinya dengan harga jual Rp
10.000.000. Barang tersebut merupakan BKP yang tergolong mewah dengan tariff PPn BM
sebesar 40%. Penghitungan pajak yang harus di pungut adalah sebagai berikut:

PPN = 10% × Rp. 10.000.000 = Rp. 1.000.000


PPn BM = 40% × Rp . 10.000.000 = Rp. 4.000.000

SAAT TERUTANG PAJAK

Pajak terutang pada saat:

1. Penyerahan BKP atau JKP.


2. Impor BKP.
3. Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar daerah Pabean di dalam daerah Pabean.
4. Pemanfaatan JKP dari luar daerah Pabean.
5. Ekspor BKP berwujud.
159
6. Ekspor BKP tidak Berwujud.
7. Ekspor JKP.
8. Pembayaran, pembayaran di terima sebelum penyerahan BKP atau sebelum penyerahan
JKP atau dalam pembayaran di lakukan sebelum dimulainya pemanfaatan BKP tidak
berwujud atau JKP dari luar daerah Pabean.

TEMPAT TERUTANG PAJAK


1. untuk Penyerahan BKP/JKP
A. Tempat Tinggal.
B. Tempat kedudukan
C. Tempat kegiatan usaha
D. Tempat Lain
Apabila pengusaha kena pajak terutang pajak lebih dari 1 (satu) tempat kegiatan
usaha,pengusaha kena pajak tersebut dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya dapat
menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada direktur jendral pajak untuk memilih 1
(satu) tempat atau lebih sebagai tempat terutangnya pajak.
2. Dalam hal Impor,terutangnya pajak terjadi ditempat barang kena pajak dimasukkan dan
dipungut melalui direktorat jendral bea dan cukai.
3. Orang pribadi atau badan yang memanfaatkan BKP tidak berwujud dan atau JKP dari luar
daerah pabean di dalam daerah pabean terutang pajak ditempat tinggal atau tempat kedudukan
dan atau tempat kegiatan usaha.
4. Untuk kegiatan membangun sendiri oleh PKP yang tidak dilakukan dalam lingkungan
perusahaan atau pekerjaannya atau oleh bukan PKP,ditempat bangunan tersebut didirikan.

FAKTUR PAJAK
Faktur pajak adalah bukti pemungutan pajak yang dibuat oleh pengusaha kena pajak yang
melakukan penyerahan BKP atau penyerahan JKP.
Faktur pajak dibuat pada :
1. saat penyerahan barang kena pajak atau penyerahan jasa kena pajak.
2. saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan
barang kena pajak atau sebelum penyerahan jasa kena pajak .
3. saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagai tahan pekerjaan.
4. Saat yang lain diatur dengan atau berdasarkan peraturan menteri keuangan.
160
Dalam faktur pajak harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan BKP dan atau
penyerahan JKP yang paling sedikit memuat :
1. Nama,alamat,NPWP yang menyerahkan BKP atau JKP.
2. Nama.alamat,NPWP pembeli BKP atau penerima JKP.
3. jenis barang atau jasa,jumlah harga jual atau penggantian dan potongan harga.
4. PPN yang dipungut.
5. PPn BM yang dipungut.
6. Kode,Nomor seri,dan tanggal pembuatan faktur pajak.
7. Nama dan tanda tangan yang berhak mendatangani faktur pajak.
Faktur pajak harus dibuat pada :
1. saat penyerahan barang kena pajak dan atau penyerahan jasa kena pajak.
2. saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan
barang kena pajak atau sebelum penyerahan jasa kena pajak.
3. saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagai tahap pekerjaan
4. untuk faktur pajak gabungan harus dibuat paling lama pada akhir bulan penyerahan barang
kena pajak dan atau jasa kena pajak
5. saat lain yang diatur dengan atau berdasarkan peraturan menteri keuangan tersendiri.

MEKANISME KREDIT PAJAK


Pembeli barang kena pajak,penerima jasa kena pajak,pengimpor barang kena pajak,pihak yang
memanfaatkan barang kena pajak tidak berwujud dari luar pabean,atau pihak yang
memanfaatkan jasa kena pajak dari luar daerah pabean wajib membayar pajak pertambahan
nilai dan berhak menerima bukti pengutan pajak.pajak pertambahan nilai yang seharusnya
sudah dibayar tersebut merupakan pajak masukan bagi pembeli barang kena pajak,penerima
jasa kena pajak,pengimpor barang kena pajak,pihak yang memanfaatkan barang kena pajak
tidak berwujud dari luar daerah pabean,atau pihak yang memanfaatkan jasa kena pajak dari
luar daerah pabean yang berstatus sebagai pengusaha kena pajak.
Pajak masukan yang wajib dibuat tersebut oleh pengusaha kena pajak dapat dikreditkan dengan
pajak keluaran yang dipungutnya dalam masa pajak yang sama.Pajak dapat dikreditkan dengan
pajak keluaran yang dipungutnya dalam masa pajak yang sama.Pajak masukan yang dapat
dikreditkan,tetapi belum dikreditkan dengan pajak keluaran pada masa pajak yang sama,dapat
dikreditkan pada masa pajak berikutnya paling lama 3(Tiga) bulan setelah berakhirnya masa
pajak yang bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan
pemeriksaan.

Apabila dalam suatu masa pajak,Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan yang
dapat dikreditkan,Maka selisihnya merupakan PPN yang harus disetorkan oleh PKP Kekas

161
Negara paling lama akhir bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir dan sebelum surat
pemberitahuan Masa PPN disampaikan,sedangkan apabila dalam suatu masa pajak,Pajak
Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada pajak keluarannya,maka selisih
merupakan kelebihan pajak yang dapat dimintakan kembali(restusi) atau dikompensasikan
pada masa pajak berikutnya.

Contoh :
Selama bulan takwin terjadi kegiatan usaha sebagai berikut :
Membeli bahan baku dan lain lain dari pabrikan Rp.100.000.000,00
Menyerahkan hasil produksi dengan harga jual Rp.60.000.000,00
Pajak Masukan yang dpungut oleh PKP lain Sebesar
10%xRp.100.000.000,00 =Rp.10.000.000,00
Pajak Keluaran yang harus dipungut :
10%xRp.60.000.000,00=Rp.6.000.000,00
PPN yang lebih bayar dalam masa pajak yang bersangkutan
Rp.10.000.000,00-Rp.6.000.000,00 =Rp.4.000.000,00
Kelebihan tersebut dapat dikompensasikan pada masa pajak berikutnya atau dapat diminta
kembali (restusi)
Apabila dalam suatu masa pajak,pajak keluaran lebih besar dari pada pajak masukan,maka
selisihnya merupan pajak yang harus disetor ke kas negara oleh PKP.

PAJAK MASUKAN YANG TIDAK DAPAT DIKREDITKAN


Pajak masukan pada dasarnya dapat dikreditkan terhadap pajak keluaran. Akan tetapi tidak
semua pajak masukan dapat dikreditkan.pajak masukan yang tidak dapat dikreditkan adalah
pajak masukan bagi pengeluaran untuk :
1. Perolekan BKP atau JKP sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai PKP
2. Perolehan JKP atau BKP yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan
usaha.
3. Perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor sedan dan stasiun wagon, kecuali
merupakan barang dagangan atau disewakan.
4. Pemanfaatan BKP tidak terwujud atau pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean sebelum
pengusaha dikukuhkan sebagai PKP.
5. Perolehan JKP atau BPP faktur pajaknya tidak memenuhi ketentun sebagai mana
dimaksud dalam pasal 13 ayat 5 (lima) atau ayat 9 UU PPN 1984 atau tidak mencantumkan
nama, alamat dan nomor pokok wajib pajak pembeli BKP atau penerima JKP
6. Pemanfaatan BKP tidak terwujud atau pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean yang
faktur pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagai mana dimaksud dalam pasal 13 ayat 6
UU PPN 1984
7. Perolehan BKP atau JKP yang pajak masukannya ditagih dengan penerbitan ketetapan
pajak
8. Perolehan BKP atau JKP yang pajak masukannya tidak dilaporkan dalam SPT masa PPn ,
yang ditemukan pada waktu di lakukan pemeriksaaan
9. Perolehan BKP selain barang modal atau JKP sebelum BKP berproduksi
10. Pajak masukan yang dibayar untuk perolehan barang kena pajak dan ataau perolehan jasa
kena pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan pajak pertambahan nilai
11. Berkenaan dengan kegiatan membangun sendiri

162
PENYERAHAN KEPADA PEMUNGUT PPN
Sedikit menyimpang dari mekanisme yang secara umum berlaku, apabila PKP menyerahkan
BKP dan atau JKP kepada pemungut PPN, PKP yang bersangkutan tidak memungut PPN dan
PPn BM yang terutang atas penyerahan tersebut akan dipungut dan disetorkan ke kas Negara
oleh pemungut PPN.
Pengertian pemungut PPN menurut undang-undang PPN 1984 adalah bendaharawan
pemerintah, badan , atau instansi pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk
memungut , menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang oleh pengusaha kena pajak atas
penyerahan BKP dan atau penyerahan BKP kepada bendaharawan pemerintah, badan, instansi
pemerintah tersebut. Menurut ketentuan yang berlaku saat ini, yang di tetapkan sebagai
pemungutan PPN adalah:
1. Bendaharawan pemerintah, yaitu bendaharawan atau pejabat yang melakukan pembayaran
yang dana nya berasal dari anggaran pendapatan dan belanja Negara atau pendapatan dan
belanja daerah, yang terdiri dari bendaharawan pemerintah pusat dan daerah, baik provinsi,
kabupaten atau kota.
2. Kantor Pelayanan Pembendaharaan Negara (KPPN)

Pemungut PPN yang melakukan pembayaran atas penyerahan BKP dan atau JKP oleh
pengusaha kena pajak rekanan Pemerintah, wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN
dan PPn BM yang terutang. Pemungutan PPN dan PPn BM di lakukan pada saat melakukan
pembayaran oleh Bendaharawan pemerintah atau KPPN kepada PKP rekanan Pemerintah.PPN
dan PPn BM tidak di pungut dalam hal :
1. Pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah) dan tidak
merupakan pembayaran yang terpecah-pecah.
2. Pembayaran untuk pembebasan tanah.
3. Pembayaran atas penyerahan BKP atau JKP yang menurut ketentuan perundang-undangan
yang berlaku, mendapat fasilitas PPN tidak di pungut dan atau di bebankan dari pengenaan
PPN.
4. Pembayaran atas penyerahan Bahan Bakar Minyak dan bukan Bahan Bakar Minyak oleh
PT (persero) Pertamina.
5. Pembayaran atas rekening telepon.
6. Pembayaran atas jasa angkutan udara yang di serahkan oleh perusahaan penerbangan.
7. Pembayaran lainnya untuk penyerahan barang atau jasa yang menurut ketentuan perundang-
undangan yang berlaku tidak dikenakan PPN.

163
Catatan:
PPN dan PPn BM yang terutang sehubungan dengan pembayaran yang jumlahnya paling
banyak jumlah Rp. 1.000.000 di pungut dan disetor oleh pengusaha kena pajak rekanan
pemerintah sesuai dengan ketentuan yang berlaku umum. Batas jumlah pembayaran sebesar
Rp. 1.000.000 tersebut hendaknya di artikan termasuk PPN dan PPn BM.
Tata Cara Pemungutan
1. Dasar Pemungutan
Dasar pemungutan PPN dan PPn BM adalah jumlah pembayaran yang di lakukan oeh
bendaharawan pemerintah atau jumlah pembayaran yang di lakukan oleh KPPN sebagaimana
tersebut dalam surat pemerintah bayar (SPM).

2. Jumlah atau PPn BM yang di pungut


a. Dalam hal penyerahan BKP hanya terutang PPN, maka jumlah PPN yang di pungut adalah
10/110 bagian dari jumlah pembayaran.

Contoh:
Jumlah pembayaran Rp. 11.000.000
Jumlah PPN:
(10/110 × Rp. 11.000.000) Rp. 1.000.000
Sisa yang dibayarkan kepada PKP rekanan
(Rp. 11.000.000 – Rp. 1.000.000) Rp. 10.000.000

b. Dalam hal penyerahan BKP yang tergolong mewah dari pengusaha yang menghasilkan BKP
yang tergolong mewah tersebut, di samping terutang PPN juga terutang PPn BM, maka
jumlah PPN dan PPn BM yang di pungut sebagai berikut:

Dalam hal terutang PPn BM sebesar 20%, maka jumlah PPN yang di pungut sebesar 10/130
bagian dari jumlah pembayaran, sedangkan jumlah PPn BM yang di pungut sebesar 20/130
bagian dari jumlah pembayaran.

Contoh:
PPn BM dengan tarif 20%
Jumlah pembayaran Rp. 13.000.000
Jumlah PPN yang di pungut
(10/130 × Rp13.000.000) Rp. 1.000.000
Jumlah PPn BM yang dipungut:
(20/130 × Rp13.000.000) Rp. 2.000.000

Sisa yang dibayarkan kepada PKP rekanan:


Rp13.000.000 – (Rp1.000.000 + Rp2.000.000) = Rp10.000.000

c. Dalam hal pembayaran berjumlah paling banyak Rp1.000.000 (satu juta rupiah) dan tidak
merupakan jumlah yang terpecah-pecah, maka PPN dan PPn BM tidak perlu dipungut oleh
bendaharawan pemerinta. Batas jumlah pembayaran sebesar Rp.1.000.000
164
Contoh 1:
Harga Jual Rp. 900.000
PPN : 10% × Rp900.000 Rp. 90.000
PPn BM (Misal terutang dengan tariff 20%) Rp.180.000
Harga jual termasuk PPN dan PPn BM Rp.1.170.000

Meskipun harga jual Rp900.000 tetapi karena pembayaran termasuk PPN dan PPn BM
berjumlah Rp. 1.170.000 (diatas Rp1.000.000), maka PPN dan PPn BM yang terutang harus di
pungut oleh bendaharawan pemerintah atau KPPN.
Contoh 2:
Harga Jual Rp. 800.000
PPN: 10% × Rp800.000 Rp 80.000
PPn BM (Misal terutang dengan tariff 10%) Rp. 80.000
Harga jual termasuk PPN dan PPn BM Rp. 960.000

Karena harga jual termasuk PPN dan PPn BM berjumlah Rp960.000 (kurang dari
Rp1.000.000), maka PPN dan PPn BM yang terutang tidak perlu dipungut oleh bendaharawan
pemerintah danKPPN, tetapi harus dipungut dan disetor oleh PKP Rekanan Pemerintah, dan
faktur pajak tetap harus di buat.

3. Tata Cara Pemungutan dan Penyerahan


a. PKP rekanan pemerintahan membuat faktur pajak dan SSP pada saat menyampaikan
tagihan kepada bendaharawan pemerintah atau KPPn, baik untuk sebagian maupun
seluruh pembayaran.
b. SSP sebagaimana dimaksudpada huruf a disi dengan membubuhkan NPWP dan identitas
PKP rekanan pemerintah yang bersangkutan, tetapi pendatangan SSP dilakukan oleh
bendaharawan pemerintah atau KPKN sebagai penyetoran atas nama PKP rekanan
pemerintah.
c. Dalam hal penyerahan BKP tersebut terutang PPn BM, maka PKP Renanan Pemerintah
mencantumkan jumlah PPn BM yang terutang pada faktur pajak.
d. Faktur pajak sebagaimana dimaksud pada huruf a dibuat dalam rangkap 3 (tiga) :
1) Lembaran ke-1 untuk bendaharawan pemerintah atau KPPN sebagai pemungutan
PPN.
2) Lembar ke-2 untuk arsip PKP rekanan pemerintah.
3) Lembar ke-3 untuk kantor pelayanan pajak melalui bendaharawan pemerintah atau
KPPN.
e. Dalam hal pemungutan oleh bendaharawan pemerintah, SSP sebagaimana dimaksud pada
huruf a dibuat dalam rangkap 5 (lima). Setelah PPN dan atau PPn BM disetor di Bank
Persepsi atau Kantor Pos, lembar-lembar SSP tersebut diperuntukkan sebagai berikut:
1) Lembar ke-1 untuk PKP rekanan pemerintah.

165
2) Lembar ke-2 untuk kantor pelayanan pajak melalu KPPN.
3) Lembar ke-3 untuk PKP rekanan pemerintah dilampirkan pada SPT masa PPN.
4) Lembar ke-4 untuk bank Persepsi atau kantor pos.
5) Lembar ke-5 untuk pertinggal bendaharawan pemerintah.
f. Dalam hal pemungutan oleh KPPN, SSP sebagaimana dimaksud pada huruf a dibuat
dalam rangkap 4 (empat) yang masing-masing diperuntukan sebagai berikut:
1) Lembar ke-1 untuk PKP rekanan pemerintah.
2) Lembar ke-2 untuk kantor pelayanan pajak melalui KPPN.
3) Lembar ke-3 untuk PKP rekanan pemerintah dilampirkan pada SPT masa PPN.
4) Lembar ke-4 untuk pertinggal KPPN.
g. Pada lembar faktur pajak sebagaimana dimaksud pada huruf d oleh bendaharawan
pemerintah yang melakukan pemungut wajib dibubuhi cap “Disetor
tanggal………………….” dan ditandatangani oleh bendaharawan pemerintah.
h. Pada setiap lembar faktur sebagaimana dimaksud pada huruf d dan SSP sebagaimana
dimaksud pada huruf f oleh KPPN yang melakukan pemungutan dicantumkan nomor dan
tanggal advia SPM.
i. SSP lembar ke-1 dan lembar ke-2 sebagaimana dimaksud pada huruf f dibubuhi cap
“TELAH DIBUKUKAN” oleh KPPN.
j. Faktur pajak dan SSP merupakan bukti pemungutan dan penyetoran PPN dana tau PPn
BM.

PPN ATAS KEGIATAN MEMBANGUN SENDIRI


Atas kegiatan membangun sendiri terutang Pajak Pertambahan Nilai. Yang dimaksud dengan
kegiatan membangun sendiri adalah kegiatan membangun bangunan yang dilakukan tidak
dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan
sendiri atau digunakan pihak lain. Sedangkan yang dimaksud dengan bangunan berupa satu
atau lebih kontruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada satu kesatuan tanah
dan atau perairan dengan kriteria:
1 Krontruksi utamanya terdiri dari kayau, beton, pasangan batu bata atau bahan sejenis, dan
atau baja.
2 DIperuntukkan bagi tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha.
3 Luas keseluruhan paling sedikit 200m2 (dua ratus meter persegi).

Tarif dan Dasar Pengenanan Pajak


Atas kegiatan membangun sendiri dikenankan {ajak Pertambahan Nilai dengan tarif 10%
(sepuluh persen) dikalikan dengan Dasar Pengenaan Pajak.

166
Dasar Pengenaan Pajak atas kegiatan membangun sedniri adalah 20% (duapuluh persen) dari
jumlah biaya yang dikeluarkan dan atau yang dibayarkan untuk membangun sendiri, tidak
termasuk harga perolehan tanah.

Pajak Pertambahan Nilaiyang terulang setiap bulan dihitung dengan cara:

PPN = (20% x Jumlah Biaya yang dikeluarkan) x 10%

Contoh:
Tuan Budi melakuakn kegiatan membangun sendiri banguan dengan luas 400m2 yang akan
digunakan sebagai rumah tinggal. Seluruh biaya yang dikeluarkan pada bulan April 2016
(diluar pembelian tanah) adalah sebesar Rp50.000.000,00. PPN yang harus disetorkan adalah:
PPN = (Rp50.000.000,00 x 20%) x 10%
= Rp10.000.000,00x 10%
= Rp 1.000.000,00
Catatan:
Pajak Masukan yang dibayarkan sehubungan dengan kegiatan membangun sendiri tidak dapat
dikreditkan.
Saat dan Tempat Terutang PPN
Saat terutang PPN atas kegiatan membangun sedniri adalah pada saat mulai dibangunnya
bangunan. Sedangkan tempat pajak terutang adalah ditempat bangunan tersebut didirikan.
Orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri harus menyetorkan
PPN yang terutang ke kas negara melalui kantor pos atau Bank Perspsi paling lama tanffal 15
bulan berikutnya setelah berkahirnya masa pajak, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak.
Kegiatan membangun sendiri wajib dilaporkan kepada Kantor Pelayanan Pajak yang
wilayahnya meliputi tempat bangunan tersebut dengan mempergunakan lembar ketiga Surat
Setoran Pajak paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak.

167
BAB XII
PEMBAHASAN
BEA MATERAI

2.3 Pengertian Bea Materai


"Bea Materai adalah pajak tidak langsung yang dipungut secara insidentil (sekali
pungut) atas dokumen yang disebut oleh Undang-Undang Bea Materai yang digunakan
masyarakat dalam lalu lintas hukum sehingga dokumen tersebut dapat digunakan sebagai
alat bukti dimuka pengadilan."
Dengan kata lain, Bea Materai adalah pajak yang dikenakan atas pemanfaatan
dokumen, seperti surat perjanjian, akta notaris, kwitansi pembayaran, surat berharga, dan
efek, yang memuat jumlah uang atau nominal diatas jumlah tertentu sesuai dengan
ketentuan dan dokumen yang digunakan sebagai alat bukti di pengadilan.
Bea materai adalah pajak atas dokumen. Sedangkan dokumen adalah kertas yang
berisikan tulisan yang mengandung arti dan maksud tentang perbuatan, keadaan, atau
kenyataan bagi seseorang dan atau pihak – pihak yang berkepentingan. Bea materai adalah
pajak yang dikenakan atas dokumen yang bersifat perdata dan dokumen untuk digunakan
di pengadilan. Nilai bea meterai yang berlaku saat ini Rp. 3.000,00 dan Rp. 6.000,00 yang
disesuaikan dengan nilai dokumen dan penggunaan dokumen.
Menurut Pasal 1 ayat 1 UU No. 13 tentang Bea Materai, fungsi bea materai adalah
pajak dokumen yang dibebankan oleh negara untuk dokumen tertentu. Jadi dapat
disimpulkan, fungsi materai tidak menentukan sah atau tidaknya suatu perjanjian. Namun,
jika surat pernyataan atau perjanjian dimaksudkan sebagai alat bukti di pengadilan maka
harus dilunasi materau yang terutang.
Berikut ini subjek bea materai, diantaranya:
1. Pihak yang menerima atau mendapat manfaat dokumen, kecuali pihak yang
bersangkutan menentukan lain.
2. Dalam hal dokumen dibuat sepihak, seperti kwitansi, bea meterai terutang oleh
penerima kwitansi.
3. Dalam hal dokumen dibuat oleh dua pihak atau lebih, seperti surat perjanjian dibawah
tangan, maka masing-masing pihak terutang bea materai.

168
2.8 Dasar Hukum Bea Materai
Dasar hukum Bea Materai serta aturan mengenai Bea Materai:
1. Undang Undang nomor 13 1985
Undang undang ini berlaku sejak tanggal 1 Januari 1986. Sebab sebab
dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 13 tahun 1985 tentang bea materai yaitu agar
lebih sederhana serta lebih sempurna, agar objek lebih luas serta lebih mudah untuk
dilaksanakan karena hanya mengenal satu jenis bea materai yaitu materai 3000 dan
6000.
2. PP No. 24 tahun 2000
Peraturan ini sebelumnya merupakan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1995
yaitu peraturan untuk mengatur pelaksanaan Bea Materai yang pada akhirnya dirubah
menjadi Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 2000 yang berisikan tentang perubahan
tarif Bea Materai dan Besarnya batas Pengenaan Harga Nominal yang dikenakan Bea
Materai. Peraturan ini mulai berlaku sejak tanggal 1 Mei tahun 2000.
3. KMK RI Nomor 133b/KMK.04/2000
Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonseia Nomor 133b/KMK.04/2000
tertanggal 28 April 2000 tentang pelunasan Bea Materai dengan menggunakan cara
lain. Diantaranya yaitu pada pasal 1 berisikan tentang pelunasan Bea Materai dengan
cara lain yaitu dengan membubuhkan tanda Bea Materai Lunas dengan menggunakan
mesin teraan materai, teknologi percetakan, sistem komputerisasi, dan alat lain dengan
teknologi tertentu. Pada pasal 2 pelunasan Bea Materai harus mendapatkan izin
tertulis dari Direktur Jenderal Pajak dan hasil percetakan tanda Bea Materai Lunas
harus dilaporkan kepada Direktur Jenderal Pajak.
Pada pasal 3, pembubuhan Bea Materai Lunas dengan menggunakan teknologi
percetakan hanya boleh dilakukan oleh Perum Peruri atau perusahaan lain yang sudah
memiliki izin dari Badan Koordinasi Pemberantasan Uang Palsu yang ditunjuk oleh
Bank Indonesia dan masih banyak yang lainnya.
4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 65/PMK.03/2014
Peraturan Mentri Keuangan Nomor 65/PMK.03/2014 tentang bentuk, Ukuran,
Warna Benda Materai. Pada peraturan ini dijelaskan secara mendetail berapa ukuran
dimensi materai, cetakan dasar, cetakan utama, gambar serta penggunaan teks yang
ada pada materai, berat dan jenis kertas hingga penentuan warna pada materai.
169
5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2014
Peraturan Mentri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2014 tentang tata cara
pemateraian kemudian. Peraturan ini mulai berlaku sejak tanggal 25 April 2014,
dengan berlakunya peraturan ini otomatis PMK Nomor 476/KMK.03/2002 tentang
pelunasan Bea Materai dengan cara pematraian kemudian dinyatakan tidak berlaku
lagi.
6. Pada Peraturan Mentri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2014 menetapkan tata cara
pemateraian kemudian merupakan cara pelunasan Bea Materai yang dilakukan oleh
pejabat pos atas permintaan pemegang dokumen yang Bea Materainya belum dilunasi.
Serta Hak dan Kewajiban pejabat pos, pemilik dokumen dan kantor pelayanan pajak
sehubungan dengan pemateraian kemudian.
Jadi suatu dokumen yang Bea Materainya belum atau tidak dilunasi bukan berarti
tidak sah, sah atau tidaknya suatu dokumen tidak bergantung pada pelunasan Bea Materai.
Dokumen tetap sah akan tetapi harus dilakukan pelunasan Bea Materainya terlebih dahulu
dan dikenakan denda sebesar 200% pada kantor pos besar agar dokumen tersebut dapat
digunakan.

2.9 Prinsip Umum Pemungutan atau Pengenaan Bea Materai


Prinsip umum dari Bea Materai sendiri yaitu:
1. Bea Meterai dikenakan atas dokumen (Bea materai merupakan pajak atas suatu
dokumen, seperti yang sudah dijelaskan yaitu pajak yang dibebankan pada dokumen
yang berisikan suatu perjanjian, pembayaran atau mengandung arti penting lainnya).
2. Satu dokumen hanya terutang satu Bea Meterai.
3. Rangkap/tindasan (yang ikut ditandatangani) terutang Bea Meterai sama dengan
aslinya.
Bea Meterai adalah pajak atas dokumen. Dokumen adalah kertas yang diberisikan
tulisan yang mengandung arti dan maksud tentang perbuatan, keadaan, atau kenyataan bagi
seseorang dan atau pihak-pihak yang berkepentingan. Benda Material adalah tempel dan
kertas meterai yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia. Tanda Tangan
adalah tanda tangan sebagaimana lazimnya diperlukan, termasuk pula paraf, teraan atau
cap tanda tangan atau cap paraf, teraan cap nama atau benda lainnya sebagai pengganti
tanda tanggan.

170
Yang menanggung Bea Meterai apabila ada sesuatu di kemudian hari (pelanggaran
administrasi) adalah pemegang dokumen. Yang terutang Bea Meterai adalah orang-orang
atau pihak-pihak yang mendapatkan manfaat dari dokumen tersebut.

2.10 Objek dan Bukan Objek Bea Materai


1. Objek Bea Materai
Pada prinsipnya dokumen yang harus dikenakan materai adalah dokumen
menyatakan nilai nominal sampai jumlah tertentu, dokumen yang bersifat perdata dan
dokumen yang digunakan di muka pengadilan, antara lain:
a. Surat perjanjian dan surat-surat lainnya (antara lain: surat kuasa, surat hibah, surat
pernyataan) yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian
mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata.
b. Akta-akta notaris termasuk salinannya.
c. Akta-akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah termasuk rangkap-
rangkapnya.
d. Surat yang memuat jumlah atau harga nominal yang dinyatakan dalam mata uang
asing yaitu:
1) yang menyebutkan penerimaan uang
2) yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam rekening
bank
3) yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank
4) yang berisi pengakuan bahwa utang uang seluruhnya atau sebagian telah
dilunasi atau diperhitungkan.
e. Surat berharga seperti wesel, promes dan aksep.
f. Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun.
g. Surat-surat biasa dan surat-surat kerumah tanggaan serta surat-surat uang semula
tidak dikenakan bea materai berdasarkan tujuannya, jika digunakan untuk tujuan
lain atau digunakan oleh orang lain, lain dari maksud semula, yang akan
digunakan sebagai alat pembuktian di muka pengadilan.
h. Cek dan bilyet giro.
2. Bukan Objek Bea Materai

171
a. Dokumen yang berupa:
1) surat penyimpanan barang;
2) konosemen;
3) surat angkutan penumpang dan barang;
4) keterangan pemindahan yang dituliskan diatas dokumen surat penyimpanan
barang, konosemen, dan surat angkutan penumpang dan barang;
5) bukti untuk pengiriman dan penerimaan barang;
6) surat pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim;
7) surat-surat lainnya yang dapat disamakan dengan surat-surat di atas.
b. Segala bentuk ijazah
c. Tanda terima gaji, uang tunggu, pensiun, uang tunjangan dan pembayaran lainnya
yang ada kaitannya dengan hubungan kerja serta surat-surat yang diserahkan
untuk mendapatkan pembayaran itu.
d. Tanda bukti penerimaan uang negara dari kas Negara dan kas pemerintah daerah.
e. Kwitansi untuk semua jenis pajak dan untuk penerimaan lainnya yang dapat
disamakan dengan itu ke kas negara, kas pemerintah.
f. Tanda penerimaan uang yang dibuat untuk keperluan intern organisasi.
g. Dokumen yang menyebutkan tabungan, pembayaran uang tabungan kepada
penabung oleh bank, koperasi, dan badan-badan lainnya yang bergerak di bidang
tersebut.
h. Surat gadai yang diberikan oleh Perum Pegadaian.

172
i. Tanda pembagian keuntungan atau bunga dari efek, dengan nama dan bentuk
apapun.
j. Apabila suatu dokumen (kecuali cek dan bilyet giro) mempunyai tidak lebih dari
Rp 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah), maka atas dokumen tersebut
tidak terutang Bea Materai.

2.11 Tarif Bea Materai


Tarif Bea Meterai terbagi 2 (dua), yaitu Rp 3.000,00 dan Rp 6.000,00. Perbedaan ini
didasarkan atas ketentuan dokumen yang dikenakan.
1. Tarif Bea Meterai Rp. 3.000,00 Dikenakan atas Dokumen:
a. Surat yang membuat jumlah uang yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp
250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) tetapi tidak lebih dari Rp
1.000.000,00 (satu juta rupiah): yang menyebutkan penerimaan uang, yang
menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam rekening di bank,
yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank, yang berisi pengakuan bahwa
utang uang sebagian atau seluruhnya telah dilunasi atau diperhitungkan;
b. Surat-surat berharga seperti : wesel, promes dan aksep yang harga nominalnya
lebih dari Rp 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) tetapi tidak lebih dari
Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah)
c. Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun, sepanjang harga nominalnya lebih
dari Rp 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) tetapi tidak lebih dari Rp
1.000.000,00 (satu juta rupiah);
d. Cek dan bilyet giro dengan harga nominalnya berapapun.
2. Tarif Bea Meterai Rp. 6.000,00 Dikenakan atas Dokumen:
a. Surat perjanjian surat-surat lainnya (antara lain: surat kuasa, surat hibah, dan surat
pernyataan) yang dibuat dengan tujuan digunakan sebagai alat pembuktian
mengenai perbuatan, kenyataan atau kedaan yang bersifat perdata;
b. Akta-akta Notaris termasuk salinannya;
c. Akta-akta yang dibuat Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) termasuk rangkap-
rangkapnya;
d. Surat yang memuat jumlah yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp
1.000.000,00 (satu juta rupiah), yang menyebutkan penerimaan uang, yang
173
menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam rekening di bank,
yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank, yang berisi pengakuan bahwa
utang uang sebagai atau seluruhnya telah dilunasi atau diperhitungkan;
e. Surat-surat berharga seperti: wesel, promes, dan aksep yang harga nominalnya
lebih dari Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah);
f. Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun sepanjang harga nominalnya lebih
dari Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah);
g. Dokumen-dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka
pengadilan: surat-surat biasa dan surat-surat kerumahtanggaan, surat-surat yang
semula tidak dikenakan Bea Meterai berdasarkan tujuannya, jika digunakan untuk
tujuan lain atau digunakan untuk orang lain, lain dari maksud semula.

2.12 Saat Terhutang dan Cara Pelunasan Bea Materai


1. Saat Terhutang Bea Materai
Saat terutang bea materai adalah saat sebelum dokumen yang terutang bea materai
tersebut digunakan. Dalam Pasal 5 UU No. 13 Tahun 1985 disebutkan saat
terutangnya bea materai sebagai berikut:
a. Dokumen yang dibuat oleh satu pihak
Saat terutangnya bea materai atas dokumen yang dibuat oleh satu pihak
adalah pada saat dokumen itu diserahkan dan diterima oleh pihak untuk siapa
dokumen itu dibuat,jadi bukan pada saat ditandatangani,misalnya: cek, kuitansi.
b. Dokumen yang dibuat oleh lebih dari satu pihak
Saat terutangnya bea materai adalah pada saat selesai dibuat,yang ditutup
dengan pembubuhan tandatangan dari yang bersangkutan. Misalnya: surat
perjanjian jual beli.
c. Dokumen yang dibuat di luar negeri
Saat terutangnya bea materai adalah pada saat dokumen tersebut digunakan
di Indonesia.
Pihak yang terutang bea materai yaitu pihak yang menerima atau pihak yang
mendapat manfaat dari dokumen, kecuali pihak-pihak yang bersangkutan menentukan
lain.
2. Cara Pelunasan Bea Materai

174
a. Dengan menggunakan benda materai, yaitu:
1) Materai Tempel
2) Kertas Materai
b. Dengan cara lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan

2.13 Cara Penggunaan Bea Materai


Cara Penggunaan Bea Materai

a. Pelunasan Bea Meterai Dengan Menggunakan Meterai Tempel


Cara menggunakan meterai tempel:
1) Meterai tempel direkatkan seluruhnya dengan utuh dan tidak rusak diatas
dokumen yang yang dikenakan Bea Meterai.
2) Meterai Tempel direkatkan di tempat di mana tanda tangan akan di bubuhkan.
3) Pembubuhan tanda tangan disertai dengan pencantuman tanggal, bulan dan tahun
dilakukan dengan tinta atau yang sejenis dengan itu sehingga sebagian tanda
tangan di atas kertas dan sebagin lagi di atas Meterai Tempel.
4) Jika digunakan lebih dari satu meterai tempel, tanda tangan harus dibubuhkan
sebagian diatas semua meterai tempel dan sebagian lagi di atas kertas.
b. Pelunasan Bea Meterai Dengan Menggunakan Kertas Meterai
Cara menggunakan Kertas Meterai:
1) Sehelai Kertas Meterai hanya dapat digunakan untuk sekali pemakaian.
2) Kertas Meterai yang sudah digunakan, tidak boleh digunakan lagi.
3) Jika isi dokumen yang dikenakan Bea Meterai terlalu panjang untuk dimuat
seluruhnya diatas kertas meterai yang digunakan, maka untuk bagian isi yang
masih tertinggal dapat digunakan kertas yang tidak bermeterai.
4) Jika sehelai Kertas Meterai karena suatu hal tidak jadi dugunakan dan dalam hal
ini belum di tandatangani oleh yang berkepentingan, sedangkan dalam kertas
meterai telah terlanjur ditulis dengan beberapa kata/kalimat yang belum
merupakan suatu dokumen yang selesai dan kemudian tulisan yang ada pada
kertas meterai tersebut dicoret atau di muat tulisan atau keterangan baru, maka
kertas meterai yang demikian dapat digunakan dan tidak perlu dibubuhi meterai
lagi.
175
c. Pelunasan Dengan Membubuhkan Tanda Bea Meterai Lunas Dengan Mesin Teraan
Pelunasan dengan cara ini memerlukan beberapa syarat:
1) Pelunasan Bea Meterai dengan Mesin Teraan meterai hanya diperkenankan
kepada penerbit dokumen yang melakukan pemeteraian dengan jumlah rata – rata
setiap hari minimal sebanyak 50 dokumen.
2) Penerbit dokumen yang akan melakukan pelunasan Bea Meterai dengan Mesin
Teraan meterai harus melakukan prosedur sebagai berikut:
a) Mengajukan permohonan ijin secara tertulis kepada Kantor Pelayanan Pajak
setempat dengan mencantumkan jenis/merk dan tahun pembuatan mesin
teraan meterai yang digunakan, serta melampirkan surat pernyataan dengan
jumlah rata – rata dokumen yang harus dilunasi Bea Meterai setiap hari.
b) Melakukan penyetoran Bea Meterai di muka minimal sebesar Rp.15.000.000
dengan menggunakan Surat Setoran Pajak Ke Kas Negara melalui Bank
Persepsi.
c) Menyampaikan laporan bulanan penggunaan mesin teraan meterai kepada
Kepala Kantor Pelayanan Pajak setempat paling lambat tanggal 15 setiap
bulan.
d) Ijin penggunaan mesin teraan meterai berlaku selama 2 tahun sejak tanggal
ditetapkannya, dan dapat diperpanjang selama memenuhi persyaratan.
d. Pelunasan Dengan Membubuhkan Tanda Bea Meterai Lunas Dengan Sistem
Komputerisasi
1) Pelunasan Bea Meterai dengan Sistem Komputerisasi hanya diperkenankan untuk
dokumen yang berbentuk surat yang memuat jumlah uang dalam Pasal 1 huruf d
PP No.24 Tahun 2000 dengan jumlah rata – rata pemeteraian setiap hari minimal
sebanyak 100 dokumen.
2) Mengajukan permohonan ijin secara tertulis kepada Dirjen Pajak dengan
mencantumkan jenis dokumen dan perkiraan jumlah rata-rata dokumen yang akan
dilunasi Bea Meterai setiap hari.
3) Pembayaran Bea Meterai dimuka minimal sebesar perkiraan jumlah dokumen
yang harus dilunasi Bea Meterai setiap bulan, dengan menggunakan Surat Setoran
Pajak ke Kas Negara melalui Bank Persepsi.
4) Menyampaikan laporan bulanan tentang realisasi penggunaan dan saldo Bea
Meterai kepada Dirjen Pajak paling lambat tanggal 15 seiap bulan.

176
5) Ijin pelunasan Bea Meterai dengan membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas
dengan Sistem Komputerisasi berlaku selama saldo Bea Meterai yang telah
dibayar pada saat mengajukan ijin masih mencukupi kebutuhan pemeteraian 1
bulan berikutnya.
e. Pelunasan Bea Meterai Dengan Teknologi Percetakan
1) Pelunasan Bea Meterai dengan Teknologi Percetakan hanya di perkenankan
untuk dokumen yang berbentuk cek, bilyet giro, atau efek dengan nama dan dalam
bentuk apapun.
2) Penerbit dokumen yang akan melakukan pelunasan Bea Meterai dengan
Teknologi Percetakan harus melakukan prosedur sebagai berikut:
a) Pembayaran Bea Meterai dimuka sebesar jumlah dokumen yang harus
dilunasi Bea Meterai, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak ke Kas
Negara melalui Bank Persepsi.
b) Mengajukan permohonan ijin secara tertulis kepada Dirjen Pajak dengan
mencantumkan jenis dokumen yang akan dilunasi Bea Meterai dan jumlah
Bea Meterai yang telah dibayar.
3) Perum Peruri dan Perusahaan Sekuriti yang melakukan pembubuhan tanda Bea
Meterai Lunas pada cek, bilyet giro, dan efek dengan nama dan dalam bentuk
apapun, harus menyampaikan laporan bulanan kepada Dirjen Pajak paling lambat
tanggal 10 setiap bulan.
4) Pelunasan Bea Meterai bagi dokumen yang dibuat di luar negeri. Dokumen yang
dibuat diluar negeri tidak dikenakan Bea Meterai sepanjang tidak digunakan di
Indonesia.

2.14 Pemateraian Kemudian


1. Pengertian Pemateraian Kemudian
Pemetaraian kemudian adalah suatu cara pelunasan Bea Materai yang dilakukan
oleh Pejabat Pos atas permintaan pemegang dokumen yang Bea Meterainya belum
dilunasi sebagaimana mestinya.
Pemeteraian kemudian dilakukan atas ;
a. Dokumen yang semula tidak terutang Bea Materai namun akan digunakan
sebagai alat pembuktian di Muka Pengadilan.

177
b. Dokumen yang Bea Meterainya tidak atau kurang dilunasi sebagaimana
mestinya.
c. dokumen yang dibuat diluar negeri yang akan digunakan di Indonesia.
2. Mekanisme Pemeteraian Kemudian
a. Pemeteraian kemudian dilakukan oleh pemegang dokumen dengan menggunakan
meterai tempel atau SSP yang telah disahkan oleh Pejabat Pos
b. Lembar ke-1 (satu) dan ke-3 (ketiga) SSP dilampiri dengan daftar dokumen yang
dimeteraikan kemudian yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan
c. Pengesahan atas pemeteraian kemudian dilakukan setelah pemegang dokumen
membayar denda
3. Besarnya Pelunasan Bea Meterai Dengan Cara Pemeteraian Kemudian
a. Atas dokumen yang semula tidak terutang Bea Meterai namun akan digunakan
sebagai alat bukti di pengadilan adalah sebesar Bea Meterai yang terutang sesuai
dengan peraturan yang berlaku pada saat pemeteraian kemudian dilakukan.
b. Atas dokumen yang tidak atau kurang dilunasi adalah sebesar Bea Meterai yang
terutang
c. Atas dokumen yang dibuat di luar negeri yang akan digunakan di Indonesia
adalah sebesar Bea Meterai yang terutang sesuai dengan peraturan yang berlaku
pada saat pemeteraian kemudian dilakukan.
4. Besarnya Sanksi Atas Pemeteraian kemudian
a. Pemegang dokumen yang Bea Meterainya tidak atau kurang dilunasi
sebagaimana mestinya wajib membayar denda sebesar 200% (dua ratus persen)
dari Bea Meterai yang tidak atau kurang dilunasi.
b. Dalam hal pemeteraian kemudian atas dokumen yang dibuat di luar negeri yang
akan digunakan di Indonesia baru dilakukan setelah dokumen digunakan,
pemegang dokumen wajib membayar denda sebesar 200% (dua ratus persen) dari
Bea Meterai yang terutang.
5. Tata Cara Pemeteraian kemudian dengan Menggunakan Meterai Tempel
a. Pemegang dokumen membawa dokumen yang akan dilunasi dengan Cara
pemeteraian kemudian kepada Pejabat pos pada Kantor Pos terdekat.
b. Pemegang dokumen melunasi Bea Meterai vang terutang atas dokumen yanq
dimeteraikan kemudian tersebut sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 476/KMK.03/2002 tentang

178
Pelunasan Bea Meterai Dengan Cara Pemeteraian Kemudian dengan cara
menempelkan Meterai Tempel pada dokumen yang akan dimeteraikan kemudian.
c. Pemegang dokumen yang Bea Meterainya tidak atau Kurang dilunasi
sebagaimana mestinya Wajib membayar denda administrasi sebesar 200% dari
Bea Meterai yang tidak atau kurang dilunasi dengan menggunakan Surat Setoran
Pajak dengan kode jenis MAP 0174.
d. Dokumen telah dimeteraikan kernudian dan SSP dicap “TELAH
DIMETERAIKAN KEMUDIAN SESUAI UNDANG-UNDANG NOMOR 13
TAHUN 1985 sebagaimana diatur Iebih lanjut dengan KEPUTUSAN MENTERI
KEUANGAN NOMOR 476/KMK.03/2002” oleh Pejabat Pos disertai dengan
tanda tangan, nama terang dan Nomor Pegawai Pos yang bersangkutan.
6. Tata Cara Pemeteraian kemudian dengan Menggunakan Surat Setoran Pajak
a. Membuat daftar dokumen yang akan dimeteraikan kemudian.
b. Membayar Bea Meterai yang terutang berdasarkan daftar tersebut sesuai
ketentuan di dalam Pasal 4 Keputusan Menteri Keuangan Nomor
476/KMK.03/2002 tentang Pelunasan bea Meterai Dengan Cara Pemeteraian
Kemudian dengan menggunakan SSP.
c. Pemegang dokumen yang Bea Meterainya tidak atau kurang dilunasi
sebagairnana mestinya vvajib membayar denda administrasi sebesar 200% dari
Bea Meterai yang tidak atau kurang dilunasi dengan menggunakan SSP terpisah
dengan SSP yang digunakan untuk memeteraikan kemudian.
d. Cara pengisian SSP adalah sebagai berikut:
1) SSP yang digunakan untuk melunasi pemeteraian kemudian, diisi dengan
Kode Jenis Pajak (MAP) 0171.
2) SSP yang digunakan untuk membayar denda administrasi, diisi dengan Kode
Jenis (MAP) 0174.
e. Daftar dokumen yang dimeteraikan kemudian dan SSP yang telah digunakan
untuk membayar pemeteraian kemudian dicap “TELAH DIMETERAIKAN
KEMUDIAN SESUAI UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 1985
sebagaimana diatur lebih lanjut dengan KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 476/KMK.03/2002” oleh Pejabat Pos disertai dengan tanda tangan,
nama terang dan Nomor Pegawai Pejabat Pos yang bersangkutan.

179
2.15 Sanksi - sanksi dan Daluwarsa Bea Materai
1. Sanksi Administrasi
Apabila dokumen tidak atau kurang di lunasi Bea Meterai sebagaimana mestinya,
maka akan dikenakan denda administrasi sebesar 200% (dua ratus persen) dari Bea
Meterai yang tidak atau kurang dibayar. Misalnya Bea Meterai terutang Rp.6.000,00.
Karena kelalaian belum mengenakan Bea Meterai, maka Bea Meterai dan sanksi yang
harus dibayar adalah:
Bea Meterai yang terutang Rp. 6.000,00
Denda Administrasi Rp. 12.000,00 +
Jumlah Pemeteraian Kemudian Rp. 18.000,00
Pemeteraian kemudian atas dokumen tersebut dilakukan oleh Pejabat Pos
menurut tata cara yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

Pemeteraian Kemudian
TANPA DENDA BERIKUT DENDA (200%)
1. Dokumen yang dibuat di luar negri 1. Semua dokumen yang dikenakan
sebelum digunakan di Indonesia. Bea Meterai tetapi dokumen tersebut
tidak/ kurang dibayar Bea Meterainya,
kecuali dokumen yang akan digunakan
sebagai alat pembuktian di muka
pengadilan.
2. Surat surat biasa dan surat kerumah 2. Dokumen yang dibuat di luar negeri,
tanggan sebagai alat bukti di yang Bea Meterainya dilunasi sesudah
pengadilan. dokumen tersebut digunakan di
Indonesia.
3. Dokumen yang semula tidak
dikenakan Bea Meterai berdasarkan
tujuannya, kemudian berubah tujuan
atau dipergunakan pleh orang lain
(sebagai alat bukti di pengadilan)

Ketentuan Khusus:
1) Pejabat pemerintah, hakim, panitera, juru sita, notaris dan pejabat umum lainnya
yang masing-masing tengah berada dalam tugas dan jabatannya tidak dibenarkan:
180
a. Menerima, mempertimbangkan atau menyimpan dokumen yang bea
materainya tidak atau kurang bayar
b. Melekatkan dokumen yang bea materainya tidak atau kurang dibayar sesuai
dengan tarifnya pada dokumen lain yang berkaitan
c. Membuat salinan, tembusan, rangkapan atau petikan dari dokumen yang bea
materainya tidak atau kurang dibayar
d. Memberikan keterangan atau catatan pada dokumen yang tidak atau kurang
dibayar sesuai dengan tarif bea materainya
2) Sanksi atas poin 1, sanksi administrasi sesuai dengan pengaturan perundang-
undangan yang berlaku, misalnya : untuk yang berstatus pegawai negeri sipil
dapat diberlakukan dengan PP. No. 30 tahun 1980, antara lain:
a. Peringatan, teguran
b. Penundaan kenaikan gaji/pangkat
c. Diberhentikan.
2. Sanksi Pidana
Berdasarkan Pasal 14 UU No. 13 Tahun 1985, bahwa Barangsiapa dengan
sengaja melakukan pelunasan Bea Materai tanpa izin menteri keuangan, yang akan
menimbulkan keuntungan bagi pemilik atau yang menggunakannya, dan sebaliknya
akan menimbulkan kerugian bagi Negara, dapat dipidana dengan pidana penjara
selama-lamanya 7 tahun.
Pada Pasal 13 UU No. 13 Tahun 1985 juga mengatur bahwa sanksi pidana dapat
diterapkan apabila terdapat pelanggaran yang memenuhi ketentuan pidana dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yaitu:
a. Barangsiapa meniru atau memalsukan Materai tempel dan kertas materai atau
meniru dan memalsukan tanda tangan yang perlu untuk mensahkan materai.
b. Barangsiapa dengan sengaja menyimpan dengan maksud untuk diedarkan atau
dimasukkan ke Negara Indonesia materai palsu, yang dipalsukan atau yang dibuat
dengan melawan hak.
c. Barangsiapa dengan sengaja menggunakan, menjual, menawarkan, menyerahkan,
menyediakan untuk dijual atau dimasukkan ke Negara Indonesia materai yang
mereknya, capnya, tanda tangannya, tanda sahnya atau tanda waktu
mempergunakannya telah dihilangkan seolah-olah materai itu belum dipakai dan
atau menyuruh orang lain menggunakannya dengan melawan hak.
181
d. Barangsiapa menyimpan bahan-bahan atau perkakas-perkakas yang diketahui
digunakan untuk melakukan salah satu kejahatan untuk meniru dan memalsukan
benda matera.
Penanggung jawab atas sanksi:
a. Untuk sanksi administrasi: Pemegang dokumen
b. Untuk sanksi pidana: Sesuai keputusan pengadilan
3. Daluwarsa Bea Materai
Kewajiban pemenuhan bea materai dan denda administrasi yang terutang menurut
UU Bea Materai menjadi daluwarsa setelah lampau waktu 5 tahun tanggal dokumen
dibuat. Sesuai dengan ketentuan dalam KUHP, maka barang siapa:
a. Meniru atau memalsukan materai tempel, kertas materai atau meniru dan
memalsukan tanda tangan yang perlu untuk mensahkan materai.
b. Dengan sengaja menyimpan dengan maksud untuk diedarkan atau memasukkan
ke negara Indonesia materai palsu, yang dipalsukan atau yag dibuat dengan
melawan hak.
c. Yang sengaja menggunakan, menjual, menawarkan, menyerahkan, menyediakan
untuk dijual atau dimasukkan ke negara Indonesia materai yang mereknya,
capnya, tanda tangannya atau tanda sahnya atau tanda waktunya telah dihilangkan
seolah-olah materai itu belum dipakai dan atau menyuruh orang lain
menggunakannya melawan hak.
d. Menyimpan bahan-bahan atau perkakas-perkakas yang diketahuinya digunakan
untuk melakukan salah satu kejahatan untuk meniru dan memalsukan benda
materai.

182
BAB XIII
PEMBAHASAN
PAJAK BUMI DAN BANGUNAN

1. Pajak Bumi dan Bangunan


1.1 Pengertian Pajak Bumi dan Bangunan
Menurut Darwin (2009:6) mendefinisikan Pajak Bumi dan Bangunan sebagai
berikut:
”Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas harta tak gerak
berupa bumi dan atau bangunan”.
Menurut para ahli pajak Penulis menyimpulkan definisi Pajak Bumi dan Bangunan
sebagai berikut:
”Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan terhadap bumi dan
bangunan dan besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaan objek pajak
yaitu bumi dan bangunan”.

1.2 Asas Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)


Menurut Mardiasmo (2008:315) asas Pajak Bumi dan Bangunan telah ditentukan
oleh undang-undang, yaitu:
1. Memberikan kemudahan dan kesederhanaan

183
2. Adanya kepastian hukum

3. Mudah dimengerti

4. Menghindari pajak berganda


Berdasarkan asas tersebut Penulis menyimpulkan asas Pajak Bumi dan Bangunan
telah ditentukan oleh undang-undang serta untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.

1.3 Dasar Hukum Pajak Bumi dan Bangunan


Dasar hukum pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah undang- undang
No.12 tahun 1985, sebagaimana telah diubah dengan undang-undang No.12 tahun
1994 perubahan tersebut menyangkut terhadap peraturan pelaksanaannya, yang dalam
hal ini berupa keputusan Menteri Keuangan No.1007/KMK/04/1985, keputusan
bersama Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Pemerintahan Umum dan
Otonomi Daerah No.Kep.30/PJ.7/1986, No.973-562 yang isinya pelaksanaan
pelimpahan kewenangan Menteri Keuangan dalam hal penagihan pajak Bumi dan
Bangunan kepada Gubernur dan Bupati/Walikota.
Berdasarkan dasar hukum Pajak Bumi dan Bangunan diatas Penulis menyimpulkan
perubahan atas dasar hukum pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan mengenai
pelaksanaan pelimpahan kewenangan Menteri Keuangan dalam hal penagihan Pajak
Bumi dan Bangunan kepada Gubernur/Walikota.

2. Objek dan Subjek Pajak


2.1 Objek Pajak

184
Menurut Mardiasmo (2008:315) yang dimaksud objek pajak adalah bumi dan
bangunan :

“Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada dibawahnya. Permukaan
bumi meliputi tanah dan perairan pedalaman (termasuk rawa-rawa, tambak, perairan)
serta laut wilayah Republik Indonesia”.

Yang dimaksud dengan klasifikasi bumi dan bangunan adalah pengelompokkan bumi
dan bangunan menurut nilai jualnya dan digunakan sebagai pedoman, serta untuk
memudahkan penghitungan pajak yang terutang.Dalam menentukan klasifikasi
bumi/tanah diperhatikan faktor-faktor sebagai berikut:
1. Letak

2. Peruntukan

3. Pemanfaatan

4. Kondisi lingkungan dan lain-lain

“Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada
tanah atau perairan”.

Dalam menentukan klasifikasi bangunan diperhatikan faktor-faktor sebagai berikut:

1. Bahan yang digunakan

2. Rekayasa

3. Letak

4. Kondisi lingkungan dan lain-lain

Termasuk dalam pengertian bangunan adalah:

1. Jalan lingkungan dalam satu kesatuan dengan komplek bangunan

2. Jalan tol

3. Kolam renang

4. Pagar mewah

5. Tempat olah raga


185
6. Galangan kapal, dermaga

7. Taman mewah

8. Tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak

9. Fasilitas lain yang memberikan manfaat

Berdasarkan penjelasan diatas, Penulis dapat menyimpulkan selain tanah, perairan


juga merupakan objek pajak sehingga tidak heran bahwa objek-objek yang ada di
perairan seperti tambang minyak lepas pantai, budidaya mutiara di laut merupakan
objek pajak dari Pajak Bumi dan Bangunan.
A. Pengecualian objek Pajak
Objek pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan adalah objek
pajak yang :
a. Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum dan tidak
untuk mencari keuntungan, antara lain:
1) Di bidang tanah, contoh: masjid, gereja, wihara
2) Di bidang kesehatan, contoh: rumah sakit
3) Di bidang pendidikan, contoh: madrasah, pesantren
4) Di bidang sosial, contoh: panti asuhan
5) Di bidang kebudayaan nasional, contoh: museum, candi
b. Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis.
c. Merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman
nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah
negara yang belum di bebani suatu hak.
d. Digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas
perlakuan timbal balik.
e. Digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang
ditentukan oleh Menteri Keuangan.
B. Objek pajak yang digunakan oleh negara untuk penyelenggaraan
pemerintahan, penentuan pengenaan pajaknya diatur lebih lanjut dengan
peraturan pemerintah.
Yang dimaksud dengan objek pajak adalah objek pajak yang
memiliki/dikuasai/digunakan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
dalam menyelenggarakan pemerintahan. Pajak Bumi dan Bangunan adalah
186
pajak negara yang sebagian besar penerimaannya merupakan pendapatan
daerah yang antara lain dipergunakan untuk penyediaan fasilitas yang juga
dinikmati oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Oleh sebab itu wajar
Pemerintah Pusat juga ikut membiayai penyediaan fasilitas tersebut melalui
pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan. Mengenai bumi atau bangunan milik
perseorangan atau bukan yang digunakan oleh negara, kewajiban
perpajakannya tergantung pada perjanjian yang diadakan.
C. Pemerintah menaikkan batas Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak
(NJOPTKP) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dari Rp. 12.000.000,- menjadi
Rp. 24.000.000,- NJOPTKP terbaru ini, berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan (PMK) Nomor 67/PMK.03/2011 yang ditetapkan paling tinggi Rp.
24.000.000,-. Angka tersebut naik jika bandingan NJOPTKP yang diatur
Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 201/KMK.04/2000 yakni Rp.
12.000.000,-. NJOPTKP terbaru ini, berlaku 1 Januari 2012. sehingga, semua
transaksi jual- beli tanah dan rumah atau bangunan setelah 1 Januari 2012
dapat diperhitungkan besaran PBB-nya dengan menggunakan NJOPTKP Rp.
24.000.000,-

2.2 Subjek Pajak

187
Menurut pasal 4 ayat (1) undang-undang No.12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah
dengan undang-undang No.12 Tahun 1994 subjek pajak adalah orang atau badan yang
secara nyata mempunyai suatu hak atas tanah dan atau bangunan atau memperoleh
manfaat atas bumi dan atau bangunan serta memiliki, menguasai dan atau memperoleh
manfaat atas subjek pajak sebagaimana dimaksud di atas yang dikenakan kewajiban
membayar pajak menjadi wajib pajak menurut undang- undang Pajak Bumi dan
Bangunan. Dalam hal atas suatu objek pajak yang belum jelas diketahui wajib
pajaknya, Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan subjek pajak sebagai wajib
pajak.

Berdasarkan penjelasan diatas, Penulis dapat menyimpulkan seseorang yang


memiliki tanah atau bangunan merupakan subjek pajak, penyewa atas tanah dan
bangunan tersebut juga merupakan subjek pajak karena kedua pihak tersebut sama-
sama memperoleh manfaat atas bumi dan bangunan yang dimiliki atau disewanya.

3. Tarif Dasar Pengenaan, Cara Menghitung Pajak Bumi dan Bangunan


3.1 Tarif Pajak Bumi dan Bangunan

Menurut Pasal 5 undang-undang No.12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah


terakhir dengan undang-undang No. 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB), tarif pajak yang dikenakan atas objek pajak adalah sebesar 0,5 (lima
persepuluh persen).

Berdasarkan penjelasan diatas, maka penulis dapat menyimpulkan tarif pajak yang
dikenakan atas objek pajak adalah tarif tunggal sebesar 0,5% (lima persepuluh
persen). Pajak yang dibayar selalu akan berubah sesuai dengan jumlah yang
dikenakannya.

3.2 Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan

Menurut Mardiasmo (2008:321) dasar pengenaan pajak adalah :

1. Dasar pengenaan pajak adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).

2. Besarnya Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) ditetapkan setiap tiga tahun oleh
Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri
Keuangan dengan mempertimbangkan pendapat Gubernur/Bupati/Walikota
(Pemerintah Daerah) setempat.
188
3. Dasar penghitungan pajak adalah yang ditetapkan serendah-rendahnya 20%
dan setinggi-tingginya 100% dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).
4. Besarnya presentase ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dengan
memperhatikan kondisi ekonomi nasional.
Pada dasarnya penetapan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) adalah 3 (tiga) tahun
sekali. Namun demikian untuk daerah tertentu yang karena perkembangan
pembangunan mengakibatkan kenaikan NJOP cukup besar, maka penetapan nilai
jual ditetapkan setahun sekali.
Dalam menetapkan nilai jual, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak
atas nama Menteri Keuangan dengan mempertimbangkan pendapat
Gubernur/Bupati/Walikota (Pemerintah Daerah) setempat serta memperhatikan
asas self assessment. Yang dimaksud (assessment value) adalah nilai jual yang
dipergunakan sebagai dasar penghitungan pajak, yaitu suatu persentase tertentu
dari nilai jual sebenarnya.
Untuk perkembangan sekarang ini, terutama untuk tidak terlalu membebani
wajib pajak di daerah pedesaan, tetapi dengan tetap memperhatikan penerimaan,
khususnya bagi Pemerintah Daerah, maka telah ditetapkan besarnya persentase
untuk menentukan besarnya NJKP, yaitu :
1. Sebesar 40% (empat puluh persen) dari NJOP untuk :

a. Objek pajak perkebunan

b. Objek pajak kehutanan

c. Objek pajak lainnya, yang wajib pajaknya perorangan dengan NJOP


atas bumi dan bangunan sama atau lebih besar dari Rp.
1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).

2. Sebesar 20% (dua puluh persen) dari NJOP untuk :

a. Objek pajak pertambangan

b. Objek pajak lainnya yang NJOP-nya kurang dari Rp. 1.000.000.000,-


(satu milyar rupiah).

189
4. Cara Menghitung Pajak Bumi dan Bangunan

Faktor-faktor penting dalam penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan adalah sebagai
berikut:

1. Tarif
Berdasarkan ketentuan dalam undang-undang Pajak Bumi dan Bangunan
No.12 tahun 1985 yang diubah dengan undang-undang Pajak Bumi dan
Bangunan No.14 tahun 1994 menyatakan bahwa tarif pajak yang dikenakan
atas objek pajak (bumi dan bangunan) adalah sebesar 0,5%.

Tarif yang sebesar 0,5% tersebut, efektifnya adalah:


- 0,5% x 40% = 0,2%
- 0,5% x 20% = 0,1%
2. Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)
Adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi
secara wajar. Apabila tidak terjadi transaksi jual beli, NJOP ditentukan
melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis atau dengan nilai
perolehan baru.
Yang dimaksud dengan perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis
adalah, suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek pajak
dengan cara membandingkan dengan objek pajak lain yang sejenis yang
letaknya berdekatan dan fungsinya sama serta telah diketahui harga jualnya.
Sedangkan nilai perolehan baru adalah suatu pendekatan/metode penentuan
nilai jual objek pajak dengan cara menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan
untuk memperoleh objek pajak tersebut pada saat penilaian dilakukan yang
dikurangi dengan penyusutan berdasarkan kondisi fisik objek tersebut.
3. Nilai Jual Kena Pajak
Merupakan dasar penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan yang ditetapkan
oleh pemerintah serendah-rendahnya 20% dan setinggi-tingginya 100%.
Besarnya persentase NJKP ditetapkan berdasarkan peraturan pemerintah
dengan memperhatikan keadaan perekonomian pada umumnya terutama
untuk tidak terlalu membebani wajib pajak di daerah pedesaan, tetapi dengan
tetap memperhatikan penerimaan khususnya bagi Pemerintah Daerah dan

190
tidak ditentukan jangka waktu masa berlakunya, tergantung pada kondisi
ekonomi nasional.
4. Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP)
Adalah batasan nilai jual objek pajak yang tidak kena pajak dan bertujuan
untuk lebih memberikan keadilan dalam pengenaan pajak. NJOPTKP yang
ditetapkan adalah sebesar Rp. 24.000.000,- (dua puluh empat juta rupiah).
Setelah diketahui factor-faktor sebagaimana disebutkan diatas, maka
penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) terutang dilakukan dengan
formula sebagai berikut:

 NJOP Tanah = luas x nilai jual/m2 = Rp.

 NJOP Bangunan = luas x nilai jual/m2 = Rp. +

 NJOP Dasar Pengenaan = Rp.

 NJOPTKP = Rp. -

 NJOP untuk perhitungan PBB = Rp.

Besarnya pajak terutang dihitung dengan cara mengkalikan tariff pajak dengan
NJKP
Pajak Bumi dan Bangunan= Tarif Pajak x NJKP
= 0,5% [Persentase NJKP x (NJOP-NJOPTKP)

5. Tahun, Saat dan Tempat Pajak Terutang


5.1 Tahun Pajak

Menurut pasal 8 ayat (1) 1985 sebagaimana telah diubah terakhir dengan undang-
undang No.12 Tahun 1994, tahun pajak adalah jangka waktu satu tahun takwim, yaitu
dari 1 Januari sampai dengan 31 Desember.

Berdasarkan penjelasan diatas Penulis dapat menyimpulkan bahwa tahun pajak telah
ditetapkan menurut undang-undang dan tanpa membebankan wajib pajak karena
disesuaikan dengan kemampuan ekonomi masyarakat.

5.2 Saat Pajak Terutang

191
Menurut Pasal 8 ayat (2) No.12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah terakhir dengan
undang-undang No.12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), saat
yang menentukan pajak yang terutang adalah menurut keadaan objek pajak pada
tanggal 1 Januari. Karena tahun pajak dimulai pada tanggal 1 Januari, maka keadaan
objek pajak pada tanggal 1 Januari, maka keadaan objek pajak pada tanggal
merupakan saat yang menentukan pajak yang terutang.

Contoh:

1. Objek pajak pada tanggal 1 Januari 2008 berupa tanah dan bangunan. Pada
tanggal 10 Januari 2008 bangunannya terbakar, maka pajak yang terutang
tetap berdasarkan keadaan objek pajak pada tanggal 1 Januari 2008 yaitu
keadaan sebelum bangunan tersebut terbakar.

2. Objek pajak pada tanggal 1 Januari 2008 berupa sebidang tanah tanpa
bangunan di atasnya. Pada tanggal 10 Agustus 2008 dilakukan pendataan,
ternyata diatas tanah tersebut telah berdiri satu bangunan, maka pajak yang
terutang untuk tahun 2008 tetap dikenakan pajak berdasarkan keadaan pada
tanggal 1 Januari 2008. Sedangkan bangunannya baru akan dikenakan pajak
pada tahunn 2009.

5.3 Tempat Pajak Terutang

Menurut Pasal 8 ayat (3) N0.12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah terakhir dengan
undang-undang No.12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, tempat pajak
yang terutang adalah sebagai berikut :

1. Untuk Daerah Jakarta, di wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta

2. Untuk daerah lainnya, di wilayah Kabupaten Daerah tingkat II atau


Kotamadya Daerah Tinngkat II yang meliputi letak objek pajak.

6. Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP), Surat Pemberitahuan Pajak


Terutang (SPPT) dan Surat Ketetapan Pajak (SKP)
6.1 Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP), Surat Pemberitahuan Pajak Terutang
(SPPT)

Menurut Mardiasmo (2008:316) definisi surat pemberitahuan objek pajak (SPOP)


sebagai berikut:
192
”Surat pemberitahuan objek pajak (SPOP) adalah surat yang digunakan oleh wajib
pajak untuk melaporkan data objek pajak menurut ketentuan undang-undang Pajak
Bumi dan Bangunan”.

Menurut Mardiasmo(2008:316) definisi surat pemberitahuan pajak terutang (SPPT)


sebagai berikut:

“Surat pemberitahuan pajak terutang (SPPT) adalah surat yang digunakan oleh
Direktorat Jenderal Pajak untuk memberitahukan besarnya pajak terutang kepada
wajib pajak. Direktorat Jenderal Pajak menerbitkan SPPT (surat pemberitahuan pajak
terutang) berdasarkan SPOP ( surat pemberitahuan objek pajak) wajib pajak”.
SPOP harus diisi dengan jelas, benar, lengkap dan tepat waktu serta
ditandatangani dan disampaikan kepada Dirjen Pajak yang wilayah kerjanya
meliputi letak objek pajak selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal
diterimanya SPOP oleh subjek pajak.

Yang dimaksud dengan jelas dan benar adalah :

Jelas dimaksudkan agar penulisan data yang diminta dalam SPOP dibuat sedemikian
rupa sehingga tidak menimbulkan salah tafsir yang dapat merugikan negara maupun
wajib pajak sendiri.

Benar berarti data yang dilaporkan harus sesuai dengan keadaan yang sebenarnya,
seperti luas tanah atau bangunan, tahun dan harga perolehan dan seterusnya sesuai
dengan kolom-kolom/pertanyaan yang ada pada surat pemberitahuan objek pajak
(SPOP).

Dirjen Pajak akan menerbitkan SPPT berdasarkan SPOP yang diterimanya. SPPT
diterbitkan atas dasar SPOP, namun untuk membantu wajib pajak SPPT dapat
diterbitkan berdasarkan data objek pajak yang telah ada pada Direktorat Jenderal
Pajak.

6.2 Surat Ketetapan Pajak (SKP)

193
Surat ketetapan pajak adalah surat keputusan kepala kantor Pelayanan Pajak Pratama
atau kepala kantor pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan yang memberitahukan
besarnya pajak yang terutang termasuk denda administrasi, kepada wajib pajak.
Dalam rangka pendataan, subjek pajak wajib mendaftarkan objek pajaknya dengan
mengisi SPOP yang telah diberikan dan harus dikembalikan kepada Direktorat
Jenderal Pajak.

Menurut Waluyo (2009:163) surat ketetapan pajak dapat dikeluarkan oleh Direktur
Jenderal Pajak, dalam hal:

SPOP tidak disampaikan dalam jangka waktu yang telah ditetapkan dan telah ditegur
secara tertulis tidak disampaikan sebagaimana ditentukan dalam surat teguran.
Berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pajak yang
terutang lebih besar dari jumlah pajak yang dihitung berdasarkan SPOP yang
disampaikan oleh wajib pajak.

7. Tata Cara Pembayaran dan Penagihan Pajak Bumi dan Bangunan


7.1 Tata Cara Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan

Menurut Mardiasmo (2008:328) tata cara pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan
sebagai berikut :

1. Pajak yang terutang berdasarkan SPPT harus dilunasi selambat-lambatnya 6


(enam) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT oleh wajib pajak.

2. Pajak yang terutang berdasarkan SKP harus dilunasi selambat-lambatnya 1


(satu) bulan sejak tanggal diterimanya SKP oleh wajib pajak.

3. Pajak yang terutang yang pada saat jatuh tempo pembayaran tidak dibayar
atau kurang dibayar, dikenakan denda administrasi sebesar 2% (dua persen)
sebulan, yang dihitung dari saat jatuh tempo sampai dengan hari pembayaran
untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan. Menurut
ketentuan ini, pajak yang terutang pada saat jatuh tempo pembayaran tidak
atau kurang bayar, dikenakan denda administrasi 2% (dua persen) setiap bulan
dari jumlah yang tidak atau kurang bayar tersebut untuk jangka waktu paling
lama 24 (dua puluh empat) bulan, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1
(satu) bulan.
194
4. Denda administrasi sebagaimana dimaksud dalam No.3 di atas, ditambah
dengan utang pajak yang belum atau kurang bayar ditagih dengan surat
tagihan pajak (STP) yang harus dilunasi selambat-lambatnya 1 (satu) bulan
sejak tanggal diterimanya STP oleh wajib pajak. Menurut ketentuan ini denda
administrasi dan pokok pajak seperti dalam No.3 diatas, ditagih dengan
menggunakan STP yang harus dilunasi dalam waktu satu bulan sejak tanggal
diterimanya STP tersebut.

5. Pajak yang terutang dapat dibayar di Bank, Kantor Pos dan Giro, dan tempat
lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan

6. Tata cara pembayaran dan penagihan pajak diatur oleh Menteri

7. Surat pemberitahuan pajak terutang (SPPT), surat ketetapan pajak, dan surat
tagihan pajak (STP) merupakan dasar penagihan pajak

8. Jumlah pajak yang terutang berdasarkan STP yang tidak dibayarkan pada
waktunya dapat ditagih dengan surat paksa.

Dalam hal tagihan pajak yang terutang dibayar setelah jatuh tempo yang telah
ditentukan, penagihannya dilakukan dengan surat paksa yang saat ini berdasarkan
undang-undang No.19 tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan undang-undang
No.19 tahun 2000 tentang penagihan pajak dengan surat paksa.

Berdasarkan penjelasan diatas, maka Penulis menyimpulkan pembayaran PBB dapat


dilakukan oleh setiap wajib pajak melalui 4 (empat) cara diantaranya, pembayaran
langsung ke Bank / kantor pos tempat pembayaran, pembayaran menggunakan
mekanisme pengiriman uang / transfer, pembayaraan PBB melalui petugas pemungut,
dan pembayaran PBB secara elektronik melalui Anjungan Tunai Mandiri (ATM).

7.2 Pembagian Hasil Pajak Bumi dan Bangunan

195
Menurut Waluyo (2009:165) pembagian Pajak Bumi dan Bangunan sebagai berikut:

Hasil penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan merupakan penerimaan negara yang
dibagi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dengan imbangan pembagian
sekurang-kurangnya 90% (sembilan puluh persen) untuk Pemerintah Daerah Tingkat
II dan Pemerintah Daerah Tingkat I sebagai pendapatan Daerah yang bersangkutan,
sedangkan sisanya 10% merupakan bagian Pemerintah Pusat. Dengan memperhatikan
pembagian tersebut terlihat bahwa hasil penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan
diarahkan untuk kepentingan masyarakat di Daerah Tingkat II. Imbangan pembagian
hasil penerimaan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Berdasarkan penjelasan diatas, maka Penulis menyimpulkan hasil penerimaan PBB


merupakan penerimaan negara dan disetor sepenuhnya ke rekening kas negara. Hasil
penerimaan PBB dibagi untuk Pemerintah Pusat 10% dan 90% untuk Pemerintah
Daerah.

8. Sanksi
8.1 Sanksi Administrasi

Menurut Waluyo (2009:163) sanksi administrasi dalam pengenaan Pajak Bumi dan
Bangunan meliputi kondisi:

1. Wajib pajak yang tidak menyampaikan SPOP walaupun telah ditegur secara
tertulis, dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar 25% (dua puiuh
lima persen) dihitung dari pokok pajak.

2. Wajib pajak yang berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata
jumlah pajak yang terutang lebih besar dari jumlah pajak yang dihitung
berdasarkan SPOP, maka selisih pajak yang terutang tersebut
ditambah/dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar 25% (dua puluh
lima persen) dari selisih pajak yang terutang.

3. Wajib pajak tidak membayar atau kurang membayar. Pajak yang terutang pada
saat jatuh tempo pembayaran, dikenakan sanksi administrasi berupa bunga
sebesar 2% (dua persen) sebulan yang dihitung dari saat jatuh tempo sampai
dengan hari pembayaran untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh
empat) bulan.
196
Berdasarkan penjelasan diatas Penulis dapat menyimpulkan apabila wajib pajak
tidak menyampaikan kembali SPOP pada waktunya dan setelah ditegur secara
tertulis tidak disampaikan, maka akan diterbitkan surat ketetapan pajak (SKP)
dengan sanksi berupa denda administrasi sebesar 25% dari selisih besarnya PBB
yang terutang.

8.2 Sanksi Pidana

Menurut Waluyo (2009:164) sanksi pidana diatur sebagai berikut:

1. Barang siapa karena kealpaannya :

a. Tidak mengembalikan/menyampaikan surat pemberitahuan objek


pajak kepada Direktorat Jenderal Pajak

b. Menyampaikan surat pemberitahuan objek pajak tetapi isinya tidak


benar atau tidak lengkap dan melampirkan keterangan yang tidak
benar.

Sehingga menimbulkan kerugian pada negara, dipidana dengan pidana


kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau denda setinggi-tingginya
sebesar 2 (dua) kali pajak yang terutang.

2. Barang siapa dengan sengaja :

a. Tidak mengembalikan/menyampaikan surat pemberitahuan objek


pajak kepada Direktorat Jenderal Pajak

b. Menyampaikan surat pemberitahuan objek pajak, tetapi isinya tidak


benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterngan yang tidak benar

c. Memperlihatkan surat palsu atau dipalsukan atau dokumen lain yang


palsu atau dipalsukan seolah-olah benar

d. Tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan surat atau dokumen


lainnya

e. Tidak menunjukkan data atau tidak menyampaikan keterangan yang


diperlukan

197
Sehingga menimbulkan kerugian pada negara, dipidana dengan pidana penjara
selama-lamanya 2 (dua) tahun atau denda setinggi-tingginya sebesar 5 (lima)
kali pajak yang terutang.

3. Terhadap kategori bukan wajib pajak yang bersangkutan yang melakukan


tindakan sebagaimana dimaksud pada angka 2 huruf d dan e, dipidana dengan
pidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun atau denda setinggi-tingginya
Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah).

Pengertian bukan wajib pajak diatas adalah pejabat yang bertugas dan
pekerjaannya berkaitan langsung atau ada hubungannya dengan objek pajak
atau pihak lainnya. Ancaman pidana pada angka 2 dilipatkan dua apabila
seseorang melakukan lagi tindak pidana dibidang perpajakan sebelum lewat 1
(satu) tahun, terhitung sejak selesainya menjalani sebagian atau seluruh pidana
penjara yang dijatuhkan atau sejak dibayarnya denda. Selanjutnya tindak
pidana tidak dapat dituntut setelah lampau 10 (sepuluh) tahun sejak
berakhirnya tahun pajak yang bersangkutan.

Berdasarkan penjelasan diatas penulis dapat menyimpulkan barang siapa


dengan sengaja tidak menyampaikan SPOP, menyampaikan SPOP tetapi
isinya tidak benar atau lengkap atau tidak melapirkan keterangan yang tidak
benar, memperlihatkan surat palsu, tidak memperlihatkan atau meminjamkan
surat atau dokumen lainnya, dan tidak menunjukkan data atau tidak
menyampaikan keterangan yang diperlukan sehingga menimbulkan kerugian
pada negara, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 2 (dua) tahun
atau denda setinggu-tingginya sebesar 5 (lima) kali pajak yang terutang.

198
BAB XIV

PEMBAHASAN

BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

A. Dasar Hukum BPHTB

Dasar hukum Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan adalah :

1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 sebagaiman telah di ubah dengan Undang-


Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan. Undang-Undang ini menggantikan Ordonasi Bea Balik nama Staatsblad
1924 Nomor 291.
2. Peraturan Pemerintah No. 111 Tahun 2000 tentang Pengenaan BPHTB karena
waris dan hibah.
3. Peraturan Pemerintah No. 112 Tahun 2000 tentang Pengenaan BPHTB karena
pemberian Hak Pengelolaan.
4. Peraturan Pemerintah No. 113 Tahun 2000 tentang Penentuan Besarnya NPOPTKP
BPHTB.

Dengan diterapkannya Undang-Undang ini maka :

1. Dapat mengkonpensasikan penurunan penerimaan daerah karena di berlakukanya


Undang-Undang mengenai pajak dan retribusi daerah karena 99% penerimaan
BPHTB dikembalikan kepada daerah.
2. Meningkatkan kepastian hukum dan keadilan.
3. Menciptakan sistem perpajakan yang sederhana tanpa mengabaikan pengawasan
dan pengamanan Keuangan Negara.

B. Pengertian BPHTB dan Pengecualiannya

1. Pengertian BPHTB
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah pajak yang dikenakan
atas perolehan hak atas tanah atau bangunan, yang selanjutnya disebut pajak.
Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum
199
yang mengakibatkan diperolehnya hak atas dan atau bangunan oleh orang pribadi atau
badan.
Hak atas tanah adalah hak atas tanah termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan di
atasnya sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang-Undang Nomor 16 tentang Rumah Susun dan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang lainnya.
Sedangkan menurut ketentuan Pasal 1 angka 41 Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD). “ Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan atau
bangunan”. Sedang perolehan Hak atas Tanah dan atau Bangunan adalah perbuatan
atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau
bangunan oleh orang pribadi atau Badan Pasal 1 angka 42 Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD).

2. Pengecualian Tidak Dikenakan Pajak BPHTB


( Pasal 7 UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No . 20 Tahun 2000 jo. PP No. 13 Tahun
2000 jo. KMK-516/KMK.04/2000 sebagaimana telah diubah terakhir dengan PMK-
33/PMK.03/2008)
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara regional paling
banyak Rp 60.000.000,00 ( enam puluh juta rupiah ), kecuali dalam hal perolehan hak
karena waris, atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam
hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat keatas atau satu
derajat kebawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, Nilai Perolehan
Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara regional paling banyak Rp
300.000.000,00 ( tiga ratus juta rupiah ).
Yang dimaksud dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan
secara regional adalah penetapan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak untuk
masing-masing Kabupaten/Kota.
Selanjutnya didalam pasal 7 UU BPHTB, pemerintah menentukan batas nilai
perolehan tidak kena pajak yang disebut Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena
Pajak (NPOPTKP). Ketentuan pasal 7 ini dijabarkan lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah dan yang terakhir adalah Peraturan Pemerintah Nomor 113 Tahun 2000
tanggal 1 Desember 2000 yang kemudian ditindak lanjuti lagi dengan Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 516/KMK.04/2000 tanggal 14 Desember 2000. Keputusan
200
Menteri Keuangan ini kemudian mengalami perubahan dan yang terakhir diubah
dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 33/PMK.03/2008 tanggal 22 Februari
2008 tentang Perubahan Kedua atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor
516/KMK.04/2000 Tentang Cara Penentuan Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak
Tidak Kena Pajak BPHTB.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 33/PMK.03/2008 ini berisikan ketentuan sebagai
berikut:
 Untuk perolehan hak karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi
yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk
suami/istri, ditetapkan paling banyak Rp 300.000.000,00 ( tiga ratus juta rupiah ).
 Untuk perolehan hak Rumah Sederhana Sehat (RSH) sebagaimana diatur dalam
Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 03/PERMEN/M/2007
tentang Pengadaan Perumahan dan Permukiman dengan Dukungan Fasilitas
Subsidi Perumahan melalui KPR bersubsidi, dan Rumah Susun Sederhana
sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor
7/PERMEN/M/2007 tentang Pengadaan Perumahan dan Permukiman dengan
Dukungan Fasilita Subsidi Perumahan Melalui KPR Sarusun Bersubsidi,
ditetapkan sebesar Rp 49.000.0000,00 ( empat puuh sembilan juta rupiah )
 Untuk perolehan hak baru melalui program pemerintah yang diterima pelaku
usaha kecil atau mikro dalam rangka Program Peningkatan Sertifikasi Tanah
untuk Memperkuat Penjaminan Kredit bagi Usaha Mikro dan Kecil, ditetapkan
sebesar Rp 10.000.000,00 ( sepuluh juta rupiah )
 Untuk perolehan hak selain perolehan hak sebagaimana di maksud pada huruf a,
huruf b, dan huruf c, ditetapkan paling banyak Rp 60.000.000,00 ( enam puluh
juta rupiah )
 Dalam hal NPPOPTKP yang di tetapkan sebagaiman dimaksud huruf d lebih
besar daripada NPOPTKP yang di tetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf b,
maka NPOPTKP untuk perolehan hak sebagaimana dimaksud pada huruf b
ditetapkan sama dengan NPOPTKP sebagaimana ditetapkan huruf d
 Dalam hal NPOPTKP yang ditetapkan sebagiamana dimaksud pada huruf d lebih
besar daripada NPOPTKP yang ditetapkan sebagaiman dimaksud pada huruf c,

201
maka NPOPTKP untuk perolehan hak sebagaimana dimaksud pada huruf c
ditetapkan sama dengan NPOPTKP sebagaimana di tetapkan pada huruf d.
 Besarnya NPOPTKP ditetapkan secara regional, maksudnya adalah NPOPTKP
tersebut ditetapkan per daerah tingkat II (Kabupaten/Kota) dengan
mempertimbangkan usulan dari Kepala Daerah yang bersangkutan
C. Subjek & Objek BPHTB dan Pengecualiannya
1. Subjek BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan
atau bangunan. Subjek BPHTB yang dikenakan kewajiban membayar BPHTB menurut
perundang-undangan perpajakan yang menjadi Wajib Pajak.
2. Objek BPHTB ( Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan ) adalah perolehan hak
atas tanah atau bangunan, bukan tanah dan bangunannya ( yang dikenakan PBB).
Dengan demikian BPHTB dikenakan terhadap peristiwa hukum perolehan hak atas
tanah-bangunan.
Sesuai dengan Pasal 85 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) yang menjadi objek
BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, yang meliput:
a. Pemindahan Hak karena:
 Jual Beli
 Tukar Menukar
 Hibah
 Hibah Wasiat
Yaitu suatu penetapan wasiat yang khusus mengenai pemberian hak atas
tanah dan atau bangunan kepada orang pribadi atau badan hukum tertentu,
yang berlaku setelah pemberi hibah wasiat meninggal dunia.
 Waris
 Pemasukan dalam Perseroan atau Badan Hukum Lainnya
Yaitu pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan dari orang pribadi atau
badan Perseroan Terbatas atau badan hukum lainnya sebagai penyertaan
modal pada Perseroan Terbatas atau badan hukum lainnya tersebut.
 Pemisahan Hak yang mengakibatkan peralihan
 Yaitu pemindahan sebagian hak bersama atas tanah dan atau bangunan oleh
orang pribadi atau badan kepada sesama pemegang hak bersama
 Penunjukan pembeli dalam lelang
202
Yaitu penetapan pemenang lelang oleh Pejabat lelang yang tercantum dalam
Risalah Lelang.
 Pelaksanaan putusan Hakim yang mempunyai kekuatan Hukum Tetap
Yaitu adanya peralihan hak dari orang pribadi atau badan hukum sebagai
salah satu pihak kepada pihak yang lain ditentukan dalam putusan hakim
tersebut
 Penggabungan Usaha
Yaitu penggabungan dari badan usaha atau lebih dengan cara tetap
mempertahankan berdirinya salah satu badan usaha dan melikuidasi badan
usaha lainnya yang menggabung
 Peleburan Usaha
Yaitu penggabungan dari dua atau lebih badan usaha dengan cara
mendirikan badan usaha baru dan melikuidasi badan-badan usaha yang
bergabung tersebut.
 Pemekaran Usaha
Yaitu pemisahan suatu badan usaha menjadi dua badan usaha atau lebih
dengan cara mendirikan badan usaha baru dan mengalihkan sebagian aktiva
dan pasiva kepada badan usaha baru tersebut yang dilakukan tanpa
melikuidasi badan usaha yang lama.
 Hadiah
Yaitu suatu perbuatan hukum berupa penyerahan hak atas tanah dan atau
bangunan yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan hukum kepada
pemberi hadiah.
b. Pemberian Hak Baru karena:
 Kelanjutan Pelepasan Hak
Yaitu pemberian hak baru kepada orang pribadi atau badan hukum dari
Negara atas tanah yang berasal dari pelepasan hak.
 Diluar Pelepasan Hak
yaitu pemberian hak baru atas tanah kepada orang pribadi atau badan hukum
dari Negara atau dari pemegang hak milik menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

3. Hak atas tanah yang menjadi objek BPHTB adalah :


203
a. Hak Milik,
Yaitu hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang
pribadi atau badan-badan hukum tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah;
b. Hak Guna Usaha (HGU),
Yaitu hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara
dalam jangka waktu sebagaimana yang ditentukan oleh perundang-undangan
yang berlaku;
c. Hak Guna Bangunan ( HGB ),
Yaitu hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah
yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu yang ditetapkan dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar pokok-pokok
Agraria;
d. Hak Pakai,
Yaitu hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang
dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi
wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh
pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik
tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjia pengolahan
tanah, segala sesuatu sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
e. Hak Milik atas Satuan Rumah Susun,
Yaitu hak milik atas satuan yang bersifat perseorangan dan terpisah. Hak milik
atas satuan rumah susun meliputi juga hak atas bagian bersama, benda bersama,
dan tanah bersama yang semuanya merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan dengan satuan yang bersangkutan.
f. Hak Pengelolaan,
Yaitu hak untuk pmenguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya
sebagian dilimpakan kepada pemegang haknya, antara lain, berupa perencanaan
peruntukan dan penggunaan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya,
penyerahan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dan atau
bekerja sama dengan pihak ketiga.

4. Pengecualian Objek Pajak BPHTB


204
Berdasarkan ketetuan pasal 3 ayat (1) terdapat beberapa objek pajak yang tidak
dikenakan BPHTB yaitu:
a. Objek yang diperoleh perwakilan diplomatik, konsulat bersasar azas perlakuan
timbal balik.
b. Objek yang diperoleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau
untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum.
c. Objek yang diperoleh oleh Badan/Perwakilan Organisasi Internasional yang
ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan dengan syarat tidak
menjalankan usaha/kegiatan lain diluar fungsi dan tugasnya.
d. Objek yang diperoleh orang pribadi/badan karena KONVERSI HAK atau
karena perbuatan Hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama.
e. Objek yang diperoleh orang prbadi/badan karena WAKAF.
f. Objek yang diperoleh orang pribadi/badan karena kepentingan IBADAH

D. Tarif dan Dasar Pengenaan BPHTB


1. Tarif Pengenaan BPHTB
( Pasal 5 UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No. 20 Tahun 2000). Tarif pajak yang dikenakan
atas objek BPHTB adalah sebesar 5% (lima persen).
Dasar Perhitungan Pajak BPHTB
BPHTB = ( NPOP – NPOPTKP ) x Tarif
Atau bila NJOP digunakan sebagai dasar pengenaan:
BPHTB = NPOPKP x Tarif
Besarnya pajak terutang dihitung dengan cara mengalihkan tarif pajak ( 5% ) dengan Nilai
Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP). Besarnya NPOPKP adalah NPOP –
NPOPTKP. Apabila NPOP lebih rendah dari NJOP PBB tahun terjadinya transaksi, atau
bila NPOP tidak diketahui, maka dasar pengenaan pajaknya adalah NJOP PBB.

2. Dasar Pengenaan Pajak BPHTB

Yang menjadi dasar pengenaan BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak atau disingkat
NPOP sesuai ketentuan pasal 5 UU BPHTB.

Berdasarkan jenis perolehan haknya, NPOP tersebut adalah sebagai berikut :

205
a. Jual Beli = Harga Transaksi
b. Tukar Menukar = Nilai Pasar
c. Hibah = Nilai Pasar
d. Hibah Wasiat = Nilai Pasar
e. Waris = Nilai Pasar
f. Pemasukan dalam Perseroan / Badan Hukum lainnya = Nilai Pasar
g. Pemisahan Hak = Nilai Pasar
h. Peralihan Hak karena Putusan Hakim = Nilai Pasar
i. Pemberian Hak Baru = Nilai Pasar
j. Penggabungan Usaha = Nilai Pasar
k. Peleburan Usaha = Nilai Pasar
l. Pemekaran Usaha = Nilai Pasar
m. Hadiah = Nilai Pasar
n. Lelang = Yang tercantum dalam Risalah Lelang

E. Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak


Selanjutnya didalam pasal 7 UU BPHTB, pemerintah menentukan suatu batas nilai
perolehan tidak kena pajak yang disebut Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak
(NPOPTKP). Ketentuan pasal 7 ini dijabarkan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah
dan yang terakhir adalah Peraturan Pemerintah Nomor 113 Tahun 2000 tanggal 1
Desember 2000 yang kemudian ditindaklanjuti lagi dengan Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 516/KMK.04/2000 tanggal 14 Desember 2000. Keputusan Menteri Keuangan ini
kemudian mengalami perubahan dan yang terakhir diubah dengan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 33/PMK.03/2008 tanggal 22 Februari 2008 tentang Perubahan Kedua
Atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 516/KMK.04/2000 Tentang Tata Cara
Penentuan Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak BPHTB. Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 33/PMK.03/2008 ini berisikan ketentuan sebagai berikut:
1. Untuk perolehan hak karena waris , atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang
masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke
atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri,
ditetapkan paling banyak Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah),
2. Untuk perolehan hak Rumah Sederhana Sehat (RSH) sebagaimana diatur dalam
Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 03/PERMEN/M/2007 tentang
206
Pengadaan Perumahan dan Permukiman Dengan Dukungan Fasilitas Subsidi
Perumahan Melalui KPR bersubsidi, dan Rumah Susun Sederhana sebagaimana diatur
dalam Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 7/PERMEN/M/2007
tentang Pengadaan Perumahan dan Permukiman Dengan Dukungan Fasilitas Subsidi
Perumahan Melalui KPR Rumah Susun Bersubsidi, ditetapkaan sebesar
Rp.49.000.000,00 (empat puluh sembilan juta rupiah),
3. Untuk perolehan hak baru melalui program pemerintah yang diterima pelaku usaha
kecil atau mikro dalam rangka Program Peningkatan Sertifikasi Tanah untuk
Memperkuat Penjaminan Kredit bagi Usaha Mikro dan Kecil, ditetapkan sebesar
Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah),
4. Untuk perolehan hak selain perolehan hak sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf
b, dan huruf c, ditetapkan paling banyak Rp.60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah),
5. Dalam hal NPOPTKP yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf d lebih besar
daripada NPOPTKP yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf b, maka
NPOPTKP untuk perolehan hak sebagaimana dimaksud pada huruf b ditetapkan sama
dengan NPOPTKP sebagaimana ditetapkan pada huruf d,
6. Dalam hal NPOPTKP yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf d lebih besar
daripada NPOPTKP yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf c, maka
NPOPTKP untuk perolehan hak sebagaimana dimaksud pada huruf c ditetapkan sama
dengan NPOPTKP sebagaimana ditetapkan pada huruf d. Besarnya NPOPTKP
ditetapkan secara regional, maksudnya adalah NPOPTKP tersebut ditetapkan per
daerah tingkat II (Kabupaten/Kota) dengan mempertimbangkan usulan dari Kepala
Daerah yang bersangkutan.
Sedangkan menurut UU No. 28 Tahun 2009 tentang PDRD pasal 85 ayat (4), (5) dan (6)
besarnya NPOPTKP ditetapkan paling rendah sebesar Rp. 60.000.000,00 untuk setiap
wajib pajak. Kemudian untuk perolehan hak karena waris atau hibah wasiat NPOPTKP
ditetapkan paling rendah Rp. 300.000.000,00. NPOPTKP menurut UU PDRD tersebut
akan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

F. Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak


Pengertian Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) adalah nilai perolehan hak atas tanah dan
atau bangunan yang menjadi dasar pengenaan BPHTB. Istilah nilai perolehan selalu
merujuk pada nilai /harga perolehan aktual yang terjadi saat transaksi atau
207
peristiwaperolehan hak. Karena itu, yang menjadi dasar pengenaan pajak sangat bervariasi
dan tergantung pada jenis transaksi atau peristiwa yang menyebabkan perpindahan hak.
Itulah sebabnya mengapa definisi NPOP tidak dapat ditentukan secara umu berdasarkan
satu nilai saja.

G. Perhitungan Pajak Terutang BPHTB


( Pasal 8 UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No. 20 Tahun 2000 )
Secara umum besarnya BPHTB yang terutang dihitung dengan cara mengalihkan tarif
pajak dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP) yang diperoleh dari Nilai
Perolehan Objek Pajak ( NPOP ) dikurangi dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak
Kena Pajak (NPOPTKP), atau lebih lengkapnya sebagaimana diuraikan pada rumus
dibawah ini:

Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) XXXXX


Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) XXXXX(-)
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP) XXXXX

Besarnya BPHTB terutang = 5% X NPOPKP XXXXX

Contoh :
Tuan Budi membeli tanah dan bangunan dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Rp
70.000.000,-. Sedangkan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang berlaku di
kabupaten /kota tersebut Rp 60.000.000,-.
Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) Rp 70.000.000
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) Rp 60.000.000(-)
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP) Rp 10.000.000

Besarnya BPHTB terutang = 5% x Rp 10.000.000,- = Rp 500.000,-

H. Saat Terhutang, Tempat Pajak Terhutang


1. Saat Terhutang Pajak
Saat yang menentukan terutang nya pajak adalah
a. Sejak tanggal dibuat dan ditanda tanganinya akta, untuk :
 Jual beli
 Tukar menukar
 Hibah
 Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya
 Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan
208
 Penggabungan usaha
 Peleburan usaha
 Pemekaran usaha
 Hadiah
b. Sejak tanggal penunjukan pemenang lelang, untuk lelang.
c. Sejak tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang
tetap, untuk putusan hakim.
d. Sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke kantor
pertanahan, untuk hibah wasiat dan waris.
e. Sejak tanggal ditanda tangani daan diterbitkannya surat keputusan pemberian
hak, untuk :
 Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak
 Pemberian hak baru diluar pelepasan hak.
2. Tempat Pajak Terhutang

Tempat pajak terutang adalah di wilayah :

a. Kabupaten
b. Kota, atau
c. Provinsi

Tempat tersebut meliputi letak tanah dan atau bangunan.

Tempat Pembayaran :

Pajak yang terutang dibayar ke Kas Negara melalui :

a. Bank Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah
b. Kantor Pos dan Giro
c. Tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan

I. Tata Cara Pembayaran


Ketentuan tata cara pembayaran BPHTB tercantum dalam pasal 10 UU BPHTB yang
dijabarkan lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 517/KMK.04/2000
tanggal 14 Desember 2000 yang kemudian di tindak lanjuti dengan Keputusan Dirjen Pajak

209
Nomor 269/PJ/2001 tanggal 2 April 2001 dan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor
09/PJ.6/2001 tanggal 6 April 2001 yang intinya adalah sebagai berikut :
a. Pembayaran tidak mendasarkan kepada adanya Surat Ketetapan Pajak.
b. Dibayar dengan menggunakan Surat Setoran Bea ( SSB ) ke Kas Negara melalui
Bank/Kantor Pos atau Tempat Pembayaran lain yang ditunjuk
c. SSB juga berfungsi sebagai SPOP dan sekaligus digunakan untuk melaporkan
data perolehan hak atas tanah dan atau bangunan
Kewajiban Bayar pada saat :
a. Dibuat & ditandatanganinya Akta
b. Pendaftaran Hak untuk Waris & Hibah Wasiat
c. Ditunjuknya pemenang Lelang
d. Ditandatanganinya SK Pemberian Hak dalam hal pemberian Hak Baru
e. Putusan Pengadilan yang mempunya kekuatan hukum tetap

J. Ketetapan BPHTB
Direktorat Jenderal Pajak ( menurut UU NO. 20 Tahun 2000 ) atau Kepala Daerah ( menurut
UU No. 28 Tahun 2009 ) dalam jangka waktu 5 tahun sesudah terutangnya BPHTB setelah
terlebih dahulu melakukan pemeriksaan lapangan ataupun kantor dan dapat menerbitkan Surat
Ketetapan Bea (SKB) atau Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD):

1. Lebih bayar (LB), apabila pajak yang dibayar ternyata lebih besar daripada jumlah pajak
yang terutang atau dilakukan pembayaran pajak yang tidak seharusnya terutang,
2. Nihil (N), apabila jumlah pajak yang dibayar sama dengan jumlah pajak terutang,
3. Kurang Bayar (KB) apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lainnya
ternyata jumlah pajak yang terutang tidak atau kurang bayar.
4. Kurang Bayar Tambahan (KBT) apabila ditemukan data baru dan atau data yang semula
belum terungkap (novum) yang menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang
kecuali WP melapor sebelum pemeriksaan.

Terhadap jumlah kekurangan pajak yang terhutang dalam SKBKB tersebut dikenakan sanksi
administrasi sebesar 2% sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk
jangka waktu paling lama 24 bulan ( sehingga maksimal 48%) terhitung sejak tanggal
terutangnya pajak. Sedangkan terhadap kekurangan pajak yang terutang dalam SKBKBT
dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan sebesar 100% dari jumlah kekurangan pajak
210
tersebut, namun demikian jika WP melaporkan sendiri sebelum dilakukan pemeriksaaan maka
kenaikan tersebut tidak dikenakan. Jangka waktu pelunasan SKB tersebut adalah 1 bulan sejak
tanggal diterbitkannya surat ketetapan.

K. Surat Tagihan BPHTB ( STB )


Menurut UU No. 20 Tahun 2000 Direktorat Jenderal Pajak dapat menerbitkan STB apabila;
a. Pajak yang terutang tidak atau kurang bayar,
b. Dari hasil pemeriksaan kantor surat setoran BPHTB terdapat kekurangan pembayaran
pajak sebagai akibat salah tulis dan atau salah hitung,
c. Wajib pajak dikenakan sanksi berupa berupa denda dan atau bunga,
d. Sanksi administrasi dikenakan bunga sebesar 2% sebulan untuk jangka waktu paling
lama 24 bulan sejak terutangnya pajak.
Sanksi administrasi berupa bunga 2% sebulan untuk jangka waktu paling lama 24 bulan
dapat dikenakan apabila hasil pemeriksaan menyatakan kurang bayar, sanksi ini dihitung
mulai saat terutangnya pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar (SKBKB).

L. Hak WP Untuk Keberadaan BPHTB


Dalam jangka waktu 3 bulan sejak diterimanya SKP yang dapat dibuktikan dengan cap pos,
Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan terhadap:
1. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah & Bangunan Kurang Bayar (SKBKB),
2. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah & Bangunan Kurang Bayar Tambahan
(SKBKBT),
3. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah & Bangunan Lebih Bayar (SKBLB),
4. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah & Bangunan Nihik (SKBN).

Syarat pengajuan keberatan;


1. Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia,
2. Mengemukakan jumlah pajak yang terutang menurut perhitungan wajib pajak dengan
disertai alasan yang jelas dengan mengemukakan data atau bukti bahwa jumlah pajak
yang terutang atau pajak lebih bayar yang ditetapkan oleh fiskus tidak benar.

211
Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan tidak dianggap sebagai surat keberatan
sehingga tidak dipertimbangkan. DJP harus memberi keputusan atas keberatan apakah
diterima, ditolak atau bahkan menambah besarnya pajak terutang dalam jangka waktu
paling lama 12 bulan sejak tanggal surat ketetapan diterima.

M. Hak WP Untuk Banding BPHTB


Apabila permohonan keberatan ditolak, WP masih dapat mengajukan upaya banding ke
Pengadilan Pajak dalam jangka waktu 3 bulan sejak diterimanya SK Keberatan yang dapat
dibuktikan dengan cap pos. Pengadilan Pajak harus memberi keputusan atas banding
apakah diterima, ditolak atau bahkan menambah besarnya pajak terutang dalam jangka
waktu paling lama 12 bulan.

Apabila pengajuan keberatan atau permohonan bandng dikabulkan sebagian atau


seluruhnya, maka kelebihan pembayaran pajak akan dikembalikan dengan ditambah
imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk jangka waktu paling lama 24 bulan
dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan pemabayaran pajak
sampai dengan diterbitkannya Keputusan Keberatan atau Putusan Banding tersebut.

212
BAB XV

PENUTUP

a. Kesimpulan
Dengan adanya makalah ini saya buat sebagai pengajuan tugas dari bapak/ibu dosen yang
telah membuat saya mengerti dan faham denga isi dari sebuah makalah yang saya telah buat.
Kesimpulan dari makalah ini mempelajari tentang perpajakan agar mahasiswa mengerti
akan pajak dengan undang-undang yang berlaku dinegara Indonesia ini.

b. Saran
Untuk yang telah membaca makalah ini mungkin banyak yang kurang dari penulisan
maupun pengertiannya. Dengan adanya makalah ini semoga bisa untuk dipelajari.

213

Anda mungkin juga menyukai