Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi
atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak
mendapat imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pembayaran pajak merupakan perwujudan
dari kewajiban kenegaraan dan peran serta Wajib Pajak (WP) untuk secara
langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan untuk
pembiayaan negara dan pembangunan nasional. Sesuai falsafah undang-undang
perpajakan, membayar pajak bukan hanya merupakan kewajiban, tetapi
merupakan hak dari setiap warga Negara untuk ikut berpartisipasi dalam bentuk
peran serta terhadap pembiayaan negara dan pembangunan nasional.1

Dari definisi pajak tersebut di atas jelas bahwa pajak merupakan kewajiban
kenegaraan dan pengabdian peran aktif warga negara dalam upaya pembiayaan
pembangunan nasional. Kewajiban perpajakan setiap warga negara diatur dalam
undang-undang perpajakan. Setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang
terutang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan,
dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak.

Tanggung jawab atas kewajiban pembayaran pajak, sebagai pencerminan


kewajiban kenegaraan di bidang perpajakan berada pada anggota masyarakat
sendiri untuk memenuhi kewajiban tersebut. Hal tersebut sesuai dengan sistem
self assessment yang dianut dalam Sistem Perpajakan Indonesia. Kepercayaan
yang diberikan oleh pemerintah sesuai dengan sistem perpajakan yang dianut oleh
pemerintah yakni sistem self assessment yang berarti sistem pemungutan yang
memberi kepercayaan kepada wajib pajak untuk menghitung, melaporkan utang

1
Djoko Slamet Surjoputro, Buku Panduan Hak dan Kewajiban Wajib Pajak, (Jakarta : Direktorat
Penyuluhan Pelayanan dan Humas, 2009), hal 3.

1
pajaknya yang tertuang dalam Surat Pemberitahuan (SPT), kemudian menyetor
kewajiban perpajakannya.2

Dengan adanya sistem self assessment tersebut, pemerintah mengharapkan


kejujuran dan kesadaran dari setiap wajib pajak untuk melakukan kewajiban
perpajakannya sesuai dengan Undang-Undang perpajakan yang berlaku. Dengan
adanya pemberian kepercayaan yang tinggi kepada Wajib Pajak, maka harus ada
penegakan hukum yang berfungsi sebagai pengawasan terhadap Wajib Pajak yang
tidak membayar pajak yang terutang.

Undang-Undang Perpajakan memberikan kepercayaan kepada setiap wajib


pajak untuk melakukan kegiatan perpajakannya sendiri mulai dari menghitung,
membayar, dan melaporkan kewajiban perpajakannya ke Kantor Pelayanan Pajak
(KPP). Pajak yang dibayar oleh wajib pajak dimaksudkan untuk membantu
pemerintah dalam membiayai keperluan penyelenggaraan kenegaraan yakni
pembangunan nasional, dimana pelaksanaan pembangunan nasional diatur dalam
Undang-Undang dan peraturan-peraturan untuk tujuan kesejahteraan bangsa dan
negara.

Menurut Satjipto Rahardjo, penegakan hukum adalah suatu proses untuk


mewujudkan keinginan - keinginan hukum menjadi kenyataan. Yang disebut
sebagai keinginan-keinginan hukum dalam hal ini tidak lain adalah pikiran-
pikiran badan pembuat Undang-Undang yang dirumuskan dalam peraturan-
peraturan hukum tersebut.

Penegakan hukum pajak merupakan suatu hal yang mutlak harus


dilakukan karena dengan penegakan hukum pajak dapat diwujudkan tujuan
hukum, berupa keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Tanpa penegakan
hukum pajak, hukum pajak hanya sekedar tulisan dalam bentuk norma hukum
pajak yang tidak memiliki arti dan makna di kalangan wajib pajak, pejabat pajak,
dan hakim pengadilan pajak.

2
Ibid, hal. 3

2
Dengan sendirinya, berbagai upaya untuk menciptakan masyarakat agar
memiliki apresiasi yang baik terhadap kewajiban membayar pajak tidak terpaku
pada wajib pajak belaka, tapi perlu mempertimbangkan aspek-aspek lainnya. Dari
begitu banyak dan keanekaragaman hak dan kewajiban wajib pajak, salah satunya
adalah wajib pajak orang pribadi yaitu orang yang memperoleh penghasilan baik
sebagai seorang direktur dari satu, beberapa, atau bahkan ratusan perusahaan atau
seorang pemegang saham atau komisaris atau pegawai menengah atau pegawai
rendah atau pekerja mandiri seperti dokter, notaris , pengacara.

B. Rumusan Masalah

Wajib Pajak Orang Pribadi memiliki resiko mengalami pemeriksaan pajak.


Namun sering kali terjadi berbagai permasalahan mengenai pembayaran pajak
pribadi itu sendiri. Dalam makalah ini penulis akan membahas tentang :

1. Bagaimana proses pemungutan pajak bumi dan bangunan pedesaan dan


perkotaan ?

2. Apa saja hambatan dalam pemungutan pajak bumi dan bangunan di pedesaan
dan perkotaan ?

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Pajak

Beberapa ahli memberikan pengertian antara pajak antara yang satu dengan
yang lainnya. Diantara beberapa pengertian yang diberikan oleh para ahli adalah
sebgai berikut.

1. Menurut Sommerfeld: pajak adalah suatu pengalihan sumber-sumber yang


wajib dilakukan dari sektor swasta kepada sektor pemerintah berdasarkan
peraturan tanpa mendapat suatu imabalan kemabali yang langsung dan
seimbang, agar pemerintah dapat melaksanakan tugas tugasnya dalam
pemerintahan.3

2. Menurut Prof. DR. Rochmat Soemitro: pajak adalah pengalihan kekayaan


dari pihak rakyat kepad negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan
‘surplus’nya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama
untuk membiayai public investment. Dari pengertian itu dapat disimpulkan
unsur-unsur yang terdapat dalam pajak ialah:4

a. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang serta aturan pelaksananya.

b. Sifatnya dapat dipaksakan, hal ini berarti bahwa pelanggaran atas iuran
perpajkan dapat dikenakan sanksi.

c. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukan adanya kontrarestai


secara langsung oleh pemerintah.

d. Pajak dipungut oleh Negara baik pemerintah pusat maupun daerah.

e. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila


dari pemasukannya masih surplus, dipergunakan untuk membiayai public
investment.

3
Ray,Sommerfeld. Manajemen Perpajakan. Edisi Pertama (Jakarta : Salemba Empat, 2003), hal
1.
4
Soemitro, Rochmat. Dan M.Zain, Manajemen Perpajakan. Edisi Pertama (Jakarta : Salemba
Empat, 2003), hal 13.

4
3. Menurut Dr. P.J.A Adriani: pajak adalah iuran kepada Negara (yang dapat
dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-
peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat
ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-
pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara yang menyelenggarakan
pemerintahan.5

4. Menurut Waluyo dan Wirawan B. Ilyas : Pajak adalah iuran kepada negara
(yang dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut
peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung
dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-
pengeluaran umum yang berhubungan dengan tugas-tugas negara untuk
menyelenggarakan pemerintahan.6
Dan masih banyak lagi para ahli dan pakar perpajakan yang
mengemukakan pengertian pajak dengan menggunakan kalimat masing-
masing.

2.2 Jenis-Jenis Pajak


Secara umum, pajak yang berlaku di Indonesia dapat dibedakan menjadi
Pajak Pusat dan Pajak Daerah. Pajak Pusat adalah pajak-pajak yang dikelola oleh
Pemerintah Pusat yang dalam hal ini sebagian dikelola oleh Direktorat Jenderal
Pajak- Departemen Keuangan. Sedangkan Pajak Daerah adalah pajak-pajak yang
dikelola oleh Pemerintah Daerah baik di tingkat Propinsi maupun
Kabupaten/Kota. Beberapa jenis pajak dapat dibagi menjadi :7

1. Pajak Penghasilan (PPh) : PPH adalah pajak langsung dari pemerintah pusat
yang dipungut atas penghasilan dari semua orang yang berada di wilayah
Republik Indonesia.

5
Adriani, P.J.A. dan Brotodiharjo, R. Santoso. Pengantar Ilmu Hukum Pajak (Bandung : Replika
Aditama, 2003), hal 2.
6
luyo, Wirawan. Perpajakan Indonesia (Jakarta: Salemba Empat,2002), hal.1.

7
Saragih, Juli Panglima, 2003, Desentralisasi Fiskal dan Keuangan Daerah dalam
Otonomi. Jakarta: Ghalia Indonesia. Hal 103

5
2. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) PPN adalah pajak yang dikenakan atas
konsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean.
Orang Pribadi, perusahaan, maupun pemerintah yang mengkonsumsi Barang
Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dikenakan PPN. Pada dasarnya, setiap
barang dan jasa adalah Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, kecuali
ditentukan lain oleh Undang-undang PPN.

3. Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM) Selain dikenakan PPN, atas
barang-barang kena pajak tertentu yang tergolong mewah, juga dikenakan
PPn BM. Yang dimaksud dengan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah
adalah:

a. Barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok.


b. Barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu.
c. Pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat
berpenghasilan tinggi.
d. Barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status.
e. Apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral masyarakat,
serta mengganggu ketertiban masyarakat.
4. Bea Meterai Bea Meterai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen, dengan
menggunakan benda materai atau benda lainya contohnya dengan
menggunakan mesin teraan, pemeteraian, kemudian dan surat setoran pajak
bentuk KPU 35 Kode 006.
5. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) PBB adalah atas harta tak bergerak yang
terdiri atas tanah dan bangunan (property tax).
6. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) BPHTB adalah
pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan.
Seperti halnya PBB, walaupun BPHTB dikelola oleh pemerintah pusat namun
realisasi penerimaan BPHTB seluruhnya diserahkan kepada Pemerintah
Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan.

6
Selain pajak-pajak yang dikelola pemerintah daerah diatas, terdapat pajak
yang dipungut oleh Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota
antara lain:8

1. Pajak Propinsi

a. Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Diatas Air


b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Diatas Air
c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
d. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air
Permukaan.

2. Pajak Kabupaten Kota


a. Pajak Hotel,
b. Pajak Restoran,
c. Pajak Hiburan,
d. Pajak Reklame,
e. Pajak Penerangan Jalan
f. Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C,
g. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air
Permukaan.

2.3 Asas Pemungutan Pajak


a) Asas Wilayah atau Teritorial
Asas wilayah atau teritorial ini adalah asas untuk memungut pajak yang
didasarkan kepada wilayah tempat domisili seseorang. Sehingga kewajiban
membayar dan besaran pajak adalah bergantung kepada di mana seseorang
tersebut tinggal dan menetap dalam menjalani kehidupan sehari hari.

8
Sri, Valentina dan Aji Suryo, 2006, Perpajakan Indonesia, Jakarta: Salemba. Hal 155

7
b) Asas Kebangsaan atau Nasionalitas
Yang dimaksud dengan asas kebangsaan ini adalah saat seseorang berada
di suatu tempat, sebut saja sebagai negara, maka ia otomatis memiliki kewajiban
untuk membayar pajak. Bahkan, ketika ia kelak sedang melakukan sebuah
perjalanan singkat di dalam maupun luar negeri, pajak wajib tetap dibayarkan
selama catatan administrasi tetap menyantumkan namanya di catatan wilayah
suatu kebangsaan.
c) Asas Sumber
Asas pemungutan pajak yang ketiga adalah asas sumber, yang mana dalam
hal ini pemungutan pajak didasarkan kepada adanya sumber di suatu negara. Perlu
dipahami secara rinci bahwa negara yang berhak memungut pajak adalah negara
yang menjadi tempat di mana sumber berada.
d) Asas Umum
Asas umum dalam hal ini adalah pemungutan pajak hendaknya menganut
asas keadilan, maksudnya adalah bahwa segala prinsip perundang undangan yang
mengatur soal pajak maupun praktik sehari hari dalam pelaksanaannya harus
memerhatikan keadilan.
e) Asas Yuridis
Asas ini mempertegas bahwa hukum pajak seharusnya memberikan
jaminan hukum, sebagaimana isi pasal 23 ayat (2) UUD 1945.
f) Asas Ekonomis
Asas ekonomis ini lebih menjelaskan kepada pemungutan pajak yang
harus bertitik tolak dari kepentingan umum. Intinya, keberadaan pajak tidak boleh
membuat perekonomian masyarakat menjadi merosot.
g) Asas Finansial
Asas pemungutan pajak yang terakhir adalah asas ini, asas finansial.
Dalam asas ini dijelaskan bahwa biaya biaya atas segala penetapan dan juga
pemungutan pajak harus sekecil mungkin bila dibandingkan dengan hasil
pemungutan pajak.

8
BAB III
PEMBAHASAN

3.1.1 Kebijakan Pengalihan PBB Perkotaan dan Pedesaan


Pajak di Indonesia, berdasarkan pengelolaannya dibagi menjadi 2, yaitu
Pajak Pusat dan Pajak Daerah. Pajak Pusat adalah pajak-pajak yang dikelola oleh

9
Pemerintah Pusat yang dalam hal ini sebagian besar dikelola oleh Direktorat
Jenderal Pajak - Kementerian keuangan. Yang termasuk Pajak Pusat adalah Pajak
Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak atas Penjualan Barang
Mewah (PPnBM), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Bea Materai. Sedangkan Pajak Daerah adalah
pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah Daerah baik di tingkat Propinsi
maupun Kabupaten/Kota. Yang termasuk Pajak Daerah adalah Pajak Kendaraan
Bermotor (PKB), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan Bakar
Kendaraan Bermotor, Pajak Air Permukaan, Pajak Rokok, Pajak Hotel, Pajak
Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Mineral
Bukan Logam dan Batuan, Pajak Parkir, Pajak Air Tanah, dan Pajak Sarang
Burung Walet.
PBB sendiri terdiri dari 5 Sektor, yaitu: 9
a) PBB sektor Pedesaan
b) PBBsektorPerkotaan
c) PBB sektor Perkebunan
d) PBBsektorPerhutanan
e) PBB sektor Pertambangan
Dengan disahkannya UU PDRD pada tanggal 15 Desember 2009, dan
berlaku mulai 1 Januari 2010, maka PBB sektor Pedesaan dan Perkotaan (PBB-
P2) dialihkan menjadi pajak daerah. Tujuan pengalihan PBB-P2 kepada
pemerintah Kabupaten / Kota adalah agar Pendapatan Asli Daerah (PAD)
meningkat, sehingga daerah akan lebih mampu mengurus dan mengelola rumah
tangganya secara mandiri, termasuk menyangkut penyediaan sumber dana
penyelenggaraan pemerintahan dan penerimaan pajak.
Dasar pemikiran dan alasan pokok pengalihan PBB-P2 menjadi pajak
daerah, antara lain: pertama berdasarkan teori, property tax lebih bersifat lokal
(local origin), visibilitas, objek pajak tidak berpindah-pindah (immobile), dan
terdapat hubungan erat antara pembayar pajak dan yang menikmati hasil pajak
9
Mardiasmo,2011,perpajakan edisi revisi, Yogyakarata,Andi Yogyakarta, hlm 7.

10
tersebut (the benefit tax-link principle). Kedua, pengalihan kedua jenis pajak
tersebut diharapkan akan meningkatkan PAD dan sekaligus memperbaiki struktur
APBD. Ketiga, untuk meningkatkan pelayanan masyarakat (public services),
akuntabilitas, dan transparasi dalam pengelolaan PBB-P2. Keempat, bahwa
berdasarkan praktek di banyak negara, PBB-P2 termasuk dalam jenis local tax.
Diserahkannya PBB-P2 kepada daerah, tidak hanya sekedar untuk
meningkatkan kemampuan daerah dalam memenuhi kebutuhan pengeluarannya
dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, namun juga untuk lebih
mengefektifkan pengelolaan PBB-P2. Pemerintah Daerah tentunya lebih
memahami karakteristik daerahnya dan mengetahui apa yang terbaik yang akan
dilakukan bagi masyarakat setempat. Sehingga dengan dialihkannya PBB-P2
menjadi pajak daerah diharapkan pelayanan kepada Wajib Pajak akan menjadi
lebih baik, efektif, efisien dan akuntabel.
Adapun tujuan kebijakan pengalihan PBB-P2 sebagai Pajak Daerah adalah
sebagai berikut:
a) Memperluas objek pajak daerah dan retribusi daerah
b) Menambah jenis pajak daerah dan retribusi daerah (termasuk
pengalihan PBB Perdesaan dan Perkotaan menjadi Pajak Daerah)
c) Memberikan diskresi penetapan tarif pajak kepada daerah
d) Menyerahkan fungsi pajak sebagai instrumen penganggaran dan
pengaturan pada daerah
Dengan terbitnya Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah, Pemerintah Daerah kini mempunyai tambahan
sumber pendapatan asli daerah (PAD) yang berasal dari Pajak Daerah, sehingga
saat ini Jenis Pajak Kabupaten/Kota terdiri dari sebelas jenis pajak, yaitu Pajak
Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan,
Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, Pajak Parkir, Pajak Air Tanah, dan
Pajak Sarang Burung Walet, Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan,
dan Bea perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Matriks penambahan jenis
Pajak Kabupaten/Kota dapat dilihat pada tabel berikut ini:
UU 34/2000 UU 28/2009

11
1. Pajak Hotel 1. Pajak Hotel
2. Pajak Hiburan 2. Pajak Hiburan
3. Pajak Restoran 3. Pajak Restoran
4. Pajak Reklame 4. Pajak Reklame
5. Pajak Penerangan Jalan 5. Pajak Penerangan Jalan
6. Pajak Parkir 6. Pajak Parkir
7. Pajak Pengambilan Bahan 7. Pajak Mineral Bukan Logam
Galian Golongan C dan Batuan (perubahan
nomenkaltur)
8. Pajak Air Tanah (Pengalihan
dari provinsi)
9. Pajak Sarang Burung Walet
(baru)
10. PBB Pedesaan dan Perkotaan
(baru)
11. Bea Perolehan Hak Atas Tanah
dan Bangunan (baru)
Sementara itu, Objek Pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan
Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah objek pajak yang:
a) Digunakan oleh Pemerintah dan Daerah untuk penyelenggaraan
pemerintahan;
b) Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang
ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang
tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;
c) Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis
dengan itu;
d) Merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman
nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah
negara yang belum dibebani suatu hak;
e) Digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas
perlakuan timbal balik; dan

12
f) Digunakan oleh badan atau perwakilan lembaga internasional yang
ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan.
3.1.2 Dasar Pengenaan Pajak dan Tarif PBB P2
Dasar pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). NJOP ditetapkan setiap 3 (tiga)
tahun dengan Keputusan Kepala Daerah, kecuali untuk daerah tertentu yang
perkembangan pembangunannya mengakibatkan kenaikan NJOP yang cukup
besar, maka penetapan NJOP dapat ditetapkan setahun sekali. NJOP ditetapkan
per wilayah berdasarkan keputusan Menteri Keuangan dengan mendengar
pertimbangan Bupati/Walikota serta memperhatikan :
a) Harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi
secara wajar;
b) Perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis yang letaknya
berdekatan dan fungsinya sama dan telah diketahui harga jualnya;
c) Nilai perolehan baru;
d) Penentuan Nilai Jual Objek Pajak pengganti.
Untuk PBB-P2 mempunyai Nilai Jual Objek Pajak Tidak kena Pajak
(NJOPTKP) yang bersifat variatif sesuai peraturan daerah masing-masing tetapi
penetapan paling rendah sebesar Rp10.000.000 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap
Wajib Pajak. Setiap Wajib Pajak memperoleh pengurangan NJOPTKP sebanyak
satu kali dalam satu Tahun Pajak. Apabila Wajib Pajak mempunyai beberapa
Objek Pajak, maka yang mendapatkan pengurangan NJOPTKP hanya satu Objek
Pajak yang nilainya terbesar dan tidak bisa digabungkan dengan Objek Pajak
lainnya.
Tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan ditetapkan
paling tinggi sebesar 0,3% (nol koma tiga persen). Tarif Pajak Bumi dan
Bangunan Perdesaan dan Perkotaan ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Rumus
sebagai berikut:

PBB P2 = Tarif X (NJOP-NJOPTKP)

13
Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender. Saat yang
menentukan pajak yang terutang adalah menurut keadaan objek pajak pada
tanggal 1 Januari. Tempat pajak yang terutang adalah di wilayah daerah yang
meliputi letak objek pajak.
3.1.3 Proses Pelaksanaan PBB-P2
A. Pendataan dan Penilaian
PBB merupakan official assessment atau ada yang menyebut pula
sebagai semi self assessment atau self declaration sehubungan dengan adanya
pengisian Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) / Lampiran Surat
Pemberitahuan Objek Pajak (LSPOP) oleh Wajib Pajak untuk melaporkan objek
pajaknya. Oleh karena itu, tugas fiskus untuk menetapkan besarnya pajak yang
terutang dan memberitahukannya kepada Wajib Pajak. Proses penetapan pajak
terutang dimulai dari kegiatan pendaftaran atau pendataan dan penilaian.
Pendaftaran adalah kegiatan Wajib Pajak dalam melaporkan objek pajaknya.
Sedangkan pendataan adalah kegiatan fiskus untuk melakukan pendataan objek
dan subjek pajak secara langsung ke lapangan. Pada dasarnya undang-undang
mewajibkan setiap wajib pajak untuk melaporkan objek pajaknya. Namun
mengingat kondisi subjek pajak yang sangat beragam, baik tingkat pendidikannya
maupun lokasi objek pajak dan tempat tinggal wajib Pajak yang tersebar sampai
jauh dan pelosok Indonesia, maka pemerintah melakukan kegiatan
pendataan. SPOP harus diisi dengan jelas, benar, dan lengkap serta ditandatangani
dan disampaikan kepada Kepala Daerah yang wilayah kerjanya meliputi letak
objek pajak, selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja setelah tanggal
diterimanya SPOP oleh Subjek Pajak.10
Setelah diperoleh data objek dan subjek pajak melalui kegiatan
pendaftaran atau pendataan, maka selanjutnya dilakukan kegiatan
penilaian. Penilaian tanah dilakukan dengan metode pendekatan data pasar
(Market Data Approach). Metode ini dilakukan dengan mengumpulkan data
transaksi atas tanah dan/ atau bangunan yang terjadi di wilayah yang

10
Wahab, Solichin Abdul. 2004. Analisis Kebijakan dari Formulasi ke Implementasi.
Kebijahanaan Negara. Jakarta: Bumi Aksara. Hal 77

14
bersangkutan, untuk kemudian dilakukan penyesuaian-penyesuaian sehingga
dapat diperoleh nilai tanah pada zona tertentu (selanjutnya disebut sebagai zona
nilai tanah). Setiap desa/kelurahan akan terdiri dari beberapa zona, dan setiap zona
akan mencerminkan nilai rata-rata tanah di lokasi tersebut.
Sementara itu nilai bangunan ditetapkan dengan metode nilai
perolehan/pembuatan baru bangunan (Reproduction/replacement Cost
New). Metode ini menghitung nilai bangunan dengan cara menghitung seluruh
biaya yang diperlukan untuk membuat bangunan baru seperti bangunan tersebut
pada tahun pajak yang bersangkutan, kemudian dikurangi dengan
penyusutan. Besarnya penyusutan dipengaruhi oleh umur bangunan dan kondisi
fisik bangunan. Penghitungan nilai bangunan ini cukup rumit. Oleh karena itu,
Direktorat Jenderal Pajak telah membuat suatu program penilaian bangunan yang
disebut dengan Computer Assisted Valuation (CAV), yang terintegrasi di dalam
SISMIOP. SISMIOP merupakan suatu system yang terintegrasi yang mengelola
administrasi PBB yang meliputi seluruh proses bisnis PBB sejak dari pendataan,
penilaian, penetapan, penerimaan, dan sebagainya.
Adapun cara penilaian ada 2 (dua) antara lain:
1. Penilaian Massal
 NJOP bumi dihitung berdasarkan Nilai Indikasi Rata-rata
(NIR) yang terdapat pada setiap Zona Nilai Tanah (ZNT).
 NJOP bangunan dihitung berdasarkan Daftar Biaya
Komponen Bangunan (DBKB) dikurangi penyusutan fisik.
 Perhitungan penilaian massal dilakukan dengan
menggunakan program komputer (Computer Assisted
Valuation / CAV).
2. Penilaian Individual
Diterapkan untuk Objek tertentu yang bernilai tinggi atau
keberadaannya mempunyai sifat khusus, antara lain : Jalan tol,
Pelabuhan laut/sungai/udara, Lapangan golf, Industri semen/pupuk,
PLTA, PLTU, PLTG, Pertambangan, Tempat rekreasi, Dan lain-lain
sejenisnya, Objek pajak tertentu, seperti rumah mewah, pompa bensin,

15
jalan tol, lap. golf, Objek rekreasi, usaha perkebunan, perhutanan, dan
pertambangan.
B. Penetapan PBB
Untuk menghitung besarnya pajak yang terutang, maka Sistem Informasi
dan Manajemen Objek pajak (SISMIOP) otomatis akan menghitung sendiri
setelah SPOP dan LSPOP direkam ke dalam basis data SISMIOP. Yang tidak
boleh dilupakan ialah bahwa fiskus harus merekam / menentukan dulu berapa
NJOP setiap zona nilai tanah pada setiap desa/kelurahan sebagai bahan untuk
menentukan besarnya nilai bumi setiap objek pajak. Sedangkan input penilaian
bangunan adalah fiskus harus merekam terlebih dahulu berapa besarnya harga
material, harga upah dan harga fasilitas bangunan untuk setiap kabupaten, sebagai
bahan penentuan nilai bangunan setiap objek pajak yang telah direkam LSPOP-
nya. Selanjutnya setelah SPOP/LSPOP direkam, dan kode ZNT/NIR serta daftar
harga upah dan material sudah direkam pula, maka SISMIOP akan secara
otomatis menghitung besarnya pajak yang terutang untuk setiap objek pajak.
Setelah proses perekaman, kemudian dilakukan proses penetapan dan
pencetakan SPPT PBB. Pencetakan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang
(SPPT), Surat Tanda Terima Setoran (STTS), dan Daftar Himpunan Ketetapan
Pajak (DHKP) secara massal dilakukan pada setiap awal tahun pajak. Sedangkan
secara insidentil, SPPT dicetak setelah wajib pajak menyampaiakn
SPOP/LSPOP. Perlu diketahui bahwa dalam rangka pendataan, fiskus
menyampaikan blanko SPOP kepada Wajib Pajak dan harus dikembalikan dalam
jangka waktu 30 hari. Setelah jangka waktu tersebut SPOP tidak kembali, maka
fiskus dapat menerbitkan surat teguran, dan setelah ditegur Wajib Pajak tidak juga
mengembalikan SPOP, maka kita dapat menerbitkan SKP (Surat Ketetapan
Pajak). SKP mengandung denda 25% dari pokok pajak atau dari jumlah pajak
yang kurang dibayar.
C. Pembayaran PBB
SPPT PBB memiliki waktu jatuh tempo 6 (enam) bulan sejak diterima
oleh Wajib Pajak, sedangkan SKP memiliki masa jatuh tempo 1 (satu) bulan sejak
diterima. Pembayaran pajak harus dilakukan sekaligus dan lunas dengan

16
menggunakan Surat Setoran Pajak Daerah (SSPD) di Kas Daerah melalui
Bendaharawan Khusus Penerima atau di tempat lain yang ditunjuk Bupati dan
dicatat pada Buku Penerimaan.
Apabila pembayaran pajak dilakukan di tempat lain yang ditunjuk,
hasil penerimaan pajak harus disetor ke Kas Daerah paling lama 1 x 24 jam
atau dalam waktu yang ditentukan oleh Bupati atau Pejabat. Perlu dicermati dan
diingat bahwa selama ini terdapat banyak contoh petugas pungut yang ‘nakal’,
yaitu tidak menyetorkan hasil pemungutan PBB-nya ke tempat pembayaran,
sehingga penerimaan tersebut tidak masuk ke kas Negara ataupun kas daerah.
Apabila Wajib Pajak terlambat membayar pajak, maka akan dikenakan
denda sebesar 2% per bulan, untuk selama-lamanya 24 bulan. Apabila setelah
jatuh tempo pajak tidak dibayar, maka dapat dilakukan penagihan aktif setelah
sebelumnya diterbitkan surat teguran/ surat peringatan atau surat yang sejenis.
Penagihan aktif dilakukan dengan menerbitkan Surat Paksa yang kemudian dapat
dilakukan penyitaan, pelelangan, dan sebagainya. Kegiatan penagihan aktif
memerlukan seorang petugas khusus, yakni juru sita pajak. Oleh karena itu,
pemda juga perlu menyiapkan SDM juru sita ini, selain menyiapkan petugas
fungsional penilai PBB dan operator consule. Proses bisnis penetapan,
pembayaran dan penagihan PBB dapat digambarkan dengan bagan berikut ini.

D. Penerapan Pemungutan PBB P2

1. Tahap Persiapan

Sesuai dengan Peraturan Bersama Menkeu dan Mendagri Nomor


15/PMK.07/2014 Nomor 10 Tahun 2014 Tentang Tahapan Persiapan dan
Pelaksanaan Pengalihan PBB-P2 sebagai Pajak Daerah, untuk melaksanakan
pemungutan PBB-P2, Pemerintah Daerah telah mempersiapkan hal-hal berikut
ini:

1. Peraturan Daerah, Peraturan Kepala Daerah, dan SOP

17
2. Struktur Organisasi dan Tata Kerja
3. Sumber Daya Manusia yang berkualitas dan kompeten
4. Sarana dan Prasarana
5. Kerjasama pihak terkait antara lain, KPP Pratama, Perbankan,
Kantor Pertanahan, dan Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah

2. Tahap Pelaksanaan

Pemungutan PBB-P2 di Kabupaten/Kota dilaksanakan mulai 1 Januari


2014. Sepanjang tahun berjalan, Dispenda telah melakukan berbagai bentuk
pelayanan yaitu meliputi berikut ini.

1. Pendaftaran Objek Pajak Baru


2. Mutasi objek/subjek pajak (mutasi seluruhnya dan mutasi
sebagian)
3. Salinan SPPT/SKPD/STPD
4. Pembetulan PBB-P2
5. Keberatan PBB-P2
6. Pengurangan PBB-P2 terutang
7. Restitusi dan Kompensasi
8. Pengurangan denda adminstrasi
9. Penentuan kembali tanggal jatuh tempo SPOP dan SPPT
10. Pembatalan SPPT/SKPD/STPD
11. Pengecualian pengenaan PBB

3.1.4 Upaya Perencanaan Pemerintah terhadap Penerimaan Pajak


Menyikapi peningkatan target penerimaan pajak yang sangat tinggi, mau
tidak mau Pemerintah Daerah harus melakukan upaya luar biasa guna menggali
setiap potensi pajak dalam perekonomian, baik itu melalui kebijakan pajak (tax
policy) maupun administrasi pajak (tax administration). Aspek kebijakan pajak
mencakup pemahaman tentang siapa yang dipajaki, apa yang dipajaki, dan berapa
besar pajaknya, sedangkan konsep administrasi pajak adalah pemahaman tentang

18
bagaimana cara pemajakannya, biasanya dapat dirumuskan dengan 3 (tiga) fungsi
yaitu, fungsi pelayanan, fungsi pengawasan, dan fungsi penegakan hukum.
Salah satu contoh upaya yang perencanaan pajak yang dapat dilakukan
oleh pemerintah daerah dalam penerimaan pajak:11
a) Penerapan target dan realisasi penerimaan pajak harus menggunakan
informasi atau data yang akurat.
b) Adanya proses transparansi antara fungsi penerimaan dan pengeluaran
anggaran terkait dengan penerimaan pajak, sehingga masyarakat
mengetahui dana yang telah digunakan untuk apa.
c) Menjaga kepercayaan masyarakat dengan tidak melakukan tindakan
praktik KKN apalagi yang berasal dari hasil pajak.
d) Penetapan regulasi yang jelas, dapat dimengerti, sesuai dengan
kondisi/keadaan dilapangan dan proses adminstrasi yang cepat dan
mudah.
e) Melakukan ekstensifikasi pajak daerah, yaitu kegiatan yang berkaitan
dengan penambahan jumlah wajib pajak yang belum terdaftar dan
perluasan objek pajak.
f) Mengadakan rekrutmen SDM yang berkompeten atau melakukan
training terhadap SDM yang sudah ada, agar kinerja pemerintah dalam
permasalahan pajak daerah ini tidak mengecewakan wajib pajak.

3.2 Hambatan dalam Pemungutan Pajak.


Hambatan terhadap pemungutan pajak dapat dikelompokkan menjadi 12:
a) Perlawanan pasif, masyarakat enggan (pasif) membayar pajak, yang dapat
disebabkan antara lain:

11
Winarno, Budi. 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik, Yogyakarta: Media Pressind0,
hal 108

12
Kementrian Keuangan Direktorat Jendral Pajak Direktorat Penyuluhan Pelayanan Dan
Hubungan Masyarakat, 2011, Buku Panduan Hak Dan Kewajiban Wajib Pajak, jakarta, direktorat
jendral pajak, hlm. 4.

19
1. Perkembangan intelektual dan moral masyarakat.
2. Sistem perpajakan yang (mungkin) sulit dipahami masyarakat.
3. Sistem kontrol tidak dapat dilakukan atau dilaksanakan dengan baik
b) Perlawanan aktif, perlawanan aktif meliputi semua usaha dan perbuatan
yang secara langsung ditujukan kepada fiskus dengan tujuan untuk
menghindari pajak. Bentuknya antara lain:
1. Tax Avoidance, usaha meringankan beban pajak dengan tidak
melanggar undang-undang.
2. Tax Evasion, usaha meringankan beban pajak, dengan cara melanggar
undang-undang (menggelapkan pajak). Menurut Nin Yasmine Lisasih
dalam artikel all about law mengemukakan kendala dalam
pemungutan pajak secara umum baik pajak pusat maupun pajak
daerah, seringkali terdapat kendala yang melemahkan dalam
pemungutan pajak.
c) Kendala-kendala tersebut antara lain:
1. Berbagai peraturan pelaksanaan undang-undang yang sering kali tidak
konsisten dengan undang-undangnya, apabila peraturan pelaksanaan
yang dijadikan dasar dalam melaksanakan aturan hukum pajak tidak
konsisten dengan undang-undang tentu akan mengakibatkan kendala
yang fatal dalam pemungutan pajak.
2. Kurangnya pembinaan antara pajak daerah dengan pajak nasional,
pembinaan pajak daerah harus dilakukan secara terpadu dengan pajak
nasional. Pembinaan harus dilakukan secara terus menerus terutama
mengenai objek dantarif pajaknya supaya antara pajak pusat dan pajak
daerah saling melengkapi.
3. Database yang masih jauh dari standar internasional, database sangat
menentukan untuk menguji kebenaran pembayaran pajak dengan
sistem selfassasment. Persepsi masyarakat, bahwa banyak dana yang
dikumpulkan oleh pemerintah digunakan secara boros atau korup,
juga menimbulkan kendala untuk meningkatkan kepatuhan wajib
pajak.

20
4. Lemahnya penegakan hukum (law enforcement) terhadap kepatuhan
membayar pajak bagi penyelenggara negara, Law enforcement
merupakan pelaksanaan hukum oleh penjabat yang berwenang
dibidang hukum pelaksanaan hukum dilingkungan birokrasi
khususnya badan pemerintahan di bidang perpajakan dalam
melakukan pemeriksaan terhadap penyelenggara nergara ternyata
belum ada gebrakannya. Seharusnya bila dilakukan tentu membantu
dalam mewujudkan good governance dalam bentuk pemerintah yang
bersih.
5. Kurangnya atau tidak adanya kesadaran masyarakat, pemungutan
pajak dituntut kesadaran warga negara untuk memenuhi kewajiban
kenegaraan. Kurangnya atau tidak adanya kesadaran masyarakat
sebagai wajib pajak untuk membayar pajak ke negara mengakibatkan
timbulnya perlawanan atau terhadap pajak merupakan kendala dalam
pemungutan pajak sehingga mengakibatkan berkurangnya penerimaan
kas negara.13

BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
1. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah pajak atas bumi
dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang

13
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 3 No. 10 tahun 2014. hlm 5

21
pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha
perkebunan, perhutanan, dan pertambangan. Tarif yang di tetapkan bersifat
variatif paling tinggi ditetapkan 0,3% dan untuk PBB P2 sendiri mempunyai
NJOPTKP yang juga bersifat variatif paling rendah Rp 10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah). Sebagaimana diamanatkan oleh UU PDRD, PBB
Perdesaan dan Perkotaan diserahkan kepada Pemerintah Daerah (Kab/Kota)
selambat-lambatnya tanggal 31 Desember 2013. Dengan demikian, maka
mulai Tahun pajak 2014, PBB P2 menjadi Pajak Kabupaten/Kota. Untuk
dapat memungut PBB P2, maka salah satu hal yang harus dilakukan oleh
Pemda adalah menyiapkan Peraturan Daerah dan peraturan pelaksanaannya.
2. Hambatan di dalam pemungutan pajak bumi dan bangunan pedesaan dan
perkotaan dikelompokan menjadi, yaitu : pertama adanya perlawanan pasif,
masyarakat enggan (pasif) membayar pajak, kedua adanya perlawanan aktif,
perlawanan aktif meliputi semua usaha dan perbuatan yang secara langsung
ditujukan kepada fiskus dengan tujuan untuk menghindari pajak. Selain itu
terdapat kendala lain seperti berbagai peraturan pelaksanaan undang-undang
yang sering kali tidak konsisten dengan undang-undangnya, kurangnya
pembinaan antara pajak daerah dengan pajak nasional, database yang masih
jauh dari standar internasional, lemahnya penegakan hukum (law
enforcement) terhadap kepatuhan membayar pajak bagi penyelenggara negara
dan kurangnya atau tidak adanya kesadaran masyarakat

Daftar Pustaka

Adriani, P.J.A. dan Brotodiharjo, R. Santoso, 2011, Pengantar Ilmu Hukum


Pajak, Bandung : Replika Aditama.

Djoko Slamet Surjoputro, 2009, Buku Panduan Hak dan Kewajiban Wajib Pajak,
Jakarta : Direktorat Penyuluhan Pelayanan dan Humas.

22
Mardiasmo, 2011, perpajakan edisi revisi, Yogyakarata, Andi Yogyakarta.

Ray,Sommerfeld, 2003, Manajemen Perpajakan. Edisi Pertama, Jakarta :


Salemba Empat.

Soemitro, Rochmat. Dan M.Zain, 2013, Manajemen Perpajakan. Edisi Pertama,


Jakarta : Salemba Empat.

Luyo, Wirawan, 2010, Perpajakan Indonesia, Jakarta: Salemba Empat.

Saragih, Juli Panglima, 2009, Desentralisasi Fiskal dan Keuangan Daerah dalam
Otonomi. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Sri, Valentina dan Aji Suryo, 2008, Perpajakan Indonesia, Jakarta: Salemba.

Wahab, Solichin Abdul, 2004, Analisis Kebijakan dari Formulasi ke


Implementasi, Kebijahanaan Negara. Jakarta: Bumi Aksara.

Winarno, Budi, 2002, Teori dan Proses Kebijakan Publik, Yogyakarta: Media
Pressindo.

Kementrian Keuangan Direktorat Jendral Pajak Direktorat Penyuluhan Pelayanan


Dan Hubungan Masyarakat, 2011, Buku Panduan Hak Dan Kewajiban
Wajib Pajak, jakarta, direktorat jendral pajak.

Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 3 No. 10 tahun 2014

23

Anda mungkin juga menyukai