Pemberlakuan Pph Atas Kerugian Yang Timbul Akibat Terjadinya Bencana Alam
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM KALIMANTAN MUHAMMAD ARSYAD AL-BANJARI
BANJARMASIN
2020
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1
Pembayaran pajak merupakan perwujudan dari kewajiban kenegaraan dan peran serta
Wajib Pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan
untuk pembiayaan negara dan pembangunan nasional. Sesuai falsafah undang-undang
perpajakan, membayar pajak bukan hanya merupakan kewajiban, tetapi merupakan hak dari
setiap warga. Negara untuk ikut berpartisipasi dalam bentuk peran serta terhadap pembiayaan
negara dan pembangunan nasional. Tanggung jawab atas kewajiban pembayaran pajak, sebagai
pencerminan kewajiban kenegaraan di bidang perpajakan berada pada anggota masyarakat
sendiri untuk memenuhi kewajiban tersebut. Hal tersebut sesuai dengan sistem self assessment
yang dianut dalam Sistem Perpajakan Indonesia.
Berbagai upaya untuk menciptakan masyarakat agar memiliki apresiasi yang baik terhadap
kewajiban membayar pajak tidak terpaku pada wajib pajak belaka, tapi perlu mempertimbangkan
aspek-aspek lainnya secara korelatif. Dengan pertimbangan yang simultan, solusi alternatif yang
signifikan akan lebih memungkinkan. Dari begitu banyak dan keanekaragaman hak dan
kewajiban wajib pajak, salah satunya adalah wajib pajak orang pribadi yaitu orang yang
memperoleh penghasilan baik sebagai seorang direktur dari satu, beberapa, atau bahkan ratusan
perusahaan atau seorang pemegang saham atau komisaris atau pegawai menengah atau pegawai
rendah atau pekerja mandiri seperti dokter, notaris , pengacara.
1.2 Perumusan Masalah
1. Bagaimanakah Perlakuan PPh atas kerugian yang timbul akibat terjadinya bencana alam?
1.3 Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dari penulisan makalah ini adalah:
1. Supaya penulis pribadi dan para pihak yang membaca makalah ini mengetahui tentang
macam-macam serta penggolongan penggolongan pajak di Indonesia.
2. Untuk mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan pengenaan pajak terhadap penghasilan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2
Berkenaan mengenai pengenaan pajak, pajak mempunyai latar belakang falsafah. Falasafah
pajak ini lebih lanjut lagi berdasarkan falsafah negara yaitu pancasila. Pasal 23 UUD 1945,
merupakan dasar hukum pemungutan pajak yang berbunyi “segala pajak pajak untuk kegunaan
kas negara berdasarkan undang-undang” walaupun pasal 23 (2) UUD 1945, merupakan dasar
hukum pemungutan pajak, namun pada dasarnya dalam ketentuan ini tersirat Falsafah Pajak.
Pajak harus berdasar undang-undang karena dapat diibaratkan pajak adalah menyayat daging diri
kita sendiri. Pajak tidak memerikan imbalan yang secara langsung dapat dinikmati, atau dapat
dikatakan pajak tidak memberikan imbalan.
Selain memiliki dasar falsafah dalam pengenaan pajak terdapat asas-asas menurut Falsafah
Hukum yaitu asas-asas keadilan, untuk memberikan dasar menyatakan keadilannya, terdapat
teori-teori pajak yang dapat diterapkan dalam pemungutan pajak dalam masyarakat, dan juga
terdapat sistem pemungutan pajak diantaranya adalah berikut ini :
3
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan.
2. Undang-undang No. 10/1994 Undang-Undang Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan. Pasal 4 ayat (2). “ Atas Pengasilan
berupa bungan deposito dan tabungan dan tabungan-tabungan lainya, penghasilan dari
transaksi saham dan sekuritas lainya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harat berupa
tanah dan atau tabungan serta pengasilan tertentu lainya, pengenaan pajaknya diatur dengan
peraturan pemerintah.
3. Undang-Undang Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 Tentang
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
4. Undang-undang nomor: 7 tahun 1991tentang perubahan atas undang-undang nomor 7 tahun
1983 tentang pajak penghasilan.
5. Undang-undang nomor 46 tahun 1994 tentang pembayaran pajak penghasilan bagi orang
pribadi yang bertolak keluar negeri.
6. UUD 1945 pasal 23 ayat (2) : segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-
undang.
7. UU No. 6 Tahun 1983 tentang KUP jo. UU No. 9/1994.
8. UU No. 8 Tahun 1983 tentang PPN jo. UU No. 11/1994.
9. UU No. 12 Tahun 1985 tentang PBB sebagai diubah dengan UU no. 12 Tahun 1994.
10. UU No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai.
11. UU No. 21 Tahun 1997 tentang BPHTP sbg diubah dengan UU No. 20 tahun 2007.
4
BAB III
PEMBAHASAN
5
Pajak Daerah adalah pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah Daerah baik di tingkat Propinsi
maupun Kabupaten/Kota. Beberapa jenis pajak dapat dibagi menjadi :
1. Pajak Penghasilan (PPh) : PPH adalah pajak langsung dari pemerintah pusat yang
dipungut atas penghasilan dari semua orang yang berada di wilayah Republik Indonesia .
2. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) PPN adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang
Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean. Orang Pribadi, perusahaan,
maupun pemerintah yang mengkonsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak
dikenakan PPN. Pada dasarnya, setiap barang dan jasa adalah Barang Kena Pajak atau Jasa
Kena Pajak, kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang PPN.
3. Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM) Selain dikenakan PPN, atas barang-
barang kena pajak tertentu yang tergolong mewah, juga dikenakan PPn BM. Yang
dimaksud dengan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah adalah :
· Barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok.
· Barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu.
· Pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi.
· Barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status.
· Apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral masyarakat, serta mengganggu
ketertiban masyarakat.
4. Bea Meterai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen, dengan menggunakan benda
materai atau benda lainya. contohnya dengan menggunakan mesin teraan, pemeteraian,
kemudian dan surat setoran pajak bentuk KPU 35 Kode 006.
5. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) PBB adalah atas harta tak bergerak yang terdiri atas
tanah dan bangunan (property tax).
6. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) BPHTB adalah pajak yang
dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Seperti halnya PBB, walaupun
BPHTB dikelola oleh Pemerintah Pusat namun realisasi penerimaan BPHTB seluruhnya
diserahkan kepada Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota sesuai
dengan ketentuan.
Selain pajak-pajak yang dikelola pemerintah daerah diatas juga terdapat pajak yang dipungut
oleh Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota antara lain :
1. Pajak Propinsi
6
· Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Diatas Air,
· Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Diatas Air,
· Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor,
2. Pajak Kabupaten Kota
· Pajak Hotel,
· Pajak Restoran,
· Pajak Hiburan,
· Pajak Reklame,
· Pajak Penerangan Jalan,
· Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C,
· Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan.
7
3.4 Pajak Penghasilan
Pajak penghasilan adalah pajak langsung dari pemerintah pusat yang dipungut pada
seseorang atas pengahsilan dari semua orang yang berada di wilayah Indonesia. Pajak
Penghasilan merupakan pajak yang dipungut setiap akhir tahun atau setelah tahun pajak berakhir.
Pajak penghasilan diatur dalam undang-undang diantaranya adalah
1. Undang-undang nomor: 7 tahun 1991tentang perubahan atas undang-undang nomor 7 tahun
1983 tentang pajak penghasilan.
2. Undang-undang nomor 46 tahun 1994 tentang pembayaran pajak penghasilan bagi orang
pribadi yang bertolak keluar negeri.
3. UUD 1945 pasal23 ayat (2): segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-
undang
4. UU No. 6 Tahun 1983 tentang KUP jo. UU No. 9/1994.
5. UU No. 7 Tahun 1983 tentang PPh jo. UU No. 10/1994.
Dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan sendiri tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan
subjek PPh, namun secara umum pengertian Subjek Pajak adalah siapa yang dikenakan pajak.
UU PPh menegaskan ada tiga kelompok yang menjadi Subjek PPh yaitu:
1. Orang pribadi dan warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang
berhak.
2. Badan yang terdiri dari Perseroan Terbatas, Perseroan Komanditer, perseroan lainya,
BUMN dan BUMD dengan nama dan dalam bentuk apapun, Persekutuan, Perkumpulan,
Firma, Kongsi, Koperasi Yayasan atau organisasi yang sejenis, lembaga dana pensiun, dan
Bentuk Badan Usaha lainnya.
3. Bentuk Usaha Tetap (BUT). BUT adalah bentuk usaha yang dikenakan orang pribadi yang
tidak beretempat tinggal di Indonesia atau bertempat tinggal di Indonesia kurang dari 183
hari dalam jangka waktu 12 bulan atau badan yang tidak didirikan atau tidak bertempat
kedudukan di Indonesia, untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.
3.5. Perlakuan PPh atas kerugian yang timbul akibat terjadinya bencana alam.
Pasal 6 Undang-undang PPh mengatur bahwa untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak,
penghasilan bruto dikurangi dengan biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara
penghasilan, termasuk biaya pembelian bahan, biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa
8
seperti misalnya upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi dan tunjangan yang diberikan dalam
bentuk uang, bunga, sewa, royalti, biaya perjalanan, biaya pengolahan limbah, premi asuransi,
biaya administrasi, dan pajak kecuali PPh penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta
berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang
mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun, iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya
disahkan oleh Menteri Keuangan, kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki
dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan, kerugian dari selisih kurs mata uang asing, biaya penelitian dan
pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia, biaya bea siswa, magang, dan pelatihan,
piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, sepanjang memenuhi syarat-syarat tertentu;
Rincian dari biaya-biaya yang boleh dikurangkan sebagaimana disebutkan di atas yang
menyangkut “kerugian” adalah : kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki
dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan, kerugian dari selisih kurs mata uang asing. Salah satu jenis kerugian
yang dapat dikurangkan sebagai biaya adalah kerugian karena penjualan harta yang dimiliki dan
digunakan dalam usaha. Kerugian yang diderita karena harta yang dipergunakan dalam usaha
menjadi rusak akibat bencana harus dibebankan melalui mekanisme yang diatur di dalam Pasal
11 ayat (8).
Pasal 11 ayat (8) mengatur dua hal, yaitu penarikan harta karena harta tersebut dijual atau
dialihkan dan penarikan harta karena sebab lain Dalam hubungannya dengan bencana alam,
maka penarikan harta karena sebab lain cocok untuk situasi tersebut. Jadi apabila harta tersebut
adalah harta yang dapat disusutkan, maka jumlah nilai sisa bukunya dibebankan sebagai
kerugian. Apabila harta dimaksud diasuransikan maka jumlah penggantian asuransinya
dibukukan sebagai penghasilan.
Bagaimana perlakuannya terhadap harta yang tidak dapat disusutkan atau harta yang tidak
dipakai dalam usaha? UU PPh secara umum memperlakukan semua jenis penghasilan sama
artinya UU ini tidak menganut pemajakan berdasarkan jenis penghasilan seperti misalnya
pengenaan pajak atas penghasilan dari usaha berbeda dengan capital gains. Atas dasar pemikiran
yang demikian maka kerugian karena kehilangan harta yang disebabkan oleh bencana alam
seharusnya juga dapat dibebankan sebagai biaya. Apabila dalam suatu bencana yang terjadi juga
memusnahkan barang persediaan, seharusnya wajib pajak dapat membebankannya sebagai
9
kerugian Masalahnya adalah menghitung besarnya kerugian yang diderita karena kehilangan
persediaan barang tersebut.
UU PPh mengatur tentang penilaian persediaan barang di Pasal 10 ayat (8). Penjelasan dari
pasal itu menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan persediaan barang meliputi tiga jenis
barang, yaitu barang jadi atau barang dagangan, barang dalam proses produksi, bahan baku dan
bahan pembantu. Ketentuan tersebut mengatur bahwa untuk keperluan penghitungan harga
pokok, metode yang diperbolehkan adalah dengan cara rata-rata atau dengan cara mendahulukan
persediaan yang didapat pertama.
Sejalan dengan ketentuan tersebut, untuk menghitung kerugian yang diderita karena
bencana cara yang sama juga sebaiknya diperbolehkan. Penerapan cara penilaian barang yang
sama terhadap kerugian karena rusaknya persediaan barang akan memberikan perlakuan yang
seimbang dan netral. Apabila ketentuan dalam UU PPh memungkinkan untuk memberi
kesempatan mengklaim kerugian, masalah yang perlu dipikirkan adalah menentukan dokumen-
dokumen yang harus disajikan sebagai bukti bahwa telah terjadi kerugian karena bencana.
Dokumen yang menunjuk kan bahwa wajib pajak benar-benar merugi karena terjadinya bencana,
diperlukan dalam beberapa hal, antara lain untuk: penyesuaian terhadap setoran PPh dalam tahun
berjalan (PPh Pasal 25); kompensasi kerugian yang terjadi pada saat terjadinya bencana; bukti
pada saat dilakukannya pemeriksaan pajak; dan penundaan pemasukan SPT Tahunan (bila
diperlukan).
10
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Undang-undang PPh hanya mengatur bahwa kerugian yang boleh dibebankan sebagai
biaya adalah:
1. kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam
perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan
(Pasal 6 ayat (1) huruf d).
2. kerugian dari selisih kurs mata uang asing (Pasal 6 ayat (1) huruf e).
3. piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih sepanjang memenuhi persyaratan tertentu
Pasal 6 ayat (1) huruf h
Ketentuan diatas belum mencakup hak wajib pajak untuk membebankan kerugian yang diderita
karena bencana alam oleh karena itu perlu dipertimbangkan untuk memperluas cakupan Pasal 6
sehingga mencakup kerugian yang diderita karena bencana dimaksud.
Pengertian-pengertian dan pemahaman mengenai pajak seperti diatas yang perlu terus
disosialisasikan kepada masyarakat lewat kampanye sadar pajak dalam berbagai bentuknya,
seperti seminar, diskusi, penataran, lokakarya, simulasi, dan bentuk aktifitas lainnya Dengan
upaya ini diharapkan tumbuhnya apresiasi positif masyarakat terhadap pajak yang pada akhirnya
sampai pada suatu keinsyafan bahwa sadar pajak merupakan kunci pembangunan.
11
DAFTAR PUSTAKA
12