Anda di halaman 1dari 23

Hukum Pajak

“ Sistem Pemungutan Pajak dan Ketetapan Pajak”

Dosen Pengampuh : Muhammad Maghfur Agung SH.,M.Kn.


Kelas : Hukum Ekonomi Syariah 3

Disusun Oleh:
Kelompok 5
1. Adinda Kustifani (1920104063)
2. Yurnamiarti (1920104073)
3. Shinta Ayu Wulan (1920104087)
4. Wahyu Agung D (1930104204)
5. Lekat Kaulan (1930104207)

Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang


Fakultas Syariah dan Hukum
Program Studi Hukum Ekonomi Syariah
Tahun 2022
1
DAFTAR ISI

Daftar Isi ..................................................................................................................................2


BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ..............................................................................................................3
B. Rumusan Masalah .........................................................................................................4
C. Tujuan Masalah .............................................................................................................4

BAB II PEMBAHASAN
A. Sistem Perpajakan……………………………………………………………………...5
B. Sistem Pemungutan Pajak………………………………………………………………6
C. Surat Ketetapan Pajak……………………………………………………………...…..14
D. Permohonan Pembetulan Surat Ketetapan pajak………………………………………17

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan ....................................................................................................................21

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................22

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pajak merupakan sumber utama penerimaan negara yang bertujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan cara meningkatkan pelayanan publik. Namun
permasalahan pajak di Indonesia terus berlangsung, padahal pajak merupakan kewajiban
masyarakat sebagai warga negara, tetapi masih banyak warga negara yang tidak membayar
pajak. Bahkan banyak wajib pajak tidak melakukan pembayaran pajak. Hal ini jelas
merugikan negara Masalah kepatuhan wajib pajak adalah masalah penting di seluruh dunia,
baik negara maju maupun negara berkembang. Karena jika wajib pajak tidak patuh maka akan
menimbulkan keinginan untuk melakukan tindakan penghindaran, pengelakan penyelundupan,
dan pelalaian pajak, yang pada akhirnya tindakan tersebut akan menyebabkan penerimaan
pajak negara akan berkurang. Self Assesment System adalah suatu sistem pemungutan pajak
yang memberi wewenang kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang
terutang.
Dalam melaksanakan pembangunan suatu negara memerlukan beberapa unsur
pendukung, salah satunya adalah tersedianya sumber penerimaan yang memadai dan dapat
diandalkan. Untuk membiayainya, sudah barang tentu (dalam zaman modern ini) dibutuhkan
uang. Untuk mendapatkan uang, selain dari mencetak sendiri atau meminjam, dalam zaman
modern ini banyak jalan yang ditempuh oleh pemerintah. Sumbersumberpenghasilan ini
umumnya terdiri dari: Perusahaan-perusahaan, barangbarangmilik pemerintah atau yang
dikuasai oleh pemerintah, denda-denda dan perampasan-perampasan untuk kepentingan
umum, hak-hak waris atas harta peninggalan terlantar, hibah-hibah wasiat dan hibah lainnya,
ketiga macam iuran yaitu: pajak, retribusi, dan sumbangan.Sumber penerimaan ini sangat
penting untuk menjalankan kegiatan dari masingmasingtingkat pemerintahan, karena tanpa
adanya penerimaan yang cukup maka program-program pemerintah tidak akan berjalan secara
maksimal. Salah satu sumber penghasilan negara yang sangat besar adalah dari pajak.Undang-
undang No. 16 Tahun 2009 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan memberikan
definisi: “Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau
badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang - undang, dengan tidak mendapatkan
imbalan secara langsung.
3
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 Tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan yaitu wajib pajak diberikan kepercayaan untuk menghitung dan
membayar sendiri pajak yang terutang sehingga dengan cara ini kejujuran dari wajib pajak
sangat diperlukan dalam rangka pemungutan pajak. Wajib pajak disini harus mendaftarkan
diri terlebih dahulu pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) untuk mendapatkan Nomor Pokok
Wajib Pajak (NPWP). Manfaat diterapkannya Sistem Self Assesment System ini disatu sisi
bernilai positif, yaitu mencerdaskan wajib pajak dalam menghitung, melaporkan dan
membayar pajak yang terutang secara sendiri pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Selain
menghitung dan membayar dan membayar sendiri wajib pajak juga harus melaporkan sendiri
jumlah pajak yang dibayarkannya, sehingga diharapkan wajib pajak memiliki rasa tanggung
jawab yang besar, karena sistem ini sangat membutuhkan partisisipasi yang besar, dari wajib
pajak diantaranya kesadaran, kejujuran serta tanggung jawab. Pelaksanaan pemungutan pajak
pada kenyataannya tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan, banyak kendala yang
dihadapi oleh fiskus yang pada akhirnya akan berdampak pada pemberian sanksi kepada wajib
pajak.
Berdasarkan Undang-Undang Pasal 13 Nomor 28 Tahun 2007 Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar (SKPKB) adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah
pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi
administrasi, dan jumlah yang masih harus dibayar oleh wajib pajak. Bagi wajib pajak orang
pribadi maupun badan yang memperoleh SKPKB dari pihak pajak, maka jumlah pajak yang
harus dibayarkan yaitu pajak kurang dibayar beserta tambahan sanksi administrasi atau denda
berupa bunga.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sistem dalam pemungutan pajak?
2. Bagaimana sistem ketetapan pajak didindonesia?

C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui bagaimana sistem pemungutan pajak.
2. Untuk mengetahui sistem ketetapan pajak

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sistem Perpajakan
Sistem perpajakan suatu negara terdiri dari 3 (tiga) unsur yakni tax law, tax policy, dan tax
administration. Ketiga unsur tersebut saling menunjang satu sama lain, tak bisa di pisahkan.
Ketiga unsur tersebut harus sama kuat dan sama stabil sehingga dapat menopang sistem
perpajakan. Apabila salah satu unsur lemah, maka sistem perpajakan tidak stabil dan akan
dapat mengarah pada keruntuhan. Ketiga unsur tersebut juga bergantung satu sama lain untuk
bergantung satu sama lain untuk mencapai suatu sistem perpajakan yang stabil. Sistem
perpajakan dapat diartikan sebagai suatu kumpulan atau satu kesatuan yang terdiri dari unsur
tax law, tax policy, dan tax administration, yang saling berhubungan satu sama lain, bekerja
sama secara harmonis untuk mencapai tujuan atau target perolehan penerimaan pajak bagi
negara secara optimal. Kualitas administrasi merupakan faktor yang sama pentingnya dengan
kualitas hukum pajak dan kualitas kebijakan perpajakan.
Pengertian hukum pajak menurut beberapa ahli adalah sebagai berikut:
 Rochmat Soemitro, mendefinisikan hukum pajak sebagai suatu kumpulan peraturan-
peraturan yang mengatur hubungan antara pemerintah sebagai pemungut pajak dan
rakyat sebagai pembayar pajak.
 R. Santoso Brotodihardjo, memberi pengertian tentang hukum pajak, yaitu keseluruhan
dari peraturan-peraturan yang meliputi wewenang pemerintah untuk mengambil
kekayaan seseorang dan menyerahkannya kembali kepada masyarakat dengan melalui
kas negara, sehingga ia merupakan bagian dari hukum publik, yang mengatur
hubungan hukum antara negara dan orang atau badan yang berkewajiban membayar
pajak, selanjutnya sering disebut wajib pajak.
Hukum pajak merupakan landasan kerja bagi pemerintah mempunyai peranan yang sangat
5
dominan dan penting, sebab inti hakikat hukum administrasi negara menurut Sjachran Basah
adalah dimungkinkan administrasi negara (pemerintah) untuk menjalankan fungsinya dan
melindungi warga (termasuk wajib pajak) terhadap sikap tindak administrasi negara (dalam arti
mengatur kehidupan warganya dalam mengeluarkan ketetapanketetapan yang menimbulkan
akibat hukum bagi objek yang diaturnya) serta melindungi pemerintah itu sendiri (Syofrin
Syofyan dalam Devano dan Rahayu, 2006: 93-94).
Kiranya dapat dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan pengertian hukum pajak adalah
keseluruhan peraturan yang mengatur hubungan hukum antara pemerintah sebagai pemungut
pajak dengan rakyat sebagai wajib pajak. Hukum pajak selalu mengalami perkembangan dan
tidak terlepas dari kepentingan negara dan kepentingan warga negara. Hukum pajak digunakan
selain sebagai dasar meningkatkan pemasukan pajak ke kas negara juga dapat menunjang
pembangunan nasional terutama dalam ha meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Kebijakan perpajakan dalam rangka menunjang penerimaan negara ditempuh dalam bentuk:
Perluasan dan peningkatan wajib pajak,
Perluasan objek pajak,
Penyempurnaan tarif pajak,
Penyempurnaan administrasi perpajakan.
Kebijakan perpajakan adalah bagian yang tidak dapat dilepaskan dari kebijakan ekonomi atau
kebijakan pendapatan negara (fiscal policy). Kebijakan perpajakan merupakan suatu cara atau
alat pemerintah di bidang perpajakan yang memiliki suatu sasaran tertentu atau untuk mencapai
suatu tujuan tertentu di bidang sosial dan ekonomi. Kebijakan perpajakan bisa menunjang
perkembangan ekonomi dan sosial suatu negara.

B. Sistem Pemungutan Pajak


Sistem pemungutan pajak merupakan cara untuk menentukan kewenangan dalam
menghitung jumlah pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak (UU No. 16 Tahun 2000).Sistem
ini akan sangat mempengaruhi status dan kedudukan wajib pajak dan fiscus. Jika fiscus
memiliki kewenangan yang sangat besar atau lebih besar dari wajib pajak, maka sudah dapat
dipastikan bahwa sistem pemungutan pajak tersebut tidak bersifat demokratis dan sebaliknya,
jika kewenangan wajib pajak lebih besar dari fiskusmaka sistem pemungutan pajak tersebut
bersifat demokratis (Adriani, 2002). Bentuk yang paling ideal antara kewenangan fiscus dengan
wajib pajak adalah seimbang, dimana wajib pajak dapat mengoreksi fiscus dan sebaliknya,
sehingga terjadi ceks and balanceantara wajib pajak dengan fiscus. Adapun sistem
pemungutan pajak yang sudah sering dipergunakan adalah officialasessment system, semi
6
self asessment system, full self asessment systemdanwith holding system. officialasessment
system, yaitu sistem pemungutan pajak dimana wewenang untuk menentukan besarnya
pajak yang harus dibayar seseorang (pajak yang terutang).
Sistem pemungutan pajak yang selama ini dikenal dan diterapkan dalam pemungutan
pajak sebagaimana yang telah melalui reformasi sistem perpajakan dan telah diundangkan
tersebut adalah sebagai berikut: a. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum Tata Cara Perpajakan (KUP); b. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan (PPh); c. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai
atas Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN dan PPnBM); d. Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB); e. Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai. Dengan diberlakukannya kelima Undang-Undang
tersebut, semua lapisan masyarakat tentunya diharapkan turut berpatisipasi dan dapat mengerti
akan kewajibannya untuk membayar pajak sesuai dengan sistem self assesment yang berlaku
sejak tahun 1983 berdasarkan reformasi perpajakan tersebut.
Stelsel Pemungutan Pajak di Indonesia Tata cara pemungutan pajak merupakan
cara yang ditempuh oleh fiscus (pemerintah) dalam memungut pajak sehingga pajak
dapat terpungut sebaik-baiknya untuk memenuhi kas negara dengan memperhatikan efisiensi,
efektifitas, kesederhanaan, keadilan dan kepastian hukum bagi wajib pajak 1. Efisiensi, artinya
pemungutan pajak dilakukan dengan seefisien mungkin untuk mengurangi jumlah
pengeluaran pemungutan pajak. Efektifitas, artinya pemungutan pajak dilakukan pada saat
yang tepat sesuai dengan kondisi wajib pajak, agar pemungutan pajak dapat berjalan secara
efektif. Kesederhanaan, artinya pembayaran pajak diusahakan tidak menjelimet atau tidak
berbelit-belit. Adil, artinya pajak dikenakan pada stiap orang yang memang saharusnya
membayar pajak sesuai dengan kewajibannya. Kepastian hukum, yaitu adanya kepastian
akan besarnya pajak, waktu pembayaran pajak, saknsi jika tidak membayar pajak dan
kepastian objek pajaknya. Hal ini merupakan langkah untuk mempermudah pemungutan pajak
dan mempermudah masyarakat atau wajib pajak untuk memenuhi kewajibannya dalam
membayar pajak. Agar sesuai dengan tujuan, maka pemerintah mesti melakukan pemungutan
pajak sesuai dengan stelsel pemungutan pajak. Secara teoritikada tiga stelsel pemungutan
pajak, yaitu : riil stelsel, fiktif stelsel dan setelsel campuran. Riil stelsel,yaitu pengenaan pajak
yang berdasarkan objek atau penghasilan yang sesungguhnya yang diperoleh oleh wajib pajak.
Suatu Undang-Undang pajak yang menggunakan stelsel riil artinya menggunakan cara
pengenaan pajak yang dikenakan terhadap objek pajak yang senyatanya berdasarkan data
1
Undamg-Undang No. 16 Tahun 2000
7
dan fakta yang ada pada surat pendaftaran objek pajak dalam tahun pajak. Kalau ternyata
data yang ada dalam surat pendaftaran objek pajak itu tidak benar (ada yang
menyembunyikan) maka jelas wajib pajak telah merugikan negara, karena besarnya
jumlah pajak yang terutang yang dikenakan secara senyatanya berdasarkan data yang ada
jauh lebih kecil dari jumlah yang semestinya. Untuk mencegah kejadian seperti data palsu
ini pada Undang-Undang pajak terdapat ketentuan tentang sanksi bagi yang memberikan data
tidak benar. Kelemahan dengan menggunakan perhitungan riil stelsel ini adalah : (1) pajak
hanya akan dapat dipungut setelah tehun pajak untukmendapatkan data yang senyatanya,
(2) penggunaan pajak untuk kepentingan negara menjadi terhambat, karena tahun pajak
biasanya berbeda dengan tahun anggaran, dan (3) implikasi dari keterlambatan pembatan tahun
pajak dibandingkan dengan tahu anggaran akan berimplikasi pada mundurnya
pembangunan. Keuntungan dari penggunaan riil stelsel ini adalah : (1) jumlah pajak yang
dibayar oleh wajib pajak sesuai dengan jumlah kewajiban yang senyatanya, (2) tidak
terjadi penghitungan pajak secara berulang kali, dan (3) tidak memberikan peluang
kepada fiscus dan wajib pajakdalam memanipulasi data jumlah pajak yang harus dibayar oleh
wajib pajak. Hal inilah yang menjadi dasar, kenapa di awal kemerdekaan bangsa
Indonesia menggunakan sistem riil stelsel. Fiktif stelsel,yaitu pemungutan pajak yang
didasarkan pada suatu anggapanatau asumsi. Apakah asusmsi ini tanpa dasar ? atau sesuai
dengan kemauan pemungut pajak? Tentu tidak! Anggapan ini didasarkan atas jumlah pajak
yang dibayar pada tahun sebelumnya oleh wajib pajak, sehingga diharapkan tidak terjadi
kekeliruan yang Dilihat dari stelsel yang digunakan pada Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI), di awal kemerdekaan menggunakan riil stelsel. Penggunaan riil
setelsel ini semata-mata ditujukan untuk mempermudah tata cara pemungutan pajak dan
mengurangi resiko selisih pembayaran pajak dengan pajak yang senyatanya harus dinayar oleh
wajib pajak atau mengurangi resiko terjadinya kerugian pada negara. Penggunaan riil stelsel
ini ternyata menyebabkan terjadinya keterlambatan pada proses pendapatan
negara/penganggaran dan pada akhirnya menyebabkan terhambatnya pembangunan.
Berdasarkan kelemahan pada sistem riil stelsel ini, maka pemerintah menggunakan
kombinasi stelsel yaitu penggabungan antara riil stelsel dengan fiktif stelsel. Penggunaan
combinasi stelsel ini diawali dengan fiktif stelsel terlebih dahulu dan diakhir
menggunakan riil stelsel, atau awalnya pajak yang harus dibayar wajib pajak
diperkirakan terlebih dahulu dengan berpedoman pada pendapatan tahun sebelumnya,
kemudian diakhir tahun dihitung berdasarkan pendapatan yang sesungguhnya
diperoleh oleh wajib pajak. Penggunaan combinasi stelsel ini dapat menyebabkan :
8
terjadinya kelebihan pembayaran pajak oleh wajib pajak, sehingga wajib pajak
memperoleh kembalian atas pajak yang telah dibayar, dan
terjadinya kekurangan pembayaran pajak, yang dapat menyebabkan wajib pajak harus
menambah pembayaran pajaknya.

Sistem pemungutan pajak dapat dibagi menjadi menjadi empat macam, yaitu :
1. official assessment system
suatu pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pemungut pajak untuk menentukan
besarnya pajak yang harus dibayar oleh seseorang. Dengan sistem ini wajib pajak bersifat pasif
dan menunggu dikeluarkannya suatu ketetapan pajak oleh fiskus. Besarnya utang pajak
seseorang baru diketahui setelah adanya surat ketetapan pajak.
2. withholding sistem
merupakan suatu system pemungutan pajak yang memberi wewenang pada pihak ketiga untuk
memotong atau memungut besarnya pajak yang terutang Pihak ketiga yang telah ditentukan
tersebut selanjutnya menyetor dan melaporkannya kepada fiskus. Pada sistem ini fiskus dan
wajib pajak tidak aktif, fiskus hanya bertugas mengawasi saja pelaksanaan pemotongan atau
pemungutan yang dilakukan oleh pihak ketiga.
3. Self Assesment Sistem
merupakan suatu sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang penuh kepada wajib
pajak untuk menghitung, memperhitungkan, menyetorkan, dan melaporkan sendiri besarnya
utang pajak. Dalam sistem ini wajib pajak yang aktif sedangkan fiskus tidak turut campur
dalam penentuan besarnya pajak yang terutang seseorang, kecuali wajib Pajak melanggar
ketentuan yang berlaku.

Dilihat dari asasnya untuk pajak dalam negeri menggunakan asas domisili atau asas tempat
tinggal. Dengan asas domisili ini setiap orang yang tinggal di wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia wajib hukumnya membayar pajak atas semua penghasilannya, baik yang
diperoleh di Indonesia maupun di luar negeri. Untuk pajak luar negeri Pemerintah Indonesia
menggunakan asas sumber atau lokasi. Penggunaan asas ini dapat meningkatkan pendapatan
negara dengan sumber perusahaan milik luar negeri yang ada di wilayah Indonesia.
Berdasarkan asas lokasi ini setiap perusahaan yang ada di Indonesia yang dimiliki oleh orang
asing wajib hukumnya untuk membayar pajak pada Pemerintah Indonesia. Sedangkan untuk
orang asing digunakan asas kebangsaan(UU No. 16 Tahun 2000). Sistem pemungutan pajak
merupakan aturan mengenai kewenangan dalam menghitung dan menentukan besarnya pajak
9
seseorang atau wajib pajak. Pada awal kemerdekaan sampai dengan tahun 1967 Pemerintah
Indonesia menggunakan officialasessment system. Penggunaan sistem ini merupakan warisan
pemerintahan kolonial Belanda. Dimana petugas pajak memegang kewenangan yang tinggi
atau absolut dalam menentukan besarnya pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak. Sistem ini
sangat merugikan bagi wajib pajak, bahkan penggunaan sistem ini dapat menyebabkan
kesewenang-wenangan pada pemungut pajak/fiscus. Pada masa ini fiscus merupakan raja
dalam lalu lintas perpajakan. Menyadari penggunaan official asessment system merugikan
kepentingan masyarakat/wajib pajak, maka di tahun 1968 sampai dengan tahun 1983
pemerintah menerapkan semi self asessment system. Penggunaan sistem ini dapat memberikan
keseimbangan kewenangan antara wajib pajak dengan fiscu sebagai pemungut pajak. Awalnya
wajib pajak diberikan formulir dan mengisi data sesuai dengan keadaan yang sesungguhnya,
kemudian fiscus megoreksi data yang telah diisi oleh wajib pajak. Namun dalam prakteknya
penggunaan sistem ini masih memberikan artikulasi dan penapsiran yang besar pada fiscus
dalam menentukan jumlah pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak. Berdasarkan pada
kelemahan yang ditunjukkan dalam penggunaan semi self asessment system, maka Pemerintah
menerapkan full self assessmen system dari tahun 1984 sampai sekarang. Penggunaan sistem
ini sudah sangat demokratis dan memberikan kepercayaan dan kemandirian pada wajib pajak
untuk menghitung pajaknya sendiri. Sedangkan fiscus bertugas sebagai konsultan yang
memberikan konsultasi dan penjelasan tentang masalah yang dialami wajib pajak untuk
mengisi formulir yang diberikan.

1. Self Assesment Sistem


Self assesment sistem dapat kita lihat dalam pasal 12 UU KUP yang pada ayat (1) menyatakan
bahwa setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya surat
ketetapan pajak. Kemudian pada ayat (2) disebutkan bahwa jumlah pajak yang terutang
menurut surat pemberitahuan (SPT) yang disampaikan oleh Wajib Pajak adalah jumlah pajak
yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Dan pada
ayat (3) apabila Direktur Jendral Pajak mendapatkan bukti jumlah pajak yang terutang menurut
SPT sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak benar, Direktur Jendral Pajak menetapkan
jumlah pajak yang terutang.2
Menurut Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton, sekalipun wajib pajak sudah melaksanakan
kewajibannya sesuai dengan sistem self assesment, bukan berarti wajib pajak tidak
2
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007
10
dimungkinkan lagi untuk dilakukan pemeriksaan. Artinya, pemerintah cq. Direktorat Jendral
Pajak dapat melakukan tindakan pemeriksaan pajak terhadap wajib pajak apabila diketahui
wajib pajak tidak benar dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Ketidak benaran
pemenuhan kewajiban perpajakan tentunya diketahui berdasarkan data yang diperoleh
Direktorat Jendral Pajak dari pihak ketiga3. Selanjutnya, dalam penjelasan pasal 35A UU KUP
ditegaskan bahwa dalam rangka pengawasan kepatuhan pelaksanaan kewajiban perpajakan
sebagai konsekuensi penerapan self assesment sistem, data dan informasi yang berkaitan
dengan perpajakan yang bersumber dari instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain
sangat diperlukan oleh Direktorat Jendral Pajak. Data dan informasi tersebut adalah data yang
menggambarkan kegiatan atau usaha, peredaran usaha, penghasilan, dan kekayaan seseorang
atau badan usaha.
Dalam pelaksanaan sistem self assesment ini tentunya memiliki banyak persoalan. Banyaknya
perbuatan wajib pajak yang melanggar aturan yang berlaku dibidang perpajakan, pelanggaran
ini biasanya berupa penggelapan, penipuan,
pemalsuan dan sebagainya. Di dalam undang-undang perpajakan nomor 16 tahun 2000 tentang
perubahan kedua atas undang-undang nomor 6 tahun 1983 tentang ketentuan umum dan tata
cara perpajakan, diatur beberapa pasal yang menjelaskan hal yang berkaitan dengan terjadinya
dan sanksi-sanksi atas kejahatan/pidana perpajakan, yakni dalam pasal 38 sampai dengan pasal
424, yang oleh Adrian Sutedi mengungkapkan beberapa kejahatan/tindak pidana perpajakan
yang mungkin saja terjadi dikarenakan :
a. Adanya unsur kealpaan (yaitu ketidaksengajaan, kelalaian, ketidakhati-hatian,
kurang mengindahkan kewajibannya dalam perpajakan), ini sifatnya masih
pelanggaran perpajakan5;
Adapun unsur kealpaan dalam perpajakan terjadi dalam hal berikut :
 Tidak menyampaikan surat pemberitahuan (SPT) ke Direktorat Jendral Pajak.
 Menyampaikan SPT, tetapi isinya tidak benar/tidak lengkap/melampirkan keterangan
yang isinya tidak benar atas kealpaan yang menimbulkan kerugian negara, pelakunya
dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun, dan atau denda paling
tinggi 2 kali jumlah pajak terutang.

b. Adanya unsur kesengajaan (dengan sengaja melakukan pelanggaran atas ketentuan

3
Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton, Hukum Pajak Teori, Analisis, dan Perkembangannya,
Salemba Empat, Jakarta, 2013, Hal. 38
4
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2000
5
Adrian Sutedi, Hukum Pajak, Sinar Grafika, Jakarta, 2016, Hal. 280
11
perundang-undangan perpajakan), hal ini sifatnya sudah kejahatan/
pidana perpajakan. Tidak mendaftarkan diri sebagai WP/PKP atau menyalahgunakan /
menggunakan tanpa hak NPWP/ Pengukuhan PKP.
2) Tidak menyampaikan SPT.
3) Menyampaikan SPT/keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap.
4) Menolak untuk dilakukan pemeriksaan.
5) Memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang
palsu/dipalsukan seolah-olah benar.
6) Tidak menyelenggarakan pembukuan/pencatatan, tidak memperlihatkan
atau tidak meminjamkan buku, catatan, dokumen ainnya.
7) Tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong/dipungut.
Atas unsur kesengajaan diatas yang menimbulkan kerugian negara, pelakunya dapat
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 tahun, dan atau denda paling tinggi 4 kali
jumlah pajak terutang.

2. Official Assessment System

Official Assessment System merupakan sistem pemungutan pajak yang membebankan


wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang pada fiskus atau aparat perpajakan
sebagai pemungut pajak. Dalam sistem pemungutan pajak Official Assessment, wajib pajak
bersifat pasif dan pajak terutang baru ada setelah dikeluarkannya surat ketetapan pajak oleh
fiskus.
Sistem pemungutan pajak ini bisa diterapkan dalam pelunasan Pajak Bumi Bangunan (PBB)
atau jenis pajak daerah lainnya. Dalam pembayaran PBB, KPP merupakan pihak yang
mengeluarkan surat ketetapan pajak berisi besaran PBB terutang setiap tahunnya. Jadi, wajib
pajak tidak perlu lagi menghitung pajak terutang melainkan cukup membayar PBB berdasarkan
Surat Pembayaran Pajak Terutang (SPPT) yang dikeluarkan oleh KPP tempat objek pajak
terdaftar.

Ciri-ciri sistem perpajakan Official Assessment:

 Besarnya pajak terutang dihitung oleh petugas pajak.


 Wajib pajak sifatnya pasif dalam perhitungan pajak mereka.
 Pajak terutang ada setelah petugas pajak menghitung pajak yang terutang dan
12
menerbitkan surat ketetapan pajak.
 Pemerintah memiliki hak penuh dalam menentukan besarnya pajak yang wajib
dibayarkan.

3. Withholding System

Pada Withholding System, besarnya pajak dihitung oleh pihak ketiga yang bukan wajib pajak
dan bukan wajib aparat/fiscus Contoh Witholding System adalah pemotongan penghasilan
karyawan yang dilakukan oleh bendahara instansi terkait. Jadi, karyawan tidak perlu lagi pergi
ke KPP untuk membayarkan pajak tersebut.
Jenis pajak yang menggunakan withholding system di Indonesia adalah PPh Pasal 21, PPh
Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Final Pasal 4 ayat (2) dan PPN. ebagai bukti atas pelunasan pajak
dengan menggunakan sistem pemungutan pajak ini biasanya berupa bukti potong atau bukti
pungut. Dalam beberapa kasus tertentu, bisa juga menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP).
Bukti potongan tersebut nantinya akan dilampirkan bersama SPT Tahunan PPh/SPT Masa PPN
dari wajib pajak yang bersangkutan.

Syarat pemungutan pajak Agar pemungutan pajak tidak menimbulkan hambatan atau
perlawanan, maka pemungutan pajak harus memenuhi syarat pemungutan pajak, antara lain :
a. Syarat keadilan. Pemungutan pajak harus adil sesuai dengan tujuan hukum yakni mencapai
keadilan berdasarkan undang-undang dan peraturan lain dalam mengenakan pajak secara
umum dan merta, serta disesuaikan dengan emampuan masing-masing. Sedangkan adil dalam
pelaksanannya yakni dengan memberikan hak bagi Wajib Pajak untuk mengajukan keberatan
ke Kepala Kantor Pelayanan Pajak setempat, dan mengajukan banding ke Pengadilan Pajak.
b. Syarat yuridis. Pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang.
c. Syarat ekonomis. Pemungutan pajak tidak boleh menganggu kelancaran kegiatan
perekonomian, baik produk maupun perdagangan, sehingga tidak menimbulkan kelesuan
perekonomian masyarakat.
d. Syarat finansial. Pemungutan pajak harus efisien sesuai fungsi budgetair. Biaya pemungutan
pajak harus dapat ditekan sehingga lebih rendah dari hasil pemungutanya.
e. Sistem pemungutan pajak harus sederhana. Sistem pemungutan pajak yang sederhana akan
memudahkan dan mendorong masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakan6.
6
Mardiasmo, Perpajakan Edisi Revisi, Yogyakarta: CV Andy Offset,2008, hal 2
13
a. Asas dan pemungutan pajak
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka pemungutan pajak didasarkan pada:7
Asas keadilan. Dalam mencari keadilan, salah satu jalan yang harus ditempuh ialah
mengusahakan agar supaya pemungutan pajak diselenggarakan secara umum dan
merata.Berkaitan dengan pemungutan pajak, Smith (1723-1790) dalam Santoso menguraikan
asas pemungutan pajak yang lebih dikenal dengan The Four Maxims, dengan uraian sebagai
berikut8:
1) Pembagian tekanan pajak di antara Subjek Pajak masingmasing hendaknya dilakukan
seimbang dengan kemampuannya, yaitu seimbang dengan penghasilan yang dinikmatinya
masing-masing, di bawah perlindungan pemerintah (asas pembagian/asas kepentingan). Dalam
asas “equality” ini tidak diperbolehkan suatu negara mengadakan diskriminasi di antara sesama
wajib pajak, dalam keadaan yang sama, para Wajib Pajak harus dikenakan pajak yang sama
pula;
2) Pajak yang harus dibayar oleh seseorang harus terang (certain) dan tidak mengenal
kompromis (not arbitrary). Dalam asas “certainty” ini, kepastian hukum yang dipentingkan
adalah yang mengenai subjek, objek, besarnya pajak, dan juga ketentuan mengenai waktu
pembayarannya;
3) “Every tax ought to be levied at the time, or in the manner, in which it is most likely to be
convenient for the contributor to pay it”. Teknik pemungutan pajak yang dianjurkan ini (yang
juga disebut “convenience of payment”) menetapkan bahwa pajak hendaknya dipungut pada
saat yang paling baik bagi para Wajib Pajak, yaitu saat sedekat-dekatnya dengan detik
diterimanya penghasilan yang bersangkutan;
4) Every tax ought to be so contrived as both to take out and to keep out of the pockets of the
people as little as possible over and above what it brings into to public treasury of the State”.
Asas efisiensi ini menetapkan bahwa pemungutan pajak hendaknya dilakukan sehemat-
hematnya; jangan sekali-kali biaya pemungutan melebihi pemasukan pajaknya.

C. Surat ketetapan pajak dan fungsinya

7
R. Santoso Brotodiharjo, Op.Cit., hal 26-27
8
Ibid, hal. 27-28
14
Sebagai wajib pajak, Anda harus memenuhi berbagai kewajiban yang perlu dilakukan
dalam aspek perpajakan. Ketika ada kekeliruan dalam pengisian SPT (Surat Pemberitahuan
Tahunan) atau ditemukannya data pajak yang tidak dilaporkan, maka Ditjen Pajak akan
mengeluarkan surat ketetapan pajak (SKP) untuk Anda. Apa yang dimaksud dengan surat
tersebut?
Berdasarkan Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana perubahan ketiga Undang-Undang No. 28 Tahun 2007, Pasal 1 nomor
15 Surat ketetapan pajak adalah surat ketetapan yang meliputi Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), Surat Ketetapan
Pajak Nihil (SKPN), atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB). Lalu berdasarkan
keputusan Ditjen Pajak, pihak yang berkuasa mengeluarkan surat tersebut adalah Kantor Pajak
Pratama (KPP) dan dikeluarkan berdasarkan hasil pemeriksaan pajak.
Secara garis besar, SKP berfungsi sebagai sarana untuk menagih kekurangan pajak,
mengembalikan jika ada kelebihan bayar pajak, memberitahukan jumlah pajak terutang,
mengenakan sanksi administrasi perpajakan, serta menagih pajak. Fungsi SKP ini terbagi
sesuai jenisnya yang akan dibahas pada poin selanjutnya.

Jenis-Jenis Surat Ketetapan Pajak


Berikut ini detail penjelasan untuk masing-masing Surat Ketetapan Pajak.
1. Surat Tagihan Pajak (STP)
Surat Tagihan Pajak adalah surat untuk menagih pajak dan/atau sanksi administrasi berupa
bunga dan/atau denda. Berdasarkan Undang-Undang RI No. 16 Tahun 2000, surat tagihan
pajak ini akan diterbitkan jika:
Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar.
Terdapat kekurangan pembayaran pajak akibat salah tulis atau salah hitung.
Terkena sanksi administrasi berupa denda dan/atau bunga.
Pengusaha yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984
dan perubahannya namun tidak melaporkan kegiatan usahanya untuk dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak.
Pengusaha yang tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak namun membuat faktur
pajak.
Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tidak membuat faktur pajak,
atau membuat faktur pajak namun tidak tepat waktu, atau tidak mengisinya secara lengkap.
15
Jika wajib pajak mendapat surat tagihan karena alasan 1 dan 2, jumlah kekurangan pajak
terutang yang tercantum dalam surat tersebut ditambah dengan bunga sebesar 2% sebulan
untuk maksimal 24 bulan. Waktu tersebut terhitung sejak terutangnya pajak, atau bagian tahun
pajak, atau tahun pajak sampai terbitnya surat tagihan pajak. Jika penerima surat tagihan pajak
merupakan pengusaha (seperti yang disebutkan pada poin 4, 5, 6) akan dikenakan denda
sebesar 2% dari dasar pengenaan pajak.

2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)


Dalam Undang-Undang RI Nomor 16 Tahun 2009, SKPKB adalah surat yang menentukan
besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok
pajak, besarnya sanksi administrasi, serta jumlah pajak yang masih harus dibayar. Jenis surat
ketetapan pajak ini diterbitkan dalam jangka waktu 5 tahun setelah saat terutangnya pajak atau
berakhirnya masa pajak.
Secara garis besar, terbitnya SKPKB ini karena wajib pajak kurang atau tidak membayar pajak
terutang, telat menyampaikan SPT Masa dari waktu yang telah ditentukan, adanya salah hitung
terkait Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM)
yang dikenai tarif 0%, tidak diketahuinya besar pajak terutang.

3. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB)


SKPLB adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak
karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau tidak seharusnya
terutang. Secara sederhana, SKPLB diterbitkan karena wajib pajak lebih membayar pajak
terutang dari yang seharusnya.
SKPLB akan diterbitkan jika ada permohonan tertulis dari wajib pajak dengan ketentuan:
Jumlah kredit pajak pada Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM), lebih besar dari jumlah pajak yang terutang, atau
sudah dilakukan pembayaran pajak yang tidak seharusnya terutang. Penerbitan surat ini
dilakukan setelah dilakukannya pemeriksaan atas permohonan, paling lambat 12 bulan
terhitung sejak surat permohonan diterima atau sesuai dengan keputusan Ditjen Pajak. Jika
terlambat diterbitkan, wajib pajak berhak menerima imbalan bunga 2% sebulan terhitung sejak
berakhirnya jangka waktu yang ditentukan.

4. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN)


16
SKPN adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya
dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak. SKPN
diterbitkan setelah Ditjen Pajak melakukan pemeriksaan Surat Pemberitahuan.

Berdasarkan Undang-Undang nomor 28 tahun 2007, SKPN diterbitkan untuk:


Pajak Penghasilan jika jumlah kredit pajak sama dengan pajak yang terutang atau pajak yang
tidak terutang dan tidak ada kredit pajak;
Pajak Pertambahan Nilai jika jumlah kredit pajak sama dengan jumlah pajak yang terutang atau
pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak. Jika terdapat pajak yang dipungut oleh
Pemungut Pajak Pertambahan Nilai, jumlah pajak yang terutang dihitung dengan cara jumlah
Pajak Keluaran dikurangi dengan pajak yang dipungut oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai
tersebut;
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah apabila jumlah pajak yang dibayar sama dengan jumlah
pajak yang terutang atau pajak tidak terutang dan tidak ada pembayaran pajak.

5. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)


SKPKBT adalah surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang
telah ditetapkan. Menurut Pasal 15 ayat 1 dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6
Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana perubahan
ketiga Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007, menyatakan bahwa Direktur Jenderal Pajak
dapat menerbitkan SKPKBT dalam jangka waktu 5 tahun setelah saat terutangnya pajak atau
berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak apabila ditemukan data baru
yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelah dilakukan tindakan
pemeriksaan dalam rangka penerbitan SKPKBT.
Dalam pengertian sederhana, SKPKBT merupakan koreksi atas SKP yang diterbitkan
sebelumnya. Ketika wajib pajak telah melaporkan dan membayar pajak terutang sesuai dengan
nominal yang tercantum dalam SKP, petugas pajak akan melakukan pemeriksaan kembali pada
data baru tersebut. Jika masih ditemukan adanya pajak terutang yang kurang atau tidak dibayar
oleh wajib pajak, Ditjen Pajak akan menerbitkan SKPKBT.
SKPKBT diterbitkan dalam jangka waktu 5 tahun, dengan jumlah pajak terutang yang harus
dibayar ditambah 100% sebagai sanksi administrasi. Jika sudah melewati jangka waktu tersebut
dan wajib pajak belum membayar kekurangan pajak, akan ada tambahan sanksi sebesar 48%
dari jumlah pajak terutang yang harus dibayar.

17
D. Permohonan Pembetulan Surat Ketetapan Pajak (SKP)
Sesuai dengan UU No. 6 tahun 1983 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan,
yang kemudian diubah pada UU nomor 16 tahun 2009, disebutkan bahwa WP dapat
mengajukan permohonan pembetulan SKP jika terdapat kesalahan.

Akan tetapi, jenis kesalahan yang dimaksud pun dibatasi hanya pada kondisi berikut:

 Salah tulis pada nama, alamat, nomor pokok wajib pajak, nomor surat ketetapan pajak,
jenis pajak, masa pajak atau tahun pajak, dan tanggal jatuh tempo
 Salah hitung yang berasal dari penjumlahan atau pengurangan atau perkalian atau
pembagian suatu bilangan
 Salah penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan

Salah penerapan ketentuan tertentu dalam persaturan perundang-undangan perpajakan


contohnya:

 Kekeliruan dalam penerapan tarif


 Kekeliruan penerapan persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN)
 salah dalam penerapan sanksi administrasi
 salah dalam perhitungan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
 salah penghitungan dalam Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan
 Salah saat pengkreditan pajak

Itulah penjelasan tentang Surat Ketetapan Pajak dalam pemeriksaan pajak yang perlu
diketahui dan dipahami.

a. Kualitas Penetapan Pajak


Dalam sistem self assessment Wajib Pajak diwajibkan untuk menghitung,
memperhitungkan, membayar, dan melaporkan pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan
yang berlaku, sehingga penentuan besarnya pajak yang terutang dipercayakan pada Wajib
Pajak sendiri melalui Surat Pemberitahuan yang disampaikan. Penerbitan Surat Ketetapan
Pajak hanya terbatas kepada Wajib Pajak karena ketidakbenaran dalam pengisian Surat
Pemberitahuan atau karena ditemukan data yang tidak dilaporkan. Soemitro (1998:17)
18
mendefinisikan Surat Ketetapan Pajak ialah suatu ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh
pejabat yang berwenang (pejabat pajak) yang menimbulkan hak dan kewajiban yang memuat
besarnya utang pajak jenis tertentu dari tahun tertentu yang terutang oleh Wajib Pajak yang
nama dan alamatnya tercantum pada Surat Ketetapan Pajak itu. Surat ketetapan tersebut
dihasilkan dari proses pemeriksaan (pajak) yang dilaksanakan oleh petugas fungsional
pemeriksa pajak maupun penyidik pajak atau hasil penelitian dari petugas pengawasan dan
konsultasi pajak. DJP dapat menerbitkan SKP dan atau STP untuk Masa Pajak, Bagian Tahun
Pajak, atau Tahun Pajak sebelum Wajib Pajak diberikan atau diterbitkan Nomor Pokok Wajib
Pajak dan/atau informasi yang menunjukkan adanya kewajiban perpajakan yang belum
dipenuhi Wajib Pajak (Pasal 14 PP 80 Tahun 2007). DJP juga dapat menerbitkan surat
ketetapan pajak dan atau STP untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak
sebelum dan/atau setelah penghapusan NPWP atau pencabutan Pengukuhan PKP, apabila
setelah penghapusan NPWP WP atau pencabutan Pengukuhan PKP, diperoleh data dan/atau
informasi yang menunjukkan adanya kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi WP.
Pencairan tunggakan pajak diukur dari pembayaran utang pajak yang dilakukan oleh
wajib pajak setelah tanggal jatuh tempo pembayaran atau setelah melewati jangka waktu tiga
puluh hari sejak tanggal surat ketetapan pajak diterbitkan.SKP merupakan suatu keputusan
dari administrasi dimana ditetapkan hubungan antara pihak administrasi dan Wajib Pajak.
Hubungan ini menimbulkan hak dan kewajiban, dari Wajib Pajak untuk membayar pajak, dan
dari fiskus memperoleh hak untuk menagihnya. Menurut Brotodihardjo (2003:71) mengutip
pendapat Soemitro, apabila kemudian salah satu pihak menyatakan bahwa ketetapan itu salah,
maka timbul suatu perselisihan yang dapat terjadi karena berbagai sebab, yaitu :
a. Sudah nyata dan jelas (jadi tidak lagi disangkal oleh pihak manapun) :
 Kesalahan tulis/hitung, baik yang merugikan maupun yang menguntungkan Wajib
Pajak.
 Kekhilafan dalam peristiwa (umpamanya rumah di gang sempit ditulis di Menteng pada
jalan Diponegoro)
 Terjadinya perubahan mengenai subjek/objek pajaknya.
Hal ini dapat menimbulkan ketetapan administrasi yang murni.

b. Belum jelas (jadi masih menjadi sengketa) :


 Karena fiskus menyimpang dari surat pemberitahuan.
 Karena Wajib Pajak menyembunyikan objek pajak, setelah diketahui oleh
administrasi,
19
kemudian mengakibatkan tagihan susulan.

Hal ini dapat/perlu dihadapkan di depan Hakim Doleansi.


Produk hukum yang dihasilkan dari dilakukannya pemeriksaan pajak adalah
diterbitkannya ketetapan pajak yang dapat berupa Surat Ketetapan Pajak (SKP) atau Surat
Tagihan Pajak (STP), kecuali apabila pemeriksaan tersebut dilanjutkan dengan tindakan
penyidikan pajak. (Gunadi, 2004:45) Surat Ketetapan Pajak (SKP) adalah surat ketetapan
yang meliputi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) atau Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) atau
Surat Ketetapan Nihil (SKPN).
surat ketetapan pajak mempunyai berbagai fungsi yaitu :
1. Koreksi atas jumlah pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan Wajib Pajak.
2. Sarana untuk mengenakan sanksi.
3. Sarana untuk menagih pajak.
4. Sarana untuk mengembalikan kelebihan pajak dalam hal terjadi kelebihan
pembayaran pajak.
5. Sarana untuk memberitahukan jumlah pajak yang terutang.

b. Penerapan Penerbitan Surat Ketetapan Pajak terhadap Kepatuhan Wajib Pajak.


Penerapan Surat Ketetapan Pajak diharapkan dapat membantu meningkatkan kepatuhan Wajib
Pajak. Penerbitan Surat Ketetapan Pajak mempunyai pengaruh terhadap hasil persentase
tingkat kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi dalam pembayaran PPh 21.
setiap tahunnya kepatuhan wajib pajak meningkat pada tahun 2016 wajib pajak wajib SPT
daftar 58.387 namun yang terealisasi hanya 34.317 dengan persentase kepatuhannya 58,7%
saja sedangkan pada tahun 2017 wajib pajak wajib SPT daftar 59.610 namun yang terealisasi
hanya 33.005 dengan persentase kepatuhannya 55.3% mengalami penurunan karena belum
banyak wajib pajak yang mengetahui. Tentang pelaporan SPT secara online, namun pada
tahun 2018
meskipun wajib pajak wajib SPT menurun sebesar 48.159 orang tetapi realisasi pelaporan
SPTnya hampir mencapi target dengan sebesar 30.342 dengan persentase kepatuhan 63% dan
pencairan SKP setiap tahunnya terus meningkat. Pada tahun 2016 jumlah SKP yang
diterbitkan sebanyak 821 dengan nominal sebesar Rp.24.693.524.703 tetapi SKP yang dapat
dicairkan sebesar Rp.7.158.706.876 sedangkan pada tahun 2017 jumlah SKP yang diterbitkan
meningkat sebanyak 1197 dengan nominal sebesar Rp.18.363.274.593 saja tetapi SKP yang
20
dapat dicairkan sebesar Rp. 11.008.076.228, namun pada tahun 2018 jumlah SKP yang
diterbitkan
sebanyak 3363 dengan nominal sebesar Rp.53.651.232.737 tetapi SKP yang dapat dicairkan
sebesar Rp.18.486.065.337. Ini menunjukkan bahwa Penerapan Surat Ketetapan Pajak
berpengaruh terhadap tingkat kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi.

21
BAB III
KESIMPULAN

A. Kesimpulan
Sistem pemungutan pajak merupakan cara untuk menentukan kewenangan dalam menghitung
jumlah pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak (UU No. 16 Tahun 2000).Sistem ini akan sangat
mempengaruhi status dan kedudukan wajib pajak dan fiscus. Jika fiscus memiliki kewenangan yang
sangat besar atau lebih besar dari wajib pajak, maka sudah dapat dipastikan bahwa sistem pemungutan
pajak tersebut tidak bersifat demokratis dan sebaliknya, jika kewenangan wajib pajak lebih besar dari
fiskusmaka sistem pemungutan pajak tersebut bersifat demokratis (Adriani, 2002). Bentuk yang paling
ideal antara kewenangan fiscus dengan wajib pajak adalah seimbang, dimana wajib pajak dapat
mengoreksi fiscus dan sebaliknya, sehingga terjadi ceks and balanceantara wajib pajak dengan
fiscus. Adapun sistem pemungutan pajak yang sudah sering dipergunakan adalah
officialasessment system, semi self asessment system, full self asessment systemdanwith holding
system. officialasessment system, yaitu sistem pemungutan pajak dimana wewenang untuk
menentukan besarnya pajak yang harus dibayar seseorang (pajak yang terutang).
Surat Ketetapan Pajak ialah suatu ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh pejabat yang
berwenang (pejabat pajak) yang menimbulkan hak dan kewajiban yang memuat besarnya utang
pajak jenis tertentu dari tahun tertentu yang terutang oleh Wajib Pajak yang nama dan
alamatnya tercantum pada Surat Ketetapan Pajak itu. Surat ketetapan tersebut dihasilkan dari
proses pemeriksaan (pajak) yang dilaksanakan oleh petugas fungsional pemeriksa pajak
maupun penyidik pajak atau hasil penelitian dari petugas pengawasan dan konsultasi pajak.
DJP dapat menerbitkan SKP dan atau STP untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun
Pajak sebelum Wajib Pajak diberikan atau diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau
informasi yang menunjukkan adanya kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi Wajib Pajak
(Pasal 14 PP 80 Tahun 2007). DJP juga dapat menerbitkan surat ketetapan pajak dan atau STP
untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sebelum dan/atau setelah
penghapusan NPWP atau pencabutan Pengukuhan PKP, apabila setelah penghapusan NPWP
WP atau pencabutan Pengukuhan PKP, diperoleh data dan/atau informasi yang menunjukkan
adanya kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi WP.

22
DAFTAR PUSTAKA

Anisah, I., Amin, M., & Junaidi, J. (2022). PENGARUH SISTEM PEMUNGUTAN PAJAK,
PEMERIKSAAN PAJAK, DAN PENAGIHAN PAJAK TERHADAP TINGKAT
PENERIMAAN PAJAK. Jurnal Ilmiah Riset Akuntansi, 11(01).
Hidayat, R., & Cheisviyanny, C. (2013). Pengaruh Kualitas Penetapan Pajak dan Tindakan
Penagihan Aktif terhadap Pencairan Tunggakan Pajak. Wahana Riset Akuntansi, 1(1),
1-20.
Rachmawati, A. R., & Sariono, J. N. (2011). Upaya Hukum Wajib Pajak Atas Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar Yang Ditetapkan Oleh Fiskus Dalam Pemenuhan Hak Wajib
Pajak. Perspektif, 16(4), 196-213.
Rustam, A., Fadhilatunisa, D., & Nurfasilah, N. (2020). PENERAPAN SURAT KETETAPAN
PAJAK TERHADAP KEPATUHAN WAJIB PAJAK DALAM UPAYA
MENINGKATKAN PENERIMAAN PPH ORANG PRIBADI. Amnesty: Jurnal Riset
Perpajakan, 3(1), 47-55
Suastika, I. N. (2021). Tata Cara Pemungutan Pajak dalam Perpektif Hukum Pajak. Jurnal
Komunikasi Hukum (JKH), 7(1), 326-335.
Tansuria, B. I. (2012). Sistem Pemungutan Pajak di Indonesia dan Pajak Penghasilan Yang
Bersifat Final. JBE (Journal of Business and Economics), 106-120.
Yulianti, F. (2021). Sistem Pemungutan Pajak.

23

Anda mungkin juga menyukai