Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

BANDING DIAJUKAN DENGAN SURAT BANDING DALAM BAHASA


INDONESIA KEPADA PENGADILAN PAJAK

MATA KULIAH :
DOSEN :

DI SUSUN KELOMPOK V

HERRY NPM
GUSTI RAIHAN NPM

KELAS KHUSUS BANJARMASIN


FAKULTAS...............
JURUSAN .....................
UNIVERSITAS ISLAM KALIMANTAN (UNISKA)
MUHAMMAD ARSYAD AL BANJARY
BANJARMASIN TAHUN 2023
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ......................................................................................................................... ii

KATA PENGANTAR .......................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................... 1

1.1. Latar Belakang ......................................................................................................... 1

1.2. Rumusan Masalah.................................................................................................... 2

1.3. Tujuan Dan Kegunaan Penulisan ............................................................................ 2

1.4. Metodelogi Penulisan .............................................................................................. 3

1.5. Kajian Pustaka ......................................................................................................... 3

BAB II PEMBAHASAN ...................................................................................................... 11

2.1 Analisa Masalah Bagaimana Dasar Hukum Banding.............................................. 11

2.2 Analisa Masalah Tata Cara Penolakan Dan Penerimaan Banding ............................. 14

BAB III PENUTUP .............................................................................................................. 16

3.1 Kesimpulan .............................................................................................................. 16

3.2 Saran ....................................................................................................................... 16

Daftar Pustaka.......................................................................................................... 17

iii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Yang Maha Kuasa yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayahnya kepada kita semua, shalawat dan salam semoga selalu
tercurah keharibaan Nabi Muhammad SAW beserta para sahabat, kerabat dan para
pengikutnya yang setia menjalankan sunnah Beliau hingga akhir zaman.
Penulisan makalah ini dimaksudkan dalam rangka memenuhi tugas pada
mata kuliah ......................
Dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari bahwa makalah ini jauh
dari kesempurnaan yang disebabkan keterbatasan pengetahuan dan literatur yang
saya miliki, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat saya
harapkan.
Penulis ingin menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya serta
terima kasih yang mendalam kepada ............................, selaku dosen pengajar.
Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih semoga makalah ini
bermanfaat bagi kita semua, Aamiinnn.

..............Oktober 2023
Pembuat Makalah,

Kelompok V

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pajak merupakan sebuah penerimaan yang cukup besar di berbagai
Negara. Begitu juga halnya di Indonesia yang salah satu unsur penerimaan
terbesarnya berasal dari pajak. Pelaksanaan perpajakan di Indonesia sangat
diatur oleh pemerintah untuk mempertahankan penermiaan Negara. Pengertian
pajak sendiri diatur dalam Undang-Uundang Republik Indonesia Nomor 28
Tahun 2007 pasal 1, yaitu kontribusi wajib kepada setiap Negara, yang
terhutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan
dengan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung
dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesarbesarnya kemakmuran
rakyat. Tanpa adanya pajak pembangunan Nasional akan terhambat.
Pajak yang dipungut oleh pemerintah digunakan untuk menjaga
kelangsungan hidup negara dan sumber pembiayaan belanja-belanja yang
dikeluarkan oleh pemerintah guna menjalankan roda pemerintahan. Oleh
sebab itu, pemerintah dengan berbagai cara melakukan sosialisasi agar
masyarakat menyadari bahwa pajak itu untuk kepentingan bersama. Akan
tetapi penerimaan pajak di Indonesia berbanding terbalik dengan harapan
pemerintah, penerimaan pajak bukan semakin meningkat tetapi selalu tidak
bisa mencapai target, tidak tercapainya target pajak tersebut belum tentu
disebabkan oleh faktor kinerja pegawai pajak yang buruk ataupun faktor
kurangnya tenaga kerja pegawai pajak, tetapi dapat juga disebabkan oleh
sebagian besar kalangan warga Indonesia masih beranggapan bahwa pajak
sebagai suatu beban sehingga tidak jarang menimbulkan sebuah kasus banding
pajak.
Dalam upaya hukum itu terdapat upaya hukum biasa dan luar biasa.
Salah satu upaya hukum yang biasa adalah banding. Oleh karena itu, dibuka
kemungkinan bagi orang yang dikalahkan untuk mengajukan permohonan
banding kepada pengadilan tinggi. Dengan diajukan permohonan banding

1
perkara menjadi mentah lagi. Putusan pengadilan negeri, kecuali apabila
dijatuhkan dengan ketentuan dapat dilaksanakan terlebih dahulu atau putusan
provisionil, tidak dapat dilaksanakan. Berkas perkara yang bersangkutan,
beserta salinan resmi putusan tersebut serta surat-surat yang lainya, akan
dikirim kepada Pengadilan Tinggi untuk diperiksa dan diputus lagi.
Banding merupakan salah satu upaya hukum yang dapat diajukan jika
putusan pengadilan dirasa kurang memuaskan, sebagai seorang mahasiswa
ilmu hukum tentulah kata “Banding” sudah tak asing lagi di telinga kita. Akan
tetapi belum tentu semua mahasiswa mengetahui lebih jelas dan rinci seperi
apa itu Banding, maka selain untuk memenuhi tugas dari dosen pembuatan
makalah ini juga memang ditujukan untuk memahami “Banding” secara lebih
jelas. Selain untuk keperluan tambahan wawasan bagi mahasiswa ilmu hukum
yang memang sedang mempelajari hukum positif Indonesia, pembuatan
makalah ini juga diharapkan bisa bermanfaat bagi masyarakat umum. Kita
ketahui bersama bahwa mayoritas masyarakat kita belum begitu memahami
dengan hukum yang berlaku di negeri kita ini, mengingat banding sendiri
memang sangat perlu untuk diketahui oleh masyarakat banyak.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Bagaimana Dasar Hukum Banding itu?
1.2.2 Bagaimana Tata Cara Penolakan Dan Penerimaan Banding?

1.3 Tujuan Dan Kegunaan Penulisan


Dilihat dari hal-hal yang ada diatas, maka tujuan yang ingin dicapai
dalam makalah ini adalah untuk mengetahui Bagaimana Dasar Hukum
Banding itu dan Tata Cara Penolakan Dan Penerimaan Banding serta
kegunaan penulis diantaranya:
1.3.1 Secara Teoritis Hasil dari makalah ini diharapkan dapat menjadi bahan
masukan bagi pengembangan ilmu pengetahuan hukum khususnya
tentang hukum pajak. Selain itu, makalah ini untuk menambah
khasanah kajian ilmiah dalam pengembangan media pembelajaran.

2
1.3.2 Secara Praktis Hasil dari makalah ini diharapkan dapat menambah
pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang hukum pajak.

1.4 Metodelogi Penulisan


Metode adalah suatu prosedur atau cara untuk mengetahui sesuatu
dengan langkah-langkah sistematik. Metode disini diartikan sebagai suatu
cara atau teknisi yang dilakukan dalam proses penelitian. Makalah ini
menggunakan metode kualitatif yang dimaksudkan untuk memahami lebih
dalam tentang bagaimana dasar hukum Banding itu dan tata cara penolakan
dan penerimaan Banding .
Metode kualitatif merupakan Metode yang lebih menekankan
analisis pada proses penyimpulan deduktif, serta pada analisis terhadap
dinamika hubungan antar fenomena yang diamati sebagai prosedur
pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan
keadaan subjek dan objek penelitian seseorang, lembaga, masyarakat dan
lainnya, berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya.
Analisa data dalam penelitian kualitatif, dilakukan pada saat pengumpulan
data berlangsung, dan setelah selesai pengumpulan data dalam periode
tertentu. Setelah data terkumpul melalui teknik pengumpulan data tersebut,
maka data yang telah didapat itu harus diolah lebih dahulu sebelum dianalisis
satu persatu untuk diambil kesimpulan.

1.5 Kajian Pustaka


Banding atau dalam Bahasa Belanda disebut appel adalah upaya
hukum biasa yang pertama terhadap penetapan atau putusan pengadilan
tingkat pertama untuk di ajukan atau dimohonkan pemeriksaan ulangan
dipengadilan tingkat banding. Pemeriksaan perkara dalam pengadilan tingkat
banding adalah pemeriksaan ulang secara keseluruhan. Dalam hukum,
banding adalah salah satu jenis upaya hukum bagi terpidana atau jaksa
penuntut umum untuk meminta pada pengadilan yang lebih tinggi agar
melakukan pemeriksaan ulang atas putusan pengadilan negeri karena

3
dianggap putusan tersebut jauh dari keadilan atau karena adanya kesalahan-
kesalahan di dalam pengambilan keputusan. Upaya banding diberikan
dengan tujuan untuk menjaga-jaga apabila hakim membuat kekeliruan atau
kesalahan dalam mengambil keputusan.
Para pihak dalam perkara bamding adalah pembanding atau yang
menajukan permohonan banding dan lawanya disebut terbanding. Dalam
suatu perkara dapat dimungkinkan kedua blah pihak sam-sama mengajukan
upaya hukum banding karena sam-sama tidak puas akan putusan atau
penetapan hakim maka yang menjadi masing-masing pihak dalam perkara ini
adalah pembanding sekaligus terbanding.

1.5.1 Dasar Hukum Banding


Upaya hukum banding diadakan oleh pembuat undang-undang karena
dikhawatirkan bahwa hakim yang adalah manusia biasa membuat kesalahan
dalam menjatuhkan keputusan. Karena itu dibuka kemungkinan bagi orang
yang dikalahkan untuk mengajukan permohonan banding kepada pengadilan
tinggi. Menurut ketentuan pasal 3 UU darurat No. 1 tahun 1951 peraturan
hukum acara perdata untuk pemeriksaan ulangan atau banding pada
pengadilan tinggi adalah peraturan-peraturan tinggi dalam daerah Republik
Indonesia dahuluitu. Peraturan-peraturan yang digunakan dalam daerah RI.
Syarat untuk dapat dimintakan banding bagi perkara yang telah diputus
oleh pengadilan dapat dilihat dalam pasal 6 UU No.20/1947 yang
menerangkan, apabila besarnya nilai gugat dari perkaara yang telah diputus itu
lebih dari Rp.100,- atau kurang. Oleh salah satu pihak dari pihak-pihak yang
berkepentingan dapat diminta supaya pemeriksaan itu diulangi oleh
pengadilan tinggi yang berkuasa dalam daerah hukum masing-masing. Dasar
hukumnya adalah UU No 4/2004 tentang Perubahan Atas Undang- undang
Pokok Kekuasaan dan UU No 20/1947 tentang Peradilan Ulangan.
Permohonan banding harus diajukan kepada panitera Pengadilan
Negeri yang menjatuhkan putusan (pasal 7 UU No 20/1947). Urutan banding

4
menurut pasal 21 UU No 4/2004 jo. pasal 9 UU No 20/1947 mencabut
ketentuan pasal 188-194 HIR, yaitu:
a. Ada pernyataan ingin banding.
b. Panitera membuat akta banding.
c. Dicatat dalam register induk perkara.
d. Pernyataan banding harus sudah diterima oleh terbanding paling lama
14 hari sesudah pernyataan banding tersebut dibuat.
e. Pembanding dapat membuat memori banding, terbanding dapat
mengajukan kontra memori banding.
Dasar Hukum
1. Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
2. Pasal 1, 37 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 sebagaimana telah
diubah dengan Undang- Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan
Pajak dengan Surat Paksa.
3. Undang – Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
4. Surat Edaran Nomor: SE-08/PP/2017 tentang Perubahan atas Surat Ketua
Pengadilan Pajak Nomor SE-002/PP/2015 tentang Kelengkapan
Administrasi Banding atau Gugatan
1. Syarat-Syarat Ataupun Ketentuan-Ketentuan Banding
Upaya hukum banding diajukan denga ketentuan-ketentuan sebagai
brikut sebagaimana diatur dalam pasal 188 sampai dengan 194 HIR dan UU
No 20 Tahun 1947 tentang Pegadilan Peradilan Ulangan. Diajukan dalam
tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah dijatuhkan putusan atau
menerima pemberitahuan putusan atau menerima pemberitahuan putusan
perkara diperiksa dengan tanpa biaya atau prodeo.
a. Permohonan banding dapat diajukan dengan cara lisan maupun tertulis.
b. Permohonan banding dapat diajukan oleh yang bersangkutan atau
diwakilkan dengan kuasa khusus untuk mengajukan banding.
c. Banding diajukan kepada Panitera pengadilan yang menjatuhkan putusan.

5
d. Permohonan banding harus disertai dengan membayar ongkos biaya
perkara, permohonan banding yang tidak disertai membayar ongkos
perkara tidak dapat diterima.
e. Terhadap putusan verstek tidak dapat diajukan upaya hukum banding.
f. Terhadap putusan dimintakan banding bersama-sama putusan akhir.1

2. Tata Cara Ajukan Banding


Dalam mengajukan banding terdapat tata cara yang harus dilakukan
antara lain sebagai berikut:
a. Setelah permohonan diajukan dan membayar biaya perkara, panitera
meregister perkara dan membuat akta banding (pasal 10 ayat (1) );
b. Permohonan banding diberitahukan kepada pihak lawan (pasal 10 ayat(2)
c. Panitera menyampaikan inzage kepada para pihak dengan tujuan agar
mempelajari berkas perkara dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari
setelah menerima pemberitahuan inzage (pasal 11). Inzage merupakan hak
para pihak boleh digunakan;
d. Permohonan banding mengajukan memori banding kepada Ketua
Pengadilan Tinggi Agama melalui Ketua Pengadilan Agama yang
mejatuhkan putusan. Menyampaikan memori banding bukan merupakan
kewajiban;
e. Memori banding diberitahukan kepada pihak lawan untuk dipelajari dan
membuat kontra memori banding untuk diserahkan kepada panitera
pengadilan;
f. Pengadilan menerima kontra memori banding dan memberitahukan kepada
permohonan banding;
g. Dalam 30 (tiga puluh) hari setelah permohonan banding seluruh berkas
perkara di bendel dan dikirim ke Pengadilan Tinggi Agama (pasal 11 ayat
2).

1
Laurensius Arliman S, Menjerat Pelaku Penyuruh Pengrusakan Barang Milik Orang
Lain Dengan Mempertimbangkan Asas Fungsi Sosial, Jurnal Gagasan Hukum, Volume 1, Nomor
1, 2019

6
3. Putusan Yang Dapat Dan Tidak Dapat Dibanding
Secara formal ada dua jenis upaya hukum yang dapat diajukan atau
diperiksa oleh pengadilan tinggi sebagai instansi pengadilan tingkat banding.
Hal ini perlu dijelaskan untuk mengetahui garis yang tegas antara dua upaya
hukum tersebut. Dengan uraian singkat yang menginventarisin upaya
perlawanan kiranya dapat memahami dan membedakan antara perlawanan
dengan upaya banding.
Prinsip semua putusan akhir pengadilan dapat diajukan permintaan
banding, akan tetapi pada prinsip ini ada pengecualian dan pengecualian itu di
tegaskan dalam pasal 67.
4. Hubungan putusan bebas dengan banding dan kasasi
Putusan bebas yang diambilnya tidak dapat diuji oleh instansi
manapun, apalagi dalam kondisi sekarang hal seperti ini merangsang para
hakim tingkat pertama untuk bertindak menyalahgunakan wewenang, sebab
sekali perkara itu diputus bebas, sudah final tidak dapat diuji serta diubah lagi.
Hubungan banding dan kasasi dengan putusan lepas dari segala
tuntutan hukum. Masalah putusan lepas dari segala tuntutan hukum, tidak
serumit permasalahan putusan bebas. Landasan ini melihat hubungan putusan
lepas dari segala tuntutan hukum dengan permintaan banding dan kasasi
adalah berdasar pasal 67 dan pasal 244 KUHAP Hubungan putusan lepas dari
segala tuntutan hukum dengan banding Hubungan putusan lepas dari segala
tuntutan hukum dengan kasasi

1.5.2 Tata Cara Penolakan Dan Penerimaan Banding


Permintaan banding yang diajukan ke Pengadilan Tinggi baik oleh
terdakwa maupun penuntut umum dilakukan melalui “panitera” Pengadilan
Negeri yang memutus perkara itu dalam tingkat pertama. Panitera yang
melayani permintaan banding. Sudah tentu, panitera meneliti segala
persyaratan yang ditentukan undang-undang, karena ada kemungkinan
permintaan yang diajukan tidak memenuhi syarat yang dibenarkan undang-
undang. Terhadap permintaan banding yang tidak memenuhi syarat, panitera

7
“dilarang” menerimanya. Ini di tegaskan dalam penjelasan Pasal 233 ayat (2).
Sedang terhadap permintaan banding yang memenuhi persyaratan, panitera
harus menerima dan melayani.
1. Penolakan Permintaan Banding
Sesuai dengan penjelasan Pasal 233 ayat (2), panitera “dilarang”
menerima permintaan banding yang tidak memenuhi persyaratan yang di
tentukan undang-undang. Pengertian larangan, tidak lain dari pada
“penolakan” atas permintaan banding tersebut. Syarat-syarat permintaan
banding yang tidak sah serta tata cara penolakan banding yang tidak
memenuhi syarat:
2. Permintaan Banding yang Tidak Memenuhi Syarat
Permintaan banding yang dianggap tidak memenuhi syarau ndang-
undang adalah:
a. Diajukan terhadap putusan yang tidak dapat dibanding.
Di ajukan terhadap putusan yang tidak dapat dibanding,
merupakan permintaan yang “tidak sah” dan “tidak memenuhi
persyaratan” undang-undang. Permintaan banding yang diajukan
terhadap putusan yang tidak dapat dibanding, panitera “dilarang”
menerimanya dan harus menolaknya. Tentang putusan pengadilan
tingkat pertama yang tidak dapat diperkenankan undang-undang untuk
dimintakan banding.
b. Putusan bebas,
c. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum, dan
d. Putusan acara cepat.
3. Permintaan Banding Diajukan Setelah Tenggang Waktu Yang
Ditentukan Berakhir.
Faktor kedua yang bisa mengakibatkan permintaan banding tidak
memenuhi syarat yang sah, apabila pengajuan permintaan dilakukan
setelah “lewat tenggang” waktu yang ditentukan pada pasal 233 ayat (2).
Berdasarkan ketentuan pasal 233 ayat (2), tenggang waktu mengajukan
permintaan banding: dalam waktu 7 hari sesudah dijatuhkan putusan, atau

8
setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir pada saat
putusan di jatuhkan.
4. Tata Cara Penolakan Banding
Tata cara penolakan permintaan dilakukan panitera sebagai berikut:
a. Panitera membuat“akta penolakan”permohonan banding.
b. Penolakan harus di tuangkan panitera dalam bentuk surat akta
penolakan permohonan banding, tidak cukup dilakukan dengan lisan;
c. Serta dilakukan dan ditanda tangani oleh Ketua Pengadilan
Negeri;
Dengan tata cara penolakan yang demikian ada buktinya, dan
sekaligus memberi kepastian hukum tentang penolakan serta merupakan
upaya pembinaan tata administratif peradilan yang lebih dapat
dipertanggungjawabkan.
5. Permohonan Banding Diajukan Tanpa Menghadap
Menurut Pasal 233 ayat (4), permohonan banding dapat diajukan
“tanpa menghadap langsung” panitera pengadilan. Hal ini memberi
kemungkinan bagi pemohon untuk mengajukan permintaan banding
“secara tertulis” atau “melalui telepon” atau “telegram”. Pemohon yang
tidak dapat menghadap panitera, misalnya karena sakit maupun karena
halangan lain. Panitera yang bersangkutan:
a. Membuat akta permintaan banding
b. Akta permintaan banding “cukup ditandatangani panitera.
c. Panitera membuat “catatan tentang sebab dan alasan” pemohon
tidak dapat menghadap.
d. Kemudian akta yang berisi catatan itu “dilampirkan”dalam berkas.
e. Juga catatan itu “ditulis dalam register” perkara pidana.2
6. Permintaan Banding Wajib Diberitahukan kepada Pihak Lain
Panitera wajib memberitahukan banding yang diajukan kepada
pihak lain. Tujuannya agar pihak lain mengetahui tentang adanya
2
Laurensius Arliman S, Problematika Dan Solusi Pemenuhan Perlindungan Hak Anak
Sebagai Tersangka Tindak Pidana Di Satlantas Polresta Pariaman, Justicia Islamica, Volume 13,
Nomor 2, 2016

9
permintaan banding serta kemungkinan mempersiapkan diri menyusun
“kontra risalah” atau “kontra memori”. Berdasarkan Pasal 233 ayat (5):
a. Apabila terdakwa mengajukan permintaan banding, panitera wajib
memberitahukan kepada penuntut umum tentang permintaan banding
terdakwa;
b. Sebaliknya, permintaan banding yang diajukan penuntut umum wajib
diberitahukan kepada terdakwa;
c. Jika kedua belah pihak sekaligus mengajukan permintaan banding, hal
itupun wajib diberitahukan panitera kepada masing- masing pihak secara
silang.
d. Sifat pemberitahuan permintaan banding kepada pihak lain adalah
“imperatif”. Oleh karena itu, pemberitahuan ikut menjadi salah satu
faktor yang menentukan tentang formalitas pemeriksaan permintaan
banding. Selama permintaan banding belum diberitahukan secara sah
kepada pihak lain, permintaan banding dianggap belum memenuhi
formalitas.

10
BAB II
ANALISA MASALAH

2.1. ANALISA MASALAH DASAR HUKUM BANDING


Hukum Banding bisa merujuk pada beberapa hal yang berbeda
tergantung pada konteksnya. Dalam konteks hukum, "banding" dapat
merujuk pada proses banding dalam sistem peradilan atau dalam pembuatan
undang-undang. Upaya hukum banding diadakan oleh pembuat undang-
undang karena dikhawatirkan bahwa hakim yang adalah manusia biasa
membuat kesalahan dalam menjatuhkan keputusan. Karena itu dibuka
kemungkinan bagi orang yang dikalahkan untuk mengajukan permohonan
banding kepada pengadilan tinggi. Serta harus berpatokan dengan dasar
hukum banding:
1. Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
2. Pasal 1, 37 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 sebagaimana telah
diubah dengan Undang- Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan
Pajak dengan Surat Paksa.
3. Undang – Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
4. Surat Edaran Nomor: SE-08/PP/2017 tentang Perubahan atas Surat Ketua
Pengadilan Pajak Nomor SE-002/PP/2015 tentang Kelengkapan
Administrasi Banding atau Gugatan
Menurut ketentuan pasal 3 UU darurat No. 1 tahun 1951 peraturan
hukum acara perdata untuk pemeriksaan ulangan atau banding pada
pengadilan tinggi adalah peraturan-peraturan tinggi dalam daerah Republik
Indonesia dahulu itu. Permohonan banding harus diajukan kepada panitera
Pengadilan Negeri yang menjatuhkan putusan (pasal 7 UU No 20/1947). Di
bawah ini, dijelaskan beberapa potensi masalah hukum dasar atau asas yang
dapat muncul dalam konteks banding:

11
1. Prosedur Banding yang Tidak Tepat: Salah satu masalah utama dalam
sistem hukum adalah jika prosedur banding tidak berjalan dengan benar.
Ini bisa mencakup pelanggaran hak-hak individu, pengabaian bukti
penting, atau penyalahgunaan proses hukum. Jika banding tidak
memberikan keadilan yang layak kepada pihak yang mengajukannya,
maka itu adalah masalah hukum serius.
2. Kesalahan Hukum: Pengadilan banding biasanya berfokus pada masalah
hukum, bukan masalah fakta. Kesalahan hukum dalam putusan pengadilan
yang lebih rendah dapat menjadi dasar banding. Jika terdapat penilaian
hukum yang salah atau pemahaman yang keliru terhadap hukum yang
berlaku, maka ini bisa menjadi masalah dalam sistem hukum.
3. Wewenang: Pertanyaan tentang wewenang pengadilan banding juga bisa
muncul. Apakah pengadilan banding memiliki wewenang untuk
mendengarkan jenis kasus tertentu? Ini melibatkan pertanyaan tentang
yurisdiksi dan batas kekuasaan pengadilan banding.
4. Keterlambatan dalam Proses Banding: Proses banding yang terlalu
lambat bisa menjadi masalah serius. Keterlambatan ini dapat merugikan
pihak yang mengajukan banding, terutama jika ada isu-isu penting yang
perlu segera diselesaikan.
5. Biaya dan Aksesibilitas: Beberapa masalah dasar hukum juga melibatkan
biaya dan aksesibilitas sistem banding. Jika proses banding terlalu mahal
atau sulit diakses oleh individu dengan sumber daya terbatas, maka itu bisa
menjadi masalah hukum.
Dengan Masalah Hukum Dasar atau asas yang dapat muncul dalam
banding di atas dapat disimpulkan atau dianalisis metode kualitatif bahwa Dasar
Hukum Banding dilakukannya banding yang ada dalam dasar hukum banding
tentu akan berdampak pada sebuah hukum banding tersebut, karena berdasarkan
salah satu prinsip dalam sistem peradilan adalah peradilan yang sederhana, cepat
dan biaya ringan. Adanya pengaturan asas peradilan yang sederhana, cepat dan
biaya ringan tersebut sebenarnya selain dalam rangka menghilangkan rasa
kekhawatiran tentang penegakan hukum (law enforcement) juga untuk

12
mengurangi penumpukkan perkara di Mahkamah Agung terutama pada tingkat
kasasi3. Berkaitan dengan pelaksanaan asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya
ringan, dalam memeriksa suatu perkara bahwa asas ini, sebenarnya dimaksudkan
namun pada kenyataannya tidak semua proses penegakan hukum mampu
mewujudkan asas sederhana, cepat, dan biaya ringan ini, dikarenakan dalam
kenyataannya sebuah proses di dalam peradilan seringkali membutuhkan waktu
selama lebih dari 6 bulan, dan diwajibkan pula membayar biaya perkara yang
kenyataannya lumayan mahal. namun pada kenyataannya tidak semua proses
penegakan hukum mampu mewujudkan asas sederhana, cepat, dan biaya ringan
ini, dikarenakan dalam kenyataannya sebuah proses di dalam peradilan seringkali
membutuhkan waktu lama dan diwajibkan pula membayar biaya perkara yang
kenyataannya lumayan mahal.
Dalam penyelesaian perkara perdata memang masih membutuhkan waktu
lama, sebagaimana pernyataan ini diungkapkan oleh Mahkamah Agung dalam
surat edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1998 tentang
penyelesaian perkara bahwa “Dalam kenyataannya masih terdapat penyelesaian
perkara yang diputus melewati 6 (enam) bulan sebagaimana yang telah
ditetapkan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung tersebut”. Fakta selanjutnya
terdapat dalam surat edaran Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 1992 tentang
penyelesaian perkara di pengadilan tinggi dan pengadilan negeri, yang
menyatakan bahwa “Ternyata sampai saat ini penyelesaian perkara-perkara
pidana dan perdata, baik yang diperiksa di Pengadilan Negeri, maupun
Pengadilan Tinggi, memakan waktu terlalu lama”.
Dan pula tentang penyelesaian perkara di pengadilan tinggi dan pengadilan
tingkat pertama yang menghimbau agar ditingkat pengadilan tingkat pertama dan
di tingkat pemeriksaan perkara diharapkan tidak melebihi sejak diterimanya
gugatan. Namun dalam prakteknya tidak semudah itu, salah satu diantara hal yang
untuk memberi perlindungan dan kepastian hukum kepada para pihak yang

3
Bambang Sugeng Ariadi S, “Pembatasan Upaya Hukum Dalam Perkara Perdata Guna
Mewujudakan Asas Peradilan Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan”, Yuridika, Vol 30, (1 Januari
2015), 32

13
menjalani proses peradilan. Dan pada dasarnya asas ini memang seharusnya
dijalankan dalam setiap proses peradilan.
Penting untuk diingat bahwa masalah hukum dalam sistem banding dapat
sangat beragam tergantung pada yurisdiksi dan konteks hukum masing-masing
negara. Proses banding adalah bagian penting dari sistem peradilan yang berfungsi
dengan baik, dan masalah yang muncul harus ditangani secara cermat untuk
memastikan keadilan dan konsistensi dalam penegakan hukum.
Adapun dengan metode empiris, terkait fakta banyaknya banding
merupakan “pengulangan” karena memiliki karakteristik yang sama dari banding
lainnya yang pernah didaftarkan sebelumnya, dapat diatasi dengan cara
membentuk “pengadilan semu”, yaitu suatu bagian yang khusus bertugas
menyelesaikan banding dengan menggunakan mekanisme yang mirip dengan
mekanisme di pengadilan, sehingga tidak perlu diajukan banding atau gugatan
lagi. Bahkan dasar hukum tentang banding adalah UU No 4/2004 tentang
Perubahan Atas Undang-undang Pokok Kekuasaan dan UU No 20/1947 tentang
Peradilan Ulangan. Permohonan banding harus diajukan kepada panitera
Pengadilan Negeri yang menjatuhkan putusan (pasal 7 UU No 20/1947).

2.2.ANALISA MASALAH TATA CARA PENOLAKAN DAN PENERIMAAN


BANDING
Permintaan banding yang diajukan ke Pengadilan Tinggi baik oleh
terdakwa maupun penuntut umum dilakukan melalui “panitera” Pengadilan
Negeri yang memutus perkara itu dalam tingkat pertama. Panitera yang
melayani permintaan banding. Sudah tentu, panitera meneliti segala persyaratan
yang ditentukan undang-undang, karena ada kemungkinan permintaan yang
diajukan tidak memenuhi syarat yang dibenarkan undang-undang.
Dapat disimpulkan dengan metode kualitatif bahwa Terhadap
permintaan banding yang tidak memenuhi syarat, panitera “dilarang”
menerimanya. Ini di tegaskan dalam penjelasan Pasal 233 ayat (2). Sedang
terhadap permintaan banding yang memenuhi persyaratan, panitera harus
menerima dan melayani. Pembukaan Sidang dan Pemeriksaan Kelengkapan

14
Banding Hakim Ketua membuka sidang dengan menyatakan bahwa sidang
terbuka untuk umum, kecuali dalam kondisi tertentu atau karena hal khusus-
misalnya atas permintaan dan kepentingan Pemohon Banding-sidang dapat
dinyatakan tertutup, sementara pembacaan putusan Hakim Pengadilan Pajak
tetap dilaksanakan dalam sidang yang terbuka untuk umum Sebelum
pemeriksaan pokok materi banding (banding material) dimulai, Majelis
melakukan pemeriksaan mengenai kelengkapan dan atau kejelasan Banding.
Adapun dengan metode empiris secara prinsip, baik persidangan banding
maupun gugatan dilaksanakan di kedudukan Pengadilan Pajak, yaitu Daerah
Kalsel. Akan tetapi, Ketua Pengadilan Pajak dapat menerbitkan penetapan
tentang pelaksanaan persidangan di kota lain agar penyelesaian banding dapat
lebih lancar dan cepat dalam penolakan dan penerimaan. Banding dengan acara
biasa diperiksa paling lambat selama 12 bulan sejak surat banding diterima, dan
paling lambat 6 bulan sejak surat gugatan diterima. Perpanjangan waktu
pemeriksaan diberikan paling lama 3 bulan misalnya karena pembuktian rumit
dan/atau terkait waktu yang dibutuhkan untuk memanggil saksi.
Fakta banyaknya banding yang menjadi tunggakan tentunya menjadi
catatan penting bagi Pengadilan Pajak untuk segera mencari solusi terbaik. Pada
praktiknya belum ada sanksi yang tegas terkait pemeriksaan banding yang
melewati batas waktu yang telah ditentukan, bahkan penerapan sanksi pun masih
sulit dilaksanakan, namun tidak berarti permasalahan tersebut dapat dibiarkan
terus menerus terjadi.
Berdasarkan analisa, perekrutan hakim dengan kompetensi mumpuni
menjadi upaya utama yang harus ditempuh agar jumlah banding berbanding
lurus dengan jumlah hakim yang memeriksa dan mengadili banding dimaksud.
Selain itu, tidak hanya jumlah hakim, pembentukan Pengadilan Pajak di kota-
kota lain pun seharusnya segera dilakukan. Kalaupun harus ditempuh upaya
hukum di Pengadilan Pajak, kesiapan para pihak untuk menjalani proses
persidangan juga merupakan hal yang menjadi kunci kelancaran, sehingga perlu
dilakukan sosialisasi serta edukasi secara rutin dan berkelanjutan bagi Wajib
Pajak atau Penanggung Pajak mengenai mekanisme dan teknis penyelesaian

15
banding di Pengadilan Pajak agar ajuan bandingnya diterima. Dan dibawah ini
skema penolakan dan penerimaan banding:

16
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
 Sebelum mengajukan proses penyelesaian banding, wajib pajak harus
mengajukan surat permohonan keberatan sesuai dengan ketentuan khusus
seperti diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia, mengemukakan
jumlah pajak yang terutang, wajib pajak telah melunasi pajak yang masih
harus dibayar, diajukan dalam jangka waktu 3 bulan sejak tanggal surat
ketetapan pajak dikirim, dan surat keberatan ditanda tangani oleh wajib
pajak
 Apabila surat permohonan keberatan ditolak maka wajib pajak boleh
mengajukan banding. Penyelesaian banding diajukan Wajib Pajak hanya
kepada badan peradilan pajak atas Surat Keputusan Keberatan.
Penyelesaian banding diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia
dengan alasan yang jelas paling lama 3 (tiga) bulan sejak Surat Keputusan
Keberatan diterima dan dilampiri dengan salinan Surat Keputusan
Keberatan

3.2 Saran
Menurut saya, masih banyak hal-hal yang perlu diketahui tentang
proses penyelesaian banding, wajib pajak harus mengajukan surat
permohonan keberatan sesuai dengan ketentuan khusus seperti diajukan
secara tertulis dalam bahasa Indonesia,. Sehingga mmudahkan kita dalam
penyelesaian banding .

17
DAFTAR PUSTAKA

Sugiyono, “Cara Mudah Menyusun Skripsi, Tesis dan Disertasi”, (Bandung:


Alfabeta, 2015
M. Djunaidi Ghony & Fauzan Almanshur, “ Metodologi Penulisan
Kualitatif”, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2004
Laurensius Arliman S, Problematika Dan Solusi Pemenuhan Perlindungan
Hak Anak Sebagai Tersangka Tindak Pidana Di Satlantas Polresta Pariaman,
Justicia Islamica, Volume 13, Nomor 2, 2016.

Laurensius Arliman S, Menjerat Pelaku Penyuruh Pengrusakan Barang


Milik Orang Lain Dengan Mempertimbangkan Asas Fungsi Sosial, Jurnal
Gagasan Hukum, Volume 1, Nomor 1, 2019

18
19

Anda mungkin juga menyukai