Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH ARBITRASE SYAHRIAH

PERBEDAAN KOMPETENSI ATAU KEWENANGAN ANTARA


BANI DAN BASYARNAS

Dosen Pengampu :

Rahmat Syaiful Haq, S.H.I., M.H., C.M.

Disusun Oleh :

Kelompok 2

Muhammad Hidayat (2011140099)

Lestari Oktavia (2011140101)

Novi Sartika (2011140091)

PRODI PERBANKAN SYARI’AH (PBS)


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI FATMAWATI SUKARNO BENGKULU
TAHUN AJARAN 2021/2022
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb. Puji syukur atas rahmat Allah SWT, berkat
rahmat serta karunia-Nya lah sehingga makalah yang berjudul Perbedaan
Kompetensi atau kewenangan antara Bani dan Basyarnas dapat selesai.

Makalah ini dibuat dengan tujuan memenuhi tugas Hukum Arbitrase


Syari’ah dari Bapak Rahmat Syaiful Haq, S.H.I., M.H., C.M. Pada bidang studi
Hukum Arbitrase Syari’ah. Selain itu, penyusunan makalah ini bertujuan
menambah wawasan kepada pembaca tentang Perbedaan Kompetensi atau
kewenangan antara Bani dan Basyarnas.

Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak Rahmat Syaiful


Haq, S.H.I., M.H., C.M. selaku dosen mata kuliah Aplikasi Komputer. Berkat
tugas yang diberikan ini, dapat menambah wawasan penulis berkaitan dengan
topik yang diberikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesarnya
kepada semua pihak yang membantu dalam proses penyusunan makalah ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan dan penulisan masih


melakukan banyak kesalahan. Oleh karena itu penulis memohon maaf atas
kesalahan dan ketaksempurnaan yang pembaca temukan dalam makalah ini.
Penulis juga mengharap adanya kritik serta saran dari pembaca apabila
menemukan kesalahan dalam makalah ini.

Bengkulu, Maret 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................

DAFTAR ISI.................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................

A. Latar Belakang.................................................................................
B. Rumusan Masalah...........................................................................
C. Tujuan Penulisan.............................................................................

BAB II PEMBAHASAN..............................................................................

A. Pengertian Bani dan Perkembangan Bani di Indonesia..............


B. Basyarnas dan Perkembangan Basyarnas di Indonesia..............
C. Bani Dalam Bingkai Hukum Nasional...........................................
D. Kewenangan Basyarnas di Indonesia............................................
E. Perbedaan Kewenangan Bani dan Basyarnas di Indonesia........

BAB III PENUTUP......................................................................................

A. Kesimpulan.......................................................................................
B. Saran.................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Perekonomian global dewasa ini telah berkembang sangat pesat dalam


dimensi kehidupan, perilaku perekonomian, begitu juga dengan perdagangan
internasional. Maka tidak jarang kita temui dalam lalu lintas perekonomian,
khususnya bidang perdagangan terjadinya persengketaan yang di kemudian
hari diselesaikan diluar jalur pengadilan terutama bisnis dan
perdaganganinternasional. Pada umumnya penyelesaian sengketa melalui
mekanisme Alternative Dispute Resolution (ADR) menjadi pilihan utama
pihak yang bersengketa sebelum mereka menempuh jalur pengadilan.
Penyelesaian melalui jalur pengadilan bisa memakan waktu yang cukup lama
dikarenakan banyaknya kasus yang ada. Penyelesaian sengketa melalui jalur
arbitrase pun menjadi pilihan utama bagi para pihak dalam menyelesaikan
persengketaan secara tepat. Arbitrase juga merupakan cara penyelesaian
sengketa yang paling umum digunakan. arbitrase adalah sistem pengadilan
yang mandiri, para pihak yang melalui jalur arbitrase telah memutuskan
untukmenyelesaikan persengketaanya di luar jalur pengadilan Tidak seperti
pengadilan negeri yang masih mempunyai upaya hukum, arbitrase tidak
memiliki upaya hukum, serta putusannya bersifat tetap dan mengikat.Dengan
demikian arbitrase memberikan wewenang serta kontrol atas proses yang akan
digunakan untuk menyelesaikan persengketaan antara para pihak, hal ini
sangatlah penting di dalam arbitrase dagang internasional karena para pihak
tidak mau menjadi subjek terhadap salahsatu sistem peradilan pihak yang
bersengketa, karena para pihak takut akan salah satu sistem peradilan pihak
yang bersengketa, karena para pihak takut akan salah satu "Home Court
adventage" yang ada pada para pihak yang bersengketa. Arbitrase
menawarkan forum yang lebih netraldi mana para pihak percaya bahwa
penyelesaian sengketamelalui forum arbitrase lebih adil dan tidak memihak
padasalah satu pihak untuk diterapkannya suatu sistem hukumatas salah satu

1
pihak yang bersengketa.Oleh karena itu maka pentinglah lembaga arbitrase
untuk menyelesaikan sengketa para pihak secara cepatmelalui mekanisne yang
disetujui bersama yang bersifat tetapdan mengikat, maka hampir setiap negara
mendirikannyauntuk keperluan para pebisnis. Apalagi di masa globalisasiini,
frekuensi bisnis sangatlah padat dan hampir tanpa ada pemisah antar negara.

Dengan demikian, di kemudian hari pasti akan timbul permasalahan bisnis


antara para pihak. Maka arbitrase hadir sebagai lembaga penyelesain sengketa
bisnis yang cepat serta putusannya bersifat tetap danmengikat, yang hadir
untuk menggantikan penyelesaian sengketa melalui jalur pengedilan yang
penyelesaiannya akanmemakan waktu yang lama. Penyelesain perkara di
pengadilan selain biayanya mahal, prosedurnya juga berbelit-belit, sehingga
akan mempengaruhi kinerja bisnis. sedangkan penyelesaian perkara melalui
badan arbitrase dianggap lebihmurah, cepat dan dapat menjaga kredibilitas
perusahaan. Untuk alasan itulan Indonesia mempunyai lembaga arbitrase
seperti Badan Arbitrase Nasional (BANI) dan Badan Arbitrase Syariah
Nasional (BASYARNAS) yang kegunaannya adalah untuk menyelesaikan
sengketa baik dalam ruang lingkup nasional maupun internasional.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Bani dan Perkembangan Bani di Indonesia?
2. Apa itu Basyarnas dan Perkembangan Basyarnas di Indonesia?
3. Bagaimana Bani Dalam Bingkai Hukum Nasional?
4. Bagaimana Kewenangan Basyarnas di Indonesia?
5. Bagaimana Perbedaan Kewenangan Bani dan Basyarnas di Indonesia?

2
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk Mengetahui Bani dan Perkembangan Bani di Indonesia
2. Untuk Mengetahui Basyarnas dan Perkembangan Basyarnas di
Indonesia
3. Untuk Mengetahui Bani Dalam Bingkai Hukum Nasional
4. Untuk Mengetahui Kewenangan Basyarnas di Indonesia
5. Untuk Mengetahui Perbedaan Kewenangan Bani dan Basyarnas di
Indonesia

3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Bani dan Perkembangan Bani di Indonesia

Badan Arbitrase Nasional Indonesia atau BANI adalah suatu badan yang
dibentuk oleh pemerintah Indonesia guna penegakan hukum di Indonesia
dalam penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang terjadi di berbagai
sektor perdagangan, industri dan keuangan, melalui arbitrase dan bentuk-
bentuk alternatif penyelesaian sengketa lainnya antara lain di bidang-bidang
korporasi, asuransi, lembaga keuangan, pabrikasi, hak kekayaan intelektual,
lisensi, waralaba, konstruksi, pelayaran/maritim, lingkungan hidup,
pengindraan jarak jauh, dan lain-lain dalam lingkup peraturan perundang-
undangan dan kebiasaan internasional. Badan ini bertindak secara otonom dan
independen dalam penegakan hukum dan keadilan.

Sejarah Perkembangan BANI di Indonesia Pada awalnya keberadaan


Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) diprakarsai oleh Kamar Dagang
dan Industri Indonesia (KADIN) yang didirikan pada tanggal 3 Desember
1977. Prakarsa Kamar Dagang Indonesia dan industri Indonesia dalam
mendirikan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang kamar dagang dan industri,
yang menyatakan bahwa dalam rangka pembinaan pengusaha Indonesia,
kamar dagang dapat melakukan antara lain jasa- jasa baik dalam bentuk
pemberian surat keterangan, arbitrase dan rekomendasi mengenai bisnis
pengusaha Indonesia, termasuk legalitas surat-surat yang diperlukan bagi
kelancaran usahanya. Di beberapa negara berdirinya badan arbitrase selalu
diprakarsai oleh kamar dagang. Karena mereka sangat berkepentingan
terhadap lembaga ini untuk mengantisipasi permasalahan bisnis dan sengketa
para pihak. Apabila dikemudian hari timbul perselisihan. Seperti halnya di
negara Belanda terdapat lembaga arbitrase bernama Nederlands Arbitrase
institut, di Japan terdapat The Japan Commercial Arbiration Association dan
di Amerika Serikat terdapat The American Arbitration Association. Semua

4
badan atau lembaga arbitrase tersebut masing-masing telah mempunyai status
dan telah menetapkan Rules Of Procedure. Yang dipakai dalam arbitrase yang
diselenggarakan. Pentingnya kehadiran lembaga arbitrase ini maka hampir
setiap negara mendirikannya untuk keperluan para pebisnis. Apalagi di masa
globalisasi ini, frekuensi bisnis sangat padat dan hampir tanpa ada pemisah
Banjarnegara. Dengan demikian di kemudian hari akan timbul permasalahan
bisnis antara para pihak. Penyelesaian perkara melalui badan arbitrase
dianggap lebih murah, cepat dan dapat menjaga kredibilitas perusahaan. Itulah
alasan nya mengapa di setiap negara didirikan badan arbitrase dan
keberadaannya sangat dibutuhkan. Di Indonesia minat untuk menyelesaikan
sengketa melalui arbitrase meningkat sejak diundangkannya Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa
umum. Perkembangan ini sejalan dengan arah globalisasi, dimana
penyelesaian sengketa di luar pengadilan telah menjadi pilihan pelaku bisnis
untuk menyelesaikan sengketa bisnis mereka. Selain cepat, efisien, tuntas dan
tidak bertele-tele karena tidak ada lembaga banding dan kasasi.

Berdasarkan sejarahnya perkembangan dan tujuan dari Badan Arbitrase


Nasional Indonesia (BANI) maka dapat di definisikan bahwasanya BANI
adalah lembaga independen yang memberikan jasa yang berhubungan dengan
sengketa bisnis.Disamping itu perlu dipertegas bahwasanya setiap putusan
arbitrase terhadap penyelesaian sengketa atau beda pendapat pada prinsipnya
bersifat final dan mengikat, tidak ada banding ataupun kasasi. Pengaturan
putusan arbitrase yang bersifat final dan mengikat dapat dilihat pada pasal
60UU No. 30 tahun 1999. Mengenai arbitrase pula, maka tidak jarang pula
kita jumpai istilah choice Of forum dan choice Of law. Maka perlulah
diketahui perbedaan antara kedua istilah ini. Menurut Dr. Erman Suparman,
Choice Of forum Adalah pemilihan yang dilakukan terhadap instansi peradilan
atau instansi lain yang oleh para pihak ditentukan sebagai instansi yang akan
menangani sengketa mereka jika terjadi dikemudian hari. Jadi choice Of
forum Hanya merupakan pilihan mengenai lembaga mana penyelesaian

5
sengketa akan dilakukan. Sedangkan untuk Choice Of lawa Adalah mengenai
hukum apa yang akan dipakai untuk mengadili sengketa tersebut. Jadi ketika
terjadinya persengketaan diantara para pihak, maka bisa saja memilih choice
Of forum di Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) tetapi menggunakan
Singapore Internasional Arbiration Center (SIAC) atau memilih choice Of
forum di Singapore Internasional Arbitration Center (SIAC) tetapi
menggunakan rules Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). Dasarnya adalah
kebebasan berkontrak sebagaimana diatur dalam pasal 1338 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata.

B. Pengertian Basyarnas dan Perkembangan Basyarnas di Indonesia

1. Pengertian Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas)


Arbitrase secara etimologi berasal dari kata arbitrare (latin) atau Arbitrage
yang berarti suatu kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut
kebijaksanaan. Secara istilah Arbitrase adalah penyelesaian sengketa yang
dilakukan oleh seorang atau beberapa orang arbiter atas dasar
kebijaksanaannya dan para pihak akan tunduk pada putusan yang diberikan
oleh arbiter yang mereka tunjuk. Para arbiter dalam menjatuhkan putusan
biasanya tetap menerapkan hukum sebagaimana yang dilakukan oleh
hakim di pengadilan. Walaupun demikian, putusan dari arbitrase
berdasarkan kebijaksanaan, namun norma hukumlah yang menjadi
sandaran utama dalam menyelesaikan sengketa antar subyek hukum
tersebut. Dalam Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999,
arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar
pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat
secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Selanjutnya dalam
ketentuan Pasal 1 angka (8) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, disebutkan bahwa
lembaga arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang
bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu,

6
lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat
mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul
sengketa terkait dengan Arbitrase Syariah, padanan dari arbitrase ini dalam
Fiqh Islam adalah tahkim dan kata kerjanya hakam yang secara harfiah
berarti menjadikan seorang sebagai penengah/hakam bagi suatu sengketa.
Istilah lain adalah ash-shulhu yang berarti memutus pertengkaran atau
perselisihan. Yang dimaksudkan nya adalah suatu akad / perjanjian untuk
mengakhiri perlawanan/ pertengkaran antara dua orang yang bersengketa.
Jadi, dalam tradisi Islam telah dikenal adanya hakam yang sama artinya
dengan arbitrase, hanya saja lembaga hakam tersebut bersifat ad hoc.
Dengan demikian, arbitrase merupakan suatu sistem atau cara penyelesaian
sengketa keperdataan oleh pihak ketiga yang disepakati atau ditunjuk oleh
para pihak baik sebelum terjadinya sengketa maupun setelah terjadinya
sengketa. Proses arbitrase yang relatif cepat dan murah, menjunjung tinggi
asas konfiden sialitas (kerahasiaan), bebas memilih arbiter dengan
pertimbangan keahlian(expert) dan para pihak bebas memilih hukum yang
akan dipakai dalam proses arbitrase dan putusan yang dihasilkan bersifat
final and binding serta merupakan win-loss solution.
2. Sejarah Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS)
Pada masa awal perkembangan Islam, tradisi penyelesaian perkara melalui
tahkim lebih berkembang dimasyarakat mekkah, sebagai pusat
perdagangan untuk menyelesaikan sengketa bisnis diantara mereka.
Demikian juga, lembaga arbitrase berkembang di Madinah sebagai daerah
agraris untuk menyelesaikan sengketa di bidang pertanian. Sebagaimana
dituturkan oleh Syariah, Nabi Muhammad SAW sebelum diangkat
menjadi rasul pernah bertindak sebagai wasit dalam perselisihan yang
terjadi dikalangan masyarakat mekkah terkait dengan persoalan peletakan
kembali hajar Aswad ke tempat semula. Pertumbuhan System hakam /
sistem arbitrase dimasa khalifah UMAR ibn Khottab mengalami
perkembangan menggembirakan seiring dengan pembenahan lembaga
peradilan dan tersusunnya pokok-pokok pedoman beracara di pengadilan/

7
Risalah Al-Qadla, Abu Musa al-Asy’ari yang salah satunya adalah
pengukuhan terhadap kedudukan arbitrase. Pada penghujung masa al-
khulafa Ar-Rasyidin masalah hakam ini tidak hanya untuk menyelesaikan
masalah-masalah atau sengketa keluarga dan bisnis akan tetapi juga
menyelesaikan masalah-masalah politik, perdagangan dan peperangan.
Dengan demikian, wilayah yurisdiksi arbitrase semakin luas dan fenomena
yang demikian menjadikan bidang garapan badan arbitrase pada awal masa
Islam datang juga semakin luas, sesuai dengan perkembangan atau
kemajuan untuk pemenuhan kebutuhan hajat hidup Ummat manusia
terhadap hukum

C. Bani Dalam Bingkai Hukum Nasional

Yurisdiksi atau kewenangan hukum adalah isu yang penting di dalam


arbitrase. Isu inilah yang pertama-tama lembaga arbitrase, mahkamah arbitrase
atau majelis arbitrase diangkat sebelum memeriksa dan memutuskan suatu
sengketa. Suatu badan arbitrase yang memutuskan bahwa ia memiliki
yurisdiksi, akan menentukan kelanjutan dari suatu sengketa. Sebaliknya,
ketika badan arbitrase memutuskan bahwa ia tidak memiliki kewenangan, ia
akan segera menolak untuk memeriksa sengketa. Yurisdiksi atau kewenangan
hukum suatu badan arbitrase lahir dari:

1. Istrumen hukum
Instrumen hukum baik internasional atau nasional adalah prasyarat
utama (primer) untuk lahirnya kewenangan hukum atau yurisdiksi
badan arbitrase. Untuk instrumen hukum nasional, batas-batas
kewenangan suatu badan arbitrase ditentukan oleh keputusan badan
legislatif yang membuat peraturan perundang-undangan arbitrase.
Misalnya, Undang-Undang No.30 tahun 1999 tentang arbitrase dan
alternatif penyelesaian sengketa. Pasal 5UU arbitrase menegaskan
bahwa sengketa-sengketa yang dapat diselesaikan oleh arbitrase adalah
sengketa di bidang perdagangan dan sengketa yang menurut peraturan

8
perundang-undangan dapat diadakan perdamaian. Ruang lingkup
hukum perdagangan adalah kegiatan-kegiatan antara lain di bidang
perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri, dan hak
kekayaan intelektual.
2. Kesepakatan Para Pihak
Kesepakatan para pihak adalah prasyarat tambahan (subsider)
untuk lahirnya kewenangan hukum badan arbitrase. Mengenai
yurisdiksi badan arbitrase BANI,didalam pasal 1 peraturan prosedur
arbitrase BANI dirumuskan "Apabila para pihak dalam suatu
perjanjian atau transaksi bisnis secara tertulis sepakat membawa
sengketa yang timbul diantara mereka sehubungan dengan perjanjian
atau transaksi yang bersangkutan kir arbitrase di hadapan badan
Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) atau menggunakan peraturan
prosedur BANI, maka sengketa tersebut diselesaikan di bawah
penyelenggaraan BANI berdasarkan peraturan tersebut. Jika sudah
disepakati oleh para pihak dalam perjanjian untuk membawa suatu
perkara perdata kepada arbitrase, maka sengketa tersebut harus
diselesaikan melalui forum arbitrase, hal ini sebagaimana diatur dalam
pasal 3 UU arbitrase yang berbunyi "Pengadilan Negeri tidak
berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat
dalam perjanjian arbitrase." Adapun kewenangan absolut arbitrase
ditegaskan pada pelaksanaan putusan arbitrase yang dilakukan oleh
Pengadilan Negeri sebagaimana yang tercantum dalam pasal 62 ayat
(4) UU arbitrase yang berbunyi "Ketua Pengadilan Negeri tidak
memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase." Dengan
demikian, ketua pengadilan negeri tidak mempunyai kewenangan
untuk meninjau suatu putusan arbitrase secara material. Pada lembaga
pengadilan dalam memeriksa, mengadili, dan memberi putusan lebih
didasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku. Artinya, pemberian
putusan yang didasarkan pada hukum semata akan menghasilkan pihak
yang kalah dan menang (Win-Lose). Sementara itu putusan sengketa

9
yang didasarkan pada prinsip keadilan dan kepatutan serta dengan
melihat pada kepentingan-kepentingan para pihak yang bersengketa
akan menghasilkan putusan yang bersifat win-win Solution. Prinsip
pengambilan keputusan kepatutan dan keadilan ini dipertegas dalam
pasal 56 UU arbitrase yang berbunyi:
(1)”Arbiter atau majelis arbitrase mengambil putusan berdasarkan
ketentuan hukum, atau berdasar keadilan dan kepatutan”.
(2)”Para pihak berhak menentukan pilihan hukum yang akan berlaku
terhadap penyelesaian sengketa yang mungkin atau telah timbul antara
para pihak”.
D. Kewenangan Basyarnas di Indonesia

Kewenangan Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) Kompetensi


absolut dari lembaga arbitrase ditentukan oleh ada tidaknya perjanjian yang
memuat klausula arbitrase baik berupa Pactum de compromittendo. Ataupun
akta kompromis. Dalam pasal 11 UU No. 30 Tahun1999 tentang arbitrase dan
alternatif penyelesaian sengketa menyatakan bahwa adanya suatu perjanjian
arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian
sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke pengadilan
Negeri. Oleh karena itu, berdasarkan aturan hukum yang berlaku kewenangan
absolute seluruh badan-badan peradilan negara, termasuk dalam hal ini
lingkungan peradilan agama tidak dapat menjangkau sengketa atau perkara
yang timbul dari perjanjian yang didalamnya terdapat klausula arbitrase.
Lembaga arbitrase dalam melaksanakan kompetensinya berdasarkan
perjanjian arbitrase terealisasikan berupa pemberian pendapat hukum yang
mengikat (Legal binding opinion) dan pemberian putusan arbitrase karena
adanya suatu sengketa tertentu. Bahwa tanpa adanya suatu sengketa, lembaga
arbitrase dapat menerima permintaan yang diajukan oleh para pihak dalam
suatu perjanjian untuk memberikan suatu pendapat hukum yang mengikat
mengenai suatu persoalan berkenaan dengan perjanjian tersebut. Legitimasi
penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini adalah bahwa perjanjian berlaku

10
sebagai undang-undang bagi pihak-pihak yang membuatnya dan bahwa
hukum perjanjian menganut sistem terbuka (open System). Oleh karena itu,
terdapat kebebasan dari para pihak dalam menentukan materi/isi perjanjian,
pelaksanaan perjanjian, dan cara menyelesaikan sengketa. Sehingga secara
tegas dikatakan bahwa arbitrase adalah penyelesaian sengketa diluar
pengadilan umum yang didasarkan pada suatu perjanjian arbitrase, yaitu
perjanjian yang dibuat sebelum terjadinya sengketa (Pactum de
compromittendo) maupun sesudah terjadi sengketa (akta kompromis).
Berdasarkan pasal 5 Undang-Undang No. 30 Tahun1999 terdapat persyaratan
terhadap sengketa yang diselesaikan melalui mekanisme arbitrase, yang
berbunyi:

1. Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa


dibidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan
perundang undangan dikusai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
2. Sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitras adalah
sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan dengan tidak
dapat diadakan perdamaian. Namun, dalam praktiknya terdapat badan-
badan arbitrase secara spesifik ditujukan untuk menyelesaikan
sengketa tertentu oleh pihak tertentu. Salah satunya adalah Basyarnas
yang secara khusus mempunyai kewenangan menyelesaikan sengketa
muamalah yang dihadapi oleh umat Islam.
E. Perbedaan Kewenangan Bani dan Basyarnas

Perbedaan kewenangan antara Arbitrase Nasional dan Arbitrase Syariah

Perbedaan antara arbitrase nasional dan arbitrase syariah dalam peraturan


prosedur beracara BANI dan BASYARNAS melalui kriteria antara lain:

1. Sumber Hukum
Sumber hukum formil antara arbitrase nasional dan arbitrase
syariah sama yaitu mengacu kepada UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan APS, UU Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan

11
Kehakiman Pasal 58 sampai dengan 59, dalam Pasal 19 Peraturan
Prosedur Arbitrase Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) Putusan
dijalankan menurut ketentuan dimuat dalam Pasal 637 dan Pasal 639 Rv,
padahal menurut UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan APS
Pasal 81 menyatakan bahwa pada saat Arbitrase ini berlaku, ketentuan
mengenai arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 615 sampai
dengan Pasal 651 Rv dan Pasal 377 Reglemen Indonesia yang
Diperbaharui (HIR) dan Pasal 705 RGB Reglemen Acara untuk Daerah
Luar Jawa dan Madura dinyatakan tidak berlaku. UU Nomor 30 Tahun
1999 tidak dinyatakan secara eksplisit keberadaan arbitrase syariah, secara
eksplisit kehadiran arbitrase syariah dinyatakan dalam Penjelasan Pasal 59
ayat 1 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang
berbunyi yang dimaksud dengan arbitrase dalam ketentuan UU tersebut
termasuk arbitrase syariah. Sedangkan untuk sumber BASYARNAS harus
menggunakan hukum syariah atau hukum nasional yang tidak
bertentangan dengan syariah. Prinsip syariah dapat diartikan bukan hanya
segala sesuatu yang tertuang dalam sumber-sumber hukum Islam,
termasuk didalamnya ketentuan hukum yang tertuang dalam kitab-kitab
Fiqh. Prinsip syariah dapat diartikan juga bahwa terdapat kesesuaian
terhadap ketentuan hukum positif yang dibuat oleh penguasa negara,
sepanjang tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam, juga bermakna telah
sesuai dengan prinsip syariah, tidak menutup kemungkinan bagi arbiter
untuk menggali nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat sepanjang
nilai-nilai tersebut tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Berbeda
dengan arbitrase nasional sumber hukum materiilnya adalah hukum yang
berkaitan dengan ruang lingkup perdagangan.
2. Asas
Asas yang berlaku dalam arbitrase Nasional dapat digunakan dalam
arbitrase Syariah, hanya ada tambahan asas yang Berlaku bagi arbitrase
syariah yaitu semua Prosedur berarbitrase syariah haruslah Menjalankan
prinsip syariah. Sehubungan Dengan asas tersebut, tujuan arbitrase itu

12
Sendiri adalah untuk menyelesaikan Perselisihan dalam bidang
Perdagangan/bisnis dan industri, dan hak Pribadi yang dapat dikuasai
sepenuhnya oleh Para pihak dengan mengeluarkan suatu Putusan yang
cepat dan adil, tanpa adanya Formalitas atau prosedur yang berbelit yang
Dapat menghambat penyelesaian Perselisihan. Tidak ada perbedaan
yurisdiksi Kewenangan antara BANI, BASYARNAS dan UU Arbitrase
yaitu menyelesaikan Sengketa perdata dalam bidang perdagangan,
Industri, keuangan, hanya pada peraturan Prosedur arbitrase BANI
sengketa tersebut Dapat merupakan sengketa nasional maupun Sengketa
internasional. Pada peraturan Prosedur arbitrase BASYARNAS tidak
Diberikan ketentuan yang tegas bahwa Sengketa perdagangan tersebut
adalah Sengketa ekonomi syariah seperti yang tercantum dalam kompilasi
hukum ekonomi syariah.
Perbedaan antara Peraturan Prosedur BANI dan BASYARNAS
Berkaitan dengan penunjukan arbiter. Dalam Aturan BANI para pihak
masing-masing Telah menunjuk arbiter dalam surat Permohonan dan
jawaban termohon. Pasal 9 Peraturan dan Prosedur BANI menetapkan
Bahwa yang dapat dipilih atau bertindak Sebagai arbiter di BANI adalah
mereka yang Termasuk dalam daftar arbiter BANI dan memiliki sertifikat
ADR/arbitrase yang Diakui oleh BANI. Dalam hal para pihak
Memerlukan arbiter yang memiliki suatu Keahlian khusus yang
diperlukan untuk memeriksa suatu perkara yang diajukan ke BANI, maka
permohonan dapat diajukan kepada ketua BANI untuk menunjuk Seorang
arbiter yang tidak terdaftar dalam daftar Arbiter BANI dengan ketentuan
bahwa arbiter yang bersangkutan memenuhi Persyaratan yang tersebut di
atas. Ketua BANI menunjuk seorang arbiter yang akan Mengetuai majelis
arbiter yang akan memeriksa sengketa. Penunjukan arbiter Yang akan
mengetuai majelis itu dilakukan Dengan mengindahkan usul-usul dari
para Arbiter masing-masing pihak yang untuk itu Dipersilakan masing-
masing mengajukan dua calon yang dipilihnya dari para arbiter BANI,
sedangkan dalam prosedur BASYARNAS Ketua Basyarnas lah yang

13
Menetapkan dan menunjuk arbiter tunggal Atau arbiter majelis segera
setelah perjanjian yang menyerahkan pemutusan sengketa Kepada
Basyarnas atau klausul arbitrase dianggap sudah mencukupi ditetapkan
Berdasarkan berat ringannya sengketa. Arbiter yang telah ditunjuk oleh
Ketua Basyarnas dipilih dari para anggota Dewan Arbiter yang telah
terdaftar pada Basyarnas. Namun demikian, dalam hal yang sangat
Diperlukan karena pemeriksaan memerlukan Suatu keahlian yang khusus,
maka Ketua Basyarnas berhak menunjuk seorang ahli Dalam bidang
khusus yang diperlukan untuk Menjadi arbiter. Apabila salah satu atau
kedua belah Pihak yang bersengketa mempunyai Keberatan terhadap
arbiter yang telah ditunjuk oleh Ketua Basyarnas, maka Selambat-
lambatnya dalam sidang Pemeriksaan pertama, hal keberatan tersebut
Telah diajukan oleh pihak yang bersangkutan Disertai alasan-alasannya
berdasarkan Hukum. Perbedaan kewenangan antara BANI Dan
BASYARNAS berkaitan pemberitahuan Jangka waktu tidak dapat
diterimanya Permohonan arbitrase oleh pihak pemohon, Dalam BANI
putusan tentang tidak dapat Diterimanya permohonan arbitrase tersebut
Diberitahukan kepada si pemohon dalam Waktu selambat-lambatnya 30
(tiga puluh) Hari (Madjedi Hasan, 2014;31-32) Sedangkan pada
BASYARNAS Tidak ada ketentuan yang tegas mengenai Jangka waktu
pernyataan tidak dapat Diterimanya permohonan. Dalam Pasal 2 Ayat 4
Peraturan Prosedur BANI, Pendaftaran tidak akan dilakukan oleh
Sekretaris BANI apabila biaya-biaya Pendaftaran dan administrasi /
pemeriksaan Sebagaimana ditetapkan dalam peraturan Tentang biaya
arbitrase belum dibayar lunas Oleh pemohon. Jika ketentuan ini dikaitkan
dengan Pasal 77 ayat 1 UU Arbitrase yang Menyatakan biaya arbitrase
dibebankan Kepada Pihak yang kalah, tentunya ketentuan ini
Bertentangan. Berarti Pasal ini tidak berlaku Karena masih berdasarkan
ketentuan yang Terdapat dalam Rv. Selain itu perbedaan antara BANI
dan BASYARNAS adalah mengenai tenggang Waktu penyampaian dan
pemberitahuan Surat permohonan kepada pihak termohon Dalam Pasal 5

14
ayat 1 Peraturan Prosedur BANI tidak menentukan tenggang waktu itu.
Berbeda dengan BASYARNAS bahwa Salinan permohonan dan perintah
untuk Menanggapi serta memberikan jawabannya Secara tertulis oleh
Termohon harus sudah Disampaikan kepada Termohon selambat-
lambatnya delapan hari sesudah penetapan / Penunjukan arbiter tunggal
atau arbiter Majelis. Sama dengan BANI UU Arbitrase Juga tidak
menentukan tenggang waktu Penyampaian dan pemberitahuan surat
Permohonan kepada pihak termohon.

15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Berdasarkan materi perbedaan kompetensi atau kewengan antara bani dan


basyarnas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut.

B. Saran

Dalam menyusun makalah ini kami menyadari bahwa banyak kesalahan


yang terdapat didalamnya, Untuk itu diharapkan keberadaan kritik dan saran
atas hasil makalah ini agar pada makalah selanjutnya bisa mengurangi
kesalahan.

16
DAFTAR PUSTAKA

17

Anda mungkin juga menyukai