Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

TAHAPAN DALAM PENYELESAIAN KASUS HUKUM


ANTAR TATA HUKUM DI INDONESIA
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Antar Tata Hukum

Oleh:
Iis Juliana (11820722221)
Nora Gus Tyara Siagian (11820722167)
Tina Martini (11820724578)
Siti Quratul Nadia (11820721534)
Muhammad Fais Zachary (11820712442)
Abiyyu Siraj Muffadhal (11820712358)

Dosen Pengampu
Muhammad Darwis, S.H.I., M.H

JURUSAN ILMU HUKUM


FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
TAHUN AJARAN 2021 M/ 1443 H
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr. wb.

Puji dan syukur kami ucapkan kepada Allah SWT, yang mana berkat
rahmat Nya dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini sebagai
salah satu tugas pada mata kuliah Hukum Antar Tata Hukum tentang “Tahapan
Dalam Penyelesaian Kasus Hukum Antar Tata Hukum Di Indonesia”.
Tercurah dari segala kemampuan yang ada, kami berusaha membuat
makalah ini dengan sebaik mungkin, namun demikian kami menyadari
sepenuhnya bahwa penulisan makalah ini masih banyak kekurangan dikarenakan
keterbatasan pengetahuan kami, maka dengan sepenuh hati kami mohon maaf
dan mengaharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun untuk perbaikan
selanjutnya.
Terakhir kami ucapkan terimakasih untuk semua pihak yang sudah
membantu dan memudahkan penyelesaian makalah ini, kami berharap semoga
makalah ini dapat bermanfaat.

Wassalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh.

Pekanbaru, 5 November 2021

Kelompok 6

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1

A. Latar Belakang ..................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ................................................................................ 4

C. Tujuan Penulisan .................................................................................. 4

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................ 5

A. Persoalan Pendahuluan dan Depecage ................................................. 5

B. Cara Penyelesaian ................................................................................ 8

BAB II PENUTUP ......................................................................................... 13

A. Kesimpulan .......................................................................................... 13

B. Saran ..................................................................................................... 14

DAFTAR PUSTAKA 15

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum Antar Tata Hukum (HATAH) adalah nama ilmiah yang

diciptakan Sudargo Gautama untuk mengatakan, sekaligus mencakup, hukum

perselisihan (collisierecht), hukum pertikaian (confictenrecht, confict of laws),

dan hukum perdata internasional (private internatonal law).1 Harapan beliau,

nama ilmiah tersebut dapat memberikan gambaran tentang lingkup

permasalahan hukum yang menjadi bahasan. Secara ilmiah, lingkup

pembahasan Hukum Antar Tata Hukum (HATAH) di Indonesia terbagi

menjadi dua. Hukum Antar Tata Hukum (HATAH) Intern, yang menganalisis

permasalahan di lingkup nasional akibat adanya pluralisme hukum, mencakup

hukum antargolongan (inte rgentel recht, interpersonal law, interracial law),

hukum antarwaktu (intertemporal law), dan hukum antartempat (interlocal

law).2 Gautama mendefnisikan Hukum Antar Tata Hukum (HATAH) Intern

sebagai:

“Keseluruhan peraturan dan keputusanhukum yang menunjukkan

selsel-hukum manakah yang berlaku atau apakah yang merupakan hukum, jika

hubungan-hubungan dan peristwa-peristwa antara warga (warga) negara dalam

satu negara, memperlihatkan titik- titik pertalian dengan stelsel-stelsel dan

1
Sudargo Gautama, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia (Jakarta: Bina
Cipta, 1987) hlm. 7-8. (Selanjutnya, Gautama, Pengantar.)
2
Lih. Sudargo Gautama, Hukum Antargolongan: Suatu Pengantar (Jakarta: Ichtiar Baru
van Hoeve, 1993), hlm. 41- 46. Di samping itu, hukum antarwenang pada hakikatnya
merupakan bagian dari HATAH Intern

1
kaidah-kaidah hukum yang berbeda dalam lingkungan-kuasa-waktu, tempat

pribadi dan soal-soal.”3

Sementara Hukum Antar Tata Hukum (HATAH) Ekstern adalah nama

ilmiah Indonesia untuk menggantkan istlah hukum perdata internasional.

Berbeda dengan Hukum Antar Tata Hukum (HATAH) Intern yang berkutat

dengan masalah-masalah hukum secara nasional, Hukum Antar Tata Hukum

(HATAH) Ekstern menganalisis permasalahan hukum yang mempunyai unsur

asing.

Gautama mendefnisikannya sebagai: “Keseluruhan peraturan dan

keputusanhukum yang menunjukkan stelsel-hukum manakah yang berlaku atau

apakah yang merupakan hukum, jika hubungan-hubungan dan peristwa-

peristwa antara warga (warga) negara pada satu waktu tertentu memperlihatkan

titik-titik pertalian dengan stelsel-stelsel dan kaidah-kaidah hukum dari dua

atau lebih negara, yang berbeda dalam lingkungan-lingkungan-kuasa-tempat,

(pribadi) dan soal-soal.” Meskipun Kollewijn sudah memaparkan secara ilmiah

intergentel recht (baca: HATAH Intern) sebagai suatu cabang ilmu hukum,

pengakuan dari dunia praktk baru terjadi kemudian. Hakim Landraad 4 Malang

dengan cermat melihat permasalahan hukum antargolongan perkara utang-

piutang antara kreditur dan debitur yang tunduk pada hukum yang berbeda.5

3
Gautama, Pengantar, hlm. 21. Cetak tebal oleh penulis
4
Landraad adalah pengadilan tingkat pertama di Hindia Belanda yang mempunyai
kompetensi untuk mengadili perkara-perkara yang pihak-pihaknya masuk ke dalam golongan
Indonesia (inlanders). Lih. pasal 94 Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het Beleid der
Justitie in Indonesië [Peraturan Susunan Kehakiman dan Kebijaksanaan Mengadili di
Indonesia], S. 1847-23 jo. 1848-57.
5
Ldr. Malang, 16 Februari 1938, T. 148 (1939) 764, sebagaimana terdapat dalam Gouw
Giok Siong, Himpunan Keputusan-keputusan Hukum Antargolongan (Jakarta: Penerbitan
Universitas, 1959), hlm. 9-12.

2
Tepatlah kiranya sorakan yang dikumandangkan oleh Wertheim ketika

memberikan anotasi atas komentar tersebut, “Van Malang begint de victorie!”

Dari Malang mulailah kemenangan 20 Semenjak itu, pengadilan-pengadilan di

Hindia Belanda, dan kemudian Indonesia, mengakui pluralisme hukum yang

ada dalam mengadili perkara.

Hukum Antar Tata Hukum (HATAH), baik intern maupun ekstern,

kemudian mendapatkan pembahasan khusus dalam ilmu hukum di Indonesia.6

Mengingat pluralisme yang ada, ahli hukum asing menghadapi kesulitan untuk

memasukkan hukum Indonesia ke dalam keluarga hukum (legal family) yang

ada, dan terpaksa melakukan simplifkasi.

Sengketa, kasus merupakan ketidaksepahaman mengenai suatu hal

antara dua orang atau lebih.Sengketa tidak pernah bisa terpisahkan dengan

konflik karena sengekta adalah sebuah konflik namun tidak semua konflik

dapat di kategorikan sebagai sengketa. Konflik sendiri memiliki pengertian

pertikaian antara pihak-pihak. Di makalah ini kita akan membahas sengketa

internasional. Sengketa internasional adalah sengketa yang bukan secara

ekslusif merupakan urusan dalam negeri suatu negara. Dari penegrtian ini tentu

saja dapat di pahami bahwa sengekta internasional merupakan sengketa yang

cakupannya diluar urusan eksekutif dalam negeri suatu negara. Contohnya

negara dengannegara atau karena seiringnya perkembangan mengenai subyek

hukum internasional sengketa negara dengan non negara.

6
Lih. S. M. Amin, Kodifikasi dan Unifikasi Hukum Nasional (Jakarta: Sastra Hudaya,
1978), hlm. 15-28.

3
Karena pola hubungan internasional yang semakin kompleks

membuat semakin banyak sengketa di ranah hukum perdata internasional.

Untuk itu diperlukan cara untuk menyelesaikan sengketa tersebut.

Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis ingin membahas

mengenai tahapan dalam penyelesaian kasus Hukum Antar Tata Hukum.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana tahapan dalam penyelesaian kasus Hukum Antar Tata Hukum di

Indonesia?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui tahapan dalam penyelesaian kasus Hukum Antar Tata

Hukum di Indonesia.

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Persoalan Pendahuluan dan Depecage


“Persoalan Pendahuluan” (incidental question) dalam HPI adalah

suatu persoalan / masalah HPI dalam sebuah perkara yang harus dipecahkan

terlebih dahulu sebelum putusan terhadap masalah HPI yang menjadi pokok

perkara dapat ditetapkan oleh Hakim.

Persoalan pendahuluan (vorfrage) timbul apabila putusan suatu

persoalan hukum (hauptfrage) bergantung kepada ketentuan sah atau tidaknya

suatu hubungan hukum atau persoalan hukum lain (vorfrage). Contoh

penerapan persoalan pendahuluan :

1. Dalam persoalan HPI mengenai warisan (persoalan pokok) maka

sebelumnya harus ditentukan dulu apakah perkawinan dari si pewaris sah

adanya (persoalan pendahuluan).

2. Dalam perkara yang menyangkut perkawinan (persoalan pokok), bila salah

seorang atau kedua mempelai telah pernah melakukan perkawinan

sebelumnya, maka perlu diselidiki dulu apakah perceraian dari pihak yang

pernah melakukan perkawinan sebelumnya itu sah atau tidak (persoalan

pendahuluan).

Persoalan pendahuluan bisa muncul lebih dari sekali dalam

serangkaian peristiwa tertentu. Misalnya dalam masalah warisan perlu

ditentukan terlebih dulu sah atau tidaknya kedudukan ahli waris atau

kedudukan anak (persoalan pendahuluan tahap pertama). Tetapi untuk

5
menentukan hal tersebut terlebih dahulu harus ditentukan apakah perkawinan

kedua orang tua anak tersebut sah adanya (persoalan pendahuluan tahap

kedua= preliminary question of the second degree). Bila salah satu dari kedua

orang tua anak itu telah pernah kawin sebelumnya, maka perlu juga ditentukan

apakah perceraian dari perkawinan terdahulu itu sah adanya (persoalan

pendahuluan tahap ketiga). Demikian proses itu bisa berlangsung hingga

dianggap sudah tidak ada lagi persoalan pendahuluan yang harus ditentukan

sebelumnya. 7

Prof. Cheshire dlm bukunya Private International Law: “Adakalanya

dalam suatu perkara HPI, pengadilan tidak saja dihadapkan pada masalah

utama, tetapi juga suatu masalah subsider. Setelah hukum yang harus

diberlakukan terhadap masalah utama ditetapkan melalui penerapan kaedah

HPI yang relevan, maka kemungkinan ada kebutuhan untuk menentukan

kaedah HPI lain untuk menjawab masalah subsider yang berpengaruh terhadap

penyelesaian masalah utama.”

1) Untuk menentukan apakah dalam sebuah perkara HPI terdapat persoalan

pendahuluan (incidental question), maka perlu dipenuhi tiga persyaratan:

a. “Main issue” yang dihadapi dalam perkara harus merupakan masalah

HPI yang bedasarkan kaedah HPI forum harus tunduk pada hukum

asing;

b. Dalam perkara yang sama harus terdapat “subsidiary issue” yang

mengandung unsure asing, yang sebenarnya dapat timbul sebagai

7
Bayu Seto I, op cit, h. 67, lihat juga Sudargo Gautama, Pengantar Hukum Perdata
Internasional Indonesia, Bina Cipta, Bandung, 1987, hlm.12

6
masalah HPI yang terpisah dan diselesaikan melalui penggunaan

kaedah HPI lain secara independent;

c. Kaedah HPI untuk menentukan lex causae bagi subsidiary issue akan

menghasilkan kesimpulan yang berbeda dari kesimpulan yang akan

dihasilkan seandainya lex causae dari main issue yang digunakan;

2) Pada dasarnya sangat jarang sebuah kasus yang berkaitan dengan

incidental question dapat memenuhi kriteria, oleh karenanya dalam

praktek criteria tersebut diterapkan tidak terlalu strict /kaku. Sebagai

contoh fleksibilitas penerapan misalnya dalam kasus “Pewarisan atas

benda bergerak” adalah sebagai berikut:

a. kriteria pertama dianggap tidak terpenuhi apabila pada saat pewaris

meninggal dunia, ia berkedudukan tetap di Negara forum;

b. kriteria kedua dianggap tidak terpenuhi apabila seorang pewaris yg

berdomisili di Negara asing membuat terstament yang menyatakan

untuk memberikan harta warisannya untuk anak sahnya, padahal lex

fori dan hukum asing tersebut memiliki kesamaan dalam menentukan

apakah anak tersebut adalah anak yang sah atau tidak sah.

c. Dengan tidak dipenuhi kriterianya, maka perkara tidak perlu

diselesaikan dengan menggunakan metode penyelesaian dalam

incidental question.

7
B. Cara Penyelesaian

Permasalahan utama HPI dalam persoalan pendahuluan ini sebenarnya

adalah: apakah persoalan pendahuluan akan diatur oleh suatu sistem hukum

yang ditetapkan berdasarkan kaidah HPI yang khusus dan harus ditentukan

secara tersendiri (repartition) atau berdasar sistem hukum yang juga mengatur

masalah utama (absorption).

Dalam teori HPI mengenal tiga pandangan tentang cara penyelesaian

persoalan pendahuluan, yaitu:

1. Absorption Prinsipnya: melalui absorption, lex causae yang dicari dan

ditetapkan melalui penerapan kaedah HPI untuk mengatur masalah pokok

(main issue) akan digunakan juga untuk menjawab “persoalan

pendahuluan”. Jadi setelah lex causae untuk masalah pokok ditetapkan

kaedah HPI lex fori, masalah pendahuluannya akan ditundukan pada lex

causae yang sama. Cara ini disebut cara penyelesaian berdasarkan lex

causae.

2. Repartition Pada dasarnya, melalui repartition, hakim harus menetapkan lex

causae untuk maslah pendahuluan secara khusus dan tidak perlu

menetapkan lex causae dari masalah pokoknya terlebih dahulu. Dengan

mengabaikan lex causae dari masalah pokok, hakim akan melakukan

kualifikasi berdasarkan lex fori dan menggunakan kaedah HPInya yang

relevan khusus untuk menetapkan lex causae masalah pendahuluan. Cara ini

disebut penyelesaian dengan lex fori.

8
3. Pendekatan Kasus demi Kasus Penetapan lex causae untuk masalah

pendahuluan atau incidental question dilakukan dengan pendekatan

kasuistis, dengan memperhatikan sifat dan hakekat perkara atau kebijakan

dan kepentingan forum yang mengadili perkara.

Prof. Cheshire, kebanyakan putusan hakim dalam kasus-kasus

incidental questions diselesaikan melalui absorption. Namun Cheshire

cenderung untuk menggunakan pendekatan kasuistis (case by case approach)

dengan memperhatikan kelas, jenis perkara yang dihadapi. Misalnya:

1. Perkara HPI bidang pewarisan benda-benda bergerak sebaiknya digunakan

absorption; sedangkan

2. Perkara dibidang perbuatan melawan hukum (tort) atau kontrak sebaiknya

digunakan repartition.

3. Di Belanda, pengadilan lebih banyak menggunakan repartition, MA

Belanda (Hoge Raad) menetapkan bahwa pada dasarnya masalah hukum yg

berlaku dalam persoalan pendahuluan (voorvraag) harus dijawab melalui

repartition. Namun dengan pengecualian bahwa absorption dapat digunakan

apabila terdapat keterkaitan yang kuat antara masalah pokok (hoofdraag)

dengan persoalan pendahuluan (voorvraag).

4. Di Inggris, ada kecenderungan untuk melakukan absorption. Untuk

penerapan di Indonesia harus lebih tegas dalam menentukan pendekatan

yang digunakan untuk memudahkan hakim jika menemukan perkara yang

terkait persoalan pendahuluan.

9
Di dalam kontrak internasional tercantum klausula penyelesaian

sengketa melalui kesepakatan, apakah ditempuh cara :

1. Pilihan hukum (choice of law), dalam hal ini para pihak menentukan sendiri

dalam kontraktentang hukum mana yang berlaku terhadap interpretasi

kontrak tersebut;

2. Pilihan forum (choice of jurisdiction), yakni para pihak menentukan sendiri

dalam kontrak tentang pengadilan dan forum mana yang berlaku jika terjadi

sengketa di antara para pihak dalam kontrak tersebut;

a. Litigasi : pengadilano

b. Non litigaasi : arbitrase, negosiasi, konsialisi dan mediasi.

3. Pilihan Hukum (Choice of Law) Pada prinsipnya para pihak diberi

kebebasan menentukan sendiri hukum mana yang berlakudalam perjanjian

sesuai prinsip kebebasan berkontrak. Menurut ketentuan pasal 1338

KUHPerdata bahwa perjanjian yang dibuat secara sah, yaitu memenuhi

syarat-syarat pasal 1320 KUHPerdata berlaku sebagai undang-undang bagi

yang mebuatnya, tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan kedua belah

pihak atau karena alasan-alasan yang cukup menurut undang-undang,dan

harus dilaksanakan dengan itikad baik. Adapun syarat sahnya perjanjian

menurut pasal 1320KUH Perdata adalah :

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

c. Suatu hal tertentu;

d. Suatu sebab yang halal.

10
Dua syarat pertama dinamakan syarat-syarat subyektif, karena

mengenai orang-orang atau subyek yang mengadakan perjanjian. Sedangkan

dua syarat terakhir dinamakan syarat-syarat obyektif karena mengenai

perjanjian sendiri atau obyeknya dari perbutan hukum yang dilakukan.

Tidak terpenuhinya syarat subyektif maka perjanjian itu dapat dibatalkan,

sedangkan tidak terpenuhinya syarat-syarat obyektif maka perjaian itu

batal demi hukum.

Meskipun demikian batasan yang harus dipahami para pihak dalam

berkontrak adalah:

a. Tidak melanggar ketertiban umum;

b. Hanya di bidang hukum kontrak;

c. Tidak boleh mengenai hukum kontrak kerja;

d. Tidak boleh mengenai ketentuan hukum publik.Penempatan klausula

pilihan hukum kontrak mempunyai arti penting untuk:

 sebagai sarana untuk menghindari ketentuan hukum yang memaksa

yang tidak efisien

 untuk meningkatkan persaingan yurisdiksi;

 memecahkan masalah peraturan berbagai negara

4. Pilihan forum (choice of jurisdiction) Berdasarkan asas kebebasan

berkontrak, maka para pihak dalam kontrak dapat memilih pengadilan mana

seandainya timbul sengketa terhadap kontrak yang bersangkutan yang dapat

dilakukan melalui pilihan forum pengadilan dan di luar pengadilan. Pilihan

forum yakni para pihak menentukan sendiri dalam kontrak tentang

11
pengadilan dan forum mana yang berlaku jika terjadi sengketa diantara para

pihak dalam kontrak tersebut;Penyelesaian sengketa yurisdiksi dapat

dilakukan dengan cara :

a. Litigasi

b. Non Litigasi.

Penyelesaian sengketa dengan Litigasi

a. Penyelesaian sengketa lewat pengadilan

b. Ada sengketa tapi kemudian sengketa tersebut dapat berubah menjadi

tidak sengketa atau dengan kata lain orang yang mengajukan gugatan ke

pengadilan bisa saja telah dalam persidangan.

Penyelesaian sengketa dengan non litigasi

Sudah dibuka kemungkinan oleh hakim pada waktu penyelesaian

suatu perkara kepengadilan. Hanya saja penyelesaian perkara secara

alternative yang ditawarkan oleh pihakpengadilan/majelis hakim pada waktu

itu masih dalam rangka/ruang lingkup penyelesaianperkara secara litigasi.

Salah satunya adalah dengan ARBITRASE.

12
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Gautama mendefnisikan Hukum Antar Tata Hukum (HATAH) Intern

sebagai:

“Keseluruhan peraturan dan keputusanhukum yang menunjukkan

selsel-hukum manakah yang berlaku atau apakah yang merupakan hukum, jika

hubungan-hubungan dan peristwa-peristwa antara warga (warga) negara

dalam satu negara, memperlihatkan titik- titik pertalian dengan stelsel-stelsel

dan kaidah-kaidah hukum yang berbeda dalam lingkungan-kuasa-waktu,

tempat pribadi dan soal-soal.”

Sementara Hukum Antar Tata Hukum (HATAH) Ekstern adalah nama

ilmiah Indonesia untuk menggantkan istlah hukum perdata internasional.

Berbeda dengan Hukum Antar Tata Hukum (HATAH) Intern yang berkutat

dengan masalah-masalah hukum secara nasional, Hukum Antar Tata Hukum

(HATAH) Ekstern menganalisis permasalahan hukum yang mempunyai unsur

asing.

Teori HPI mengenal tiga pandangan tentang cara penyelesaian persoalan

pendahuluan, yaitu:

1. Absorption Prinsipnya: melalui absorption, lex causae yang dicari dan

ditetapkan melalui penerapan kaedah HPI untuk mengatur masalah pokok

(main issue) akan digunakan juga untuk menjawab “persoalan

pendahuluan

13
2. Repartition Pada dasarnya, melalui repartition, hakim harus menetapkan

lex causae untuk maslah pendahuluan secara khusus dan tidak perlu

menetapkan lex causae dari masalah pokoknya terlebih dahulu.

3. Pendekatan Kasus demi Kasus Penetapan lex causae untuk masalah

pendahuluan atau incidental question dilakukan dengan pendekatan

kasuistis,

B. Saran

Kami berharap dengan adanya makalah ini dapat menambah wawasan

bagi para pembacanya, dapat lebih mengetahui mengenai bagaimana cara

Penyelesaian Sengketa Dalam Hukum Antar Tata Hukum. Baik itu kasus

hukum antar tata hukum intren atau hukum antar tata hukum ekstren.

Bagaimana perbandingan atau hukum mana yang akan dipakai dalam

menyelesaikan suatu sengketa antar negara.

14
DAFTAR PUSTAKA

Bayu Seto I. 1987. Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia.

Bandung:Bina Cipta.

Ldr. Malang. 1938. sebagaimana terdapat dalam Gouw Giok Siong, Himpunan

Keputusan-keputusan Hukum Antargolongan. Jakarta: Penerbitan

Universitas.

S. M. Amin. 1978. Kodifikasi dan Unifikasi Hukum Nasional. Jakarta: Sastra

Hudaya

Sudargo Gautama. 1987. Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia.

Jakarta: Bina Cipta

Sudargo Gautama. 1993. Hukum Antargolongan: Suatu Pengantar. Jakarta:

Ichtiar Baru van Hoeve

15

Anda mungkin juga menyukai