Anda di halaman 1dari 39

TUGAS PENGANTAR HUKUM INDONESIA

HUKUM PERKAWINAN
Tinjauan Fenomena Kawin Siri dan Akibatnya terhadap Status dan
Kedudukan Anak Hasil Kawin Siri dalam Hukum Positif Indonesia

DISUSUN OLEH :
Yovie Agustian Pratama
02011282025255
Pengantar Hukum Indonesia D Palembang

DOSEN PENGAMPU :
Wahyu Ernaningsih, S.H., M.Hum.
Hj. Indah Febriani, S.H., M.H.
Putu Samawati, S.H., M.H.
Theta Murty, S.H., M.H.

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas individu berupa makalah
yang berjudul “Tinjauan terhadap Fenomena Kawin Siri dan Akibatnya dalam
Perspektif Hukum Positif Indonesia” ini dengan lancar dan tanpa ada halangan
apapun.
Makalah ini dibuat dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Pengantar
Hukum Indonesia (PHI) dengan topik Hukum Perdata dan kekhususan mengenai
Hukum Perkawinan.
Hukum Perkawinan merupakan peraturan-peraturan hukum yang
menyangkut akibat-akibat hukum antara seorang laki-laki dan perempuan untuk
hidup bersama yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Undang-
Undang Perkawinan mengamanatkan bahwa setiap perkawinan sah itu yang
dicatatkan dalam dokumen negara. Fenomena yang sering terjadi di masyarakat
dan berkaitan dengan Hukum Perkawinan adalah tentang perkawinan siri yang
tidak dicatatkan dalam dokumen negara.
Terima Kasih kepada Ibu Wahyu Ernaningsih, S.H., M.Hum., Ibu Indah
Febriani, S.H., M.H., Ibu Putu Samawati, S.H., M.H., dan Ibu Theta Murty, S.H.,
M.H., selaku dosen pengampu mata kuliah ini.
Penyusun menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan
makalah ini. Oleh karena itu, penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran
yang membangun untuk kebaikan penulisan kedepannya. Semoga makalah ini
bermanfaat untuk kita semua.

Palembang, Maret 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................i


DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................1


1.1 Hukum Perdata ............................................................................................1
1.1.1 Istilah dan Pengertian Hukum Perdata..............................................1
1.1.2 Sejarah Hukum Perdata di Indonesia ................................................3
1.1.3 Sistematika Hukum Perdata ..............................................................4
1.1.4 Ruang Lingkup Hukum Perdata .......................................................5
1.1.5 Subjek Hukum Perdata .....................................................................6
1.1.6 Objek Hukum Perdata .......................................................................7
1.1.7 Sumber-Sumber Hukum Perdata ......................................................7
1.1.8 Asas-Asas Hukum Perdata ...............................................................8
1.2 Hukum Perkawinan .................................................................................10
1.2.1 Pengertian Hukum Perkawinan .....................................................10
1.2.2 Syarat- Syarat Perkawinan .............................................................11
1.2.3 Asas-Asas Perkawinan...................................................................12
1.2.4 Perjanjian Perkawinan ...................................................................12
1.2.5 Hak dan Kewajiban Suami Istri .....................................................13
1.2.6 Mekanisme Perkawinan .................................................................13
1.2.7 Pencegahan Perkawinan ................................................................14
1.2.8 Pembatalan Perkawinan .................................................................15
1.2.9 Larangan Perkawinan ....................................................................16
1.2.10 Putusnya Perkawinan ....................................................................16
BAB II PERMASALAHAN ................................................................................17
2.1 Judul Permasalahan .................................................................................18
2.2 Deskripsi Permasalahan ..........................................................................18
2.3 Fakta Hukum ...........................................................................................19

ii
2.3 Isu Hukum ...............................................................................................19
BAB III PEMBAHASAN ...................................................................................20
3.1 Nikah Siri dalam Hukum Positif Indonesia .............................................20
3.2 Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Kawin Siri ................................23
3.3 Akibat Hukum dari Perkawinan Siri .......................................................25
3.4 Kedudukan Anak Hasil Kawin Siri .........................................................27

BAB IV KESIMPULAN .....................................................................................32

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................33

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Hukum Perdata

1.1.1 Istilah dan Pengertian Hukum Perdata

Istilah Hukum Perdata pertama kali diperkenalkan oleh Profesor


Djoyodiguno sebagai terjemahan dari burgerlijkrecht. Di samping istilah tersebut,
terminologi lain dari Hukum Perdata adalah civielrecht dan privatrecht. Dilihat
dari ruang lingkupnya, istilah Hukum Perdata dalam arti luas, meliputi Hukum
Privat Materiil, yaitu segala hukum pokok yang mengatur kepentingan-
kepentingan perseorangan. Istilah perdata juga lazim dipakai sebagai lawan dari
pidana. Ada juga yang memakai istilah Hukum Sipil untuk Hukum Privat Materiil,
tetapi karena istilah sipil juga lazim dipakai sebagai lawan dari militer. 1
Hukum Perdata (Burgerlijkrecht) ialah rangkaian peraturan-peraturan
hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang lain,
dengan menitikberatkan kepada kepentingan seseorang. 2 Hukum Perdata berisi
ketentuan-ketentuan yang mengatur dan membatasi tingkah laku manusia dalam
memenuhi kepentingan (kebutuhan) nya. Perkataan Hukum Perdata (Privat recht)
dalam arti luas meliputi ketentuan-ketentuan hukum material yang mengatur
kepentingan-kepentingan perseorangan. Hukum perdata material ini sering juga
disebut Hukum Sipil”. Hukum Perdata dalam arti sempit yaitu sebagai lawan dari
Hukum Dagang.3

1
Yulia, Buku Ajar Hukum Perdata, (Lhokseumawe : Biena Edukasi , 2015). hlm.1.
2
CST.Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka,1989), hlm.214.
3
R.Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia Edisi Revisi, (Jakarta : Rajawali Pers,
2012), hlm.148.

1
Berikut pengertian Hukum Perdata oleh beberapa pakar hukum, yaitu : 4
1. Soebekti, Hukum Perdata adalah seluruh hukum pokok yang mengatur
kepentingan-kepentingan perseorangan.
2. Sri Soedewi, Hukum Perdata adalah hukum yang mengatur kepentingan
antara warga negara perseorangan dengan dengan satu warga negara
perseorangan yang lain
3. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata adalah suatu rangkaian hukum antara
orang-orang atau badan satu sama lain tentang hak dan kewajiban.
4. Sudikno Merto Kusumo, Hukum Perdata adalah hukum antar perorangan
yang mengatur hak dan kewajiban perorangan yang satu terhadap yang lain di
dalam hubungan keluarga dan di dalam masyarakat. Pelaksanaannya
diserahkan kepada masing-masing pihak.
5. Safioedi, Hukum Perdata adalah hukum yang memuat peraturan dan
ketentuan hukum yang meliputi hubungan hukum antara orang yang satu
dengan yang lain di dalam masyarakat dengan menitik beratkan kepada
kepentingan perorangan.
6. Vollmar, Hukum Perdata adalah aturan-aturan atau norma-norma yang
memberikan perlindungan pada kepentingan perseorangan dalam
perbandingan yang tepat antara kepentingan yang satu dengan yang lain dari
orang-orang di dalam suatu masyarakat tertentu terutama yang mengenai
hubungan keluarga dan hubungan lalu lintas.
7. Van Dunne, Hukum Perdata adalah suatu peraturan yang mengatur hal-hal
yang snagat esensial bagi kebebasan individu, seperti orang dan keluarganya,
hak milik, dan perikatan.

Kendati hukum perdata mengatur hubungan antar individu, akan tetapi


tidak semua perihal hukum perdata secara murni mengatur kepentingan antar
individu, melainkan banyak bidang hukum perdata yang berkembang dari hukum
publik, misalnya hukum perkawinan, hukum perburuhan, dan sebagainya.

4 Yulia, op.cit., hlm.2.

2
1.1.2 Sejarah Hukum Perdata di Indonesia

Hukum Perdata yang berlaku sekarang di Inonesia adalah hukum Perdata


Belanda atau BW (Burgerlijk Wetboek). Hukum Perdata Belanda ini juga berasal
dari hukum perdata Prancis (Code Napoleon), karena pada waktu itu
pemerintahan Napoleon Bonaparte, Prancis pernah menjajah Belanda .Adapun
Code Napoleon itu sendiri disusun berdasarkan hukum Romawi, yakni Corpus
Juris Civilis yang pada waktu itu dianggap sebagai hukum yang paling sempurna. 5
Belanda berkeinginan untuk membuat Kitab Undang-Undang hukum
sendiri, maka Belanda melakukan kodifikasi hukum perdata dengan menggunakan
Code Napoleon dan Hukum Belanda Kuno sebagai sumbernya. Pada mulanya,
hukum perdata Belanda dirancang oleh suatu panitia yang dibentuk pada tahun
1814, yang diketuai Mr. J.M. Kemper (1776-1824). Pada tahun 1816, Mr. J.M.
Kemper menyampaikan rencana code hukum tersebut kepada pemerintah Belanda.
Rencana code hukum Belanda berdasarkan pada Hukum Belanda Kuno. Code
Hukum ini diberi nama Ontwerp Kemper. Namun, Ontwerp Kemper ini mendapat
tantangan keras dari P.T. Nicolai. Nicolai ini merupakan anggota parlemen
berkebangsaan Belgia dan juga menjadi presiden pengadilan Belgia. Pada tahun
1824, J.M. Kemper meninggal yang selanjutnya penyusunan kodifikasi code
perdata diserahkan kepada Nicolai. Akibat perubahan tersebut, hukum yang
sebelumnya didasarkan kepada hukum kebiasaan/hukum kuno, tetapi dalam
perkembangannya sebagian besar code hukum Belanda didasarkan pada Code
Civil Prancis. Code Civil ini juga meresepsi hukum Romawi, Corpus Civilis dari
Justianua. Jadi, Hukum Perdata Belanda merupakan gabungan dari hukum
kebiasaan/hukum kuno Belanda dan Code Civil Prancis. 6
Kemudian, hukum perdata yang diberlakukan di Indonesia adalah
berdasarkan BW (Burgerlijk Wetboek) atau hukum perdata Belanda. Hal ini
karena Belanda pernah menjajah Indonesia. Pemberlakuan Hukum Perdata
Belanda ini didasarkan atas asas konkordansi. BW di Indonesia mulai sah pada

5
Ishaq, Pengantar Hukum Indonesia (PHI), (Depok : Rajawali Pers, 2018), hlm.152.
6
Herlina Manullang, Pengantar Ilmu Hukum Indonesia, (Medan : Bina Media Perintis, 2019),
hlm.47.

3
tanggal 16 Mei 1846 lalu diundangkan melalui staatblad Nomor 23 tahun 1847
dan resmi berlaku pada 1848.
Setelah Indonesia merdeka, maka BW Hindia Belanda tetap dinyatakan
berlaku. Hal tersebut berdasaran Pasal II aturan peralihan Undang-Undang Dasar
1945 sebelum diamandemen yang berbunyi “segala badan negara dan peraturan
yang ada, masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut
Undang-Undang Dasar ini.” Atau Pasal 1 aturan peralihan Undang-Undang
Dasar 1945 hasil amandemen yang berbunyi : “segala peraturan perundang-
undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru
menurut Undang-Undang Dasar ini.” Oleh karena itu, BW Hindia Belanda ini
disebut dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia, sebagai induk
hukum perdata Indonesia.7

1.1.3 Sistematika Hukum Perdata

Hukum Perdata diatur dalam (bersumber pokok pada) Kitab Undang-


Undang Hukum Sipil yang disingkat KUHS (Burgerlijk Wetboek, disingkat BW).
KUHS terdiri atas 4 buku, yaitu : 8
1. Buku I , yang berjudul Perihal Orang (Van Personen) yang memuat Hukum
Perorangan dan Hukum Kekeluargaaan ;
2. Buku II, yang berjudul Perihal Benda (Van Zaken) yang memuat Hukum
Benda dan Hukum Waris ;
3. Buku III, yang berjudul Perihal Perikatan (Van Verbintennissen) yang
memuat Hukum Harta Kekayaan yang berkenaan dengan hak-hak dan
kewajiban yang berlaku bagi orang-orang atau pihak-pihak tertentu;
4. Buku IV, yang berjudul Perihal Pembuktian dan Daluwarsa atau Lewat
Waktu (Van Bewijs en Verjaring), yang memuat perihal alat-alat pembuktian
dan akibat-akibat lewat waktu terhadap hubungan-hubungan hukum.

7
Ishaq, Op.Cit., hlm.153.
8
CST Kansil, Op. Cit., hlm. 214.

4
Sistematika hukum perdata ini merujuk pada ketentuan di dalam BW
(Burgerlijk wetboek) atau Kitab Undang-Undang Hukum Sipil/perdata.
Sistematika ini berbeda dengan ruang lingkup hukum perdata menurut ilmu
pengetahuan.

1.1.4 Ruang Lingkup Hukum Perdata

Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum, Hukum Perdata (yang termuat dalam


KUHS) dapat dibagi dalam 4 bagian, yaitu : 9
1. Hukum Perorangan (Personenrecht), yang memuat antara lain :
a. Peraturan -peraturan tentang manusia sebagai subjek hukum ;
b. Peraturan-peraturan tentang kecakapan untuk memiliki hak-hak dan
untuk bertindak sendiri melaksanakan hak-haknya itu.
2. Hukum Keluarga (Familierecht), yang memuat antara lain :
a. Perkawinan beserta hubungan dalam hukum harta kekayaan antara
suami/istri ;
b. Hubungan antara orang tua dan anak-anaknya (kekuasaan orang tua--
ouderlijke macht )
c. Perwalian (voogdij)
d. Pengampuan (curatele)
3. Hukum Harta Kekayaan (Vermogensrecht), yang mengatur tentang
hubungan- hubungan hukum yang dapat dinilaikan dengan uang. Hukum
Harta Kekayaan meliputi :
a. Hak mutlak, yaitu hak-hak yang berlaku terhadap tiap orang
b. Hak perorangan, yaitu hak-hak yang hanya berlaku terhadap seorang atau
suatu pihak tertentu saja.
4. Hukum Waris (Erfrecht), yang mengatur tentang benda atau kekayaan
seorang jika ia meninggal dunia (mengatur akibat-akibat dari hubungan
keluarga terhadap harta peninggalan seseorang).

9 Ibid., hlm.214-215.

5
1.1.5 Subjek Hukum Perdata

Subjek Hukum Perdata adalah sebagai berikut :


1. Orang (Pribadi Kodrati)
Orang (persoon) berarti pembawa hak atau subjek di dalam hukum. 10
Artinya , memiliki hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban dimiliki oleh setiap
orang secara kodrati sejak dilahirkan sampai meninggal dunia. Bahkan, menurut
hukum perdata Eropa yang dinyatakan dalam pasal 2 KUH Perdata menetapkan
bahwa “Anak yang ada dalam kandungan seorang wanita dianggap sebagai telah
11
dilahirkan, bilamana juga kepentingan anak menghendakinya. Penjelasan
mengenai Pasal 2 KUH Perdata apabila ia mati sewaktu ia dilahirkan, maka ia
dianggap tak pernah ada. Menurut Hardjawidjaja adalah kalau bayi ketika lahir
dalam keadaan hidup makan si bayi akan memperoleh hak-hak dan kewajibannya
sebagai subyek hukum. Kemampuan akan mempunyai hak-hak ini tidak
tergantung pada lamanya anak itu hidup. Apabila ia hanya hidup satu jam atau dua
jam maka ia dapat memperoleh hak-hak, yang dengan matinya akan menjadi
pewaris keluarganya. Bayi telah dianggap dilahirkan hidup apabila ia sewaktu
dilahirkan bernafas.12
2. Badan Hukum
Di samping orang, badan-badan atau perkumpulan-perkumpulan juga
memiliki hak dan melakukan perbuatan hukum seperti seorang manusia. Badan-
badan atau perkumpulan-perkumpulan itu mempunyai kekayaan sendiri, ikut serta
dalam lalu lintas hukum dengan perantara pengurusnya, dapat digugat, dan dapat
juga menggugat di muka hakim. 13 Badan Hukum dibedakan dalam dua bentuk,
yaitu badan hukum publik yang didirikan berdasarkan hukum publik atau
menyangkut kepentingan umum dan badan hukum privat yang didirikan
berdasarkan hukum sipil atau perdata yang menyangkut kepentingan pribadi.

10Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta : Intermasa, 2003). hlm.19.


11R. Abdoel Djamali, Op Cit., hlm.151.
12 Aloysur Entah, R., Hukum Perdata (Suatu Perbandingan Ringkas), (Yogyakarta : Liberty,

1989), hlm.53.
13 Tri Jata Ayu Pramesti, “Subjek Hukum dalam Hukum Perdata dan Hukum Pidana”,

(https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt52bdff2508616/subjek-hukum-dalam
hukum-perdata-dan-hukum-pidana/, Diakses pada 2 Maret 2021, 2014)

6
1.1.6 Objek Hukum Perdata

Objek Hukum adalah segala sesuatu yang bisa dimanfaatkan oleh subjek
hukum. Objek hukum haruslah sesuatu yang pemanfaatannya diatur berdasarkan
hukum sehingga objek dari hukum perdata adalah benda. Pengaturan tentang
Hukum Benda dalam Hukum perdata diatur dalam Buku II KUH Perdata
mempergunakan sistem tertutup, artinya orang tidak diperbolehkan emngadakan
hak-hak kebendaan selain dari yang telah diatur dalam undang-undang ini. 14
Selain itu, hukum benda bersifat memaksa (dwingend recht), artinya harus
dipatuhi, tidak boleh disimpangi, termasuk membuat peraturan baru yang
menyimpang dari yang telah ditetapkan. 15

1.1.7 Sumber-Sumber Hukum Perdata

Sumber Hukum adalah segala apa saja yang menimbulkan aturan-aturan


yang mempunyai kekuatan bersifat memaksa, yakni aturan-aturan yang kalau
dilanggar mengakibatkan sanksi yang nyata dan tegas.16 Secara khusus, sumber
Hukum Perdata Indonesia tertulis, yaitu : 17
1. Algemene Bepalingen van Wetgeving (AB), merupakan ketentuan-ketentuan
umum Pemerintahan Hindia Belanda yang diberlakukan di Indonesia
(Stbl.1874 No.23, tanggal 30 April 1847, terdiri atas 36 pasal)
2. KUH Perdata atau Burgerlijk Wetboek (BW), merupakan ketentuan-ketentuan
hukum produk Hindia Belanda yang diundnagkan tahun 1848, diberlakukan
di Indonesia berdasarkan asas konkordansi.
3. KUHD atau Wetboek van Koophandel (Wvk), yang terdiri atas 754 pasal,
meliputi Buku I (tentang dagang secara umum) dan Buku II (tentang hak-hak
dan kewajiban yang timbul dalam pelayaran).
4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria,
undang-undang ini mencabut berlakunya Buku II KUH Perdata sepanjang
mengenai hak atas tanah, kecuali hipotek.

14 Yulia, Op Cit., Hlm. 6.


15
Ibid
16
CST Kansil, Op Cit.,hlm. 46
17 Yulia, Op Cit., Hlm.4,

7
5. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang ketentuan-ketentuan Pokok
Perkawinan, dan ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam Buku I KUH
Perdata, khususnya menegnai perkawinan tidak berlaku secara penuh.
6. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas tanah
beserta benda-benda yang terkait dengan tanah.
7. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
8. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Jaminan Simpanan
(LPS) untuk mengatur hubungan hukum publik dan mengatur hubungan
hukum perdata.
9. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
(KHI), yang mengatur 3 (tiga) hal, yaitu Hukum Perkawinan, Hukum
Kewarisan, dan Hukum Pewakafan. Ketentuan dalam KHI hanya berlaku bagi
orang-orang yang beragama Islam.

1.1.8 Asas-Asas Hukum Perdata

Asas-Asas dalam Hukum Perdata adalah sebagai berikut :


1. Asas Kebebasan berkontrak
Asas ini mengandung arti bahwa masing-masing orang dapat mengadakan
perjanjian baik yang sudah diatur dalam undang-undang maupun yang belum
diatur dalam undang-undang.
2. Asas Konsesualisme
Asas ini berkaitan dengan perjanjian. Pada pasal 1320 KUH Perdata,
syarat wajib perjanjian itu karena terdapat kata sepakat antara kedua belah pihak.
Perjanjian harus didasarkan pada kesepakatan dari pihak-pihak yang membuat
perjanjian. Berdasarkan asas konsesualisme, maka dianut suatu paham bahwa
sumber kewajiban kontraktual adalah bertemunya kehendak dengan konsensus
para pihak yang membuat kontrak (convergence of wills).
3. Asas Kepercayaan
Asas ini mempunyai arti bahwa setiap orang yang akan mengadakan
perjanjian akan memenuhi masing-masing prestasi di antara kedua belah pihak.
4. Asas Kekuatan Mengikat

8
Asas ini menyatakan bahwa perjanjian hanya mengikat pihak yang
mengikatkan diri atau yang ikut serta dalam sebuah perjanjian.

5. Asas Persamaan Hukum


Asas ini mempunyai maksud bahwa subjek hukum yang membuat
perjanjian harus mempunyai kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama dalam
hukum.
6. Asas Keseimbangan
Asas ini menginginkan kedua belah pihak agar memenuhi dan
menjalankan perjanjian yang telah dijanjikan.
7. Asas Kepastian Hukum (Pacta sunt servanda)
Asas kepastian hukum atau yang lebih dikenal dengan asas pacta sunt
sevanda yang memiliki arti janji harus ditepati. Pada dasarnya asas ini berkaitan
dengan perjanjian atau kontrak yang dilakukan oleh individu, dapat dikatakan
juga bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi perjanjian yang
dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang.
8. Asas Moral
Asas Moral ialah asas yang terikat dalam perikatan wajar, artinya perilaku
seseorang yang sukarela tidak dapat menuntut hak untuk menggugat prestatie dari
pihak debitur.
9. Asas Perlindungan
Asas ini memberikan perlindungan hukum untuk debitur dan kreditur,
namun yang membutuhkan perlindungan adalah debitur karena berada di posisi
yang lemah.
10. Asas Kepatutan
Asas ini berhubungan dengan ketentuan isi perjanjian yang diharuskan
oleh kepatutan hukum.
11. Asas Kepribadian
Asas ini mewajibkan seseorang dalam pengadaan perjanjian untuk
kepentingan dirinya sendiri. Asas kepribadian menjelaskan bahwa ruang lingkup

9
berlakunya perjanjian hanyalah pada pihak yang membuat perjanjian saja. Pihak
di luar perjanjian tidak dapat menuntut hak apapun atas perjanjian tersebut.
12. Asas Itikad Baik
Asas ini berkaitan dengan pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata, asas ini
berhubungan dengan pelaksanaan perjanjian dan menyatakan bahwa apa yang
hendak dilakukan dengan pemenuhan tuntutan keadilan sehingga tidak melanggar
kepatutan.

1.2 Hukum Perkawinan

Hukum Perdata memiliki empat ruang lingkup, salah satunya adalah


hukum keluarga. Hukum Keluarga salah satunya membahas tentang hukum
perkawinan.

1.2.1 Pengertian Hukum Perkawinan

Hukum Perkawinan ialah peraturan-peraturan hukum yang mengatur


perbuatan-perbuatan hukum serta akibat-akibatnya antara dua pihak, yaitu seorang
laki-laki dan seorang wanita dengan maksud hidup bersama untuk waktu yang
lama menurut peraturan-peraturan yang ditetapkan dalam undang-undang. 18
Scholten menjelaskan bahwa perkawinan adalah suatu hubungan hukum antara
seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal yang
diakui oleh Negara.19 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
merupakan salah satu wujud regulasi tata tertib perkawinan yang dimiliki oleh
Negara Indonesia, dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
yaitu tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan. Pasal 1 UUP merumuskan perkawinan adalah “Ikatan lahir batin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan bertujuan

18CST. Kansil, Op Cit., hlm. 219.


Soetojo Prawirohamidjojo dkk, Hukum Orang dan Keluarga, ( Bandung : Alumni, Cetakan
19

Kesebelas, 2000 ), hlm. 8.

10
untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.” 20

1.2.2 Syarat- Syarat Perkawinan

Syarat-syarat perkawinan yang ditegaskan dalam 6 UUP yaitu :


1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai
2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum berumur 21 tahun
harus mendapat izin kedua orang tua
3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau
dalam keadan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud
ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang mampu menyatakan
kehendaknya
4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak
mampu untuk menyatakan kehendaknya maka izin diperoleh dari wali, orang
yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis
keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat
menyatakan kehendaknya
5. Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam
ayat (2), (3), dan (4) pasal ini, atau salah seorang lebih diantara mereka tidak
menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hukum tempat
tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang
tersebut dapat memberikan izin setelah terlebih dahulu mendengar orang-
orang tersebut dalam ayat (2), (3), dan (4) dalam pasal ini.
6. Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku
sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari
yang bersangkutan tidak menentukan lain. 21

20Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Perkawinan, UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 1.


Puniman, “Hukum Perkawinan menurut Hukum Islam dan Undang-Undang No. 1
21 Ach.

Tahun 1974.” Jurnal Yustitia, Vol.19, No.1, 2018, Hlm. 90.

11
1.2.3 Asas-Asas Perkawinan

Asas hukum merupakan sebuah aturan dasar atau merupakan prinsip


hukum yang masih bersifat konkrit, dapat pula dikatakan bahwa asas hukum
merupakan dasar yang melatarbelakangi suatu peraturan yang bersifat kongkrit
dan bagaimana hukum itu dapat dilaksanakan. Asas Perkawinan menurut UU No.
1 tahun 1974 adalah :22
1. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
2. Sahnya perkawinan sangat tergantung pada ketentuan hukum agama dan
kepercayaan.
3. Asas Monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena
hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkannya, seorang suami
dapat beristri lebih dari seorang (Pasal 3 UUP).
4. Calon suami dan isteri harus telah dewasa jiwa dan raganya, untuk itu
ditentukan batas umur untuk kawin. Bagi pria 19 tahun dan bagi wanita 16
tahun.23
5. Mempersulit adanya perceraian, untuk memungkinkan perceraian harus ada
lasan-alasan tertentu dan harus dilakukan di depan sidang pengadilan. 24
6. Hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang. Segala sesuatu, baik dalam
kehidupan rumah tangga maupun pergaulan masyarakat dapat dirundingkan
dan diputuskan oleh suami isteri.

1.2.4 Perjanjian Perkawinan

Berkenaan dengan perjanjian perkawinan dalam pasal 29 UUP ditegaskan


sebagai berikut : 25
1. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas
persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh

22 Ibid., hlm. 92.


23
Laurensius Mamahit, “Hak dan Kewajiban Suami Isteri Akibat Perkawinan Campuran
Ditinjau dari Hukum Positif Indonesia.” Lex Privatum, Vol.1, No.1, 2013, hlm. 15
24 Ibid.
25 CST Kansil, Op Cit, hlm.235.

12
pegawai pencatat perkawinan, setelah sama isinya berlaku juga terhadap
pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut ;
2. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas
hukum, agama, dan kesusilaan ;
3. Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan;
4. Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah,
kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan
perubahan tidak merugikan pihak ketiga.

1.2.5 Hak dan Kewajiban Suami Istri

Adapun hak dan kewajiban suami istri ialah misalnya : 26


1. Kekuasaan marital dari suami, yaitu bahwa suami menjadi kepala keluarga
dan bertanggung jawab atas istri dan anak-anaknya ;
2. Wajib nafkah (kewajiban alimentasi) : Suami wajib memelihara istrinya,
orang tua wajib memlihara dan mendidik anak-anaknya yang belum cukup
umur, anak-anak yang telah dewasa wajib memelihara orang tuanya, kakek
neneknya atau keluarga sedarah menurut garis lurus, yang dalam keadaan
miskin; menantu wajib memelihara mertua dan sebaliknya ;
3. Istri mengikuti kewarganegaraan suaminya ;
4. Istri mengikuti tempat tinggal (domisili) suaminya ;
Selanjutnya dalam Pasal 34 UUP ditegaskan, bahwa :27
1. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan
hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya ;
2. Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya ;
3. Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat
mengajukan kepada pengadilan.

1.2.6 Mekanisme Perkawinan

Sebelum perkawinan dilangsungkan, harus dilakukan lebih dahulu, yaitu: 28

26
Ibid., Hlm. 220.
27 Ibid., Hlm. 236.

13
1. Pemberitahuan (aangifte) tentang kehendak akan kawin kepada Pegawai
Pencatatan Sipil (Ambtenaar Burgerlijke Stand), yaitu pegawai yang nantinya
akan melangsungkan pernikahan;
2. Pengumuman (afkondiging) oleh pegawai tersebut, tentang akan
dilangsungkan pernikahan itu.
Surat-surat yang harus diserahkan kepada Pegawai Pencatatan Sipil agar
dapat melangsungkan pernikahan, ialah :29
1. Surat kelahiran masing-masing pihak;
2. Surat pernyataan dari Pegawai Pencatatan Sipil tentang adanya izin orang tua,
izin juga dapat diberikan dalam surat perkawinan sendiri yang akan dibuat itu;
3. Proses verbal dari perantaraan Hakim dalam hal perantaraan yang dibutuhkan;
4. Surat kematian suami atau isteri atau putusan perceraian perkawinan lama;
5. Surat keterangan dari Pegawai Pencatatan Sipil yang menyatakan telah
dilangsungkan pengumuman dengan tiada perlawanan dari suatu pihak;
6. Dispensasi dari Presiden (Menteri Kehakiman), dalam hal ada suatu larangan
untuk kawin.

1.2.7 Pencegahan Perkawinan

Pencegahan perkawinan (menghalang-halangi perkawinan atau stuiten de


huwelijks) atau stuiting ialah suatu usaha untuk menghindari adanya sebuah
perkawinan yang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan Undang-Undang yang
ada.30 Menurut Pasal 13 UUP, perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak yang
tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. 31
Adapun pihak yang dapat mencegah perkawinan adalah sebagai berikut :
1. Para Keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah;
2. Saudara;
3. Wali Nikah;

28 Yulia, Op Cit., Hlm. 33.


29 Ibid
30 Roswita Sitompul, Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta : Pustaka Bangsa Press,2006),

hlm.49.
31 CST. Kansil, Op Cit., Hlm. 232

14
4. Wali;
5. Pengampu dari salah seorang calon mempelai;
6. Pihak-pihak yang berkepentingan;
7. Suami atau istri dari salah satu calon mempelai;
8. Pejabat yang ditunjuk untuk melakukan pencegahan
Pencegahan perkawinan dapat dilakukan dimana hukum berada di tempat
berlangsungnya perkawinan dan memberitahukan kepada panitia pencatat
perkawinan bahwa adanya pencegahan perkawinan. Panitia pencatat pencegahan
perkawinan tidak boleh melangsungkan perkawinan walaupun adanya pencegahan
perkawinan dan mengetahui beberapa pelanggaran syarat-syarat perkawinan.
Maka pegawai pencatat perkawinan menolak melangsungkan perkawinan dengan
membuat surat keterangan beserta alasan-alasannya. Pihak yang berhak dapat
mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah hukum di mana
perkawinan itu akan dilaksanakan. Pengadilan akan memberikan ketetapan,
apakah menguatkan atau mencabut penolakan. Jika pengadilan mencabut
penolakan, maka pegawai pencatat perkawinan harus melangsungkan perkawinan.
Akan tetapi jika ketetapan pengadilan menguatkan peno1akan maka perkawinan
itu tidak dapat dilakukan.32

1.2.8 Pembatalan Perkawinan

Pada dasarnya suatu perkawinan dikatakan batal (dibatalkan) apabila para


pihak perkawinan itu tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan, tetapi
perkawinan tersebut telah dilaksanakan. Perkawinan dapat dibatalkan apabila ada
pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan yang disebutkan dalam
Undang-Undang Perkawinan. Pihak yang dapat mengajukan pembatalan
perkawinan menurut Pasal 23 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan yaitu :33
1. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri
2. Suami atau isteri

32
Roswita Sitompul, Op Cit., Hlm. 51
33 CST Kansil, Op Cit., hlm.234.

15
3. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan
4. Pejabat yang ditunjuk oleh Pasal 16 ayat 2 dan setiap orang yang mempunyai
kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi
hanya setelah perkawinan itu diputus.

1.2.9 Larangan Perkawinan

Menurut Pasal 8 UUP, perkawinan dilarang antara dua orang yang : 34


1. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas ;
2. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara,
antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara
neneknya ;
3. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri ;
4. Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri,
dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang ;
5. Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan
dan bibi/paman susuan ;
6. Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri,
dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang ;
7. Yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang
berlaku, maka dilarang kawin.

1.2.10 Putusnya Perkawinan

Putusnya perkawinan menurut ketentuan Pasal 38 Undang-Undang


Perkawinan adalah sebagai berikut :
1. Kematian ;
2. Perceraian ;
3. Atau Keputusan Pengadilan.
Putusnya perkawinan akibat kematian disebut juga dengan istilah cerai
mati. Kemudian putusnya perkawinan dengan sebab perceraian terdapat dua
macam sebutan, yaitu cerai gugat dan cerai talak. Sedangkan putusnya

34 Ibid., hlm.230

16
perkawinan dengan sebab atas keputusan pengadilan disebut juga dengan istilah
cerai batal. 35 Akibat putusnya perkawinan karena perceraian menurut Pasal 41
ialah :
1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-
anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada
perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan memberi
keputusannya ;
2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan anak itu ; bilamana bapak dalam kenyataan tidak
dapat memberi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu
ikut memikul biaya sendiri ;
3. Pengadilan dapat mewajibkam kepada bekas suami untuk memberikan biaya
penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.

BAB II

PERMASALAHAN

35 Ishaq, Op.Cit., hlm.167.

17
2.1 Judul Permasalahan

“Kisah Machica Mochtar perjuangkan anak hasil nikah siri ke MK.”

2.2 Deskripsi Permasalahan

Pada bab ini akan diulas perihal fenomena yang sering terjadi di
masyarakat Indonesia dalam bidang perkawinan yang menyalahi hukum dan
mengakibatkan terjadinya permasalahan di kemudian hari. Adapun permasalahan
yang sering terjadi ini adalah fenomena nikah siri. Nikah siri menurut hukum
positif adalah perkawinan yang dilakukan tidak sesuai dengan UU No.1 Tahun
1974 tentang perkawinan.36
Tahun 2012, dilansir dari Merdeka.com, Machica Mochtar merasa bahagia
setelah anak semata wayangnya hasil pernikahan siri dengan Mensesneg Era
Soeharto, Moerdiono. Machica menikah siri dengan Moerdiono pada 20
Desember 1993. Buah dari pernikahan itu lahir seorang anak laki-laki yang diberi
nama Muhammad Iqbal Ramadhan. Pernikahan siri tersebut tidak bertahan lama
dan pada tahun 1998, keduanya memutuskan berpisah. Setelah itu, Machica
Mochtar berjuang sendiri membesarkan anaknya. Namun, Pada Juli 2008,
keluarga besar Moerdiono melalui jumpa pers menegaskan jika Iqbal bukanlah
darah daging mantan mensesneg tersebut. Akhirnya, demi memperjuangkan hak
Iqbal sebagai seorang anak, Machica melayangkan Judicial Review ke MK.
Machica menguji Pasal 2 Ayat 2 dan Pasal 43 Ayat 1 dalam UU No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan. Pasal tersebut mengatur tentang kedudukan anak yang
dilahirkan di luar pernikahan, yakni hanya memiliki hubungan perdata dengan ibu
dan keluarganya. Pada Februari 2012, majelis hakim MK mengabulkan
permohonan uji materi Machica Mochtar melalui Putusan Mahkmah Konstitusi RI
Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 27 Februari 2012. 37 Ketua Majelis Hakim

36 Edi Gunawan, “Nikah Siri dan Akibat Hukumnya Menurut UU Perkawinan”, Jurnal
Ilmiah Al-Syir’ah, Vol.11, No.1, 2013. Hlm. 14.
37 Gushairi, “Pengaruh keputusan kasus Machica Mochtar terhadap status nasab anak yang

dilahirkan dari perkawinan yang tidak didaftarkan di Indonesia”, Fikiran Masyarakat, Vol.3,
No.1, 2015, hlm.2.

18
Mahfud MD menyatakan anak yang lahir di luar hubungan pernikahan atau di luar
hubungan resmi tetap memiliki hubungan dengan ayahnya.

2.3 Fakta Hukum

1. Machica Mochtar dan Moerdiono melakukan pernikahan siri pada akhir tahun
1993 dan dikaruniai anak bernama Muhammad Iqbal Ramadhan. Namun,
pernikahan tersebut berakhir pada 1998 dan status anak tersebut menjadi
tidak jelas.
2. Pada 2008, keluarga besar Moerdiono menegaskan jika Iqbal bukanlah darah
daging Moerdiono.
3. Machica Mochtar mengajukan Judicial Review. Machica menguji Pasal 2
Ayat 2 dan Pasal 43 Ayat 1 dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
4. Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan Judicial Review yang
diajukan Machica Mochtar melalui Putusan MK nomor 46/PUU-VIII/2010
pada 27 Februari 2012.

2.3 Isu Hukum

1. Bagaimana peraturan kawin siri dalam hukum positif Indonesia ?


2. Bagaimana latar belakang dan terjadinya perkawinan siri ?
3. Bagaimana akibat hukum yang terjadi dari perkawinan siri ?
4. Bagaimana kedudukan anak dari hasil perkawinan siri ?

19
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Nikah Siri dalam Hukum Positif Indonesia

Setiap manusia dalam menjalankan kehidupan tak lepas dari hubungan


dengan manusia lainnya. Adapun hubungan yang sangat krusial dalam fitrah
manusia ialah ikatan perkawinan. Perkawinan merupakan ikatan suci yang
berkaitan dengan keagamaan dan harus disiapkan secara lahiriah maupun batiniah
sehingga berkaitan dengan kaidah agama. Peristiwa perkawinan harus senantiasa
diiringi dengan norma hukum dan tata tertib yang mengikat peristiwa perkawinan
tersebut untuk mengatur perihal hak, kewajiban, dan tanggung jawab dalam
rumah tangga sehingga membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Lahirnya
Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 sebagai salah satu upaya untuk
mewujudkan keluarga yang bahagia dan kekal dengan pembaharuan terhadap
pola-pola perkawinan dalam masyarakat yang tidak sesuai prosedur dan
menimbulkan akibat negatif.
Dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa
“Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu”. 38
Pemahaman terhadap pasal ini
menimbulkan persepsi berbeda di masyarakat karena menganggap suatu
perkawinan itu sah apabila sudah dilaksanakan sesuai dengan syarat-syarat dan
rukun-rukun agama seperti halnya dalam agama Islam yang tidak mencantumkan
syarat pencatatan pernikahan oleh negara sebagai syarat sahnya perkawinan.
Sedangkan dalam pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan menyatakan
bahwa “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku”. 39 Dari dua ayat pasal 2 UU perkawinan tersebut menimbulkan

38
Indonesia, Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 2
ayat (1).
39 Ibid., Pasal 2 ayat (2).

20
perdebatan tentang sah atau tidaknya suatu perkawinan perkawinan yang sudah
dilaksanakan sesuai dengan agama namun tidak dicatatkan oleh negara adalah
tetap sah. Akibat dari hal tersebut, maka marak terjadi perkawinan yang sah
menurut agama namun tidak dicatatkan dalam dokumen negara atau istilah
lainnya adalah kawin siri.
Perkawinan siri merupakan perkawinan yang dilakukan secara rahasia.
Secara etimologi kata “sirri” berasal dari bahasa Arab, yaitu “sirrun” yang
artinya rahasia, sunyi, diam, tersembunyi sebagai lawan kata dari ‘alaniyyah,
yaitu terang-terangan. Kata sirri ini kemudian digabung dengan kata nikah,
sehingga menjadi nikah sirri untuk menyebutkan bahwa nikah yang dilakukan
secara diam-diam atau tersembunyi. Makna diam-diam dan tersembunyi ini
memunculkan dua pemahaman, yaitu pernikahan yang diam-diam tidak
diumumkan kepada khalayak atau pernikahan yang tidak diketahui atau tercatat di
lembaga negara.40
Kawin siri dalam hukum positif atau hukum negara berkaitan dengan
pencatatan perkawinan pada instansi pemerintah yang berwenang seperti diatur
dalam Undang-Undnag Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Sebelumnya
perkawinan diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 yang mana
sudah mengatur tentang pencatatan nikah, talak, dan juga rujuk. Sebagaimana
disebutkan 1) Perkawinan diawasi oleh Pegawai Pencatat Nikah, 2). Bagi
pasangan yang melakukan perkawinan tanpa pengawasan dari Pegawai Pencatat
Nikah dikenakan hukuman sebab masuk dalam hitungan pelanggaran. Lebih
lanjut pencatatan dan juga tujuan daripada perkawinan juga ditemukan dalam
penjelasan undang-undang itu. Disebutkan bahwa “Tiap-tiap perkawinan dicatat
menurut perundang-undangan yang berlaku”, dan dalam pasal lain juga dijelaskan
“Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu”. 41

40 Irfan Islami, “Perkawinan di Bawah Tangan (Kawin Sirri) dan Akibat Hukumnya”, Adil :
Jurnal Hukum, Vol.8, No.1, Hlm.8.
41 Thriwaty Arsal,“Nikah Siri dalam Tinjauan Demografi”. Jurnal Sosiologi Pedesaan.Vol. 6.

No. 2. September 2012. hlm. 165.

21
Perkawinan siri ada beberapa macam, diantaranya yaitu perkawinan tanpa
wali. Perkawinan semacam ini kadang dilakukan secara rahasia atau siri, sebab
wali perempuan mungkin tidak setuju atau mungkin pula karena keabsahan
perkawinan dianggap belum terpenuhi. Mungkin pula hanya demi memuaskan
nafsu syahwat sehingga mengindahkan ketentuan syariat-syariat. Perkawinan
seperti yang dijelaskan ini jelas sekali sangat tidak sah, sebab wali merupakan
rukun sah nikah.42
Selanjutnya yaitu perkawinan yangs ecara agama sah namun tidak kunjung
dicatatkan dalam lembaga negara. Perkawinan ini sah secara agama, akan tetapi
dari segi hukum formal atau undang-undang perkawinan tersebut tidak sah.
Adapun fungsi dari pencatatan perkawinan pada lembaga adalah supaya seseorang
itu memiliki bukti atau alat bukti yang digunakan untuk membuktikan bahwa
dirinya benar telah melakukan perkawinan dengan orang lain.
Kemudian yang terakhir adalah perkawinan yang sengaja dirahasiakan
karena pertimbangan-pertimbangan tertentu. Contohnya, perkawinan yang
dilakukan rahasia karena takut memperoleh stereotip dari masyarakat yang sudah
terlanjur menganggap suatu perkawinan siri itu tidak baik. Bahkan, bisa jadi
karena pertimbangan ini memang berbelit-belit sehingga memaksa seseorang
untuk merahasiakannya.43
Kawin siri atau nikah di bawah telapak tangan sejak dulu memang menjadi
kontroversi di kalangan masyarakat dan janggal menurut hukum positif Indonesia.
Hukum Positif Indonesia tidak mengenal istilah kawin siri dan menganut sistem
perkawinan yang dicatatkan di hadapan pegawai Pencatat Akta Nikah.
Perkawinan yang tidak dicatatkan dianggap ilegal dan tidak sah secara hukum
negara. Adapun pemahaman lain dan lebih umum mengenai kawin siri dalam
pandangan masyarakat Indonesia adalah perkawinan yang hanya memenuhi
ketentuan agama, yaitu memenuhi syarat dan rukun nikah. Rukun dan syarat
nikah itu meliputi : 1) adanya calon suami dan calon istri; 2) adanya wali
pengantin perempuan; 3) adanya dua saksi yang adil (terdiri atas dua orang laki-
42 Siti Aminah, “Hukum Nikah di Bawah tangan (Nikah Siri) “, Cendekia, Vol.12, No.1,
Jnauari 2014, Hlm. 24.
43 Ibid.

22
laki atau seorang laki-laki ditambah dua orang perempuan); 4) ijab dan kabul.
Selain rukun atau syarat wajib nikah, terdapat sunnah nikah yang juga perlu
dilakukan yakni khotbah nikah atau pengumuman pernikahan dengan
penyelenggaraan resepsi pernikahan dan menyebutkan mahar atau mas kawin.
Nikah sirri menurut hukum di Indonesia adalah tidak sah karena tidak
melaksanakan hukum perkawinan yang benar sesuai ajaran Islam.
Kasus perkawinan Machica Mochtar dan Moerdiono adalah perkawinan
siri karena dilakukan secara diam-diam dan tidak dicatatkan di hadapan petugas
pencatat nikah sehingga identitas perkawinan bahkan status anak pun sontak
menjadi polemik. Perkawinan ini sah secara agama, akan tetapi di mata hukum
tidak sah. Hal ini sebagai akibat dilanggarnya pasal 2 ayat (2) Undang-Undang
Perkawinan No.1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa tiap-tiap perkawinan
dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku. Disamping melanggar
ketentuan hukum, perkawinan siri juga melanggar ketentuan perkawinan dalam
agama Islam yakni suatu perkawinan hukumnya sunnah untuk tidak
disembunyikan dan hendaknya diumumkan kepada masyarakat dengan adanya
penyelenggaraan resepsi perkawinan. Hal ini mengindikasikan bahwa agama pun
menganjurkan suatu perkawinan untuk diumumkan serta tidak disembunyikan.
Perkawinan siri tidak memiliki kekuatan yang dapat dijadikan sebagai bukti
otentik telah dilaksanakannya suatu perkawinan.

3.2 Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Kawin Siri

Maraknya fenomena perkawinan siri di Indonesia memiliki latar belakang


dan permasalahan yang berbeda dari tiap individu. Adanya anggapan bahwa
perkawinan secara agama sudah dikatakan sah sehingga banyak individu yang
enggan mencattakan pernikahannya di Kantor Urusan Agama. Selain itu,
Perkawinan siri dianggap sebagai jalan pintas untuk seseorang yang
menginginkan pernikahan namun belum siap secara penuh lahir dan batin.

23
Faktor-faktor yang melatar belakangi terjadinya pernikahan siri adalah : 44
1. Nikah siri dilakukan karena hubungan yang tidak direstui oleh orang tua
kedua pihak atau salah satu pihak ;
2. Nikah siri dilakukan akrena adanya hubungan terlarang, misalnya salah satu
atau kedua pihak sebelumnya pernah menikah secara resmi tetapi ingin
menikah lagi dengan orang lain;
3. Nikah siri dilakukan dengan alasan seseorang merasa sudah tidak bahagia
dengan pasangannya, sehingga timbul niatan untuk mencari pasangan lain ;
4. Nikah siri dilakukan dengan dalih menghindari dosa karena zina ;
5. Nikah siri dilakukan karena pasangan merasa belum siap secara materi dan
secara sosial ;
6. Nikah siri sering ditempatkan sebagai sebuah pilihan ketika seseorang hendak
berpoligami dengan sejumlah alasan tersendiri ;
7. Nikah siri dilakukan karena pasangan emmang tidak tahu dan tidak mau tahu
prosedur hukum ;
8. Nikah siri dilakukan hanya untuk penjajakan dan menghalalkan hubungan
badan saja ;
9. Nikah siri dilakukan untuk menghindari beban biaya dan prosedur
administrasi yang berbelit-belit ;
10. Nikah siri dilakukan karena alasan pernikahan beda agama ;
11. Dan masih banyak faktor-faktor lain, semua alasan tersebut mengarah kepada
posisi perkawinan siri dipandang sebagai jalan yang lebih mudah untuk
menghalalkan hubungan suami istri.
Jika dianalisis, maka kasus perkawinan siri antara Machica Mochtar dan
Murdiono ditengarai terjadi karena dua faktor, pertama adalah karena adanya
ketidaknyamanan pihak pria dengan pasangan sebelumnya sehingga timbul niat
ingin mencari pasangan lain. Kedua, terjadinya perkawinan siri ini karena sebagai
salah satunya jalan terakhir dari pihak pria untuk hendak berpoligami dengan
berbagai alasan. Kedua faktor tersebut menjadi alasan yang kuat sebab saat

44
Edi Gunawan, “Nikah Siri dan Akibat Hukumnya Menurut UU Perkawinan”, Jurnal
Ilmiah Al- Syir’ah, Vol.11, No.1, 2016. hlm.8.

24
Moerdiono menikahi Machica pada tahun 1993 secara siri, pernikahan mereka
tidak bisa dicatat oleh KUA karena Moerdiono masih terikat dengan Pasal 2 UU
Nomor 1 Tahun 1974 perkawinan lain, yaitu perkawinan dengan istri pertamanya,
Marjati.45

3.3 Akibat Hukum dari Perkawinan Siri

Perkawinan merupakan perbuatan yang dinaungi oleh hukum sehingga


akibat yang ditimbulkan dari perkawinan adalah sah secara hukum. Mengingat
kawin siri adalah cacat hukum, maka segala akibat yang ditimbulkan darinya tidak
dilindungi oleh hukum. Ali Uraidy mengungkapkan akibat-akibat hukum dari
perkawinan siri, diantaranya :46
1. Tidak adanya kekuatan hukum yang tetap terhadap legalitas perkawinan
tersebut, sehingga apabila adanya hak-hak istri yang dilanggar oleh suami,
istri tidak dapat menuntut hak-hak tersebut secara hukum ;
2. Akad nikah yang dilakukan cenderung tidak dapat dibuktikan secara hukum
dan suami istri yang melaksanakan akad nikah siri tidak dapat membuktikan
bahwa keduanya merupakan pasangan yang legal di mata Hukum Islam
maupun Negara ;
3. Kepentingan-kepentingan suami istri lainnya dalam menjalani kehidupan
berumah tangga tidak dapat dilindungi ;
4. Karena tidak ada bukti adanya perkawinan tersebut, kepentingan seperti
terkait dengan pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga
(KK), Paspor, Akta Kelahiran anak ataupun berkaitan dengan politik yaitu
berhaknya memberikan suara atau dipilih pada pemilihan umum tidak dapat
dilayani ;
5. Akad nikah siri cenderung membuat salah satu pasangan, khususnya suami
lebih leluasa untuk meninggalkan kewajibannya, bahkan memperlakukan
istrinya dengan kekerasan ;
45
http://irmadevita.com/2012/dampak-putusan-mk-bahwa-anak-luar-kawin-memiliki-
hubungan-hukum-dengan-ayahnya, (Kamis, Maret 23,2012)
46 Irfan Islami, Op.Cit., Hlm.16.

25
6. Akad nikah siri berakibat menganggu kemaslahatan agama, ajaran agama
cenderung dipraktikkan secara kacau , kekacauan tersebut dapat digambarkan
bahwa apabila suatu akad nikah tidak dicatat secara resmi di hadapan pejabat
yang berkewenangan yakni, Pegawai Pencatat Nikah, maka akad nikah
seperti ini cenderung tidak dapat dikontrol. Akhirnya dapat membuka peluang
suami untuk melakukan akad nikah kembali dengan wanita lain tanpa terlebih
dahulu mendapatkan persetujuan secara resmi dari istri pertama melalui
proses persidangan. Perilaku seperti ini cenderung akan terulang kembali
sampai akhirnya suami pun berpotensi memiliki istri melebihi dari ketentuan
agama. Akhirnya kemaslahatan agama juga ikut terganggu ;
7. Akad nikah siri dapat berakibat memengaruhi kemaslahatan psikologis sang
istri dan anak, mereka pun merasa tidak nyaman dan tidak tenang. Terlebih
ketika anak memasuki usia sekolah dan ketika didaftarkan, setiap lembaga
pendidikan selalu mensyaratkan kepada pendaftar (orang tua anak) salah
satunya adalah akte kelahiran. Syarat untuk membuat akte kelahiran anak
adalah buku nikah dan orang yang memiliki buku nikah adalah orang yang
ketika melangsungkan akad nikah mencatatkan pernikahannya. Apabila buku
nikah tidak dimiliki, akte kelahiran pun tidak dapat diberikan karena bukti
hukum untuk menyatakan bahwa seorang anak tersebut adalah anak sah
pasangan suami istri yang ingin membuat akte kelahiran anaknya tersebut ;
8. Akad nikah siri dapat berakibat mempengaruhi kemaslahatan akal, Dikatakan
demikian karena dengan adanya rasa tidak nyaman bahkan hilangnya rasa
percaya diri disebabkan orang tuanya tidak memiliki buku nikah, anak pun
tidak dapat berpikir dengan baik. Artinya dengan kondisi psikologis yang
tidak nyaman karena merasa keberadaannya sebagai kekurangan dalam
kehidupan manusia sehingga dapat berakibat hilangnya rasa percaya diri.
Anak itu pun akhirnya mulai menghindari untuk bergaul dan lebih memilih
untuk mengurung diri di rumah ;
9. Akad nikah siri dapat berakibat memengaruhi kemaslahatan keturunan,
Dikatakan demikian karena dengan tidak tercatatnya akad nikah, anak yang
dilahirkan pun tidak memiliki identitas yang jelas asal usul yang dapat

26
dibuktikan secara hukum, sehingga cenderung dianggap orang sebagai anak
hasil hubungan yang tidak sah ;
10. Akad nikah siri dapat berakibat memengaruhi kemaslahatan harta, disebut
demikian karena tidak jelasnya identitas pernikahan dan pernikahan pun tidak
dapat dibuktikan melalui buku nikah, maka identitas anak yang dilahirkan
menjadi tidak jelas pula.
Itulah beberapa akibat dari akad nikah siri, walaupun akad nikah siri
dipandang sebagai akad nikah yang sah dengan dalih asalkan terpenuhi rukun dan
syaratnya, tetapi akibat yang timbul dari akad nikah siri tersebut lebih besar
kemudaratannya daripada kemaslahatannya. Kasus perkawinan siri Machica
Mochtar dan Moerdiono menyisakan akibat hukum diantaranya mengenai status
anak hasil perkawinan mereka menjadi tidak jelas. Pada Juli 2008 keluarga besar
Moerdiono melalui jumpa pers menegaskan jika Iqbal bukanlah darah daging
Moerdiono. Ditambah lagi, konflik tersebut terjadi setelah keduanya bercerai
sejak lama. Berbagai perjuangan pun dilakukan Machica mulai dari tes DNA
hingga pengajuan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi. Hal ini menandakan
bahwa kawin siri memiliki akibat-akibat jangka panjang terutama yang menimpa
pihak istri dan anak.

3.4 Kedudukan Anak Hasil Kawin Siri

Perkawinan siri merupakan aspek peraturan yang belum lengkap karena


tidak dicatatkan, pencatatan setiap peristiwa baik itu peristiwa perkawinan hanya
termasuk proses administratif, namun dalam hukum nasional, proses pencatatan
setiap perkawinan telah menjadi bagian dari hukum positif karena hanya dengan
proses ini maka masing-masing pihak diakui segala hak dan kewajibannya di
depan hukum. Lalu dengan kawin siri yang tanpa diakui kedudukan hukumnya,
maka akan menimbulkan bentuk pengingkaran terhadap perkawinan tersebut
sehingga anak yang dilahirkan pun tidak diakui pula kedudukan hukumnya.
Berkaitan dengan anak yang dilahirkan di luar perkawinan, Mahkamah Konstitusi
menilai tidak tepat dan tidak adil manakala hukum menetapkan bahwa anak yang

27
lahir dari suatu kehamilan karena hubungan seksual di luar perkawinan hanya
memiliki hubungan dengan ibunya. Hubungan anak dengan seorang laki-laki
sebagai bapak tidak semata-mata karena adanya ikatan perkawinan, akan tetapi
dapat juga didasarkan pada pembuktian adanya hubungan darah antara anak
dengan bapaknya. Dengan demikian, terlepas dari soal prosedur/administrasi
perkawinannya, anak yang dilahirkan harus mendapatkan perlindungan
hukum.apabila tidak diberi perlindungan hukum, maka yang akan dirugikan
adalah anak karena ia tidak menghendaki kelahirannya tersebut dan juga anak
yang tanpa kejelasan juga sering mendapat perlakuan yang tidak adil di tengah
masyarakat. Hukum harus memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil
terhadap status seorang anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya
masih dipersengketakan. 47
Berdasarkan Pasal 49 dan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2006 Tentang Administrasi Kependudukan, anak luar kawin (anak dari
perkawinan siri) dalam hukum administrasi kependudukan juga berhak untuk
mendapatkan akta kelahiran sebagaimana anak-anak sah pada umumnya, namun
oleh karena adanya ketentuan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 Tetang Perkawinan Jo. Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan
bahwa anak luar kawin hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya dan
keluarga ibunya, maka hal itu berimplikasi pada cara dan mekanisme pencatatan
akta kelahiran bagi anak luar kawin. 48 Pengakuan/penetapan anak luar kawin
(anak perkawinan siri) dapat juga dilakukan dengan akta yang dibuat oleh
pegawai Catatan Sipil, dan didaftarkan dalam daftar kelahiran menurut hari
penandatanganan pengakuan terhadap anak. Pengakuan itu harus dicantumkan
pada margin akta kelahirannya. Apabila terjadi kelalaian dalam mencatatkan
pengakuan pada margin akta kelahiran, tidak boleh dipergunakan untuk

47 Taufiqurrohman Syahuri, “Legislasi Hukum Perkawinan di Indonesia Pro-Kontra


Pembentukannya hingga Putusan Mahkamah Konstitusi”, ( Jakarta : Kencana Prenada Media
Group , 2013 ), hlm.197-198.
48
Chairunnisa Siregar, Skripsi :”Hukum Penerapan Asal Usul Anak perkawinan
Siri“ (Medan : USU, 2020), hlm.51.

28
49
membantah kedudukan yang telah diperoleh anak yang diakui tersebut.
Kedudukan anak penting demi kelangsungan hidup dan untuk mendapatkan
haknya. Kedudukan anak yang sah haruslah didasari oleh perkawinan yang sah
sesuai dengan aturan Pasal 42 UU Perkawinan dan Pasal 99 Kompilasi Hukum
Islam. Oleh karena itu, perkawinan siri yang telah terjadi agar di itsbatkan
kemudia dicatatkan di pencatatan sipil agar mendapat kedudukan hukum untuk
menunjang kelangsungan hidup anak yang dilahirkan.
Kasus kedudukan anak hasil pernikahan Machica Mochtar dan Moerdiono
sontak menjadi polemik bagi Machica Mochtar, anak yang dilahirkannya tidak
diakui oleh pihak keluarga Moerdiono sebagai darah daging menteri era orde baru
tersebut. Nama bapak pada Akta kelahiran anak tersebut juga diganti menjadi
Agus Ibrahim yang tak lain adalah keluarga dari Machica Mochtar sendiri atas
perintah Moerdiono. Hj. Aisyah Mochtar atau Machica Mochtar pun melakukan
segala usaha agar anaknya mendapatkan pengakuan. Ia dan anaknya, Muhammad
Iqbal Ramadhan bin Moerdiono mengajukan permohonan Judicial Review
terhadap ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dimana Moerdiono sebagai seorang suami
yang telah beristri menikah kembali dengan istri kedua yang bernama Hj. Aisyah
Mochtar secara syari’ah Islam dengan tanpa dicatatkan dalam register akta nikah,
oleh karena itu ia tidak memiliki buku kutipan akta nikah, dan dari pernikahan
tersebut lahir seorang anak laki-laki yang bernama Muhammad Iqbal Ramadhan
bin Moerdono.50 Hak-hak konstitusi penggugat yang dijamin oleh pasal 28 B ayat
(1) dan ayat (2) telah dirugikan dengan berlakunya pasal 2 ayat (2) dan pasal 43
ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, karena status perkawinannya
menjadi tidak sah, demikian juga terhadap anak yang dilahirkannya menjadi tidak
sah.51 Hasil dari permohonan tersebut, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa
pasal 2 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang pencatatan perkawinan

49 Ibid., Hlm.52
50 Ahmad Ibrahim Kulliyah of Laws, “Pengaruh Keputusan Kasus Machica Mochtar
terhadap Status Nasab Anak yang Dilahirkan dari Perkawinan yang Tidak Didaftarkan di
Indonesia”, Fikiran Masyarakat, Vol.3, No.1, 2015, hlm. 30.
51
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 27 Februari 2012
Halaman 4-5.

29
menyimpulkan bahwa pasal ini tidak bertentangan dengan konstitusi dengan
alasan :
1. Pencatatan perkawinan bukan faktor yang menentukan sahnya
perkawinan ;
2. Pencatatan merupakan kewajiban administrasi yang diwajibkan
berdasarkan perundang-undangan.
Ada beberapa manfaat dengan tetap berlakunya pasal 2 ayat 2 tentang pencatatan
pernikahan tersebut, yakni :
1. Mendapatkan perlindungan hukum ;
2. Memudahkan urusan perbuatan hukum lain yang terkait dengan
pernikahan ;
3. Legalitas formal pernikahan di hadapan hukum ;
4. Terjamin keamanannya
Di sisi lain, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan pemohon dengan
salah satu mereview ketentuan pasal 43 ayat (1) UU No.1 Tahun 1974 yang
awalnya ; “anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Yang pada akhirnya menjadi ; “anak
yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya
dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan
berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut
hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga
ayahnya”.52 Implikasi dari putusan Mahkamah Konstitusi ini adalah suatu putusan
final. Oleh karena itu, putusan MK ini final dan putusan tersebut memiliki
kekuatan mengikat terhadap seluruh masyarakat Indonesia sejak diucapkan dalam
sidang terbua untuk umum pada tanggal 27 Februari 2012 sesuai pasal 47 UUMK,
dengan berlakunya putusan MK ini, maka ketentuan pasal 43 ayat (1) dan pasal
100 Kompilasi Hukum Islam tidak memilikim kekuatan hukum yang mengikat.
Kasus kedudukan anak hasil perkawinan siri Machica Mochtar dan
Moerdiono yang termaktub dalam Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor

52
Gushairi, “Pengaruh Keputusan Kasus Machica Mochtar terhadap Status Nasab Anak
Luar Nikah di Indonesia”, Jurnal Madania, Vol.4, No.1, 2014,hlm.5.

30
46/PUU-VIII/2010 tanggal 27 Februari 2012 memiliki pengaruh terhadap status
nasab dan hak anak yang lahir di luar pernikahan. Adapun pengaruh positif dari
keputusan tersebut adalah mengakibatkan hubungan perdata antara anak yang
dihasilkan di luar pernikahan dengan ayahnya yang bisa dibuktikan dengan
teknologi seperti tes DNA karena dalam amar putusan, tidak dinyatakan bahwa
anak hasil di luar pernikahan itu adalah anak hasil nikah siri atau tidak di register
di Kantor Urusan Agama atau Catatan Sipil. Jika dianalisis lebih mendalam lagi,
putusan ini menimbulkan konsekuensi adanya hubungan nasab anak luar nikah
dengan bapak biologisnya, tentu juga akan menghasilkan adanya hak dan
kewajiban antara anak luar nikah dan bapak biologisnya, baik itu dalam bentuk
nafkah, waris, hak asuh, dan lain sebagainya. Sehingga, putusan ini akhirnya
memberikan perlindungan kepada anak dan menghilangkan diskriminasi terhadap
anak hasil di luar nikah. Sisi positif lainnya, menurut Mahfud MD, adalah bisa
mengurangi perzinahan dan bagi laki-laki akan memikir kembali karena khawatir
menghasilkan anak.
Adapun sisi negatif dari kasus ini adalah jika seorang laki-laki dan
perempuan berzina dan menghasilkan anak, melalui pasal 43 ayat (1) yang telah
diubah dalam putusan tersebut mengakibatkan status anak hasil zina bisa
mendapatkan nasab dan hak lainnya dari ayah biologisnya setelah dilakukan
pemeriksaan melalui alat-alat teknologi maupun tes DNA dan putusan MK nomor
46/PUU-VII/2010 tersebut bertentangan dengan Hukum Islam.
Berdasarkan kasus perkawinan siri antara Machica Mochtar dan
Moerdiono di atas, dapat diketahui bahwa pihak yang dirugikan selain istri dari
kawin siri adalah anak. Status anak hasil kawin siri menjadi tidak jelas bahkan
bisa saja tidak diakui kedudukan dan haknya oleh hukum, padahal anak tersebut
tidak bersalah dan kelahirannya adalah di luar dari kehendaknya. Putusan
Mahkamah Konstitusi RI Nomor 46/PUU-VIII/2010 memberikan angin segar
pada Machica Mochtar atas kejelasan status anak semata wayangnya itu dan juga
satatus anak yang dilahirkan di luar nikah lainnya.

31
BAB IV

KESIMPULAN

Fenomena kawin siri yang dijelaskan dengan kasus pada bab sebelumnya
menandakan bahwa nikah siri menurut hukum positif Indonesia adalah
perkawinan yang tidak sesuai dengan UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Pada peraturan perundang-undangan tersebut dinyatakan bahwa perkawinan
adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaan, dan tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku.Perkawinan siri terjadi karena di latar belakangi oleh
berbagai faktor yang mengharuskan setiap pasangan melakukan kawin siri sebagai
pilihan yang ditempuh. Akibat hukum yang dapat ditimbulkan dari perkawinan
siri adalah timbulnya konflik dalam keluarga dan juga berdampak pada aspek
kehidupan lainnya. Salah satu akibat yang ditimbulkan dari kawin siri adalah
tentang kejelasan status anak. Anak hasil kawin siri tidak memiliki kejelasan
perihal status dan haknya sehingga tidak dapat dilindungi oleh hukum. Namun,
sejak diputuskannya Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 46/PUU-VIII/2010
pada 2012, status anak hasil kawin siri pun jelas. Putusan ini memberikan
informasi terkait penentuan pertalian darah dengan orang tua biologis sang anak
melalui teknologi canggih. Selain itu, putusan MK ini berisi aturan yang jelas
terhadap anak hasil kawin siri terkait kedudukan dan haknya dalam hukum positif.

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Buku

Djamali, R. Abdoel. 2012. Pengantar Hukum Indonesia Edisi Revisi. Jakarta :


Rineka Cipta.
Entah, Aloysur. R. 1989. Hukum Perdata (Suatu Perbandingan Ringkas).
Yogyakarta : Liberty.
Ishaq. 2018. Pengantar Hukum Indonesia (PHI). Depok : Rajawali Pers.
Kansil, C.S.T. 1989. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta :
Balai Pustaka.
Manullang, Herlina. 2019. Pengantar Ilmu Hukum Indonesia. Medan : Bina
Media Perintis.
Prawirohamidjojo, Soetojo. dkk. 2000. Hukum Orang dan Keluarga. Bandung :
Alumni.
Sitompul, Roswita. 2006. Hukum Perdata Indonesia. Jakarta : Pustaka Bangsa
Pers.
Subekti. 2003. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta : Intermasa.
Syahuri, Taufiqurrahman. 2013. Legislasi Hukum Perkawinan di Indonesia Pro-
Kontra Pembentukannya hingga Putusan Mahkamah Konstitusi.Jakarta :
Kencana Prenada Media.
Yulia. 2015. Buku Ajar Hukum Perdata. Lhokseumawe : Biena Edukasi.
2. Artikel dan Jurnal
Aminah, Siti. “Hukum Nikah di Bawah tangan (Nikah Siri) “, Cendekia, Vol.12,
No.1, Jnauari 2014.
Gunawan, Edi. “Nikah Siri dan Akibat Hukumnya Menurut UU Perkawinan”,
Jurnal Ilmiah Al-Syir’ah, Vol.11, No.1, 2013.
Gushairi, “Pengaruh Keputusan Kasus Machica Mochtar terhadap Status Nasab
Anak Luar Nikah di Indonesia”, Jurnal Madania, Vol.4, No.1, 2014.
Islami, Irfan. “Perkawinan di Bawah Tangan (Kawin Sirri) dan Akibat
Hukumnya”, Adil : Jurnal Hukum, Vol.8, No.1, 2017.

33
Laws, Ahmad Ibrahim Kulliyah of. “Pengaruh Keputusan Kasus Machica
Mochtar terhadap Status Nasab Anak yang Dilahirkan dari Perkawinan
yang Tidak Didaftarkan di Indonesia”, Fikiran Masyarakat,
Vol.3, No.1, 2015.
Mamahit, Laurensius. “Hak dan Kewajiban Suami Isteri Akibat Perkawinan
Campuran Ditinjau dari Hukum Positif Indonesia.” Lex Privatum,
Vol.1, No.1,2013.
Puniman, Ach. “Hukum Perkawinan menurut Hukum Islam dan Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974”. Jurnal Yustitia, Vol.19, No.1, 2018.
Thriwaty Arsal,“Nikah Siri dalam Tinjauan Demografi”. Jurnal Sosiologi
Pedesaan, Vol. 6. No. 2. September 2012.
3. Peraturan Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Kompilasi Hukum Islam ( Pasal 99 dan Pasal 100 )
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan
4. Skripsi
Siregar, Chairunnisa. “Hukum Penerapan Asal Usul Anak perkawinan Siri”,
Skripsi, Sumatera Utara : Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,
2020.
5. Internet
Pramesti, Tri Jata Ayu. 2014. “Subjek Hukum dalam Hukum Perdata dan Hukum
Pidana”, https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt52bdff25086
16/subjek-hukum-dalam-hukum-perdata-dan-hukum-pidana/ (diakses pada
2 Maret 2021)
Devita, Irma. 2012. “Dampak Putusan MK bahwa Anak Luar Kawin Memiliki
Hubungan Hukum dengan Ayahnya”, http://irmadevita.com/2012/dampak-
putusan-mk-bahwa-anak-luar-kawin-memiliki-hubungan-hukum-dengan-
ayahnya, (diakses pada 11 Maret 2021)

34
Syafirda, Didi. “Kisah Machica Mochtar Perjuangkan Anak Hasil Nikah Siri ke
MK”, https://www.merdeka.com/peristiwa/kisah-machica-mochtar
perjuangkan-anak-hasil-nikah-siri-ke-mk.html, (diakses 13 Maret 2021)

35

Anda mungkin juga menyukai