Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

HUKUM PERDATA INTERNASIONAL

Makalah Ini Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Perdata Internasional

Dosen pengampu : Dr. H.E.Zaenal Muttaqin. M.H.,M.A

Disusun Oleh :

Agus Maulana : 211110024

Abdullah Nuragis : 211110028

Mia Sukmawati : 211110032

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN MAULANA HASANUDDIN BANTEN

2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami haturkan atas berkat rahmat allah swt yang telah memberikan hidayah
dan karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Hukum Perdata Internasional ini.
Shalawat serta salam tak lupa kami ucapkan kepada baginda besar Muhammad saw yang telah
membimbing kita keluar dari gelapnya masa jahiliyah hingga ke masa modern seperti sekarang
ini.

Sebelumnya kami mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak-pihak yang


berkontribusi memberikan bantuan dalam menyusun makalah ini, baik berupa tenaga, pikiran,
kritik serta saran, sehingga makalah ini dapat kami selesaikan dengan baik dan sesuai dengan
waktu yang telah ditentukan.

Kami menyadari bahwa makalah yang kami susun masih jauh dari kata sempurna, baik
dari segi bahasa maupun segi penulisan, karena pengetahuan dan kemampuan kami yang masih
terbatas. Untuk itu kami dengan lapang dada mengharapkan adanya masukan berupa saran serta
kritik dari para pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah kami dilain kesempatan. Sebagai
penutup semoga makalah yang kami susun ini bisa berguna dan menambah wawasan para
pembaca.

Serang, 06 September 2023.

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................................................... i

DAFTAR ISI................................................................................................................................... ii

BAB I .............................................................................................................................................. 1

PENDAHULUAN .......................................................................................................................... 1

A. Latar Belakang. .................................................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah. ............................................................................................................... 1

C. Tujuan. ................................................................................................................................. 1

BAB II............................................................................................................................................. 2

PEMBAHASAN ............................................................................................................................. 2

A. Urgensi Hukum Perdata Internasional di Indonesia. ........................................................... 2

B. Definisi Hukum Perdata Internasional. ................................................................................ 2

C. Sejarah Perkembangan Hukum Perdata Internasional. ........................................................ 3

D. Ruang Lingkup Hukum Perdata Internasional ................................................................... 12

E. Karakteristik Hukum Perdata Internasional ....................................................................... 13

KESIMPULAN ............................................................................................................................. 15

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................... 16

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.

Di zaman lintas batas antarnegara seperti saat ini, perpindahan manusia dan barang dari
satu negara ke negara lain berlangsung makin kondusif. Berbagai kerjasama ekonomi yang
dilakukan pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara lain, telah mendorong peningkatan
investasi asing di dalam negeri. Penanaman Modal Asing (PMA) di Indonesia tidak dapat
dihindarkan, bahkan peranannya sangat strategis dalam menunjang tercapainya pembangunan
nasional. Dengan intensnya hubungan antarnegara dan iklim investasi yang semakin kondusif,
maka kehadiran pelaku usaha dari berbagai negara di wilayah Indonesia juga semakin
meningkat. Mereka saling berinteraksi tanpa kesulitan yang berarti untuk menembus batas-
batas territorial negara. Interaksi ini dapat melalui bidang politik, ekonomi, pendidikan, dan
lainnya

B. Rumusan Masalah.

1. Apa urgensi Hukum Perdata Internasional di Indonesia.


2. Apa definisi atau pengertian dari Hukum Perdata Internasional.
3. Jelaskan Sejarah Hukum Perdata Internasional.
4. Apa saja ruang lingkup Hukum Perdata Internasional.
5. Bagaimana karakteristik Hukum Perdata Internasional.

C. Tujuan.

1. Untuk mengetahui urgensi Hukum Perdata Internasional.


2. Untuk mengetahui definisi Hukum Perdata Internasional.
3. Untuk mengetahui sejarah Hukum Perdata Internasional.
4. Untuk mengetahui ruang lingkup Hukum Perdata Internasional.
5. Untuk mengetahui karakteristik Hukum Perdata Internasional.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Urgensi Hukum Perdata Internasional di Indonesia.

Dalam pidato inaugurasi kami pada tahun 1958 yang berjudul : Hukum Antargolongan,
hukum yang hidup telah dikemukakan sebagai kata-kata penutup bahwa Hukum Perdata
Internasional dalam alam nasional akan menjadi tambah penting, sedangkan kepentingan
hukum antargolongan akan berkurang. Sebagai sebab gejala ini, telah dijelaskan bahwa
menurut realita yang sekarang tidak lagi populer perbedaan-perbedaan dalam golongan-
golongan rakyat. Justru sebaliknya, lebih ditekankan kepada kewaganegaraan atau orang asing.
Terbukti dengan adanya perbedaan yang nyata antara warga negara dan orang asing di dalam
Undang-Undang Pokok Agraria no. 5tahun 1960, mulai berlaku pada tanggal 24 september
1960.
Kepada warga negara diberikan hak-hak penuh atas tanah, sedangkan untuk orang asing
hanya disediakan hak-hak tertentu yang terbatas. Indonesia sebagai negara yang merdeka dan
berdaulat kini jauh lebih tertarik dalam hubungan-hubungan internasional. Titik-titik
pertemuan dengan stelsel-stelsel hukum perdata asing semakin bertambah daripada dalam
masa penjajahan.

B. Definisi Hukum Perdata Internasional.

Istilah Hukum Perdata Internasional (HPI) pertama kali digunakan oleh Story, pada tahun
1984, sejak saat itu masih digunakan hingga sekarang, sebagai suatu istilah yang diterima
secara umum (ingeburgerd). Adapun beberapa pengertian Hukum Perdata Internasional
menurut para ahli :
1. Van Brakel.
Hukum perdata internasional adalah hukum nasional yang ditulis atau diadakan untuk
hubungan-hubungan hukum internasional.1
2 . Schnitzer.

1RH Graveson, The Conflict of law, dalam CFG. Sunaryati Hartono, Pokok-pokok Hukum Perdata Internasional,
(Bandung: Binacipta, 1976) h.8

2
Hukum perdata internasional adalah hukum perdata, karena mengatur hubungan peristiwa-
peristiwa hukum internasional secara perdata.
3. Hymans.
Hukum Perdata Internasional adalah hukum perdata yang lahir sebagai akibat adanya unsur
asing dalam suatu peristiwa, yang emudian meimbukan pertanyaan: kaidah hukum-hukum
mana yang harus berlaku. Apakah berlaku asas lex fori (tempat dimana gugatan diajukan, jika
objek gugatan benda bergerak) atau kaidah hukum asing..
4. RH. Graveson.
Hukum Perdata Internasional adalah hukum yang berkaitan dengan perkara-perkara yang
didalamnya mengandung faktarelevan yang menunjukkan keterikatan dengan suatu sistem
lain, baik karena aspek teritorial maupun aspek subjek hukumnya, dan karena itu menimbulkan
pertanyaan tentang penerapan hukum sendiri atau hukum lain (biasanya asing), atau masalah
pelaksanaan yurisdiksi badan pengadilan sendiri atau badan pengadilan asing.2
5. Sudargo Gautama.
Keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang menunjukkan stelsel hukum manakah
yang berlaku, atau apakah yang merupakan hukum jika hubungan atau peristiwaantara warga
negara padasuatu waktu tertentu memperlihatkan titik pertalian dengan stelsel dan kaidah
hukum dari dua atau lebih negara, yang berbeda dalam lingkungan kuasa, tempat, pribadi, dan
soal-soal.3
Penggunaan kata internasional pada bidang hukum perdata internasional tidak sama
dengan hukum internasional. Kata Internasional, seperti contoh diatas mengacu pada adanya
unsur asing pada peristiwa hukum. Unsur asing inilah yang menjadi titik internasional dari
hukum perdata internasional. Hukum Perdata Internasional (HPI) dalam bahasa Prancis ‘Droit
International Privet’, Belanda ‘International Privatrecht’, Italia ‘Drito Internazionale
Privato’, Inggris ;International Privat Law/Private Internatinal Law.

C. Sejarah Perkembangan Hukum Perdata Internasional.

2 RH Graveson, Confict of Law - Privat Law, dalam Bayu Seto Hardjowahono, Dasar-dasar Hukum Perdata

Internasional, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2013), h.3

3 Sudargo Gautama,Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, (Jakarta: Binacipra, 1987), h.21

3
Sejarah Hukum Perdata Internasional (HPI) tidak dapat dipisahkan dari perkembangan
para sarjana yang menekuni bidang ini. Ibi societas, ibi ius, dimana ada masyarakat, disitu ada
hukum. Apa yang disampaikan Cicero tersebut diyakini kebenarannya. Dalam konteks Hukum
Perdata Internasional dalam masyarakat yang masih tertutup misalnya hukum yang berlaku
hanya menganggap pemilik hak dan kewajiban (subjek hukum) adalah anggota masyarakatnya
saja. Orang-orang yang berada diluar masyarakat tersebut dianggap objek hukum, dan tidak
dianggap memiliki hak-hak keperdataan. Kekerasan terhadap objek hukum dianggap bukan
kejahatan, karena dianggap sebagai budak. Ciri seperti ini yang dianggap sebagai prinsip
personalitas, artinya hukum yang berlaku hanya digantungkan pada perseorangan yang
bersangkutan. Prinsip personalitas mengatur hubungan hukm antara orang-orang yang terikat
secara personal, keturunan, suku, agama, dan lain-lain.
1. Masa Romawi Kuno.
Pada masa ini orang-orang masih tertutup, orang luar yang dianggap bukan anggota
masyarakat hukum, dianggap sebagai musuh. Dalam perkembangannya dibawah kepimpinan
Julius Caesar (100 SM- 44 SM), Kerajaan Romawi Kuno memperluas kekuasaanya yang
menduduki kota-kota provinsi lain, masing-masing kota provinsi dibiarkan melakukan
hukumnya sendiri, yang merupakan suatu civitas (warga negara) sendiri, yang berbeda-beda satu
sama lain.Ius Gentium merupakan prinsip yang mengatur peristiwa dan hubungan hukum oleh
anggota masyarakat dari dua kota provinsi atau lebih yang berbeda. Menurut Nussbaum, ius
gentium dibentuk oleh pengadilan-pengadilan khusus yang mengatur dan mengadili hubungan
antara sivitas Romawi Kuno dan orang asing, atau yang mengatur hubungan antara orang-orang
asing (peregrini) itu sendiri.
Adapun beberapa asas Hukum Perdata Internasional yang tumbuh dan berkembang pada
masa ini adalah sebagai berikut :
a) Asas lex rei sitae (lex situs).
Asas ini bermakna, untuk perkara-perkara yang menyangkut benda-benda tidak bergerak
(immovables) tunduk pada hukum dari tempat dimana benda itu berada atau terletak. Sedangkan
untuk benda yang bergerak (movables) berlaku hukum prinsip personal dari orang atau subjek
hukum yang menguasai benda itu.
b) Asas lex domicilii.

4
Asas ini menetapkan bahwa hak dan kewajiban perorangan harus diatur berdasarkan
hukum tempat seseorang berkediaman tetap. Yang menjadi persoalan dalam Hukum Romawi,
kedudukan seseorang dikaitkan dengan dua titik pertalian, yaitu pertama, kewarganegaan
(origo), yang dapat ditentukan karena tempat orangtua, adopsi, penerimaan atau pemilihan.
Kedua, domicilli yang merupakan komunitas dan tempat yang dipilih oleh seseorang sebagai
kediaman tetap. Perbedaan dua titik pertalian tersebut menyebabkan adanya persoalan tentang
hukum mana yang harus digunakan, hukum origo atau domicil. Dalam perkembangannya, asas
lex domicili ini menunjuk pada tempat kediaman tetap (permanent residence), tempat kediaman
sehari-hari (habitual residence) Untuk korpora/badan hukum menunjuk pada kedudukan atau
tempat usaha (place of bumes) korporasi atau badan hukum yang bersangkutan. Kemudian pada
abad ke-19, sejalan dengan lahirnya konsep negara nasional (nation states), muncul asas
kewarganegaraan (lex patriae), yang sampai sekarang banyak mendasari sistem HPI di Eropa
Kontinental dan bekas negara-negara jajahannya.

c) Asas lex loci contractus


Asas lex loct contractus mengatur bahwa terhadap perjanjian-perjanjian (yang
melibatkan pihak-pihak warga dari provinsi yang berbeda), maka berlaku hukum dari tempat
pembuatan perjanjian. Asas ini memiliki peranan yang sangat penting dalam menyelesaikan
persoalan-persoalan Hukum Perdata Internasional di bidang kontrak, sampal abad ke-20.
Dengan berkembangnya teknologi digital dan informasi, maka semakin banyak kontrak-kontrak
yang dibuat secara elektronik, di mana para pihaknya tidak hadir bertatap muka di suatu tempat
(interabsentes). Dengan demikian, tempat di mana kontrak tersebut disepakati para pihak
menjadi tidak relevan lagi. Merespons perkembangan ini, maka muncul asas lex loci solitionis,
yang menunjuk pada hukum di mana kontrak tersebut dilaksanakan (place of performance).
2. Masa Kejatuhan Imperium Romawi Kuno dan Abad Pertengahan.
Semakin luasnya wilayah Imperium Romawi menimbulkan banyak persoalan, antara lain
karena banyaknya kerusuhan (chaos) pada abad ke-3 M. Untuk mencermati hal tersebut, bangsa
Romawi melakukan reformasi pemerintahan dengan membagi Imperium menjadi Kerajaan
Romawi Barat dan Kerajaan Romawi Timur. Pembagian kerajaan ini ternyata memperlemah
posisi Romawi terhadap bangsa-bangsa Jerman dan barbar. Invasi bangsa Jerman akhirnya
berhasil menghancurkan Kerajaan Romawi Barat, dan mengambil alih wilayahnya pada
penghujung abad ke-5 M. Kerajaan Romawi Timur baru berakhir seribu tahun kemudian dengan

5
penaklukan ibukotanya, Konstantinopel, oleh bangsa Turki pada tahun 1453. Hancurnya
Kerajaan Romawi Barat secara umum disepakati oleh para sejarawan sebagai awal masuknya
Barat ke Zaman Pertengahan, yang berakhir sampai dengan abad ke-12. Sepanjang zaman ini,
tradisi Romawi Yunani dalam bidang seni dan susastra serta hukum terkubur, atau bisa juga
ditinggalkan. Mengingat rentang waktunya yang cukup lama, kurang lebih selama tujuh ratus
tahun, maka tidaklah mengherankan jika hukum Romawi dan Codex Justinianus terbengkalai,
dan kemudian terlupakan.
Tampilnya Gereja Roma, yang sedikit banyak menggantikan peran Kerajaan Romawi
Barat sebagai pemersatu Eropa Barat, mempunyai pengaruh besar bagi kehidupan politik dan
masyarakat, yang pada akhirnya berpengaruh terhadap perkembangan hukum positif di Eropa.
Dalam kurun waktu yang terbentang antara abad ke-6 sampai dengan ke-10 M, yang juga disebut
sebagai Zaman Barbar ini, HPI belum dipelajari sebagai suatu sistem tersendiri. Namun
kesadaran akan pluralisme hukum positif yang berlaku bagi orang tetap ada. Para sarjana HPI
seperti von Savigny, Cheshire, maupun Gautama sering mengutip pernyataan Uskup Agung
Lyon, Agobardus (816 M), bahwa, “It often happens that five men, each under a different law,
may be found walking or sitting together.” Seringkali terjadi lima orang, masing masing tunduk
pada hukum yang berbeda, ditemukan sedang berjalan atau duduk bersama, demikian
dikatakannya untuk menggambarkan aneka ragam hukum saat itu. Bagi kita di Indonesia, dan
terutama setelah Anda menyelesaikan Kegiatan Belajar 1, pernyataan Agobardous bukanlah hal
yang luar biasa. Sebab hukum yang berlaku bagi orang Indonesia tidaklah seragam sebagai
akibat dari penggolongan penduduk warisan dari zaman kolonial.
Meski HPI sebagai suatu sistem belum berkembang, dari zaman ini kita dapat menemukan
penyelesaian permasalahan yang masih bertahan sampai sekarang. Misalnya, sebagai asas
umum berlaku pendirian bahwa tiap perkara diajukan di muka hakim hukum dari pihak tergugat
(actor sequitur forum rei), yang masih digunakan dalam hukum acara perdata kita; kecakapan
untuk mengadakan perjanjian ditentukan oleh hukum personal para pihak, demikian juga halnya
dengan untuk pewarisan berlaku hukum pewaris; perbuatan melanggar hukum diselesaikan
menurut hukum si pelanggar; dan perkawinan dilangsungkan menurut hukum yang berlaku
untuk mempelai pria.4

4 Sudargo Gautama (b), op. Cit., hal 164-165.

6
3. Masa Renaissance Dan Reformasi.
Masa Renaissance (Renaisans) adalah masa di mana orang-orang di Eropa Barat kembali
memperhatikan kesusastraan klasik dan kemudian berkembanglah kesusastraan dan kesenian baru.
Ilmu pengetahuan modern mulai berkembang. Di masa ini kita bisa menemukan dasar-dasar sistem
HPI modern yang awalnya berkembang di Italia mulai abad ke-11 M. Ketika itu Italia belum
menjadi suatu negara modern, bahkan belum bisa kita sebut sebagai suatu negara, sebab kota-kota
seperti Milan, Pisa, Venesia, Modena, Genoa, dan Florence adalah pusat-pusat perdagangan dalam
bentuk negara-kota. Seiring dengan peningkatan volume perdagangan kota-kota tersebut,
kemakmuran mereka juga meningkat dan berkembanglah kebutuhan mereka akan peraturan
hukum. Masing-masing kota memiliki suatu bentuk kedaulatan, sampai derajat tertentu, untuk
mengatur kegiatan yang ada di dalam kotanya. Bentuk kedaulatan ini terlihat dalam peraturan-
peraturan hukum atau statuta.
Perkembangan perdagangan yang mendorong mobilitas orang dan barang dari satu negara-
kota ke negara-kota lainnya membuat suatu negarakota perlu mengatur secara khusus hal-hal yang
terjadi di dalam wilayahnya. Statuta berlaku sebagai peraturan khusus terhadap ius commune yang
berlaku sebagai suatu peraturan supranasional yang berdasarkan pada hukum Romawi yang
menjadi suatu hukum kebiasaan di benua Eropa. Ius commune berlaku bilamana statuta suatu
negara-kota tidak mengatur secara khusus perihal suatu perbuatan atau hubungan hukum. Dengan
kata lain, statuta adalah hukum khusus (lex specialis) dan ius commune adalah hukum umum (lex
generalis). Kondisi hukum serupa terjadi juga semenjak Uni Eropa terbentuk, di mana terhadap
European Union Regulation menjadi peraturan hukum yang berlaku secara umum di seluruh
negara anggota Uni Eropa, dan hukum nasional masing-masing negara anggota menjadi peraturan
khusus.
Kebangkitan kembali hukum Romawi terjadi pada abad ke-11 dan berlanjut sampai abad
ke-13 dengan dimulainya penyelidikan tentang hukum Romawi. Mereka yang bertanggung jawab
atas penyelidikan ini disebut para Glossators. Julukan ini diberikan karena dalam menjelaskan
bagian-bagian yang sulit atau kurang jelas dari hukum Romawi para sarjana ini memberikan
penjelasan di antara margin (glossing), dan penjelasan tersebut dinamakan glose (gloss). Secara
perlahan glossing yang mereka buat berkembang menjadi komentar dan diskusi yang
komprehensif dan memperoleh tempat sebagai acuan. Perkembangan statuta menunjukkan
pergeseran penekanan atau keberlakuan prinsip dalam menentukan hukum yang berlaku. Jika di

7
penghujung Abad Pertengahan kita melihat adanya kecondongan kepada prinsip personalitas,
sekarang bandul kecondongan tersebut bergeser kepada prinsip teritorialitas.
Oleh karena di satu sisi setiap negara-kota mempunyai statutanya sendiri dan secara umum
berlaku ius commune, dan di sisi lain mobilitas orang baik dalam rangka perdagangan maupun
pendidikan – meningkat, maka mulailah timbul persoalan-persoalan yang menjadi bibit
berkembangnya HPI sebagai suatu ilmu tersendiri.
a) Mazhab Italia Abad ke-14
Para sarjana di universitas-universitas di Bologna, Padua, Perugia, dan Pavia berusaha
untuk menyelesaikan persoalan-persoalan “perselisihan” antar statuta dengan menciptakan suatu
cara ilmiah. Yang pertama kali melakukan penyelidikan ini secara sadar dengan memakai prinsip-
prinsip tertentu dan metode tersendiri adalah Bartolus Saxoferato (1313-1357), seorang guru besar
dari universitas di Bologna, Pisa, dan Perugia. Ia dijuluki “Bapak Teori Statut” karena metode
statuta yang dipergunakannya. Para sarjana hukum generasi-generasi berikutnya demikian
menghormatinya sampai-sampai lahir pernyataan nemo bonus iurista nisi bartolista – tiada seorang
yuris yang cakap, kecuali ia seorang pengikut Bartolus. Para sarjana ini umumnya berasal dari
Italia, hidup dalam kurun waktu abad ke-14 dan ke-15, dan mereka secara aktif menyelidiki dan
menulis komentar dan traktat yang menghubungkan hukum Romawi dengan hukum Jerman dan
feodal, hukum gereja (canon law), dan hukum-hukum positif yang berlaku ketika itu. Mereka
disebut para Postglossators.
Selain itu mereka juga disebut para statutists karena perhatian penyelidikan mereka tertuju
pada keanekaragaman statuta (termasuk di dalamnya kebiasaan lokal) dari aneka negara kota di
Italia. Bartolus Saxoferato membedakan statuta ke dalam statuta personaliadan statuta realia. Yang
pertama adalah status yang mempunyai lingkungankuasa-berlaku secara personal. Artinya statuta
ini berlaku bagi seseorang ke mana pun orang tersebut pergi. Di sini kita segera dapat menemukan
persamaan yang kentara dengan pengaturan pasal 16 AB.5 Di sini hukum yang berlaku bagi statuta
personalia adalah hukum domisili (law of domicile) dari seseorang. Keberlakuan hukum domisili,
dan bukan hukum kewarganegaraan kiranya jelas, sebab konsep negara-bangsa (nation-state)
belumlah lahir.

5 Hindia Belanda, Algeemene Bepalingen voor Wetgeving voor Indonesie, op. Cit.

8
Sedangkan yang kedua mempunyai lingkungan-kuasa-berlaku secara teritorial. Hanya
benda-benda yang terletak di dalam wilayah negara-kota statuta yang tunduk pada statuta tersebut
(lex rei sitae). Jadi statuta berlaku terhadap benda, bukan orang. Persamaan pengaturan kita
temukan dalam pasal 17 AB. Benda yang dimaksud di sini adalah benda tidak bergerak saja, karena
benda bergerak umumnya dianggap mengikuti status orang yang memegang atau menguasainya –
mobilia sequutur personam. Ada pemikiran tentang pengaturan statuta realia adalah bahwa
peraturan-peraturan bendabenda tak bergerak selalu ditujukan oleh pembuat statuta terhadap benda
yang bersangkutan dan bukan orang yang menguasainya (Gautama, 1992: 169).
Belakangan para Statutists menambahkan statuta mixta, yang mengatur segala soal
“perselisihan” statuta yang tidak dapat dimasukkan ke dalam kategori statuta personal dan statuta
realia. Peraturan tentang segi formil dari perbuatan-perbuatan hukum diperlakukan menurut
tempat terjadinya perbuatan hukum tersebut, locus regit actum. Kita mempunyai pengaturan
serupa dalam ketentuan pasal 18 AB. Demikianlah Teori Statuta tentang hukum dan keputusan-
keputusan dari suatu negara-kota terbagi menjadi (i) statuta personalia, yang berkaitan dengan
orang, (ii) statuta realia, yang berkaitan dengan benda (tidak bergerak) dan perbuatan hukum
terhadapnya, dan (iii) statuta mixta, yang berhubungan dengan kombinasi keduanya. Pasal 16-18
AB masih menjadi hukum positif Indonesia sampai sekarang. Meskipun sejumlah peraturan
perundang-undangan baru, seperti Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa,23 telah mengatur tentang hubungan atau peristiwa hukum yang
masuk ke dalam ranah HPI, ketiga pasal ini masih menjadi peraturan pokok untuk HPI Indonesia.
b) Mazhab Prancis Abad ke-16
Pada abad ke-16 pusat perkembangan ilmu HPI bergeser dari Italia ke Prancis. Dua sarjana yang
termasyhur adalah Charles Dumoulin (1500-1566), seorang advokat merangkap guru besar yang
terkenal, dan Bertrand D’Argentre (1519-1590), seorang baron pembela feodalisme. Mereka
mengembangkan lebih lanjut Teori Statuta sesuai dengan perkembangan yang ada di Prancis.
Dumoulin mengembangkan Teori Statuta dengan menyesuaikannya menurut kondisi Prancis. Ia
menggantikan statuta dengan kebiasaan atau adat Prancis (coutumes). Corpus Iuris Justinian
mempunyai pengaruh yang besar terhadap pembentukan hukum kebiasaan (droit coutomier) di
Prancis.
Sumbangan pemikirannya tentang otonomi para pihak untuk memilih hukum yang berlaku
dalam suatu kontrak (partijautonomie), menjadikannya sebagai sarjana terkenal dalam bidang HPI.

9
Orientasi pemikiran dan kedudukan D’Argentre membuatnya sering berbeda pikiran dengan
Dumolin. Ia memberikan penekanan pada segi teritorial dari semua ketentuan hukum. Kedaulatan
teritorial inilah yang tertinggi, dan semua orang yang melakukan perbuatan hukum di dalam
wilayah penguasa harus menghormati ketentuan yang penguasa tersebut buat. Dalam pendirian
ini, lex rei sitae tidak terbatas pada benda-benda tidak bergerak tapi juga mencakup benda-benda
bergerak, dan segala cara memperoleh dan peralihan hak milik atas benda.
c) Mazhab Belanda Abad ke-17
Pada tahun 1568 pecah perang antara Spanyol dan Belanda, yang ketika itu terdiri dari tujuh
provinsi yang masuk ke dalam wilayah Kerajaan Spanyol. Perang ini terkenal sebagai Perang
Delapan Puluh Tahun (the Eighty Years’ War). Lima puluh tahun kemudian pecah perang dalam
wilayah Kerajaan Romawi Suci, yang terkenal sebagai Perang Tiga Puluh Tahun (the Thirty
Years’ War). Kedua perang ini disebabkan antara lain oleh konflik agama dan perjuangan untuk
memperoleh kemerdekaan secara politik. Keduanya berakhir dengan ditandatanganinya Perjanjian
Westphalia pada tahun 1648. Salah satu poin kesepakatan utama dari perjanjian ini adalah
diakuinya kemerdekaan Belanda dan Swiss.Dampak Perjanjian Westphalia terhadap
perkembangan ilmu hukum sangatlah besar.
Dari sini berkembanglah konsep negara-bangsa (nation state) yang menentukan
perkembangan ilmu politik, ilmu negara, ilmu hukum internasional, maupun ilmu HPI. Pengakuan
kemerdekaan tersebut mendorong negara-negara baru mempertahankan eksistensi mereka dengan
mengedepankan kedaulatan teritorial. Hukum yang dibuat oleh negara berlaku secara mutlak di
dalam wilayah negara tersebut, dan hukum negara asing tidak berlaku. Dengan demikian hukum
negara tersebut berlaku terhadap orang dan benda yang berada di dalam wilayahnya. Pengecualian
terjadi terhadap seseorang warga negara asing berada di dalam wilayahnya, maka berlaku hukum
asal negara orang tersebut. Hal ini adalah akibat logis dari terbentuknya negara-bangsa, di mana
kewarganegaraan atau nasionalitas mulai diterapkan.
Oleh karena itu, kita melihat adanya perbedaan hukum yang berlaku bagi status personal
dari hukum domisili (lex domicile) menjadi hukum asal (lex origin).Para yuris Belanda di era ini
yang termasyhur adalah Paulus Voet (1619-1677) dan anaknya Jan Voet (1647-1714) dan Ulrich
Huber (1636-1694) mengembangkan apa yang kemudian dikenal sebagai Teori Comitas. Di sini
perlu Anda perlu memahami bahwa Belanda hasil Perjanjian Westphalia bukanlah Belanda
sebagai suatu kerajaan, yang umumnya dimengerti oleh orang Indonesia. Belanda sebagai kerajaan

10
baru berdiri pada tahun 1815, sedangkan Belanda hasil Perjanjian Westphalia adalah konfederasi
dari tujuh provinsi dalam kedudukan yang setara. Faktor ini mempengaruhi bagaimana para yuris
Belanda mengembangkan Teori Comitas.
d) Zaman modern
a. Perkembangan di Amerika Serikat.
Teori Comitas para yuris Belanda diterima dan diikuti oleh para yurisAnglo-Saxon pada abad ke-
18. Story (1799-1845), hakim agung Amerika Serikat dan guru besar di Universitas Harvard, jelas
terlihat mengambil alih teori ini ketika ia berpandangan bahwa lingkungan-kuasa peraturan yang
dikeluarkan suatu negara meliputi semua orang dan benda yang terletak di dalamnya dan bahwa
keberlakuan suatu norma hukum secara ekstrateritorial hanya bersifat pengecualian. Cook dan
Lorenzen dari Universitas Yale pada abad ke-19 mengembangkan suatu pemikiran, yang
kemudian dikenal sebagai the local law theory, yang condong pada penggunaan hukum nasional
sedapat mungkin. Sebagai akibat dari positivisme, hukum asing tidak lagi berlaku karena comitas,
namun karena lex fori.
b. Von Savigny
Friedrich Carl von Savigny (1779−1861) membuat gebrakan bagi perkembangan HPI ketika pada
tahun 1849 ia menerbitkan karyanya yang terdiri dalam delapan kitab tentang sistem hukum
Romawi Modern. Dalam bagian lingkungan-kuasa hukum atas hubungan hukum (the spatial limits
of the control of the law over legal relationships), ia menjadikan bangsa- bangsa (community of
nations), menurut hukum internasional, dalam pergaulannya terikat oleh hukum internasional, dan
bukan oleh comitas, sebagai titik tolak pemikiran. Menurut von Savigny, dalam setiap sengketa
hakim wajib memastikan wilayah di mana akibat suatu perbuatan mempunyai tempat duduk (Sitz),
yakni wilayah di mana kasus tersebut mempunyai hubungan hukum utama. Untuk status
personalia, maka von Savigny berpendapat bahwa hukum domisili yang berlaku. Suatu pendapat
yang ketika itu umum diterima. Lex rei sitae mencakup benda bergerak dan benda tidak bergerak.
Hukum perjanjian diatur menurut asas hukum di mana perjanjian tersebut dilaksanakan (lex loci
executionis). Dengan mendasarkan pendapatnya pada adanya hukum internasional dan hubungan
hukum, von Savigny adalah sarjana yang menganut aliran internasionalitis HPI. Dari von Savigny
mulailah berkembang aliran-aliran HPI modern.

11
D. Ruang Lingkup Hukum Perdata Internasional

Sudargo Gautama seorang pakar hukum perdata internasional dan hukum antargolongan
mengungkapkan bahwa ruang lingkup hukum perdata internasional bisa kita lihat dari 4 hal
yaitu :
a) Choice Of Law (Aliran Paling Sempit)
Menurut sistem ini, HPI titik fokus ada pada hukum yang diberlakukan saja
(rechstoepassingrecht). Dalam ruang lingkup ini hal yang dibahas hanyalah masalah-
masalam yang bersinggungan dengan hukum yang harus diberlakukan. Dan hal lain yang
bersinggungan dengan kompetensi hakim, status orang asing, dan kewarganegaraan tidak
termasuk kedalam bidang HPI. Sistem ini dianut oleh negara Jerman dan Belanda.
b) Choice of law + Choice Of Jurisdiction (yang lebih luas)
Sistem HPI ini merupakan persoalan yang lebih luas dari sistem Choice of Law,
dimana sistem HPI ini berhubungan dengan kompetensi atau wewenang hakim. Karena
Hukum perdata internasional bukan hanya menyangkut masalah yang telah diberlakukan,
tetapi juga hakim manakah yang berwenang. Sistem HPI ini dianut oleh beberapa negara
di eropa diantaranya : Inggris dan Amerika Serikat.
c) Choice of law + Choice Of Jurisdiction + Condition des Etrangers (yang lebih luas lagi).
Menurut sistem ini HPI tidak hanya menyangkut persoalan pilihan hukum dan
pilihan forum atau hakim, tetapi juga menyangkut status orang asing sistem HPI ini dianut
oleh Hpi Negara-Negara Amerika latin diantaranya Italia, Spanyol, dan Negara-Negara
Amerika Selatan.
d) Choice of law + Choice Of Jurisdiction + Condition des Etrangers + Nationalite (yang
terluas).
Menurut sistem ini, HPI menyangkut persoalan pilihan hukum, pilihan forum atau
hakim, status orang asing, dan kewarganegaraan (nasionalite). Persoalan kewarganegaraan
ini menyangkut tentang cara memperoleh dan hilangnya kewarganegaraan. Sistem HPI ini
dianut oleh HPI Perancis, dan juga dianut kebanyakan penulis HPI.
Apabila dilihat dari ruang lingkup HPI tersebut maka masalah-masalah yang
dihadapi oleh HPI yaitu: Choice of Law, Choice of Yuridiction untuk menyelesaikan
masalah- masalah yang mengandung unsur asing, serta yang terakhir sejauh mana

12
keputusan hakim dari suatu negara diakui mengenai hak dan kewajiban yang timbul dari
keputusan tersebut.
Suatu perjanjian yang mengandung unsur asing atau foreign element jika salah satu
pihak dalam perjanjian tersebut tunduk pada hukum yang berbeda dengan pihak lainnya,
dan atau adanya unsur asing karena substansi perjanjian itu tunduk pada hukum negara
lain. Misalnya jual beli apartemen yang terletak di Singapura antara seorang warga negara
Indonesia dengan Warganegara Indonesia lainnya.6

E. Karakteristik Hukum Perdata Internasional

Terdapat pertanyaan yang fundamental, apakah HPI itu "hukum nasional" atau "hukum
internasional"? Dulu ada sarjana-sarjana terkemuka seperti Asser, Mancini, Von Savigny,
yang pada permulaan perkembangan HPI menganut aliran internasionalistis. Tobias Asser,
yang adalah "Bapak dari Konvensi HPI di Den Haag", mempunyai cita-cita internasionalistis,
berusaha untuk mencari satu sistem HPI melalui konvensi-konvensi Internasional ini. Dengan
konvensi HPI ini beliau berusaha menciptakan satu macam HPI yang dapat diterima oleh
semua negara di dunia. Tapi usaha ini gagal. Memang tidak bisa disatukan pandangan dari
semua negara di dunia tentang apa yang sebaiknya menjadi sistem HPI. Boleh dikatakan
pandangan dunia terbagi dua.
Untuk menentukan prinsip apa yang sebaik dianut dalam menentukan status dan
kewenangan hukum (status personal) seseorang, terdapat perbedaan pandangan, tidak ada
kesepakatan. Ada negara-negara yang menganut prinsip nasionalitas (prinsip
kewarganegaraan), yakni mengaitkan status personal warga negaranya pada kewarganegaraan
seseorang. Ada pula negara-negara yang menganut prinsip domisili, yakni mengaitkan status
personal warga negaranya dengan domisili seseorang. Prinsip nasionalitas dianut oleh negara-
negara Eropa Kontinental seperti Prancis, Jerman, Belanda termasuk Indonesia berdasarkan
asas konkordansi. Sebaliknya negara- negara Common Law (Anglo Saxon), seperti Inggris dan
bekas jajahannya, termasuk Amerika, Australia, Singapura, Malaysia, menganut prinsip
domisili. Prinsip apa yang sebaiknya dianut oleh suatu negara, tergantung dari kepentingan
masing-masing negara. Negara-negara Eropa Kontinental sebagai negara emigran, banyak

6 M. Syukran Yamin Lubis dan Faisal Riza, Hukum Perdata Internasional, (Medan : UMSU PRESS, 2021) hlm. 9

13
warga negaranya yang pindah ke negara- negara lain seperti ke Amerika atau Australia,
memakai prinsip nasionalitas. Mereka menghendaki warga negaranya yang mengembara
keluar negeri seberapa mungkin tetap takluk di bawah hukum nasionalnya. Sebaliknya negara-
negara Anglo Saxon, seperti Amerika Serikat, penduduknya sebagian besar terdiri dari para
imigran, menganut prinsip domisili, dengan tujuan supaya para imigran itu lekas tunduk di
bawah hukum perdata negara yang baru.
Dengan demikian tidak mungkin terdapat satu sistem HPI untuk seluruh dunia. Boleh
dikatakan setiap negara merdeka dan berdaulat mempunyai ketentuan-ketentuan HPI-nya
sendiri. Bahkan bagi negara federal seperti Amerika Serikat, Australia, tiap negara bagian
mempunyai ketentuan-ketentuan HPI sendiri. Misalnya untuk menentukan hukum yang
berlaku dalam suatu kontrak yang diadakan antara pedagang Indonesia dengan pedagang
Amerika disebuntuk an: the applicable law for this contract is the law of the State of California.
Dengan demikian terlihat sumber dari HPI itu bukan hukum internasional tetapi semata-mata
hukum nasional belaka. Dalam kasus di atas adalah hukum Negara bagian California. Jadi HPI
itu adalah hukum perdata nasional untuk masalah-masalah yang bersifat internasional.
Sumber-sumber hukumnya adalah semata-mata hukum nasional. Karena ini dapat dipahami
apabila Sudargo Gautama, menulis buku dengan judul "Hukum Perdata Internasional
Indonesia".
Hal ini disebabkan karena walaupun para pemimpin negara telah melakukan berbagai
konvrensi-konvrensi untuk melahirkan suatu sistem hukum perdata Internasional yang berlaku
secara internasional tidak pernah terwujud, sehingga yang menjadi dasar hukum dalam
penyelesaian setiap perkara- perkara Perdata Internasional adalah Hukum Perdata Nasional.7

7 Ronald Saija, Hukum Perdata Internasional, (Yogyakarta : DEEPUBLISH, 2019) hlm. 14-16.

14
KESIMPULAN

Hukum Perdata Internasional adalah cabang hukum yang mengatur hubungan hukum
antara individu atau entitas hukum dari berbagai negara atau yurisdiksi yang berbeda. Tujuan
utama dari hukum perdata internasional adalah untuk memberikan kerangka hukum yang jelas dan
konsisten dalam menyelesaikan konflik hukum yang timbul dalam konteks transaksi internasional
atau perkawinan lintas negara, warisan, dan berbagai situasi lainnya di mana aspek asing terlibat.
Berikut adalah beberapa aspek penting yang terkait dengan hukum perdata internasional:
1. Prinsip Pengakuan Mutlak: Prinsip ini menyatakan bahwa suatu negara harus mengakui hukum
yang berlaku di negara lain, dalam batas yang wajar, meskipun hukum tersebut berbeda dengan
hukum yang berlaku di negara asal individu atau entitas hukum tersebut.
2. Konflik Hukum: Hukum perdata internasional berurusan dengan penyelesaian konflik hukum,
yaitu ketika terdapat perbedaan dalam hukum yang berlaku di negara yang berbeda dalam konteks
peristiwa tertentu. Tujuannya adalah untuk menentukan hukum yang akan mengatur suatu situasi
atau transaksi.
3. Kontrak Internasional: Hukum perdata internasional mengatur kontrak internasional, yang
melibatkan pihak dari negara-negara yang berbeda. Ini mencakup masalah seperti pemilihan
hukum yang berlaku dalam kontrak, yurisdiksi pengadilan yang akan menangani perselisihan, dan
penegakan keputusan pengadilan dari negara asing.
4. Perkawinan dan Perceraian Lintas Negara: Hukum perdata internasional juga berlaku dalam
perkawinan lintas negara dan perceraian, termasuk masalah terkait hak asuh anak, pembagian harta
bersama, dan penentuan yurisdiksi pengadilan yang berwenang dalam kasus tersebut.
5. Warisan: Ketika seseorang meninggal dan memiliki aset di berbagai negara, hukum perdata
internasional akan menentukan bagaimana warisan dan pembagian aset tersebut akan diatur.
6. Prinsip-prinsip Umum: Hukum perdata internasional didasarkan pada beberapa prinsip umum,
seperti prinsip ketaatan terhadap hukum nasional, prinsip ketidakdiskriminan, dan prinsip
kewajaran.
Hukum perdata internasional sangat penting dalam lingkup globalisasi dan perdagangan
internasional karena membantu menciptakan kerangka kerja hukum yang memfasilitasi transaksi
dan kerjasama lintas negara serta meminimalkan konflik hukum.

15
DAFTAR PUSTAKA

Dr. Sugeng S.P.,S.H.,M.H. 2021. Memahami Hukum Perdata Intenasional Indonesia. Jakarta :
Pranamedia Group.
Yamin Lubis, M. Syukran S.H dan Faisal Riza S.H. 2021. Buku Ajar Hukum Perdata Internasional.
Medan : Umsu Press.
Rehulina, dan rekan rekan. 2021. Hukum Perdata Internasional. Yogyakarta : Suluh Media.
Gautama, Sudargo. 2008. Hukum Perdata Internasional Indonesia. Bandung : Penerbit P.T
Alumni.
Gautama, Sudargo. 1987. Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia. Bandung : Binacipta.
Saija, ronald. 2019. Hukum Perdata Internasional. Yogyakarta : DEEPUBLISH.
Basuki, Zulfa Djoko. 2018. Hukum Perdata Internasional. Banten : Penerbit Universitas Terbuka.

16

Anda mungkin juga menyukai