Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

“HUKUM ANTAR HUKUM INTERNAL”


Perkawinan Beda Agama

Makalah ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas UAS Pada Mata Kuliah Hukum
Antar Tata Hukum

Dosen Pengampu : Mutia Cherawaty Thalib, S.H., M.Hum

Disusun Oleh :

Abubakar Sidik Mohamad (1011420020)

UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO


FAKULTAS HUKUM

ILMU
HUKUM 2023

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Mahakuasa karena telah memberikan kesempatan
pada Penulis untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan hidayah- Nya lah Penulis
dapat menyelesaikan makalah yang berjudul ““HUKUM ANTAR HUKUM INTERNAL”
Perkawinan Beda Agama” tepat waktu.

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas Dosen pada Mata Kuliah Hukum
Antar Tata Hukum di Universitas Negeri Gorontalo. Selain itu, Penulis juga berharap
agar makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembaca.
Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Ibu Mutia
Cherawaty Thalib, S.H., M.Hum, selaku Dosen Mata Kuliah Hukum Antar Tata
Hukum. Tugas yang telah diberikan ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan
terkait bidang yang ditekuni Penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih pada
semua pihak yang telah membantu proses penyusunan makalah ini.
Penulis pun menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, kritik dan saran yang membangun akan Penulis terima demi kesempurnaan
makalah ini.

Gorontalo, 01 Juni 2023

Penulis

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.........................................................................................................................i
KATA PENGANTAR..........................................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................................1
Latar Belakang................................................................................................................1
Rumusan Masalah...........................................................................................................2
Tujuan Penulisan............................................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN......................................................................................................4
Pengertian Hukum Antar Hukum...................................................................................4
Sejarah Hukum Antar Hukum........................................................................................6
Pernikahan Beda Agama Menurut Hukum Negara Indonesia........................................6
BAB III PENUTUP..............................................................................................................17
Kesimpulan.....................................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................19

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum antar tata hokum yang mempelajari sistim hukum pada suatu Negara tertentu
pada saattertentu (hukum positive/ius constitum). Hukum positive suatu Negara tidak sama,
untuk mempelajarinya (hokum positif) dapat dilihat pada UUD suatu Negara, karena hukum
itu merupakan pancaran/kepentingan Negara tersebut. Dalam mempelajari Hattah yang
menjadi objeknya adalah hukum perselisihan yang terjemahan dari concriten recht sedangkan
coalisie recht adalah suatu variasi dari concriten recht dimana istilah ini dipakai ahli-ahli
hukum yang berasal dari hukum perselisihan. Jika terjadi hukum yang berselisih
makadicarilah hukum penunjuk untuk menyelesaikannya
HATAH awalnya muncul untuk menyelesaikan masalah hukum yang timbul dari
kebijakan hukum Belanda, yang membagi penduduk Hindia Belanda menjadi tiga kelompok,
yaitu orang Eropa, Timur Asing dan Pribumi. Pembagian ini mempengaruhi berlakunya
sistem hukum yang berbeda pada ketiga kelompok tersebut. Kelompok Uni Eropa
menerapkan Hukum Belanda, Kelompok Timur asing menerapkan hukum adat mereka, dan
kelompok pribumi menerapkan hukum Islam dan hukum adat. Ketiga golongan penduduk
tersebut sebenarnya tidak berbeda dalam hubungan keperdataan, sebaliknya sering timbul
hubungan keperdataan yang menyebabkan penduduk Hindia Belanda menganut sistem
hukum yang berbeda pada saat itu. Pada titik inilah HATAH diperlukan untuk menyusun dan
menyelesaikan berbagai persoalan hukum.
Berlangsungnya sistem hukum yang diterapkan di berbagai bangsa di dunia menunjukkan
adanya perbedaan perspektif dalam melaksanakan hukum yang disesuaikan dengan politik hukum
maupun nilai-nilai yang dianut oleh sebuah negara. Pluralisme sistem hukum di dunia kemudian
memunculkan suatu teori perbandingan hukum atau comparative law yang merupakan metoda umum
dari suatu perbandingan dan penelitian perbandingan yang dapat diterapkan dalam bidang hukum2
sehingga diharapkan dapat memberikan tinjauan sistem hukum yang dapat membentuk formulasi
penegakan hukum ideal baik untuk kepentingan doktrinal maupun terapan. Oleh karena itu, menarik
untuk mengkaji pengelompokan keluarga hukum dunia yang ada saat ini dimana keluarga hukum
tersebut memiliki eksistensi sebagai sistem hukum yang mendasari pelaksanaan tata hukum di setiap
negara.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas maka penulis dapat merumuskan masalah sebagai berikut :
 Apa itu hukum antar hukum secara luas?
 Bagaimana sejarah terbentuknya hukum antar hukum di Indonesia?
 Bagaimana hubungan HATAH dengan pernikahan beda agama?
 Bagaimana pernikahan berda agama menurut hukum di Indonesia?
C. Tujuan Penulisan
Dari rumusan masalah di atas maka penulis dapat merumuskan tujuan penulisan
makalah ini sebagai berikut :
 Dapat mengetahui apa itu hukum antar hukum secara luas
 Agar bisa mengetahui bagaimana sejarah terbentuknya hukum antar hukum di
Indonesia
 Bisa tahu apa hubungan HATAH dengan pernikahan beda agama
 Mengetahui bgaimana pernikahan berda agama menurut hukum di Indonesia
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum Antar Hukum

Soediman Kartohadiprodjo, Hukum Perselisihan (Hukum Antar Tata Hukum)


merupakan keseluruhan ( asas ) dan kaidah yang menentukan hukum manakah atau hukum
apakah yang akan berlaku apabila dalam suatu peristiwa hukum terpaut lebih dari satu sistem
hukum.

Berdasarkan pengertian ini, diperoleh unsur – unsur hukum perselisihan yaitu :

Hukum Perdata Internasional ( HPI ). HPI disebut sebagai “conflict law“ yang mengandung
ciri adanya unsur asing ( foreign element ) dalam hubungan hukum, sedangkan dalam Hukum
Perselisihan (Hukum Antar Tata Hukum) tidak ada unsur asing. HPI adalah bagian dari
Hukum Perselisihan (Hukum Antar Tata Hukum) dalam arti makro karena HPI merupakan
bagian dari hukum nasional.

HATAH (Hukum Antar Tata Hukum) Intern

HATAH Intern disebut juga sebagai Hukum Perselisihan (Hukum Antar Tata Hukum) dalam
arti mikro, yaitu :

“keseluruhan kaidah yang menunjukkan sel-sel hukum manakah yang akan berlaku atau
apakah yang merupakan hukum apabila suatu hubungan hukum atau peristiwa hukum antar
sesama warga negara di dalam satu Negara.“

Perbedaan sel-sel hukum yang berlaku bagi masing – masing warga Negara dalam satu
Negara dan muncul menjadi persoalan hukum perselisihan hanya mungkin terjadi karena
faktor – faktor :

Berbeda golongan penduduk ( Hukum Antar Golongan )

Hukum Antar Golongan adalah keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang
menunjukkan hukum manakah yang berlaku atau apakah yang merupakan hukum, jika
hubungan – hubungan dan peristiwa – peristiwa antar warga Negara dalam suatu Negara, satu
tempat dan satu waktu tertentu memperlihatkan titik – titik pertalian dengan stelsel dan
kaidah hukum yang berbeda dalam lingkungan kuasa pribadi dan soal – soal.

HAG timbul oleh suatu peraturan colonial, i.c. “Wet op de Staats inrichting van Ned. Indie“
atau “Indische Staats Regeling“ ( IS ). S. 1855-2 jo. 1, yang merupakan lanjutan dari pada
“Reglement op het beleid der Reegering van Ned. Indie“ ( RR ) dan yang dalam Pasal 163
dan 131 telah membedakan golongan penduduk Indonesia ( Nederland Indie ) dalam tiga
golongan, yaitu :

a. Golongan Eropa dan yang dipersamakan ( orang Jepang ), Tunduk pada Hukum
Eropa.
b. Golongan Timur Asing. Untuk Timur Asing Cina tunduk pada Hukum Perdata Eropa,
kecuali masalah adopsi dan kongsi. Untuk Timur Asing bukan Cina tunduk pada
hukum adat mereka.
c. Golongan Bumi Putera ( Indonesia Asli ), tunduk pada hukum adat. Dalam S. 1933
No. 49 pernyataan berlaku beberapa ketentuan dari buku kedua WvK ( Hukum
Dagang ) terhadap orang – orang Indonesia mulai 1 April 1933.

Karena adanya penggolongan rakyat (pembagian dalam bevolkingsgroepen)


berdasarkan ketentuan dalam pasal 163 dan 131 I.S), maka timbullah persoalan-persoalan
tentang hukum yang harus dipakai jika orang dari golongan rakyat yang satu mengadakan
hubungan dengan orang dari golongan-golongan rakyat yang lain.

Perbedaan waktu berlakunya hukum ( Hukum Antar Waktu )

HAW adalah seluruh kaidah hukum yang menentukan hukum manakah dan hukum apakah
yang berlaku, apabila dalam suatu peristiwa hukum terpaut dau sistem hukum yang berlainan
dalam satu Negara namun berbeda waktu berlakunya.

Titik Pertautan

Titik pertautan adalah bertemunya dua kaidah atau dua sistem hukum yang pada mulanya
terpisah dan berbeda, Disebabkan berbagai factor, dua atau lebih kaidah atau sistem hukum
bertemu pada satu titik singgung. Fungsi titik pertauta adalah sebagai metoda dalam rangka
menelusuri indikator – indikator untuk dapat menentukan apakah suatu hubungan hukum
diantara subjek – subjek hukum dapat digolongkan sebagai hukum perselisihan. Titik
pertautan dibedakan menjadi dua, yaitu titik pertautan primer dan titik pertautan sekunder.
1. Titik Pertautan Primer ( Titik Taut Pembeda )

Titik Taut Primer menurut Gouwgioksiong adalah hal – hal yang merupakan tanda akan
adanya persoalan Hukum Antar Golongan. Menurut Prof. Eman Suparman, Titik Taut Primer
merupakan indikator pembeda berupa faktor – faktor dan/ keadaan – keadaan yang
menunjukkan bahwa suatu hubungan hukum merupakan hubungan hukum dalam konteks
Hukum Perselisihan.

2. Titik Pertautan Sekunder ( Titik Taut Penentu )

Titik taut sekunder menurut Dr. Sunarjati Hartono, S.H. adalah fakta – fakta yang
menentukan hukum manakah yang harus berlaku. Menurut Prof. Dr. S. Gautama, S.H. adalah
factor – factor dan keadaan – keadaan yang menentukan berlakunya suatu sistem Hukum
tertentu. Jadi, Titik Taut Sekunder adalah indicator – indicator yang menentukan hukum yang
berlaku bagi peristiwa hukum dalam konteks Hukum Perselisihan.

Asas – Asas Yurisprudensi Hukum Perselisihan (Hukum Antar Tata Hukum)

Dalam konteks Hukum Perselisihan, yurisprudensi memegang peranan cukup penting,


baik sebagai kaidah berdiri sendiri (zelfstandige regel ) maupun sebagai kaidah penunjuk
(verwijzingsreges ).

Kaidah – kaidah tetap yang dihasilkan dari yurisprudensi diantaranya :

1. Warisan diatur oleh hukum dari orang yang meninggalkan harta atau pewaris.

Gouwgioksiong dalam bukunya “ Hukum Antar Golongan “ dikumpulkan beberapa putusan


pengadilan yang semuanya mengandung azas ini, yaitu :

a. Putusan Hooggerechtshof ( HgH ) 28 Mei 1885 dalam Tijdschrift van het Recht ( T )
jilid 45 / 20.
b. Putusan Landraad 26 April 1925 dikuatkan oleh R.v.J. Makasar 6 Desember 1929 dan
20 Juni 1930 ( T. 1933/327 ).
c. Putusan R.v.J. Jakarta 8 Desember 1933 ( T. 139/91 ).

2. Pengakuan anak harus dilakukan menurut hukum dari orang yang mengakui.

Asas ini mengandung pengertian bahwa pengakuan seorang anak yang lahir diluar
perkawinan harus dilakukan menurut hukum yang berlaku bagi sang Ayah.
3. Tanah mempunyai status tersendiri atau hukum tanah tidak dipengaruhi oleh hukum
orang yang memperolehnya.

Dalam Penjelasan UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok
Agraria dijelaskan bahwa Hukum Agraria sebelum UU No. 5 Tahun 1960 diundangkan
adalah bersifat “ dualisme “, yaitu membedakan antara hak – hak tanah menurut Hukum Adat
dan hak – hak tanah menurut Hukum Barat yang berpokok pada ketentuan Buku II
KUHPerdata. Maka dari itu, Hukum Agraria baru harus sesuai dengan kesadaran hukum dari
rakyat banyak. Oleh karena rakyat Indonesia sebagian besar tunduk pada Hukum Adat, maka
UU Nomor 5 Tahun 1960 didasarkan pada ketentuan Hukum Adat Indonesia.

4. Hukum atas barang yang dapat dipindahkan ( bergerak ) mengikuti orang yang
bersangkutan.

Salah satu ciri dari hak kebendaan adalah mempunyai zaaksgevolgatau droit de suit
(hak mengikuti). Artinya, hak it uterus mengikuti bendanya, dimanapun juga (dalam tangan
siapapun) barang itu berada. Hak itu terus mengikuti orang yang mempunyai. Sehingga,
dalam melakukan perbutan hukum atas benda tersebut harus memakai hukum si pemilik
benda itu.

5. Hukum orang yang melanggar yang digunakan pada perbuatan melanggar hukum.
6. Asas persamarataan semua sel-sel hukum.

Asas ini terdapat dalam Pasal 2 GHR ( Regeling op de Gemengde Huwelijk ) :

“Seorang perempuan yang melakukan perkawinan campuran, selama perkawinan


berlangsung, perempuan ( isteri ) baik public maupun privat mengikuti hukum suami.“

Namun, terdapat pengecualian terhadap asas ini yaitu Pasal 75 HOCI( Huwelijksordonnantie
Christen – Indonesiers ) :

“Perkawinan antara seorang lelaki Indonesia bukan Nasrani dengan perempuan Indonesia
Nasrani, atas permintaan mereka, dapat dikukuhkan dengan menurut segala ketentuan
ordonansi ini dan Reglement Catatan Sipil Indonesia – Kristen Jawa dan Madura, Minahasa
dan Ambon, Saparua dan Banda ( S. 1933 No. 75 ).“
Jadi, Pasal 75 HOCI memberikan peluang untuk menyimpangi kaidah GHR, dan
kepada pihak lelaki Indonesia bukan Nasrani dimungkinkan untuk memilih hukum yang
berlaku bagi isterinya sebagai hukum perkawinan mereka.

B. Sejarah Hukum Antar Hukum

Pohon ilmiah (science tree) hukum maupun pembidangan tata hukum Indonesia tdak secara
konsisten mencantumkan HATAH sebagai salah satu cabang ilmu hukum. Namun dalam sejarahnya
HATAH adalah salah satu mata kuliah tertua yang sudah diajarkan sejak pendidikan tinggi hukum
diselenggarakan di Nusantara. Di masa Hindia Belanda, HATAH mempunyai dua nama – Intergentel
Recht (Hukum Antargolongan) dan Internatonaal Privaatrecht (Hukum Perdata Internasional). Ketka
Rechtshoogeschool (Sekolah Tinggi Hukum) beroperasi pada tahun 1924, keduanya menjadi mata
kuliah wajib.

Yang bertanggung jawab akan adanya mata kuliah Intergentel Recht adalah R. D. Kollewijn.
Dalam persiapan pembukaan Rechtshoogeschool, Kollewijn mengusulkan kepada Paul Scholten, yang
mendapatkan tugas khusus dari Menteri Wilayah Jajahan, agar Sekolah Tinggi Hukum di Hindia
Belanda mempunyai mata kuliah intergentel recht. Meski Cornelis van Vollenhoven sudah
menggunakan istlah tersebut dalam disertasi dan pidato pengukuhan guru besarnya, sebagai mata
kuliah nama intergentel recht masihlah asing bagi Scholten. Sebabnya, dalam mimbar mata kuliah di
universitas-universitas Eropa tdak ada mata kuliah Intergentel Recht. Namun Kollewijn berhasil
menyakinkan mantan gurunya tersebut. Beliau pun dipercaya untuk menjadi guru besar untuk
Intergentel Recht, Internatonaal Privaatrecht, dan Inleiding tot de Rechtswetenschap (Pengantar Ilmu
Hukum).

Setelah Kollewijn terpaksa pulang ke Belanda karena alasan kesehatan, J. H. A. Logemann


menggantkannya sebagai guru besar secara ad interim untuk Intergentel Recht dan Internatonaal
Privaatrecht (1932-1936). Selanjutnya kursi tersebut secara berturut-turut diduduki oleh W. F.
Wertheim (1936-1942), W. L. G. Lemaire (1946-1950), dan G. J. Resink (1950-1958). Sudargo
Gautama (terlahir Gouw Giok Siong) menggantkan Resink pada tahun 1958, dan terus memegang
jabatan guru besar sampai lima dekade kemudian. HATAH adalah nama ilmiah yang diciptakan
Sudargo Gautama untuk menggantkan, sekaligus mencakup, hukum perselisihan (collisierecht),
hukum pertkaian (confictenrecht, confict of laws), dan hukum perdata internasional (private
internatonal law).

Harapan beliau, nama ilmiah tersebut dapat memberikan gambaran tentang lingkup
permasalahan hukum yang menjadi bahasan. Secara ilmiah, lingkup pembahasan HATAH di
Indonesia terbagi menjadi dua. HATAH Intern, yang menganalisis permasalahan di lingkup nasional
akibat adanya pluralisme hukum, mencakup hukum antargolongan (intergentel recht, interpersonal
law, interracial law), hukum antarwaktu (intertemporal law), dan hukum antartempat (interlocal law).
Gautama mendefnisikan HATAH Intern sebagai: “Keseluruhan peraturan dan keputusanhukum yang
menunjukkan stelsel-hukum manakah yang berlaku atau apakah yang merupakan hukum, jika
hubungan-hubungan dan peristwa-peristwa antara warga (warga) negara dalam satu negara,
memperlihatkan ttk-ttk pertalian dengan stelsel-stelsel dan kaidah-kaidah hukum yang berbeda
dalam lingkungan-kuasa-waktu, tempat pribadi dan soal-soal.”

Sementara HATAH Ekstern adalah nama ilmiah Indonesia untuk menggantkan istlah hukum
perdata internasional. Berbeda dengan HATAH Intern yang berkutat dengan masalah-masalah hukum
secara nasional, HATAH Ekstern menganalisis permasalahan hukum yang mempunyai unsur asing.
Gautama mendefnisikannya sebagai: “Keseluruhan peraturan dan keputusanhukum yang
menunjukkan stelsel-hukum manakah yang berlaku atau apakah yang merupakan hukum, jika
hubungan-hubungan dan peristwa-peristwa antara warga (warga) negara pada satu waktu tertentu
memperlihatkan titik-titik pertalian dengan stelsel-stelsel dan kaidah-kaidah hukum dari dua atau
lebih negara, yang berbeda dalam lingkungan-lingkungan-kuasa-tempat, (pribadi) dan soal-soal.”

Meskipun Kollewijn sudah memaparkan secara ilmiah intergentel recht (baca: HATAH
Intern) sebagai suatu cabang ilmu hukum, pengakuan dari dunia praktk baru terjadi kemudian. Hakim
Landraad Malang dengan cermat melihat permasalahan hukum antargolongan perkara utang-piutang
antara kreditur dan debitur yang tunduk pada hukum yang berbeda. Tepatlah kiranya sorakan yang
dikumandangkan oleh Wertheim ketka memberikan anotasi atas komentar tersebut, “Van Malang
begint de victorie!” Dari Malang mulailah kemenangan! Semenjak itu, pengadilan-pengadilan di
Hindia Belanda, dan kemudian Indonesia, mengakui pluralisme hukum yang ada dalam mengadili
perkara.

HATAH, baik intern maupun ekstern, kemudian mendapatkan pembahasan khusus dalam
ilmu hukum di Indonesia. Mengingat pluralisme yang ada, ahli hukum asing menghadapi kesulitan
untuk memasukkan hukum Indonesia ke dalam keluarga hukum (legal family) yang ada, dan terpaksa
melakukan simplifkasi.

Pluralisme hukum di Indonesia berakar pada pluralisme penduduk sejak masa lalu, yang
kemudian dilembagakan secara formal oleh pengaturan hukum di masa penjajahan yang demikian
kompleks. Sejak abad XVIII William Marsden telah menunjukkan keragaman hukum di Sumatera.
Kemudian, van Vollenhoven, dengan menggunakan bahasa sebagai dasar pengelompokkan, membagi
Nusantara ke dalam 19 lingkungan hukum adat (adat rechtskringen). Ia menentang upaya unifkasi
hukum yang diusung oleh para sarjana yang dikenal sebagai Mazhab Utrecht, dan mengadvokasi
pluralisme hukum. Kollewijn kemudian mengadvokasi kesetaraan antarsistem hukum – Barat dan
adat – sebagai dasar dari pluralisme hukum Indonesia.

Secara sederhana penduduk Nusantara terbagi menjadi warganegara Belanda, kaulanegara


Belanda, dan orang asing. Selain itu penduduk digolongkan menurut pembedaan pokok: Belanda dan
pribumi. Mereka yang bukan Belanda atau pribumi (inlanders) akan dipersamakan sebagai salah satu
dari kedua golongan tersebut.

Sumber utama dari pluralisme hukum di Indonesia adalah dua pasal dari Wet op de
Staatsinrichtng van Nederlandsch-Indië (Peraturan Ketatanegaraan Indonesia di Zaman Pemerintahan
Belanda, IS). Pasal 131:1 IS mengatur tentang hukum perdata dan dagang berlaku bagi seluruh
golongan rakyat (bevolkingsgroep), beberapa golongan rakyat, atau sebagian dari golongan rakyat.
Kecuali ada kebutuhan hukum khusus, bagi golongan Eropa (Europeanen) berlaku hukum yang ada di
Belanda. Hal ini dikenal sebagai asas konkordansi (concordantebeginsel). Untuk golongan Indonesia
dan golongan Timur Asing (Vreemde Oosterlingen) dapat berlaku hukum yang sama dengan
golongan Eropa. Namun hukum yang utama bagi mereka adalah hukum adat. Pengaturan yang
demikian didasarkan pada asas penghormatan hukum adat. Kedua golongan ini dapat juga
menundukkan diri kepada hukum yang berlaku bagi golongan Eropa.

Siapa sajakah yang masuk ke dalam golongangolongan rakyat yang ada? Berdasarkan
dikotomi awal di atas, orang-orang Arab, Moor, Tionghoa, dan pemeluk agama Islam lainnya
dipersamakan dengan pribumi. Kemudian Pemerintah Kolonial melakukan pemekaran. Golongan
Timur Asing diadakan untuk memisahkan penduduk Tionghoa dari golongan pribumi. Lebih lanjut,
semua penduduk yang “asing” dipindahkan ke golongan Timur Asing. Sebagai akibatnya, ada dua
golongan Timur Asing yang tunduk pada hukum Eropa: Tionghoa (Chinezen Vreemde Osterlingen)
dan non-Tionghoa (Vreemde Oosterlingen nietChinezen). Namun perlu dicatat, berlakunya hukum
Eropa telah terjadi secara bertahap sebelum “golongan Timur Asing” menjadi suatu golongan rakyat
terpisah.

Pasal 163 IS mengatur tentang golongan rakyat. Yang termasuk ke dalam golongan Eropa
adalah (1) semua orang Belanda, (2) semua orang Eropa, (3) semua orang Jepang dan mereka yang
berasal dari negara yang hukum keluarga sama dengan Belanda, dan (4) anak-anak yang sah atau
yang diakui sah berdasarkan peraturan perundang-undangan dari orangorang yang termasuk dalam
(1)-(3). Golongan Indonesia adalah orang Indonesia asli, yang belum masuk ke dalam golongan lain
atau tunduk pada ordonansi tertentu. Sementara golongan Timur Asing adalah mereka yang tdak
termasuk ke dalam golongan Eropa dan Indonesia. golongan Eropa dan Timur Aing, karena tunduk
pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, bentuk
badan hukum yang tersedia adalah naamloze venootschap (NV, persekutuan tanpa nama, yang
kemudian diterjemahkan menjadi perseroan terbatas). Sedangkan Indonesische Maatschappij op
Aandeelen (IMA, maskapai andil Indonesia) adalah badan hukum yang hanya dapat didirikan oleh
orang-orang yang termasuk dalam golongan Indonesia.

Kemerdekaan Indonesia tdak mengakhiri pluralisme hukum ini. Aturan Peralihan dalam
Undang-Undang Dasar, yang berfungsi untuk menghindari kekosongan hukum, memastkan
kesinambungan status quo. Meskipun pascaProklamasi penduduk Indonesia digolongkan sebagai
warga negara dan orang asing, hukum yang berlaku bagi pribadi kodrat tetap bersifat plural. Dalam
Lie Kwie Hien v. Tjin Tjheuw Jie, Hakim Lie Oen Hock memperhatkan aturan peralihan dan
menjatuhkan putusan setelah terlebih dahulu mempertmbangkan Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, hukum Islam, dan hukum nasional dari penggugat yang berkewarganegaraan Republik
Rakyat Cina. Instruksi Presidium Kabinet No. 31/U/ IN/12/1966, yang menginstruksikan Kantor
Catatan Sipil untuk membuka pendafaran untuk semua penduduk tanpa mengindahkan golongan
rakyat, tdak menghapuskan golongan rakyat dari zaman kolonial. Menurut penulis, golongan rakyat,
yang merupakan struktur sosial kolonialisme, demi hukum berakhir oleh Proklamasi. Setelah itu,
golongan rakyat berubah menjadi golongan hukum (groepsrecht), sehingga pluralisme tetap
berlangsung dan terhindarilah kekosongan hukum.

Sejak awal Kemerdekaan pembentukan hukum nasional sudah menyita perhatan banyak
sarjana hukum. Tidak kurang dari adisarjana Supomo, Notaris Mr. Suwandi, Hakim Agung Sutan Kali
Malikul Adil, advokatcum-yuris Sudargo Gautama, Ko Tjay Sing, sampai Oey Pek Hong
mencurahkan pikiran mereka untuk pembaharuan hukum nasional. Analisis mereka semua berangkat
dari ttk yang sama: perlunya pembaharuan (sistem) hukum nasional Indonesia. Namun upaya ini
belum kunjung membuahkan hasil yang diharapkan. Tiadanya model rujukan yang dapat disetujui
bersama oleh para sarjana merupakan kendala abadi bagi pembentukan hukum nasional.

Awalnya wacana pembentukan hukum nasional berkutat pada dua jenis perdebatan yang
saling bersinggungan. Pertama adalah perdebatan antara unifkasi dan harmonisasi hukum. Jalan
tengah dari perdebatan ini adalah pendikotomian isu hukum. Harmonisasi hukum adalah pendekatan
yang ditempuh isu hukum sensitf, terutama terkait dengan hukum keluarga. Unifkasi hukum adalah
pendekatan untuk isu hukum netral, sepert hukum perjanjian dan dagang. Perdebatan kedua adalah
hukum apakah yang akan menjadi dasar hukum nasional. Puak hukum adat berpendapat bahwa
hukum nasional haruslah berakar, berangkat dan diangkat dari hukum rakyat yang ada, yakni hukum
adat.62 Mereka yang oposan berpendapat bahwa hukum adat tdak saja menghambat upaya unifkasi
hukum, tapi juga perkembangan bangsa Indonesia. Terlepas dari pendapat oposan ini, dalam
perjalanannya ketentuan-ketentuan hukum adat tetap diperhatkan dalam upaya pembentukan hukum
perjanjian nasional.

Melihat realita tersebut, Gautama dengan lantang menyatakan arah perkembangan hukum
Indonesia tetap akan berpijak pada pluralisme hukum. Seiring dengan gencarnya Indonesia menarik
modal asing, Gautama kemudian memprediksi perkembangan HATAH Ekstern (Hukum Perdata
Internasional) akan lebih dominan ketmbang HATAH Intern. Sunaryat Hartono juga melihat tren
yang sama dalam perkembangan hukum nasional, namun berpijak pada hukum antaradat. Meski
kemudian beliau berubah pikiran, pandangannya tentang pluralisme hukum tdak berubah.

Terbukanya Indonesia untuk modal asing pasca terbitnya Undang-Undang Penanaman Modal
Asing berdampak besar pada perkembangan hukum nasional. Para investor asing berpendapat bahwa
hukum Indonesia tdak kompatbel perkembangan kebutuhan kegiatan ekonomi. Hal ini kemudian
mendorong serangkaian reformasi hukum untuk menjawab kebutuhan investor asing. Rangkaian ini
diawali dengan Survey of Indonesian Economic Law pada awal dekade 1970-an yang dilakukan oleh
Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran. Dua puluh tahun kemudian usaha mereformasi hukum
Indonesia terus berlanjut antara lain lewat Economic Law and Improved Procurement System
(ELIPS) Project yang dilakukan oleh Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Salah satu hasil dari
ELIPS Project adalah UndangUndang Perseroan Terbatas (1995).Tekanan untuk terus mereformasi
hukum nasional bertambah setelah Indonesia meratfkasi Persetujuan Pendirian Organisasi
Perdagangan Dunia. Sebelum Krisis Moneter melanda, dibantu oleh Bank Dunia Badan Perancang
Pembangunan Nasional telah mengadakan Diagnostc Assessment of Legal Development in Indonesia
untuk menyesuaikan lebih lanjut hukum nasional dengan pembangunan ekonomi.

Perkembangan di atas menunjukkan kebenaran prediksi Gautama tentang dominannya


HATAH Ekstern dalam pembangunan hukum nasional. Ironisnya, perkembangan tersebut tdak
dipayungi oleh undang-undang tentang hukum perdata internasional. Upaya untuk menyusun
Rancangan Undang-Undang Hukum Perdata Internasional telah dirints sejak awal 1980-an dengan
Gautama sebagai ketua.75 Rancangan Undang-Undang tersebut telah direvisi seperlunya pada tahun
1997/1998.76 Namun Rancangan Undang-Undang tersebut tdak kunjung mendapatkan persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat. Upaya terakhir terjadi pada tahun 2015, ketika Badan Pembinaan Hukum
Nasional kembali menyiapkan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Hukum Perdata
Internasional. Namun hingga saat ini, Indonesia tdak kunjung mempunyai suatu Undang-Undang
Hukum Perdata Internasional.

Di sisi lain, kita menyaksikan bahwa HATAH Intern mengalami perkembangan signifkan
pasca-Reformasi. Di ujung Timur Nusantara, peran pengadilan adat mendapatkan pengakuan negara
dalam penyelesaian sengketa.78 Sementara itu, di ujung Barat, menyimpangi ketentuan prinsip
nasionalitas, hukum yang berlaku bagi seorang Muslim yang berada di Aceh adalah hukum Islam.
Meski lebih dari empat dekade yang lalu Undang-Undang Perkawinan berhasil menyatukan
pengaturan dalam satu kitab, namun peraturan tentang perkawinan tetap bersifat plural.

Bila pluralisme hukum tentang pribadi kodrat terus berlangsung, hukum yang berlaku untuk
badan hukum mengalami unifkasi. Penyederhanaan, pertama-tama, terjadi karena pada praktknya
WNI yang berasal dari golongan hukum non-Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memilih untuk
menundukkan diri dengan mendirikan NV (baca: PT). Tidak jelas apa yang menjadi alasan pemilihan
NV ketmbang IMA. Secara hukum, keberlakuan Undang-Undang Perseroan Terbatas (1995)
mengakhiri dualisme bentuk badan hukum.

Berdasarkan sejarah dan perkembangan hukum nasional yang ada, maka dapatlah ditarik
kesimpulan bahwa pluralisme hukum merupakan condito sine qua non bagi bangsa Indonesia. Dengan
demikian, benarlah pendapat Sunaryat Hartono yang mengidentfkasi bhineka tunggal ikal sebagai
asas hukum bagi pembangunan hukum nasional.

C. Pernikahan Beda Agama Menurut Hukum Negara Indonesia

Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim MA menyatakan bahwa UU Perkawinan tak


memuat ketentuan apa pun yang melarang perkawinan beda agama. Hal itu, menurut majelis
hakim, sejalan dengan bunyi Pasal 27 UUD 1945 soal kedudukan setiap warga negara yang
sama di depan hukum.

Perkawinan Campuran menurut UU No 1 Tahun 1974

Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam UU ini adalah :

“ Perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena
perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. “

( Pasal 57 UU No. 1 Tahun 1974 )

Kemudian Pasal 59 ayat (2) UU No 1 Tahun 1974 mengatakan bahwa bagi


perkawinan campuran yang dilakukan di Indonesia dilakukan menurut UU No 1 Tahun 1974
ini. Mengenai prosedur perkawinan campuran diatur dalam Pasal 60 UU No. 1 Tahun 1974.
Perkawinan campuran baru dapat dilaksanakan jika para pihak telah memenuhi syarat –
syarat perkawinan sebagaimana telah ditentukan oleh hukum yang berlaku bagi pihak masing
– masing telah di penuhi. Hal ini harus dibuktikan dengan surat keterangan dari mereka yang
menurut hukum yang berlaku berwenang mencatat perkawinan. Jika pejabat yang
bersangkutan menolak untuk memberikan surat keterangan itu, maka atas permintaan yang
berkepentingan, Pengadilan memberikan keputusan dengan tidak beracara serta tidak boleh
dimintakan banding lagi tentang soal apakah penolakan pemberian surat keterangan itu
beralasan atau tidak. Jika Pengadilan memutuskan bahwa penolakan tidak beralasan, maka
keputusan itu menjadi pengganti keterangan. Dari perumusan Pasal 57 UU No. 1 Tahun 1974
dapat dilihat bahwa pengertian perkawinan campuran mengalami penyempitan. Perkawinan
campuran menurut UU No. 1 Tahun 1974 hanya meliputi perkawinan antara warga negara
Indonesia dengan warga Negara asing. Perkawinan beda agama tidak lagi termasuk ke dalam
pengertian perkawinan campuran.

Di dalam UU No. 1 Tahun 1974 tidak terdapat Pasal yang jelas – jelas mengatur perkawinan
beda agama secara eksplisit. Menurut Pasal 2 (1), perkawinan sah apabila menurut agama dan
kepercayaan masing – masing pihak. Artinya, selama perkawinan dilangsungkan menurut
syarat dan cara yang ditentukan hukum agama serta tidak melanggar larangan perkawinan
menurut hukum agama, maka perkawinan tersebut sah. Dan sebaliknya, jika perkawinan
dilakukan tidak sesuai dengan syarat dan tata cara yang ditentukan oleh hukum agama atau
melanggar larangan perkawinan menurut agamanya, maka perkawinan tersebut tidak sah.

Pasal 8 huruf f UU No. 1 Tahun 1974 menyatakan :

“Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang
kawin. Prof. Hazairin menafsirkan Pasal 8 huruf f tersebut beserta penjelasannya bahwa bagi
orang Islam tidak ada kemungkinan untuk kawin dengan melanggar hukum agamanya
sendiri, demikian juga bagi orang Kristen, Katholik, Hindu, Budha dan Konghucu.

Terdapat beberapa penafsiran mengenai Perkawinan Beda Agama berdasarkan UU


Perkawinan, yaitu :

· Perkawinan beda agama merupakan pelanggaran terhadap Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 8
huruf f UU No. 1 Tahun 1974.

· Perkawinan antar agama sama sekali tidak diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 , oleh
karena itu berdasarkan Pasal 66 No. 1 Tahun.

Pendapat yang tepat berada pada point nomor satu. Apabila perkawinan beda agama
merupakan pelanggaran terhadap Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 8 huruf f UU No. 1 Tahun 1974,
maka instansi baik KUA dan Kantor Catatan Sipil dapat menolak permohonan perkawinan
beda agama berdasarkan pada Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 8 huruf f UU No. 1 Tahun 1974, yang
menyatakan bahwa perkawinan adalah sah jika dilakukan menurut hukum masing – masing
agamanya dan kepercayaannya itu. Dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1), maka tidak ada
perkawinan di luar hukum agama dan kepercayaannya itu.

Perkawinan beda agama tidak bisa merujuk pada ketentuan GHR. Apabila di lihat
Pasal 66 UU No. 1 Tahun 1974 bahwa sebenarnya ketentuan GHR tidak dapat diberlakukan
lagi. GHR mengandung asas yang bertentangan dengan keseimbangan kedudukan hukum
antara suami istri sebagaimana diatur oleh UU No. 1 Tahun 1974. GHR sebagaiman KUH
Perdata hanya mengenal konsep perkawinan sipil yang sifatnya sekuler, sedangkan UU No. 1
Tahun 1974 memandang perkawinan memiliki hubungan erat dengan Agama.

Dengan demikian jelas bahwa UU No. 1 Tahun 1974 telah menutup pintu bagi
terjadinya perkawinan beda agama jika memang agama yang dianut melarang terjadinya hal
tersebut seperti dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1).

Indonesia adalah Negara yang dikenal kemajemukannya dalam adat – istiadat, budaya
dan Agama. Kebebasan beragama di Indonesia juga dijamin oleh Konstitusi pada Pasal 29
ayat (1) UUD 1945. Salah satu sorotan utama dalam sistem pergaulan di masyarakat terkait
dengan keberadaan agama adalah tentang perkawinan antar umat beragama atau perkawinan
beda agama. Perkawinan beda agama dapat diartikan sebagai perkawinan yang dilaksanakan
oleh sepasang calon suami istri yang berbeda agama atau keyakinan pada saat
melangsungkan perkawinan. UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak secara tegas
dan eksplisit mentukan apakah perkawinan beda agama di bolehkan atau dilarang. Hal ini
dikarenakan UU No. 1 Thaun 1974 menggunakan norma penunjuk ( verwijzingsgregel ) pada
hukum agama dan kepercayaan masing – masing. Oleh karena itu pera penegak hukum di
badan peradilan maupun lembaga pencatat perkawinan sering tidak konsisten dalam
menyelesaikan persoalan perkawinan beda agama ini karena bergantung pada penafsiran
agama dan hukum yang berbeda – beda.

Tata Cara Perkawinan Beda Agama Dalam Praktek

Tidak diaturnya perkawinan beda agama secara eksplisit dalam UU No. 1 Tahun 1974
menyebabkan perbedaan interpretasi terhadap Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974. Hal
tersebut menyebabkan ketidakpastian hukum bagi pasangan yang melakukan perkawinan
beda agama sedangkan perkawinan beda agama di Indonesia tidak dapat dihindarkan sebagai
akibat keadaan masyarakat yang heterogen. Penulis berpendapat dengan adanya Pasal 2 ayat
(1) jo. Pasal 8 huruf f UU No. 1 Tahun 1974 sebenarnya tidak menghendaki terjadinya
perkawinan beda agama.

Untuk dapat mencatatkan perkawinan beda agama, menurut Prof. Wahyono


Darmabrata ada empat cara yang biasa di tempuh oleh para pihak yang ingin melangsungkan
perkawinan beda agama :
1. Meminta penetapan pengadilan . Pasal 21 ayat (1) – (4) UU No. 1 Tahun 1974
menjelaskan bahwa jika pegawai pencatan perkawinan berpendapat bahwa
perkawinan tersebut ada larangan menurut UU ini, maka ia akan menolak
melangsungkan perkawinan. Didalam hal penolakan, maka permintaan salah
satu pihak yang ingin melangsungkan perkawinan oleh pegawai pencatat
perkawinan akan diberikan suatu keterangan tertulis dari penolakan tersebut
disertai alasan – alasan penolakannya. Para pihak yang perkawinannya ditolak
berhak mengajukan permohonan kepada Pengadilan da dalam wilayah mana
pegawai pencatat perkawinan yang mengadakan penolakan berkedudukan
untuk memberikan keputusan, dengan menyerahkan surat keterangan
penolakan diatas. Pengadilan akan memeriksa perkaranya dengan acara
singkat dan akan memberikan ketetapan, apakah ia akan menguatkan
penolakan tersebut atau memerintahkan agar perkawinan dilangsungkan.
2. Perkawinan dilangsungkan dua kali menurut masing – masing agamanya.
Dengan melangsungkan perkawinan dua kali menurut agama calon suami dan
istri diharapkan pegawai pencatat perkawinan menganggap bahwa ketentuan
Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 dapat dipenuhi. Prof. Wahyono
berpendapat bahwa perkawinan yang berlaku bagi mereka adalah perkawinan
yang dilangsungkan belakangan. Hal ini dikarenakan perkawinan yang
dilakukan belakangan otomatis membatalkan perkawinan yang dilangsungkan
sebelumnya.
3. Penundukan sementara terhadap salah satu agama. Penundukan sementara ini
biasanya diperkuat dengan mengganti status agama yang dianut di Kartu
Tanda Penduduk. Namun, setelah perkawinan berlangsung pihak yang
melakukan penundukan agama kembali ke agama semula. Hal ini merupakan
penyelundupan hukum karena dilakukan untuk menghindari ketentuan hukum
nasional mengenai perkawinan yang seharusnya berlaku bagi dirinya.
4. Melangsungkan perkawinan di luar negeri. Pasal 56 UU Perkawinan
menyatakan bahwa perkawinan yang dilakukan di luar Indonesia atau seorang
warga Negara Indonesia dengan warga Negara asing adalah sah bilamana
dilakukan menurut hukum yang berlaku di Negara di mana perkawinan itu
dilangsungkan dan bagi warga Negara Indonesia tidak melanggar ketentuan –
ketentuan UU ini. Selanjutnya disebutkan bahwa dalam waktu 1 tahun setelah
suami istri tersebut kembali ke Indonesia, surat bukti perkawinan mereka
harus didaftarkan di Kantor Pencatatan perkawinan tempat tinggal mereka.
Namun sebenarnya cara ini tidak dapat menjadi pembenaran dilangsungkan
perkawinan beda agama. Karena sesuai Pasal 56 UU No. 1 Tahun 1974
perkawinan tersebut baru sah apabila warga Negara Indonesia tidak melanggar
ketentuan UU No. 1 Tahun 1974.

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam UU adalah Perkawinan antara dua
orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan
kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Kemudian Pasal 59
ayat (2) UU No 1 Tahun 1974 mengatakan bahwa bagi perkawinan campuran yang dilakukan
di Indonesia dilakukan menurut UU No 1 Tahun 1974 ini. Mengenai prosedur perkawinan
campuran diatur dalam Pasal 60 UU No. 1 Tahun 1974. Perkawinan campuran baru dapat
dilaksanakan jika para pihak telah memenuhi syarat – syarat perkawinan sebagaimana telah
ditentukan oleh hukum yang berlaku bagi pihak masing – masing telah di penuhi. Hal ini
harus dibuktikan dengan surat keterangan dari mereka yang menurut hukum yang berlaku
berwenang mencatat perkawinan. Jika pejabat yang bersangkutan menolak untuk
memberikan surat keterangan itu, maka atas permintaan yang berkepentingan, Pengadilan
memberikan keputusan dengan tidak beracara serta tidak boleh dimintakan banding lagi
tentang soal apakah penolakan pemberian surat keterangan itu beralasan atau tidak. Jika
Pengadilan memutuskan bahwa penolakan tidak beralasan, maka keputusan itu menjadi
pengganti keterangan. Dari perumusan Pasal 57 UU No. 1 Tahun 1974 dapat dilihat bahwa
pengertian perkawinan campuran mengalami penyempitan.

Tidak diaturnya perkawinan beda agama secara eksplisit dalam UU No. 1 Tahun 1974
menyebabkan perbedaan interpretasi terhadap Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974. Hal
tersebut menyebabkan ketidakpastian hukum bagi pasangan yang melakukan perkawinan
beda agama sedangkan perkawinan beda agama di Indonesia tidak dapat dihindarkan sebagai
akibat keadaan masyarakat yang heterogen. Penulis berpendapat dengan adanya Pasal 2 ayat
(1) jo. Pasal 8 huruf f UU No. 1 Tahun 1974 sebenarnya tidak menghendaki terjadinya
perkawinan beda agama.

Daftar Pustaka

· UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan

· Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta nomor 15 tahun 1999
tentang Prosedur pelayanan masyarakat pada Kantor Catatan Sipil Propinsi DKI Jakarta

· PP no 25 th 2008 tentang Persyaratan Dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan


Pencatatan Sipil.

· Undang-Undang No 23 tahun 2006 tentang Kependudukan Pasal 37 ayat 4

· Tatacara Pencatatan berdasarkan: Peraturan Meneteri Dalam Negeri Nomor 12


Tahun 2010 Tenatang Pencatatan Perkawinan dan Pelaporan Akta Yang Diterbitkan Oleh
Negara Lain BAB VI Pelaporan Akta Pencatatan Sipil Yang Diterbitkan Oleh Negara Lain
Oleh Negara Lain.

Anda mungkin juga menyukai