Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH HUKUM PERDATA INTERNASIONAL

”Pendekatan Hukum Perdata Internasional Dalam Penyelesaian


Sengketa Kontrak Komersial Internasional Berbahasa Asing”

Disusun Oleh :

Nama : Dimas Vigo Winata

NPM : 2174201080

Dosen Pengampu :

Hendi Sastra Putra,S.H.,M.H

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BENGKULU

2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT. Akhirnya saya bisa menyelesaikan
tugas makalah saya mata kuliah Hukum Perdata Internasional yang di ampu oleh
bapak Hendi Sastra Putra,S.H.,M.H dengan judul “Pendekatan Hukum Perdata
Internasional Dalam Penyelesaian Sengketa Kontrak Komersial Internasional
Berbahasa Asing”.

Ucapan terima kasih kepada bapak Hendi Sastra Putra,S.H.,M.H yang telah
memberikan banyak ilmu kepada saya sehingga saya akhirnya bisa menyelesaikan
tugas ini. Di dalam penulisan makalah ini saya menyadari terdapat banyak
kesalahan dan kekeliruan. Oleh sebab itu saya berharap para pembaca dapat
memberikan kritik dan saran yang sifatnya membangun agar makalah ini dapat
lebih baik lagi. Demikian kami ucapkan terima kasih.

Bengkulu, 07 Juli 2023

Dimas Vigo Winata

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii

DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................1

1.1 Latar Belakang ...................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah ..............................................................................................2

1.3 Tujuan ................................................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................4

2.1 Hukum Perdata Internasional .............................................................................4

2.2 Fungsi dan Kedudukan Bahasa Indonesia dalam Perjanjian .............................5

2.3 Causa yang Halal dan Keabsahan Perjanjian yang Berbahasa Asing ................8

2.4 Mengetahui Titik Taut Primer Dalam Perkara Pembatalan Perjanjian Berbahasa
Asing .................................................................................................................11

2.5iKaidah Hukum Memaksa (Mandatory Rules) dalam Hukum Perdata


Internasional .....................................................................................................12

2.6 Penerapan Prinsip Overriding Mandatory Rules .............................................14

BAB III PENUTUP ..............................................................................................17

3.1 Kesimpulan ......................................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................18

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembentukan zona perdagangan bebas terus bertambah, hubungan


perdagangan lintas negara semakin terbuka, mendorong peningkatan hubungan
hukum transnasional secara signifikan. Untuk menjembatani kepentingan para
pihak, agar ada kesepahaman tentang substansi yang diperjanjikan, maka hubungan
hukum yang diikat dengan perjanjian dalam konteks lintas batas ditulis dalam teks
bahasa yang disepakati. Di lain sisi, terdapat kepentingan nasional yang juga perlu
mendapat perlindungan, bahasa nasional adalah salah satunya. Bagi sebuah bangsa,
bahasa bukan hanya sekedar sarana berkomunikasi dan berinteraksi, sebagaimana
disebutkan dalam konsideran Undang-Undang RI Nomor 24 Tahun 2009 tentang
Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan (selanjutnya
disebut UU No. 24/2009), bahwa bahasa bersama dengan bendera, lambang negara,
dan lagu kebangsaan, merupakan sarana pemersatu, identitas, dan wujud eksistensi
bangsa yang menjadi simbol kedaulatan dan kehormatan negara.
Bahasa juga merupakan manifestasi kebudayaan yang berakar pada sejarah
perjuangan bangsa, kesatuan dalam keragaman budaya, dan kesamaan
dalammewujudkan cita-cita bangsa dan Negara.

Dalam Pasal 31 UU No. 24/2009 ditentukan bahwa “Bahasa Indonesia


wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga
negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau
perseorangan warga negara Indonesia. Nota kesepahaman atau perjanjian yang
melibatkan pihak asing ditulis juga dalam bahasa nasional pihak asing tersebut
dan/atau bahasa Inggris.” Selanjutnya dalam peraturan pelaksana, Peraturan
Presiden RI Nomor 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia
(selanjutnya disebut Perpres No. 63/2019) ditentukan pula bahwa, “Bahasa nasional
pihak asing dan/atau bahasa Inggris digunakan sebagai padanan atau terjemahan

1
2

Bahasa Indonesia untuk menyamakan pemahaman nota kesepahaman atau


perjanjian dengan pihak asing.”

Pengaturan tentang kewajiban penggunaan Bahasa Indonesia dalam nota


kesepahaman atau perjanjian tersebut dalam beberapa kasus dijadikan dasar hukum
untuk mengajukan gugatan pembatalan perjanjian, meskipun tentu saja pada saat
ditandatanganinya perjanjian mereka mengetahui dan menyadari bahwa perjanjian
yang mereka tandatangani tersebut tertulis dalam bahasa asing tanpa ada teks
perjanjian dalam Bahasa Indonesia. Pengadilan tingkat pertama, tingkat banding,
bahkan majelis hakim di Mahkamah Agung sekalipun memiliki pandangan dan
sikap yang berbeda- beda akan hal ini, sehingga putusan yang dijatuhkan pun
bervariasi. Inti perbedaan pendapat adalah tentang apakah kewajiban penggunaan
Bahasa Indonesia dalam perjanjian adalah bersifat imperatif karena diatur demikian
dalam undang-undang, ataukah bersifat voluntary karena tidak ditentukan adanya
sanksi atas pelanggaran kewajiban tersebut. Lebih lanjut, pada kelompok pendapat
yang menyatakan bahwa aturan tersebut bersifat wajib juga terdapat
ketidaksependapatan dalam penentuan akibat hukum atas pelanggaran
tersebut. Maka pada makalah ini akan dibahas lebih lanjut mengenai Pendekatan
Hukum Perdata Internasional Dalam Penyelesaian Sengketa Kontrak Komersial
Internasional Berbahasa Asing.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa itu hukum perdata internasional?
2. Apa fungsi dan kedudukan bahasa Indonesia dalam perjanjian?
3. Causa yang halal dan keabsahan perjanjian yang berbahasa asing?
4. Apa titik taut primer dalam perkara pembatalan perjanjian berbahasa asing?
5. Bagaimana kaidah hukum memaksa (mandatory rules) dalam hukum
perdata internasional?
6. Bagaimana penerapan prinsip overriding mandatory rules?
3

1.3 Tujuan

1. Mengetahui hukum perdata internasional.


2. Mengetahui fungsi dan kedudukan bahasa Indonesia dalam perjanjian.
3. Mengetahui causa yang halal dan keabsahan perjanjian yang berbahasa
asing.
4. Mengetahui titik taut primer dalam perkara pembatalan perjanjian
berbahasa asing.
5. Mengetahui kaidah hukum memaksa (mandatory rules) dalam hukum
perdata internasional.
6. Mengetahui penerapan prinsip overriding mandatory rules.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Hukum Perdata Internasional

Hukum internasional adalah bagian hukum yang mengatur


aktivitas entitas berskala internasional. Pada awalnya, hukum internasional hanya
diartikan sebagai perilaku dan hubungan antar negara. Namun, dalam
perkembangan pola hubungan internasional semakin kompleks pengertiannya.
Hukum internasional juga mengurusi struktur dan perilaku organisasi internasional
dan pada batas tertentu, perusahaan multinasional dan individu. Yang
disebut hukum internasional ini mengatur hubungan antar negara, memberikan hak
dan kewajiban kepada mereka dan juga memuat ketentuan untuk
situasi konflik dan perang. Ia juga dikenal sebagai hukum internasional dan hukum
internasional publik, dan juga berlaku untuk organisasi internasional dan badan
politik. Pengertian Hukum Internasional menurut Prof Hyde bahwa Hukum
Internasional dapat dirumuskan sebagai sekumpulan hukum yang sebagian besar
terdiri atas asas-asas dan peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh negara-negara.
Oleh karena itu hukum internasional harus ditaati ketika negara-negara saling
berhubungan.

Hukum internasional adalah hukum bangsa-bangsa, hukum antarbangsa


atau hukum antarnegara. Hukum bangsa-bangsa yang di gunakan untuk
menunjukkan pada kebiasaan dan aturan hukum yang berlaku dalam hubungan
antara raja-raja zaman dahulu. Hukum antarbangsa atau hukum antarnegara
menunjukkan pada kompleks kaidah dan asas yang mengatur hubungan antara
anggota masyarakat bangsa-bangsa atau negara.

Hukum Perdata Internasional ialah keseluruhan kaidah dan asas hukum


yang mengatur hubungan perdata yang melintasi batas negara atau hukum yang
mengatur hubungan hukum perdata antara para pelaku hukum yang masing-masing
tunduk pada hukum perdata (nasional) yang berlainan. Sedangkan Hukum
Internasional adalah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan
atau persoalan yang melintasi batas negara (hubungan internasional) yang bukan
bersifat perdata.

4
5

2.2 Fungsi dan Kedudukan Bahasa Indonesia dalam Perjanjian

Bahasa memiliki peranan penting dalam kita mempelajari bidang hukum,


terutama dalam mempelajari istilah-istilah hukum, di mana hukum merupakan
produk atau hasil pikiran yang dapat stabil yang ditunjang oleh bahasa yang baik.
Di sini kita bisa melihat bahwa istilah hukum merupakan bagian dari yang tidak
terpisahkan dari bahasa hukum. Dalam pembentukan bahasa hukum, pembentuk
produk hukum harus memiliki kemahiran dalam bahasa yang harus memiliki
kesesuaian dengan kaidah-kaidah bahasa Indonesia. Karena bahasa hukum
memiliki dasar dari bahasa Indonesia, maka penggunaan bahasa hukum tetap harus
tunduk pada tata cara bahasa yang sesuai dengan tata cara bahasa Indonesia. Ada 3
(tiga) fungsi utama dari bahasa hukum, antara lain:

1. Fungsi Simbolik Makna dari fungsi simbolik adalah bahwa bahasa yang
digunakan yang melambangkan sistem bunyi atau tulisan mengenai
pengertian-pengertian hukum. Bahasa hukum baik lisan maupun tertulis
harus dapat mengkomunikasikan konsep tentang hukum. Melalui fungsi
simbolik, bahasa diharapkan dapat diterima secara produktif serta
memberikan kemampuan berfikir yang teratur dan sistematis.
2. Fungsi Emotif Pada dasarnya bahasa memiliki fungsi menyampaikan pesan
berupa perasaan pada pihak lain. Di sisi yang lain bahasa hukum harus bebas
dari emosi, perasaan bersifat datar dan kering. Kesemuanya harus ditujukan
untuk mencapai kepastian hukumdan menghindari makna ganda dari bahasa
hukum.
3. Fungsi Afektif Fungsi ini sangat erat kaitannya dengan sikap, di mana
diharapkan agar norma-norma hukum yang dihasilkan mampu
meningkatkan kessadaran hukum dan dapat dikomunikasikan sehingga
dapat dimengerti dan mampu mengubah serta mengembangkan kepribadian
supaya taat hukum dan bersikap tegas sesuai dengan aturan hukum.
Pengertian bahasa hukum menurut J.J. H Bruggink sebagaimana dialih
bahasakan oleh Arief Shidarta adalah bahasa yang digunakan pada waktu
seseorang mempelajari hukum, berarti belajar cara berpikir secara yuridis.
Kegiatan untuk mempelajari hukum sendiri merupakan usaha untuk
menguasai bahasa hukum. Karena dalam bahasa hukum itulah cara berpikir
6

yuridis itu bermukim. berdasarkan terminologinya, bahasa di bidang hukum


dibedakan atas bahasa Indonesia hukum dan bahasa hukum Indonesia.
Bahasa Indonesia hukum merupakan bagian dari bahasa Indonesia yang
secara khusus diterapkan di dalam bidang hukum, seperti istilah prestasi
yang merujuk pada kewajiban para pihak dalam perjanjian. Sebaliknya,
bahasa hukum Indonesia adalah bahasa Indonesia yang memiliki sifat khas
yang digunakan di dunia hukum, seperti force majeur (overmacht) yang
merujuk pada keadaan kahar atau keadaan memaksa 10 dan
rechtsverwerking yang merujuk pada pelepasan hak. Di bidang hukum
perjanjian, kewajiban menggunakan Bahasa Indonesia selain merujuk pada
UU No. 24/2009 dapat juga ditemukan dalam Peraturan Presiden No. 16
Tahun 2010 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Pidato Resmi
Presiden dan/atau Wakil Presiden serta Pejabat Negara Lainnya yang sudah
dicabut oleh Peraturan Presiden No. 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan
Bahasa Indonesia ( Perpres No. 63/2019) serta UU No. 30 Tahun 2004
tentang Jabatan Notaris yang sudah diubah dengan UU No. 2 Tahun 2014
tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. UU No. 30 Tahun 2004
tentang Jabatan Notaris (UUJN). Terkait dengan perjanjian yang
menggunakan bahasa asing, Pasal 31 UU No. 24/2009 secara tegas
menyebutkan :
(1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau
perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah
Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan
warga negara Indonesia.
(2) Nota kesepahaman atau perjanjian sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) yang melibatkan pihak asing tertulis juga dalam bahasa
nasional asing tersebut dan/atau bahasa Inggris. Lebih lanjut dalam
Pasal 26 Perpres No. 63/2019 disebutkan : (1) Bahasa Indonesia
wajib digunakan dalam notakesepahaman atau perjanjian yang
melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik
Indonesia, lembaga swasta Indonesia, atau perseorangan warga
negara Indonesia. (2) Nota kesepahaman atau perjanjian
7

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang melibatkan pihak asing


ditulis juga dalam bahasa nasional pihak asing tersebut dan/atau
bahasa Inggris.
(3) Bahasa nasional pihak asing dan/atau bahasa Inggris sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) digunakan sebagai padanan atau
terjemahan Bahasa Indonesia untuk menyamakan pemahaman nota
kesepahaman atau perjanjian dengan pihak asing.
(4) Dalam hal terjadi perbedaan penafsiran terhadap padanan atau
terjemahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), bahasa yang
digunakan ialah bahasa yang disepakati dalam nota kesepahaman
atau perjanjian Penegasan atas penggunaan bahasa Indonesia
dalam perjanjian juga diatur dalam Pasal 43 UUJN yang memuat
ketentuan sebagai berikut : (1) Akta wajib dibuat dalam bahasa
Indonesia. (2) Dalam hal penghadap tidak mengerti bahasa yang
digunakan dalam Akta, Notaris wajib menerjemahkan atau
menjelaskan isi Akta itu dalam bahasa yang dimengerti oleh
penghadap. (3) Jika para pihak menghendaki, Akta dapat dibuat
dalam bahasa asing. (4) Dalam hal Akta dibuat sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), Notaris wajib menerjemahkannya ke
dalam bahasa Indonesia.
(5) Apabila Notaris tidak dapat menerjemahkan atau menjelaskannya,
Akta tersebut diterjemahkan atau dijelaskan oleh seorang
penerjemah resmi.
(6) Dalam hal terdapat perbedaan penafsiran terhadap isi Akta
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka yang digunakan adalah
Akta yang dibuat dalam bahasa Indonesia. Berdasarkan ketentuan
tersebut, praktik hukum pada umumnya dan pembuatan perjanjian
(kontrak) pada khususnya harus ditulis dalam bahasa Indonesia
hukum. Dengan kata lain perjanjian berbahasa asing harus disertai
dengan terjemahan bahasa Indonesia.
8

2.3 Causa yang Halal dan Keabsahan Perjanjian yang Berbahasa Asing

Pada dasarnya janji itu mengikat (pacta sunt servanda). Ungkapan itu diakui
sebagai aturan bahwa semua perjanjian yang dibuat para pihak secara bertimbal
balik pada hakikatnya dimaksudkan untuk dipenuhi dan dapat dipaksakan.
Kekuatan mengikat (pacta sunt servanda) dari perjanjian berkaitan erat dengan
akibat dari adanya perjanjian yaitu terikatnya para pihak yang mengadakan
perjanjian. Hal tersebut menunjukan bahwa hak yang lahir merupakan hak
perorangan (personlijk) dan bersifat relatif. Namun dalam kondisi tertentu dapat
diperluas (menjangkau) sampai pihak-pihak lain sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 1317 KUHPerdata, 1318, 1365 dan 1576 KUHPerdata. Pasal 1338 ayat (1)
KUHPerdata sebagai pasal yang memuat asas kekuatan mengikat dari perjanjian
menegaskan : “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-
undnag bagi mereka yang membuatnya”. Artinya, untuk bisa berlaku mengikat
sebagai undang-undang perjanjian yang dibuat sendiri oleh para pihak harus
memenuhi syarat sahnya perjanjian.

Selain asas kekuatan mengikat, di dalam Pasal 1338 (1) KUHPerdata juga
memuat asas kebebasan berkontrak. Asas kebebasan berkontrak lahir dari sistem
terbuka yang dianut Buku III KUHPerdata dan memperbolehkan para pihak
membuat undang-undang bagi mereka sendiri. Subekti mengatakan bahwa asas
kebebasan berkontrak memberikan kebebasan kepada para pihak untuk membuat
perjanjian berisi apa saja, asal tidak bertentangan dengan undang- undang,
ketertiban umum, dan kesusilaan. Feenstra dan Margreet Ashmann sebagaimana
dikutip Johanness Ibrahim Kosasih menegaskan bahwa kebebasan berkontrak
dibedakan atas 2 (dua) yaitu dalam arti materiil dan dalam arti formil. Dalam arti
materiil, kebebasan berkontrak dikenal dengan sistem terbuka yang memberikan
kebebasan untukan menentukan isi atau substansi perjanjian sesuai yang kita
kehendaki dan tidak terikat pada tipe-tipe perjanjian tertentu. Sedangkan dalam arti
formil, kebebasan berkontrak merupakan kebebasan untuk membuat perjanjian
sesuai cara yang dikehendaki dan cukup dengan adanya persesuaian kehendak.
Kebebasan dalam arti formil ini sering disebut sebagai prinsip konsensualitas.
9

Prinsip atau asas konsensualitas (dalam istilah yang berbeda sering


diistilahan dengan konsensualisme) merupakan asas yang menentukan “ada”nya
perjanjian (raison d’etre, het bestaan waarde). Subekti mengemukakan pada
dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak
detik tercapainya kesepakatan. Dengan kata lain, perjanjian itu sudah sah apabila
sudah sepakat mengenai hal-hal yang pokok dan tidaklah diperlukan sesuatu
formalitas. Ahmadi Miru menyatakan apabila tercapai kesepakatan antara para
pihak, lahirlah kontrak walaupun kontrak itu belum dilaksanakan pada saat itu. Asas
konsensualisme lazimnya dapat disimpulkan dari Pasal 1320 KUHPerdata yang
berbunyi : “untuk sahnya suatu perjanjian diperlikan empat syarat :1. sepakat
mereka yang mengikatkan dirinya; 2. kecakapan untuk membuat perikatan; 3. suatu
hal tertentu; 4. suatu sebab yang halal”. Akan tetapi terdapat pengecualian atas asas
konsensualisme, di mana untuk perjanjian-perjanjian tertentu dipersyaratkan
dipenuhinya formalitas-formalitas tertentu (perjanjian formil). Menurut Subekti,
perjanjian formil merupakan perjanjian yang oleh undang-undang didasarkan pada
formalitas-formalitas tertentu, yang jika formalitas-formalitas yang ditentukan itu
tidak dipenuhi mengakibatkan perjanjian yang dibuat menjadi batal demi hukum.

Terkait dengan keabsahan perjanjian, Pasal 1320 KUHPerdata mengatur


bahwa untuk sahnya perjanjian wajib dipenuhi 4 (empat) syarat, yaitu sepakat
mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat perikatan, suatu hal
tertentu dan suatu sebab yang halal. Syarat “kesepakatan” dan “kecakapan”
merupakan syarat subjektif yaitu syarat yang berkaitan dengan subjeknya (para
pihak), sedangkan “syarat suatu hal tertentu” dan “sebab (causa) yang halal”
disebut syarat objektif karena berkaitan dengan objek perjanjian. Jika salah satu
syarat dari syarat subjetif tidak terpenuhi menyebabkan perjanjian dapat dimintakan
pembatalannya. Pembatalan perjanjian hanya bisa dimintakan oleh pihak yang tidak
cakap atau tidak bebas dalam memberikan kesepakatannya. Perjanjian yang dibuat
tetap sah dan mengikat selama tidak dibatalkan oleh pengadilan atas permintaan
pihak yang berhak meminta pembatalan. Sebaliknya, jika salah satu syarat objektif
tidak terpenuhi mengakibatkan perjanjian menjadi batal demi hukum (void/nietig).
Menurut Subekti perjanjian yang batal demi hukum diistilahkan dengan null and
void. Artinya perjanjian antara para pihak sejak semula dianggap tidak pernah ada
10

dan tidak pernah ada suatu perikatan, sehingga tidak ada dasar untuk saling
menuntut di depan hakim.

Perdebatan tentang causa harus disikapi dengan pemahaman yang benar


mengenai arti atau makna dari causa. Menelusuri pasal-pasal yang ada dalam
KUHPerdata, ternyata tidak ditemukan satu pasalpun yang memuat pengertian dari
causa. Pengaturan tentang causa dapat ditemukan dalam Pasal 1335, 1336 dan 1337
KUHPerdata yang bunyinya sebagai berikut :

1. Pasal 1335 KUHPerdata :“Suatu persetujuan tanpa sebab, atau yang telah
dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai
kekuatan.”
2. Pasal 1336 KUHPerdata : “Jika tak dinyatakan sesuatu sebab, tetapi ada
suatu sebab yang halal, atau pun jika ada suatu sebab lain, dari pada yang
dinyatakan, persetujuannya namun demikian adalah sah.”
3. Pasal 1337 KUHPerdata : “Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang
oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan atau
ketertiban umum.”

Untuk memberikan penjelasan mengenai pengertian atau makna dari causa,


beberapa sarjana mencoba mengajukan pemikirannya mengenai pengertian causa.
Wirjono Prodjodikoro memberikan pengertian causa sebagai maksud atau tujuan
dari perjanjian. Menurutnya harus dibedakan antara causa dengan motif (alasan
pendorong) untuk melakukan sesuatu. Alasan pendorong berada dalam batin
seseorang. Jadi tidak mungkin ada suatu perjanjian yang tidak mempunyai causa,
karena sebetulnya causa merupakan isi perjanjian dan setiap persetujuan pasti
mempunyai isi meskipun hanya sedikit. Pendapat yang sama juga disampaikan oleh
Domat dan Pothier yang memandang causa atau sebab dari suatu perikatan sebagai
alat penggerak langsung yang menjadi dasar dari kesediaan debitur untuk menerima
keterikatannya untuk memenuhi isi (prestasi) perikatannya. Keduanya juga
membedakan antara causa dengan motif, di mana motif diartikan sebagai dasar
penggerak pertama yang menimbulkan kehendak untuk melakukan suatu
perbuatan. Dalam bidang hukum perdata undang-undang mengesampingkan motif
seseorang.
11

Sementara itu Subekti menyatakan bahwa causa (sebab) adalah isi


perjanjian itu sendiri. Jadi sesungguhnya causa merupakan prestasi dan kontra
prestasi yang saling dipertukarkan oleh para pihak. Sedangkan Mariam Darus
Badrulzaman dalam pendapatnya menegaskan bahwa causa bukan merupakan
hubungan sebab akibat dan tidak ada hubungannya dengan ajaran kausaliteit.
Menurut yurisprudensi, yang ditafsirkan dengan causa adalah isi atau maksud dari
perjanjian. Melalui syarat causa, diupayakan menempatkan pelaksanaan perjanjian
di bawah pengawasan Hakim. Hakim dapat menguji apakah tujuan dari perjanjian
itu dapat dilaksanakan dan isinya tidak bertentangan dengan undang-undang,
ketertiban umum dan kesusilaan .

Sebagai negara yang menganut kodifikasi hukum, dasar utama bagi hakim
dalam penegakan hukum di Indonesia adalah hukum positif yakni undang-undang.
Ketika suatu undang-undang tidak jelas atau tidak lengkap dalam mengatur suatu
peristiwa konkrit, hakim dituntut untuk selalu melakukan penemuan hukum
(rechtsvinding) salah satunya melalui metode penafsiran (interpretasi) . Penafsiran
oleh hakim merupakan penjelasan yang harus menuju kepada pelaksanaan yang
dapat diterima oleh masyarakat mengenai peraturan hukum terhadap peristiwa
konkret. Tujuan akhir penjelasan dan penafsiran dari peraturan hukum adalah untuk
merealisasikan fungsi agar hukum positif itu berlaku.

2.4 Titik Taut Primer dalam Perkara Pembatalan Perjanjian Berbahasa Asing

Putusan-putusan sebagaimana tersebut di atas mendasarkan amarnya pada


pertimbangan hukum nasional dengan beberapa interpretasi berbeda, sementara
dalam perkara-perkara tersebut terdapat bagian penting yang juga perlu
dipertimbangkan, yaitu adanya Titik-titik Taut Primer. Titik Taut Primer, yaitu
“Fakta-fakta di dalam sebuah perkara atau peristiwa hukum, yang menunjukkan
peristiwa hukum itu mengandung unsur- unsur asing dan karena itu, peristiwa
hukum yang dihadapi adalah peristiwa Hukum Perdata Internasional dan bukan
peristiwa hukum intern/domestik semata” (Bayu Seto Hardjowahono, 2013: 86).
12

Titik Taut atau Pertalian Primer adalah faktor-faktor dan keadaan- keadaan
yang menciptakan persoalan Hukum Perdata Internasional (HPI). Faktor-faktor
yang menimbulkan isu HPI yaitu: 1) kewarganegaraan, 2) domisili (de jure) atau
tempat kediaman (de facto), dan 3) tempat kedudukan badan hukum (Ari Purwadi,
2016: 64). Unsur asing dalam Nine AM Ltd. v. BPLK, adalah tempat kedudukan
penggugat yang berada di Texas, USA. Dalam Ford v. Cheung, unsur asingnya
adalah kewarganegaraan kedua belah pihak, penggugat berkewarganegaraan
Inggris dan tergugat berkewarganegaraan China yang membuat perjanjian terkait
badan hukum Indonesia, sedangkan dalam CAKP v. MDS, tergugat berbadan
hukum dan berkedudukan di British Virgin Islands. Dengan terdapatnya unsur-
unsur asing yang menimbulkan isu HPI dalam perkara-perkara pembatalan
perjanjian berbahasa asing tersebut di atas, maka penyelesaian perkara-perkara
tersebut layak mempertimbangkan kaidah Hukum Perdata Internasional.

2.5 Kaidah Hukum Memaksa (Mandatory Rules) Dalam Hukum Perdata


Internasional

Dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Perdata Internasional (RUU


HPI), Hukum Perdata Internasional (HPI) dirumuskan sebagai hukum nasional
yang mengatur peristiwa-peristiwa dan hubungan-hubungan hukum perdata yang
mengandung unsur asing (Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2014: Lampiran
hlm. 2). Cheshire, sebagaimana dikutip oleh Ari Purwadi juga menyatakan
bahwa “...Private International Law comes into operation whenever the court is
faced with a claim that contains a foreign element.” (Ari Purwadi, 2016: 2).
Penentuan tentang hukum yang seharusnya berlaku terhadap suatu perkara perdata
yang mengandung unsur asing adalah termasuk salah satu persoalan dalam HPI.
Para pihak dalam kontrak komersial internasional memiliki kebebasan
berkontrak atau otonomi kehendak untuk menentukan perjanjian mereka,namun
kebebasan atau otonomi tersebut tidak tak terbatas. Sebagaimana kontrak pada
umumnya, kontrak komersial internasional juga tidak boleh melanggar kepatutan
dan kesusilaan serta bertentangan dengan ketertiban umum. Kebebasan dan
otonomi tersebut juga dibatasi oleh kaidah hukum memaksa.
13

Kaidah hukum memaksa ini diatur dalam hukum yang berlaku.


Sebagaimana disebutkan oleh Lorenzo bahwa salah satu fungsi dari hukum yang
berlaku terhadap suatu kontrak adalah “Fungsi Pembatas”, yaitu mencegah klausul
dalam kontrak bertentangan dengan kaidah hukum memaksa (Sixto Sanchez
Lorenzo, 2010: 67). Dalam pendapat Adolf, kaidah hukum memaksa adalah prinsip
yang terpenting. Keabsahan dari setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak
ditentukan oleh hukum nasional. Hukum nasional yang harus ditaati disebut sebagai
kaidah hukum memaksa (mandatory or compulsory law). Para pihak tidak memiliki
kewenangan untuk mengesampingkan hal ini. (Huala Adolf,2020: 40). Dengan
digunakannya kata “wajib” dalam ketentuan penggunaan Bahasa Indonesia dalam
perjanjian yang melibatkan entitas Indonesia, maka penafsiran gramatikal
menginterpretasikan ketentuan tersebut sebagai ketentuan imperatif/memaksa.
Namun untuk melihat apakah ketentuan tersebut adalah ketentuan yang bersifat
kaidah hukum memaksa yang didahulukan (overriding mandatory rules), masih
perlu dikaji lebih lanjut.

Tidak semua kaidah hukum yang memaksa memiliki kedudukan


didahulukan, hal mana menjadi pandangan umum dalam beberapa konvensi
internasional, salah satunya dalam Pasal 9 Rome I (The Regulation of EC
No.593/2008) yang menyatakan bahwa hanya peraturan yang menurut negara yang
bersangkutan dinilai krusial untuk menjaga kepentingan publik, seperti politik,
sosial, dan ekonomi yang merupakan overriding mandatory rules. Prinsip Kontrak
Komersial Internasional UNIDROIT 2016 menyebutkan, overriding mandatory
rules dapat diatur sendiri oleh sebuah negara, berasal dari konvensi internasional,
kebiasaan masyarakat internasional, atau diadopsi oleh organisasi internasional.
Namun jika suatu ketentuan tidak secara eksplisit diklasifikasikan
sebagai overriding mandatory rules, maka diperlukan penafsiran untuk itu.

UU No. 24/2009 merupakan pengaturan lebih lanjut dari Pasal 36 UUD


Negara RI Tahun 1945 yang menentukan bahwa bahasa negara adalah Bahasa
Indonesia, dan dengan melihat konsideran UU No. 24/2009 sebagaimana tersebut
di atas, maka kewajiban penggunaan Bahasa Indonesia dalam perjanjian adalah
peraturan yang krusial untuk menjaga kepentingan publik, yaitu dalam bidang
14

sosial dan politik. Untuk itu ketentuan ini dapat diklasifikasikan sebagai overriding
mandatory rules.

2.6 Penerapan Prinsip Overriding Mandatory Rules

Dalam Pasal 15 Undang-Undang RI Nomor 24 Tahun 2000 tentang


Perjanjian Internasional ditentukan bahwa, “Suatu perjanjian internasional mulai
berlaku dan mengikat para pihak setelah memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam perjanjian tersebut.”

Pada tanggal 2 September 2008, Indonesia mengesahkan statuta


UNIDROIT dengan Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2008 tentang Pengesahan
Statuta Lembaga Internasional untuk Unifikasi Hukum Perdata. Dengan
pengesahan statuta tersebut, maka sebagai negara anggota Indonesia terikat pada
prinsip-prinsip yang disepakati oleh UNIDROIT, termasuk Prinsip Kontrak
Komersial Internasional UNIDROIT 2016. Belum adanya landasan hukum operatif
yang menjadi dasar implementasi prinsip-prinsip UNIDROIT dipandang sebagai
hambatan pemberlakuannya terhadap kasus hukum konkret. Sebaliknya, penulis
berpendapat dengan menggunakan metode penafsiran futuristik, RUU HPI dapat
dijadikan dasar digunakannya kaidah HPI dalam kasus hukum konkret,
sebagaimana disebutkan dalam Naskah Akademik RUU HPI yang menyatakan
bahwa “Untuk menghindari kekosongan hukum, asas-asas umum HPI dari
konvensi-konvensi hukum internasional khususnya yang mengatur HPI dapat
dipakai tentunya sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan Undang-
Undang Dasar 1945 dan falsafah Pancasila”. (Badan Pembinaan Hukum
Nasional, 2014: 73).

Dalam Pasal 3.3.1 Prinsip Kontrak Komersial Internasional UNIDROIT


2016 disebutkan bahwa jika peraturan yang memuat kaidah hukum memaksa tidak
secara tegas mencantumkan akibat hukum dari pelanggaran peraturan tersebut,
maka dalam hal terjadi pelanggaran, para pihak dapat mengajukan gugatan untuk
penyelesaian masalah kontraknya jika beralasan. Alasan tersebut khususnya adalah:
a) tujuan dari aturan yang dilanggar, b) kategori pihak yang dilindungi dalam aturan
tersebut, c) sanksi yang mungkin dikenakan dalam pelanggaran semacam itu, d)
15

tingkat keseriusan dari pelanggaran, e) apakah salah satu atau kedua pihak
mengetahui atau sepatutnya mengetahui pelanggaran itu, f) apakah pelaksanaan
dari kontrak menjadi penyebab pelanggaran, g) harapan yang wajar dari para pihak.
(UNIDROIT Principles of International Commercial Contract: 2016).

Dalam kaitannya dengan perkara-perkara sebagaimana tersebut di atas, para


penggugat menuntut agar kontrak dibatalkan karena tidak menggunakan Bahasa
Indonesia, sehingga untuk mencari penyelesaian terbaik perlu dipertimbangkan
alasan-alasan penerapan prinsip overriding mandatory rules yang relevan. Dari
konsideran, tujuan diundangkannya UU No. 24/2009 adalah untuk melindungi
kepentingan nasional, rakyat dan bangsa Indonesia secara keseluruhan, bukan
individu atau pihak tertentu, bukan pula secara khusus melindungi pihak
berkewarganegaraan atau berbadan hukum Indonesia, sehingga dalam ketentuan
ini, pihak asing dan entitas Indonesia memiliki perlindungan yang sama.

Tingkat keseriusan dari pelanggaran kewajiban penggunaan Bahasa


Indonesia ini pada level tertinggi berakibat pada dapat dibatalkannya perjanjian.
Namun dengan melihat alasan lainnya bahwa kedua belah pihak dalam perjanjian
tersebut pastilah mengetahui bahwa kontrak yang mereka tandatangani tidak
menggunakan Bahasa Indonesia, maka menjadi tidak adil jika perjanjian tersebut
dibatalkan atas tuntutan salah satu pihak yang juga turut andil dalam adanya
pelanggaran itu, kecuali dapat dibuktikan adanya cacat kehendak di dalamnya.

Dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka jenis remedi yang


sesuai dengan pelanggaran ini adalah cukup agar para pihak dihukum untuk
memperbaiki/melengkapi kontrak mereka dengan menggunakan Bahasa Indonesia
yang diterjemahkan oleh penerjemah resmi yang tersumpah yang dapat
diperintahkan untuk dipilih atas kesepakatan para pihak atau ditunjuk langsung oleh
pengadilan. Adanya kepastian mengenai akibat hukum dari pelanggaran ini akan
memberikan perlindungan bagi iklim investasi dan perdagangan internasional di
Indonesia. Disamping itu, dengan adanya remedi berupa perbaikan
kontrak,akan menjaga kontrak tersebut tetap dapat dilaksanakan (enforceable)
sehingga tetap memberikan kemanfaatan.
16

Bahasa nasional pihak asing dan/atau bahasa Inggris dalam kontrak tersebut
tetap dapat digunakan sebagai padanan atau terjemahan dari naskah kontrak dalam
Bahasa Indonesia untuk menyamakan pemahaman atas kontrak dengan pihak asing,
dan selanjutnya kedua belah pihak dapat pula diperintahkan untuk menyepakati
bahasa mana yang digunakan dalam hal terjadi perbedaan penafsiran. Dalam hal
terjadi pokok persengketaan lain terkait isi maupun pelaksanaan kontrak tersebut,
hal itu merupakan persoalan lain di luar masalah overriding mandatory rules ini.
Selanjutnya dalam hal terjadi perbedaan penafsiran terhadap padanan atau
terjemahan kontrak, maka bahasa yang digunakan sebagai acuan dalam
penyelesaian sengketa adalah bahasa yang disepakati dalam kontrak.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. Hukum Perdata Internasional ialah keseluruhan kaidah dan asas hukum


yang mengatur hubungan perdata yang melintasi batas negara atau hukum
yang mengatur hubungan hukum perdata antara para pelaku hukum yang
masing-masing tunduk pada hukum perdata (nasional) yang berlainan.
Sedangkan Hukum Internasional adalah keseluruhan kaidah dan asas
hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi
batas negara (hubungan internasional) yang bukan bersifat perdata.
2. Dengan tidak adanya pengaturan tentang sanksi dalam UU No. 24/2009
maka semua perjanjian yang berbahasa asing merupakan perjanjian yang
sah dan mengikat para pihak. Terhadap gugatan pembatalan perjanjian oleh
beberapa pihak atas dasar pelanggaran Pasal 31 ayat (1) UU No. 24/2009,
hakim atau pengadilan harus menolak gugatan tersebut karena tidak ada
landasan hukumnya.
3. Dengan dalil perjanjian yang dibuat menggunakan bahasa asing, perlu
kecermatan dan kehati-hatian dari pengadilan dalam memeriksa gugatan
yang diajukan. Karena ada pihak-pihak tertentu yang dengan itikad tidak
baik menggunakan Pasal 31 ayat (1) UU No. 24/2099 sebagai dasar untuk
menghindari tanggung jawab kontraktualnya. Selain itu, perlunya
pemahaman hakim atas peraturan perundangan khususnya peraturan
perundangan tentang penggunaan bahasa Indonesia. Ada baiknya hakim
juga memasukan pertimbangan filosofis dalam setiap putusan yang
dibuatnya sehingga putusan tersebut dapat memberikan keadilan dan
kepastian hukum. Seharusnya majelis hakim tidak semata-mata hanya
melihat pada pasal-pasal yang digunakan, tapi juga melihat keseluruhan isi
dari undang-undang yang dimaksud. Jadi untuk memberikan kepastian
hukum sekaligus memberi rasa keadilan masyarakat, hakim perlu juga
memasukan pertimbangan filosofis dalam putusannya.

17
DAFTAR PUSTAKA

Lorenzo, Sixto Sanchez. “Choice of Law and Overriding Mandatory Rules in


International Contracts After Rome I,” dalam Yearbook of Private
International Law. Volume 12, Germany: European Law Publishers&Swiss
Institute of Comparative Law, 2010.

Purwadi, Ari. Dasar-dasar Hukum Perdata Internasional. Surabaya: Pusat


Pengkajian Hukum dan Pembangunan (PPHP) Fakultas Hukum Universitas
Wijaya Kusuma, 2016.

Indonesia. Undang-Undang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, UU No.24


Tahun 2009, LN No. 5035 Tahun 2009.

Indonesia. Peraturan Presiden tentang Pengesahan Statute of the International


Institute for the Unification of Private Law (Statuta Lembaga Internasional
untuk Unifikasi Hukum Perdata, Perpres No. 59 Tahun 2008.

Indonesia. Peraturan Presiden tentang Penggunaan Bahasa Indonesia, Perpres No.


63 Tahun 2019. LN No. 109 Tahun 2009, TLN No. 5035.

Mahkamah Agung Republik Indonesia. Putusan No. 601 K/Pdt/2015, 31


Agustus 2015.

Pengadilan Tinggi Jakarta. Putusan No. 48/PDT/2014/PT DKI, 7 Mei 2014.

Pengadilan Tinggi Jakarta, Putusan No. 136/PDT/2020/PT DKI, 17 April 2020.

Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Putusan No. 451/Pdt.G/2012/PN Jkt Bar.

Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Putusan No. 275/Pdt.G/2018/PN Jkt Tim.

Pengadilan Negeri Amlapura. Putusan No. 254/Pdt.G/2019/PN Amp.

Peraturan Presiden No. 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia


Subekti, Hukum Perjanjian, Cetakan Keduapuluh dua, Jakarta : PT. Intermasa,
2008.
Undang-Undang No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang
Negara, serta Lagu Kebangsaan Undang-Undang No. 30 Tahun 2004
tentang Jabatan Notaris
Undang-Undang No. 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.
UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
Peraturan Presiden No. 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesi

18

Anda mungkin juga menyukai