Anda di halaman 1dari 14

KAJIAN YURIDIS HUKUM ADAT DALAM PERJANJIAN

Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Contract Drafting

Dosen Pengampu: Ehwan Zamrudi,S.H.,M.KN

Disusun Oleh:

Rizka Syifa Fariyanti 33020180114

Khofifah 33020180147

Vita Ning Jaya 33020180148

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARI’AH

FAKULTAS SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat,
karunia, dan hidayah-Nya sehingga akalah ini dapat kami selesaikan dengan tepat waktu.

Penyusunan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Contract Drafting.
Adapun yang kami bahas dalam makalah ini adalah “Kajian Yuridis Hukum Adat dalam
Perjanjian”, karena materi inin sangatlah penting untuk diketahui.

Penulisan makalah ini melibatkan beberapa pihak dan tentunya dalam penulisannya
mengalami kendala. Meskipun sudah diupayakan dengan sungguh-sungguh, tidak tertutup
kemungkinan bahwa makalah ini masaih banyak memiliki kekurangan. Oleh karena itu, kami
mengucapkan mohon maaf yang sebesar-sebarnya apabila terdapat kesalahan dan kekurangan
dalam penyusunan makalah ini. Kritik dan saran yang membangun senentiasa kami terima
dengan hati terbuka. Akhir kata, semoga penyusunan makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis
khususnya dan bagi pembaca umumnya.

Salatiga, 6 Oktober 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................... Error: Reference source not found

DAFTAR ISI...................................Error: Reference source not found

BAB I PENDAHULUAN....................................................................1

A. Latar Belakang.......................................................................... 1

B. Rumusan Masalah..................................................................... 2

C. Tujuan Penulisan.......................................................................2

BAB II PEMBAHASAN.....................................................................3

A. Pengertian Perjanjian............................................................... 3

B. Pengertian Perjanjian menurut Hukum Adat........................4

C. Bentuk-Bentuk Perjanjian menurut Hukum Adat................5

BAB III PENUTUP...........................................................................11

A. Kesimpulan.............................................................................. 11

B. Saran......................................................................................... 11

DAFTAR PUSTAKA.................Error: Reference source not found

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia dikenal dengan luasnya pulau yang dia miliki, dan masyarakat multikulturnya
yang saling menjaga toleransi antar suku, ras, dan agama. Masyarakat adalah komunitas yang
hidup berdasarkan asal-usul secara turun-menurun di atas satu wilayah adat, yang memiliki
hak atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh hukum adat,
dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakat.

Keunikan Indonesia inilah yang membawa masyarakat di berbagai daerah memiliki


kebudayaan dan aturan tersendiri dalam kehidupannya, sehingga ada peraturan-peraturan
yang dimiliki suku yang mana peraturan tersebut mungkin tidak dimiliki oleh suku yang lain
juga. Seperti halnya perjanjian dalam hukum adat, mungkin ada perbedaan antara suku satu
dengan yang lainya dalam perjanjian adat.

Dalam makalah ini, kami akan membahas mengenai pengertian perjanjian dan macam-
macam perjanjian dalam hukum adat, Maka semoga makalah ini membantu mengantarkan
pembaca untuk memahami tentang pengertian perjanjian dan macam-macam perjanjian
dalam hukum adat yang ada di Indonesia sekarang ini. Semoga makalah ini bisa membuka
pemikiran pembaca untuk sedikit memahaminya.

1
B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan Perjanjian?

2. Apa yang dimaksud dengan Perjanjian dalam Hukum Adat?

3. Apa saja Bentuk-Bentuk Perjanjian dalam Hukum Adat?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui Pengertian Perjanjian.

2. Untuk mengetahui Pengertian Perjanjian menurut Hukum Adat.

3. Untuk mengetahui Bentuk-Bentuk Perjanjian menurut Hukum Adat.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Perjanjian

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Perjnjian adalah Persetujuan tertulis atau dengan
lisan yang dibuat oleh kedua pihak atau lebih , masing-masing bersepakat akan menaati apa
yang tersebut dalam persetujuan itu1. Pengertian Perjanjian telah diatur dalam pasal 1312
KUHPerdata, yang menyebukan perjanjian atau persetujuan bahwa perjanjian atau
persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang lain atau lebih. Kata persetujuan tersebut merupakan terjemah dari
perkataan overeekomst dalam bahasa Belanda. Kata overeekomst lazimnya diterjemahkan
juga dengan kata perjanjian. Jadi persetujuan dalam pasal 1313 KUHPerdata sama artinya
dengan perjanjian2.

Menurut R. Setiawan, perjanjian merupakan suatu perbuatan hukm dimana satu orang
atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau
lebih3. Dari pendapat-pendapat diatas maka pada dasanya perjanjian adalah proses interaksi
atau hubungan hukum dan dua perbuatan oleh pihak yang lainnya sehingga tercapai
kesepakatan untuk menentukan isi Perjanjian yang akan mengikat kedua belah pihak. Suatu
perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikat dirinya
terhadap satu orang lain atau lebih. Pengertian perjanjian ini mengandung unsur:

a. Adanya hubungan hukum, hubungan hukum merupakan hubungan yang


menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum yaitu timbulnya hak dan kewajiban.

b. Adanya subjek hukum, subjek hukum yaitu pendukung hak dan kewajiban. Subjek
dalam hukum perjanjian termasuk subjek hukum yang diatur dalam KUHPerdata,
sebagaimana diketahui bahwa Hukum Perdata Mengkualifikasikan subjek hukum

1
Departemen Pendidikan Nasional,2005, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, Jakarta: Balai Pustaka, hlm
458

2
Sudikno Mertokusumo, 1985, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: liberty , hlm. 97

3
R. Setiawan, 1987, Hukum Perikatan-Perikatan pada Umumnya, Bandung: Bina Cipta, hlm 49
3
terdiri dari dua bagian yaitu manusi dan badan hukum. Sehingga yang membentuk
perjanjian menurut hukum Perdata bukan hanya manusia secara individual ataupun
kolektif, tetapi juga badan hukum atau rechtperson.

c. Adanya prestasi, prestasi pasal 1234 KUHPerdata terdiri atas utuk memberi sesuatu ,
untuk berbuat dan untuk tidak berbuat sesuatu.

d. Di bidang harta kekayaan. Pada umumnya kesepakatan yang telah dicapai antara dua
atau lebih pelaku bisnis dituangkan dala suatu bentuk tertulis dan kemudian ditanda
tangan oleh para pihak.4

B. Pengertian Perjanjian dalam Hukum Adat

Menurut Hilman Hadikusuma, Hukum Perjanjian Adat adalah hukum yang meliputi
uraian tentang hukum perhutangan (Schuldenrecht) adapun termasuk di dalamnya meliputi
soal mekanisme-mekanisme transaksi atas tanah dan transaksi yang menyangkut tanah.
Hukum perjanjian adat adalah hukum yang meliputi uraian tentang hukum perhutangan
termasuk soal transaksi tanah dan transaksi-transaksi yang menyangkut tanah, sepanjang hal
ini ada hubungannya dengan masalah perjanjian menurut hukum adat. 5 Selama ini yang
dimaksud hukum perhutangan secara adat adalah hukum yang menunjukan keseluruhan
peraturan-peraturan hukum yang menguasai hak-hak mengenai barang-barang selain
daripada tanah dan perpindahan dari pada itu dan hukum mengenai jasa-jasa.

Hukum perjanjian menurut kitab Undang-Undang Hukum Perdata dengan Hukum adat
mempunyai Perbedaan-perbedaan. Perbedaan ini disebabkan oleh latar belakangan alam
pikiran kebudayaan masyarakat. Hukum perjanjian barat bertitik tolak pada dasar
kepentingan perseorangan yang berifat kebendaan, sedangkan hukum perjanjian adat bertitik
tolak pada dasar kekeluargaan dan kerukunan serta bersifat tolong menolong. Disamping itu
perjanjian menurut hukum barat menerbitkan perikatan, sedangkan perjanjian menueurt adat
untuk mengikatnya perjanjian harus adanya tanda pengikat dan kemudian perjanjian menurut
hukum adat tidak selamanya menyangkut hubungan hukum mengenai harta benda, tetapi
juga menyangkut dengan persetujuan selain kebendan.
4
M. Husbi. 2009. Tinjauan Umum Mengenai Kontrak, Semarang: Pres Undip , hlm 4

5
Hilman Hadikusumo,1992, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Bandung: Madar Maju, hlm 12
4
Menurut Hilman Hadikusuma mengatakan bahwa hukum adat tidak mengenai perbedaan
antara benda-benda tetap dan benda begerak, tetap atau tidak tetapnya suatu benda dilihat
dari kemungkinan dan keadaan.6

C. Bentuk-Bentuk Perjanjian dalam Hukum Adat

Hukum perjanjian pada sasrnya mencangkup huku, tentang hutang piutang, dengan
adanya perjanjian maka pihak berhak untuk prestasi dan pihak lain berkewajiban untuk
memenuhi prestasi. Prestasi tersebut adalah mungkin menyerahkan benda atau melakukan
suatu perbuatan, atau tidak melakukan suatu perbuatan. Adapun bentuk-bentuk perjanjian
dalam hukum adat yaitu :7

1. Perjanjian Kredit

Perjanjian kredit merupakan suatu perjanjian meminjam uang dengan atau tanpa
bunga, atau barang-barang tertentu yang harus dikembalikan sesuai dengan niainya
masing-masing pada saat yang telah disepakati. Hasil penelitian lapangan di Lampung
menyatakan bahwa peminjaman yang dikenakan bunga telah lazim terjadi , apabila yang
meminjam uang itu adalah orang luar, artinya yang tidak mempunyai hubungan
kekerabatan dengan pihak yang meminjam uang itu. Adanya bunga atau jaminan
terhadap pinjaman uang, rupa-rupanya merupakan pengaruh dari kebiasaan-kebiasaan di
kota para pendatang.

Perjanjian kredit mempunyak banyak kemiripan dengan transaksi pada masyarakat


luas, artinya hal ini umum terjadi di lingkungan masyarakat. Demikian pula dengan
pinjam-pinjam barang ini harus dikembalikan dengan barang sejenis atupun dengan uang
yang sepadan dengan nilai barang yang dipinjamkan.

2. Perjanjian Kempitan

Perjanjian Kempitan merupakan suatu bentuk perjanjian dimana sesorang


menitipkan sejumlah barang kepada pihak lain dengan janji bahwa kelak akan
6
Hilman Hadikusuma,1990, Hukum perjanjian Adat, Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm 6

7
Bewa Ragawindo, 2008, Pengantar dan asas-asas Hukum adat Indonesia, Bandung: Universitas Padjadjaran,
hlm 103-111
5
dikembalikan dalam bentuk uang atau barang yang sejinis. Perjanjian kempitan ini lazim
terjadi dan pada umumnya menyangkut hasil bumi dan barang-barang dagangan.
Didalam perjanjian kempitan, terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu antara
lain:

a. Harus ada musyawarah lebih dahulu, keprcayaan dan surat perjanjian.

b. Diadakan batas wakti pengembalian barang, dan kalau barang tersebut tidak
diambil, maka barang itu dijual atas dasar mufakat.

c. Dalam surat perjanjian itu ditentukan jumlah harga pengembalian barang tersebut.

d. Apabila barang yang dititipkan itu hilang, maka ada penggantian dan apabila
barang itu telah dijual orang yang dititipi barag tersebut harus diberi upah wajib
jerih payah.

Dengan demikian dalam perjanjian kempitan terdapat kecenderungan bahwa barang


yang dititipkan itu harus dikembalikan apabila dikehendaki oleh pemilik barang dan
adanya suatu syarat yaitu bahwa antara para pihak harus saling percaya-mempercayai.

3. Perjanjian Terbasan

Perjanjian tebasan terjai apabila seseorang menjual hasil tanamannya sesudah


tanaman itu berbuah dan sebentar lagi kan dipetik hasilnya. Perjanjian tebasan ini lazim
terjadi pada padi atau tanaman buah-buahan yang sudah tua dan sedang berada di sawah
ataupun di kebun. Di daerah-daerah tertentu (misalnya beberapa daerah Sumatera
Selatan) perjanjian tebasan merupakan perjanjian yang tidak lazim terjadi dan ada
kecenderungan bahwa perikatan dalam bentuk ini merupakan perjanjian yang dilarang.
Perjanjian tebasan ini mirip dengan jual beli saham dimana dalam hukum Islam dimana
seseorang memesan barang yang belum tampak oleh mata seperti halnya beli buah-
buahan yang masih berada di pohon.

4. Perjanjian Perburuhan

Perjanjian perburuhan terjadi seseorang yang memperkerjakan seseorang untuk


membantunya. Lazimnya pekerja sebagai buruh selalu mendapat upah atas kerja
6
kerasnya. Tetapi pada pada kali ini para perkerja tidak sama sekali menerimah upah,
namun ia memperoleh imbalan lainnya berupa biaya hidupnya di tanggung sepenuhnya
oleh pihak yang memperkerjakan.

Ter Haar menyatakan bahwa tentang menumpang di rumahnya orang lain dan
mendapat makan dengan Cuma-Cuma tapi harus bekerja untuk tuan rumah , merupakan
hal yang berulang ulang dapat diketemukan dan sering bercampur baur dengan
memberikan penumangan kepada sanak saudara yang miskin dengan imbangan tenaga
bantuannya di rumah dan di ladang.

5. Perjanjian Pemegangkan

Perjanjian pemegangkan terjadi apabila ada seseorang yang mempinjam uang


terhadap orang yang meminjamkan barang, kemudian orang yang meminjam
memberikan jaminan barang, maka orang yang meminjamkan uang berhak menggunakan
barang tersebut sampai si peminjam mengembalikan uangnya. Tetapi apabila pinjaman
uang tersebut dikanakan bunga, maka pemilik uang it hanya berkewajiban menyimpan
barang tersebut dan tiak berhak mempergunakannya, karena dia menerima bunga hutang
tersebut.

6. Perjanjian Pemeliharaan

Perjanjian pemeliharaan mempunyai kedudukan yang istimewa dalam hukum harta


kekayaan adat. Isi perjanjian pemeliharaan ini adalah bahwa pihak yang satu pemelihara
menanggung nafkahnya pihak lain, terpelihara, lebih-lebih selama masa tuanya, pula
menaggung pemakamannya dan pengurusan harta peninggalannya. Sedangkan sebagai
imbalan apabila pihak yang dipelihara meninggal dunia, maka si pemelihara mendapat
sebagian dari harta peninggalan si terpelihara, dimana kadang bagian itu sama dengan
bagain seorang anak.

Perjanjian ini dekenal di Bali dimana seseorang mnyerahkan dirinya bersama segala
harta bendanya kepada orang lain. Orang yang menerima penyerahan sedemikian itu
wajib menyelenggarakan pemakamannya dan pembakaran mayatnya si terpelihara, pula

7
wajib memelihara sanak saudaranya yang ditinggalkan, untuk itu semua maka ia berhak
atas harta peninggalannya.

7. Perjanjian Pertanggungan Kerabat

Pada hukum adat terdapat perjanjian dimana seseorang menjadi penanggung


hutangnya orang lain. Si penanggung dapat ditagih bila dianggap bahwa perlunasan
piutang tak mungkin lagi diperoleh dan si peminjam sendiri. Menanggung hutang orang
lain pertama-tama mungkin disebabkan karena adanya ikatan kerabat, berhadapan dengan
orang luar. Keduanya mungkin juga berdasarkan atas rasa kesatuan daripada sanak
saudara. Misalnya dikalangan orang-orang Batak Karo, seorang laki-laki selalu bertindak
bersama-sama atau dengan penggungan anak beru sinina, yaitu sanak saudaranya
semenda dan kerabatnya sedarah yang sekan-akan mewakili golongan-golongan mereka
berdua yang bertanggung jawab.

Penelitian di beberapa masyarakat menyatakan kebenaranya, di Sumatera Sealatan


perjanjian pertanggungan kerabat orang lain jga masih lazim dilakukan, adapun
alasannya yaitu:

a. Menyangkut kehormatan suku,

b. Menyangkut kehormatan keluarga batih,

c. Menyangkut kehormatan

8. Perjanjian Serikat

Ada beberapa Kepentingan-kepentingan yang dipelihara oleh anggota masyarakat


dalam berbagai macam kerja sama yang menimbulkan serikat, yang didalamnya muncul
perikatan atau perjanjian-perjanjian untuk memenuhi kepentingan tertentu tadi. Sebagai
contoh dimana ada beberapa orang yang setiap bulan membayar sejumlah uang tertentu
dalam waktu yang telah ditetapkan bersama misalnya setiap bulan. Kegiatan ini dijakarta
disebut dengan serikat, di Minangkabau disebut dengan Jula-jula. Di salayar disebtu
dengan mahaqha dan di Minahasa di sebut mapalus. Mapalus di Minahasa memiliki arti
yaitu:

8
a. Sebagai bentuk kerjasama yang pada prinsipnya mengandung kegiatan tolong
menolong secara timbal balik, sehingga dapat digolongan dalam bentuk perikatan
tolong menolong.

b. Bentuk kerja sama dalam kegiatan yang telah diuraikan di muka.

Bentuk kerjasama tersebut kini telah mengalami perkembangan dan tdak semata-
mata menyangkut dengan uang saja, namun juga berkaitan dengan berbagai keperluan,
seperti keperluan rumah tangga dan lain-lainnya.

9. Perjanjian Bagi Hasil

Transaksi ini merupakan suatu perikatan, dimana objek transaksi bukanlah tanah,
akan tetapi pengolahaan tanah dan tanaman di atas tanah tersebut. Proses tersebut
mungkin terjadi, oleh karena pemilik tanah tidak mempunyai kesempatan untuk
mengerjakan tanahnya sendiri, akan tetapi berkeinginan untuk menikmati hasil tanah
tersebut, maka dia dapat mengadakan perjanjian dengan pihak-pihak tertentu yang
mempu mengerjakan tanah tersebut, segan mendapatkan sebagaian dari hasilnya sebagai
upah atas jerih payahnya. Transaksi semacam ini dapat dijumpai hamper di seluruh
indonesia, dengan berbagai variasi, baik dari sudut penanamannya, pembagian hasilnya
dan setersnya.

Di Jawa Tengah, maka perjanjian ini tergantung pada kualitas tanah, macam
tanaman yang akan dikerjakan, serta penawaran bruh tani, kalau kualitas tanah baik,
maka pemilik tanah akan memperoleh bagian yang lebih besar, dengan demikian maka
ketentuan ketentuan adalah:

a. Pemilik tanah penggarapnya memperoleh bagian yang sama.

b. Pemilik tanah memperoleh 2/3 bagian

c. Pemilik tanah mendapat 1/5 bagaian untuk tanaman kacang.

Perjanjian bagi hasil ini sebetulnya telag diatur di dalam Undang-undang No 2


tahun 1960 yaitu intinya:

9
a. Penentuan bagian yang didasarkan pada kepentingan penggarap dan kualitas
tanah, dengan ketentuan penggarap memperoleh ½ bagian atau 2/3 bagian

b. Atas dasar kualitas dan tipe tanah, perjanjian bagi hasil berjangka waktu antara 3
sampai 5 tahun.

c. Kepala desa mengawasi perjanjian-perjanjian bagi hasil.

10. Perjanjian Ternak

Ter Haar menyatakan “Pemilik ternak menyerahkan ternaknya kepda pihak lain
untuk dipelihara dan membagi hasil ternak atau peningkatan nilai dari hewan itu”.
Sebagai contoh di daerah lampung, maka lazimnya berlaku ketentuan-ketentuan , sebagai
berikut :

a. Pada ternak besar, hasil dibagi sama rata

b. Kalu pokoknya mati, maka harus diganti dengan hasil pertama,

c. Pada unggas, maka bagi hasil tergantung pada musyawarah antara para pihak.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran

10
DAFTAR PUSTAKA

11

Anda mungkin juga menyukai