Anda di halaman 1dari 21

HUKUM PERJANJIAN

MATA KULIAH ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI HKI 4A

DOSEN PENGAMPU:
RANI EKA ANDATU, S.E.I.,
M.E

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 4
ARORA ANJARWANI
NIM : 22621003

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARI'AH & EKONOMI ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI CURUP
2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya sehingga
makalah tentang hukum perjanjian ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa
penulis juga mengucapkan terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah
berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pemikirannya.
Dan harapan penulis semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman penulis, penulis yakin
masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena, itu penulis sangat
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Curup, 22 Februari 2024

Penulis

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
A. LATAR BELAKANG MASALAH..............................................................1
B. RUMUSAN MASALAH..............................................................................1
C. TUJUAN.......................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................2
A. PENGERTIAN PERJANJIAN......................................................................2
B. SYARAT SAH PERJANJIAN......................................................................3
C. KLAUSULA EKSONERASI.......................................................................6
D. PERJANJIAN BAKU...................................................................................8
E. ASAS-ASAS DALAM PERJANJIAN.......................................................13
F. ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 15
BAB III PENUTUP................................................................................................17
A. KESIMPULAN...........................................................................................17
B. SARAN.......................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................18

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH


Hukum bertujuan mengatur berbagai kepentingan manusia dalam rangka
pergaulan hidup di masyarakat. Dalam perkembangan perekenomian di
Indonesia, tentunya memerlukan perangkat hukum nasional yang sesuai
dengan hukum perjanjian yang berkembang dinamis dalam masyarakat.
Hukum perjanjian memberikan ruang kepada para pihak untuk membentuk
dan menentukan isi dari perjanjian yang akan dilakukan.
Meski demikian, dalam penerapanya terjadi beberapa permasalahan yang
sering dialami dalam menjalankan perjanjian tersebut, salah satu diantaranya
adalah adanya perjanjian baku. Klausula baku cenderung menguntungkan
pihak yang membuatnya dalam hal ini adalah pihak perusahaan atau kreditur,
sedangkan masyarakat/debitur tidak memiliki ruang yang cukup untuk
melakukan negosiasi atas klausula dalam perjanjian tersebut, bahkan
masyarakat sendiri tidak atau bahkan belum familiar dengan istilah-istilah
klausula eksonesrasi dan perjanjian baku.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan perjanjian?
2. Apa yang dimaksud dengan klausula eksonesrasi?
3. Apa yang dimaksud dengan perjanjian baku?
4. Bagaimana perjanjian baku bertentangan dengan asas kebebasan
berkontrak?

C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui pengertian perjanjian
2. Untuk mengetahui klausula eksonesrasi
3. Untuk mengetahui perjanjian baku
4. Untuk mengetahui perjanjian baku bertentangan dengan asas kebebasan
berkontrak

1
BAB II
PEMBAHAHASAN

A. PENGERTIAN PERJANJIAN
Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan.
Perikatan yang berasal dari perjanjian dikehendaki oleh dua orang atau dua
pihak yang membuat perjanjian, sedangkan perikatan yang lahir dari undang-
undang dibuat atas dasar kehendak yang berhubungan dengan perbuatan
manusia yang terdiri dari dua pihak.
Pasal 1313 KUH Perdata berbunyi: "suatu perjanjian adalah suatu
perbuatan dengan mana 1 (satu) orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap 1 (satu) orang lain atau lebih. Para sarjana hukum perdata pada
umunya berpendapat bahwa definisi perjanjian yang terdapat di dalam
ketentuan di atas adalah tidak lengkap dan pula terlalu luas.1
Dikatakan tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai
perjanjian sepihak saja. Definisi itu juga dikatakan terlalu luas karena dapat
mencakup perbuatan di lapangan hukum keluarga, seperti perjanjian
perkawinan yang merupakan perjanjian juga, tetapi sifatnya berbeda dengan
perjanjian yang diatur di dalam Buku III KUH Perdata tentang perikatan.
Perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata Buku III kriterianya dapat dinilai
secara materiil, dengan kata lain, dapat dinilai dengan uang.
Menurut M. Yahya Harahap perjanjian atau verbintennis mengandung
pengertian bahwa perjanjian adalah suatu hubungan hukum di bidang
kekayaan atau harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi
kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus
mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasinya. Sedangkan
menurut R. Subekti yang dimaksud dengan perjanjian adalah suatu peristiwa
dimana seseorang berjanji

1
Dora Kusumastuti, Perjanjian Kredit Perbankan dalam Perspektif Welfare Estate, (Yogyakarta:
CV Budi Utama, 2012), hal. 8
2
kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk
melaksanakan sesuatu hal.
Menurut Wirjono Projodikoro, perjanjian adalah sebagai suatu hubungan
hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana satu pihak
berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau tidak
melakukan sesuatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksaan janji
itu.
Perbedaan-perbedaan pendapat para sarjana mengenai definisi dari
perjanjian memang berbeda-beda. Hal ini merupakan sesuatu yang wajar
sebab dalam mengemukakan definisi dari perjanjian itu, para pakar hukum
tersebut memiliki sudut pandang yang saling berbeda satu sama lain.
Namun dalam setiap definisi yang dikemukakan oleh para sarjana tersebut
tetap mencantumkan secara tegas bahwa dalam perjanjian terdapat pihak-
pihak yang menjadi subjek dan objek dari perjanjian tersebut yaitu adanya
hubungan hukum yang terjadi diantara para pihak yang menyangkut
pemenuhan prestasi dalam bidang kekayaan.

B. SYARAT SAH PERJANJIAN


Syarat sahnya perjanjian Menurut Pasal 1320 KUH Perdata, suatu
perjanjian itu sah harus terpenuhi 4 syarat, yaitu:
a. Kesepakatan mereka yang mengikat dirinya
b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
c. Suatu pokok persoalan tertentu
d. Suatu sebab yang tidak dilarang2
Dalam doktrin ilmu hukum, digolongkan ke dalam dua unsur pokok yang
menyangkut subjek (pihak) yang mengadakan perjanjian (unsur subjektif) dan
dua unsur pokok lainya yang berhubungan dengan obyek perjanjian (unsur
objektif).
1. Kata Sepakat

2
Siti Nur Azizah Ma’ruf Amin, Buku Ajar Hukum Perjanjian, (Yogyakarta: CV Budi Utama,
2012), hal. 20
3
Kata sepakat dalam perjanjian merupakan perwujudan dari
kehendak dua atau lebih pihak dalam perjanjianmengenai apa yang mereka
kehendaki untuk dilaksanakan, kapan melaksanakanya, kapan
harusdilaksanakan, dan siapa siapa yang harus melaksanakan.
Menurut Subekti, yang dimaksud dengan kata sepakat adalah
persesuaian kehendak antara dua pihak yaitu apa yang dikehendaki oleh
pihak ke satu juga dikehendaki oleh pihak lain dan kedua kehendak
tersebut menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik.
Dan dijelaskan lebih lanjut bahwa dengan hanya disebutkannya
"sepakat" saja tanpa tuntutan sesuatu bentuk cara (formalitas) apapun
sepertinya tulisan, pemberian tanda atau panjer dan lain sebagainya, dapat
disimpulkan bahwa bilamana sudah tercapai sepakat itu, maka sahlah
sudah perjanjian itu atau mengikatlah perjanjian itu atau berlakulah ia
sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
2. Cakap dalam membuat perjanjian
Pasal 1330 KUH Perdata menyebutkan bahwa orang yang tidak
cakap membuat perjanjian:
a) Orang yang belum dewasa
b) Mereka yang berada di bawah pengampuan/perwalian dan
c) Orang perempuan/isteri dalam hal telah ditetapkan oleh Undang-
undang dan semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang
membuat perjanjian-perjanjian tertentu.

Mengenai orang yang belum dewasa diatur dalam Pasal 1330 KUH
Perdata, dinyatakan bahwa "belum dewasa adalah mereka yang belum
mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan sebelumnya belum
kawin". Apabila perkawinan itu dibubarkannya sebelum umur mereka
genap 21 (dua puluh satu) tahun, maka merekatidak kembali lagi dalam
kedudukan belum dewasa.
Apabila salah satu dari kedua orang tua meninggal dunia maka
perwalian terhadap anak-anak kawin yang belum dewasa, demi hukum

4
dipangku oleh orang tua yang Namun dalam Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Pasal 39 dan 40 dinyatakan untuk
penghadap dan saksi paling sedikit berumur 18 tahun atau telah menikah.
Dalam hal ini cakap bertindak untuk keperluan khusus. Selanjutnya dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dinyatakan cukup umur untuk
kawin adalah 18 tahun. Sehingga apabila seseorang belum berusia genap
21 tahun tetapi telah kawin menimbulkan konsekuensi menjadi cakap
bertindak.
Dengan demikian dasar usia cakap untuk bertindak, jika tidak
untuk keperluan khusus (telah diatur dalam undang-undang tertenu) maka
usia yang dipakai adalah dua puluh satu tallan atau telah menikah
mendasarkan Pasal 1330 KUH Perdata. Mengenai pengampuan/perwalian
telah diatur dalam Pasal 433 dan 345, bunyinya sebagai berikut:
Pasal 433: Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan
dungu, sakit otak atau mata gelap harus ditaruh di bawa pengampuan,
walaupun jika ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirnya. Seorang
dewasa boleh juga ditaruh di bawah pengampuan karena keborosannya.
Pasal 345: Apabila salah satu dari kedua orang tua meninggal
dunia maka perwalian terhadap anak-anak kawin yang belum dewasa,
demi hukum dipangku oleh orang tua yanghidup terlama, sekadar ini tidak
telah dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan orang tuanya.
Selanjutnya untuk penjelasan tentang orang perempuan/isteri
dalam hal telah ditetapkan oleh undang-undang dan semua orang kepada
siapa undang-undang telah melarang membuat persetujuan-persetujuan
tertentu, diatur pula dalam Pasal 108 KUH Perdata disebutkan bahwa
seorang perempuan yang bersuami, untuk mengadakan suatu perjanjian,
memerlukan bantuan atau izin (kuasa tertulis) dari suaminya. Namun hal
ini sudah tidak berlaku dengan adanya Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan, yakni Pasal 31 yang menyatakan: hak dan
kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam
kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.

5
C. KLAUSULA EKSONESRASI
Istilah klausula eksonerasi merupakan terjemahan dari istilah exoneratie
clausule. Istilah asing lainnya yang digunakan adalah: exemption clause,
exclusion clause, exculpatory clause, warranty disclaimer clause, limitation of
liability clause. Meskipun demikian dalam tulisan ini istilah yang digunakan
adalah klausula eksonerasi.
Klausula eksonerasi mengandung makna yang berisi pembatasan
pertanggungjawaban dari pihak debitur. Dalam kamus istilah hukum Fockema
Andreae, Exoneratie clausule (syarat eksonerasi) yaitu syarat dalam suatu
persetujuan, di mana satu pihak membebaskan diri dari pertanggungjawaban
yang dibebankan kepadanya oleh hukum yang mengatur, terutama dalam
persetujuan pengangkutan. Walaupun dalam kamus tersebut menyebutkan
klausula tersebut terdapat terutama dalam pengangkutan, tetapi dalam praktik
bisnis sudah meluas merambah kedalam segala jenis kontrak.
Sementara menurut Sutan Remy Sjahdeni, keberadaan klausula eksonerasi
adalah bertujuan membebaskan atau membatasi tanggung jawab salah satu
pihak terhadap gugatan pihak lainnya dalam hal yang bersangkutan tidak atau
tidak dengan semestinya melaksanakan kewajibannya yang ditentukan di
dalam perjanjian tersebut.3 Klausula tersebut selalu bersifat berat sebelah,
yang hampir dapat dipastikan akan menguntungkan mereka yang kedudukan
lebih kuat daripada pihak lainnya serta sering kali terdapat dalam kontrak
baku.
Munculnya klausula eksonerasi dapat disebabkan oleh beberapa hal antara
lain yaitu kecermatan dalam berkontrak, etikad baik (good faith) dalam
berkontrak dan posisi tawar yang tidak seimbang. Sebab pertama yaitu
kecermatan berkontrak berkaitan dengan wawasan hukum pihak-pihak
pembentuk kontrak.
Fuady menggunakan istilah klausula eksemsi untuk menyebut klausula
eksonerasi. Klasula eksemsi adalah suatu klausula dalam kontrak yang

3
Sutan Remy Sjahdeni, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak
Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, (Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993), hal. 75.

6
membebaskan atau membatasi tanggung jawab dari salah satu pihak jika
terjadi wanprestasi padahal menurut hukum, tanggung jawab tersebut
mestinya dibebankan kepadanya.
Secara teknis yuridis, klausula eksemsi dalam suatu kontrak biasanya
dilakukan melalui tiga metode sebagai berikut:
1. Metode pengurangan atau bahkan penghapusan atas kewajiban-kewajiban
hukum yang biasanya dibebankan kepada salah satu pihak;
2. Metode pengurangan atau bahkan penghapusan terhadap akibat hukum
karena pelaksanaan kewajiban yang tidak benar;
3. Metode penciptaan kewajiban-kewajiban tertentu kepada salah satu pihak
dalam kontrak (Fuady, 2003: 98).
Dalam hal ini dituntut keahlian para pihak mampu memanfaatkan saluran-
saluran hukum, yang digunakan untuk meningkatkan kualitas kontrak,
kemampuan para pihak untuk selalu memperhitungkan segala risiko yang
dapat timbul dari setiap syarat atau kausula yang dirancang dalan kontrak.
Dituntut pula kemampuan untuk melakukan negosiasi, memperhitungkan
kelengkapan materi kontrak serta kecermatan dalam merancang rumusan-
rumusan klausula, sehingga memperkecil ruang resiko dan pada akhirnya
dapat mewujudkan kontrak yang bersih, terbuka dan adil (banafide).
Sebab kedua adalah etikad baik yang berkaitan dengan kejujuran dan
kualitas mental para pihak. Dalam praktik bisnis tidak sedikit para pelaku
bisnis yang memiliki niat untuk mewujudkan target-target bisnisnya melalui
strategi yang dibawakan dan secara sengaja disembunyikan atau tidak
dimasukkan dalam sub-sub atau item pembahasan negosiasi.
Sebab ketiga adalah faktor posisi tawar yang tidak seimbang. Faktor ini
dimaksudkan bahwa posisi pihak-pihak yang melakukan kontrak adalah tidak
seimbang, memiliki kedudukan yang tidak sejajar, sehingga berdampak pada
posisi tawar yang lemah pada pihak lainnya. Lemahnya kedudukan salah satu
pihak disebabkan oleh beberapa faktor seperti wawasannya dibidang hukum
sangat kurang, faktor kepentingan yang amat mendesak yang memerlukan
segera terselesainya kontrak yang dilakukan tanpa lagi memperhitungkan
resiko

7
yang dapat menimpanya. Faktor ekonomi juga merupakan salah satu pemicu
munculnya posisi tawar yang lemah yang sering dimanfaatkan oleh mereka
yang berposisi lebih kuat.
Beberapa faktor-faktor tersebut memberikan peluang dan dimanfaatkan
oleh mereka yang telah memiliki niat yang kurang baik untuk melakukan
penyalahgunaan keadaan, terutama dalam kontrak standar.

D. PERJANJIAN BAKU
1. Pengertian
Berdasarkan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor
13/SEOJK.07/2014 yang selanjutnya disebut SEOJK, dinyatakan bahwa
Perjanjian Baku adalah perjanjian tertulis yang ditetapkan secara sepihak
oleh PUJK dan memuat klausula baku tentang isi, bentuk, maupun cara
pembuatan, dan digunakan untuk menawarkan produk dan/atau layanan
kepada Konsumen secara massal.
Perjanjian baku adalah suatu kontrak tertulis yang dibuat hanya oleh
salah satu pihak dalam kontrak tersebut, bahkan sering kali kontrak
tersebut sudah tercetak (boilerplate) dalam bentuk formulir-formulir
tertentu oleh salah satu pihak, yang dalam hal ini ketika kontrak tersebut
ditandatangani umumnya para pihak hanya mengisikan data-data
informatif tertentu saja dengan sedikit atau tanpa perubahan dalam
klausula-klausulanya, di mana pihak lain dalam kontrak tersebut tidak
mempunyai kesempatan atau hanya sedikit kesempatan untuk menegosiasi
atau mengubah klausula-klausula yang sudah dibuat oleh salah satu pihak
tersebut, sehingga biasanya kontrak baku berat sebelah.4
Beberapa pengertian perjanjian baku menurut para ahli yaitu sebagai
berikut:

4
Abdul R, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan: Teori dan Contoh Kasus, (Jakarta: KencanaPrenada,
2005), hal.45.

8
a. Mariam Darus Badrulzaman mendefinisikan perjanjian standar atau
baku sebagai perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam
bentuk formulir.
b. Sutan Remi jahdeni mengartikan perjanjian standar atau baku sebagai
perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausulnya dibakukan oleh
pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai
peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan.
c. Asser Rutten mengatakan pula bahwa setiap orang yang
menandatangani perjanjian bertanggung jawab pada isi dan apa yang
ditandatanganinya. Jika ada orang yang membubuhkan tanda tangan
pada suatu formulir perjanjian baku atau standar, tanda tangan itu
membangkitkan kepercayaan bahwa yang bertanda tangan mengetahui
dan menghendaki isi formulir yang ditandatangani. Tidak mungkin
seseorang menandatangani apa yang tidak diketahui isinya.
d. Sedangkan dalam undang-undang sendiri pengertian perjanjian baku
atau standar seperti yang tercantum dalam Undang-Undang No. 8
tahun 1999 menggunakan istilah klausula baku sebagaimana dapat
ditemukan dalam pasal 1 angka 10 Undang-Undang Perlindungan
Konsumen. Pasal tersebut menyatakan bahwa klausula baku adalah
setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan
dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang
dituangkan dalam suatu dokumen dan atau perjanjian yang mengikat
dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Ada juga yang menyebutkan
bahwa kontrak standar atau baku itu dikatakan perjanjian atau
persetujuan yang dibuat oleh para pihak mengenai sesuatu hal yang
telah ditentukan secara baku standar serta dituangkan secara tertulis.
e. H. Hondius mendefinisikan perjanjian standar atau baku adalah
konsep- konsep janji-janji tertulis yang disusun tanpa membedakan
isinya, serta pada umumnya dituangkan dalam perjanjian-perjanjian
yang tidak terbatas jumlahnya, namun sifatnya tertentu.

9
Dari uraian pendapat para ahli dan uu dapat disimpulkan bahwa
hakikat perjanjian baku atau standar adalah perjanjian yang telah standar
isinya, konsep janji-janji tertulis, disusun tanpa membicarakan isinya,
dimana standar isinya ini dibuat oleh pihak ekonomi kuat, sedangkan
pihak lainnya hanya diminta untuk menerima atau menolak isinya. Apabila
debitur atau konsumen menerima isinya perjanjian tersebut, ia
menandatangani perjanjian tersebut, tetapi apabila ia menolak, perjanjian
itu diangap tidak ada karena debitur atau konsumen tidak menandatangani
perjanjian tersebut.
Istilah standar berarti baku, sesuatu yang dipakai secara patokan,
ukuran, acuan. Jika bahasa hukum dibakukan, berarti bahasa hukum itu
ditentukan ukuran patokannya, standarnya, sehingga memiliki arti yang
tetap yang dapat menjadi pegangan umum. Dengan demikian perjanjian
standar mempunyai pengertian yang sama dengan perjanjian baku.
Perjanjian baku atau standar dalam praktek dikenal dengan adanya
berbagai sebutan untuk jenis perjanjian atau kontrak misalnya di Perancis
digunakan Contract d’adhesion. Perjanjian baku diartikan dari istilah yang
dikenal dalam bahasa Belanda standard contract atau standard
voorwaarden. Kepustakaan jerman mempergunakan istilah Allgemeine
Geschafts Bedingun atau standart vertrag. Hukum inggris menyebutkan
Standard contract.
2. Ciri-Ciri Perjanjian Baku
Perjanjian baku yang berkembang dalam masyarakat memiliki
beberapa ciri-ciri antara lain sebagai berikut:
a. Bentuknya tertulis
Bentuk perjanjian meliputi naskah perjanjian secara keseluruhan
dan dokumen bukti perjanjian yang memuat syarat-syarat baku. Kata-
kata atau kalimat pernyataan kehendak yang termuat dalam syarat-
syarat baku, dibuat secara tertulis berupa akta otentik atau akta di
bawah tangan.

10
b. Formatnya dibakukan
Format perjanjian meliputi model, rumusan, dan ukuran dibakukan,
artinya sudah ditentukan model, rumusan, dan ukurannya. Sehingga
tidak dapat diganti, dirubah atau dibuat dengan cara lain karena sudah
dicetak. Model perjanjian dapat berupa blanko naskah perjanjian
lengkap atau blanko formulir yang dilampiri dengan naskah syarat-
syarat perjanjian atau dokumen bukti perjanjian yang memuat syarat-
syarat baku
c. Syarat-syaratnya ditentukan oleh pelaku usaha secara sepihak
Syarat-syarat perjanjian yang merupakan pernyataan kehendak
ditentukan sendiri secara sepihak oleh pelaku usaha atau organisasi
pelaku usaha, karena syarat-syarat perjanjian itu dimonopoli oleh
pelaku usaha, maka sifatnya lebih menguntungkan pihak pelaku usaha
daripada konsumen.
d. Isinya selalu menguntungkan pelaku usaha
Perjanjian baku dirancang secara sepihak oleh pihak pelaku usaha,
sehingga perjanjian yang dibuat dengan cara demikian isinya akan
selaku menguntungkan pihak pelaku usaha
3. Jenis-Jenis Perjanjian Baku
Sesuai dengan Pasal 1 ayat (10) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Klausula baku, maka perjanjian baku yang banyak terdapat di
lingkungan masyarakat dapat dibedakan menjadi 3 yakni:
a. Perjanjian baku sepihak yang isinya ditentukan oleh pihak yang kuat
kedudukannya di dalam perjanjian tersebut.
b. Perjanjian baku yang ditetapkan oleh pemerintah sisinya ditentukan
pemerintah terhadap perbuatan hukum tertentu
c. Perjanjian baku di lingkungan notaris dan advokat yang konsepnya
sudah disediakan.5

5
M. Arif Maulana dkk, “Klausula Baku Dalam Perjanjian Kredit Bank Perkreditan Rakyat”, Jurnal
USM Law Review, Vol. 4 No. 1, Tahun 2021, hal. 220

11
4. Jenis-Jenis Klausula dalam Perjanjian Baku
a. Klausula Baku
Setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah
dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku
usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang
mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.
Berpijak pada aturan tersebut maka dapat diketahui bahwa di
dalam klausula baku yang dibuat terdapat unsur keharusan yang harus
dilakukan oleh salah satu pihak dalam rangka pemenuhan atas aturan
yang ada di dalam perjanjian tersebut. Merujuk pada landasan dasar
dilakukanya suatu kontrak atau perjanjian dalam hal ini cenderung
mengacu pada hal-hal yang bersifat bisnis atau ekonomi (keuangan).
Aturan hukum di Indonesia telah mengatur terkait dengan klausula
baku yang biasanya digunakan di dalam hubungan bisnis atau
perjanjian, dalam hal ini dapat dilihat di dalam ketentuan Pasal 18
Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Di dalam pasal tersebut jelas disebutkan bahwa adanya aturan-aturan
yang mengatur keberadaan klausula baku yaitu:
1) Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
2) Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan
kembali barang yang dibeli konsumen;
3) Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan
kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang
dibeli oleh konsumen;
4) Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha
baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan
segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli
oleh konsumen secara angsuran;
5) Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau
pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;

12
6) Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa
atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek
jual beli jasa;
7) Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa
aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang
dibuat sepihak oleh pelakusaha dalam masa konsumen
memanfaatkan jasa yang dibelinya;
8) Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha
untukpembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan
terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.6
Selain itu, dalam aturan yang terdapat di dalam Pasal 18 Undang-
Undang No. 8 Tahun 1999 ayat (2) menyebutkan bahwa: “Pelaku
usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau
bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang
pengungkapannya sulit dimengerti”
b. Klausula Eksonerasi
Klausula Eksonerasi (Exemption Clause) adalah klausul yang
mengandung kondisi membatasi atau bahkan menghapus sama sekali
tanggung jawab yang semestinya dibebankan kepada pihak produsen
atau penyalur produk (penjual).

E. ASAS-ASAS DALAM PERJANJIAN


Terdapat 5 ( lima) asas perjanjian yang dikenal menurut ilmu hukum
perdata yaitu sebagai berikut:
1. Asas Kebebasan Berkontrak ( Freedom of contract)
Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan para
pihak untuk :
a. Membuat atau tidak membuat perjanjian
b. Mengadakan perjanjian dengan siapapun

6
Esther Masri, Buku Ajar Hukum Perlindungan Konsumen, (Surabaya: CV Jakad Media Publishing,
2023), hal. 147

13
c. Menentukan isi perjanjian ,pelaksanaan, dan persyaratannya.
d. Menentukan bentuk perjanjiannya , apakah berbentuk tulis atau lisan.
Setiap orang dapat secara bebas membuat perjanjian selama
memenuhi syarat sahnya perjanjian dan tidak melanggar hukum,
kesusilaan, serta ketertiban umum.axcv
2. Asas Konsensualisme ( Concensualism)
Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam pasal 1320 ayat (1)
KUHPer. Dalam pasal tersebut salah satu syarat sahnya perjanjian antara
kedua belah pihak. Perjanjian sudah lahir sejak tercapainya kata sepakat.
perjanjian telah mengikat ketika kata sepakat dinyatakan atau diucapakan,
sehingga tidak perlu lagi formalitas tertentu. Kecuali dalam hal undang-
undang memberikan syarat formalitas tertentu terhadap suatu perjanjian
yang mensyaratkan harus tertulis.
3. Asas Kepastian Hukum ( Pacta Sunt Servanda)
Menurut Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yaitu semua perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya. Jika terjadi sengketa dalam pelaksanaan perjanjian,
maka hakim dengan keputusannya dapat memaksa agar pihak yang
melanggar itu melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan
perjanjian, bahkan hakim dapat meminta pihak yang lain membayar ganti
rugi. Putusan pengadilan itu merupakan jaminan bahwa hak dan
kewajiban para pihak dalam perjanjian memiliki kepastian hukum
sehingga secara pasti memiliki perlindungan hukum.
4. Asas Itikad baik ( Good Faith)
Asas ini tercantum dalam pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata
“Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Dalam asas ini para
pihak yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi
kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun
kemauan baik dari para pihak. Dengan itikad baik berarti keadaan batin
para pihak dalam membuat dan melaksanakan perjanjian haruslah jujur,
terbuka dan saling percaya . Keadaan batin para pihak itu tidak boleh
dicemari oleh

14
maksud untuk melakukan tipu daya atau menutup-tutupi keadaan
sebenarnya
5. Asas Kepribadian ( Personality)
Asas kepribadian berarti isi perjanjian hanya mengikat para pihak
secara personal dan tidak mengikat pihak-pihak lain yang tidak
memberikan kesepekatanannya. Seseorang hanya dapat mewakili orang
lain dalam membuat perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku
bagi mereka yang membuatnya.

F. ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU


Asas kebebasan berkontrak sebenarnya merupakan kelanjutan asas
kesederajatan para pihak sebagai dasar hubungan keperdataan dan kemudian
membedakannya dengan hubungan kepublikan yang bersifat atasan dan
bawahan. Sekalipun asas ini dinyatakan sebagai asas yang penting dalam
hukum perdata, namun berlakunya asas ini bukan satu-satunya yang harus
diperhatikan melainkan juga harus memperhatikan asas-asas yang lain
terutama jika dikaitkan dengan kedudukan para pihak dalam perjanjian seperti
asas keseimbangan, asas moral dan asas kepatutan. Asas kebebasan berkontrak
ini merupakan salah satu asas perjanjian yang berlaku secara universal.
Pemahaman terhadap asas ini membawa pengertian bahwa setiap orang
mempunyai kebebasan untuk mengikatkan dirinya pada orang lain. Satu hal
yang patut diperhatikan adalah bahwa asas tersebut adalah mengasumsikan
ada posisi tawar yang seimbang diantara para pembuat kontrak.
Keseimbangan tersebut baik secara ekonomi maupun sosial.
Perjanjian baku sendiri dipergunakan tidak hanya dalam Perbankan
konvensional, Perbankan syariah, Pasar modal syariah, Asuransi syariah, akan
tetapi perjanjian baku banyak dipergunakan dalam berbagai transaksi
perdagangan yang meliputi penjualan barang, jasa maupun piranti lunak,
termasuk lisensi.
Dengan banyaknya perjanjian standar/baku dipergunakan dalam berbagai
transaksi, dan melihat dalam perjanjian tersebut, dimana posisi dominan oleh

15
satu pihak, belum dapat dikatakan bahwa asas kebebasan berkontrak terpenuhi
sepenuhnya, karena dalam perjanjian tersebut pada asasnya isi perjanjian yang
dibakukan adalah tetap dan tidak dapat diadakan perundingan lagi, atau
ketiadaan pengetahuan tentang isi kontrak, maupun ketiadaan atau kekurangan
pilihan bebas dalam menentukan item perjanjian dan atau ketentuan yang
secara tidak wajar sangat memberatkan bagi salah satu pihak, dalam hal ini
pihak yang menerima penawaran.

16
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Perjanjian adalah sebagai suatu hubungan hukum mengenai harta benda antara
dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk
melakukan sesuatu hal atau tidak melakukan sesuatu hal, sedangkan pihak lain
berhak menuntut pelaksaan janji itu.
Pada dasarnya asas kebebasan berkontrak belum terpenuhi sepenuhnya
dalam perjanjian baku, karena dalam perjanjian tidak bebas dalam
menentukan pilihan item perjanjian dan atau ketentuan yang secara tidak
wajar sangat memberatkan bagi salah satu pihak, dalam hal ini pihak yang
menerima penawaran.

B. SARAN
Dengan adanya pembahasan mengenai hukum perjanjian ini, penulis
berharap pembaca dapat memahami lebih lanjut mengenai hukum perjanjian
dan dapat memanfaatkannya dalam kehidupan sehari-hari.

17
DAFTAR PUSTAKA

Amin, Siti Nur Azizah Ma’ruf. 2012. Buku Ajar Hukum Perjanjian. Yogyakarta:
CV Budi Utama

Kusumastuti, Dora. 2012. Perjanjian Kredit Perbankan dalam Perspektif Welfare


Estate. Yogyakarta: CV Budi Utama

Masri, Esther. 2023. Buku Ajar Hukum Perlindungan Konsumen. Surabaya: CV


Jakad Media Publishing

R, Abdul. 2005. Hukum Bisnis Untuk Perusahaan: Teori dan Contoh Kasus.
Jakarta: KencanaPrenada

Sjahdeni, Sutan Remy. 1993. Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang


Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia.
Jakarta: Institut Bankir Indonesia

Maulana, M. Arif. 2021. “Klausula Baku Dalam Perjanjian Kredit Bank


Perkreditan Rakyat”. Jurnal USM Law Review. Vol. 4 No. 1

https://rewangrencang.com/pengertian-perjanjian-baku-dan-klausula-eksonerasi/

18

Anda mungkin juga menyukai