Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

KLASIFIKASI KONTRAK MENURUT UU DI INDONESIA DAN TEORI


FIQIH MUAMALAH

Dosen Pengampu : Dr. H. Shofa Robbani, Lc., M.A

Disusun Oleh Kelompok 3 :

1. Mila Datus Saadah (220401023)

2. Nazilatul Mubarokah (220401024)

3. Riska Nur Aini (220401008)

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARI'AH (MUAMALAH)

FAKULTAS SYARI'AH DAN ADAB

UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA' SUNAN GIRI BOJONEGORO

2023

1
Abstrak

Sebagai mahluk sosial, manusia tidak dapat dipisahkan dari hubungan dengan
manusia lainnya dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan manusia
sangat berbeda sehingga terkadang tidak dapat dipenuhi secara individu dan harus
berhubungan dengan orang lain. Dalam hal ini manusia secara tidak sadar sudah
melakukan perbuatan hukum perdata dengan mengatur hubungan antara individu
dengan individu lain atau entitas hukum dalam hal kepentingan pribadi mereka.
Dalam hukum perdata, kontrak dianggap sebagai perjanjian yang sah antara dua belah
pihak atau lebih yang saling memberikan janji untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu. Hukum kontrak merupakan suatu perjanjian antara dua orang atau lebih yang
menciptakan sebuah/suatu kewajiban untuk berbuat maupun tidak berbuat suatu hal
yang bersifat khusus. Terdapatnya unsur-unsur yang dianggap sah dan mengikat.
Hukum kontrak tercantum dalam pasal 1313 KUHPerdata. Sedangkan Fiqih
muamalah menyatakan pengertian kontrak perjanjian masuk dalam bab pembahasan
tentang akad. Pengertian akad secara linguistik memiliki makna ar-rabthu yang
berarti menghubungkan atau mengaitkan, mengikat, antara beberapa ujung sesuatu.

Kata kunci: Hukum, kontrak, perjanjian, fiqih muamalah, akad

2
A. Pendahuluan
Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat dipisahkan dari hubungan
dengan manusia lainnya dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan
manusia sangat berbeda sehingga terkadang tidak dapat dipenuhi secara individu dan
harus berhubungan dengan orang lain. Agar manusia dapat dikatakan sebagai
makhluk sosial, itu adalah ikatan di antara mereka, dan agar manusia dapat dikatakan
sebagai makhluk sosial, ada ketentuan yang menjelaskan hak dan kewajiban kedua
belah pihak yang berasal dari Konvensi. Proses buat membuat konvensi dalam
kerangka penuhi kebutuhan keduanya, umum diucap dengan proses buat berakad
ataupun melaksanakan kontrak.

Pada dasarnya perjanjian/kontrak berawal dari perbedaan atau ketidaksamaan


kepentingan di antara para pihak. Perumusan hubungan kontraktual tersebut pada
umumnya senantiasa diawali dengan proses negoisasi diantara para pihak. Melalui
negoisasi para pihak berupaya menciptakan bentuk-bentuk kesepakatan untuk saling
mempertemukan sesuatu yang diinginkan (kepentingan) melalui proses tawar
menawar.1 Pendek kata, pada umumnya kontrak bisnis justru berawal dari perbedaan
kepentingan yang dicoba dipertemukan melalui kontrak. Melalui kontrak perbedaan
tersebut diakomodasi dan selanjutnya dibingkai dengan perangkat hukum sehingga
mengikat para pihak. Dalam kontrak bisnis pertanyaan mengenai sisi kepastian dan
keadilan justru akan tercapai apabila perbedaan yang ada diantara para pihak
terakomodasi melalui mekanisme hubungan kontraktual yang bekerja secara
proporsional.2

Perjanjian dalam arti luas tercantum dalam Pasal 1313 KUH Perdata, bahwa
perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya kepada satu orang atau lebih lainnya. Sedangkan dalam arti sempit, perjanjian
adalah persetujuan dengan mana dua pihak atau lebih saling mengikatkan diri untuk

1
Jeremy G.Thorn,1995, Terampil Bernegosiasi ,alih bahasa Edi Nugroho, (Jakarta: Pustaka Binaman
Pressindo), hal. 7
2
Agus yudha hernoko, 2011, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersil,
(Jakarta: Kencana) hal. 2

3
melaksanakan suatu hal yang bersifat kebendaan di bidang harta kekayaan. 3
Perjanjian atau perikatan juga dapat diartikan sebagai suatu hubungan hukum
(mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang, yang memberi hak pada yang
satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya
ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu.4

Menurut teori fiqih muamalah Ikatan ini merupakah fitrah yang telah
ditakdirkan Allah. Oleh sebab itu dia ialah kebutuhan sosial semenjak manusia mulai
memahami makna hak kepunyaan. Islam selaku agama yang komprehensif serta
umum membagikan ketentuan yang lumayan jelas dalam akad buat bisa
diimplementasikan dalam tiap masa.

Berdasarkan wahyu ilahi dan Sunnah (Quran dan Hadits) para Rasul, ajaran
Islam memerintahkan orang untuk menjalani kehidupan yang baik di dunia ini. Saya
memiliki kehidupan setelah kematian. Menjalani kehidupan yang baik di dunia dan di
akhirat adalah jaminan kesehatan jasmani dan rohani. Kebahagiaan dalam kehidupan
lahir dan batin dapat dicapai melalui ibadah dan muamalah. Sehubungan dengan itu,
kami ingin mengulas tentang wilayah Muamalah terkait dengan konsep jenis akad
dalam fikih Muamalah.

B. Pembahasan
A. Pembagian kontrak/akad menurut Undang-Undang di Indonesia
Hukum perikatan ialah ketentuan-kententuan yang mengatur hak dan
kewajiban subjek hukum dalam tindakan hukum kekayaan. Hukum perdata
eropa, termasuk yang berlaku di Indonesia atau BW (Buergelijk wetboek)
mengenal adanya perikatan yang ditimbulkan karena undang-undang dan
perikatan yang ditimbulkan karena perjanjian.

Perikatan yang ditimbulkan karena undang-undang lazim disebut


perikatan dari undang-undang . Adanya hak dan kewajiban timbul diluar

3
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2014), h.289
4
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Intermasa, 2010), h.122

4
kehendak subjek hukumnya. Perikatan ini dapat disebabkan oleh tindakan
tidak melawan hukum dan tindakan yang melawan hukum. Sedangkan
perikatan yang ditimbulkan karena perjanjian lazim disebut perjanjian, hak
dan kewajiban yang timbul dikehendaki oleh subjek-subjek hukum. Hak dan
kewajiban itu sering merupakan tujuan dalam menjalankan tindakannya.

Pasal 1338 KUHPerdata menegaskan bahwa “semua perjanjian yang


dibuat secara sah yaitu berdasarkan syarat sahnya perjanjian, berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Artinya, semua perjanjian
mengikat mereka yang tersangkut bagi yang membuatnya, mempunyai hak
yang oleh perjanjian itu diberikan kepadanya dan berkewajiban melakukan
hal-hal yang ditentukan dalam perjanjian. Setiap orang dapat mengadakan
perjanjian, asalkan memenuhi syarat yang ditetapkan dalam Pasal 1320
KHUPerdata.

Bentuk perjanjian dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu tertulis dan
lisan. Perjanjian tertulis adalah perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam
bentuk tertulis. Sedangkan perjanjian lisan adalah suatu perjanjian yang dibuat
oleh para pihak yang berwujud lisan (kesepakatan para pihak). Kekuatan
hukum kedua perjanjian ini sesungguhnya tidak terletak pada bentuknya yaitu
apakah tertulis atau secara lisan.5

Membuat suatu perjanjian pada dasarnya tidak terikat dengan bentuk


tertentu. KHUPerdata tidak menyebutkan secara sistematis tentang bentuk
perjanjian. Setiap pihak yang melakukan perjanjian mempunyai kebebasan
dalam membuat perjanjian, dalam arti bebas membuat perjanjian baik secara
lisan atau tertulis.

Secara umum, perjanjian sesuai dengan bentuk dibedakan atas:

1. Perjanjian Lisan

5
Margono surya parters. Kekuatan Hukum Perjanjian Lisan. Diakses
http://www.msplawfirm.co.id/kekuatan-hukum-perjanjian-lisan/ Pada tanggal 10 oktober 2023 10:00

5
Yaitu perjanjian yang kesepakatan atau klausul yang diperjanjikan
disepakati secara lisan. Perjanjian lisan seperti ini tetaplah sah, tetapi
yang menjadi masalah adalah jika ada sengketa yang lahir terkait dengan
perjanjian ini maka para pihak akan kesulitan melakukan pembuktian.
2. Perjanjian Tertulis
Bentuk perjanjian ini ada 3 yaitu perjanjian tertulis dengan akta dibawah
tangan, Perjanjian dengan saksi notaris untuk melegalisir tanda tangan
para pihak dan Perjanjian yang dibuat dihadapan dan oleh notaris dalam
bentuk akta notaris
Adapun tiga bentuk perjanjian tertulis, yaitu sebagai berikut:

1. Perjanjian di bawah tangan yang ditandatangani oleh para pihak yang


bersangkutan saja tanpa melibatkan pejabat. Bagaimana jika tidak
disertai materai? Apakah perjanjian itu sah?. Perjanjian tanpa disertai
materai tetap sah, namun demikian yang menjadi masalah adalah bukti
tertulis dari perjanjian tanpa materai tersebut tidak bisa dijadikan sebagai
barang bukti karena hakim akan menolak menjadikannya sebagai barang
bukti. Hal ini dikarenakan UU Bea Materai kita mengatur tentang itu.
Perjanjian dengan akta dibawah tangan ini masih memberikan ruang bagi
salah satu pihak untuk mengingkari isi perjanjian.
2. Perjanjian dengan saksi notaris untuk melegalisir tanda tangan para
pihak. Fungsi kesaksian notaris atas suatu dokumen semata-mata hanya
untuk melegalisir kebenaran tanda tangan para pihak. Akan tetapi,
kesaksian tersebut tidaklah mempengaruhi kekuatan hukum dari isi
perjanjian. Namun, pihak yang menyangkal itu adalah pihak yang harus
membuktikan penyangkalannya.
3. Perjanjian yang dibuat dihadapan dan oleh notaris dalam bentuk akta
notaris. Akta notaris adalah akta yang dibuat dihadapan dan dimuka
pejabat yang berwenang untuk itu. Pejabat yang berwenang yaitu notaris,

6
camat, PPAT dan lain-lain. Jenis dokumen ini merupakan alat bukti yang
sempurna bagi para pihak yang bersangkutan maupun pihak ketiga.6
Dengan demikian, pada dasarnya perjanjian yang dilaksanakan secara
lisan tanpa dituangkan dalam kesepakatan secara tertulis baik melalui
perjanjian bawah tangan maupun perjanjian dengan akta otentik, tetap diakui
dan sah dilakukan berdasar kesepakatan para pihak, namun memiliki
kekurangan yakni lemah dari sisi pembuktian. Atas hal tersebut, untuk
perjanjian- perjanjian tertentu, terdapat undang-undang yang menentukan
pembuatan perjanjiannya dalam bentuk tertulis dalam akta otentik, sebagai
berikut:7

a. Perjanjian hibah harus dalam bentuk tertulis dalam akta notaris, kecuali
perjanjian hibah hak atas tanah (Pasal 1682 KUHPerdata)
b. Perjanjian pemberian kuasa untuk memasang hipotik atas kapal harus
dalam bentuk tertulis dalam akta notaris (Pasal 1171 KUHPerdata)
c. Perjanjian pengalihan piutang yang dijamin dengan hipotik harus dalam
bentuk tertulis dalam akta notaris (Pasal 1172 KUHPerdata)
d. Perjanjian subrogasi harus dalam bentuk tertulis dalam akta notaris (Pasal
1401 sub 2 KHUPerdata)
e. Perjanjian peralihan (Khususnya jual-beli dan hibah) ha katas tanah,
kecuali melalui lelang, untuk tanah-tanah yang sudah terdaftar harus
dalam bentuk tertulis dalam akta pejabat pembuat akta (Pasal 37 PP
Nomor 24 Tahun 1997)
f. Perjanjian pemindahan pemberian kuasa membebankan hak tanggungan
harus dalam bentuk tertulis dalam akta pejabat pembuat akta tanah Pasal
15 ayat (1) UU Nomor 4 tahun 1996)
g. Perjanjian jaminan hak tanggungan harus dalam bentuk tertulis dalam akta
pejabat pembuat akta tanah (Pasal 10 ayat (2) UU Nomor 4 Tahun 1996)

6
Salim H.S, Hukum Kontrak dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar Grafika,2010) h.43
7
Muhammad Syaifuddin, Hukum kontrak, (Bandung: CV. Mandar jaya) h. 146

7
h. Perjanjian jaminan fidusia harus dalam bentuk tertulis dalam akta notaris
(Pasal 5 Ayat (1) UU Nomor 42 Tahun 1999)
i. Perjanjian pendirian firma harus dalam bentuk tertulis dalam akta notaris
(Pasal 22 KUH Dagang)
j. Perjanjian pendirian Yayasan harus dalam bentuk tertulis dalam akta
notaris (Pasal 9 ayat (2) UU Nomor 16 Tahun 2001)
k. Perjanjian pendirian perseroan terbatas harus dalam bentuk tertulis dalam
akta notaris (Pasal 7 UU Nomor 40 Tahun 2007)
Perjanjian yang telah ditentukan oleh undang-undang tersebut harus
diterapkan sebagaimana mestinya, karena jika tidak diterapkan maka akibat
hukumnya adalah perjanjian-perjanjian yang dibuat menjadi tidak sah,
sehingga batal demi hukum, dan tidak menimbulkan perjanjian (perjanjian
dianggap tidak pernah ada).8
Dari pihak ketiga bentuk atau jenis perjanjian tersebut, dapat dilihat bahwa
perjanjian yang dibuat notaris merupakan perjanjian yang mempunyai
kekuatan hukum yang dapat dipertanggung jawabkan secara hukum.
Ada tiga fungsi dari akta notaris (akta autentik), yaitu:

1. Sebagai bukti bahwa para pihak yang bersangkutan telah


mengadakan perjanjian tertentu.
2. Sebagai bukti bagi para pihak bahwa apa yang tertulis dalam
perjanjian adalah menjadi tujuan dan keinginan para pihak.
3. Sebagai bukti kepada pihak ketiga bahwa pada tanggal tertentu,
kecuali jika ditentukan adalah sesuai dengan kehendak para pihak.9
Sehubungan dengan fungsi akta notaris tersebut adalah sabagai alat bukti
Ketika suatu perjanjian atau kontrak mengalami suatu masalah, sehingga yang
menjadi alat bukti yang autentik adalah akta notaris tersebut.

8
Ibid h.147
9
Salim H.S, Hukum Kontrak dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta:Sinar Grafika, 2010), h. 43

8
Dalam pelaksanaan suatu perjanjian membawa konsekuensi bahwa
seluruh harta kekayaan seseorang atau badan yang diakui sebagai badan
hukum, akan dipertaruhkan dan dijadikan jaminan atas setiap perikatan atau
kontrak orang perorangan dan atau badan hukum.

B. Pembagian kontrak menurut teori Fiqih Muamalah


Fiqih muamalah menyatakan pengertian kontrak perjanjian masuk
dalam bab pembahasan tentang akad. Pengertian akad secara linguistik
memiliki makna ar-rabthu yang berarti menghubungkan atau mengaitkan,
mengikat, antara beberapa ujung sesuatu.10 Melakukan akad dengan cara
mengucapkan menggunakan lidah merupakan salah satu cara yang ditempuh
dalan mengadakan akad, tetapi ada juga cara lain yang dapat menggambarkan
kehendak untuk berakad. Para ulama menerangkan beberapa cara yang
ditempuh dalam akad, sebagai berikut:11

1. Dengan cara tulisan (kitabah), misalnya dua aqid yang berjauhan


tempatnya, makai ijab qabul boleh dengan cara kitabah.
2. Isyarat, bagi orang-orang tertentu akad atau ijab dan qabul tidak
dapat dilaksanakan dengan ucapan dan tulisan, misalnya seseorang
yang bisu tidak dapat melakukan ijab qabul dengan Bahasa, orang
yang tidak pandai tulis baca tidak mampu mengadakan ijab qabul
dengan tulisan.
3. Ta’athi (saling memberi), seperti seseorang yang melakukan
pemberian kepada seseorang dan orang tersebut memberikan
imbalan kepada yang memberi tanpa ditentukan besar imbalannya.
Dengan contoh yang jelas dapat diuraikan sebagai berikut “seorang
pengail ikan sering memberikan ikan hasil pancingannya kepada
petani, petani tersebut memberikan beberapa liter kepada pengail
yang memberikan ikan, tanpa disebutkan besar imbalan yang

10
Dimyauddin Djuaini, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar,2008) h.47
11
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Depok : Rajawali pers) h. 52

9
dikehendaki oleh pemberi ikan. Proses tersebut dinamakn ta’athi,
tetapi menurut Sebagian ulama jual beli seperti itu tidak
dibenarkan.
4. Lisan al-hal, menurut sebagia ulama, apabila seseorang
meninggalkan barang dihadapan orang lain, kemudian dia pergi
dan orang yang ditinggali barang itu terdiam diri saja, hal itu
dipandang telah ada akad ida’ (titipan) antara orang yang
meletakkan barang titipan dengan jalan dalalat al-hal.
Setelah itu pada bagian ini akan dijelaskan macam-macam akad
sebagai berikut12:

1. ‘Aqad Munjiz yaitu akad yang dilaksanakan pada waktu selesainya


akad. Pernyataan akad yang diikuti dengan pelaksanaan akad ialah
pernyataan yang tidak disertai dengan syarat-syarat dan tidak pula
ditentukan waktu pelaksanaan setelah adanya akad.
2. ‘Aqad Mu’alaq yaitu akad yang didalam pelaksanaannya terdapat
syarat-syarat yang telah ditentukan dalam akad. Misalnya,
penentuan penyerahan barang-barang yang diakadkan setelah
adanya pembayaran.
3. ‘Aqad Mudhaf yaitu akad yang dalam pelaksanaannya terdapat
syarat-syarat penanggulangan pelaksanaan akad, pernyataan
pelaksanaannya ditangguhkan hingga waktu yang ditentukan.
Perkataan ini sah dilakukan pada waktu akad, tetapi belum
mempunyai akibat hukum sebelum tibanya waktu yang telah
ditentukan. Perwujudan akad tampak nyata pada dua keadaan
berikut:
1) Dalam keadaan muwadha’ah (taljiah), yaitu kesepakatan
dua orang secara rahasia untuk mengumumkan apa yang
tidak sebenarnya. Hal ini ada tiga bentuk sebagai berikut:

12
Ibid, h. 50

10
a. Bersepakat secara rahasia sebelum melakukan akad,
bahwa mereka berdua akan melakukan jual beli atau
yang lainnya secara lahiriah saja untuk menimbulkan
sangkaan orang lain bahwa benda tersebut telah dijual,
misalnya menjual harta untuk menghindari penguasa
yang zalim atau penjualan harta untuk menghindari
pembayaran utang.
b. Mu’awadlah terhadap benda yang digunakan untuk
akad, misalnya dua orang bersepakat menyebut mahar
dalam jumlah yang besar dihadapan wali naib, wali
pengantin laki-laki dan wali pengantin Perempuan
sepakat untuk menyebut dalam jumlah yang besar,
sedangkan mereka sebenarnya telah sepakat pada
jumlah yang lebih kecil dari jumlah yang disebutkan
dihadapan naib, hal ini disebut juga mu’awadlah fi al-
balad
c. Mu’awadlah pada pelaku, ialah seseorang yang secara
lahiriah membeli sesuatu atas namanya sendiri, secara
bathiniah untuk keperluan orang lain. Misalnya,
seseorang membeli mobil atas Namanya, kemudian
diatur surat-surat dsn keperlusn-keperluan lainnya.
Setelah selesai semuanya, dia mengumumkan bahwa
akad yang telah ia lakukan sebenarnya untuk orang lai,
pembeli hanyalah merupakan wakil yang membeli
dengan sebenarny. Hal ini sama dengan wakalah
sirriyah (perwakilan rahasia).
2) Hazl ialah ucapan-ucapan yang dikatakan main-main,
mengolok-olok (istihza) yang tidak dikehendaki adanya
akibat hukum dari akad tersebut. Hazl berwujud beberapa
bentuk antara lain muwadha’ah yang terlebih dahulu

11
dijanjikan, seperti kesepakatan dua orang yang melakukan
akad bahwa akad itu hanya main-main, atau disebutkan
dalam akad seperti, seseorang berkata: “Buku ini pura-pura
saya jual kepada anda” atau dengan cara lain yang
menunjukkan adanya qarinah hazl.
Selain akad munjiz, mu’alaq, dan mudhaf macam-macam akad beraneka
ragam tergantung dari sudut tinjaunnya. Karena ada perbedaan-perbedaan
tinjauan, akad akan ditinjau dari segi-segi berikut13:

1. Ada dan tidaknya qismah pada akad, maka akad terbagi dua bagian:
a. Akad musammah, yaitu akad yang telah ditetapkan syara’ dan telah
ada hukum-hukumnya, seperti jual-beli, hibah, dan ijarah.
b. Akad ghairu musammah, yaitu akad yang belum ditetapkan oleh
syara’ dan belum ditetapkan hukum-hukumnya.
2. Disyari’atkan dan tidaknya akad, ditinjau dari segi ini akad terbagi
menjadi dua bagian:
a. Akad musyara’ah, yaitu akad-akad yang dibenarkan oleh syara’
seperti gadai dan jual-beli.
b. Akad mamnu’ah, yaitu akad-akad yang dilarang syara’, seperti
menjual anak Binatang dalam perut induknya.
3. Sah dan batalnya akad, ditinjau dari segi ini akad terbagi menjadi dua:
a. Akad shahihah, yaitu akad-akad yang mencukupi persyaratannya,
baik syarat yang khusus maupun syarat yang umum.
b. Akad fasihah, yaitu akad-akad yang cacat atau cedera karena kurang
salah satu syarat-syaratnya, baik syarat umum atau syarat khusus,
seperti nikah tanpa wali.
4. Sifat bendanya, ditinjau dari sifat ini benda akad terbagi menjadi dua:
a. Akad ‘ainiyah, yaitu akad yang disyaratkan dengan penyerahan
barang-barang seperti jual-beli.

13
Ibid. h.52

12
b. Akad ghairu ‘ainiyah, yaitu akad yang tidak disertai dengan
penyerahan barang-barang, karena tanpa penyerahan barang-barang
pun akad sudah berhasil, seperti akad Amanah.
5. Cara melakukannya, ditinjau dari segi ini akad dibagi menjadi dua bagian:
a. Akad yang harus dilaksanakan dengan upacara tertentu seperti akad
pernikahan dihadiri oleh dua saksi, wali, dan petugas pencatat nikah.
b. Akad ridha’iyah, yaitu akad-akad yang dilakukan tanpa upacara
tertentu dan terjadi karena keridhaan dua belah pihak, seperti akad
pada umumnya.
6. Berlaku dan tidaknya akad, dari segi ini akad dibagi menjadi dua bagian:
a. Akad nafidzah, yaitu akad yang bebas atau terlepas dari penghalang-
penghalang akad.
b. Akad mauqufah, yaitu akad-akad yang bertalian dengan persetujuan-
persetujuan, seperti akad fudhuli (akad yang berlaku setelah disetujui
pemilik harta)
7. Luzum dan dapat dibatalkannya, dari segi ini akad dapat dibagi empat:
a. Akad lazim yang menjadi hak kedua belah pihak yang tidak dapat
dipindahkan seperti akad kawin, manfaat perkawinan tidak bisa
dipindahkan kepada orang lain, seperti bersetubuh, tapi akad nikah
dapat diakhiri dengan cara yang dibenarkan syara’ seperti talak dan
khulu’.
b. Akad lazim yang menjadikan hak kedua belah pihak dan dapat
dipindahkan dan dirusakkan,seperti persetujuan jual beli dan akad-
akadnya.
c. Akad lazim yang menjadi hak salah satu pihak,seperti rahn,orang yang
menggadai sesuatu benda punya kebebasan kapan saja ia akan
melepaskan rahn atau menebus kembali barangnya.
d. Akad lazimah yang menjadi hak dua belah pihak tanpa menunggu
persetujuan salah satu pihak,seperti titipan boleh diminta oleh yang
menitipkan tanpa menunggu persetujuan yang menerima titipan atau

13
yang menerima titipan boleh mengembalikan barang yang dititipkan
kepada yang menitipkan tanpa menunggu persetujuan dari yang
dititipkan.
8. Tukar-menukar hak, dari segi ini akad dibagi tiga bagian:
a. Akad mu’awadlah, yaitu akad yang berlaku atas dasar timbal balik
seperti jual beli.
b. Akad tabarru’at, yaitu akad-akad yang berlaku atas dasar pemberian
dan pertolongan, seperti hibbah.
c. Akad yang tabarru’at pada awalnya dan menjadi akad mu’awadhah
pada akhirnya seperti qaradh dan kafalah.
9. Harus dibayar ganti dan tidaknya,dari segi ini akad dibagi menjadi tiga
bagian:
a. Akad dhaman, yaitu akad yang menjadi tanggung jawab pihak kedua
sesudah benda-benda itu diterima seperti qaradh.
b. Akad Amanah, yaitu tanggung jawab kerusakan oleh pemilik benda,
bukan oleh yang memegang barang,seperti titipan (ida’)
c. Akad yang dipengaruhi oleh beberapa unsur,salah satu segi merupakan
dhaman,menurut segi yang lain merupakan amanah,seperti rahn
(gadai)
10. Tujuan akad, dari segi tujuannya akad dapat dibagi menjadi lima
golongan:
a. Bertujuan tamlik (kepemilikan secara penuh), seperti jual beli.
b. Bertujuan untuk mengadakan usaha bersama (perkongsian) seperti
syirkah dan mudharabah.
c. Bertujuan tautsiq (memperkokoh kepercayaan) saja,seperti rahn dan
kafalah.
d. Bertujuan menyerahkan kekuasaan, seperti wakalah dan washiyah.
e. Bertujuan mengadakan pemeliharaan, seperti ida’ atau titipan.
11. Faur dan istimrar, dari segi ini dibagi menjadi dua bagian:

14
a. Akad fauriyah, yaitu akad-akad yang dalam pelaksanaanya tidak
memerlukan waktu yang lama, pelaksanaan akad hanya sebentar
saja,seperti jual beli.
b. Akad istimrar disebut pula akd zamaniyah, yaitu hukum akad terus
berjalan, seperti I’arah.
12. Asliyah dan thabi’iyah, dari segin ini akad dibagi menjadi dua bagian:
a. Akad asliyah, yaitu akad yang berdiri sendiri tanpa memerlukan
adanya sesuatu dari yang lain,seperti jual beli dan I’arah.
b. Akad thahi’iyah, yaitu akad yang membutuhkan adanya yang lain,
seperti adanya rahn tidak dilakukan bila tidak ada utang.

15
KESIMPULAN
Hukum perikatan ialah ketentuan-kententuan yang mengatur hak dan kewajiban
subjek hukum dalam tindakan hukum kekayaan. Hukum perdata eropa, termasuk
yang berlaku di Indonesia atau BW (Buergelijk wetboek) mengenal adanya perikatan
yang ditimbulkan karena undang-undang dan perikatan yang ditimbulkan karena
perjanjian.
Bentuk perjanjian dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu tertulis dan lisan.
Perjanjian tertulis adalah perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam bentuk
tertulis. Sedangkan perjanjian lisan adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh para
pihak yang berwujud lisan (kesepakatan para pihak). Kekuatan hukum kedua
perjanjian ini sesungguhnya tidak terletak pada bentuknya yaitu apakah tertulis atau
secara lisan.
Sedangkan dalam fiqih muamalah menyatakan pengertian kontrak perjanjian
masuk dalam bab pembahasan tentang akad.Pengertian akad secara linguistik
memiliki makna ar-rabthu yang berarti menghubungkan atau mengaitkan, mengikat,
antara beberapa ujung sesuatu. Para ulama mengatakan beberapa cara yang di tempuh
dalan akad selain secara lisan ada empat cara yaitu, dengan cara tulisan (kitabah),
Isyarat, Ta'athi (saling memberi), dan Lisan al-hal. Setelah di jelaskan macam-macam
akad seperti, Akad munjiz, akad mu' alaq, Akad mudhaf.

16
DAFTAR PUSTAKA

Djuaini Dimyauddin, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta : Pustaka


Pelajar,2008) h.47

Hernoko, Agus Yudha, 2011, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam


Kontrak Komersil, (Jakarta: Kencana) hal. 2

Muhammad Abdulkadir, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya


Bakti, 2014), h.289

Salim H.S, Hukum Kontrak dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar
Grafika,2010) h.43

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Intermasa, 2010), h.122

Suhendi Hendi, Fiqih Muamalah, (Depok : Rajawali pers) h. 52

Syaifuddin Muhammad, Hukum kontrak, (Bandung: CV. Mandar jaya) h. 146

Thorn, Jeremy G, 1995, Terampil Bernegosiasi , alih bahasa Edi Nugroho, (Jakarta:
Pustaka Binaman Pressindo), hal. 7

Margono surya parters. Kekuatan Hukum Perjanjian Lisan. Diakses


http://www.msplawfirm.co.id/kekuatan-hukum-perjanjian-lisan/ Pada
tanggal 10 oktober 2023 10:00

17

Anda mungkin juga menyukai