Anda di halaman 1dari 86

UNIVERSITAS INDONESIA

Perlindungan Terhadap Pihak Ketiga dan Tanggung Jawab Notaris


Atas Perbuatan Melawan Hukum Yang Dilakukan Para Pihak dan
Notaris Dalam Perjanjian Sewa Menyewa
(Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Nomor 59/PDT/2019/PT.BDG)

THESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister
Kenotariatan (M.Kn.)

WINDI ASTRIANA
1806158884

FAKULTAS HUKUM
PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN
DEPOK
JANUARI 2020
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Pada era ini kebutuhan manusia semakin meningkat, dalam mencapai kebutuhan
hidupnya, manusia memerlukan kerja sama1. Oleh karena itu antara manusia yang satu
dengan manusia yang lainnya saling membutuhkan. Kerja sama mengikatkan diri untuk
memenuhi kebutuhannya tercipta dalam bentuk perikatan berupa perjanjian.
Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain
atau dimana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal2. Akibat yang
timbul dari perjanjian ini adalah terbentuknya suatu hubungan antara orang-orang
tersebut yang dinamakan perikatan. Perikatan sendiri memiliki makna yaitu perikatan
adalah suatu hubungan hukum, yang artinya hubungan yang diatur dan diakui oleh
hukum. Hubungan hukum ini perlu dibedakan dengan hubungan-hubungan yang terjadi
dalam pergaulan hidup berdasarkan kesopanan, kepatutan dan akibat hukum. Jadi
hubungan yang berada di luar lingkungan hukum bukan merupakan perikatan 3. Maka
dengan adanya perikatan ini muncullah hubungan hukum yang nantinya akan membantu
manusia untuk memenuhi kebutuhannya.
Bentuk perjanjian sendiri memiliki berbagai macam bidang, salah satunya
didalam bidang keperdataan. Isi didalam perjanjian sendiri bisa bermacam-macam
tergantung dengan kesepakatan para pihaknya. Hukum perjanjian adalah bidang yang
dianggap paling penting dalam hukum perdata, karena ia paling banyak diperlukan
dalam lalu lintas hukum sehari-hari.4
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Hukum Perjanjian diatur dalam
Buku III, yang secara umum dirumuskan dalam Pasal 1313 Undang-Undang Hukum
1
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, cet. 8, (Jakarta : Balai
Pustaka, 1989), hal. 246

2
Wirjono Prodjodikor, Azaz-Azaz Hukum Perjanjian, cet. 8, (Bandung : Mandar Maju, 2000),
hal. 4.

3
R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, cet. 4 (Bandung : Binacipta, 1987), hal. 3.

4
Prof.R.Subekti S.H., Hukum Perjanjian, Cet.16 (Jakarta: PT Intermasa. 1996),hal.vi

1
Perdata yang didalamnya menyatakan bahwa “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan
dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.
Pada dasarnya manusia diberikan kebebasan dalam berkontrak, hal ini diatur
dalam Pasal 1338 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang memberikan
jaminan untuk manusia untuk memiliki kebebasan berkontrak dengan bentuk apapun.
Tetapi kebebasan ini juga harus memenuhi syarat sahnya perjanjian yang tercantum
dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu5:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.
Setelah adanya perjanjian, maka akan muncul perikatan. Perjanjian inilah yang
melahirkan perikatan terhadap pihak-pihak yang membuatnya seperti dalam Pasal 1233
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam membuat perjanjian agar menjadi suatu
hal yang otentik, diperlukan adanya pengesahan, terdapat profesi hukum yang memang
ditugaskan oleh negara untuk mengurusi hal tersebut yaitu pejabat umum yang disebut
sebagai notaris.
Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta
otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan untuk
dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan
aktanya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuat
akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada
pejabat atau orang lain.6 Walaupun menurut definisi tersebut ditegaskan bahwa notaris
itu adalah pejabat umum, Pejabat umum bukan pegawai menurut undang-undang atau
peraturan-peraturan kepegawaian negeri. Notaris tidak menerima gaji, tetapi menerima
berupa honorarium sebagai penghargaan atas jasa yang telah diberikan kepada
masyarakat.7

5
Kartini Mulyadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan yang lahir dari perjanjian, (Jakarta: PT.Raja
Grafindo Persada, 2003), hal.87.

6
Hajib Adjie, Hukum Notaris Indonesia, tafsir Tematik terhadap UU No. 30 Tahun 2004
Tentang Jabatan Notaris, (Bandung: Refika Adiatama, 2008), hlm 13

7
Komar Andasasmita, Notaris I, (Bandung: Sumur Bandung, 1983), hlm.45.

2
Notaris diangkat oleh penguasa Negara dan kepada Notaris diberikan kepercayaan
dan pengakuan dalam memberikan jasa bagi kepentingan masyarakat. Sebagai Notaris
harus memiliki kejujuran serta mempunyai pengetahuan dan kemampuan. Pemegang
jabatan notaris harus menjaga keluhuran martabat dari jabatannya dengan menghindari
pelanggaran dalam aturan dan tidak melakukan kesalahan profesi yang dapat
menyinggung nilai moral dan etik notaris, maka untuk menjalankan jabatan notaris yang
berupa pelayanan kepada masyarakat harus dilakukan secara mandiri dan tidak boleh
memihak serta dalam pengembanannya dihayati sebagai panggilan hidup bersumber
pada semangat pengabdian terhadap sesame manusia demi kepentingan umum serta
berakar dalam penghormatan terhadap martabat manusia pada umumnya dan martabat
notaris pada khususnya.8
Notaris memiliki perangkat peraturan yang mengikat dan mengatur setiap orang
yang memangku jabatan sebagai notaris, para notaris harus tunduk pada peraturan
tentang jabatan Notaris yaitu Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang perubahan
atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan notaris (selanjutnya dapat
disingkat UUJN) dan diatur juga dalam kode etik notaris.9
Pada perjanjian yang dibuat dalam bentuk akta autentik, notaris memiliki
kewenangan membuatnya. Salah satu perjanjian yang dibuat oleh notaris adalah
perjanjian sewa menyewa. Sewa menyewa ini muncul dengan latar belakang adanya
peningkatan kebutuhan manusia yang hampur tidak mungkin akan terpenuhi seluruhnya
oleh benda-benda yang menjadi miliknya sendiri, sedangkan disisi lain terdapat orang-
orang yang memiliki benda tetapi belum membutuhkan atau tidak mengetahui
bagaimana memanfaatkan kepemilikannya secara maksimal, maka dikarenakan manusia
merupakan makhluk sosial yang berinteraksi satu sama lain kemudian timbullah
interikasi antara manusia yang ingin memenuhi kebutuhan atas benda yang dimiliki oleh
manusia lain yang belum memanfaatkan kepemilikan bendanya, lalu pada saat itulah
muncul kemungkinan terjadinya perjanjian sewa menyewa antara pihak yang satu

8
Harlien Budiono, Notaris dan Kode Etiknya, Upgrading & refreshing Course Nasional Ikatan
Notaris , (Bandung : PT Citra Aditya Bakti), hlm 49.

9
Felly Fardina, “Persaingan Tidak Sehat Antar Rekan Notaris Sebagai Dampak Dari Penetapan
Tarif Jasa Notaris Dibawah Standar Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang
Jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris”, Tesis, Universitas Indoensia, 2011, hlm 1.

3
dengan pihak yang lain. Perjanjian sewa menyewa ini pada dasarnya berlaku seperti
perjanjian pada umumnya yaitu hanya mengikat pada para pihaknya, tetapi terdapat hal
yang sedikit berbeda dengan perjanjian lain yaitu karena praktek umum dilapangan
perjanjian sewa menyewa itu adalah perjanjian yang selalu menggunakan tenggat waktu
yang tidak dilakukan secara instan dan dalam hal berjalannya waktu perjanjian tersebut
banyak hal-hal yang mungkin akan terjadi kepada para pihaknya, maka biasanya
perjanjian sewa menyewa tersebut dapat turun mengikat kepada ahli warisnya
dikarenakan meninggalnya salah satu pihak dalam perjanjian atau pihak dalam
perjanjian menjadi tidak cakap. Hal-hal itu biasanya dituliskan dalam klausul akta
perjanjian sewa menyewa.
Dasar hukum yang berkaitan dengan Perjanjian Sewa Menyewa adalah pasal 1320
Kitab Undang-undang Hukum Perdata mengenai perjanjian dan pasal 1548-1600 dalam
Buku ke-3 bab ke-7 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Pengertian Perjanjian Sewa
Menyewa, dirumuskan dalam Pasal 1548 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu
Sewa Menyewa adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan
dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lainnya kenikmatan dari sesuatu barang,
selama suatu waktu tertentu dan pembayaran suatu harga, yang oleh pihak tersebut
belakangan ini disanggupi pembayarannya.10
‘Akta Perjanjian Sewa Menyewa harus dibuat secara seksama oleh Notaris, karena
dalam hal ini akta adalah suatu tulisan yang dibuat dengan sengaja untuk dijadikan bukti
tentang sesuatu peristiwa dan ditandatangani oleh pembuatnya. 11Kebutuhan atas bukti
ini merupakan hal yang penting di masyarakat. Akta notaris merupakan alat pembuktian
yang sempurna, terkuat dan dan penuh sehingga dapat dikatakan bahwa, selain dapat
menjamin kepastian hukum, akta notaris juga menghindari terjadinya sengketa dimasa
mendatang.’12

10
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), cet. XXVI
diterjemahkan oleh Subekti dan Tjitrosudibio, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1994), Ps.
1548
Suharjono, “Sekilas Tinjauan Akta Menurut Hukum,” Varia Peradilan Tahun
11

XI Nomor 123 (Juli – September 1995), hlm.128.


Tetanoe Bernada dan Siti Hajati Hoesin, “Akibat Hukum Kelalaian Notaris
12

Dalam Pembuatan Akta Perjanjian Sewa Menyewa (Studi Kasus Putusan Mahkamah
Agung Republik Indonesia Nomor 2750 K/Pdt/2018) (2019),hlm. 6.

4
Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa Akta notaris berupa akta autentik. Suatu
akta autentik, mempunyai kekuatan nilai pembuktikan lahiriah untuk membuktikan
keabsahannya, dengan demikian asalkan syarat autentik sudah terpenuhi sesuai hukum
maka akta tersebut berlaku sebagai akta autentiksampai terbukti sebaliknya, yang dapat
membuktikan bahwa akta yang menjadi objek gugatan tersebut bukanlah akta autentik
notaris.13 Akta notaris dapat digolongkan menjadi:14
1) Akta yang dibuat oleh Notaris karena kewenangannya sebagai pejabat
(ambtenaar) yang berisi keterangan dari notaris tentang hal-hal yang
dilihatnya/disaksikannya atau hal-hal yang diketahuinya berdasarkan keterangan
dan alat bukti yang ada, sehingga notaris dapat membuatpenetapan-penetapan
berdasarkan aturan hukum, misalnya: akta keterangan waris atau akta penetapan
waris, akta yang demikian disebut ambtelijk acte/ akta pejabat.
2) Akta yang dibuat oleh seseorang atau para pihak di hadapan notaris, akta yang
demikian ini disebut partij acte atau akta partai, misalnya: akta pernyataaan
kesaksian, akta pernyataan hal yang sebenarnya, akta perjanjian sewa menyewa,
akta perjanjian pemborongan, akta perjanjian kawin, dan lain-lain yang sifatnya
adalah keterangan dari penghadap yangingin dirumuskan dalam bentuk akta
notaris atau perjanjian/ kesepakatan yang dibuat oleh para pihak yang dimintakan
untuk dirumuskan menjadi sebuah akta notaris.

‘Terhadap suatu partij acte yang dibuat oleh notaris secara tidak patut maupun
tidak sesuai dengan undang-undang dan tidak sesuai dengan kesusilaan serta tidak
sesuai dengan ketertiban umum, maka akibat hukumnya yaitu dapat diminta untuk
15
dibatalkan atau batal demi hukum.’ Notaris memiliki tanggung jawab yang berat
dalam pembuatan aktanya. Sedangkan seiring dengan dinamika jaman, sering kali akta
notaris menimbulkan sengketa dikarenakan adanya kelalaian dalam pembuatannya,

13
Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik,
(Bandung: Refika Aditama, 2009), hlm.72-74.

14
Mustofa, Eksistensi Ambtelijk Acte Notaris Dalam Perspektif UUJN dan Pasal 1868
KUHPerdata, Makalah ini disampaikan pada Seminar Revitalisasi Organisasi “Dari Kita, Oleh Kita,
Untuk Kita”, Pengurus Daerah Ikatan Notaris Indonesia Kabupaten Bantul, di Hotel Ros InnBantul, 21
Desember 2016, hlm. 2-3.

15
Op.Cit, hlm.5

5
kemudian notaris yang membuat akta tersebut juga diikut sertakan sebagai pihak yang
tergugat dalam perkara-perkara.
Notaris dapat dibebani tanggung jawab atas perbuatannya dalam membuat akta
autentik yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau dilakukan secara
melawan hukum.16
Dalam hal terjadi perbuatan melawan hukum, notaris dapat dimintakan
pertanggungjawaban yang diukur sesuai dengan sifat pelanggaran serta akibat hukum
yang ditimbulkannya. Bentuk pertanggung jawaban notaris secara umum adalah dalam
bentuk pidana, administrasi dan perdata. Rosa Agustina menjelaskan bahwa, perbuatan
melawan hukum dapat dijumpai baik dalam ranah hukum pidana (publik) maupun
dalam ranah hukum perdata (privat). Sehingga dapat ditemui istilah melawan hukum
pidana begitupun melawan hukum perdata. Dalam konteks itu jika dibandingkan maka
kedua konsep melawan hukum tersebut memperlihatkan adanya persamaan dan
perbedaan.17 Munir Fuady juga menjelaskan bahwa, “perbuatan melawan hukum dalam
konteks hukum pidana dengan dalam konteks hukum perdata adalah lebih dititik
beratkan pada perbedaan sifat hukum pidana yang bersifat publik dan hukum perdata
yang bersifat privat. Sesuai dengan sifatnya yang bersifat publik, maka dengan
perbuatan pidana, ada kepentingan umum yang dilanggar (disamping mungkin juga
kepentingan individu), sedangkan dengan perbuatan melawan hukum dalam sifat hukum
perdata maka yang dilanggar hanya kepentingan pribadi saja.”18 Perbuatan melawan
hukum memiliki konsepa yang tidak hanya terbatas pada perbuatan melawan hukum
yang dilakukan oleh diri pribadinya, melainkan juga terhadap perbuatan yang dilakukan
oleh orang lain serta barang-barang yang berada dibawah penguasaannya sebagaimana
diatur Pasal 1367 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

16
Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perjanjian. (Bandung: Mandar
Maju, 2000) hlm. 9
17
Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, cet. 1 (Jakarta : Pascasarjana FH
Universitas Indonesia, 2003), hlm. 14.
18
Dr. Munir Fuady, S.H.,M.H.,LL.M, Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan
Kontemporer, cet. 5 (Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2005), hlm. 22.

6
Akta-akta yang dibuat oleh notaris yang tersangkut dalam perkara yang
dinyatakan sebagai perbuatan melawan hukum biasanya dinyatakan oleh Majelis Hakim
sebagai akta yang cacat hukum. Terhadap putusan tersebut biasanya juga muncul pihak
lain atau dapat kita sebut sebagai pihak ketiga yang merasakan dampak atas perbuatan
melawan hukum yang dilakukan oleh oknum-oknum. Posisi pihak ketiga dalam kasus-
kasus perbuatan melawan hukum biasanya terhitung lemah. Maka dari itu diperlukan
adanya perlindungan hukum yang nyata terhadap pihak ketiga yang tidak turut serta
menjadi pihak dalam pembuatan akta.
Didalam persidangan perkara perdata, Akta Notaris memiliki kekuatan
pembuktian yang sempurna dalam perkara perdata, tetapi dalam hal melanggar
ketentuan tertentu kekuatan dari akta notaris tersebut dapat terdegradasi nilai
pembuktiannya. Notaris yang terbukti melakukan kesalahan sehingga membuat aktanya
menjadi batal demi hukum atau cacat hukum akan menimbulkan kerugian-kerugian baik
bagi klien ataupun pihak lainnya seperti dijelaskan diatas. Oleh karena itu, notaris dapat
dibebankan pertanggungjawaban atas kesalahan tersebut.
Penulis dalam penelitian ini hendak membahas mengenai Putusan Pengadilan
Tinggi Bandung Nomor 59/PDT/2019/PT.BDG tertanggal 10 April 2019, bahwa pada
awalnya terdapat laporan pengaduan dari masyarakat yang disampaikan oleh H.
Gunawan, S.H.,M.M selaku Kuasa dari Ny. Hj. Veni Nurhayani tertanggal 29 Januari
2016 perihal laporan atau pengaduan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh:
1. Lili Kurniawan sebagai tergugat I pada persidangan di Pengadilan Negeri
Bale Bandung dan Pembanding I pada persidangan banding di Pengadilan
Tinggi Bandung.
2. PT. Dayamitra Telekomunikasi (Head Office) sebagai Tergugat II pada
persidangan di Pengadilan Negeri Bale Bandung dan Pembanding II pada
persidangan banding di Pengadilan Tinggi Bandung.
3. Ny. Lina Agustinawati, S.H.,M.Hum (Notaris) sebagai Tergugat III pada
persidangan di Pengadilan Negeri Bale Bandung dan Terbanding II pada
persidangan banding di Pengadilan Tinggi Bandung.
Bahwa pada awalnya Penggugat menyatakan bahwa pemilik dari ruko dengan
Sertifikat Hak Milik Sertifikat Hak Milik No. 1211/Desa Rancamanyar, S.U tanggal 17
Oktober 2012, No. 01037/2012, seluas 201 m2, tetapi dalam persidangan diketahui

7
bahwa Sertifikat Hak Milik tersebut tertulis atas nama anak-anak dari penggugat yang
bernama Nasser Korathe Mohammad, Cs. Sehingga dalam perkara ini Penggugat
merupakan perwakilan dari anak-anaknya, hal ini telah diterima oleh Majelis Hakim
karena dirasa masih dalam tingkat kewajaran dikarenakan anak-anak Penggugat masih
dibawah umur. Pada tahun 2014 waktu Penggugat dan Tergugat I melakukan Perjanjian
Kerjasama yang berlaku sejak tanggal 18 Agustus 2014 sampai dengan 18 Agustus
2015 yang pada intinya mereka bekerja sama secara bisnis yaitu Tergugat I membuka
toko furnitur yang keuntungannya akan dibagikan kepada Penggugat, tetapi kemudian
Tergugat I membuat Akta Surat Perjanjian Sewa Menyewa No. 09 tertanggal 11 Juni
2015 dengan Tergugat II yang dibuat dihadapan Tergugat III (Notaris). Penggugat tidak
pernah memberikan ijin mengenai hal ini, sehingga Penggugat merasa dirugikan.
Kemudian diketahui bahwa Tergugat II memutuskan untuk membuat Akta Perjanjian
Sewa Menyewa dihadapan Tergugat III dengan didasarkan pada dokumen-dokumen
yang ditunjukan oleh Tergugat I , salah satunya berupa Photocopy Sertfikat Hak Milik
No. 1211 tertanggal 12 Desember 2012 dan Surat ukur No. 01037/2012 tertanggal 17
Oktober 2012 tercatat atas nama Lili Kurniawan (Tergugat I) yang telah dilegalisir oleh
Notaris HD.
Pada persidangan di tingkat pertama dijelaskan bahwa Notaris/Tergugat III dalam
membuat Akta Surat Perjanjian Sewa Menyewa No. 09 tertanggal 11 Juni 2015 telah
mengecek dokumen berupa:
1) Photocopy Sertifikat Hak Milik Nomor : 1211;
2) Photocopy Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang pajak Bumi dan Bangunan
2014;;
3) Photocopy Akta Nomor 09 Perjanjian Sewa Menyewa tertanggal 11 Juni
2015;
4) Photocopy Ijin Mendirikan Banguan Nomor : 648/11/Kec/II/2013;
5) Photocopy Surat Persetujuan Keluarga;
6) Photocopy Kartu Tanda Penduduk atas nama Lili Kurniawan dan Siti
Aisyah;
7) Photocopy Kartu Keluarga atas nama Lili Kurniawan;
8) Photo copy Kutipan Akta Nikah Nomor : 1102.81.XII.2001;
9) Photocopy Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Tanah;

8
10) Photocopy Surat Pernyataan Tidak Sengketa dan Tidak Dalam Jaminan;
11) Photocopy Daftar hadir;
12) Photocopy Surat Persetujuan suai /isteri;
Notaris/Tergugat III menyatakan bahwa fotokopi tersebut telah dicocokan sesuai
dengan aslinya dan telah diberi materai cukup, tetapi khusus untuk Sertifikat Hak Milik
Nomor : 1211 atas nama Tergugat I tersebut berupa fotokopi yang telah dilegalisir oleh
Notaris lain berinisial HD.
Bahwa dalam persidangan di tingkat pertama Majelis Hakim memberikan putusan
pada pokok perkara berupa:
3) Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian ;
4) Menyatakan para Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum
(Onrechtmatige Daad);
5) Menyatakan Surat Perjanjian Sewa Menyewa Nomor 09, tanggal 11 Juni
2015 yang dibuat oleh dan dihadapan Tergugat I (Ny. Lina Agustinawati,
S.H., M.Hum.) cacat hukum dan karenanya tidak mempunyai kekuatan
hukum apapun;
Pada persidangan banding di Pengadilan Tinggi Bandung pun Majelis Hakim
menguatkan putusan Pengadilan Negeri Bale Bandung tersebut.
Bahwa melalui kasus ini dapat dilihat lebih lanjut mengenai bagaimana sebuah
perjanjian yang seharusnya hanya mengikat dan berdampak kepada para pihak yang
melakukan kesepakatannya saja tetapi pada akhirnya menimbulkan dampak juga
terhadap notaris sebagai pembuat akta perjanjian sewa menyewa dan terhadap pihak
Penggugat yang bahkan namanya tidak tertuang dalam akta perjanjian. Penelitian lebih
mendalam diperlukan untuk mengetahui bagaimana notaris seharusnya berlaku sehingga
tidak menimbulkan kesalahan yang nantinya akan merugikan dirinya dan para pihak
pembuat perjanjian serta bagaimana bentuk perbaikan atau tanggung jawabnya terhadap
pihak Penggugat yang disini diangap sebagai korban terkait dengan kerugian yang
ditanggungnya akibat akta perjanjian sewa menyewa tersebut.
Berdasarkan uraian tersebut, maka maka peneliti tertarik untuk meneliti suatu
penelitian yang berjudul: “Perlindungan Terhadap Pihak Ketiga dan Tanggung
Jawab Notaris Atas Perbuatan Melawan Hukum Yang Dilakukan Para Pihak dan

9
Notaris Dalam Perjanjian Sewa Menyewa (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi
Nomor 59/PDT/2019PT.BDG)”

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dipaparkan sebelumnya


maka Penulis memfokuskan penelitian pada pokok permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana bentuk dan substansi perbuatan melawan hukum yang dilakukan
oleh para pihak dan notaris yang bukan sebagai pihak dalam perjanjian sewa
menyewa terkait Putusan Pengadilan Tinggi Nomor 59/PDT/2019/PT.BDG?
2. Bagaimana bentuk perlindungan pihak ketiga dan tanggung jawab notaris atas
perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh notaris dan para pihak dalam
pembuatan akta perjanjian sewa menyewa ?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya, tujuan


penelitian ini adalah menganalisis permasalahan tersebut. tujuan penelitian dapat
dirumuskan menjadi tujuan umum dan tujuan khusus.
1. Tujuan Umum
Untuk mengidentifikasi pelanggaran yang dilakukan notaris dan para pihak
dalam pembuatan akta dan juga perlindungan para pihak dalam pembuatan Akta
Perjanjian Sewa Menyewa berkaitan dengan Putusan Pengadilan Tinggi Nomor
59/PDT/2019/PT.BDG.
2. Tujuan Khusus
a. Menganalisis bentuk perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh notaris
dan para pihak dalam pembuatan Perjanjian Sewa Menyewa yang
diputuskan cacat hukum oleh pengadilan.
b. Menganalisis perlindungan apa yang seharusnya diberikan kepada pihak
ketiga yang menjadi korban dan sejauh mana tanggung jawab yang harus
dilakukan oleh notaris atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan para
pihak dan notaris dalam Perjanjian Sewa Menyewa.

10
1.4. Manfaat Penelitian
Melalui pembahasan yang terdapat dalam tesis ini, diharapkan akan dapat
memberikan manfaat bagi perkembangan akta notaris dalam membuat perjanjian sewa
menyewa, baik secara teoritis dan praktis.
1. Manfaat Teoritis
Hasil dari penelitian ini diharapkan memberikan tambahan pada dunia
kepustakaan serta memberikan persprektif yang lebih luas dalam dunia ilmu
hukum (khususnya dalam hal perlindungan terhadap pihak ketiga dan tanggung
jawab notaris atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan para pihak dan
notaris dalam pembuatan Akta Perjanjian Sewa Menyewa)
2. Manfaat Praktis
Dengan dikemukakannya hasil dari penelitian ini, Notaris maupun masyarakat
pada umumnya mengetahui bahwa dalam melakukan pembuatan Akta Perjanjian
Sewa Menyewa harus dilakukan dengan seksama dan teliti. Notaris harus
menjalankan tanggung jawabnya dalam pembuatan akta sesuai dengan Undang-
Undang Jabatan Notaris maupun Kode Etik profesi notaris agar nantinya tidak
ada kesalahan yang merugikan bagi para pihak maupun notaris itu sendiri.

1.5. Definisi Operasional


Untuk dapat mencapai suatu pemikiran yang sama dalam penelitian ini
diperlukan adanya penyamaan pada persepsi dalam beberapa definisi, sehingga nantinya
konsep yang mendasari penelitian ini dapat terdeskripsikan. Adapun beberapa definisi
tersebut adalah:
1. Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik
dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini19.
2. Akta Autentik adalah suatu akta yang didalam bentuk untuk ditentukan oleh
undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang
berkuasa untuk itu ditempat dimana dibuatnya20.

19
Indonesia, Undang-Undang tentang Jabatan Notaris, UU. No. 30 Tahun 2004, LN No. 117,
TLN No. 4432, Pasal 1 angka 1.

11
3. ‘Perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan
diri terhadap satu orang atau lebih'.21
4. ‘Sewa Menyewa adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu
mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lainnya
kenikmatan dari sesuatu barang, selama suatu waktu tertentu dan pembayaran
suatu harga, yang oleh pihak tersebut belakangan ini disanggupi
pembayarannya.’22

1.6. Metode Penelitian


1.6.1. Bentuk Penelitian
Metode penelitian yang digunakan untuk penelitian ini adalah yuridis
normatif, yaitu penelitian mengacu pada norma hukum yang terdapat dalam
peraturan perundang-undangan serta norma-norma yang berlaku dan mengikat
masyarakat.23 Pada pembahasan ini, data yang didapatkan digunakan untuk
menemukan suatu dasar argumentasi untuk menganalisis suatu masalah
dikaitkan dengan ketentuan Undang-Undang nomor 30 Tahun 2004 jo Undang-
Undang nomor 2 tahun 2014 tentang Jabatan Notaris (UUJN) dan Kode Etik
Notaris yang dikeluarkan oleh Ikatan Notaris Indonesia (INI) serta peraturan-
peraturan lainnya yang akan dikaitkan dengan pokok-pokok penelitian ini.
Terkait tipologi penelitian yang akan digunakan dalam permasalahan
yang diteliti ini, digunakan penelitian deskriptif analitis yang bertujuan
memberikan gambaran secara tepat suatu masalah, dengan memusatkan
perhatian kepada masalah-masalah sebagaimana adanya saat penelitian berkaitan
dengan menelaah putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor:
59/PDT/2019/PT.BDG.

20
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek], diterjemah oleh R. Subekti dan
R tjitrosudibio, (Jakarta: Pradnya Paramita,2009), Ps.1868

21
Ibid, Ps. 1313.
22
IIbid.

23
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Peranan dan Penggunaan Kepustakaan di Dalam
Penelitian Hukum, (Jakarta: Pusat Dokumentasi UI, 1979), hlm. 18

12
1.6.2 Jenis Data
Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder
yang berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap notaris dan para pihak
dalam pembuatan Akta Perjanjian Sewa Menyewa yang diperoleh melalui studi
dokumen atau studi pustaka, yaitu:
1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat terdiri dari :
a. Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris;
b. Kode Etik Notaris Ikatan Notaris Indonesia;
c. Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor: 59/PDT/2019/PT.BDG.
d. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer, yang berasal dari kepustakaan yaitu berupa buku;
3. Bahan hukum tersier, yaitu Bahan-bahan hukum yang menunjang bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder yang lebih dikenal dengan nama
bahan acuan bidang hukum atau bahan rujukan bidang hukum, yaitu berupa
kamus hukum serta Kamus Besar Bahasa Indonesia.24
Untuk mendukung bahan-bahan sekunder di atas, penulis juga akan
menggunakan teknik pengumpulan data dari studi dokumen. Analisis yang dilakukan
dalam penelitian ini dilakukan dengan analisis kualitatif. Analisis data dalam penelitian
ini dilakukan dengan menggunakan klasifikasi data yang merupakan bahan-bahan
hukum tertulis yang berupa peraturan perundang-undangan dan literatur mengenai
ajaran-ajaran ahli hukum dikaitkan dengan pokok permasalahan dalam penelitian ini
agar jawaban-jawaban dari pokok permasalahan tersebut dapat ditemukan dan data
primer didukum oleh teknik wawancara dengan pihak yang bersangkutan.
Hasil dari penelitian ini berwujud deskriptif analisis yakni menggambarkan,
menjelaskan dan menganalisis peraturan perundang-undangan yang berlaku dikaitkan
dengan teori-teori hukum yang menyangkut pada pokok permasalahan yang akan
dikaji.25 Pada penyajian dari hasil penelitian ini nantinya akan menggambarkan
24
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, ed.
1, cet. 1 (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), hlm.33.

25
Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1988), hlm. 35.

13
peraturan perundang-undangan yang berlaku dikaitkan dengan teori-teori hukum
kemudian akan ditarik kesimpulan dari permasalahan yang dianalisa serta ditunjang
dengan studi kasus. Kemudian dari penelitian ini, dapat mengetahui potensi
permasalahan terkait dengan Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor:
59/PDT/2019/PT.BDG yang berkaitan dengan Perlindungan Terhadap Pihak Ketiga dan
Tanggung Jawab Notaris Atas Perbuatan Melawan Hukum Yang Dilakukan Para Pihak
dan Notaris Dalam Perjanjian Sewa Menyewa.

1.7. Sistematika Penulisan


Dalam penulisan hukum ini penulis menjabarkannya dengan sistematika
penulisan yang terdiri dari 5 (lima) bab, yaitu :
BAB 1
Bab ini memberikan keterangan dan penjelasan mengenai latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode
penelitian dan sistematika penulisan tesis. Pada bab ini akan dibahas dalam sub
sub bab nya mengenai:
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan Penelitian
1.4 Manfaat Penelitian
1.5 Definisi Operasional
1.6 Metode Penelitian
1.6.1 Bentuk Penelitian
1.6.2 Jenis Data
1.7 Sistematika Penulisan

BAB 2
TINJAUAN TERKAIT PERAN DAN TANGGUNG JAWAB NOTARIS
DALAM PEMBUATAN AKTA PERJANJIAN SEWA MENYEWA
Bab ini pada intinya akan menguraikan mengenai pengertian dan
pemahaman notaris dan bagaimana tugas notaris dalam membuat akta perjanjian
sewa menyewa . Yang didalamnya akan meliputi pembahasan mengenai

14
mengenai kajian teori notaris sebagai pejabat umum, definisi notaris, pengertian
jabatan notaris, kewajiban notaris, larangan, sanksi, tanggung jawab notaris dan
juga mengenai perjanjian sewa menyewa yang nantinya akan menjadi acuan
dibuatnya analisa pada Bab 4. Pada bab ini akan dibahas dalam sub sub bab nya
mengenai:
2.1 Pengertian Dan Pemahaman Notaris
2.1.1 Pengertian Notaris
2.1.2 Kewenangan Notaris
2.1.3 Kewajiban Notaris
2.1.4 Larangan Jabatan Notaris
2.2 Kewenangan Notaris Untuk Membuat Akta Autentik Terkait Perjanjian
2.2.1 Akta Autentik
2.2.2 Akta Perjanjian Sewa Menyewa
2.3 Tanggung Jawab Notaris Berdasarkan Peraturan Jabatan Notaris Terkait Akta
Yang Dibuatnya
2.4 Pemahaman Mengenai Sah Dan Mengikatnya Suatu Perjanjian Sewa
Menyewa Yang Dibuat Oleh Notaris

BAB 3
TINJAUAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM YANG DILAKUKAN
NOTARIS TERKAIT PEMBUATAN AKTA
Bab ini membahas mengenai pemahaman dan pengertian mengenai
perbuaan melawan hukum serta hal-hal yang mendasarinya, yang nantinya akan
menjadi acuan dibuatnya analisa pada bab 4.Pada bab ini akan dibahas dalam sub
sub bab nya mengenai:
3.1 Pemahaman Mengenai Perbuatan Melawan Hukum Yang Di Lakukan
Notaris Terkait Akta Yang Dibuatnya.
3.2 Unsur-Unsur Perbuatan Melawan Hukum
3.3 Syarat-Syarat Perbuatan Melawan Hukum
3.4 Syarat-Syarat Perbuatan Dapat Dikatakan Sebagai Perbuatan Melawan
Hukum

15
3.5 Syarat-Syarat Formil Untuk Dapat Menuntut Ganti Rugi Dalam Perbuatan
Melawan Hukum
3.6 Korban Yang Dilindungi Dalam Perbuatan Melawan Hukum

BAB 4
Bab ini membahas mengenai analisis “Perlindungan Terhadap Pihak
Ketiga dan Tanggung Jawab Notaris Atas Perbuatan Melawan Hukum Yang
Dilakukan Para Pihak dan Notaris Dalam Perjanjian Sewa Menyewa (Studi Kasus
Putusan Pengadilan Tinggi Nomor 59/PDT/2019PT.BDG)”. Bab ini berisikan
kasus posisi dan analisa mengenai pelanggaran hukum apa saja yang dilakukan
oleh notaris tersebut sehingga dibatalkannya akta perjanjian sewa meyewa oleh
Majelis Hakim, kemudian bentuk perlindungan apa saja yang dapat diberikan
kepada pihak ketiga yang tidak turut seta menjadi para pihak dalam akta, serta
sejauh mana dan bagaimana bentuk tanggung jawab notaris atas perbuatan
melawan hukum yang dilakukan oleh dirinya dan para pihak dalam pembuatan
akta perjanjian sewa menyewa yang dibuatnya bertanggung oleh notaris dalam
membuat akta perjanjian sewa menyewa terkait dengan Putusan Pengadilan
Tinggi Nomor 59/PDT/2019/PT.BDG. Pada bab ini akan dibahas dalam sub sub
bab nya mengenai:
4.1 Kasus Posisi Dari Putusan Pengadilan Tinggi Nomor 59/PDT/2019/PT.BDG
4.2 Pertimbangan Hakim Dan Amar Putusan Dalam Putusan Pengadilan Tinggi
Nomor 59/PDT/2019/PT.BDG
4.3 Bentuk Dan Substansi Perbuatan Melawan Hukum Yang Dilakukan Oleh
Para Pihak Dan Notaris Terkait Putusan Pengadilan Tinggi Nomor
59/PDT/2019/PT.BDG
4.4 Bentuk tanggung jawab Notaris dan Perlindungan Hukum bagi Pihak Ketiga
yang menjadi korban dari dibatalkannya Akta Perjanjian Sewa Menyewa
terkait Putusan Pengadilan Tinggi Nomor 59/PDT/2019/PT.BDG

16
BAB 5
Bab ini merupakan bab terakhir, penulis akan menguraikan penutup dari
keseluruhan penulisan tesis ini yang berisi tentang kesimpulan dari bab-bab
sebelumnya dan sekaligus merupakan jawaban atas permasalahan yang
dikemukakan pada rumusan masalah serta mengemukakan saran-saran yang
relevan dengan permasalahan yang penulis kemukakan pada Bab I. Pada bab ini
akan dibahas dalam sub sub bab nya mengenai:
5.1 Kesimpulan
5.2 Saran

17
BAB 2

TINJAUAN TERKAIT PERAN DAN TANGGUNG JAWAB NOTARIS DALAM


PEMBUATAN AKTA PERJANJIAN SEWA MENYEWA

2.1 Pengertian Dan Pemahaman Notaris


Seperti kita ketahui bahwa Notaris sangat diperlukan oleh masyarakat pada
masa ini seiring semakin meningkatnya kesadaran masyarakat untuk memiliki alat
bukti yang memiliki kekuatan pembuktian sempurna di persidangan apabila
terjadi suatu perkara. Notaris adalah suatu jabatan yang mulia, diberikan oleh
negara untuk melayani masyarakat dibidang hukum terutama dalam pembuatan
akta. Pengertian Notaris tertuang didalam Pasal 1 dan Pasal 15 Undang-Undang
Jabatan Notaris yaitu26:
‘Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk
membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan
penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang
berkepentingan, dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik,
menjamin grosse akta, salinan dan kutipannya, semua sepanjang
pembuatan akta sedemikian oleh suatu peraturan umum tidak juga
dikecualikan kepada pejabat atau orang lain yang ditetapkan oleh
undang-undang’
‘Berdasarkan pengertian dari Notaris diatas, disebutkan bahwa Notaris adalah
pejabat umum, maksudnya Notaris adalah organ negara yang dilengkapi dengan
kekuasaan umum, berwenang menjalankan kekuasaan negara untuk membuat alat
bukti tertulis dan otentik dalam lingkup hukum perdata. Organ yang dimaksud
dalam hal ini bukanlah organ pemerintah dan juga bukan merupakan pejabat tata
usaha negara.’
Salah satu tugas utama dari notaris adalah untuk memberikan pelayanan
kepada masyarakat terkait dengan pembuatan akta otentik sebagaimna dijelaskan
dalam Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang intinya
menjelaskan bahwa bentuk suatu akta otentik harus sesuai dengan ketentuan

26
Indonesia, Undang-Undang Jabatan Notaris, Pasal 1

18
undang-undang, serta dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang
dalam pembuatan akta tersebut.

2.2 Kewenangan Notaris dalam Pembuatan Akta Otentik


Notaris sebagai pejabat umum memiliki kewenangan yang berdasarkan hukum
administrasi wewenang dapat diperoleh secara:
1) Atribusi
Wewenang secara atribusi adalah pemberian wewenang baru kepada suatu
jabatan berdasarkan peraturan perundang-undangan atau aturan hukum.
2) Delegasi
Wewenang secara delegasi adalah pemindahan/pengalihan wewenang yang
ada berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan atau aturan jabatan
hukum. Pada delegasi terjadilah pelimpahan suatu wewenang yang telah ada
oleh Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara yang telah memperoleh suatu
wewenang pemerintahan secara atributif kepada Badan atau Jabatan Tata
Usaha Negara lainnya. Sebagai contoh, pelimpahan tanggung jawab dan
wewenang kepada anak buah atau rekan kerja. Delegasi memiliki 2 (dua)
unsur penting yaitu:
a. Tanggungjawab adalah kewajiban yang harus dilaksanakan;
b. Wewenang adalah kekuasaan untuk menunaikan kewajibannya.
3) Mandat
Wewenang secara mandat adalah dengan perintah atau arahan yang diberikan
oleh orang banyak (rakyat, perkumpulan, dan sebagainya) kepada seseorang
atau beberapa orang untuk dilaksanakan sesuai dengan kehendak orang
banyak.
‘Notaris merupakan suatu jabatan, dan pada setiap jabatan terdapat wewenang
yang menempel kepada jabatan tersebut. Setiap wewenang harus memiliki dasar
hukum, tidak muncul begitu saja sebagai hasil dari diskusi atau pembicaraan
sepintas ataupun karena pembahasan yang mengeluarkan pendapat-pendapat di
lembaga legislatif, tetapi wewenang itu harus dinyatakan dengan tegas dalam
peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Sehingga jika seorang pejabat

19
tersebut melakukan tindakan diluar kewenangannya dapat dinyatakan sebagai
perbuatan melawan hukum’.27
Pada Notaris wewenang sebagai pejabat umum meliputi 4 (empat) hal dibawah
ini, yaitu:
1) Notaris harus berwenang sepanjang menyangkut akta yang dibuatnya;
2) Notaris harus berwenang sepanjang mengenai orang-orang untuk kepentingan
siapa akta tersebut dibuat;
3) Notaris harus berwenang sepanjang mengenai tempat dimana akta tersebut
dibuat;
4) Notaris harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta tersebut;
Pasal 15 ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang
Jabatan Notaris mengatur mengenai kewenangan Notaris yang meliputi:
1) Notaris berwenang dalam membuat akta otentik mengenai semua perbuatan,
perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan
dan/ atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan
dalam akta otentik. Menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan
akta, memberikan grosse, Salinan dan kutipan akta, semua itu dapat dilakukan
sepanjang pembuatan akta tersebut tidak juga ditugaskan atau dikecualikan
kepada Pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.
(Pasal 15 ayat (1)).
2) Notaris berwenang pula:
a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat
dibawah tangan dengan mendaftar dalam bukti khusus;
b. Membukukan surat-surat dibawah tangan dengan mendaftar dalam buku
khusus;
c. Membuat kopi dari asli surat-surat dubawah tangan berupa Salinan yang
memuat uraian sebagaiaman ditulis dan digambarkan dalam surat yang
bersangkutan;
d. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;

27
R. Subekti dan R. Tjitrosoedibio, Kitab Undang-Undangan Hukum Perdata dengan
Tambahan Undang-Undang Pokok Agraria, Undang-Undang Perkawinan. Ed. II
(Jakarta: Pradnya Paramita,2001) hlm. 475.

20
e. Memberikan penyuluhan hukumsehubungan dengan pembuatan akta;
f. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau
g. Mebuat akta risalah lelang. (Pasal 15 ayat (2) ).
3) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), notaris
mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-
undangan. (Pasal 15 ayat (3) ).
Berdasarkan pasal mengenai kewenangan diatas, maka lebih lanjut
kewenangan tersbut dapat dipisah-pisahkan yaitu kewenangan umum notaris,
kewenangan khusus notaris dan kewenangan notaris yang akan ditentukan pada
kemudian hari berdasarkan undang-undang yang akan ada. Penjelasan mengenai
kewenangan umum dan kewenangan khusus adalah sebagai berikut:
1) Kewenangan Umum Notaris
Pengaturan mengenai kewenangan umum notaris tertulis dalam Pasal 15
ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris,
kewenangan itu meliputi: notaris berwenang dalam membuat akta otentik
mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh
peraturan perundang-undangan dan/atau akta yang dikehendaki oleh yang
berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik. Selain itu notaris juga
harus menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, melakukan penyimpanan
terhadap akta, memberikan grosse akta, salinan akta dan kutipan akta. Semua
itu dilakukan sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau
dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh
undang-undang.
Berdasarkan kewenangan dalam Pasal 15 UUJN dan kekuatan
pembuktian dari akta notaris, maka terdapat 2 (dua) kesimpulan:
a. Tugas notaris adalah dapat memformulasikan keinginan/tindakan para
pihak ke dalam akta otentuk dengan memperhatikan dan tidak melanggar
ketentuan yang berlaku.28
b. Akta otentik sebagai akta yang memiliki kekuatan hukum pembuktian
yang sempurna dan mengikat bagi para pihak, sehingga dalam
28
Habib Adji ,Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun
2004 Tentang Jabatan Notaris), hlm. 80.

21
pembuktiannya dapat berdiri sendiri dan tidak perlu mendapat bantuan
dan membuktikan akta tersebut tidak benar dengan akta otentik lainnya,
maka kadar pembuktian akta otentuk dapat berkurans sehingga perlu
mendapat bantuan alat bukti tambahan lainnya.
2) Kewenangan Khusus Notaris
Pengaturan mengenai kewenangan khusus notaris tertulis dalam
beberapa pasal di peraturan mengenai Jabatan Notaris, yaitu:
1) Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang
Jabatan Notaris, kewenangan khusus ini meliputi:
a. Mengesahkan tandatangan dan menetapkan kepastian tanggal pada
surat dengan mendaftarkan dalam buku khusus;
b. Membukukan surat-surat dibawah tangan dengan mendaftar dalam
buku khusus;
c. Membuat kopi dari asli surat-surat dibawah tangan berupa Salinan
yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam
surat yang bersangkutan;
d. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;
e. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan tugas notaris
dalam membuat akta;
f. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau
g. Membuat akta risalah lelang.
2) Kewenangan khusus selanjutnya tertuang dalam Pasal 16 ayat 3 (tiga)
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris, yaitu dalam
hal membuat akta in Originali dapat dibuat lebih dari 1 (satu) rangkap,
ditandatangani pada waktu, bentuk dan isi yang sama, dengan ketentuan
pada setiap akta tertulis kata-kata “berlaku sebagai satu dan satu berlaku
untuk semua” mengenai29:
a. Pembayaran yang sewa, bunga dan pension;
b. Penawaran pembayarana tunai;
29
M. Luthfan Hadi Darus, Hukum Notariat dan Tanggungjawab Jabatan Notaris,
(Yogyakarta: UII Press, 2017) hlm. 25.

22
c. Protes apabila terdapat surat berharga yang tidak dibayar atau tidak
diterima;
d. Akta kuasa;
e. Keterangan kepemilikan; atau
f. Akta lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan.
3) ‘Kewenangan khusus lainnya terdapat dalam Pasal 51 UUJN, yaitu notaris
berwenanga dalam melakukan pembetulan atas kesalahan tulisan, atau
kesalahan ketik yang terdapat dalam minuta akta yang ditandatangani, dengan
cara membuat berita acara pembetulan tersebut dan notaris wajib
menyampaikan kepada para pihak30.’
2.3. Kewajiban dan Larangan Notaris
2.3.1. Kewajiban Notaris
Berdasarkan Pasal 83 ayat (1) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004
tentang Notaris, Ikatan Notaris Indonesia (INI) pada Kongres Luar Biasa
di Bandung pada tanggal 27 Januari 2015, telah menetapkan Kewajiban
dalam kode etik yang terdapat dalam Pasal 3 Anggaran Dasar yaitu:
a. Memiliki moral, akhlak serta kepribadian yang baik;
b. Menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat Jabatan
Notaris, menjaga dan membela kehormatan Perkumpulan;
c. Bertindak jujur, mandiri, tidak berpihak, penuh rasa tanggung jawab,
berdasarkan peraturan perundang-undangan dan isi sumpah jabatan
Notaris.
d. Meningkatkan ilmu pengetahuan yang telah dimiliki tidak terbatas
pada ilmu pengetahuan hokum dan kenotariatan;
e. Mengutamakan pengabdian kepada kepentingan masyarakat dan
Negara;
f. Memberikan jasa pembuatan akta dan jasa kenotariatan lainnya
untuk masyarakat yang tidak mampu tanpa memungut honarium;
g. Menetapkan 1 (satu) kantor di tempat kedudukan dan kantor tersebut
merupakan satu-satunya kantor bagi Notaris yang bersangkutan
dalam melaksanakan tugas jabatan sehari-hari;
Adjie, Hukum Notaris Indonesia ( Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004
30

Tentang Jabatan Notaris), hlm. 82.

23
h. ‘Memasang 1 (satu) buah papan nama di depan/di lingkungan kantornya
dengan pilihan ukuran yaitu 100 cm x 40 cm, 150 cm x 60 cm atau 200
cm x 80 cm yang memuat:’
1) ‘Nama lengkap dan gelar yang sah;
2) Tanggal dan nomor Surat Keputusan pengangkatan yang terakhir
sebagai Notaris;
3) Tempat kedudukan;
4) Alamat kantor dan nomor telepon/fax. Dasar papan berwarna putih
dengan huruf berwarna hitam dan tulisan di papan nama harus jelas
dan mudah
dibaca. Kecuali di lingkungan kantor tersebut tidak memungkinkan
untuk pemasangan papan nama dimaksud.
i Hadir, mengikuti dan berpartisipasi aktif dalam setiap kegiatan yang
diselenggarakan oleh Perkumpulan; menghormati, mematuhi,
melaksanakan setiap dan seluruh keputusan Perkumpulan.
j Membayar uang iuran Perkumpulan secara tertib;
k Membayar uang duka untuk membantu ahli waris teman sejawat
yang meninggal dunia;
l Melaksanakan dan mematuhi semua ketentuan tentang honorarium
ditetapkan Perkumpulan;
m Menjalankan jabatan Notaris terutama dalam pembuatan, pembacaan
dan penandatanganan akta dilakukan di kantornya, kecuali karena
alasan-alasan yang sah;
n Menciptakan suasana kekeluargaan dan kebersamaan dalam
melaksanakan tugas jabatan dan kegiatan sehari-hari serta saling
memperlakukan rekan sejawat secara baik, saling menghormati,
saling menghargai, saling membantu serta selalu berusaha menjalin
komunikasi dan tali silaturahmi;
o Memperlakukan setiap klien yang dating dengan baik, tidak
membedakan status ekonomi dan/atau status sosialnya.

24
p Melakukan perbuatan-perbuatan yang secara umum disebut sebagai
kewajiban untuk ditaati dan dilaksanakan antara lain namun tidak
terbatas pada ketentuan yang tercantum dalam:
1) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris;
2) Penjelasan Pasal 19 ayat (2) Undang-undang Nomor 30 Tahun
2004 tentang Jabatan Notaris;
3) Isi sumpah Jabatan Notaris;
4) Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Ikatan Notaris
Indonesia’.
2.3.2 Larangan Jabatan Notaris
Mengenai larangan, selain diatur dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004,
dalam Kode Etik juga mengatur mengenai larangan yang dimana larangan tersebut
diatur dalam Kode Etik ini lebih terperinci dibandingkan larangan yang diatur dalam
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004. Dalam Kode Etik, larangan diatur dalam
Bab III Pasal 4 yakni:
a. Mempunyai lebih dari 1 (satu) kantor, baik kantor cabang ataupun kantor
perwakilan;
b. Mempunyai lebih dari 1 (satu) kantor, baik kantor cabang ataupun kantor
perwakilan;
c. Memasang papan nama dan/atau tulisan yang berbunyi “Notaris/Kantor Notaris”
di luar lingkungan kantor;
d. Melakukan publikasi atau promosi diri, baik sendiri maupun secara bersama-
sama, dengan mencnatumkan nama dan jabatannya, menggunakan sarana media
cetak dan/atau elektronik, dalam bentuk:
1) Iklan;
2) Ucapan selamat;
3) Ucapan terima kasih;
4) Kegiatan pemasaran
5) Kegiatan sponsor, baik dalam bidang sosial, keagamaan maupun olah raga;
e. Bekerja sama dengan Biro jasa/orang/Badan Hukum yang pada hakekatnya
bertindak sebagai perantara untuk mencari atau mendapatkan klien;

25
f. Menandatangani akta yang diproses pembuatan minutanya telah dipersiapkan
oleh pihak lain;
g. Mengirimkan minuta kepada klien untuk ditandatangani;
h. Berusaha atau berupaya dengan jalan apapun, agar seseorang berpindah dari
Notaris lain kepadanya, baik upaya itu ditujukan langsung kepada klien yang
bersangkutan maupun melalui perantara orang lain;
i. Melakukan pemaksaan kepada klien dengan cara menahan dokumen-dokumen
yang telah diserahkan adan/atau melakukan tekanan psikologis dengan maksud
agar klien tersebut tetap membuat akta padanya;
j. Melakukan usaha-usaha, baik langsung maupun tidak langsung yang menjurus
kea rah timbulnya persaingan yang tidak sehat dengan sesame rekan Notaris;
k.  Menetapkan honorarium yang harus dibayar oleh klien dalam jumlah yang lebih
rendah dari honorarium yang telah ditetapkan Perkumpulan;
l. Mempekerjakan dengan sengaja orang yangmasih berstatus karyawan kantor
Notaris lain tanpa persetujuan terlebih dahulu dari Notais yang bersangkutan;
m. Menjelekkan dan/atau mempersalahkan rekan Notaris atau akta yang dibuat
olehnya. Dalam hal seorang Notaris menghadapi dan/atau menemukan suatu akta
yang dibuat oleh rekan sejawat yang ternyata di dalamnya terdapat kesalahan-
kesalahan yang serius dan/atau membahayakan klien maka Notaris tersebut wajib
memberitahukan kepada rekan sejawat yang bersangkutan atas kesalahan yang
dibuatnya dengan cara yang tidak bersifat menggurui melainkan untuk mencegah
timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan terhadap klien yang bersangkutan
ataupun rekan sejawat tersebut;
n. Membentuk kelompok sesame rekan sejawat yang bersifat eksklusif dengan
tujuan untuk melayani kepentingan suatu instansi atau lembaga apalagi meutup
kemungkinan bagi Notaris lain untuk berpartisipasi;
o. Menggunakan dan mencantumkan gelar yang tidak sesuai dengan perturan
perundang-undangan yang berlaku;
p. Melakukan perbuatan-perbuatan lain yang secara umum disebut sebagai
pelanggaran terhadap Kode Etik Notaris, antara lain namun tidak terbatas pada
pelanggaran-pelanggaran terhadap:

26
1) Ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris;
2) Penjelasan Pasal 19 ayat (2) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris;
3) Isi sumpah jabatan Notaris;
4) Hal-hal yang menurut ketentuan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga
dan/atau keputusan-keputusan lain yang telah ditetapkan oleh organisasi
Ikatan Notaris Indonesia tidak boleh dilakukan oleh anggota.
Di atas telah dijelaskan mengenai larangan dari jabatan Notaris akan tetapi
larangan tersebut terdapat pengecualian yang diatur dalam Pasal 5 Kode Etik,
pengecualian tersebut adalah:
a. Memberikan ucapan selamat, ucapan berdukacita dengan mempergunakan
kartu ucapan, surat, karangan bunga ataupu media lainnya dengan tidak
mencantumkan Notaris tetapi hanya nama saja;
b. Pemuatan nama dan alamat Notaris dalam buku resmi oleh PT Telkom
dan/atau instansi-instansi dan/atau lembaga-lembaga resmi lainnya;
c. Memasang 1 (satu) tanda petunjuk jalan dengan ukuran tidak melebihi 20 cm
x 50 cm, dasar berwarna putih, huruf verwarna hitam, tanpa mencantumkan
nama Notaris serta dipasang dalam radius maksimum 100 meter dari kantor
Notaris.

2.4 Kewenangan Notaris Untuk Membuat Akta Autentik Terkait Perjanjian


2.4.1 Akta Otentik
‘Kewenangan Notaris yang paling utama adalah membuat akta. Akta
yang dibuat oleh notaris merupakan akta autentik yaitu akta yang dibuat oleh
atau dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam
Undang-Undang. Terdapat 2 (dua) jenis/ golongan akta Notaris, yaitu31:’

(1) Akta yang dibuat oleh (door) Notaris, biasanya disebut dengan Akta
Reelas atau Berita Acara
Dalam akta ini Notaris mencatatkan semua hal yang dilihat atau
didengar sendiri dari para pihak secara langsung.
31
Adjie, Hukum Notaris Indonesia ( Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004
Tentang Jabatan Notaris), hlm. 45.

27
(2) Akta yang dibuat dihadapan (ten overstain) Notaris, biasa disebut dengan
istilah Akta Pihak atau Akta Partij.
‘Dalam akta ini Notaris membuat dihadapan dan atas permintaan
para pihak, notaris berkewajiban untuk mendengarkan pernyataan atau
keterangan para pihak yang dinyatakan atau diterangkan sendiri oleh
para pihak dihadapan Notaris, dan nantinya pernyataan para pihak
tersebut oleh Notaris akan dituangkan ke dalam Akta Notaris. Dalam
proses pembuatan akta ini Notaris tidak hanya berwenang dalam
pembuatannya tetapi Notaris juga berwenang dalam memberikan
penyuluhan seperti yang tertuang dalam Pasal 15 ayat (2) huruf f UUJN
atau dapat berupa saran-saran hukum kepada para pihak tersebut. Setelah
penyuluhan atau saran-saran hukum terkait dengan pembuatan akta yang
dilakukan notaris, apabila para pihak telah menyetujuinya maka
penyuluhan atau saran-saran hukum tersebut harus dinilai sebagai
pernyataan atau keterangan dari para pihak sendiri. Pembuatan akta
notaris pun tidak dapat dilakukan secara sembarangan, harus atas
permintaan para pihak dan sesuai dengan bentuk yang telah ditetapkan
berdasarkan Pasal 38 UUJN dan tata caranya pun harus sesuai dengna
Pasal 39-53 UUJN. Asli akta Notaris itu disebut dengan Minuta Akta,
pengertian Minuta dalam hal ini adalah akta asli yang disimpan dalam
protokol Notaris. Didalam minuta akta ini tercantum:’
- Asli tandatangan;
- Paraf para penghadap atau cap jempol tangan kiri dan kanan para
saksi dan Notaris
- ‘Renvooi, yang berarti penunjukkan, ialah penunjukkan kepada
catatan di sisi akta dengan tambahan, coretan dan penggantian yang
disahkan.’32
- Bukti- bukti lain yang mendukung akta yang dilekatkan pada minuta
akta tersebut.
Penyimpanan akta Notaris dalam bentuk Minuta ini adalah wajib
dilakukan oleh Notaris, dengan cara diberi nomor bulanan dan
dimasukkan ke dalam buku daftar akta Notaris (Repertorium) serta diberi

R. soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia, Suatu Penjelasan, (Jakarta:


32

Rajawali, 1982) hlm. 175.

28
nomor Repertorium. Selain Minuta Akta dikenal pula akta Notaris dalam
bentuk In Originali atau Acte Brevet, artinya semua tandatangan, paraf
dan renvooi tercantum dalam akta, dan akta in Origiali hanya dibuat
sebanyak yang dibutuhkan misalnya kalau dibuat 5 (lima) rangkap, maka
memang hanya sejumlah itulah yang diberikan dan Notaris tidak wajib
untuk menyimpan akta yang berbentuk In Originali kedalam Bundel
Akta Notaris Bulanan, meskipun diberi nomor bulanan dan dimasukan
kedalam Buku Daftar Akta Notaris (Repertorium) serta diberi nomor
Repertorium. Berdasarkan Pasal 16 ayat (3) sampai dengan ayat (5)
UUJN, Akta dalam In Originali tidak dapat diberikan salinan atau
turunannya, tetapi secara imperative UUJN tidak melarang Notaris
apabila iningin mengarsipkan atau menyimpan Akta ini, nantinya hal ini
dapat memudahkan untuk pembuktian apabila jika akta In Originali
tersebut hilang.
‘Para pihak setelah membuat akta yang berupa Minuta Akta
dihadapan Notaris maka selanjutnya Notaris membuat Salinan Akta.
Salinan Akta adalah salinan kata demi kata dari seluruh akta dan pada
bagian bawah salinan akta tercantum frasa “diberikan sebagai salinan
yang sama bunyinya”. Salinan akta inilah yang nantinya diberikan
kepada para pihak yang ada didalam akta. Lain halnya dengan kutipan
akta, kutipan akta adalah kutipan kata demi kata dari satu atau beberapa
bagian dari akta dan pada bagian bawah kutipan akta tercantum frasa
“diberikan sebagai kutipan”. Kutipan akta ini disebut juga sebagai
turunan akta yang tidak lengkap33.’ ‘Pengutipan dalam kutipan akta harus
tetap menyertakan Kepala dan Penutup dari akta, termasuk semua
tangatangan dan pemberitahuan mengenai semua orang, jabatan dan
kedudukan mereka yang ikut bertindak dalam akta. Sepanjang mengenai
tandatangan ini terbatas pada tangan dari para penghadap yang bertindak
dalam soal yang menjadi pokok dari kutipan tersebut.’34

33
Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia, Suatu Penjelasan, hlm. 61.
34
G.H.S Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, (Jakarta: Erlangga, 1999)
hlm, 255.

29
Selanjutnya, notaris juga memiliki kewenangan dalam membuat
akta yang bersifat eksekutorial yaitu Groose Akta. Pengertian dari
Groose Akta adalah salah satu salinan akta untuk pengakuan utang
dengan kepala akta bertuliskan “DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Groose akta pengakuan hutang
ini dipersamakan dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap yang berkaitan dengan pengakuan hutang yang
dibuat dengan akta yang dibuat dihadapan Notais, dengan adanya akta ini
Kreditur tidak perlu melakukan gugatan kepada Debitur, tetapi cuku
menyodorkan Groose Aktanya dan Kreditur sudah cukup dianggap
sebagai orang yang memenangkan perkara tagihan yang tercantum pada
Groose Akta yang bersangkutan.35 Sebenarnya terdapat pemikiran
mengenai Groose Akta yang tidak hanya mengenai akta pengakuan
hutang saja, menurut Pitlo Notaris berwenang untuk memberikan Groose
dari aktanya. Groose dari akta Notaris mempunyai kekuatan eksekutorial
yang sama dengan Groose putusan hakim, sehingga tidak hanya tagihan
berupa uang yang dapat di eksekusi akan tetapi juga tuntutan
(vorderingen) lain, misalnya tuntutan untuk menyerahkan barang
bergerak. Tetapi dibahas lebih lanjut berdasarkan Pasal 55 ayat (2)
UUJN, Pengeluaran Groose Akta ini telah dibatasi yaitu hanya untuk
Groose Akta pengakuan hutang saja.
2.4.2 Alat Bukti
Bahwa dalam hal pembuktian di pengadilan pada Pasal 1866
KUHPerdata telah mengatur tentang alat-alat bukti yang dapat digunakan
dalam suatu perkara dari hal-hal sebagai berikut:
1) Bukti berupa tulisan;
2) Bukti dengan disertakan saksi-saksi;
3) Bukti Persangkaan-persangkaan;
4) Bukti Pengakuan; dan
5) Bukti Sumpah.

35
J. Satrio, Parate Eksekusi sebagai Sarana Mengatasi Kredit Macet, (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 1993) hlm. 9.

30
Berdasarkan penempatan atau hirarki pada pasal tersebut diatas, dapat
kita simpulkan bahwa Bukti berupa Tulisan merupakan alat bukti yang
utama.

2.5 Perbandingan antara Akta Otentik dan Akta di Bawah Tangan


‘Pada pasal 1867 KUHPerdata, dinyatakan bahwa “Pembuktian dengan tulisan
dilakukan dengan tulisan-tulisan otentik maupun dengan tulisan-tulisan dibawah
tangan”. Pemahaman lebih lanjut mengenai Pasal 1867 KUHPerdata tesebut dapat
disimpulkan bahwa terdapat 2 (dua) macam akta yaitu akta otentik dan akta dibawah
tangan. Bahwa salah satu cara agar kita dapat memahami mengenai akta otentik dan
akta dibawah tangan adalah dengan membandingkannya. Pada pasal 1868 dan Pasal
1869 KUHPerdata terdapat perbandingan atau perbedaan dari akta otentik dengan
akta dibawah tangan, yaitu36:’

Akta Otentik Akta Dibawah Tangan


Pengertian Akta otentik adalah suatu akta Akta Dibawah Tangan adalah
yang dibuat dalam bentuk suatu akta yang dibuat dibawah
yang sesuai dengan yang tangan dan tidak terikat dalam
ditentukan oleh Undang- bentuk yang formal
Undang
Pembuatan Harus dibuat dihadapan Dibuat secara bebas oleh setiap
pejabat umum yang subjek hukum yang
berwenang berkepentingan
Kekuatan Mempunyai kekuatan Hanya memiliki kekuatan
Pembuktian pembuktian yang sempurna, pembuktian yang sempurna
terutama dalam hal waktu, apabila tidak terdapat sangkalan
tanggal pembuatan, sisi terhadap tandatangan yang
perjanjian, penandatanganan, tercantum di aktanya.
tempat pembuatan dan dasar
hukumnya
Beban Apabila kebenarannya Harus dibuktikan kebenarannya

36
H.G. Rai Wijaya, Merancang Suatu Kontrak (Contract drafting Teori dan
Praktek), (Jakarta: Kesaint Blanc, 2002) hal. 12-18.

31
Pembuktian dibantah maka si penyangkal melalui pengakuan dan/atau saksi-
harus membuktikan ketidak saksi
benarannya

2.5.1 Kekuatan Pembuktian Akta Otentik


Bahwa G.H.S. Lumban Tobing menjelaskan, akta otentuk memiliki 3
(tiga kekuatan pembuktian, yaitu sebagai berikut:
1) Kekuatan pembuktian lahirian
‘Berdasarkan fisiknya, akta otentik berbentuk sedemikian rupa
sehingga terlihat jelas perbedaaannya dengan akta dibawah tangan.
Perbedaan bentuk nya dapat kita lihat melalui ciri-ciri fisik dari akta
tersebut yang menunjukkan sebagai akta otentik bukan akta dibawah
tangan, kecuali jika telah didapat bukti bahwa akta tesebut bukan akta
otentik. Kekuatan pembuktian secara lahiriah ini adalah kekuatan
pembuktian yang paling awal dari sebuah akta otentik, menitik beratkan
dari fisik akta itu sendiri’.
2) Kekuatan pembuktian formal
‘Kekuatan pembuktian formal dijamin kebenarannya oleh akta
otentik atas tanggal pembuatan, identitas orang-orang yang hadir sebagai
para pihak maupun sebagai saksi, tanda tangan yang terdapat didalam
akta tersebut, dan tempat dimana akta itu dibuat’.
3) Kekuatan pembuktian material
‘Pada akta otentik melekat kekuatan pembuktian material karena
pada setiap keterangan yang disampaikan oleh para pihak sekaligus
merupakan suatu pengakuan atas perbuatan, perjanjian atau penetapan
dihadapan pejabat umum, yaitu Notaris dengan disertai minimal 2 (dua)
orang saksi, yang memiliki kekuatan hukum. Pada persidangan di
pengadilan jika akta otentik tersebut dipergunakan sebagai batang bukti
maka hakim tidak diperkenankan untuk menuntut pembuktian lain yang
telah dijelaskan dalam akta tersebut. Pendapat Rai Wijaya juga makin
menjelaskan bahwa keistimewaan suatu akta otentik merupakan suatu
bukti yang sempurna mengenai apa yang dimuat didalamnya. Bahwa

32
engan demikian apabila seseorang telah mengajukan akta resmi (dalam
hal ini adalah akta otentik) kepada Hakim sebagai bukti, maka hakim
harus menerima an menganggap apa yang telah tertulis didalam akta
merupakan peristiwa yang memang benar dan sungguh-sungguh telah
terjadi dan hakim tidak diperkenankan memerintahkan penambahan
pembuktian.’37

2.5.2 ‘Otensitas akta yang dibuat oleh Notarsi bukan hanya semata-mata
disebabkan oleh status Notaris yang merupakan pejabat yang berwenang
untuk membuat akta tesebut, tetapi juga dikarenakan pada proses pembuatan
dan penanganan akta yang dibuat dilandasi oleh ketentuan-ketentuan yang
diatur didalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan
Notaris. Pada Pasal 41 UUJN yang memiliki sudut pandang otentisitas akta
Notaris menjelaskan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38, 39 dan 40 dapat mengakibatkan akta hanya
mempunyai pembuktian sebagai akta dibawah tangan 38. Pada pasal 39 UUJN
tersebut menyatakan:’
(1) Bahwa agar dapat bertindak sebagai Penghadap harus memenuhi syarat
sebagai berikut:
a. Telah berumu paling rendah 18 (delapan belas) tahun atau telah
berstatus menikah;
b. Memiliki kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum (cakap
hukum).
(2) ‘Penghadap tersebut hatus dikenal oleh Notaris atau diperkenalkan
kepadanya oleh 2 (dua) orang saksi pengenal yang berumur paling
rendah 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah dan memiliki
kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum, atau diperkenalkan oleh
2 (dua) penghadap lainnya;’

37
Wijaya, Merancang Suatu Kontrak (Contract drafting Teori dan Praktek), hal.
13.
Indonesia, Undang-Undang tentang Jabatan Notaris, UU No. 2 Tahun 2014
38

perubahan atas UU No. 30 Tahun 2004, LN No. 3, TLN No. 5491, Ps. 39.

33
(3) ‘pengenalan sebagaimana dimaksud pada poin 2 (dua) tersebut harus
dinyatakans secara tegas didalam Akta’.39
Ketentuan selanjutnya tertuang dalam Pasal 40 Undang-Undang Jabatan
Notaris, yaitu dijelaskan sebagai berikut:
(1) Pada saat pembacaan akta oleh Notaris harus dihadiri paling sedikit oleh
2 (dua) orang saksi, kecuali peraturan perundang-undangan menentukan
lain;
(2) Syarat-syarat seseorang dapat menjadi saksi dalam pembuatan akta
adalah sebagai berikut:
a. Paling rendah berumur 18 (delapan belas) tahun atau sebelumnya
telah berstatus menikah;
b. Memiliki kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum (cakap
hukum).
c. Mengerti bahasa yang dipergunakan didalam Akta yang dibuat;
d. Dapat membubuhkan tandatangan dan paraf; dan
e. Tidak memiliki hubungan perkawinan atau hubungan darah dalam
garis lurus keatas atau kebawah tanpa pembatasan derajat dan pada
garis kesamping sampai dengan derajat ketiga dengan Notaris dan
para pihak.
(3) Saksi didalam akta harus dikenal oleh Notaris atau diperkenalkan kepada
Notaris atau deiterangkan dengan identitas dan kewenangannya kepada
Notaris oleh Penghadap.
(4) Pengenalan saksi sebagaimana dimaksud pada poin 3 (tiga) tersebut
harus dinyatakans secara tegas didalam Akta
Ketentuan-ketentuan diatas harus dilaksanakan secara sempurna apabila
ingin memperleh otentisitas akta secara penuh, karena apabila terdapat kelalaian
maka akibatnya akan memperlemah kekuatan hukum dari akta yang dibuat
tersebut, dan akta itu akan setara dengan akta dibawah tangan sebagaimana
ketentuan dalam Pasal 41 Undang-Undang Jabatan Notaris.

39
Ibid.

34
Bahwa selanjutnya terkait dengan penulisan akta, terdapat ketentuan
yang tertuang dalam Pasal 42 sampai dengan Pasal 51 Undang-Undang Jabatan
Notaris yang pada intinya menjelaskan mengenai:
a) Pengaturan tentang penulisan yang meliputi ruang kosong, sisipan,
pencoretan dan pembetulan (terkait renvooi);
b) Penandatanganan akta memiliki ketentuan yaitu harus dijelaskan dalam akta
jika salah satu pihak tidak bersedia membubuhkan tandatangannya pada
akta;
c) Bahasa pada akta yang dipergunakan adalah Bahasa Indonesia, apabila para
penghadap bukanlah orang yang mengerti Bahasa Indonesia maka harus
diterjemahkan kedalam bahasa yang dimengerti oleh para penghadap, dan
jika akta ternyata harus dibuat dalam bahasa lain selain Bahasa Indonesia
maka harus diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia.
d) Terkait tentang kuasa, pada kuasa lisan dan kuasa otentik dijelaskan didalam
akta, sedangkan kuasa yang dibuat secara tertulis dibawah tangan dilekatkan
pada minuta akta.

2.5.3 Akta Perjanjian Sewa Menyewa

‘Perjanjian sewa menyewa merupakan salah satu perjanjian bernama


yaitu perjanjian yang diatur dan tercantum dama Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata. Perjanjian sewa menyewa berkaitan dengan beralihnya
penggunaan manfaar selama jangka waktu tertentu tanpa adanya peralihan
kepemilikan. Perjanjian sewa menyewa juga merupakan perjanjian timbal
balik yang mengacu pada asas konsensualitas atau dengan kata lain
perjanjian ini berdasarkan atas kesepakatan dari para pihak, dan merupakan
salah satu jenis perjanjian yang sering muncul dalam kehidupan di
masyarakat.’40

40
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perjanjian dan Perikatan, (Jakarta : Pradya Paramita,
1987), hal. 53.

35
2.6 Tanggungjawab Hukum Notaris terkait Pelanggaran Undang-Undang Jabatan
Notaris
Hans Kelsen memiliki suatu konsep yang menyatakan bahwa hal yang berkaitan
dengan kewajiban hukum adalah tanggungjawab hukum (liability). ‘seseorang
dikatakan secara hukum bertanggungjawab untuk suatu perbuatan tertentu, maksud
dari kalimat ini adalah seseorang tersebut dapat dikenakan suatu sanksi dalam kasus
perbuatan melawan hukum. Suatu perbuatan tertentu yang dapat dikenakan sanksi
adalah perbuatan yang dilakukannya sendir yang membuat dia harus
bertanggungjawab. Dalam hal ini subjek responsibility dan subjek kewajiban
hukum dianggap sama. Berdasarkan teori tradisional, terdapat 2 (dua) macam
pertanggungjaaban yang dibedakan, yaitu41:
1) Pertanggung jawaban berdasarkan kesalahan (based on fault);
2) Pertanggungjawaban mutlak (absolute respolnsibility).
Bahwa dapat kita lihat terdapat istilah hukum yang melekat dalam
pertanggungjawaban hukum ini, yaitu Liability dan Responsibility. Penjelasan
mengenai 2 (dua) istilah hukum itu antara lain sebagai berikut:

1) Liability, hampir semua karakter risiko atau tanggungjawab menggunakan


istilah hukum ini, karena Liability ini merupakan istilah hukum yang luas.
Karakter risiko atau tanggung jawab yang yang tercakup dalam istilah ini
adalah yang bergantung atau yang mungkin meliputi semua karakter hak dan
kewajiban secara actual atau potensial seperti halnya kerugian, ancaman,
kejahatan, biaya atau kondisi yang menciptakan tugas untuk melaksanakan
undang-undang.42 ‘Pengertian dan penggunaan secara praktis dari istilah
Liability ini menunjuk pada pertanggungjawaban hukum, yaitu berupa tanggung
gugat akibat kesalahan yang dilakukan oleh subyek hukum.’43
2) Responsibility, maksud dari istilah ini adalah hal yang dapat
dipertanggungjawabkan atas suatu kewajiban, dan termasuk didalamnya

41
Asshiddiqie, Jimly dan Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, cet. 2 (Jakarta:
Konstitusi Press (Konpres), 2012) hal. 61

Darus, Hukum Notariat dan Tanggungjawab Jabatan Notaris, hlm. 47.


42

Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara,( Jakarta: Raja Grafindo Persada,


43

2002) ,hlm. 336

36
putusan, keterampilan, kemampuan dan kecakapan meliputi juga kewajiban
bertanggungjawab atas undang-undang yang dilaksanakan.
‘Selanjutnya menurut Andi Hamzah menyatakan bahwa tanggungjawab adalah
kewajiban menanggung segala sesuatunya bila terjadi apa-apa boleh dituntut,
dipersalahkan dan diperkarakan.’ Pengertian dari tanggungjawab menurut kamus
hukum adalah suatu keharusan bagi seseorang untuk melaksanakan apa yang telah
diwajibkan kepadanya.’44

‘Tanggungjawab sendiri tidak hanya dibebankan kepada seseorang yang melakukan


perbuatan hukum, tetapi juga termasuk pemerintah terkait dengan pelaksanaan
kuasanya, setiap tindakannya, baik karena kesalahan atau tanpa kesalahan. Dari teori
hukum umum muncul wujud tanggungjawab hukum, yaitu berupa tanggungjawab
pidana, tanggungjawab perdata dan tanggungjawab administrasi.’45

‘Terkait tentang tanggungjawab yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini
pejabat yang melakukan kelalaian, menurut Kranenburg dan Vegting terdapat 2 (dua)
teori yang melandasinya yaitu’:

1) ‘Teori fautes personalles


Teori ini menyatakan bahwa kerugian yang diderita oleh pihak ketiga dibebankan
kepada pejabat yang karena tindakannya telah menimbulkan kerugian. Pembebanan
tanggungjawab sesuai teori ini adalah ditujukan pada manusia selaku pribadi;
2) Teori fautes de services
Teori ini menyatakan bahwa kerugian yang diderita oleh pihak ketiga dibebankan
pada instansi dari pejabat yang menimbulkan kerugian tersebut. Berdasarkan teori
ini, tanggungjawab dibebankan kepada jabatan. Penerapan dilapangannya dengan
menggunakan perhitungan atas kesalahan yang dilakukan, berat ringannya
kesalahan akan berimplikasi pada tanggungjawab yang harus ditanggung.’46

Pada jabatan Notaris terdapat tanggungjawab secara moral terhadap profesinya.


Notaris memiliki citi-nita dan nilai-nilai kebersamaan. Kelompok profesi memiliki
44
Andi Hamzah, Azas-Azas Hukum Pidana, ed. revisi (Jakarta: Rineka Cipta,
2008), hlm.
45
Fuady, Munir, Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer, hlm.
147.
46
HR, Hukum Administrasi Negara, hlm. 338

37
kekuasaan sendiri dan tanggungjawab secara khusus. Sebagai profesi, kelompok ini
mempunyai acuan yang disebut Kode Etik Profesi. 47 Notaris sendiri memiliki
tanggungjawab terhadap jabatannya yang harus dilakukan dengan sebaik mungkin
sesuai peraturan perundang-undangan. Pelanggaran terhadap jabatan notaris akan
menimbulkan pertanggungjawaban bagi si pengemban profesi tersebut.
Pertanggungjawabannya bisa secara administrasi maupun ganti kerugian secara perdata,
dapat pula bertanggung jawab secara pidana apabila melanggar Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata dalam melaksanakan tugas dan jabatannya.

‘Profesi notaris memerlukan tanggungjawab baik secara individual maupun secara


social terutama pada ketaatan terhadap norma-norma huku positif dan juga kesediaan
untuk tunduk pada kode etik profesi, bahkan merupakan suatu hal yang wajib sehingga
akan memperkuat norma hukum positif yang sudah ada.’ 48 Dasar dari memenuhi
pertanggungjawaban adalah adanya perbuatan berupa kesalahan yang dilakukan oleh
orang lain, sehingga pertanggungjawaban tidak akan terjadi tanpa diikuti oleh
perbuatan. Pertanggungjwaban juga memiliki prinsip-prinsip dalam pemenuhannya,
secara umum prinsip-prinsi tanggungjawab dalam hukum dapat dibedakan yaitu berupa:

1) Liability based on fault


Prinsip ini adalah prinsip tanggungjawab berdasarkan kesalahan, yaitu prinsip yang
menyatakan bahwa seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara
hukum jika ada unsur keslahan yang dilakukannya;
2) Presumption of liability
Prinsip ini adalah prinsip praduga untuk selalu bertanggungjawab, bahwa pada
prinsip ini seseorang yang dinyatakan sebagai tergugat selalu dianggap
bertanggungjawab sampai si tergugat dapat membuktikan bahwa dia tidak bersalah.
Terhadap prinsip ini beban pembuktian dibebankan pada tergugat;
3) Presumption of nonliability

E. Sumaryono, Sumaryono, E, Etika Profesi Hukum, Norma Bagi Penegak


47

Hukum (Yogyakarta: Kanisius, 1995) hlm.


48
Liliana Tedjosaputro, Etika Profesi dan Profesi Hukum, (Semarang: Aneka
Ilmu, 2003), hlm. 4

38
Prinsip ini adalah prinsi praduga untuk selalu bertanggungjawab , yaitu prinsip yang
merupakan kebalikan dari Presumprion of liability. Pada prinsip ini tergugat selalu
dianggap tidak bertanggungjawab sampai dibuktikan bahwa dia harus
bertanggungjawab atau dengan kata lain si tergugat memang pihak yang bersalah;

4) Strict liability
Prinsip ini adalah prinsip tanggungjawab mutlak yang didalamnya menetapkan
kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan, tetapi terdapat pengecualian-
pengecualian yang dimungkinkan untuk pembebasan dari tanggungjawab,
contohnya adalah pada keadaan force majeur;
5) Limitation of liability
Prinsip ini adalah prinsip tanggungjawab dengan pembatasan, yang dimaksudkan
pembatasan tanggungjawab disini adalah pelaku usaha tidak boleh secara sepihak
menentukan klausula yang merugikan konsumen, termasuk membatasi maksimal
dari tanggungjawabnya. Pembatasan dilakukan dengan didasari dan sesuai
peraturang perundang-undangan yang berlaku.49

Terdapat beberapa bentuk pertanggungjawaban notaris terkait dengan akta yang


dibuatnya apabila bertentangan dengan Undang-Undang Jabatan Notaris, yaitu:

1) Bentuk Pertanggungjawaban Administrasi Notaris


Notaris memiliki wewenang yang untuk menjalankan jabatannya tetapi harus
sesuia dengan batasan yang telah diatur dalam peraturan, yaitu menjalankan
jabatannya pada wilayah hukum yang telah ditentukan dan ditetapkan dalam
Undang-Undang Jabatan Notaris. Selama masih didalam wilayah hukumnya notaris
dapat melakukan segala bentuk perbuatan dalam menjalankan profesinya.
Berdasarkan hukum administrasi, kewenangan notaris itu berdasarkan Undang-
Undang Jabatan Notaris. Notaris tidak dapat mengabaikan ketentuan yang telah
diatur didalam Undang-Undang Jabatan Notaris, karena apabila notaris melanggar
ketentuan tersebut maka akta yang dibuat oleh notaris dapat menjadi akta dibawah

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta: PT. Grasindo,


49

2000), hlm. 58.

39
tangan dan akta tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum. Wewenang yang
dimiliki oleh notaris meliputi 4 (empat) hal yaitu sebagai berikut:
(1) Notaris harus bewenang sepanjang menyangkut akta yang dibuatnya;
(2) Notaris harus berwenang sepanjang mengenai orang-orang, untuk kepentingan
siapa akta itu dibuat;
(3) Notaris harus berwenang sepanjang mengenai tempat, dimana akta itu dibuat;
(4) Notaris harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta tersebut.50

Wewenang yang dimiliki oleh notaris tidak dapat disalahgunakan. Moral yang
tinggi harus dimiliki oleh notaris agar taat terhadap peraturan jabatan notaris dan
kode etik profesi. Wewenang telah diberikan oleh pemerintah kepada organ/lembaga
dengan tujuan tertentu. Jika terjadi penyimpangan tujuan atas wewenang tersebut
maka dianggap sebagai penyalahgunaan wewenang. Notaris hanrus
bertanggungjawab apabila dia melakukan penyalahgunaan wewenang yang telah
diberikan oleh pemerintah, terutama dalam hal pembuatan akta otentik.
Tanggungjawab notaris secara administrasi dapat dilihat dari Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris sebagaimana diubah dengan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris. Tanggungjawab
administrasi notaris ini muncul saat kewajiban-kewajiban notaris tidak dijalankan
sebagaimana mestinya.

‘Setiap pemangku jabatan atau pejabat dalam menjalankan jabatannya selalu


disertai dengan tanggungjawab, hal ini sesuai dengan prinsip “tidak ada kewenangan
tanpa pertanggungjawaban”. Wewenang itu melekat pada jabatan namun dalam
implementasinya wewenang itu dijalankan oleh manusia selaku wakul atau
fungsionaris jabatan, maka apabila terjadi pelanggaran, hal itu harus diselidiki
secara kasusistik apakah tanggungjawab itu harus dikenakan sesuai tanggungjawab
jabatan atau tanggungjawab pribadi maupun tanggung gugat pribadi.51 Seorang
pejabat yang melaksanakan tugas dan kewenangannya akan dibebani tanggungjawab
pribadi jika ia melakukan tindakan maladministrasi.’52
50
G.H.S Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, (Jakarta: Erlangga, 1999)
hlm.
51
Julista Mustamu, Op., Cit. halaman 7
52
Ibid

40
Pertanggungjawaban notaris secara administrasi dilakukan dengan cara
dimintakan melalui lembaga notaris atau organisasi notaris, sedangkan
pertanggungjaaban pidana dan perdata harus dilakukan melalui pengadilan.’
Walaupun demikian, pengadilan melalui amar putusannya dpat meneruskan kepada
organisasi notaris untuk menindaklanjuti putusan yang telah dikeluarkan oleh
pengadilan. Sehingga apabila dalam putusan pengadilan menyatakan seorang notaris
terbukti bersalah, maka putusan tersebut dapat dijadikan dasar oleh organisasi notais
untuk meminta pertanggungjawaban notaris secara administrasi walaupun notaris
sudah dijatuhi hukuman untuk bertanggungjawab secara perdata atau pidana.’Akta
notaris dikualifikasikan telah melanggar syarat administrasi apabila dalam proses
pembuatan aktanya tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 38, 39, dan 40 Undang-
Undang Jabatan Notaris. Bahwa sanksi administratif bagi notaris yang telah
melakukan perbuatan-perbuatan lain yang secara umum diatur dalam Pasal 4 Kode
Etik Notaris disebut pelanggaran terhadap:

1) Ketentuan-ketentuan dalam UUJN;


2) Penjelasan Pasal 19 ayat (2) UUJN;
3) Isi sumpah Jabatan Notaris;
4) Hal-hal yang menurut ketentuan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga,
dan/atau;
5) Keputusan-keputusan lain yang telah ditetapkan oleh Organisasi Ikatan Notaris
Indonesia tidak boleh dilakukan oleh anggota.

Bahwa berdasarkan Undang-Undang Jabatan Notaris sanksi administratif bagi


notaris terdiri dari 5 (lima) sanksi, yaitu:

1) Teguran lisan;
2) Teguran tertulis;
3) Pemberhentian sementara;
4) Pemberhentian dengan hormat atau;
5) Pemberhentian tidak hormat.
Sanksi secara kumulatif juga dapat dibebankan pada notaris apabila kesalahan
administrasi yang telah dilakukan menimbulkan kerugian bagi oara pihak yang

41
menghadap, pertanggungjawaban dari sanksi kumulatif itu dapat berupa
pertanggungjawaban administrasi (teguran lisan, teguran tertulis, pemberhentian
sementara, pemberhentian dengan hormat, atau pemberhentian dengan tidak hormat)
berbarengan sekaligus juga dibebankan pertanggungjawaban perdata (ganti
kerugian, bunga dan biaya lainnya). Notaris diberikan kewajiban untuk mengikuti
aturan dalam pembuatan akta otentik.‘Pada penjelasan pada pasal 16 UUJN,
kewajiban notaris yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah untuk menjaga
keontetikan suatu akta dengan menyimpan bentuk aslinya. Penyimpanan akta
tesebut dimaksudkan agar apabila ada pemalsuan atau penyalahgunaan grosse,
salinan, atau kutipannya dapat segera diketahui dengan mudah, dengan cara
mencocokannya dengan yang asli.’

Pertanggungjawaban hukum secara administrasi bagi notaris yang melanggar


UUJN ini juga diikuti dengan pembinaan lebih lanjut oleh Majelis Pengawas Notaris
terhadap notaris yang melanggar undang-undang jabatan tersebut dengan tujuan
supaya notaris yang bersangkutan tidak mengulangi perbuatannya lagi dan agar
tugas notaris selalu sesuai dengan kaidah hukum yang mendasari kewenangannya
serta kedepannya notaris dapat terhindar dari penyalahgunaan wewenang.

2) Pertanggungjawaban Perdata Notaris


Notaris yang melakukan suatu perbuatan diluar wewenang yang telah
ditentukan untuknya akan mengakibatkan akta notaris tersebut tidak mengikat secar
53
hukum atau tidak dapat dilaksanakan (nonexecutable). kemudian bagi para pihak
yang merasa dirugikan dapat menggugat notaris secara perdata ke pengadilan negeri
atau pengadilan agama.
‘Pertanggungjawaban muncul dari undang-undang (sebagai perbuatan
melawan hukum) maupun dari perjanjian-perjanjian, sebagaimana juga dengan
KUHPerdata di negara-negara lain dalam system hukum Eropa Kontinental.
Didalam KUHPerdata terdapat model tanggungjawab hukum yang muncul akibat
perbuatan melawan hukum, yaitu:
a. Pada Pasal 1365 KUHPerdata: Tanggungjawab dengan unsur kesalahan
(kesengajaan dan kelalaian);

53
Darus, Hukum Notariat dan Tanggungjawab Jabatan Notaris, hal. 64.

42
b. Pada Pasal 1366 KUHPerdata: Tanggungjawab dengan unsur kesalahan,
khususnya unsur kelalaian;
c. Pada Pasal 1367 KUHPerdata: Tanggungjawab mutlak (tanpa kesalahan) dalam
arti yang sangat terbatas.
Pada perkara perdata, pertangggungjawaban perdata sangat erat kaitannya dengan
perbuatan melawan hukum dan penggantian kerugian. Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata mengatur tentang kerugian dang anti rugi dalam hubungannya
dengan perbuatan melawan hukum dengan 2 (dua) pendekatan sebagai berikut:

a. Ganti rugi umum (KUHPerdata Pasal 1234 sampai dengan Pasal 1252)
Ini adalah ganti rugi yang berlaku pada semua kasus, baik itu merupakan
kasus wanprestasi kontrak maupun kasus-kasus mengenai perikatan lainnya,
termasuk kasus perbuatan melawan hukum.54 Pada notaris, pelanggaran
terhadap Pasal 16 ayat (1) huruf j sering dijadikan alasan bagi pihak penggugat
untuk menuntut biaya ganti rugi dan bunga kepada notaris. Kemudian
dijelaskan mengenai syarat yang harus dipenuhi agar kekuatan pembuktian akta
tidak berubah menjadi akta dibawah tangan adalah harus mengikuti Pasal 16
ayat (9) dengan merujuk pada Pasal 16 ayat (1) huruf (m). Pada saat notaris
terbukti melanggar ketentuan hukum tersebut, notaris tersebut tidak hanya
melanggar sumpah jabatannya tetapi dengan sengaja dikategorikan sebagai
orang uang membuat akta palsu atau menempatkan keterangan palsu, dan juga
merusak martabat notaris serta kepercayaan masyarakat pada jabatan notaris.
b. Ganti rugi khusus
Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ganti rugi khusus
adalah ganti rugi khusus terhadap kerugian yang timbul dari perikatan-perikatan
tertentu, yang kerugiannya diluar dari kerugian umum. Didalam KUHPerdata
ganti rugi yang disebabkan perbuatan melawan hukum, menyebutkan ganti rugi
hukum selain ganti rugi umum yaitu pemberian ganti rugi terhadap hal-hal
sebagai berikut:
1) Pasal 1365 KUHPerdata : ganti rugi untuk semua perbuatan melawan
hukum

54
Fuady, Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer, hal. 136.

43
2) Pasal 1366 dan 1367 KUHPerdata : ganti rugi untuk perbuatan yang
diperbuat oleh orang lain
3) Pasal 1368 KUHPerdata: ganti rugi untuk pemilik binatang
4) Pasal 1369 KUHPerdata: ganti rugi untuk pemilik gedung/bangunan yang
ambruk
5) Pasal 1370 KUHPerdata : ganti rugi untuk keluarga yang ditinggalkan oleh
orang yang dibunuh
6) Pasal 1371 KUHPerdata: ganti rugi karena orang terluka tau cacat anggota
badan
7) Pasal 1372 sampai dengan Pasal 1380 KUHPerdata: ganti rugi karena
tindakan penghinaan.55
Pada prakteknya, bentuk ganti rugi yang disebabkan oleh perbuatan melawan
hukum yang dikenal oleh hukum adalah:

3) Ganti rugi nominal


Ganti rugi diberikan kepada korban berupa sejumlah uang tertentu sesuai
dengan rasa keadilan dengan tanpa menghitung seberapa sebenarnya kerugian
yang diderita. Hal ini bisa dilakukan apabila perbuatan melawan hukum yang
dilakukan adalaha yang serius, seperti contohnya perbuatan itu mengandung
unsur kesengajaan, tetapi tidak menimbulkan kerugian yang nyata bagi
korbannya.
4) Ganti rugi kompensasi (compensatory damages)
Ganti rugi atas perbuatan melawan hukum berupa pembayaran pada korban
sesuai dengan jumlah kerugian yang benar-benar dialami oleh korban atau
dengan kata lain ganti rugi ini benar benar ganti rugi actual.
5) Ganti rugi penghukuman (punitive damage)
Ganti rugi atas perbuatan melawan hukum yang jumlahnya terhitung besar
melebihi dari jumlah kerugian yang sebenarnya. Penerapan ganti rugi
penghukuman ini dilakukan pada kasus-kasus dengan kesengajaan yang berat
atau sadis, sehingga besarnya jumlah ganti rugi tersebut dimaksudkan sebagai
hukum bagi si pelaku.56

55
Ibid, hal. 137.
56
Ibid, hlm. 134-135.

44
Perbuatan melawan hukum banyak terjadi karena kesengajaan atau juga sering
ditemukan penyebabnya hanya karena kelalaian. Dalam hal ini kehati-hatian sangatlah
penting dalam segala perbuatan, terutama untuk notaris sebagai pejabat yang berwenang
untuk membuat akta otentik, prinsip kehati-hatian harus selalu diterapkan untuk
menghindari kelalaian. Ketika notaris dalam satu waktu lalai dan kelalaiannya itu
melanggar peraturan perundang-undangan maka notaris tersebut dibebankan
tanggungjawab atas kelalaiannya.

Pertanggungjawaban notaris atas perbuatan melawan hukum dalam kategori perdata


harus benar-benar dilakukan apabila menimbulkan kerugian bagi para pihak, maka
notaris harus mengganti kerugian dengan biaya yang timbul akibat perbuatan melawan
hukum tersebut. Notaris dapat dimintakan pertanggungjawaban dengan merujuk pada
pasal 60 Peraturan Jabatan Notaris dan Pasal 84 Undang-Undang Jabatan Notaris
berkaitan dengan harus terpenuhinya aspek formal akta notaris, yaitu mengenai:

1) Kepastian hari, tanggal, bulan, tahun dan pukul menghadap;


2) Pihak (siapa) yang menghadapi notaris;
3) Tandatangan yang menghadap;
4) Salinan akta tidak sesuai dengan minuta akta;
5) Salinan akta ada, tanpa dibuat minuta akta;
6) Minuta akta tidak ditandatangani secara lengkap tapi minuta akta dikeluarkan.57

‘Setiap akta yang dibuat oleh notaris haruslah dinilai apa adanya, dan setiap orang
harus dinilai benar berkata seperti yang tertuang dalam akta notaris tersebut. Notaris
tidak wajib menyelidiki secara materil hal-hal yang dikemukakan para penghadap
notaris.’ Pada akta yang pembuktiannya menjadi akta dibawah tangan atau suatu akta
menjadi batal demi hukum, hal itu dapat dijadikan alasan bagi pihak yang menderita
kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi dan bunga kepada notaris. 58
Apabila notaris tidak menjalankan tanggungjawab perdatanya terkait dengan kerugian
maka notaris tersebut dapat dinyatakan Pailit.59’ Dengan dasar ini notaris dapat

57
Adjie, Hukum Notaris Indonesia ( Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun
2004 Tentang Jabatan Notaris), hlm. 104.
58
Indonesia, Undang-Undang tentang Jabatan Notaris, Ps. 84.
59
Ibid, Pasal 9.

45
diberhentikan sementara waktu, hal ini merujuk juga pada pasal 9 Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris sebgauimana yang telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris yang didalamnya berisi
penjelasan yang pada intinya notaris dapat diberhentikan sementara dari jabatannya
karena’:

a. Sedang dalam proses pailit atau penundaan kewajiban pembayaran utang;


b. Berada dibawah pengampuan;
c. Melakukan perbuatan tercela;
d. Melakukan pelanggaran terhadap kewajiban dan lawangan jabatan;
e. Sedang menjalani masa penahanan.

3) Pertanggungjawaban Pidana Notaris


Orang yang telah melakukan tindak pidana belum tentu orang tersebut dapat dijatuhi
hukuman pidana atau dengan kata lain dipidanakan. Dipidana nya seseorang harus
melihat terlebih dahulu terhadap 2 (dua) hal, yaitu:
a. Apakah perbuatan terdakwa merupakan tindak pidana atau bukan?;
b. Apakah perbuatan terdakwa dapat dipertanggungjawabkan atau tidak?;
Dalam hal menentukan seseoarang melakukan tindak pidana digunakan asas
legalitas, kemudian dalam hal pertanggungjawaban pidana digunakan asas kesalahan.
Pada notaris, bentuk pertanggungjawaban dalam bidang hukum pidana pada praktek
umumnya meliputi 3 (tiga) bentuk tanggungjawab, yaitu:

(1) Selaku tersangka, terdakwa, dan terpidana;


(2) Selaku saksi;
(3) Sebagai tenaga ahli dalam hal memberikan keterangan dan penjelasan di siding
pengadilan.

Tindak pidana yang sering dilakukan oleh notaris dalam menjalankan jabatannya, antara
lain sebaga berikut:

Tindak Pidana Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Pemalsuan Surat Pasal 263 ayat (1), (2)

46
Pasal 264

Pasal 266

Penggelapan Pasal 327

Penipuan Pasal 378

Tindak pidana yang disebutkan dalam tabel diatas berkaitan dengan beberapa aspek,
yaitu:

(1) Kepastian hari, tanggal, bulan, tahun dan pukul penghadap;


(2) Pengenalan pihak yang menghadap notaris;
(3) Tandatangan penghadap;
(4) Salinan akta tidak sesuai dengan minuta;
(5) Adanya salinan akta tanpa dibuatnya minuta akta;
(6) Minuta akta tidak ditandatangani secara lengkap, tetapi minuta akta dikeluarkan.60

Pemanggilan terhadap notaris untuk proses peradilan harus dengan persetujuan dari
Majelis Kehormatan Notaris kepada penyidik, penuntut umum, atau hakim, serta
sebelum penyidikan INI membuat nota kesepahaman dengan Kepolisian. Dalam nota
diatur mengenai pemanggilan notais harus dilakukan dengan tertulis dan
ditandatangani penyidik dan bukan penyidik pembantu. Proses peradilan dan
pemanggilan notaris dilakukan dilakukan dalam hal:

(1) Adanya dugaan tindak pidana berkaitan dengan minuta akta dan/atau surat-surat
notaris dalam penyimpanan notaris;
(2) Belum gugur hak menuntut berdasarkan ketentuan daluwarsa dalam peraturan
perundang-undangan di bidang hukum pidana;
(3) Adanya penyangkalan keabsahan tandatangan dari salah satu pihak atau lebih;
(4) Adanya dugaan pengurangan atau penambahan atas minuta akta;
(5) Adanya dugaan notaris melakukan pemunduran tanggal (antidatum).61

Adjie, Hukum Notaris Indonesia ( Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun


60

2004 Tentang Jabatan Notaris), hlm. 22.


61
Darus, Hukum Notariat dan Tanggungjawab Jabatan Notaris, hlm. 83.

47
‘Pada persidangan, diketahui bahwa akta notaris merupakan alat bukti yang
sempurna, tetapi saat akta tersebut dibuat dengan tidak mengindahkan peraturan UUJN
dengan tidak mencakup 3 (tiga) aspek ketika dibuat akta yaitu aspek lahiriah, aspek
formal, aspek materil, maka akta tersebut sifatnya menjadi akta dibawah tangan.
Akibat hukum dari akta notaris yang memuat keterangan palsu didalamnya, apabila
pihak yang mendalilkan dapat membuktikannya, maka akta notaris tersebut batal demi
hukum, kemudian perjanjian yang terdapat didalam akta tersebut menjadi batal demi
hukum.’62

‘Pertanggungjawaban notaris secara pidana harus merujuk pada Kitab Undang-


Undang Hukum Pidana dan juga tidak bisa dipisahkan dari peraturan UUJN. Perbuatan
yang dipertanggungjawabkan secra pidana tersebut harus terbukti melanggar
KUHPidana atau undang-undang lain secara sengaja atau khilaf/lalai. Dalam hal ini,
akta yang dibuat oleh notaris menjadi alat untuk melakukan tindak pidana atau
membuat akta dengan cara melawan hukum dan menimbulkan kerugian baik dipihak
tertentu atas lahirnya akta tersebut. Pertanggungjawaban pidana bagi notaris
merupakan upaya terakhir (ultimum remidium) setelah upaya-upaya di luat jalur
pidana tidak dapat diselesaikan.’

2.7 Prinsip Kehati-hatian Notaris

‘Prinsip kehati-hatian merupakan bentuk kewaspadaan Notaris terkait proses


dalam pembuatan aktanya. Notaris sebagai pejabat yang berwenang membuat akta
otentik harus ekstra berhati-hati dalam pembuatan akta, karena notaris sebagai
figure yang keterangannya dapat diandalkan dan dapat dipercayai yang
tandatangannya serta segel atau capnya memberi jaminan dan bukti kuat dalam akta
autentiknya.’63 Bentuk prinsip kehati-hatian yang dapat dilakukan notaris terhadap
pencagahan timbulnya permasalahan terkait prosesn pembuatan aktanya, antara
lain:’

62
Ibid, hlm. 89.
Maria S.W. Sumardjono, 2001, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi,
63

Cetakan Pertama, Kompas, Jakarta, hal. 14.

48
1) Pengenalan terhadap identitas dari penghadap
Pengenalan terhadap identitas penghadap sangat penting dilakukan dalam
pembuatan akta autentik karena pada saat seseorang atau klien notaris datang
apabila ingin membuat akta otentik maka notaris harus melakukan pengecekan
terhadap identitasnya, dilakukan dengan berbagai cara diantaranya pengecekan
Kartu Tanda Penduduk, Kartu Keluarga atau Passport, kemudian mencocokan
foto pada kartu indentitas dengan pihak penghadap, agar tidak terjadi pemalsuan
identitasnya.
2) ‘Melakukan verifikasi secara cermat atas data subyek dan obyek dari penghadap
Pemerikasaan atau verifikasi secara cermat terhadap data subyek bertujuan agar
diketahui secara pasti bahwa subyek dalam akta itu memang berwenang dan
cakap sehingga dapat memenuhi syarat sahnya suatu akta. Pada Pasal 39 ayat (1)
huruf a UUJN-P disebutkan ketentuan mengenai pihak yang dapat menjadi
penghadap dalam akta yaitu minimal 18 tahun atau telah menikah. Kemudian
terkait verifikasi obyek penghadap adalah melakukan validasi data obyek
dengan cara memeriksa dokumen-dokumen terkait obyek yang akan dituangkan
dalam akta. Salah satu caranya adalah memeriksa dokumen-dokumen ke instansi
terkait, contohnya memeriksa keaslian dari sertifikat tanah ke Badan Pertanahan
Nasional.’
3) ‘Memperhitungkan tenggang waktu pengerjaan akta otentik.
Notaris harus cermat dalam memperhitungkan waktu yang dibutuhkan dalam
pembuatan akta. Hal ini dilakukan agar pengerjaan akta dapat dilakukan secara
optimal dan tidak terburu-buru.’
4) Melakukan tindakan secara hati-hati, cermat dan teliti dalam proses pembuatan
akta.
‘Hati-hati, cermat dan teliti adalah 3 hal yang dibutuhkan dalam pembuatan akta
terutama dalam penyusunan kata-kata yang sering menimbulkan masalah karena
adanya keberagaman persepsi. Notaris harus dapat menyusun kata-katanya
secara apik dan sebisa mungkin tidak menimbulkan permasalahan terkait
persepsi.’
5) Memenuhi syarat-syarat teknik pembuatan akta otentik.

49
Ketentuan mengenai syarat-syarat teknik pembuatan akta otentuk ini terdapat
pada Pasal 38 UUJN-P dan syarat materil nya tertuang dalam Pasal 1320
KUHPerdata.
6) Melaporkan kepada pihak yang berwajib apabila terjadi indikasi pencucian uang
dalam transaski di Notaris
‘Isi dari Akta-akta yang dibuat oleh notaris sebagian besar merupakan perjanjian
dari transaksi-transaki yang bernilai besar. Pembuatan akta notarial ini sangat
dekat dengan dunia pencucian uang atas uang-uang yang bersumber dari hal-hal
yang tidak baik. Notaris dalam hal ini berkewajiban untuk melaporkan apabila
tertapat indikasi pencucian uang yang tertuang dalam aktanya.’

2.8 Pemahaman Mengenai Sah Dan Mengikatnya Suatu Perjanjian Sewa Menyewa
Yang Dibuat Oleh Notaris
‘Disebutkan bahwa perjanjian sewa menyewa termasuk dalam perjanjian
bernama, perjanjian ini adalah suatu perjanjian konsensuil yang artinya perjanjian
ini sudah sah dan mengikat pada detik tercapainya kesepakatan mengenai unsur-
unsur pokoknya, yaitu berupa barang dan harga. Peraturan mengenai sewa menyewa
ini diberlakukan bagi segala macam sewa menyewa, termasuk didalamnya mengenai
semua jenis barang (baik barang bergerak maupun tidak bergerak), yang memakai
waktu tertentu maupun tidak memakai waktu tertentu, karena waktu tertentu
bukanlah syarat mutlak yang harus ada untuk membuat suatu perjanjian sewa
menyewa.64 Pembahasan lebih lanjut mengenai perjanjian sewa menyewa yaitu
mengenai syarat sah yang harus ada dalam perjanjian sewa menyewa yang tertuang
dalam Pasal 1320 KUHPerdata, serta 3 (tiga) unsur pokok yang harus ada
didalamnya, yaitu:’65

a. Unsur Essensialia
‘Unsur ini adalah unsur pokok yang harus selalu ada didalam suatu perjanjian,
merupakan bagian yang mutlak, yang karenanya tanpa ada unsur Essensialia ini

64
Subekti, Aspek-aspek Hukum Nasional, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1993), hal.
1.

Rosa Agustina, Dkk, Hukum Perikatan (Law Of Obligations), (Denpasar : Pustaka


65

Larasan, 2002), hal.153

50
perjanjian tidak mungkin ada. Unsur-unsur pokok perjanjian sewa menyewa ini
adalah barang dan jasa.’
b. Unsur Naturalia
‘Unsur ini adalah bagian dari perjanjian yang diatur oleh Undang-Undang, tetapi
untuk beberapa alasan dapat diganti oleh para pihak, sehingga pada bagian
tersebut oleh Undang-Undang diatur dengan hukum yang sifatnya mengatur atau
menambah.’
c. Unsur Aksidentalia
‘Unsur ini adalah bagian perjanjian yang dapat ditambahkan oleh para pihak.
‘Dalam hal ini, Undang-Undang sendiri tidak mengatur, jadi hal yang diinginkan
oleh para pihak tersebut juga tidak mengikat para pihak karena memang tidak
ada dalam Undang-Undang, bila tidak dimuat, berarti tidak mengikat.’

R. Subekti menjelaskan dalam bukunya yang termasuk dalam subjek perjanjian


adalah66:

1) Orang yang berperan sebagai pihak dalam perjanjian harus memiliki kecakapan
atau dinyatakan mampu untuk melakukan perbuatan hukum sesuai yang ada
dalam perjanjian;
2) Terdapat kesepakatan yang menjadi dasar dari perjanjian. kesepakatan tersebut
harus tercapai atas dasar kebebesan menentukan kehendak para pihak yang
membuatnya, maksudnya dalam hal ini tidak ada paksaan, khilaf, atau penipuan
sehingga perjanjian yang dibuat itu mengikat diantara mereka yang
membuatnya;

Kemudian terkait dengan objek perjanjian, Mariam Darus Badrulzaman


menjelaskan dalam bukunya mengenai barang-barang yang tidak diperbolehkan
untuk menjadi objek perjanjian dalam sewa menyewa:

66
R. Subekti, Hukum Perjanjian, Cet.20, (Jakarta : Intermasa, 2004), hal. 16.

51
1) Barang-barang diluar perdagangan, contohnya adalah senjata resmi yang dipakai
oleh negara;
2) Barang-barang yang melanggar ketentuan Undang-Undang atau yang dilanggar
oleh Undang-Undang, contohnya adalah narkotika;
3) Warisan yang berstatus belum terbuka.

Pada perjanjian sewa menyewa terdapat objek yang ditentukan, yaitu67:

1) Objek yang dijanjikan oleh para pihak harus jelas untuk dapat menetapkan
kewajiban dari masing-masing pihak;
2) Objek yang dijanjikan oleh para pihak tidak boleh bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan, kesusilaan dan ketertiban umum.

67
Ibid.

52
BAB 3

TINJAUAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM YANG DILAKUKAN NOTARIS


TERKAIT PEMBUATAN AKTA

3.1 Pemahaman Mengenai Perbuatan Melawan Hukum Yang Di Lakukan


Notaris Terkait Akta Yang Dibuatnya.
Perbuatan Melawan hukum (onrechtmatige daad, tort) disini dimaksudkan
adalah sebagai perbuatan melawan hukum dalam bidang keperdataan. Sebab,
untuk untuk tindakan perbuatan melawan hukum pidana (delik) atau yang disebut
dengan istilah “perbuatan pidana” mempunyai arti, konotasi dan pengaturan
hukum yang berbeda sama sekali. Demikian juga dengan melawan hukum oleh
penguasa negara atau yang disebut dengan “onrechmatige overheidsdaad” juga
memiliki arti, konotasi dan pengaturan hukum yang berbeda.

Untuk selanjutnya pembahasan pada thesis ini, kecuali disebutkan lain secara
khusus, maka penggunaan istilah “perbuatan melawan hukum” hanya untuk
perbuatan melawan hukum perdata saja. Perbuatan melawan hukum dalam bahasa
Belanda disebut dengan istilah “onrechmatige daad” atau dalam bahasa Inggris
disebut dengan istilah “tort” yang dalam hukum Indonesia diatur dalam KUH
Perdata.
Kata tort itu sendiri sebenarnya hanya berarti “salah” (wrong), akan tetapi
khususnya dalam bidang hukum, kata tort berkembang menjadi sedemikian rupa
sehingga berarti kesalahan perdata yang bukan berasal dari wanprestasi kontrak.
Jadi serupa dengan pengertian perbuatan melawan hukum dalam system hukum
Belanda atau di negara-negara Eropa Kontinental lainnya.
‘Prof. Rosa menjelaskan bahwa perkembangan hukum terjadi di berbagai
bidang yang berupa globalisasi hukum termasuk dalam bidang hukum perdata,
maka untuk menajamkan pemahaman akan teori konsep maka perbandingan
dengan tort law pada system Common Law juga akan dilakukan, sehingga kita

53
dapat mengetahui bagaimana system hukum lain memecahkan masalah yang
sama.’68
‘Pada tahun 1983 Hoge Raad pada Arrestnya mengartikan perbuatan melawan
hukum secara sempit yaitu perbuatan melawan hukum dinyatakan sebagai berbuat
atau tidak berbuat sesuatu yang melanggar hak orang lain atau bertentangan
dengan kewajiban pelaku yang telah diatur oleh peraturan atau undang-undang,
tertulis dalam pada Arrestnya dia mempertimbangkan beberapa hal antara lain
sebagai berikut69:’
‘Menimbang bahwa dari hubungan satu dengan lainnya dan ketentuan-
ketentuan dalam pasal 1365 dan 1366 KUHPerdata masing-masing kiranya dapat
ditarik kesimpulan bahwa sesuatu perbuatan dapat berupa perbuatan yang
rechmatig dan dibolehkan, dengan sipencipta sekalipun demikian karenanya harus
bertanggung jawab, bilamana ia dalam hal itu telah berbuat tidak berhati-hati.’
Pendirian sempit ini berlangsung hingga tahun 1919, kemudian Hoge Raad
mulai menafsirkan perbautan melawan hukum secara luas. Pada Arrest tanggal 31
Januari 1919 dalam perkara Lindenbaum melawan Cohen, Hoge Raad
mengeluarkan pendapatnya bahwa perbuatan melawan hukum harus diartikan
sebagai berbuat atau tidak berbuat yang bertentangan dengan atau melanggar:

a. Hak Subyektif orang lain;


b. Kewajiban hukum pelaku;
c. Kaedah Kesusilaan;
d. Kepatutan dalam masyarakat.70

3.2 Unsur-Unsur Perbuatan Melawan Hukum

68
Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, cet. 1 (Jakarta : Pascasarjana FH
Universitas Indonesia, 2003), hlm. 151
69
M.A. Moegni Djojodirdjo, Perbuatan Melawan Hukum, (Jakarta: Pradnya
Paramita, Jakarta, 2006.) hlm. 28.
70
Setiawan, “Empat Kriteria Perbuatan Melawan Hukum dan Perkembangan
dalam Yurisprudensi”. Varia Peradilan Nomor 16 Tahun II (Januari 1987) Soejono
Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1986), hlm.
176.

54
Dijelaskan ketentuan dalam Pasal 1365 KUHPerdata mengenai perbuatan
melawan hukum haruslah memenuhi unsur-unsur sebagai berikut71:

1. ‘Adanya suatu perbuatan


2. Perbuatan tersebut melawan hukum
3. Adanya kesalahan dari pihak pelaku
4. Adanya kerugian bagi korban
5. Adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian’

Berikut penjelasan bagi masing-masing unsur dari perbuatan melawan hukum


tersebut, yaitu sebagai berikut:

1. Adanya Suatu Perbuatan


Suatu perbuatan melawan hukum diawali dengan suatu perbuatan dari si
pelakunya. Perbuatan disini baik perbuatan (dalam arti aktif) ataupun tidak
berbuat sesuatu (dalam arti pasif), contohnya apabila seseorang seharusnya
tidak berbuat sesuatu sebagai bentuk kewajiban dari sebuah kontrak tetapi
orang tersebut lebih memilih untuk berbuat sesuatu sehingga melangar
kewajibannya.
2. Perbuatan Tersebut Melawan Hukum
Terdapat suatu putusan yang dianggap menjadi suatu revolusi didalam bidang
hukum dan kehakiman, karena memberi penafsiran secara luas terhadap
perbuatan melawan hukum yang didalamnya meliputi perbuatan yang
melanggar kepatutan dan kesusilaan yaitu yang tertuang dalam putusan Hoge
Raad (HR) tanggal 31 Januari 1919. Penafsiran secara luas mengenai
perbuatan melawan hukum yaitu meliputi hal-hal sebagai berikut72:
a. Perbuatan yang melanggar undang-undang yang berlaku;
b. Yang melanggar hak orang lain yang dijamin oleh hukum, atau;
c. Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, atau;
d. ‘Perbuatan yang bertentangan dengan sikap yang baik dalam
bermasyarakat untuk memperhatikan kepentingan orang lain (indruist
tegen de zorgvuldigheid, welke in het maatschappelijk verkeer betaamt ten
aanzien van anders person of goed)’.
71
Fuady, Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer, hlm. 10.
72
Ibid, hlm. 11.

55
3. Adanya Kesalahan dari Pihak Pelaku
‘Pasal 1365 KUHPerdata mengenai Perbuatan Melawan Hukum tersebut dapat
dikenakan asalkan memenuhi persyaratan yang ada pada undang-undang dan
yurisprudensi yaitu pada pelaku haruslah mengandung unsur kesalahan
(schuldelement) dalam melaksanakan perbuatan tersebut. Sehingga apabila
terdapat tanggung jawab tanpa kesalahan (strict liability) tidak termasuk
kedalam tanggung jawab berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata, karena pada
pasal tersebut mensyaratkan adanya unsur “kesalahan” (schuld) terhadap suatu
perbuatan melawan hukum. Apabila suatu tindakan ingin dimintakan
pertanggung jawaban maka harus ada unsur kesalahan pada tindakan tersebut.
Unsur-unsur kesalahan ini adalah sebagai berikut73:’
a. ‘Ada unsur kesengajaan, atau;
b. Ada unsur kelalaian (negligence, culpa), dan;
c. Tidak ada alasan pembenar atau alasan pemaaf (rechtvaardigingsgrond),
seperti keadaan overmacht, membela diri, tidak waras, dan lain-lain.’
4. Adanya Kerugian Bagi Korban
Kerugian (schade) bagi korban merupakan salah satu syarat agar gugatan
berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata dapat digunakan. Terdapat perbedaan
pada kerugian wanprestasi dan kerugian perbedaan pada perbuatan melawan
hukum, yaitu pada kerugian wanprestasi kerugian yang dihitung hanya berupa
kerugian materiil, sedangkan kerugian karena perbuatan melawan hukum
selain kerugian materiil, yurisprudensi juga mengakui adanya konsep kerugian
immaterial, yang nantinya akan dinilai dengan uang.
5. Adanya Hubungan Kausal Antara Perbuatan Dengan Kerugian
‘Pada perbuatan melawan hukum sangat penting adanya hubungan kausal
antara perbuatan yang dilakukan dengan kerugian yang diderita oleh korban.
Pembahasan mengenai hubungan sebab akibat itu memiliki 2 (dua) teori,
yaitu74:’
1) Teori hubungan faktual, teori ini menitik beratkan hubungan sebab akibat
secara faktual (causation in fact) yaitu pada apa yang secara faktual
terjadi. Setiap penyebab yang menimbulkan kerugian bisa dikatakan
73
Ibid.
74
Ibid.

56
sebagai penyebab faktual jika memang benar kerugian tersebut tidak akan
terjadi tanpa adanya penyebab.
2) Teori penyebab kira-kira, teori ini diciptakan dengan menimbang alasan
kepraktisan dan agar tercapainya elemen-elemen kepastian hukum dan
untuk mendapatkan hukum yang lebih adil dengan konsep “sebab kira-
kira” (proximate cause) atau kadang penyebab jenis ini disebut dengan
legal cause.

Pada terjemahan Pasal 1365 KUHPerdata yang dibuat oleh Subekti


dituliskan bahwa:

‘“Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain,
mewajibkan orang yang kena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti
kerugian tersebut”.’75

Bahwa dapat dipahami dari terjemahan ini, bagi yang merasa dirugikan atas
perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh orang lain, si korban harus
menggugat atas kerugian yang dideritanya sehingga si pelaku dapat mengganti
kerugian yang diderita oleh korban.

3.3 Subjek Dalam Perbuatan Melawan Hukum

Dalam bukunya, Marheinis Abdulhay menjelaskan ‘bahwa yang dinyatakan


sebagai pihak yang bersalah adalah subjek atau orang (person), karena subjek
diakui mempunyai hak dan kewajiban’.76 Sehingga dari pernyataan tersebut dapat
kita simpulkan bahwa dalam yang dinyatakan bersalah adalah subjek hukum yang
telah dinyatakan melakukan perbuatan hukum adalah juga subjek hukum, dengan
alasan bahwa subjek hukum mempunyai hak dan kewajiban.

Pada kamus istilah hukum yang dimaksud dengan Subjek adalah ‘pokok,
subjek dari hubungan hukum, orang pribadi atau badan hukum yang dalam

75
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), cet. XXVI
diterjemahkan oleh Subekti dan Tjitrosudibio, hlm. 298.
76
Marheinis Abdulhay., Hukum Perdata, (Jakarta: Pembinaan UPN, 2006),hal.
89.

57
kedudukan demikian berwenang melakukan tindakan hukum.’77 Sehingga yang
termasuk dalam golongan subjek secara pandangan hukum adalah orang pribadi
dan badan hukum. Kemudiang yang dimaksud dengan subjek hukum adalah orang
pribadi atau badan hukum yang dengan kedudukannya sebagai subjek yang
memiliki wewenang dalam melakukan tindakan hukum. Dengan demikian orang
pribadi atau badan hukum yang telah melakukan tindakan atau perbuatan yang
sifatnya melawan huku adalah termasuk kedalam subjek perbuatan melawan
hukum.

3.4 Syarat-Syarat Perbuatan Melawan Hukum

Pada perbuatan melawan hukum terdapat syarat-syarat umum yang harus


terpenuhi, yaitu:

1) Terdapat perbuatan yang dilakukan;


2) Perbuatan tersebut adalah penyebab timbulnya kerugian bagi seseorang;
3) Terdapat hubungan kausal atau sebab akibat antara perbuatan yang dilakukan
itu dengan kerugian yang timbul karenanya;
4) Perbuatan tersebut harus memiliki sifat melawan/melanggar hukum;
5) Perbuatan itu harus dilakukan dengan kesalahan, dan pada kesalahan itu
diharuskan adanya pembuktian untuk menuntut ganti rugi.

3.5 Syarat-Syarat Perbuatan Dapat Dikatakan Sebagai Perbuatan Melawan


Hukum

Pada putusan atas perkara Max Lindenbaum melawan Samuel Cohen (H.R.
31 Januari 1919) telah ditemukan 4 (empat) kriteria dalam menentukan suatu
perbuatan itu dinilai sebagai perbuatan yang bertentangan dengan kaidah hukum,
yaitu78:

a. Perbuatan itu bertentangan dengan kewajiban hukum dari si Pelaku.


Bertentangan dengan kewajiban yang dimaksud dalam kriteria ini adalah
perbuatan itu bertentangan dengan kewajiban yang telah diatur dalam Undang-

77
N.E. Algra., Kamus Istilah Hukum, (Bandung : Bina Cipta 2003), hal.549.
Setiawan, “Empat Kriteria Perbuatan Melanggar Hukum dan Perkembangan
78

Dalam Yurisprudensi”, Reade III, Jilid I (1991), hal. 122-123.

58
Undang dan/atau ketentuan umum yang mengikat, yang dikeluarkan oleh
pihak yang berwenang. Ketentuan-ketentuan umum itu dapat berupa suatu
peraturan yang digunakan dalam ruang lingkup publik.
Berdasarkan Yurisprudensi dari Belanda, apabila terdapat suatu perbuatan
yang dianggap bertentangan dengan kewajiban hukum dari si pelaku tidak
serta merta perbuatan tersebut merupakan perbuatan melanggar hukum karena
untuk menyatakannya masih disyaratkan:
1) Bahwa kepentingan dari penggugat terkena atau merasa terancam oleh
pelanggaran tersebut;
2) Bahwa kepentingan dari penggugat dilindungi oleh kaidah yang dianggap
dilanggar;
3) Bahwa kepentingan dari penggugat dalam hal ini termasuk didalam ruang
lingkup kepentingan yang dimaksudkan untuk dilindungi oleh keetentuan
dalam Pasal 1401 KUHPerdata (Pasal 1365 KUHPerdata);
4) Bahwa perbuatan berupa pelanggaran atas kaidah itu bertentangan dengan
kepatutan yang seharusnya dilakukan terhadap penggugat, dalam hal ini
kelakuan dan sikap si penggugat juga menjadi objek yang harus
diperhatikan dan dinilai;
5) Bahwa tidak diketemukan atau tidak terdapat alasan pembenar menurut
hukum.

Berdasarkan syarat-syarat diatas apabila semua poin nya terpenuhi secara


eksplisit maupun implisit maka dapat dikatakan perbuatan dari si pelaku itu
merupakan perbuatan yang bersifat melanggar hukum terhadap penggugat.

b. Perbuatan itu melanggar hak subyektif orang lain


‘Pada kriteria ini dapat dikatan bahwa lebih mengedepankan
permasalahan dari sisi korbannya, yaitu bahwa dalam hal suatu perbuatan atau
tidak berbuat dapat dikatakan sebagai perbuatan melanggar hukum, apabila
dalam perbuatan tersebut terjadi pelanggaran terhadap hak subyektif
seseorang. Dalam hal ini kita harus mengetahui apakah yang dimaksud dengan
hak subyektif seseorang, berdasarkan pendapat dari Maijers, Rutten yang
dimaksud dengan hak subyektif adalah suatu kewenangan khusus seseorang

59
yang diakui oleh hukum; kewenangan itu diberikan kepadanya untuk
mempertahankan kepentingannya.’79
‘Berdasarkan yurisprudensi, hak-hak yang diakui sebagai hak subyektif
adalah:
1) Hak-hak atas kebendaan termasuk hak-hak absolut lainnya yaitu
eigendom, erfacht, hak oktrooi, dan sebagainya;
2) Hak-hak pribadi yaitu hak-hak atas integritas pribadi dan integritas
badaniah, kehormatan serta nama baik dan sebagainya;
3) Hak-hak khusus, hal ini seperti hak penghunian yang dimiliki oleh seorang
penyewa.’80
c. Perbuatan tersebut melanggar kaedah tata susila.
Pengertian dari kaedah tata susila yang dimaksud dalam kriteria ini
adalah kaedah-kaedah moral, selama hal ini diterima oleh masyarakat sebagai
kaedah hukum yang tidak tertulis. Pada pasal 1335 dan 1337 KUHPerdata
juga telah ditentukan bahwa perjanjian yang bertentangan dengan kaidah tata
susila tidak diperkenankan dan tidak memiliki kekuatan hukum walaupun
terjadi kesepakatan diantara para pihaknya.
Hal ini pun berlaku terhadap ajawan tentang perbuatan melawan hukum yang
menentukan bawha suatu perbuatan (ataupun tidak berbuat) yang bertentangan
dengan kesusilaan adalah suatu perbuatan yang melanggar hukum.
d. Perbuatan tersebut bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan sikap kehati-
hatian.
Pada kriteria terakhir dari perbuatan melawan hukum ini adalah perbuatan
tesebut bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan sikap kehati-hatian yang
seluruh hal itu seharusnya dimiliki oleh seseorang dalam bergaul sesama
manusia atau terhadap harta benda yang dimiliki oleh orang lain. Sumber dari
kriteria ini juga berasal dari hukum tidak tertulis. Hoge Raad dalam putusan
perkara Lindenbaum melawan Cohen pada tahun 1919 memperkenalkan
kriteria ini dan penggunaannya melalui 2 (dua) cara, yaitu:
1) ‘Mandiri, tidak ada keterkaitan hubungan dengan kriteria-kriteria yang
lainnya’;
79
Ibid, hal 126
80
Ibid.

60
2) ‘Tidak mandiri, tetaap berhubungan dengan kriteria-kriteria lainnya.’81

Di Indonesia kriteria yang paling banyak dipergunakan dalam


Yurisprudensi adalah kriteria keempat ini. Kriteria terakhir ini juga dianggap
sebagai kriteria yang paling penting.

3.6 Konsep Ganti Rugi dan Sistem Pengaturan Ganti Rugi Oleh Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata
Adanya kerugian merupakan salah satu syarat unsur dari suatu perbuatan
dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum, sehingga dipastikan bawa
perbuatan melawan hukum menyebabkan kerugian bagi para korbannya. Kerugian
yang timbul tersebut harus mendapatkan ganti kerugian dari orang-orang yang
telah diputuskan oleh hukum untuk mengganti kerugian tersebut. Bahwa dalam
beberapa bahasa, kerugian dikenal dengan istilah sebagai berikut:82

Bahasa Inggris Damages


Bahasa Belanda Nadeel
Bahasa Jerman Schaden
Bahasa Perancis Dommage
Bahasa Spanyol Dano

Pada Lex Aquilia salah satu undang-undang yang berlaku pada zaman
Romawi, terdapat konsep ganti rugi yaitu:
‘“Jika seseorang secara melawan hukum membunuh seorang
budak belian atau gadis hamba sahaya milik orang lain atau
binatang ternak berkaki 4 (empat) milik orang lain, maka
pembunuhnya harus membayar kepada pemiliknya sebesar nilai
tertinggi yang didapati oleh property tersebut tahun lalu. Ganti
rugi tersebut menjadi berlipat 2 (dua) jika pihak tergugat menolak
tanggung jawabnya (Justinian,1979:71).’
Dilihat dari segi yuridis, terdapat konsep ganti rugi didalam hukum yang
dikenal didalam 2 (dua) bidang hukum, yaitu83:
81
Ibid, hal-131
82
Fuady, Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer, hlm. 133.
83
Ibid, halaman 134

61
(1) Konsep ganti rugi yang disebabkan wanprestasi kontrak;

(2) Konsep ganti rugi yang disebabkan perikatan berdasarkan undang-undang.


Ganti rugi karena perbuatan melawan hukum masuk kedalam konsep ini.

Pada dasarnya konsep ganti rugi karena wanprestasi kontrak dengan konsep
ganti rugi karena perbuatan melawan hukum memiliki persamaan, tetapi banyak
juga perbedaannya. Terdapat bentuk-bentuk ganti rugi yang bisa diterapkan di
kedua bidang hukum tersebut tetapi ada pula yang dianggap terlalu keras apabila
diterapkan pada salahsatu bentuk hukum, contohnya bentuk ganti rugi berupa
penghukuman yang biasa dikenakan pada perbuatan melawan hukum prinsipnya
dianggap terlalu keras bila diberlakukan pada ganti rugi karena wanprestasi
kontrak. Ganti rugi penghukuman ini adalah ganti rugi yang diberikan pada
korban dalam jumlah yang melebihi jumlah kerugian dari korban itu sendiri
karena maksud dari penghukuman ini adalah menghukum pelaku dari perbuatan
melawan hukum agar terdapat efek jera. ‘Karena jumlah yang melebihi dari
kerugian yang nyata diderita oleh korban, maka untuk ganti rugi menghukum ini
sering disebut juga dengan istilah “uang cerdik” (smart money’).

‘Ganti rugi memiliki bentuk-bentuk nya tesendiri, terhadap perbuatan


melawan hukum terdapat 3 (tiga) bentuk, yaitu’84:

(1) Ganti rugi secara Nominal


‘Ganti rugi ini dilakukan pada saat terjadi perbuatan melawan hukum
yang serius, contohnya perbuatan tersbut mengandung unsur kesengajaan
tetapi tidak menimbulkan kerugian secara nyata bagi korbannya, maka si
penanggung kerugian ini dapat diberikan sejumlah uang sejumlah yang
tertentu dengan rasa keadilan tanpa menghitung seberapa besar sebenernya
kerugian tersebut.’
(2) Ganti rugi secara Kompensasi (compensatory damages)
‘Ganti rugi ini adalah ganti rugi yang berupa pembayaran kepada korban
atas dan sebesar kerugian yang benar-benar atau secara nyata dialami pihak
korban yang disebabkan oleh perbuatan melawan hukum. Maka dari itu ganti

84
Ibid.

62
rugi ini disebut juga dengan ganti rugi seara actual dan paling banyak
digunakan dalam perhitungan ganti rugi di perkara perbuatan melawan
hukum.’
(3) Ganti Rugi secara Penghukuman (Punitive damages)
‘Ganti rugi pada poin ini adalah suatu ganti rugi dalam jumlah besar
yang baisanya melebihi dari jumlah kerugian yang sebenarnya. Tujuan dari
pengenaan ganti rugi yang lebih besar dari kerugiannya ini adalah sebagai
bentuk hukuman bagi si pelaku. Ganti rugi penghukuman ini layak diterapkan
terhadap kasus-kasus dengan kesengajaan yang berat atau tebilang sadis.
Misalnya diterapkan terhadap kasus penganiayaan berat atas seseorang yang
tidak memiliki rasa perikemanusiaan.’

3.7 Korban Yang Dilindungi Dalam Perbuatan Melawan Hukum

Pada perbuatan melawan hukum yang dianggap menjadi korban adalah pihak
yang akan mendapatkan ganti rugi dari pelaku. Hukum memiliki seperangkat
kaidah yang digunakan untuk memastikan siapa korban dalam perbuatan melawan
hukum. Setelah dipastikan korbannya, nantinya korban tersebut akan memperoleh
ganti rugi yang bersifat perdata, hak-hak dari korban tersebut merupakan hak yang
dapat diwariskan sesuai dengan hukum waris yang berlaku.
Berdasarkan Rosa Agustina dalam buku Perbuatan Melawan Hukum terdapat
beberapa tuntutan yang dapat diajukan terhadap perbuatan melawan hukum,
yaitu85:

1) Ganti rugi yang berbentuk uang yang dihitung atas kerugian yang
ditimbulkan;
2) Ganti rugi yang berbentuk natura, maksudnya adalah ganti kerugian dengan
cara mengembalikan kepada keadaan ke semula;
3) Menyatakan bahwa perbuatan yang dilakukan adalah melawan hukum;
4) Melakukan pelarangan terhadap perbuatan tertentu.

Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, cet. 1 (Jakarta : Pascasarjana FH


85

Universitas Indonesia, 2003), hlm. 16.

63
Bahwa berdasarkan penjelasan diatas mengenai perbuatan melawan hukum
apabila kita kaitkan dengan tindakan notaris yang pada masa ini tidak sedikit
diketemukan notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum atas akta yang
dibuatnya. Pada tiap-tiap akta yang dibuat tentu ada akibat hukumnya, sehingga
apabila seorang notaris tidak melaksanakan tugas sesuai dengan kewenangan
jabatannya seperti yang tertulis dalam Undang-Undang Jabatan Notaris maka akan
timbul ketidak pastian atas akta yang dibuatnya serta merugikan para pihak juga
terhadap pihak-pihak lain yang terkena akan dampaknya. Pada akta otentik yang
bertentangan dengan Undang-Undang Jabatan Notaris terdapat akibat hukumnya
yaitu berupa akta notaris dapat diajukan pembatalan karena hal itu merupakan
suatu tindakan yang mengandung cacat secara prosedur, yaitu tidak berwenangnya
notais untuk membuat akta secara lahiriah, formil dan materiil, serta akta notaris
tersebut tidak dibuat sesuai dengan aturan hukumnya tentang pembuatan akta
notaris. Maka terdapat konsekuensi hukum atas perbuatan-perbuatan diatas
terhadap akta notarisnya, diantaranya adalah:

1) Akta Notaris menjadi dapat dibatalkan (verniegbaar);


2) Akta Notaris menjadi batal demi hukum (nietigheid van rechswege);
3) Akta Notaris menjadi memiliki kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah
tangan;
4) Akta Notaris menjadi dibatalkan oleh para pihak itu sendiri;
5) Akta Notaris menjadi dibatalkan oleh putusan pengadilan tang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap karena penerapan asas praduga sah.
Pada akta yang dipersangkakan atau dirasa proses pembuatannya telah merugikan
seseorang maka si penderita kerugian dapat mengajukan gugatan untuk menyatakan
akta notaris tidak sah atau terdapat cacat pada prosedur dalam mekanisme
pembuatannya. Pihak yang harus membuktikan bahwa akta tersebut tidak sah atau
cacat hukum adalah pihak yang menyangkal keabsahan atas akta notaris tersebut.
Pada bab sebelumnya telah dijelaskan bahwa pembuktiannya dilihat dari 3 (tiga)
aspek yaitu:
a. Aspek lahiriah;
b. Aspek formal;
c. Aspek materil.

64
‘Apabila dapat dibuktikan oleh si penggugat, maka akta notaris menjadi akta
yang tidak sah dan dengan pertimbangan tidak terpenuhinya syarat tersebut
pengadilan dapat membatalkan akta tersebut’. ‘Sedangkan apabila pihak yang
menyangkal keabsahan akta tersebut tidak dapat membuktikan pelanggaran terhadap
aspek lahiriah, aspek formil dan materil, maka akta tetap sah menjadi alat bukti yang
sempurna.’ Akta notaris dapat berakhir dengan beberapa cara, yaitu:

A. Akta Notaris dapat Dibatalkan (verniegbaar)


Pembatalan terhadap akta yang dibuat oleh Notaris dapat dilakukan oleh
pihak-pihak yang memiliki kepentingan untuk melakukan hal tersebut, hal ini
dapat disebabkan karena akta yang telah dibuat tidak memenuhi unsur subjektif
para penghadap sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata
mengenai kesepakatan untuk mengikatkan dirinya (de toer-semming van degemen
diezich verbinden) dan kecakapan dalam membuat suatu perikatan (de bekwaan
heid om eene verbintenis aan ter gaan).
1) Kesepakatan untuk mengikatkan dirinya (de toer-semming van degemen
diezich verbinden)
Kesepakatan merupakan hal yang utama dibuatnya perjanjian.
Kesepakatan mengandung pengertian bahwa para pihak saling menyatakan
kehendaknya dan berkesesuaian dengan kehendak dari pihak lain. Pernyataan
atas kehendak para pihak ini tidak harus selalu dinyatakan secara tegas, namun
dapat dengan tingkah laku atau hal-hal lain yang dapat mengungkapkan
pernyataan kehendak para pihak.86
‘Kehendak para pihak inilah yang menjadi dasar dari perjanjian atau kontrak
yang dibuat para pihak. Perbuatan hukum itu ditentukan berdasarkan kata
sepakat (konsensualime)87 Dengan adanya asas kebebasan berkontrak, setiap
orang diakui memiliki kebebasan dalam pembuatan kontrak dengan siapapun
juga asalkan memenuhi persyaratan terkait umur dan cakap hukum. Dalam

86
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalisme dalam Kontrak
Komersil.Jakarta:Kencana (2013) halaman 162.
87
Donald Haris dan Dennis Tallin, eds, 1998. Contract Law Today, Anglo
French Comparison. Oxford: Clarendon Press, halaman 17. Lihat juga Ridwan
Khairandy Ridwan Khairandy. Landasan Filosofis Kekuatan Mengikatnya Kontrak.
Jurnal Hukum Nomor, Edisi Khusus, Vol. 18 Oktober 2011, halaman 40 .

65
pembuatan kontrak juga diberikan kebebasan dalam menentukan isi kontrak,
bentuk kontrak dan memilih hukum yang berlaku bagi kontrak yang
bersangkutan.88’
‘Konsensus yang timbul dari para pihak menyebabkan kesepakatan itu
memiliki kekuatan mengikat atas perjanjian sebagaiamana selayaknya undang-
undang (pacta sunt servanda). Segala hal yang dinyatakan oleh seseorang
dalam suatu hubungan hukum menjadi hukum bagi merkea (cum nexum faciet
mancipiumque, uti lingua mancuoassit, ita jusesto). Asas inilah yang menjadi
kekuatan mengikatnya perjanjian.’
2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan (de bekwaam heid om eene
verbintenis aan ter gaan)
‘Pada Pasal 1320 ayat (2) KUHPerdata, kecakapan (bekwaamheid-
capacity) yang dimaksud adalah kecakapan dalam hal melakukan perbuatan
hukum, pemahaman lebih lanjut mengenai keceakapan melakukan perbuatan
hukum adalah dalam hal ini seseorang dapat melakukan perbuatan hukum
secara mandiri yang mengikat diri sendiri tanpa dapat diganggu gugat.
Pengukuran secara umum mengenai kecakapan dapat dilihat melalui standar
berikut ini:
a. Pribadi (person), diukur dengan cara dikut berdasarkan standar
kedewasaan (meerdejarig); dan
b. Badan hukum (rechpersoon), diukur dengan cara melihat dari aspek
kewenangan (bevoegheid).’89
Menurut Pasal 1329 KUHPerdata, setiap orang dianggap cakap dalam
membuat perikatan, jika subjek tersebut dalam undang-undang teah
dinyatakan cakap, tetapi didalam Pasal 1330 KUHPerdata telah dijelaskan
mengenai pihak yang tidak cakap dalam membuat perjanjian, yaitu:

a. Orang-orang yang belum dewasa;


b. Orang-orang yang ditaruh dibawah pengampuan;

88
Ridwan Khairandy, Hukum Kontrak Indonesia Dalam Perspektif
Perbandingan (Bagian Pertama), (Yogyak: FH UII Press, 2013), hlm. 3.
89
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian, Asas Proporsionalitas dalam
Kontrak Komersial, (Jakarta: Kencana Prenada) hlm. 184

66
c. Orang-orang perempuan yang dalah hal ditetapkan oleh undang-undang
dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah
melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu (hal ini sudah dihapus
dengan SEMA Nomor 3 Tahun 1963 dan Pasal 31 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).90
‘Akta otentik yang dibatalkan (verniegbaar) oleh pengadilan memiliki
akibat hukum, bahwa perbuatan yang dilakukan dan segala akibatnya
dianggap masih diakui sampao akta tersebut dibatalkan oleh suatu badan
peradilan yang berwenang. Setelah pembatalan suatu akta dilakukan akibat
hukum perbuatan itu tidak ada dan bila mungkin diusahakan agar akibat yang
telah terjadi itu semuanya atau sebagiannya dapat dikembalikan pada keadaan
semula. Terhadap akta yang penghadapnya tidak memenuhi syarat-syarat
subjekti dapat dimohonkan untuk dibatalkan, yang berakibat akta tersebut
termasuk ex nunc, maksudnya adalah perbuatan hukum dan akibat hukumnya
masih dianggap ada sampai dilakukannya pembatalan.’91

B. Akta Notaris Batal Demi Hukum (nietigheid van rechtswege)


Pembuatan akta harus selalu sesuai dengan substansi-substansi yang ada
didalam Undang-Undang Jabatan Notaris. Akta notaris yang batal demi hukum
terjadi karena mekanisme pada pembuatannya melanggar substansi Undang-
Undang Jabatan Notaris mengenai kewenangan notaris dalam membuat akta
otentik dan Pasal 1320 ayat (3) dan (4) KUHPerdata yang merupakan syarat
objektif yaitu mengenai suatu hal tertentu dan sebab atau kuasa yang
diperbolehkan untuk melakukan suatu perjanjian.’Akta notaris yang batal demi
hukum dipengaruhi oleh beberapa faktor, hal ini disebabkan akta yang dibuat
telah melanggar dan tidak terpenuhinya92:
1) Tidak terpenuhinya unsur lahiriah akta otentik (Uitwendige Bewijskracht)
2) Unsur formal akta otentik (Formale Bewijskracht);
3) Unsur materil (Materiele Bewijskracht);

90
Ibid, hlm. 185
91
Muhammad Syaifuddin, Hukum Kontrak, (Bandung: Mandar Maju, 2012), hlm. 142.
92
Darus, Hukum Notariat dan Tanggungjawab Jabatan Notaris, hlm. 99.

67
4) Unsur Pasal 1320 ayat (3) KUHPerdata tentang suatu hal tertentu (Een
onderwerp);
5) Unsur Pasal 1320 ayat (4) KUHPerdata tentang kausa yang diperbolehkan
(Een geoorlofde oorzaak).
C. Akta Notaris Mempunyai Kekuatan Pembuktian Sebagai Akta di Bawah Tangan
(open baar heid)
Akta notaris memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna harus
memenuhi persyaratan materil (substtansif) dan formil (prosedural). Jika
terdapat prosedur yang tidak terpenuhi dalam pembuatan akta otentik ini, dan
kesalahan akan prosedur tersebut dapat dibuktikan secara nyata, maka akta yang
bermasalah tersebut dapat diajukan kepada pengadilan dan apabila terbukti
diketemukan terdapat prosedur yang salah, maka pengadilan dapat menyatakan
akta otentik tersebut sebagai akta yang mempunyai kekuatan pembuktian akta
yang di bawah tangan.
Berdasarka Pasal 1869 KUHPerdata, suatu akta otentik yang seharusnya
mempunyai kekuatan pembuktian dapat dianggap sebagai akta dibawah tangan
dikarenakan beberapa hal, yaitu:
1) Pejabat umum yang membuat akta tersebut tidak berwenang atau tidak
mampu;
2) Akta tersebut cacat dalam bentuknya.
Pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Jo. Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2014 tentang Jabatan Notaris juga terdapat kualifikasi suatu akta otentik yang dapat
menurun nilai pembuktiannya menjadi akta dibawah tangan karena melanggar
ketentuan:

Pasal yang dilanggar dalam Bentuk pelanggaran


UUJN

Pasal 16 Ayat (1) Notaris tidak membacakan akta


dihadapan penghadap
dengan dihadiri oleh paling
sedikit 2 (dua) orang saksi,
atau 4 (empat) orans saksi
khusus untuk pembuatan

68
akta wasiat dibawah tangan
dan ditandatangani pada saat
itu juga oleh penghadap,
saksi dan notaris.

Pasal 16 ayat (7) dan ayat (8) Notaris pada akhir akta tidak
mencantumkan penghadap
menghendaki agar akta tidak
dibacakan karena penghadap
telah membca sendiri,
mengetahui dan memahami
isi akta.

Pasal 41 Pelanggaran terhadap ketentuan


sebagaimana dimaksud
dengan menunjuk kepada Pasal
dalam Pasal 38, 39, 40
39 dan 40
UUJN yang mengakibatkan
akta hanya mempunyai
kekuatan pembuktian
dibawah tangan.

Pasal 52 Notaris tidak diperkenankan


membuat akta untuk diri
sendiri, istri/suami, atau
orang lain yang mempunyai
hubungan kekeluargaan
dengan notaris baik karena
perkawinan maupun
hubungan darah dalam garis
keturunan lurus kebawah
dan/atau ke atas tanpa
pembatasan derajat, serta
dalam garis ke samping
sampai dengan derajat
ketiga, serta menjadi pihak

69
untuk diri sendiri, maupun
dalam suatu kedudukan
ataupun perantaraan kuasa.93

Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut diatas berakibat pada


terdegradasinya kekuatan pembuktian suatu akta menjadi akta dibawah tangan
dengan unsur-unsur sebagaimana yang dimaksud dala Pasal 2 dan 3 S. 1867
Nomor 29, Pasal 288-209 R.Bg dan Pasal 1875-1877 KUHPerdata.

D. Akta Notaris Dibatalkan Berdasarkan Kesepakatan Para Pihak


Dibatalkannya Akta Notaris yang didasari oleh keinginan para pihak,
dilakukan dengan cara para penghadap bersama-sama hadir kehadapan notaris
dimana semula akta tersebut kemudian para penghadap menyampaikan
keinginannya untuk membatalkan akta tersebut. Pembatalan tersebut harus
dilakukan dengan mengikuti prosedur dan mekanisme yang berlaku. Pihak yang
dapat melakukan pembatalan adalah pihak-pihak yang mempunyai kepentingan
langsung terhadap akta yang pernah dibuat sebelumnya dengan memperhatikan
untung rugi (akibat hukum) dari pembatalan akta tersebut.
‘Pembatalan akta otentik berdasarkan kesepakatan para pihak ini
dilakukan melalui mekanisme Akta Pembatalan oleh notaris yang dihadiri dan
dinyatakan langsung oleh para pihak yang berkepentingan dengan maksud untuk
membatalkan akta otentik yang sebelumnya telah diperbuat oleh para pihak.
Klausul penting yang harus dicermati dalam pembuatan Akta Pembatalan
tersebut adalah berupa’:
1) Pernyataan pihak pertama dan pihak kedua berupa kesepakatan untuk
membatalkan perbuatan hukum yang dinyatakan pada akta sebelumnya
(akta yang ingin dibatalkan);
2) Penjelasan perbuatan hukum dan/atau perjanjian yang pernah dilakukan
dianggap tidak pernah dilakukan, sehingga akta atau surat tersebut dianggap
tidak pernah dilakukan.

93
Adjie, Hukum Notaris Indonesia ( Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun
2004 Tentang Jabatan Notaris), hlm. 173-175

70
Seiring dengan perkembangan jaman, terdapat pula perkembangan terkait
hukum kontrak yang bertujuan untuk lebih melindungi kepentingan-kepentingan
para pihak dalam perjanjian, diantaranya adalah dibuatnya klausul tentang
pembatalan kontrak. Dengan adanya klausul yang dapat membatalkan kontrak,
salah satu pihak dapat melakukan pembatalan kontrak yang telah disepakati
walaupun hanya secara sepihak dengan syarat terdapat klausul tentang hal
tersebut didalam klausul pembatalan kontrak.94

E. Akta Notaris Dibatalkan Berdasarkan Putusan Pengadilan yang Telah


Mempunyai Kekuatan Hukum Tetap karena Penerapan Asas Praduga Sah
Asas praduga sah digunakan untuk menilai akta notaris karena akta
notaris adalah produk dari pejabat publik. Digunakannya asas tersebut
dimaksudkan dengan adanya asas ini setiap tindakan pemerintah (pejabat publik)
selalu dianggap rechmatig hingga adanya pembatalan atau disebut dengan
Presumtio Lustae Causa yang maksudnya keputusan tata negara harus dianggap
sah selama belum dibuktikan sebaliknya, pada prinsipnya akta ini harus selalu
dapat segera dilaksanakan.95 Asas inilah yang menjadid asar dalam melakukan
penilaian terhadap keabsahan sebuah akta notaris. Akta notaris mempunyai nilai
pembuktian penuh harus juga memperhatikan kriteria96:

1) ‘Terdapat pihak lain yang menyangkal keabsahan akta notaris dan dapat
membuktikan akta tersebut tidak sah;
2) ‘Penyangkalan atas akta tersebut dilakukan dengan mengajukan gugatan ke
pengadilan umum atau ke pengadilan agama sepanjang menyangkut
penerapan hukum Islam seperti dalam hal akta pembagian harta warisan
menurut Islam, hibah, wasiat, perjanjian perkawinan, ekonomi syariah atau
akta-akta notaris yang dibuat dalam bidang muamalah.’

94
Tunay Koksal, 2011. Fidic Contditions of Contract as a Model for an
International Construstion Contract. International Journal of Humanities ans Social
Science, Vol 1 No. 8, halaman 140-157, dalam Abdul Munif, 2016. Perikatan
Bersyarat Batal. Yogyakarta: UII Press, halaman 6.
95
Paulus Efendi Lotulung, 1993. Beberapa Sistem Tentang Kontrol Segi Hukum
Terhadap Pemerintah, Ed. II, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,1993)
96
Darus, Hukum Notariat dan Tanggungjawab Jabatan Notaris, hlm. 112.

71
‘Secara Implisit, asas praduga sah ini terdapat didalam penjelasan umum
UUJN yang menerangkan bahwa akta notaris sebagai bukti tertulis yang terkuat
dan terpenuh, dengan konsekuensi apa yang dinyatakan dalam akta notaris harus
diterima, kecuali pihak yang berkepentingan dapat membuktikan hal sebaliknya
secara memuaskan dihadapan persidangan pengadilan.’ Selama masa
pemerikasaan di pengadilan, akta otentik masih dianggap sah dan mengikat
sampai ada putusan pengadilan yang berkekkuatan hukum tetap yang
menyatakan akta tersebut tidak sah.

72
BAB 4

ANALISA

5.1 Kasus Posisi Dari Putusan Pengadilan Tinggi Nomor 59/PDT/2019/PT.BDG

a. Bahwa Nyonya Hj. Veni Nurhayani adalah pemilik yang sah atas tanah dan
bangunan ruko yang tercatat dengan Sertifikat Hak Milik No. 1211/Desa
Rancamanyar, S.U tanggal 17 Oktober 2012, No. 01037/2012, seluas 201 m2,
yang diatas namakan Nasser Korathe Mohammad, Cs yang merupakan anak-
anak dari Nyonya Hj. Veni Nurhayani;
b. Pada tanggal 18 Agustus 2014 Nyonya Hj. Veni Nurhayani dan Tuan Lili
Kurniawan membuat Surat Perjanjian Kerjasama yang menyatakan bahwa tanah
dan ruko tersebut akan digunakan sebagai Tuan Lili Kurniawan untuk bisnis
jual beli furniture yang hasilnya akan dibagi dengan Nyonya Hj. Veni
Nurhayani. Perjanjian tersebut berlaku sampai dengan tanggal 18 Agustus 2015;
c. Pada tanggal 2 April 2015 Nyonya Hj. Veni Nurhayani mendapatkan pesan
berupa email dari anak Tuan Lili Kurniawan yaitu Imam Rivai perihal
pemberitahuan tentang PT Dayamitra Telekomunikasi yang ingin menyewa dak
paling atas dari rukonya untuk dipasang tower penguat sinyal operator seluler,
yang kemudian permintaan tersebut ditolak oleh Nyonya Hj. Veni Nurhayani
melalui email.
d. Pada sekitar awal bulan Juli 2015 Nyonya Hj. Veni Nurhayani mendapati tower
penguat sinyal operator seluler tetap dibangun diatas dak rukonya. Dalam hal ini
Tuan Lili Kurniawan mengakui bahwa melakukan hal tersebut dikarenakan
terdesak membutuhkan tambahan uang modal usaha.
e. Bahwa Tuan Lili Kurniawan dan PT Dayamitra Telekomunikasi melakukan
perjanjian sewa menyewa dak ruko tanpa seijin Nyonya Hj. Veni Nurhayani
sehingga Tuan Lili Kurniawan dan PT Dayamitra Telekomunikasi telah
melakukan perbuatan melawan hukum dan menimbulkan kerugian secara
materiil maupun kerugian immaterial;
f. Bahwa perjanjian sewa menyewa dilakukan oleh Tuan Lili Kurniawan dan PT
Dayamitra Telekomunikasi dibuat dalam Akta Sewa Menyewa Nomor 09
Tertanggal 11 Juni 2015 dibuat dihadapan notaris Nyonya Lina Agustinawati,

73
S.H.,M.Hum beralamat di Taman Kopo Indah II Blok 3F No. 6, Kabupaten
Bandung;
g. Bahwa dasar terpenting dari pembuatan perjanjian Akta Sewa Menyewa Nomor
09 Tertanggal 11 Juni 2015 itu adalah Photocopy Sertifikat Hak Milik No. 1211
tertanggal 12 Desember 2012 dan Surat Ukur No. 01037/2012 tertanggal 17
Oktober 2012 tercatat atas nama Lili Kurniawan, yang telah dilegalisir oleh
Notaris Hanni Diawati, S.H. (tidak menjadi tergugat ataupun turut tergugat
dalam kasus ini);
h. Bahwa nilai dari hasil perjanjian sewa menyewa ruko tersebut, Tuan Lili
Kurniawan telah menerima dana Tahap I sebesar Rp 66.000.000 (enam puluh
enam juta rupiah) pada tanggal 21 Mei 2015 dan Tahap II pada tanggal 22 Juni
2015 sebesar Rp. 264.000.001,- (dua ratus enam puluh empat juta satu rupiah),
dengan total Rp. 330.000.001,- (tiga ratus tiga puluh juta satu rupiah). Kemudian
Tuan Lilik Kurniawan dengan itikad baik mengirimkan uang hasil sewa senilai
Rp. 83.604.232,- (delapan puluh tiga juta enam ratus empat ribu duaratus tiga
puluh dua rupiah) ke rekening Nyonya Hj. Veni Nurhayani tertanggal 24 Juni
2014;
i. Bahwa Nyonya Hj. Veni Nurhayani (Penggugat) mengajukan gugatan kepada
para Tergugat, yaitu:
- Tuan Lili Kurniawan sebagai Tergugat I
- PT Dayamitra Telekomunikasi sebagai Tergugat II
- Notaris Lina Agustinawati, S.H.,M.Hum sebagai Tergugat III
j. Proses peradilan atas kasus ini berlanjut ke tingkat banding dengan Putusan
Nomor 59/PDT/2019/PT BDG. Para pihak yang ada didalam peradilan tingkat
banding ini adalah:
- Tuan Lili Kurniawan sebagai Pembanding I
- PT Dayamitra Telekomunikasi sebagai Pembanding II
- Nyonya Hj. Veni Nurhayani sbagai Terbanding
- Notaris Lina Agustinawati, S.H.,M.Hum sebagai Turut Terbanding
k. Bahwa pada pengadilan tingkat pertama gugatan dimenangkan oleh Nyonya Hj.
Veni Nurhayani sebagai Penggugat, demikian pula pada tingkat banding.

74
5.2 Amar Putusan Dalam Putusan Pengadilan Tinggi Nomor
59/PDT/2019/PT.BDG

Putusan Pengadilan Negeri Bale Bandung Nomor 38/Pdt.G/2016/PN.Blb

1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;


2. Menyatakan para Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum
(Onrechtmatige Daad);
3. Menyatakan Surat Perjanjian Sewa Menyewa Nomor 09, tanggal 11 Juni 2015
yang dibuat oleh dan dihadapan Tergugat I (Ny. Lina Agustinawati, S.H.,
M.Hum.) cacat hukum dan karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum
apapun;
4. Menghukum Tergugat I dan atau Tergugat I atau pihak lain yang mendapat hak
daripadanya untuk membongkar dan atau memindahkan bangunan tower
pemancar/penguat sinyal operator seluler yang berdiri di dak paling atas (lantai
3) ruko milik Penggugat;
5. Menghukum Para Tergugat secara tanggung renteng untuk membayar kerugian
kepada Penggugat untuk membayar kerugian materiil sejumlah Rp.
50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) pertahun, secara tunai, seketika dan
sekaligus, terhitung sejak tanggal 18 Agustus 2015 atau setidaknya sampai
dengan perkara ini mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan pasti atau
sampai dengan Tergugat I dan atau Tergugat I memindahkan tower tersebut ke
tempat lain;
6. Menghukum Para Tergugat untuk membayar uang paksa (dwangsom) sebesar
Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah) untuk setiap hari keterlambatan dalam
melaksanakan isi putusan dalam perkara ini terhitung sejak perkara ini
berkekuatan hukum tetap;
7. Menghukum Para Tergugat secara tanggung renteng untuk membayar seluruh
biaya yang ditimbulkan dalam perkara ini;
8. Menolak gugatan selain dan selebihnya.

Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor 59/PDT/2019/PT BDG

75
1. Menerima permohonan banding dari Pembanding I, II semula Tergugat l dalam
Kopensi/Penggugat dalam Rekonpensi dan semula Tergugat ll tersebut ;
2. Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Bale Bandung, tanggal 15 Nopember
2016, Nomor 38/Pdt.G/2016/PN.Blb, yang dimohonkan banding tersebut ;
3. Menghukum Pembanding l, ll semula Tergugat l dalam Konpensi / Penggugat
dalam Rekonpensi dan semula Tergugat ll untuk membayar biaya perkara dalam
kedua tingkat peradilan yang untuk tingkat banding ditetapkan sebesar
Rp.150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah) ;

5.3 Bentuk Dan Substansi Perbuatan Melawan Hukum Yang Dilakukan Oleh
Para Pihak Dan Notaris Terkait Putusan Pengadilan Tinggi Nomor
59/PDT/2019/PT.BDG.

Notaris memiliki kewenangan sebagai pejabat umum yang membuat akta otentik,
tetapi pada saat notaris tersebut terbukti melakukan perbuatan melawan hukum dalam
pembuatan aktanya maka notaris tersebut juga harus bertanggungjawab atas hal tersebut,
karena dibuatnya akta dengan melanggar peraturan perundang-undangan maka akta
tersebut akan merugikan banyak pihak, baik dari pihak penghadap maupun pihak yang
turut serta dirugikan.

Dalam kasus di Pengadilan Tinggi Nomor 59/PDT/2019/PT.BDG ini, Tuan Lili


Kurniawan selaku tergugat bersama tergugat lainnya disinyalir melakukan pemufakatan
untuk melahirkan akta perjanjian sewa menyewa no 9 tanggal 11 Juni 2015 ini. Bahwa
melihat dari fakta-fakta di persidangan serta putusan pengadilan, telah diputuskan bahwa
para tergugat melakukan perbuatan melawan hukum yang pada intinya bentuk perbuatan
tersebut adalah berupa:

a. Tergugat I tidak memiliki legal standing atau kedudukan hukum untuk dapat
bertindak dalam pembuatan Akta Sewa Menyewa Nomor 09 tanggal 11 Juni
2015;
b. Notaris sebagai Tergugat III tidak melakukan pembuatan Akta Sewa Menyewa
Nomor 09 tanggal 11 Juni 2015 sesuai dengan prosedurnya (UUJN dan Kode
Etik Profesi);
Perbuatan para pihak dan notaris tersebut dikatakan perbuatan melanggar hukum
secara perdata karena telah dengan benar memenuhi Pasal 1365 Kitab Undang-Undang

76
Hukum Perdata terkait unsur-unsur yang harus ada dalam perbuatan melawan hukum,
yaitu:

1) Adanya suatu perbuatan


Perbuatan yang merupakan suatu kesengajaan atau kelalaian, dilakukan oleh para
pihak dan notaris dalam membuat perjanjian sewa menyewa berbentuk akta
otentik yaitu Akta Sewa Menyewa Nomor 09 tanggal 11 Juni 2015.
2) Perbuatan tersebut melawan hukum
Bahwa Akta Sewa Menyewa Nomor 09 tanggal 11 Juni 2015 tersebut dibuat oleh
para pihak dan notaris secara melawan hukum karena penghadap dalam akta
tersebut tidak memiliki legal standing sehingga akta tersebut tidak memenuhi
syarat formil dalam pembuatan suatu akta.
3) Adanya kesalahan dari pihak pelaku
Pelaku yang dalam kasus ini adalah Para penghadap yang namanya tertulis
didalam akta serta notaris yang membuat Akta Sewa Menyewa Nomor 09 tanggal
11 Juni 2015, kesalahannya berupa para pihak tidak memiliki legal standing
dalam membuat akta dan notaris pun dianggap lalai karena tetap melakukan
pembuatan akta perjanian tersebut dengan tidak mengindahkan peraturan
perundang-undangan khususnya peraturan tentang jabatan notaris.
4) Adanya kerugian bagi korban
Dalam kasus ini pihak yang dirugikan akibat pembuatan akta Akta Sewa
Menyewa Nomor 09 tanggal 11 Juni 2015 ini bukanlah pihak yang namanya
tertulis didalam akta perjanjian sewa menyewa tersebut, melainkan Nyonya Hj.
Veni Nurhayani sebagai pemilik dari ruko yang diatasnya dibangun tower
pemancar/penguat sinyal tanpa seijin darinya. Kerugian yang dideritanya berupa
kerugian materil sejumlah Rp 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) pertahun
sampai dengan tower pemancar/penguat sinyal tersebut dibongkar/dipindahkan.
5) Adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian
Bahwa perbuatan dari Tuan Lili Kurniawan, PT. Dayamitra Telekomunikasi dan
Lina Agustinawati, S.H.,M.Hum yang membuat akta perjanjian sewa menyewa
yang menyalahi peraturan perundang-undangan serta merugikan pihak dari
Nyonya Hj. Veni Nurhayani. Perbuatan tersebut telah menghilangkan
kesempatan dari Nyonya Hj. Veni Nurhayani untuk mendapatkan penyewa
bangunan ruko yang setidaknya biaya sewa per tahunnya adalah Rp 100.000.000
(seratus juta rupiah) karena calon penyewa tidak bersedia apabila terdapat tower
pemancar pada atas ruko tersebut.

77
Berdasarkan pemenuhan unsur perbuatan melawan hukum diatas yang telah
sesuai dengan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, terlihat bahwa
pengajuan gugatan atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Nyonya Hj.
Veni Nurhayani yang menimbulkan kerugian terhadap dirinya adalah tindakan yang
tepat dan benar.

5.4 Bentuk perlindungan Pihak Ketiga dan Tanggungjawab Notaris atas


Perbuatan Melawan Hukum yang dilakukan Para Pihak dan Notaris dalam
Perjanjian Sewa Menyewa

4.4.1 Perlindungan hukum Pihak Ketiga

Perlindungan hukum pada pihak ketiga dalam kasus Putusan Pengadilan


Tinggi bandung Nomor 59/PDT/2019/PT BDG ini perlu dianalisis oleh penulis
karena pihak ketiga dalam hal ini adalah Nyonya Hj. Veni Nurhayani, namanya
tidak tertuang didalam Akta Sewa Menyewa Nomor 09 tanggal 11 Juni 2015.
Bahwa terhadap perjanjian sewa menyewa yang secara umum pada prakteknya
masa perjanjian ini terhitung lama serta apabila masa waktu yang lama tersebut
salah satu pihak dalam perjanjiannya telah meninggal dunia terkadang ahli
warisnya lah yang menggantikan posisinya. Diikarenakan permasalahan
tersebut, perlu ada perlindungan hukum bagi pihak ketiga yang menjadi korban
dari dibuatnya suatu perjanjian sewa menyewa. Bahwa salah satu bentuk
perlindungannya yang cocok digunakan pada kasus ini adalah dengan melihat
pada syarat formal dalam pembuatan suatu akta otentik, notaris diharuskan
mengenal penghadap, sehingga dia mengetahui bahwa penhadap merupakan
orang yang memang memiliki kecakapan untuk bertindak dalam pembuatan akta
ini, dan apabila notaris tidak mengenal penghadap maka terdapat aturan bahwa
notaris harus diperkenalkan oleh saksi pengenal. Langkah perlindungan terkait
pengenalan penghadap merupakan perlindungan hukum secara preventif yang
perlu dilakukan oleh notaris dalam pembuatan aktanya, mengingat bahwa
banyaknya penghadap yang datang dengan niatan yang kurang baik dalam
proses pembuatan akta tersebut. Perlindungan hukum preventif yang dilakukan
oleh notaris ini sangat erat kaitannya dengan prinsip kehati-hatian yang selalu
harus dilakukan oleh notaris pada tiap pembuatan aktanya, yang dimaksudkan

78
agar di masa depan notaris dapat terhindat dari masalah dan pihak ketiga pun
tidak dirugikan.

Pada kasus ini Nyonya Hj. Veni Nurhayani juga diberikan perlindungan
hukum Represif oleh pengadilan yang berupa penjatuhan sanksi-sansi kepada
para pelaku sehingga diharapkan keadaan akan kembali seperti sedia kala serta
kerugian Nyonya Hj. Veni Nurhayani dapat tertutupi.

4.4.2 Bentuk Tanggungjawab para pihak dan Notaris yang melakukan


perbuatan melawan hukum terkait Akta Sewa Menyewa Nomor
09 tanggal 11 Juni 2015

Secara yuridis perbuatan dari para pelaku dalam kasus pada putusan
Pengadilan Tinggi Bandung Nomor 59/PDT/2019/PT BDG, kerugian yang
dialami oleh Hj. Veni Nurhayani ini menggunakan konsep ganti kerugian
yang disebabkan adanya pelanggaran pada perikatan yang seharusnya
berdasarkan undang-undang.

Dilihat dari hasil putusannya, bentuk ganti kerugiannya berupa ganti


rugi secara kompensasi, karena perbuatan melawan hukum dalam pembuatan
akta sewa menyewa pada kaus ini dibuat dengan unsur kesengajaan sehingga
ganti rugi secara actual ini digunakan untuk menghitung kerugian yang benar-
benar secara nyata dialami oleh Nyonya Hj. Veni Nurhayani yaitu berupa
pemberian uang senilai Rp 50.000.000/tahun, serta ditambah ganti rugi yang
berbentuk natura yaitu mengembalikan kepada keadaan semula berupa
pemindahan tower penguat sinyal di dak atap ruko milik Nyonya Hj. Veni
Nurhayani tersebut. Ganti rugi secara penghukuman (Punitive damages) tidak
dikenakan dalam kasus ini karena ganti rugi jenis ini hanya untuk diterapkan
pada kasus-kasus dengan kesengajaan yang berat atau tebilang sadis.

Para pelaku perbuatan melawan hukum harus


mempertanggungjawabkan kesalahannya dalam pembuatan Akta Sewa
Menyewa Nomor 09 tanggal 11 Juni 2015 ini dengan cara melaksanakan
putusan yang ditetapkan oleh Majelis Hakim. Pada kasus ini para pihak
didalam akta dan notaris harus bertanggungjawab kepada pihak diluar akta

79
yang menjadi korban atas dibuatnya akta ini. Berdasarkan putusan pengadilan
tanggungjawab para pelaku ini adalah berupa tanggungjawab secara perdata
yaitu berupa ganti kerugian.

Lebih lanjut kita membahas mengenai pertanggungjawaban yang


harus dilakukan oleh notaris terkait akta yang dibuat dihadapannya, yang
telah dinyatakan cacat hukum maka secara otomatis akta tersebut tidak
berlaku. Bahwa berdasarkan kasus yang penulis angkat pada thesis ini
pertanggungjawaban yang harus dilakukan oleh notaris adalah
pertanggungjawaban secara perdata.

Pertanggungjawaban perdata Notaris digunakan karena Ny. Lina


Agustinawati, S.H.,M.Hum selaku Notaris telah melakukan perbuatan yang
tidak sesuai dengan aturannya sehingga mengakibatkan Akta Sewa Menyewa
Nomor 09 tanggal 11 Juni 2015 yang dibuatnya dinyatakan cacat hukum
maka secara otomatis akta tersebut tidak berlaku, sehingga akta tersebut dapat
dikatakan sebagai akta yang tidak dapat dilaksanakan (nonexecutable).
Kemudian Nyonya Hj. Veni Nurhayani sebagai korban yang merasa
dirugikan mempunyai hak untuk menggugat notaris secara perdata ke
Pengadilan.

Didalam KUHPerdata ganti rugi yang disebabkan perbuatan melawan


hukum, menyebutkan ganti rugi hukum selain ganti rugi umum yaitu
pemberian ganti rugi terhadap hal-hal sebagai berikut:
(1) Pasal 1365 KUHPerdata : ganti rugi untuk semua perbuatan melawan
hukum
(2) Pasal 1366 dan 1367 KUHPerdata : ganti rugi untuk perbuatan yang
diperbuat oleh orang lain
(3) Pasal 1368 KUHPerdata: ganti rugi untuk pemilik binatang
(4) Pasal 1369 KUHPerdata: ganti rugi untuk pemilik gedung/bangunan yang
ambruk
(5) Pasal 1370 KUHPerdata : ganti rugi untuk keluarga yang ditinggalkan oleh
orang yang dibunuh

80
(6) Pasal 1371 KUHPerdata: ganti rugi karena orang terluka tau cacat anggota
badan
(7) Pasal 1372 sampai dengan Pasal 1380 KUHPerdata: ganti rugi karena
tindakan penghinaan.97
Pada kasus ini menggunakan Pasal 1365 KUHPerdata sebagai dasar
hukum dari ganti ruginya.

Notaris dapat dimintakan pertanggungjawaban dengan merujuk pada pasal


60 Peraturan Jabatan Notaris dan Pasal 84 Undang-Undang Jabatan Notaris
berkaitan dengan harus terpenuhinya aspek formal akta notaris, yaitu mengenai:

(1) Kepastian hari, tanggal, bulan, tahun dan pukul menghadap;


(2) Pihak (siapa) yang menghadapi notaris;
(3) Tandatangan yang menghadap;
(4) Salinan akta tidak sesuai dengan minuta akta;
(5) Salinan akta ada, tanpa dibuat minuta akta;
(6) Minuta akta tidak ditandatangani secara lengkap tapi minuta akta
dikeluarkan.98

Pada angka 2 dituliskan bahwa salah satu aspek formal dari suatu akta itu
adalah siapa pihak yang menghadap notaris, dalam hal ini dimaksudkan bahwa
notaris harus mengetahui siapa dan apakah orang yang bertindak selaku
penghadap dalam pembuatan akta ini memang memiliki kecakapan dalam
pembuatan Akta Sewa Menyewa Nomor 09 tanggal 11 Juni 2015, tetapi
sayangnya Ny. Lina Agustinawati, S.H.,M.Hum selaku Notaris telah melalaikan
bagian penting tersebut dan mengakibatkan dibatalkannya akta tersebut,
sehingga notaris harus ikut menjadi bagian dari tanggung renteng
mempertanggungjawabkan kesalahannya bersama para pelaku lainnya sesuai
dengan putusan Majelis Hakim.

97
Fuady, Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer, hlm. 137-138.
98
Adjie, Hukum Notaris Indonesia ( Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun
2004 Tentang Jabatan Notaris), hlm. 104

81
Dalam kasus Notaris yang diharapkan dapat membuat akta yang nantinya
dapat dipakai sebagai alat bukti berkekuatan hukum sempurna di persidangan
Pengadilan Tinggi bandung Nomor 59/PDT/2019/PT BDG telah mengecewakan
dan membuat kerugian karena melakukan perbuatan melawan hukum dengan
sebab menyalahi ketentuan formal dari pembuatan suatu akta. Kerugian yang
diderita oleh Nyonya Hj. Veni Nurhayani ini dapat menjadi aspek penurunan
kepercayaan masyarakat terhadap kekuatan akta yang dibuat oleh notaris.

82
BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1) Salah satu tujuan dibuatnya segala peraturan terkait dengan pembuatan


perjanjian berupa akta otentik baik adalah agar akta otentik tersebut dapat
memberikan jaminan berupa pembuktian sempurna di persidangan.
Kesalahan berupa pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan dalam
pembuatan akta akan memberikan dampak kerugian, baik terhadap para
pihak dalam akta maupun pihak diluar akta yang terkait. Notaris dan para
pihak yang melakukan pembuatan akta perjanjian diluar ketentuan baik itu
Undang-Undang maupun Peraturan Jabatan Notaris, dan perbuatan tersebut
menimbulkan kerugian maka dapat dikategorikan bahwa perbuatan tersebut
adalah perbuatan melawan hukum. Kemudian terhadap akta yang dibuatnya
akan menjadi tidak sah dan batal demi hukum.
Pihak yang dirugikan atas perbuatan melawan hukum tersebut dapat
mengajukan gugatan dengan dasar hukum dari ketentuan Pasal 1365 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatur mengenai kesalahan dan
kerugian yang timbul kesalahan seseorang yang dalam hal ini para pihak dan
notaris pada pembuatan Akta Akta Sewa Menyewa Nomor 09 tanggal 11
Juni 2015
2) Seorang Notaris harus selalu mengindahkan semua ketentuan-ketentuan
didalam pembuatan aktanya. Moralitas dari notaris terkait pembuatan akta
juga harus dijunjung tinggi sesuai dengan sumpah jabatannya karena notaris
adalah suatu jabatan yang diberikan wewenang untuk membuat akta otentik
yang kekuatan pembuktiannya sempurna. Bagi notaris yang telah dinyatakan
oleh pengadilan bahwa dia melakukan perbuatan melawan hukum harus
bertanggungjawab berupa penggantian kerugian, baik secara pribadi maupun
bersama-sama sesuai dengan kualitas dari perbuatan yang dilakukannya.
Notaris memiliki berbagai macam bentuk pertanggungjawaban apabila
dinyatakan melakukan pelanggaran terhadap Peraturan Jabatan Notaris

83
maupun peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengenaan
tanggungjawab notaris disesuaikan dengan tingkat kesalahan yang notaris
lakukan, bentuk pertanggungjawaban Notaris adalah sebagai berikut:
- Pertanggungjawaban administrasi Notaris
- Pertanggungjawaban Perdata Notaris
- Pertanggungjawaban Pidana Notaris

5.2 Saran

Bahwa sebagai penutup dari tesis ini, penulis ingin memberikan saran terkait dengan
permasalahan yang dibahas didalam tesis ini, yang semoga dapat diterima dan menjadi
masukan bagi pihak-pihak yang terkait sesuai topik dalam akta ini. Adapun saran yang
disampaikan adalah sebagai berikut:

1) Perlu diadakannya sosilaisasi yang intensitas nya lebih mendalam antar sesama
Notaris terkait dengan pembangunan moral para notaris agar menjadi pribadi-pribadi
yang dapat dipercaya dan bertanggungjawab atas seluruh pekerjaan yang
dijalankannya;
2) Pengawasan pada Notaris perlu ditingkatkan, mungkin dengan cara membuat
kelompok-kelompok kecil antar notaris yang mempunyai hubungan cukup erat
sehingga dapat saling menjaga dan mengingatkan antar sesamanya untuk selalu
menjalankan tugasnya sesuai Peraturan Jabatan Notaris dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

84
85

Anda mungkin juga menyukai