Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

HUKUM PERDATA

Tentang :
SYARAT SAH PERJANJIAN DENGAN STUDI KASUS
UANG MUKA PEMBELIAN RUMAH

Disusun Oleh :
Theodorus Agustinus / 21400075
Emanuel Radho / 21400065
Maria Natalia / 21400036
Reggiva Fernanda / 21400069
Muhammad Hariyatno Harun / 21400031

Dosen : Dr. Endang Suprapti, SH., MH.


FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS TAMA JAGAKARSA
Jl. TB Simatupang No.152, RT.10/RW.4, Tj. Barat Kec. Jagakarsa, Kota Jakarta Selatan, Daerah
Khusus Ibukota Jakarta 12530
2022/2023
Syarat Sah Perjanjian Dengan Studi Kasus
Uang Muka Pembelian Rumah

Pendahuluan

a. Latar Belakang
Di dalam suatu hubungan bisnis, umumnya perjanjian bisnis dilakukan atas dasar saling
percaya, karena hubungan tersebut atas dasar kepercayaan, maka sangat sering perjanjian
hanya didasarkan pada kesepakatan, Kekuatan perjanjian, baik tertulis maupun lisan, pada
dasarnya adalah sama sepanjang pihak-pihak yang membuat perjanjian secara jujur
mengakui isi perjanjian tersebut. Perbedaan kekuatan perjanjian baru tampak jelas ketika
saat pelaksanaan isi perjanjian terjadi perselisihan. Terhadap perjanjian yang dibuat secara
tertulis, maka beban pembuktian akan lebih mudah dilakukan untuk menentukan siapa yang
melanggar serta apa yang menjadi sanksi terhadap pihak yang melakukan kesalahan.
Sedangkan terhadap perjanjian tidak tertulis, ditemui kesulitan untuk melakukan
pembuktian atas siapa yang bersalah dan apa sanksinya, apalagi jika pihak-pihak yang
berperkara saling menyangkal, Dengan demikian kemungkinan terjadinya sengketa dalam
pelaksanaan perjanjian pengikatan jual beli sangat besar. Biasanya sengketa yang terjadi
adalah kelalaian para pihak dalam memenuhi kewajiban masing-masing atau bahkan
merupakan suatu kesengajaan membatalkan perjanjian secara sepihak, sehingga
mengakibatkan kerugian pada pihak lain. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka kami
kelompok 5 membuat makalah judul Syarat Sah Perjanjian Dengan Studi Kasus Uang Muka
Pembelian Rumah
b. Rumusan Masalah
1. Bagaimana hukumnya bila perjanjian dibatalkan secara sepihak?
2. Bagaimana cara penyelesaian yang benar bila terjadi perselisihan?
c. Tujuan Penulisan
1. Agar mahasiswa dan pembaca dapat memahami hukum perjanjian yang sah
2. Agar mahasiswa dan pembaca dapat memahami cara penyelesaian yang benar bila ada
perselisihan atas suatu perjanjian

Kajian Pustaka

1. Definisi Perjanjian
Perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPerdata adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang
atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
Definisi persetujuan tidak didefinisikan secara khusus dalam KUHPerdata, Pasal 1233
KUHPerdata hanya menyatakan, tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik
karena undang-undang1. Artinya persetujuan adalah salah satu sumber perikatan. Menurut C.
Asser, persetujuan/kesepakatan adalah salah satu sumber perikatan. Perikatan adalah suatu
hubungan yang dilindungi oleh hukum dan kepadanya diberikan sanksi oleh hukum 2.
Pendapat C.Asser mengenai perikatan: “Ketentuan undang-undang, bahwa semua perikatan
dilahirkan atau dari suatu persetujuan/kesepakatan, atau dari undang-undang, adalah tidak tanpa
dapat dicela. Persetujuan/kesepakatan” terjadi dari kehendak kedua belah pihak, dan “perikatan
dari undang-undang”. Untuk terjadinya sesuatu perikatan selalu diperlukan baik suatu
kenyataan maupun suatu peraturan hukum3. Dapat diartikan bahwa perjanjian dan persetujuan
memiliki arti dan makna yang sama, yakni menimbulkan perikatan. Perikatan dalam
KUHPerdata tidak didefinisikan secara spesifik. Menurut Mariam Darus Badrulzaman,
“Perikatan dirumuskan sebagai hubungan yang terjadi antara dua orang atau lebih, yang terletak
di dalam lapangan harta kekayaan, dimana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak
lainnya wajib memenuhi prestasi itu 4.
Perikatan yang timbul dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang menurut Pasal 1353
KUHPerdata terbagi menjadi 2 (dua), yakni terbit dari perbuatan yang dibolehkan hukum
(halal) dan yang timbul dari perbuatan melanggar hukum. Perikatan yang terbit dari perbuatan

1
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
2
C. Asser, Pengkajian Hukum Perdata Belanda (Jakarta: Dian Rakyat) hlm. 8
3
C. Asser, Pengkajian Hukum Perdata Belanda (Jakarta: Dian Rakyat) hlm. 10
4
Mariam Darus Badrulzaman, KUHPerdata Buku III Hhukum Perikatan Dengan Penjelasan, I
yang dibolehkan hukum misalnya perbuatan mengurus kepentingan orang lain secara sukarela
(zaakwarneming) sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1354 KUHPerdata. Sedangkan,
perikatan yang lahir dari perbuatan melanggar hukum, misalnya adalah sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 1365 yang mewajibkan pihak yang melanggar untuk mengganti kerugian
yang diakibatkannya, dan juga Pasal 1360 KUHPerdata yang mewajibkan seseorang untuk
mengembalikan barang yang tidak harus dibayarkan kepadanya. Dari uraian diatas, dapat
dimengerti bahwa hubungan antara perjanjian dan perikatan adalah perjanjian menerbitkan
perikatan antara para pihak.
2. Asas-Asas Perjanjian
Dalam KUHPerdata, setidaknya ada 7 (tujuh) asas penting yang berlaku dalam suatu perjanjian,
yakni:
a. Asas kebebasan berkontrak (sistem terbuka), perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
b. Asas konsensualisme, merupakan kesepakatan para pihak untuk mengikatkan diri dalam
suatu perjanjian
c. Asas mengikatnya perjanjian atau pacta sunt servanda, dalam suatu kontrak yang dibuat
secara sah dan sesuai hukum yang berlaku, serta sesuai pula dengan kebiasaan dan
kelayakan, dengan iktikad baik maka klausula-klausula dalam kontrak mengikat para pihak
yang membuatnya, dimana kekuatan yang mengikatnya setara dengan sebuah undang-
undang, dan pelaksanaan kontrak seperti itu tidak boleh merugikan pihak lawan dalam
kontrak, maupun pihak ketiga diluar para pihak kontrak tersebut
d. Asas iktikad baik, suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik
e. Asas personalitas, persetujuan hanya berlaku pada pihak-pihak yang membuatnya
f. Asas force majeur, keadaan memaksa dimana salah satu pihak gagal untuk memenuhi
kewajibannya
g. Asas exceptio non adimpleti contractus, keadaan keberatan dimana salah satu pihak tidak
memenuhi kewajibannya
3. Syarat Sah Perjanjian
Suatu perjanjian yang ada antara para pihak yang sepakat haruslah memenuhi syarat-syarat
terntentu agar perjanjian tersebut sah, sehingga mengikat kedua belah pihak. Dalam Pasal 1320
KUHPer menyatakan syarat-syarat sah suatu perjanjian yaitu5, sebagai berikut:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

5
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
2. Kecakapan untuk membuat perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.
Syarat pertama dan kedua merupakan syarat subjektif, yaitu suatu syarat yang diperuntukkan
pada orang yang membuat perjanjiannya, apabila tidak dipenuhi, maka perjanjian dapat
dibatalkan.
Sedangkan syarat ketiga dan keempat merupakan syarat objektif, yaitu syarat yang wajib
dipenuhi pada suatu barang yang menjadi pokok perjanjian, apabila tidak dipenuhi, maka
perjanjian akan batal demi hukum. Pokok perikatan haruslah halal, yaitu tidak bertentangan
dengan hukum, ketertiban umum atau dengan adat kebiasaan yang baik.
4. Bentuk-Bentuk Perjanjian
1. Berdasarkan Nama, Perjanjian bernama (nominat) merupakan perjanjian yang terdapat dalam
Buku III KUHPerdata. Perjanjian tidak bernama (inominaat) merupakan perjanjian yang timbul,
tumbuh, hidup dan berkembang di masyarakat, artinya perjanjian yang pengaturannya di luar
KUHPerdata.
2. Berdasarkan Bentuk, perjanjian terbagi atas perjanjian yang dibuat di bawah tangan dan
perjanjian yang dibuat secara notariil. Perjanjian yang dibuat dibawah tangan adalah perjanjian
yang dibuat sendiri oleh para pihak yang berjanji dan tanpa ada campur tangan pegawai umum
yang berwenang, serta tanpa suatu standar baku tertentu dan hanya disesuaikan dengan
kebutuhan para pihak tersebut. Perjanjian notariil artinya bahwa perjanjian tersebut dibuat oleh
para pihak dalam suatu akta otentik di hadapan pejabat yang berwenang.
3. Berdasarkan Sifat, perjanjian terbagi atas perjanjian pokok dan perjanjian tambahan
(accesoir). Perjanjian tambahan atau accesoir adalah perjanjian yang muncul karena adanya
perjanjian pokok. Sebagai perjanjian tambahan yang eksistensinya akan bergantung pada
perjanjian pokok, artinya perjanjian tambahan dibuat karena adanya perjanjian pokok, demikian
pula sebaliknya, apabila perjanjian pokok telah berakhir maka dengan sendirinya perjanjian
tambahan juga akan berakhir.
4. Hak dan Kewajiban Para Pihak, perjanjian terbagi atas perjanjian timbal balik dan perjanjian
sepihak. Perjanjian timbal balik merupakan perjanjian yang menimbulkan kewajiban-kewajiban
dan karenanya hak kepada kedua belah pihak di mana hak dan kewajiban itu mempunyai
hubungan satu dengan yang lainnya, misalnya pada perjanjian sewa menyewa dan perjanjian
tukar-menukar. Perjanjian sepihak merupakan perjanjian yang menimbulkan kewajiban pada
satu pihak saja misalnya pada perjanjian pinjam-meminjam.
5. Syarat Sahnya. perjanjian terbagi atas perjanjian konsesual dan perjanjian riil/formil.
Perjanjian konsensual adalah perjanjian yang dianggap sah apabila telah terjadi kesepakatan
antara pihak yang membuat perjanjian. Misalnya perjanjian penitipan barang dalam Pasal 1694
KUHPerdata dan perjanjian pinjam dalam Pasal 1754 KUHPerdata. Pada saat penyerahan
benda itulah satu perjanjian penitipan dianggap sah. Perjanjian formil adalah perjanjian yang
memerlukan kata sepakat tetapi undang-undang mengharuskan perjanjian tersebut harus dibuat
dengan bentuk tertentu secara tertulis dengan akta yang dibuat oleh pejabat umum notaris atau
Pejabat Pembuat Akta Tanah (disebut “PPAT”).
5. Subjek & Objek Perjanjian
1. Subjek Perjanjian Terdapat 2 macam subjek hukum, yakni orang perseorangan dan badan
hukum. Subjek yang berupa seorang manusia, harus memenuhi syarat umum untuk dapat
melakukan suatu perbuatan hukum secara sah, yaitu harus sudah dewasa, sehat pikirannya.
2. Objek Perjanjian Menurut Wirjono, objek dalam perhubungan hukum perihal perjanjian
ialah: hal yang diwajibkan kepada pihak berwajib (debitur), dan hal terhadap mana pihak
berhak (kreditur) mempunyai hak. Perjanjian dapat terjadi baik objek yang terlihat wujudnya
maupun yang tidak.
3. Benda Bergerak dan Benda Tak Bergerak, Makna “barang” maupun “benda” adalah sama,
yakni suatu objek. Dalam KUHPer, benda dibedakan atas benda bergerak dan benda tidak
bergerak. Kebendaan tidak bergerak diatur dalam Pasal 506-508 KUHPerdata dan kebendaan
bergerak diatur dalam Pasal 509-518 KUHPerdata.

6. Wanprestasi
Wanprestasi (default atau non fulfilment, ataupun yang disebutkan juga dengan istilah breach of
contract), yang dimaksudkan adalah tidak dilaksanakan prestasi atau kewajiban sebagaimana
mestinya yang dibebankan oleh kontrak terhadap pihak-pihak tertentu seperti yang
dimaksudkan dalam kontrak yang bersangkutan.
Model-model wanprestasi adalah sebagai berikut :
a. Wanprestasi berupa tidak memenuhi prestasi;
b. Wanprestasi berupa terlambat memenuhi prestasi;
c. Wanprestasi berupa tidak sempurna memenuhi prestasi;
d. Wanprestasi melakukan sesuatu yang oleh perjanjian tidak boleh dilakukan.
Pembahasan

A. Studi Kasus
Saya melakukan pembelian rumah, harga disepakati di awal Rp 500 juta, kemudian saya
membayar DP Rp 40 juta tanpa ada perjanjian atau kwitansi cuma bukti transfer ATM.
Kemudian secara sepihak penjual menaikkan harga jual menjadi Rp 550 juta, naik Rp 50
juta secara sepihak. Maka saya batalkan mengambil rumah tersebut, tetapi penjual tidak mau
mengembalikan DP yang sudah saya bayarkan. Apakah saya dapat menempuh jalur hukum
supaya penjual mau mengembalikan DP saya? Kalau bisa, bagaimana proses hukum yang dapat
saya tempuh.
B. Perjanjanjian Jual Beli
Asumsikan bahwa sejak awal memang tidak ada perjanjian tertulis antara pembeli
dan penjual. Namun yang terpenting perjanjian itu memenuhi syarat sah perjanjian yang diatur
di Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”), yaitu:
Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat;
1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. suatu pokok persoalan tertentu;
4. suatu sebab yang tidak terlarang.
Terkait kesepakatan, dalam membuat perjanjian, tentu pembeli harus tahu apa yang
sepakati. J. Satrio menjelaskan, “seseorang dikatakan telah memberikan
persetujuan/sepakatnya kalau orang tersebut memang menghendaki apa yang disepakati”.
Yang dinamakan sepakat itu sebenarnya adalah suatu penawaran yang diakseptir
(diterima/disambut) oleh lawan janjinya.
Selain itu, meskipun dibuat tidak tertulis perjanjian pembeli dan penjual rumah
tersebut
adalah sah di mata hukum. Hal ini berdasarkan Pasal 1338 KUHPerdata yang berbunyi:
Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai
undang-
undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain
dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh
undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.
C. Uang Muka
Memang berdasarkan Pasal 1464 KUHPerdata, uang DP tidak dapat dikembalikan:
Jika pembelian dilakukan dengan memberi uang panjar, maka salah satu pihak tak dapat
membatalkan pembelian itu dengan menyuruh memiliki atau mengembalikan uang
panjarnya.
Namun pembeli tidak jadi melakukan pembelian karena penjual menaikkan harga jual secara
sepihak menjadi Rp 550 juta, padahal sebagaimana disepakati di awal perjanjian,
bahwa harganya adalah Rp 500 juta.
Pada prinsipnya bahwa jual beli seharusnya kembali pada harga awal yang diperjanjikan dan
dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, sebagaimana diatur oleh Pasal
1457 KUHPer dan 1458 KUHPerdata, yaitu:
Jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk
menyerahkan suatu barang, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang dijanjikan.
Terkait pengembalian DP dalam kasus ini, dimungkinkan untuk dilakukan dengan
melakukan upaya hukum wanprestasi karena si penjual seharusnya menjual dengan harga
sebagaimana disepakati di awal atau tidak secara sepihak mengubah harga, sehingga pembeli
yang dirugikan.
D. Penyelesaian Masalah
Gugatan wanprestasi dapat dilakukan berdasarkan Pasal 1239 KUHPerdata, yang bunyinya:
Tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, wajib diselesaikan
dengan memberikan penggantian biaya, kerugian dan bunga, bila debitur tidak memenuhi
kewajibannya.
Gugatan wanprestasi dilakukan untuk meminta penggantian biaya, kerugian, dan bunga atas
DP karena debitur tidak memenuhi prestasi, yaitu menjual dengan harga awal.
Yang seharusnya mungkin uang DP Anda dapat dipergunakan untuk hal lain yang
lebih menguntungkan bagi pembeli.
Penutup
Kesimpulan
Menurut Prof. Subekti, S.H., perjanjian merupakan “suatu peristiwa dimana seseorang
berjanjian kepada seseorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk
melaksakan suatu hal”.
Dari peristiwa itu menimbulkan suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan
perikatan. Perjanjian merupakan sumber perikatan disamping sumber-sumber lain.
Gugatan wanprestasi dapat dilakukan berdasarkan Pasal 1239 KUHPerdata. Namun perlu di
ingat bahwa yang menentukan gugatan dikabulkan atau tidak tergantung pada pembuktiannya
dan juga bagaimana pertimbangan hakim nantinya.
Saran
Seharusnya setiap perjanjian harus dilakukan secara tertulis, sehingga dalam pembuktiannya
akan mudah di buktikan. Dan lebih baik lagi menggunakan perjanjian di hadapan notaris.
Daftar Pustaka

Kitab undang-undang hukum perdata


Munir Fuady, Hukum Kontrak (dari Sudut Pandang Hukum Bisnis). (Bandung : PT. Citra
Aditya Bakti. 2001)
Mariam Darus Badrulzaman (A), K.U.H Perdata Buku III Hukum Perikatan Dengan
Penjelasan
C.Asser, Pengkajian Hukum Perdata Belanda, (Jakarta: Dian Rakyat, 1991)
Retna Gumanti, "Syarat Sahnya Perjanjian (Ditinjau dari KUHPerdata)", Jurnal Pelangi Ilmu
https://m.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5c2ff0d70b320/harga-jual-rumah-diubah-
sepihak--dapatkah-dp-dikembalikan

Anda mungkin juga menyukai