OLEH :
Atik Prihartatik
NIM. S351502010
1
PINJAM PAKAI MENURUT KUH PERDATA DAN KITAB UNDANG-
UNDANG HUKUM PIDANA
A. Pendahuluan
Perjanjian merupakan suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Seseorang atau lebih
berjanji untuk melakukan sesuatu kepada orang lain. Hal ini merupakan suatu
peristiwa yang menimbulkan satu hubungan hukum antara orang-orang yang
membuatnya.
Dalam perjanjian pijam pakai,barang yang dipinjamkan tidak habis atau
musnah karena pemakaian. Sipemilik barang meminjamkan barangnya
kepada peminjam secara Cuma-Cuma ini sesuai dengan definisinya
berdasarkan pasal 1740 pinjam pakai adalah suatu perjanjian dengan mana
pihak yang satu memberikan suatu barang kepada pihak yang lainnya untuk
dipakai dengan Cuma-Cuma, dengan syarat bahwa yang menerima barang ini,
setelah memakainya atau setelah lewatnya suatu waktu tertentu, akan
mengembalikannya. Dalam pinjam pakai hak kepemilikan barang tetap
berada pada yang meminjamkan barang, peminjam hanya memiliki hak pakai.
Perikatan-perikatan yang terbit dari perjanjian pinjam pakai berpindah
kepada ahli waris pihak yang meminjamkan dan pada ahli waris yang
meminjam. Namun, jika suatu peminjaman dilakukan karena mengingat
orangnya yang menerima pinjaman dan telah diberikan khusus kepada orang
tersebut secara pribadi, maka para ahli waris orang ini tidak dapat tetap
menikmati barang pinjaman itu hal ini berdasarkan pasal 1743. Hal pertama
yang tercantum dalam pasal tersebut sejalan dengan asas umum dari hukum
pewarisan. Namun apabila hal tersebut (hak dan kewajiban) ada hubungannya
yang sangat erat dengan pribadi si meninggal, hak dan kewajiban itu tidak
beralih kepada para ahli warisnya. Begitu pula bagian kedua dari pasl tersebut
diatas, peminjaman itu dilakukan karena mengingat orangnya dan diberikan
khusus kepada si meninggal secara pribadi, maka perjanjian pinjam pakai
berakhir dan para ahli waris wajib mengembalikan barangnya. Dapat
2
dijadikan contoh, mobil dinas yang digunakan oleh pejabat selama menjabat,
dapat digunakan oleh mereka hanya selama menjabat. Apabila jabatan
mereka berakhir maka mereka wajib mengembalikan mobil tersebut kepada
instansi pejabat tersebut menjabat. Namun jika pejabat yang dipinjamkan
mobil tsebut meninggal maka perjanjian seketika itu juga berakhir dan para
ahli waris diwajibkan mengembalikan mobil yang dipinjamkan tersebut.
Perjanjian pinjam pakai ini merupakan contoh dari suatu perjanjian
sepihak atau unilateral (dimana perkataan “sepihak” ditujukan pada hanya
adanya prestasi dari satu pihak saja). Sifatnya sepihak itu dinyatakan dengan
rumusan “dipakai dengan Cuma-Cuma”, artinya hanya pihak yang
meminjamkan yang berprestasi, sedangkan pihak yang meminjam hanya
menggunakan tanpa ada balas prestasi kepada yang meminjamkan. Sehingga
didalam perjanjian pinjam pakai ini tidak terdapat kontra prestasi. Namun
begitu, terdapat kewajiban-kewajiban bagi si peminjam dan yang
meminjamkan.
Perjanjian Pinjam Pakai tidak hanya diatur dalam KUHPerdata namun
juga terkait dengan KUH Pidana. Makalah singkat ini mencoba menggali
Peraturan terkait dengan Perjanjian Pinjam Pakai yang ada dalam KUH
Perdata dan KUHP.
B. Permasalahan
Dalam Makalah ini yang menjadi pokok kajian adalah bagaimanakah
Pinjam Pakai ditinjau dari Kitap Undang-Undang Hukum Perdata serta Kitab
Undang Undang Hukum Pidana?
3
C. Pembahasan
Sebelum membahas lebih lanjut tentang Pinjam Pakai, terlebih dahulu
akan diuraikan secara singkat mengenai seputar perjanjian.
1. Pengertian Perjanjian
4
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang lain atau lebih”.
a. Hanya menyangkut sepihak saja. Hal ini dapat diketahui dari rumusan
kata kerja “mengikatkan diri” yang sifatnya hanya datang dari satu
pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya rumusan itu ialah
“saling mengikatkan diri”, sehingga ada konsensus antara kedua belah
pihak;
b. Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus. Dalam pengertian
“perbuatan” termasuk juga tindakan penyelenggaraan kepentingan
(zaakwarneming), tindakan melawan hukum (onrechtmatige daad)
yang tidak mengandung suatu konsensus, sehingga seharusnya dipakai
istilah “persetujuan”;
c. Pengertian perjanjian terlalu luas. Pengertian perjanjian mencakup juga
perjanjian kawin yang diatur dalam bidang hukum keluarga, padahal
yang dimaksud adalah hubungan antara debitur dan kreditur mengenai
harta kekayaan. Perjanjian yang diatur dalam Buku III Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata sebenarnya hanya meliputi perjanjian yang
bersifat kebendaan, bukan bersifat kepribadian;
d. Tanpa menyebut tujuan atau memiliki tujuan yang tidak jelas. Dalam
rumusan Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak
disebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga pihak-pihak
mengikatkan diri itu tidak jelas untuk apa3.
Berdasarkan kelemahan yang terdapat dalam ketentuan Pasal 1313
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut, maka beberapa ahli
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm
224-225.
5
hukum mencoba merumuskan defenisi perjanjian yang lebih lengkap,
yaitu;
1) Subekti
“Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada
seorang lain, atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk
melaksanakan sesuatu hal”4.
2) Abdulkadir Muhammad
“Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih
saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan
harta kekayaan”5
3) Handri Raharjo
“Perjanjian merupakan suatu hubungan hukum di bidang harta kekayaan
yang didasari kata sepakat antara subjek hukum yang satu dengan yang
lain, dan diantara mereka (para pihak/subjek hukum) saling
mengikatkan dirinya sehingga subjek hukum yang satu berhak atas
prestasi dan begitu juga subjek hukum yang lain berkewajiban untuk
melaksanakan prestasinya sesuai dengan kesepakatan yang telah
disepakati para pihak tersebut serta menimbulkan akibat hukum”6.
4) R.Wirjono Prodjodikoro
“Perjanjiaan diartikan sebagai suatu perhubungan hukum mengenai harta
benda antara dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau dianggap
berjanjian untuk melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melakukan
sesuatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu”7.
7 Wirjono Prodjodikoro, Azas-azas Hukum Perjanjian, Mandar Maju, Bandung, 2000, hlm
4
6
2. Syarat-Syarat Sah Perjanjian
Menurut Abdulkadir Muhammad, perjanjian yang sah adalah
perjanjian yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh Undang-
Undang. Perjanjian yang sah diakui dan diberi akibat hukum (legally
concluded contract). Menurut ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata, syarat-syarat sah perjanjian yaitu :
7
perjanjian, atau prestasi itu kabur, tidak jelas, sulit bahkan tidak
mungkin dilaksanakan, maka perjanjian itu batal (nietig,void)10
d. Ada suatu sebab yang halal (causa)
Kata causa berasal dari bahasa Latin yang artinya sebab. Sebab adalah
suatu yang menyebabkan dan mendorong orang membuat perjanjian.
Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengartikan causa
yang halal bukanlah sebab dalam arti yang menyebabkan atau
mendorong orang membuat perjanjian, melainkan sebab dalam arti “isi
perjanjian itu sendiri” yang menggambarkan tujuan yang hendak
dicapai oleh para pihak.
8
karena salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Kemudian
diperkarakan kemuka Hakim, dan Hakim menyatakan perjanjian batal,
karena tidak memenuhi syarat objektif.
3. Asas-Asas Perjanjian
Hukum perjanjian mengenal beberapa asas penting, yang
merupakan dasar kehendak pihak-pihak dalam mencapai tujuan. Beberapa
asas tersebut adalah sebagai berikut ini:
9
d. Asas obligator. Asas ini mengandung arti bahwa perjanjian dibuat oleh
pihak-pihak itu baru dalam taraf menimbulkan hak dan kewajiban
saja,15
e. Asas tidak boleh main hakim sendiri. Asas ini patut mendapat
perhatian karena apabila dalam suatu perjanjian yang telah dibuat
dengan kesepakatan bersama antara para pihak, dan kemudian ternyata
tidak bisa dipenuhi oleh salah satu pihak yang seharusnya berkewajiban
melaksanakan perjanjian sebagaimana yang telah dibuat, dengan
sendirinya terjadi breach of contract atau pelanggaran terhadap
kesepakatan. Oleh karena itu, dalam keadaan demikian, pihak yang
melakukan wanprestasi harus dapat dipaksa untuk memenuhi
kewajibannya16.
10
1) Identitas para pihak dan saksi
2) Objek perjanjian.
3) Harga kesepakatan.
4) Sitem pembayaran
5) Hak dan kewajiban pihak pertama
6) Hak dan kewajiban pihak kedua
7) Penyelesaian perselisihan: secara kekeluargaan atau pengadilan
berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku
8) Waktu perjanjian
9) Syarat keaslian perjanjian17.
11
memakainya atau setelah lewatnya suatu waktu tertentu akan
mengembalikan (Pasal 1740 KUH Perdata). Pihak yang meminjamkan
tetap menjadi emilik barang yang dipinjamkan.
Perjanjian pinjam pakai ini merupakan contoh dari suatu
perjanjian sepihak atau unilateral (dimana perkataan “sepihak”
ditujukan pada hanya adanya prestasi dari satu pihak saja). Sifatnya
sepihak itu dinyatakan dengan rumusan “dipakai dengan cuma-cuma”,
artinya hanya pihak yang meminjamkan yang berprestasi, sedangkan
pihak yang meminjam hanya menggunakan tanpa ada balas prestasi
kepada yang meminjamkan. Sehingga didalam perjanjian pinjam pakai
ini tidak terdapat kontra prestasi.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam perjanjian pinjam pakai adalah :
1. Kewajiban Peminjam.
12
2. Resiko Dalam Perjanjian Pinjam Pakai.
Mengenai resiko dalam perjanjian pinjam pakai, pasal 1744 KUH
Perdata menyebutkan bahwa :
13
b. Hanya boleh meminta kembali barang yang dipinjamkan
sebelum lewatnya waktu, apabila ada alasan-alasan yang
mendesak atau overmacht dan terjadi situasi ia sendiri sangat
memerlukan barang tersebut.
c. Mengganti biaya yang telah dikeluarkan di peminjam dalam
keadaan luar biasa dan sangat diperlukan, yang sifatnya sangat
mendesak dan peminjam sendiri tidak sempat memberitahukan
hal tersebut.
d. Bertanggung jawab atas kerugian sebagai akibat pihak yang
meminjamkan tidak memberitahukan bahwa barang tersebut
mempunyai cacat tersembunyi yang diketahuinya.
14
b) menyerahkan barang yang dipinjamnya
Hak pemberi pinjaman adalah menerima kembali barang yang telah
dipinjamnya.
BAGIAN 1
Ketentuan-ketentuan Umum
1740. Pinjam pakai adalah suatu perjanjian dalam mana pihak yang
satu menyerahkan suatu barang untuk dipakai dengan cuma-cuma
kepada pihak lain, dengan syarat bahwa pihak yang menerima barang
itu setelah memakainya atau setelah lewat waktu yang ditentukan,
akan mengembalikan barang itu.
15
BAGIAN 2
Kewajiban-kewajiban Orang yang Menerima Barang Pinjam
Pakai
Jika peminjam memakai barang itu untuk suatu tujuan lam atau lebih
lama dan yang semestinya, maka wajiblah ia bertanggung jawab atas
musnahnya barang itu sekalipun musnahnya barang itu disebabkan
oleh suatu peristiwa yang tidak disengaja.
1745. Jika barang pinjaman itu musnah karena suatu peristiwa yang
tidak disengaja, sedang ha! itu dapat dihindarkan o!eh peminjam
dengan jalan memakai barang kepunyaan sendiri atau jika peminjam
tidak mempedulikan barang pinjaman sewaktu terjadmya peristiwa
termaksud, sedangkan barang kepunyaannya sendiri diselamatkannya,
maka peminjam wajib bertangung jawab atas musnahnya barang itu.
1746. Jika barang itu telah ditaksir harganya pada waktu dipinjamkan
maka musnahnya barang itu meskipun ha! mi terjadi karena peristiwa
yang tak disengaja adalah tanggungan peminjam, kecuali kalau telah
dijanjikan sebaliknya.
16
1748. Jika pemakai telah mengeluarkan biaya untuk dapat memakai
barang yang dipinjamnya itu, maka ia tidak dapat menuntut biaya
tersebut diganti.
BAGIAN 3
Kewajiban-kewajiban Pemberi Pinjaman
1751. Akan tetapi bila dalam jangka waktu itu atau sebelum
berakhirnya keperluan untuk memakai barang itu, pemberi pinjaman
sangat membutuhkan barangnya dengan alasan yang mendesak dan
tidak terduga, maka dengan memperhatikan keadaan, Pengadilan
dapat memaksa penunjang untuk mengembalikan barang pinjaman itu
kepada pemberi pinjaman.
17
sedang pemberi pinjaman harus bertanggu jawab atas semua akibat
pemakaian barang.
18
perjanjian dibuat tertulis agar ada bukti tertulis yang dapat digunakan
jika di kemudian hari terjadi sengketa.
Mengenai apakah dapat menuntutnya secara pidana
(penggelapan), perlu Anda ketahui bahwa upaya hukum pidana
merupakan ultimum remedium (upaya terakhir). Jika Anda bisa
menyelesaikannya secara musyawarah (dalam hal ini teman Anda mau
mengganti kamera Anda) maupun secara perdata, maka lebih baik
upaya hukum pidana tidak digunakan. Lebih lanjut mengenai ultimum
remedium, Anda dapat membaca artikel Arti Ultimum Remedium.
Jika pada akhirnya Anda ingin menuntut secara pidana yaitu
atas dasar penggelapan, perbuatan penggelapan tersebut harus
memenuhi unsur-unsur tindak pidana penggelapan yang terdapat
dalam Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”):
19
Sebagai contoh dalam putusan Pengadilan Negeri
Kabupaten Kediri Nomor: 17/Pid.B/2013/PN.Kdi. Dalam putusan
tersebut, terdakwa melakukan penggelapan uang, akan tetapi untuk
menutupi kejahatannya, terdakwa berpura-pura bahwa ia telah
dirampok. Kemudian pada saat terdakwa didatangi oleh Petugas
Polsek Banyakan, terdakwa memberikan keterangan kalau
terdakwa baru saja mengalami perampasan. Atas tindakannya
tersebut, terdakwa didakwa dengan Pasal 372 KUHP (penggelapan)
dan Pasal 220 KUHP (memberi laporan palsu). Hakim
memutuskan terdakwa dipidana penjara selama 5 (lima) bulan.
Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa :
20
- Apabila unsur Dengan Sengaja dihubungkan dengan unsur
Memiliki secara melawan hukum atau Zich Toeeigenen,
maka perbuatan memiliki secara melawan hukum yang
dilakukan oleh pelaku haruslah secara sengaja dan
perbuatan memiliki tersebut haruslah sudah selesai
dilakukan, misalnya bahwa benda tersebut telah dijual,
ditukar atau dipakai sendiri;
21
Sedangkan menurut Profesor SIMONS, kata
Toeeigenen atauy menguasai dalam rumusan Pasal 372
KUHP memiliki pengertian yang sama dengan kata
Toeeigenen di dalam rumusan Pasal 362 KUHP yaitu
“Suatu tindakan yang demikian rupa yang membuat pelaku
memperoleh suatu kekuasaan yang nyata atas suatu benda
seperti yang dimiliki oleh pemiliknya dan pada saat yang
sama telah membuat kekuasaan itu diambil dari
pemiliknya”;
22
e) Unsur Yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain,
adalah tidak setiap benda berwujud dan bergerak yang dapat
dijadikan objek dari kejahatan penggelapan, oleh karena itu
benda tersebut harus memenuhi syarat dimiliki oleh orang
lain dari si pelaku itu sendiri;
23
c. Mendapat imbalan jasa,
D. Penutup
24
atau setelah lewatnya waktu pada suatu waktu tertentu akan
mengembalikannya. Pinjam Pakai secara rinci diatur dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata dapat di lihat dalam Buku Ketiga Perikatan Bab
XII Pinjam Pakai, Pasal 1740 KUH Perdata sampai dengan pasal 1753
KUH Perdata. Selain itu Masalah Pinjam Pakai dalam KUHP dapat dilihat
dalam Pasal 372 KUHP dan 374 KUHP.
DAFTAR PUSTAKA
25