Anda di halaman 1dari 25

PINJAM PAKAI MENURUT KUH PERDATA DAN

KITAP UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA

Dosen Pengampu : Lilik Warsito, SH. MH

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan


Tugas Mata Kuliah : TPAU II
Minat Utama: Magister Kenotariatan

OLEH :

Atik Prihartatik
NIM. S351502010

PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN


FAKULTAS HUKUM UNS
SURAKARTA
2016

1
PINJAM PAKAI MENURUT KUH PERDATA DAN KITAB UNDANG-
UNDANG HUKUM PIDANA

A. Pendahuluan
 Perjanjian merupakan suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Seseorang atau lebih
berjanji untuk melakukan sesuatu kepada orang lain. Hal ini merupakan suatu
peristiwa yang menimbulkan satu hubungan hukum antara orang-orang yang
membuatnya.
Dalam perjanjian pijam pakai,barang yang dipinjamkan tidak habis atau
musnah karena pemakaian. Sipemilik barang meminjamkan barangnya
kepada peminjam secara Cuma-Cuma ini sesuai dengan definisinya
berdasarkan pasal 1740 pinjam pakai adalah suatu perjanjian dengan mana
pihak yang satu memberikan suatu barang kepada pihak yang lainnya untuk
dipakai dengan Cuma-Cuma, dengan syarat bahwa yang menerima barang ini,
setelah memakainya atau setelah lewatnya suatu waktu tertentu, akan
mengembalikannya. Dalam pinjam pakai hak kepemilikan barang tetap
berada pada yang meminjamkan barang, peminjam hanya memiliki hak pakai.
Perikatan-perikatan yang terbit dari perjanjian pinjam pakai berpindah
kepada ahli waris pihak yang meminjamkan dan pada ahli waris yang
meminjam. Namun, jika suatu peminjaman dilakukan karena mengingat
orangnya yang menerima pinjaman dan telah diberikan khusus kepada orang
tersebut secara pribadi, maka para ahli waris orang ini tidak dapat tetap
menikmati barang pinjaman itu hal ini berdasarkan pasal 1743. Hal pertama
yang tercantum dalam pasal tersebut sejalan dengan asas umum dari hukum
pewarisan. Namun apabila hal tersebut (hak dan kewajiban) ada hubungannya
yang sangat erat dengan pribadi si meninggal, hak dan kewajiban itu tidak
beralih kepada para ahli warisnya. Begitu pula bagian kedua dari pasl tersebut
diatas, peminjaman itu dilakukan karena mengingat orangnya dan diberikan
khusus kepada si meninggal secara pribadi, maka perjanjian pinjam pakai
berakhir dan para ahli waris wajib mengembalikan barangnya. Dapat

2
dijadikan contoh, mobil dinas yang digunakan oleh pejabat selama menjabat,
dapat digunakan oleh mereka hanya selama menjabat. Apabila jabatan
mereka berakhir maka mereka wajib mengembalikan mobil tersebut kepada
instansi pejabat tersebut menjabat. Namun jika pejabat yang dipinjamkan
mobil tsebut meninggal maka perjanjian seketika itu juga berakhir dan para
ahli waris diwajibkan mengembalikan mobil yang dipinjamkan tersebut.
Perjanjian pinjam pakai ini merupakan contoh dari suatu perjanjian
sepihak atau unilateral (dimana perkataan “sepihak” ditujukan pada hanya
adanya prestasi dari satu pihak saja). Sifatnya sepihak itu dinyatakan dengan
rumusan “dipakai dengan Cuma-Cuma”, artinya hanya pihak yang
meminjamkan yang berprestasi, sedangkan pihak yang meminjam hanya
menggunakan tanpa ada balas prestasi kepada yang meminjamkan. Sehingga
didalam perjanjian pinjam pakai ini tidak terdapat kontra prestasi. Namun
begitu, terdapat kewajiban-kewajiban bagi si peminjam dan yang
meminjamkan.
Perjanjian Pinjam Pakai tidak hanya diatur dalam KUHPerdata namun
juga terkait dengan KUH Pidana. Makalah singkat ini mencoba menggali
Peraturan terkait dengan Perjanjian Pinjam Pakai yang ada dalam KUH
Perdata dan KUHP.

B. Permasalahan
Dalam Makalah ini yang menjadi pokok kajian adalah bagaimanakah
Pinjam Pakai ditinjau dari Kitap Undang-Undang Hukum Perdata serta Kitab
Undang Undang Hukum Pidana?

3
C. Pembahasan
Sebelum membahas lebih lanjut tentang Pinjam Pakai, terlebih dahulu
akan diuraikan secara singkat mengenai seputar perjanjian.
1. Pengertian Perjanjian

Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, berjudul “perihal


perikatan” perkataan “perikatan” (verbintenis) mempunyai arti yang lebih
luas dari perkataan “perjanjian”, sebab dalam buku III itu, diatur juga
perihal pesetujuan atau perjanjian, yaitu perihal perikatan yang timbul dari
perbuata yang melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perihal
perikatan yang timbul dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak
berdasarkan persetujuan (zaakwaarnemng). Tetapi, sebagian besar buku
III ditujukan pada perikatan-perikatan yang timbul dari persetujuan atau
perjanjian. Jadi, berisikan hukum perjanjian1.

Pada umumnya, perjanjian tidak terikat kepada suatu bentuk


tertentu, dapat dibuat secara lisan, dan andai kata dibuat tertulis maka
perjanjian bersifat sebagai alat pembuktian apabila terjadi perselisihan.
Untuk beberapa perjanjian, Undang_Undang menentukan bentuk tertentu
apabila bentuk itu tidak dituruti, perjanjian itu tidak sah. Dengan
demikian, bentuk tertulis tadi tidaklah hanya semata-mata merupakan alat
pembuktian saja, tetapi merupakan syarat adanya (bestaanwaarde)
perjanjian2.

Pengertian Perjanjian diatur di dalam Bab II Buku III Kitab


Undang- Undang Hukum Perdata tentang “Perikatan-Perikatan yang
Dilahirkan Dari Kontrak atau Perjanjian”, mulai Pasal 1313 sampai
dengan Pasal 1351, dimana ketentuan dalam Pasal 1313 merumuskan
pengertian perjanjian yang berbunyi : “Suatu perjanjian adalah suatu

1 R.Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 1982, hlm 122


2 Richard Eddy,  Aspek Legal Properti – Teori,Contoh,dan Aplikasi,  ANDI Yogyakarta,
2010, hlm. 45

4
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang lain atau lebih”.

Ketentuan  Pasal ini kurang tepat, karena ada beberapa kelemahan


yang perlu dikoreksi. Kelemahan-kelemahan tersebut sebagai berikut:

a.  Hanya menyangkut sepihak saja. Hal ini dapat diketahui dari rumusan
kata kerja “mengikatkan diri” yang sifatnya hanya datang dari satu
pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya rumusan itu ialah
“saling mengikatkan diri”, sehingga ada konsensus antara kedua belah
pihak;
b.   Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus. Dalam pengertian
“perbuatan” termasuk juga tindakan penyelenggaraan kepentingan
(zaakwarneming), tindakan melawan hukum (onrechtmatige daad)
yang tidak mengandung suatu konsensus, sehingga seharusnya dipakai
istilah “persetujuan”;
c.  Pengertian perjanjian terlalu luas. Pengertian perjanjian mencakup juga
perjanjian kawin yang diatur dalam bidang hukum keluarga, padahal
yang dimaksud adalah hubungan antara debitur dan kreditur mengenai
harta kekayaan. Perjanjian yang diatur dalam Buku III Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata sebenarnya hanya meliputi perjanjian yang
bersifat kebendaan, bukan bersifat kepribadian;
d. Tanpa menyebut tujuan atau memiliki tujuan yang tidak jelas. Dalam
rumusan Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak
disebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga pihak-pihak
mengikatkan diri itu tidak jelas untuk apa3.
Berdasarkan kelemahan yang terdapat dalam ketentuan Pasal 1313
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut, maka beberapa ahli

Abdulkadir Muhammad,  Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm
224-225.

5
hukum mencoba merumuskan defenisi perjanjian yang lebih lengkap,
yaitu;
1)  Subekti
“Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada
seorang lain, atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk
melaksanakan sesuatu hal”4.

2)   Abdulkadir Muhammad
“Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih
saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan
harta kekayaan”5

3)  Handri Raharjo
“Perjanjian merupakan suatu hubungan hukum di bidang harta kekayaan
yang didasari kata sepakat antara subjek hukum yang satu dengan yang
lain, dan diantara mereka (para pihak/subjek hukum) saling
mengikatkan dirinya sehingga subjek hukum yang satu berhak atas
prestasi dan begitu juga subjek hukum yang lain berkewajiban untuk
melaksanakan prestasinya sesuai dengan kesepakatan yang telah
disepakati para pihak tersebut serta menimbulkan akibat hukum”6.

4)  R.Wirjono Prodjodikoro
“Perjanjiaan diartikan sebagai suatu perhubungan hukum mengenai harta
benda antara dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau dianggap
berjanjian untuk melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melakukan
sesuatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu”7.

4 Subekti, Hukum Perjanjain, Intermasa, Jakarta, 1990, hlm 1


5 Ibid, hlm. 1
6 Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2009, hlm 42.

7 Wirjono Prodjodikoro, Azas-azas Hukum Perjanjian, Mandar Maju, Bandung, 2000, hlm
4                    

6
2.  Syarat-Syarat Sah Perjanjian
Menurut Abdulkadir Muhammad, perjanjian yang sah adalah
perjanjian yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh Undang-
Undang. Perjanjian yang sah diakui dan diberi akibat hukum (legally
concluded contract). Menurut ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata, syarat-syarat sah perjanjian yaitu :

a.  Ada persetujuan kehendak antara pihak-pihak yang membuat perjanjian


(konsensus).
Persetujuan kehendak adalah kesepakatan, seia sekata antara pihak-
pihak mengenai pokok perjanjian, apa yang dikehendaki oleh pihak
yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lainnya8.

b.  Ada kecakapan pihak-pihak untuk membuat perjanjian (capacity).


Kecakapan berbuat adalah kewenangan untuk melakukan perbuatan-
perbuatan hukum sendiri yang dilakukan oleh subjek hukum. Pada
umumnya, seseorang dikatakan cakap melakukan perbuatan hukum
apabila ia sudah dewasa, artinya sudah mencapai umur 21 tahun atau
sudah kawin walaupun belum berumur 21 tahun.

Akibat hukum ketidakcakapan membuat perjanjian ialah bahwa


perjanjian yang telah dibuat itu dapat dimintakan pembatalannya
kepada hakim. Jika permbatalan tidak dimintakan oleh pihak yang
berkepentingan, sepanjang tidak dimungkiri oleh pihak yang
berkepentingan, perjanjian itu tetap berlaku bagi pihak-pihak9.

c.  Ada suatu hal tertentu (objek)


Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian, objek perjanjian,
prestasi yang wajib dipenuhi. Prestasi itu harus tertentu atau sekurang-
kurangnya dapat ditentukan. Jika pokok perjanjian, atau objek

8 Abdulkadir Muhammad, op. cit.,  hlm 228-230


9 Ibid. hlm 231

7
perjanjian, atau prestasi itu kabur, tidak jelas, sulit bahkan tidak
mungkin dilaksanakan, maka perjanjian itu batal (nietig,void)10
d.  Ada suatu sebab yang halal (causa)
Kata causa berasal dari bahasa Latin yang artinya sebab. Sebab adalah
suatu yang menyebabkan dan mendorong orang membuat perjanjian.
Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengartikan causa
yang halal bukanlah sebab dalam arti yang menyebabkan atau
mendorong orang membuat perjanjian, melainkan sebab dalam arti “isi
perjanjian itu sendiri” yang menggambarkan tujuan yang hendak
dicapai oleh para pihak.

Ketentuan dalam Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum


Perdata menjelaskan bahwa Undang-Undang tidak memperdulikan apa
yang menjadi sebab orang mengadakan perjanjian, karena yang
diperhatikan atau diawasi oleh Undang-Undang itu ialah “isi perjanjian
itu”, yang menggambarkan tujuan yang hendak dicapai oleh para pihak
serta isinya tidak dilarang oleh Undang-Undang, serta tidak
bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum11.

Syarat pertama dan kedua Pasal 1320 Kitab Undang-Undang


Hukum Perdata disebut syarat subjektif, karena melekat pada diri orang
yang menjadi subjek perjanjian. Jika syarat ini tidak dipenuhi,
perjanjian dapat dibatalkan. Tetapi jika tidak dimintakan pembatalan
kepada Hakim, perjanjian itu tetap mengikat pihak-pihak, walaupun
diancam pembatalan sebelum lampau waktu lima tahun (Pasasl 1454
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).

Syarat ketiga dan keempat Pasal 1320 Kitab Undang-Undang


Hukum Perdata disebut syarat objektif, karena mengenai sesuatu yang
menjadi objek perjanjian. Jika syarat ini tidak dipenuhi, perjanjian batal.
Kebatalan ini dapat diketahui apabila perjanjian tidak mencapai tujuan

10 Ibid. hlm 231


11 Ibid, hlm 232

8
karena salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Kemudian
diperkarakan kemuka Hakim, dan Hakim menyatakan perjanjian batal,
karena tidak memenuhi syarat objektif.

3.   Asas-Asas Perjanjian
Hukum perjanjian mengenal beberapa asas penting, yang
merupakan dasar kehendak pihak-pihak dalam mencapai tujuan. Beberapa
asas tersebut adalah sebagai berikut ini:

a.   Asas kebebasan berkontrak. Setiap orang bebas mengadakan perjanjian


apa saja, baik yang sudah diatur atau belum diatur dalam Undang-
Undang. Tetapi kebebasan tersebut dibatasi oleh tiga hal yaitu tidak
dilarang oleh Undang-Undang, tidak bertentangan dengan ketertiban
umum, tidak bertentangan dengan kesusilaan12.
b.   Asas pelengkap. Asa ini mengandung arti bahwa ketentuan Undang-
Undang boleh tidak diikuti apabila pihak-pihak menghendaki dan
membuat ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari ketentuan
Undang-Undang . tetapi apabila dalam perjanjian yag mereka buat tidak
ditentukan lain, maka berlakulah ketentuan Undang-Undang. Asas ini
hanya mengenai hak dan kewajiban pihak-pihak saja13.
c.  Asas konsensual. Asas in mengandung arti bahwa perjanjian itu tidak
terjadi saat tercapainya kata sepakat (konsensus) antara pihak-pihak
mengenai pokok perjanjian. Sejak saat itu perjanjian mengikat dan
mempunyai akibat hukum. Dari asa ini dapat disimpulkan bahwa
perjanjian yang dibuat cukup secara lisan saja. Tetapi ada perjanjian
tertentu yang dibuat secara tertulis, misalnya perjanjian perdamaian,
hubah, pertanggungan. Tujuannya ialah untuk bukti lengkap mengenai
apa yang mereka perjanjikan14.

12 Abdulkadir Muhammad. Op.cit., hlm 225


13 Ibid, hlm 226
14 Ibid, hlm 226

9
d.  Asas obligator. Asas ini mengandung arti bahwa perjanjian dibuat oleh
pihak-pihak itu baru dalam taraf menimbulkan hak dan kewajiban
saja,15
e.   Asas tidak boleh main hakim sendiri. Asas ini patut mendapat
perhatian karena apabila dalam suatu perjanjian yang telah dibuat
dengan kesepakatan bersama antara para pihak, dan kemudian ternyata
tidak bisa dipenuhi oleh salah satu pihak yang seharusnya berkewajiban
melaksanakan perjanjian sebagaimana yang telah dibuat, dengan
sendirinya terjadi breach of contract atau pelanggaran terhadap
kesepakatan. Oleh karena itu, dalam keadaan demikian, pihak yang
melakukan wanprestasi harus dapat dipaksa untuk memenuhi
kewajibannya16.

4.  Cara Membuat Perjanjian


Tidak ada aturan baku dalam membuat sebuah perjanjian, artinya
bentuk/format dan isinya diserahkan kepada masing-masing pihak, hal ini
sesuai dengan asas kebebasan berkontrak yang terkandung dalam hukum
perjanjian. Intinya, perjanjian yang dibuat para pihak harus dapat
menampung segala kebutuhan dari para pihak yang membuatnya dan
harus sedetail mungkin karena semakin detail sebuah perjanjian maka akan
memudahkan para pihak untuk melaksanakan perjanjian tersebut karena
tidak menimbulkan penafsiran ganda dan memperkecil celah pihak lain
untuk melakukan pelanggaran terhadap perjanjian yang telah dibuat.

Seperti telah dijabarkan diatas bahwa pada dasarnya tidak ada


aturan yang mengikat dalm membuat perjanjian namun sebuah perjanjian
idealnya memuat:

15 Ibid, hlm 226


16 I.G.Rai Widjaya, op.cit. hlm 31

10
1)      Identitas para pihak dan saksi
2)      Objek perjanjian.
3)      Harga kesepakatan.
4)      Sitem pembayaran
5)      Hak dan kewajiban pihak pertama
6)      Hak dan kewajiban pihak kedua
7)     Penyelesaian perselisihan: secara kekeluargaan atau pengadilan
berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku
8)      Waktu perjanjian
9)      Syarat keaslian perjanjian17.

5. Pinjam Pakai Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata


a. Hukum Pinjam Pakai

Pinjam Pakai adalah salah satu jenis dari kontrak nominaat.


Istilah kontrak nominaat merupakan terjemahan dari nominaat contract.
Kontrak nominaat sama artinya dengan perjanjian bernama atau
benoemde dalam bahasa Belanda. Kontrak nominaat merupakan
perjanjian yang dikenal dan terdapat dalam pasal 1319 KUH Perdata,
Pasal 1319 KUH Perdata berbunyi
“Semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus,
maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada
peraturan umum yang termuat dalam bab ini dan bab yang lalu.”Dalam
perjanjian pijam pakai, barang yang dipinjamkan tidak habis atau
musnah karena pemakaian. Sipemilik barang meminjamkan barangnya
kepada peminjam secara cuma-Cuma. Hukum Pinjam pakai diatur
dalam pasal 1740 sampai dengan pasal 1753 KUP Perdata. Pinjam
pakai adalah suatu persetujuan dimana pihak yang satu memberikan
suatu barang kepada pihak yang lainnya untuk dipakai dengan cuma-
cuma, dengan syarat bahwa yang menerima barang ini setelah

17 Hendri Raharjo, op.cit,  hlm109-110

11
memakainya atau setelah lewatnya suatu waktu tertentu akan
mengembalikan (Pasal 1740 KUH Perdata). Pihak yang meminjamkan
tetap menjadi emilik barang yang dipinjamkan.
Perjanjian pinjam pakai ini merupakan contoh dari suatu
perjanjian sepihak atau unilateral (dimana perkataan “sepihak”
ditujukan pada hanya adanya prestasi dari satu pihak saja). Sifatnya
sepihak itu dinyatakan dengan rumusan “dipakai dengan cuma-cuma”,
artinya hanya pihak yang meminjamkan yang berprestasi, sedangkan
pihak yang meminjam hanya menggunakan tanpa ada balas prestasi
kepada yang meminjamkan. Sehingga didalam perjanjian pinjam pakai
ini tidak terdapat kontra prestasi.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam perjanjian pinjam pakai adalah :

1. Kewajiban Peminjam.

Pihak yang menerima pinjaman barang mempunyai beberapa


kewajiban, yaitu :

a. Berkewajiban menyimpan dan memelihara barang pinjaman


sebagai seorang tuan rumah yang baik. Peminjam hanya boleh
menggunakan barang yang dipinjam-pakaikan untuk keperluan
seperti yang telah ditetapkan dalam perjanjian. Penyimpangan
dari hal-hal tersebut dapat diancam mengganti biaya, kerugian,
dan bunga.
b. Bertanggung jawab atas kemusnahan barang tersebut, walaupun
kemusnahan tersebut terjadi karena suatu kejadian yang tidak
disengaja.
c. Memberi ganti rugi atas barang tersebut apabila terjadi
kemusnahan sesuai dengan harga taksir yang telah dinilai pada
waktu perjanjian itu dibuat akan diganti dengan barang sejenis,
sama mutu dan jumlahnya.

12
2. Resiko Dalam Perjanjian Pinjam Pakai.
Mengenai resiko dalam perjanjian pinjam pakai, pasal 1744 KUH
Perdata menyebutkan bahwa :

 Resiko dalam perjanjian pinjam pakai berada di tangan si pemakai. 

Sedangkan pasal 1745 KUH Perdata menegaskan bahwa :

 Apabila barang yang dipinjam musnah karena suatu kejadian yang


tidak disengaja, maka peminjam bertanggung jawab atas
kemusnahan barang tersebut dan juga bertanggung jawab atas
barang-barang yang diakibatkan oleh barang tersebut.

Ketentuan yang berlaku dalam perjanjian pinjam pakai :

a. Apabila barang yang dipinjam itu berkurang harganya selama


pemakaian dan hal tersebut di luar kesalahan si pemakai, maka
pihak peminjam tidak bertanggung jawab atas berkurangnya
harga barang tersebut.
b. Apabila peminjam selama memakai barang telah mengeluarkan
biaya-biaya sementara, maka peminjam tidak boleh menuntut
kembali pada yang meminjamkan, kecuali apabila ada perjanjian
yang menyatakan demikian.
c. Apabila pihak peminjam terdiri dari beberapa orang secara
bersama-sama, maka masing-masing untuk keseluruhan
bertanggung jawab atas barang tersebut.

3. Kewajiban Yang Meminjamkan.


Kewajiban pihak yang meminjamkan adalah :

a. Tidak boleh minta kembali barang yang telah dipinjamkan,


kecuali telah lewat waktu.

13
b. Hanya boleh meminta kembali barang yang dipinjamkan
sebelum lewatnya waktu, apabila ada alasan-alasan yang
mendesak atau overmacht dan terjadi situasi ia sendiri sangat
memerlukan barang tersebut.
c. Mengganti biaya yang telah dikeluarkan di peminjam dalam
keadaan luar biasa dan sangat diperlukan, yang sifatnya sangat
mendesak dan peminjam sendiri tidak sempat memberitahukan
hal tersebut.
d. Bertanggung jawab atas kerugian sebagai akibat pihak yang
meminjamkan tidak memberitahukan bahwa barang tersebut
mempunyai cacat tersembunyi yang diketahuinya.

Biaya-biaya yang harus dikeluarkan :

1) Terhadap perbaikan-perbaikan kecil, pengeluaran biaya


ditanggung oleh peminjam.
2) Terhadap perbaikan-perbaikan besar, pengeluaran biaya
ditanggung oleh pihak yang meminjamkan.

Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa kewajiban-


kewajiban bagi si peminjam dan yang meminjamkan.
        Kewajiban yang menerima pinjaman adalah :
a)   menyimpan dan memelihara barang yang dipinjamnya sebagai
seorang bapak rumah yag baik (Pasal 1744 KUH Perdata)
b)   mengembalikan barang yang dipinjamnya tepat waktu, sesuai
dengan kesepakatan
Apabila barang yang dipinjam oleh yang menerima
pinjaman itu musnah atau rusak maka ia bertanggungjawab atas
musnahnya barang tersebut.
         Kewajiban dari pemberi pinjaman adalah
a)   tidak dapat meminta kembali barang yang dipinjamnya kecuali
lewat waku yang ditentukan (Pasal 1750 KUH Perdata)

14
b)   menyerahkan barang yang dipinjamnya
Hak pemberi pinjaman adalah menerima kembali barang yang telah
dipinjamnya.

b. Ketentuan Pinjam Pakai Menurut Kitab Undang-Undang Hukum


Perdata dapat di lihat dalam Buku Ketiga Perikatan Bab XII
Pinjam Pakai.

BAGIAN 1
Ketentuan-ketentuan Umum

1740. Pinjam pakai adalah suatu perjanjian dalam mana pihak yang
satu menyerahkan suatu barang untuk dipakai dengan cuma-cuma
kepada pihak lain, dengan syarat bahwa pihak yang menerima barang
itu setelah memakainya atau setelah lewat waktu yang ditentukan,
akan mengembalikan barang itu.

1741. Orang yang meminjamkan itu tetap menjadi pemilik mutlak


barang yang dipinjamkan itu.

1742. Segala sesuatu yang dipergunakan orang dan tidak dapat


musnah karena pemakaiannya, dapat menjadi pokok perjanjian ini.

1743. Semua perjanjian yang lahir dan perjanjian pinjami pakai,


beralih kepada ahli waris orang yang meminjamkan dan ahli waris
peminjam.

Akan tetapi jika pemberian pinjaman dilakukan hanya kepada orang


yang menerimanya dan khusus kepada orang itu sendiri, maka semua
ahli waris peminjam tidak dapat tetap menikmati barang pinjaman itu.

15
BAGIAN 2
Kewajiban-kewajiban Orang yang Menerima Barang Pinjam
Pakai

1744. Barangsiapa menerima suatu barang yang dipinjam wajib


memelihara barang itu sebagai seorang kepala keluarga yang baik, Ia
tidak boleh menggunakan barang itu selain untuk maksud pemakaian
yang sesuai dengan sifatnya, atau untuk kepentingan yang telah
ditentukan dalam perjanjian. Bila menyimpang dan larangan ini,
peminjam dapat dihukum mengganti biaya, kerugian dan bunga, kalau
ada alasan untuk itu.

Jika peminjam memakai barang itu untuk suatu tujuan lam atau lebih
lama dan yang semestinya, maka wajiblah ia bertanggung jawab atas
musnahnya barang itu sekalipun musnahnya barang itu disebabkan
oleh suatu peristiwa yang tidak disengaja.

1745. Jika barang pinjaman itu musnah karena suatu peristiwa yang
tidak disengaja, sedang ha! itu dapat dihindarkan o!eh peminjam
dengan jalan memakai barang kepunyaan sendiri atau jika peminjam
tidak mempedulikan barang pinjaman sewaktu terjadmya peristiwa
termaksud, sedangkan barang kepunyaannya sendiri diselamatkannya,
maka peminjam wajib bertangung jawab atas musnahnya barang itu.

1746. Jika barang itu telah ditaksir harganya pada waktu dipinjamkan
maka musnahnya barang itu meskipun ha! mi terjadi karena peristiwa
yang tak disengaja adalah tanggungan peminjam, kecuali kalau telah
dijanjikan sebaliknya.

1747. Jika barang itu menjadi berkurang harganya semata-mata karena


pemakaian yang sesuai dengan maksud peminjaman barang itu, dan
bukan karena kesalahan peminjam maka ia tidak bertanggung jawab
atas berkurangnya harga itu.

16
1748. Jika pemakai telah mengeluarkan biaya untuk dapat memakai
barang yang dipinjamnya itu, maka ia tidak dapat menuntut biaya
tersebut diganti.

1749. Jika beberapa orang bersama-sama meminjam satu barang,


maka mereka masing-masing wajib bertanggung jawab atas
keseluruhannya kepada pemberi pinjaman.

BAGIAN 3
Kewajiban-kewajiban Pemberi Pinjaman

1750. Pemberi pinjaman tidak dapat meminta kembali barang yang


dipinjamkannya kecuali bila sudah lewat waktu yang ditentukan, atau
dalam ha! tidak ada ketentuan tentang waktu peminjaman itu, bila
barang yang dipinjamkan itu telah atau dianggap telah selesai
digunakan untuk tujuan yang dimaksudkan.

1751. Akan tetapi bila dalam jangka waktu itu atau sebelum
berakhirnya keperluan untuk memakai barang itu, pemberi pinjaman
sangat membutuhkan barangnya dengan alasan yang mendesak dan
tidak terduga, maka dengan memperhatikan keadaan, Pengadilan
dapat memaksa penunjang untuk mengembalikan barang pinjaman itu
kepada pemberi pinjaman.

1752. Jika dalam jangka waktu pemakaian barang pinjaman itu


pemakai terpaksa mengeluarkan biaya yang sangat perlu guna
menyelamatkan barang pinjaman itu; dan begitu mendesak sehingga
oleh pemakai tidak sempat diberitahukan terlebih dahulu kepada
pemberi pinjaman, maka pemberi pinjaman ini wajib mengganti biaya
itu.

1753. Jika barang yang dipinjamkan itu mempunyai cacat-cacat


sedemikian rupa sehingga pemakai orang itu bisa mendapat rugi,

17
sedang pemberi pinjaman harus bertanggu jawab atas semua akibat
pemakaian barang.

6. Pinjam Pakai Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Kita Ketahui bahwa “pinjam pakai” sebagaimana diatur dalam


Pasal 1740 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”):

 “Pinjam pakai adalah suatu perjanjian dalam mana pihak yang


satu menyerahkan suatu barang untuk dipakai dengan cuma-cuma
kepada pihak lain, dengan syarat bahwa pihak yang menerima
barang itu setelah memakainya atau setelah lewat waktu yang
ditentukan, akan mengembalikan barang itu.”
  Pada dasarnya pinjam pakai adalah sebuah perjanjian.
Maka syarat sahnya perjanjian juga berlaku dalam hal pinjam pakai.
Syarat sah perjanjian terdapat dalam Pasal 1320 KUHPerdata:

a. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;


b. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
c. suatu pokok persoalan tertentu;
d. suatu sebab yang tidak terlarang.

  Melihat pada syarat sahnya perjanjian di atas, ini berarti


perjanjian tidak harus dibuat tertulis. Perjanjian secara lisan juga
sudah mengikat para pihak yang membuatnya, kecuali suatu
perjanjian diharuskan oleh peraturan perundang-undangan untuk
dibuat secara tertulis seperti perjanjian kerja waktu tertentu. Lebih
lanjut dapat dibaca artikel Perlunya Perjanjian Dibuat Secara Tertulis.
Ini berarti tindakan peminjaman yang terjadi antara Anda
dan teman Anda termasuk dalam ranah perdata, dan tindakan hukum
perdata antara Anda dan teman Anda ini tidak memerlukan perjanjian
tertulis. Tapi, perlu Anda ketahui bahwa akan lebih baik jika

18
perjanjian dibuat tertulis agar ada bukti tertulis yang dapat digunakan
jika di kemudian hari terjadi sengketa.
Mengenai apakah dapat menuntutnya secara pidana
(penggelapan), perlu Anda ketahui bahwa upaya hukum pidana
merupakan ultimum remedium (upaya terakhir). Jika Anda bisa
menyelesaikannya secara musyawarah (dalam hal ini teman Anda mau
mengganti kamera Anda) maupun secara perdata, maka lebih baik
upaya hukum pidana tidak digunakan. Lebih lanjut mengenai ultimum
remedium, Anda dapat membaca artikel Arti Ultimum Remedium.
Jika pada akhirnya Anda ingin menuntut secara pidana yaitu
atas dasar penggelapan, perbuatan penggelapan tersebut harus
memenuhi unsur-unsur tindak pidana penggelapan yang terdapat
dalam Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”):
 

“Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki


barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan
orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena
kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara
paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak
sembilan ratus rupiah.”

R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum


Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal
Demi Pasal (hal. 258) menjelaskan mengenai Pasal 372 KUHP.
Yaitu bahwa penggelapan adalah kejahatan yang hampir sama
dengan pencurian dalam Pasal 362 KUHP. Bedanya ialah bahwa
pada pencurian barang yang dimiliki itu masih belum berada di
tangan pencuri dan masih harus “diambilnya”, sedang pada
penggelapan waktu dimilikinya barang itu sudah ada di tangan si
pembuat tidak dengan kejahatan.

19
Sebagai contoh dalam putusan Pengadilan Negeri
Kabupaten Kediri Nomor: 17/Pid.B/2013/PN.Kdi. Dalam putusan
tersebut, terdakwa melakukan penggelapan uang, akan tetapi untuk
menutupi kejahatannya, terdakwa berpura-pura bahwa ia telah
dirampok. Kemudian pada saat terdakwa didatangi oleh Petugas
Polsek Banyakan, terdakwa memberikan keterangan kalau
terdakwa baru saja mengalami perampasan. Atas tindakannya
tersebut, terdakwa didakwa dengan Pasal 372 KUHP (penggelapan)
dan Pasal 220 KUHP (memberi laporan palsu). Hakim
memutuskan terdakwa dipidana penjara selama 5 (lima) bulan.
Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa :

PENERAPAN PASAL 372 dan Pasal 374 KUHP

PASAL 372 KUHP

1)   Bahwa, berdasarkan Pasal 372 Kitab Undang- Undang Hukum


Pidana yang berbunyi:

“Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki


barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah
kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya
bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan
pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda
paling banyak sembilan ratus rupiah”

Unsur- unsur dari pasal tersebut yaitu :

a)    Unsur Barang siapa, adalah menunjuk kepada pelaku tindak


pidana, dimana Pelaku ini adalah subyek hukum yang dapat
mempertanggungjawabkan perbuatannya baik jasmani
maupun rohani.

b)   Unsur Dengan Sengaja, bahwa kesengajaan yang dimaksud


haruslah meliputi seluruh unsur subjektif dari pasal ini;

20
-    Apabila unsur Dengan Sengaja dihubungkan dengan unsur
Memiliki secara melawan hukum atau Zich Toeeigenen,
maka perbuatan memiliki secara melawan hukum yang
dilakukan oleh pelaku haruslah secara sengaja dan
perbuatan memiliki tersebut haruslah sudah selesai
dilakukan, misalnya bahwa benda tersebut telah dijual,
ditukar atau dipakai sendiri;

-    Apabila unsur Dengan Sengaja dihubungkan dengan unsur


melawan hak atau Wederrechtelijk, maka ini berarti
bahwa si pelaku harus mengetahui, bahwa perbuatannya
tersebut yang berupa Zich Toeeigenen itu adalah
bertentangan dengan hak orang lain;

-    Apabila unsur Dengan Sengaja dihubungkan dengan unsur


Yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, maka
berarti bahwa si pelaku haruslah mengetahui bahwa benda
tersebut seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang
lain;

-    Apabila unsur Dengan Sengaja dihubungkan dengan unsur


yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan,
maka ini berarti bahwa si pelaku haruslah mengetahui,
bahwa benda yang telah ia miliki itu berada di bawah
kekuasaanya bukan karena kejahatan;

c)    Unsur Memiliki secara melawan hukum (Zich


Wederrechtelijk Toeeigenen), adalah menunjukkan
sifatnya yang melawan hukum dari perbuatan yang telah
dilakukan oleh pelaku, dimana menurut Profesor Strijd
Met datgene berarti bertentangan dengan kepatutan di
dalam pergaulan masyarakat;

21
Sedangkan menurut Profesor SIMONS, kata
Toeeigenen atauy menguasai dalam rumusan Pasal 372
KUHP memiliki pengertian yang sama dengan kata
Toeeigenen di dalam rumusan Pasal 362 KUHP yaitu
“Suatu tindakan yang demikian rupa yang membuat pelaku
memperoleh suatu kekuasaan yang nyata atas suatu benda
seperti yang dimiliki oleh pemiliknya dan pada saat yang
sama telah membuat kekuasaan itu diambil dari
pemiliknya”;

Menurut Profesor- Profesor Van BEMMELEN-


van HATTUM, yang dimaksud dengan Zich
Wederrechtelijk Toeeigenen yaitu melakukan suatu perilaku
yang mencerminkan putusan pelaku untuk secara mutlak
melaksanakan kekuasaan yang nyata atas suatu benda;

Menurut profesor- profesor NOYON-


LANGEMEIJER, Zich Wederrechtelijk Toeeigenen yaitu
membuat suatu putusan untuk memanfaatkan suatu benda
seperti yang dikehendaki menjadi tindakan – tindakan;

Menurut Menteri Kehakiman Belanda pada saat


pasal ini dibentuk yang kemudian dianut oleh HOGE
RAAD didalam berbagai arrsnya yang diantara lain telah
menyatakan, bahwa yang dimaksud dengan Zich
Wederrechtelijk Toeeigenen yaitu “penguasaan secara
sepihak oleh pemegang sbuah benda seolah-olah ia
merupakan pemiliknya, bertentangan dengan hak yang
membuat benda tersebut berada padanya;

d)   Unsur Suatu Benda, adalah bahwa perbuatan menguasai bagi


dirinya sendiri secara melawan hukum itu harus ditujukan
kepada “benda-bendayang berwujud dan bergerak”;

22
e)    Unsur Yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain,
adalah tidak setiap benda berwujud dan bergerak yang dapat
dijadikan objek dari kejahatan penggelapan, oleh karena itu
benda tersebut harus memenuhi syarat dimiliki oleh orang
lain dari si pelaku itu sendiri;

f)     Unsur yang ada dalam kekuasaannya bukan karena


kejahatan, adalah sesuatu benda itu dapat berada dibawah
kekuasaan seseorang tidaklah selalu karena kejahatan,
misalnya karena adanya perjanjian sewa-menyewa,pinjam-
meminjam, dan sebagainya. Dapat dikatakan bahwa sesuatu
benda itu telah berada di bawah kekuasaan seseorang
apabila orang itu telah benar-benar menguasai benda
tersebut secara langsung dan nyata, sehingga untuk
melakukan sesuatu dengan benda tersebut tidak diperlukan
sesuatu tindakan lainnya;

PASAL 374 KUHP

2)   Bahwa, berdasarkan Pasal 374 Kitab Undang- Undang Hukum


Pidana yang berbunyi:

“Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang menguasai


sesuatu benda karena ada jabatannya atau pekerjaanya
ataupun karena mendapatkan uang imbalan jasa, dihukum
dengan hukuman pidana penjara paling lama lima tahun”

Unsur- unsur dari pasal tersebut sama dengan Pasal 372


Kitab Undang- undang Hukum Pidana namun ditambahkan
dengan unsur yang memberatkan yaitu :

a.   Hubungan kerja pribadinya atau

b.   Mata pencahariannya atau

23
c.    Mendapat imbalan jasa,

Bahwa, unsur dikarenakan hubungan kerja pribadinya


adalah terdapat hubungan misalnya antara seorang majikan
dengan seorang buruh, seorang karyawan atau seorang
pelayan;

Bahwa, unsur dikarenakan mata pencahariannya,


adalah apabila seseorang itu melakukan sesuatu perbuatan bagi
orang lain secara terbatas dan tertentu. Misalnya seorang
bendaharawan dari sebuah PT. ialah orang yang harus
melakukan suatu eprbuatan tertentu bagi orang lain yang
sifatnya terbatas. Apabila orang semacam ini yang karena
pekerjaanya menguasai sesuatu benda tidak karena kejahatan
melakukan perbuatan yang bertentangan dengan sifat dari
haknya yang ada terhadap benda tersebut, maka ia telah
melakukan suatu penggelapan dengan pemberatan;

Bahwa, unsur dikarenakan mendapat imbalan jasa,


apabila seseorang itu melakukan sesuatu perbuatan tertentu
bagi orang lain, dan untuk mana ia telah mendapat upah.
Misalnya seorang penjaga sepeda;

D. Penutup

Pinjam Pakai merupakan salah satu jenis dari kontrak nominaat.


Istilah kontrak nominaat merupakan terjemahan dari nominaat contract.
Kontrak nominaat sama artinya dengan perjanjian bernama atau benoemde
dalam bahasa Belanda. Kontrak nominaat merupakan perjanjian yang
dikenal dan terdapat dalam pasal 1319 KUH Perdata. Perjanjian pinjam
pakai termuat dalam pasal 1740 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa
Perjanjian pinjam pakai adalah suatu perjanjian di mana pihak yang
satu memberikan suatu barang kepada pihak lain untuk dipakai dengan
cuma-cuma, dengan syarat bahwa yang menerima barang setelah memakai

24
atau setelah lewatnya waktu pada suatu waktu tertentu akan
mengembalikannya. Pinjam Pakai secara rinci diatur dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata dapat di lihat dalam Buku Ketiga Perikatan Bab
XII Pinjam Pakai, Pasal 1740 KUH Perdata sampai dengan pasal 1753
KUH Perdata. Selain itu Masalah Pinjam Pakai dalam KUHP dapat dilihat
dalam Pasal 372 KUHP dan 374 KUHP.

DAFTAR PUSTAKA

Abdulkadir Muhammad, 2000 Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti,


Bandung,
Handri Raharjo, 2009, Hukum Perjanjian di Indonesia, Yogyakarta, Pustaka
Yustisia

Subekti,1990, Hukum Perjanjain, Jakarta, Intermasa,

__________. 1985. Aneka Perjanjian. Bandung : Alumni

__________, 1982, Pokok-Pokok Hukum Perdata,Jakarta, Intermasa


S, Salim H. 2011. Hukum Kontrak. Jakarta ; Sinar Grafika

Sari, Elsi Kartika. 2007. Huku dalam Ekonomi. Jakarta: Grasindo

Satrio, J. 1996. Hukum Jaminan, Hak-hak Jaminan Pribadi Penanggungan &


Perikatan Tanggung-menanggung. Bandung : Citra Aditya Bakti

R. Soesilo. 1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-


Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia: Bogor
Richard Eddy, 2010, Aspek Legal Properti – Teori,Contoh,dan Aplikasi,  ANDI
Yogyakarta
Wirjono Prodjodikoro, Azas-azas Hukum Perjanjian, Mandar Maju, Bandung,
2000,

25

Anda mungkin juga menyukai