Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

ANALISIS PUTUSAN WANPRESTASI ATAS PERJANJIAN KREDIT


(Studi Kasus Putusan Nomor 29/Pdt.G.S/2021/PN Mtr)

ROBBIE HANDOKO
NPM : 6052201407

UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN


FAKULTAS HUKUM
BANDUNG
2023
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya tidak terlepas dari adanya
bantuan dan kerjasama-kerjasama yang dilakukan yang seringkali di dalamnya telah
dibuat suatu perjanjian untuk pelaksanaan pekerjaan terhadap kesepakatan yang telah
dibuat sebelumnya untuk pemenuhan suatu prestasi, termasuk didalamnya dalam hal
perniagaan yang dilakukan khususnya pada transaksi jual beli. Perjanjian jual beli yang
dibuatkan secara sah tidak boleh dibatalkan oleh satu pihak saja.
Suatu perjanjian hanya dapat dibatalkan, bilamana ada persetujuan dari kedua
belah pihak yang mengadakan perjanjian tersebut. Tetapi dalam prakteknya tidak
sedikit dari para pihak yang terlibat dalam suatu perjanjian jual beli, melakukan
pelanggaran-pelanggaran dengan berbagai macam alasan dan argumen yang cenderung
untuk membenarkan mengapa mereka melanggar perjanjian tersebut, seperti misalnya
masalah ekonomi seperti turunnya daya beli masyarakat, sehingga menyebabkan
perjanjian tidak dapat dipenuhi.
Tidak jarang pula dalam praktek ada pihakpihak yang secara sengaja
menghindar dari pelaksanaan perjanjian jual beli tersebut bahkan dalam kenyataanya
beberapa pihak melarikan diri dengan tujuan untuk tidak melaksanakan perjanjian yang
sebelumnya telah mereka buat termasuk perjanjian jual beli yang telah dibuat secara
notariel, sehingga memiliki kekuatan pembuktian hukum. Disisi yang lain banyak
kejadian di sekitar kita, dimana salah satu pihak tidak terikat dengan perjanjian jual
beli, atau dengan kata lain tidak terdapat hubungan kontraktual di antara para pihak
akan tetapi ada pihak-pihak yang dirugikan secara hukum karena adanya suatu
peristiwa atau kejadian dalam transaski jual beli yang telah disepakati.
Yang menjadi permasalahan adalah bagaimana akibat hukum yang timbul
disebabkan adanya wanprestasi dalam perjanjian jual beli termasuk didalamnya adalah
bagaimana penyelesaian sengketa akibat adanya wanprestasi dalam perjanjian jual beli

2
tersebut. Berkaitan dengan perikatan di mana inti pokok suatu perikatan adalah pada
diri debitur ada kewajiban perikatan, ada kewajiban untuk memenuhi isi perikatan, dan
di lain pihak ada kreditur, pihak yang berhak atas perikatan itu.
Karena “perikatan” mendapat pengaturannya dalam undang-undang terutama
dalam Buku III BW, maka pelanggarannya mendapatkan sanksi hukum atau dengan
perkataan lain, hak kreditur terhadap debitur mendapat perlindungan di dalam hukum.1
Uraian yang telah diungkapkan sebelumnya tentu menarik bagi kita untuk mencoba
mengkaji dan mengungkapkan permasalahan tersebut, melalui topik yaitu akibat
hukum yang timbul disebabkan oleh adanya wanprestasi dalam perjanjian jual beli dan
penyelesaian sengketa akibat adanya wanprestasi dalam perjanjian jual beli untuk
dikaji secara ilmiah dan disajikan dalam bentuk makalah.

B. TUJUAN PENULISAN
Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Hukum Perjanjian, khususnya
materi mengenai kekeliruan dalam penafsiran pasal yang menyebabkan perbuatan
cindera janji (wanprestasi) pada salah satu putusan pengadilan. Sekaligus menjadi
bahan bacaan yang dapat menambah ilmu pengetahuan pembaca tulisan ini.

1
J. Satrio, Wanprestasi Menurut KUH Perdata, Doktrin dan Yurisprudensi (Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 2014). Hal.8

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN PERJANJIAN
Pengertian perjanjian diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata yang
menyebutkan bahwa : “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu
orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.” Definisi
tersebut tidak jelas karena setiap perbuatan dapat disebut dengan perjanjian.
Ketidakjelasan definisi tersebut disebabkan dalam rumusan hanya disebutkan
perbuatan saja, sehingga yang bukan perbuatan hukum pun disebut dengan perjanjian.2
Buku III KUHPerdata mengatur perihal hubungan hukum antara orang dengan orang
(hak-hak perseorangan), meskipun mungkin yang menjadi obyek juga suatu benda.
Sebagian besar Buku III KUHPerdata ditujukan pada perikatan yang timbul dari
persetujuan atau perjanjian, jadi berisikan hukum perjanjian. Perikatan merupakan
suatu pengertian abstrak, sedangkan perjanjian adalah suatu peristiwa hukum yang
kongkrit.3 Rumusan Pasal 1313 KUHPerdata selain tidak jelas juga sangat luas, perlu
diadakan perbaikan mengenai definisi tersebut, yaitu :
1. Perbuatan harus diartikan sebagai perbuatan hukum, yaitu perbuatan
yang bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum.
2. Menambahkan perkataan “atau saling mengikatkan dirinya” dalam Pasal
1313 KUHPerdata.4
Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan hukum, dengan mana satu orangatau
lebih saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.5 Perjanjian adalah
hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk
menimbulkan akibat hukum.6 Isi dari perjanjian adalah mengenai kaidah tentang apa

2
Salim HS, Hukum Kontrak (Jakarta: Sinar Grafika, 2003). Hal. 15
3
Subekti, Aneka Perjanjian (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1995). Hal.122
4
Subekti, Hukum Perjanjian (Jakarta: Intermasa, 2005). Hal. 1
5
Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan (Bandung: Bina Cipta, 1994). Hal.49
6
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar (Yogyakarta: Liberty, 1992). Hal. 15

4
yang harus dilakukan oleh kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian, berisi hak
dan kewajiban kedua belah pihak yang harus dilaksanakan. Jadi perjanjian hanyalah
mengikat dan berlaku bagi pihak-pihak tertentu saja.7 Perjanjian mengandung beberapa
unsur yang mempertegas perjanjian itu sendiri sehingga dapat menimbulkan akibat
hukum. Mengelompokkan unsur- unsur perjanjian sebagai berikut : 8
1. Unsur Essensialia
adalah unsur mutlak yang harus ada bagi terjadinya perjanjian.Unsur ini
mutlak harus ada agar perjanjian itu sah.
2. Unsur Naturalia
adalah unsur yang lazimnya melekat pada perjanjian, yaitu unsur yang
tanpa diperjanjikan secara khusus dalam perjanjian secara diam-diam
dengan sendirinya dianggap ada dalam perjanjian karena sudah
merupakan pembawaan atau melekat pada perjanjian.
3. Unsur Accidentalia
adalah unsur yang harus dimuat atau disebut secara tegas dalam
perjanjian. Unsur ini harus secara tegas diperjanjikan.
Menurut Black’s Law Dictionary, perjanjian yang diartikan dengan contract
yaitu : “An aggreement between two or more person whichcreates an obligations to do
or not to do particular thing.” Artinya, kontrak atau perjanjian adalah suatu
persetujuan antara dua orang atau lebih untuk melaksanakan kewajiban baik untuk
melakukan sesuatu atau tidak melakukan lebih yang sesuatu secara sebagian. Perjanjian
adalah suatu peristiwa seseorang berjanji kepada orang lain atau dua orang itu saling
berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Bentuk perjanjian berupa suatu rangkaian
perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.9

7
Ibid. Hal. 112
8
Ibid.
9
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar (Yogyakarta: Liberty, 2007). Hal. 118-
119.

5
Berdasarkan beberapa definisi perjanjian di atas dapat dijabarkan bahwa
pengertian perjanjian adalah perbuatan hukum antara dua pihak atau saling
mengikatkan diri untuk menimbulkan hak dan kewajiban. Perjanjian tidak merupakan
suatu perbuatan hukum, akan tetapi merupakan hubungan hukum antara dua orang
yang bersepakat untuk menimbulkan akibat hukum.

B. PENGERTIAN WANPRESTASI
Pasal 1234 KUH Perdata menyebutkan pengertian wanprestasi adalah apabila
seorang debitur tidak melakukan prestasi sama sekali atau melakukan prestasi yang
keliru atau terlambat melakukan prestasi, maka dalam hal-hal yang demikian itulah
yang disebut seorang debitur melakukan wanprestasi. Berdasarkan batasan-batasan ini
dapat diambil bentuk-bentuk wanprestasi yaitu :
1. Tidak melakukan prestasi sama sekali ;
2. Melakukan prestasi yang keliru ; dan
3. Terlambat melakukan prestasi.
Wanprestasi atau cedera janji itu ada kalau seorang debitur itu tidak dapat
membuktikan bahwa tidak dapatnya ia melakukan prestasi adalah di luar kesalahannya
atau dengan kata lain debitur tidak dapat membuktikan adanya overmacht, jadi dalam
hal ini debitur jelas tidak bersalah. Dalam praktek dianggap bahwa wanprestasi itu
tidak secara otomatis, kecuali kalau memang sudah disepakati oleh para pihak bahwa
wanprestasi itu ada sejak tanggal yang disebutkan dalam perjanjian dilewatkan.
Tentang penentuan tanggal timbulnya wanprestasi kebanyakan para ahli
hukum berpendapat bahwa kreditur harus memperhitungkan waktu yang layak
diberikan kepada debitur untuk dapat melaksanakan prestasi tersebut. Ukuran dari
waktu yang layak ini, tidak ada jawaban yang memuaskan terhadap masalah ini,
sehingga harus diteliti dengan baik. Selanjutnya perlu dipertimbangkan pula
mengenai itikad baik dari keduabelah pihak baik debitur maupun kreditur.
Menurut pendapat yang dikemukakan oleh Sri Soedewi Masjchoen Sofwan
menyatakan bahwa debitur dinyatakan melakukan wanprestasi jika memenuhi 3 (tiga)

6
unsur sebagai berikut :10
1. Perbuatan yang dilakukan debitur itu dapat disesalkan ;
2. Akibatnya dapat diduga lebih dahulu baik dalam arti yang objektif yaitu
orang yang normal dapat menduga, bahwa keadaan itu akan timbul
maupun dalam arti yang subjektif, yaitu sebagai orang yang ahli dapat
menduga keadaan demikian akan timbul.
3. Dapat diminta untuk mempertanggungjwabkan perbuatannya, artinya
bukan orang gila atau lemah ingatan.
Pada dasarnya wanprestasi tersebut dapat terjadi karena 2 (dua) hal,sebagai
berikut :
1. Kesengajaan, maksudnya perbuatan itu memang diketahui atau
dikehendaki oleh debitur.
2. Kelalaian, maksudnya si debitur tidak mengetahui adanya kemungkinan
bahwa akibat itu akan terjadi.
Berdasarkan kedua hal tersebut menimbulkan akibat yang berbeda karena
dengan adanya kesengajaan si debitur, maka si debitur harus lebih banyak mengganti
kerugian daripada dalam hal adanya kelalaian. Selain itu, untuk menentukan apakah
seorang debitur bersalah melakukan wanprestasi, perlu juga ditentukan dalam keadaan
bagaimana debitur dikatakan sengaja atau lalai tidak memenuhi prestasinya.
Selanjutnya Subekti membagi wanprestasidalam 4 (empat) bentuk, yaitu :11
1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan.
2. Melaksanakan apa yang dijanjikan tetapi tidak sebagaimanadijanjikan.
3. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat.
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.

10
Sri Soedewi Masjchoen Sofyan, “Hukum Badan Pribadi,” in Seksi Hukum Perdata FH UGM
(Yogyakarta, 1996). Hlm 45
11
Indah Utama Putri, “PENYELESAIAN WANPRESTASI AKIBAT KETERLAMBATAN PENYELESAIAN
PENCUCIAN PAKAIAN ( Suatu Penelitian di Kota Banda Aceh ) DEFAULT SETTLEMENT CAUSED BY THE
LAUNDRY COMPLETION DELAY ( a Research in Banda Aceh City ) PENDAHULUAN Pada zaman modern
ini masyarakat m” 3, no. 2 (2019): 301–313.

7
Pendapat yang dikemukakan oleh Wirjono Prodjodikoro, menyebutkan
bahwasanya wanprestasi ada 3 (tiga), yaitu :12
1. Pihak yang berwajib sama sekali tidak melaksanakan janjinya.
2. Pihak yang berwajib terlambat melaksanakan kewajibannya.
3. Melaksanakan tetapi tidak secara semestinya atau tidak sebaik-baiknya.
Wanprestasi membawa akibat yang berat bagi kreditur, maka wanprestasi
tidak terjadi dengan sendirinya, sehingga untuk itu dibedakan antara perutangan
dengan ketentuan waktu dan perutangan tidak dengan ketentuan waktu. Perutangan
dengan ketentuan waktu, wanprestasi terjadi apabila batas waktu yang ditetapkan
dalam perjanjian lampau tanpa adanya prestasi, tetapi batas waktu inipun tidak mudah
karena dalam praktek sering ada kelonggaran. Suatu peraturan yang tidak dengan
ketentuan waktu biasanya digunakan kepantasan, tetapi azas ini juga tidak memuaskan
karena ukuran kepantasan tidak sama bagi setiap orang. Kemudian dipergunakan suatu
upaya hukum yang disebut in gebreke stelling untuk menentukan kapankah saat
mulainya wanprestasi.
Wanprestasi membawa akibat yang merugikan bagi debitur, karena pada saat
tersebut debitur berkewajiban untuk mengganti kerugian yang timbul sebagai akibat
daripada ingkar janji tersebut. Dalam hal debitur melakukan wanprestasi, kreditur
dapat menuntut beberapa hal, antara lain :
1. Pemenuhan perikatan.
2. Pemenuhan perikatan dengan ganti rugi.
3. Ganti rugi.
4. Pembatalan persetujuan timbal balik.
5. Pembatalan dengan ganti rugi.
Adakalanya suatu perjanjian telah memenuhi syarat-syarat sahnya suatu
perjanjian, tidak juga dapat terlaksana sebagaimana yang telah diperjanjikan. Dalam

12
Muhammad D W I Syahrul, “Fakultas hukum universitas batanghari tahun ajaran 2021/2022”
(2022).

8
hukum perjanjian, ada dua hal yang menyebabkan tidak terlaksananya suatu perjanjian
yaitu : wanprestasi atau ingkar janji atau cidera janji dan overmacht. Wanprestasi
(kelalaian atau alpa) yaitu tidak terlaksananya suatu perjanjian karena kesalahan
atau kelalaian atau cidera janji/ingkar janji dari para pihak. Perkataan wanprestasi
berasal dari bahasa Belanda “wanprestatie”, yang artinya tidak memenuhi kewajiban
yang telah ditetapkan dalam perjanjian. Jadi apabila si berutang (debitur) tidak
melakukan apa yang telah diperjanjikan, makadikatakan ia melakukan wanprestasi.

C. JAMINAN
Kredit atau pembiayaan yang diberikan oleh bank pada dasarnya mengandung
resiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan azas-azas
perkreditan atau pembiayaan yang sehat. Untuk mengurangi resiko tersebut, jaminan
pemberian kredit atau pembiayaan dalam arti keyakinan atas kemampuan dan
kesanggupan nasabah debitor untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan yang
diperjanjikan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh bank. Untuk
memperoleh keyakinan tersebut, sebelum memberikan kredit, pihak bank harus
melakukan penilaian yang seksama terhadap 5 (lima) hal penting sebagaimana telah
disebutkan, yaitu character, capacity, capital, conditions, dan collateral dari seseorang
yang akan melakukan kredit.13
Jaminan atau agunan adalah aset pihak peminjam yang dijanjikan kepada
pemberi pinjaman jika peminjam tidak dapat mengembalikan pinjaman tersebut. Jika
peminjam gagal bayar, pihak pemberi pinjaman dapat memiliki agunan tersebut.
Dalam pemeringkatan kredit, jaminan sering menjadi faktor penting untuk
meningkatkan nilai kredit perseorangan ataupun perusahaan. Jaminan merupakan satu-
satunya faktor yang dinilai dalam menentukan besarnyapinjaman. Menurut ketentuan
Pasal 1 butir 23 agunan adalah :

13
H. Tan Kamelo, “Hukum Jaminan Fidusia,” in Suatu Kebutuhan Yang Didambakan (Bandung: Alumni,
2004).Hal. 31

9
Jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitor kepada bank dalam rangka
pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan. Jaminan adalah menjamin
dipenuhinya kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu
perikatan hukum.
Terkait dengan rumusan pengertian jaminan, Rachmadi Usman menyebutkan bahwa :
Rumusan atau definisi yang tegas tentang jaminan tidak ditemukan dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (BW). Namun berdasarkan pendapat pakar
hukum, jaminan dapat diartikan sebagai sesuatu yang diberikan debitur kepada
kreditur untuk menimbulkan keyakinan bahwa debitur akan memenuhi
kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan.14
Hal yang dapat digunakan untuk menentukan rumusan jaminan adalah Pasal
1131 dan 1132 KUH Perdata yang diantaranya mensyaratkan bahwa tanpa
diperjanjikanpun seluruh harta kekayaan debitur merupakan jaminan bagi pelunasan
hutangnya. Berdasarkan pengertian jaminan tersebut di atas, maka dapat dikemukakan
bahwa fungsi utama dari jaminan adalah untuk meyakinkan bank atau kreditor bahwa
debitor mempunyai kemampuan untuk melunasi kredit yang diberikan kepadanya
sesuai dengan perjanjian kredit yang telah disepakati bersama. Secara umum, kata
jaminan dapat diartikan sebagai penyerahan kekayaan atau pernyataan kesanggupan
seseorang untuk menanggung kembali pembayaran suatu utang. Dengan demikian,
jaminan mengandung suatukekayaan (materiil) ataupun suatu pernyataan kesanggupan
(immateriil) yang dapat dijadikan sebagai sumber pelunasan utang.

D. AKIBAT HUKUM TERJADINYA WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN


KREDIT
Dalam setiap pemberian kredit yang diberikan oleh bank kepada masyarakat
(debitur) selaku penerima dana, tentunya bank sangat mengharapkan bahwa apa yang

14
Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustakatama,
2003). Hal. 54

10
diperjanjikan yang sudah dinyatakan dalam surat perjanjian kredit antara bank dengan
masyarakat penerima dana kredit, akan ditempati dan ditaati dan bank sangatlah
mengharapakan bahwa pengembalian pinjaman akan berlangsung tepat waktu sesuai
dengan jangka waktu yang diperjanjikan dalam syarat-syarat perjanjian kredit yang
dibuat. Namun tidaklah dapat disangkal pula bahwa kadang-kadang debitur
(masyarakat peminjam dana) dengan alasan-alasan yang bermacam ragam, mereka
belum atau tidak bisa mengembalikan hutangnya kepada bank (kreditur).
Perjanjian-perjanjian yang timbal balik ini dalam bahasa Belanda disebut
wederkerig. “Dalam persetujuan seperti ini selalu masingmasing pihak mempunyai
hak-hak dan kewajiban-kewajiban”.15 Mereka terikat dengan janji yang mereka buat
dan sebagaimana dikatakan oleh Pasal 1338 bagian pertama KUH Perdata, perjanjian
itu mengikat sebagai UU bagi mereka yang membuatnya.
Macetnya pengembalian dana pinjaman oleh masyarakat yang mengajukan
kredit, bisa saja terjadi dengan bermacam faktor antara lain, mungkin saja debitur
(masyarakat yang meminjam dana perbankan) dalam menjalankan usahanya
mengalami kerugian atau juga memang ada debitor yang beritikad tidak baik dimana
sejak awal sudah bermaksud untuk melakukan penipuan dan banyak alasan-alasan yang
lain. Bank selaku badan usaha tentu saja selalu mengharapkan bahwa kredit yang
disalurkannya dapat dikembalikan oleh debitor dalam hal ini masyarakat yang
menerima kredit. Namun bank juga sudah menyadari bahwa pasti akan timbul resiko
seiring dengan adanya perjanjian kredit yang diberikannya, resiko akan mengalami
kerugian, dan ini biasanya terjadi apabila kreditnya macet. Dalam rangka untuk
meminimalisir resiko yang muncul, bank akan menyalurkan kreditnya dengan
memegang erat pada prinsip kehati-hatian dan prinsip mengenal nasabah. Kedua
prinsip ini selalu dijalankan oleh bank dalam menyalurkan kredit. Prinsip kehati-hatian
(prudent banking principle) adalah suatu asas atau prinsip yang menyatakan bahwa

15
Wirdjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian, ed. S’gravenhage , Vorkink-van Hoeve, Ketiga.
(Bandung, n.d.). Hal.75

11
dalam menjalankan fungsi dan kegiatan usahanya, bank wajib bersikap hatihati
(prudent) dalam rangka melindungi dana masyarakat yang dipercayakan kepadanya. 16
Hal ini disebutkan dalam Pasal 2 UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan bahwa,
“perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi
dengan menggunakan prinsip kehati-hatian”.17
Di dalam UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, tentang prinsip kehati-
hatian ada pasal yang secara eksplisit mengandung substansi prinsip kehati-hatian.
Selain itu UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Bab V yang mengatur tentang
Pembinaan dan Pengawasan terdiri dari Pasal 29 sampai dengan Pasal 37B, maka Pasal
29 merupakan salah satu pasal yang termasuk dalam ruang lingkup pembinaan dan
pengawasan. Artinya, ketentuan prinsip kehati-hatian (prudent banking) mrupakan
bagian dari pembinaan dan pengawasan bank. Anwar Nasution mengatakan bahwa,
ketentuan prinsip kehati-hatian (prudent banking) termasuk dalam ruang lingkup
pembinaan bank dalam arti sempit.18
Apa yang dimaksud dengan prinsip kehatihatian, oleh UU No. 10 Tahun 1998
tentang Perbankan sama sekali tidak dijelaskan. UU No. 10 Tahun 1998 hanya
menyebutkan istilah dan ruang lingkupnya sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 29 ayat
(2), ayat (3) dan ayat (4). Anwar Nasution menyebutkan bahwa ruang aturan prudent
banking (pembinaan dalam arti sempit) meliputi persyaratan modal awal maupun rasio
modal terhadap kemungkinan resiko yang dihadapinya, Batas Maksimum Pemberian
Kredit (BMPK), rasio pinjaman terhadap deposito maupun posisi luar negeri, rasio
cadangan minimum, cadangan penghapusan aktiva produktif (kredit macet),
transparansi pembukuan berdasarkan standarisasi akuntansi serta audit.19

16
Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2001). Hal 18
17
Sentosa Sembiring, Hukum Perbankan, revisi. (Bandung: Mandar Maju, 2012). Hlm 313
18
Anwar Nasution, “Pokok-Pokok Pikiran tetang Pembinaan dan Pengawasan Perbankan dalam rangka
Pemantapan Kepercayaan kepada Masyarakat terhadap Industri Perbankan, Makalah disampaikn
pada Seminar ‘Pertanggungjawaban Bank Terhadap Nasabah,’” Departemen Kehakiman (Jakarta:
BPHN, n.d.).Hal 2
19
Ibid.

12
Hal menarik dalam prinsip kehati-hatian bank adalah adanya kewajiban bagi
bank untuk menyediakan informasi mengenai kemungkinan timbulnya resiko
keinginan sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan bank, sebagaimana
dijelaskan dalam Pasal 29 ayat (4). Dalam Penjelasan Pasal 29 ayat (4) disebutkan
bahwa: “Penyediaan informasi mengenai kemungkinan timbulnya resiko kerugian
nasabah, dimaksudkan agar akses untuk memperoleh informasi perihal kegiatan usaha
dan kondisi bank menjadi lebih terbuka yang sekaligus menjamin adanya transparansi
dalam dunia perbankan. Informasi tersebut perlu diberikan dalam hal bank bertindak
sebagai perantara dana dari nasabah atau pembelian/penjualan surat berharga untuk
kepentingan dan atas perintah nasabahnya”.20
Pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain dalam suatu perjanjian berhak
menuntut pihak lain yang tidak melaksanakan isi perjanjian itu dengan perantaraan
hakim atau melalui saluran hukum. Perjanjian yang dibuat secara sah tidak boleh
dibatalkan oleh satu pihak saja. Suatu perjanjian hanya dapat dibatalkan, bilamana ada
persetujuan dari kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian itu. Sebenarnya, lepas
dari sanksi hukum yang dikenakan terhadap pihak yang melakukan wanprestasi, maka
dari segi etika, seharusnya suatu perjanjian itu dilaksanakan dengan itikad baik.
Kalau seseorang berjanji kepada orang lain, lalu tidak melaksanakannya apa
yang dijanjikannya itu maka di samping ia melanggar kaidah hukum, juga sekaligus
juga melanggar kaidah kesusilaan dan kaidah agama, karena agama manapun yang ada
di dunia ini. Mengajarkan orang untuk menepati janji yang telah diperbuatnya kepada
orang lain.
Menurut Sunarjati Hartono, : “Bahwa keadilanlah yang menghendaki agar
supaya orang menepati janjinya, agar supaya setiap orang menerima apa yang menjadi
haknya”. Pasal 1338 KUH Perdata mengatakan bahwa semua persetujuan (perjanjian)
yang dibuat secara sah berlaku sebagai UU bagi mereka yang membuatnya. Kalau kita
menggunakan penafsiran argumentum a contrario, maka pasal ini dapat dibaca : semua

20
Sembiring, Hukum Perbankan.Op-Cit, hm 360

13
perjanjian (persetujuan) yang tidak dibuat secara sah, tidak berlaku sebagai UU bagi
mereka yang membuatnya. Berdasarkan rumusan Pasal 1338 KUH Perdata ini dapat
disimpulkan bahwa hanya perjanjian yang dibuat secara sah, artinya memenuhi syarat-
syarat yang ditentukan dalam perundang-undangan itu, mengikat dan mempunyai daya
berlaku.
Mengenai syarat-syarat sahnya suatu perjanjian di setiap negara telah
dirumuskan dalam UU khususnya dalam KUH Perdata. Di dalam KUH Perdata di
Indonesia, syarat-syarat untuk sahnya suatu perjanjian diatur dalam Buku III Pasal 1320
KUH Perdata yang berbunyi sebagai berikut : “Untuk sahnya persetujuan-persetujuan,
diperlukan empat syarat:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal”.21
Di sini istilah “persetujuan” dipakai untuk pengertian yang sama dengan
“perjanjian” sebagai hasil terjemahan “overeenkomst” dalam bahasa Belanda.
Berdasarkan keempat syarat-syarat untuk sahnya suatu perjanjian, maka dua syarat
yang pertama (sepakat dan kecakapan) disebut syarat-syarat subyektif, sedang dua
syarat yang kedua (hal tertentu dan causa) adalah syaratsyarat obyektif. Dikatakan
syarat subjektif karena mengenai orang-orang atau subjeksubjek hukum yang
mengadakan perjanjian itu, sedang dikatakan syarat obyektif karena mengenai
perjanjian itu sendiri atau obyek dari perbuatan yang dilakukan itu.

E. KEDUDUKAN HUKUM
Bahwa Penggugat dalam hal ini PT BANK RAKYAT INDONESIA (PERSERO)
Tbk, KANTOR CABANG MATARAM telah mengajukan gugatan sederhana yang

21
R. Tjitrosudibio R. Subekti, Kitab Undang-undang Hukum Perdata (terjemahan dari BW) (Jakarta:
Pradnya Paramita, 1980). Hal.307

14
terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Mataram dibawah gugatan sederhana
Nomor 29/Pdt.G.S/2021/PN Mtr tanggal 30 Juni 202122 tentang Wanprestasi atas
perjanjian pada hari : Jumat, tanggal 30 september 2016. Para tergugat tidak merasa
mengakui adanya Surat Pengakuan Hutang (SPH) B.384/4685/4/2015 tanggal
30 September 2016, yang disertai dengan surat pernyataan penyerahan agunan
tanggal 21 April 2015.
Bahwa dalam hal ini para tergugat salah tafsir tentang isi perjanjian mengenai
cicilan yang sudah dibayarkan sebagaimana mestinya, tentang memperoleh
fasilitas kredit sebesar Rp. 80.800.000,- ( DELAPAN PULUH JUTA DELAPAN
RATUS RIBU) sesuai Surat Pengakuan Hutang nomor B.384/4685/4/2015 tanggal
30 September 2016. Dengan Pokok pinjaman berikut bunganya harus dibayar
kembali oleh Para Tergugat kepada Penggugat dalam jangka waktu 84 Bulan
terhitung sejak tanggal ditandatanganinya Surat Pengakuan Hutang ini yaitu pada
tanggal 30 September 2016. Pokok pinjaman berikut bunganya harus dibayar
kembali oleh Para Tergugat tiap akhir bulan sekaligus lunas dengan angsuran yang
sama besarnya yang meliputi angsuran pokok dan bunga sebesar Rp. 2.739.000,-
( DUA JUTA TUJUH RATUS TIGA PULUH SEMBILAN RIBU ) sekaligus
lunas.
Bahwa Para Tergugat tidak memenuhi kewajiban / wanprestasi / ingkar janji,
karena tidak melaksanakan ketentuan Pasal 2 ayat (2) Surat Pengakuan Hutang
(SPH) Nomor B.384/4685/4/2015 tanggal 30 September 2016. Bahwa Para
Tergugat tidak membayar angsuran pinjaman sejak 27 Mei 2016 sehingga
pinjaman Para Tergugat menunggak dengan total kewajiban sebesar Rp
73.424.622,- ( TUJUH PULUH TIGA JUTA EMPAT RATUS DUA PULUH
EMPAT RIBU ENAM RATUS DUA PULUH DUA).

22
“PUTUSAN PN MATARAM 29/PDT.G.S/2021/PN MTR,” Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik
Indonesia, diakses Juni 17, 2023,
https://putusan3.mahkamahagung.go.id/direktori/download_file/09f01cebabc15507dcd3a65ea7020
9c2/pdf/zaebf0c8c6a07d1a890e303635373438.

15
Bahwa akibat menunggaknya pinjaman Para Tergugat, Penggugat harus
menanggung kerugian, karena Penggugat harus tetap membayar bunga simpanan
masyarakat yang merupakan sumber dana pinjaman yang disalurkan kepada Para
Tergugat. Selain itu Penggugat harus membuku biaya pencadangan aktiva
produktif dan Penggugat dirugikan karena tidak bisa menyalurkan pinjaman lagi ke
masyarakat sebesar pinjaman Para Tergugat yang macet tersebut;
Bahwa atas tunggakan kredit Para Tergugat tersebut, Penggugat telah
melakukan penagihan kepada Para Tergugat secara rutin, baik dengan datang
langsung ke tempat domisili Para Tergugat sebagaimana Laporan Kunjungan
Nasabah (LKN) maupun dengan memberikan surat penagihan/surat peringatan
kepada Para Tergugat.
Bahwa sesuai Surat Pengakuan Hutang nomer B.384/4685/4/2015 tanggal 30
September 2016 seharusnya Para Tergugat membayar angsuran Pokok pinjaman
kredit berikut bunganya harus dibayar kembali dalam jangka waktu 84 bulan sejak
ditandatangani Surat Pengakuan Hutang atau SPH tanggal 30 September 2016
sehingga kredit Para Tergugat dalam kategori kredit macet; Bahwa dengan
menunggaknya pembayaran Para Tergugat tersebut mengakibatkan Penggugat
harus membuku biaya cadangan aktiva produktif, sehingga Penggugat dirugikan
dari membuku biaya ini sebesar 73.424.622,- ( TUJUH PULUH TIGA JUTA
EMPAT RATUS DUA PULUH EMPAT RIBU ENAM RATUS DUA PULUH
DUA).

16
DAFTAR PUSTAKA

H. Tan Kamelo. “Hukum Jaminan Fidusia.” In Suatu Kebutuhan Yang Didambakan.


Bandung: Alumni, 2004.
J. Satrio. Wanprestasi Menurut KUH Perdata, Doktrin dan Yurisprudensi. Bandung:
PT. Citra Aditya Bakti, 2014.
Nasution, Anwar. “Pokok-Pokok Pikiran tetang Pembinaan dan Pengawasan
Perbankan dalam rangka Pemantapan Kepercayaan kepada Masyarakat terhadap
Industri Perbankan, Makalah disampaikn pada Seminar ‘Pertanggungjawaban
Bank Terhadap Nasabah.’” Departemen Kehakiman. Jakarta: BPHN, n.d.
Putri, Indah Utama. “PENYELESAIAN WANPRESTASI AKIBAT
KETERLAMBATAN PENYELESAIAN PENCUCIAN PAKAIAN ( Suatu
Penelitian di Kota Banda Aceh ) DEFAULT SETTLEMENT CAUSED BY THE
LAUNDRY COMPLETION DELAY ( a Research in Banda Aceh City )
PENDAHULUAN Pada zaman modern ini masyarakat m” 3, no. 2 (2019): 301–
313.
R. Subekti, R. Tjitrosudibio. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (terjemahan dari
BW). Jakarta: Pradnya Paramita, 1980.
Rachmadi Usman. Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2001.
———. Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia. Jakarta: Gramedia
Pustakatama, 2003.
Salim HS. Hukum Kontrak. Jakarta: Sinar Grafika, 2003.
Sembiring, Sentosa. Hukum Perbankan. Revisi. Bandung: Mandar Maju, 2012.
Setiawan. Pokok-Pokok Hukum Perikatan. Bandung: Bina Cipta, 1994.
Sri Soedewi Masjchoen Sofyan. “Hukum Badan Pribadi.” In Seksi Hukum Perdata
FH UGM. Yogyakarta, 1996.
Subekti. Aneka Perjanjian. Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1995.
———. Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermasa, 2005.

17
Sudikno Mertokusumo. Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty,
1992.
———. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Liberty, 2007.
Syahrul, Muhammad D W I. “Fakultas hukum universitas batanghari tahun ajaran
2021/2022” (2022).
Wirdjono Prodjodikoro. Asas-asas Hukum Perjanjian. Diedit oleh S’gravenhage ,
Vorkink-van Hoeve. Ketiga. Bandung, n.d.
“PUTUSAN PN MATARAM 29/PDT.G.S/2021/PN MTR.” Direktori Putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia. Diakses Juni 17, 2023.
https://putusan3.mahkamahagung.go.id/direktori/download_file/09f01cebabc155
07dcd3a65ea70209c2/pdf/zaebf0c8c6a07d1a890e303635373438.

18

Anda mungkin juga menyukai