Anda di halaman 1dari 14

ITIKAD BAIK DALAM KONTRAK IJARAH

ARTIKEL JURNAL
Artikel Ini Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Akhir Studi Kelayakan Bisnis.

Oleh : Cholifatun Nissaq

E-mail/CP: cholifatunnissaq@gmail.com (085257991123)

NIM: 210716089

Ekonomi Syariah (C)

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

JURUSAN EKONOMI SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

PONOROGO

2018

0
Pendahuluan
Ijarah adalah istilah akad untuk pengambilan manfaat barang/jasa dengan adanya
upah (pengganti/imbalan) sebagai kompensasi atas manfaat yan diterima. Kontrak ijarah
apabila dikaitkan dengan itikad baik dalam kontrak ada beberapa kewajiban LKS dan
Nasabah berkaitan dengan Pembiayaan Ijarah, hal ini berdasarkan FATWA DSN NO:
09/DSN-MUI/IV/2000. Tidak hanya itu dalam hal kewajiban sebagai penerima manfaat
barang atau jasa nasabah juga berkewajiban untuk memenuhinya sebagai itikad baik nasabah
dalam kontrak. Apabila hal ini tidak terpenuhi maka akan ada anggapan bahwa nasabah tidak
amanah dan melakukan cidera janji.
Idealitas dari akad ijarah di atas sangat bertolak belakang dengan realita di lapangan,
karena faktanya banyak sekali pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dalam akad ijarah, baik
dalam hal rukun, ketentuan objek ijarah, maupun dalam hal pembiayaan dan kewajiban
nasabah sebagai penerima manfaat barang/jasa. Banyak hal yang melatarbelakangi hal ini,
salah satunya adalah kurangnya pemahaman dari masyarakat umum mengenai akad ijarah,
sehingga memunculkan banyak problematika. Akad merupakan sesuatu yang sangat
menentukan keberlangsungan suatu transaksi. Keabsahan suatu transaksi bisa ditilik dari
akadnya. Akad pula yang dalam transaksi di lembaga keuangan membedakan antara lembaga
keuangan syariah dengan lembaga keuangan konvensional karena akad yang diterapkan di
perbankan syariah dan lembaga keuangan syariah non bank lainnya, memiliki konsekuensi
duniawi dan ukhrawi sebab akad yang dilakukan berdasarkan hukum Islam. 1 Oleh karena itu
segala sesuatu dalam transaksi harus kita perjelas ketika akad itu berlangsung. Contoh
permasalahan yang seringkali kita dengar adalah tidak amanahnya penyewa dalam menjaga
barang sewa, kesewenangan penyewa dalam memanfaatkan barang tersebut, kesewenangan
pemberi sewa terhadap barang yang disewakan dan masih banyak lagi. Kedua belah pihak
dalam hal ini saling berkaitaan dan memungkinkan melakukan wan prestasi.
Sementara itu, transaksi dengan menggunakan akad ijarah merupakan transaksi yang
paling banyak dilakukan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga tidak akan
berlalu seharipun kehidupan tanpa transaksi ijarah. Hal ini memungkinkan terjadinya
kesalahan dalam transaksi disetiap harinya. Karena banyaknya problematika yang muncul
terkait pelanggaran-pelanggaran dalam transaksi ijarah maka dirasa perlu untuk kita
memahami itikad baik dalam kontrak ijarah, sehingga kita

1
Bagus Ahmadi, “ Akad Bay’, Ijarah Dan Wadi’ah Perspektif Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
(KHES)” Episteme, (Desember 2012), 314.
1
Akad dan Kontrak
Kata Akad berasal dari Bahasa Arab, yaitu ar-rabtu yang berarti menghubungkan atau
mengaitkan, atau mengikat antara beberapa ujung sesuatu. Suhendi mengemukakan
pengertian akad secara terminologis yaitu mengikat (ar-rabtu) atau mengumpulkan dalam
dua ujung tali dan mengikat salah satunya dengan jalan lain sehingga tersambung, kemudian
keduanya menjadi bagian dari sepotong benda, sambungan (‘aqdatun), atau sambungan yg
memegang kedua ujung dan mengikatnya, janji (al-‘ahdu). Selanjutnya, dikemukakan oleh
suhendi bahwa istila ‘ahdun dalam Al-Qur’an mengacu pada pernyataan seseorang untuk
mengerjakan sesuatu atau tide mengerjakan sesuatu, dan tide ada keterikatan dengan orang
lain. 2 Kontrak dalam Islam disebut akad atau perjanjian. Kamus al-Mawrid menerjemahkan
al-‘aqd sebagai contract and agreement atau kontrak dan perjanjian. Sedangkan akad dan
kontrak menurut isilah adalah suatu kesepakatan atau komitmen bersama baik lisan, isyarat
maupun tulisan antara dua belah pihak atau lebih yang memiliki implikasi hukum yang
mengikat untuk melaksanakannya. 3
Pada prinsipnya kontrak terdiri dari satu atau serangkaian janji yang dibuat para pihak
dalam kontrak. Esensi dari kontrak itu sendiri adalah kesepakatan (agreement). Atas dasar
itu, Subekti mendefinisikan kontrak sebagai peristiw dimana seorang berjanjikepada orang
lain untuk melaksanakan sesuatu.4 Menurut Sudikno Mertokusumo perjanjian hendaknya
dibedakan dengan janji. Walaupun janji itu didasarkan pada kata sepakat, tetapi kata sepakat
itu tidak untuk menimbulkan akibat hukum, yang berarti bahwa apabila janji itu dilanggar,
tidak ada akibat hukumnya atau tidak ada sanksinya. Berlainan dengan itu, didalam berbagai
definisi kontrak di dalam literatur hukum kontrak common law, kontrak itu berisi serangkaian
janji, tetapi yang dimaksud dengan janji itu secara tegas dinyatakan adalah janji yang
memiliki akibat hukum dan apabila dilanggar, pemenuhannya dapat dituntut kepengadilan.
Kontrak adalah suatu kesepakatan yang dapat dilaksanakan atau dipertahankan dihadapan
pengadilan. 5 Dalam sumber lain memberikan pengertian bahwa Perjanjian adalah suatu
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain

2
Ismail Nawawi, Fiqh Muamalah Klasik dan Kontemporer (Bogor: Ghalia Indonesia, 2017), 19.
3
Lukman Santoso AZ, Hukum Perikatan (Malang: Setara Press, 2016), 47.
4
Ridwan Khairandy, Hukum Kontrak Indonesia dalam Perspektif Perbandingan (Yogyakarta: FH UUI
Press, 2013), 56.
5
Ibid., 58.

2
atau lebih. Terjadinya pengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih tersebut
menimbulkan akibat hukum yakni munculnya hak dan kewajiban terhadap masing-masing
pihak yang mengikatkan diri. Kewajiban dalam hal ini berupa pemenuhan suatu prestasi dari
satu atau lebih pihak kepada satu atau lebih pihak lainnya yang berhak atas suatu prestasi
tersebut. Sehingga dapat disimpulkan bahwa suatu perjanjian selalu ada 2 (dua) pihak
ataupun lebih, bahwa satu pihak yang wajib melakukan atas suatu prestasi (disebut debitur)
sedangkan pihak yang lain merupakan pihak yang berhak menerima atas suatu prestasi
(disebut kreditur).6 Sama halnya dalam kontrak ijarah yang dilakukan oleh 2 pihak / lebih
yang mengikatkan diri.
Dari beberapa definisi kontrak diatas terdapat unsur-unsur yang ada dalam kontrak.
Penarikan kesimpulan unsur-unsur tersebut disesuaikan dengan makna kontrak yang
berkembang di Indonesia dan dalam sistem civil law pada umumnya , sistem common law,
dan sistem hukum islam. Dari makna kontrak yang berkembang di Indonesia dan Belanda
dapat ditarik kesimpulan bahwa ada beberapa unsur yang terdapat dalam kontrak, yaitu: a)
Para pihak; b) Ada kesepakatan yang membentuk kontrak; c) Kesepakatan itu ditujukan
untuk menimblkan akibat hukum; d) objek tertentu. Dikaitkan dengan sistem hukum kontrak
yang berlaku di Indonesia unsur-unsur perjanjian tersebut dapat diklasifikasikan dalam tiga
klasifikasi, yaitu unsur essentialia, unsur naturalia, dan unsur accidentalia.
Unsur essentialia adalah unsur yang harus ada di dalam suatu perjanjian. Unsur ini
merupakan sifat yang harus ada dalam perjanjian. Sifat ini yang menentukan atau
mengakibatkan suatu perjanjian tercipta (constructieve oordeel) tanpa adanya unsur ini, maka
tidak ada perjanjian. Misalnya didalam perjanjian jual beli, unsur adanya barang dan harga
barang adalah yang mutlak ada di dalam perjanjian jual beli. Unsur mutlak yang harus ada di
dalam perjanjian sewa-menyewa adalah kenikmatan atas suatu barang dan harga sewa.
Unsur naturalia adalah unsur perjanjian yang diatur oleh hukum tetapi dapat
dikesampingkan oleh para pihak. Bagian ini merupakan sifat alami nature perjanjian diam-
diam melekat pada perjanjian, seperti penjual wajib menjamin bahwa barang tidak ada cacat
(vrijwaring). Contoh lainnya, berdasarkan ketentuan pasal 1476KUHPerdata, penjual wajib
menanggung biaya penyerahan. Ketentuan ini berdasarkan kesepakatan dapat
dikesampingkan para pihak.

6
Yulia Kumalasari, “Perlindungan Hukum Terhadap Pihak Pembeli Beritikad Baik dalam Jual Beli
Tanah Bengkok,” dalam http://hukum.studentjournal.ub.ac.id/index.php/hukum/article/view/1789, akses pada
tanggal 01 Januari 2018.

3
Unsur accidentalia adalah unsur yang merupakan sifat pada perjanjian yang secara
tegas diperjanjikan oleh para pihak. Misalnya, didalam suatu perjanjian jual beli tanah,
ditentukan bahwa jual beli ini tidak meliputi pohon atau tanaman yang berada di atasnya. 7
Selain itu syarat-syarat syah kontrak yang tercantum dalam pasal 1320 KUHPerdata antara
lain sebagai berikut:
a) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; b) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
c) Suatu hal tertentu; d) Sebab halal. Dengan dipenuhinya empat syarat syahnya kontrak
tersebut maka suatu kontrak menjadi sah dan mengikat secara hukum, bagi para pihak yang
membuatnya. 8

Dalam Burgerlijk Wetboek (BW) yang kemudian diterjemahkan oleh Prof. R. Subekti,
SH dan R. Tjitrosudibio menjadi kitab undang-undang hukum perdata (KUHPerdata) bahwa
mengenai hukum perjanjian diatur dalam buku III tentang Perikatan, dimana hal tersebut
mengatur dan memuat tentang hukum kekayaan yang mengenai hak-hak dan kewajiban yang
berlaku terhadap orang-orang atau pihak-pihak tertentu.9 Perjanjian yang seringkali berlaku
dalam masyarakat kita adalah perjajian biasa. Yang dimaksud dengan perjanjian biasa yaitu
perjanjian yang isinya memperhatikan kepentingan kedua belah pihak. Mariam Darus
Badrulzaman mengemukaan pengertian perjanjian biasa / perjanjian standart adalah
perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir. Isi yang dibakuka
mengandung arti bahwa perjanjian tersebut ditentukan ukuran, patokan dan standartnya
sehingga mempunyai arti tetap dan dapat menjadi pegangan umum. Berdasarkan pemaparan
diatas dapat dikemukakan ciri-ciri perjanjian standart adalah: a) isinya ditentukan sepihak
oleh orang yang posisi sosialnya lebih kuat; b) Pihak lain tidak ikut bersama-sama
menentukan isi perjanijan; c) Terdorong oleh kebutuhannya, maka pihak lain terpaksa
menerima perjanjian tersebut dan bentuk perjanjiannya tertentu (tertulis); d) Dipersiapkan
terlebih dahulu secara massal dan konektif. 10

7
Ibid., 66-67.
8
Febriana Anggit Sasmita, Tinjauan Yuridis Asas Itikad Baik dalam Pelaksanaan Kontrak Kerjasama
Investasi, Skripsi (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2016), 2.
9
M Muhtarom, “Asas-Asas Hukum Perjanjian: Suatu Landasan dalam Pembuatan Kontrak,” Suhuf, 1
(Mei, 2014), 49.

10
Abdul Sani, Tanggung Jawab Para Pihak Dalam Pelaksanaan Perjanjian Sewa Menyewa Mobil Pada
C.V. Mutiara Transportation Di Kota Tegal, Tesis (Semarang: Universitas Diponegoro, 2005), 12-13.
4
Akad Ijarah dalam Fatwa DSN
Pengaturan Ijarah dalam Fatwa DSN-MUI termaktub dalam NO: 112/DSN-
MUI/IX/2017. Sistematika pembahasan Ijarah dalam Fatwa DSN meliputi ketentuan umum
meliputi: a) Akad Ijarah adalah akad sewa antara mu’jir (‫ )المؤجر‬dengan musta’jir ( ‫المستأ‬

‫ )جر‬atau antara musta’jir dengan ajir (‫ )األ جير‬untuk mempertukarkan manfa’ah dan ujrah
baik manfaat barang maupun jasa; b) Mu’jir (pemberi sewa) adalah pihak yang menyewakan
barang, baik mu’jir yang berupa orang (Syakhshiyah thabi’iyah) maupun yang dipersamakan
dengan orang, baik berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum (Syakhshiyah
i’tibariyah/Syakhshiyah hukmiyah);11 c) Musta’jir adalah pihak yang menyewa
(penyewa/penerima manfaat barang) dalam akad ijarah ‘ala al-a’yan (‫)اإلجارة على األعيان‬

atau penerimaan jasa dalam akad ijarah ‘ala a’mal / ijarah ‘ala al-asykhash ( ‫اإلجارة على‬
‫ األعمال‬/ ‫ )اإلجارة على األ شخاص‬baik musta’jir berupa orang (Syakhshiyah thabi’iyah /
natuurlijke persoon) maupun yang dipersamakan dengan orang, baik berbadan hukum
maupun tidak berbadan hukum (Syakhshiyah i’tibariah / syakhshiyah hukmiyah /
rechtsperson); d) Ajir adalah pihak yang memberikan jasa dalam akad ijarah ‘ala al-a’mal l
ijarah ‘ala al-asykhash, baik ajir berupa orang (Syakhshiyah thabi’iyah / natuurlijke
persoon) maupun yang dipersamakan dengan orang, baik berbadan hukum maupun tidak
berbadan hukum (Syakhshiyah thabi’iyah / natuurlijke persoon); e) Manfa’ah adalah manfaat
barang sewa melalui proses penggunaan dan pekerjaan (jasa) ajir; f) Mahal al-manfa’ah
(‫ )محل المنفعة‬adalah barang sewa / barang yang dijadikan media untuk mewujudkan manfaat
dalam akad ijarah ‘ala al-a’yan; g) Ijarah ‘ala al-a’yan adalah akad sewa manfaat barang; h)
Ijarah ‘alaalasykhash / ijarah ‘ala al-a’mal adalah akad sewa atas jasa / pekerjaan orang; i)
Ijarah muntahiyyah bi al-tamlik (IMBT) adalah akad ijarah atas manfaat barang yang disertai
dengan janji pemindahan hak milik atas barang sewa kepada penyewa, setelah selesai atau
diakhirinya akad ijarah; j) Ijarah maushufah fi al-dzimmah (IMFD) adalah akad ijarah atas
manfaat suatu barang (manfaat ‘ain) dan / jasa (‘amal) yang pada saat akad hanya disebutkan
sifat-sifat dan spesifikasinya (kuantitas dan kualitas); k) Ijarah tasyghiliyyah ( ‫األجارة‬

‫ )التشغيلية‬adalah akad ijarah atas manfaat barang yang tidak disertai dengan janji pemindahan
hak milik atas barang sewa kepada penyewa; l) Pembiayaan multijasa adalah pembiayaan

11
Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor: 112/DSN-MUI/IX/2017.

5
untuk memperoleh manfaat atas suatu jasa; m) Wilayah ashliyyah adalah kewenangan yang
dipemiliki oleh Mu’jir karena yang bersangkutan berkedudukan sebagai pemilik; n) Wilayah
niyabiyyah adalah kewenangan yang dimiliki oleh Mu’jir karena yang bersangkutan
berkedudukan sebagai wakil dari pemilik atau wali atas pemilik. 12
Sedangkan Jumhur ulama mengemukakan bahwa ijarah mempunyai 3 rukun umum.
Pertama adalah sighat (ucapan) yang terdiri dari tawaran (ijab) dan penerimaan (qabul).
Kedua adalah pihak yang berakad (berkontrak) yang terdiri dari pemberi sewa (lessorpemilik
asset), serta penyewa (lesee-pihak yang mengambil manfaat dari penggunaan asset). Ketiga
adalah objek sewa yang terdiri dari manfaat dari penggunaan asset dan pembayaran sewa
(harga sewa).13
Selanjutnya adalah ketentuan terkait hukum dan bentuk ijarah yang meliputi: a) Akad
ijarah boleh direalisasikan dalam bentuk akad ijarah ‘ala al-a’yan dan akad ijarah ála al-
a’mal / ijarah ‘ala al-asykhas; b) Akad ijarah boleh direalisasikan dalam bentuk akad ijarah
tasyghiliyyah, ijarah muntahiyyah bi al-tamlik (IMBT), dan ijarah maushuffah fi al-dzimmah
(IMFD). Ketentuan mengenai Sighat (Ijab Qabul) meliputi: a) Akad ijarah harus dinyatakan
secara tegas dan jelas serta dimengerti oleh Mu’jir / Ajir dan Musta’jir; b) Akad ijarah boleh
dilakukan secara lisan, tertulis, isyarat dan perbuatan atau tindakan, serta dapat dilakukan
secara elektronik dan syariah sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Fatwa DSN
yang terbaru juga memaparkan ketentuan (syarat) terkait Mu’jir, Musta’jir dan Ajir meliputi:
a) Akad ijarah boleh dilakukan oleh orang maupun yang dipersamakan dengan orang baik
berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku; b) Mu’jir, Musta’jir dan Ajir wajib cakap hukum sesuai dengan syariah dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku; c) Mu’jir wajib memiliki kewenangan
(wilayah) untuk melakukan akad ijarah baik kewenangan yang bersifat ashliyyah maupun
nayabiyyah; d) Mu’jir wajib memiliki kemampuan untuk menyerahkan manfaat; e) Musta’jir
wajib memiliki kemampuan untuk membayar ujrah; f) Ajir wajib memiliki kemampuan
untuk menyerahkan jasa atau melakukan perbuatan hukum yang dibebankan kepadanya.
Ketentuan (syarat) Mahall al-Manfa’ah dalam ijarah ‘ala al-a’yan meliputi: a) Mahall al-
Manfa’ah harus berupa barang yang dapat dimanfaatkan, dibenarkan (tidak dilarang) secara
syariah mutaqawwam; b) Mahall al-Manfa’ah sebagaimana poin 1, harus dapat

12
Ibid.
13
Didik Hijrianto, “Pelaksanaan Akad Pembiayaan Ijarah Muntahiyah Bittamlik pada Bank Muamalat
Indonesia Cabang Mataram,” Tesis (Semarang: Universitas Diponegoro, 2010) 94.
6
diserahterimakan (maqdur at-taslim) pada saat akad atau pada waktu yang disepakati dalam
akad ijarah maushuffah fi al-dzimmah. Ketentuan terkait manfaat dan waktu sewa meliputi:
a) Manfaat harus berupa manfaat yang dibenarkan (tidak dilarang) secara syariah
(mutaqawwam); b) Manfaat harus jelas sehingga diketahui oleh Mu’jir dan Musta’jir / Ajir;
c) Tata cara penggunaan barang sewa dan serta jangka waktu sewa harus disepakati oleh
Mu’jir dan Musta’jir; d) Musta’jir dalam akad ijarah ‘ala al-a’yan, boleh menyewa kembali
(al-ijarah min al-bathin) kepada pihak lain, kecuali tidak diizinkan (dilarang) oleh Mu’jir; e)
Musta’jir dalam akad ijarah ‘ala al-a’yan, tidak wajib menanggung resiko terhadap kerugian
yang timbul karena pemanfaatan, kecuali karena al-ta’addi, al taqsiratau mukhalafat al-
syuruth.
Ketentuan terkait Amal yang dilakukan Ajir meliputi: a) ‘Amal (pekerjaan atau jasa)
yang dilakukan Ajir harus berupa pekerjaan yang dibolehkan oleh syariah dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku; b) ‘Amal yang dilakukan Ajir harus diketahui jenis,
spesifikasi dan ukuran pekerjaannya serta jangka waktu kerjanya; c) ‘Amal yang dilakuka
Ajir harus berupa pekerjaan yang sesuai dengan tujuan akad; d) Musta’jir dalam akad ijarah
‘ala al-a’mal boleh menyewakan kembali kepada pihak lain, kecuali tidak diizinkan
(dilarang) oleh Ajir atau peraturan perundang-undangan; e) Ajir tidak wajib menanggung
resiko terhadap kerugian yang timbul karena perbuatan yang dilakukannya, kecuali karena al-
ta’addi,al-taqsir, atau mukhalafat al-syuruth.14 Ketentuan terkait Ujrah meliputi: a) Ujrah
berupa uang, manfaat barang, jasa, atau barang yang boleh dimanfaatkan menurut syariah
(mutaqawwam) atu peraturan perundang-undangan yang berlaku; b) Kuantitas dan atau
kualitas ujrah harus jelas baik berupa angka nominal, prosentase tertentu, atau rumus yang
disepakati dan diketahui oleh para pihak yang melakukan akad; c) Ujrah boleh dibayar secara
tunai, bertahap / angsur, dan tangguh berdasarkan kesepakatan sesuai dengan syariah dan atau
peraturan perundang-undangan yang berlaku; d) Ujrah yang telah disepakati boleh ditinjau
ulang atas manfaat yang belum diterima oleh musta’jir sesuai kesepakatan. Ketentuan khusu
untuk Kegiatan / Produk meliputi: a) Dalam hal akad ijarah dipraktikkan dalam bentuk
pembiayaan ijarah berlaku dhawabith dan hudud ijarah sebagaimana terdapat dalam fatwa
DSN-MUI Nomor 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan ijarah; b) Dalam hal akad
ijarah dipraktikkan dalam bentuk IMBT, berlaku dhawabith dan hudud ijarah sebagaimana
terdapat dalam Fatwa DSN-MUI Nomor 27/DSN-MUI/III/2002 tentang al-ijarah al-

14
Ibid.

7
muntahiyyah bi al-tamlik; c) Dalam hal akad ijarah dipraktikkan dalam bentuk pembiayaan
multijasa berlaku dhawabith dan hudud ijarah sebagaimana terdapat dalam Fatwa DSN-MUI
Nomor 44/DSN-MUI/VIII/2004 tentang pembiayaan multijasa; d) Dalam hal akad ijarah
dipraktikkan dalam bentuk IMFD, berlaku dhawabith dan hudud ijarah sebagaimana terdapat
dalam Fatwa DSN-MUI Nomor 101/DSN-MUI/X/2006 tentang akad al-ijarah al-maushuffah
fi al-dzimmah; e) Dalam hal akad ijarah dipraktikkan dalam bentuk IMFD Produk PPR
Inden, berlaku dhawabith dan hudud ijarah nijarah al-maushuffah fi al-dzimmah untuk
produk pembiayaan pemilika rumah (PPR)-Inden. 15

Itikad Baik dalam Kontrah Ijarah


Menurut Sutan Remy Itikad baik dalam perjanjian adalah niat baik dari pihak-pihak
yang melakukan suatu perjanjian untuk tidak merugikan mitra janjinya serta tidak merugikan
kepentingan umum. Dalam perjanjian bisa dibedakan antara teori moderen dengan
konvesional. Pada teori konvesional, ikatan di antara para pihak artinya janji-janji yang
dilakukan oleh developer dianggap belum terwujud pada tahap prakontraktul dalam
perjanjian sehingga tidak meningkat sama sekali. Berbeda dengan teori konvesional, dalam
teori moderen janji-janji yang telah disepakati oleh para pihak pada tahap prakontraktul
dianggap telah meningkat. Jadi pada intinya konsep bahwa perjanjian hanya mengikat pada
saat tahap kontraktual saja telah bergeser. Maka perjanjian telah mengikat para pihak baik
pada tahap prakontraktual, kontraktual dan pascakontraktual.16 Itikad baik dalam kontrak
dibedakan antara itikad baik pra kontrak (precontractual good faith) dan itikad baik dalam
pelaksanaan kontrak (good faith on contract performance). Kedua macam itikad baik tersebut
memiliki makna yang berbeda.

Itikad baik didalam fase pra kontrak disebut juga sebagai itikad baik subjektif.
Kemudian itikad baik dalam fase pelaksanaan kontrak disebut itikad baik objektif. Itikad baik
pra kontrak, adalah itikad yang harus ada pada saat para pihak melakukan negosiasi. Itikad
baik pra kontrak ini bermakna kejujuran (honesty) itikad baik itu disebut itikad baik yang
bersifat subjektif karena didasarkan kejujuran para pihak yang negosiasi. Sedangkan itikad
baik pelaksanaan kontrak yang disebut itikad baik objektif mengacu kepada kepada isi

15
Ibid.
16
Antari Inaka, Sa’ida Rusdiana, Sularto, “Penerapan Asas Itikad Baik Tahap Prakontraktual pada
Perjanjian Jual Beli Perumahan” Mimbar Hukum, 3 (Oktober, 2012), 4.

8
perjanjian. Isi perjanjian harus rasional dan patut. Isi kontrak adalah kewajiban dan hak para
pihak yang mengadakan kontrak, kewajiban dan hak tersebut harus rasional dan patut. Itikad
baik pelaksanaan kontrak juga dapat bermakna melaksanakan secara rasional dan patut. 17
Itikad baik dalam suatu perjanjian terdapat dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata,
selanjutnya yang menyatakan bahwa persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan
itikad baik. Akan tetapi dalam pasal tersebut tidak disebutkan secara ekplisit apa yang
dimaksud dengan “itikad baik”. Akibatnya orang akan menemui kesulitan dalam menafsirkan
dari itikad baik itu sendiri. Karena itikad baik merupakan suatu pengertian yang abstrak yang
berhubungan dengan apa yang ada dalam alam pikiran manusia.
Penerapan asas itikad baik dalam kontrak bisnis haruslah diperhatikan terutama pada
saat melakukan perjanjian pra kontrak atau negosiasi, karena itikad baik baru diakui pada saat
perjanjian sudah memenuhi syarat syahnya perjanjian atau setelah negosiasi dilakukan.
Terdapat kemungkinan timbulnya kerugian terhadap pemberlakukan asas itikad baik ini,
Suharnoko menyebutkan bahwa secara implisit Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen sudah mengakui bahwa itikad baik sudah harus ada sebelum
ditandatangani perjanjian, sehingga janji-janji pra kontrak dapat diminta pertanggungjawaban
berupa ganti rugi, apabila janji tersebut diingkari.
Sifat dari itikad baik dapat berupa subjektif, dikarenakan terhadap perbuatan ketika
akan mengadakan hubungan hukum maupun akan melaksanakan perjanjian adalah sikap
mental dari seseorang. Banyak penulis ahli hukum Indonesia menganggap itikad baik bersifat
subjektif. Akan tetapi sebagaiman pendapat Wirjono Prodjodikoro,8 Asas-Asas Hukum
Perjanjian, menyebutkan para kalangan ahli hukum Belanda antara lain Hofmann dan
Vollmar menganggap bahwa disamping adanya pengertian itikad baik yang subjektif, juga
ada itikad baik yang bersifat objektif, oleh mereka tidak lain maksudnya adalah kepatutan
(billikheid, redelijkheid).18
Pelaksanaan itikad baik dalam suatu perjanjian dapat dikatakan menjadi suatu
permasalahan, karena sangat sulit apabila dipahami secara subjektif. Oleh karena itu itikad
baik hanya dapat dilihat apabila secara objektif yaitu pelaksanaan kewajiban berdasarkan
perjanjian. Sebagai contoh, tindakan-tindakan yang kurang baik pernah terjadi pada
perjanjian sewa-menyewa outlet Hermes Building Medan. PT. Hermes Realty Indonesia

17
Ridwan Khairandy, Hukum Kontrak Indonesia dalam Perspektif Perbandingan, 91-92.

Gary Hadi, “Penarapan Asas Itikad Baik dalam Perjanjian Sewa Menyewa (Studi terhadap Perjanjian
18

Sewa Menyewa Oulet di Hermes Building Medan)” USU Law Jurnal, 2 (April, 2017), 11.

9
pernah mengalami kerugian dikarenakan pihak penyewa outlet tidak melaksanakan
kewajibannya sesuai dengan isi perjanjian. CV. Khansa Mandiri Asri yang dalam hal ini
sebagai pihak penyewa outlet telah melanggar asas itikad baik dengan cara tidak
melaksanakan kewajibannya.
Disadari bahwa, itikad baik ini sifatnya sangat subjektif karena ukurannya tidak dapat
ditentukan akan tetapi nilai subjektif tersebut akan dapat terlihat dari pelaksanaan perjanjian
tersebut. Pentingya itikad baik dalam suatu perjanjian khususnya sewa-menyewa adalah
dikarenakan akan terbentuknya suatu kepercayaan sehingga pelaksanaan perjanjian tersebut
dapat berjalan dan pada akhirnya masing-masing pihak akan mendapatkan keuntungan.
Sumber utama “legislasi ” yang berkaitan dengan itikad baik dalam pelaksanaan
kontrak dalam hukum kontrak Amerika Serikat ditemukan dalam UCC. UCC ini telah
diterima tau diadopsi oleh hukum (legislasi) negara-negara bagian, dan diterima pula oleh
pengadilan. Selain terdapat dalam UCC, pengaturan itikad baik untuk negara bagian
Louisiana, legisasi kewajiban itikad baik dalam pelaksanaan kontrak yang terdapat dalam the
Louisiana civil code. Pengaturan kewajiban itikad baik dalam pelaksanaan kontrak dalam
Louisiana civil code. Louisiana civil code tersebut mengikuti isi pasal 1134 ayat 3 dan 1135
civil code Perancis.
Ketentuan-ketentuan mewajibkan adanya itikad baik sebagai suatu perilaku
kontraktual yang diharapkan para pihak dalam pelaksanaan kontrak. Walaupun ada
kewajiban umum itikad baik, tetapi semua ketentuan tersebut tidak menyebutkan atau
menentukan standar atau tes apa yang harus digunakan untuk menilai itikad baik tersebut.
Sehingga penggunaan standar tersebut lebih banyak didasarkan kepada sikap pengadilan dan
doktrin-doktrin para pakar hukum.
Standar atau tes bagi itikad baik dalam pelaksanaan kontrak tentunya adalah standar
objektif. Dalam hukum kontrak, pengertian bertindak sesuai dengan itikad baik mengacu
pada keaatan akan reasonable commercial standar of fair dealing,yang menurut legislator
Belanda disebut bertindak sesuai dengan redelijkheid en billijkheid (reasonableness en
equity). Ini benar-benar standar objektif. Jika 1 pihak tidak boleh bertindak masuk akal dan
tidak patut will not be a good defense to say that honestly believed his conduct to be
reasonable and inequitable.
Itikad baik subjektif (subjective goede trouw) dikaitkan dengan hukum benda (bezit)
disini ditemukan isilah pemegang yang beritikad baik atau pembeli barang yang beritikad
baik dan sebagainya sebagai lawan orang-orang yang beritikad buruk. Seorang pembeli yang

10
beritikad baik adalah seorang yang membeli barang dengan penuh kepercayaan bahwa si
penjual benar-benar pemilik dari barang yang dijualnya itu. Ia sama sekali tidak mengetahui
bahwa ia membeli barang dari orang yang bukan pemiliknya. Ia adalah seorang pembeli yang
jujur. Dalam hukum benda, itikad baik diartikan sebagai kejujuran. Pembeli yang beritikad
baik adalah orang yang jujur yang mengetahui adanya catatan yang melekat pada barang
yang dibelinya itu. Artinya catatan mengenai asal usulnya. Dalam hal ini, itikad baik
merupakan suatu elemen subjektif. Itikad baik yang subjektif ini berkaitan dengan isi batin
atau kejiwaan (psychische gestelheid), yakni apakah yang bersangkutan menyadari atau
mengetahui bahwa tindakannya bertentangan atau tidak beritikad baik.19
Itikad baik dalam pelaksanaan kontrak mengacu kepada itikad baik objektif. Standar
yang digunakan dalam itikad baik objektif adalah standart yang objektif yang mengacu
kepada suatu norma yang objektif. Perilaku para pihak dalam kontrak harus diuji atas dasar
norma-norma objektif yang tidak tertulis yang berkembang di dalam masyarakat. Ketentuan
itikad baik menunjukkan pada norma-norma tidak tertulis yang sudah menjadi norma hukum
sebagai suat sumber hukum tersendiri. Norma tersebut dikatakan objektif karena tingkah laku
tidak didasarkan pada anggapan para pihak sendiri, tetapi tingkah laku tersebut harus sesuai
dengan anggapan umum tentang itikad baik tersebut.20
Standart tersebut sesungguhnya mengacu pada standar yang berlaku dalam hukum
Romawi. Dalam hukum Romawi, itikad baik merupakan suatu norma sosial universal yang
mengatur social interrelationship yakni setiap warga negara memiliki suatu kewajiban untuk
bertindak dengan itikad baik terhadap seluruh warga negara. Ini merupakan kosep objektif
secara universal yang ditetapkan seluruh transaksi. Hal yang sesuai dengan yang dikatakan
oleh Roscoe Pound yang menyatakan suatu Postulat: “Men must be able to assume that those
with whom they dealin the general intercourse of society will act in good faith “. Dengan
demikian, kalau seseorang bertindak dengan itikad baik menurut suatu standar objektif itikad
baik yang didasarkan pada customary social expectation, kemudian orang yang lain akan
bertindak yang sama kepada dirinya.21

19
Ridwan Khairandy, Hukum Kontrak Indonesia dalam Perspektif Perbandingan, 135.
20
Ibid., 136.
21
Ibid., 137.

11
Kesimpulan
Sebagaimana pemparan diatas maka dapat disimpulkan bahwa perjanjian bisa
dibedakan antara teori moderen dengan konvesional. Pada teori konvesional, ikatan di antara
para pihak artinya janji-janji yang dilakukan oleh developer dianggap belum terwujud pada
tahap prakontraktul dalam perjanjian sehingga tidak meningkat sama sekali. Berbeda dengan
teori konvesional, dalam teori moderen janji-janji yang telah disepakati oleh para pihak pada
tahap prakontraktul dianggap telah meningkat. Jadi pada intinya konsep bahwa perjanjian
hanya mengikat pada saat tahap kontraktual saja telah bergeser. Maka perjanjian telah
mengikat para pihak baik pada tahap prakontraktual, kontraktual dan pascakontraktual. Itikad
baik dalam kontrak dibedakan antara itikad baik pra kontrak (precontractual good faith) dan
itikad baik dalam pelaksanaan kontrak (good faith on contract performance). Kedua macam
itikad baik tersebut memiliki makna yang berbeda.

Itikad baik didalam fase pra kontrak disebut juga sebagai itikad baik subjektif.
Kemudian itikad baik dalam fase pelaksanaan kontrak disebut itikad baik objektif. Itikad baik
pra kontrak, adalah itikad yang harus ada pada saat para pihak melakukan negosiasi. Itikad
baik pra kontrak ini bermakna kejujuran (honesty) itikad baik itu disebut itikad baik yang
bersifat subjektif karena didasarkan kejujuran para pihak yang negosiasi. Sedangkan itikad
baik pelaksanaan kontrak yang disebut itikad baik objektif mengacu kepada kepada isi
perjanjian. Isi perjanjian harus rasional dan patut. Isi kontrak adalah kewajiban dan hak para
pihak yang mengadakan kontrak, kewajiban dan hak tersebut harus rasional dan patut. Itikad
baik pelaksanaan kontrak juga dapat bermakna melaksanakan secara rasional dan patut.
Itikad baik dalam pelaksanaan kontrak mengacu kepada itikad baik objektif. Standar
yang digunakan dalam itikad baik objektif adalah standart yang objektif yang mengacu
kepada suatu norma yang objektif. Perilaku para pihak dalam kontrak harus diuji atas dasar
norma-norma objektif yang tidak tertulis yang berkembang di dalam masyarakat. Ketentuan
itikad baik menunjukkan pada norma-norma tidak tertulis yang sudah menjadi norma hukum
sebagai suat sumber hukum tersendiri. Norma tersebut dikatakan objektif karena tingkah laku
tidak didasarkan pada anggapan para pihak sendiri, tetapi tingkah laku tersebut harus sesuai
dengan anggapan umum tentang itikad baik tersebut.

12
DAFTAR PUSTAKA
Santoso, Lukman. Hukum Perikatan. Malang: Setara Press, 2016.
Khairandy, Ridwan. Hukum Kontrak Indonesia dalam Perspektif Perbandingan. Yogyakarta:
FH UUI Press, 2013.
Nawawi, Ismail. Fiqh Muamalah Klasik dan Kontemporer. Bogor: Ghalia Indonesia, 2017.
Sasmita, Febriana Anggita. Tinjauan Yuridis Asas Itikad Baik dalam Pelaksanaan Kontrak
Kerjasama Investasi, Skripsi (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2016).
Hijrianto, Didik. Pelaksanaan Akad Pembiayaan Ijarah Muntahiyah Bittamlik pada Bank
Muamalat Indonesia Cabang Mataram, Tesis (Semarang: Universitas Diponegoro,
2010).
Sani, Abdul. Tanggung Jawab Para Pihak Dalam Pelaksanaan Perjanjian Sewa Menyewa
Mobil Pada C.V. Mutiara Transportation Di Kota Tegal, Tesis (Semarang:
Universitas Diponegoro, 2005).
Muhtarom, M. Asas-Asas Hukum Perjanjian: Suatu Landasan dalam Pembuatan Kontrak.
Suhuf, 1 (Mei, 2014).
Ahmadi, Bagus. Akad Bay’, Ijarah Dan Wadi’ah Perspektif Kompilasi Hukum Ekonomi
Syariah (KHES). Episteme, (Desember 2012).
Inaka, Antari dkk. Penerapan Asas Itikad Baik Tahap Prakontraktual pada Perjanjian Jual
Beli Perumahan” Mimbar Hukum. 3 (Oktober, 2012).
Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor: 112/DSN-MUI/IX/2017.
Kumalasari, Yulia. “Perlindungan Hukum Terhadap Pihak Pembeli Beritikad Baik dalam Jual
Beli Tanah Bengkok,” dalam
http://hukum.studentjournal.ub.ac.id/index.php/hukum/article/view/1789, akses pada
tanggal 01 Januari 2018.

13

Anda mungkin juga menyukai