Anda di halaman 1dari 86

A.

Kerangka Pemikiran

Perjanjian merupakan pilar penting dalam melakukan kegiatan bisnis.

Hukum perjanjian mengatur segala kegiatan dan ketentuan-ketentuan dan

peraturan agar bisnis bisa berjalan dengan lancar, tertib dan aman sehingga

tidak ada pihak yang dirugikan akibat adanya kegiatan bisnis tersebut.

Perjanjian menurut Pasal 1313 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata

adalah suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya

terhadap satu orang lainnya atau lebih.

Menurut Sudikno Mertokusumo, perjanjian adalah hubungan hukum

antara dua pihak atau lebih yang menimbulkan hak dan kewajiban atas suatu

prestasi.1 Artinya, pihak yang satu memiliki hak atas suatu prestasi,

sedangkan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi prestasi tersebut.

Pada buku III BW menganut sistem terbuka, karena para pihak yang terkait

bebas untuk mengadakan perjanjian dengan siapapun, menentukan objek

perjanjian, bentuk perjanjian, pada sistem hukum mana perjanjian tersebut

akan tunduk serta mekanisme yang akan ditempuh apabila terjadi masalah di

kemudian hari terkait perjanjian yang telah disepakati.2

Pada intinya, perjanjian di sini memiliki eksistensi sebagai salah satu

sumber perikatan, yang mengatur hubungan hukum antara keduanya.

Mengenai ini dapat kita temui landasannya pada ketentuan Pasal 1233 Kitab

Undang- Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang menyatakan bahwa


1
Firman F. Adonara, 2014, Aspek – Aspek Hukum Perikatan Bandung : Mandar Maju,
hal 3
2
Salim HS, 2014, Hukum Kontrak (Teori & Teknik Penyusunan Kontrak), Sinar grafika,
Jakarta,hlm.9
“tiap-tiap perikatan dilahirkan, baik karena perjanjian baik karena undang-

undang”. Ketentuan tersebut dipertegas lagi dengan rumusan ketentuan Pasal

1313 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa “suatu perjanjian adalah suatu

perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang

lain atau lebih”. Dengan demikan jelaslah bahwa perjanjian melahirkan

perikatan.3

Suatu perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua orang atau dua

pihak berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu dari pihak

lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Suatu

perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang

lainnya atau dimana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.4

Dari peristiwa ini timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut

yang disebut dengan perikatan.Perjanjian itu menimbulkan suatu perikatan

antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu adalah

suatu rangkaian yang berupa janji-janji atau kesanggupan dan

ditulis.Hubungan antara perjanjian dengan perikatan adalah karena perjanjian

melahirkan sebuah perikatan. Perjanjian merupakan sumber perikatan

disamping sumber-sumber lain. Suatu perjanjian dinamakan dengan

persetujuan karena kedua belah pihak setuju untuk melakukan sesuatu.5

Dalam perumusan yang diberikan Kitab Undang-Undang Hukum perdata

(KUH Perdata) yaitu pada pasal 1233 yaitu: Tiap-tiap perikatan dilahikan

3
4 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaya, 2003, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian,
PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm 1-2.
4
R. Subekti, 2005Hukum Perjanjian, Cet. 21 Jakarta, Internusa, Hlm. 1
5
Ibid hlm. 1

2
baik karena perjanjian, baik kaena undang-undang. Sedangkan perjanjian

tersebut sebagaimana diatur KUH Perdata pada pasal 1313 yaitu: Suatu

perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih

mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

Untuk dapat dinyatakan suatu perjanjian itu sah atau tidak dapat dilihat

pada syarat sahnya suatu perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata pada

pasal 1320 bahwa untuk dapat dinyatakan sah suatu perjanjian harus memiliki

empat syarat, yaitu:

a. Sepakat mereka yang mengikatkan diri;

b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

c. Suatu hal tertentu;

d. Suatu sebab yang halal

Keempat syarat tersebut merupakan syarat yang mutlak yang harus ada

atau dipenuhi dari suatu perjanjian, tanpa syarat-syarat tersebut maka

perjanjian dianggap tidak pernah ada. Kedua syarat yang pertama yaitu

kesepakatan para pihak dan kecakapan untuk membuat suatu perikatan

dinamakan syarat subyektif karena mengenai orang-orang atau subyek yang

mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir yaitu suatu hal

tertentu dan sebab yang halal, dinamakan syarat obyektif dari perbuatan

hukum yang dilakukan itu.6

Dengan ketentuan diatas bahwa untuk dapat dinyatakan suatu perjanjian

yang sah,maka setiap orang yang membuat suatu perjanjian dilarang apabila
6
Jurnal UNS. Komparasi syarat sahnya perjanjian menurut kitab undang-undang hukum
perdata.

3
bertentangan dengan norma kesusilaan dan ketertiban umum. Prof. Subekti

mengartikan perikatan sebagai suatu perhubungan hukum antara dua orang

atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu

hal dari pihak yang lain, dan pihak lain berkewajiban untuk memenuhi

tuntutan tersebut.7

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terdapat beberapa asas-asas

perjanjian, diantaranya pada pasal 1315 yaitu asas personalia, Pasal 1317

yaitu asas kesusilaan dan ketertiban umum; dan pada Pasal 1339 yaitu asas

kepatutan dan kebiasaan. Menurut Rutten ada tiga asas yang sangat penting

dalam hukum perjanjian, yaitu :8

a. Asas konsesualisme adalah asas yang menyatakan bahwa perjanjian

telah terjadi atau lahir sejak terciptanya sepakat para pihak, artinya

suatu perjanjian telah ada dan mempunyai akibat hukum dengan

terciptanya kata sepakat dari para pihak mengenai hal-hal pokok

dan tidaklah diperlukan suatu formalitas.9

b. Asas kebebasan berkontrak menurut Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata, menurut ketentuan Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata

dinyatakan bahwa semua kontrak (perjanjian) yang dibuat secara

sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

c. Asas mengikatnya perjanjian (pacta sunt servanda) yaitu asas

mengikatnya perjanjian adalah asas yang menyatakan bahwa

7
R. Subekti,2005, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa Jakarta. hlm 1
8
Purwahid patrick, Asas Itikad Baik dan Kepatutan Dalam Perjanjian, Semarang:
Fakultas Hukum UniversitasDipenogoro. hlm. 3
9
R. Subekti,2005. Hukum Perjanjian, Cet. 21 Jakarta, Internusa, hlm. 15

4
perjanjian yang dibuat secara sah, mengikat mereka yang membuat

sebagai undang-undang. Dengan demikian para pihak terikat dan

harus melaksanakan perjanjian yang telah disepakati bersama,

seperti hal keharusan untuk mentaati undang-undang.10

Dalam penulisan skripsi ini digunakan teori perjanjian untuk mengetahui

proses pembuatan perjanjian tersebut, bentuk perjanjian dan pihak-pihak yg

mengikatkan diri antara CV. Gentong Mas selaku Produsen dan CV. Bahsan

Jaya selaku distributor.

B. Metode Penelitian

1. Spesifikasi Penelitian

Penelitian yang dilaksanakan bersifat deskriftif analitis, metode

penelitian ini semata-mata bertujuan memberikan suatu gambaran

mengenai pelaksanaan perjanjian Kerjasama dan akibat hukum yang akan

terjadi akibat pemutusan kontrak secara sepihak oleh CV. Gentong Mas

terhadap CV. Bahsan Jaya.

2. Metode Pendekatan

Metode Penelitian yang dilakukan dengan pendekatan yuridis empiris

yakni dengan melihat kenyataan yang ada dalam praktik lapangan.

Mengenai pelaksanaan perjanjian antara CV. Bahsan Jaya dengan CV.

Bahsan Jaya.

3. Jenis Data

10
J. Satrio.,1995, Hukum Perikatan, Perikatan Lahir DariPerjanjian Bandung : Citra
Aditya Bakti,. hlm.142

5
Jenis data dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder

adalah data yang diperoleh melalui bahan kepustakaan. Data sekunder

terdiri dari :

1.1 Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang memiliki sifat

mengikat pada masalah-masalah yang diteliti, antara lain Buku III

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

1.2 Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang menunjang bahan

hukum primer antara lain jurnal ilmiah, artikel, majalah, serta

bahan-bahan lain yang terkait.

1.3 Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan

petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan

sekunder, seperti ensiklopedia dan lain-lain.

4. Teknik Analisis Data

Data yang diperoleh penulis akan diolah secara kualitatif yaitu analisis

data yang mengelompokkan dan menyeleksi data yang diperoleh dari

penelitian lapangan menurut kualitas dan kebenarannya, kemudian

dihubungkan dengan teori-teori, asas-asas, dan kaidah-kaidah hukum yang

diperoleh dari studi kepustakaan sehingga diperoleh jawaban atas

permasalahan yang dirumuskan.

6
BAB II

TINJAUAN MENGENAI PERJANJIAN DAN AKIBAT HUKUMNYA

A. Tinjauan Umum Hukum Perjanjian

1. Pengertian Perjanjian Pada Umumnya

Ketentuan mengenai perjanjian diatur dalam Buku III KUH Perdata Bab II

Pasal 1313 KUH Perdata. Dalam pasal 1313 dijelaskan bahwa perjanjian

7
adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan

dirinya terhadap satu orang atau lebih. Rumusan itu menyebutkan bahwa

perjanjian adalah :

a. Suatu perbuatan;

b. Sekurang-kurangnya dua orang atau lebih;

c. Perbuatan tersebut melahirkan perikatan dari pihak-pihak yang berjanji;

Terhadap pengertian perjanjian yang diatur dalam pasal 1313 KUH

Perdata mendapat sorotan dari beberapa para ahli. Hal ini disebabkan bahwa

pengertian perjanjian ini kurang lengkap, terlalu luas dan bersifat sepihak

serta masih banyak kelemahan yang lainnya, seperti yang dikemukakan oleh

para ahli, antara lain:

1) R. Setiawan

Menurut R. Setiawan pasal 1313 KUH Perdata tidak lengkap dan

sangat luas. Tidak lengkap karena hanya menyangkut atau menyebutkan

persetujuan sepihak saja dan sangat luas karena digunakan kata perbuatan

yang dalam ini juga mencakup zaakwarneming dan onrechtmatogedaad,

oleh karena itu perlu perbaikan antara lain :11

a) Perbuatan harus diartikan sebagai perbuatan hukum, yaitu perbuatan

subjek hukum yang ditujukan untuk menimbulkan akibat hukum yang

sengaja dikehendaki oleh subjek hukum

11
R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Cetakan Pertama Bandung: 1999, hlm.
49.

8
b) Menambahkan perkataan “atau lebih saling mengikatkan dirinya”

dalam Pasal 1313 KUH Perdata.

Berdasarkan kelemahan yang terdapat dalam ketentuan Pasal 1313

KUHPerdata, maka beberapa ahli hukum mencoba merumuskan

pengertian perjanjian yang lebih lengkap, diantaranya :

a. Setiawan, dengan mengutip pendapat Hofman, Setiawan menyatakan

bahwa perikatan adalah suatu hubungan hukum antara sejumlah

terbatas subjek-subjek hukum sehubungan dengan seorang atau

beberapa orang daripadanya (debitor atau para debitor) mengikatkan

diri untuk bersikap menuntut cara-cara tertentu terhadap pihak lain,

yang berhak atas sikap yang demikian. Kemudian dengan mengutip

pendapat Pitlo, Setiawan juga menyatakan bahwa perikatan adalah

suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang

atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditor) dan pihak

lain memiliki kewajiban (debitor) atas suatu prestasi.

2) J. Satrio

Dengan memperhatikan substansi insi Buku III KUHPerdata

merumuskan perikatan sebagai hubungan dalam hukum kekayaan, dimana

disatu pihak ada hak dan dilain pihak ada kewajiban.

3) Prof. Subekti

9
“Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada

seorang lain, atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan

sesuatu hal”. Perikatan sebagai suatu perhubungan hukum antara dua orang

atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu

hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi

tuntutan tersebut, kemudian menurut Subekti perjanjian adalah suatu

peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua

orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.12

4) Abdul Kadir Muhammad

Ketentuan yang terdapat dalam pasal 1313 KUH Perdata mengandung

beberapa kelemahan seperti:

a. Hanya menyangkut perbuatan sepihak saja Hal ini diketahui karena adanya

satu pihak atau lebih yang terikat pada satu pihak atau lebih lainnya. Kata

kerja “mengikatkan” sifatnya hanya satu pihak yang punya hak dan pihak

yang lain hanya punya kewajiban. Seharusnya perumusan ini “saling

mengikatkan dirinya”

b. Mengenai istilah perbuatan Kata perbuatan mencakup juga tanpa

konsensus, dimana di dalamnya termasuk perbuatan dengan suka rela

(zaakwarneming) dan tindakan melawan hukum (onrechtmatigedaad)

yang seharusnya dipakai persetujuan.

c. Pengertian perjanjian ini termasuk dalam lapangan hukum keluarga,

misalnya dalam hal perjanjian perkawinan, padahal yang dimaksudkan


12
R. Subekti, Hukum Perjanjian, intermasa, Jakarta: 2004, hlm. 1.

10
dalam pengertiannya adalah hubungan antara debitur dan kreditur dalam

lapangan hukum harta kekayaan saja. Perjanjian yang dikehendaki oleh

Buku III KUH Perdata sebenarnya adalah perjanjian yang bersifat

kebendaan bukan perjanjian yang bersifat personal.

d. Tanpa menyebutkan tujuan dalam perumusan pasal tidak disebutkan

tujuan untuk mengadakan perjanjian, sehingga para pihak yang

mengikatkan diri itu tidak jelas untuk apa.13

Karena itu menurut Abdul Kadir Muhammad definisi perjanjian adalah

suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri

untuk melakukan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan.

5) Handri Raharjo

Perjanjian merupakan suatu hubungan hukum di bidang harta kekayaan

yang didasari kata sepakat antara subjek hukum yang satu dengan yang lain,

dan diantara mereka (para pihak/subjek hukum) saling mengikatkan dirinya

sehingga subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga subjek

hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai

dengan kesepakatan yang telah disepakati para pihak tersebut serta

menimbulkan akibat hukum.14

6) Salim H. S

13
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung:
2000, hlm.224
14
Handri Rahardjo, Hukum Perjanjian Indonesia, Pustaka Yustisia, jakarta: 2009),
hlm. 42

11
Definisi perjanjian dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata adalah memiliki kelemahan sebagai berikut:

a. Tidak jelas, karena setiap perbuatan dapat disebut perjanjian;

b. Tidak tampak asas konsensualisme;

c. Bersifat dualisme. Berdasarkan kelemahan tersebut,

pengertian perjanjian menurut Salim H.S. adalah : “Perjanjian atau kontrak

adalah hubungan hukum antara subjek hukum satu dengan subjek hukum lain

dalam bidang harta kekayaan. Subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan

begitu pula subjek hukum lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya

sesuai dengan yang telah disepakatinya.15

7) R. M. Sudikno Mertokusumo

mengemukakan bahwa perjanjian adalah hubungan hukum antara dua

pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat

hukum.16

8). R. Wirjono Projodikoro

menyebutkan sebagai berikut “suatu perjanjian diartikan sebagai suatu

perbuatan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak , dalam

mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal

15
H. Salim H.S, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, Raja Grafindo Persada,
Jakarta: 2005, hlm. 15-17
16
RM Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta:
2004, hlm. 97

12
atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedangkan pihak lain berhak

menuntut pelaksanaan janji itu.17

Perjanjian sendiri secara umum mempunyai arti secara luas dan sempit. Dalam

arti luas, perjanjian berarti setiap perjanjian yang menimbulkan akibat hukum

yang dikehendaki (atau dianggap dikehendaki) oleh para pihak, termasuk

didalamnya perkawinan, perjanjian kawin, dan lain-lain. Dalam arti sempit,

perjanjian hanya ditujukan kepada hubungan-hubungan hukum dalam lapangan

hukum kekayaan saja seperti yang dimaksud oleh Buku III BW/KUHPerdata.18

2. Hubungan Perjanjian Dengan Perikatan

Apabila berbicara tentang perikatan, maka timbul beberapa rumusan

pengertian perikatan dari para ahli, karena KUH Perdata sendiri tidak memberikan

pengertian tentang perikatan, selain hanya mengatur dalam Pasal 1233 KUH

Perdata bahwa:

“Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan baik karena undang-

Undang”

Ketentuan Pasal 1233 KUH Perdata tersebut sama sekali tidak menyinggung

tentang yang dimaksud dengan perikatan, hanya saja, para ahli hukum tetap

memberikan pengertian perikatan. Untuk menerangkan lebih lanjut tentang

perikatan ini penulis mengutip pendapat oleh Suharnoko bahwa:19

17
R. Wirjono Prodjodikoro. Asas-Asas Hukum Perjanjian. Bandung: Mandar Maju,
2000. Hlm. 2
18
Ibid.
19
Suharnoko, Dalam Ahmadi Miru, Hukum Perdata: Materiil dan Formil, USAID, 201:
hal. 268.

13
“Perikatan adalah suatu hubungan hukum yang terjadi antara dua pihak yang

menimbulkan hak di satu pihak dan kewajiban di pihak yang lain. Karena terdapat

hubungan hukum antara para pihak, maka apabila pihak yang dibebani kewajiban

tersebut tidak memenuhi kewajiban seperti yang diminta dengan sukarela, maka

pihak yang mempunyai hak dapat melakukan upaya tuntutan hukum agar

kewajiban tadi dapat dipenuhi.”

Dalam hubungan hukum itu tiap pihak mempunyai hak dan kewajiban secara

timbal balik. Pihak yang satu mempunyai hak untuk menuntut sesuatu dari pihak

yang lain dan pihak yang lain wajib memenuhi tuntutan itu, dan sebaliknya. Pihak

yang mempunyai hak dari pihak lain disebut kreditor atau pihak yang berpiutang,

sedangkan pihak yang dibebani kewajiban untuk memenuhi tuntutan disebut

dengan debitor atau yang berutang. Dengan demikian dalam hubungan hukum

antara kreditor dan debitor berarti hak kreditor dijamin oleh hukum atau undang-

undang.20 Hak yang lahir dari perjanjian tersebut bersifat relatif karena hubungan

hukum tersebut hanya dapat dituntut dan dipertahankan terhadap pihak-pihak

yang tertentu saja, yaitu pihak yang terikat karena adanya persetujuan maupun

karena undang-undang.21

Istilah perjanjian berasal dari bahasa Belanda yaitu overeenkomst, dan dalam

bahasa Inggris dikenal dengan istilah contract/agreement. Perjanjian dirumuskan

dalam Pasal 1313 KUH Perdata yang menentukan bahwa:

20
R. Subekti, Hukum Perjanjian, intermasa, Jakarta: 2004, hlm. 1
21
Sri Soesilowati Mahdi, Surini Ahlan Sjarif, dan Akhmad Budi Cahyono, Hukum
Perdata Suatu Pengantar,Gitama Jaya, Jakart:, Cet. 1, 2005, hal. 129.

14
“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih

mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.” Ketentuan pasal ini

kurang tepat, karena ada beberapa kelemahan yang perlu dikoreksi. Kelemahan-

kelemahan tersebut adalah sebagai berikut:22

a. Hanya menyangkut sepihak saja. Hal ini dapat diketahui dari rumusan kata

kerja “mengikatkan diri”, sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak

dari kedua belah pihak. Seharusnya rumusan itu ialah “saling mengikatkan

diri”, jadi ada konsensus antara dua pihak.

b. Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus. Dalam pengertian

“perbuatan” termasuk juga tindakan penyelenggaraan kepentingan

(zaakwaarneming), tindakan melawan hukum (onrechtmatige daad) yang

tidak mengandung suatu konsensus. Seharusnya dipakai istilah

“persetujuan”.

c. Pengertian perjanjian terlalu luas. Pengertian perjanjian mencakup juga

perjanjian kawin yang diatur dalam bidang hukum keluarga. Padahal yang

dimaksud adalah hubungan antara debitor dan kreditor mengenai harta

kekayaan. Perjanjian yang diatur dalam buku III KUH Perdata sebenarnya

hanya meliputi perjanjian yang bersifat kebendaan, bukan bersifat

kepribadian (personal).

d. Tanpa menyebut tujuan. Dalam rumusan pasal itu tidak disebutkan tujuan

mengadakan perjanjian, sehingga pihak-pihak mengikatkan diri itu tidak

jelas untuk apa.

22
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia Citra Aditya Bakti, Bandung: Cet.
3, 2000, hal. 224.

15
Berdasarkan alasan-alasan di atas, maka Abdulkadir Muhammad

merumuskan pengertian perjanjian sebagai berikut :23

“Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih

saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal mengenai harta

kekayaan.”

Dalam definisi di atas terdapat konsensus antara pihak-pihak untuk

melaksanakan sesuatu hal, mengenai harta kekayaan, yang dapat dinilai dengan

uang. Perjanjian melaksanakan perkawinan misalnya, tidak dapat dinilai dengan

uang, bukan hubungan antara debitor dan kreditor, karena perkawinan itu bersifat

kepribadian bukan kebendaan.

Perjanjian merupakan suatu peristiwa yang konkret dan dapat diamati, baik itu

perjanjian yang dilakukan secara tertulis maupun tidak tertulis. Hal ini berbeda

dari perikatan yang tidak konkret, tetapi abstrak atau tidak dapat diamati karena

perikatan itu hanya merupakan akibat dari adanya perjanjian tersebut yang

menyebabkan orang atau para pihak terikat untuk memenuhi apa yang

dijanjikan.24

3. Asas-asas Perjanjian

Dalam hukum perjanjian dikenal beberapa asas penting yang merupakan dasar

kehendak pihak-pihak dalam mencapai tujuan. Beberapa asas tersebut di

antaranya adalah sebagai berikut:25

23
Ibid. Hlm. 225.
24
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak & Perancangan Kontrak, Raja Grafindo Persada,
Jakart: Edisi ke-1, Cet. 4, 2011, hal. 3.
25

16
a. Asas Konsensualisme

Asas konsensualisme memiliki arti penting, yaitu bahwa untuk

melahirkan perjanjian adalah cukup dengan dicapainya sepakat mengenai

hal-hal yang pokok dari perjanjian tersebut dan bahwa perjanjian itu lahir

pada saat detik tercapainya kesepakatan para pihak, walaupun perjanjian

tersebut belum dilaksanakan pada saat itu. Hal ini berarti bahwa dengan

tercapainya kesepakatan oleh para pihak, melahirkan hak dan kewajiban

bagi mereka atau biasa juga disebut bahwa perjanjian tersebut bersifat

obligator, yakni melahirkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi

perjanjian tersebut. Kemudian, untuk beralihnya hak milik masih

dibutuhkan suatu perbuatan hukum yaitu penyerahan.

b. Asas Kebebasan Berkontrak

Asas kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas yang sangat penting

dalam hukum perjanjian. Kebebasan berkontrak ini oleh sebagian sarjana

hukum biasanya didasarkan pada Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata

menentukan bahwa:

“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undangundang

bagi mereka yang membuatnya.”

Apabila dicermati Pasal 1338 ayat (1) di atas, pada kalimat “semua

perjanjian yang dibuat secara sah” menunjukkan adanya pokok (asas)

kebebasan berkontrak yang terkandung di dalamnya.26

26
Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan: Penjelasan Makna Pasal 1233
sampai 1456 BW , Raja Grafindo Persada, Jakarta, Edisi ke-1, Cet. 5, 2013, hlm. 78.

17
Kebebasan berkontrak memberikan jaminan kebebasan kepada seseorang

untuk secara bebas dalam beberapa hal yang berkaitan dengan perjanjian, di

antaranya:27

a. Bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian atau tidak;

b. Bebas menentukan dengan siapa ia akan melakukan perjanjian;

c. Bebas menentukan isi atau klausul perjanjian;

d. Bebas menentukan bentuk perjanjian.

e. Kebebasan-kebebasan lainnya yang tidak bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan.

Asas kebebasan berkontrak merupakan suatu dasar yang menjamin

kebebasan orang dalam melakukan perjanjian. Hal ini tidak terlepas juga dari

sifat Buku III KUH Perdata yang hanya merupakan hukum yang mengatur

sehingga para pihak dapat menyimpanginya (mengesampingkannya), kecuali

terhadap pasal-pasal tertentu yang sifatnya memaksa.

c. Asas Mengikatnya Perjanjian (Pacta Sunt Servanda)

Asas Mengikatnya Perjanjian (Pacta Sunt Servanda), artinya setiap orang

yang membuat perjanjian, dia terikat untuk memenuhi perjanjian tersebut

karena perjanjian tersebut mengandung janji-janji yang harus dipenuhi dan

janji tersebut mengikat para pihak sebagaimana mengikatnya suatu undang-

undang. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 1338 ayat (1) khususnya pada kalimat

27
Ahmadi Miru, Op. Cit., hlm. 4

18
“berlaku sebagai undang-undang” yang menunjukkan pokok (asas) kekuatan

mengikatnya perjanjian yang terkandung di dalamnya.28

d. Asas Iktikad Baik

Ketentuan tentang asas iktikad baik ini diatur dalam Pasal 1338 ayat (3)

yang menentukan bahwa:

“Perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan Iktikad baik.”

Adapun yang dimaksud asas iktikad baik adalah bahwa dalam pelaksanaan

perjanjian tersebut tidak boleh bertentangan dengan kepatutan dan keadilan.

Menurut Subekti, hakim mempunyai kekuasaan untuk mengawasi

pelaksanaan perjanjian, agar tidak melanggar kepatutan dan keadilan. Ini

berarti hakim berwenang untuk menyimpang dari perjanjian jika pelaksanaan

perjanjian bertentangan dengan iktikad baik.29

Asas Iktikad baik ini terbagi menjadi dua macam, yaitu iktikad baik nisbi

dan iktikad baik mutlak. 30 Pada iktikad baik nisbi orang memerhatikan sikap

dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada iktikad baik mutlak,

penilaiannya terletak pada akal sehat dan keadilan, dibuat ukuran keadilan

yang objektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut

norma-norma yang objektif.

e. Asas Kepribadian (Personalitas)

28
Ahmadi Miru, Op. Cit. Hlm. 78.
29
Subekti, Op. Cit., hlm. 41.
30
Salim H.S, Hukum Kontrak, Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika,
Jakarta, Cet. 2, 2004, hlm. 11

19
Asas Kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang

yang akan melakukan dan atau membuat perjanjian hanya untuk kepentingan

perseorangan saja.31 Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 KUH Perdata dan

Pasal 1340 KUH Perdata. Pasal 1340 KUH Perdata yang menentukan bahwa:

“Perjanjian-perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang

membuatnya.”

“Perjanjian-perjanjian itu tidak dapat membawa rugi kepada pihak-pihak

ketiga, tak dapat pihak-pihak ketiga mendapat manfaat karenanya, selai hal

yang diatur dalam 1317.”

Pasal ini menerangkan bahwa perjanjian hanya mengikat pihak-pihak yang

membuatnya, sehingga tidak bolehnya seseorang melakukan perjanjian yang

membebani pihak ketiga, sedangkan memberikan hak kepada pihak ketiga dapat

saja dilakukan jika sesuai dengan apa yang diatur dalam Pasal 1317 KUH

Perdata.32

4. Syarat sah suatu perjanjian

Dalam Pasal 1320 KUHPerdata telah diatur mengenai syarat-syarat sahnya

suatu perjanjian, antara lain :

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

c. Suatu hal tertentu:

31
Ibid. hlm. 12
32
Salim H.S, Op.Cit,. hlm. 80

20
d. Suatu sebab yang halal.

Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-syarat subyektif karena

mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian

sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat obyektif karena

mengenai perjanjiannya atau obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan.33

Yang merupakan konsekuensi hukum dari tidak terpenuhinya salah satu atau

lebih dari syarat-syarat sahnya perjanjian tersebut bervariasi mengikuti syarat

mana yang dilanggar. Konsekuensi hukum tersebut adalah sebagai berikut:34

1) Batal demi hukum (nietig, null and void), misalnya dalam hal

dilanggarnya syarat objektif dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Syarat

objektif tersebut adalah:

a. Perihal tertentu, dan

b. Sesuatu yang halal.

2) Dapat Dibatalkan (vernietigbaar, voidable), misalnya dalam hal tidak

terpenuhi syarat subjektif dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Syarat subjektif

tersebut adalah: a. Kesepakatan kehendak, dan

b. Kecakapan berbuat.

Walaupun demikian, terkait dengan syarat subjektif kecapakan berbuat diatur

juga dalam Pasal 1446 KUH Perdata, yang menentukan bahwa:

33
R. Subekti, Hukum Perjanjian, intermasa, Jakarta: 2004, hlm. 17
34
Munir Fuady, Hukum Perjanjian, Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, Citra Aditya
Bakti, Bandung: Cet. 2, 2001, hlm 34.

21
“pengampuan mulai berjalan, terhitung sejak putusan atau penetapan

diucapkan. Semua tindak perdata yang setelah itu dilakukan oleh orang

yang ditempatkan di bawah pengampuan, adalah batal demi hukum.

Namun demikian, seseorang yang ditempatkan di bawah pengampuan

karena keborosan, tetap berhak membuat surat-surat wasiat.”

Dengan demikian tidak semua ketidak cakapakan berbuat berakibat dapat

dibatalkannya perjanjian, tapi juga dapat batal demi hukum. Keempat syarat

sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata akan

diuraikan lebih lanjut sebagai berikut:35

a. Kesepakatan

Mengenai adanya kesepakatan, diberi penjelasan dalam Pasal 1321

KUHPerdata, yaitu tiada kesepakatan yang sah apabila kesepakatan tersebut

diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.

Kesepakatan para pihak merupakan unsur mutlak untuk terjadinya suatu

perjanjian. Kesepakatan itu dapat terjadi dengan berbagai cara, namun yang

paling penting adalah penawaran dan penerimaan atas penawaran tersebut.

Beberapa contoh yang dapat dikemukakan, sebagai cara terjadinya

kesepakatan/terjadinya penawaran dan penerimaan adalah:36

1) Dengan cara tertulis;

2) Dengan cara lisan;

3) Dengan simbol-simbol tertentu; bahkan


35
Ahmadi Miru, Op. Cit., hlm. 14
36
Ahmadi Miru, Op. Cit., hlm. 14

22
4) Dengan berdiam diri.

Cacat kehendak dalam hal ini dapat terjadi karena terjadinya hal-hal

diantaranya:

1) Ancaman;

2) Penipuan; dan

3) Penyalahgunaan keadaan. Secara sederhana ketiga hal yang menyebabkan

terjadinya cacat.

kehendak tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

Ancaman (bedreiging) terjadi apabila seseorang menggerakkan orang lain

untuk melakukan suatu perbuatan hukum, dengan menggunakan cara yang

melawan hukum mengancam akan menimbulkan kerugian pada orang tersebut

atau kebendaan miliknya atau terhadap pihak ketiga dan kebendaan milik

pihak ketiga.37

Penipuan (bedrog) terjadi jika salah satu pihak secara aktif memengaruhi

pihak lain sehingga pihak yang dipengaruhi menyerahkan sesuatu atau

melepaskan sesuatu. Penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden)

terjadi jika pihak yang memiliki posisi yang kuat dari segi ekonomi maupun

psikologi menyalahgunakan keadaan sehingga pihak lemah menyepakati hal-

hal yang memberatkan baginya.

37
Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang
Kenotariatan, Citra Aditya, Bandung: 2010, hlm. 98

23
Berdasarkan syarat sahnya perjanjian tersebut di atas, khususnya syarat

kesepakatan yang merupakan penentu terjadinya atau lahirnya perjanjian,

berarti bahwa tidak adanya kesepakatan para pihak, tidak ada perjanjian. Akan

tetapi, walaupun terjadi kesepakatan para pihak yang melahirkan perjanjian,

terdapat kemungkinan bahwa kesepakatan yang telah dicapai tersebut

mengalami kecacatan atau yang biasa disebut cacat kehendak sehingga

memungkinkan perjanjian tersebut dimintakan pembatalan oleh pihak yang

merasa dirugikan oleh perjanjian tersebut.

Abdul kadir Muhammad menggunakan istilah persetujuan kehendak

antara pihak-pihak yang membuat perjanjian (konsensus) untuk syarat

kesepakatan ini. Persetujuan kehendak adalah kesepakatan, seia sekata antara

pihak-pihak mengenai pokok perjanjian, apa yang dikehendaki oleh pihak

yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lainnya. Sebelum adanya

persetujuan, biasanya pihak-pihak mengadakan perundingan (negoitiation)

dimana pihak yang satu memberitahukan kepada pihak yang lain mengenai

objek perjanjian dan syarat-syaratnya, kemudian pihak yang lain menyatakan

pula kehendaknya sehingga tercapai persetujuan. Kehendak itu dapat

dinyatakan baik secara bebas maupun diam-diam, tetapi maksudnya

menyetujui apa yang dikehendaki oleh para pihak tersebut. Persetujuan

kehendak itu sifatnya bebas, artinya tidak ada paksaan dan tekanan dari pihak

manapun juga dan berdasarkan kemauan sukarela para pihak.38

38
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2000, hlm.224-225

24
Dalam pengertian persetujuan kehendak termasuk pula tidak adanya

kekhilafan dan penipuan. Berdasarkan ketentuan Pasal 1324 Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata, dijelaskan bahwa dikatakan tidak adanya paksaan itu

apabila orang yang melakukan perbuatan itu tidak berada di bawah ancaman, baik

dengan kekerasan jasmani maupun dengan upaya menakut- nakuti, misalnya akan

membuka rahasia sehingga orang tersebut terpaksa menyetujui perjanjian. Akibat

hukum tidak adanya persetujuan kehendak (karena paksaan, kekhilafan, maupun

penipuan) adalah bahwa perjanjian itu dapat dimintakan pembatalannya kepada

Hakim. Menurut ketentuan Pasal 1454 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,

bahwa pembatalan dapat dimintakan dalam tenggang waktu 5 (lima) tahun, dalam

hal terdapat paksaan dihitung sejak hari paksaan itu berhenti, dan dalam hal

terdapat kekhilafan dan penipuan dihitung sejak hari diketahuinya kekhilafan dan

penipuan itu. Akibat hukum tidak adanya persetujuan kehendak (karena paksaan,

kekhilafan, maupun penipuan) adalah bahwa perjanjian itu dapat dimintakan

pembatalannya kepada Hakim. Menurut ketentuan Pasal 1454 Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata, bahwa pembatalan dapat dimintakan dalam tenggang

waktu 5 (lima) tahun, dalam hal terdapat paksaan dihitung sejak hari paksaan itu

berhenti, dan dalam hal terdapat kekhilafan dan penipuan dihitung sejak hari

diketahuinya kekhilafan dan penipuan itu.

b. Kecakapan

Mengenai kecakapan, Pasal 1330 KUHPerdata mensyaratkan tidak cakapnya

seseorang untuk membuat perjanjian, yaitu :

25
1. Orang-orang yang belum dewasa

2. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan

3. Orang-orang perempuan,

Dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang- undang, dan pada umumnya

semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-

perjanjian tertentu Kecakapan berbuat adalah kewenangan untuk melakukan

perbuatan- perbuatan hukum sendiri yang dilakukan oleh subjek hukum. Pada

umumnya, seseorang dikatakan cakap melakukan perbuatan hukum apabila ia

sudah dewasa, artinya sudah mencapai umur 21 tahun atau sudah kawin walaupun

belum berumur 21 tahun. Menurut Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata, seseorang dikatakan tidak cakap membuat perjanjian ialah orang yang

belum dewasa, orang yang ditaruh dibawah pengampuan, dan wanita bersuami,

sehingga apabila hendak melakukan perbuatan hukum harus diwakili oleh walinya

dan bagi seorang istri harus ada izin suaminya. Akibat hukum ketidak cakapan

membuat perjanjian ialah bahwa perjanjian yang telah dibuat itu dapat dimintakan

pembatalannya kepada hakim, dan apabila pembatalannya tidak dimintakan oleh

pihak yang berkepentingan maka perjanjian tetap berlaku.

Namun demikian, dalam berbagai peraturan lain juga diatur bahwa seseorang

dianggap cakap oleh hukum apabila ia paling rendah telah berumur 18 atau ia

telah kawin, seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004

tentang Jabatan Notaris jo Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang

Perubahan atas Undang-Undang 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Lihat

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Undang-

26
Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor

23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan.

c. Hal tertentu

Mengenai persyaratan suatu hal tertentu, ditentukan bahwa hanya barang-

barang yang bisa diperdagangkan, dan paling tidak dapat ditentukan 30 jenis dan

jumlahnya yang dapat menjadi pokok suatu perjanjian. Menurut Pasal 1334 KUH

Perdata, barang-barang yang baru akan ada dikemudian hari dapat pula menjadi

pokok suatu perjanjian. Suatu hal atau objek tertentu merupakan pokok perjanjian,

objek perjanjian dan prestasi yang wajib dipenuhi.

Dalam suatu perjanjian, objek perjanjian itu harus jelas dan ditentukan oleh

para pihak, objek perjanjian tersebut dapat berupa barang maupun jasa, namun

dapat juga berupa tidak berbuat sesuatu. Hal tertentu ini dalam perjanjian disebut

prestasi yang dapat berwujud barang, keahlian atau tenaga, dan tidak berbuat

sesuatu.39

Untuk menentukan hal tertentu yang berupa tidak berbuat sesuatu juga harus

dijelaskan dalam perjanjian seperti ”berjanji untuk tidak saling membuat pagar

pembatas antara dua rumah yang bertetangga”.

d. Sebab yang halal

Sebab adalah suatu yang menyebabkan orang membuat perjanjian, yang

mendorong orang untuk membuat perjanjian, yang dimaksud dengan sebab yang

39
Ahmadi Miru, Op. Cit. hlm. 30.

27
halal dalam Pasal 1320 KUH Perdata itu bukanlah sebab dalam arti yang

menyebabkan atau yang mendorong orang membuat perjanjian, melainkan sebab

dalam arti “isi perjanjian itu sendiri” yang menggambarkan tujuan yang akan

dicapai oleh pihak-pihak.40

Mengenai adanya persyaratan suatu sebab yang halal, karena menurut Pasal

1335 KUHPerdata telah menentukan bahwa suatu perjanjian yang tanpa sebab

atau yang telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak

mempunyai kekuatan, kemudian Pasal 1337 KUHPerdata menetukan bahwa suatu

sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila

berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.

Abdul kadir Muhammad menggunakan istilah causa yang halal. Kata causa

berasal dari bahasa Latin yang artinya sebab. Sebab adalah suatu yang

menyebabkan dan mendorong orang membuat perjanjian. Pasal 1320 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata mengartikan causa yang halal bukanlah sebab

dalam arti yang menyebabkan atau mendorong orang membuat perjanjian,

melainkan sebab dalam arti “isi perjanjian itu sendiri” yang menggambarkan

tujuan yang hendak dicapai oleh para pihak. Ketentuan dalam Pasal 1337 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata menjelaskan bahwa Undang-Undang tidak

memperdulikan apa yang menjadi sebab orang mengadakan perjanjian, karena

yang diperhatikan atau diawasi oleh Undang- Undang itu ialah “isi perjanjian itu”,

yang menggambarkan tujuan yang hendak dicapai oleh para pihak serta isinya

40
R. Subekti, Op. Cit. hlm. 19.

28
tidak dilarang oleh Undang- Undang, serta tidak bertentangan dengan kesusilaan

atau ketertiban umum.41

B. Tinjauan Umum Perjanjian Distributor

1. Pengertian Distributor

Di Indonesia, lembaga distributor merupakan salah satu dari sekian banyak

lembaga perdagangan yang diatur secara khusus dalam Kepmen, Lembaga

Distributor adalah setiap individu/perseorangan, kemitraan, perusahaan. asosiasi

atau hubungan hukum lainnya yang kedudukannya berada diantara produsen dan

pedagang eceran dalam pembelian. pengiriman-pengiriman atau perjanjian

penjualan barang-barang konsumsi. Pemborong dari sebuah Pedagang Besar atau

pedagang perantara lainnya yang ditunjuk dan diberikan wewenang oleh produsen

atau leveransir untuk secara umum menjual kepada pedagang eceran atau

pengguna komersial lainnya. Bentuk perjanjian yang diadakan oleh para pihak di

dalam perjanjian kedistributoran termasuk dalam perjanjian innomina (tak

bernama), yang tidak diatur secara khusus dalam KUH Perdata, tetapi

keberadaannya dimungkinkan berdasarkan asas konsensualisme, dan tidak

memuat hal-hal yang secara tegas dilarang oleh undang-undang, yaitu perjanjian

dibuat dengan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan, dimana oleh

karenanya perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak tersebul berlaku sebagai

undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Pengertian distributor menurut Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN)

adalah perusahaan atau pihak yang ditunjuk oleh prinsipalnya untuk memasarkan
41
Abdulkadir Muhammad, op. cit., hlm. 232.

29
dan menjual barang-barang prinsipalnya dalam wilayah tertentu untuk jangka

waktu tertentu, tetapi bukan sebagai kuasa prinsipal.42 Perusahaan atau perorangan

yang mengangkat atau menunjuk distributor disebut prinsipal. Peraturan Menteri

Perdagangan Republik Indonesia Nomor 22/MDAG/PER/3/2016 Pasal 1 angka 8

menyatakan “Distributor adalah perusahaan perdagangan nasional yang bertindak

untuk dan atas namanya sendiri berdasarkan perjanjian yang melakukan

pembelian, penyimpanan, penjualan serta pemasaran barang dan/atau jasa yang

dimiliki/dikuasai.”

Pengertian distributor diatas maka diketahui bahwa distributor merupakan

pihak yang berdiri sendiri, dengan kata lain bertindak untuk dan atas namanya

sendiri dalam melakukan kegiatannya. Kegiatan distributor meliputi pembelian,

penyimpanan, penjualan, serta pemasaran barang dan jasa. Kegiatan tersebut

didasarkan pada perjanjian antara Produsen dan Distributor.

2. Perjanjian Distributor

Pada prinsipnya perjanjian distributor di buat dalam bentuk perjanjian baku.

perjanjian baku adalah bentuk perjanjian yang disctujui oleh para pihak. yang

lazimnya telah berbentuk form perjanjian yang telah ditentukan oleh pihak

pertama yaitu pihak prinsipal. Dengan demikian perjanjian yang diadakan

merupakan perjanjian baku atau perjanjian standar.

Abdul Kadir Muhammad dalam bukunya Perjanjian Baku Dalam Praktek

Perusahaan Perdagangan menyatakan bahwa perjanjian baku ialah perjanjian yang

42
BPHN Departemen Kehakiman, Laporan Pengkajian Tentang Beberapa Aspek Hukum
Perjanjian Keagenan dan Distribusi, 1992 / 1993, Jakarta, hlm.9

30
menjadi tolak ukur yang dipakai atau dipergunakan sebagai patokan atau pedoman

bagi setiap konsuillen yang mengadakan hubungan hukum dengan pengusaha

yang dibakukan di dalam perjanjian. Perjanjian demikian ialah merupakan model

rumusan dan ukuran yang selanjutnya dikatakan bahwa perjanjian baku ialah

naskah perjanjian yang memuat syarat-syarat baku yang dibuat secara tertulis

berupa akta otentik atau akta di bawah tangan.43

Secara khusus ketentuan perundang-undangan yang mengatur distributor

belum ada, jadi ketentuan-ketentuan yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan

yang dikeluarkan oleh pemerintah misalnya, pada Pasal 1 dan 7 Undang-undang

Nomor 7 Tahun 2014 tentang perdagangan yang mengatur tentang distribusi

barang.

Perjanjian distributor adalah perjanjian tidak bernama atau tidak terdapat

dalam KUH Perdata. Alasan munculnya perjanjian ini adalah karena prinsipal

tidak terlalu menguasai wilayah yang akan menjadi wilayah pemasaran produknya

dan/atau prinsipal membutuhkan pihak lain yang memiliki jaringan bisnis yang

luas sehingga sasaran dan target pemasaran produknya segera terealisasi.44

Perjanjian keagenan dan perjanjian distributor merupakan perjanjian tidak

bernama yang tidak terdapat dalam KUH Perdata. Dasar hukum perjanjian-

perjanjian ini berdasarkan kebebasan berkontrak, yakni pada pasal 1338 Ayat (1)

43
Abdulkadir Muhammad. "Perianjian Baku Dalam Praktek Pcrusahaan Perdagangan",
Citra Aditya Bakti, Bandung:. Cet 8. hlm 6
44
http://igapurwanti-fh10.web.unair.ac.id/artikel_detail-71455-hukum kontrakPerjanjian
Keagenan dan Distributor.html (diakses pada tanggal 25 juni 2021)

31
KUH Perdata. Sepanjang memenuhi Pasal 1320 KUH Perdata mengenai syarat

sahnya kontrak , maka perjanjian ini berlaku dan memiliki nilai hukum.

Perjanjian tidak bernama diatur dalam Pasal 1319 KUH Perdata yang

menyatakan bahwa, “Semua perjanjian, baik yang mempunyai suatu nama khusus,

maupun yang tidak terkenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan-

peraturan umum.”Dengan berjalannya waktu perjanjian keagenan dan perjanjian

distributor tidak hanya didukung prinsip kebebasan berkontrak saja, tapi juga

Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. 11/MDAG/PER/3/2006

tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Agen dan

Distributor Barang dan/atau Jasa (Permendag 11 Thn 2006).45

Distributor dapat dijumpai dalam ketentuan-ketentuan sebagai berikut :

1. Dasar Hukum Perjanjian distributor termasuk dalam perjanjian innomiaat

perjanjian tidak bernama), karena tidak diatur secara khusus dalam KUH

Perdata. Sekalipun tidak diatur secara khusus tetapi harus tetap tunduk

pada peraturan atau ketentuan umum Buku III KUH Perdata. Dasar hukum

dari perjanjian distributor adalah asas dari buku III KUH Perdata yang

memberikan kebebasan berkontrak dan sifatnya yang terbuka yang

memungkinkan masyarakat dapat membuat segala macam perjanjian di

luar perjanjianperjanjian yang terdapat dalam KUH Perdata Buku III.

2. Dalam KUH Perdata tentang kebebasan berkontrak

3. Dalam KUH Perdata tentang kontrak pemberian kuasa

45
http://igapurwanti-fh10.web.unair.ac.id/artikel_detail-71455-hukum kontrakPerjanjian
Keagenan dan Distributor.html (diakses pada tanggal 25 juni 2021)

32
4. Dalam KUH Dagang tentang makelar;

5. Dalam KUH Dagang tentang Komisioner;

6. Dalam bidang hukum khusus, seperti dalam perundang-undangan di

bidang pasar modal yang mengatur tentang dealer atau pialang saham.

7. Dalam peraturan administratif, semisal peraturan dari departemen

perdagangan dan perindustrian, yang mengatur masalah administrasi dan

pengawasan terhadap masalah keagenan ini.46

C. Tinjauan umum prestasi dan wanprestasi

1. Pengertian Prestasi

Prestasi merupakan objek perikatan. Prestasi sendiri merupakan suatu utang

atau kewajiban yang harus dilaksanakan dalam suatu perikatan. Dalam Pasal 1234

KUH Perdata memberikan klasifikasi prestasi sebagai berikut :

1) Memberikan sesuatu

2) Melakukan sesuatu

3) Tidak berbuat sesuatu

Pasal 1235 ayat (1) KUH Perdata menjelaskan pengertian “memberikan

sesuatu”, yaitu menyerahkan penguasaan nyata atas suatu benda dari debitor

kepada kreditor atau sebaliknya. Dalam perikatan yang objeknya “melakukan

sesuatu”, debitor wajib melakukan perbuatan tertentu yang telah ditetapkan dalam

perikatan, misalnya melakukan perbuatan membongkar tembok, mengosongkan

rumah, dan membangun gedung. Dalam melakukan perbuatan tersebut, debitor

46
http://igapurwanti-fh10.web.unair.ac.id/artikel_detail-71455-hukum kontrakPerjanjian
Keagenan dan Distributor.html (diakses pada tanggal 25 juni 2021)

33
harus mematuhi semua ketentuan dalam perikatan. Debitor bertanggung jawab

atas perbuatannya yang tidak sesuai dengan ketentuan perikatan.

Dalam perikatan yang objeknya “tidak melakukan sesuatu”, debitor tidak

melakukan perbuatan yang telah disepakati dalam perikatan, misalnya tidak

membuat tembok rumah yang tinggi sehingga menghalangi pemandangan

tetangganya. Apabila debitor melakukan pembuatan tembok yang berlawanan

dengan perikatan ini, dia bertanggung jawab karena melanggar perjanjian dan

harus membongkar tembok atau membayar ganti kerugian kepada tetangganya.47

Prestasi sebagai objek perikatan harus memenuhi syarat-syarat tertentu, antara

lain :

1) Prestasi harus tertentu atau paling tidak dapat ditentukan

Prestasi itu harus tertentu atau paling tidak dapat ditentukan, karena kalau

tidak, bagaimana kita bisa menilai apakah debitor telah memenuhi kewajiban

prestasinya dan apakah kreditor sudah mendapat sepenuhnya apa yang menjadi

haknya. Prestasi tersebut bias berupa kewajiban untuk menyerahkan sesuatu,

melakukan sesuatu, atau tidak melaksanakan sesuatu. Karena perjanjian

berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata dan selanjutnya harus memenuhi syarat-

syarat tertentu, maka perikatan yang lahir dari perjanjian seperti itu tentunya juga

telah memenuhi syarat tersebut. Salah satu syaratnya adalah “hal tertentu”

(eenbepaalde onderwerp), yang maksudnya adalah objek perikatan harus tertentu.

Mengenai apa yang disebut tertentu, Pasal 1333 memberikan penjelasan bahwa

47
Abdulkadir Muhammad, op. cit., hlm 239-240.

34
paling tidak jenis barangnya sudah harus tertentu, sedangkan mengenai

jumlahnya, asalkan nantinya dapat ditentukan atau dihitung. Harus diakui, bahwa

in abstracto sukar bagi kita untuk secara pasti menetapkan batas-batas untuk

menentukan yang bagaimana yang dikatakan tertentu dan yang bagaimana ynag

tidak tertentu. Yang pasti kalau prestasinya sama sekali tidak tertentu disana tidak

ada perikatan. Selanjutnya ada asas yang berlaku disini, yaitu bahw pihak kreditor

atau paling tidak pihak ketiga mempunyai kepentingan atas prestasi tersebut. Hal

ini adalah sesuai dengan tujuan hukum sendiri yang tidak lain adalah pengaturan

kepentingan.

Sehubungan dengan hal tersebut, maka kreditor selalu merupakan kreditor

terhadap prestasi tertentu dan demikian juga debitor selalu merupakan debitor

terhadap prestasi tertentu. dalam satu perjanjian umumnya melahirkan banyak

perikatan, dan debitor selalu terikat pada kewajiban perikatan tertentu, maka

orang tidak dapat secara umum mengatakan siapa yang berkedudukan sebagai

kreditor/debitor dalam suatu perjanjian, seperti misalnya pada perjanjian jual beli.

Si penjual adalah kreditor terhadap uang harga barang yang diperjual belikan,

tetapi ia berkedudukan sebagai debitor terhadap barang yang diperjual belikan.

Demikian sebaliknya, si pembeli berkedudukan sebagai debitor terhadap harga

barang dan kreditor atas objek prestasi penjual, yaitu barang yang diperjual

belikan.

2) Objeknya harus diperkenankan oleh hukum

35
Untuk sahnya perjanjian, disyaratkna bahwa tidak boleh bertentangan dengan

Undang-Undang, kesusilaan dan ketertiban umum (Pasal 1337 KUHPerdata),

maka perikatan pun tidak mungkin mempunyai isi prestasi yang dilarang oleh

Undang-Undang. Perikatan lain yang muncul karena Undang-Undang, sudah tentu

tidak mungkin berisi suatu kewajiban yang terlarang.

3) Prestasi harus mungkin dilaksanakan

Prestasi itu harus mungkin dipenuhi/dilaksanakan, kalau tidak, tentunya

perikatan tersebut adalah batal. Apakah ukurannya suatu prestasi tidak mungkin

dipenuhi. Kemudian tidak dimungkinkan untuk siapa, Atas dasar itu kemudian

diperlukan pembedaan yakni obyektif tidak mungkin dan subyektif tidak

mungkin. Dikatakan bahwa prestasinya obyektif tidak mungkin, kalau siapapun

dalam kedudukan si debitor dalam perikatan tersebut tidak mungkin untuk

memenuhi kewajiban itu. Pada prestasi subyektif tidak mungkin, orang

memperhitungkan akan diri/subyek debitor, karena debitor yang bersangkutan

tidak mungkin untuk memenuhi kewajibannya.48

2. Pengertian Wanprestasi

Perkataan wanprestasi berasal dari Bahasa Belanda yang artinya prestasi

buruk. Wanprestasi adalah suatu sikap dimana seseorang tidak memenuhi atau

lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang telah ditentukan dalam

perjanjian yang dibuat antara kreditur dan debitur.49

48
J. Satrio, op. cit., hlm. 28.
49
Abdul R Saliman, Esensi Hukum Bisnis Indonesia, Kencana, Jakarta, 2004, hlm.15

36
Pengertian wanprestasi belum mendapat keseragaman, masih terdapat

bermacam-macam istilah yang dipakai untuk wanprestasi, sehingga tidak terdapat

kata sepakat untuk menentukan istilah mana yang hendak dipergunakan. Istilah

mengenai wanprestasi ini terdapat di berbagai istilah yaitu ingkar janji, cidera

janji, melanggar janji, dan lain sebagainya.

Dengan adanya bermacam-macam istilah mengenai wanprestasi ini, telah

menimbulkan kesimpang siuran dengan maksud aslinya yaitu “wanprestasi”. Ada

beberapa sarjana yang tetap menggunakan istilah “wanprestasi” dan memberi

pendapat tentang pengertian mengenai wanprestasi tersebut.

Wirjono Prodjodikoro mengatakan bahwa wanprestasi adalah ketiadaan suatu

prestasi didalam hukum perjanjian, berarti suatu hal yang harus dilaksanakan

sebagai isi dari suatu perjanjian barangkali dalam Bahasa Indonesia dapat dipakai

istilah “pelaksanaan janji untuk prestasi dan ketiadaan pelaksanaanya janji untuk

wanprestasi.50

R.Subekti mengemukakan bahwa “wanprestasi” itu adalah kelalaian atau

kealpaan yang dapat berupa 4 macam yaitu:51

1. Tidak melakukan apa yang telah disanggupi akan dilakukannya

2. Melaksanakan apa yang telah diperjanjikannya, tetapi tidak sebagai mana

yang diperjanjikannya

3. Melakukan apa yang diperjanjikan tetapi terlambat

50
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian, Sumur, Bandung, 2000 hlm 17.
51
R. Subekti, Op. Cit. hal. 50.

37
4. Melakukan suatu perbuatan yang menurut perjanjian tidak dapat

dilakukan.

Menurut J Satrio, wanprestasi adalah suatu keadaan dimana debitur tidak

memenuhi janjinya atau tidak memenuhi sebagaimana mestinya dan kesemuanya

itu dapat dipersalahkan kepadanya.52

Yahya Harap mendifinisikan wanprestasi sebagai pelaksanaan kewajiban yang

tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya. Sehingga

menimbulkan keharusan bagi pihak debitur untuk memberikan atau membayar

ganti rugi, atau dengan adanya wanprestasi oleh satu pihak, pihak yang lainnya

dapat menuntut pembatalan perjanjian.53

Hal ini mengakibatkan apabila salah satu pihak tidak memenuhi atau tidak

melaksanakan isi perjanjian yang telah mereka sepakati atau telah mereka buat

maka yang telah melanggar isi perjanjian tersebut telah melakukan perbuatan

wanprestasi. Dari uraian tersebut di atas dapat mengetahui maksud dari

wanprestasi itu yaitu pengertian yang mengatakan bahwa seseorang dikatakan

melakukan wanprestasi bilaman “tidak memberikan prestasi sama sekali,

terlambat memberikan prestasi, melakukan prestasi tidak menurut ketentuan yang

telah ditetapkan dalam perjanjian” faktor waktu dalam suatu perjanjian adalah

sangat penting karena dapat dikatakan bahwa pada umumnya dalam suatu

perjanjian kedua belah pihak menginginkan agar ketentuan perjanjian itu dapat

terlaksana secepat mungkin. Karena penentuan waktu pelaksanaan perjanjian itu

52
http://radityowisnu.blogspot.com/2012/06/wanprestasi-dan-ganti-rugi.html, (diakses
pada tanggal 25 juni 2021)
53
Ibid.

38
sangat penting untuk mengetahui tibanya waktu yang berkewajiban untuk

menepati janjinya atau melaksanakan suatu perjanjian yang telah disepakati.

Dengan demikian bahwa dalam setiap perjanjian prestasi merupakan suatu

yang wajib dipenuhi oleh debitur dalam setiap perjanjian. Pestasi merupakan isi

dari suatu perjanjian, apabila debitur tidak memenuhi prestasi sebagaimana yang

telah ditentukan dalam perjanjian mka dikatakan wanprestasi.

3. Bentuk Wanprestasi

Dalam pelaksanaan suatu perjanjian, terkadang hasil yang dicapai tidak

menutup kemungkinan terjadi ketidak sesuaian dengan yang sebagaimana

tercantum dalam perjanjian awal. Adapun bentuk-bentuk dari wanprestasi yaitu54 :

a. Tidak memenuhi prestasi sama sekali

Sehubungan dengan debitur yang tidak memenuhi prestasinya maka

dikatakan debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali.

b. Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya.

Apabila prestasi debitur masih dapat diharapkan pemenuhannya, maka

debitur dianggap memenuhi prestasi tetap tidak tepat waktunya.

c. Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru

Debitur yang memenuhi prestasi tapi keliru, apabila prestasi yang keliru

tersebut tidak dapat diperbaiki lagi maka debitur dikatakan tidak

memenuhi prestasi sama sekali.

Menurut Subekti, bentuk wanprestasi ada empat macam yaitu55 :


54
J.Satrio, op. cit., hlm. 84
55
Ibid.

39
a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan.

b. Melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak sebagaimana

dijanikannya.

c. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat.

d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan

Untuk mengatakan bahwa seseorang melakukan wanprestasi dalam suatu

perjanjian, kadang-kadang tidak mudah karena sering sekali juga tidak dijanjikan

dengan tepat kapan suatu pihak diwajibkan melakukan prestasi yang

diperjanjikan. Sifat prestasi harus dapat ditentukan. Dengan demikian, debitur

yang tidak memenuhi prestasi sama sekali adalah debitur yang mengetahui waktu

pelaksanaan prestasinya, tetapi dengan sengaja tidak memenuhinya berturut-turut.

Hal tersebut dapat disebut debitur yang “tidak beritikad baik” atau dengan sengaja

melakukan wanprestasi.

Debitur yang mengetahui tenggang waktu pembayaran, tetapi ia selalu

terlambat melaksanakan prestasinya dengan sengaja, artinya debitur yang lalai

melaksanakan prestasi, sebagaimana disebutkan dalm ketentuan Pasal 1238 KUH

Perdata, debitur dianggap lalai dengan lewatnya tenggang waktu yang telah

ditetapkan dalam perjanjian.

Dari ketentuan Pasal 1238 KUHPerdata dapat dikatan bahwa debitur

dinyatakan wanpresasi apabila sudah ada somasi. Adapun bentuk-bentuk somasi

menurut Pasal 1238 KUHPerdata adalah :

40
1. Surat perintah, Surat perintah tersebut berasal dari hakim yang biasanya

berbentuk penetapan. Dengan surat penetapan ini juru sita

memberitahukan secara lisan kepada debitur kapan selambat-lambatnya

dia harus berprestasi. Hal ini biasa disebut “exploitjuru sita”

2. Akta, Akta ini dapat berupa akta ibawah tangan maupun akta notaris

3. Tersimpul dalam perikatan itu sendiri.

4. Maksudnya sejak pembuatan perjanjin, kreditur sudah menentukan saat

adanya wanprestasi

Dalam perkembangannya, suatu somasi atau teguran terhadap debitur yang

melalaikan kewajibannya dapat dilakukan secara lisan akan tetapi untuk

mempermudah pembuktian dihadapan hakim apabila masalah tersebut

kepengadilan maka sebaiknya diberikan peringatan secara tertulis.

Pada keadaan tertentu somasi tidak diperlukan untuk dinyatakan bahwa

seorang debitur melakukan wanprestasi yaitu dalam hal adanya batas waktu dalam

perjanjian, prestasi dalam perjanjian berupa tidak berbuat sesuatu, debitur

mengakui dirinya wanprestasi.

4. Akibat Wanprestasi

Suatu perjanjian akan selalu ada dua pihak, dimana satu pihak adalah pihak

yang wajib berprestasi (pengelola) dan pihak lainnya adalah pihak yang berhak

atas prestasi tersebut (investor). Masing-masing pihak tersebut bisa terdiri dari

satu orang atau lebih, bahkan dalam perkembangan ilmu hukum pihak tersebut

juga bisa berbadan hukum satu atau lebih.

41
Wanprestasi memberikan akibat hukum terhadap pihak yang melakukannya

dan membawa konsekuensi terhadap timbulnya hak pihak yang dirugikan untuk

menuntut pihak yang tidak ada satu pihak pun yang dirugikan karena wanprestasi

tersebut.

Akibat terjadinya wanprestasi, Ahmadi Miru menjelaskan bahwa pihak yang

melakukan wanprestasi harus menanggung akibat dari tuntutan pihak lawan yang

dapat berupa tuntutan56 :

a. Pembatalan kontrak saja

b. Pembatalan kontrak disertai tuntutan ganti rugi

c. Pemenuhan kontrak saja

d. Pemenuhan kontrak disertai tuntutan ganti rugi

Sedangkan menurut Subekti, tuntutan atas terjadinya wanprestasi, antara lain :57

a. Pemenuhan perjanjian

b. Pemenuhan perjanjian disertai dengan ganti rugi

c. Ganti rugi saja

d. Pembatalan perjanjian

e. Pembatalan disertai ganti rugi

Pihak yang dituduh wanprestasi dapat mengajukan tangkisan-tangkisan

untuk membebaskan diri dari akibat buruk wanprestasi tersebut. Tangkisan

atau pembelaan tersebut dapat berupa :58


56
Ahmad miru dan Sutarman Yodo. Hukum Perlindungan Konsumen. Rajawali Pers,
Jakarta. 2010 hlm. 75
57
Subekti, Op. Cit., hlm. 53
58
Subekti, Op. Cit., hlm. 76

42
a. Wanprestasi terjadi karena keadaan memaksa (overmacht);

b. Wanprestasi terjadi karena pihak lain juga wanprestasi (exception non

adimple contractus);

c. Wanprestasi terjadi karena pihak lawan telah melepaskan haknya atas

pemenuhan prestasi

Dasar hukum wanprestasi yaitu :

Pasal 1235 KUHPerdata “Dalam setiap perikatan untuk memberikan sesuatu

adalah termasuk kewajiban si berhutang untuk menyerahkan kebendaan yang

bersangkutan dan untuk merawatnya sebagai seorang bapak keluarga yang baik,

sampai pada saat penyerahan”

Penyerahan menurut Pasal 1235 KUH Perdata dapat berupa penyerahan nyata

maupun penyerahan yuridis. Debitur tidak memenuhi kewajiban sebagaimana

mestinya ada unsur kelalaian dan salah, maka ada akibat hukum yang atas

tuntutan dari kreditur bias menimpa debitur, sebagaimana diatur dalam Pasal 1236

KUH Perdata dan Pasal 1243 KUH Perdata, juga diatur pada Pasal 1237 KUH

Perdata.

Pasal 1236 KUH Perdata “si berhutang adalah wajib untuk memberikan ganti

biaya, rugi dan bunga kepada si berhutang apabila ia telah membawa dirinya

dalam keadaan tidak mampu menyerahkan bendanya, atau telah tidak merawat

sepatutnya guna menyelamatkannya”

Pasal 1243 KUH Perdata “penggantian biaya, rugi dan bunga karena tak

dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang setelah

43
dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu

yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberian atau dibuat dalam

tenggang waktu yang telah dilampaukannya”

Pasal 1236 KUH Perdata dan Pasal 1243 KUH Perd berupa ganti rugi dalam

arti :

1. Sebagai pengganti dari kewajiban prestasi perikatannya.

2. Sebagaimana dari kewajiban perikatan pokoknya atau disertai ganti

rugi atas dasar cacat tersembunyi

3. Sebagai pengganti atas kerugian yang diderita kreditur

4. Tuntutan keduanya sekaligus baik kewajiban prestasi pokok maupun

ganti rugi keterlambatannya.

Pasal 1237 KUH Perdata dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu

kebendaan tertentu, kebendaan itu semenjak perikatan dilahirkan, adalah atas

tanggungan si berpiutang maka sejak debitur lalai, maka resiko atas obyek

perikatan menjadi tanggungan debitur.

Pada umumnya ganti rugi diperhitungkan dalam sejumlah uang tertentu.

Dalam hal menentukan total, maka kreditur dapat meminta agar pemeriksaan

perhitungan ganti rugi dilakukan dengan suatu prosedur tersendiri yang diusulkan.

Kalau debitur tidak memenuhi kewajiban sebagaimana mestinya, maka debitur

dapat dipersalahkan, maka kreditur berhak untuk menuntut ganti rugi.

Pasal 1238 KUH Perdata “Debitur dinyataan lalai dengan surat perintah atau

dengan akta sejenis itu, atau berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu

44
bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap lalai dengan lewatnya

waktu yang ditentukan”

Pasal 1243 KUH Perdata “Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak

dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah

dinyatakan lalai, tetap lalai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang

harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam

waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan”

D. Sebab-sebab berakhirnya perjanjian

Berakhirnya perjanjian berbeda dengan berakhirnya perikatan. Suatu

perjanjian akan berakhir apabila segala perikatan yang ditimbulkan oleh perjanjian

itu telah hapus seluruhnya. Sedangkan seluruh perikatan yang ada di dalam suatu

perjanjian akan berakhir secara otomatis apabila perjanjian itu telah berakhir.

Dengan kata lain, berakhirnya perikatan belum tentu mengakibatkan berakhirnya

perjanjian, sedangkan berakhirnya perjanjian secara pasti mengakibatkan

berakhirnya perikatan yang ada di dalamnya. 59 Misalnya pada perjanjian jual beli,

dengan dibayarnya harga barang maka perikatan mengenai pembayaran barang

telah berakhir, sedangkan perjanjian jual beli tersebut belum berakhir, karena

perikatan mengenai penyerahan barang belum terlaksana.60 Perjanjian jual beli

tersebut baru bisa dikatakan berakhir apabila kedua perikatan mengenai

pembayaran dan penawaran barang telah berakhir.

59
Lukman Santoso Az, Hukum Perikatan, Setara Press, Malang: 2016, hlm 82.
60
R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, BinaCipta, Bandung: 1987, Cet. 4 hlm.
68

45
Dalam KUH Perdata tidak diatur secara khusus apa yang dimaksud

hapusnya/berakhirnya perikatan, tetapi yang diatur dalam Bab IV buku III KUH

Perdata hanya hapusnya/berakhirnya perikatan. Terkait dengan Pasal 1231

perikatan yang lahir karena undang-undang dan perikatan yang lahir karena

perjanjian. Maka hapusnya/berakhirnya perikatan juga demikian. Yang dimaksud

hapusnya/berakhirnya suatu perikatan karena undang-undang adalah :61

1. Konsignasi,

2. Musnahnya barang terutang,

3. Daluwarsa.

Pasal 1381 KUH Perdata telah menentukan berbagai cara hapusnya perikatan-

perikatan yang lahir dari perjanjian maupun yang lahir dari undang-undang.

Hapusya perikatan sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1381 KUH Perdata

adalah sebagai berikut:

1. Pembayaran

Pembayaran ialah pelunasan utang oleh debitur kepada kreditur dalam

bentuk uang atau barang atau jasa. Dalam Hukum Perikatan, yang dimaksud

dengan pembayaran ialah setiap perbuatan untuk memenuhi prestasi, baik

penyerahan barang oleh penjual, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu.

Ketiga bentuk tersebut merupakan pemenuhan dari suatu prestasi atau secara

tegas dinamakan “pembayaran”.62

61
Dr. Arrisman, Hukum Perikatan Perdata dan Hukum Perikatan Islam, tampuniak
mustika edukarya, Jakarta. 2020. Hlm 51
62
Lukman Santoso,op cit hlm 82

46
2. Konsignasi

Konsignasi terjadi apabila seorang kreditur menolak pembayaran yang

dilakukan oleh debitur, debitur dapat melakukan penawaran pembayaran tunai

atas utangnya, dan jika kreditur masih menolak, debitur dapat menitipkan uang

atau barangnya di pengadilan.63

Ini, adalah suatu cara pembayaran yang harus dilakukan apabila si berpiutang

(kreditur) menolak pembayaran. Cara itu, adalah sebagai berikut: Barang atau

uang yang akan dibayarkan itu ditawarkan secara resmi oleh seorang notaris atau

seorang jurusita pengadilan. Notaris atau jurusita ini membuat suatu perincian

barang atau uang yang akan dibayarkan dan ia pergi ke rumah atau tempat tinggal

kreditur, kepada siapa ia memberitahukan bahwa ia atas perintah debitur datang

untuk membayar utang debitur tersebut, pembayaran mana akan dilakukan dengan

menyerahkan (membayarkan) barang atau uang yang telah diperinci itu. Notaris

atau jurusita tadi sudah menyediakan suatu proses-perbal

3. Novasi (pembaruan utang)

Novasi diatur dalam Pasal 1413 Bw s/d 1424 KUH Perdata. Novasi adalah

sebuah persetujuan, dimana suatu perikatan telah dibatalkan dan sekaligus

suatu perikatan lain harus dihidupkan, yang ditempatkan di tempat yang asli.

Pembaruan utang terjadi dengan cara mengganti utang lama dengan utang

baru, debitor lama dengan debitor baru. Dalam hal utang lama diganti dengan

63
Dr. Arrisman, Op. Cit. Hlm 59

47
utang baru, terjadilah penggantian objek perikatan, yang disebut “Novasi

Objektif”. Disini utang lama lenyap.64

Novasi adalah suatu perjanjian antara debitur dan kreditur, di mana

perjanjian lama dan subjeknya itu dihapuskan dan muncul sebuah objek dan

subjek perjanjian yang baru. Unsur-unsur novasi ialah adanya perjanjian baru,

adanya subjek yang baru, adanya hak dan kewajiban sekaligus adanya

prestasi.65

Menurut pasal 1413 KUH Perdata Ada tiga macam jalan untuk melaksanakan

suatu novasi atau pembaharuan utang yakni:

a. Apabila seorang yang berutang membuat suatu perikatan utang baru guna

orang yang mengutangkannya, yang menggantikan utang yang lama yang

dihapuskan karenanya. Novasi ini disebut dengan novasi objektif.

b. Apabila seorang berutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang

berutang lama, yang oleh si berpiutang dibebaskan dari perikatannya.

Novasi ini disebut dengan novasi subjektif pasif.

c. Apabila sebagai akibat suatu perjanjian baru, seorang kreditur baru

ditunjuk untuk menggantikan kreditur lama, terhadap siapa si berutang

dibebaskan dari perikatannya. Novasi ini disebut dengan novasi subjektif

aktif.

Pasal 1413-1424 BW yang mengatur mengenai proses novasi atau pembaruan

hutang dijelaskan bahwa proses novasi dalam bentuk apapun harus memenuhi
64
Dr. Arrisman, Op. Cit. Hlm 61
65
Salim HS.,S.H., M.S. Hukum Kontrak (teori dan teknik penyusunan Kontrak). Sinar
Grafika, Jakarta: 2019, hlm165-166

48
beberapa syarat, antara lain ialah dilakukan oleh orang yang cakap (1414 BW),

memerlukan persetujuan si kreditur (1416- 1417 BW ) dan pelaksanaan dari

proses novasi tidak boleh dipersangkakan (1415 BW).66

4. Kompensasi

Kompensasi atau perjumpaan utang diatur dalam Pasal 1425 BW s/d Pasal

1435 KUH Perdata. Kompensasi atau perjumpaan utang ialah penghapusan

masing-masing hutang dengan jalan saling memperhitungkan utang yang sudah

dapat ditagih antara kreditur dan debitur. Ini adalah suatu cara penghapusan utang

dengan jalan memperjumpakan atau memperhitungkan utang piutang secara

timbal-balik antara kreditur dan debitur. Jika dua orang Baling berutang satu pada

yang lain, maka terjadilah antara mereka suatu perjumpaan, dengan mana utang-

utang antara kedua orang tersebut dihapuskan, demikianlah diterangkan oleh pasal

1424 KUH Perdata. Pasal tersebut selanjutnya mengatakan bahwa perjumpaan itu

terjadi demi hukum, bahkan dengan tidak setahunya orang-orang yang

bersangkutan dan kedua utang itu yang satu menghapuskan yang lain dan

sebaliknya pada saat utang-utang itu bersama-sama ada, bertimbal-balik untuk

suatu jumlah yang sama.67

5. Konfusio (percampuran utang)

Konfusio atau percampuran utang diatur dalam Pasal 1436 BW s/d Pasal 1437

BW. Konfusio adalah percampuran kedudukan sebagai orang yang berutang


66
Retnowulan Sopiani, Bentuk Perlindungan Hukum dan Implikasi Yuridis Putusan
Pengadilan Yang Mengabulkan Gugatan Debitur Baru dalam Perjanjian Alih Debitur Tanpa
Persetujuan Kreditur”, Jurnal Ilmiah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Universitas
Brawijaya Fakultas Hukum Malang, (2013). Diakses pada 22 juli 2021
67
Dr. Arrisman, Op. Cit. Hlm 65

49
dengan kedudukan sebagai kreditur menjadi satu (Pasal 1436). Menurut ketentuan

Pasal 1436 KUH Perdata, Pencampuran utang itu terjadi apabila kedudukan

kreditor dan debitor itu menjadi satu tangan. Pencampuran utang tersebut terjadi

demi hukum. Pada pencampuran hutang ini utang piutang menjadi lenyap.

Apabila kedudukan sebagai orang berpiutang (kreditur) dan orang berutang

(debitur) berkumpul pada satu orang, maka terjadilah demi hukum suatu

percampuran utang dengan mana utang-piutang itu dihapuskan. Misalnya, si

debitur dalam suatu testamen ditunjuk sebagai warts tunggal oleh krediturnya,

atau si debitur kawin dengan krediturnya dalam suatu persatuan harta kawin.

Hapusnya utang piutang dalam hal percampuran ini, adalah betulbetul "demi

hukum" dalam arti otomatis.68

Percampuran utang yang terjadi pada dirinya si berutang utama berlaku juga

untuk keuntungan para penanggung utangnya (bong). Sebaliknya percampuran

yang terjadi pada seorang penanggung utang (borg), tidak sekalikali

mengakibatkan hapusnya utang pokok.

6. Pembebasan Utang

Pembebasan utang ialah suatu pernyataan sepihak dari kreditur kepada

debitur, bahwa debitur dibebaskan dari perhutangan. Dan pernyataan tersebut

diterima oleh debitur. Ada dua cara pembebasan utang, yaitu cuma-cuma,

dipandang sebagai penghadiahan dan prestasi dari pihak debitur, artinya sebuah

68
Dr. Arrisman, Op. Cit. Hlm 67

50
prestasi lain selain prestasi yang terutang. Pembebasan ini didasarkan pada

perjanjian.69

Pembebasan utang dapat terjadi apabila kreditor dengan tegas menyatakan

tidak menghendaki lagi prestasi dari debitor dan melepaskan haknya atas

pembayaran atau pemenuhan perikatan dengan pembebasan ini perikatan menjadi

lenyap atau hapus. Menurut ketentuan pasal 1438 KUH Perdata, pembebasan

suatu hutang tidak boleh didasarkan pada persangkaan, tetapi harus dibuktikan.

Pasal 1439 KUH Perdata menyatakan bahwa pengembalian surat piutang asli

secara sukarela oleh kreditor kepada debitor merupakan bukti tentang pembebasan

utangnya.70

7. Musnahnya barang yang terutang

Menurut ketentuan pasal 1444 KUH Perdata, apabila benda tertentu yang

menjadi objek perikatan itu musnah, tidak dapat lagi diperdagangkan, atau hilang

bukan karena kesalahan debitor, dan sebelum dia lalai, menyerahkannya pada

waktu yang telah ditentukan; perikatan menjadi hapus (lenyap) akan tetapi, bagi

mereka yang memperoleh benda itu secara tidak sah, misalnya, kerena pencurian,

maka musnah atau hilangnya benda itu tidak membebaskan debitor (orang yang

mencuri itu) untuk mengganti harganya. 71

Meskipun debitor lalai menyerahkna benda itu dia juga akan bebas dari

perikatan itu apabila dapat membuktikan bahwa musnah atau hilangnya benda itu

69
Salim HS.,S.H., M.S. Op., Cit hlm 172
70
Dr. Arrisman, Op. Cit. Hlm 68
71
Dr. Arrisman, Op. Cit. Hlm 69

51
disebabkan oleh suatu keadaan di luar kekuasaan-nya dan benda itu juga akan

mengalami peristiwa yang sama meskipun sudah berada di tangan kreditor.

Jika barang tertentu yang menjadi obyek perjanjian musnah, tak lagi dapat

diperdagangkan atau hilang, hingga sama sekali tak diketahui apakah barang itu

masih ada, maka hapuslah perikatannya, asal barang tadi musnah atau hilang di

luar kesalahan si berutang dan sebelum ia lalai menyerahkannya. Bahkan

seandainya debitur itu lalai menyerahkan barang itu (misalnya terlambat), ia pun

akan bebas dari perikatan bila ia dapat membuktikan bahwa hapusnya barang itu

disebabkan oleh suatu kejadian di luar kekuasannya dan barang tersebut toh juga

akan menemui nasib yang sama meskipun sudah berada ditangan kreditur.72

8. Kebatalan atau Pembatalan

Menurut ketentuan pasala 1320 KUH Perdata, apabila suatu perikatan tidak

memenuhi syarat-syarat subjektif. Artinya, salah satu pihak belum dewasa atau

tidak berwenang melakukan perbuatan hukum, maka perikatan itu tidak batal,

tetapi “dapat dibatalkan” vernietigbaar, voidable.

Meskipun disebutkan batal dan pembatalan, tetapi yang benar adalah

"pembatalan" saja, dan memang kalau kita melihat apa yang diatur oleh pasal

1446 dan selanjutnya dari KUH Perdata, ternyatalah bahwa ketentuan-ketentuan

di situ kesemuanya mengenai "pembatalan". Kalau suatu perjanjian batal demi

hukum, maka tidak ada suatu perikatan hukum yang dilahirkan karenanya, dan

72
Ibid.

52
barang sesuatu yang tidak ada suatu perikatan hukum yang dilahirkan karenanya,

dan barang sesuatu yang tidak ada tentu saja tidak bisa hapus.

Meminta pembatalan perjanjian yang kekurangan syarat subyektifnya itu

dapat dilakukan dengan dua cara73 :

a) Dengan cara aktif, Yaitu menuntut pembatalan melalui pengadilan

negeri dengan cara mengajukan gugatan.

b) Dengan cara pembelaan, Yaitu menunggu sampai digugat di muka

pengadilan negeri untuk memenuhi perikatan dan baru diajukan alasan

tentang kekurangan perikatan itu.

Ada tiga penyebab timbulnya pembatalan kontrak, yaitu:74

a. Perjanjian yang dibuat oleh orang-orang yang belum dewasa dan di bawah

pengampuan,

b. Tidak mengindahkan bentuk perjanjian yang disyaratkan dalam undang-

undang dan

c. Adanya cacat kehendak, adalah kekurangan dalam kehendak orang

(kekhilafan, paksaan dan penipuan).

9. Berlaku Syarat Batal

Syarat batal adalah suatu syarat yang bila dipenuhi akan menghapuskan

perjanjian dan membawa segala sesuatu pada keadaan semula, seolah-olah tidak

73
Dr. Arrisman, Op. Cit. Hlm 71
74
Salim HS.,S.H., M.S. Op. Cit, hlm.172

53
terjadi suatu perjanjian. Biasanya syarat batal berlaku pada perjanjian timbal balik

seperti perjanjian jual beli, sewa menyewa dan lain-lain.75

Dalam Hukum Perjanjian pada asasnya suatu syarat batal selamanya berlaku

surut hingga saat lahimya perjanjian. Syarat batal adalah suatu syarat yang apabila

terpenuhi, menghentikan perjanjian dan membawa segala sesuatu kembali pada

keadaan semula seolah-olah tidak pemah terjadi perjanjian, demikianlah pasal

1265 KUH Perdata. Dengan begitu, syarat batal itu mewajibkan si berutang untuk

mengembalikan apa yang telah diterimanya, apabila peristiwa yang dimaksudkan

itu terjadi.76

Apabila dihubungkan dengan Pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum


Perdata, maka dalam perjanjian timbal balik terdapat hak dan kewajiban para
pihak yang saling berhadapan. Hak dan kewajiban pihak yang satu berhadapan
dengan hak dan kewajibannya pihak yang lain. Pasal 1266 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, menyatakan bahwa syarat batal dianggap selamanya dicantumkan
dalam perjanjian timbal balik ketika salah satu pihak tidak memenuhi
kewajibanya atau wanprestasi. Hal ini dimaksud bahwa salah satu pihak
diperbolehkan untuk menuntut pembatalan, apabila lawan janjinya wanprestasi.

Tiga syarat agar supaya pembatalan dapat dilakukan yaitu, pertama, perjanjian
itu harus bersifat timbal balik; kedua, harus ada wanprestasi; dan ketiga, harus
dengan putusan hakim. Sehingga dalam hal ini ada dua pihak yang memiliki
kewajiban untuk saling memenuhi prestasi. Jika salah satu pihak melakukan
wanprestasi, maka pihak yang lain dapat meminta pembatalan di Pengadilan
dengan mengajukan gugatan pembatalan, dengan demikian yang membatalkan
perjanjian adalah putusan hakim. Wanprestasi hanya merupakan alasan didalam

75
Salim HS.,S.H., M.S. Op. Cit, hlm.176
76
Dr. Arrisman, Op. Cit. Hlm 73

54
hakim menjatuhkan putusannya, dengan kata lain, wanprestasi hanya sebagai
syarat untuk terbitnya putusan hakim.

10. Lewat waktu

Menurut ketentuan pasal 1946 KUH Perdata, lampau waktu adalah alat untuk

memperolah sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya

suatu waktu tertentu dan syarat-syarat yang ditentukan oleh Undang-undang. Atas

dasar ketentuan pasal tersebut dapat diketahui ada dua macam lampau waktu

yaitu77:

a) lampau waktu untuk memperoleh hak milik atas suatu benda disebut

acquisitieve verjaring.

b) Lampau waktu untuk dibebaskan dari suatu perikatan atau dibebaskan dari

tuntutan disebut extinctieve verjaring.

Menurut ketentuan pasal 1963 KUH Perdata, untuk memperoleh hak milik

atas suatu benda berdasar pada daluwarsa (lampau waktu) harus dipenuhi unsur-

unsur adanya itikad baik; ada alas hak yang sah; menguasai benda itu terus-

menerus selama dua puluh tahu tanpa ada yang mengggugat, jika tanpa alas hak,

menguasai benda itu secara terus-menerus selama 30 tahun tanpa ada yang

mengugat.

Menurut pasal 1946 KUH Perdata, yang dinamakan daluwarsa atau lewat

waktu ialah suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari

suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang

77
Dr. Arrisman, Op. Cit. Hlm 73

55
ditentukan oleh undang-undang. Daluwarsa untuk memperoleh hak milik atas

suatu barang dinamakan daluwarsa acquisitif, sedangkan daluwarsa untuk

dibebaskan dari suatu perikatan (atau suatu tuntutan) dinamakan daluwarsa

extinctif. Daluwarsa yang pertama sebaiknya dibicarakan dalam hubungan dengan

Hukum Benda. Daluwarsa kedua dapat sekedarnya dibicarakan di sini, meskipun

masalah daluwarsa itu merupakan suatu masalah yang memerlukan pembicaraan

tersendiri. Dalam KUH Perdata, masalah daluwarsa itu diatur dalam Buku ke IV

bersama-sama dengan soal pembuktian.78

Dengan lewatnya waktu tersebut di atas, hapuslah setiap perikatan hukum dan

tinggallah suatu "perikatan bebas" natuurlijke verbintenis, artinya kalau dibayar

boleh tetapi tidak dapat dituntut di depan hakim. Debitur jika ditagih utangnya

atau dituntut di depan pengadilan dapat mengajukan tangkisan (eksepsi) tentang

kedaluwarsanya piutang dan dengan demikian mengelak atau menangkis setiap

tuntutan.

Daluarsa tidak berjalan atau tertangguh dalam hal-hal seperti tersebut berikut

ini 79:

a) Terhadap anak yang belum dewasa, orang di bawah pengampuan;

b) Terhadap istri selam perkawinan (ketentuan ini tidak berlaku lagi)

c) Terhadap piutang yang digantungkan pada suatu syarat selama syarat itu

tidak terpenuhi;

78
Dr. Arrisman, Op. Cit. Hlm 75
79
Ibid.

56
d) Terhadap seorang ahli waris yang telah menerima suatu warisan dengan

hak istimewa untuk membuat pendaftaran harta peninggalan mengenai

hutang-piutangnya (pasal 1987-1991 KUH Perdata).

Pokok-pokok Hukum Perikatan karya R. Setiawan menegaskan bahwa

perjanjian dapat hapus karena:80

1. Ditentukan dalam persetujuan oleh para pihak, misalnya persetujuan

tersebut berlaku dalam jangka waktu tertentu. Setiap kontrak yang dibuat

oleh para pihak, baik kontrak yang dibuat melalui akta di bawah tangan

maupun yang dibuat oleh atau di muka pejabat yang berwenang telah

ditentukan secara tegas jangka waktu dan tanggal berakhirnya kontrak.

Penentuan jangka waktu dan tanggal berakhirnya kontrak dimaksudkan

bahwa salah satu pihak tidak perlu memberitahukan tentang berakhirnya

kontrak tersebut, namun para pihak mengetahuinya masing-

masing.Penentuan jangka waktu dan tanggal berakhirnya kontrak

berdasarkan kemauan dan kesepakatan para pihak. Ada kontrak yang

jangka waktu dan tanggal berakhirnya singkat dan ada juga waktu dan

tanggal berakhirnya lama.81

2. Undang-undang menentukan batas berlakunya suatu persetujuan, misalnya

Pasal 1066 ayat (3) KUH Perdata yang menyebutkan bahwa para ahli

waris tertentu untuk tidak melakukan pemecahan harta warisan. Waktu

persetujuan dalam Pasal 1066 ayat (4) KUH Perdata dibatasi hanya selama

5 (lima) tahun.
80
R. Setiawan, Op. cit, hlm. 69.
81
Salim HS.,S.H., M.S. Op., Cit hlm. 175

57
3. Para pihak atau undang-undang dapat menentukan bahwa dengan

terjadinya peristiwa tertentu, maka persetujuan tersebut akan hapus,

misalnya jika terjadi salah satu pihak meninggal dunia, maka persetujuan

akan hapus, antara lain:

a. Persetujuan perseroan (Pasal 1646 ayat (4) KUH Perdata)

b. Persetujuan pemberian kuasa (Pasal 1813 KUH Perdata)

c. Persetujuan kerja (Pasal 1603 KUH Perdata).

4. Pernyataan penghentian persetujuan Opzegging. Penghentian persetujuan

ini dapat dilakukan baik oleh salah satu ataupun kedua belah pihak dan ini

hanya ada pada persetujuan-persetujuan yang bersifat sementara. Pada

dasarnya kontrak harus dilaksanakan oleh para pihak berdasarkan itikad

baik, namun dalam kenyataanya sering kali salah satu pihak tidak

melaksanakan substansi kontrak, walaupun mereka telah diberikan somasi

sebanyak tiga kali berturut-turut. Karena salah satu pihak lalai

melaksanakan prestasinya maka pihak yang lainnya dengan sangat

terpaksa memutuskan kontrak itu secara sepihak. Pemutusan kontrak

secara sepihak merupakan salah satu cara untuk mengakhiri kontak yang

dibuat oleh para pihak. Artinya pihak kreditur menghentikan berlakunya

kontrak yang dibuat dengan debitur, walaupun jangka waktunya belum

berakhir, ini disebabkan debitur tidak melaksanakan prestasi sebagaimana

mestinya.82

5. Persetujuan hapus karena putusan hakim, berakhirnya kontrak karena

putusan pengadilan, yaitu tidak berlakunya kontrak yang dibuat oleh para
82
Salim HS.,S.H., M.S. Op., Cit 178

58
pihak, yang disebabkan adanya putusan pengadilan yang telah mempunyai

kekuatan hukum tetap

6. Tujuan dari persetujuan telah tercapai, Pada dasarnya objek perjanjian

adalah sama dengan prestasi, prestasi itu terdiri dari melakukan

sesuatu,berbuat sesuatu, tidak berbuat sesuatu. Di perjanjian timbal balik,

seperti jual beli,sewa menyewa,tukar-menukar, dan lain-lain telah di

tentukan perjanjian. Misalnya, dalam perjanjian jual beli tanah, yang

menjadi objek perjanjian adalah barang dan harga. Pihak penjual tanah

berkewajiban untuk menyerahkan tanah secara riil dan menyerahkan surat-

surat tanah tersebut, begitu juga pembeli tanah berkewajiban untuk

menyerahkan uang harga tanah tersebut. Sedangkan hak dari penjual tanah

adalah menerima uang harga tanah dan hak dari pihak pembeli menerima

tanah beserta surat-surat yang menyertainya. Dengan telah dilaksankan

objek perjanjian maka perjanjian antara penjual dan pembeli telah

berakhir, baik secara diam-diam maupun secara tegas.83

7. Dengan persetujuan dari para pihak, Kesepakatan kedua belah pihak

merupakan salah satu cara berakhirnya kontrak, di mana kedua belah pihak

telah sepakat untuk menghentikan kontrak yang telah ditutup antara

keduanya.

Dalam hukum perdata syarat batal biasanya dikaitkan dengan perjanjian

atau perikatan bersyarat. Suatu perikatan dapat dikatakan bersyarat apabila

perikatan tersebut digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan

sedang terjadi dan masih belum tentu akan terjadi, baik secara
83
Salim HS.,S.H., M.S. Op., Cit hlm. 176-177.

59
menangguhkan lahirnya perikatan hinga terjadi perististiwa semacam itu,

maupun secara membatalkan perikatan menurut terjadinya peristiwa

tersebut. Perikatan bersyarat terdiri dari 2 (dua) macam,yaitu :

1. Perikatan dengan suatu syarat Tangguh, yaitu perikatan lahir hanya apabila

peristiwa yang dimaksud itu terjadi dan perikatan lahir pada detik

terjadinya peristiwa itu.

2. Perikatan dengan suatu syarat batal, yaitu suatu perikatan yang sudah lahir

justru berakhir atau dibatalkan apabila peristiwa yang dimaksud terjadi.

Menurut Pasal 1266 KUH Perdata, ada tiga hal yang harus diperhatikan

sebagai syarat supaya pembatalan ini dapat dilakukan. Tiga syarat itu adalah :

1. Perjanjian bersifat timbal balik

2. Harus ada wanprestasi

3. Harus dengan putusan hakim

Perjanjian timbal balik dimana kedua pihak memenuhi kewajibannya masing-

masing yakni prestasi, jika salah satu pihak ingkar janji atau wanprestasi

mengenai syarat pokok dari perjanjian maka dapat di ajukan gugatan permintaan

pembatalan perjanjian kepada hakim.84

Ada beberapa teori hukum yang terkait dengan pembatalan perjanjian sepihak

yaitu repudiasi terhadap perjanjian. Repudiasi adalah pernyataan mengenai

ketidak sediaan atau ketidak mampuan untuk melaksanakan perjanjian yang

84
Abdul kadir muhammd., Op Cit hlm. 130

60
sebelumnya telah disetujui, ppernyataan tersebut diungkapkan sebelum tiba waktu

melaksanakan perjanjian tersebut.

Dalam hal pembatalan perjanjian yang diakibatkan oleh wanprestasi (tidak

terpenuhinya isi perjanjian) maka dapat dilihat dari ketentuan Pasal 1266 dan

1267 KUH Perdata yang jelas mengatur mengenai syarat batal yaitu jika salah

satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. dilihat dari ketentuan Pasal 1266

KUHPerdata yang mengatakan bahwa, “syarat batal dianggap selalu dicantumkan

dalam persetujuan yang timbal balik, andai kata salah satu pihak tidak memenuhi

kewajibannya dalam hal demikian persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi

pembatalan harus dimintakan kepada pengadilan”.

Dari penjelasan pasal tersebut, maka pembatalan perjanjian tersebut harus

dimintakan melalui pengadilan, hal ini dimaksudkan agar nantinya tidak ada para

pihak yang dapat membatalkan perjanjian sepihak dengan alasan salah satu pihak

lainnya tersebut tidak melaksanakan kewajibannya (wanprestasi).

Pemutusan perjanjian memang diatur dalam Pasal 1266 KUH Perdata yang

haruslah memenuhi syarat-syarat bahwa perjanjian tersebut bersifat timbal-balik,

pembatalannya harus dimintakan pada hakim (pengadilan), dan harus ada

wanprestasi. Wanprestasi merupakan salah satu dari syarat adanya pemutusan

perjanjian. Tindakan wanprestasi itu sendiri membawa konsekuensi terhadap

timbulnya hak pihak yang dirugikan untuk menuntut pihak yang melakukan

wanprestasi untuk memberikan ganti rugi, sehingga oleh hukum diharapkan agar

tidak ada satu pihak yang dirugikan karena wanprestasi. Wanprestasi

61
mengakibatkan salah satu pihak dirugikan, maka pihak yang melakukan

wanprestasi harus menanggung akibat dari tuntutan pihak lawan yang dapat

berupa tuntutan :

1. Pembatalan kontrak (disertai atau tidak disertai ganti rugi)

2. Pemenuhan kontrak (disertai atau tidak disertai ganti rugi)

Dengan demikian, kemungkinan pokok yang dapat dituntut oleh pihak yang

dirugikan adalah pembatalan atau pemenuhan kontrak. Dalam hal peggantian

kerugian diatur dalam Pasal 1267 KUH Perdata yang menyebutkan, bahwa “

pihak yang terhadapnya perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih, memaksa pihak

yang lain untuk memenuhi persetujuan, jika hal itu masih dapat dilakukan, atau

menuntut pembatalan persetujuan, dengan penggantian biaya kerugian dan

bunga”. Berdasarkan ketentuan Pasal 1267 KUH Perdata, terdapat beberapa hal

yang dapat dilakukan oleh pihak lawan sebagai akibat dari wanprestasi, yaitu

sebagai berikut :

1. Meminta pelaksanaan perjanjian, meskipun pelaksanaan atas prestasi yang

diperjanjikan sudah terlambat

2. Meminta penggantian kerugian, yakni kerugian yang diderita olehnya

akibat keterlambatan atau tidak terlaksanakannya suatu prestasi atau

dilaksanakan tetapi tidak sebagaimana mestinya

3. Menuntut pelaksanaan kerugian, yakni kerugian yang diderita olehnya

akibat keterlambatan nya pelaksanaan perjanjian

4. Melakukan pembatalan perjanjian

62
5. Melakukan pembatalan perjanjian disertai dengan penggantian kerugian

akibat terlambatnya pelaksanaan perjanjian.

Adapun hukuman atau akibat-akibat yang harus diterima oleh seseorang

akibat dari kelalaiannya, adalah sebagai beirkut :

1. Membayar kerugian yang di derita (ganti rugi)

2. Pembatalan perjanjian

3. Peralihan resiko

4. Membayar biaya perkara

Dari penjelasan pasal diatas, jelas bahwa apabila seseorang telah mengalami

kerugian yang ditimbulkan dari wanprestasi yang dilakukan oleh pihak lain, ia

dapat menuntut untuk meminta penggantian kerugian. Pemberian ganti rugi dalam

perjanjian merupakan suatu akibat yang ditimbulkan dari tindakan wanprestasi.

Ganti rugi yang muncul sebagai akibat dari adanya wanprestasi adalah jika ada

pihak-pihak yang tidak melaksanakan kewajibannya yang telah disepakati oleh

kedua belah pihak dalam perjanjian, maka menurut hukum dia dapat dimintakan

tanggung jawabnya, jika pihak lain dalam perjanjian tersebut menderita kerugian

karenanya.

BAB III

KONTRAK KERJA SAMA CV. GENTONG MAS DENGAN CV.

BAHSAN JAYA

63
A. Profil Perusahaan CV. Gentong Mas

1. Aspek Legalitas

CV. Gentong Mas sebagai Perseroan Komanditer mulai dilegalkan sebagai

Badan Hukum melalui Akta Pendirian pada tahun 2016 melalui Akta Pendirian

Nomor 54 pertanggal 01 januari 2016 yang dibuat dihadapan Osye Anggandarri,

Sarjana Hukum Notaris di Garut. Akta tersebut telah didaftarkan dalam register

kepanitraan Pengadilan Negri Garut tanggal 29 januari 2016 dengan Nomor

44/CV/2014PN.GRT.

Gentong Mas adalah perusahaan yang bergerak dalam bidang pembuatan

berbagai minuman kesehatan instan, dalam bentuk kemasan. terletak di Daerah

Sadang Lebak Desa Situ Asih Kecamatan Karangpawitan Kabupaten Garut Jawa

Barat yang saat ini sudah dikenal di beberapa wilayah nusantara bahakan ke

negara-negara Asia. CV. Gentong Mas diprakarsai oleh seorang Pemuka Agama

Pesantren Sadang Lebak Kabupaten Garut dan sudah berlangsung sejak tahun

2006 dimana saat itu Produksi hanya melibatkan keluarga dekat dan santri

Pesantren Sadang Lebak yang memiliki waktu luang.

2. Lingkup Usaha CV. Gentong Mas

Gentong Mas adalah Perusahaan yang saat ini memiliki izin usaha sebagai

perusahaan yang bergerak dalam bidang Industri Air Mineral, Industri Produk

Obat Tradisional, Perdagangan Besar Obat Tradisional, Rumah/kedai Obat

Tradisional, Perdagangan Besar Atas dasar Balas Jasa. Hingga kini CV. Gentong

Mas masih berproduksi beberapa jenis merek dagang/ produk.

64
Gentong Mas memproduksi beberapa macam minuman instan antara lain Gula

Aren Gentong Mas, Gucci Mas, Boci Mas dan Air Mineral Hikmatan yang semua

merek dangan tersebut dibawah naungan Perusahaan Cv. Gentong Mas.

Visi dari perusahaan CV. Gentong Mas adalah “Dari Pesantren Untuk

Kesehatan Indonesia” sedangkan untuk Misi CV. Gentong Mas adalah :

1. Menciptakan Produk yang memiliki nilai manfaat untuk kesehatab

Masyarakat

2. Meningkatkan Mutu Pelayanan Terbaik

3. Memberikan Inovasi dalam menciptakan Produk Herbal Tradisional

4. Menjadi Perusahaan yang Memiliki tanggung Jawab sosial dan peduli

Lingkungan

5. Berperan Aktif Bersama pemerintah dalam pengembangan produk-

produk tradisional

CV. Gentong Mas memiliki struktur organisasi sebagai berikut :

65
B. Kontrak Kerjasama Distributor antara CV. Gentong Mas dengan CV.

Bahsan Jaya

Pada tanggal 01 September 2016 bahwa CV. Gentong Mas dan CV. Bahsan

Jaya bersepakat dan berjanji, serta mengikatkan diri untuk bekerjasama dalam

produksi dan trading dalam bidang usaha perdagangan, bidang minuman

Kesehatan dengan merk dagang Gula Aren Gentong Mas yang dikelola dan di

distribusikan oleh pihak CV. Bahsan jaya dan CV. Gentong Mas sebagai produsen

serta sebagai pemilik yang sah merk dagang tersebut.

66
Kedua belah pihak tersebut telah saling setuju dan mufakat untuk mengadakan

perjanjian dan kesepakatan bersama dalam mengelola pelaksanann dan

memproduksi serta melakukan transaksi perdagangan dengan memakai syarat dan

ketentuan sesuai dengan akta perjanjian dan kesepakatan bersama Nomor 01

tanggal 01 September 2016 yang dibuatan di hadapan Tina Melinda Fuadi,

Sarjana Hukum, spesialis satu, notaris di kabupaten Bandung.

Dalam akta tersebut tertuang beberapa Pasal yang mengikat kedua belah pihak

mengenai hak dan kewajiaban para pihak selama waktu yang di tentukan dalam

mengelola pelaksanan dan produksi.

Kontrak kerjasama antara CV. Gentong Mas dan CV. Bahsan Jaya terdiri dari

9 (Sembilan) Pasal yang mengatur tentang objek perjanjian, syarat dan ketentuan-

ketentuan perjanjian, Kewajiban para pihak, Hak para pihak, Ahli waris, Domisi

Hukum dan Penutup Adapun penjabaran dari setiap pasal dalam akta tersebut

adalah :

Pasal 1 tentang Objek Perjanjian :


“Para pihak sepakat untuk melaksanakan kerja sama Produksi dan Pemasaran di
dalam mengelola pelaksanaan usaha dan transaksi perdagangan produk merek
dagang Gula Aren Gentong Mas.”

Pasal 2 Tentang syarat dan ketentuan-ketentuan perjanjian :

“Semua informasi, dokumen, bahan atau materi pemasaran, oprasional, metode


bisnis maupun sistem kerja baik cetak maupun elektronik atau bentuk lain yang
disediakan oleh PIHAK KEDUA (CV. BAHSAN JAYA) merupakan kekayaan
intelektual perusahaan PIHAK KEDUA ( selanjutnya semua informasi, dokumen,
bahan, atau materi pemasaran, oprasional, metode bisnis maupun system kerja,
baik cetak maupun elektronik atau bentuk lain, baik masing-masing maupun
Bersama akan disebut “informasi rahasia”
PIHAK PERTAMA (CV. GENTONG MAS) memiliki keahlian dan
kemampuan dalam memproduksi barang dagang/produk tersebut (GULA AREN
GENTONG MAS) sehingga berkendak untuk membantu sekaligus menjadi
perwakilan PIHAK KEDUS atau perusahaan dalam hal produksi barang

67
dagang/produk. Semua produk/barang PIHAK PERTAMA hanya
diperuntukan atau didistribusikan oleh PIHAK KEDUA sebagai distributor
Nasional.
a. pembayaran atas transaksi tersebut diberikan kebijakan pembayaran dengan
teknis sebagai berikut : Cash dari setiap pengiriman per order untuk Gula aren
Gentong Mas
b. harga barang dagang/ produk adalah sebagai berikut :
1. Gentong Mas kemasan Lama, 200 gram Rp. 16.000-,/Pcs, untuk harga
Garut.
2. Gentong Mas kemasan Lama, 200 gram Rp. 16.500-,/Pcs, untuk harga
Jakarta.
3. Gentong Mas kemasan Baru, 200 gram Rp. 17.000-,/Pcs, untuk harga
Garut.
4. Gentong Mas kemasan Lama, 200 gram Rp. 17.500-,/Pcs, untuk harga
Jakarta
Beban pajak penjualan dibebankan dan ditanggung oleh masing-masing pihak
c. Apabila ada kenaikan harga, baik perubahan atau pengurangan akan
dikonfirmasikan dan dibicarakan terlebih dahulu oleh para pihak. Untuk
pengajuan perubahan tersebut yang sudah disepakati diajukan minimal 1 bulan
sebelumnya.
d. Para pihak dilarang untuk :
1. Memberikan informasi dan / atau pernyataan yang salah dan / atau
menyesatkan baik mengenai peroduk maupun perusahaan.
2. Membuat perjanjian dan/atau kesepakatan dalam bentuk apapun atas
nama perusahaan tanpa sepengatahuan kedua belah pihak.
3. Baik secara sadar maupun tidak sadar, memberikan informasi yang
salah mengenai produk sehingga mengakibatkan kedua belah pihak
mengalami kerugian baik materil maupun immaterial.
a. PIHAK PERTAMA (CV. GENTONG MAS) tidak boleh
dengan sengaja atau pun tidak sengaja memasarkan produk
dengan merek dagang Gentong Mas kepada pihak lain selain
kepada PIHAK KEDUA (CV. BAHSAN JAYA)
b. PIHAK KEDUA (CV. BAHSAN JAYA) dilarang untuk
memasarkan produk sejenis dengan Gula aren Gentong Mas
e. Hak intelektual yang berbentuk apapun yang berhubungan dengan merek
dagang gula aren Gentong Mas merupakan hak kekayaan Intelektual PIHAK
PERTAMA (CV. GENTONG MAS) seperti : domain & hasting, media social,
facebook, twitter, instagram dan lain sebagainya, dan segala bentuk conten yang
ada didalamnya merupak hak PIHAK KEDUA (CV. BAHSAN JAYA).

Pasal 3 Tentang Kewajiban para pihak :

PIHAK PERTAMA (CV. GENTONG MAS) berkewajiban dan bersedia


menyediakan pengadaan barang/ produk sesuai dengan kebutuhan PIHAK
KEDUA (CV. BAHSAN JAYA) dengan minimum quantity yang telah disepakati
Bersama.

68
1. PIHAK PERTAMA (CV. GENTONG MAS) berkewajiban memenuhi
target produksinya yang sudah ditetapkan oleh PIHAK KEDUA (CV.
BAHSAN JAYA).
2. PIHAK PERTAMA (CV. GENTONG MAS) berkewajiban
menciptakan dan menghasilkan produk yang sudah distandarisasikan dan
disepakati oleh kedua belah pihak.
3. PIHAK KEDUA (CV. BAHSAN JAYA) berkewajiban dan akan selalu
membayar setiaptransaksi, dengan teknis pembayarab yang disepakati oleh
para pihak.
4. PIHAK KEDUA (CV. BAHSAN JAYA) berkewajiban untuk
memasarkan produk dengan merek dagang Gula Aren Gentong Mas.
5. Kewajiban para pihak merupakan satu kesatuan dari dan atau poin yang
ada di pasal 2 mengenai SYARAT DAN ATURAN KETENTUAN
PERJANJIAN.

Pasal 4 Tentang Hak para pihak :


a. PIHAK PERTAMA mempunyai hak atas pembayaran dari setiap
transaksi PIHAK KEDUA sesuai dengan kesepakatan Bersama.
b. PIHAK KEDUA mempunyai hak atas produksi yang telah disepakati.
c. Selama masa kontrak, para pihak tidak dapat merubah atau
membatalkan atau memutus kontrak ini secara sepihak, kecuali ada
kesepakatan Bersama yang diatur di dalam addendum kontrak.”

Pasal 7 Tentang Ahli Waris :


Sesuai dengan peraturan hukum perjanjian ini berlaku pula bagi ahli waris dari
pihakyang meninggal dunia, yang dibuktikan dengan surat keterangan susunan
ahli waris yang dikeluarkan oleh pejabat atau instansi yang berwenang.”

Pasal 8 Tentang Domisi Hukum :


Apabila terjadi sesuatu perselisihan, maka kedua belah pihak sepakat dan berjanji
akan menyelesaikan permasalhan tersebut secara musyawarah dan apabila dengan
jalan musyawarah tidak dapat diselesaikan permasalahan tersebut, maka kedua
belah pihak sepakat untu segala urusan mengenai permasalhan perjanjian ini
dengan akibat akibatnya memilih domisili yang tetap dan umum di kantor panitera
pengadilan Negri Garut.”

Pasal 9 Tentang Penutupan :


Segala ketentuan dan syarat yang tercantum dalam perjanjian ini berlaku dan
bersifat mengikat bagi para pihak yang menandatanganinya hal-hal yang belum
dan/ atau tidak cukup diatur dalam perjanjian ini akan ditentukan kemudian dalam
perjanjian tambahan (addendum) yang merupakan bagian yang penting serta
tidak terpisahkan dengan perjanjian dalam perjanjian ini.”

69
C. Tindakan Wanprestasi Terhadap Kontrak Kerjasama Oleh CV. Bahsan

Jaya

Dalam perjanjian kerjasama antara CV. Gentong Mas dan CV. Bahsan Jaya

tidak berjalan sebagai mana seharusnya. Pada tahun 2018 pemilik CV. Bahsan

Jaya tidak menjalankan kewajibannya seperti seharusnya sebagai distributor

tunggal dari produk Gentong Mas tanpa pemberitahuan sewajarnya kepada CV.

Gentong Mas. Hal tersebut membuat pihak Gentong Mas mengalami kerugian

karena produk-produk Gentong mas tidak dapat dipasarkan, sementara biaya

oprasional terus berjalan dan harus tetap dikeluarkan, seperti gaji karyawan,

oprasional perusahaan. Bahkan pihak Gentong Mas harus menanggung uang

beban karena masih ada piutang yang belum diselesaikan oleh pihak CV. Bahsan

Jaya.

Atas alasan tersebut pihak Gentong Mas kemudian memutuskan hubungan

kontrak dengan pihak distributor melalui surat tertulis yang ditujukan pada CV.

Bahsan Jaya. Pihak Gentong Mas mengirimkan surat perihal tidak

dilaksanakannya kewajiban pihak CV. Bahsan Jaya terhadap CV. Gentong Mas

sebanyak 4 (empat) kali dan di antarkan langsung oleh komisaris CV. Gentong

Mas namun ternyata tidak pernah ditanggapi oleh pihak CV. Bahsan Jaya. Oleh

sebab itu CV. Gentong Mas harus terus berjalan maka pihak CV. Gentong Mas

memutuskan untuk menujuk distributor baru untuk menyalurkan produk-produk

dari CV. Gentong Mas. CV. Bahsan Jaya kemudian mengajukan somasi keberatan

karena CV. Bahsan jaya merasa telah ikut membesarkan Brand dari produk CV.

70
Gentong Mas dan menilai distributor yang baru hanya meneruskan usaha-usaha

yang sudah dirintis oleh CV. Bahsan Jaya.

Kemudian CV. Bahsan Jaya mengirim surat somasi dengan dasar gugatan

meminta ganti rugi karena pihak Gentong Mas dianggap telah memutuskan

perjanjian yang telah disepakati secara sepihak dan ganti rugi yang diminta oleh

CV. Bahsan Jaya sebesar Rp. 2.000.000.000,- (dua miliar rupiah) yang dianggap

sebagai biaya-biaya yang telah dikeluarkan untuk membesarkan Brand Gentong

Mas. Disisi lain CV. Gentong Mas mengalami kerugian selama hampir 1 (satu)

tahun karena tidak dapat mendistribusikan produk-produknya dan biaya-biaya

lainnya kerugian yang ditanggung oleh CV. Gentong Mas berkisar kurang lebih

Rp. 500.000.000,- ( lima ratus juta rupiah ) dihitung dari barang-barang yang

telah dikirimkan oleh CV. Gentong Mas kepada CV. Bahsan Jaya dan dari stok

barang yang tidak didistribusikan di gudang Gentong mas.

71
BAB IV

PEMUTUSAN PERJANJIAN KERJASAMA CV. GENTONG MAS

TERHADAP CV. BAHSAN JAYA

A. Pelaksanaan pemutusan perjanjian Kerjasama antara CV. Gentong Mas

dan CV.Bahsan Jaya selaku distributor

Sebelum membahas mengenai prosedur pelaksanaan pemutusan perjanjian

kerja sama antara CV. Gentong Mas dan CV. Bahsan Jaya alangkah baiknya kita

mengetahui dahulu alasan terjadinya perjanjian tersebut. Perjanjian tersebut dibuat

oleh para pihak berawal dari sebuah kesepakatan bersama dimana pihak kedua

selaku direktur utama CV. Bahsan Jaya merasa tertarik memasarkan sebuah merek

dagang/ hasil produksi yang di buat di sebuah pesantren yang merupakan tempat

beliau pun memperdalam ilmu agama, setelah berbicang mengenai hal ini pihak

kedua merasa perlu menjadi mitra untuk pihak pertama membesarkan merek

dagang/ hasil produksi yang di dibesarkan oleh pihak pertama karena pihak

pertama mendirikan pabrik tersebut untuk mensejahterakan umat dan membantu

para santri yang terbentur dengan masalah materi agar bisa mondok di pesantren

dengan rasa aman tanpa perlu repot memikirkan biaya untuk mondok di pesantren

tersebut.

Pada tanggal 17 Agustus 2016 bertempat di Bandung dibuatlah perjanjian di

bawah tangan antara H. Aceng Hasan yang berkedudukan di kp. Sadang lebak RT

72
001 RW 005 Desa Situ Sari Kec. Karangpawitan, Kota Garut yang bertindak

sebagai Produsen Gula Aren Gentong Mas yang diseb sebagai Pihak Pertama.

Dengan H. Ali Hanafi yang berkedudukan di Rawabangun, Jakarta yang bertindak

sebagai penjual (trading) Gula Aren Gentong Mas yang disebut sebgai pihak

kedua. Dalam perjanjian dibawah tangan tersebut menjelaskan mengenai beberapa

pasal yang mengikat untuk kedua belah pihak mengenai syarat dan aturan

perjanjian, kewajiban para pihak, hak para pihak, masa berlakunya perjanjian,

berakhirnya perjanjian, penyelesaian perselisihan, dan adeendum disaksikan oleh

beberapa saksi yakni saksi pertama tn. Antoni kuswoyo dan saksi kedua tn. Erik

dan di tanda tangani oleh kedua belah pihak dan saksi. Merasa tidak hanya cukup

dengan perjanjian tersebut pada tanggal 01 September 2016 dibuatlah akta

perjanjian antara dua belah pihak yang memuat syarat dan aturan ketentuan

perjanjian, kewajiban para pihak, ahli waris, domisili hukum. Sehingga

berdasarkan asal mula dibuatnya perjanjian Kerjasama ini merupakan perjanjian

yang di buat berdasarkan musyawarah dan mufakat antara kedua belah pihak

tersebut.

Pertama yang akan dibahas dalam pembahasan ini adalah dengan melihat

terpenuhinya semua unsur dalam pembuatan perjanjian tersebut adalah dengan

melihat terpenuhinya semua unsur yang terdapat dalam pasal 1320 KUH Perdata,

yaitu mengenai syarat sah nya suatu perjanjian, yaitu :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

2. Kecakapan untuk membuat sebuah perikatan

3. Suatu hal tertentu

73
4. Sebab yang halal

Dalam setiap perjanjian prosedur yang harus ditempuh adalah terpenuhinya

syarat sah suatu perjanjian, karena jika salah satu syarat saja tidak terpenuhi maka

perjanjian tersebut dianggap tidak sah menurut hukum/tidak memiliki kekuatan

hukum. Dalam hal ini perjanjian yang dilakukan oleh CV. Gentong Mas dan CV.

Bahsan Jaya juga harus memenuhi syarat sah tersebut.

Syarat yang pertama dalam perjanjian ini adalah kesepakatan para pihak yang

hendak mengikatkan dirinya pada suatu perjanjian. Kesepakatan yang dilakukan

oleh CV. Gentong Mas dan CV. Bahsan Jaya untuk melakukan sebuah kontak

Kerjasama dan dibuat kan akta perjanjian di hadapan notaris dengan di tanda

tangani notaris tersebut dirasa cukup.

Mengenai syarat sah perjanjian yang kedua menurut Pasal 1320 ayat (2) yaitu

kecakapan untuk membuat sebuah perjanjian, yaitu para pihak yang mengadakan

perjanjian CV. Gentong Mas dalam hal ini merupakan suatu perusahaan yang

berbadan hukum yang bergerak dalam bidang pembuatan produk Kesehatan

berupa minuma Kesehatan sashet sedangkan CV. Bahsan Jaya merupakan suatu

perusahaan yang bergerak dalam bidang pemasaran produk dan penjualan produk,

kedua perusahaan tersebut telah berbadan hukum, sehingga memiliki kemampuan

yang dinilai cakap untu membuat/mengadakan suatu perjanjian dengan piihak

manapun baik dengan instansi pemerintahan ataupun pihak swasta.

Pasal 1320 ayat (3) KUH Perdata menyebutkan mengenai objek perjanjian

yaitu suatu hal tertentu. Suatu hal tertentu ini diartikan sebagai adanya objek yang

74
diperjanjikan baik itu berupa barang yang sudah ada maupun barang yang akan

ada dikemudian hari. Dalam perjanjian Kerjasama antara CV. Gentong Mas dan

CV. Bahsan Jaya, merupan suatu perjanjian mengenai Kerjasama untuk

menyalurkan/mendistribusikan merek dagang/produk Gula Aren Gentong Mas.

Sehingga yang menjadi objek dalam perjanjian ini merupakan barang yang dibuat

oleh CV. Gentong Mas yang akan di distribusikan oleh CV. Bahsan Jaya.

Pasal 1320 ayat (4) KUH Perdata menyebutkan syarat sah nya suatu perjanjian

yang ke empat yaitu adanya suatu sebab yang halal. Dalam Pasal 1335 KUH

Perdata tidak disebutkan mengenai suatu sebab yang halal, tetapi hanya

menyebutkan bahwa suatu perjanjian jika dibuat atas dasar kepalsuan atau

terlarang maka perjanjian tersebut tidak memiliki kekuatan hukum. Pasal 1337

KUH Perdata mempertegas bahwa mengenai suatu sebab yang terlarang yaitu

seuatu sebab dibuatnya perjanjian yang bertentangan dengan Undang-undang,

atau apabila berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum. Perjanjian

antara CV. Gentong Mas dan CV. Bahsan Jaya dibuat dengan tidak bertentagan

dengan Undang-undang karena merupakan suatu perjanjian Kerjasama untuk

menyalurkan/ mendistribusikan suatu merek dagang/hasil produksi serta tidak ada

aturan yang melarang kegiatan tersebut dan tidak bertentangan dengan ketertiban

umum dan kesusilaan, ini semua merupakan syarat umum yang selalu harus

dipatuhi.

Selain mengenai syarat sahnya suatu perjanjian Adapun prosedur lain yang

terdapat dalam kesepakatan antara CV. Gentong Mas dan CV. Bahsan Jaya yaitu

75
mengenai bentuk perjanjian tersebut, apakah perjanjian itu dibuat secara tertulis

atau lisan.

Perjanjian kerja sama antara CV. Gentong Mas dan CV. Bahsan Jaya

merupakan perjanjian timbal balik karena masing-masing pihak memiliki

kewajiban pokok yang harus dipenuhi. Kewajiban pokok yang harus di penuhi

oleh masing-masing pihak. Kewajiban pokok yang harus dipenuhi oleh CV.

Gentong Mas sebagai produsen yaitu :

1. PIHAK PERTAMA (CV. GENTONG MAS) berkewajiban dan bersedia


menyediakan pengadaan barang/ produk sesuai dengan kebutuhan PIHAK
KEDUA (CV. BAHSAN JAYA) dengan minimum quantity yang telah
disepakati Bersama.
2. PIHAK PERTAMA (CV. GENTONG MAS) berkewajiban memenuhi target
produksinya yang sudah ditetapkan oleh PIHAK KEDUA (CV. BAHSAN
JAYA).
3. PIHAK PERTAMA (CV. GENTONG MAS) berkewajiban menciptakan dan
menghasilkan produk yang sudah distandarisasikan dan disepakati oleh kedua
belah pihak.

Sedangkan kewajiban CV. Bahsan Jaya sebagai Distributor memiliki

kewajiban sebagai berikut :

1. PIHAK KEDUA (CV. BAHSAN JAYA) berkewajiban dan akan selalu


membayar setiap transaksi, dengan teknis pembayarab yang disepakati oleh
para pihak.
2. PIHAK KEDUA (CV. BAHSAN JAYA) berkewajiban untuk memasarkan
produk dengan merek dagang Gula Aren Gentong Mas.

Dalam isi pelaksanaan perjanjian kerja sama yang berbentuk tertulis,

selanjutnya para pihak dalam perjanjian ini secara otamatis akan timbul hak-hak

apa saja yang akan diterimanya dan kewajiban-kewajiban apa saja yang harus

dipenuhi oleh para pihak yang telah mengikatkan diri.

76
Dalam pelasanaan isi perjanjian tersebut ada Langkah-langkah yang harus

ditempuh oleh para pihak sebelum melaksanakan proses pendistribusian barang

dagang/ produk yang dimuat dalam pasal yang tertuang dalam isi perjanjian

tersebut.

Dalam Pasal 3 ayat (1) perjanjian kerjasama menegaskan bahwa pihak pertama

berkewajiban dan bersedia menyediakan pengadaan barang produk sesuai dengan

kebutuhan pihak kedua, artinya kewajiban pihak pertama menyediakan barang

sesuai kebutuhan pihak kedua dan dalam Pasal 3 ayat (4) dijelaskan bahwa pihak

kedua berkewajiban dan akan selalu membayar setiap pembayaran/ transaksi

dengan teknis pembayaran sesuai dengan yang tertuang dalam Pasal 2.

Kemudian dalam Pasal 3 ayat (2) dan (3) kewajiban pihak pertama adalah

memenuhi target yang pihak kedua berikan dan jua pihak pertama berkewajibna

untuk mencipptakan produk yang memenuhi standar yang disepakati. Kemudaian

dalam Pasal 3 ayat (5) pihak kedua berkewajiban untuk memasarkan produk yang

dibuat oleh pihak pertama.

Dalam penjabaran beberapa pasal diatas maka akan tampak jelas mengenai

prosedur pelaksaan perjajian kerja sama yang dibuat kedua belah pihak tersebut.

Dalam melaksanakan isi perjanjian dapat penulis lihat, penulis menyimpulkan

beberapa pasal mana kala terjadi wanprestasi.

Dalam teknis pelaksanaan yang terjadi di lapangan ternyata tidak sesuai

dengan apa yang telah disepakati Bersama oleh kedua belak pihak, antara lain

menurut hasil observasi dan wawancara yang penulis lakukan dilapangan ternyata

ada suatu kendala yang mengakibatkan tidak terlaksannya kesepakatan yang

77
dibuat tersebut, antara lain pihak kedua telah dengan sengaja tidak menjalankan

kewajibannya untuk memenuhi teknis pembayaran yang telah disepakati dan

pihak kedua telah dengan sengaja melanggar pasal 3 ayat (5) perjanjian kerjasama

yaitu dengan tidak memasarkan produk-produk yang telah pihak kedua pesan

kepada pihak pertama.

Atas kejadian tersebut pihak pertama mengalami kerugian yang diakibatkan

oleh pihak kedua yang tidak memenuhi kewajibannya untuk memasarkan produk-

produk pihak pertama. Atas alasan tersebut pihak pertama mengirimkan surat

perihal tidak terlaksannya kewajiban pihak kedua terhadap pihak pertama namun

hingga saat ini pihak pertama tidak pernah mendapatkan balasan perihal hal

tersebut.

Penulis dalam hal ini berpendapat bahwa tindakan yang dilakukan pihak

kedua sudah jelas tidak dibenarkan sebab kedua belah pihak telah terikat dengan

kewajiban kewajiban yang harus dan wajib dipenuhi kedua belah pihak, sesuai

dengan bahasan dalam bab ii mengenai prestasi sesuai dengan pasal 1234 KUH

Perdata bahwa klasifikasi prestasi adalah memberikan sesuatu, melakukan

sesuatu, artinya pihak pertama secara prestasi telah memberikan sesuatu dan

melakukan sesuatu sesuai dengan perjanjian sedangkan sebaliknya pihak kedua

justru tidak memenuhi prestsi nya, dalam hal ini penulis berpendapat bahwa

tindakan pihak kedua telah masuk dalam tindakan wanprestasi. Seperti dibahas

dalam bab 2 mengenai wanprestasi merut R.subekti beberapa bentuk wanprestasi

antara lain adalah tidak melaukan apa yang disanggupi akan dilakukan.

78
B. Akibat hukum dari pemutusan perjanjian kerjasama sama secara sepihak

oleh CV. Gentong mas kepada CV. Bahsan jaya

Sesuai dengan ketentuan pasal 1265 KUH Perdata, syarat batal adalah syarat

yang bila di penuhi akan menghapuskan perikatan dan membawa segala sesuatu

pada keadaan semula seolah-olah tidak ada suatu perjanjian. Hal-hal yang harus

diperhatikan sebagai syarat pembatalan suatu perjanjian adanya wanprestasi,

dimana wanprestasi selalu dianggap sebagai syarat batal dalam suatu perjanjian

sehingga pihak yang merasa dirugikan karena pihak lain wanprestasi dapat

menuntut pembatalan perjanjian. Hal ini yang menjadi dasar bagi CV. Gentong

Mas untuk melaksanakan pembatala dengan alas an yang telah disebutkan dalam

pelaksanaan pemutusan Kerjasama.

Berdasarkan asas praduga tak bersalah pihak yang dituduh melakukan

wanprestasi dapat mengajukan tangkisan-tangkisan untuk membebaskan diri dari

akibat buruk wanprestasi. Tangkisan atau pembelaan tersebut dapat berupa

wanprestasi karena keadaan memaksa, wanprestasi karena pihak lain juga

wanprestasi, dan wanprestasi karena pihak lawan telah melepaskan haknya atas

pemenuhan prestasi.

Pihak CV.Bahsan Jaya kemudian menilai bahwa pihak CV. Gentong Mas pun

telah melakukan wanprestasi dengan mengirim surat somasi No.

05/SOM-BCP/VI/2020 Perihal : Surat Peringatan. Dalam poin somasi pihak CV.

Bahsan Jaya menyebutkan bahwa CV. Gentong Mas telah melakukan manipulasi

data dan informasi dan melakukan hubungan kerja dan transaksi dengan pihak

lain. Hal tersebut jelas bertentangan dengan isi perjanjian dalam pasal 2 yang

79
menyebutkan bahwa para pihak dilarang untuk membuat perjanjian dalam bentuk

apapun dengan dan atas nama perusahaan tanpa sepengetahuan kedua belah pihak.

Namun setelah penulis melakukan observasi dan wawancara penulis tidak

menemukan bukti fisik adanya perjanjian yang di tuduhkan oleh pihak CV.

Bahsan Jaya terhadap CV. Gentong mas, maka dengan demikian penulis

menyimpulkan bahwa tuduhan yang di tuduhkan kepada pihak CV. Gentong Mas

tidak memiliki dasar yang kuat untuk menjadikan tangkisan CV. Bahsan Jaya agar

terbebas dari dugaan wanprestasi yang dilakukan oleh CV. Bahsan Jaya. Maka

dengan alasan tersebut CV. Gentong Mas dapat membatalkan perjanjian tersebut

karena pihak CV. Bahsan Jaya dianggap melanggar syarat objek perjanjian.

Dalam akta perjanjian kerja sama antara CV. Gentong Mas dan CV. Bahsan

Jaya tidak memuat pasal yang menjelaskna mengenai berakhirnya perjanjian dan

akibat hukum jika melakukan pelanggaran namun penulis memperoleh data

perjanjian yang dibuat di bawah tangan yang di dalam perjanjian tersebut

disebutkan dalam pasal 4 mengenai hak para pihak, dalam pasal 4 ayat (3)

dituliskan bahwa para pihak mempunyai hak untuk menghentikan atau

membatalkan kerja sama apabila atas dasar pertimbangan adanya pelanggaran.

Meskipun dalam akta perjanjian kerja sama antara CV. Gentong Mas dan CV.

Bahsan Jaya tidak memuat pasal mengenai hak para pihak tersebut namun penulis

beranggapan bahwa meskipun hanya perjanjian di bawah tangan namun tetap

dapat dijadikan sebagai dasar hukum karena perjanjian tersebut dibubuhi oleh

materai dan tanda tangan kedua belah pihak juga tanda tangan para saksi.

80
BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

1. Prosedur pelaksanaan antar CV. Gentong Mas dan CV. Bahsan Jaya

sudah memenuhu syarat umum yaitu syarat sah nya perjanjian yang

diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata dan Syarat khusus yang

ditentukan oleh para pihak dalam perjanjian kerja sama antara CV.

Gentong mas dan CV. Bahsan Jaya melalui jalur musyawarah dan

mufakat, setelah adanya kesepakatan anatara kedua belah pihak melalu

musyawarah dan mufakat, kemudian CV. Gentong Mas dan CV.

Bahsan Jaya membuat suatu akta perjanjian untuk saling mengikatkan

diri dalam sebuah perjanjian kerja sama. CV. Gentong Mas merupakan

sebuah perusahaan yang bergerak dalam produksi sebuah merek

dangang minuman herbal Kesehatan dan merupakan suatu perusahaan

yang telah berbadan hukum tetap dan mandiri serta meniliki orgasisasi

secara mandiri, sedangkan CV. Bahsan Jaya merupakan sebuah

perusahaan yang bergerak dalam pemasaran dan penjualan (trading)

81
dan merupakan suatu perusahaan yang telah berbadan hukum tetap dan

mandiri serta meniliki orgasisasi secara mandiri. kedua perusahaan

tersebut telah berbadan hukum, sehingga memiliki kemampuan yang

dinilai cakap untuk membuat/ mengadakan perjanjian dengan pihak

manapun baik dengan instansi pemerintahan ataupun swasta.

2. Akibat hukum dari pemutusan hukum antara CV. Gentong Mas dan

CV. Bahsan Jaya menimbulkan beberapa permasalahan antara lain

yaitu CV. Gentong Mas yang merupakan pihak pertama merasa

dirugikan secara materil dan immaterial karena CV. Bahsan Jaya

selaku pihak kedua telah dengan sengaja melakukan tindakan

wanprestasi, karena tidak terpenuhinya salah satu prestasi yang

tertuang dalam akta perjanjian dan perjanjian. Sehingga pihak pertama

sesuai dengan perjanjian yang telah dibuat dapat melakukan

pemutusan perjanjian kerja sama dengan pihak kedua, meskipun dalam

akta perjanjian tersebut tidak memuat sanksi yang jelas namun sebagai

sanksi nya perjanian tersebut dianggap batal dana tidak dapat

dilanjutkan dengan alasan apapun akibat hukum dari wanprestasi,

maka perjanjian tersebut batal dengan sendiri nya.

3. Selanjutnya terhadap pihak yang tidak memenuhi prestasi dalam

melaksanakan perjanjian, maka apabila syarat untuk menyatakan

bahwa pihak tersebut telah wanprestasi sudah terpenuhi, yaitu setelah

diberikan pernyataan lalai namun debitur tetap tidak ada iktikad baik

untuk aktif dalam melaksanakan perjanjian. Hal ini dimaksud untuk

82
memenuhi kewajibannya atau untuk berprestasi, maka perjanjian

timbal balik yang telah dibuat dapat dibatalkan dengan cara

mengajukan gugatan pembatalan perjanjian kepada pengadilan yang

berwenang. Pembatalan ini harus dimintakan ke pengadilan, selain

sebagaimana telah diatur dalam Pasal 1266 Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata, tetapi juga dalam upaya untuk memperoleh keadilan

dan kepastian hukum.

B. Saran

1. Berdasarkan kasus yang penulis teliti, maka dalam hal ini penulis

memberi saran bagi setiap subjek hukum yang akan mengadakan suatu

perjanjian selain harus memenuhi syarat sah nya perjanjian sesuai

dengan Undang-undang yang berlaku, para subjek hukum juga

diaharapkan telah mengetahui pokok-pokok apa saja yang harus di

cantumkan dalam membuat perjanjian dan yang paling penting

mengenai sanksi yang akan didapatkan para pihak apabila dengan

sengaja dan secara sadar melakukan tindakan yang merugikan pihak

lain.

2. Bagi setiap pihak yang membuat suatu perjanjian apabila telah

memenuhi syarat sahnya perjanjian sesuai dengan Undang-undang,

maka hendaklah menjalankan seluruh isi dari perjanjian tersebut

dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab.

83
DAFTAR PUSTAKA

Daftar Buku

- Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti,


Bandung: 2000,

- Abdul R Saliman, Esensi Hukum Bisnis Indonesia, Kencana, Jakarta,


2004.

- Ahmadi Miru, Hukum Kontrak & Perancangan Kontrak, Raja Grafindo


Persada, Jakart: Edisi ke-1, 2011.

- Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan: Penjelasan Makna Pasal
1233 sampai 1456 BW , Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2013.

- BPHN Departemen Kehakiman, Laporan Pengkajian Tentang Beberapa


Aspek Hukum Perjanjian Keagenan dan Distribusi, 1992 / 1993, Jakarta.

- Dr. Arrisman, Hukum Perikatan Perdata dan Hukum Perikatan Islam,


tampuniak mustika edukarya, Jakarta. 2020.

- Firman F. Adonara, Aspek – Aspek Hukum Perikatan Bandung : Mandar


Maju, Jakarta, 2004.

- Handri Rahardjo, Hukum Perjanjian Indonesia, Pustaka Yustisia, jakarta,


2009.

- Hartono Hadisoeprapto, Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum


Jaminan, Liberty. Yogyakarta, 1984.

84
- Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di
Bidang Kenotariatan, Citra Aditya, Bandung: 2010.

- J. Satrio.,1995, Hukum Perikatan, Perikatan Lahir Dari Perjanjian, Citra


Aditya Bakti, Jakarta 2004.

- Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaya Perikatan Yang Lahir Dari


Perjanjian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003.

- Lukman Santoso Az, Hukum Perikatan, Setara Press, Malang, 2016.


- Munir Fuady, Hukum Perjanjian, Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis,
Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001.
- Munir Fuady, konsep hukum perdata, Raja Grafindo Persada. Jakarta,
2014

- RM Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty,


Yogyakarta: 2004.

- R.Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Cetakan Pertama Bandung:


1999.

- R. Subekti, Hukum Perjanjian, intermasa, Jakarta: 2004.

- R. Wirjono Prodjodikoro. Asas-Asas Hukum Perjanjian. Bandung: Mandar


Maju, 2000.

- Salim HS, Hukum Kontrak (Teori & Teknik Penyusunan Kontrak), Sinar
grafika, Jakarta, 2014.

- Suharnoko, Dalam Ahmadi Miru, Hukum Perdata: Materiil dan Formil,


USAID, 2001.

- Sri Soesilowati Mahdi, Surini Ahlan Sjarif, dan Akhmad Budi Cahyono,
Hukum Perdata Suatu Pengantar,Gitama Jaya, Jakarta, 2005.

- Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian, Sumur, Bandung,


2000.

Daftar Peraturan Perundang-undangan

- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Seminar Dan Jurnal

85
- Jurnal UNS. Komparasi syarat sahnya perjanjian menurut kitab undang-

undang hukum perdata. Solo

- Jurnal UNDIP , Asas Itikad Baik dan Kepatutan Dalam Perjanjian,

Semarang

- Nindyo Pramono, Problematika Putusan Hakim dalam Perkara Pembatalan

Perjanjian,

- Retnowulan Sopiani, Bentuk Perlindungan Hukum dan Implikasi Yuridis

Putusan Pengadilan Yang Mengabulkan Gugatan Debitur Baru dalam

Perjanjian Alih Debitur Tanpa Persetujuan Kreditur”, Jurnal Ilmiah

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Universitas Brawijaya Fakultas

Hukum Malang,

Website

- http://igapurwanti-fh10.web.unair.ac.id/artikel_detail-71455-hukum

kontrakPerjanjian Keagenan dan Distributor.html

- http://radityowisnu.blogspot.com/2012/06/wanprestasi-dan-ganti-rugi.html,

86

Anda mungkin juga menyukai