Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI

HUKUM PERJANJIAN

Di susun oleh :

Nama : Baiq Nada Anggun Iswari


Npm : 192410sm

PROGRAM STUDI S1 MANAJEMEN


SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI AMM MATARAM
KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan kepada Allah SWT Yang Maha Esa atas berkat
dan rahmatnya yang diberikan, penulis dapat menyelesaikan makalah dengan
judul “HUKUM PERJANJIAN” sebagai syarat untuk memenuhi tugas pada mata
kuliah Aspek Hukum Dalam Ekonomi.
Makalah ini disusun dengan tujuan untuk mempelajari dan mengetahui
tentang hukum perjanjian. Penulis berharap semoga makalah ini dapat dibaca dan
dipahami dengan baik serta dapat memberikan konstribusi positif bagi pembaca.
Tidak lupa penulis haturkan ucapan terima kasih dan permohonan maaf apabila
terdapat kesalahan baik dari segi pengetikan, penyebutan, dsb. Penulis
mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun untuk
menyempurnakan makalah ini.

Selasa, 26 Oktober 2021

(Baiq Nada Anggun Iswari)

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................

DAFTAR ISI..............................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................

1.1 Latar Belakang.....................................................................................................


1.2 Rumusan Masalah................................................................................................
1.3 Tujuan Penulisan..................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................

2.1 Pengertian hukum perjanjian...............................................................................

2.2 Syarat sah hukum perjanjian................................................................................

2.3 Asas-asas hukum perjanjian.................................................................................

2.4 Jenis-jenis perjanjian............................................................................................

2.5 Unsur-unsur hukum perjanjian.............................................................................

BAB III PENUTUP....................................................................................................

3.1 Kesimpulan..........................................................................................................

3.2 Saran.....................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Hukum perjanjian merupakan bagian daripada Hukum Perdata pada
umumnya, dan memegang peranan yang sangat besar dalam kehidupan sehari-
hari. Khususnya dalam bidang komunikasi, membawa akibat dalam frekuensi
hubungan antara orang yang satu dengan yang lain dimana sebagian besar
daripada hubungan tersebut merupakan hubungan hukum atau dengan kata
lain sering disebut dengan perikatan, yang berwujudperjanjian secara tertulis
(kontrak). Perjanjian atau Overeenkomst adalah suatu peristiwa dimana
seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling
berjanji untuk melakukan suatu hal.1 Pengertian perjanjian juga diatur
dalam pasal 1313 KUHPerdata yang berbunyi “Perjanjian adalah suatu
perbutan dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang atau lebih”. Lahirnya Suatu perjanjian itu sebenarnya
tidak dipersyaratkan harus dibuat secara tertulis (kontrak) atau secara lisan
(verbal), asalkan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
dan ketertiban umum akan tetapi juga harus didasarkan pada asas
kekeluargaan, kepercayaan, kerukunan dan kemanusiaan.

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Apa yang dimaksud dengan hukum perjanjian?
2. Apa saja syarat sah hukum perjanjian?
3. Apa saja asas-asas hukum dalam perjanjian?
4. Apa saja jenis-jenis perjanjian?
5. Apa saja unsur-unsur hukum perjanjian?

1.3 TUJUAN PENULISAN


1. Mengetahui pengertian dari hukum perjanjian
2. Mengetahui syarat sah hukum perjanjian

3
3. Mengetahui asas-asas hukum perjanjian
4. Mengetahui jenis-jenis perjanjian
5. mengetahui unsur-unsur hukum perjanjian

4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Hukum Perjanjian

Istilah perjanjian berasal dari bahasa Belanda yaitu overeenkomst, dan


dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah contract/agreement. Perjanjian
dirumuskan dalam Pasal 1313 KUH Perdata yang menentukan bahwa: “Suatu
perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.” Hukum perjanjian merupakan hukum
yang terbentuk akibat adanya suatu pihak yang mengikatkan dirinya kepada pihak
lain. Atau dapat juga dikatan hokum perjanjian adalah suatu hukum yang
terbentuk akibat seseorang yang berjanji kepada orang lain untuk melakukan
sesuatu hal.
Dalam hal ini,kedua belah pihak telah menyetujui untuk melakukan suatu
perjanjia tanpa adanya paksaan maupun keputusan yang hanya bersifat satu pihak.

Perjanjian ini merupakan suatu peristiwa hukum dimana seorang


berjanji kepada orang lain atua dua orang saling berjanji untuk melakukan
atau tidak melakukan Sesuatu.

2.2 Syarat Sah Hukum Perjanjian


Syarat sahnya perjanjian dapat dilihat dalam Hukum Eropa Kontinental yang
diatur di dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Pasal tersebut menentukan empat syarat
sahnya perjanjian, yaitu:
a. Adanya kesepakatan kedua belah pihak:
Syarat pertama sahnya kontrak adalah adanya kesepakatan atau
consensus para pihak. Kesepakatan ini diatur dalam Pasal 1320
ayat (1) KUH Perdata. Yang dimaksud dengan kesepakatan
adalah persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau
lebih dengan pihak lainnya. Yang sesuai itu adalah 26 pernyataannya,
karena kehendak itu tidak dapat dilihat atau diketahui
orang lain.

5
b. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum:
Kecakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan
untuk melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah
perbuatan yang akan menimbulkan akibat hukum. Menurut R. Soeroso :
Yang dimaksud kecakapan adalah adanya kecakapan untuk
membuat suatu perjanjian. Menurut hukum, kecakapan termasuk
kewenangan untuk melakukan tindakan hukum pada umumnya,
dan menurut hukum setiap orang adalah cakap untuk membuat
perjanjian kecuali orang -orang yang menurut undang-undang
dinyatakan tidak cakap. Orang-orang yang akan mengadakan perjanjian
haruslah orang-orang yang cakap dan mempunyai wewenang untuk
melakukan perbuatan hukum, sebagaimana yang ditentukan oleh UU.
Orang yang cakap mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan
hukum adalah orang yang sudah dewasa. Ukuran kedewasaan adalah telah
berumur 21 tahun dan atau sudah kawin. Sehingga, orang yang tidak
berwenang untuk melakukan perbuatan hukum yaitu:
1. orang yang belum dewasa
2. orang yang ditaruh di bawah pengampuan, dan
3. orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh
undang-undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa
undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian
tertentu.
c. Suatu hal tertentu
Adapun yang dimaksud suatu hal atau objek tertentu (eenbepaald
onderwerp) dalam Pasal 1320 B syarat 3, adalah prestasi yang menjadi
pokok kontrak yang bersangkutan. Hal ini untuk memastikan sifat dan
luasnya pernyataan-pernyataan yang menjadi kewajiban para pihak.
Prestasi tersebut harus bisa ditentukan, dibolehkan, dimungkinkan dan
dapat dinilai dengan uang. Di dalam berbagai literature disebutkan bahwa
yang menjadi objek perjanjian adalah prestasi (pokok perjanjian). Prestasi
adalah apa yang menjadi kewajiban debitur dan apa yang menjadi hak
kreditor (Yahya Harahap, 1986;10; Mertokusumo, 1987:36).

6
Prestasi ini terdiri dari perbuatan positif dan negative. Presetasi terdiri
atas: (1) memberikan sesuatu, (2) berbuat sesuatu, dan (3) tidak berbuat
sesuatu (Pasal 1234 KUH Perdata).
d. Adanya Kausa yang halal.
Pada pasal 1320 KUH Perdata tidak dijelaskan pengertian causa
yang halal (orzaak). Dalam Pasal 1337 KUH Perdata hanya menyebutkan
causa yang terlarang. Suatu sebab bisa diartikan terlarang apabila
bertentangan dengan UU, kesusilaan, dan ketertiban umum. Sedangkan
menurut Subekti: “Subekti menyatakan bahwa sebab adalah isi perjanjian
itu sendiri, dengan demikian kausa merupakan prestasi dan kontra prestasi
yang saling dipertukarkan oleh para pihak”. Istilah kata halal bukanlah
lawan kata haram dalam hukum, tetapi yang dimaksud sebab yang halal
adalah bahwa isi kontrak tersebut tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan.

2.3 Asas-asas hukum dalam perjanjian


Secara luas terdapat banyak asas dalam hukum perjanjian. Kebebasan
berkontrak sendiri berasal dari freedom of contract sehingga menurunkan
beberapa asas-asas penting yang terdapat dalam Buku III KUH perdata. Namun,
agar penelitian ini bisa terarah dan menghasilkan sesuai apa yang ada di dalam
tujuan penelitian, maka penelitian ini mengambil empat asas penting yaitu Asas
Kebebasan berkontrak, Asas Konsensualisme, Asas Pacta Sunt Servanda, dan
Asas Itikad Baik.
a. Asas Kebebasan berkontrak
Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat
KUH Perdata, yang berbunyi. Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas
yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:
(1) membuat atau tidak membuat perjanjian
(2) mengadakan perjanjian dengan siapapun
(3) menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratan dan
(4) menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.
Jika melihat pernyataan di atas, Asas kebebasan berkontrak merupakan suatu
dasar yang menjamin kebebasan orang dalam membuat perjanjian. Karena

7
kebebasan ini pula sehingga Buku III yang mengatur tentang perikatan ini
juga dapat dikatakan menganut system terbuka. Artinya para pihak yang
membuat perjanjian bebas membuat perjanjian, walaupun aturan khususnya
tidak terdapat dalam KUH Perdata.
b. Asas Konsensualisme
Asas Konsensualisme merupakan asas dalam hukum perjanjian yang penting
karena asas ini menekankan pada awal mula penyusunan perjanjian.
Konsensus berasal dari kata consensus yang berarti persetujuan umum. Asas
Konsensualisme diatur dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata. Ketentuan
Pasal 1320 ayat (1) tersebut memberikan petunjuk bahwa hukum perjanjian
dikuasai oleh “asas konsensualisme”. Ketentuan Pasal 1320 ayat (1) tersebut
juga mengandung pengertian bahwakebebasan suatu pihak untuk menentukan
isi kontrak dibatasi oleh sepakat pihak lainnya. Dengan kata, lain asas
kebebasan berkontrak dibatasi oleh asas konsensualisme.” Perjanjian harus
didasarkan pada konsensus atau kesepakatan dari pihak-pihak yang membuat
perjanjian. Dengan asas konsensualisme, perjanjian dikatakan telah lahir jika
ada kata sepakat atau persesuaian kehendak diantara para pihak yang
membuat perjanjian tersebut. Berdasarkan asas konsensualisme itu, dianut
paham bahwa sumber kewajiban kontraktual adalah bertemunya kehendak
(convergence of wills) atau konsensus para pihak yang membuat kontrak.
c. Asas Pacta Sunt Servanda
Berdasarkan prinsip ini, para pelaku harus melaksanakan kesepakatan -
kesepakatan yan telah disepakatinya dan dituangkan dalam perjanjan.
Black’scLaw Dictionary mengartikan prinsip dalam bahasa Latin ini sebagai
berikut: “agreements must be kept”. The rule that agreements and
stipulations,esp. those contained intreaties must be obsereved.”. Menurut asas
ini kesepakatan para pihak itu mengikat sebagaimana layaknya undang-
undang bagai para pihak yang membuatnya. Karena adanya janji timbul
kemauan bagai para pihak untuk saling berprestasi, maka ada kemauan untuk
saling mengikatkan diri. Kewajiban kontraktual tersebut menjadi sumber bagi
para pihak untuk secara bebas menentukan kehendak tersebut dengan segala
akibat hukumnya.Berdasarkan kehendak tersebut, para pihak secara bebas

8
mempertemukan kehendak masing-masing. Kehendak para pihak inilah
yang menjadi dasar kontrak.Terjadinya perbuatan hukum itu ditentukan
berdasar kata sepakat, dengan adanya konsensus dari para pihak itu, maka
kesepakatan itu menimbulkan kekuatan mengikat perjanjian sebagaimana
layaknya undang-undang (pacta sunt servanda). Apa yang dinyatakan
seseorang dalam suatu hubungan menjadi hukum bagi mereka. Asas inilah
yang menjadi kekuatan mengikatnya perjanjian. Ini bukan kewajiban moral,
tetapi juga kewajiban hukum yang pelaksanaannya wajib ditaati.
d. Asas Itikad Baik
Asas itikad baik dapat dilihat dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata. Yaitu:
“Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Asas itikad baik
merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus
melaksanakan substansi perjanjian berdasarkan kepercayaan atau keyakinan
yang teguh atau kemauan baik dari para pihak. “Asas itikad baik (good faith)
menurut Subekti merupakan salah satu sendi terpenting dalam hukum
perjanjian. Selanjutnya Subekti berpendapat bahwa perjanjian dengan itikad
baik adalah melaksanakan perjajian dengan mengandalkan norma-norma
kepatutan dan kesusilaan”. Berdasarkan pengertian itikad baik dalam
kontrak/perjanjian tersebut maka unsur yang utama adalah kejujuran.
Kejujuran para pihak dalam perjanjian ini meliputi pada kejujuran atas
identitas diri dan kejujuran atas kehendak dan tujuan para pihak. Kejujuran
adalah unsur
yang utama dalam pembuatan perjanjian/kontrak karena ketidakjujuran salah
satu pihak dalam perjanjian/kontrak dapat mengakibatkan kerugian bagi
pihak lainnya. Asas ini harus dianggap ada pada waktu negoisasi,
pelaksanaan perjanjian hingga penyelesaian sengketa . Asas ini penting
karena dengan hanya adanya prinsip inilah rasa percaya yang sangat
dibutuhkan dalam bisnis agar pembuatan perjanjian dapat direalisasikan.
Tanpa adanya good faith dari para pihak, sangatlah sulit perjanjian dapat
dibuat. Kalaupun perjanjian sudah ditandatangani , pelaksanaan perjanjian
tersebut pastilah akan sulit untuk berjalan dengan baik apabila prinsip ini
tidak ada.
2.4 Jenis-jenis Perjanjian
9
1. Perjanjian Timbal Balik dan Perjanjian Sepihak.
Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang memberikan hak dan
kewajiban kepada kedua belah pihak, misalnya jual beli, sewa-menyewa,
pemborongan.
Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang memberikan kewajiban kepada
satu pihak dan hak kepada kepada pihak lainnya, misalnya perjanjian
hibah, hadiah.
2. Perjanjian Tanpa Pamrih atau dengan Cuma-Cuma (om niet) dan
Perjanjian Dengan Beban.
Perjanjian tanpa pamrih : jika suatu pihak memberikan suatu
keuntungan kepada pihak lain tanpa imbalan apa pun, misalnya perjanjian
pinjam pakai, perjanjian hibah.
Perjanjian dengan beban adalah : perjanjian dalam mana terhadap prestasi
dari pihak yang satu selalu mendapat kontra prestasi dari pihak lainnya,
sedangkan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum.
3. Perjanjian Nominaat dan Perjanjian Innominaat.
Perjanjian nominaat adalah perjanjian yang mempunyai nama
sendiri. Maksudnya ialah perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh
pembentuk undang-undang, berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi
sehari-hari.
Perjanjian innominaat yaitu perjanjian yang tidak diatur dalam KUH
Perdata, tetapi terdapat dalam masyarakat. Terciptanya Perjanjian
innominaat didasari karena pada hukum perjanjian, berlakunya asas
kebebasan mengadakan perjanjian.
4. Perjanjian Kebendaan dan Perjanjian Obligatoir.
Perjanjian kebendaan adalah perjanjian untuk memindahkan hak
milik dalam perjanjian jual beli. Perjanjian kebendaan ini sebagai
pelaksanaan perjanjian obligatoir.
Perjanjian obligatoir adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan,
artinya sejak terjadi perjanjian, timbullah hak dan kewajiban pihak-pihak.
Pembeli berhak menuntut penyerahan barang, penjual berhak atas
pembayaran harga.
10
5. Perjanjian Konsesual dan Perjanjian Riil.
Perjanjian konsensual adalah suatu perjanjian yang hanya
memerlukan persetujuan (consensus) dari kedua pihak.
Perjanjian riil adalah perjanjian disamping ada persetujuan kehendak juga
sekaligus masih memerlukan penyerahan suatu benda, misalnya jual beli
barang bergerak.
6. Perjanjian Formil – Jenis jenis Perjanjian
Perjanjian formil adalah perjanjian yang harus dibuat secara
tertulis, jika tidak maka perjanjian ini menjadi batal, misalnya: Perjanjian
perdamaian (Pasal 1851 KUH Perdata).
7. Perjanjian Campuran (Contractus sui generis).
Dalam perjanjian ini terdapat unsur-unsur dari beberapa perjanjian
nominaat atau bernama yang terjalin menjadi satu sedemikian rupa,
sehingga tidak dapat dipisah-pisahkan sebagai perjanjian yang berdiri
sendiri.
Contohnya: perjanjian antara pemilik hotel dengan tamu. Didalam
perjanjian yang sedemikian, terdapat unsur perjanjian sewa-menyewa
(sewa kamar), perjanjian jual beli (jual beli makanan/minuman), atau
perjanjian melakukan jasa (penggunaan telepon, pemesanan tiket, dan lain-
lain).
8. Perjanjian Penanggungan (Bortocht).
Perjanjian Penanggungan adalah suatu persetujuan dimana pihak
ketiga demi kepentingan kreditur mengikatkan diri untuk memenuhi
perikatan debitur, bila debitur tidak memenuhi perikatannya (Pasal 1820
KUH Perdata).
9. Perjanjian Standar / Baku – Jenis jenis Perjanjian
Perjanjian standar bentuknya tertulis berupa formulir yang isinya
telah distandarisasi (dibakukan) terlebih dulu secara sepihak, serta bersifat
massal tanpa mempertimbangkan perbedaan kondisi pihak yang
menyetujui perjanjian tersebut.

10. Perjanjian Garansi dan Derden Beding – Jenis jenis Perjanjian


11
Perjanjian garansi adalah suatu perjanjian dimana seseorang
berjanji pada pihak lainnya, bahwa pihak ketiga akan berbuat sesuatu
(Pasal 1316 KUH Perdata). Derden Beding yaitu janji untuk orang ketiga
merupakan pengecualian dari asas yang menentukan bahwa suatu
perjanjian hanya mengikat pihak-pihak yang mengadakan perjanjian itu
(Pasal 1317 KUH Perdata).

2.5 Unsur-unsur Hukum Perjanjian


suatu perjanjian terdiri dari beberapa unsur, yaitu:
a. Kata sepakat dari dua pihak atau lebih
Dalam hal ini kata sepakat dapat dimaknakan sebagai pernyataan
kehendak. Suatu perjanjian hanya akan terjadi apabila terdapat dua pihak
atau lebih yang saling menyatakan kehendak untuk berbuat sesuatu. Inilah
yang menjadi perbedaan pokok antara perjanjian dengan perbuatan
hukum sepihak. Pada perbuatan hukum sepihak pernyataan kehendak
hanya berasal dari satu pihak. Sehingga perbuatan hukum sepihak, seperti
membuat surat wasiat dan mengakui anak luar kawin tidak termasuk ke
dalam perjanjian.
b. Kata sepakat yang tercapai harus bergantung kepada para pihak
Kehendak dari para pihak saja tidak cukup untuk melahirkan suatu
perjanjian. Kehendak tersebut harus dinyatakan. Sehingga setelah para
pihak saling menyatakan kehendaknya dan terdapat kesepakatan di antara
para pihak, terbentuklah suatu perjanjian di antara mereka.
c. Keinginan atau tujuan para pihak untuk timbulnya akibat hukum
Suatu janji atau pernyataan kehendak tidak selamanya menimbulkan
akibat hukum. Terkadang suatu pernyataan kehendak hanya menimbulkan
kewajiban sosial atau kesusilaan. Misalnya janji di antara beberapa orang
untuk menonton bioskop. Apabila salah satu di antara mereka tidak dapat

12
menepati janjinya untuk hadir di bioskop, maka ia tidak dapat digugat di
hadapan pengadilan.
d. Akibat hukum untuk kepentingan pihak yang satu dan atas beban yang
lain atau timbal balik
Akibat hukum yang terjadi adalah untuk kepentingan pihak yang satu dan
atas beban terhadap pihak yang lainnya atau bersifat timbal balik. Yang
perlu diperhatikan adalah akibat hukum dari suatu perjanjian hanya
berlaku bagi para pihak dan tidak boleh merugikan pihak ketiga (Pasal
1340 KUH Perdata).
e. Dibuat dengan mengindahkan ketentuan perundang-undangan
Pada umumnya para pihak bebas menentukan bentuk perjanjian. Namun
dalam beberapa perjanjian tertentu undang-undang telah menentukan
bentuk yang harus dipenuhi. Misalnya untuk pendirian perseroan terbatas
harus dibuat dengan akta notaris.
BAB III 13

PENUTUP

KESIMPULAN
2.1 Hukum perjanjian merupakan salah satu hukum yang juga berlaku di
Indonesia,
dimana hukum tersebut terbentuk akibat adanya suatu pihak yang mengikatkan
dirinya kepada pihak lain, baik secara lisan ataupun secara tertulis. Berlakunya
hukum perjanjian tersebut juga tidak terlepas dari peraturan perundang-
undangan dan ketertiban umum yang didasarkan pada asas kekeluargaan,
kepercayaan, kerukunan dan kemanusiaan.
2.2 Berlakunya hukum perjanjian tersebut tidak lepas pula dari syarat sah
diadakannya perjanjian seperti adanya kesepakatan kedua belah pihak dalam
melakukan perjanjian, kecakapan dalam membuat perjanjian yang tidak
bertentangan dengan UU, kesusilaan, dan ketertiban umum, serta adanya objek
tertentu yang dijadikan dasar terlaksananya perjanjian,
2.3 Dalam melaksanakan perjanjian baik secara tertulis ataupun lisan, hendaknya
didasarkan atas asas-asas yang berlaku seperti asas kebebasan berkontrak, asas
konsensualisme, asas Pacta Sunt Servanda, dan Asas Itikad Baik. Asas tersebut
dijadikan landasan dalam membuat perjanjian bersama karena bersumber dari
UU, KUHP, serta UUD.
2.4 Ketika 2 orang atau lebih melakukan perjanjian, hal dasar yang harus
dicermati
adalah memilih perjanjian yang disesuaikan dengan kebutuhan orang yang
melakukan perjanjian, seperti :
1. perjanjian timbal balik dan sepihak
2. perjanjian tanpa pamrih dan perjanjian percuma
3. Perjanjian Nominaat dan Perjanjian Innominaat.
4. Perjanjian Kebendaan dan Perjanjian Obligatoir
5. Perjanjian Konsesual dan Perjanjian Riil
6. Perjanjian Formil – Jenis jenis Perjanjian
7. Perjanjian Campuran (Contractus sui generis).
8. Perjanjian Penanggungan (Bortocht).
9. Perjanjian Standar / Baku – Jenis jenis Perjanjian
10. Perjanjian Garansi dan Derden Beding – Jenis jenis Perjanjian 14

2.5 Dimana hal tersebut dikatakan perjanjian yang valid dan sah bila mememuhi
unsur-unsur sebagai berikut :
a) Kata sepakat dari dua pihak atau lebih
b) Kata sepakat yang tercapai harus bergantung kepada para pihak
c) Keinginan atau tujuan para pihak untuk timbulnya akibat hukum
d) Akibat hukum untuk kepentingan pihak yang satu dan atas beban yang
lain atau timbal balik
e) Dibuat dengan mengindahkan ketentuan perundang-undangan

SARAN

2.1 sebaiknya sebelum melakukan atau membuat perjanjian harus ada


pertimbangan yang lebih dan mencari tahu terlebih dahulu dengan siapa kita
membuat perjanjian.

2.2 sebaiknya membuat perjanjian dengan mengikuti ketentuan atau syarat2


hukum supaya tidak ada kerugian dari kedua belah pihak

2.3 sebaiknya membuat perjanjian dengan mengikuti smua asas-asas yang berlaku

2.4 sebaiknya harus cermat dalam memilih perjanjian apa yang akan dibuat atau
disesuaikan dengan perjanjian yang dibutuhkan

2.5 sebaiknya perjanjian mengandung unsur-unsur seperti sepakat antara kedua


belah pihak agar perjanjian tersebut valid atau sah.
DAFTAR PUSTAKA

15

http://repository.untag-sby.ac.id/371/3/BAB%20II.pdf

https://www.hukum.xyz/jenis-jenis-perjanjian/

https://www.jurnalhukum.com/unsur-unsur-perjanjian/

Anda mungkin juga menyukai