Anda di halaman 1dari 16

TUGAS INDIVIDU

HUKUM PERJANJIAN

“Makalah Hukum Perjanjian”

Disusun oleh :

Nama : M. GHAZALI

NIM : P2B220045

Kelas :A

Semester : 1 (Satu)

Dosen Pengampu : Dr. Hj.Muskibah, S.H., M.Hum.

Program Studi Magister Kenotariatan


Fakultas Hukum
Universitas Jambi
2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas semua rahmat, karunia, serta taufik
dan hidayah-Nya yang telah memberikan penulis kemudahan dalam menyelesaikan makalah
tentang “Hukum Perjanjian” ini. Tidak lupa pula shalawat serta salam tercurahkan kepada Nabi
besar Muhammad SAW yang syafa’atnya kita nantikan kelak. Makalah ini disusun guna
memenuhi tugas mata kuliah Hukum Perjanjian. Penulis berharap makalah tentang Hukum
Perjanjian ini berguna dalam menambah wawasan dan pengetahuan kita. Penulis juga
sepenuhnya menyadari bahwa di dalam makalah ini terdapat banyak kekurangan dan jauh dari
kata sempurna. Oleh sebab itu, adanya kritik, saran, dan usulan demi perbaikan makalah yang
telah Penulis buat sangat diperlukan, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa ada saran
yang membangun. Demikian yang dapat penulis sampaikan. Akhir kata, semoga makalah ini
dapat bermanfaat.

Jambi, 27 Oktober 2020

Penulis

1
DAFTAR ISI

Contents
KATA PENGANTAR.....................................................................................................................1
DAFTAR ISI...................................................................................................................................2
BAB I...........................................................................................................................................3
PENDAHULUAN.......................................................................................................................3
1.1 Latar Belakang.......................................................................................................................3
1.2 Rumusan Masalah..................................................................................................................3
1.3 Tujuan Pembahasan...............................................................................................................3
BAB II.............................................................................................................................................4
PEMBAHASAN..............................................................................................................................4
2.1 Pengertian Hukum Perjanjian................................................................................................4
2.2 Asas-Asas Perjanjian..............................................................................................................4
2.3 Syarat sahnya Perjanjian........................................................................................................6
2.4 Jenis-Jenis Perjanjian.............................................................................................................8
2.5 Saat Dan Tempat Lahirnya Perjanjian.................................................................................10
2.6 Pelaksanaan Suatu Perjanjian...............................................................................................11
2.7 Batal dan Pembatalan Suatu Perjanjian...............................................................................12
BAB III..........................................................................................................................................14
PENUTUP.....................................................................................................................................14
3.1 Kesimpulan..........................................................................................................................14
3.2 Saran.....................................................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................15

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hukum bertujuan mengatur berbagai aspek dalam kehidupan manusia dalam artian hidup
bermasyarakat. Begitu banyak bidang ataupun aspek dalam kehidupan manusia. Disetiap
kepentingan ataupun aspek kehidupan tidak lepas dari masalah-masalah perjanjian. Hampir pada
setiap aspek kita mendapati adanya perjanjian-perjanjian, sebagai contoh dalam bidang Ekonomi
seperti; perjanjian jual beli, sewa menyewa, dan lain sebagainya. Dari semua kegiatan itu, tidak
ada satupun yang terlepas dari jangkauan hukum. Salah satu hukum yang menjangkau semua
kegiatan itu kita sebut Hukum Perjanjian (Contract Law).
Dalam konteks ini, sistem hukum Indonesia mengenal suatu sumber hukum perjanjian
yang cukup penting, yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).
Di Indonesia berbagai peraturan undang-undang dibuat oleh pemerintah Indonesia telah
menggantikan sebagian kitab undang-undang hukum perdata. pergolongan hukum privat untuk
mengatur kepentingan individu atau pribadi. Hukum perikatan yang terdapat dalam buku III
kitab undang-undang hukum perdata merupakan hukum yan bersifat khusus dalam melakukan
perjanjian dan perbuatan hukum yang bersifat ekonomis atau perbuatan hukum yang dapat
dinilai dari harta kekayaan seseorang atau badan hukum.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan Hukum Perjanjian?
2. Apa yang dimaksud dengan asas-asas perjanjian?
3. Apa yang dimaksud dengan syarat sah perjanjian?
4. Sebutkan dan jelaskan jenis-jenis perjanjian
5. Apa yang dimaksud lahirnya, pelaksanaan & pembatalan suatu perjanjian?

1.3 Tujuan Pembahasan


Untuk mengetahui perihal Hukum Perjanjian dan hal-hal penting lainnya yang berkaitan
dengan Hukum Perjanjian.

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Hukum Perjanjian


Istilah hukum perjanjian merupakan terjemahan dari bahasa Inggris yaitu contract law,
sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah overeenscomsrecht (Salim H.S.,
2004:3). Menurut Pasal 1313 KUH Perdata Perjanjian adalah suatu perbuatan yang terjadi antara
satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap orang lain atau lebih. Dari peristiwa ini,
timbullah suatu hubungan hokum antara dua orang atau lebih yang disebut Perikatan yang di
dalamya terdapat hak dan kewajiban masing-masing pihak. Pengertian perjanjian Menurut Pasal
1313 KUHP ini mengandung unsur :

a. Perbuatan, Penggunaan kata “Perbuatan” pada perumusan tentang Perjanjian ini lebih
tepat jika diganti dengan kata perbuatan hukum atau tindakan hukum, karena perbuatan
tersebut membawa akibat hukum bagi para pihak yang memperjanjikan;

b. Satu orang atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih, Untuk adanya suatu perjanjian,
paling sedikit harus ada dua pihak yang saling berhadap-hadapan dan saling memberikan
pernyataan yang cocok/pas satu sama lain. Pihak tersebut adalah orang atau badan
hukum.

c. Mengikatkan dirinya, Di dalam perjanjian terdapat unsur janji yang diberikan oleh pihak
yang satu kepada pihak yang lain. Dalam perjanjian ini orang terikat kepada akibat
hukum yang muncul karena kehendaknya sendiri.

2.2 Asas-Asas Perjanjian


Ada beberapa asas-asas dalam perjanjian. Seperti menurut Meris Feriyadi (2005) ada 5 asas
dalam membuat perjanjian yaitu :
1) Asas Personalitas.
Pada prinsipnya Asas Personalitas menentukan bahwa suatu perjanjian berlaku
bagi para pihak yang membuatnya saja. Ketentuan mengenai Asas Personalitas ini tertera

4
dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUH Perdata. Dimana Pasal 1315 KUH Perdata
berbunyi : Pada umumnya seseorang yang tidak mengadakan perikatan atau perjanjian
selain untuk dirinya sendiri. Pasal ini menegaskan tentang batasan dan terhadap siapa
sajakah suatu perjanjian mempunyai pengaruh langsung. Pasal ini juga menjelaskan
bahwa hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian tersebut hanyalah untuk para pihak
sendiri atau yang terikat dengan perjanjian.
Pasal 1340 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi; Suatu perjanjian hanya berlaku
antara pihak-pihak yang membuatnya. Pernyataan dari pasal ini mengandung arti bahwa
perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya.

2) Asas Kebebasan Berkontrak.


Asas kebebasan berkontrak atau yang sering disebut juga dengan sistem terbuka.
Asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk membuat atau tidak
membuat perjanjian, mengadakan perjanjian dengan siapapun, menentukan isi
perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, dan menentukan bentuknya perjanjian,
yaitu tertulis atau lisan. Asas ini menyatakan bahwa setiap orang boleh mengadakan
perjanjian apa saja, walaupun belum atau tidak diatur dalam undang-undang. Akan
tetapi, kebebasan berkontrak tersebut dibatasi oleh tiga hal, yaitu tidak dilarang oleh
undang- undang, tidak bertentangan dengan kesusilaan, dan tidak bertentangan dengan
ketertiban umum.
Setiap perjanjian yang dibuat dengan sah berlaku sebagai undang-undang bagi
para pembuatnya. Rumusan ini dapat ditemukan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH
Perdata, yang dipertegas kembali dengan ketentuan ayat (2) yang menyatakan bahwa
perjanjian yang telah disepakati tersebut tidak dapat ditarik kembali selain dengan
kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-
undang.

3) Asas Konsesualitas.
Asas konsesualitas mengandung arti bahwa perjanjian itu terjadi sejak saat
tercapainya kata sepakat (konsensus) antara pihak-pihak mengenai pokok perjanjian.
Sejak saat tercapainya kata sepakat itulah yang membuat perjanjian mengikat dan

5
mempunyai akibat hukum. Suatu kesepakatan secara lisan diantara para pihak telah
mengikat para pihak yang telah bersepakat tersebut. Ketentuan mengenai kesepakatan ini
diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, maka rumusan tersebut dianggap sebagai dasar
asas konsesualitas dalam hukum perjanjian.

4) Asas Kekuatan atau Asas Pacta Sunt Servanda


Dalam asas ini, sesuai dengan yang disebutkan dalam Pasal 1338 Ayat (1) KUH
Perdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuat. Dengan kata lain, asas ini mengikat semua
perjanjian yang dibuat. Mengikat para pihak yang membuat dan berlaku seperti undang-
undang bagi para pihak. Juga berarti bahwa perjanjian hanya berlaku bagi para pihak
yang membuatnya.

5) Asas Itikad Baik.


Dalam Hukum Perjanjian iktikad baik itu mempunyai dua pengertian yaitu
subjektif dan objektif. Subjektif yang berarti kejujuran seseorang dalam melakukan suatu
perbuatan hokum. Dimana iktikad baik subjektif ini diatur dalam Pasal 531 Buku II
KUH Perdata. Sedangkan dalam artian Objektif, yaitu pelaksanaa suatu perjanjian harus
didasarkan pada norma kepatutan dalam masyarakat, yang tertera pada Pasal 1338 Ayat
(3) KUH Perdata, yang menyatakan bahwa semua perjanjian harus dilaksanakan dengan
itikad baik. Atau dengan kata lain, asas pelaksanaan perjanjian ini jangan sampai
melanggar norma-norma kepatutan dan keadilan.

2.3 Syarat sahnya Perjanjian


Agar suatu perjanjian dapat dinyatakan sah, maka perjanjian harus memenuhi 4 syarat
seperti yang ditegaskan dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu :
a. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
c. Suatu pokok persoalan tertentu;
d. Suatu sebab yang tidak terlarang.

6
Berdasarkan isi dari Pasal 1320 KUH Perdata diatas, dua syarat yang pertama yaitu poin
(a) dan (b) dinamakan dengan syarat subjektif, karena kedua poin tersebut menyangkut dengan
pihak-pihak dalam suatu perjanjian atau subjek yang mengadakan perjanjian. Sedangkan dua
syarat lainnya yaitu poin (c) dan (d) dinamakan syarat objektif, karena bersangkutan dengan
perjanjian itu sendiri atau objek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.
Pada poin pertama, Kesepakatan mereka yang mengikat dirinya berarti bahwa kedua
pihak atau pihak-pihak yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, saling sepakat diantara
pihak-pihak, serta saling setuju mengenai isi atau hal-hal pokok dari perjanjian yang mereka
buat.
Poin kedua, Kecakapan untuk membuat suatu perikatan. Poin ini berarti, para pihak
terkait mampu atau cakap dalam membuat suatu perjanjian. Pasal 1330 BW menentukan yang
tidak cakap untuk membuat perikatan :
a. Orang-orang yang belum dewasa
b. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan
c. Orang-orang perempuan,
Namun berdasarkan fatwa Mahkamah Agung, melalui Surat Edaran Mahkamah Agung
No.3/1963 tanggal 5 September 1963, orang-orang perempuan tidak lagi digolongkan sebagai
yang tidak cakap.
Poin ketiga, Suatu pokok persoalan tertentu. Poin ini bermaksud perjanjian atau didalam
isi perjanjian harus menentukan jenis objek yang diperjanjikan. Jika tidak, maka perjanjian itu
batal demi hukum. Pasal 1332 BW menentukan hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan
yang dapat menjadi obyek perjanjian.
Poin keempat, yaitu suatu sebab yang tidak terlarang. Poin ini berarti bahwa benda (objek
hukum) yang menjadi pokok perjanjian itu harus melekat hak yang pasti dan diperbolehkan
menurut hokum, sehingga perjanjian itu kuat. Menurut pasal 1337 KUH Perdata, sebab yang
tidak halal ialah jika dilarang oleh undang undang, bertentangan dengan tata sulila atau
ketertiban. Dan juga perjanjian tanpa sebab terlarang tidak berlaku, seperti menurut pasal 1335
KUH Perdata, perjanjian tanpa sebab yang palsu atau dilarang tidak mempunyai kekuatan atau
batal demi hukum.

7
2.4 Jenis-Jenis Perjanjian
Terdapat beberapa jenis perjanjian berdasarkan kriteria masing-masing, yaitu :

1. Perjanjian Timbal Balik dan Perjanjian Sepihak.


Perjanjian timbal balik ini merupakan perjanjian yang sering atau paling umum
ditemukan dalam kehidupan bermasyarakat. Perjanjian Timbal Balik adalah perjanjian yang
memberikan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak. Contoh dari perjanjian ini. Yaitu
perjanjian jual beli, sewa-menyewa, pemborongan bangunan, dan tukar-menukar.

Sedangkan perjanjian sepihak adalah perjanjian yang memberikan kewajiban kepada satu
pihak dan hak kepada pihak lainnya. Contoh dari perjanjian ini yaitu perjanjian hibah, hadiah.
Pihak yang satu berkewajiban menyerahkan benda yang menjadi objek perikatan, dan pihak lain
berhak menerima benda yang diberikan itu. Yang menjadi kriteria perjanjian jenis ini adalah
kewajiban berprestasi kedua belah pihak atau satu pihak. Prestasi biasanya berupa benda
berwujud baik bergerak maupun tidak bergerak, atau benda tidak berwujud berupa hak, misalnya
hak untuk menghuni rumah. 

2. Perjanjian Tanpa Pamrih atau dengan Cuma-Cuma (om niet) dan Perjanjian Dengan Beban.
Perjanjian Cuma-Cuma adalah perjanjian yang hanya memberikan keuntungan pada satu
pihan saja, atau perjanjian dimana satu pihak memberikan suatu keuntungan kepada pihak lain
tanpa imbalan apa pun. Contoh dari perjanjian ini yaitu perjanjian pinjam pakai.
Perjanjian dengan beban adalah perjanjian dalam nama terhadap prestasi dimana dari pihak
yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari  pihak lainnya, sedangkan antara kedua prestasi itu
ada hubungannya menurut hukum. Kontra prestasi dapat berupa kewajiban pihak lain, tetapi juga
pemenuhan suatu syarat potestatif (imbalan).

3. Perjanjian Bernama dan Tidak Bernama.


Perjanjian Bernama ini adalah perjanjian yang sudah mempunyai nama sendiri, dimana
perjanjian ini bahwa perjanjian-perjanjian tersebut diatur dan sudah diberi nama oleh pembentuk
undang-undang. Perjanjian Nominaat atau bernama ini terdapat dalam Bab V sampai dengan Bab
XVIII KUH Perdata.

8
Sedangkan Perjanjian Tidak Bernama adalah perjanjian-perjanjian yang tidak diatur
didalam KUH Perdata, tetapi perjanjian ini terdapat dalam masyarakat. Jumlah perjanjian ini
tidak terbatas dengan nama yang disesuaikan dengan kebutuhan pihak-pihak yang mengadakan
atau yang membuat perjanjian itu sendiri. Contoh dari perjanjian ini ialah perjanjian kerja sama,
perjanjian pemasaran dan perjanjian pengelolaan.

4. Perjanjian Kebendaan dan Perjanjian Obligatoir.


Perjanjian Kebendaan adalah perjanjian yang biasanya digunakan untuk memindahkan
hak milik dalam perjanjian jual beli. Perjanjian Kebendaan juga berarti perjanjian yang mana
seseorang menyerahkan haknya atas suatu benda kepada pihak lain yang membebankan
kewajiban (Oblige) pihak itu untuk menyerahkan benda tersebut kepada pihak lain, dimana
penyerahannya itu sendiri merupakan perjanjian kebendaan. Perjanjian kebendaan ini sebagai
pelaksanaan perjanjian obligator.
Sedangkan Perjanjian Obligator adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan. Dimana
sejak terjadi perjanjian timbullah hak dan kewajiban pihak-pihak. Dengan kata lain, perjanjian
obligator merupakan perjanjian dimana pihak-pihak yang terkait sepakat mengikatkan diri untuk
melakukan penyerahan suatu benda kepada pihak lain. Contohnya pembeli berhak menuntut
penyerahan barang dan penjual berhak atas pembayaran.

5. Perjanjian Konsensual dan Perjanjian Riil.


Perjanjian konsensual adalah suatu perjanjian yang hanya memerlukan persetujuan atau
consensus dari kedua pihak. Pada perjanjian konsensual ini dimana diantara kedua belah pihak
telah tercapai persesuaian kehendak untuk mengadakan perikatan. Menurut KUH Perdata
perjanjian ini sudah mempunyai kekuatan mengikat tertera pada Pasal 1338KUH Perdata.
Sedangkan Perjanjian Riil merupakan perjanjian yang terjadinya sekaligus dengan realisasi
tujuan perjanjian, yaitu pemindahan hak. Perjanjian riil juga berarti perjanjian yang disamping
ada persetujuan kehendak juga sekaligus memerlukan penyerahan suatu benda. Contoh dari dari
perjanjian ini misalnya perjanjian jual beli barang bergerak.

6. Perjanjian Formil

9
Perjanjian formil adalah perjanjian yang harus dibuat secara tertulis, jika tidak maka
perjanjian ini menjadi batal, misalnya: Perjanjian perdamaian (Pasal 1851 KUH Perdata).

7. Perjanjian Campuran
Yang dimaksud dengan perjanjian campuran ini ialah perjanjian yang dimana dalam
suatu perjanjian mengandung berbagai unsur perjanjian. terdapat unsur-unsur dari beberapa
perjanjian yang terjalin menjadi satu sedemikian rupa, sehingga tidak dapat dipisah-pisahkan
sebagai perjanjian yang berdiri sendiri. Contoh dari perjanjian ini perjanjian antara pemilik hotel
dengan tamu. Didalam perjanjian yang sedemikian, terdapat unsur perjanjian sewa-menyewa
(sewa kamar), perjanjian jual beli (jual beli makanan/minuman), atau perjanjian melakukan jasa
(penggunaan telepon, pemesanan tiket, dan lain-lain).

8. Perjanjian Penanggungan
Perjanjian Penanggungan adalah suatu persetujuan dimana pihak ketiga demi
kepentingan kreditur mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan debitur, bila debitur tidak
memenuhi perikatannya (Pasal 1820 KUH Perdata).

9. Perjanjian Standar / Baku


Perjanjian standar bentuknya tertulis berupa formulir yang isinya telah distandarisasi
(dibakukan) terlebih dulu secara sepihak, serta bersifat massal tanpa mempertimbangkan
perbedaan kondisi pihak yang menyetujui perjanjian tersebut.

10. Perjanjian Garansi


Perjanjian garansi adalah suatu perjanjian dimana seseorang berjanji pada pihak lainnya,
bahwa pihak ketiga akan berbuat sesuatu (Pasal 1316 KUH Perdata).

2.5 Saat Dan Tempat Lahirnya Perjanjian


Menurut asas konsensualisme, suatu perjanjian lahir pada detik tercapainnya kesepakatan
atau persetujuan antara kedua belah pihak mengenaihal-hal persesuaian paham dan kehendak
antara dua pihak tersebut. Apa yang di kehendaki oleh pihak yang lain, meskipun tidak sejurusan

10
tetapi secaratimbal balik. Kedua kehendak itu bertemu satu sama lain. Suatu perjanjian lahir pada
detik tercapainya kesepakatan, maka perjanjian itu lahir pada detik diterimanya suatu penawaran.
Apabila seseorang melakukan suatu penawaran, dan penawaran itu diterima oleh orang
lain secara tertulis, artinya orang lain ini menulis surat bahwa ia menerima penawaran itu,
perjanjian dianggap lahir pada saat pihak yang melakukan penawaran menerima jawaban yang
termaktub dalam surat tersebut, sebab detik itulah yang dapat dianggap sebagai detik lahirnya
kesepakatan. Karena perjanjian sudah lahir maka tak dapat lagi ditarik kembali jika tidak seizin
pihak lawan. Saat atau detik lahirnya suatu perjanjian adalah penting untuk diketahui dan
ditetapkan, berhubung adakalanya terjadi suatu perubahan undang-undang atau peraturan, yang
mempengaruhi nasib perjanjian tersebut,misalnya pelaksanaannya.

2.6 Pelaksanaan Suatu Perjanjian


Suatu perjanjian, merupakan suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain,
menurut macamnya hal yang dijanjikan untuk dilaksanakan, perjanjian- perjanjian itu dibagi
dalam tiga macam, yaitu :
1. Perjanjian untuk memberikan atau menyerahkan suatu barang
2. Perjanjian untuk berbuat sesuatu
3. Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu

Didalam perjanjian ada yang disebut dengan Prestasi dimana prestasi berarti hal yang
harus dilakukan dalam perjanjia. Pada perjanjian poin (1) yaitu perjanjian untuk memberikan
atau menyerahkan suatu barang. Pada perjanjian ini tidak terdapat sesuatu petunjuk dalam
undang-undang. Mengenai barang yang tak tertentu, artinya barang yang sudah disetujui atau
dipilih dapat dikatakan bahwa para ahli hukum dan yurisprudensi sependapat bahwa eksekusi riil
itu dapat dilakukan, contoh jual beli suatu barang bergerak yang tertentu. Jika mengenai barang
yang tak tertentu, eksekusi rill tak mungkin dilakukan. Contoh lain dari perjanjian poin pertama
ini, misalnya : jual beli, tukar-menukar, penghibahan (pemberian), sewa-menyewa, dan pinjam
pakai.

Pada perjanjian poin (2) yaitu perjanjian untuk berbuat sesuatu dan yang terakhir,
perjanjian pada poin (3) yaitu perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu. Perjanjian dalam poin
kedua dan ketiga ini terdapat dalam pasal-pasal 1240 dan 1241. Mengenai perjanjian macam-

11
macam inilah disebutkan bahwa eksekusi riil itu mungkin dilaksanakan. Pasal 1240
menyebutkan tentang perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu atau tidak melakukan sesuatu
perbuatan. Dan pasal 1241 menerangkan tentang perjanjian untuk berbuat sesuatu, atau
melakukan suatu perbuatan, bahwa, apabila perjanjian tidak dilaksanakan atau tidak menepati
janjinya, maka kreditur boleh juga dikuasakan supaya dia sendirilah mengusahakan
pelaksanaannya atas biaya si pelanggar.

Mengenai perjanjian untuk melakukan suatu perbuatan, memang dalam perjanjian


semacam itu, bila janji dilanggar, dapat secara mudah hasil dari perbuatan yang melanggar
perjanjian itu dihapuskan atau ditiadakan.Tembok yang didirikan secara melanggar perjanjian,
dapat ditutup. Pihak yang berkepentingan (kreditur) tentunya juga dapat meminta kepada
pengadilan , supaya dapat ditetapkan sejumlah uang paksa untuk mendorong debitur supaya ia
meniadakan apa yang sudah diperbuat itu. Contoh dari perjanjian untuk berbuat sesuatu seperti
perjanjian untuk membuat suatu lukisan, perjanjian perburuhan, perjanjian untuk membikin
sebuah garasi, dan lain sebagainya. Sedangkan contoh dari perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu
misalnya: perjanjian untuk tidak mendirikan tembok, perjanjian untuk tidak mendirikan
perusahaan yang sejenis dengan pemilik lain, dan lain sebagainya.

2.7 Batal dan Pembatalan Suatu Perjanjian


Dalam bagian sebelumnya mengenai syarat-syarat untuk sahnya suatu perjanjian yang
telah dibahas, telah diterangkan, bahwa apabila suatu syarat obyektif tidak terpenuhi maka
perjanjiannya adalah batal demi hokum. Dalam hal yang demikian, secara yuridis dari
semulatidak ada suatu perjanjian dan tidak ada pula suatu perikatan antara orang-orang yang
bermaksud membuat perjanjian itu. Apabila pada waktu pembuatan perjanjian, ada kekurangan
mengenai syarat yang subyektif sebagaimana yang sudah kita lihat, maka perjanjian itu
bukannya batal demi hukum, tetapi dapat dimintakan pembatalan oleh salah satu pihak. Pihak ini
adalah : pihak yang tidak cakap menurut hukum (orang tua atau walinya, ataupun ia sendiri
apabila ia sudah menjadicakap, dan pihak yang memberikan perizinannya atau menyetujui
perjanjian itu secara tidak bebas.

Tentang perjanjian yang tidak mengandung sesuatu hal yang tertentu, dapat dikatakan
bahwa perjanjian yang demikian tidak dapat dilaksanakan karena tidak terang apa yang
dijanjikan oleh masing-masing pihak. dengan kata lain perjanjian tersebut isinya tidak halal,

12
tentu saja perjanjian yang seperti itu tidak bisa atau boleh dilaksanakan karena melanggar hukum
atau kesusilaan. Dan untuk pihak-pihak yang tidak cakap. maka ketidak cakapan seorang dan
ketidak bebasan dalam memberikan perizinan pada suatu perjanjian, memberikan hak kepada
pihak yang tidak cakap dan pihak yang tidak bebas dalam memberikan sepakatnya itu untuk
meminta pembatalan perjanjiannya. Dengan sendirinya harus dimengerti bahwa pihak lawan dari
orang-orang tersebut tidak boleh meminta pembatalan itu. Hak meminta pembatalan hanya ada
pada satu pihak saja, yaitu pihak yang oleh undang-undang diberi perlindungan. Meminta
pembatalan dalam perjanjian ini juga diatur oleh pasal 1454 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, dimana pembatalan dibatasi sampai suatu batas waktu tertentu, yaitu 5 tahun.

Terdapat dua dua cara untuk meminta pembatalan peerjanjian, pertama pihak yang
berkepentingan secara aktif sebagai penggugat meminta kepada hakim supaya perjanjian itu
dibatalkan. Yang kedua, menunggu sampai ia digugat didepan hakim untuk memenuhi perjanjian
tersebut. Didepan sidang pengadilan, pihak yang sebagai tergugat mengemukakan bahwa
perjanjian tersebut telah disetujuinya ketika masih belum cakap, ataupun disetujuinya karena
diancam, atau karena khilaf mengenai obyek perjanjian atau karena ditipu. Dan didepan sidang
pengadilan itu pihak tersebut memohon kepada hakim supaya perjanjian dibatalkan. Meminta
pembatalan secara pembelaan inilah yang tidak dibatasi waktunya. Akan tetapi ada pengecualian
seperti yang terkandung dalam Pasal 1320 UUH Perdata, yaitu disana oleh undang-undang
ditetapkan suatu formalitas untuk beberapa macam perjanjian. Misalnya untuk perjanjian
penghibahan benda tak bergerak harus dilakukan dengan akta notaris. Perjanjian perdamaian
harus dibuat secara tertulis dan lain sebagainya. Sebagai mana yang telah dijelaskan pada bagian
jenis-jenis perjanjian, yang dinamakan perjanjian formil. Apabila perjanjian yang demikian itu
tidak memenuhi formalitas yang ditetapkan oleh undang-undang, maka perjanjian tersebut batal
demi hukum.

13
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Perjanjian adalah suatu perbuatan yang terjadi antara satu orang atau lebih dimana dari
kejadian ini timbul suatu hubungan hukum antara pihak-pihak tersebut yang didalam
perikatannya terdapat hak dan kewajiban masing-masing pihak. Perjanjian diatur dalam pasal
1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata), yaitu “suatu perbuatan yang mana
satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Perikatan adalah
suatu hubungan hukum diantara dua orang atau dua pihak, dimana pihak yang satu berhak
menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain dan pihak yang lainnya itu berkewajibanuntuk
memenuhi tuntutan tersebut. Pihak yang berhak menuntut dinamakan kreditur, sedangkan pihak
lainnya yang berkewajiban memenuhi tuntutan itu dinamakan debitur.

Terdapat 4 syarat yang harus terpenuhi dalam sebuah perjanjian agar perjanjian tersebut
dianggap sah, seperti yang telah diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu : Kesepakatan
mereka yang mengikatkan dirinya, Kecakapan untuk membuat suatu perikatan, Suatu pokok
persoalan tertentu, dan Suatu sebab yang tidak terlarang. Perjanjian itu sendiri bisa lahir dan
batal atau berakhir tergantung dari 4 syarat yang di atur dalam Pasal diatas. Sedangkan pada
pelaksanaannya sendiri, menurut macamnya hal yang dijanjikan untuk dilaksanakan, perjanjian-
perjanjian itu dibagi dalam tiga macam, yaitu : Perjanjian untuk memberikan atau menyerahkan
suatu barang, Perjanjian untuk berbuat sesuatu dan Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu.

3.2 Saran
Penulis menyadari bahwa di dalam makalah ini terdapat banyak sekali kekurangan
penulisan, isi, penyusunan dan kesalahan-kesalahan lainnya. Oleh karena itu Penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun, karena penulis juga masih dalam tahap belajar.
Saran yang membangun sangat berguna untuk perbaikan dan masukan untuk penulis
kedepannya.

14
DAFTAR PUSTAKA

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990.

Badrulzaman, Mariam Darus Dkk, Komplikasi Hukum Perikatan, Cet.1, Bandung : PT. Citra
Aditya Bakti, 2001.

Bali.Eds, 2019, 10 Jenis jenis Perjanjian. https://www.hukum.xyz/jenis-jenis-perjanjian/

Mashudi, 1995, Bab-bab Hukum Perikatan, Bandung: Mandar Maju.

Rachmadsyah, Shanti, 2010, Hukum Perjanjian, Jakarta.

Riadi, Muchlisin. Pengertian, Asas dan Jenis-jenis Perjanjian, 2019.


https://www.kajianpustaka.com/2019/02/pengertian-asas-dan-jenis-perjanjian.html

Sardjono, Agus, 1994, HUKUM PERJANJIAN: ANTARA NORMA DAN


PELAKSANAANNYA.

Subekti, R, Prof, S.H. dan Tjitrosudibio, R, Kitab Undang Undang Hukum Perdata,  Cetakan ke-
31, PT Pradnya Paramita, Jakarta, 2001.

Subekti, R, Prof, S.H., Hukum Perjanjian, Cetakan ke-VIII, PT Intermasa.

Turnadi, Wibowo, 2012, Jenis-jenis Perjanjian, Jurnal Hukum.

15

Anda mungkin juga menyukai