HUKUM PERJANJIAN
Disusun oleh :
Nama : M. GHAZALI
NIM : P2B220045
Kelas :A
Semester : 1 (Satu)
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas semua rahmat, karunia, serta taufik
dan hidayah-Nya yang telah memberikan penulis kemudahan dalam menyelesaikan makalah
tentang “Hukum Perjanjian” ini. Tidak lupa pula shalawat serta salam tercurahkan kepada Nabi
besar Muhammad SAW yang syafa’atnya kita nantikan kelak. Makalah ini disusun guna
memenuhi tugas mata kuliah Hukum Perjanjian. Penulis berharap makalah tentang Hukum
Perjanjian ini berguna dalam menambah wawasan dan pengetahuan kita. Penulis juga
sepenuhnya menyadari bahwa di dalam makalah ini terdapat banyak kekurangan dan jauh dari
kata sempurna. Oleh sebab itu, adanya kritik, saran, dan usulan demi perbaikan makalah yang
telah Penulis buat sangat diperlukan, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa ada saran
yang membangun. Demikian yang dapat penulis sampaikan. Akhir kata, semoga makalah ini
dapat bermanfaat.
Penulis
1
DAFTAR ISI
Contents
KATA PENGANTAR.....................................................................................................................1
DAFTAR ISI...................................................................................................................................2
BAB I...........................................................................................................................................3
PENDAHULUAN.......................................................................................................................3
1.1 Latar Belakang.......................................................................................................................3
1.2 Rumusan Masalah..................................................................................................................3
1.3 Tujuan Pembahasan...............................................................................................................3
BAB II.............................................................................................................................................4
PEMBAHASAN..............................................................................................................................4
2.1 Pengertian Hukum Perjanjian................................................................................................4
2.2 Asas-Asas Perjanjian..............................................................................................................4
2.3 Syarat sahnya Perjanjian........................................................................................................6
2.4 Jenis-Jenis Perjanjian.............................................................................................................8
2.5 Saat Dan Tempat Lahirnya Perjanjian.................................................................................10
2.6 Pelaksanaan Suatu Perjanjian...............................................................................................11
2.7 Batal dan Pembatalan Suatu Perjanjian...............................................................................12
BAB III..........................................................................................................................................14
PENUTUP.....................................................................................................................................14
3.1 Kesimpulan..........................................................................................................................14
3.2 Saran.....................................................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................15
2
BAB I
PENDAHULUAN
3
BAB II
PEMBAHASAN
a. Perbuatan, Penggunaan kata “Perbuatan” pada perumusan tentang Perjanjian ini lebih
tepat jika diganti dengan kata perbuatan hukum atau tindakan hukum, karena perbuatan
tersebut membawa akibat hukum bagi para pihak yang memperjanjikan;
b. Satu orang atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih, Untuk adanya suatu perjanjian,
paling sedikit harus ada dua pihak yang saling berhadap-hadapan dan saling memberikan
pernyataan yang cocok/pas satu sama lain. Pihak tersebut adalah orang atau badan
hukum.
c. Mengikatkan dirinya, Di dalam perjanjian terdapat unsur janji yang diberikan oleh pihak
yang satu kepada pihak yang lain. Dalam perjanjian ini orang terikat kepada akibat
hukum yang muncul karena kehendaknya sendiri.
4
dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUH Perdata. Dimana Pasal 1315 KUH Perdata
berbunyi : Pada umumnya seseorang yang tidak mengadakan perikatan atau perjanjian
selain untuk dirinya sendiri. Pasal ini menegaskan tentang batasan dan terhadap siapa
sajakah suatu perjanjian mempunyai pengaruh langsung. Pasal ini juga menjelaskan
bahwa hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian tersebut hanyalah untuk para pihak
sendiri atau yang terikat dengan perjanjian.
Pasal 1340 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi; Suatu perjanjian hanya berlaku
antara pihak-pihak yang membuatnya. Pernyataan dari pasal ini mengandung arti bahwa
perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya.
3) Asas Konsesualitas.
Asas konsesualitas mengandung arti bahwa perjanjian itu terjadi sejak saat
tercapainya kata sepakat (konsensus) antara pihak-pihak mengenai pokok perjanjian.
Sejak saat tercapainya kata sepakat itulah yang membuat perjanjian mengikat dan
5
mempunyai akibat hukum. Suatu kesepakatan secara lisan diantara para pihak telah
mengikat para pihak yang telah bersepakat tersebut. Ketentuan mengenai kesepakatan ini
diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, maka rumusan tersebut dianggap sebagai dasar
asas konsesualitas dalam hukum perjanjian.
6
Berdasarkan isi dari Pasal 1320 KUH Perdata diatas, dua syarat yang pertama yaitu poin
(a) dan (b) dinamakan dengan syarat subjektif, karena kedua poin tersebut menyangkut dengan
pihak-pihak dalam suatu perjanjian atau subjek yang mengadakan perjanjian. Sedangkan dua
syarat lainnya yaitu poin (c) dan (d) dinamakan syarat objektif, karena bersangkutan dengan
perjanjian itu sendiri atau objek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.
Pada poin pertama, Kesepakatan mereka yang mengikat dirinya berarti bahwa kedua
pihak atau pihak-pihak yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, saling sepakat diantara
pihak-pihak, serta saling setuju mengenai isi atau hal-hal pokok dari perjanjian yang mereka
buat.
Poin kedua, Kecakapan untuk membuat suatu perikatan. Poin ini berarti, para pihak
terkait mampu atau cakap dalam membuat suatu perjanjian. Pasal 1330 BW menentukan yang
tidak cakap untuk membuat perikatan :
a. Orang-orang yang belum dewasa
b. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan
c. Orang-orang perempuan,
Namun berdasarkan fatwa Mahkamah Agung, melalui Surat Edaran Mahkamah Agung
No.3/1963 tanggal 5 September 1963, orang-orang perempuan tidak lagi digolongkan sebagai
yang tidak cakap.
Poin ketiga, Suatu pokok persoalan tertentu. Poin ini bermaksud perjanjian atau didalam
isi perjanjian harus menentukan jenis objek yang diperjanjikan. Jika tidak, maka perjanjian itu
batal demi hukum. Pasal 1332 BW menentukan hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan
yang dapat menjadi obyek perjanjian.
Poin keempat, yaitu suatu sebab yang tidak terlarang. Poin ini berarti bahwa benda (objek
hukum) yang menjadi pokok perjanjian itu harus melekat hak yang pasti dan diperbolehkan
menurut hokum, sehingga perjanjian itu kuat. Menurut pasal 1337 KUH Perdata, sebab yang
tidak halal ialah jika dilarang oleh undang undang, bertentangan dengan tata sulila atau
ketertiban. Dan juga perjanjian tanpa sebab terlarang tidak berlaku, seperti menurut pasal 1335
KUH Perdata, perjanjian tanpa sebab yang palsu atau dilarang tidak mempunyai kekuatan atau
batal demi hukum.
7
2.4 Jenis-Jenis Perjanjian
Terdapat beberapa jenis perjanjian berdasarkan kriteria masing-masing, yaitu :
Sedangkan perjanjian sepihak adalah perjanjian yang memberikan kewajiban kepada satu
pihak dan hak kepada pihak lainnya. Contoh dari perjanjian ini yaitu perjanjian hibah, hadiah.
Pihak yang satu berkewajiban menyerahkan benda yang menjadi objek perikatan, dan pihak lain
berhak menerima benda yang diberikan itu. Yang menjadi kriteria perjanjian jenis ini adalah
kewajiban berprestasi kedua belah pihak atau satu pihak. Prestasi biasanya berupa benda
berwujud baik bergerak maupun tidak bergerak, atau benda tidak berwujud berupa hak, misalnya
hak untuk menghuni rumah.
2. Perjanjian Tanpa Pamrih atau dengan Cuma-Cuma (om niet) dan Perjanjian Dengan Beban.
Perjanjian Cuma-Cuma adalah perjanjian yang hanya memberikan keuntungan pada satu
pihan saja, atau perjanjian dimana satu pihak memberikan suatu keuntungan kepada pihak lain
tanpa imbalan apa pun. Contoh dari perjanjian ini yaitu perjanjian pinjam pakai.
Perjanjian dengan beban adalah perjanjian dalam nama terhadap prestasi dimana dari pihak
yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lainnya, sedangkan antara kedua prestasi itu
ada hubungannya menurut hukum. Kontra prestasi dapat berupa kewajiban pihak lain, tetapi juga
pemenuhan suatu syarat potestatif (imbalan).
8
Sedangkan Perjanjian Tidak Bernama adalah perjanjian-perjanjian yang tidak diatur
didalam KUH Perdata, tetapi perjanjian ini terdapat dalam masyarakat. Jumlah perjanjian ini
tidak terbatas dengan nama yang disesuaikan dengan kebutuhan pihak-pihak yang mengadakan
atau yang membuat perjanjian itu sendiri. Contoh dari perjanjian ini ialah perjanjian kerja sama,
perjanjian pemasaran dan perjanjian pengelolaan.
6. Perjanjian Formil
9
Perjanjian formil adalah perjanjian yang harus dibuat secara tertulis, jika tidak maka
perjanjian ini menjadi batal, misalnya: Perjanjian perdamaian (Pasal 1851 KUH Perdata).
7. Perjanjian Campuran
Yang dimaksud dengan perjanjian campuran ini ialah perjanjian yang dimana dalam
suatu perjanjian mengandung berbagai unsur perjanjian. terdapat unsur-unsur dari beberapa
perjanjian yang terjalin menjadi satu sedemikian rupa, sehingga tidak dapat dipisah-pisahkan
sebagai perjanjian yang berdiri sendiri. Contoh dari perjanjian ini perjanjian antara pemilik hotel
dengan tamu. Didalam perjanjian yang sedemikian, terdapat unsur perjanjian sewa-menyewa
(sewa kamar), perjanjian jual beli (jual beli makanan/minuman), atau perjanjian melakukan jasa
(penggunaan telepon, pemesanan tiket, dan lain-lain).
8. Perjanjian Penanggungan
Perjanjian Penanggungan adalah suatu persetujuan dimana pihak ketiga demi
kepentingan kreditur mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan debitur, bila debitur tidak
memenuhi perikatannya (Pasal 1820 KUH Perdata).
10
tetapi secaratimbal balik. Kedua kehendak itu bertemu satu sama lain. Suatu perjanjian lahir pada
detik tercapainya kesepakatan, maka perjanjian itu lahir pada detik diterimanya suatu penawaran.
Apabila seseorang melakukan suatu penawaran, dan penawaran itu diterima oleh orang
lain secara tertulis, artinya orang lain ini menulis surat bahwa ia menerima penawaran itu,
perjanjian dianggap lahir pada saat pihak yang melakukan penawaran menerima jawaban yang
termaktub dalam surat tersebut, sebab detik itulah yang dapat dianggap sebagai detik lahirnya
kesepakatan. Karena perjanjian sudah lahir maka tak dapat lagi ditarik kembali jika tidak seizin
pihak lawan. Saat atau detik lahirnya suatu perjanjian adalah penting untuk diketahui dan
ditetapkan, berhubung adakalanya terjadi suatu perubahan undang-undang atau peraturan, yang
mempengaruhi nasib perjanjian tersebut,misalnya pelaksanaannya.
Didalam perjanjian ada yang disebut dengan Prestasi dimana prestasi berarti hal yang
harus dilakukan dalam perjanjia. Pada perjanjian poin (1) yaitu perjanjian untuk memberikan
atau menyerahkan suatu barang. Pada perjanjian ini tidak terdapat sesuatu petunjuk dalam
undang-undang. Mengenai barang yang tak tertentu, artinya barang yang sudah disetujui atau
dipilih dapat dikatakan bahwa para ahli hukum dan yurisprudensi sependapat bahwa eksekusi riil
itu dapat dilakukan, contoh jual beli suatu barang bergerak yang tertentu. Jika mengenai barang
yang tak tertentu, eksekusi rill tak mungkin dilakukan. Contoh lain dari perjanjian poin pertama
ini, misalnya : jual beli, tukar-menukar, penghibahan (pemberian), sewa-menyewa, dan pinjam
pakai.
Pada perjanjian poin (2) yaitu perjanjian untuk berbuat sesuatu dan yang terakhir,
perjanjian pada poin (3) yaitu perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu. Perjanjian dalam poin
kedua dan ketiga ini terdapat dalam pasal-pasal 1240 dan 1241. Mengenai perjanjian macam-
11
macam inilah disebutkan bahwa eksekusi riil itu mungkin dilaksanakan. Pasal 1240
menyebutkan tentang perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu atau tidak melakukan sesuatu
perbuatan. Dan pasal 1241 menerangkan tentang perjanjian untuk berbuat sesuatu, atau
melakukan suatu perbuatan, bahwa, apabila perjanjian tidak dilaksanakan atau tidak menepati
janjinya, maka kreditur boleh juga dikuasakan supaya dia sendirilah mengusahakan
pelaksanaannya atas biaya si pelanggar.
Tentang perjanjian yang tidak mengandung sesuatu hal yang tertentu, dapat dikatakan
bahwa perjanjian yang demikian tidak dapat dilaksanakan karena tidak terang apa yang
dijanjikan oleh masing-masing pihak. dengan kata lain perjanjian tersebut isinya tidak halal,
12
tentu saja perjanjian yang seperti itu tidak bisa atau boleh dilaksanakan karena melanggar hukum
atau kesusilaan. Dan untuk pihak-pihak yang tidak cakap. maka ketidak cakapan seorang dan
ketidak bebasan dalam memberikan perizinan pada suatu perjanjian, memberikan hak kepada
pihak yang tidak cakap dan pihak yang tidak bebas dalam memberikan sepakatnya itu untuk
meminta pembatalan perjanjiannya. Dengan sendirinya harus dimengerti bahwa pihak lawan dari
orang-orang tersebut tidak boleh meminta pembatalan itu. Hak meminta pembatalan hanya ada
pada satu pihak saja, yaitu pihak yang oleh undang-undang diberi perlindungan. Meminta
pembatalan dalam perjanjian ini juga diatur oleh pasal 1454 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, dimana pembatalan dibatasi sampai suatu batas waktu tertentu, yaitu 5 tahun.
Terdapat dua dua cara untuk meminta pembatalan peerjanjian, pertama pihak yang
berkepentingan secara aktif sebagai penggugat meminta kepada hakim supaya perjanjian itu
dibatalkan. Yang kedua, menunggu sampai ia digugat didepan hakim untuk memenuhi perjanjian
tersebut. Didepan sidang pengadilan, pihak yang sebagai tergugat mengemukakan bahwa
perjanjian tersebut telah disetujuinya ketika masih belum cakap, ataupun disetujuinya karena
diancam, atau karena khilaf mengenai obyek perjanjian atau karena ditipu. Dan didepan sidang
pengadilan itu pihak tersebut memohon kepada hakim supaya perjanjian dibatalkan. Meminta
pembatalan secara pembelaan inilah yang tidak dibatasi waktunya. Akan tetapi ada pengecualian
seperti yang terkandung dalam Pasal 1320 UUH Perdata, yaitu disana oleh undang-undang
ditetapkan suatu formalitas untuk beberapa macam perjanjian. Misalnya untuk perjanjian
penghibahan benda tak bergerak harus dilakukan dengan akta notaris. Perjanjian perdamaian
harus dibuat secara tertulis dan lain sebagainya. Sebagai mana yang telah dijelaskan pada bagian
jenis-jenis perjanjian, yang dinamakan perjanjian formil. Apabila perjanjian yang demikian itu
tidak memenuhi formalitas yang ditetapkan oleh undang-undang, maka perjanjian tersebut batal
demi hukum.
13
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Perjanjian adalah suatu perbuatan yang terjadi antara satu orang atau lebih dimana dari
kejadian ini timbul suatu hubungan hukum antara pihak-pihak tersebut yang didalam
perikatannya terdapat hak dan kewajiban masing-masing pihak. Perjanjian diatur dalam pasal
1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata), yaitu “suatu perbuatan yang mana
satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Perikatan adalah
suatu hubungan hukum diantara dua orang atau dua pihak, dimana pihak yang satu berhak
menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain dan pihak yang lainnya itu berkewajibanuntuk
memenuhi tuntutan tersebut. Pihak yang berhak menuntut dinamakan kreditur, sedangkan pihak
lainnya yang berkewajiban memenuhi tuntutan itu dinamakan debitur.
Terdapat 4 syarat yang harus terpenuhi dalam sebuah perjanjian agar perjanjian tersebut
dianggap sah, seperti yang telah diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu : Kesepakatan
mereka yang mengikatkan dirinya, Kecakapan untuk membuat suatu perikatan, Suatu pokok
persoalan tertentu, dan Suatu sebab yang tidak terlarang. Perjanjian itu sendiri bisa lahir dan
batal atau berakhir tergantung dari 4 syarat yang di atur dalam Pasal diatas. Sedangkan pada
pelaksanaannya sendiri, menurut macamnya hal yang dijanjikan untuk dilaksanakan, perjanjian-
perjanjian itu dibagi dalam tiga macam, yaitu : Perjanjian untuk memberikan atau menyerahkan
suatu barang, Perjanjian untuk berbuat sesuatu dan Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu.
3.2 Saran
Penulis menyadari bahwa di dalam makalah ini terdapat banyak sekali kekurangan
penulisan, isi, penyusunan dan kesalahan-kesalahan lainnya. Oleh karena itu Penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun, karena penulis juga masih dalam tahap belajar.
Saran yang membangun sangat berguna untuk perbaikan dan masukan untuk penulis
kedepannya.
14
DAFTAR PUSTAKA
Badrulzaman, Mariam Darus Dkk, Komplikasi Hukum Perikatan, Cet.1, Bandung : PT. Citra
Aditya Bakti, 2001.
Subekti, R, Prof, S.H. dan Tjitrosudibio, R, Kitab Undang Undang Hukum Perdata, Cetakan ke-
31, PT Pradnya Paramita, Jakarta, 2001.
15