Anda di halaman 1dari 9

TUGAS INDIVIDU

HUKUM PERJANJIAN
“ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM HUKUM PERJANJIAN INDONESIA”

Disusun oleh :

Nama : M. GHAALI

NIM : P2B220045

Program Studi Magister Kenotariatan


Fakultas Hukum
Universitas Jambi
2020/2021
AKIBAT HUKUM PASAL 1266 DAN 1267 UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA
DALAM PERJANJIAN TERHADAP DEBITUR YANG TIDAK AKTIF DALAM
MELAKSANAKAN PERJANJIAN

Abstract
Penelitian ini bertujuan untuk memahami dan menganalisi adanya dan akibat atau hasil legal dari
penerapan Pasal 1266 dan 1267 KUHP Perdata terhadap debitur yang tidak aktif dalam
melasanakan kontraknya. Penelitian ini menggunakan metode normatif, yang mana penulis
meneliti dan menyelidiki keberadaan dari norma hukum positif dari Pasal 1266 dan Pasal 1267
KUH Perdata. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa akibat hukum dari Pasal 1266 dan
Pasal 1267 KUH Perdata, ketika diterapkan kontrak atau perjanjian terhadapan debitur yang
tidak aktif dalam melaksanakan perjanjian, dapat digolongkan atau dikategorikan sebagai debitur
tidak aktif yang tidak memenuhi kewajibannya (ingebrekesteling). Akibatnya, akad batal karena
debitur yang tidak aktif gagal memenuhi kewajibannya. Dengan kata lain, dia telah melakukan
wanprestasi. Pembatalan kontrak harus dilakukan melalui putusan hukum di pengadilan dimana
kreditur selalu berhak meminta debitur untuk membayar kembali kerugian yang telah dibuatnya.

kata kunci: konsekuensi hukum, pasal 1266 KUHPerdata, pasal 1267 KUHPerdata perjanjian,
debitur tidak aktif
1. Pendahuluan

Hukum merupakan suatu sistem yang memuat berbagai aturan terkait tingkah laku manusia
dalam kelompok masyarakat. Hukum itu sendiri pada prinsipnya bertujuan untuk menciptakan
ketertiban dan keadilan serta keteraturan hidup di dalam masyarakat. Berdasarkan adagium ubi
societas ubi ius yang berarti di mana ada masyarakat disitu ada hukum ataupun keadilan.
Manusia juga dikenal sebagai makhluk sosial, yang berarti tidak bisa hidup sendiri dan
memerlukan bantuan dari individu lain. Kondisi tersebut yang memicu munculnya kesepakatan-
kespakatan antara manusia ataupun masyarakat satu dengan yang lainnya. Kesepakatan-
kesepakatan tersebut merupakan upaya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia disegala
bidang dan aspek kehidupan. Kesepakatan atau yang biasa dikenal dengan perjanjian tersebut
terdiri dari perjanjian lisan dan tulisan. Dimana, dalam konteks hukum perdata kesepakatan
tersebut disebut sebagai hukum perjanjian. Setiap kegiatan dalam kehidupan yang bersifat
kesepakatan, tentunya ada perjanjian yang telah dibuat. Perjanjian yang dibuat diatur dalam Pasal
1320, 1266 dan 1267 dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menjelaskan tentang
pengesampingan pasal dalam terjadinya wanprestasi.

2. Rumusan Masalah

2.1. Apakah pencantuman klausula pengesampingan Pasal 1266 dan Pasal 1267 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata?

3. Tujuan Penelitian

3.1. Untuk menganalisis pencantuman klausula mengesampingkan Pasal 1266 dan Pasal 1267
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

4. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
hukum normatif yaitu, dengan melakukan penelitian terhadap bahan pustaka atau data sekunder.
Penelitian ini mengkaji norma hukum positif yang berupa peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan akibat hukum Pasal 1266 dan pasal 1267 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata dalam perjanjian, terhadap debitur yang tidak aktif dalam melaksanakan perjanjian.
5. Pembahasan

5.1 Asas-Asas Hukum Perjanjian

Asas hukum berperan penting sebagai meta kaidah berkenaan dengan kaidah hukum
dalam ilmu hukum asas berperan sebagai sebuah pedoman pemikiran aturan atas prinsip prinsip
hukum yang masih bersifat abstrak. Dapat pula dikatakan bahwa asas dalam hukum merupakan
dasar yang melatar belakangi suatu peraturan yang bersifat kongkrit dan bagaimana hukum itu
dapat dilaksanakan. Di dalam hukum perjanjian dikenal lima asas penting, yaitu asas kebebasan
berkontrak, asas konsensualisme, asas pacta sunt servanda (asas kepastian hukum), asas itikad
baik, dan asas kepribadian.
1. Asas Kebebasan Berkontrak
Merupakan asas yang paling terkenal karena didekatkan dengan Pasal 1338 KUH Perdata,
namun jika dicermati ayat dan alineanya maka terdapat beberapa asas yang terkandung
didalamnya. Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH
Perdata, yang berbunyi : “ Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-
undang bagi mereka yang membuatnya”. Asas kebebasan berkontrak merupakan suatu asas yang
memberikan kebebasan kepada para pihak untuk membuat atau tidak membuat suatu perjanjian,
mengadakan perjanjian dengan siapapun, menentukan isi dari perjanjian, pelaksaan, persyaratan
dan menentukan bentuk dari perjanjian apakah itu tertulis atau lisan.
Latar belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak menurut Mariam Badrulzaman adalah
adanya paham individualisme yang secara embrional lahir dalam zaman Yunani, yang diteruskan
oleh kaum Epicuristen dan berkembang pesat dalam zaman renaissance melalui antara lain
ajaran-ajaran Hugo de Grecht, Thomas Hobbes, Jhon Locke dan Rosseau dan menurut paham
individualisme, setiap orang bebas untuk memperoleh apa yang dikehendakinya. Suatu azas yang
menduduki posisi sentral di dalam hukum kontrak tetapi tidak dituangkan menjadi aturan hukum
adalah azas kebebasan berkontrak.
Menurut azas kebebasan berkontrak, bahwa seseorang pada umumnya mempunyai pilihan
yang bebas untuk mengadakan perjanjian. Di dalam azas ini terkandung suatu pandangan bahwa
orang bebas untuk melakukan atau tidak melakukan perjanjian, bebas dengan siapa ia
mengadakan perjanjian, bebas tentang apa yang diperjanjikan dan bebas untuk menetapkan
syarat-syarat perjanjian.
2. Asas Konsensualisme
Dalam hukum perjanjian, asas konsensualisme sering diartikan bahwa dibutuhkan
kesepakatan untuk lahirnya perjanjian. Pengertian ini sebenarnya tidak tepat mengingat bahwa
lahirnya suatu perjanjian yaitu setelah terjadinya kesepakatan. Dengan demikian, apabila tercapai
kesepakatan antara kedua belah pihak, lahirlah kontrak, walaupun kontrak itu belum
dilaksanakan pada waktu itu. Hal ini berarti bahwa dengan tercapainya kesepakatan oleh para
pihak melahirkan hak dan kewajiban bagi mereka atau bisa juga disebut bahwa kontrak tersebut
sudah bersifat obligatoir, yakni melahirkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi kontrak
tersebut. Asas konsensualisme ini tidak berlaku bagi semua jenis kontrak karena asas ini hanya
berlaku terhadap kontrak konsensual sedangkan terhadap kontrak formal dan kontrak riil tidak
berlaku.

3. Asas Itikad Baik


Ketentuan tentang itikad baik ini diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata bahwa
perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Sementara itu, Arrest H.R di Belanda
memberikan peranan tertinggi terhadap itikad baik dalam tahap pra perjanjian bahkan kesesatan
ditempatkan dibawah asas itikad baik, bukan lagi pada teori kehendak. Begitu pentingnya asas
itikad baik itu sehingga dalam perundingan-perundingan atau perjanjian para pihak, kedua belah
pihak akan berhadapan dalam suatu hubungan hukum yang dikuasai oleh itikad baik dan
hubungan ini akan membawa akibat lebih lanjut bahwa kedua belah pihak itu harus bertindak
dengan mengingat kepentingan-kepentingan yang wajar dari pihak lain.
Bagi masing-masing calon pihak dalam perjanjian terdapat suatu kewajiban untuk
mengadakan penyelidikan dalam batas-batas wajar terhadap pihak lawan sebelum
menandatangani kontrak atau masing-masing pihak harus menaruh perhatian yang cukup dalam
menutup kontrak yang berkaitan dengan itikad baik.
Asas iktikad baik ini dibagi menjadi dua macam, yaitu iktikad baik nisbi dan iktikad baik
mutlak. Pada iktikad baik nisbi, orang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari
subyek. Pada iktikad baik mutlak, penilaiannya terletak pada akal sehat dan keadilan, dibuat
ukuran yang objektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma
objektif.
4. Asas Pact Sund Servanda ( Mengikatnya Kontrak )
Setiap orang yang membuat kontrak, dia terikat untuk memenuhi kontrak tersebut karena
kontrak tersebut mengandung janji-janji yang harus dipenuhi dan janji tersebut mengikat para
pihak sebagaimana mengikatnya undang-undang. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1338 ayat (1)
yang menentukan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku dan mengikat sebagai
undang-undang bagi mereka yang menyepakatinya.

5. Asas Kepribadian ( Personalitas )


Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang melakukan
dan atau membuat perjanjian hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat
dalam pasal 1315 dan pasal 1340 KUH Perdata. Pada pasal 1315 KUH Perdata berbunyi : “ pada
umumnya tak seorang dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya
suatu janji dari pada untuk dirinya sendiri”. Inti ketentuan ini bahwa seseorang yang mengadakan
perjanjian hanya untuk kepentingan dirinya sendiri. Pasal 1340 KUH Perdata berbunyi : “ suatu
perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya”. Ini berarti bahwa perjanjian
yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya.

5.2 Asas Kebebasan Berkontrak dalam Hukum Perjanjian di Indonesia


Menurut Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia, kebebasan berkontrak dapat
disimpulkan dari ketentuan pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang menyatakan bahwa semua
kontrak (perjanjian) yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya. Sumber dari kebebasan berkontrak adalah kebebasan individu sehingga yang
merupakan titik tolaknya adalah kepentingan individu pula. Dengan demikian dapat dipahami
bahwa kebebasan individu memberikan kepadanya kebebasan untuk berkontrak .
Menurut hukum perjanjian Indonesia seseorang bebas untuk membuat perjanjian dengan
pihak manapun yang dikehendakinya. Undang-undang hanya mengatur orang-orang tertentu
yang tidak cakap untuk membuat perjanjian, pengaturan mengenai hal ini dapat dilihat dalam
pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dari ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa
setiap orang bebas untuk memilih pihak yang ia inginkan untuk membuat perianjian, asalkan
pihak tersebut bukan pihak yang tidak cakap. Bahkan lebih lanjut dalam pasal 1331, ditentukan
bahwa andaikatapun seseorang membuat perjanjian dengan pihak yang dianggap tidak cakap
menurut pasal 1330 KUH Perdata tersebut, maka perjanjian itu tetap sah selama tidak dituntut
pembatalannya oleh pihak yang tidak cakap.
Dalam mempelajari KUH Perdata asas kebebasan berkontrak itu bukannya bebas mutlak.
Ada beberapa pembatasan yang diberikan oleh pasal-pasal KUH Perdata terhadap asas ini yang
membuat asas ini merupakan asas tidak tak terbatas. Pasal 1320 ayat (1) menentukan bahwa
perjanjian atau, kontrak tidak sah apabila dibuat tanpa adanya konsensus atau sepakat dari para
pihak yang membuatnya. Ketentuan tersebut mengandung pengertian bahwa kebebasan suatu
pihak untuk menentukan isi perjanjian dibatasi oleh sepakat pihak lainnya. Dengan kata lain asas
kebebasan berkontrak dibatasi oleh kesepakatan para pihak.
Dalam pasal 1320 ayat (2) dapat pula disimpulkan bahwa kebebasan orang untuk
membuat perjanjian dibatasi oleh kecakapannya. untuk membuat perjanjian. Bagi seseorang yang
menurut ketentuan undang-undang tidak cakap untuk membuat perjanjian sama sekali tidak
mempunyai kebebasan, untuk membuat perjanjian. Pasal 1320 ayat menentukan bahwa para
pihak tidak bebas untuk membuat perjanjian yang menyangkut causa yang dilarang oleh undang-
undang. Menurut undang-undang causa atau sebab itu halal apabila tidak dilarang oleh undang-
undang dan tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan. Akibat hukum
perjanjian yang berisi sebab yang tidak halal ialah bahwa perjanjian itu batal demi hukum.

5.3 Ruang Lingkup Asas Kebebasan Berkontrak


Dalam Undang-undang Dasar 1945 RI dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Indonesia dan perundang-undang lainnya tidak ada ketentuan yang secara tegas menentukan
tentang berlakunya “asas kebebasan berkontrak” bagi perjanjian perjanjian yang dibuat menurut
hukum Indonesia. Namun tidaklah berarti bahwa asas kebebasan berkontrak tidak menguasai
perjanjian Indonesia. Berlakunya asas kebebasan berkontrak dalam hukum perjanjian Indonesia
antara lain dapat disimpulkan dari Pasal 1329 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang
menentukan bahwa setiap orang cakap untuk membuat perjanjian, kecuali jika ia ditentukan
bahwa setiap orang cakap untuk membuat perjanjian, kecuali jika ia ditentukan tidak cakap oleh
undang-undang.
Dari Pasal 1332 dapat disimpulkan bahwa asalkan menyangkut barang-barang yang
bernilai ekonomis, maka setiap orang bebas untuk memperjanjikannya. Dari Pasal 1320 ayat (4)
dan 1337 dapat disimpulkan asalkan bukan mengenai kausa yang dilarang oleh undang-undang
atau bertentangan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum, maka setiap orang bebas untuk
memperjanjikannya. Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia maupun perundang-
undangan lainnya tidak memuat ketentuan yang mengharuskan maupun melarang seseorang
untuk mengikatkan diri dalam suatu perjanjian ataupun mengharuskan maupun melarang untuk
tidak mengikatkan diri dalam suatu perjanjian.
Di Indonesia, asas kebebasan berkontrak terkandung dalam Pasal 1338 kalimat pertama
KUH Per yang memuat ketentuan normatif bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Menurut Sutan Remi Sjahdeini
asas kebebasan berkontrak meliputi ruang lingkup :
1) Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian
2) Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian
3) Kebebasan untuk menentukan atau memilih causa dari perjanjian yang akan
dibuatnya
4) Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian
5) Kebebasan untuk menentukan bentuk perjanjian
6) Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang
bersifat opsional (aanvulled, optional)
Asas kebebasan berkontrak membebaskan para pihak menentukan apa saja yang ingin
diperjanjikan sekaligus menentukan apa saja yang tidak dikehendaki untuk dituangkan dalam
perjanjian, namun pelaksanaan asas ini tidak dilakukan tanpa batas. Udin Silalahi menyebut,
bahwa asas kebebasan berkontrak bagi setiap individu memiliki dua pengertian sekaligus, yaitu
kebebasan melakukan perjanjian dan kebebasan membuat isi perjanjian.
Daftar Pustaka

Bruggink J.J.H. 1996, Refleksi Tentang Hukum Pengertian-Pengertian Dasar Dalam Teori
Hukum, Terjemahan Arief Shidarta, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Yuridika, 2003, Batas-batas Kebebasan Berkontrak; Perlindungan Hukum Para Pihak Dalam
Pengikatan Jaminan Fidusia; Kedudukan Perjanjian Arbitrase Menurut UU No.
30/1999.

Silalahi, Udin. M. (2003). Dasar Hukum Obligation To Contract.

Salim H.S., 2011, Hukum Perjanjian Teori & Tehnik Penyusunan Perjanjian. Jakarta: Sinar
Grafika.

Mardan, Suwandy. (2015). Asas Kebebasan Berkontrak dalam Hukum Perjanjian di Indonesia.

Budiwati, Septarina. (2012). Asas Kebebasan Berkontrak dalam Perspektif Pendekatan Filosofis.

Muskibah Dan Lili Naili Hidayah. (2020). Penerapan Prinsip Kebebasan Berkontrak dalam
Kontrak Standar Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai