Anda di halaman 1dari 6

TUGAS INDIVIDU

ANALISI KASUS MACHICA MOCHTAR

NAMA : M. GHAZALI

NIM : P2B220019

Program Studi Magister Kenotariatan


Fakultas Hukum
Universitas Jambi
2020/2021
1. KASUS MACHICA MOCHTAR

Kasus Mochica Mochtar ini berawal dari perkawinan siri antara Machica Mochtar dengan
Moerdiono yang menghasilkan anak diluar kawin. Pernikahan tersebut dilaksanakan pada
tanggal 20 Desember 1993, di Jakarta, dengan wali nikah almarhum H. Moctar Ibrahim.
Pernikahan tersebut juga disaksikan oleh 2 orang saksi, masing-masing bernama almarhum KH.
M. Yusuf Usman dan Risman. 1 Perkawinan tersebut dilaksanakan secara agama Islam dengan
memenuhi norma agama sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat 1 Undang-undang Nomor 1
tahun 1974, tetapi tidak memenuhi norma hukum yaitu dicatatkan pada pejabat pencatat nikah di
kantor urusan agama sebagaimana maksud pasal 2 ayat 2 Undang-undang Nomor 31 tahun 1974.
Dengan demikian perkawinan tersebut telah memenuhi norma agama tetapi tidak memenuhi
norma hukum.
Perkawinan yang tidak tercatat secara hukum tersebut melahirkan seorang anak, yaitu
Muhammad Iqbal Ramadhan. Status anak diluar perkawinan sah secara negara ini
mengakibatkan anak tersebut tidak mendapatkan pengakuan status keperdataan dari ayah
bilogisnya. Sehingga anak dari Machica Mochtar tersebut tidak mendapatkan hak waris yang
seharusnya menjadi hak anaknya tersebut.
Dikarenakan hal tersebut, Machica Mochtar memperjuangkan hak-hak untuk anaknya,
Iqbal Ramadhan yang tidak diakui oleh Ayah kandungnya yaitu Moerdiono, untuk mendapatkan
hak warisan dari Ayahnya tersebut. Sebelumnya Machica Mochtar sudah mengajukan penetapan
hubungan anaknya dengan moerdiono akan tetapi permohonan tersebut ditolak. Gugatan yang
ditujukan ke PA Tigaraksa tersebut ditolak karena dinilai sebagai permohonan yang seharusnya
diajukan di PA Jakarta Selatan, tempat para tergugat berdomisili.
Tidak hanya itu saja, penetapan anak yang beberapa tahun sebelumnya diajukan juga
tidak dikabulkan, dengan alasan karena ada halangan kawin, seperti yang diketahui Moerdiono
sendiri masih berstatus sebagai suami sah dari orang lain. Hal tersebutlah yang menjadi salah
satu alasan Machica Moehtar untuk mengajukan permohonan uji materiil terhadap ketentuan
Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 kepada Mahkamah Konstitusi.
Permohonan uji materi tersebut dilakukan Machica Moechtar sebagai upayanya dalam
memperjuangkan status hukum anaknya yakni Muhammad Iqbal Ramadhan yang lahir pada 5
Februari 1996 buah dari perkawinannya dengan Moerdiono yang dilangsungkan pada 20
Desember 1993 secara agama Islam (siri) dan tidak di catatkan ke Kantor Urusan Agama (KUA).
Dalam permohonannya, Machica Moechtar mengungkapkan bahwa ia dan putranya,
Muhammad Iqbal Ramadhan merasa dirugikan hak konstitusionalnya oleh ketentuan pasal 2 ayat
(2) dan pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974. Hal ini karena perkawinan antara
Machica Mochtar dengan Moerdiono tidak diakui menurut Hukum Positif sehingga anaknya
(Iqbal), tidak mempunyai hubungan perdata dengan ayahnya (Moerdiono) dan keluarga ayahnya.
diberlakukannya ketentuan pasal 43 ayat 1 Undang-undang nomor 1 tahun 1974 yang
menyatakan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, telah merugikan hak-hak konstitusional anak dan
bertentangan dengan ketentuan pasal 28B ayat 2 Undang-undang Dasar 1945, yang menyatakan
bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Machica Mochtar juga memperjuangkan hak-hak anaknya untuk mendapatkan hak
warisan dari ayah kandungnya tersebut. Mahkamah Konstitusi memutus perkara tersebut melalui
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 dengan mengabulkan permohonan
Machica Mochtar bahwa anak tersebut dapat dibuktikan sebagai anak kandung dari Moerdiono
dengan bukti-bukti yang sah maka tanpa adanya pengakuan dari Moerdiono anak tersebut tetap
mendapatkan hak warisan sebagaimana mestinya.
2. PUTUSAN KASUS MACHICA MOCHTAR

Pada Februari 2012, Mahkamah Konstitusi memberikan putusan terhadap putusan nomor
46/PUU-VIII/2010. terkait kedudukan hukum bagi anak luar kawin. Sebagai sebuah institusi
kekuasaan kehakiman di Indonesia, Mahkamah Konstitusi memiliki salah satu wewenang untuk
melakukan judicial review (uji materil) undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945 (UUD 1945). Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 46/PUU-
VIII/2010 tanggal 27 Februari 2012 lahir karena adanya permohonan yudisial review yang
diajukan oleh Machica Mokhtar dan anaknya, Muhammad Iqbal Ramadhan terhadap ketentuan
Pasal 2 ayat (2) dan pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan,
Hak-hak konstitusi penggugat yang dijamin oleh pasal 28 B ayat (1) dan ayat (2) telah
dirugikan dengan berlakunya pasal 2 ayat (2) dan pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974, karena status perkawinannya menjadi tidak sah, demikian juga terhadap anak yang
dilahirkannya menjadi tidak sah. Oleh sebab itu, Machica Mokhtar memohon ke MK untuk
mereview kembali pasal 2 ayat (2) dan pasal 43 ayat (1) Undang-Undang No 1 Tahun 1974
tentang perkawinan.
Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan pemohon dengan salah satu mereview
ketentuan pasal 43 ayat (1) UU No 1 Tahun 1974 yang awalnya; “anak yang dilahirkan di luar
perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Yang
pada akhirnya menjadi; “anak yang dilahirkan diluar perkawinan mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat
dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum
mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.
Tidak hanya itu saja, mengenai hak warisan dari ayah kandungnya tersebut. Mahkamah
Konstitusi memutus perkara tersebut melalui putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-
VIII/2010 dengan mengabulkan permohonan Machica Mochtar bahwa anak tersebut dapat
dibuktikan sebagai anak kandung dari Moerdiono dengan bukti-bukti yang sah maka tanpa
adanya pengakuan dari Moerdiono anak tersebut tetap mendapatkan hak warisan sebagaimana
mestinya. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menimbulkan benturan hukum tersendiri. Hal
ini dikarenakan menurut Pasal 862 sampai dangan 866 KUHPer disebutkan bahwa anak luar
kawin hanya bisa menjadi pewaris apabila ada pengakuan yang sah dari ayah atau ibu
biologisnya. Putusan Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan ketentuan dari KUHPer
tersebut karena putusan tersebut mengabulkan permohonan mengenai anak luar kawin yang tetap
menjadi ahli waris tanpa adanya pengakuan yang sah dari orang tua biologisnya.
3. KAITAN KASUS MACHICA MOCHTAR DENGAN HUKUM KELUARGA DAN
UU PERKAWINAN

Berdasarkan kasus Machica Mochtar dimana anak yang didapatkan dari hasil pernikahan
siri, pernikahan yang hanya sah di mata agama tetapi tidak sah dalam hal hukum tersebut
dianggap sebagai anak di luar perkawinan. Sehingga anak tersebut hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya. Hal ini berkaitan dengan UU perkawinan yang mana memberikan
ketidakpastian secara hukum bagi anak tersebut. Hal ini sudah tertulis dalam ketentuan Pasal 43
ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa : “Anak
yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibunya
dan keluarga ibunya”
Ketentuan tersebut menyebabkan suatu ketidakpastian hukum hubungan antara anak
dengan bapaknya. Hal tersebut telah melanggar hak konstitusional anak untuk mengetahui asal-
usulnya. Konsekuensi hukum dari adanya ketentuan pasal tersebut adalah dalam akta kelahiran
anak luar kawin hanya akan dicantumkan nama perempuan yang melahirkannya saja tanpa nama
seorang laki-laki sebagai ayahnya.
Tidak adanya pencantuman nama ayah di dalam akta kelahiran anak berarti tidak adanya
hak anak atas harta warisan dari ayah biologisnya, akan tetapi anak luar kawin tersebut hanya
mempunyai hak sebagai ahli waris dari perempuan yang melahirkannya demikian pula dari
keluarga perempuan tersebut. Dimana hal ini juga sesuai dengan ketentuan Pasal 43 ayat (1)
Undang-Undang Perkawinan, pihak ibu dan keluarga ibulah yang sepenuhnya mempunyai
tanggung jawab terhadap pemeliharaan dan pembiayaan anak luar kawin. Perihal harta warisan,
anak luar kawin tidak berhak atas harta warisan dari ayah ataupun keluarga ayah biologisnya.

Seperti yang dilihat, kasus ini sangat berkaitan sekali dengan UU perkawinan. Untuk
merubah status dan ketentuan anak itu sendiri tergantung kepada UU Perkawinan yang berlaku.
Perubahan terhadap anak bisa dilakukan dengan perubah yang dilakukan terhadap UU
Perkawinan pula atau judicial review dan juga dengan Putusan Mahkamah Konstitusi. Seperti
dengan hasil putusan MK pada putusan kasus Machica Mochtar ini.

Anda mungkin juga menyukai