Anda di halaman 1dari 13

A. KASUS POSISI HJ.

AISYAH MOCHTAR ALIAS MOCHICA BINTI


H. MOCHTAR IBRAHIM MENGENAI PUTUSAN MAHKAMAH
KONSTITUSI (MK) No. 46/PUU-VIII/2010
Tanggal 20 Desember 1993, di Jakarta telah berlangsung pernikahan antara
pemohon (HJ.Aisyah Mochtar alias Mochica binti H.Mochtar Ibahim) dengan
seorang laki-laki bernama Drs.Moerdiono, dengan wali nikah almarhum
H.MoCHTAR Ibrahim, disaksikan oleh 2 orang saksi, masing-masing bernama
almarhum KH. M. Yusuf Usman dan Risman, dengan mahar berupa
seperangkat alat shalat, uang 2.000 Riyal (mata uang Arab), satu set
perhiasan emas, berlian dibayar tunai dan dengan ijab yang diucapkan oleh
wali tersebut dan qobul diucapkan oleh laki-laki bernama Drs.Moerdiono.
Moerdiono seorang suami yang sudah beristri menikah lagi dengan istri
kedua, Hj. Aisyah Mokhtar, dengan akad nikah secara Islam tetapi tidak di
hadapan PPN/KUA Kec. Yang berwenang sehingga tidak dicatat dalam buku
akta nikah dan tidak memiliki kutipan akta nikah. Dari perkawinan tersebut
dilahirkan seorang anak laki-laki yang bernama Muhammad Iqbal Ramdhan
bin Moerdiono.
Muhammad Iqbal Ramdhn merupakan anak yang lahir dari perkawinan antara
Machicha Mochtar dan Mordieono, yang mana perkawinan tersebut
merupakan kawin siri yang tidak dicatatkan di kantor pegawai pencatatan
nikah.
Oleh sebab itu, Machica Mochtar maupun Iqbal merasa dirugikan hak
konstitusionalnya oleh tuntutan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 Ayat (1) UU NO
1 Tahun 1974 Tentang perkawinan tersebut karena perkawinan Hj. Aisyah
tidak diakui menurut hukum dan anaknya (Iqbal) tidak mempunyai hubungan
perdata dengan ayahnya (Moerdiono) dan keluarga ayahnya.
Machicha Mochtar dan anaknya Iqbal Ramadhan sebagai perorangan warga
negara Indonesia mengajukan permohonan pengujian ketentuan Pasal2 ayat
(2) dan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan, yang pada intinya:
1. Bahwa ketentuan Pasal 2 Ayat (2) dan Pasal 43 Ayat (1) UU
Perkawinan

menimbulkan

ketidakpastian

hukum

yang

mengakibatkan kerugian bagi para pemohon, khususnya yang

berkaitan dengan kasus perkawinan dan status anak yang


dihasilkan dari hasil perkawinan tersebut;
2. Bahwa hak konstitusional para pemohon telah dicederai oleh
norma hukum dalam Undang-undang Perkawinan. Norma
hukum ini jelas tidak adil dan merugikan karena perkawinan
adalah sah dan sesuai dengan Rukun nikah dalam Islam.
Merujuk ke norma konstitusional yang termaktub dalam Pasal
28 B ayat (1) UUD 1945 maka perkawinan pemohon yang
dilangsungkan sesuai Rukun nikah adalah sah tetapi terhalang
oleh Pasal 2; UU Perkawinan, akibatnya menjadi tidak sah
menurut norma hukum. Akibatnya, pemberlakuan norma hukum
ini berdampak terhadap status hukum anak (yang dilahirkan dari
perkawinan

siri

menjadi

anak

diluar

nikah

berdasarkan

ketentuan norma hukum dalam Pasal 34 Ayat (1) Undangundang Perkawinan dan

perlakuan diskriminatif terhadap

permasalahan karena status seorang anak di muka hukum


menjadi tidak jelas dan sah.
3. Singkatnya menurut pemohon,

ketentuan

quo

telah

menimbulkan perlakuan yang tidak sama di hadapan hukum


serta menciptakan perlakuan yang bersifat diskriminatif, karena
itu menurut para

pemohon

ketentuan a quo

dianggap

bertentangan dengan ketentuan Pasal 28 B ayat (1) dan (2)


serta Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945.

B. PERATURAN TERKAIT
1. Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 2 ayat
(1)

menyatakan bahwa Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan

menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

Perkawinan tidak tercatat secara agama adalah sah secara agama


dengan memenuhi syarat dan rukun perkawinan, akan tetapi menurut
hukum positif dianggap tidak sah karena tidak diakui negara hal ini
berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 pasal 2
ayat (2) yaitu Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangundangan yang berlaku.

2. Anak sah diatur dalam Undang-undang Dasar Negara RI Tahun 1945,


pada Pasal 28-B ayat (1), yaitu " Setiap orang berhak membentuk keluarga
dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah "
3. Sedangkan Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 menyatakan Setiap anak
berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak
atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
4. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyatakan Setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum.

5. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pada Pasal 42


mengenai anak sah yaitu " Anak sah adalah anak yang lahir dalam atau
sebagai akibat perkawinan yang sah ".

6. Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 43 ayat (1)


menyatakan, Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai
hubungan perdata dengan Ibunya dan keluarga Ibunya.

C. TINJAUAN TEORI
Menurut Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan yang mulai berlaku pada tanggal 2 Januari 1974 tetapi berlaku
efektif baru pada tanggal 1 Oktober 1975, merumuskan pengertian
perkawinan dalam Pasal 1 sebagai berikut: Perkawinan ialah ikatan lahir
batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Syarat syarat sahnya perkawinan menurut Undang Undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dibedakan menjadi 2, yaitu:

1.

Syarat intern
Syarat material yang harus dipenuhi orang orang yang akan
menikah. Syarat ini dibedakan menjadi dua, yaitu absolut dan
relatif.
- Syarat intern absolut :
a. Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria
hanya boleh mempunyai seorang istri dan seorang

wanita

hanya

boleh

mempunyai

seorang

suami.

Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami


untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh
pihak pihak yang bersangkutan (Pasal 3 Undang
Undang Perkawinan)
b. Perkawinan harus didasarkan atas perjanjian kedua
calon mempelai. Untuk melangsungkan perkawinan
seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu)
tahun harus mendapat izin kedua orang tua. Ketentuan
ini berlaku sepanjang hukum masing masing agamanya
dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak
menentukan lain (Pasal 6 Undang Undang Perkawinan)
c. Perkawinan hanya diizinkan jika para pihak pria sudah
mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak
wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun).
Dalam hal ada penyimpangan terhadap ketentuan itu,
maka dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau
pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria
maupun pihak wanita (Pasal 7 Undang Undang
Perkawinan).
d. Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku
jangka waktu tunggu (Pasal 11 Undang Undang
Perkawinan). Waktu tunggu bagi seorang janda sebagai
yang dimaksud Pasal 11 Undang Undang Perkawinan
ditentukan sebagai berikut:
Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu
tunggu ditetapkan 130 (serats tiga puluh) hari.
Apabila perkawinan putus karena perceraian,
waktu tunggu bagi yang masih berdatang bulan
ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang
kurangnya 90 (sembilan puluh) hari dan bagi yang
tidak berdatang bulan ditetapkan 90 (sembilan
puluh) hari
Apabila perkawinan putus pada waktu janda
tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu

ditetapkan sampai melahirkan. Tidak ada waktu


tunggu bagi janda yang putus perkawinannya
karena perceraian, apabila antara janda tersebut
dengan bekas suaminya belum terjadi hubungan
kelamin.
Apabila perkawinan putus karena perceraian,
tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya
putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan
hukum tetap, sedangkan bagi perkawinan yang
putus karena kematian, tenggang waktu tunggu
dihitung sejak kematian suami (Pasal 39 PP No.
9/1975)
- Syarat intern relatif
a) Perkawinan dilarang antara dua orang yang:
Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke

bawah atau pun ke atas


Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping
yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara

orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya


Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu

dan ibu / bapak tiri


Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak

susuan, saudara susuan, dan bibi / paman susuan


Berhubungan saudara dengan istri atau dengan sebagai
bibi atau kemenakan dari istri, dalam hal seorang suami

beristri lebih dari seorang


Mempunyai hubungan yang

oleh

agamanya

atau

peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin (Pasal 8


Undang Undang Perkawinan)
b) Seseorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang
lain, tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal Pengadilan
memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari
seorang

apabila

dikehendaki

oleh

pihak

pihak

yang

bersangkutan (Pasal 9 Undang Undang Perkawinan)


c) Apabila suami dan istri yang telah cerai, melangsungkan
perkawinan lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk

kedua

kalinya,

maka

di

antara

mereka

tidak

boleh

dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing


masing

agamanya

dan

kepercayaannya

itu

dari

yang

bersangkutan tidak menentukan lain (Pasal 10 Undang


Undang Perkawinan)
2. Syarat ekstern
Syarat formal

yang

harus

dipenuhi

sebelum

melangsungkan

perkawinan dan pada saat melangsungkan perkawinan. Syarat ini


diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan

Undang

Undang

Nomor Tahun

1974

tentang

Perkawinan, yaitu sebagai berikut :


a. Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan
memberitahukan kehedndaknya itu kepada Pegawai
Pencatat di tempat perkawinan dilangsungkan, sekurang
kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan
dilangsungkan. Pengecualian terhadap jangka waktu
tersebut, disebabkan sesuatu alasan yang penting,
diberikan oleh Camat atas nama Kepala Daerah (Pasal 3
PP Nomor 9 Tahun 1975)
b. Pemberitahuan dilakukan secara lisan atau tertulis oleh
calon mempelai, atau oleh orang tua atu wakilnya (Pasal
4 PP Nomor 9 Tahun 1975)
c. Pemberitahuan memuat nama,
kepercayaan,

pekerjaan,

tempat

umur,

agama

kediaman

calon

mempelai dan apabila salah seorang atau keduanya


pernah kawin, disebutkan juga nama istri atau suami
tedahulu (Pasal 5 PP Nomor 9 Tahun 1975)
d. Setelah dipenuhi tata cara dan syarat
pemberitahuan
perkawinan,

serta
Pegawai

pengumuman
melangsungkan
formulir

yang

tidak

ada

Pencatat

tentang

sesuatu

menyelenggarakan

dengan
pada

syarat

halangan

pemberitahuan

perkawinan
ditetapkan

kehendak

cara

kantor

mengisi

Pencatatan

Perkawinan pada suatu tempat yang sudah ditentukan

dan mudah dibaca oleh umum (Pasal 8 PP Nomor 9


Tahun 1975)
e. Pengumuman ditandatangani oleh Pegawai Pencatat dan
memuat :
1) Nama, umur, agama / kepercayaan, tempat kediaman
dari calon mempelai dan dari orang tua calon
mempelai, apabila salah seorang atau keduanya
pernah kawin disebutkan nama istri dan atau suami
mereka terdahulu
2) Hari, tanggal, jam dan tempat perkawinan akan
dilangsungkan (Pasal 9 PP Nomor 9 Tahun 1975)
f. Perkawinan dilangsungkan setelah hari ke sepuluh, sejak
pengumuman

kehendak

perkawinan

oleh

Pegawai

Pencatat. Tata cara perkawinan dilakukan menurut


hukum masing masing agamanya dan kepercayaannya
itu..
Dengan mengindahkan tata cara perkawinan menurut
masing masing hukum agamanya dan kepercayaannya
itu, perkawinan dilaksanakan di hadapan Pengawai
Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi (Pasal 10 PP
Nomor 9 Tahun 1975)
g. Sesaat sesudah dilangsungkannya perkawinan, kedua
mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah
disiapkan oleh Pegawai Pencatat berdasarkan ketentuan
yang berlaku (Pasal 11 PP Nomor 9 Tahun 1975)
Akibat hukum dari perkawinan menurut Undang Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan:
1. Terhadap Hubungan Suami Istri
1. Pasal 31 Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974
1) Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan
kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan
pergaulan hidup bersama dalam masyarakat
2) Masing masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan
hukum
3) Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga
2. Pasal 32 Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974

1) Suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tepat


2) Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1)
pasal ini ditentukan oleh suami istri
3. Pasal 33 Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974; suami istri
wajib cinta mencintai, hormat menghormati, setia, dan memberi
bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain
2. Terhadap Harta Kekayaan
1. Pasal 35 Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974
1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi
harta bersama
2) Harta bawaan dari masing masing suami dan istri dan
harta benda yang diperoleh masing masing sebagai hadiah
atau warisan adalah di bawah penguasaan masing masing
sepanjang para pihak tidak menentukan lain
2. Pasal 36 Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974
1) Mengenai harta bersama, suami atau istri dapat bertindak
atas persetujuan kedua belah pihak
2) Mengenai harta bawaan masing masing, suami dan istri
mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan
hukum mengenai harta bendanya
3. Pasal 37 Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974
Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur
menurut hukumnya masing masing
4. Pasal 65 Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 menentukan:
a) Suami istri wajib memberikan jaminan hidup yang sama
kepada semua istri dan anaknya
b) Istri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas
harta bersama yang telah ada sebelum perkawinan dengan
istri kedua atau berikutnya itu terjadi, dan
c) Semua istri mempunyai hak yang sama atas harta bersama
yang terjadi sejak perkawinan masing masing.
3. Terhadap Kedudukan Anak
1. Pasal 42 Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974

Anak yang sah adalah anak yang lahir dalam atau sebagai
akibat perkawinan yang sah
2. Pasal 43 Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974
1) Anak yang dilahirkan di luar perkawinan

hanya

mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan


keluarga ibunya
2) Kedudukan anak tersebut dalam ayat (1) di atas selanjutnya
akan diatur dalam Peraturan Pemerintah
(Pasal 43 ayat (1) Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan memperluas rumusan pasal tersebut
sehingga maksud dari pasal tersebut adalah: anak yang
dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki laki
sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu
pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut
hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan
perdata dengan keluarga ayahnya. Hal ini disahkan oleh
Mahkamah Konstitusi tertanggal 17 Februari 2012 melalui
Putusan No. 46/PUU-VIII/2010)
3. Pasal 44 Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974
1) Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang
dilahirkan oleh istrinya bilamana ia dapat membuktikan
bahwa istrinya telah berzina dan anak itu akibat dari
perzinaan tersebut
2) Pengadilan memberikan

keputusan

tentang

sah

atau

tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan.

D. ANALISISPUTUSAN
46/PUU-VIII/2010

MAHKAMAH

KONSTITUSI

(MK)

No.

Alasan-alasan Uji Permohonan materil UU Perkawinan dikarenakan bahwa


pemohon

merupakan

pihak

yang

secara

langsung

merasakan

hak

konstitusiaonalnya dirugikan dengan diundangkannya UU Perkawinan terutama


terkait dengan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) dan pasal 43 ayat (1), yang
mana pasal tersebut justru menimbulkan ketidakpastian bagi pemohon terkait
status perkawinan dan status hukum anaknya yang dihasilkan dari perkawinan.
Hak konstitusional pemohon yang dilanggar dan merugikan tersebut
sebenarnya telah dijain dalam pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945.
Berdasarkan ,norma hukum

perkawinan tersebut tidak sah karena

menurut

undang-undang perkawinan maka sebuah perkawinan harus dicatat menurut


peraturan perundang-undangan yang berlaku mengakibatkan perkawinan yang
sah dan sesuai degan rukun islam (norma aagama) menjadi tidak sah menurut
norma hukum. Hal ini berdampak terhadap status anak dari si pemohon karena
ikut menjadi tidak sah menurut norma hukum dalam UU Perkawinan. Menurut
ketentuan Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) dert pasal 28D ayat (1) UUD 45 adalah
setiap orang memiliki kedudukan dan hak yang sama termasuk haknya untuk
mendapatkan pengesahan atas pernikahan dan status hukum anaknya.
Sebagaimana dalam UUD 1945 yang terkait HAM itu menjadi senjata pemohon
bahwa sang anak memiliki hak konstitusional untuk mendapatkan pengesahan
atas pernikahan dan status hokum anaknya. Lebih jelas pula bahwa hak si
pemohon telah dicederai dengan adanya UU perkawinan. Karena lebih lanjut
juga sipemohon telah sah pernikahannya walaupun hanya sah secara
agama. Merujuk ke norma konstitusional yang termaktub dalam pasal 28B ayat
(1) UUD 1945 maka perkawinan pemohon yang dilangsungkan sesuai dengan
rukun nikah adalah sah tetapi terhalang oleh pasal 2 ayat (2) UU perkawinan.
Dengan demikian pihak pemohon secara obyektif mengalami kerugian materi
yaitu pemohon harus menanggung biaya untuk kehidupan pemohon dan anak
dari pemohon. Penyebab adanya UU Perkawinan mengakibatkan pemohon tidak
bisa menuntut hak atas kewajiban suami memberi nafkah lahir dan batin serta
biaya untuk mengasuh dan memelihara anak.
Menurut Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012,
menyatakan, bahwa Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor

1, Tambahan Lembaran Negara RI. No. 3019) yang menyatakan, " Anak yang
dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dimaknai menghilangkan
hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu
pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata
mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya .
Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan, " Anak
yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya", tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang
dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat
dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain
menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya,
sehingga ayat tersebut harus dibaca, "Anak yang dilahirkan di luar perkawinan
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan
laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan
dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan
darah termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya ". Penggalan
kalimat tersebut telah diubah oleh Mahkaman Konstitusi karena memang
pengggalan kalimat pertama tidak empunyai kekuatan hukum. Mahkamah
konstitusi menganggap pihak laki-laki tidak lepas dari hubungan perdata selama
berdasarkakn ilmu pengetahuan dan teknologi atau alat bukti lain bahwa si anak
mempunyai hubungan dengan si laki-laki atau ayahnya.
Dalam pasal-pasal UUD 45 yang disebutkan diatas sebenarnya tidak ada
perlakuan diskriminasi dalam penerpan norma hukum terhadap setiap orang
dikarenakan cara pernikahan yang ditempuhnya berbeda dan anak yang
dilahirkan dari pernikahan tersebut adalah sah dihadapan hukum setra tidak
diperlakukan berbeda. Akan tetapi dalam prakteknya justru norma agama telah
diabaikan oleh kepentingan memaksa dari norma hukum. Perkawinan pemohon
menurut rukun nikah dan norma agama islam adalah sah, tetapi tidak menjadi
sah karena tidak tercatat menurut pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan yang mana

akibatnya pemberlakuan norma hukum berdampak terhadap norma agama pada


status anak yang dilahirkan dari perkawinan pemohon menjadi anak diluar nikah.
Sebab apabila dilihat dari pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan jelas bahwa
perkawianan yang sah dicacat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan berdasarkan pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan bahwa anak yang
lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya.
Yang menjadi permasalahan adalah anak tersebut lahir berdasarkan perkawinan
yang sah sebagaimana diatur dalam pasa 42 UU Perkawinan bahwa Anak sah
adalah anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah, akan
tetapi tidak dicatat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
sesuai dengan ketentuan pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan sehingga seolah-olah
perkawinan tersebut tidak dianggap sah dan anak yang dilahirkan dari perkawian
tersebut dianggap anak luar kawin padahal menurut norma agama dan rukun
islam perkawinan tersebut telah memenuhi syarat dianggap sahnya suatu
perkawinan walaupun tidak dicatatkan di kantor pegawai pencatatan nikah.
Dampak positif dari putusan tersebut kepada pelaku nikah siri dari kasus
tersebut adalah hak untuk mewaris, sedangkan sisi buruknya adalah bisa
merusak tatanan hukum yang telah lama dilaksanakan sehingga negatifnya
putusan Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 dinilai melanggar ajaran Islam
dan tatanan hukum islam. Hukum islam menyatakan bahwa, status anak diluar
nikah disamakan statusnya dengan anak zina dan anak lian, oleh karena itu
maka mempunyai akibat hukum sebagai berikut: (1)tidak ada hubungan nasab
dengan bapaknya. Anak itu hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya.
Bapaknya tidak wajib memebrikan nafkah kepada anak itu, namun secara
biologis ia tetap anaknya. Jadi hubungan yang timbul hanyalah secara
manusiawi, bukan secara hukum. (2) tidak ada saling mewaris dengan bapaknya,
karena hubungan nasab merupakan salah satu penyebab kewarisan. (3) bapak
tidak dapat menjadi wali bagi anak diluar nikah. Apabila anak diluar nikah itu
kebetulan seorang perempuan dan sudah dewasa lalu akan menikah, maka ia
tidak berhak dinikahkan oleh bapak biologisnya
Sebenarnya perkawinan pemohon tersebut adalah perkawinan siri yang mana
hanya berdasarkan ketentuan rukun islam dan syarat-syarat menikah sesuai
syariat islam tetapi bukan berdasarkan norma hukum positif yang berlaku dan

seharusnya akibat hukumnya terhadap anak yang dilahirkan bukanlah sebagai


anak luar kawin tetapi melainkan anak sah dari perkawinan yang sah. Hal ini
berbeda dengan anak luar kawin dari hubungan perzinahan baik zinah dalam
perkawinan maupun zinah dalam arti kata tidak dalam suatu hubungan
perkawinan.Dengan demikian substansi dari putusan Mahkamah Konstitusi No.
46/PUU-VIII/2010 bukan bermaksud memberikan peluang bagi seseorang untuk
melakukan perzinahan lalu dengan mudah mereka mensahkan anak yang
dilahirkan akibat zina dengan rujukan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut,
tetapi Mahkamah Konstitusi di samping ingin mewujudkan keadilan hukum juga
ingin melindungi hak-hak anak untuk mendapatkan persamaan dengan anakanak yang lainnya hingga tidaklah muncul sebuah diskriminasi.

E. KESIMPULAN
Setelah kita menganalisis putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUUVIII/2010 ada beberapa kesimpulan yang dapat penulis ambil, yaitu:
a) Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17
Februari 2012, memberikan pengakuan terhadap anak luar nikah. Anak
luar nikah tidak lagi hanya memiliki keperdataan dengan ibunya tetapi juga
dengan ayah biologisnya. Melalui pembuktian yang didukung oleh ilmu
pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum
mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan
keluarga ayahnya.
b) Putusan MK nampaknya belum bisa secara maksimal memberikan jalan
keluar bagi permasalahan anak luar nikah, karena putusan ini masih
bersifat global dilihat dari kegunaanya yaitu masih menyamakan anak luar
nikah akibat nikah siri yang sah menurut agama dengan anak luar nikah
akibat zina yang jelas-jelas dilarang menurut agama Islam.
c) Bahwa putusan MK tersebut guna memberikan rasa keadilan bagi anak
yang di dalam hukum harus melindungi hak-hak anak, Baik itu hak untuk
hidup atau hak untuk mendapatkan pengakuan atas eksistensinya dimuka
bumi. Kesalahan orangtuanya tidak bisa membuat dia menjadi berbeda,
karena anak luar nikah hanya menjadi korban.

Anda mungkin juga menyukai