Disusun
oleh :
PROGRAM PASCASARJANA
MAGISTER HUKUM LITIGASI
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Tujuan perkawinan pada umumnya adalah untuk membina rumah tangga yang
bahagia, sejahtera, dan sampai maut memisahkan. Akan tetapi, proses kehidupan
yang terjadi terkadang tak jarang tidak sesuai dengan apa yang diimpikan. Hambatan
serta rintangannya pun bermacam-macam dan datang dari segala asumsi yang tidak
dapat dibendung. Apabila dalam perkawinan itu, sepasang suami dan istri tidak kuat
dalam menghadapinya, maka biasanya jalan ditempuh adalah perpisahan yang secara
hukum dikenal dengan perceraian.
Tetapi, tidak selamanya masalah yang datang akan mengakibatkan perceraian.
Karena kematian pun secara otomatis akan melekatkan status cerai pada suami atau
istri yang ditinggalkan. Selain itu, keputusan hakim juga berpengaruh dalam
penentuan status. Apabila hakim tidak menghendaki atau tidak memutus cerai maka
pernikahan tersebut tidak bisa dikatakan telah bubar.
Permasalahannya adalah setiap perceraian atau status cerai yang diinginkan dapat
tercapai apabila dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang ada. Seperti, syarat
bagaimana suatu hubungan diperbolehkan untuk bercerai, alasan-alasan yang
diajukan memenuhi atau tidak, tata cara yang dilalui telah sesuai atau tidak, hal ini
sangat penting untuk diperhatikan. Karena, apabila tidak memenuhi hal-hal tersebut,
maka akan menimbulkan kerugian bahwasannya hubungan pernikahan dianggap
B. Rumusan Masalah
1. Apa akibatnya jika melakukan suatu perceraian ?
2. Bagaimana cara pencegahan perceraian dalam aspek hukum perdata ?
BAB II
PEMBAHASAN
sah. Tetapi, para ulama jumhur berpendapat pula bahwa sekalipun hak talak secara
mutlak ada pada suami, islam juga memberi hak bagi istri untuk menuntut cerai
melalui khulu terhadap suami yang telah keluar dari tabiatnya.
Memberikan hak talak kepada suami adalah ketentuan dari al-Quran. Dalam
membicarakan hak mutlak talak, para ulama hampir selalu membicarakan masalah
hak-hak seorang istri apabila ditalak oleh suaminya. Tetapi, dalam hal ini para ulama
kita sekarang cenderung hanya mensosialisasikan kepada umat melalui dakwah dan
khutbahnya mengenai hak otoriter suami untuk menjatuhkan talak terhadap istrinya.
Akibatnya, kita dapat menyaksikan bahwa banyak suami dengan amat mudah dan
tanpa beban menjatuhkan talak terhadap istrinya sesukanya tanpa memperhatikan
kewajibannya terhadap istrinya sebagai akibat talak yang ia jatuhkan.
Peraturan
perundang-undangan
tentang
perkawinan
di
indonesia
juga
memberkan hak mutlak kepada seorang suami untuk mentalak istrinya, tetapi dengan
ketentuan :
a.
b.
c.
harus dilakukan di depan sidang pengadilan, dan tidak diakui perceraian yang
dilakukan di luar pengadilan? Dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama dijelaskan bahwa Undang-Undang Perkawinan
bertujuan antara lain untuk melindungi kaum wanita pada umumnya dan pihak istri
pada khususnya. Di samping itu secara yuridis undang-undang tersebut bertujuan
adalah untuk mendapatkan suatu kepastian hukum.
Suatu perceraian yang dilakukan di luar pengadilan, sama halnya dengan suatu
perkawinan yang dilakukan dengan tidak mencatatkannya. Ia tidak diakui oleh
hukum dan, oleh karenanya, tidak dilindungi hukum. Lebih tegas lagi dapat dikatakan
bahwa perceraian yang dilakukan diluar pengadilan tidak mempunyai kekuatan
hukum (no legal force). Oleh karena itu, hukum menganggapnya tidak pernah ada
(never existed). Suatu perceraian yang dilakukan di luar pengadilan akan
menimbulkan kesukaran bagi si istri atau bahkan si suami. Hal itu karena hampir
dapat dipastikan bahwa dalam setiap talak yang dijatuhkan oleh suami terhadap
istrinya di luar pengadilan, si suami tidak pernah memperhitungkan hak-hak istri
sebagai akibat dari perceraian tersebut, semisal nafkah iddah, nafkah madiyah,
mutah, dan pembagian harta bersama. Selain dari itu, tidak ada suatu penilaian
tentang apakah talak yang dijatuhkan oleh suami itu benar-benar didasarkan kepada
suatu alasan yang dibenarkan oleh agama, yang intinya adalah karena suatu kesalahan
dari pihak istri.
Salah satu prinsip Undang-Undang Perkawinan adalah mempersulit terjadinya
perceraian. Seorang suami yang diberi hak mutlak untuk mentalak istrinya tidak
semena-mena dapat menggunakan haknya. Hak seorang suami untuk mentalak
istrinya dapat terjadi bilamana didasarkan kepada alasan-alasan perceraian
sebagaimana diatur dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 jo Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam.
Kalau diperhatikan ketentuan Pasal 66 dst. Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 dan Pasal 14 dst. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 serta ketentuan
perundang-undangan lainnya tentang pemeriksaan perkara perceraian di persidangan,
bahwa suatu perceraian, apakah cerai talak (suami yang mengajukan permohonan)
atau gugat cerai (istri yang mengajukan gugatan), gugatan atau permohonannya harus
perkawinan putus karena apa. Karena itu perkawinan putus mungkin karena salah
satu pihak meninggal dunia, mungkin pula karena perceraian. Akan tetapi pasal 37
mengaitkan putusnya perkawinan itu karena perceraian yakni apabila perkawinan
putus karena perceraian harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.
Yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing menurut penjelasan pasal 37 ini
ialah hukum agama, hukum adat dan hukum lainnya. Apa yang dimaksud dengan
hukumnya masing-masing pada penjelasan pasal 35 adalah sama dengan pasal 37.
b. Akibat terhadap anak yang masih dibawah umur.
Akibat terhadap anak yang masih dibawah umur ada dua, yakni :
1). Perwalian
Masalah perwalian diatur dalam pasal 220 dan pasal 230. Dengan bubarnya
perkawinan maka hilanglah kekuasaan orang tua, terhadap anak-anak dan
kekuasaan ini diganti dengan suatu perwalian. Mengenai perwalian ini ada
ketentuan-ketentuan seperti berikut :
a). Setelah oleh hakim dijatuhkan putusan di dalam hal perceraian, hakim
harus memanggil bekas suami istri dan semua keluarga sedarah dan semenda dari
anak-anak yang belum dewasa untuk didengar tentang pengangkatan seorang
wali. Hakim kemudian menetapkan untuk tiap anak, siapa dari antara dua orang
tua itu yang harus menjadi wali. Hakim hanya dapat menetapkan salah satu dari
orang tua. Siapa yang ditetapkan itu terserah kepada hakim sendiri.
b). Jika setelah perceraian mempunyai kekuatan mutlak, terjadi sesuatu hal
yang penting, maka atas permintaan bekas suami atau istri, penetapan
pengangkatan wali dapat diubah oleh hakim.
2). Keuntungan yang ditetapkan menurut UU atau menurut perjanjian
perkawinan.
golongan primair (primery group), dimana obyek hubungan pergaulan manusia itu
adalah pribadi manusia lainnya. Pribadi bukan sebagai lantaran (alat), akan tetapi
tujuan dari pergaulan manusia itu. Berdeda halnya dengan bentuk-bentuk pergaulan
yang bersifat sekundair (secondery group) dimana manusia pribadi atau orangnya
sebagai alat belaka, sedangkan tujuannya adalah hal lain dari orangnya, terutama
benda, kedudukan dan sebagainya bersifat kebendaan sebagaimana terlihat dalam
bentuk hubungan jual-beli, tukar menukar, kerjasama dalam perkumpulanperkumpulan usaha seperti perusahaan terbatas dan lain-lainnya. Oleh karenanya
perkawinan, mempunyai peranan penting dalam lalu lintas hukum perdata, akan lebih
ditinjau dalam pokok tulisan ini. Disini, khusus dilihat dari segi hukum
ketatanegaraan, dimana negara dilihat sebagai organisasi manusia yang kompleks
untuk mencapai tujuan kemanusiaan yang lebih sempurna. Di negara-negara yang
menghargai pribadi (individu) manusia, kebebasan menyusun keluarga dengan
perkawinan termasuk hak-hak asasi manusia. Pasal 16 dari Pernyataan Hak-Hak
Asasi Manusia menegaskan asas itu, yang pada ayat (3)-nya menyatakan, bahwa
keluarga itu adalah sebagai kelompok dasar masyarakat, yang alamiah dan berhak
mendapat perlindungan dari masyarakat dan negara. Dengan demikian, terlepas dari
filsafat dan sistim sosial yang dianut suatu negara, sepanjang negara itu adalah
anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa, berkewajiban melindungi keluarga.
Perkawinan dan keluarga mempunyai akibat (hukum) terhadap kewarganegaraan seseorang. Lazimnya istri mengikuti kewarganegaraan suami. Di negaranegara barat dan negara maju lainnya, perbedaan Agama tidak merupakan halangan
perkawinan dan tidak mempunyai akibat terhadap kewarga-negaraan, sepanjang
suami
istri
itu
tidak
berbeda
kewarga-negaraan.
Dalam
Undang-Undang
ditinjau dalam tulisan ini baik mengenai tatacara perkawinannya maupun akibatakibat hukum lainnya.
Dalam susunan kemasyarakatan yang parental menurut hukum Adat Indonesia,
keluarga merupakan landasan kesatuan masyarakat Adat yang pada akhirnya
merupakan penunjang bagi organisasi kenegaraan. Kiranya perlu perhatian terhadap
pengertian keluarga pada masyarakat hukum adat unilateral, baik yang patrilinial
maupun yang matrilinial yang terdapat di indonesia hingga sekarang. Bila dalam
masyarakat parental (bilateral) arti keluarga terbatas pada suami, istri dan anakanaknya, sedangkan dalam masyarakat yang unilateral keluarga dapat (lazim) berarti
suku (marga) baik berdasar garis keturunan laki-laki (patrilinial) maupun menurut
garis keturunan ibu (matrilinial) yang dalam undang-undang perkawinan dan
peraturan pelaksanaannya keluarga arti yang mana tidak dijelaskan.
Terlepas dari pengertian keluarga menurut sistim hukum Adat yang unilateralimplicit kiranya yang dimaksudkan UUP adalah keluarga dalam arti gezin atau
family, mengingat harus dikaitkannya dengan perkawinan, keluarga sedemikian
dalam negara Pancasila yang menghormati Agama dan pribadi manusia, mempunyai
kedudukan sebagai landasan dari pelbagai organisasi manusia termasuk negara
(Republik Indonesia)4.
1. Arti Penting Pencegahan Perkawinan dan Beberapa Masalahnya
Sebagai lembaga hukum, pencegahan perkawinan terutama bagi umat Islam
Indonesia merupakan hal yang baru, namun hal itu bermanfaat dalam menegakan
hukum. Apalagi mengingat ada beberapa ketentuan yang merupakan unsur
pembaharuan/perbaikan sosial yang dibawa oleh UUP ini. Pembaharuan yang
dimaksud antara lain, ialah membasmi perkawinan dibawah umur, membasmi
Saidus Syahar, 1981, Undang-Undang Perkawinan dan Masalah
Pelaksanaannya, Bandung: Penerbit Alumni, hal 4-7.
4
perkawinan paksa atau tanpa persetujuan pihak-pihak yang menikah itu sendiri,
pembatasan dan pengawasan poligami dan pembatasan serta pengawasan perceraian
dan sebagainya.
Disamping itu terdapat kenyataan, bahwa dalam hukum islam terdapat syaratsyarat termasuk rukun serta larangan-larangan perkawinan yang berlaku sebagai
hukum positif berdasar undang-undang perkawinan ini yang harus ditegakkan. Untuk
menegakkan ketentuan-ketentuan baik yang merupakan unsur-unsur pembaharuan
hukum untuk perbaikan sosial maupun untuk menegakkan syarat-syarat dan
larangan-larangan
perkawinan
itu, diperlukan
adanya
lembaga
pencegahan
perkawinan.
Pada paragraf-paragraf diatas sudah disinggung pula, bahwa terhadap unsurunsur pembaharuan/perbaikan sosial yang terdapat dalam UUP itu, ketentuannya
tidak dapat disimpangi, katakanlah merupakan hukum memaksa (dwinged recht).
Dengan perkataan berlakunya hukum agama dan kepercayaannya masing-masing
yang lama seperti ditentukan oleh beberapa pasal misalnya pasal 16 ayat 6, pasal 8
sub f UUP dan sebagainya, yang hakekatnya mengembalikan keaneka-ragaman
hukum pada beberapa bidang tertentu, namun terhadap ketentuan yang merupakan
esensi, pembaharuan dan perbaikan sosial yang telah disepakati itu, harus ada sikap
dan tindakan hukum yang seragam. Dalam rangka inilah dapat dilihat antara lain arti
pentingnya lembaga pencegahan perkawinan ini. Akan tetapi, selain dari itu penulis
sependapat pula dengan penulis-penulis lain, bahwa dalam undang-undang termasuk
penjelasannya dan Peraturan perundang-undangan pelaksanaannya (PP No.9/1975)
disayangkan tidak menjelaskan dan tidak menentukan pelaksanaannya.
Didalam UUP antara lain terlihat lagi kekurangan koneksitas antara subjek yang
berwenang mencegah perkawinan dengan objek atau perkawinan yang bagaimana
yang dapat dicegah; pula tidak menampung semua ketentuan tentang syarat-syarat
termasuk larangan perkawinan yang ditentukan undang-undang; akhirnya pula
undang-undang tidak membatasi hak dan wewenang pencegahan perkawinan, seperti
halnya terdapat dalam K.U.H.Pa., sehingga yang berhak mencegah perkawinan itu
tidak akan sewenang-wenang menggunakan haknya itu tanpa memikirkan kerugian
bagi yang berkepentingan.
Pasal 16 ayat 2 UUP menentukan akan diadakan peraturan perundang-undangan
untuk mengatur lebih lanjut mengenai pejabat yang ditunjuk yang juga berwenang
mencegah perkawinan. Apakah dengan demikian berarti, bahwa jawatan kejaksaan
tidak berwenang mencegah perkawinan yang melanggar asas-asas yang merupakan
unsur perbaikan sosial yang dengan dicantumkannya dalam suatu undang-undang ini
tentunya sudah merupakan ketertiban umum negara R.I. Ini ?
Kiranya sebelum pejabat yang dimaksud oleh pasal 16 itu belum ditunjuk, kejaksaan
itu berwenang mencegah perkawinan yang melanggar ketentuan-ketentuan UUP ini.
Pasal 13 UUP, secara umum menentukan, bahwa perkawinan yang dapat dicegah
adalah yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Pasal
21 UUP -yang notabene termasuk bab pencegahan perkawinan- menegaskan bahwa
pejabat pendaftar/pencatat perkawinan harus menolak melangsungkan perkawinan
yang melanggar larangan perkawinan yang sebenarnya telah diperinci oleh pasal 20
sebelumnya dan yang meliputi :
a.
Tidak adanya izin perkawinan bagi yang berumur 21 tahun kebawah (pasal 7
ayat 1);
b.
c.
d.
Melanggar larangan menikah kembali setelah perceraian ketiga kali (pasal 10);
e.
f.
Tentu harus ditambahkan (karena tidak terdapat pada pasal 20 tersebut) yakni
bila suatu perkawinan masih berada dalam proses pencegahan sampai
pencegahan itu cabut (pasal 19).
Penolakan pejabat pendaftaran/pencatatan perkawinan itu, hanya dapat dihapus
oleh keputusan pengadilan dalam acara singkat atau ketetapan pengadilan berdasar
permohonan yang berkepentingan (pasal 3 dan 4 pasal 21). Penolakan pejabat yang
berdasar adanya halangan perkawinan sementara, dengan lenyapnya halangan (nikah)
sementara itu, permohonan perkawinan dapat diajukan lagi (pasal 28 ayat 5 UUP).
Memperhatikan pihak-pihak yang berhak mencegah perkawinan seperti termuat
pada pasal 14, 15 dan 16, yang tidak terdapat pihak ibu yang (pernah) menyusukan
calon-calon mempelai dan segala pihak yang terhadapnya timbul larangan
perkawinan karena hubungan sepersusuan itu sesuai dengan pasal 8 sub d UUP.
Masalah yang tetap rumit, berkenaan dengan pencegahan perkawinan ini, ialah,
penerapannya
terhadap
perkawinan
yang
dilakukan
menurut
agama
dan
kepercayaannya yang tidak terdaftar yang oleh u.u. Dianggap sah itu (pasal 2 ayat 1
UUP).
Dari acara pemajuan pencegahan seperti ditentukan pasal 27 UUP, ternyata
bahwa pencegahan itu dilakukan terhadap perkawinan yang dilangsungkan dimuka
pejabat pendaftaran/pencatatan perkawinan; dan tidak dapat (sulit) diadakan (acara
pencegahan) terhadap perkawinan yang dilangsungkan diluar itu.
Ataukah dapat pula disimpulkan, bahwa ini hanya berlaku bagi golongan yang
tadinya terhadap mereka berlaku ketentuan-ketentuan hukum perkawinan selain islam
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
a.
Keluarga dan perkawinan sangat erat kaitannya, karena keluarga hanya akan lahir
dari suatu perkawinan. Tidak akan ada keluarga, tanpa ada perkawinan dan juga tidak
ada perkawinan yang tidak membentuk keluarga. Keluarga merupakan unit terkecil
dalam bangunan masyarakat.
b. Di dalam keluarga berlaku norma-norma etika, moral, agama, dan hukum.
Keluarga merupakan subsistem dari sistem sosial, yang berinteraksi dengan
subsistem-subsistem dari sistem sosial lain dan dengan ekosistemnya. Norma-norma
yang berlaku dalam keluarga akan mengalami perubahan sebagai akibat perubahan
yang terjadi dalam masyarakat6.
B. Saran
a.
dialami oleh suami-istri. Justru yang lebih parah adalah berdampaknya terhadap
psikologi anak-anak, karena itu sebaiknya perceraian sebisa mungkin dihindari. Jika
memang keputusan cerai yang diambil, sebaiknya pertimbangkan masa depan anak.
Jangan sampai perceraian yang terjadi menjadi neraka bagi anak-anak.
b. Pernikahan adalah suatu peraturan yang ditetapkan oleh Tuhan, Khalik langit dan
bumi, di dalam peraturan suci itu diatur-Nya hubungan pria dan wanita, dan itulah
sebabnya laki-laki meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya,
Abdul Manaf, 2006, Aplikasi Asas Equalitas Hak dan Kedudukan Suami Istri
dalam Penjaminan Harta Bersama pada Putusan Mahkamah Agung, Bandung:
Mandar Maju, hal 172.
6