Anda di halaman 1dari 6

Kasus ini digugat oleh Penggugat karena adanya kejadian longsor di kawasan gunung Mandalawangi

sehingga lingkungan hidup kawasan itu menjadi rusak dan menimbulkan kerugian warga Gunung
Mandalawangi. Penggugat menyatakan bahwa longsor yang menimpa desa mereka berasal dari
wilayah hutan yang berada dalam kekuasaan Perhutani, dan akibatnya mereka meminta agar pihak
Perhutani bertanggung jawab atas strict liability atas kerugian yang terjadi. Pengggugat juga
menggugat Pemerintah agar bertanggungjawab karena telah melakukan perbuatan melawan hukum
dengan melalaikan kewajibannya untuk melakukan pengawasan terhadap kegiatan Perhutani.
Dilihat dari faktor penyebabnya, bentuk kerusakan lingkungan hidup dapat dibedakan menjadi dua
macam, yaitu: kerusakan lingkungan hidup akibat peristiwa alam dan kerusakan lingkungan hidup
akibat faktor manusia.[1] Kami sekelompok berargumen bahwa dalam Kasus Mandalawangi dengan
Putusan No. 1794 K/Pdt/2004 dapat dikategorikan sebagai suatu kejadian yang merupakan bentuk
kerusakan lingkungan hidup akibat faktor manusia karena kejadian ini telah dapat diprediksi
sebelumnya oleh para tergugat namun mereka tetap tidak menjalankan prinsip kehati-hatian
(Precautionary Principle) untuk mencegah terjadinya longsor.
The precautionary principle atau yang biasa disebut dengan prinsip kehati-hatian adalah salah satu
prinsip hukum lingkungan yang dipakai saat ada ancaman yang serius tanpa diharuskan ada bukti
yang cukup. Sehingga kurangnya bukti/kepastian ilmiah tidak bisa dijadikan alasan untuk menunda
dilakukannya tindakan pencegahan. Hal ini dapat digunakan untuk memutuskan apa yang
seharusnya diperbolehkan untuk terjadi di masa depan. Pelanggaran terhadap prinsip kehati-hatian
melahirkan suatu tanggung jawab mutlak kepada aparat tergugat tanpa bergantung pada ada
tidaknya pembuktian dari para tergugat. [2]
Tergugat dalam hal ini mendalilkan bahwa kejadian longsor di Gunung Mandalawangi merupakan
kerusakan lingkungan hidup yang terjadi akibat bencana alam, berupa curah hujan diatas normal.
Namun kami sekelompok tidak sependapat dengan Tergugat, kami mengategorikan kasus ini sebagai
suatu kejadian yang merupakan bentuk kerusakan lingkungan hidup akibat faktor manusia karena
kejadian ini telah dapat diprediksi sebelumnya oleh para tergugat namun mereka tetap tidak
menjalankan prinsip kehati-hatian untuk mencegah terjadinya longsor. Dalil Tergugat tidak
memenuhi syarat karena para tergugat yang telah mengetahui titik rawan longsor dan kemungkinan
terjadi longsor tidak menerapkan prinsip kehati-hatian (precautionary principle) sebelum kejadian
longsor terjadi.
Tergugat terkait dengan Precautionary Principle terlihat Tergugat I tidak menerapkan prinsip
tersebut karena walaupun telah ada bukti yang pasti dari hasil temuan yang menunjukkan bahwa
terdapat beberapa titik rawan longsor, namun tetap tidak menanganinya secara khusus sehingga
terlihat tidak ada upaya pencegahan yang disebabkan oleh Tergugat I. Prinsip ini walaupun dalam
eksepsi dan memori kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi I dahulu Tergugat I didalilkan bahwa
belum berlaku sebagai hukum positif di Indonesia tetapi Precautionary Principle ini telah dipandang
sebagai ius cogen yaitu sebagai suatu norma yang diterima dan diakui oleh masyarakat Internasional
secara keseluruhan serta sebagai norma yang tidak dapat dilanggar dan hanya dapat diubah oleh
suatu norma hukum dasar Internasional umum yang baru yang mempunyai sifat yang sama
Hakim dalam mengadili kasus ini merujuk pada asas kehati-hatian sebagaimana dirumuskan dalam
prinsip ke-15 Deklarasi Rio. Walaupun asas kehati-hatian belum dimasukkan ke dalam sistem hukum
Indonesia, akan tetapi asas ini dapat digunakan oleh Pengadilan sebagai arahan bagi putusan
Pengadilan. Ini termuat dalam pertimbangan hakim dalam Putusan No. 1794 K/Pdt/2004 yang mana

tertulis Majelis Hakim dalam pertimbangan tingkat pertama menyatakan: dalam keadaan
kurangnya ilmu pengetahuan termasuk adanya pertentangan pendapat yang saling mengecualikan
sementara keadaan lingkungan sudah sangat rusak, maka Pengadilan dalam kasus ini harus memilih
dan berpedoman kepada prinsip hukum lingkungan yang dikenal dengan pencegahan dini
Precautionary Principle, Prinsip ke-15 yang terkandung dalam asas Pembangunan Berkelanjutan
pada Konperensi Rio tanggal 12 Juni 1992 (United Nation Conference an Environment and
Development) walauppun prinsip ini belum masuk ke dalam perundang-undangan Indonesia, tetapi
karena Indonesia sebagai anggota dalam konperensi tersebut maka semangat dari prinsip ini dapat
dipedomani dan diperkuat dalam mengisi kekosongan hukum dalam praktek.
Sehingga hakim berpendapat dengan diterapkannya asas kehati-hatian dalam kasus ini, maka
pertanggungjawaban telah bergeser dari pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan (perbuatan
melawan hukum) menjadi pertanggungjawaban tanpa kesalahan (strict liability). Di putusan ini
Mahkamah Agung menolak alasan yang diajukan oleh tergugat karena menurut MA, baik Pengadilan
Negeri maupun Pengadilan Tinggi telah tepat menerapkan strict liability dalam mengadili kasus ini.
Mahkamah Agung berpendapat penyebab dari longsor dan kegiatan pengelolaan hutan oleh
tergugat telah terbukti, dan karena tergugat tidak dapat membuktikan sebaliknya maka tergugat
bertanggungjawab secara mutlak atas kerugian yang terjadi. MA mendukung penerapan asas kehatihatian sebagai dasar penetapan strict liability karena menurut MA, Hakim tidak salah menerapkan
hukum bila ia mengadopsi ketentuan hukum Internasional. Penerapan precautionary principle di
dalam hukum lingkungan hidup hanya untuk mengisi kekosongan hukum. Dan mengenai pendapat
para Pemohon Kasasi (Tergugat) bahwa Pasal 1365 KUHPerdata dapat diterapkan dalam kasus ini
tidak dapat dibenarkan karena penegakkan hukum lingkungan hidup dilakukan dengan standar
hukum internasional yang mana ketentuan hukum Internasional dapat digunakan oleh hakim
nasional apabila telah dipandang sebagai ius cogen.
Di tahun 2005, setelah prinsip kehati-hatian telah diakui melalui putusan pengadilan, melalui PP
No. 21 tahun 2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetika (PRG), prinsip kehati-hatian
masuk ke dalam peraturan perundangan-undangan di Indonesia. Pasal 3 PP No. 21 tahun 2005
menyatakan bahwa ketentuan-kententuan yang diterapkan dalam PP ini menggunakan pendekatan
kehati-hatian guna mencapai keamanan lingkungan. Lebih jauh lagi, Penjelasan dari Pasal 3 ini
menyatakan bahwa asas kehati-hatian diterapkan dalam bentuk adanya kewajiban melakukan
penilaian resiko (risk assessment) dan pengelolaan resiko (risk management) sebelum diizinkannya
penggunaan atau pemanfaatan PRG.[3]
Pengakuan terhadap prinsip kehati-hatian (precautionary principle) adalah sebagai sebuah prinsip
pengelolaan lingkungan secara umum yang tidak hanya terbatas pada persoalan GMOs akhirnya
dimunculkan dalam peraturan perundang-undangan kita melalui Pasal 2f UU No. 32 tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dimana daam pasal itu dinyatakan bahwa
perlindungan dan pengelolaan lingkungan didasarkan, salah satunya, pada asas kehati-hatian. Dalam
Penjelasan Pasal 2f dijelaskan juga yang dimaksud dengan prinsip kehati-hatian adalah bahwa
ketidakpastian mengenai dampak suatu usaha dan/atau kegiatan karena keterbatasan penguasaan
ilmu pengetahuan dan teknologi bukan merupakan alasan untuk menunda langkah-langkah
meminimalisasi atau menghindari ancaman terhadap pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup. bahwa ketidakpastian mengenai dampak suatu usaha dan/atau kegiatan karena keterbatasan
penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi bukan merupakan alasan untuk menunda langkahlangkah meminimalisasi atau menghindari ancaman terhadap pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hiduppenting lagi karena pengadilan juga berani melakukan judicial activism dengan
memberikan penafsiran baru atas asas kehatihatian. Dalam hal ini pengadilan menafsirkan asas

kehati-hatian dengan menghubungkannya dengan pertanggungjawaban perdata. Dalam penafsiran


seperti ini, asas kehati-hatian tidak lagi sekedar berfungsi sebagai tuntunan bagi pengambilan
keputusan, tetapi juga sudah merupakan landasan bagi pertanggungjawaban perdata, sebab apabila
kerugian muncul, maka pelaku usaha/kegiatan akan memikul tanggung jawab tanpa bisa berasalasan
bahwa kerugian yang terjadi tidak bisa diperkirakan. Dengan kata lain, putusan ini mengimplikasikan
bahwa kegagalan menerapkan asas kehatihatian dapat menimbulkan pertanggungjawaban
perdata. Menurut dugaan penulis, ini merupakan putusan pengadilan pertama di dunia yang secara
tegas menghubungkan asas kehati-hatian dengan pertanggungjawaban perdata.[4]
Tergugat dalam hal ini mendalilkan bahwa kejadian longsor di Gunung Mandalawangi merupakan
kerusakan lingkungan hidup yang terjadi akibat bencana alam, berupa curah hujan diatas normal.
Namun kami sekelompok tidak sependapat dengan Tergugat, kami berargumen bahwa dalam Kasus
Mandalawangi dengan Putusan No. 1794 K/Pdt/2004 dapat dikategorikan sebagai suatu kejadian
yang merupakan bentuk kerusakan lingkungan hidup akibat faktor manusia karena kejadian ini telah
dapat diprediksi sebelumnya oleh para tergugat namun mereka tetap tidak menjalankan prinsip
kehati-hatian untuk mencegah terjadinya longsor. Dalil Tergugat tidak memenuhi syarat karena para
tergugat yang telah mengetahui titik rawan longsor dan kemungkinan terjadi longsor tidak
menerapkan prinsip kehati-hatian (precautionary principle) sebelum kejadian longsor terjadi.
Tergugat terkait dengan Precautionary Principle terlihat Tergugat I tidak menerapkan prinsip
tersebut karena walaupun telah ada bukti yang pasti dari hasil temuan yang menunjukkan bahwa
terdapat beberapa titik rawan longsor, namun tetap tidak menanganinya secara khusus sehingga
terlihat tidak ada upaya pencegahan yang disebabkan oleh Tergugat I. Prinsip ini walaupun dalam
eksepsi dan memori kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi I dahulu Tergugat I didalilkan bahwa
belum berlaku sebagai hukum positif di Indonesia tetapi Precautionary Principle ini telah dipandang
sebagai ius cogen yaitu sebagai suatu norma yang diterima dan diakui oleh masyarakat Internasional
secara keseluruhan serta sebagai norma yang tidak dapat dilanggar dan hanya dapat diubah oleh
suatu norma hukum dasar Internasional umum yang baru yang mempunyai sifat yang sama.
Sehingga

Menurut kelompok kami, pertimbangan hakim sudah sangat tepat karena Precautionary Principle
dapat diterapkan dalam kasus ini. Walaupun pada saat kasus ini diputus memang prinsip hukum
lingkungan Precautionary Principle ini belum masuk ke dalam perundang-undangan Indonesia
karena masih menggunakan UUPLH lama yaitu Nomor 23 Tahun 1997 yang belum
menganut Precautionary Principle. Sehingga hakim dalam memutus akhirnya saat itu memilih dan
berpedoman pada Precautionary Principle yang merupakan prinsip ke-15 Konperensi Rio. Walaupun
prinsip ini belum masuk dalam perundang-undangan tetapi karena Indonesia merupakan salah satu
anggota dalam konperensi tersebut maka dapatlah dipedomani dan diperkuat dalam mengisi
kekosongan hukum dalam praktek.
Berbeda halnya jika kasus ini diputus saat ini karena telah ada UUPLH terbaru yaitu UU Nomor 32
Tahun 2009 yang mana sudah menganut Precautionary Principle. Sehingga jika kasus ini diputus saat
sekarang maka dasar hukum nya telah jelas memakai perundang-undangan Indonesia yaitu Pasal 2F
UU No. 32 Tahun 2009. Namun, hukum lingkungan pada umumnya memang banyak mendasarkan
pada ketentuan-ketentuan hukum internasional. Lagipula sebagaimana dikatakan oleh

hakim Precautionary Principle ini telah dipandang sebagai ius cogen, yaitu sebagai suatu norma
yang diterima dan diakui oleh masyarakat internasional secara keseluruhan serta sebagai norma
yang tidak dapat dilanggar dan hanya dapat diubah oleh suatu norma dasar hukum internasional
umum yang baru yang mempunyai sifat yang sama. Dengan demikian, hakim tepat dalam
menerapkan hukum apabila hakim mengadopsi ketentuan hukum Internasional, yaitu Precautionary
Principle.

Para penggugat dan orang-orang yang diwakili mereka adalah korban tanah longsor Gunung
Mandalawangi Kecamatan Kadungora Kabupaten Garut dan telah menderita kerugian berupa
hilangnya harta benda, rusaknya lahan pertanian dan ladang, meninggalnya sanak saudara dan
rusaknya fasilitas umum serta kerusakan ekosistem setempat. Majelis Hakim Pengadilan Negeri
dalam pertimbangannya (Nomor 49/Pdt.G/2003/PN.BDG, Tanggal 28 Agustus 2003), antara lain
mengatakan bahwa negara memiliki tanggung jawab dalam pengelolaan lingkungan hidup. Tanggung
jawab negara itu dilaksanakan oleh pemerintah yang dipimpin oleh Presiden RI, tetapi karena
Presiden telah membentuk Menteri Kehutanan, maka pengelolaan kehutanan sepenuhnya telah
menjadi tanggungjawab Menteri Kehutanan. Menteri Kehutanan telah memberikan kewenangan
kepada Perum Perhutani Jawa Barat untuk mengelola kawasan hutan Gunung Mandalawangi.
Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Pemerintah Kabupaten Garut sesuai dengan lingkup tugas
masing-masing berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya UndangUndang Nomor 22 tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah, yang berlaku pada waktu terjadinya
banjir dan longsor di Gunung mandalawangi juga memiliki tanggungjawab untuk melaksanakan
pengelolaan kawasan hutan Mandalawangi karena kawasan hutan itu berada dalam wilayah hukum
Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Garut. Majelis Hakim dalam pertimbangannya juga mengatakan
bahwa telah terjadi perubahan kebijakan pengelolaan kawasan hutan di Gunung Mandalawangi yang
dilakukan oleh Menteri Kehutanan, yaitu dengan mengubah status fungsi kawasan hutan yang
sebelumnya kawasan hutan lindung kemudian menjadi kawasan hutan produksi terbatas
berdasarkan SKMenteri Kehutanan Nomor 419/KPTS/II/1999 dengan segala akibat-akibatnya seperti
berkurangnya jumlah tegakan pohon dan kegagalan reboisasi sehingga kawasan hutan
Mandalawangi tidak lagi memiliki kemampuan resapan air. Selanjutnya Majelis Hakim mengatakan
bahwa kerugian lingkungan dan kerugian materiil para penggugat yang disebabkan oleh banjir dan
longsor di Gunung Mandalawangi telahfaktual sehingga tidak perlu dibuktikan lagi. Masalah hukum
yang masih perlu dibuktikan adalah hubungan kausalitas, yaitu perubahan fungsi kawasan hutan
Gunung Mandalawangi dari kawasan hutan lindung menjadi kawasan hutan produksi yang
didasarkan pada perubahan kebijakan kehutanan sebagaimana tercermin dalam SK Menteri
Kehutanan Nomor 419/KPTS/II/1999 telah menyebabkan banjir dan longsor. Hal yang menarik
adalah Majelis Hakim juga dalam pertimbangannya merujuk pada prinsip kehati-hatian
(precautionary principle) yaitu prinsip ke-15 dalam Deklarasi Rio sebagai dasar untuk pemecahan
masalah tentang kurangnya ilmu pengetahuan yang diperlihatkan dengan keterangan keterangan
para saksi ahli dari kedua belah pihak yang saling bertentangan sehingga keterangan mereka tidak
dapat dijadikan alat bukti untuk menyimpulkan penyebab fakta telah terjadinya banjir dan longsor di
Gunung Mandalawangi. Meskipun prinsip keberhati-hatian belum masuk ke dalam perundangundangan Indonesia, tetapi karena Indonesia adalah sebagai salah satu negara peserta Konferensi
Rio 1992, maka prinsip ini dapat dipedomani dan diperkuat untuk mengisi kekosongan hukum dalam
praktik. Amar Putusan Pengadilan Negeri Bandung (Nomor 49/Pdt.G/2003/PN.BDG Tanggal 28
Agustus 2003) adalah sebagai berikut:

1. Mengabulkan gugatan perwakilan (class action) dari para wakil kelompok masyarakat korban
longsor Gunung Mandalawangi Kecamatan Kadungora, Kabupaten Garut untuk sebagiannya.
2. Menyatakan bahwa Tergugat I (Direksi Perum Perhutani Unit III Jawa Barat), tergugat III
(Menteri Kehutanan), tergugat IV (Pemerintah Provinsi Jawa Barat) dan tergugat V (Pemerintah
Kabupaten Garut) bertanggungjawab secara mutlak (strict liability) atas dampak yang ditimbulkan
oleh adanya longsor dikawasan hutan Gunung Mandalawangi, Kecamatan Kedungora Kabupaten
Garut.
3. Menghukum Tergugat I, Tergugat III, Tergugat IV dan Tergugat V tersebut untuk melakukan
pemulihan keadaan lingkungan di areal hutan Gunung Mandalawangi tempat terjadinya longsor
langsung dan seketika dengan ketentuan sebagai berikut:
Pertama, Pemulihan (recovery) di kawasan Gunung Mandalawangi dibebankan kepada Tergugat I
dan Tergugat III dengan perintah supaya dilakukan rehabilitasi hutan dan lahan agar memulihkan,
mempertahankan dan meningkatkan daya dukung, produktivitas dan peranannya dalam mendukung
sistem penyangga kehidupan tetap terjaga, dengan biaya yang harus ditanggung oleh Tergugat I dan
Tergugat III secara tanggung renteng, yang apabila akan diserahkan pelaksanaannya kepada
masyarakat sesuai dengan Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan berpedoman pada Knomor
31/KPTSII/ 2001 Tanggal 12 Februari 2001 Tentang Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan,
pendanaan tersebut tidak boleh kurang dari jumlah Rp. 20.000.000.000,- (dua puluh miliar rupiah)
dengan disetorkan kepada Tim yang akan ditetapkan dibawah ini. Kedua, Menghukum Tergugat I,
Tergugat III, Tergugat IV dan Tergugat V secara tanggung renteng membayar ganti kerugian kepada
korban longsor Gunung Mandalawangi tersebut sebesar Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah)
dengan disetorkan kepada Tim yang akan ditetapkan di bawah ini. Ketiga, Menetapkan prosedur
pelaksanaan pemulihan lingkungan kawasan longsor di Gunung Mandalawangi Kecamatan
Kadungora serta tata cara pengalokasian dana ganti kerugian kepada wakil kelompok dan
masyarakat korban yang tergabung ke dalam anggota kelompok gugatan perwakilan ini melalui satu
tim/panel yang dikoordinasikan oleh Badan Perencana Pembangunan Daerah Pemerintah Kabupaten
Garut sebagai Ketua Tim Perwakilan BAPEDALDA Pemerintah Kabupaten Garut, kuasa para wakil
kelompok serta dua orang perwakilan dari Pusat Studi Lingkungan Hidup UNPAD Bandung masingmasing sebagai anggota.Keempat, memerintahkan kepada Gubernur Jawa Barat (Tergugat IV) untuk
mengeluarkan Surat Keputusan tentang Pembentukan Tim tersebut lengkap dengan tugas dan
tanggung jawabnya sebagaimana isi diktum putusan ini. Kelima, memerintahkan kepada Tim/Panel
tersebut untuk melakukan pemantauan dan melakukan upaya hukum manakala pelaksanaan
pemulihan lingkungan tidak sesuai dengan perintah dalam putusan ini serta mengalokasikan dana
ganti kerugian tersebut kepada masyarakat korban yang tergabung dalam wakil dan anggota
kelompoknya yang jumlah dan identitasnya tercatat dalam Berita Acara Persidangan ini, secara adil
sesuai dengan bobot dan besarnya kerugian berdasarkan jenis kerugian yang dideritanya. Keenam,
menetapkan sebagai hukum bahwa manakala pembentukan Tim/Panel serta pengalokasian dana
ganti kerugian sulit dilakukan, maka pelaksanaannya ditempuh proses pelaksanaan putusan (upaya
paksa) dikoordinasikan oleh Panitera Pengadilan Negeri Kelas I B Bandung.
4. Menyatakan putusan atas perkara ini dapat dilaksanakan secara terlebih dahulu walaupun ada
upaya hukum dari para Tergugat (Uit voorbaar bij voorad).
5. Menolak gugatan selain dan selebihnya. Putusan Pengadilan Negeri Bandung ini kemudian
dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Bandung (Putusan Nomor 507/PDT/2003/PT.Bdg Tanggal 5
Februari 2004) dengan perbaikan amar putusan tanpa mengubah substansi putusan. Mahkamah
Agung Republik Indonesia (Putusan Nomor 1794 K /Pdt/2004 Tanggal 22 Januari 2007) juga menolak

permohonan kasasi para tergugat atau para pembanding yang berarti Mahkamah Agung Republik
Indonesia memperkuat putusan Pengadilan Negeri Bandung tersebut.

Anda mungkin juga menyukai