Anda di halaman 1dari 4

Kritik dan Implementasi dari Prinsip Precautionary Principle

Dalam hukum lingkungan dikenal salah satu prinsip, yaitu prinsip precautionary principle.
Dimana prinsip precautionally principle adalah penekanan pada bagaimana melakukan
pencegahan agar tidak terjadi penurunan kualitas lingkungan hidup akibat pencemaran. Lebih
jauh lagi, prinsip ini juga mengatur mengenai pencegahan agar tidak terjadinya kerusakan
lingkungan hidup1. Secara etimologi, istilah “precaution” berasal dari Bahasa Latin “prae” yang
berarti “sebelum”, dan “cautio” yang berarti “security” atau “keamanan”. Istilah “caution” dalam
Black’s Law Dictionary diartikan sebagai “security given to ensure performance of some
obligation”; dan “the person who gives the security”.
Di dalam perkembangannya sendiri. Prinsip precautionally principle digunakan sebagai salah
satu prinsip di Jerman dalam Program Perlindungan Lingkungan tahun 1971 dengan istilah
“vorsorge”. “Vorsorge” berarti “foresight” (pandangan yang jauh ke depan), sementara
“vorsorgeprinzip” artinya “foresight principle” (prinsip mengenai pandangan jauh ke depan).
Konsep awal dari precautionary principle di Jerman ini memberi pengertian bahwa masyarakat
harus berusaha untuk menghindari kerusakan lingkungan melalui “sikap hati-hati” dalam hal
perencanaan yang bersifat “looking forward”, dan menghalangi aktivitas yang memiliki potensi
bahaya. Dimana hal itu penting dalam menanggulangi masalah lingkungan hidup yang sedang
marak berlangsung. Dalam perjanjian internasional sendiri banyak yang merumuskannya
menjadi prinsip tersebut sebagai kebijakan publik. Seperti ”.2 Kemudian seiring berkembangnya
waktu terhadap Precautionary Principle kemudian diadopsi dengan berbagai kebijakan lainnya.
Adapun terhadap Precautionary Principle ini bahwa lekat kaitannya dengan the 1992 UNCED
(United Nations Conference on Environment and Development) yang mana dalam hal ini
berkaitan dengan Prinsip ke-15 Rio Declaration bahwa dalam hal ini menyatakan tentang
Precautionary Principle ialah :
“... Where there are threats of serious or irreversible damage, lack of full scientific certainty
shall not be used as a reason for postponing cost-effective measures to prevent environmental
degradation”.
Dalam precautionally principle sendiri terdapat unsur-unsur yang terkandung sebagai berikut:

1
Liza Farihah dan Femi Angraini, “Prinsip Kehati-hatian dan Kerugian Potensial dalam Perkara Tata Usaha Negara
terkait Lingkungan Hidup,” Jurnal Yudisial Vol 5 No. 3 (Desember 2012),
2
Emmy Latifah, “Precautionary Principle sebagai Landasan dalam Merumuskan Kebijakan Publik,” Yustisia Vol. 5
No. 2, (Mei-Agustus 2016), hlm 278.
1. Adanya ketidakpastian risiko.
2. Adanya penilaian ilmiah atas potensi risiko yang ditimbulkan.
3. Adanya potensi kerusakan serius atau permanen
4. Adanya langkah-langkah pencegahan yang proporsional
5. Adanya pergeseran beban pembuktian
Dimana unsur-unsur tersebut menjadi dasar timbulnya prinsip precautionary principle dalam
hukum lingkungan. Secara garis besar, precautionary principle digunakan dalam kebijakan
publik melalui dua cara yaitu cara negatif dan positif. Penggunaan precautionary principle
melalui cara negatif digunakan untuk mengecualikan pembenaran tertentu untuk “tidak
bertindak”, atau dapat pula digunakan sebagai lisensi (izin) untuk melakukan suatu tindakan,
namun tidak memerlukan tindakan pencegahan. Sementara cara postif dilakukan dengan
merumuskan Tindakan-tindakan kehati-hatian.
Mengacu pada kasus kalista alam dalam pada putusan No. 12/PDT.G/2012/PNM.BO. Dimana
dalam menjatuhkan putusan hakim harus berlandaskan kepada prinsip precautionally principle.
Oleh karena itu, untuk menerapkan prinsip kehati-hatian majelis hakim menghadirkan 2 saksi
ahli, yaitu DR Ir. Agus Kristijono, Msc Bin Adi Sujibto yang ahli di dibidang data publik yang
ada di Indonesia yaitu dibidang Meteologi data Hotspot / data satelit dan Ir. Megawati Siahaan
binti Siahaan yang bekerja sebagai ahli Konsultan pada Lembaga Pendidikan Perkebunan (LPP)
yaitu Asosiasi PT.Perkebunan Nusantara (PTPN) seluruh Indonesia, serta menghadirkan tiga
saksi tambahan. Dimana dimaksudkan agar hakim dalam hal ini dapat mendapatkan dan
menguraikan fakta secara subjektif dengan keterangan dari tiga saksi yang terlibat dan objektif
berdasarkan ilmu pengetahuan dari saksi ahli. Serta hakim dalam hal ini, bersikap untuk
menguraikan bukti dari pernyataan tergugat terhadap fakta lapangan dari kerusakan lingkungan
yang ada.
Mengenai implikasi dari penerapan prinsip precautionary principle dalam kasus ini merupakan
yang menjadi pertimbangan hakim dapat dikaitkan dengan pertimbangan yang perlu dibuktikan
penggugat bahwa dalam hal ini terdapat dalam putusan yang mana mencakup, sebagai berikut:
1. Apakah benar tergugat telah memperoleh izin usaha perkebunan budidaya dengan luas
wilayah kurang lebih 1.605 hektar yang terletak di Desa Pulo Kruet, Kecamatan Darul
Makmur, Kabupaten Nagan Raya, Provinsi Aceh.
2. Apakah benar lahan perkebunan Tergugat termasuk ke dalam Kawasan Ekosistem Leuser
(KEL) yang harus dilindungi dimana KEL berada pada koordinat 96” 18’ 7” - 98”32’30”
BT dan 2” 14’44”4”55”‘ 26” LU, sedangkan areal perkebunan Tergugat berada pada
koordinat 96” 32’0” – 98”32’21” BT dan 3”47’8”- 3 “51’22” LU tepatnya wilayah in
casu msauk dalam wilayah APL seluas 1.986 hektar.
3. Apakah benar luas wilayah KEL meliputi areal 2.255.577 hektar yang terdiri dari (i)
Suaka Margasatwa Rawa Singkil seluas 102.370 hektar (ii) Taman Nasional Gunung
Leuser seluas 602.582 hektar (iii) Taman Burung Lingga Isaq seluas 29.020 hektar (iv)
Hutan Lindung seluas 941.173 hektar (V) Hutan Produksi Terbatas 8.066 hektar (vi)
Hutan Produksi Tetap seluas 245.676 hektar dan (vii) Areal Penggunaan lain (APL)
seluas 326.080 hektar.
4. Apakah benar tergugat membuka lahan dengan cara membakar seluas 1000 (seribu)
hektare lahan.
5. Apakah benar pembukaan lahan yang dilakukan dengan cara pembakaran lahan termasuk
ke dalam wilayah KEL tepatnya wilayah Tergugat In Case masuk dalam wilayah APL
seluas 1.986 hektar.
6. Apakah benar membuka lahan secara membakar merupakan perbuatan melawan hukum.
7. Apakah benar akibat pembakaran lahan tersebut telah menimbulkan pencemaran dan
kerusakan lingkungan hidup.

Bahwa dalam hal ini, kembali kepada hakim dalam memutus perkara harus menerapkan prinsip
precautionally principle dengan adanya ketidakpastian risiko dalam kasus ini dimana hakim
dapat membedakan antara “precautionary measures” (tindakan hati-hati) dengan “preventive
measure” (tindakan pencegahan). Kemudian, hakim melakukan penilaian ilmiah atas
pertimbangkan penerima bukti ilmiah atas perusakan lingkungan dengan melihat suatu konteks
perkara tersebut dengan luas didalamnya. Terhadap hal ini pula bahwa terhadap putusan yang
mana didalamnya perlu pertimbangan hakim dalam menerapkan precautionary principle ini
karena terhadap penerapan precautionary principle ini dipandang sebagai ius cogen, yaitu
sebagai suatu norma yang diterima dan diakui oleh masyarakat internasional secara keseluruhan
serta sebagai norma yang tidak dapat dilanggar dan hanya dapat diubah oleh suatu norma dasar
hukum internasional umum yang baru yang mempunyai sifat yang sama. 3 Lalu melihat adanya
potensi kerusakan yang serius atau permanen seperti dalam kasus ini tentang kebakaran hutan
dimana bersinggungan dengan daerah KEL atau tidak dan bisa atau tidaknya dipulihkan kembali.
Kemudian melihat Langkah-langkah pencegahan proporsional seperti pengawasan, pemantauan,
dll. Terakhir, pergeseran beban pembuktian melihat siapa yang bertangggung jawab. Maka dari
itu, Terhadap penerapan prinsip kehati-hatian ini pun perlu untuk menunjukkan bahwa kehati-
hatian perlu dilakukan oleh negara dalam pembuatan kebijakannya. 4 Karena akan melihat
pandangan prinsip kehati-hatian menjadi suatu norma yang dapat diterima dan diikuti oleh
masyarakat.

3
Loura Hardjalok, “Ketepatan Hakim Dalam Penerapan Precautionary Principle Sebagai “Ius Cogen” Dalam Kasus
Gunung Mandalawangi,” Jurnal Yudisial Vol. 5 No. (Agustus 2012), hlm. 151.
4
Liza Farihah dan Femi Angraini, “Prinsip Kehati-hatian dan Kerugian Potensial dalam Perkara
Tata Usaha Negara terkait Lingkungan Hidup,” Jurnal Yudisial Vol 5 No. 3 (Desember 2012), hlm. 245.

Anda mungkin juga menyukai