Anda di halaman 1dari 4

PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN

MAGISTER PENGELOLAAN LINGKUNGAN


Sekolah Pascasarjana - Universitas Gadjah Mada

LEMBAR JAWABAN UJIAN AKHIR SEMESTER GASAL


Tahun Akademik 2023/2024
Matakuliah : Hukum dan Kebijakan Lingkungan
Hari, Tanggal : Selasa, 5 Desember 2023
Nama Mahasiswa : Stefanus Amsikan
NIM : 23/527569/PMU/11660

JAWABAN

1. A. Kasus tersebut dikategorikan sebagai kasus SLAPP karena tuntutan yang diajukan
bukan untuk mencari keadilan namun untuk mengintimidasi, membungkam, dan
menguras, sumber daya finansial dan psikologis dari 6 warga tersebut. Ini ditandai
dengan adanya laporan warga kelurahan Kenanga lainnya yang bisa saja didukung oleh
Pabrik Tapioka. Hal ini terlihat adanya ketidakseimbangan kekuasaan yang besar
antara penggugat dan tergugat, dimana salah satu pihak atau warga kelurahan
Kenanga memiliki sumber daya dan kemampuan untuk secara efektif membungkam 6
warga Kenanga melalui teknik litigasi yang memperbesar beban psikologis dan
ekonomi dari proses yang berlarut-larut.
B. Konsep yang terdapat dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
dikenal dengan istilah Anti Eco SLAPP. Meskipun ketentuan Pasal 66 telah melindungi
komunitas pemerhati lingkungan hidup sehingga tidak dapat dituntut atau dituntut,
namun masih terdapat beberapa kelemahan pada bagian penjelasannya.
a. Penjelasan Pasal 66 berbeda dengan konsep dasar Anti Eco SLAPP. Konsep dasar
Anti Eco SLAPP sama dengan Anti SLAPP yang berkaitan dengan permasalahan
kepentingan masyarakat umum. Ketentuan dalam Tata Tertib Perkara
Lingkungan Hidup mengatur bahwa perlindungan terhadap sasaran atau korban
Eco SLAPP dapat dilakukan dalam situasi apapun, tidak hanya melalui jalur
litigasi; jalur non-litigasi juga bisa, sepanjang seseorang atau masyarakat sedang
atau telah menggunakan haknya untuk berpartisipasi, baik dalam penegakan
hukum maupun dalam menyikapi suatu kebijakan di bidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup..
b. Pasal 66 mengecualikan Pembela lingkungan hidup yang menempuh jalur non
litigasi untuk dapat melakukan Anti SLAPP. Namun Pasal 66 telah mencakup
ranah pidana dan perdata dalam perlindungan SLAPP Anti Ramah Lingkungan.
c. Pengaturan Anti SLAPP sebagaimana diamanatkan Pasal 66 berbeda dengan
ketentuan dalam Surat Putusan Mahkamah Agung Nomor 36/KMA/SK/II/2013
tentang Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup yang menyatakan:
“Anti SLAPP merupakan perlindungan hukum terhadap pembela lingkungan hidup.
Gugatan SLAPP dapat berupa tuntutan balik (gugatan rekonvensi), tuntutan
hukum biasa, atau berupa pelaporan bahwa mereka telah melakukan tindak
pidana terhadap pembela lingkungan hidup (misalnya dianggap telah melakukan
tindak pidana terhadap pembela lingkungan hidup). melakukan perbuatan
“penghinaan” sebagaimana diatur dalam KUHP).
d. Dalam ranah pidana, perlindungan terhadap pejuang lingkungan hidup baru bisa
dilakukan setelah perkaranya diperiksa di pengadilan dan belum ada pengaturan
yang pasti mengenai unsur-unsur SLAPP sehingga menyulitkan pemohon dan
penggugat untuk mengajukan permohonan atau gugatan ke pengadilan, serta
menyulitkan hakim untuk mengidentifikasi perbuatannya.
e. Dasar gugatan SLAPP sendiri juga terkait dengan campur tangan atau intervensi
terhadap kegiatan usaha/kontrak; pencemaran nama baik, fitnah,
penyalahgunaan properti dan reputasi, penghinaan dan campur tangan terhadap
keuntungan ekonomi.
f. Peraturan Anti Eco SLAPP harus menentukan elemen tindakan apa yang
termasuk dalam kategori Eco SLAPP. Selain itu, juga belum ada pengaturan
mengenai pemberian disinsentif bagi jaksa atau penggugat yang telah
mengajukan SLAPP untuk memberikan efek jera. Dengan demikian, pengajuan
perkara SLAPP di Indonesia seolah tidak ada konsekuensinya, padahal
dampaknya sangat besar terhadap proses demokrasi dan partisipasi masyarakat
di Indonesia, khususnya dalam pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup,
yang berdampak langsung pada masyarakat.
Oleh karena itu, perlu mendorong perubahan ketentuan Pasal 66 Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
dengan memasukkan unsur-unsur yang jelas dari SLAPP dan menerbitkan Peraturan
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang Perlindungan Hukum Pejuang
Lingkungan Hidup yang selanjutnya akan mengatur ketentuan Pasal 66 Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup. Peraturan ini diharapkan menjadi jawaban untuk melindungi pembela hak
asasi manusia di bidang lingkungan hidup.
Peraturan tersebut juga perlu mengatur kriteria tindakan yang termasuk dalam
Eco-SLAPP, mekanisme pencegahan, penanganan perlindungan, perlindungan dalam
keadaan darurat, mekanisme koordinasi antar lembaga, dan pendanaan perlindungan
dari negara. Selain itu, diperlukan aparat penegak hukum yang berfungsi dengan baik,
kredibel, kompeten, berintegritas, dan berorientasi lingkungan dalam menangani
kasus-kasus lingkungan hidup, serta kesadaran masyarakat terhadap hukum sebagai
indikator bahwa undang-undang tersebut memenuhi tujuannya.
2. Perubahan paradigma lingkungan merupakan titik sentral dalam mengubah sudut
pandang tentang hukum lingkungan. Hal ini menekankan bahwa persoalan lingkungan
bukan hanya masalah praktis, tetapi juga masalah etika. Caranya adalah perluasan
makna tanggung jawab negara melalui konsep "respective capabilities" dan "shifting the
paradigm" yang merupakan sudut pandang penting dalam etika hukum lingkungan.
Konsep "respective capabilities" menekankan bahwa setiap negara memiliki tanggung
jawab untuk menggunakan kemampuan dan sumber daya yang dimilikinya untuk
mengatasi perubahan iklim sesuai dengan tingkat kemampuan dan tanggung
jawabnya. Sementara itu, konsep "shifting the paradigm" menekankan bahwa
persoalan lingkungan tidak bisa diatasi hanya dengan mengandalkan sains atau
teknologi, namun juga dengan mengubah paradigma semua komponen, baik
pemerintah, pengusaha, maupun masyarakat, menuju paradigma lingkungan.
Keduanya konsep tersebut saling terkait karena pergeseran paradigma sering
melibatkan penyesuaian tanggung jawab sesuai dengan kemampuan, dan kemampuan
yang bersesuaian dapat mendukung pergeseran paradigma. Pemahaman bahwa
pemikiran dan tindakan manusia harus dikaitkan dengan kapasitas relatifnya dapat
membantu membangun fondasi etika lingkungan yang lebih adil dan berkelanjutan.
Dengan demikian perubahan paradigma lingkungan merupakan langkah yang sangat
penting dalam mengubah sudut pandang tentang hukum lingkungan dan penerapan
konsep ini dalam hukum lingkungan dapat membantu menciptakan kebijakan yang
lebih efektif dan adil, dengan mempertimbangkan perbedaan kapasitas dan berusaha
untuk mengubah paradigma yang mendasari hubungan manusia dengan lingkungan
dari segi etika, tanggung jawab dan keadilan.
3. Review Putusan Pengadilan Terkait Kasus Lingkungan Hidup
a. Putusan PTUN Jayapura: Nomor 6/G/LH/2023/PTUN.JPR Tanggal 2
November 2023
Penggugat: Hendrikus Woro
Tergugat: Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu
(DPMPTSP) Provinsi Papua
b. Alasan gugatan:
Gugatan ini menyangkut izin lingkungan hidup yang dikeluarkan Dinas
Penanaman Modal dan Pelayanan Terbuka Satu Pintu Provinsi Papua untuk
perusahaan sawit PT Indo Asiana Lestari (PT IAL). Gugatan ini diajukan karena
pemerintah daerah diduga menutup informasi tentang izin-izin PT IAL yang
konsesinya akan mencaplok wilayah adat mereka.
Penyusunan dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) yang
tidak melibatkan masyarakat adat suku Awyu, adanya intimidasi terhadap
masyarakat yang menolak perusahaan sawit tersebut hingga tidak diakuinya
keberadaan marga Woro dalam peta versi perusahaan.
c. Hasil putusan:
PTUN Jayapura menolak gugatan lingkungan hidup dan perubahan iklim
terhadap Pemerintah Provinsi Papua atas penerbitan izin kelayakan lingkungan
hidup PT Indo Asiana Lestari lewat Putusan PTUN JAYAPURA Nomor
6/G/LH/2023/PTUN.JPR Tanggal 2 Nopember 2023.
d. Analisis Kasus:
Putusan PTUN Jayapura adalah sebuah kemunduran negara dalam
mengahadirkan keadilan bagi lingkungan hidup dan perlindungan masyarakat
adat Papua. Jika melihat ke belakang Indonesia sebenarnya sudah mulai
berkomitmen untuk memperhatikan pengelolaan lingkungan hidup sejak tahun
1972 lewat konferensi Stockholm yang mengkaji ulang pola pembangunan
konvensional yang selama ini cenderung merusak bumi. Dalam kasus ini
pemberian izin untuk perusahaan sawit ini juga tak sejalan dengan janji
pemerintah mengatasi perubahan iklim. Dalam Enhanced Nationally Determined
Contribution (ENDC), pemerintah berkomitmen menurunkan emisi gas rumah
kaca sebesar 31,89 persen dengan kemampuan sendiri dan 43,20 persen
dengan dukungan internasional pada 2030.
Izin kelayakan lingkungan hidup dikeluarkan berdasarkan Amdal yang
bermasalah, mengabaikan keberadaan masyarakat adat sebagai pemilik wilayah
adat, dan cacat substansi karena tak disertai analisis konservasi. Ini bisa
mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup dan hilangnya hak-hak masyarakat
adat Suku Awyu. Wilayah yang masuk dalam konsesi PT IAL itu bukan cuma
tempat Suku Awyu mencari sumber pangan, obat-obatan, dan penghasilan
ekonomi, tapi juga habitat bagi flora dan fauna endemik Papua. Bagi masyarakat
adat, hutan juga menjadi identitas budaya dan sumber pengetahuan.
Perkara lingkungan hidup disebabkan oleh perangkat hukum yang masih
lemah, kewibawaan aparat penegak hukum yang kurang dan terjadinya konflik
antara kepentingan ekonomi dengan kepentingan sosial dan lingkungan hidup.
Pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam cenderung diarahkan
kepada kepentingan investasi dan selalu dipahami sebagai economic sanse dan
tidak dipahami sebagai ecological and sustainable sense. Sehingga Idealnya
Indonesia harus mempunyai Pengadilan Lingkungan Hidup yang berdiri sendiri
di luar badan-badan peradilan yang sudah ada. Untuk jangka pendek, dapat
dibentuk pengadilan khusus lingkungan hidup di lingkungan peradilan umum
sebagai mana diatur dalam Pasal 8 UU No. 49 Tahun 2009 tentang Peradilan
Umum.
Oleh karena itu urgensi pembentukan pengadilan lingkungan hidup dalam
penyelesaian perkara lingkungan hidup di Indonesia adalah
a. Menentukan kualifikasi hakim yang direkut adalah orang-orang yang
mempunyai kompetensi dan integritas di bidang lingkungan hidup.
b. Waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan perkara lingkungan
hidup di Pengadilan Lingkungan Hidup relatif lebih cepat, karena
pengadilan tersebut hanya menangani perkara-perkara lingkungan
hidup saja.
c. Agar penyelesaian perkara lingkungan hidup pro lingkungan dapat
terakomodisi dalam putusan pengadilan lingkungan hidup yang
menghasilkan keadilan ekologis dan masyarakat serta putusan
pengadilan yang memperhatikan keberlanjutan lingkungan hidup.
d. Hakim dapat memberikan hukuman untuk pemulihan lingkungan
hidup yang rusak meskipun tidak dituntutkan.

Anda mungkin juga menyukai