Anda di halaman 1dari 10

NAMA : ENGGITA ANGGRAENI OKTA

NIM : 2199016350

MATA KULIAH : HUKUM LINGKUNGAN

KELAS :C

B. Hak atas Informasi Lingkungan Hidup

1. Judul Jurnal : Jaminan Akses Informasi dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup (Rekomendasi Penguatan Hak Akses Informasi Lingkungan)
Jaminan hukum tentang akses informasi sebetulnya sudah ada dalam hukum nasional
kita. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (UU PPLH) mengatur dua prinsip penting yang terkait dengan akses
informasi, yaitu: (a) tata kelola pemerintahan yang baik; dan (b) partisipatif. UU PPLH
menjelaskan bahwa prinsip tata kelola pemerintahan yang baik harus dijiwai oleh prinsip
partisipasi, transparansi, akuntabilitas, efisiensi, dan keadilan. Lebih jauh lagi, terkait
prinsip partisipasi UU PPLH menjelaskan bahwa setiap anggota masyarakat harus
didorong untuk berperan aktif dalam proses pengambilan keputusan, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Selain UU PPLH, pengaturan khusus tentang pemenuhan akses
informasi juga ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP).
Pengaturan tentang siapa yang dikenai kewajiban untuk membuka informasi
lingkungan perlu dirinci secara tegas. Pengaturan di bawah UU PPLH pada intinya
menyebutkan setiap orang dan Pemerintah. Sedangkan pengaturan pada UU KIP
menyebutkan badan publik dengan pendekatan aliran dana (APBN/D, sumbangan
masyarakat, atau bantuan luar negeri). Contoh pengaturan subyek hukum secara rinci
dapat ditemukan pada Konvensi Aarhus maupun Environmental Information Regulation
(3391/2004) yang mencakup: (a) instansi pemerintah pusat,regional atau provinsi, dan
daerah; (b) perorangan atau badan hukum yang melaksanakan fungsi administrasi publik,
memiliki tanggungjawab khusus, menjalankan kegiatan atau fungsi, yang terkait dengan
lingkungan; (c) setiap badan atau pihak yang berada dibawah kontrol poin (a) dan (b) dan
memiliki tanggungjawab terkait dengan lingkungan hidup, melaksanakan fungsi sebagai
pengawai publik yang terkait dengan lingkungan hidup dan yang menyediakan layanan
masyarakat yang terkait dengan lingkungan hidup.
Pengaturan sanksi dapat diarahkan kepada sanksi pidana maupun administrasi.
Meskipun terbatas, sanksi pidana dapat merujuk kepada sanksi bagi tindakan yang
mengakibatkan misleading information yang dikaitkan dengan pengawasan dan penegakan
hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 113 UU PPLH. Apabila kita kaji, tindakan
pengawasan dan penegakan hukum merupakan salah satu kegiatan saja dalam upaya
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Agar pasal ini dapat didaya gunakan,
maka harus diatur bahwa kewajiban pelaku usaha untuk membuat SOP informasi
lingkungan adalah sebagai syarat prosedural permohonan izin lingkungan. Dengan
demikian pelaksanaan dari SOP tersebut merupakan bagian dari ketaatan pelaku usaha atas
izin lingkungan yang harus diawasi. Hal ini akan memperkuat aktifitas pengawasan
sebagai salah satu aktifitas untuk mengumpulkan informasi sehingga informasi hasil
pengawasan dapat dipublikasikan. Demikian juga untuk pengaturan sanksi administrasi.
Oleh karena pengaturan sanksi administrasi dalam UU PPLH hanya ditekankan pada
pelanggaran izin lingkungan, maka pengaturan yang mengaitkan SOP informasi
lingkungan sebagai salah satu syarat prosedural permohonan izin lingkungan dapat
dijadikan dasar untuk menjatuhkan sanksi administrasi.

Link Jurnal : https://jhli.icel.or.id/index.php/jhli/article/view/171


2. Judul Jurnal : Transparasi Informasi Lingkungan Hidup: Studi Kasus Peranan Media
Cetak di Sumatera Selatan
Meskipun masalah lingkungan hidup sudah dikenal lama di Indonesia, tetapi
penanganannya menurut pendekatan ekosistem masih tergolong baru sedangkan
berhasilnya program pengembangan lingkungan hidup berada ditangan manusia dan
masyarakat. Oleh karena itu peranan media cetak sangat penting dalam penyebaran
informasi untuk menumbuhkan pengertian dan pemahaman masyarakat agar dapat ikut
serta dalam mengembangkan lingkungan hidup
Pasal 5 ayat (2) UUPLH disebutkan bahwa hak atas informasi lingkungan hidup
merupakan suatu konsekuensi logis dan hak berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup
yang berlandaskan pada asas keterbukaan. Apabila masih banyak masyarakat yang belum
mengetahui bahwa haknya atas informasi lingkungan hidup dilindungi oleh Undang-
undang tentunya mereka belum dapat berperan secara maksimal untuk mengaktualisasikan
haknya atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Upaya media cetak dalam melaksanakan fungsinya sebagai kontrol sosial di bidang
lingkungan hidup adalah dengan menurunkan tulisan-tulisan yang memuat substansi
lingkungan hidup, sedangkan sebagai alat pendidikan bagi masyarakat, media cetak
bermaksud memberikan kritik dan penyuluhan pada masyarakat. Namun, upaya-upaya
tersebut belum memperoleh hasil yang maksimal, karena masih sedikitnya pemberitaan
informasi mengenai lingkungan hidup apabila dibandingkan derigan beritaberita lainnya
yang mungkin lebih diminat oleh para pembaca, sehingga sosialisasi peraturan-peraturan
dibidang lingkungan hidup masih minim sekali.
Hambatan-hambatan yang ditemui dalam pemberian informasi lingkungan hidup
adalah hambatan internal, seperti para wartawan lingkungan hidup kadang-kadang malas
belajar, dan tidak setiap media cetak memberikan tempat yang sama untuk menyebarkan
informasi lingkurgan hidup; hambatan ekstemal, seperti dalam peliputan berita
menghadapi birokrasi pemerintah yang sulit untuk dikonfirmasi atau dimintai
keterangannya, dan lemahnya penegakan hukum lingkungan. Untuk menghadapi
hambatan-hambatan tersebut, media cetak telah memberikan upaya dalam menanganinya.
Maka dari itu, media cetak perlu memberikan tempat atau halaman khusus bagi peliputan
berita lingkungan hidup agar berita lingkungan hiduppun dapat bersaing dengan berita-
berita yang lain.
Link Jurnal : https://repository.unsri.ac.id/23179/1/12.%20Transparansi%20informasi
%20Lingkungan.pdf
3. Judul Jurnal : Ganti Kerugian dan Pemulihan Lingkungan Akibat Pencemaran dan
Perusakan Lingkungan Hidup
Bentuk-bentuk perbuatan yang dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan dan
pencemaran lingkungan hidup diperlukan pemahaman secara normatif mengenai larangan-
larangan yang harus diperhatikan sehingga tidak terjadi pelanggaran baik yang dilakukan
oleh perorangan maupun badan usaha dalam melakukan aktivitas di bidang lingkungan
hidup.
Salah satu contoh perbuatan yang dapat menyebabkan terjadinya kerusakan
lingkungan hidup, yaitu memasukan dan membuang limbah bahan berbahaya dan beracun
(B3) ke dalam lingkungan hidup. Melepaskan produk rekayasa genetik ke media
lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau izin
lingkungan dan melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar serta menyusun
amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal; dan/atau memberikan
informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan informasi, merusak informasi, atau
memberikan keterangan yang tidak benar. Perbuatan ini menyebabkan terjadinya
perubahan langsung dan/atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati
lingkungan hidup yang melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
Ganti kerugian dan pemulihan lingkungan dilakukan dengan cara yaitu setiap
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar hukum
berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian
pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan
tindakan tertentu. Pengadilan dapat menetapkan pembayaran uang paksa terhadap setiap
hari keterlambatan atas pelaksanaan putusan pengadilan. Besarnya uang paksa diputuskan
berdasarkan peraturan perundangundangan. Pembebanan pembayaran uang paksa atas
setiap hari keterlambatan pelaksanaan perintah pengadilan untuk melaksanakan tindakan
tertentu adalah demi pelestarian fungsi lingkungan hidup. Hal ini merupakan realisasi asas
yang ada dalam hukum lingkungan hidup yang disebut asas pencemar membayar. Selain
diharuskan membayar ganti rugi, pencemar dan/atau perusak lingkungan hidup dapat pula
dibebani oleh hakim untuk melakukan tindakan hukum tertentu, misalnya perintah untuk:
memasang atau memperbaiki unit pengolahan limbah sehingga limbah sesuai dengan baku
mutu lingkungan hidup yang ditentukan; memulihkan fungsi lingkungan hidup; dan/atau
menghilangkan atau memusnahkan penyebab timbulnya pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup.
Link Jurnal : https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexcrimen/article/view/3113
4. Judul Jurnal : Peran Serta Masyarakat Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pengertian lingkungan yang memasukkan manusia dan tingkah lakunya sebagai
bagian dari lingkungan, ternyata telah menempatkan manusia pada posisi strategis. Secara
logis manusia di satu sisi adalah (bagian) lingkungan itu sendiri, di sisi lain manusia
adalah pengelola lingkungan. Selanjutnya, cakupan upaya pengelolaan lingkungan
kembali memberikan posisi penting kepada manusia (masyarakat) untuk terlibat, hingga
melahirkan istilah (hak dan kewajiban) peran serta/partisipasi masyarakat.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup dijabarkan bahwa penggunaan sumber daya alam harus
selaras, serasi, dan seimbang dengan fungsi lingkungan hidup. Sebagai konsekuensinya,
kebijakan, rencana, dan atau program pembangunan harus dijiwai oleh kewajiban
melakukan pelestarian lingkungan hidup dan mewujudkan tujuan pembangunan
berkelanjutan.
Pengelolaan lingkungan hidup yang mencakup pencegahan, penanggulangan
kerusakan dan pencemaran serta pemulihan kualitas lingkungan berimplikasi pada
perlunya dikembangkan berbagai perangkat kebijakan dan program serta kegiatan yang
didukung oleh sistem pendukung pengelolaan lingkungan lainnya. Sifat keterkaitan
(interdependensi) tersebut memberi makna bahwa pengelolaan lingkungan, termasuk
sistem pendukungnya tidak dapat berdiri sendiri.
Penyusunan dokumen Amdal yang melibatkan partisipasi masyarakat disebutkan
dalam Pasal 26. Dalam pasal yang terbagi atas 4 ayat tersebut menyebutkan bahwa
dokumen amdal disusun oleh pemrakarsa dengan melibatkan masyarakat (ayat 1).
Pelibatan masyarakat harus dilakukan berdasarkan prinsip pemberian informasi yang
transparan dan lengkap serta diberitahukan sebelum kegiatan dilaksanakan. Masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: masyarakat yang terkena dampak;
pemerhati lingkungan hidup; dan/atau yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan
dalam proses amdal. Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan
keberatan terhadap dokumen amdal.
Masyarakat (manusia) dengan segala tingkah lakunya, selain sebagai bagian dari
lingkungan juga merupakan penyandang hak dan kewajiban dalam pengelolaan
lingkungan. Pada posisi yang strategis ini, harapan terwujudnya kelestarian (fungsi)
lingkungan dapat disematkan pada masyarakat bermitra dengan pemerintah. Usaha kearah
tersebut terwujud dalam bentuk hak dan kewajiban berperan serta yang secara nyata
menghendaki adanya perangkat hukum. Perangkat aturan termaksud, termuat baik di
dalam UUPLH No. 23 tahun 1997 yang selanjutnya coba dipertegas pada UUPPLH No.
32 tahun 2009, disamping undang-undang sektoral lainnya.

Link Jurnal : https://journal3.uin-alauddin.ac.id/index.php/Jurisprudentie/article/view/4003


5. Judul Jurnal : Pemenuhan Hak Akses atas Informasi AMDAL di Indonesia : Penguatan
Regulasi dan Optimalisasi Sistem Elektronik
Sebagai perwujudan asas partisipasi masyarakat dalam penyusunan Instrumen Amdal,
masyarakat memiliki hak akses atas informasi Amdal yang dijamin melalui Pasal 9 PP Izin
Lingkungan. Pada pelaksanannya, masih terdapat banyak kendala pemenuhan hak akses
masyarakat atas informasi Amdal, baik yang disampaikan melalui media informasi situs
internet maupun beberapa informasi yang dalam pengaturannya hanya disampaikan
melalui surat kabar dan papan pengumuman. Hal ini ditandai dengan lahirnya kasus-kasus
gugatan Izin Lingkungan yang dinilai tidak mampu memenuhi tujuan pemenuhan hak
akses masyarakat atas informasi. Kondisi ini diperparah dengan keadaan pandemi, karena
proses pengikut sertaan masyarakat melalui video conference tidak memiliki pengaturan
mekanisme pemberian hak masyarakat atas dokumen penyusunan Amdal, seperti yang
terjadi di Mimika. Tumpang tindih aturan sistem informasi turut memperparah kondisi
pengawasan terhadap pemenuhan akses masyarakat terhadap informasi ini.
Praktik pemberian informasi Amdal di atas tidak memenuhi prinsip pemberian
informasi yang dijamin dalam Pasal 26 ayat (2) UU PPLH, yakni kelengkapan substansi.
Hal ini menunjukkan pengawasan Pemerintah dalam penerbitan izin lingkungan atas
pemenuhan informasi dokumen Amdal tidak berjalan sesuai esensinya dan hanya
dipandang sebagai aspek prosedural.
Untuk mewujudkan sistem elektronik yang dapat memperbaiki pemenuhan hak
masyarakat atas akses informasi melalui pembentukan sistem pengawasan publik, maka
diperlukan yang Pertama yaitu Penguatan regulasi agar substansi informasi Dokumen
Amdal yang menjadi Informasi Lingkungan Hidup yang merupakan hak masyarakat
berdasarkan Pasal 65 ayat (2) UU PPLH, menjadi muatan informasi dalam
penyelenggaraan satu sistem elektronik yang tidak tumpang tindih, baik melalui
Amdal.net, situs internet ataupun SILH. Kedua, Penguatan regulasi agar substansi
informasi Dokumen Amdal yang menjadi Informasi Lingkungan Hidup juga mencakup
seluruh informasi yang menjadi hak masyarakat di dalam proses penyusunan Amdal.
Seluruh upaya ini dilakukan sebagai bagian dari upaya perwujudan transparansi
informasi lingkungan yang dapat diakses secara efektif, terutama setelah masa pandemi
COVID-19 dan transisi Normal Baru yang tengah dihadapi Indonesia saat ini. Pemerintah
saat ini dituntut untuk lebih inovatif dan kreatif dalam merumuskan dan melaksanakan
kebijakan lingkungan hidup yang ada, dalam hal ini termasuk pemenuhan hak akses
masyarakat atas Informasi Lingkungan Hidup yang meliputi Informasi Amdal. Penguatan
infrastruktur juga dilakukan tanpa menghapus aturan pengumuman secara luring yang
tetap harus dipenuhi sebagai akses masyarakat kurang mampu.
Hal ini merupakan salah satu bentuk adaptasi konsepsi Hukum Administrasi di sektor
Lingkungan terhadap perkembangan TIK yang berimplikasi mendorong perubahan dalam
teknik penyelenggaraan Pemerintahan dengan menggunakan TIK, khususnya internet.
Pada prinsipnya, hukum harus senantiasa menyesuaikan diri dengan dinamika
kemasyarakatan karena hukum berfungsi merespons dinamika tersebut dengan jalan
menetapkan suatu preskripsi.

Link Jurnal : http://jurnal.fh.unpad.ac.id/index.php/jphp/article/view/253

Anda mungkin juga menyukai