Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN


TINJAUAN SANKSI ADMINISTRASI MENURUT UU NO. 23 TAHUN 1997

TENTANG

PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

A. Pendahuluan

Sumber daya alam dan lingkungan tidak pernah lepas dari berbagai kepentingan seperti

kepentingan Negara, kepentingan pemilik modal, kepentingan rakyat maupun kepentingan

lingkungan itu sendiri. Penempatan kepentingan itu selalu menempatkan pihak masyarakat

sebagai pihak yang dikalahkan. Terbatasnya akses masyarakat dalam pengelolaan sumber

daya alam, dan tidak seimbangnya posisi tawar masyarakat merupakan contoh klasik dalam

kasus-kasus konflik kepentingan tersebut.

Masalah lingkungan tidak selesai dengan pemberlakuan Undang-Undang dan komitmen

untuk melaksanakannya. Penetapan suatu Undang-Undang yang mengandung instrumen

hukum masih harus diuji dalam pelaksanaannya (uitvoering atau implementation) sebagai

bagian dari mata rantai pengaturan (regulatory chain) pengelolaan lingkungan. Dalam

merumuskan kebijakan lingkungan, Pemerintah lazimnya menetapkan tujuan yang hendak

dicapai.

Kebijakan lingkungan disertai tindak lanjut pengarahan dengan cara bagaimana penetapan

tujuan dapat dicapai agar ditaati masyarakat. Oleh karena itu penegakan hukum lingkungan

semakin penting sebagai salah satu sarana untuk mempertahankan dan melestarikan

lingkungan hidup yang baik. Penegakan hukum yang berkaitan dengan masalah lingkungan

hidup meliputi aspek hukum pidana, perdata, tata usaha negara serta hukum internasional.

Lingkungan hidup merupakan anugrah Tuhan Yang Maha Esa yang wajib dilestarikan dan

dikembangkan kemampuannya agar tetap dapat menjadi sumber penunjang hidup bagi

manusia dan makluk hidup lainnya demi kelangsungan dan peningakatan kualitas hidup itu
sendiri.

Pembangunan merupakan pertumbuhan ekonomi untuk mendukung peningkatan

kesejahteraan. Dalam mengejar pertumbuhan ekonomi ini, sering terjadi pacuan pertumbuhan

yang seringkali menimbulkan dapat yang tidak terduga terhadap lingkungan alam dan

lingkungan sosial.

Pembangunan yang dilakukan dengan menggali dan mengekslorasi sumber daya alam sering

kali tanpa pemerdulikan lingkungan, sehingga menyebabkan memburuknya kondisi

lingkungan dan menimbulkan berbagai masalah. Pengelolaan pembangunan yang

diperkirakan mempunyai dampak terhadap lingkungan dipersyaratkan untuk memperhatikan

lingkungan hidup. Dalam perkembangannya, maka setiap aktivitas dalam pembangunan yang

bersentuhan dengan lingkungan hidup, memerlukan suatu standar mengenai Baku Mutu

Lingkungan (BML).

Berhubungan dengan hal tersebut, Siti Sundari Rangkuti menyatakan bahwa :

"Baku Mutu Lingkungan diperlukan untuk memberikan pedoman terhadap pengelolaan

lingkungan secara konkret; dasar hukumnya terdapat dalam Pasal 14 UUPLH (UU No. 23

Tahun 1997) yang diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP)".

Ketentuan ini berbeda dengan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang

Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menetapkan : bahwa Baku

Mutu Lingkungan diatur dengan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, Baku

Mutu Lingkungan merupakan instrumen yang penting dalam pengelolaan lingkungan hidup.

Adanya aktivitas atau kegiatan produksi yang tidak sesuai dengan Baku Mutu Lingkungan

yang ada, berarti telah terjadi pelanggaran terhadap ketentuan hukum yang berlaku. Pada

tingkat tertentu, jika terjadi pencemaran lingkungan, maka hal tersebut depat diklarifikasikan

sebagai suatu tindak pidana terhadap lingkungan hidup. Hal ini dapat diproses secara hukum

ke pengadilan.

Adanya keinginan masyarakat melalui LSM lingkungan atau perorangan yang diinformasikan
melalu media masa untuk membawa pelaku tindak kejahatan lingkungan ke pengadilan,

makin memberi alasan agar pelaku tindak kejahatan terhadap lingkungan harus dibuat jera,

agar diproses menurut ketentuan hukum yang ada.

Masalah lingkungan tidak selesai dengan memberlakukan Undang-Undang dan komitmen

untuk melaksanakannya. Penetaoan suatu Undang-Undang yang mengandung instrumen

hukum masih diuji dengen pelaksanaan (uitvoering atau implementation) dan merupakan

bagian dari mata rantai pengaturan (regulatory chain) pengelolaan lingkungan. Dalam

merumuskan kebijakan lingkungan, Pemerintah lazimnya menetapkan tujuan yang hendak

dicapai. Kebijakan lingkungan disertai tindak lanjut pengarahan dengan cara bagaimana

penetapan tujuan dapat dicapai agar ditaati masyarakat.

Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH)

mendasari kebijaksanaan lingkungan di Indonesia, karena Undang-Undang, peraturan

pemerintah dan peraturan pelaksanaan lainnya merupakan instrumen kebijaksanaan

(instrumenten van beleid). Instrumen kebijaksanaan lingkungan perlu ditetapkan dalam

peraturan perundang-undangan lingkungan dami kepastian hukum dan mencerminkan arti

penting hukum bagi penyelesaian masalah lingkungan. Instrumen hukum kebijaksanaan

lingkungan (juridische milieubeleidsinstrumenten) tetapkan oleh pemerintah melalui berbagai

sarana yang bersifat pencegahan, atau setidak-tidaknya pemulihan, sampai tahap normal

kualitas lingkungan.

Istilah " mutu" dapat menimbulkan pengertian yang ambivalen dan banyak orang yang senang

menggunakan istilah "Nilai Ambang Batas". Perbedaan kedua istilah itu adalah bahwa Mutu

Lingkungan mempunyai karakter diwajibkan. Dengan demikian, Mutu Lingkungan selalu

merupkan Nilai Ambang Batas tetapi tidak semua Nilai Ambang Batas merupakan Mutu

Lingkungan selama tidak diwajibkan berdasarkan ketentuan hukum. Karena dari aspek yuridis

dan teknis ekologi, fungsi Mutu Lingkungan dalam pengelolaan lingkungan terutama untuk

menentukan ada atau tidak ada pencemaran terhadap lingkungan. Untuk menentukan ada atau
tidak ada kerusakan lingkungan, UUPLH mengintrodusir istilah Kriteria Kerusakan

Lingkungan (KBKL), bagi kegiatan yang mempunyai "dampak besar dan penting" terhadap

lingkungan, Mutu Lingkungan dikaitkan lebih jauh dengan prosedur AMDL. Mutu

Lingkungan harus tercermin dalam rencana pengelolaan lingkungan (RKL). Mutu

Lingkungan dipakai sebagai pedomen bagi PKL suatu kegiatan yang niscaya dituangkan

sebagai persyaratan perizinan suatu rencana kegiatan.

Oleh karena itu penegakan hukum lingkungan semakin penting sebagai salah satu sarana

untuk mempertahankan dan melestarikan lingkungan hidup yang baik. Penegakan hukum

yang berkaitan dengan masalah lingkungan hidup meliputi aspek hukum pidana, perdata, tata

usaha negara dan hukum internasional.

B. Lemahnya Penegakan Hukum Lingkungan

Salah satu penyebab parahnya kondisi lingkungan akibat dari pencemaran dan perusakan

lingkungan saat ini adalah lemahnya penegakan hokum lingkungan baik di tingkat pusat

maupun daerah. Sudah saatnya penegakan hokum lingkungan yang konsisten merupakan

bentuk perlindungan kepada masyarakat dari pencemaran da kerusakan lingkungan. Jumlah

perkara pencemaran dan kerusakan lingkungan yang telah di tindaklanjuti melalui upaya

penegakan hokum oleh Kementrian LH dalam tahun 2001-2004 mencapai 77 perkara.

Ironisnya, AMDAL yang diharapkan sebagaiperangkat lebijakan yang dipersiapkan untuk

mengurangi dampaklingkungan suatu kegiatan sejak tahap perencanaan, dan bertujuan

mencegah laju pencemaran dan kerusakan lingkungan belum dapat diharapkan. Untuk melihat

sejauh mana penerapan AMDAL dalam otonomi daerah, Kementrian LH telah mengevaluasi

terhadap 75 domumen AMDAL.

Evaluasi ini menunjukkan sebagian domumen AMDAL gagal menyajikan substansi esensial

yang harus ada didalamnya dan tidak konsisten dalam mengevaluasi dampak yang dijaki.

Sebanyak 68% domumen AMDAL tersebut dikategorikan jelek. Hanya sebagian kecil
dokumen yang menunjukkan mutunya bagus, sehingga dapat digunakan sebagai bahan

pertimbangan dalam pengambilan keputusan.

Hasil evaluasi tersebut menunjukkan, meskipun secara kelembagaan institusi AMDAL telah

mencapai tahap mapan, tetapi masih memerlukan perbaikan terus-menerus agar lebih

meningkatkan peranan AMDAL dalam menjaga lingkunganhidup.Fenomena yang terjadi saat

ini Pemerintah Daerah berlomba-lomba “menjual” kekayaan alamnya dengan alas an untuk

meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).

C. Penegakan Hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Administrasi

Mewujudkan supremasi hukum melalui upaya penegakan hukum serta konsisten akan

memberikan landasan kuat bagi terselenggaranya pembangunan, baik dibidang ekonomi,

politik, sosial budaya, pertahanan keamanan. Namun dalam kenyataan untuk mewujudkan

supremasi hukum tersebut masih memerlukan proses dan waktu agar supremasi hukum dapat

benar-benar memberikan implikasi yang menyeluruh terhadap perbaikan pembangunan

nasional.

Dalam hubungan dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan

Lingkungan Hidup, penegakan hukum dibidang lingkungan hidup dapat diklasifikasikan

kedalam 3 (tiga) kategori yaitu :

1. Penegakan hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Administrasi / Tata Usaha

Negara.

2. Penegakan Hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Perdata.

3. Penegakan Hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Pidana.

Upaya penegakan sanksi administrasi oleh pemerintah secara ketata dan konsisten sesuai

dengan kewenangan yang ada akan berdampak bagi penegakan hukum, dalam rangkan

menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup. Sehubungan dengan hal ini, maka penegakan

sanksi administrasi merupakan garda terdepan dalan penegakan hukum lingkungan (primum
remedium). Jika sanksi administrasi dinilai tidak efektif, berulan dipergunakan sarana sanksi

pidana sebagai senjata pamungkas (ultimum remedium).

Ini berarti bahwa kegiatan penegakan hukum pidana terhadap suatu tindak pidana lingkungan

hidup baru dapat dimulai apabila : Aparat yang berwenang telah menjatuhkan sanksi

administrasi dan telah menindak pelanggar degan menjatuhkan suatu sanksi administrasi

tesebut, namun ternyata tidak mampu menghentikan pelanggaran yang terjadi, atau antara

perusahaan yang melakukan pelanggaran dengan pihak masyarakat yang menjadi korban

akibat terjadi pelanggaran, sudah diupayakan penyelesaian sengketa melalui mekanisme

altenatif di luar pengadilan dalam bentuk musyawarah / perdamaian / negoisasi / mediasi,

namun upaya yang dilakukan menemui jalan buntu, dan atau litigasi melalui pengadilan

pedata, namun upaya tersebut juga tidak efektif, baru dapat digunakan instrumen penegakan

hukum pidana lingkungan hidup.

Pada dasarnya setiap kegiatan pembangunan akan menimbulkan perubahan yang bersifat

positif ataupun negatif. Untuk mewujudkan pembangunan yang berwawasan lingkungan

hidup, maka perlu diusahakan peningkatan dampak positif dan mengurangi dampak negatif.

Kewenangan pemerintah untuk mengatur merupakan suatu hal yang telah ditetapkan oleh

Undang-Undang. Dari sisi Hukum Administrasi Negara, kewenangan ini di sebut dengan

kewenagan atribusi (Atributive bevoeghdheid), yaitu kewenangan yang melekat pada badan-

badan pemerintah yang diperoleh dari Udang-Undang. Sehingga badan-badan pemerintah

tersebut dengan demikian memilii kewenangan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 8

Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997.

Dengan demikian, badan-badan pemerintah yang berwenang meiliki legitimasi (kewenangan

bertindak dalam pengertian politik) untuk menjalankan kewenangan hukumnya. Karena

masalah legitimasi adalah persoalan kewenangan yaitu kewenangan menerapkan sanksi

seperti pengawasan dan pemberian sanksi yang merupakan suatu tugas pemerintah seperti

yang diamanatkan oleh undang-undang. Dalam hal pengawasan dilakukan oleh suatu lembaga
yang dibentuk khusus oleh pemerintah.

Sanksi administrasi merupakan kewenangan pemerintah provinsi yang dapat dilimpahkan

kepada Pemerintah Kabupaten / Kota, hal ini dapat tercantum dalam pasal 25 Undang-Undang

Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang berbunyi :

Gubernur / Kepala Daerah Tingkat I berwenang melakukan paksaan pemerintahan terhadap

penanggung jawab usaha dan / atau kegiatan untuk mencegah dan mengakhiri terjadinya

pelanggaran, serta menanggulangi akibat yang ditimbulkan oleh suatu pelanggaran,

melakukan tindakan penyelamatan, penanggulangan, dan / atau pemulihan atas beban biaya

penanggung jawab usaha dan /atau kegiatan, kecuali ditentukan lain berdasarkan Undang-

Undang.

Wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diserahkan kepada Bupati /

Walikotamadya / kepala Daerah Tingkat II dengan Peraturan Daerah Tingkat I.

Pihak ke-tiga yang berkepentingan berhak mengajukan permohonan kepada pejabat yang

berwenang untuk melakukan paksaan pemerintahan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan

ayat (2).

Peksaan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) didahulukan dengan

surat perintah dari pejabat berwenang.

Tindakan penyelamatan, penanggulangan dan/atau pemulihansebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dapat diganti dengan pembayaran uang tertentu.

Kemampuan daya dukung lingkungan hidup terdapat beban pencemaran mempunyai

keterbatasan. Apabila kondisi ini dibiarkan akan berdampak terhadap kehidupan manusia.

Oleh karena itu penegakan hukum adminitrasi oleh lembaga pemerintah harus dilaksanakan.

Sanksi-sanksi hukum adminitrasi yang khas

Manusia adalah sebagian dari ekosistem, manusia adalah pengelola pula dari sistem tersebut.

Kerusakan lingkungan adalah pengaruh sampingan dari tindakan manusia untuk mencapai

suatu tujuan yang mempunyai konsekuensi terhadap lingkungan. Pencemaran lingkungan


adalah akibat dari ambiguitas tindakan manusia. Kewajiban pengusaha untuk melakukan

pengendalian pencemaran lingkungan hidup adalah salah satu syarat dalam pemberian izin

usaha maka pengusaha dapat dimintakan pertanggungjawaban jika dia lalai dalam

menjalankan kewajibannya.

Teerdapat beberapa sanksi khas yang terkadang digunakan pemerintah dalam penegakan

hokum lingkungan, diantaranya Bestuursdwang. Bestuursdwang (paksaan pemerintahan)

diuraikan sebagai tindakan-tindakan yang nyata dari pengusaha guna mengakhiri suatu

keadaan yang dilarang oleh suatu kaidah hukum administrasi atau (bila masih) melakukan apa

yang seharusnya ditinggalkan oleh para warga karena bertentangan dengan undang-undang.

Penarikan kembali keputusan (ketetapan) yang menguntungkan (izin pembayaran, subsidi).

Penarikan kembali suatu keputusan yang menguntungkan tidak selalu perlu didasarkan pada

suatu peraturan perundang-undangan. Hal ini tidak termasuk apabila keputusan(ketetapan)

tersebut berlaku untuk waktu yang tidak tertentu dan menurut sifanya "dapat diakhiri" atau

diatrik kembali (izin, subsidi berkala).

D. Kesimpulan

Masyarakat Indonesia dalam kenyataannya lebih akrab dengan lingkungan alamnya daripada

penerapan teknologi. Perkembangan teknologi yang mengelola sumber daya alam harus

memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat, dengan tetap

memperhatikan keseimbangan dan kelestariannya sehingga tetap bermanfaat bagi generasi-

generasi mendatang. Dengan memperhatikan kualitas lingkungan alam, sosial, budaya, dan

ekonomi sebagai komoditi masyarakat setempat yang tersubsistem.

Hanya tindakan manusia yang membuat seolah-olah mampu menguasai alam sehingga hampir

semua lingkungan hidup sudah tersentuh oleh kehidupan manusia.

Penegakkan hukum lingkungan dapat dilakukan dengan pemberian sanksi yang berupa sanksi

administrasi. Sanksi administrasi menurut Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang


Pengelolaan Lingkungan Hidup diberikan oleh Gubernur / Kepala Daerah Tingkat I terhadap

penanggung jawab usaha dan /atau kegiatan untuk mencegah dan mengakhiri terjadinya

pelanggaran, serta menanggulangi akibat yang ditimbulkan oleh suatu pelanggaran,

melakukan tindakan penyelamatan, penanggulangan, dan /atau pemulihan atas beban biaya

penanggung jawab usaha dan /atau kegiatan, kecuali ditentukan lain berdasarkan Undang-

Undang.

Terdapat beberapa hal yang perlu dicermati pemerintrah sebagai bahan refleksi. Pertama, kita

telah memiliki Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hodup

sebagai Umbrella Act bagi peraturan yang lain yang juga mengatur mengenai lingkungan,

yang seharusnya mengedepankan kepentingan rakyat sebagai pemilik tanah dan air.

Namunmasalah utama pengelolaan lingkungan hidup tidak pernah ada niatan yang sungguh-

sungguh untuk peduli masalah lingkungan.

Kedua, perlindungan lingkungan masih minoritas ketimbang semangat mengeksploitasi. Ini

dapat diliohat dari seperangkat lingkungan tentang sumberdaya alam, yang diterbitkan

sekedar untuk mengatur eksploitasi ktimbang konservasi.

DAFTAR PUSTAKA

Azhar, 2003. Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia, palembang, Universitas Sriwijaya.

Ayu, KRH I Gusti. 2005. Upaya Penegakan Hukum Lingkungan. Harian Solopos, 5 Juni

2005.

Boehmer-Cristiansen S. 1994. Policy and Environmental Management. Journal of

Environmental Planning and Management. 37 (1).

Eggi Sudjana Riyanto, 1999. Penegakan Hukum Lingkungan dan Perspektig Etika Bisnis di

Indonesia. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.


Hadjon, Philipus. 1998. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Yogyakarta, UGM Press.

Kartawinata. 1990. Bentuk-bentuk Eksploitasi Sumber daya ALam. Laporan Peneloitian

BPTP-DAS Surakarta.

Nabil Makarim, 2003. Sambutan Dalam Seminar Pemikiran Perubahan UU No. 23 Tahun

1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Jakarta.

Siti Sundari Rangkuti, 2003. Instrumen Hukum Pengelolaan Lingkungan Hidup, Seminar

Pemikiran Perubahan UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup,

Jakarta.

Sumber Lain;

Kementrian Lingkungan Hidup RI, HImpunan Peraturan Perundang-Undangan Lingkungan

Hidup. Jakarta, 2002

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.


MAKALAH

PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN


TINJAUAN SANKSI ADMINISTRASI MENURUT UU NO. 23
TAHUN 1997
TENTANG

PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

Oleh

NUR HASAN

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS GRESIK

2013

Anda mungkin juga menyukai