Anda di halaman 1dari 270

HUKUM LINGKUNGAN

“PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN MELALUI INSTRUMEN


PERDATA”

DOSEN PENGAMPU :
Prof. Dr. I Wayan Parsa, S.H., M.HUM.

DISUSUN OLEH :

1. NI NYOMAN DEVI KARTIKASARI (2004551105)


2. I DEWA AYU BINTANG PRAMESTHI SWARI (2004551098)
3. PANDE MADE VANIA BERNIKA KRISNA (2004551086)
4. KETUT ALIT SUWARNI (2004551076)

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2022
I. LATAR BELAKANG

Masalah lingkungan tidak selesai dengan memberlakukan Undang-Undang


dan komitmen untuk melaksanakannya. suatu Undang-Undang yang mengandung
instrumen hukum masih diuji dengen pelaksanaan (uitvoering atau implementation)
dan merupakan bagian dari mata rantai pengaturan (regulatory chain) pengelolaan
lingkungan. Dalam merumuskan kebijakan lingkungan, Pemerintah lazimnya
menetapkan tujuan yang hendak dicapai. Kebijakan lingkungan disertai tindak lanjut
pengarahan dengan cara bagaimana penetapan tujuan dapat dicapai agar ditaati
masyarakat. Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup (UUPLH) mendasari kebijaksanaan lingkungan di Indonesia, karena
Undang-Undang, peraturan pemerintah dan peraturan pelaksanaan lainnya merupakan
instrumen kebijaksanaan (instrumenten van beleid).1

Instrumen kebijaksanaan lingkungan perlu ditetapkan dalam peraturan


perundang-undangan lingkungan dami kepastian hukum dan mencerminkan arti
penting hukum bagi penyelesaian masalah lingkungan. Instrumen hukum
kebijaksanaan lingkungan (juridische milieubeleidsinstrumenten) tetapkan oleh
pemerintah melalui berbagai sarana yang bersifat pencegahan, atau setidak-tidaknya
pemulihan, sampai tahap normal kualitas lingkungan. Upaya penegakan hukum
lingkungan yang konsisten akan memberikan landasan kuat bagi terselenggaranya
pembangunan, baik dibidang ekonomi, politik, sosial budaya, pertahanan keamanan.
Namun dalam kenyataan untuk mewujudkan supremasi hukum tersebut masih
memerlukan proses dan waktu agar supremasi hukum dapat benar-benar memberikan
implikasi yang menyeluruh terhadap perbaikan pembangunan nasional.
Selama ini pemerintah harus memberikan Sanksi administrasi yang merupakan
suatu upaya hukum yang harus dikatakan sebagai kegiatan preventif oleh karena itu
sanksi administrasi perlu ditempuh dalam rangka melakukan penegakan hukum
lingkungan. Disamping sanksi-sanksi lainnya yang dapat diterapkan seperti sanksi
perdata.2

1
Nastain. Penegakan Hukum Lingkungan Dari Aspek Perdata Indonesia. Hlm 2
2
Ibid. Hlm 3
II. RUMUSAN MASALAH

2.1 Apakah yang dimaksud dengan dengan penegakan hukum lingkungan?

2.2. Bagaimanakah penegakan hukum lingkungan jika ditinjau dalam aspek perdata?

III. PEMBAHASAN

3.1 Penegakan Hukum Lingkungan

Penegakan hukum lingkungan merupakan bagian integral “legislative


framework” dan tahapan terakhir “regulatory chain”.3 Tema penegakan hukum
lingkungan telah menarik perhatian publik termasuk menjadi topik utama dalam
“Fifth International Conference on Environmental Compliance and Enforcement” di
Monterey, California, Amerika Serikat (USA) pada tanggal 16-20 November 1998.
Konferensi ini bertujuan untuk memberikan pengertian dasar penegakan hukum
lingkungan dan mengembangkannya dalam jalinan kerjasama antar bangsa,
khususnya mengenai “transboundary compliance issues”

Kata “penegakan hukum lingkungan” (“environmental law enforcement” atau


“handhaving van milieurecht”) memiliki pengertian yang mengandung karakter
keterpaduan lintas disiplin (ilmu) hukum. Penegakan hukum lingkungan dalam
rangka pengendalian pencemaran lingkungan dapat dibedakan dalam tiga aspek:

1. Penegakan hukum lingkungan administratif oleh aparatur pemerintah;


2. Penegakan hukum lingkungan kepidanaan yang dilakukan melalui prosedur yuridis
peradilan;
3. Penegakan hukum lingkungan keperdataan serta “environmental disputes resolution ”
yang ditempuh secara litigasi maupun non litigasi.

Penegakan hukum lingkungan berkaitan erat dengan kemampuan aparatur dan


kepatuhan warga masyarakat terhadap peraturan perundang-undangan. Kemampuan
aparatur penegak hukum lingkungan disinyalir belum banyak mengalami kemajuan,
bahkan terdapat pihak yang tidak mengerti “siapakah yang dimaksud dengan aparatur
penegak hukum lingkungan”?4

3
Soerjono Soekanto dan Sri Mahmuji. Penelitian Hukum Normatif. (Jakarta: Rajawali Pers, 2007), hlm. 14.
4
Siti Sundari Rangkuti. Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional. Edisi Kedua. Airlangga
University Press, Surabaya. 2000. Hal. 208-210.
Aparatur penegak hukum lingkungan tidak hanya mencakup: hakim, polisi,
jaksa dan pengacara, tetapi juga pejabat/instansi yang berwenang memberi izin.
Bahkan dikonsepkan bahwa organ pemerintah yang berwenang memberi izin
merupakan aparatur penegak hukum lingkungan yang utama sedasar prinsip: “pejabat
yang berwenang memberi izin (lingkungan) bertanggung jawab terhadap penegakan
hukum lingkungan administratif”.

Penegakan hukum lingkungan dalam konstalasi pengendalian pencemaran dan


atau perusakan lingkungan bersentuhan pula dengan segmen “penyelesaian sengketa
lingkungan” melalui prosedur: “the litigation process and other tools for resolving
environmental disputes” (proses litigasi dan alat-alat kelengkapan lain untuk
menyelesaikan perselisihan lingkungan). Penyelesaian sengketa lingkungan tentang
pengendalian pencemaran lingkungan dengan proses litigasi dipandang sebagai
langkah terakhir, sedangkan jalur berperkara di luar pengadilan lebih diprioritaskan.5

3.2 Penegakan Hukum Lingkungan Melalui Instrumen Perdata

Hukum Perdata adalah cabang hukum yang mengatur mengenai


hubungan-hubungan hukum akibat perbuatan atau tindakan perdata antara seseorang
dan seseorang yang lainnya atau antara seseorang dengan badan hukum. Setiap
perbuatan atau tindakan perdata yang mengakibatkan penderitaan atau kerugian pada
pihak lain, maka orang atau beberapa orang tersebut harus dapat mengganti kerugian
akibat perbuatannya itu.6

Penegakan hukum lingkungan dalam konteks keperdataan, adalah berkaitan


dengan perangkat-perangkat hukum yang mengatur hubungan-hubungan privat
(pribadi) antar sesama warga masyarakat. Aspek perdata dalam pengelolaan hukum
lingkungan hidup merupakan salah satu aspek penegakan hukum lingkungan. Dengan
terjadinya pencemaran dan perusakan lingkungan, maka akan ada korban pencemaran
dan perusakan atau dalam artian pihak yang dirugikan. dapat berupa orang
perorangan, masyarakat, atau negara.

5
Siti Sundari Rangkuti. Penegakan Hukum Lingkungan Administratif di Indonesia. Pro Justitia. Tahun XVII.
No. 1. 1999. Hal. 3-4.
6
Made Nikita Novia Kusumantari, I Made Udiana, Penegakan Hukum Lingkungan Melalui Aspek Hukum
Perdata, Fakultas Hukum Universitas Udayana.
7
Hukum lingkungan keperdataan bertujuan untuk memberikan perlindungan
hukum bagi korban pencemaran lingkungan dengan cara mengajukan gugatan
sengketa lingkungan diperadilan umum untuk mengganti kerugian. Penyelesaian
sengketa lingkungan diartikan sebagai gugatan ganti kerugian atas dasar perbuatan
melawan hukum dibidang lingkungan keperdataan oleh korban pencemaran
lingkungan. 8
Salah satu aspek berkaitan dengan keperdataan dalam hukum lingkungan
adalah mengenai pertanggungjawaban ganti rugi (liability). Ganti rugi dalam
lingkungan adalah sebagaian dari hal-hal yang berhubungan dengan tanggungjawab
mengenai timbulnya pencemaran dan kerusakan lingkungan oleh perbuatan seseorang
(environmental responsbility) yang merupakan rangkaian kewajiban seseorang untuk
memikul tanggungjawab penderita yang telah dilanggar haknya atas lingkungan hidup
yang sehat.
Dalam UUPPLH menentukan environmental responsbility mencakup baik
kepada masalah ganti rugi kepada orang perorangan (private compensation) maupun
mengenai biaya pemulihan lingkungan (public compensation).

9
Dalam UUPPLH dasar hukum tentang penyelesaian sengketa lingkungan
diatur dalam BAB XIII yang berjudul Penyelesaian Lingkungan. Pasal 84 UUPPLH
menentukan:

1. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau


diluar pengadilan;

2. Pilihan penyelesaian sengketa lingkungan hidup dilakukan secara sukarela oleh


para pihak yang bersengketa.

3. Gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya penyelesaiannya


sengketa lingkungan diluar pengadilan yang dipilih dinyatakan tidak berhasil oleh
salah satu atau para pihak yang bersengketa.

7
Ibid.
8
Gabrielle Jacqueline Pondaag, 2013, Pertanggungjawaban Secara Perdata Dari Badan Usaha Pertambangan
Terhadap Pencemaran Lingkungan Hidup, Lex Privatum, Vol.1/No.1/Jan-Mrt/2013, Jurnal.
9
Moh. Fadli, Mukhlish, Mustafa Lutfi, Siti Nurbaya Bakar, 2016, Hukum&Kebijakan Lingkungan, UB Press,
Malang, Hal.86, Buku.
Aspek-aspek keperdataan yang tercantum dalam pasal-pasal tersebut berisikan
tentang penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang dapat ditempuh melalui jalur
pengadilan (litigasi) atau jalur diluar pengadilan (non litigasi) berdasarkan pilihan
secara sukarela para pihak yang bersengketa. Ketentuan tersebut dimaksudkan untuk
melindungi hak keperdataan para pihak yang bersengketa.
Penyelesaian sengketa diluar pengadilan (non litigasi) sebagaimana di atur
dalam Pasal 85 UUPLH, “Penyelesaian sengketa di lingkungan di luar pengadilan
diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti
rugi, tindakan pemulihan akibat pencemaran atau perusakan, mengenai tindakan
tertentu guna menjamin tidak akan terjadinya atau terulangnya pencemaran atau
perusakan, serta untuk mencegah timbulnya dampak negatif terhadap lingkungan
hidup”. Dalam penyelesaian sengketa diluar pengadilan dapat digunakan jasa pihak
ketiga netral untuk membantu menyelesaikan sengketa lingkungan hidup yakni
melalui penyelesaian sengketa alternatif yaitu, arbitrase, mediasi, negosiasi, dan
konsiliasi.
Sedangkan mengenai penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui
pengadilan (litigasi) diatur dalam UUPPLH Pasal 87 sampai Pasal 92. Pasal 87 ayat
(1) menyatakan, “Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan
perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib
membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu”. Berdasarkan ketentuan
Pasal 87 ayat (1), agar dapat diajukan gugatan lingkungan untuk memperoleh ganti
kerugian harus terpenuhi unsur unsur:
1. Setiap penanggung jawab usaha/kegiatan;
2. Melakukan perbuatan melanggar hukum;
3. Berupa pencemaran atau perusakan lingkungan;
4. Menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan;
5. Penanggung jawab kegiatan membayar ganti rugi dan/atau melakukan
tindakan tertentu.
Selain daripada itu, penyelesaian sengketa dalam aspek hukum perdata berupa
ganti rugi umumnya didasarkan atas :
1. Tidak dipenuhinya kewajiban perjanjian sebagaimana tercantum dalam Pasal
1243 KUH Perdata;
2. Perbuatan melawan hukum, sebagaimana tercantum dalam Pasal 1365
KUHPerdata.
Penyelesaian sengketa dalam aspek keperdataan juga di atur dalam UUPPLH
yakni mengenai konsep atau asas tanggung gugat mutlak (strict liability). Dalam
lapangan Hukum Perdata, asas tanggung jawab mutlak (strict liability) merupakan
salah satu jenis pertanggungjawaban perdata (civil liability).10 Pada Pasal 88
UUPPLH menyatakan, “Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau
kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3,
dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung
jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan”.
Unsur dalam Pasal 88 ini juga menjelaskan dengan jelas bahwa, dalam Pasal 88
UUPPLH ini sejatinya mencirikan pada ciri utama daripada strict liability, dimana
dalam pengaturannya ada klausula yang menjalaskan bahwa dalam timbulnya
tanggungjawab seketika pada saat terjadinya perbuatan, sehinga tidak perlu dikaitkan
dengan unsur kesalahan. 11
Selain daripada itu dalam penyelesaian sengketa keperdataan, dapat pula
dilakukan dengan mekanisme gugatan class action dalam rangka penyelesaian
sengketa lingkungan yang melibatkan korban orang dalam jumlah banyak. Class
Action adalah suatu gugatan perdata yang diajukan oleh satu orang atau lebih yang
mewakili kelompok yang dirugikan untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan karena
adanya kesamaan fakta dan dasar hukum antara satu orang atau lebih yang mewakili
kelompok dengan kelompok yang diwakili. Pengakuan hukum adanya class action di
Indonesia adalah diatur dalam UUPLH yakni pasal 37 ayat (1) dan (2). Secara khusus
kemudian diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1 Tahun
2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok. 12
Selain itu penyelesaian sengketa ini juga diatur dalam Pasal 91 dan Pasal 92
UUPPLH mengenai ketentuan serta penjelasan mengenai hak gugat organisasi
lingkungan hidup. Dalam Pasal 91 menentukan :
(1) Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan kelompok untuk kepentingan
dirinya sendiri dan/atau kerusakan lingkungan hidup.

10
Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), ( Sinar Grafika: Jakarta, 2008). Hal. 45.
11
HT. Siahaan, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan,Hal. 310.
12
Yola Wulandari, I Gede Yusa, Efektivitas Penerapan Class Action Dalam Penyelesaian Sengketa Lingkungan
Di Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Jurnal.
(2) Gugatan dapat diajukan apabila terdapat kesamaan fakta atau peristiwa, dasar
hukum, serta jenis tuntutan di antara wakil kelompok dan anggota kelompoknya.
Dalam Pasal 92 ayat (1) UUPLH 2009 menyebutkan: “Dalam rangka
pelaksanaan tanggung jawab perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup,
organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan
pelestarian fungsi lingkungan hidup”.

IV. KESIMPULAN

Berdasarkan paparan yang telah di sampaikan di atas dapat disimpulkan,

Penegakan hukum lingkungan memiliki pengertian yang mengandung karakter


keterpaduan lintas disiplin (ilmu) hukum. Penegakan hukum lingkungan dalam
rangka pengendalian pencemaran lingkungan dapat dibedakan dalam tiga aspek:

1. Penegakan hukum lingkungan administratif oleh aparatur pemerintah;


2. Penegakan hukum lingkungan kepidanaan yang dilakukan melalui prosedur
yuridis peradilan;
3. Penegakan hukum lingkungan keperdataan atau “environmental disputes
resolution ” yang ditempuh secara litigasi maupun non litigasi.

Penegakan hukum lingkungan melalui instrumen perdata yang dalam


UUPPLH proses penegakan hukum lingkungan melalui prosedur perdata diatur dalam
Bab XIII Pasal 84 sampai dengan Pasal 93. Aspek-aspek keperdataan yang tercantum
dalam pasal-pasal tersebut berisikan tentang penyelesaian sengketa lingkungan hidup
yang dapat ditempuh melalui dua penyelesaian sengketa yakni, jalur pengadilan
(litigasi) dengan cara mengajukan “gugatan lingkungan” yakni membayar ganti
kerugian dan atau melakukan tindakan tertentu. Selain itu juga terdapat penyelesaian
dengan asas tanggungjawab mutlak, gugatan kelompok (class action) dan hak gugat
organisasi lingkungan hidup. Atau melalui jalur diluar pengadilan (non litigasi)
dengan cara digunakannya jasa pihak ketiga (netral) yakni melalui, arbitrase,
negosiasi, mediasi dan konsiliasi. Semua cara penyelesaian sengketa tersebut dapat
dipilih berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa.
DAFTAR PUSTAKA

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan


Hidup.

BUKU

Soerjono Soekanto dan Sri Mahmuji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: Rajawali Pers,
2007, Hal 14.

Rangkuti, Siti Sundari, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, Edisi
Kedua, Airlangga University Press, Surabaya, 2000, Hal 208-210.

Siti Sundari Rangkuti, Penegakan Hukum Lingkungan Administratif di Indonesia, Pro


Justitia, Tahun XVII, No. 1, Januari 1999, Hal 3-4.

Moh. Fadli, Mukhlish, Mustafa Lutfi, Siti Nurbaya Bakar, 2016, Hukum&Kebijakan
Lingkungan, UB Press, Malang, Hal.86, Buku.

Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), ( Sinar Grafika: Jakarta, 2008). Hal. 45.

HT. Siahaan, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, Hal. 310.

JURNAL

Made Nikita Novia Kusumantari, I Made Udiana, Penegakan Hukum Lingkungan Melalui
Aspek Hukum Perdata, Fakultas Hukum Universitas Udayana.

Gabrielle Jacqueline Pondaag, 2013, Pertanggungjawaban Secara Perdata Dari Badan


Usaha Pertambangan Terhadap Pencemaran Lingkungan Hidup, Lex Privatum,
Vol.1/No.1/Jan-Mrt/2013, Jurnal.

Yola Wulandari, I Gede Yusa, Efektivitas Penerapan Class Action Dalam Penyelesaian
Sengketa Lingkungan Di Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Jurnal.

Nastain. Penegakan Hukum Lingkungan Dari Aspek Perdata Indonesia. Hlm 2.


HUKUM LINGKUNGAN

“Penegakan Hukum Lingkungan Melalui Instrumen Hukum Administrasi (HAN)”

Dosen Pengampu:
Prof. Dr. I Wayan Parsa, S.H., M.Hum.

Disusun Oleh : Kelompok 11


Nama Anggota Kelompok :
1. Ida Wayan Bagus Abby Banu (2004551079)
2. Ni Ketut Devi Damayanti (2004551085)
3. I Gusti Mahendra Satria Pranata (2004551097)
4. Anak Agung Adik Sri Utari (2004551113)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat,
rahmat, dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan tugas paper yang berjudul
“Penegakan Hukum Lingkungan Melalui Instrumen Hukum Administrasi (HAN)” ini tepat
pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan paper ini adalah untuk memenuhi tugas dari Prof. Dr. I
Wayan Parsa, S.H., M.Hum. pada mata kuliah Hukum Lingkungan. Selain itu, paper ini juga
bertujuan untuk menambah wawasan tentang Penegakan Hukum Lingkungan Melalui
Instrumen Hukum Administrasi (HAN) bagi para pembaca dan penulis sendiri.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. I Wayan Parsa, S.H., M.Hum.,
selaku dosen pengampu pada mata kuliah Hukum Lingkungan yang telah memberikan tugas
ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang
penulis tekuni. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membagi pengetahuannya sehingga paper ini dapat diselesaikan.
Penulis menyadari paper ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang membangun akan sangat berguna demi kesempurnaan makalah ini dan menjadi
referensi pembuatan paper penulis kedepannya.

Denpasar, 25 April 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman Judul ..............................................................................................................i

Kata Pengantar .............................................................................................................ii

Daftar Isi ........................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN ..............................................................................................1

1. 1 Latar Belakang Masalah...............................................................................1


1. 2 Rumusan Masalah ........................................................................................2
1. 3 Tujuan Penulisan ..........................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN ...............................................................................................3

2.1 Penegakan Hukum Lingkungan ...................................................................3


2.2 Penegakan Hukum Administrasi Lingkungan .............................................5
2.3 Bentuk Instrumen Hukum Administrasi dalam Penegakan Hukum
Lingkungan ..................................................................................................7
2.4 Hal-Hal yang Mempengaruhi Penegakan Hukum Lingkungan ...................11
2.5 Konsep Pengawasan Penegakan Hukum Lingkungan .................................12
2.6 Macam-Macam Sanksi Administrasi dalam Penegakan Hukum
Lingkungan ..................................................................................................14

BAB III PENUTUP .......................................................................................................19

3.1 Kesimpulan ..................................................................................................19


3.2 Saran.............................................................................................................22

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................24

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang Masalah
Bumi merupakan tempat tinggal makhluk hidup dengan segala keseimbangan yang
ada didalamnya,1 termasuk lingkungan hidup itu sendiri. Lingkungan hidup merupakan ruang
bagi makhluk hidup untuk tumbuh dan berkembang serta saling berinteraksi dengan satu
sama lainnya. Kehidupan yang ditandai dengan interaksi dan saling ketergantungan secara
teratur merupakan tatanan ekosistem yang di dalamnya mengandung esensi penting, dimana
lingkungan hidup sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dibicarakan terpisah.2 Indonesia
sebagai salah satu negara di Bumi yang dianugerahi kekayaan alam yang berlimpah serta
keindahan alam yang sangat indah. Namun, kekayaan dan keindahan alam tersebut juga
dibarengi dengan permasalahan lingkungan hidup yang semakin lama semakin besar, meluas
dan serius.3 Masalah lingkungan hidup tersebut berupa pencemaran dan/atau perusakan.
Kerusakan lingkungan hidup itu sendiri dapat diakibatkan oleh faktor alam maupun
kesalahan dari tindakan manusia.4 Dampak kerusakan lingkungan tidak hanya terkait pada
satu dua segi saja, namun juga dapat mempengaruhi subsistem-subsistem yang ada
didalamnya. Apabila satu aspek dari lingkungan terkena masalah, maka berbegai aspek
lainnya akan mengalami dampak atau akibat pula.5 Sehingga, dampak daripada kerusakan
lingkungan tidak hanya berdampak pada kelangsungan kehidupan manusia sekarang, namun
juga mengancam kelangsungan hidup manusia di masa yang akan datang. Oleh karenanya,
perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan yang sungguh-sungguh dan
konsisten oleh semua pemangku kepentingan.6
Perlindungan yang dapat direalisasikan oleh pemangku kepentingan yakni berupa
pembentukan dan penegakan hukum. Tujuan daripada penegakan hukum, khususnya dalam
hal lingkungan, lebih kepada penataan (compliance) terhadap nilai-nilai perlindungan daya
dukung ekosistem dan fungsi lingkungan hidup yang pada umumnya diformalkan kedalam

1
Zulharman, “Penegakan Hukum Lingkungan Administrasi dalam Upaya Perlindungan Kawasan Karst di
Kabupaten Maros”, (Skripsi, Fakultas Hukum: Universitas Hasanuddin 2017) 1.
2
Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press 2000) 4.
3
Wahyu Rasyid, Sadriyah Mansur dan Burhanuddin, “Peran Hukum Administrasi dalam Penegakan Hukum
Lingkungan di Kota Parepare” 2021 (5) 1 Madani Legal Review 57.
4
Aditia Syaprillah, “Penegakan Hukum Administrasi Lingkungan Melalui Instrumen Pengawasan”, 2016 (1) 1
Bina Hukum Lingkungan 100.
5
N.H.T. Siahaan, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, (Jakarta: Erlangga 2004) 1-2.
6
Desita Andini, Risno Mina, “Instrumen Administrasi dalam Penegakan Hukum Atas Pelaksanaan Izin
Lingkungan”, 2020 (4) 2 Jurnal Yustisiabel 129.

1
peraturan perundang-undangan.7 Penerapan daripada penegakan hukum lingkungan dapat
dilakukan secara administrasi, keperdataan dan kepidanaan. Namun faktanya, penegakan
hukum bukanlah perihal yang sederhana dan masih terdapat masalah-masalah dalam
penerapannya. Masalah penegakan hukum bukan saja karena kompleksitas sistem hukum itu
sendiri, tetapi juga jalinan hubungan antara sistem hukum dengan sistem sosial, politik,
ekonomi dan budaya masyarakat.8 Oleh karenanya, penegakan hukum lingkungan tidak
hanya dapat didasarkan atas kemampuan aparatur negara, namun juga kepatuhan warga
masyarakat terhadap peraturan yang berlaku. Permasalahan mengenai lingkungan yang tidak
ada ujungnya menjadi latar belakang penulis dalam mengangkat topik terkait penegakan
hukum lingkungan, yang mana akan dibahas lebih mengkhusus, yakni melalui instrumen
hukum administrasi (HAN) itu sendiri.
1. 2 Rumusan Masalah
1. 2. 1 Bagaimana konsep daripada penegakan hukum lingkungan?
1. 2. 2 Bagaimana konsep daripada penegakan hukum administrasi lingkungan?
1. 2. 3 Apa saja bentuk-bentuk instrumen hukum administrasi dalam penegakan
hukum lingkungan?
1. 2. 4 Apa saja hal-hal yang dapat mempengaruhi penegakan hukum lingkungan?
1. 2. 5 Bagaimana konsep pengawasan penegakan hukum lingkungan?
1. 2. 6 Apa saja macam-macam sanksi administrasi dalam penegakan hukum
lingkungan?
1. 3 Tujuan Penulisan
1. 3. 1 Untuk mengetahui konsep penegakan hukum lingkungan.
1. 3. 2 Untuk mengetahui konsep penegakan hukum administrasi lingkungan.
1. 3. 3 Untuk mengetahui bentuk instrumen hukum administrasi dalam penegakan
hukum lingkungan.
1. 3. 4 Untuk mengetahui hal-hal yang dapat mempengaruhi penegakan hukum
lingkungan.
1. 3. 5 Untuk mengetahui konsep pengawasan penegakan hukum lingkungan.
1. 3. 6 Untuk mengetahui macam-macam sanksi administrasi dalam penegakan
hukum lingkungan.

7
Fitria, “Penegakan Hukum Administrasi Terhadap Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)
Berdasarkan Undang-Undang 32 Tahun 2009 di Kota Jambi”, 2015 Jurnal Ilmu Hukum 34-35.
8
Nurul Listiyani, Muzahid Akbar Hayat dan Ningrum Ambarsari, “Penegakan Hukum Administrasi Lingkungan
Melalui Instrumen Pengawasan: Rekonstruksi Materi Muatan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup”, 2020 (12) 1 Al’Adl 119.

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Konsep Penegakan Hukum Lingkungan

Secara kebahasaan, terdapat beberapa istilah terkait dengan penegakan hukum


diantaranya dalam Bahasa Inggris yaitu “law enforcement”, kemudian dalam Bahasa
Belanda disebutkan sebagai “rechshanhaving.”. Istilah-istilah tersebut sejatinya memiliki
makna yang luas dan beragam terkait dengan definisi dari penegakan hukum itu sendiri.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) penegakan hukum diartikan sebagai
petugaas yang berhubungan dengan masalah peradilan. Kemudian menurut Satjipto Rahardjo,
penegakan hukum diartikan sebagai suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan
hukum, yaitu pikiran-pikiran dari badan-badan pembuat undang-undang yang dirumuskan
dan ditetapkan dalam peraturan–peraturan hukum yang kemudian menjadi kenyataan.9
Selanjutnya menurut K. Hardjasoemantri, penegakan hukum adalah kewajiban dari seluruh
anggota masyarakat, sehingga untuk itu pemahaman tentang hak dan kewajiban menjadi
syarat mutlak. Sedangkan menurut Jimly Asshiddiqie, penegakan hukum merupakan upaya
yang dilakukan untuk menjadikan hukum, baik dalam arti formil yang sempit maupun dalam
arti materiel yang luas, sebagai pedoman perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh
para subjek hukum yang bersangkutan maupun oleh aparatur penegakan hukum yang resmi
diberi tugas dan kewenangan oleh undang-undang untuk menjamin berfungsinya norma-
norma hukum yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.10 Jadi
berdasarkan uraian tersebut terlihat bahwa definisi dari penegakan hukum adalah suatu proses
atau upaya untuk menegakkan norma dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya untuk
menggapai tujuan utama dari penegakan hukum yakni Keadilan, Kemanfaatan, dan
Kepastian.

Selanjutnya, jika berbicara mengenai penegakan hukum lingkungan merupakan


penegakan hukum yang cukup rumit karena hukum lingkungan menempati titik silang antara
berbagai bidang hukum klasik dengan tujuan untuk mempertahankan dan menciptakan
lingkungan yang bisa dinikamati oleh seluruh manusia atau tidak menggangu lingkungan itu
sendiri. Menurut Andi Hamzah Penegakan hukum lingkungan merupakan mata rantai

9
Suhartono, S. (2018) ‘Dinamika Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Di Indonesia’, Widya Yuridika,
1(2), p. 129. doi: 10.31328/wy.v1i2.742.
10
Nina Herlina (2017) ‘PERMASALAHAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PENEGAKAN HUKUM
LINGKUNGAN DI INDONESIA Oleh : Nina Herlina, S.H., M.H. *) ABSTRAK’, Unigal.Ac.Id, 3(2), pp. 1–
16.

3
terakhir dalam siklus pengaturan perencanaan kebijakan tentang lingkungan yang urutannya
dimulai dari: (1) Perundang-undangan; (2) Penentuan Standar; (3) Pemberian Izin; (4)
Penerapan; dan (5) Penegakan Hukum.11 Pada dasarnya untuk tercapainya kondisi pelestarian
kemampuan lingkungan hidup yang baik dan sehat maka diperlukan kemampuan aparatur
penegak hukum dan kepatuhan warga masyarakat terhadap peraturan yang berlaku salah
satunya melalui konsep hukum administrasi negara. Penegakan hukum lingkungan menurut
Nottie Handhaving Milieurecht ialah pengawasan dan penerapan atau ancaman, penggunaan
instrument administratif, kepidanaan atau keperdataan dicapailah penataan ketentuan hukum
dan peraturan yang berlaku umum dan individual.12 Sedangkan menurut Siti Sundari
Rangkuti, penegakan hukum lingkungan merupakan upaya untuk mencapai ketaatan terhadap
peraturan dan persyaratan dalam ketentuan hukum yang berlaku secara umum dan individual,
melalui pengawasan dan penerapan (atau ancaman) sarana administratif, kepidanaan, dan
keperdataan.13 Lebih lanjut menurut Siti Sundari Rangkuti, menyebutkan bahwa penegakan
hukum lingkungan dapat dilakukan secara preventif dan represif, sesuai dengan sifat dan
efektivitasnya. Penegakan hukum yang bersifat preventif berarti bahwa pengawasan aktif
dilakukan terhadap kepatuhan kepada peraturan tanpa kejadian langsung yang menyangkut
peristiwa konkrit yang menimbulkan sangkaan bahwa peraturan hukum telah dilanggar.
Adapun instrument penegakan hukum preventif adalah penyuluhan, pemantauan, dan
penggunaan kewenangan yang sifatnya pengawasan (pengambilan sampel, penghentian
mesin-mesin dan sebagainya). Dengan demikian, penegak hukum yang utama adalah pejabat
atau aparat pemerintah yang berwenang memberi izin dan mencegah terjadinya pencemaran
lingkungan. Sedangkan penegakan hukum yang bersifat represif dilakukan dalam hal
perbuatan yang melanggar peraturan dan bertujuan untuk mengakhiri secara langsung
perbuatan terlarang.14

Adapaun aparatur penegakan hukum lingkungan meliputi Polisi, Jaksa, Hakim,


Penasehat hukum, Pejabat/ instansi yang berwenang memberi izin seperti Instansi
Kementerian Lingkungan Hidup dan Instansi Pemerintahan Daerah Provinsi, Kabupaten dan
Kota yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup. Maupun pihak yang terkait
dengan pengelolaan lingkungan hidup seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM),

11
Luthfillah Fazari, S. (2020) ‘Penegakan Hukum Lingkungan dan Pemanfaatan Ruang Udara’, Jurnal Ekologi,
Masyarakat dan Sains, 1(1), pp. 30–36. doi: 10.55448/ems.v1i1.4.
12
Nina Herlina (2017). Op.cit
13
Syaprillah, A. (2016) ‘Penegakan Hukum Administrasi Lingkungan Melalui Instrumen Pengawasan’, Bina
Hukum Lingkungan, 1(1), pp. 99–113. doi: 10.24970/jbhl.v1n1.8.
14
Ibid

4
Masyarakat, Pengusaha, dan Pers. Seperti yang dibahas sebelumnya, mengacu kepada
definisi dari penegakan hukum lingkungan menurut Siti Sundari Rangkuti bahwasannya
terdapat tiga sarana yang dapat digunakan dalam penegakan hukum lingkungan yaitu sarana
administratif, kepidanaan, dan keperdataan. Dalam penentuan penggunaan sarana penegakan
Hukum Administrasi, Perdata, dan Pidana, setidaknya ada beberapa syarat penindakan dan
penggunaan sarana penegakan hukum yang harus diperhatikan khususnya dalam Hukum
Administrasi Negara atau Hukum Tata Usaha Negara yang sesuai dengan fokus pembahasan
ini yaitu:15

a. Adanya pasal-pasal peraturan hukum tata usaha negara yang dilanggar;


b. Suatu kegiatan-kegiatan tersebut secara jelas melanggar satu atau beberapa pasal
peraturan perundang-undangan yang menyebutkan sanksinya secara jelas; dan
c. Penjatuhan sanksi dilakukan oleh Pejabat yang diberi wewenang untuk menjatuhkan
sanksi tersebut berdasarkan ketentuan perundang-undangan atau berdasarkan
ketentuan/persyaratan yang tercantum dalam surat izin yang diterbitkan oleh Pejabat
yang menjatuhkan sanksi tersebut.
2.2 Konsep Penegakan Hukum Administrasi Lingkungan

Seperti pembahasan sebelumnya bahwa dalam penegakan hukum lingkungan dapat


digunakan dengan instrument hukum administrasi negara. Penegakan hukum administrasi
merupakan bagian kekuasaan memerintah (besturen). Maka dari itu, penegakan hukum
administrasi negara tunduk kepada asas-asas umum dalam hukum pemerintahan yaitu: asas
keabsahan, asas efisiensi dan efektifitas, asas keterbukaan, dan asas berencana. 16 Secara
umum dalam penegakan hukum lingkungan dengan instrument hukum administrasi
merupakan bagian dari penegakan hukum yang bersifat preventif karena dilaksanakan
melalui instrumen pengawasan dan perizinan. Namun, menurut J.B.J.M. ten Berge
menyatakan bahwa instrumen penegakan hukum administrasi meliputi dua hal, yaitu
pengawasan dan penegakan sanksi. Pengawasan merupakan langkah preventif untuk
memaksa kepatuhan, sedangkan penerapan sanksi merupakan langkah represif untuk
memaksa kepatuhan.17 Selain itu, penegakan hukum lingkungan melalui instrumen hukum
administrasi merupakan langkah pertama dan utama untuk mencapai penataan peraturan

15
Ibid
16
Philipus M. Hadjon, “ Penegakan Hukum Lingkungan Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup” dalam B.
Arief Sidharta, ed., ed., Butir-Butir Gagasan entang Penyelenggaraan Hukum dan Pemerintahan Yang Layak
(Sebuah Tanda Mata bagi 70 ahun Prof. Dr. Ateng Syafrudin. S.H), PT CITRA ADITYA BAKTI, Bandung,
1996, hlm. 335
17
Syaprillah, A. (2016). Op.cit

5
(compliance). Dikatakan sebagai langkah pertama, karena kasus lingkungan sebenarnya tidak
akan terjadi jika instrumen hukum administrasi lingkungan diterapkan dan ditegakkan dengan
baik. Sebagai langkah yang utama, karena pada prinsipnya penegakan hukum lingkungan
yang lebih utama bukanlah menghukum para pencemaran atau kerusakan lingkungan, tetapi
mencegah dan memulihkan kualitas dan daya dukung lingkungan.18 Adapun beberapa
kelebihan penerapan instrumen hukum lingkungan administrasi dalam penegakan hukum
lingkungan dibandingkan dengan istrumen hukum pidana dan perdata yang dikemukakan
oleh Mas Ahmad Santosa sebagai berikut:

a. Penegakan hukum adminsitrasi di bidang lingkungan hidup dapat dioptimalkan


sebagai perangkat pencegahan (preventif).
b. Penegakan hukum administrasi (yang bersifat pencegahan), dapat lebih efisien dari
sudut pembiayaan dibandingkan penegakan hukum pidana dan perdata. Pembiayaan
untuk penegakan hukum administrasi meliputi biaya pengawasan lapangan yang
dilakukan secara rutin dan pengujian laboratorium, lebih murah dibandingkan dengan
upaya pengumpulan bukti, investigasi lapangan, mempekerjakan saksi ahli untuk
membuktikan aspek kausalitas (sebab akibat) dalam kasus pidana dan perdata.
c. Penegakan hukum administrasi lebih memiliki kemampuan mengundang partisipasi
masyarakat. Partisipasi masyarakat dialakukan mulai dari proses perizinan,
pemantauan, penataan, pengawasan, dan partisipasi dalam mengajukan keberatan dan
meminta pejabat tata usaha negara untuk memberlakukan sanksi administrasi.

Lebih lanjut, Mas Ahmad Sentosa menyebutkan bahwa perangkat penegakan hukum
dalam sebuah sistem hukum dan pemerintahan, minimal harus meliputi:

a. izin, yang didayagunakan sebagai perangkat pengawasan dan pengendalian


b. persyaratan dalam izin dengan merujuk kepada Amdal, standar baku lingkungan,
peraturan perundang-undangan
c. mekanisme pengawasan penataan
d. keberadaan pejabat pengawas dengan kualitas dan kuantitas yang memadai
e. sanksi adminstrasi.19

18
Ambarsari, N. L. M. A. H. N. (2020) ‘Penegakan Hukum Administrasi Lingkungan Melalui Instrumen
Pengawasan: Rekonstruksi Materi Muatan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup’, Al’Adl, 12(1), pp. 116–130. Available at: https://ojs.uniska-
bjm.ac.id/index.php/aldli/article/view/2650.
19
Ibid

6
2.3 Bentuk Instrumen Hukum Administrasi Dalam Penegakan Hukum Lingkungan

Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap kegiatan pembangunan akan menimbulkan


dampak terhadap lingkungan hidup. Penerapan prinsip berkelanjutan dan berwawasan
lingkungan dalam proses pelaksanaan pembangunan, merupakan upaya sistematik untuk
meminimalisir dampak yang ditimbulkan terhadap lingkungan. Sehingga sejak awal
dianalisis perencanaannya untuk dapat mengetahui langkah pengendalian dampak negatif dan
pengembangan dampak positif. Perangkat atau instrumen yang dapat digunakan untuk
melakukan hal tersebut adalah Amdal dan UKL-UPL. Instrumen Amdal dan UKL-UPL juga
merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan Izin Lingkungan.

Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan mengatakan


bahwa tata cara mendapatkan izin lingkungan, harus menyampaikan a) dokumen Amdal atau
formulir UKL-UPL; b) Dokumen pendirian Usaha dan/atau Kegiatan; dan c) Profil Usaha
dan/atau Kegiatan. Kemudian izin lingkungan tersebut sebelum diterbitkan terlebih dahulu
harus diumumkan kepada masyarakat di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan untuk
mendapatkan saran, pendapat dan tanggapan dari masyarakat.

Dalam pengelolaan lingkungan hidup, pengaturan mengenai perizinan sesuai dengan


UUPPLH merupakan perangkat hukum yang bersifat preventif. Upaya preventif dalam
rangka pengendalian dampak lingkungan hidup perlu dilaksanakan dengan mendayagunakan
secara maksimal instrumen pengawasan dan perizinan. Dalam hal pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup sudah terjadi, perlu dilakukan upaya represif berupa penegakan
hukum yang efektif, konsekuen, dan konsisten terhadap pencemaran dan kerusakan
lingkungan hidup tersebut. Untuk itu perlu dikembangkan satu sistem hukum perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup yang jelas, tegas, dan menyeluruh guna menjamin
kepastian hukum sebagai landasan bagi perlindungan dan pengelolaan sumber daya alam
serta kegiatan pembangunan lain20. Selanjutnya Dahlia Kusuma Dewi, dkk (2014)
menjelaskan tentang penanganan masalah lingkungan melalui perangkat hukum administrasi
merupakan bagian dari penegakan hukum non penal. Tujuan dari penegakan hukum
lingkungan essensinya adalah penataan (compliance) terhadap nilai-nilai perlindungan daya
dukung ekosistem dan fungsi lingkungan hidup.

20
Vica J. E. Saija, 2014, Wewenang Pemerintah Daerah Dalam Pemberian Izin Lingkungan Hidup, Jurnal SASI
Fakultas Hukum Universitas Patimura Ambon ISSN 1693-0061, Volume 20 Nomor 1, 68-80.

7
Instrumen adminsitrasi penegakan hukum terkait dengan pelaksanaan izin lingkungan
menggunakan beberapa instrumen yaitu pengawasan, penegakan sanksi administrasi, dan
gugatan Tata Usaha Negara

1) Pengawasan
Pengawasan merupakan rangkaian kegiatan untuk mendeteksi sejauhmana
kebijakan dijalankan dan sampai sejauhmana penyimpangan yang terjadi dalam
pelaksanaan kebijakan tersebut. Menurut Yayat M. Herijitu21“pengawasan atau
controlling adalah mengamati dan mengalokasikan dengan tepat penyimpangan-
penyimpangan yang terjadi”. Selanjutnya dalam pengawasan tentunya tidak boleh
terlepas pada prinsip-prinsip pengawasa. Adapun prinsip-prinsip pengawasan
menurut Faisal Abdullah adalah:
a) Mencerminkan apa yang diawasi
b) Dapat segera diketahui adanya penyimpangan;
c) Luwes;
d) Mencerminkan pola organisasi;
e) Ekonomis;
f) Dapat mudah dipahami; dan
g) Dapat segera diadakan perbaikan

Kewenangan dalam melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan izin


lingkungan di dalam UUPPLH diatur dari Pasal 71 sampai dengan Pasal 74. Dari
ketentuan tersebut menjelaskan bahwa kewenangan pengawasan terhadap
pelaksanaan izin lingkungan dilakukan oleh Menteri, gubernur, bupati/walikota
sesuai kewenangannya. Namun dalam pelaksanaannya menteri, gubernur,
bupati/walikota menetapkan pejabat pengawas lingkungan hidup sebagai pejabat
fungsional. Secara umum yang diawasi adalah ketaatan penaggungjawab usaha
dan/atau kegiatan terhadap izin lingkungan

Pengawasan terhadap pelaksanaan izin lingkungan berfungsi untuk menjaga


fungsi pemerintah dapat berjalan dengan baik dan terjaminnya penerapan tata
kelola pemerintahan yang baik. Pengawasan lingkungan hidup yang konsisten
dapat meminimalisir terjadinya kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan

21
Faisal Abdullah, 2009, Jalan Terjal Good Governance, Prinsip, Konsep dan Tantangan dalam Negara
Hukum, Makassar: PUKAP hlm. 51-52

8
hidup. Selain itu pengawasan dilakukan untuk mendesak segera melakukan upaya
pemulihan atau penanggulangan lingkungan hidup

2) Penegakan Sanksi Administrasi


Penegakan sanksi administrasi dilakukan sebagai upaya pencegahan dan
penanggulan masalah lingkungan hidup yang akan terjadi akibat pelanggaran
terhadap izin lingkungan. Sanksi adminsitrasi diberikan kepada penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan pelanggaran izin lingkungan.
Dalam Lampiran I Nomor 2 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 2 Tahun
2013, menjelaskan bahwa Pelanggaran terhadap izin lingkungan adalah
pelanggaran yang dilakukan oleh setiap orang karena:
a) Tidak memiliki izin lingkungan;
b) Tidak memiliki dokumen lingkungan;
c) Tidak menaati ketentuan yang dipersyaratkan dalam izin lingkungan
termasuk, tidak mengajukan permohonan untuk izin perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup pad tahap operasional;
d) Tidak menaati kewajiban dan/atau perintah sebagaimana tercantum dalam
izin lingkungan;
e) Tidak melakukan perubahan izin lingkungan ketika terjadi perubahan izin
lingkungan ketika terjadi perubahan sesuai Pasal 50 Peraturan Pemerintah
Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan;
f) Tidak membuat dan menyerahkan laporan pelaksanaan terhadap
pelaksanaan persyaratan dan kewajiban lingkungan hidup; atau tidak
menyediakan dana jaminan.

Tujuan penegakan sanksi administrasi terhadap pelanggaran izin


lingkungan (Pasal 2 PermenLH No. 2 Tahun 2013) adalah untuk:

a) melindungi lingkungan hidup dari pencemaran dan/atau perusakan akibat


dari suatu usaha dan/atau kegiatan;
b) menanggulangi pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup;
c) memulihkan kualitas lingkungan hidup akibat pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan hidup; dan

9
d) memberi efek jera bagi penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang
melanggar peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup dan ketentuan dalam Izin Lingkungan.

Penegakan sanksi administasi dimaksudkan agar perbuatan pelanggaran itu


dihentikan, sehingga sanksi administrasi merupakan instrument yuridis yang
bersifat preventif dan represif non-yustisial untuk mengakhiri atau menghentikan
pelanggaran ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam persyaratan perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup. Selain itu, sanksi administrasi juga
mempunyai sifat reparatoir, artinya memulihkan keadaan semula, oleh karena itu
pendayagunaan sanksi administrasi dalam penegakan hukum lingkungan penting
bagi upaya pemulihan media lingkungan yang rusak atau tercemar (Lampiran I
Permen LH No. 2 Tahun 2013). Sanksi administratif tidak membebaskan
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dari tanggung jawab pemulihan dan
pidana

3) Gugatan Tata Usaha Negara


Gugatan Tata Usaha Negara dalam UUPPLH disebut juga gugatan
administrasi. Gugatan administrasi merupakan upaya yang dilakukan oleh setiap
orang apabila pemerintah yang diberikan kewenangan menerbitkan izin
lingkungan tidak melakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Gugatan administrasi di bidang lingkungan hidup telah diatur dalam Pasal 93
UUPPLH 2009. Berdasarkan ketentuan tersebut, apabila orang atau badan hukum
perdata merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha
Negara (KTUN) berupa izin lingkungan yang diterbitkan tanpa dilengkapi
persyaratan yang diwajibkan dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata
Usaha Negara (PTUN). Dalam gugatan tersebut yang dimohonkan adalah izin
lingkungan dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan
ganti rugi dan/atau direhabilitasi
Selain untuk kepentingan setiap orang yang terkena dampak atas KTUN
tersebut mengajukan gugatan, pelaku usaha juga bisa mengajukan gugatan ke
PTUN untuk kepentingan usahanya akibat diterbitkannya KTUN. Hal ini sesuai
dengan apa yang dikemukakan oleh Takdir Rahmadi bahwa pelaku usaha juga
dapat mengajukan gugatan tata usaha negara untuk melawan keputusan tata usaha
negara di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang

10
dianggapnya merugikan kepentingan usahanya. Sehingga dapat dikatakan bahwa
gugatan administasi dibidang lingkungan hidup dapat diajukan oleh setiap orang
terkait dengan kepentingannya masing-masing akibat diterbitkannya Keputusan
tata usaha negara.22
2.4 Hal-Hal yang Mempengaruhi Penegakan Hukum Lingkungan

Mewujudkan supremasi hukum melalui upaya penegakan hukum serta konsisten akan
memberikan landasan kuat bagi terselenggaranya pembangunan, baik dibidang ekonomi,
politik, sosial budaya, pertahanan keamanan. Namun dalam kenyataan untuk mewujudkan
supremasi hukum tersebut masih memerlukan proses dan waktu agar supremasi hukum dapat
benar-benar memberikan implikasi yang menyeluruh terhadap perbaikan pembangunan
nasional.

Penegakan Hukum disebut dalam bahasa Inggris yaitu Law Enforcement, dan bahasa
Belanda disebut rechtshandhaving. Dalam bahasa Indonesia, istilah penegakan hukum
membawa kita pada pemikiran bahwa penegakan hukum selalu dengan force sehingga ada
yang berpendapat bahwa penegakan hukum hanya bersangkutan dengan hukum pidana saja.
Sebenarnya pejabat administrasi juga menegakkan hukum23

Masalah pokok daripada penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor


yang mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral,
sehingga dampak postif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Faktor-faktor
tersebut adalah:

1. Faktor hukumnya sendiri, yaitu undang-undangnya.


2. Faktor penegak hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun yang
menerapkan hukum.
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan tempat hukum tersebut berlaku atau
diterapkan.
5. Faktor budayanya, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada
karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

Hukum Lingkungan merupakan instrumentarium yuridis bagi pengelolaan lingkungan


hidup, dengan demikian hukum lingkungan pada hakekatnya merupakan suatu bidang hukum

22
Takdir Rahmadi, 2014, Hukum Lingkungan Di Indonesia, Jakarta: P.T. RajaGrafindo Persada
23
Andi Hamzah, 2005, Penegakan Hukum Lingkungan, Jakarta: Sinar Grafika hlm 48

11
yang terutama sekali dikuasai oleh kaidah-kaidah hukum tata usaha negara atau hukum
pemerintahan. Untuk itu dalam pelaksanaannya aparat pemerintah perlu memperhatikan
“Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik” (Algemene Beginselen van Behoorlijk
Bestuur/General Principles of Good Administration). Hal ini dimaksudkan agar dalam
pelaksanaan kebijaksanaannya tidak menyimpang dari tujuan pengelolaan lingkungan hidup.

Penegakan hukum lingkungan berkaitan erat dengan kemampuan aparatur dan


kepatuhan warga masyarakat terhadap peraturan yang berlaku, yang meliputi tiga bidang
hukum, yaitu administratif, pidana dan perdata. Penegakan hukum lingkungan dapat
dilakukan secara preventif dan represif sesuai dengan sifat dan efektivitasnya24.

2.5 Konsep Pengawasan Penegakan Hukum Lingkungan

Menurut Prajudi Atmosudirdjo, pengawasan adalah proses kegiatan-kegiatan yang


membandingkan apa yang dijalankan, dilaksanakan, atau diselenggarakan itu dengan apa
yang dikehendaki, direncanakan, atau diperintahkan.25 Melihat definisi tersebut pada
dasarnya pengawasan merupakan suatu kegiatan untuk menilai apakah sudah seperti yang
diharapkan, direncanakan, dan ditetapkan, agar dapat mencegah timbulnya penyimpangan
(preventif) dan dapat segera menindak penyimpangan tersebut (represif). Maka dapat
dikatakan bahwa pengawasan merupakan sebuah awal dari suatu penegakan hukum
lingkungan. Adapun arti dan fungsi pengawasan dalam penyelenggaraan pemerintahan dari
cara pandang Hukum Administrasi Negara (HAN) adalah mencegah timbulnya segala bentuk
penyimpangan tugas pemerintahan dari apa yang telah digariskan dan menindak atau
memperbaiki penyimpangan yang terjadi. Pengawasan dari optik HAN adalah terletak pada
HAN itu sendiri, sebagai landasan kerja atau pedoman bagi administrasi negara dalam
melaksanakan tugasnya menyelenggarakan pemerintahan. Hal ini sesuai dengan fungsi
hukum dalam kehidupan masyarakat yang conditi sin quanon, yang berfungsi:

a. Direktif, sebagai pengarah dalam membangun untuk membentuk masyarakat yang


hendak dicapai sesuai dengan tujuan kehidupan bernegara
b. Integratif, sebagai pembina kesatuan bangsa

24
Siti Sundari Rangkuti, 2005, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, Surabaya:
Airlangga University Pres hlm 191
25
Syaprillah, A. (2016). Op.cit

12
c. Stabilitatif, sebagai pemelihara (termasuk kedalamnya hasil-hasil pembangunan) dan
penjaga keselarasan, keserasian dan keseimbangan dalam kehidupan bernegara dan
bermasyarakat
d. Perfektif, sebagai penyempurna terhadap tindakan-tindakan administrasi negara,
maupun sikap tindak warga dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat
e. Korektif, baik terhadap warga negara maupun administrasi negara dalam
mendapatkan keadilan.

Persoalan yang menjadi kendala saat ini terutama dalam penegakan hukum
administrasi secara preventif adalah masih banyaknya jenis perizinan yang tidak berada pada
satu instansi, sehingga berkonsekuensi dalam hal kewenangan melakukan pengawasan
terhadap izin tersebut. Dalam hukum administrasi, terdapat prinsip umum yang selalu
menjadi pegangan utama, bahwa pejabat yang berwenang memberikan izin bertanggung
jawab dalam melakukan pengawasan terhadap izin yang diberikan. Izin yang telah diberikan
tidak hanya sekedar menjadi persyaratan formal yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha,
tetapi secara substansial juga harus dipenuhi sesuai persyaratan yang diwajibkan dalam izin
yang diberikan. Berdasarkan pada Penjelasan Umum Undang-Undang No. 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup angka (5) menyatakan bahwa
upaya preventif dalam rangka pengendalian dampak lingkungan hidup perlu dilaksanakan
dengan mendayagunakan secara maksimal instrumen pengawasan dan perizinan. Dari konten
Penjelasan Umum tersebut, tergambar bahwa pengawasan menempati kedudukan yang sama
pentingnya dengan perizinan sebagai elemen dalam pencegahan terjadinya kerusakan
dan/atau pencemaran lingkungan hidup.

Sejatinya, dalam pelaksanaan yang berkaitan dengan pengawasan penegagakan


hukum lingkungan dapat berpedoman terhadap Pinsip Keterpaduan karena menjadi pondasi
dalam perumusan konsep pengawasan. Dalam Deklarasi Rio, secara tegas menyebut adanya
Principle of Integration yang menyatakan “enviromental protection sahll constitute an
integral part of the development proces and cannot be considered in isolation from it”.
Maksud dari keterpaduan adalah penyatuan dari wewenang. Asas keterpaduan sebenarnya
telah diratifikasi dalam peraturan lingkungan hidup di Indonesia sejak berlakunya Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UULH). Pasal 18
ayat (1) UULH menyatakan : “Pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat nasional
dilaksanakan secara terpadu oleh perangkat kelembagaan yang dipimpin oleh seorang
Menteri dan yang diatur dengan peraturan perundang-undangan”. Jadi, asas keterpaduan

13
merupakan hal yang esensial dalam pengelolaan lingkungan hidup. hal ini dengan tegas
diatur dalam pasal 18 UULH serta penjelasannya. Keterpaduan horisontal menjamin adanya
keserasian hubungan antar sektor, agar hasil yang diperoleh merupakan upaya bersama yang
memperhitungkan banyak kepentingan yang terkadang saling berbenturan satu sama lain.
Keterpaduan vertikal merupakan keserasian antara pelaksanaan kebijaksanaan dan program
pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.26

2.6 Macam-Macam Sanksi Administrasi dalam Penegakan Hukum Lingkungan

Dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 2 Tahun 2013
tentang Pedoman Penerapan Sanksi Administratif di Bidang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, menyebutkan bahwa “Sanksi Administratif adalah perangkat sarana
hukum administrasi yang bersifat pembebanan kewajiban/perintah dan/atau penarikan
kembali keputusan tata usaha negara yang dikenakan kepada penanggung jawab usaha
dan/atau kegiatan atas dasar ketidaktaatan terhadap peraturan perundang-undangan di bidang
perlindngan dan pengelolaan lingkungan hidup dan/atau ketentuan dalam izin lingkungan”.
Disamping itu menurut JJ Oosternbrink, sanksi administrasi adalah sanksi yang muncul dari
hubungan antara pemerintah dengan warga negara dan yang dilaksanakan tanpa perantara
pihak ketiga atau kekuasaan peradilan, tetapi dapat secara langsung dilaksanakan oleh
administrasi sendiri.27 Untuk sanksi administrasi sendiri, terdapat tiga jenis sanksi jika dilihat
dari segi sasarannya, yaitu sanksi reparatoir, sanksi punitif, dan sanksi regresif.28 Adapun
ketiga jenis sanksi tersebut sebagai berikut.

• Sanksi reparatoir, artinya sanksi yang diterapkan sebagai reaksi atas pelanggaran
norma, yang ditujukan untuk mengembalikan pada kondisi semula sebelum
terjadinya pelanggaran, misalnya paksaan pemerintah (bestuursdwang) &
pengenaan uang paksa (dwangsom).
➢ Paksaan pemerintah (bestuursdwang) merupakan tindakan nyata yang
dilakukan organ pemerintah atau atas nama pemerintah untuk
memindahkan, mengosongkan, menghalang-halangi, memperbaiki pada
keadaan semula apa yang telah dilakukan atau sedang dilakukan yang
bertentangan dengan kewajiban-kewajiban yang ditentukan dalam

26
Ambarsari, N. L. M. A. H. N. (2020). Op.cit
27
Raharja, Ivan Fauzani. 2014. Penegakan Hukum Sanksi Administrasi Terhadap Pelanggaran Perizinan. Jurnal
Inovatif, 7 (2). H. 125
28
Ibid.

14
peraturan perundang-undangan. Pelaksanaan paksaan pemerintah ini
didahului dengan suatu teguran, namun dapat dilakukan tanpa teguran
khusus terhadap pelanggaran yang menimbulkan ancaman yang serius bagi
manusia dan lingkungan hidup, dampak yang lebih besar dan lebih luas
jika tidak segera dihentikan pencemaran dan atau perusakannya, &
kerugian yang besar bagi lingkungan hidup jika tidak segera dihentikan
pencemaran dan/atau perusakannya.29 Surat teguran ini berlaku pula
sebagai peringatan bagi penanggung jawab usaha agar segera
mengehntikan pelanggarannya yang berisi teguran untuk melakukan
pengehentian sementara kegiatan produksi, melakukan penutupan saluran
pembuangan air limbah atau emisi.
➢ Pengenaan uang paksa (dwangsom) ini jumlahnya berdasarkan syarat
dalam perjanjian yang harus dibayar karena tidak menunaikan, tidak
sempurna melaksanakan atau tidak sesuai waktu yang ditentukan, dalam
hal ini berbeda dengan biaya ganti kerugian, kerusakan, dan pembayaran
bunga. Menurut hukum administrasi, pengenaan uang paksa ini dapat
dikenakan kepada seseorang atau warga negara yang tidak mematuhi atau
melanggar ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai alternatif
dari tindakan paksaan pemerintah.30
• Sanksi punitif, artinya sanksi yang ditujukan untuk memberikan hukuman pada
seseorang, misalnya berupa denda administratif yang tidak lebih dari sekedar
reaksi terhadap pelanggaran norma dan ditujukkan untuk menambah hukuman
yang pasti.
• Sanksi regresif, artinya sanksi yang diterapkan sebagai reaksi atas ketidakpatuhan
terhadap ketentuan yang terdapat pada ketetapan yang diterbitkan.

Selain itu, berdasarkan Pasal 76 ayat (1) Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyebutkan bahwa “Menteri, Gubernur,
atau Bupati/Walikota menerapkan sanksi administratif kepada penanggung jawab usaha
dan/atau kegiatan jika dalam pengawasan ditemukan pelanggaran terhadap izin lingkungan”.
Sanksi administratif yang dimaksud ini kemudian dipertegas dalam Pasal 76 ayat (2) Undang-
Undang No. 32 Tahun 2009, yang terdiri atas terguran tertulis, paksaan pemerintah,

29
Panambunan, Amelia. 2016. Penerapan Sanksi Administratif Dalam Penegakan Hukum Lingkungan di
Indonesia. Jurnal Lex Administratif, 6 (2). H. 97
30
Raharja, Ivan Fauzani. Op.cit, H.128

15
pembekuan izin lingkungan, dan pencabutan izin lingkungan. Untuk lebih rincinya,
penerapan sanksi administratif ini diatur dalam Pasal 4 ayat (2), (3), (4), dan (5) Peraturan
Menteri Lingkungan Hidup No. 2 Tahun 2013 tentang Pedoman Penerapan Sanksi
Administratif di Bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai berikut.

• Teguran tertulis disebutkan dalam Pasal 4 ayat (2) Peraturan Menteri ini diterapkan
kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan pelanggaran
terhadap persyaratan dan kewajiban yang tercantum dalam Izin Lingkungan
dan/atau Izin Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, tetapi belum
menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan;
• Paksaan pemerintah disebut dalam Pasal 4 ayat (3) Peraturan Menteri ini
diterapkan apabila penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan:
➢ Melakukan pelanggaran terhadap pesyaratan dan kewajiban yang tercantum
dalam Izin Lingkungan dan/atau Izin Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, dan/atau
➢ Menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
• Pembekuan izin lingkungan dan/atau izin perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup disebut dalam Pasal 4 ayat (4) Peraturan Menteri ini diterapkan
apabila penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan:
➢ Tidak melaksanakan paksaan pemerintah;
➢ Melakukan kegiatan selain kegiatan yang tercantum dalam Izin Lingkungan
serta Izin Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan;
➢ Dugaan pemalsuan dokumen persyaratan Izin Lingkungan dan/atau Izin
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan.
• Pencabutan Izin Lingkungan dan/atau Izin Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup disebut dalam Pasal 4 ayat (5) Peraturan Menteri ini diterapkan
apabila penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan:
➢ Memindahtangankan izin usahanya kepada pihak lain tanpa persetujuan
tertulis dari pemberi izin usaha;
➢ Tidak melaksanakan sebagian besar atau seluruh paksaan pemerintah yang
telah diterapkan dalam waktu tertentu; dan/atau
➢ Telah menyebabkan terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
yang membahayakan keselamatan dan kesehatan manusia.

16
Ketetapan penerapan sanksi administratif adalah ketepatan dalam menerapkan atau
menggunakan sanksi administratif.31 Parameter ketepatan yang digunakan dalam penerapan
sanksi administrasi meliputi 4 hal sebagai berikut.

a) Ketepatan Bentuk Hukum


Suatu sanksi administratif ditujukan pada perbuatan pelanggaran oleh penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan, maka instrumen yang digunakan untuk menerapkan
sanksi administratif harus dipastikan berbentuk Keputusan Tata Usaha Negara
(KTUN).
b) Ketepatan Substansi
Ketepatan substansi dalam penerapan sanksi administratif berkaitan dengan
kejelasan tentang jenis dan peraturan yang dilanggar, sanksi yang diterapkan,
perintah yang harus dilaksanakan, jangka waktu, konsekuensi dalam hal sanksi
administratif tidak dilaksanakan, dan hal-hal lain yang relevan.
c) Kepastian Tiada Cacat Yuridis
Kepastian tiadanya cacat yuridis dalam penerapan sanksi di Keputusan Tata Usaha
Negara. Oleh karena itu, harus dihindari suatu klausula pengaman yang berbunyi
“Apabila dikemudian hari ada kekeliruan di dalam keputusan ini, maka akan
diperbaiki sebagaimana mestinya”.
d) Asas Kelestarian dan Pemberlanjutan
Dalam menerapkan sanksi administrative perlu mempertimbangkan asas
kelestarian dan keberlanjutan. Asas kelestarian dan keberlanjutan adalah bahwa
setiap orang memikul kewajiban dan tanggung jawab terhadap generasi mendatang
dan terhadap sesamanya dalam satu generasi dengan melakukan upaya pelestarian
daya dukung ekosistem dan memperbaiki kualitas lingkungan hidup.

Kemudian, dalam Pasal 5 ayat (2) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 2 Tahun
2013 tentang Pedoman Penerapan Sanksi Administratif di Bidang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, menyebutkan penerapan sanksi administratif dilakukan
melalui mekanisme, yaitu bertahap, bebas, dan/atau kumulatif. Pertama, bertahap ini berarti
penerapan sanksi administrasi dilakukan didahului oleh sanksi yang ringan hingga sanksi
yang berat. Kedua, bebas ini berarti penerapan sanksi administrasi dilakukan secara bebas
atau adanya keleluasaan bagi pejabat yang berwenang mengenakan sanksi untuk menentukan

31
Bachrul, Amiq. 2013. Penerapan Sanksi Administrasi Dalam Hukum Lingkungan. Yogyakarta: Laksbang
Mediatama. H.111

17
pilihan jenis sanksi yang didasarkan pada tingkat pelanggaran yang dilakukan oleh
penanggung jwab usaha dan/atau kegiatan. Ketiga, penerapan sanksi administratif secara
kumulatif ini terdiri dari kumulatif internal dan eksternal. Kumulatif internal adalah
penerapan sanksi yang dilakukan dengan menggabungkan beberapa jenis sanksi administrasi
pada satu pelanggaran, misalnya paksaan pemerintah digabungkan dengan pembekuan izin.
Sedangkan, kumulatif internal adalah penerapan sanksi yang dilakukan dengan
menggabungkan penerapan salah satu jenis sanksi administirasi dengan penerapan sanksi
lainnya, misalnya sanksi pidana atau perdata.32

32
Ibid.

18
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

3.1.1 Konsep Penegakan Hukum Lingkungan

Secara kebahasaan, terdapat beberapa istilah terkait dengan penegakan hukum


diantaranya dalam Bahasa Inggris yaitu “law enforcement”, kemudian dalam Bahasa
Belanda disebutkan sebagai “rechshanhaving.”. Istilah-istilah tersebut sejatinya
memiliki makna yang luas dan beragam terkait dengan definisi dari penegakan hukum
itu sendiri. Secara sederhananya, definisi dari penegakan hukum adalah suatu proses
atau upaya untuk menegakkan norma dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya
untuk menggapai tujuan utama dari penegakan hukum yakni Keadilan, Kemanfaatan,
dan Kepastian. Menurut Siti Sundari Rangkuti, menyebutkan bahwa penegakan
hukum lingkungan dapat dilakukan secara preventif dan represif, sesuai dengan sifat
dan efektivitasnya. Penegakan hukum yang bersifat preventif berarti bahwa
pengawasan aktif dilakukan terhadap kepatuhan kepada peraturan tanpa kejadian
langsung yang menyangkut peristiwa konkrit yang menimbulkan sangkaan bahwa
peraturan hukum telah dilanggar. Adapun instrument penegakan hukum preventif
adalah penyuluhan, pemantauan, dan penggunaan kewenangan yang sifatnya
pengawasan (pengambilan sampel, penghentian mesin-mesin dan sebagainya).
Dengan demikian, penegak hukum yang utama adalah pejabat atau aparat pemerintah
yang berwenang memberi izin dan mencegah terjadinya pencemaran lingkungan.
Sedangkan penegakan hukum yang bersifat represif dilakukan dalam hal perbuatan
yang melanggar peraturan dan bertujuan untuk mengakhiri secara langsung perbuatan
terlarang. Adapaun aparatur penegakan hukum lingkungan meliputi Polisi, Jaksa,
Hakim, Penasehat hukum, Pejabat/ instansi yang berwenang memberi izin seperti
Instansi Kementerian Lingkungan Hidup dan Instansi Pemerintahan Daerah Provinsi,
Kabupaten dan Kota yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup. Maupun
pihak yang terkait dengan pengelolaan lingkungan hidup seperti Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM), Masyarakat, Pengusaha, dan Pers.

3.1.2 Konsep Penegakan Hukum Administrasi Lingkungan

Penegakan hukum administrasi merupakan bagian kekuasaan memerintah


(besturen). Maka dari itu, penegakan hukum administrasi negara tunduk kepada asas-

19
asas umum dalam hukum pemerintahan yaitu: asas keabsahan, asas efisiensi dan
efektifitas, asas keterbukaan, dan asas berencana. Secara umum dalam penegakan
hukum lingkungan dengan instrument hukum administrasi merupakan bagian dari
penegakan hukum yang bersifat preventif karena dilaksanakan melalui instrumen
pengawasan dan perizinan. Selain itu, penegakan hukum lingkungan melalui
instrumen hukum administrasi merupakan langkah pertama dan utama untuk
mencapai penataan peraturan (compliance). Dikatakan sebagai langkah pertama,
karena kasus lingkungan sebenarnya tidak akan terjadi jika instrumen hukum
administrasi lingkungan diterapkan dan ditegakkan dengan baik. Sebagai langkah
yang utama, karena pada prinsipnya penegakan hukum lingkungan yang lebih utama
bukanlah menghukum para pencemaran atau kerusakan lingkungan, tetapi mencegah
dan memulihkan kualitas dan daya dukung lingkungan.

3.1.3 Bentuk Instrumen Hukum Administrasi Dalam Penegakan Hukum Lingkungan

Instrumen adminsitrasi penegakan hukum terkait dengan pelaksanaan izin


lingkungan menggunakan beberapa instrumen yaitu pengawasan, penegakan sanksi
administrasi, dan gugatan Tata Usaha Negara. Pertama, pengawasan merupakan
rangkaian kegiatan untuk mendeteksi sejauhmana kebijakan dijalankan dan sampai
sejauhmana penyimpangan yang terjadi dalam pelaksanaan kebijakan tersebut. Kedua,
penegakan sanksi administrasi dilakukan sebagai upaya pencegahan dan penanggulan
masalah lingkungan hidup yang akan terjadi akibat pelanggaran terhadap izin
lingkungan. Ketiga, Gugatan Tata Usaha Negara dalam UUPPLH disebut juga
gugatan administrasi. Gugatan administrasi merupakan upaya yang dilakukan oleh
setiap orang apabila pemerintah yang diberikan kewenangan menerbitkan izin
lingkungan tidak melakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
3.1.4 Hal-Hal yang Mempengaruhi Penegakan Hukum Lingkungan
Hukum Lingkungan merupakan instrumentarium yuridis bagi pengelolaan
lingkungan hidup, dengan demikian hukum lingkungan pada hakekatnya merupakan
suatu bidang hukum yang terutama sekali dikuasai oleh kaidah-kaidah hukum tata
usaha negara atau hukum pemerintahan. Masalah pokok daripada penegakan hukum
sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktor-
faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak postif atau negatifnya
terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Pertama, faktor hukumnya sendiri, yaitu
undang-undangnya. Kedua, faktor penegak hukum, yaitu pihak-pihak yang

20
membentuk maupun yang menerapkan hukum. Ketiga, faktor sarana atau fasilitas
yang mendukung penegakan hukum. Keempat, faktor masyarakat, yakni lingkungan
tempat hukum tersebut berlaku atau diterapkan. Kelima, faktor budayanya, yakni
sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam
pergaulan hidup.
3.1.5 Konsep Pengawasan Penegakan Hukum Lingkungan

Pada dasarnya pengawasan merupakan suatu kegiatan untuk menilai apakah


sudah seperti yang diharapkan, direncanakan, dan ditetapkan, agar dapat mencegah
timbulnya penyimpangan (preventif) dan dapat segera menindak penyimpangan
tersebut (represif). Maka dapat dikatakan bahwa pengawasan merupakan sebuah awal
dari suatu penegakan hukum lingkungan. Adapun arti dan fungsi pengawasan dalam
penyelenggaraan pemerintahan dari cara pandang Hukum Administrasi Negara
(HAN) adalah mencegah timbulnya segala bentuk penyimpangan tugas pemerintahan
dari apa yang telah digariskan dan menindak atau memperbaiki penyimpangan yang
terjadi. Pengawasan dari optik HAN adalah terletak pada HAN itu sendiri, sebagai
landasan kerja atau pedoman bagi administrasi negara dalam melaksanakan tugasnya
menyelenggarakan pemerintahan. Dalam hukum administrasi, terdapat prinsip umum
yang selalu menjadi pegangan utama, bahwa pejabat yang berwenang memberikan
izin bertanggung jawab dalam melakukan pengawasan terhadap izin yang diberikan.
Izin yang telah diberikan tidak hanya sekedar menjadi persyaratan formal yang harus
dipenuhi oleh pelaku usaha, tetapi secara substansial juga harus dipenuhi sesuai
persyaratan yang diwajibkan dalam izin yang diberikan. Sejatinya, dalam pelaksanaan
yang berkaitan dengan pengawasan penegagakan hukum lingkungan dapat
berpedoman terhadap Pinsip Keterpaduan karena menjadi pondasi dalam perumusan
konsep pengawasan.

3.1.6 Macam-Macam Sanksi Administrasi Dalam Penegakan Hukum Lingkungan

Dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 2 Tahun


2013 tentang Pedoman Penerapan Sanksi Administratif di Bidang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, menyebutkan bahwa “Sanksi Administratif adalah
perangkat sarana hukum administrasi yang bersifat pembebanan kewajiban/perintah
dan/atau penarikan kembali keputusan tata usaha negara yang dikenakan kepada
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan atas dasar ketidaktaatan terhadap

21
peraturan perundang-undangan di bidang perlindngan dan pengelolaan lingkungan
hidup dan/atau ketentuan dalam izin lingkungan”. Untuk sanksi administrasi sendiri,
terdapat tiga jenis sanksi jika dilihat dari segi sasarannya, yaitu sanksi reparatoir,
sanksi punitif, dan sanksi regresif. Selain itu, Sanksi administratif yang dimaksud ini
kemudian dipertegas dalam Pasal 76 ayat (2) Undang-Undang No. 32 Tahun 2009,
yang terdiri atas terguran tertulis, paksaan pemerintah, pembekuan izin lingkungan,
dan pencabutan izin lingkungan. Untuk lebih rincinya, penerapan sanksi administratif
ini diatur dalam Pasal 4 ayat (2), (3), (4), dan (5) Peraturan Menteri Lingkungan
Hidup No. 2 Tahun 2013 tentang Pedoman Penerapan Sanksi Administratif di Bidang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam menerapkan sanksi
administrasi, terdapat 4 parameter yaitu ketepatan bentuku hukum, ketepatan
substansi, kepastian tiada cacat yuridis, dan asas kelestarian & pemberlanjutan.
Kemudian, dalam Pasal 5 ayat (2) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 2 Tahun
2013 tentang Pedoman Penerapan Sanksi Administratif di Bidang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, menyebutkan penerapan sanksi administratif
dilakukan melalui mekanisme, yaitu bertahap, bebas, dan/atau kumulatif.

3.2 Saran

Adapun atas penyusunan paper ini penulis menyadari adanya kekurangan dalam isi
tulisan ini. Namun, dengan adanya beberapa riset sebelumnya mengenai permasalahan yang
penulis bahas, terdapat beberapa saran yang dapat penulis sampaikan antara lain sebagai
berikut.

➢ Bagi aparat penegak hukum lingkungan, penulis menyarankan dalam


penegakan hukum lingkungan khususnya dalam hukum administrasinya lebih
tegas lagi dalam penjatuhan sanksi terhadap pelanggarnya. Meskipun ada
kewenangan yang bebas dalam menjatuhkan sanksi terkait dengan perkara
yang terjadi, namun kerap kali terdapat sanksi yang tidak sesuai dengan
perbuatan yang dilakukan pelaku pelanggarannya.
➢ Bagi pembaca, penulis menyarankan kepada pembaca yang ingin melakukan
suatu pembangunan ataupun interaksi yang berkaitan dengan lingkungan lebih
memperhatikan kembali mengenai aturan-aturan yang ada agar tidak
melanggar hukum, terlebih hukum administrasi negara.

22
➢ Bagi penulis selanjutnya, penuli menyarankan kepada penulis selanjutnya
untuk melakukan riset lebih dalam lagi mengenai penegakan hukum
lingkungan yang berkaitan dengan hukum administrasi negara agar dapat
menyempurnakan isi paper ini lebih baik lagi.

23
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Hardjasoemantri, K., 2000. Hukum Tata Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.

Siahaan, N., 2004. Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan. Jakarta: Erlangga.

Faisal Abdullah, 2009, Jalan Terjal Good Governance, Prinsip, Konsep dan Tantangan dalam Negara
Hukum, Makassar: PUKAP

Takdir Rahmadi, 2014, Hukum Lingkungan Di Indonesia, Jakarta: P.T. RajaGrafindo Persada

Andi Hamzah, 2005, Penegakan Hukum Lingkungan, Jakarta: Sinar Grafika

Siti Sundari Rangkuti, 2005, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, Surabaya:
Airlangga University Pres

Bachrul, Amiq. 2013. Penerapan Sanksi Administrasi Dalam Hukum Lingkungan.


Yogyakarta: Laksbang Mediatama.

Jurnal

Andini, D. & Mina, R., 2020. Instrumen Administrasi dalam Penegakan Hukum Atas
Pelaksanaan Izin Lingkungan. Jurnal Yustisiabel, IV(2), pp. 128-139.

Fitria, 2015. Penegakan Hukum Administrasi Terhadap Analisis Mengenai Dampak


Lingkungan (AMDAL) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 di Kota
Jambi. Jurnal Ilmu Hukum, pp. 34-45.

Listiyani, N., Hayat, M. A. & Ambarsari, N., 2020. Penegakan Hukum Administrasi
Lingkungan Melalui Instrumen Pengawasan: Rekonstruksi Materi Muatan Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup. Al'Adl, XII(1), pp. 116-130.

Rasyid, W., Mansur, S. & Burhanuddin, 2021. Peran Hukum Administrasi dalam Penegakan
Hukum Lingkungan di Kota Parepare. Madani Legal Review, V(1), pp. 56-81.

Syaprillah, A., 2016. Penegakan Hukum Administrasi Lingkungan Melalui Instrumen


Pengawasan. Bina Hukum Lingkungan , I(1), pp. 99-113.

24
Suhartono, S. (2018) ‘Dinamika Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Di Indonesia’,
Widya Yuridika, 1(2), p. 129. doi: 10.31328/wy.v1i2.742.

Nina Herlina (2017) ‘PERMASALAHAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PENEGAKAN


HUKUM LINGKUNGAN DI INDONESIA Oleh : Nina Herlina, S.H., M.H. *)
ABSTRAK’, Unigal.Ac.Id, 3(2), pp. 1–16.

Luthfillah Fazari, S. (2020) ‘Penegakan Hukum Lingkungan dan Pemanfaatan Ruang Udara’,
Jurnal Ekologi, Masyarakat dan Sains, 1(1), pp. 30–36. doi: 10.55448/ems.v1i1.4.

Syaprillah, A. (2016) ‘Penegakan Hukum Administrasi Lingkungan Melalui Instrumen


Pengawasan’, Bina Hukum Lingkungan, 1(1), pp. 99–113. doi: 10.24970/jbhl.v1n1.8.

Philipus M. Hadjon, “ Penegakan Hukum Lingkungan Dalam Pengelolaan Lingkungan


Hidup” dalam B. Arief Sidharta, ed., ed., Butir-Butir Gagasan entang
Penyelenggaraan Hukum dan Pemerintahan Yang Layak (Sebuah Tanda Mata bagi 70
tahun Prof. Dr. Ateng Syafrudin. S.H), PT CITRA ADITYA BAKTI, Bandung, 1996,
hlm. 335

Ambarsari, N. L. M. A. H. N. (2020) ‘Penegakan Hukum Administrasi Lingkungan Melalui


Instrumen Pengawasan: Rekonstruksi Materi Muatan Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup’, Al’Adl,
12(1), pp. 116–130. Available at: https://ojs.uniska-
bjm.ac.id/index.php/aldli/article/view/2650.

Vica J. E. Saija, 2014, Wewenang Pemerintah Daerah Dalam Pemberian Izin Lingkungan Hidup,
Jurnal SASI Fakultas Hukum Universitas Patimura Ambon ISSN 1693-0061, Volume 20
Nomor 1

Raharja, Ivan Fauzani. 2014. Penegakan Hukum Sanksi Administrasi Terhadap Pelanggaran
Perizinan. Jurnal Inovatif, 7 (2).

Panambunan, Amelia. 2016. Penerapan Sanksi Administratif Dalam Penegakan Hukum


Lingkungan di Indonesia. Jurnal Lex Administratif, 6 (2).

Skripsi

25
Zulharman, “Penegakan Hukum Lingkungan Administrasi dalam Upaya Perlindungan
Kawasan Karst di Kabupaten Maros”, (Skripsi, Fakultas Hukum: Universitas
Hasanuddin 2017) 1.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 02 Tahun 2013 tentang Pedoman Penerapan Sanksi
Administratif di Bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Internet

AHMAD AMRULLAH SUDIARTO, S. ·. (2012, Februari 4). Penegakan Hukum Lingkungan.


Retrieved from Negara Hukum: https://www.negarahukum.com/penegakan-hukum-
lingkungan.html

26
INSTRUMEN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN
LINGKUNGAN HIDUP

Disusun Oleh:

Ni Ketut Warsiani 2004551061 2020

Gede Bagus Artha Danindra 2004551064 2020

Anisetus Mario Situmorang 2004551067 2020

Ni Putu Mita Yobi 2004551077 2020

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena atas
anugrahNYA, paper yang berjudul Instrumen Pencegahan dan Pengendalian
Lingkungan Hidup, ini dapat penulis selesaikan demi memenuhi tuntutan
pembelajaran mata kuliah Hukum Lingkungan, dengan dosen pengampu Prof. Dr.
I Wayan Parsa, SH., M.Hum. Tujuan penulisan paper ini selain untuk memenuhi
tuntutan pembelajaran mata kuliah Hukum Lingkungan, penulis juga berharap
paper ini dapat dipergunakan sebagai referensi dan memberikan dampak yang
positif bagi pembacanya.

Denpasar, 01 Mei 2022

Penulis

Halaman | I |
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ I

DAFTAR ISI ......................................................................................................... II

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1

I.I Latar Belakang ....................................................................................... 1

I.II Rumusan Masalah .................................................................................. 3

I.III Tujuan ..................................................................................................... 3

BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 4

II.I Instrumen-Instrumen Pencegahan dan Pengendalian Lingkungan


Hidup .................................................................................................................. 4

II.II Efektivitas Instrumen Pencegahan dan Pengendalian Lingkungan


Hidup .................................................................................................................. 8

BAB III PENUTUP ............................................................................................. 13

III.I Kesimpulan ........................................................................................... 13

III.II Saran .................................................................................................. 14

DAFTAR PUSATAKA ....................................................................................... 15

Halaman | II |
BAB I PENDAHULUAN

I.I Latar Belakang

Sebagai warga negara Indonesia, kita memiliki hak asasi untuk


mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Lingkungan hidup adalah
kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk
manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan
perikehidupan, dan kesejahteraan serta mahkluh hidup lain. Merupakan pengertian
lingkungan hidup berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No 32 tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Lingkungan hidup yang baik dan sehat akan dapat terus kita rasakan
manfaatnya, jika kita jaga dan kelola dengan baik dan benar. Untuk pengelolaan
lingkungan hidup, kita dapat merujuk pengertiaannya pada Pasal 1 ayat (2) Undang-
Undang No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup, sebagai upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan
fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian,
pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum. Fungsi dari perencanaan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yaitu untuk mengetahui potensi,
masalah lingkungan hidup, serta upaya perlindungan dan pengelolaan dalam kurun
waktu tertentu.
Dengan adanya perencanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup, kita, sebagai warga negara Indonesia berkewajiban untuk ikut serta
melaksanakannya. Karena setiap warga negara Indonesia memiliki hak asasi atas
lingkungan hidup yang sehat dan baik. Sebagai warga negara yang patuh akan
hukum dan saling menghormati serta menghargai hak dan kewajiban asasi masing-
masing, dalam konteks ini untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan
sehat, maka dapat kita lakukan dengan ikut melaksanakan pelestarian lingkungan
hidup, yang bertujuan untuk memelihara kelangsungan daya dukung dan daya
tampung lingkungan hidup. Daya tampung lingkungan hidup dapat diartikan
sebagai kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia,
makhluk hidup lain, dan keseimbangan antarkeduanya. Sementara itu yang
dimaksud dengan daya tampung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan
hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk atau
dimasukkan ke dalamnya.
Untuk mengetahui kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung
kehidupan dan menyerap atom, maka dapat digunakan standar atau variabel-
variabel yang sudah ditentukan sebelumnya dan telah distandarisasi, hal ini dikenal
dengan istilah baku mutu, yaitu ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi,
atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang

Halaman | 1 |
keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup.
Untuk mendapatkan jawaban dari standar atau variabel analisis, maka dilakukanlah
kajian lingkungan hidup strategis atau KLHS yang diperuntukan untuk melakukan
analisa yang sistematis, menyeluruh, dan partisipatif. Kemudian analisa mengenai
dampak lingkungan hidup ini dikenal dengan AMDAL yang merupakan kajian
mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada
lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang
penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.
Variabel-variabel, standar-standar, baku mutu, dan berbagai sarana
peneltian yang telah disebutkan di atas, merupakan bagian dari instrumen. Dalam
konteks ini merupakan instrumen untuk pencegahan dan pengendalian lingkungan
hidup. Instrumen-instrumen tersebut difungsikan untuk mencegah, mengendalikan,
hingga meminimalisir dampat negatif atau perusak yang akan diterima oleh
lingkungan, dari apa yang diperbuat oleh manusia. Sehingga kita dan generasi
penerus, sebagai manusia dapat menikmati lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Halaman | 2 |
I.II Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka penulis
mengangkat beberapa rumusan masalah yang akan dibahas lebih lanjut.
Adapun rumusan masalah tersebut yaitu:
I.II.I Apa saja instrumen pencegahan dan pengendalian lingkungan
hidup?
I.II.II Bagaimana efektivitas dari instrumen pencegahan dan pengendalian
lingkungan hidup yang berlaku?

I.III Tujuan

I.III.I Untuk mengetahui apa saja instrumen-instrumen pencegahan dan


pengendalian lingkungan hidup.
I.III.II Untuk mengetahui keefektifan dari instrumen-instrume pencegahan
dan pengendalian lingkungan hidup.

Halaman | 3 |
BAB II PEMBAHASAN

II.I Instrumen-Instrumen Pencegahan dan Pengendalian


Lingkungan Hidup

Instrumen berdasakan KBBI diartikan sebagai sarana penelitian (berupa


seperangkat tes dan sebagainya) untuk mengumpulkan data sebagai bahan
pengolahan1. Dan berdasarkan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, instrumen pencegahan
pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup yaitu KLHS atau kajian lingkungan
hidup strategis, tata ruang, baku mutu lingkungan hidup, kriteria baku kerusakan
lingkungan hidup, amdal, UKL-UPL atau Unit Kelolaan Lingkungan Hidup-Unit
Pemantauan Lingkungan Hidup, perizinan, instrumen ekonomi lingkungan hidup,
peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan hidup, anggaran berbasis
lingkungan hidup, analisis risiko lingkungan hidup, audit lingkungan hidup, dan
instrumen lain sesuai dengan kebutuhan dan/atau perkembangan ilmu pengetahuan.
Kajian Lingkungan Hidup Strategis atau KLHS dibuat dengan tujuan untuk
memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan
terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana,
dan/atau program. Pelaksananaan instrumen ini dilakukan dengan cara kerja
dilakukan pengakajian pengaruh kebijakan, rencana, dan/atau program terhadap
kondisi lingkungan hidup di suatu wilayah; perumusan alternatif penyempurnaan
kebijakan, rencana, dan/atau program; dan rekomendasi perbaikan untuk
pengambilan keputusan kebijakan, rencana, dan/atau program yang
mengintegrasikan prinsip pembangunan berkelanjutan. Hasil kajian ini akan
digunakan sebagai dasar pembentukan kebijakan, rencana, dan/atau program
pembangunan dalam suatu wilayah. Dan jika hasil kajian menunjukan bahwa daya
dukung dan daya tampung sudah terlampaui maka wajib diperbaiki sesuai dengan
rekomendasi kajian lingkungan hidup strategis dan pelarangan segala usaha
dan/atau kegiaan yang telah melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan
hidup.
Kajian Lingkungan Hidup Strategis dilaksanakan dengan mengusung
beberapa prinsip, seperti prinsip Penilaian Diri atau self assessment; Prinsip
Penyempurnaan KRP (Improvement of Policy, Plan, and Program); Prinsip
Peningkata Kapasitas dan Pembelajaran Sosial atau Social Learning and Capacity
Building; Prinsip Pengaruh pada Pengambilan Keputusan atau Influencing Decision
Making; Prinsip Akuntabel atau Accountable; Prinsip Partisipatif atau

1
KBBI, tanpa tahun terbit, Instrumen, KBBI Online, URL:
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/instrumen. Diakses tanggal 01 Mei 2022.

Halaman | 4 |
Participative.2 Prinsip Penilaian Diri merupakan prinsip yang menitik beratkan
pada kesadaran diri pemangku kepentingan agar lebih mempertimbangkan prinsip-
prinsip pembangunan berkelanjutan dalam keputusan KRP (Kebijakan, Rencana,
dan Program). Prinsip Penyempurnaan KRP menitik beratkan pada fungsinya
sebagai katalisator atau media upaya penyempurnaan pengambilan keputusan.
Prinsip Peningkatan Kapasitas dan Pembelajaran Sosial menitik beratkan pada
fungsinya sebagai media belajar dan mengapresiasi isu pebangunan berkelanjutan
dalam keputusan KRP. Prinsip Pengaruh pada Pengabilan Keputusan menitik
beratkan pada pemberian makna melalui pengaruh yang positif suatu keputusan
KRP. Prinsip Akuntabel menitik beratkan pada keterbukaan dan
pertanggungjawaban kepada publik dan menegakkan tata pemerintahan yang baik.
Prinsip Partisipatif meniti beratkan pada pengelibatan pemangku kepentingan dan
publik secara luas.3
Tata Ruang menjadi instrumen dalam pencegahan dan pengendalian
lingkungan hidup, dikarenakan dengan dilakukannya penataan ruang berdasarkan
RTRW baik tingkat provinsi, maupun daerah kabupaten/kota dapat memberikan
gambaran atau hasil yang lebih tepat mengenai daya tampung dan daya dukung
lingkungan hidup wilayah tersebut. Selain itu, perencanaan tata ruang baru dapat
dilakukan, ketika didasarkan pada kajian lingkungan hidup strategis. Tata ruang
juga menjadi syarat wajib untuk menentukan lokasi rencana usaha dan/atau
kegiatan, hal ini sesuai dengan Pasal 4 ayat (2) Peraturan Pemerintah No 27 tahun
2012.
Baku Mutu Lingkungan Hidup berfungsi sebagai penentu terjadinya
pencemaran lingkungan hidup dan meliputi baku mutu air, air limbar, air laut, udara
ambien, emisi, gangguang, dan baku mutu lain sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Penyusunan baku mutu lingkungan hidup dilakukan
dengan cara identifikasi dari penggunaan sumber daya atau media ambien yang
harus dilindungi, merumuskan formulasi dari kriteria dengan menggunakan
kumpulan dan pengolahan dari berbagai informasi ilmiah, merumuskan baku mutu
ambien dari penyusunan kriteria, merumuskan baku mutu limbah yang boleh
dilepas ke dalam lingkungan yang akan menghasilkan eadaan kualitas baku mutu
ambien yang telah ditetapkan, membentuk program pemantauan dan
penyempurnaan untuk menilai apkah objektif yang telah ditetapkan tercapai.
Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup ditentukan dengan
menggunaan variabel kriteria baku mutu kerusakan lingkungan hidup yang meliputi
kriteria baku kerusakan ekosistem dan kriteria baku kerusakan akibat perubahan
iklim, seperti kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa, kerusakan
terumbu karang, kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran
hutan dan/atau lahan, kerusakan mangrove, kerusakan padang lamun, kerusakan

2
SPADA Universitas Sebelas Maret, tanpa tahun terbit, Kajian Lingkungan Hidup Strategis:
Pengertian, Dasar Hukum, Tujuan dan Prinsip-prinsip, URL:
https://spada.uns.ac.id/mod/resource/view.php?id=48182&forceview=1. Diakses 01 Mei 2022.
3
Ibid, hal. 15.

Halaman | 5 |
gambut, kerusakan karst, kerusakan ekosistem lainnya sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta kenaikan temperatur, muka
air laut, badai, dan kekeringan.
AMDAL atau Analisis Mengenai Dampak Lingkungan merupakan kajian
mengenai dampak besar dan penting untuk pengambilan keputusan suatu usaha
dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi
proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.
AMDAL berfungsi sebagai bahan bagi perencanaan pembangunan wilayah,
membantu proses pengambilan kepentingan tentang kelayakan lingkungan hidup
dari rencana dan/atau usaha kegiatan, memberi masukan untuk penyusunan desain
rinci teknis dari rencana usaha dan/kegiatan, memberi masukan untuk penyusunan
rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup, memberikan informasi
bagi masyaraat atas dampak yang ditimbulkan dari suatu rencana usaha dan/atau
kegiatan. Dalam penyususnan, dokumen AMDAL tersusun atas Kerangka Acuan
Analisis Dampak Lingkungan Hidup (KA-ANDAL) yang merupakan ruang
lingkup studi analisis dampak lingkunan hidup yang mirip hasil pelingkupan yang
disepakati pemrakarsa atau penyusun AMDAL dan Komisi AMDAL; Analisis
Dampak Lingkungan Hidup (ANDAL) merupakan telaah secara cermat dan
mendalam tentang dampak besar dan penting suatu renana usah dan/atau kegiatan;
Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL) merupakan dokumen yang
memuat upaya-upaya untuk mencegah, mengendalikan, dan menanggulangi
dampak besar dan penting lingkungan hidup yang bersifat negatif dan
meningkatkan dampak positif yang tibul sebagai akibat dari suatu rencana usaha
dan/atau kegiatan; dan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL) merupakan
dokumen yang memuat upaya pemantauan komponen lingkungan hidup ang
terkena dampak besar dan penting dari rencana usaha dan/atau kegiatan.
UKL-UPL merupakan upaya yang dilakukan dalam pengelolaan dan
pemantauan lingkungan hidup oleh penanggungjawab dan/atau kegiatan yang tidak
wajib melakukan AMDAL, sesuai dengan Keputusan Meteri Lingkungan Hidup
No 86 tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan UKL dan UPL. Proses dan
prosedur UKL-UPL dilakukan dengan menggunakan formulir isian yang berisi
identitas pemrakarsa, rencana usaha dan/atau kegiatan, dampak lingkungan yang
akan terjadi, program pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup, tanda tangan
dan cap. Formulit tersebut lantas diajukan oleh pemrakarsa kepada instansi yang
bertanggungjawab dalam bidang perlindungan lingkungan hidup kabupaten atau
kota untuk kegiatan yang berlokasi pada suatu wilayah kabupaten atau kota, instansi
yang bertanggungjawab dalam bidang perlindungan lingkungan hidup provinsi
untuk kegiatan yang berlokasi di lebih dari 1 kabupaten atau kota, dan instansi yang
bertanggung jawab dalam bidang perlindungan lingkungan hidup dan pengendalian
dampak lingkungan hidup untuk kegiatan yang berlokasi di lebih dari 1 provinsi
atau lintas batas negara.
Perizinan, dalam konteks ini merupaka izin lingkungan yaitu izin yang
wajib dimiliki setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib

Halaman | 6 |
AMDAL atau UKL-UPL dalam rangka pencegahan dan pengendalian lingkungan
hidup. Izin-izin tersebut yaitu izin lingkungan yang diterbikan sebagai prasyarat
untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan, izin pencegahan dan pengendalian
lingkungan hidup. Izin-izin tersebut diteritkan oleh pihak yang berwenang, dalam
konteks ini izin diterbitkan oleh menteri, gubernur, atau bupati/walikota yang sesuai
dengan kewenangannya. Proses pemrolehan izin lingkungan hidup dimulai dari
penyusunan AMDAL dan UKL-UPL, penilaian AMDAL dan pemeriksaaan UKL-
UPL, dan permohonan dan penerbitan izin lingkungan hidup. Izin kelayakan
lingkungan hidup ini mengikuti masa berlaku izin usahanya.
Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup meliputi perencanaan
pembangunan dan kegiatan ekonomi; pendanaan lingkungan hidup; dan insentif
dan/atau disinsentif. Pengaturan mengenai substansi undang-undang ini diatur
dalam Peraturan Pemerintah, menunjukkan bahwa substansi undang-undang No 27
tahun 2012 ini masih lemah, sehingga memerlukan Peraturan Pemerintah untuk
mengatur substansinya.
Peraturan Perundnag-Undangan Berbasis Lingkungan Hidup, berdasarkan
Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang No 27 tahun 2012
Anggaran Berbasis Lingkungan Hidup. Dalam Pasal 45 dan 46 UU PPLH,
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia serta pemerintah
daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah wajib mengalokasikan anggaran
yang memadai untuk membiayai:

a. kegiatan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; dan


b. program pembangunan yang berwawasan lingkungan hidup.

Pemerintah wajib mengalokasikan anggaran dana alokasi khusus


lingkungan hidup yang memadai untuk diberikan kepada daerah yang memiliki
kinerja perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang baik. Selain
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45, dalam rangka pemulihan kondisi
lingkungan hidup yang kualitasnya telah mengalami pencemaran dan/atau
kerusakan pada saat undang-undang ini ditetapkan, Pemerintah dan pemerintah
daerah wajib mengalokasikan anggaran untuk pemulihan lingkungan hidup.

Analisis Risiko Lingkungan Hidup merupakan Analiss resiko lingkungan


merupakan kegiatan untuk mengkaji perkiraan kemungkinan terjadinya
konsekuensi kepada manusia atau lingkungan. Dimana resiko tersebut terbagi
menjadi dua, yakni Risiko yang terjadi kepada manusia disebut sebagai risiko

Halaman | 7 |
kesehatan, sedangkan risiko yang terjadi kepada lingkungan disebut sebagai risiko
ekologi. Ekologi merupakan cabang dari ilmu biologi, dimana Ekologi adalah salah
satu komponen dalam sistem pengelolaan lingkungan hidup yang harus ditinjau
bersama dengan komponen lain untuk mendapatkan keputusan yang seimbang. Jd
dalam hal ini, Ekologilah yang menjadi titik pusat perhatian.

Analisis Resiko Lingkungan (ARl) adalah proses prediksi kemungkinan


dampak negatif yang terjadi terhadap lingkungan sebagai akibat dari kegiatan
tertentu. Analisis resiko lingkungan (ARI) diatur dalam UU No. 32 Tahun 2009.
Dengan melakukam Analisis resiko lingkunngan (ARL) diharapkan piihak
manajemen akan lebih mudah untuk melakukan pengelolaan lingkungannya dan
akan sangat bermanfaat dalam audit lingkungan. Penerapan dari ARI ini sendiri
diperuntukkan kepada industri-industri yang banyak menggunakan bahan-bahan
kimia yag beracun.

Audit Lingkungan Hidup merupakan instrumen pengelolaan lingkungan


yang bersifat sukarela, tujuan dari dilaksanakannya audit lingkungan yaitu untuk
mengetahui hasil pengelolaan lingkungan dalam jangka panjang
Instrumen lain sesuai dengan kebutuhan dan/atau perkembangan ilmu
pengetahuan

II.II Efektivitas Instrumen Pencegahan dan Pengendalian


Lingkungan Hidup

Rusaknya lingkungan hidup sebagai akibat dari kegiatan perusakan


lingkungan hidup yang dilakukan dalam upaya eksploitasi sumber daya alam dalam
pelaksanaan proses pembangunan yang tidak terkendali telah membuat terjadi
menurunya kualitas lingkungan seiring dengan berkurangnya cadangan sumber
daya alam yang pada akhirnya menyisakan persoalan-persoalan lingkungan yang
tak habis untuk dibincangkan dalam mencari solusi untuk mengatasi persoalan
lingkungan yang ditimbulkan tersebut. Agar daya tampung dan daya dukung tetap
terjaga keseimbanganya maka diperlukanya upaya pengendalian pelestarian
lingkungan hidup sehingga persoalan pertumbuhan penduduk dan aktivitasnya
yang ada di permukaan bumi tetap terkendali agar kerusakan lingkungan dapat
diminimalisir dalam upaya pengelolaan fungsi lingkungan hidup itu sendiri.
Hukum lingkungan merupakan salah satu instrumen yuridis yang memuat tentang
kaidah-kaidah perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Adapun makna

Halaman | 8 |
yang dapat terkandung dan diamanatkan dalam Undang-Undang Lingkungan
Hidup Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
hidup (UUPPLH) adalah upaya penegakan hukum yang terdiri dari:
1. Penegakan hukum secara administrasi
2. Penegakan hukum secara perdata
3. Penegakan hukum secara pidana
Pada pasal 14 UU 32/2009 tentang PPLH telah menjelaskan bahwa Amdal,
UKL-UPL dan perizinan merupakan salah satu instrumen pencegahan terhadap
pencemaran lingkungan hidup dari 13 instrument yang ada di UU 32/2009
(UUPPLH) dalam upaya pencegahan pencemaran dan kerusakan lingkungan, dan
Ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal 36 UU PPLH, telah menetapkan bahwa
setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki Amdal atau UKL-UPL wajib
memiliki Izin Lingkungan, Akan tetapi persoalan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup AMDAL/UKL-UPL dan perizinan bukanlah merupakan alat
serbaguna yang dapat menyelesaikan segala persoalan lingkungan hidup.
Efektivitas amdal dan UKL UPL sangat ditentukan oleh pengembangan berbagai
instrumen lingkungan hidup lainnya dan pengawasan yang dilakukan oleh
pemerintah atau instansi pemberi izin.
Berdasarkan pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 2012
tentang Izin Lingkungan yang mulai diberlakukan sejak tanggal 23 februari 2012
disebutkan bahwa izin lingkungan diberikan kepada setiap orang yang melakukan
usaha dan/atau kegiatan yang wajib AMDAL atau UKL-UPL dalam rangka
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai syarat untuk memperoleh
izin usaha dan/atau kegiatan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan bahwa izin
lingkungan merupakan persyaratan mendapatkan izin usaha dan/atau kegiatan.
Dalam hal perizinan, yang berwenang mengeluarkan izin adalah pejabat pemerintah
sesuai dengan kewenangannya untuk memberi pelayanan umum kepada
masyarakat/pelaku usaha yang membutuhkannya.
Adapun fungsi dari perizinan itu sendiri adalah selain dijadikan alat kontrol
bagi pemerintah/instansi pemberi izin, juga dapat dijadikan dasar pemerintah
dalam melakukan pengawasan dalam pengelolaan dan pemantauan lingkungan
hidup sebagaimana yang tercantum dalam dokumen lingkungan (AMDAL/UKL-
UPL) yang telah disepakati, ketaatan terhadap ketentuan yang tercantum dalam
perizinan dan mencegah terjadinya pelanggaran terhadap terlampauinya baku mutu
lingkungan hidup dan baku mutu kerusakan lingkungan hidup. Penegakan hukum
lingkungan berkaitan erat dengan kemampuan aparatur, ketegasan dan keseriusan
aparat penegak hukum dan kepatuhan warga masyarakat terhadap peraturan yang
berlaku, penegakan hukum lingkungan dapat dilakukan secara preventif dan
represif sesuai dengan sifat dan efektifitasnya. Adapun instrumen bagi penegak
hukum untuk melakukan preventif antara lain penyuluhan, pemantauan, dan
penggunaan kewenangan yang sifatnya pengawasan.

Halaman | 9 |
UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang PPLH dijadikan payung hukum bagi
peraturan-peraturan lingkungan hidup yang sudah ada atau yang akan ada dalam
upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, maka undang-undang
sektoral bidang lingkungan hidup yang diantaranya kehutanan, perkebunan, dan
pertambangan, pariwisata harus memenuhi beberapa kondisi yang antara lain:
1. UU tersebut harus tunduk terhadap UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang
PPLH,
2. Pelaksanaan UU sektoral bidang lingkungan hidup tidak boleh bertentangan
dengan UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang PPLH,
3. Segala penegakan hukum yang berkaitan dengan lingkungan hidup harus
berpedoman kepada UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang PPLH.
Pelanggaran terhadap izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
(izin PPLH) dapat dianggap sebagai suatu pelanggaran terhadap izin lingkungan,
berdasarkan pasal 76 UU 32/2009 tentang PPLH dimana
Menteri/Gubernur/Bupati/Walikota dapat menerapkan sanksi administrasi kepada
pelaku usaha sesuai dengan kewenangan jika didalam pelaksanaan pengawasan
ditemukannya suatu pelanggaran terhadap izin-izin perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup dimana sanksi administrasi yang dapat diterapkan adalah :
a. Teguran tertulis.
b. Paksaan pemerintah.
c. Pembekuan izin lingkungan,
d. Pencabutan izin lingkungan.
Sebagaimana konsekuensi izin lingkungan menjadi syarat memperoleh izin
usaha dan/atau kegiatan maka secara otomatis izin lingkungan dihentikan/dicabut
maka izin operasional/izin usaha dan/atau kegiatan akan tercabut dan jika izin
lingkungan dibekukan maka izin usaha dan/atau kegiatan akan dibekukan juga.
Berdasarkan pasal 77 UU/32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup , disampaikan bahwa dalam penerapan sanksi
administrasi Menteri dapat mengambil alih dalam menerapkan sanksi administratif
terhadap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan jika Pemerintah
(pusat/kementerian) menganggap pemerintah daerah secara sengaja tidak
melakukan/menerapkan sanksi administratif terhadap pelanggaran yang serius di
bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang telah dilakukan oleh
usaha dan/atau kegiatan yang telah melakukan pelanggaran.
Pasal 78 UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup dimana penerapan Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal
76 tidak serta merta membebaskan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dari
tanggung jawab pemulihan dan pidana sebagai konsekuensi pencemaran yang telah
dilakukannya.
Pengenaan sanksi administratif berupa pembekuan dan pencabutan izin
lingkungan berdasarkan pasal 79 UU 32/2009 tentang PPLH dapat dilakukan

Halaman | 10 |
manakala pelaku usaha tidak melaksanakan perintah paksaan pemerintah, dimana
paksaan pemerintah itu dimaksudkan untuk mencegah dan/atau mengakhiri
terjadinya pelanggaran dalam upaya penyelamatan, penanggulangan serta
pemulihan lingkungan hidup sebagai akibat dari pencemaran dan dampak dari
kegiatan usaha dan/atau kegiatan.
Paksaan pemerintah sebagaimana dimaksud diatas sesuai dengan pasal 80
UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang antara
lain adalah sebagai berikut:
Ayat (1)
a. penghentian sementara kegiatan produksi;
b. pemindahan sarana produksi;
c. penutupan saluran pembuangan air limbah atau emisi;
d. pembongkaran;
e. penyitaan terhadap barang atau alat yang berpotensi menimbulkan
pelanggaran;
f. penghentian sementara seluruh kegiatan; atau
g. tindakan lain yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran dan tindakan
memulihkan fungsi lingkungan hidup.
Ayat (2)
Pengenaan paksaan pemerintah dapat dijatuhkan tanpa didahului teguran apabila
pelanggaran yang dilakukan menimbulkan:
a. ancaman yang sangat serius bagi manusia dan lingkungan hidup;
b. dampak yang lebih besar dan lebih luas jika tidak segera dihentikan
pencemaran dan/atau perusakannya; dan/atau
c. kerugian yang lebih besar bagi lingkungan hidup jika tidak segera
dihentikan pencemaran dan/atau perusakannya.
Ancaman sebagaimana dimaksud pasal 80, ayat (2), UU 32/2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah dimana suatu keadaan
berupa ancaman yang terjadi atau akan yang terjadi dipandang sangat serius yang
secara langsung maupun tidak langsung dapat berpotensi sangat membahayakan
kehidupan, keselamatan dan kesehatan banyak orang, sehingga penggunaannya
tidak dapat ditunda.
Penerapan sanksi administrasi dalam penegakan hukum lingkungan
mengenai paksaan pemerintah sebagaimana diatur dalam pasal 80 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup (UU 32/2009 tentang PPLH) dapat dijatuhkan terlebih dahulu tanpa
didahului dengan teguran jika dipandang pelanggaran yang terjadi dapat
menimbulkan:
1. ancaman yang sangat serius bagi manusia dan lingkungan hidup,

Halaman | 11 |
2. dampak yang lebih besar dan lebih luas jika tidak segera dihentikan
pencemaran dan/atau perusakan,
3. kerugian yang lebih besar bagi lingkungan hidup jika tidak segera
dihentikan pencemaran dan/atau perusakannya.

Halaman | 12 |
BAB III PENUTUP

III.I Kesimpulan

Berdasarkan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009


tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, instrumen pencegahan
pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup yaitu KLHS atau kajian lingkungan
hidup strategis, tata ruang, baku mutu lingkungan hidup, kriteria baku kerusakan
lingkungan hidup, amdal, UKL-UPL atau Unit Kelolaan Lingkungan Hidup-Unit
Pemantauan Lingkungan Hidup, perizinan, instrumen ekonomi lingkungan hidup,
peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan hidup, anggaran berbasis
lingkungan hidup, analisis risiko lingkungan hidup, audit lingkungan hidup, dan
instrumen lain sesuai dengan kebutuhan dan/atau perkembangan ilmu
pengetahuan.

Kajian Lingkungan Hidup Strategis atau KLHS dibuat dengan tujuan


untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar
dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana,
dan/atau program.

Pelanggaran terhadap izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan


hidup (izin PPLH) dapat dianggap sebagai suatu pelanggaran terhadap izin
lingkungan, berdasarkan pasal 76 UU 32/2009 tentang PPLH dimana
Menteri/Gubernur/Bupati/Walikota dapat menerapkan sanksi administrasi kepada
pelaku usaha sesuai dengan kewenangan jika didalam pelaksanaan pengawasan
ditemukannya suatu pelanggaran terhadap izin-izin perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup dimana sanksi administrasi yang dapat diterapkan adalah :
Teguran tertulis, Paksaan pemerintah, Pembekuan izin lingkungan, Pencabutan izin
lingkungan.
Ancaman sebagaimana dimaksud pasal 80, ayat (2), UU 32/2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah dimana suatu keadaan
berupa ancaman yang terjadi atau akan yang terjadi dipandang sangat serius yang
secara langsung maupun tidak langsung dapat berpotensi sangat membahayakan

Halaman | 13 |
kehidupan, keselamatan dan kesehatan banyak orang sehingga penggunaannya
tidak dapat ditunda.

III.II Saran
Penulis sadar akan kekurangan-kekurangan yang terdapat pada paper ini,
maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran serta pengoreksian secara
pribadi apabila terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan pembaca. Tidak lupa juga
penulis menyarankan pembaca untuk menambahkan lagi referensi-referensi dengan
kaitannya paper ini.

Halaman | 14 |
DAFTAR PUSATAKA

Buku-Buku
Chafid Fandeli et.al, Audit Lingkungan, Gajah Mada University Press, Yogyakarta,
2000.
Daud Silalahi, Amdal Dalam Sistem Hukum Lingkungan Indonesia, Mandar Maju,
Bandung, 1995.
--------------. Sistem Perizinan Lingkungan Instrumen Pencegahan Pencemaran
Lingkungan, Seminar Hukum Lingkungan, Kantor Menteri Negara Lingkungan
Hidup/Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (BAPEDAL), Hotel Indonesia,
Jakarta, 1-2 Mei 1996.
W. Riawan Tjandra, Perizinan Sebagai Instrumen Perlindungan Lingkungan,
Justitia Et Pax, Majalah Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 10
Juli 2005.
Internet

KBBI, tanpa tahun terbit, Instrumen, KBBI Online, URL:


https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/instrumen. Diakses tanggal 01 Mei 2022.

SPADA Universitas Sebelas Maret, tanpa tahun terbit, Kajian Lingkungan Hidup
Strategis: Pengertian, Dasar Hukum, Tujuan dan Prinsip-prinsip, URL:
https://spada.uns.ac.id/mod/resource/view.php?id=48182&forceview=1. Diakses
01 Mei 2022.

Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.

Halaman | 15 |
HUKUM LINGKUNGAN
PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DI BEBERAPA NEGARA

Dosen Pengampu :
Prof. Dr. I Wayan Parsa, S.H., M.Hum.

Disusun oleh:
Ni Ketut Litawati 2004551060
Mira Widiantary 2004551065
Ni Made Cahyani Indiraswari 2004551066
I Gede Kesuma Sadhana 2004551074

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2022
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada dasarnya dalam kehidupannya manusia bergantung pada keadaan


lingkungan di sekitarnya yaitu berupa sumber daya alam (SDA). Sumber daya
alam yang utama bagi manusia adalah udara, air, dan tanah. Udara sangat
diperlukan oleh manusia untuk bernafas, air sangat diperlukan oleh manusia untuk
keperluan hidup dan sebagai komponen terbesar dari tubuh manusia, dan tanah
merupakan tempat manusia untuk melakukan berbagai kegiatan. Berkaitan dengan
air, udara, dan tanah sangat dibutuhkan dengan jumlah yang banyak dan dengan
kualitas yang baik, dan semua itu dapat didapat jika lingkungan dalam kondisi
yang baik.
Lingkungan hidup yang sehat dilihat melalui pengelolaan lingkungan hidup
disekitar. Pengelolaan lingkungan hidup merupakan usaha sadar untuk memelihara
dan atau melestarikan serta memperbaiki mutu lingkungan agar dapat memenuhi
kebutuhan manusia sebaik-baiknya. Pengelolaan lingkungan hidup mempunyai
ruang lingkup yang secara luas dengan cara beraneka ragam pula. Pengelolaan
lingkungan hidup ditujukan agar manusia selalu berusaha memaksimalkan segala
perwujudan keinginannya. Tetapi seringkali pengelolaan lingkungan hidup dengan
cara yang secepat-cepatnya, sehingga cenderung dapat mengorbankan kepentingan
lingkungan hidup itu sendiri.
Kerusakannya terutama terjadi melalui produksi gas rumah kaca, dinamakan
demikian karena gas-gas itu memiliki efek yang sama dengan atap sebuah rumah
kaca. Gas rumah kaca (greenhouse gasses) yang berlebihan mengakibatkan efek
rumah kaca (greenhouse effect) sehingga terjadi pemanasan global (global
warming) yang menimbulkan perubahan iklim (climate change). Pada saat ini
secara global, dunia mengalami masalah perubahan iklim. Penyebab dari adanya
perubahan iklim ini disebabkan antara lain lewat pembakaran secara besar-besaran
batu bara, minyak, dan kayu, serta pembabatan hutan dan aktivitas industri yang
menghasilkan emisi gas rumah kaca. 1

1
Irawati, E. (2017). Pengelolaan Lingkungan Hidup. hlm.1.
2
Dapat kita lihat keadaan lingkungan hidup di Indonesia sebagai negara
berkembang yang mulai rusak perlu ditangani dikarenakan adanya beberapa faktor
yang mempengaruhinya, salah satunya yaitu adanya masalah mengenai keadaan
lingkungan hidup seperti degradasi yang terjadi di berbagai daerah. Serta masalah
lingkungan hidup lainnya seperti, banjir, pembuangan limbah atau sampah
sembarangan. Kemudian, keadaan lingkungan hidup di negara Jepang sebagai
negara maju, sejalan dengan makin mudah dan nyamannya kehidupan modern,
berkembang kecenderungan orang membuat barang yang digunakan satu kali saja,
lalu membuangnya. Hal ini menyebabkan timbulnya banyak macam masalah
lingkungan, seperti pencemaran udara dan air, perusakan lingkungan alam,
pemanasan global, dan jumlah limbah yang luar biasa. Perlindungan lingkungan
merupakan tugas vital tidak saja bagi Indonesia dan Jepang tapi juga bagi seluruh
dunia. Di bawah pimpinan pemerintahnya, masyarakat Indonesia dan Jepang
dewasa ini sibuk melakukan usaha-usaha perlindungan lingkungan dalam lingkup
luas.2 Atas dasar tersebut, penulis akan mengkaji dan mempelajari permasalahan
tersebut dalam paper yang berjudul “Pengelolaan Lingkungan Hidup di
Beberapa Negara”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, dapat dirumuskan masalah yaitu sebagai


berikut:
1.2.1 Bagaimana pengelolaan lingkungan hidup di negara maju (Jepang) dan
negara berkembang (Indonesia)?
1.2.2 Apa penyebab terjadi permasalahan lingkungan di negara maju (Jepang)
dan berkembang (Indonesia) tersebut?

1.3 Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, adapun tujuan penulisan yaitu sebagai


berikut:
1.3.1 Untuk mengetahui pengelolaan lingkungan hidup di negara maju (Jepang)
dan berkembang (Indonesia)

2
Kedutaan Besar Jepang di Indonesia. https://www.id.emb-japan.go.jp/expljp_16.html. Di
akses pada tanggal 5 Mei 2022.

3
1.3.2 Untuk mengetahui penyebab terjadinya permasalahan lingkungan di
negara maju (Jepang) negara berkembang (Indonesia)

1.4 Manfaat

Adapun manfaat penulisan yaitu sebagai berikut:


1.4.1 Sebagai bahan referensi bagi penulis lainnya terkait pengelolaan
lingkungan hidup di negara maju (Jepang) dan berkembang (Indonesia)
1.4.2 Sebagai suatu sumbangsih kepada para pembaca yang ingin mengetahui
penyebab terjadinya permasalahan lingkungan di negara maju (Jepang)
dan negara berkembang (Indonesia)

4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengelolaan Lingkungan Hidup di Negara Maju (Jepang) dan Negara


Berkembang (Indonesia)

Lingkungan hidup merupakan elemen dasar dalam kehidupan manusia. Setiap


aktivitas manusia sering kali melibatkan unsur lingkungan di dalamnya, terutama
dalam membangun ekonomi suatu bangsa. Oleh karena itu pengelolaan lingkungan
sangat penting untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan
lingkungan hidup. Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, memberikan definisi mengenai
perlindungan dan pengelolaan lingkungan yaitu perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk
melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian,
pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.
Di setiap negara di dunia tentunya memiliki permasalahan lingkungan hidup,
di negara maju persoalan lingkungan terutama disebabkan oleh eksploitasi sumber
daya alam yang berlebihan (over exploitation) dalam rangka pembangunan di negara-
negara berkembang. sedangkan bagi negara berkembang sumber permasalahan
terutama ada pada negara-negara maju yaitu dengan revolusi industrinya, dengan gaya
hidup yang mewah dan boros telah menguras persediaan energi dan menimbulkan
pencemaran pada lingkungan.3 Untuk mengatasi persoalan lingkungan maka
diperlukan adanya pengelolaan lingkungan.
Pada pokok bahasan ini akan membahas mengenai pengelolaan lingkungan
hidup di beberapa negara yaitu pada negara maju seperti Jepang dan negara
berkembang seperti Indonesia, yaitu sebagai berikut:
A. Jepang
Industrialisasi telah membawa dampak yang besar terhadap lingkungan
di Jepang. Dasar hukum mengenai pengendalian pencemaran lingkungan
diberlakukan di Jepang pada tahun 1967 dan Badan Lingkungan Hidup

3
Hartati, Anna Yulia. 2007. Lingkungan Hidup dan Liberalisasi Perdagangan: Upaya
Mencari Jalan Tengah. ISSN 1410-4946 Vol. 11: No. 2.
5
didirikan empat tahun kemudian. 4 Pengelolaan lingkungan hidup di Jepang
yaitu Jepang telah membuat hukum konservasi lingkungan yaitu Basic
Environment Law pada November 1993. Hukum tersebut mengatur prinsip
dasar dan arah dalam membuat kebijakan lingkungan. Selain itu, hukum
tersebut juga mendefinisikan pembagian tanggung jawab antara pemerintah
pusat, pemerintah daerah, pengusaha/ pebisnis hingga masyarakat demi
melindungi keberlangsungan lingkungan nasional.
Sebelum dibuatnya Basic Environment Law, Jepang telah memiliki
kebijakan lingkungan yang mengatur mengenai polusi pada tahun 1967.5
Walaupun kebijakan-kebijakan tersebut cukup sukses dalam memperbaiki
kerusakan lingkungan di lingkup Jepang, namun belum mampu untuk
mengontrol kerusakan lingkungan yang sudah menyebar di seluruh dunia
Kebijakan tersebut secara sistematis menjelaskan langkah-langkah yang
diambil oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat, pebisnis
hingga perusahaan swasta. Peran setiap pihak dan cara menetapkan kebijakan
juga dijelaskan dalam kebijakan tersebut. Pembagian tanggung jawab dari
setiap pihak dalam internal Jepang juga diatur dalam hukum lingkungan
tersebut. Adapun tanggung jawab dari setiap pihak adalah: 6
a) Pemerintah pusat
Bertanggung jawab memformulasikan dan mengimplementasikan
kebijakan yang bersifat fundamental dan komprehensif atas konservasi
lingkungan berdasarkan prinsip dasar konservasi lingkungan.
b) Pemerintah daerah
Bertanggung jawab memformulasikan dan mengimplementasikan
kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pusat menjadi
kebijakan lainnya yang sesuai dengan kondisi alam dan sosial.
c) Perusahaan
Tanggung jawab dari setiap unsur perusahaan dibagi atas beberapa
jenis, yaitu:

4
Japan's Environment. http://www.nationsencyclopedia.com/Asia-and-
Oceania/JapanENVIRONMENT.html diakses pada 6 Mei 2022
5
Wakana Takahashi, Environmental Cooperation in Northeast Asia, paper ini disampaikan
dalam the 9th Northeast Asian Conference on Environmental Cooperation tahun 2000. hal. 1
6
Ibid.
6
- Dalam melakukan kegiatan usaha, perusahaan bertanggung
jawab untuk mengambil tindakan yang diperlukan untuk
mencegah pencemaran lingkungan, seperti limbah udara, air
yang tercemar limbah, dan untuk melestarikan lingkungan
alam, sesuai dengan prinsip dasar.
- Dalam bidang manufaktur, pengolahan atau menjual produk,
atau terlibat dalam kegiatan bisnis lainnya, perusahaan
bertanggung jawab untuk mengambil langkah-langkah yang
diperlukan untuk memastikan pembuangan limbah yang
dihasilkan dari produk dan barang-barang lain yang terkait
dengan kegiatan mereka.
- Selain tanggung jawab yang ditentukan dalam bidang
manufaktur, pengolahan atau menjual produk, atau terlibat
dalam kegiatan bisnis lainnya, perusahaan yang bertanggung
jawab untuk melakukan upaya untuk mengurangi beban
lingkungan yang dihasilkan dari penggunaan atau pelepasan
produk dan barang-barang lainnya yang terkait dengan kegiatan
mereka untuk mencegah interferensi dengan pelestarian
lingkungan, sesuai dengan prinsip-prinsip dasar.
- Perusahaan bertanggung jawab untuk melakukan upaya
sukarela untuk melestarikan lingkungan seperti pengurangan
beban lingkungan dalam rangka kegiatan usahanya yang
berkaitan dengan pelestarian lingkungan.
d) Masyarakat
Masyarakat harus melakukan upaya untuk mengurangi beban
lingkungan yang terkait dengan kehidupan sehari-hari sehingga dapat
mencegah interferensi dan masyarakat juga bertanggung jawab untuk
melakukan upaya untuk melestarikan lingkungan dan untuk bekerja
sama dengan kebijakan yang diterapkan oleh negara atau pemerintah.
B. Indonesia
Pengelolaan lingkungan hidup merupakan upaya manusia untuk
berinteraksi dengan lingkungan guna mempertahankan kehidupan dan
mencapai kesejahteraannya. Di Indonesia pengaturan mengenai pengelolaan
lingkungan hidup diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
7
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Keberlanjutan pembangunan di suatu daerah
atau negara ditentukan oleh kemampuan daerah atau negara tersebut dalam
mengelola lingkungan hidupnya. Pendekatan pengelolaan lingkungan
dilakukan dengan menata sistem pengelolaannya.
Dalam hal pengelolaan lingkungan hidup, ada beberapa hal penting yang
harus diingat. Pertama, hukum lingkungan menjadi dasar dan pedoman dari
segala pengelolaan lingkungan hidup. Aspek pengelolaan lingkungan hidup
memiliki segi dan cakupan yang sangat luas seperti pemanfaatan sumber daya
alam dan lingkungan, penetapan perencanaan tata ruang, menetapkan sistem
zona dan baku mutu lingkungan, kebijakan pembuatan/penerapan AMDAL
(Analisis mengenai Dampak Lingkungan), perizinan, penegakan hukum (law
enforcement), pemberdayaan masyarakat, penanggulangan kerusakan
lingkungan dan bencana alam, dan sebagainya. Keseluruhan aspek-aspek
demikian diatur oleh hukum lingkungan guna tercapainya keberlanjutan
lingkungan bagi kesejahteraan manusia.
Kedua, kekuasaan untuk mengelola lingkungan dan semua sumber daya
alam berpusat di tangan negara. Hal ini sebagai konsekuensi dari kedaulatan
negara atas teritorialnya (tanah, udara, air, dan segala yang dikandungnya) juga
sebagai konsekuensi dari perlunya ada suatu organ kekuasaan berdaulat penuh
untuk mengatur, mengelola, mengawasi, dan mengendalikan lingkungan
supaya tercapai efektivitas dari tujuan mencapai keberlanjutan lingkungan bagi
kesejahteraan manusia.
Ketiga, interaksi lingkungan dengan antarmanusia. Interaksi manusia
dengan sesamanya tidak terlepas dengan pengaruhnya kepada lingkungan
maka interaksi antar sesama pun menjadi bagian dari pengaturan hukum
lingkungan. Sebab dalam jalinan interaksi pergaulan sosial antara manusia
(individu dengan individu lain atau alam masyarakat), konsekuensinya juga
menyangkut persoalan lingkungan hidup.
Terdapat beberapa ketentuan dalam peraturan-perundangan mengenai
pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia, yaitu:
1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok pengelolaan Lingkungan Hidup

8
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982, sesuai dengan namanya
Undang-Undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan
Lingkungan Hidup menonjolkan dua macam segi, yaitu:
1) Undang-Undang ini hanya memberikan pengaturan secara garis besar
dalam pokok pokoknya saja, sedangkan aturan lebih terperinci diatur
dalam berbagai peraturan pelaksanaannya.
2) Undang-undang ini bukan mengatur tentang lingkungan hidup secara
keseluruhan, akan tetapi hanya mengatur segi pengelolaan lingkungan
hidup.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 ini menyatakan bahwa sesuai
dengan hakikat Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum, maka
pengembangan sistem pengelolaan lingkungan hidup Indonesia haruslah
diberi dasar hukum yang jelas, tegas, dan menyeluruh guna menjamin
kepastian hukum bagi usaha pengelolaan berdasarkan Wawasan
Nusantara.7
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup
Menurut Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup dijelaskan bahwa Pengelolaan lingkungan hidup adalah
upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi
kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan,
pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup. 8 Pengelolaan
lingkungan hidup yang diselenggarakan dengan asas sebagai berikut:
1) Asas Tanggung Jawab Negara
“Negara menjamin pemanfaatan sumber daya alam memberikan
manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan mutu hidup
rakyat, baik generasi masa kini maupun generasi masa depan”.
2) Asas Berkelanjutan
“Setiap orang memikul kewajiban dan tanggung jawab terhadap
generasi mendatang dan terhadap sesamanya dalam satu generasi

7
Syahrul Machmud, op. cit. hlm 28.
8
Pasal 1 ayat 2 Undang-Undnag No 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
9
dengan melakukan upaya pelestarian daya dukung ekosistem dan
memperbaiki kualitas lingkungan hidup.”
3) Asas Manfaat
Asas ini bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang
merata berdasarkan prinsip kebersamaan dan keseimbangan untuk
mencegah terjadinya kesenjangan ekonomi, konflik sosial dan budaya.
➢ Adapun sasaran pengelolaan lingkungan hidup adalah :9
1) Tercapainya keselarasan, keserasian dan keseimbangan antara manusia
dan lingkungan hidup
2) Terwujudnya manusia Indonesia sebagai insane lingkungan hidup yang
memiliki sikap dan tindak melindungi dan membina lingkungan hidup
3) Terjaminnya kepentingan generasi masa kini dan generasi masa depan
4) Tercapainya kelestarian fungsi lingkungan hidup
5) Terkendalinya pemanfaatan sumber daya secara bijaksana
6) Terlindunginya Negara Kesatuan Republik Indonesia terhadap dampak
usaha dan/atau kegiatan di luar wilayah Negara yang menyebabkan
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup
Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 upaya pengelolaan
lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup, (UKL-UPL),
adalah pengelolaan dan pemantauan terhadap usaha dan/atau kegiatan yang
tidak berdampak penting terhadap lingkungan hidup bagi proses pengambilan
keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan kegiatan. Perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup meliputi perencanaan, pemanfaatan,
pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum. 10
Pengelolaan lingkungan hidup haruslah didasari dengan beberapa asas
yang penting antara lain sebagai berikut: 11

9
Wijayanti, Laksmi. Kedudukan Sistem Pelaporan Lingkungan dalam Sistem Pengelolaan
Lingkungan, hal. 126.
10
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup
11
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup
10
1) Asas tanggung jawab negara, yaitu Negara menjamin pemanfaatan sumber
daya alam akan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi
kesejahteraan dan mutu hidup rakyat, baik generasi masa kini maupun
generasi masa depan.
2) Asas kelestarian dan keberlanjutan, yaitu setiap orang memikul kewajiban
dan tanggung jawab terhadap generasi mendatang dan terhadap sesamanya
dalam satu generasi dengan melakukan upaya pelestarian daya dukung
ekosistem.
3) Asas keserasian dan keseimbangan, yaitu pemanfaatan lingkungan hidup
harus memperhatikan berbagai aspek seperti kepentingan ekonomi, sosial,
budaya, dan perlindungan serta pelestarian ekosistem.
4) Asas keterpaduan, yaitu perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
dilakukan dengan memadukan berbagai unsur atau komponen terkait.
5) Asas manfaat, yaitu segala usaha/atau kegiatan pembangunan sumber daya
alam dan lingkungan hidup untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat.
6) Asas kehati-hatian, yaitu terdapat langkah-langkah yang diperlukan untuk
meminimalisir atau menghindari ancaman terhadap kerusakan lingkungan
hidup.
7) Asas keadilan, yaitu perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus
mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara.
8) Asas ekoregion, yaitu perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
harus memperhatikan karakteristik sumber daya alam, ekosistem, kondisi
geografis, budaya masyarakat setempat, dan kearifan lokal.
9) Asas keanekaragaman hayati, yaitu perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup harus memperhatikan upaya terpadu.
10) Asas pencemar membayar, yaitu setiap penanggung jawab yang usaha
dan/atau kegiatannya menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup wajib menanggung biaya pemulihan lingkungan.
11) Asas partisipatif, yaitu setiap anggota masyarakat didorong untuk berperan
aktif dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup, baik secara langsung maupun tidak
langsung.

11
12) Asas kearifan lokal, yaitu dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup harus memperhatikan nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata
kehidupan masyarakat.
13) Asas tata kelola pemerintahan yang baik, yaitu perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup dijiwai oleh prinsip partisipasi, transparansi,
akuntabilitas, efisiensi, dan keadilan.
14) Asas otonomi daerah, yaitu pemerintah dan pemerintah daerah mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup.
Pengendalian pengelolaan lingkungan hidup dijelaskan dalam Pasal 13
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, yaitu: 12
1) Ayat 1 : pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup
dilaksanakan dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup.
2) Ayat 2 : pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pencegahan, penanggulangan,
dan pemulihan.
3) Ayat 3 : pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh pemerintah,
pemerintah daerah, dan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan sesuai
dengan kewenangan, peran, dan tanggung jawab masing-masing.

2.2 Penyebab Permasalahan Lingkungan di Negara Maju (Jepang) dan


Berkembang (Indonesia)

Masalah lingkungan hidup merupakan refleksi masyarakat International


terhadap terjadinya kerusakan/ pencemaran lingkungan yang melanda dunia akibat
adanya pembangunan. Meadows memberikan laporan berbagai masalah yang
menimpa banyak Negara di dunia dalam sebuah laporannya yang berjudul “The Limits
to Growth'' , bahwa terdapat lima faktor pokok yang menentukan dan pada akhirnya
membatasi pertumbuhan di planet bumi, kemajuan industrialisasi, pertumbuhan
penduduk yang cepat, kekurangan pangan yang meluas, kerusakan sumber daya alam

12
Pasal 13 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup
12
yang tak terbaharui, dan pencemaran lingkungan menimbulkan pemikiran Negara.13
Terkait dengan pembahasan yang akan dijelaskan lebih lanjut, maka terdapat penyebab
permasalahan lingkungan di Negara Jepang dan Negara Indonesia, yaitu:
A. Penyebab Permasalahan Lingkungan Di Jepang
Permasalahan Lingkungan di Jepang, dapat dibedakan menjadi dua yaitu:
a. Penyebab Permasalahan lingkungan di Jepang pada tahun 1950-1960 an
1. Pertambangan Tembaga Ashio
Ashio merupakan kota di prefektur Tochigi, Honshu. Ashio
merupakan tambang tembaga sentral terbesar dari awal periode Edo (1600-
1868) sampai tahun ditutup pada 1973.14 Ada beberapa jenis kerusakan
yang ditimbulkan, yaitu:
1) Kerusakan pada hutan (pohon) yang berada di sekitar kilang akibat dari
asam belerang
Hal ini disebabkan karena proses pemurnian bijih dan debu yang
mengandung logam dari asap kilang. Dalam proses penyulingan,
arsenik juga dilepaskan ke udara dengan gas belerang, ini
mengakibatkan pencemaran lingkungan yang sangat serius.
2) Kerusakan dari air asam yang dibuang dalam proses pertambangan dan
seleksi pemurnian bijih yang mencemari sungai, yang mengarah ke
penghancuran tanah lapisan atas yang disebabkan oleh racun yang
terbawa oleh air.
3) Banjir menyebabkan produk pertanian teracuni karena banyaknya air
asam yang berasal dari tambang dan terak. Terak adalah produk
sampingan atau ampas menyerupai batu kaca yang tersisa setelah
logam yang diinginkan telah dipisah dari bijih bahan baku logam
tersebut.
4) Tembaga yang hancur ini keadaan bagian hilir sungai akan sangat
buruk, sehingga tanah tidak mengandung oksigen, tanaman seperti
padi, gandum dan sayuran lainnya akan langsung mati.
2. Minamata (1958)

13
Wilsa. 2020. Hukum Lingkungan (Studi Pendekatan Sejarah Hukum Lingkungan).
Yogyakarta: Deepublish. hlm. 8.
14
Krisno, P. L. (2017). Kemajuan Industri Dan Dampak Lingkungannya Di Jepang Sebelum
Tahun 1950. Lensa Budaya: Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Budaya, 12(1). hlm 63-64.
13
Minamata adalah Kota di Selatan Prefektur Kumamoto, Kyushu, di laut
Yatsushiro. Dalam rangka meningkatkan perekonomian, pabrik-pabrik pun
didirikan, sehingga industrialisasi di Jepang meningkat sangat pesat.15
Berikut hal-hal yang ditimbulkan terkait permasalahan lingkungan di
Minamata, yaitu:
1) Adanya racun jenis zat kimia atau logam menjadi penyebabnya yang
terkandung dalam ikan atau kerang yang ditangkap oleh nelayan
yang berada di teluk Minamata diduga sebagai penyebab
terjangkitnya penyakit Minamata ini.
2) Pada bulan Juli 1959, substansi penyakit Minamata adalah
komponen merkuri, kemungkinan besar adalah methylmercury.
3) Zat methylmercury yang terkandung pada air di teluk Minamata
merupakan limbah dari industri plastik Chisso yang beroperasi di
berasal dari zat yang berbahaya, methylmercury.
4) Tahun 1965 perairan sungai agano ditemukan terkontaminasi
dengan polutan metil-merkuri disebabkan oleh pabrik Showa Denko
dengan zat kimia.
5) Pada tanggal 26 September 1965, bahwa penyakit kota Minamata di
Prefektur Kumamoto disebabkan oleh senyawa methylmercury yang
dihasilkan oleh asetaldehida (Asetaldehid adalah sebutan untuk
etanol.
6) Pengrusakan terparah terjadi pada tanah dan irigasi yang digunakan
oleh petani di sekitar tambang tembaga Ashio. 70 sampai 80 tahun
kemudian cadmium (kadmium adalah logam putih, malur, unsur
dengan nomor atom 48, berlambang Cd, bobot atom 112.41) akan
menyebabkan masalah kesehatan di kalangan petani karena padi
yang mereka tanam dan konsumsi mengandung sejumlah besar
kadmium.
b. Penyebab Permasalahan lingkungan di Jepang pada saat ini
1. Polusi Udara

15
Ibid. hlm. 65-67.
14
Kota-kota industri seperti Tokyo merupakan kota yang paling banyak
16
menderita akibat polusi udara. Pencemaran udara disebabkan oleh
berbagai gas dan racun yang dikeluarkan oleh industri dan pabrik-
pabrik serta sisa pembakaran bahan bakar fosil, sedangkan pencemaran
tanah terutama disebabkan oleh limbah industri yang merusak unsur
hara dan zat nutrisi di tanah yang penting bagi tumbuhan. Industri
manufaktur dan pembangkit listrik di Jepang berkontribusi dalam
peningkatan polusi udara di negara tersebut.
2. Pencemaran oleh limbah Pabrik
Konsep ekspor led growth di pabrik-pabrik berproduksi secara besar-
besaran, sehingga membuat lingkungan sekitar mengalami penurunan
indeks kesehatan. Disisi lain, terdapat kabut kimia beracun yang
dihasilkan oleh pabrik-pabrik yang berada Tiongkok melalui perantara
udara17.
3. Emisi Gas
Laju emisi CO2 yang dihasilkan cenderung fluktuatif dan terkontrol
menyebabkan munculnya hujan asam di Jepang. Pada pertengahan
1990-an, Jepang berada pada peringkat empat dalam hal penghasil
emisi CO2 tertinggi di dunia 18, sehingga masyarakat menderita
bronchitis dan asma akibat kondisi udara yang tidak sehat.
4. Pencemaran air
Negara tersebut memiliki 430 cu km dari sumberdaya terbarukan air
dengan 64% digunakan dalam kegiatan pertanian dan 17% digunakan
untuk keperluan industri.19 Peningkatan kadar asam karena polutan
industri telah mempengaruhi sumber air di Jepang seperti danau, sungai
dan perairan sekitar Jepang yang dicemari oleh DDT, BMC dan
merkuri.
5. Hujan Asam

16
Haryanti, Pitti. 2013. All About Japan. Yogyakarta. C.V Andi Offset. hlm. 49-52
17
Kunio, Yoshihara. 1987. Sogo Shosha : Pemandu Kemajuan Ekonomi Jepang.hlm 72
18
(http://www.nationsencyclopedia.com/Asia-and-Oceania/JapanENVIRONMENT.html)
diakses pada 1 Mei 2022
19
Ibid.
15
Kemajuan ekonomi yang dialami Jepang tidak terlepas dengan
industrialisasi yang dialami negara tersebut. Pabrik dan knalpot mobil
yang menghasilkan asap berkontribusi dalam menghasilkan sulfur
oksida yang kemudian bercampur dengan curah hujan.
6. Bencana alam
Jepang sering mengalami gempa bumi, topan, tanah longsor, hingga
tsunami. Dampak dari bencana alam ini mengakibatkan kerugian
finansial, kerusakan lingkungan, dan jatuhnya korban jiwa. 20
Permasalahan lingkungan yang disebabkan oleh bencana alam
mengakibatkan air bersih sulit untuk diperoleh karena telah tercampur
oleh senyawa seperti banjir.
B. Penyebab Permasalahan Lingkungan Di Indonesia
Permasalahan lingkungan di Indonesia sering kali terjadi di berbagai daerah
Indonesia yang mengakibatkan dampak serius. Berikut permasalahan lingkungan di
Indonesia, yaitu:
a. Penyebab Permasalahan Lingkungan Di Indonesia Secara Umum
1. Polusi
Masalah lingkungan hidup yang pertama adalah polusi atau pencemaran
lingkungan hidup. Sektor Industri dan asap kendaraan bermotor adalah sumber
pencemaran utama. Logam berat, nitrat dan plastik beracun bertanggung jawab
atas berbagai pencemaran yang ada. Sementara polusi air disebabkan oleh
tumpahan minyak, hujan asam, limpasan perkotaan. Disisi lain, pencemaran
udara disebabkan oleh berbagai gas dan racun. 21
2. Perubahan iklim
Perubahan iklim atau pemanasan global. Perubahan iklim seperti
pemanasan global adalah hasil dari praktik manusia seperti emisi gas rumah
kaca. Akibat perubahan cuaca tersebut, produksi pertanian sering mengalami
gagal panen dan memperbesar peluang terjadinya kebakaran hutan akibat
terjadinya musim kering berkepanjangan.
3. Populasi

20
Widiyani, Y., & Hanura, M. (2020). Analisa Dampak Pencemaran Lingkungan Tiongkok
Terhadap Aspek Human Security Di Jepang. Journal of International Relations, 6(2), hlm
334.
21
Haryanto, T. 2018. Pencemaran Lingkungan. Klaten: Cempaka Putih. hlm 15-16.
16
Ledakan populasi disetiap daerah Indonesia yang terus menyebabkan
semakin langkanya sumber daya. Pertanian intensif yang bertujuan untuk
meningkatkan produksi makanan dengan menggunakan pestisida justru pada
akhirnya menimbulkan masalah baru. Kerusakan itu berupa menurunnya
kualitas tanah dan kesehatan manusia. 22
4. Penipisan sumber daya alam
Penggunaan bahan bakar fosil seperti minyak bumi bertanggung jawab
menciptakan pemanasan global dan perubahan iklim. Secara global, mulai
banyak pihak yang mulai beralih menggunakan sumber daya terbarukan, seperti
listrik tenaga surya, biogas, mobil tenaga matahari, yang diterapkan oleh negara
maju.
5. Pencemaran oleh limbah bahan berbahaya dan beracun (B3)
Permasalahan lingkungan hidup selanjutnya adalah pembuangan limbah.
Pencemaran lingkungan dapat mengakibatkan menurunnya fungsi dan
peruntukan sumberdaya alam, seperti air, udara, bahan pangan, dan tanah. Bahan
pencemar yang terbanyak adalah limbah, terutama dari kawasan industri. 23 Hal
ini terutama limbah plastik dan sampah perkotaan seperti di Kali Ciliwung di
Jakarta atau kota-kota di Indonesia menyebabkan ikan-ikan mati dan hancurnya
ekosistem sungai.
6. Kepunahan keanekaragaman hayati
Aktivitas manusia menyebabkan kehilangan keanekaragaman hayati.
Aktivitas perburuan satwa yang tidak berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan
protein manusia, seperti perburuan telur penyu atau kura-kura indonesia yang
menyebabkan kura-kura sungai punah. Punahnya spesies berarti punahnya
sumber pemenuhan kebutuhan hidup manusia.
7. Deforestasi atau penggundulan hutan
Pembukaan hutan untuk pengembangan sektor perkebunan, terutama sawit,
menyebabkan pelepasan karbon ke bumi sehingga meningkatkan perubahan
suhu bumi. Hutan yang sesungguhnya berperan menyerap racun karbon dioksida
hasil pencemaran.

22
Ibid., hlm 18.
23
https://dlh.bulelengkab.go.id/informasi/detail/artikel/masalah-lingkungan-hidup-di-
indonesia-dan-dunia-saat-ini-15. (diakses pada 4 Mei 2022)
17
8. Fenomena pengasaman laut
Ini adalah dampak langsung dari produksi berlebihan gas Karbon Dioksida
(CO2). Dua puluh lima persen gas CO2 yang dihasilkan oleh manusia.
Keasaman laut telah meningkat dalam 250 tahun terakhir. Pada tahun 2100,
mungkin meningkat sekitar 150%. Dampak utama adalah pada punahnya kerang
dan plankton, sumber makanan ikan. 24
9. Penipisan lapisan ozon
Lapisan tipis ozon yang menyelimuti Bumi pada ketinggian antara 20
hingga 50 km di atas permukaan Bumi berfungsi menahan 99% dari radiasi sinar
ultraviolet (UV) yang berbahaya bagi kehidupan. Penipisan lapisan Ozon
diperkirakan disebabkan oleh polusi yang disebabkan oleh bahan kimia, seperti
CFC (chlorofluorocarbon) yang dihasilkan oleh aerosol (gas penyemprot
minyak wangi, insektisida), mesin pendingin, dan proses pembuatan plastik atau
karet busa (foam).
10. Pemanasan Global
Pemanasan global dapat terjadi akibat meningkatnya lapisan gas terutama
CO2 yang menyelubungi Bumi dan berfungsi sebagai lapisan seperti rumah
kaca. Dalam keadaan normal, lapisan gas rumah kaca (GRK) terdiri dari 55%
CO2, sisanya adalah hidrokarbon, NOx, SO2, O3, CH4 dan uap air. Dampak
dari rumah kaca ini adalah terjadinya kenaikan suhu Bumi atau perubahan iklim
secara keseluruhan.
11. Hujan asam
Hujan asam terjadi akibat polutan tertentu di atmosfer. Hujan asam dapat
disebabkan karena pembakaran bahan bakar fosil atau akibat meletusnya gunung
berapi atau membusuknya vegetasi yang melepaskan sulfur dioksida dan
nitrogen oksida ke atmosfer. Hujan asam menjadi permasalahan lingkungan
yang dapat memiliki efek serius pada kesehatan manusia, satwa liar dan spesies
air, menyebabkan keracunan dalam pernapasan, SOX menyebabkan pneumonia,
disamping itu bersama NOx mengakibatkan hujan asam dan banjir
12. Rekayasa genetika
Produk makanan, peternakan, pertanian saat ini banyak dihasilkan oleh
teknologi rekayasa genetika atau modifikasi genetik. Kelemahan lain yaitu

24
Ibid
18
terdapat peningkatan penggunaan racun untuk membuat tanaman tahan terhadap
gangguan serangga atau hama dapat menyebabkan organisme yang dihasilkan
menjadi resisten (kebal) terhadap antibiotik.
b. Penyebab Permasalahan Lingkungan Berdasarkan Pengelompokkan
1. Masalah lingkungan hidup alami
Peristiwa alam yang sering terjadi terutama di negara kita, seperti tsunami,
badai, gempa bumi, tanah longsor dan banjir merupakan tantangan bagi
kelangsungan hidup dan keselamatan manusia. 25 Peristiwa alam yang juga
sering terjadi adalah badai. Badai sebagai gabungan hujan deras disertai petir
dan halilintar juga merupakan tantangan bagi kelangsungan kehidupan dan
keselamatan manusia.
2. Masalah Deforestasi
Hutan Indonesia menduduki tempat kedua dalam luas setelah Brazil, dan
mewakili 10 persen dari hutan tropis dunia yang masih tersisa. Pada deforestasi
yang berlangsung dengan tingkat tinggi, akan mengancam penyediaan bahan
kayu dasar dan produk hutan sekunder dan mengurangi pelayanan lingkungan
seperti proteksi sumber mata air dan preservasi habitat alam yang penting.
Degradasi hutan yang diakibatkan oleh proses deforestasi di Indonesia
tergolong tinggi.
3. Masalah kesehatan
Demam berdarah, flu burung, polio dan kasus busung lapar adalah sebagian
masalah kesehatan yang kita alami akhir-akhir ini. Dampak dari masalah
kesehatan ini antara lain tidak diizinkannya ekspor bahan pangan dari Indonesia
karena negara tujuan khawatir dengan infeksi virus flu burung (Avian flu).26
4. Masalah sosial, ekonomi dan kemiskinan
Kemiskinan merupakan masalah sosial ekonomi, yang secara komprehensif
terjadi akibat faktor pendidikan, kesehatan, ketidakadilan, sistem
ketenagakerjaan, kebutuhan hidup minimum dan keamanan. Masalah
kemiskinan ini menimbulkan dampak seperti perambahan hutan untuk menjadi
binaan manusia. 27

25
Ibid. hlm 44.
26
Darmono. 2001. Lingkungan Hidup dan Pencemaran. Jakarta: Universitas Indonesia (UI-
Press). Hlm 42-44.
27
Ibid. hlm 46.
19
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan uraian yang telah disampaikan pada pembahasan, maka penulis


dapat menyimpulkan sebagai berikut:
1) Pengelolaan lingkungan hidup di Jepang dilakukan dengan membuat hukum
konservasi lingkungan yaitu Basic Environment Law pada November 1993. Dalam
menanggulangi masalah lingkungan, kebijakan The Basic Environment Plan pada
tahun 1994 menjelaskan peran pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat,
pebisnis hingga perusahaan swasta. Sedangkan pengelolaan lingkungan hidup di
Indonesia memperhatikan hukum lingkungan menjadi pedoman dalam pengelolaan
lingkungan, kekuasaan mengelola lingkungan berada pada negara, dan dilakukan
interaksi dengan manusia, ditegaskan oleh UU No. 4 Tahun 1982 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 23 tentang
pengelolaan lingkungan Hidup, dan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan lingkungan hidup.
2) Penyebab permasalahan lingkungan di Jepang yaitu pada tahun 1950-1960an
terdapat pertambangan Tembaga Ashio dan Minata tahun 1958 akibat adanya racun
jenis zat kimia di perairan sungai. Pada saat ini terdapat permasalahan lingkungan
di jepang seperti polusi udara, pencemaran limbah pabrik, emisi gas, pencemaran
air, hujan asam dan bencana alam. Sedangkan penyebab permasalahan lingkungan
di Indonesia dibedakan secara umum dan berdasarkan pengelompokkan yaitu
masalah lingkungan hidup alam, masalah deforestasi, masalah kesehatan dan
masalah sosial, ekonomi, dan ekonomi.

3.2 Saran

Kerusakan lingkungan dapat terjadi di negara manapun akibat dari


perkembangan teknologi dan kebutuhan dari masing-masing individu. Maka dari itu
pengelolaan lingkungan yang diimplementasikan menjadi suatu peraturan-peraturan
formal dalam setiap negara hendaknya dapat ditaati oleh masyarakatnya guna
mencegah kerusakan yang lebih parah dan berkepanjangan terhadap lingkungan dan
dapat menciptakan pembangunan berkelanjutan dalam negara tersebut.
20
DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
pengelolaan Lingkungan Hidup
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup

Buku
Irawati, E. (2017). Pengelolaan Lingkungan Hidup. hlm.1. Haryanti, Pitti. 2013. All
About Japan. Yogyakarta. C.V Andi Offset.
Haryanto, T. 2018. Pencemaran Lingkungan. Klaten: Cempaka Putih.
Kunio, Yoshihara. 1987. Sogo Shosha: Pemandu Kemajuan Ekonomi Jepang.
Ramli Utina. 2009. Ekologi dan Lingkungan Hidup. Gorontalo: Deepublish. hlm 42.
Syahrul Machmud, Hukum Lingkungan, Edisi Revisi, Cetakan III, Citra
Bhakti,Bandung. 2012, hlm 15.
Wijayanti, Laksmi. Kedudukan Sistem Pelaporan Lingkungan dalam Sistem
Pengelolaan Lingkungan, hal. 126.
Wilsa. 2020. Hukum Lingkungan (Studi Pendekatan Sejarah Hukum Lingkungan).
Yogyakarta: Deepublish.

Jurnal
Hartati, Anna Yulia. 2007. Lingkungan Hidup dan Liberalisasi Perdagangan: Upaya
Mencari Jalan Tengah. ISSN 1410-4946 Vol. 11: No. 2.
Krisno, P. L. (2017). Kemajuan Industri Dan Dampak Lingkungannya Di Jepang
Sebelum Tahun 1950. Lensa Budaya: Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Budaya, 12(1).
Wakana Takahashi, Environmental Cooperation in Northeast Asia, paper ini
disampaikan dalam the 9th Northeast Asian Conference on Environmental
Cooperation tahun 2000. hal. 1.
Widiyani, Y., & Hanura, M. (2020). Analisa Dampak Pencemaran Lingkungan
Tiongkok Terhadap Aspek Human Security Di Jepang. Journal of
International Relations, 6(2), hlm 334.
Internet
21
https://dlh.bulelengkab.go.id/informasi/detail/artikel/masalah-lingkungan-hidup-di-
indonesia-dan-dunia-saat-ini-15. diakses pada 4 Mei 2022
http://www.nationsencyclopedia.com/Asia-and-
Oceania/JapanENVIRONMENT.html diakses pada 1 Mei 2022
Kedutaan Besar Jepang di Indonesia. https://www.id.emb-japan.go.jp/expljp_16.html.
Di akses pada tanggal 5 Mei 2022.
Japan's Environment. http://www.nationsencyclopedia.com/Asia-and-
Oceania/JapanENVIRONMENT.html diakses pada 6 Mei 2022

22
HUKUM LINGKUNGAN HIDUP

"KONVENSI INTERNASIONAL BIDANG LINGKUNGAN HIDUP"

DOSEN PENGAMPU:

Prof. Dr. I Wayan Parsa, SH., M.Hum

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 8

1. Anak Agung Made Agung Kusuma Wardana (2004551081)


2. Ni Putu Karina Putri (2004551083)
3. Ni Putu Arista Ratna Dewi (2004551089)
4. Pande Putu Nugrahita Prameswari Sutrisna (2004551102)

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa atas bimbingan beliau
kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Konvensi Internasional Bidang
Lingkungan Hidup” yang mana makalah ini disusun untuk memenuhi tugas dalam mata
kuliah Hukum Lingkungan

Makalah ini memuat tentang penjabaran hasil dari konferensi tingkat tinggi terhadap
perkembangan hukum lingkungan, walaupun makalah ini mungkin kurang sempurna tetapi di
dalam makalah ini sudah sangat detail mencakup tentang apa yang diarahkan semesetinya,
kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan keterbatasan dalam penyajian makalah
ini. Oleh karena itu, saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari dosen
pengampu dan semua pembaca demi kesempurnaan juga kami dapat memperbaiki makalah
kami kedepannya. Semoga makalah ini berguna dan dapat menambah pengetahuan pembaca.

Demikian makalah ini kami susun, apabila terdapat kata-kata yang kurang berkenan
dan banyak terdapat kekurangan, kami memohon maaf yang sebesar-besarnya.

Denpasar, 01 Mei 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................ i
DAFTAR ISI..................................................................................................................... ii
PENDAHULUAN............................................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang ....................................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah .................................................................................................. 1
1.3. Tujuan .................................................................................................................... 2
PEMBAHASAN ............................................................................................................... 3
A. Konfrensi Tingkat Tinggi Stockholm..................................................................... 3
B. Konferensi Tingkat Tinggi Nairobi ........................................................................ 5
C. Konferensi Tingkat Tinggi Rio de Jenairo ............................................................. 8
D. Konferensi Tingkat Tinggi Johannesburg, Afrika Selatan .................................. 12
KESIMPULAN............................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................... 17

ii
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang

Permasalahan lingkungan hidup saat ini menjadi perhatian serius bagi dunia internasional.
Munculnya permasalahan ini terkait dengan hubungan manusia dan lingkungannya yang
bersifat eksploitasi secara berlebihan terhadap lingkungan. Lingkungan hidup menjadi masalah
yang multi dimensional dan kompleks karena berbagai faktor yang terkait didalamnya. Faktor-
faktor ekonomi, politik, sosial, ilmu pengetahuan, teknologi serta kemanusiaan, masuk menjadi
kepentingan yang saling terkait. Lingkungan hidup bukan hanya menjadi permasalahan bangsa
Indonesia saja, namun telah menjadi isu global negara-negara di dunia yang harus
ditanggulangi bersama seluruh umat manusia di muka bumi. Kesadaran lingkungan yang
bersifat global ini telah dituangkan dalam berbagai konferensi Internasional, Regional dan
Nasional. Perkembangan hukum lingkungan tidak dapat dipisahkan dari gerakan sedunia untuk
memberikan perhatian lebih besar kepada lingkungan hidup, mengingat kenyataan bahwa
lingkungan hidup telah menjadi masalah yang perlu ditanggulangi bersama demi kelangsungan
hidup di dunia ini. Pembicaraan tentang masalah lingkungan hidup ini diajukan oleh wakil
Swedia pada tanggal 28 Mei 1968, disertai saran untuk dijajaki kemungkinan guna
menyelenggarakan suatu konferensi internasional mengenai lingkungan hidup manusia.
Seiring berjalannya waktu, terdapat empat konferensi internasional yang terkenal hingga saat
ini yaitu Konferensi Tingkat Tinggi Stockholm, Konferensi Tingkat Tinggi Nairobi,
Konferensi Tingkat Tinggi Rio de Janeiro, dan Konferensi Tingkat Tinggi Johannesburg. Dari
Konferensi Tingkat Tinggi yang diadakan tersebut berhasil melahirkan kesepakatan
internasional dalam menangani masalah lingkungan hidup, dan mengembangkan hukum
lingkungan hidup baik pada tingkat Nasional maupun Internasional. Kesepakatan internasional
dapat berbentuk deklarasi, konvensi, agenda, dan/atau perjanjian internasional di bidang
lingkungan. Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai kesepakatan internasional yang
dihasilkan dari konferensi tersebut maka penulis membuat paper dengan judul “Konvensi
Internasional Bidang Lingkungan Hidup”

1.2.Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang ada maka penulis menyusun sebuah rumusan masalah
yakni “Bagaimana hasil dari konferensi tingkat tinggi terhadap perkembangan hukum
lingkungan?”

1
1.3.Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui hasil dari konferensi
tingkat tinggi terhadap perkembangan hukum lingkungan.

2
PEMBAHASAN

Kebijakan lingkungan global-internasional terdapat dalam beberapa kesepakatan


internasional tentang lingkungan, baik yang sifatnya multilateral maupun internasional.
Kesepakatan internasional dapat berbentuk deklarasi, konvensi, agenda, dan/atau perjanjian
internasional di bidang lingkungan. Kesepakatan iternasional diawali dengan adanya
konferensi internasional. Berikut merupakan konferensi internasional bidang lingkungan
hidup, diantaranya:
A. Konfrensi Tingkat Tinggi Stockholm
Latar belakang diadakannya deklarasi ini adalah diselenggarakannya pertemuan dan
konferensi PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) tentang lingkungan manusia. PBB
merupakan organisasi internasional terbesar di dunia yang bergerak di banyak bidang,
dimana salah satu tujuan PBB adalah dalam bidang pengembangan lingkungan dan
interaksi manusia (Human Environment and Interaction). Persiapan konferensi dilakukan
sejak tahun 1968 atas usulan negara Swedia.
Pada akhirnya Konferensi PBB tentang Lingkungan Manusia diadakan mulai tanggal 5
Juni 1972 sampai 16 Juni 1972. Penyelenggaraan diadakan di kota Stockholm, Swedia yang
terletak di benua Eropa. Swedia dipilih sebagai tuan rumah penyelenggara selaku negara
pertama yang mengusulkan, sehingga konferensi tersebut juga kerap disebut Konferensi
Stockholm.1
Terdapat total 26 poin utama yang dihasilkan dalam Stockholm Declaration mengenai
isu lingkungan dan pembangunan yakni:
1. Hak asasi manusia harus ditegaskan, segala bentuk apharteid dan penjajahan harus
dihapuskan
2. Sumber daya alam (SDA) harus dijaga
3. Kapasitas Bumi untuk menghasilkan sumber daya yang dapat diperbaharui harus
dilestarikan
4. Satwa liar harus dijaga
5. Sumber daya yang tidak dapat diperbarui harus dibagi dan tidak dihabiskan
6. Polusi yang timbul tidak boleh melebihi kapasitas untuk membersihkan secara alami
7. Pencemaran laut yang merusak harus dicegah

1 K. Kubasek Nancy – Silverman Gary S, Environmental Law (Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall)

3
8. Pembangunan dibutuhkan untuk memperbaiki lingkungan
9. Negara-negara berkembang membutuhkan bantuan
10. Negara-negara berkembang memerlukan harga ekspor yang wajar untuk mengelola
lingkungan
11. Kebijakan lingkungan tidak boleh menghambat pembangunan
12. Negara-negara berkembang memerlukan uang untuk meningkatkan pelestarian
lingkungan
13. Perencanaan pembangunan yang berkelanjutan diperlukan
14. Perencanaan rasional harus menyelesaikan konflik antara lingkungan dan
pembangunan
15. Pemukiman penduduk harus direncanakan untuk menghilangkan masalah lingkungan
16. Pemerintah harus merencanakan kebijakan kependudukan yang sesuai
17. Lembaga nasional harus merencanakan pengembangan sumber daya alam negara
18. Ilmu pengetahuan dan teknologi harus digunakan untuk mengembangkan lingkungan
19. Pendidikan lingkungan sangat penting
20. Penelitian lingkungan harus didukung, terutama di negara berkembang
21. Negara boleh memanfaatkan sumber daya yang ada, tapi tidak boleh membahayakan
orang lain
22. Kompensasi diperlukan jika ada negara yang membahayakan
23. Tiap negara harus menetapkan standar masing-masing
24. Harus ada kerjasama dalam isu internasional
25. Organisasi internasional harus membantu memperbaiki lingkungan
26. Senjata pemusnah massal harus dihilangkan2
Setelah berlangsungnya Deklarasi Stockholm 1972, Indonesia mengambil beberapa
langkah untuk memperbaiki sistem pengelolaan lingkungan hidup, termasuk dengan
menerbitkan Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pengelolaan Lingkungan Hidup (“UU 4/1982”), yang kemudian digantikan oleh Undang-
Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (“UU 23/1997”). 3

UU 4/1982 dan UU 23/1997 pada dasarnya memuat konsep-konsep dan prinsip-prinsip


yang sama dengan Deklarasi Stockholm 1972, misalnya kewenangan negara, hak dan
kewajiban masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup dan konsep lainnnya. Hal ini

2
Munadjat Danusaputro, (1980). Hukum Lingkungan, Buku I: Umum. Bandung: Binacipta.
3
Rahmadi, Takdir, Hukum Lingkungan di Indonesia (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada).

4
dapat dilihat dari pasal yang tercantum dalam UU 23/1997, yaitu Pasal 4 yang berbunyi:
“Pengelolaan lingkungan hidup yang diselenggarakan dengan asas tanggung jawab negara,
asas berkelanjutan, dan asas manfaat bertujuan untuk mewujudkan pembangunan
berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan manusia
Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.”
Selain itu, ada juga Pasal 5 yang berbunyi:
(1) Setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
(2) Setiap orang mempunyai ha katas informasi lingkungan hidup yang berkaitan dengan
peran dalam pengelolaan lingkungan hidup.
(3) Setiap orang mempunyai hak untuk berperan dalam rangka pengelolaan lingkungan
hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Atas dasar tersebut, dapat dikatakan bahwa Indonesia telah menerapkan asas-asas yang
tercantum dalam Deklarasi Stockholm 1972. 4

B. Konferensi Tingkat Tinggi Nairobi


Sepuluh tahun setelah Konfrensi Stockholm, bersamaan dengan peringatan Dasawarsa
Lingkungan Hidup Kedua (1982-1992), Pada tanggal 10-18 Mei 1982 diadakan konfrensi
lingkungan yang kedua di Markas Besar UNEP tepatnya di kota Nairobi, Kenya.
Konferensi kedua ini pada dasarnya bertujuan untuk mengevaluasi implementasi
konferensi Stockholm dan kendala yang dihadapi selama 10 tahun terakhir. Dalam sidang
khusus Gouverning Council (UNEP) telah lahir Deklarasi Nairobi, yang di dalamnya
memuat 10 bagian penting bagi pengelolaan lingkungan hidup dunia. Adapun isi deklarasi
ini terdiri dari 10 bagian yang secara singkat sebagai berikut :
1. Konferensi Stockhlom telah meningkatkan kesadaran dan pengertian mengenai adanya
kerusakan lingkungan.
2. Perencanaan Aksi (Action Plan) ternyata hanya diterapkan sebagian dan hasil-hasilnya
sangat tidak memuaskan khususnya bagi kepentingan perlindungan lingkungan.
3. Pandangan baru telah tumbuh, kebutuhan penilaian dan pengelolaan lingkungann,
hubungan dengan lingkungan, pembangunan, populasi telah diakui.

4 Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup

5
4. Ancaman yang masih sangat besar adalah bentuk pemborosan yang mengeksploitasi
berlebihan lingkungan hidupnya.
5. Lingkungan hidup manusia merupakan keuntungan dalam bentuk perdamaian dan
keamanan, bebas dari ancaman perang.
6. Masalah lingkungan melintasi lintas batas nasional dikonsultasikan antar negara dan
perlu tindakan internasional.
7. Ketidakefesienan lingkungan disebabkan oleh kondisi-kondisi keterbelakangan
termasuk faktor eksternal yang melebihi kontrol negara-negara, masalah teknik
pendistribusian sumber-sumber kekayaan alam diantara negara-negara.
8. Upaya selanjutnya dikembangkan managemen berwawasan lingkungan dan metode
untuk mengeksploitasi dan penggunaan sumber-sumber alam dan memodernisasi
sistem tradisional.
9. Pencegahan kerusakan lingkungan lebih disukai daripada perbaikan kerusakan
lingkungan.
10. Masyarakat dunia menegaskan kembali komitmen Deklarasi Stockhlom dan Action
Plan juga memperkuat dan memeperluas upaya kerjasama nasional dan internasional di
lapangan perlindungan lingkungan5 .
Konferensi Nairobi secara umum memandang bahwa asas atau prinsip yang telah
diputuskan dalam konferensi Stockholm masih relevan. Oleh karena itu, konferensi ini
menegaskan kembali tekad semua negara anggota PBB untuk menyelamatkan dan
membangun lingkungan hidup yang lebih baik bagi kelangsungan hidup umat manusia.
Perbedaannya bahwa jika Deklarasi Stockholm lahir di negara maju dan atas dasar
keinginan yang kuat dari negara maju untuk memperbaiki lingkungan akibat kemajuan
pembangunan dan penggunaan teknologi canggih, maka Deklarasi Nairobi lahir di negara
berkembang. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran lingkungan negara berkembang
semakin tinggi dan persoalan lingkungan bukan hanya menjadi monopoli negara maju6 .
Beberapa isu yang menjadi pusat perhatian pada konfrensi tersebut sampai sekarang ialah:
masalah atmosfer, seperti menurunnya kualitas udara di pemukiman kota, pencemaran
lautan oleh minyak bumi dan substansi lainnya, pencemaran air permukaan dan air tanah,
dan degradasi biota dan tata lingkungan biologis. Yang Pada intinya, Deklarasi Nairobi

5
Andreas Pramudionto., Diplomasi Lingkungan Hidup, diakses dari
https://staff.blog.ui.ac.id/andreas.pramudianto/2009/07/29/diplomasi-lingkungan-hidup/ Pada1Mei2022pukul
20.30
6
Khalisah Hayatuddin dan Serlika Aprita.,2021, Hukum Lingkungan, Kencana: Jakarta, Hal. 22

6
mendorong semua negara untuk mengemban tanggung jawab, baik secara bersama atau
individu, guna menjamin bahwa bumi yang kecil ini diwariskan kepada generasi
mendatang dalam kondisi yang menjamin kehidupan dan martabat manusia7 .
Sebagai tindak lanjut dari upaya untuk mengimplementasikan hasil-hasil Konferensi
Nairobi, di dalam sidang umum PBB pada bulan Desember 1983 dibentuk sebuah komisi
yang mengkaji suatu agenda global bagi perubahan. Selanjutnya, pada tahun 1984 oleh
Sekretaris Jenderal PBB diangkat Gro Hariem Brundtland (Perdana Menteri Norwegia),
mewakili negara maju sebagai Ketua Komisi dan Dr. Mansour Khalid (mantan Menteri
Luar Negeri Sudan), mewakili negara berkembang sebagai Wakil Ketua Komisi. Kedua
tokoh ini diberikan wewenang menyusun keanggotaan komisi yang kemudian menyebut
diri sebagai Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan (World Commission on
Environment and Develoment ) (WCED). Ada empat hal yang menjadi tugas WCED yang
sebenarnya cukup luas dan berat, sehingga komisi menganggap sebagai “suatu agenda
global bagi perubahan”, yaitu:
1. Mengusulkan strategi-strategi lingkungan jangka panjang agar tercapai pembangunan
berkesinambungan pada tahun 2000 dan seterusnya.
2. Merekomendasikan jalan keluar yang berkenan dengan masalah lingkungan agar dapat
diterjemahkan menjadi kerjasama erat di antara negara-negara berkembang dan negara-
negara maju dengan tahap pembangunan ekonomi dan sosial yang berbeda.
3. Mempertimbangkan jalan keluar dan cara-cara yang memungkinkan masyarakat
internasional menangani masalah-masalah lingkungan secara efektif,
4. Membantu menciptakan persepsi bersama tentang masalah masalah lingkungan jangka
panjang dan upaya-upaya yang diperlukan agar dapat menangani secara lebih berhasil
masalah perlindungan dan peningkatan lingkungan.
Pada tahun 1987 WCED telah memberikan laporannya yang diberi judul Our Common
Future, yang menekankan analisis terhadap hubungan antara lingkungan dan
pembangunan. Our Common Future merupakan suatu gagasan tentang kemungkinan untuk
memasuki era pertumbuhan ekonomi berdasarkan kebijakan daya dukung lingkungan
berkelanjutan. WCED ini juga mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai suatu
upaya yang mendorong tercapainya kebetuhan generasi kini tanpa mengorbankan
kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Di dalam konsep tersebut

7
Ferdinal Salamin., Rekam Jejak Konfrensi Tingkat Tinggi (KTT) Tentang Pembangunan Berkelanjutan,diakses
dari http://ferdinalasmin.blogspot.com/2014/11/rekam-jejak-konferensi-tingkat-tinggi.html?m=1 Pada 1 Mei
2022 pukul 20:52

7
terkandung dua gagasan penting. Pertama yaitu gagasan kebutuhan, khususnya kebutuhan
esensial, kaum miskin sedunia yang harus diberi prioritas utama dan Kedua yaitu gagasan
keterbatasan, yang bersumber pada kondisi teknologi dan organisasi sosial terhadap
kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebututuhan kini dan hari depan. Konsep ini
menekankan pentingnya pertumbuhan ekonomi tanpa mengorbankan standar lingkungan
yang tinggi Inilah underlying concept pembangunan berkelanjutan yang hingga saat ini
terus berkembang mengikuti dinamika perubahan. Selain itu, kelompok ahli hukum
lingkungan (Experts Group on Environmental Law) yang dibentuk WCED telah
menghasilkan sebuah laporan yang berjudul Strengthening the Legal and Institutional
Framework for Environmental Protection Development. Laporan kepada WCED ini terdiri
dari dua bagian dan beberapa tambahan (annex) yaitu: Legal principal for Environmental
Protection and Sustainable Development; dan Proposal for Strengthening the Legal and
Institutional Framework8 .

C. Konferensi Tingkat Tinggi Rio de Jenairo


Konferensi Tingkat Tinggi Bumi diadakan pada tanggal 3-14 Juni 1992 di Rio de
Janeiro, Brazil dengan nama United Nations Conference on Environment and Development
disingkat UNCED. Konferensi ini juga dapat disebut dengan Konferensi Rio, dimana
konferensi ini merupakan peringatan 20 tahun dari Konferensi Stockholm 1972. Konferensi
Rio merupakan salah satu konferensi yang terkenal karena merupakan deklarasi terbesar
yang diikuti oleh hampir 200 negara, dimana dihadiri oleh 117 kepala-kepala negara, wakil
pemerintah, serta badan-badan dilingkungan PBB dan lembaga lainnya. Tema dari
konferensi ini adalah “Think globally, act locally” yang memiliki tujuan untuk
merumuskan kebijakan pembangunan berkelanjutan serta langkah-langkah
implementasinya. Adapun topik yang dibicarakan dalam konferensi ini adalah
permasalahan pencemaran, perubaan iklim, penipisan ozon, penggunaan dan pengelolaan
sumber daya laut dan air, meluaskan penggundulan hutan, pengguruan dan degradasi tanah,
limbah-limbah berbahaya serta penipisan keanekaragamaan hayati. 9

Konferensi Rio diadakan dalam rangka pelaksanaan resolusi Sidang Umum PBB No.
45/211 tertanggal 21 Desember 1990 dan keputusan No. 46/468 tertanggal 13 April 1992.
Konferensi ini merupakan salah satu konferensi yang terkenal karena diikuti oleh hamper

8
Khalisah Hayatuddin dan Serlika Aprita.,2021, Hukum Lingkungan, Jakarta: Kencana, Hal. 22-2
9
Ibid, hal. 27

8
200 negara di dunia. Konferensi Rio bukanlah semata-mata konferensi negara-negara,
namun juga konferensi rakyat. Bersamaan dengan konferensi resmi, di Flamingo Park yang
letaknya berdekatan dengan tempat konferensi resmi, diadakan pertemuan yang disebut
The ’92 Global Forum, yang diikuti kurang lebih 10.000 orang yang mewakili 9.000
organisasi dan telah menarik sebanyak 20.000 pengunjung. Global Forum menyediakan
berbagai kegiatan yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga swadaya masyarakat dan
asosiasi-asosiasi yang meliputi International Forum of NGO’s and Social Movement, Open
Speakers Forum, dan pertemuan kelompok-kelompok agama.
Terdapat lima kesepakatan internasional yang dihasilkan dalam UNCED di Rio de
Janeiro diantaranya 10:
a. Deklrasi Rio de Janeiro sebagai hasil dari UNCED yang terdiri dari 26 asas yang
menegaskan kembali isi dari Deklrasi Stockholm dan berusahan untuk membangun
dengan berlandaskan deklrasi tersebut. Adapun prinsip-prinsip penting yang telah
disepakati dalam Deklrasi Rio de Jenairo ini adalah pengakuan hak manusia atas
kehidupan yang layak dan produktif yang serasi dengan alam, hak kedaulatan negara
atas SDA-nya dan kewajiban menjaga lingkungannya prinsip keadilan antargenerasi,
prinsip perlindungan lingkungan sebagai bagian dari proses pembangunan, prinsip
kerjasama dalam semangat kemitraan global, dan prinsip bersama namun dengan
tanggung jawab yang berbeda.
b. Nonlegally Binding Authoritative Statement of Principles for a Global Consensus on
the Management, Conservation and Sustainable Development of all Types of Forest
(Forestry Principles) merupakan capaian tertinggi dibidang kehutanan. Forestry
principles merupakan konsensus internasional yang berkaitan dengan pembangunan
kehutanan berkelanjutan yang terdiri dari 16 pasal yang mencakup aspek pengelolaan,
aspek konservasi, serta aspek pemanfaatan dan pengembangan, bersifat tidak mengikat
secara hukum dan berlaku untuk semua jenis atau tipe hutan. Adapun pernyataan
prinsip-prinsip kehutanan yang terdapat dalam forestry principles diantaranya:
1. Negara memiliki kedaulatan penuh untuk mengelola hutan sepanjang tidak
menimbulkan kerusakan lingkungannya.
2. Sumber daya hutan dikelola secara lestari untuk memenuhi kebutuhan dasar
manusia.

10
Ibid, hal 28-30

9
3. Kebijaksanaan nasional harus mencerminkan pengelolaan hutan secara
berkelanjutan, termasuk didalamnya konversi lahan hutan bagi
pembangunan sosial ekonomi, sesuai dengan tata guna lahan rasional.
4. Kebijaksanaan dan strategi nasional harus mampu meningkatkan upaya
pembangunan, kelembagaan dan program pengelolaan hutan.
5. Langkah-langkah dalam rangka pengelolaan dan pembangunan hutan,
diantaranya:
a) Peningkatan perlindungan dalam memelihara nilai-nilai dan fungsi
hutan
b) Penyediaan informasi yang akurat dan teratur bagi masyarakat dan
pengambilan keputusan
c) Peningkatan peran serta semua pihak yang berkepentingan
d) Peningkatan peran serta wanita dalam pembangunan hutan, dan
e) Peningkatan kerja sama internasional dibidang kehutanan
f) Keputusan dalam pengelolaan hutan berkelanjutan didasarkan atas
hasil telaah yang meliputi nilai-nilai ekonomi dan non-ekonomi hasil
hutan, jasa, dan lingkungan hidup
g) Pengelolaan hutan harus terpadukan dalam pembangunan wilayah,
sehingga dapat memelihara keseimbangan ekologi dan manfaat yang
lestari
h) Kebijaksanaan nasional harus menjamin diberlakukannya AMDAL
i) Pelaksanaan kebijaksanaan dan program nasional dalam
pengelolaan hutan berkelanjutan harus didukung pendanaan
internasional, kerjasama teknik dan penyempurnaan sistem
pemasaran hasil hutan oalahan
j) Peran hutan tanaman ditingkatkan melalui reboisasi dan penghijauan
baik dengan tanaman asli maupun eksotik dalam rangka
mempertahankan hutan dan memperluas lahan hutan untuk
menemui kebutuhan kayu bagi industry, kayu bakar, lingkungan
hidup, dan memperluas kesempatan kerja
k) Peran hutan alam sebagai penghasil barang dan jasa harus
ditingkatkan

10
l) Kebijaksanaan pengolahan hutan harus memperhatikan aspek
produksi, konsumsi, pendauran, manfaat hasil hutan dan masyarakat
sekitar hutan
m) Ilmu pengetahuan dan teknologi, invertarisasi hutan dan evaluasi
harus dilakukan secara efektif.
n) Kebijaksanaan pengelolaan hutan yang berkelanjutan terkait dengan
perdagangan hasil hutan yang didasarkan atas aturan unilateral,
pengurangan/penghapusan tariff barriers.
c. Agenda 21 merupakan rencana kerja global yang pertama kali disusun secara
menyeluruh mengenai pembangunan berkelanjutan, terdiri dari berbagai isu ekonomi,
sosial dan lingkungan yang berbeda-beda, dan menampung masukan dari semua
negara di dunia. Tentunya dalam penerapannya, harus memperhatikan kondisi sosial
ekonomi, SDA, sumber daya manusia dan kelembagaan yang ada dimasing-masing
negara. Agenda 21 Global merupakan suatu dokumen komprehensif yang memiliki
ketebalan 700 halaman yang berisi program aksi pembangunan berkelanjutan
menjelang abad ke-21. Agenda 21 ditandatangani oleh semua negara (termasuk
Indonesia) yang hadir pada konferensi tersebut. Agenda 21 dapat digunakan baik oleh
pemerintah, organisasi internasional, kalangan industri maupun masyarakat lainnya
untuk mendukung upaya pengintegrasian lingkungan ke dalam seluruh kegiatan sosial-
ekonomi. Adapun tujuan dari setiap kegiatan yang tercantum dalam Agenda 21 adalah
untuk mengentaskan kemiskinan, kelaparan, pemberantasan penyakit, dan buta huruf
di seluruh dunia, di samping untuk menghentikan kerusakan ekosistem yang penting
bagi kehidupan manusia. Selanjutnya, Agenda 21 Indonesia meliputi aspek kebijakan,
pengembangan program dan strategi perencanaan pembangunan, baik aspek sosial,
ekonomi, maupun aspek lingkungan.memberikan serangkaian pandangan dan inspirasi
yang dapat dimasukkan ke dalam proses perencanaan pada setiap tingkatan
pembangunan di Indonesia, sedemikian rupa sehingga lembaga-lembaga pemerintah,
swasta, dan masyarakat luas lainnya dapat memanfaatkan dokumen ini sebagai
referensi bagi penyusunan perencanaan dan program-program jangka pendek dan
panjang dalam menghadapi pasar bebas di masa mendatang dan dalam mewujudkan
pembangunan berkelanjutan yang dicita-citakan. Dokumen ini secara komprehensif
dan terperinci mengungkapkan kaitan antara pembangunan ekonomi dan sosial, serta
memberikan “paradigma baru” bagi pencapaian pembangunan berkelanjutan di
Indonesia. Sebagai kesimpulan, Agenda 21 Indonesia dapat dijadikan sebagai suatu

11
advisory document yang mencakup aspek kebijakan, pengembangan program, dan
strategi yang meliputi hampir seluruh perencanaan pembangunan bidang sosial,
ekonomi, dan lingkungan. Sebagai advisory document , maka penerapan dari dokumen
Agenda 21 Indonesia ini sangat bergantung pada pengambil kebijakan dan kesadaran
lingkungan yang tinggi dari masyarakat. Dengan demikian, dukungan dari peraturan
perundang-undangan terhadap pelaksanaan Agenda 21 baik tingkat nasional maupun
daerah sangat diperlukan.
d. The Framework Convention on Climate Change, memuat kesediaan negara-negara
maju untuk membatasi emisi gas rumah kaca dan melaporkan secara terbuka mengenai
kemajuan yang diperolehnya dalam hubungan tersebut. Negara-negara maju juga
sepakat untuk membantu negara-negara berkembang dengan sumber daya dan
teknologi dalam upaya negara berkembang untuk memenuhi kewajiban sebagaimana
tercantum dalam konvensi. Indonesia telah meratifikasi konvensi ini dengan Undang-
undang No. 6 Tahun 1994 pada tanggal 1 Agustus 1994.
e. The Convention on Biological Diversity (Konvensi Keanekaragaman Hayati), yang
memberikan landasan untuk kerja sama internasional dalam rangka konservasi spesies
dan habitat. Dalam Pasal 1 Konvensi ini dinyatakan tentang tujuannya, yaitu
melestarikan dan mendayagunakan secara berkelanjutan keanekaragaman hayati dan
berbagai keuntungan secara adil dan merata dari hasil pemanfaatan sumber genetika
melalui akses terhadap sumber genetika tersebut, alih teknologi yang relevan, serta
pembiayaan yang cukup dan memadai. Asas dalam Pasal 3 menyatakan bahwa negara
memiliki kedaulatan untuk mengeksploitasi sumber alamnya sesuai dengan
kebijaksanaan pembangunan dan lingkungannya, serta mempunyai tanggung jawab
untuk menjamin bahwa kegiatannya itu tidak akan merusak lingkungan baik di dalam
maupun di luar wilayah negaranya. Indonesia telah meratifikasi Konvensi ini dengan
Undang-undang No. 5 Tahun 1994 pada tanggal 1 Agustus 1994.

D. Konferensi Tingkat Tinggi Johannesburg, Afrika Selatan


Konferensi PBB tentang lingkungan hidup yang keempat dilaksanakan di Jihannesburg,
Afrika Selatan, dari tanggal 2-11 September 2002. Konferensi ini mengambil tema
pembangunan berkelanjutan, sehingga sering disebut KTT Pembangunan Berkelanjutan
(World Summit on Sustainable Development). KTT ini se ring juga disebut KTT Rio + 10,
karena dilaksanakan 10 tahun setelah KTT Bumi di Rio de Janeiro. KTT ini merupakan
pertemuan para kepala pemerintahan, kelompok-kelompok masyarakat yang peduli, badan-

12
badan di bawah PBB, lembaga keuangan internasional dan aktor penting lain untuk menilai
perubahan yang terjadi di seluruh dunia setelah 10 tahun dilaksanakan UNCED atau earth
Summit tahun 1992 di Rio de Janeiro, Brazil. 11
Agenda utama KTT Pembangunan Johannesburg adalah refleksi dan peninjauan
kembali atas pelaksanaan Agenda 21 mengenai pembangunan berkelanjutan yang
disepakati di negara-negara peserta pada KTT bumi di Rio, Brasil, tahun 1992. Fokus
sorotannya adalah sejumlah mana keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan pembangunan
berkelanjutan di masing-masing negara dan di tingkat global selama 10 tahun terakhir.
Demikian pula, agenda lingkungan apa yang perlu disepakati semua negara untuk masa
yang akan datang.
Untuk itu, penyelenggaraan KTT ini ditekankan pada rencana pelaksanaan (plan of
implementation), yang mengintegrasikan elemen ekonomi, ekologi, dan sosial yang
didasarkan pada tata penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance)
(Kehutanan, 2007). Program pelaksanaan yang dibahas dalam KTT ini memilik tiga sasaran
utama, yaitu:12
1. Pertama, pembangunan sosial ditujukan pada pemberantasan kemiskinan struktural di
berbagai bidang seperti, ketiadaan akses pendapatan, lapangan kerja, air minum, jasa
energi, permukiman, fasilitas kesehatan, pendidikan, dan lain-lain. Menjelang tahun
2015, berbagai pertanda kemiskinan harus dikurangi. Kelaparan harus enyah di muka
bumi yang mampu menghasilkan pangan.
2. Kedua, pembangunan ekonomi harus mengubah pola produksi dan pola konsumsi yang
tidak menopang keberlanjutan (unsustainable), terutama dalam penggunaan energi
yang tidak efisien dan mencemarkan, penggunaan SDA (seperti hutan, tanah, pantai,
dan laut) secara boros. Begitu pola konsumsi perlu diarakan ke daur-ulang bahan
kemasan dan hemat minyak karbon.
3. Ketiga, penyelamatan dan perlindungan ekosistem serta fungi lingkungan dari SDA
agar mampu menopang proses pembangunan berkelanjutan. Hutan, pantai, terumbu
karang, tanah, lautan, serta hewan dan tumbuh-tumbuhan, bias diperbarui atau
dibiakkan, sehingga pemanfaatannya bias berlanjut asalkan fungsi lingkungan
terpelihara.

11
Ibid, hal. 36
12
Ibid, hal.37

13
Pada akhirnya KTT Pembangunan berkelanjutan mengadopsi tiga dokumen utama, yaitu:13
1. Deklarasi Johannesburg yang menyatakan bahwa setiap negara memikul tanggung
jawab dalam pembangunan berkelanjutan dan kemiskinan.
2. Rencana Aksi Johannesburg mengenai pembangunan berkelanjutan (Johannesburg
Plan of Implementation/JPOI).
3. Program kemitraan (partnership) antar pemangku kepentingan dalam melaksanakan
pembangunan berkelanjutan. 14
Hasil penting yang perlu dikemukakan bahwa dalam rencana aksi pelaksanaan
pembangunan berkelanjutan tersebut difokuskan pada penghapusan kemiskinan, mengubah
produksi dan pola konsumsi yang tidak menopang keberlanjutan dan penyelamatan dan
perlindungan ekosistem serta fungi lingkungan dari SDA agar mampu menopang proses
pembangunan berkelanjutan.

13 Wilsa. 2020. Hukum Lingkungan (Studi Pendekatan Sejarah Hukum Lingkungan). Yokyakarta:Deeppublish,
hal. 32
14 Ibid

14
KESIMPULAN
1. Terdapat total 26 poin utama yang dihasilkan dalam Stockholm Declaration mengenai
isu lingkungan dan pembangunan yakni: hak asasi manusia (Prinsip 1); pengelolaan
sumber daya manusia (Prinsip 2 sampai dengan Prinsip 7); hubungan antara
pembangunan dan lingkungan (Prinsip 8 sampai dengan Prinsip 12); kebijakan
perencanaan pembangunan dan demografi (Prinsip 13 sampai dengan Prinsip 17); ilmu
pengetahuan dan teknologi (Prinsip 18 sampai dengan Prinsip 20); tanggung jawab
negara (Prinsip 21 sampai dengan 22); kepatuhan terhadap standar lingkungan nasional
dan semangat kerjasama antar negara (Prinsip 23 sampai dengan Prinsip 25); dan
ancaman senjata nuklir terhadap lingkungan (Prinsip 26). Setelah berlangsungnya
Deklarasi Stockholm 1972, Indonesia mengambil beberapa langkah untuk
memperbaiki sistem pengelolaan lingkungan hidup, termasuk dengan menerbitkan
Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan
Lingkungan Hidup (“UU 4/1982”), yang kemudian digantikan oleh Undang-Undang
No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (“UU 23/1997”).
2. Konfrensi lingkungan yang kedua diadakan di Markas Besar UNEP tepatnya di kota
Nairobi, Kenya Pada tanggal 10-18 Mei 1982, Konferensi kedua ini pada dasarnya
bertujuan untuk mengevaluasi implementasi konferensi Stockholm dan kendala yang
dihadapi selama 10 tahun terakhir. Konferensi Nairobi secara umum memandang
bahwa asas atau prinsip yang telah diputuskan dalam konferensi Stockholm masih
relevan. Oleh karena itu, konferensi ini menegaskan kembali tekad semua negara
anggota PBB untuk menyelamatkan dan membangun lingkungan hidup yang lebih baik
bagi kelangsungan hidup umat manusia.
3. Konferensi Tingkat Tinggi Bumi yang diadakan pada tanggal 3-14 Juni 1992 di Rio de
Janeiro, Brazil dengan nama United Nations Conference on Environment and
Development disingkat UNCED. Konferensi yang juga kerap disebut sebagai
Konferensi Rio ini merupakan peringatan 20 tahun dari Konferensi Stockholm 1972.
Terdapat lima kesepakatan internasional yang dihasilkan dalam UNCED di Rio de
Janeiro yaitu Deklrasi Rio de Janeiro, Nonlegally Binding Authoritative Statement of
Principles for a Global Consensus on the Management, Conservation and Sustainable
Development of all Types of Forest (Forestry Principles), Agenda 21, The Framework
Convention on Climate Change, dan The Convention on Biological Diversity (Konvensi
Keanekaragaman Hayati)

15
4. Konferensi PBB tentang lingkungan hidup yang keempat dilaksanakan di Jihannesburg,
Afrika Selatan, dari tanggal 2-11 September 2002. Konferensi ini mengambil tema
pembangunan berkelanjutan, sehingga sering disebut KTT Pembangunan
Berkelanjutan (World Summit on Sustainable Development). Pada akhirnya KTT
Pembangunan berkelanjutan mengadopsi tiga dokumen utama, yaitu Deklarasi
Johannesburg yang menyatakan bahwa setiap negara memikul tanggung jawab dalam
pembangunan berkelanjutan dan kemiskinan, Rencana Aksi Johannesburg mengenai
pembangunan berkelanjutan (Johannesburg Plan of Implementation/JPOI) dan
Program kemitraan (partnership) antar pemangku kepentingan dalam melaksanakan
pembangunan berkelanjutan.

16
DAFTAR PUSTAKA
Perundang-Undangan:

Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup

Buku :

Aprita, Serlika dan Khalisah Hayatuddin. 2021. Hukum Lingkungan. Jakarta: Kencana

Rahmadi, Takdir.2011. Hukum Lingkungan di Indonesia. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.

Wilsa. 2020. Hukum Lingkungan (Studi Pendekatan Sejarah Hukum Lingkungan). Yokyakarta:
Deeppublish

Jurnal:

Nancy K. Kubasek - Gary S. Silverman, Environmental Law (Englewood Cliffs, New Jersey:
Prentice Hall)

Internet:

Asmin, F. 2014. Rekam Jejak Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Tentang Pembangunn
Berkelanjutan. Diakses dari http://ferdinalasmin.blogspot.com/2014/11/rekam-jejak-
konferensi-tingkat-tinggi.html?m=1 pada 1 Mei 2022 Pukul 20.52

Pramudianto, A. 2009. Diplomasi Lingkungan Hidup. Diakses dari


https://staff.blog.ui.ac.id/andreas.pramudianto/2009/07/29/diplomasi-lingkungan-hidup/
pada 1 Mei 2022 Pukul 20.30

17
HUKUM LINGKUNGAN

“Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Menurut Undang-Undang Nomor


32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup”

KELOMPOK 7

Ni Putu Diah Indira Pramesti 2004551056


Ni Kadek Masri Swandari 2004551068
Made Ganetri Putri Cantika 2004551059
Ni Made Juni Kardiasih 2004551058

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA


DENPASAR
BAB I PENDAHULUAN
1.1.LATAR BELAKANG
Manusia merupakan bagian bagian dari ekosistem, artinya bahwa manusia sebagai
makhluk social senantiasa bergantung pada lingkungan alam sekitarnya.1 Pada era global
seperti sekarang masalah lingkungan hidup telah menjadi masalah yang mengancam
kehidupan manusia sebagai penghuni bumi beserta isinya. Masalah lingkungan hidup
berupa pencemaran dan perusakan lingkungan hidup di Indonesia khususnya dan dunia
pada umumnya pada saat sekarang ini, yang meliputi lingkungan tanah dan hutan,
lingkungan air maupun lingkungan udara adalah masalah yang harus ditangani secara serius
baik dari segi pencegahannya maupun penanganannya.Penggundulan hutan, lahan kritis,
menipisnya lapisan ozon, pemanasan global, tumpahan minyak di laut, ikan mati di anak
sungai karena zat-zat kimia, dan punahnya species tertentu adalah beberapa contoh
masalah-masalah lingkungan hidup. Dalam literatur masalah- masalah lingkungan dapat
dikelompokkan ke dalam tiga bentuk, yaitu pencemaran lingkungan (pollution),
pemanfaatan lahan secara salah (land missuse) dan pengurasan atau habisnya sumber daya
alam (natural resource development).2
Masalah lingkungan hidup merupakan kewajiban yang harus diatasi seluruh dunia
sehingga perlu adanya pengaturan mengenai lingkungan hidup.
Sebagai bagian dari sebuah negara maka manusia atau individu merupakan warga negara.
Permasalahan lingkungan hidup dan pengelolaannya menuntut peran pemerintah,
legislator, penegak hukum, serta masyarakat sebagai warga negara. Di negara Indonesia
lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia
sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28H Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Untuk menjalankan apa yang telah diamanatkan dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut pemerintah dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat telah beberapa kali mengundangkan undang-
undang mengenai pengelolaan lingkungan hidup :
1. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pengelolaan Lingkungan;
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan;

1
Muhammad Sood, 2019, Hukum Lingkungan Indonesia , Sinar Grafika, Jakarta , hlm 7
2
Takdir Rahmadi, 2015, Hukum Lingkungan di Indonesia, Divisi Buku Perguruan Tinggi PT RajaGrafindo Persada,
Jakarta, hlm. 1.
3. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
Hal-hal yang melatarbelakangi pembuatan Undang-undang tersebut diantaranya adalah
pembangunan ekonomi nasional yang diselenggarakan berdasarkan prinsip pembangunan
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Pada kenyataannya bahwa pemanasan global
yang semakin meningkat mengakibatkan perubahan iklim sehingga memperparah
penurunan kualitas lingkungan hidup karena itu perlu dilakukan perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup, bahwa agar lebih menjamin kepastian hukum dan
memberikan perlindungan terhadap hak setiap orang untuk mendapatkan lingkungan hidup
yang baik dan sehat sebagai bagian dari perlindungan terhadap keseluruhan ekosistem.
Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup merupakan peraturan yang saat ini mengatur mengenai perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia. Sehingga berdasarkan atas hal tersebut
penting dibahas lebih lanjut mengenai perlindungan dan pengelolaan tersebut dan peran
serta masyarakat menjadi sesuatu yang mutlak dalam kerangka menciptakan lingkungan
hidup yang sehat.

1.2.RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan dari hal yang melatarbelakangi tersebut maka didapat beberapa rumusan
masalah yaitu sebagai berikut :
1. Bagaimana bentuk perlindungan dan pengelolaan lingkungan berdasarkan UU
No. 32 Tahun 2009 ?
2. Bagaimana bentuk peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup
menurut UU No 32 Tahun 2009 ?

1.3.TUJUAN PEMBAHASAN
Adapun tujuan dari pembahasan berdasarkan atas rumusan masalah yang mendasari
pembahasan antara lain sebagai berikut :
1. Mengetahui dan memahami bentuk perlindungan yang diatur dalam Undang-
Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup
2. Mengetahui dan memahami pengaturan mengenai Pengelolaan Lingkungan Hidup
yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup
3. Memahami peran serta masyarakat dalam hal mengelola Lingkungan Hidup yang
diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup

1.4.MANFAAT PENULISAN
1. Sebagai media pengetahuan tentang pengaturan dalam Undang-Undang No. 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang disebut
UU Lingkungan Hidup (UULH)
2. Sebagai sumber dan bahan masukan penulis lain untuk mengakaji perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
3. Sebagai media sosialisasi tentang pentingnya peran serta masyarakat untuk
menjaga ekosistem atau lingkungan hidup
BAB II PEMBAHASAN

2.1. Bentuk perlindungan dan pengelolaan lingkungan berdasarkan UU No. 32 Tahun


2009

Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) UU No 32 Tahun 2009 yang menjelaskan bahwa yang
dimaksud dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan
terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan,
pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum. dalam UU No 32 Tahun
2009 ini juga membahas terkait beberapa pokok bahasan penting, yang mana diantaranya
meliputi :
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa
lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi dan hak konstitusional bagi
setiap warga negara Indonesia. Oleh karena itu, negara, pemerintah, dan seluruh
pemangku kepentingan berkewajiban untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan agar lingkungan
hidup Indonesia dapat tetap menjadi sumber dan penunjang hidup bagi rakyat Indonesia
serta makhluk hidup lain.
2. Negara Kesatuan Republik Indonesia terletak pada posisi silang antara dua benua dan
dua samudera dengan iklim tropis dan cuaca serta musim yang menghasilkan kondisi
alam yang tinggi nilainya. Di samping itu Indonesia mempunyai garis pantai terpanjang
kedua di dunia dengan jumlah penduduk yang besar. Indonesia mempunyai kekayaan
keanekaragaman hayati dan sumber daya alam yang melimpah. Kekayaan itu perlu
dilindungi dan dikelola dalam suatu sistem perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup yang terpadu dan terintegrasi antara lingkungan laut, darat, dan udara
berdasarkan wawasan Nusantara. Indonesia juga berada pada posisi yang sangat rentan
terhadap dampak perubahan iklim. Dampak tersebut meliputi turunnya produksi
pangan, terganggunya ketersediaan air, tersebarnya hama dan penyakit tanaman serta
penyakit manusia, naiknya permukaan laut, tenggelamnya pulau-pulau kecil, dan
punahnya keanekaragaman hayati.

Ketersediaan sumber daya alam secara kuantitas ataupun kualitas tidak merata,
sedangkan kegiatan pembangunan membutuhkan sumber daya alam yang semakin
meningkat. Kegiatan pembangunan juga mengandung risiko terjadinya pencemaran
dan kerusakan lingkungan. Kondisi ini dapat mengakibatkan daya dukung, daya
tampung, dan produktivitas lingkungan hidup menurun yang pada akhirnya menjadi
beban sosial. Oleh karena itu, lingkungan hidup Indonesia harus dilindungi dan dikelola
dengan baik berdasarkan asas tanggung jawab negara, asas keberlanjutan, dan asas
keadilan. Selain itu, pengelolaan lingkungan hidup harus dapat memberikan
kemanfaatan ekonomi, sosial, dan budaya yang dilakukan berdasarkan prinsip kehati-
hatian, demokrasi lingkungan, desentralisasi, serta pengakuan dan penghargaan
terhadap kearifan lokal dan kearifan lingkungan. Perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup menuntut dikembangkannya suatu sistem yang terpadu berupa suatu
kebijakan nasional perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang harus
dilaksanakan secara taat asas dan konsekuen dari pusat sampai ke daerah.

3. Penggunaan sumber daya alam harus selaras, serasi, dan seimbang dengan fungsi
lingkungan hidup. Sebagai konsekuensinya, kebijakan, rencana, dan/atau program
pembangunan harus dijiwai oleh kewajiban melakukan pelestarian lingkungan hidup
dan mewujudkan tujuan pembangunan berkelanjutan. Undang-Undang ini mewajibkan
Pemerintah dan pemerintah daerah untuk membuat kajian lingkungan hidup strategis
(KLHS) untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi
dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana,
dan/atau program. Dengan perkataan lain, hasil KLHS harus dijadikan dasar bagi
kebijakan, rencana dan/atau program pembangunan dalam suatu wilayah. Apabila hasil
KLHS menyatakan bahwa daya dukung dan daya tampung sudah terlampaui,
kebijakan, rencana, dan/atau program pembangunan tersebut wajib diperbaiki sesuai
dengan rekomendasi KLHS dan segala usaha dan/atau kegiatan yang telah melampaui
daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup tidak diperbolehkan lagi.

4. Ilmu pengetahuan dan teknologi telah meningkatkan kualitas hidup dan mengubah gaya
hidup manusia. Pemakaian produk berbasis kimia telah meningkatkan produksi limbah
bahan berbahaya dan beracun. Hal itu menuntut dikembangkannya sistem pembuangan
yang aman dengan risiko yang kecil bagi lingkungan hidup, kesehatan, dan
kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain. Di samping menghasilkan
produk yang bermanfaat bagi masyarakat, industrialisasi juga menimbulkan dampak,
antara lain, dihasilkannya limbah bahan berbahaya dan beracun, yang apabila dibuang
ke dalam media lingkungan hidup dapat mengancam lingkungan hidup, kesehatan, dan
kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain.

Dengan menyadari hal tersebut, bahan berbahaya dan beracun beserta


limbahnya perlu dilindungi dan dikelola dengan baik. Wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia harus bebas dari buangan limbah bahan berbahaya dan beracun dari
luar wilayah Indonesia. Menyadari potensi dampak negatif yang ditimbulkan sebagai
konsekuensi dari pembangunan, terus dikembangkan upaya pengendalian dampak
secara dini. Analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) adalah salah satu perangkat
preemtif pengelolaan lingkungan hidup yang terus diperkuat melalui peningkatkan
akuntabilitas dalam pelaksanaan penyusunan amdal dengan mempersyaratkan lisensi
bagi penilai amdal dan diterapkannya sertifikasi bagi penyusun dokumen amdal, serta
dengan memperjelas sanksi hukum bagi pelanggar di bidang amdal. Amdal juga
menjadi salah satu persyaratan utama dalam memperoleh izin lingkungan yang mutlak
dimiliki sebelum diperoleh izin usaha.

5. Upaya preventif dalam rangka pengendalian dampak lingkungan hidup perlu


dilaksanakan dengan mendayagunakan secara maksimal instrumen pengawasan dan
perizinan. Dalam hal pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup sudah terjadi, perlu
dilakukan upaya represif berupa penegakan hukum yang efektif, konsekuen, dan
konsisten terhadap pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup yang sudah terjadi.

Sehubungan dengan hal tersebut, perlu dikembangkan satu sistem hukum


perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang jelas, tegas, dan menyeluruh
guna menjamin kepastian hukum sebagai landasan bagi perlindungan dan pengelolaan
sumber daya alam serta kegiatan pembangunan lain. Undang-Undang ini juga
mendayagunakan berbagai ketentuan hukum, baik hukum administrasi, hukum perdata,
maupun hukum pidana. Ketentuan hukum perdata meliputi penyelesaian sengketa
lingkungan hidup di luar pengadilan dan di dalam pengadilan. Penyelesaian sengketa
lingkungan hidup di dalam pengadilan meliputi gugatan perwakilan kelompok, hak
gugat organisasi lingkungan, ataupun hak gugat pemerintah. Melalui cara tersebut
diharapkan selain akan menimbulkan efek jera juga akan meningkatkan kesadaran
seluruh pemangku kepentingan tentang betapa pentingnya perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup demi kehidupan generasi masa kini dan masa depan.

6. Penegakan hukum pidana dalam Undang-Undang ini memperkenalkan ancaman


hukuman minimum di samping maksimum, perluasan alat bukti, pemidanaan bagi
pelanggaran baku mutu, keterpaduan penegakan hukum pidana, dan pengaturan tindak
pidana korporasi. Penegakan hukum pidana lingkungan tetap memperhatikan asas
ultimum remedium yang mewajibkan penerapan penegakan hukum pidana sebagai
upaya terakhir setelah penerapan penegakan hukum administrasi dianggap tidak
berhasil. Penerapan asas ultimum remedium ini hanya berlaku bagi tindak pidana formil
tertentu, yaitu pemidanaan terhadap pelanggaran baku mutu air limbah, emisi, dan
gangguan.

7. Perbedaan mendasar antara Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang


Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan Undang- Undang ini adalah adanya penguatan
yang terdapat dalam Undang-Undang ini tentang prinsip-prinsip perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup yang didasarkan pada tata kelola pemerintahan yang
baik karena dalam setiap proses perumusan dan penerapan instrumen pencegahan
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta penanggulangan dan
penegakan hukum mewajibkan pengintegrasian aspek transparansi, partisipasi,
akuntabilitas, dan keadilan.

8. Selain itu, Undang-Undang ini juga mengatur:

a. keutuhan unsur-unsur pengelolaan lingkungan hidup;


b. kejelasan kewenangan antara pusat dan daerah;
c. penguatan pada upaya pengendalian lingkungan hidup;
d. penguatan instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup, yang meliputi instrumen kajian lingkungan hidup
strategis, tata ruang, baku mutu lingkungan hidup, kriteria baku
kerusakan lingkungan hidup, amdal, upaya pengelolaan lingkungan
hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup, perizinan, instrumen
ekonomi lingkungan hidup, peraturan perundang-undangan berbasis
lingkungan hidup, anggaran berbasis lingkungan hidup, analisis risiko
lingkungan hidup, dan instrumen lain yang sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
e. pendayagunaan perizinan sebagai instrumen pengendalian;
f. pendayagunaan pendekatan ekosistem;
g. kepastian dalam merespons dan mengantisipasi perkembangan
lingkungan global;
h. penguatan demokrasi lingkungan melalui akses informasi, akses
partisipasi, dan akses keadilan serta penguatan hak- hak masyarakat
dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
i. penegakan hukum perdata, administrasi, dan pidana secara lebih jelas;
j. penguatan kelembagaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup yang lebih efektif dan responsif; dan
k. penguatan kewenangan pejabat pengawas lingkungan hidup dan
penyidik pegawai negeri sipil lingkungan hidup.

9. Undang-Undang ini memberikan kewenangan yang luas kepada Menteri untuk


melaksanakan seluruh kewenangan pemerintahan di bidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup serta melakukan koordinasi dengan instansi lain. Melalui
Undang- Undang ini juga, Pemerintah memberi kewenangan yang sangat luas kepada
pemerintah daerah dalam melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
di daerah masing-masing yang tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Oleh karena itu, lembaga yang mempunyai beban kerja berdasarkan Undang-
Undang ini tidak cukup hanya suatu organisasi yang menetapkan dan melakukan
koordinasi pelaksanaan kebijakan, tetapi dibutuhkan suatu organisasi dengan portofolio
menetapkan, melaksanakan, dan mengawasi kebijakan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup. Selain itu, lembaga ini diharapkan juga mempunyai ruang lingkup
wewenang untuk mengawasi sumber daya alam untuk kepentingan konservasi. Untuk
menjamin terlaksananya tugas pokok dan fungsi lembaga tersebut dibutuhkan
dukungan pendanaan dari anggaran pendapatan dan belanja negara yang memadai
untuk Pemerintah dan anggaran pendapatan dan belanja daerah yang memadai untuk
pemerintah daerah.
Berdasarkan Pasal 1 Ayat (4) UU No 32 Tahun 2009, Rencana perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup yang selanjutnya disingkat RPPLH adalah perencanaan tertulis
yang memuat potensi, masalah lingkungan hidup, serta upaya perlindungan dan
pengelolaannya dalam kurun waktu tertentu.
Bentuk perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup tersebut berupa :
1. Perencanaan
Perencanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan
melalui tahapan inventarisasi lingkungan hidup, penetapan wilayah ekoregion, dan
penyusunan RPPLH. Inventarisasi lingkungan hidup dilaksanakan untuk memperoleh
data dan informasi mengenai sumber daya alam yang meliputi potensi dan ketersediaan;
jenis yang dimanfaatkan; bentuk penguasaan; pengetahuan pengelolaan; bentuk
kerusakan; dan konflik dan penyebab konflik yang timbul akibat pengelolaan.

2. Pemanfaatan
Pemanfaatan sumber daya alam dilaksanakan berdasarkan daya dukung dan
daya tampung lingkungan hidup dengan memperhatikan keberlanjutan proses dan
fungsi lingkungan hidup; keberlanjutan produktivitas lingkungan hidup; dan
keselamatan, mutu hidup, dan kesejahteraan masyarakat.

3. Pengendalian
Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dilaksanakan
dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup yang meliputi pencegahan,
penanggulangan, dan pemulihan. Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan sesuai dengan kewenangan, peran, dan tanggung jawab
masing-masing. Instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup terdiri atas:
- KLHS
- tata ruang
- baku mutu lingkungan hidup
- kriteria baku kerusakan lingkungan hidup
- amdal
- UKL-UPL
- perizinan
- instrumen ekonomi lingkungan hidup
- peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan hidup
- anggaran berbasis lingkungan hidup
- analisis risiko lingkungan hidup
- audit lingkungan hidup
- instrumen lain sesuai dengan kebutuhan dan/atau perkembangan ilmu
pengetahuan.

4. Pemeliharaan
Pemeliharaan lingkungan hidup dilakukan melalui upaya konservasi sumber
daya alam; pencadangan sumber daya alam; dan/atau pelestarian fungsi atmosfer.
Konservasi sumber daya alam meliputi kegiatan perlindungan sumber daya alam,
pengawetan sumber daya alam, dan pemanfaatan secara lestari sumber daya alam.
Pencadangan sumber daya alam merupakan sumber daya alam yang tidak dapat
dikelola dalam jangka waktu tertentu. Pelestarian fungsi atmosfer meliputi upaya
mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, upaya perlindungan lapisan ozon, dan upaya
perlindungan terhadap hujan asam.

5. Pengawasan
Pejabat pengawas lingkungan hidup berwenang melakukan pemantauan;
meminta keterangan; membuat salinan dari dokumen dan/atau membuat catatan yang
diperlukan; memasuki tempat tertentu; memotret; membuat rekaman audio visual;
mengambil sampel; memeriksa peralatan; memeriksa instalasi dan/atau alat
transportasi; dan/atau menghentikan pelanggaran tertentu. Dalam melaksanakan
tugasnya, pejabat pengawas lingkungan hidup dapat melakukan koordinasi dengan
pejabat penyidik pegawai negeri sipil. Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
dilarang menghalangi pelaksanaan tugas pejabat pengawas lingkungan hidup.

6. Penegakan hukum.
Penegakan hukum pidana lingkungan tetap memperhatikan asas ultimum
remedium yang mewajibkan penerapan penegakan hukum pidana sebagai upaya
terakhir setelah penerapan penegakan hukum administrasi dianggap tidak berhasil.
Penerapan asas ultimum remedium ini hanya berlaku bagi tindak pidana formil tertentu,
yaitu pemidanaan terhadap pelanggaran baku mutu air limbah, emisi, dan gangguan.

2.2. Bentuk peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup menurut
UU No 32 Tahun 2009

Bentuk peran serta pemerintah dalam pengelolaan lingkungan sesungguhnya juga


termuat dalam Pasal 63 Ayat (1) UU No 32 Tahun 2009 yang berbunyi :
Dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Pemerintah bertugas dan
berwenang:
a. menetapkan kebijakan nasional;
b. menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria;
c. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai RPPLH nasional;
d. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai KLHS;
e. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai amdal dan UKL-UPL;
f. menyelenggarakan inventarisasi sumber daya alam nasional dan emisi gas
rumah kaca;
g. mengembangkan standar kerja sama;
h. mengoordinasikan dan melaksanakan pengendalian pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup;
i. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai sumber daya alam hayati
dan nonhayati, keanekaragaman hayati, sumber daya genetik, dan keamanan
hayati produk rekayasa genetik;
j. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai pengendalian dampak
perubahan iklim dan perlindungan lapisan ozon;
k. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai B3, limbah, serta limbah
B3;
l. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai perlindungan lingkungan
laut;
m. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup lintas batas negara;
n. melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan
nasional, peraturan daerah, dan peraturan kepala daerah;
o. melakukan pembinaan dan pengawasan ketaatan penanggung jawab usaha
dan/atau kegiatan terhadap ketentuan perizinan lingkungan dan peraturan
perundang-undangan;
p. mengembangkan dan menerapkan instrumen lingkungan hidup;
q. mengoordinasikan dan memfasilitasi kerja sama dan penyelesaian perselisihan
antardaerah serta penyelesaian sengketa;
r. mengembangkan dan melaksanakan kebijakan pengelolaan pengaduan
masyarakat;
s. menetapkan standar pelayanan minimal;
t. menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat
hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
u. mengelola informasi lingkungan hidup nasional;
v. mengoordinasikan, mengembangkan, dan menyosialisasikan pemanfaatan
teknologi ramah lingkungan hidup;
w. memberikan pendidikan, pelatihan, pembinaan, dan penghargaan;
x. mengembangkan sarana dan standar laboratorium lingkungan hidup;
y. menerbitkan izin lingkungan;
z. menetapkan wilayah ekoregion; dan aa.melakukan penegakan hukum
lingkungan hidup.
aa. melakukan penegakan hukum lingkungan hidup.

Peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup menurut Pasal 70 UU No


32 Tahun 2009 yaitu :
(1) Masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk
berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
(2) Peran masyarakat dapat berupa:
a. pengawasan sosial;
b. pemberian saran, pendapat, usul, keberatan, pengaduan; dan/atau
c. penyampaian informasi dan/atau laporan.
(3) Peran masyarakat dilakukan untuk:
a. meningkatkan kepedulian dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup;
b. meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat, dan kemitraan;
c. menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat;
d. menumbuhkembangkan ketanggapsegeraan masyarakat untuk melakukan
pengawasan sosial; dan
e. mengembangkan dan menjaga budaya dan kearifan lokal dalam rangka
pelestarian fungsi lingkungan hidup.

Relevansinya Peran serta Masyarakat dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Keluarnya Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (UUPPLH) dianggap belum bisa menyelesaikan persoalan-persoalan
lingkungan banyak mendapat apresiasi dan sebagai upaya yang serius dari pemerintah dalam
menangani masalah-masalah pengelolaan lingkungan. Masih banyak hal-hal yang perlu
dibenahi dalam UUPPLH tersebut, seperti dalam Pasal 26 ayat (2) bahwa” pelibatan
masyarakat harus dilakukan berdasarkan prinsip pemberian informasi yang transparan dan
lengkap serta diberitahukan sebelum kegiatan dilaksanakan”. Dalam pasal ini, tidak diikuti
penjelasan seperti apa dan bagaimana bentuk informasi secara lengkap tersebut dan upaya
hukum apa yang dapat dilakukan bila hal tersebut tidak dilakukan, begitu pula dalam ayat (4)
“masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan keberatan terhadap
dokumen amdal” juga tidak diikuti penjelasan sehingga dapat menimbulkan kerancuan dalam
hal yang seperti apa masyarakat menolak dokumen tersebut, sehingga justru mereduksi hak-
hak masyarakat dalam proses awal pembangunan. Sebanyak 13 (tigabelas) instrumen
pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang termuat dalam pasal 14
UU No. 32 Tahun 2009 menjadi dasar peran serta masyarakat.
Dalam UU No. 32 Tahun 2009 itu sejatinya ada instrumen baru yang tidak terdapat
dalam UUPLH sebelumnya, yaitu Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang wajib
dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah untuk memastikan terintegrasinya prinsip
pembangunan berkelanjutan dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana
dan/atau program (Pasal 15 ayat 1 UU no. 32 tahun 2009). Pasal 66 dari UUPPLH menyebut
tentang peran serta yang sangat penting itu. Dinyatakan bahwa: Setiap orang yang
memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara
pidana maupun digugat secara perdata”. Tentunya bila ditelaah dengan baik, tidak ada yang
salah dari pasal ini. Namun dalam penjelasan pasal ini berbunyi bahwa ketentuan ini
dimaksudkan untuk melindungi korban dan / atau pelapor yang menempuh cara hukum akibat
pencemaran dan/ atau perusakan lingkungan hidup dan perlindungan dimaksudkan untuk
mencegah tindakan pembalasan dari terlapor melalui pemidanaan dan/gugatan perdata dengan
tetap memperhatikan kemandirian peradilan.
BAB III PENUTUP

3.1. KESIMPULAN

Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) UU No 32 Tahun 2009 yang menjelaskan bahwa yang
dimaksud dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan
terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan,
pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum. Dalam UU No 32 Tahun
2009 ini juga membahas terkait beberapa pokok bahasan penting, yang mana diantaranya yaitu
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa lingkungan
hidup, Penggunaan sumber daya alam yang sesuai dengan fungsi lingkungan hidup, Upaya
preventif dalam rangka pengendalian dampak lingkungan hidup, Penegakan hukum pidana
dalam Undang-Undang, serta membahas tentang Perbedaan mendasar antara Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan Undang- Undang ini
adalah adanya penguatan yang terdapat dalam Undang-Undang ini tentang prinsip-prinsip
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang didasarkan pada tata kelola
pemerintahan yang baik.
bentuk perlindungan dan pengelolaan lingkungan berdasarkan UU No. 32 Tahun 2009
Dilihat dalam Pasal 1 Ayat (4) UU No 32 Tahun 2009, Rencana perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup yang selanjutnya disingkat RPPLH adalah perencanaan tertulis yang memuat
potensi, masalah lingkungan hidup, serta upaya perlindungan dan pengelolaannya dalam kurun
waktu tertentu. Bentuk perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup tersebut berupa:
Perencanaan, Pemanfaatan, Pengendalian, Pemeliharaan, Pengawasan, Penegakan hukum.
Peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup menurut Pasal 70 UU No
32 Tahun 2009 yaitu : Masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya
untuk berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Peran masyarakat dapat berupa:
a. pengawasan sosial;
b. pemberian saran, pendapat, usul, keberatan, pengaduan; dan/atau
c. penyampaian informasi dan/atau laporan.
Peran masyarakat dilakukan untuk:
a. meningkatkan kepedulian dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
b. meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat, dan kemitraan;
c. menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat;
d. menumbuhkembangkan ketanggapsegeraan masyarakat untuk melakukan pengawasan
sosial; dan
e. mengembangkan dan menjaga budaya dan kearifan lokal dalam rangka pelestarian
fungsi lingkungan hidup.
Dalam UU No. 32 Tahun 2009 itu sejatinya ada instrumen baru yang tidak terdapat dalam
UUPLH sebelumnya, yaitu Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang wajib dilakukan
oleh pemerintah dan pemerintah daerah untuk memastikan terintegrasinya prinsip
pembangunan berkelanjutan dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana
dan/atau program (Pasal 15 ayat 1 UU no. 32 tahun 2009).
DAFTAR PUSTAKA

UU NO 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaa Lingkungan Hidup

Rahmadi Takdir, 2015, Hukum Lingkungan di Indonesia, Divisi Buku Perguruan Tinggi, Raja
Grafindo Persada, Jakarta.

Philipus M Hadjon. 1987. Perlindungan hukum Bagi Rakyat di Indonesia (Sebuah Study
Tentang Prinsip- Prinsipnya , Penangananya oleh Pengadilan Dalam Lingkungan
Peradilan Umum dan Pembentukan Administrasi Negara. Surabaya : PT Bina Ilmu.

Lalu Sabardi, 2014. Peran Serta Masyarakat Dallam Pengelolaan Lingkungan menurut UU
NO. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Yustitia Vol. 3
No. 1 Januari - April 2014
PAPER HUKUM LINGKUNGAN

SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM LINGKUNGAN DI


INDONESIA

DOSEN PENGAMPU:

PROF. DR. I WAYAN PARSA, S.H., M.HUM.

ANGGOTA KELOMPOK:

NI KADEK RATIH MAHESWARI 2004551071

KADEK ZALSA PUTRI PAMIA PALGUNADI 2004551075

PUTU DILLA ELVIRA 2004551078

NI NYOMAN KARISMA NALAYANTI 2004551080

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2022
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Seiring dengan berkembangnya zaman, kebutuhan manusia juga semakin
beragam. Manusia dengan segala kecerdasan akalnya membuat terobosan baru untuk
memenuhi kebutuhan tersebut secara lebih efisien melalui pembangunan. Gencarnya
perkembangan pembangunan segala sektor di seluruh dunia diakui telah berkontribusi
terhadap banyak hal termasuk dengan kemajuan teknologi di era modern yang kini
dinikmati oleh hampir seluruh masyarakat di dunia. Namun disisi lain, pembangunan
ini mengakibatkan banyak pula hal yang dikorbankan, salah satunya adalah lingkungan
hidup. Lancarnya pembangunan seringkali tidak sejalan dengan pelestarian lingkungan
sehingga banyak ditemukan kerusakan-kerusakan yang saat ini sudah menjadi urgensi
permasalahan tingkat global yang perlu segera diatasi.
Permasalahan lingkungan sejatinya telah menjadi isu sejak berabad-abad yang
lalu. Diketahui runtuhnya peradaban Mesopotamia disebabkan oleh permasalahan
lingkungan yang diakibatkan dari pembangunan penampung air dari dua jurusan sungai
yang berbeda yakni Tigris dan Euphrat. Namun, masalah lingkungan benar-benar
terlihat saat masa revolusi industri di Inggris. Sejak munculnya awal peradaban
teknologi dunia melalui revolusi industri, terdapat banyak perubahan terhadap kualitas
hidup manusia termasuk juga membawa perubahan terhadap kualitas lingkungan.
Dampak pembangunan yang terasa hingga kini adalah over eksploitasi terhadap
sumber daya alam, polusi udara akibat limbah industri dan transportasi, lingkungan
yang kumuh, ketergantungan ekologis yang berpengaruh terhadap punahnya flora dan
fauna, serta ketergantungan ekosistem sosial terhadap lingkungan itu sendiri.
Permasalahan ini memiliki dampak yang besar terhadap lingkungan hidup dalam
jangka panjang. Jika tidak segera diatasi, maka akan berdampak pada kerusakan
lingkungan hidup sampai pada tahap lingkungan tersebut tidak lagi dapat mendukung
aktivitas yang dikerjakan oleh manusia, atau dalam kata lain, tidak lagi dapat ditinggali.
Sehingga sangat penting untuk membuat regulasi untuk membentuk keseimbangan
antara pembangunan dengan pelestarian lingkungan.
Perhatian terhadap permasalahan lingkungan ini kemudian mulai menjadi
sorotan dikalangan dewan ekonomi dan sosial PBB pada waktu diadakan peninjauan
terhadap “Dasawarsa Pembangunan Dunia ke I (1960-1970) guna merumuskan strategi
dasawarsa pembangunan dunia ke 2 (1970-1980). Pembicaraan tentang masalah
lingkungan hidup ini diajukan oleh wakil Swedia disertai saran untuk kemungkinan
diselenggarakan suatu konferensi internasional mengenai lingkungan hidup 1.
Kemudian konferensi ini diselenggarakan di Stockholm pada tanggal 5-16 Juni 1972
yang diikuti oleh 113 negara. Konferensi ini menghasilkan Deklarasi Stockholm yang
kemudian dijadikan acuan untuk menyusun hukum lingkungan hidup secara nasional.
Indonesia sendiri sejak zaman penjajahan Belanda telah ditemukan beberapa
peraturan yang mengatur tentang kebijakan lingkungan hidup. Sampai saat berlakunya
UU No. 32 Tahun 2009 saat ini, Indonesia telah melewati banyak fase terkait dengan
peraturan perundang-undangan tentang lingkungan hidup. Di dalam tulisan ini, akan
dibahas mengenai perkembangan hukum lingkungan di Indonesia secara lebih detail
dan sistematis.

1.2. Rumusan Masalah


1.2.1 Apa dasar konstitusional dari peraturan lingkungan hidup di Indonesia?
1.2.2 Bagaimana sejarah perundang-undangan lingkungan di Indonesia?
1.2.3 Bagaimana pemberlakuan hukum lingkungan modern di Indonesia?

1.3. Tujuan Penulisan


1.3.1 Untuk mengetahui dasar konstitusional dari perumusan peraturan lingkungan hidup
di Indonesia
1.3.2 Untuk mengetahui sejarah perundang-undangan di Indonesia
1.3.3 Untuk mengetahui pemberlakuan hukum lingkungan modern di Indonesia.

1.4. Manfaat Penulisan


Adapun manfaat penulisan paper ini adalah sebagai berikut :
1.4.1. Secara teoritis, penulisan paper ini merupakan suatu sumbangsih kepada para
pembaca yang ingin menambah pengetahuan ilmu hukum pada umumnya dan
khususnya tentang sejarah perkembangan hukum lingkungan di Indonesia.
1.4.2 Secara praktis, penulisan paper ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai
sumbangan pemikiran terkait materi hukum lingkungan terkhususnya sejarah

1
Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional. Airlangga University
Press, Surabaya, 2000, hlm 28
perkembangan hukum lingkungan di Indonesia.
1.5. Metode Penulisan
Metode pendekatan yang digunakan dalam pembuatan paper ini adalah metode
yuridis normatif, yaitu meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma.
Sistem norma yang dimaksud adalah mengenai asas-asas, norma, kaidah dari peraturan
perundang-undangan. 2 Penelitian ini mengkaji/menganalisis data sekunder, terutama
bahan-bahan hukum primer berupa perundang-undangan yang terkait dengan tugas dan
wewenang Badan Lingkungan Hidup dalam penegakan hukum di bidang lingkungan.
Data yang diperoleh kemudian diolah dan dianalisis secara kualitatif.

2
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, Yogyakarta,
Pustaka Pelajar, hlm 34.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Dasar Konstitusional dan Kebijakan dalam GBHN


Konstitusi tertulis Republik Indonesia yang menjadi fondasi yuridis
diselenggarakannya kekuasaan negara, juga mengindikasikan negara modern Republik
Indonesia sebagai sebuah negara yang berdasarkan hukum, atau dalam padanannya
dapat dikatakan sebagai negara hukum. Indonesia sebagai negara hukum, tentu
menyelenggarakan kekuasaan negara berdasarkan atas norma-norma yuridis sehingga
tidak terjadi kesewenang-wenangan penyelenggaraan atas kekuasaan. Pembangunan
nasional, baik yang diselenggarakan pada masa orde lama, orde baru maupun orde
reformasi, demikian harus dimaknai sebagai amanat dari konstitusi Republik Indonesia.
Untuk memahaminya lebih jauh, maka perencanaan pembangunan nasional yang
disusun dalam format peraturan perundang-undangan haruslah relevan dengan amanat
UUD Tahun 1945.

Oleh karenanya untuk memperoleh tingkat relevansi yang tinggi antara apa
yang ada dalam dokumen perencanaan pembangunan nasional sebagai materi
perencanaan dalam segala bidang itu dengan amanat UUD Tahun 1945, maka proses
penyusunan perencanaan pembangunan nasional haruslah mengikuti kaidah atau norma
tertentu dalam penyusunannya, di mana kaidah ataupun norma tersebut dianggap
strategis untuk mewujudkan amanat UUD Tahun 1945 dalam rumusan kebijakan
pembangunan nasional. Belajar dari kekurangan sistem demokrasi politik di berbagai
negara di dunia yang menjadikan undang-undang dasar hanya sebagai konstitusi
politik, di samping juga berisi dasar-dasar pikiran mengenai demokrasi ekonomi dan
demokrasi sosial. 3

Perkembangan hukum lingkungan tidak dapat dipisahkan dari gerakan sedunia


untuk memberikan perhatian lebih besar kepada lingkungan hidup, mengingat
lingkungan hidup menjadi masalah yang perlu ditanggulangi bersama demi
kelangsungan hidup sedunia. Pembangunan dan perlindungan lingkungan hidup di

3
Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi dan Konstitusionalisme di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafik. 2010.
Indonesia menggunakan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 pada alinea ke-4
sebagai kaidah dasar yang melandasi berdirinya hal tersebut. Ketentuan ini menegaskan
bahwa negara memiliki kewajiban dan pemerintah bertugas untuk melindungi segenap
sumber-sumber insani dalam lingkungan hidup Indonesia guna kebahagiaan seluruh
rakyat Indonesia dan segenap umat manusia. Dalam hal ini perlindungan yang
dimaksud ialah perlindungan menyeluruh yang mencakup segenap komponen sumber
daya manusianya, sumber daya alam hayati dan nonhayati dengan segenap
ekosistemnya, maupun sumber daya buatan yang menyangkut hajat hidup orang banyak
dan cagar budaya. Secara lebih konkritnya, pemikiran dasar tersebut dirumuskan dalam
Pasal 33 ayat (3) yang menyatakan bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat.

Pada saat ini aturan yang menjadi sumber utama pengelolaan sumber daya alam
Indonesia yaitu Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 telah mengalami perubahan. Perubahan
pada Pasal 33 tesebut yakni terdapat penambahan ayat (4) dan (5) yang dimana dalam
naskah perubahan (amendemen) keempat telah disahkan oleh MPR-RI pada tanggal 10
Agustus 2002, yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut.

● Pasal 33 ayat (4): Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas


demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga
keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
● Pasal 33 ayat (5): Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur
dalam undang-undang.

Dengan masuknya prinsip-prinsip keberlanjutan dan berwawasan lingkungan,


setidaknya dapat diartikan sebagai pengakuan akan pentingnya menjaga dan
memelihara fungsi lingkungan, termasuk Kebijakan Nasional (GBHN) MPR-RI untuk
pengelolaan pengelolaan daya dukung dan daya tamping.

GBHN 1973 merupakan GBHN pertama yang memuat ketentuan tentang


lingkungan hidup dalam Bab III-nya yang berarti bahwa ketentuan tersebut berlaku
untuk program pembangunan jangka panjang sehingga ketentuan itu dicantumkan
kembali dalam GBHN 1978, 1983, dan 1988. Ketentuan tersebut memuat prinsip-
prinsip sebagaimana tercantum dalam Deklarasi Stockholm 1972 mengenai
Lingkungan Hidup. Adapun ketentuan yang dimaksud termuat dalam rumusan Tap
MPR No. IV/1973 tentang GBHN, pada Bab II, butir 10 dari Pendahuluan tersebut
menegaskan bahwa Dalam pelaksanaan pembangunan, sumber-sumber alam
Indonesia harus digunakan secara rasional. Penggalian sumber kekayaan alam
tersebut harus diusahakan agar tidak merusak tata lingkungan hidup manusia,
dilaksanakan dengan kebijaksanaan yang menyeluruh dan dengan memperhitungkan
kebutuhan generasi yang akan datang.

Selanjutnya GBHN 1993 memuat ketentuan tentang lingkungan hidup yang


didasarkan atas prinsip-prinsip sebagaimana tercantum dalam Deklarasi Rio de Janeiro
1992 mengenai Lingkungan dan Pembangunan. Dengan demikian, bangsa Indonesia
memberikan komitmennya kepada pelaksanaan dan prinsip pembangunan
berkelanjutan, yaitu pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa
mengurangi kemampuan generasi-generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhannya
sendiri. tercantum pula ketentuan tentang pelestarian fungsi lingkungan, yang meliputi
pelestarian lingkungan bagi kawasan lindung maupun pelestarian kemampuan
lingkungan bagi kawasan budi daya. Dengan demikian, ketentuan tersebut berlaku bagi
semua kegiatan dan di semua bidang, termasuk di bidang perindustrian.

Dalam GBHN 1999-2004 tercantum ketentuan tentang sumber daya alam dan
lingkungan hidup. Selanjutnya ketentuan dalam GBHN 1999-2004 tersebut dijabarkan
lebih lanjut dalam Undang-undang No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan
Nasional (Propenas) Tahun 2000 – 2004. Dalam undang-undang tentang Propenas
tersebut terdapat Bab X tentang Pembangunan Sumber Daya Alam dan Lingkungan
Hidup. Dalam Bagian Umum dinyatakan di antaranya bahwa pembangunan sumber
daya alam dan lingkungan hidup dalam bab tersebut menjadi acuan bagi kegiatan
berbagai sektor pembangunan agar tercipta keseimbangan dan kelestarian fungsi
sumber daya alam dan lingkungan hidup sehingga keberlanjutan pembangunan tetap
terjamin.

Namun, pada saat ini telah terjadi perubahan sistem ketatanegaraan dan
pemerintahan, yang dimana tidak ditetapkannya lagi perencanaan pembangunan
nasional (GBHN) melalui Ketetapan MPR dengan berlakunya Undang-Undang No. 25
Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Disebutkan dalam
undang-undang ini khususnya menurut Pasal 32 bahwa Presiden menyelenggarakan
dan bertanggung jawab atas Perencanaan Pembangunan Nasional, sedangkan Kepala
Daerah menyelenggarakan dan bertanggung jawab atas Perencanaan Pembangunan
Daerah. Demikian pula dengan adanya perubahan sistem pemerintahan dari sentralistik
ke desentralisasi sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 22 Tahun 1999,
kemudian dicabut dan diganti dengan Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah pada tanggal 15 Oktober 2004.

2.2. Sejarah Perundang-undangan Lingkungan di Indonesia


I. Zaman Pemerintahan Hindia Belanda
Apabila diperhatikan peraturan perundang-undangan pada waktu zaman Hindia
Belanda sebagaimana tercantum dalam Himpunan Peraturan Perundang undangan di
bidang Lingkungan Hidup yang disusun oleh Panitia Perumus dan Rencana Kerja bagi
Pemerintah di bidang Pengembangan Lingkungan Hidup dan diterbitkan pada tanggal
5 Juni 1978 maka dapatlah dikemukakan bahwa yang pertama kali diatur adalah
mengenai perikanan mutiara dan perikanan bunga karang, yaitu Parelvisscherij,
Sponsenvisscherij ordonnantie (Stbl. 1926 No. 157), dikeluarkan di Bogor oleh
Gubernur Jenderal Idenburg pada tanggal 29 Januari 1916. Ordonansi tersebut memuat
peraturan umum dalam rangka melakukan perikanan siput mutiara, kulit mutiara,
teripang, dan bunga karang dalam jarak tidak lebih dari 3 mil-laut Inggris dari pantai-
pantai Hindia Belanda (Indonesia). Maksudnya melakukan perikanan terhadap hasil
laut ialah tiap usaha dengan alat apa pun juga untuk mengambil hasil laut dari laut
tersebut.
Pada tanggal 26 Mei 1920, dengan penetapan Gubernur Jenderal No. 86, telah
diterbitkan:
● Visscherijordonnantie (Stbl. 1920 No. 396) yaitu peraturan perikanan
untuk melindungi keadaan ikan. Adapun yang dimaksud dengan ikan
meliputi pula telur ikan, benih ikan, dan segala macam kerang-kerangan.
Dalam Pasal 2 ditentukan bahwa menangkap ikan dengan bahan-bahan
beracun, bius atau bahan-bahan peledak dilarang.
Kustvischerijordonnantie (Stbl. 1927 No. 144) berlaku sejak tanggal 1
September 1927. Ordonansi Perikanan telah dicabut dengan Undang-
undang No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan yang diundangkan pada
tanggal 19 Juni 1985.
● Ordonansi yang sangat penting bagi lingkungan hidup adalah Hinder
ordonnantie (Stbl. 1926 No. 226) yang diubah/ditambah, terakhir dengan
Stbl. 1940 No. 450) yaitu Ordonansi Gangguan. Di dalam Pasal 1
ditetapkan larangan mendirikan tanpa izin tempat-tempat usaha yang
perincian jenisnya dicantumkan dalam ayat (1) pasal tersebut, meliputi
20 jenis perusahaan. Di dalam ordonansi ini ditetapkan pula berbagai
pengecualian atas larangan ini. Di bidang perusahaan telah dikeluarkan
Berdrijfsreglementerings Ordonnantie 1934 (Stbl. 193 8 No. 86 jo. Stbl.
1948 No. 224).
● Ordonansi yang penting di bidang perlindungan satwa adalah
Dierenbechermings-ordonnantie (Stbl. 1931 No. 134), yang mulai
berlaku pada tanggal I Juli 1931 untuk seluruh wilayah Hindia Belanda
(Indonesia). Berkenaan dengan ordonansi ini adalah peraturan tentang
perburuan, yaitu Jacht-ordonnantie 1931 (Stbl. 1931 No. 133) dan
Jachtordonnantie Java en Madura sejak Tanggal 1 Juli 1940.
● Ordonansi yang mengatur perlindungan alam adalah
Natuurbeschermings ordonnantie 1941 (Stbl. 1941 No. 167). Ordonansi
ini mencabut ordonansi yang mengatur cagar-cagar alam dan suaka-suaka
margasatwa, yaitu Natuurmonumenten en Wildreservatenordonnantie
1932 (Stbl. 1932 No. 17) dan mengantarkannya dengan
Natuurbeschermingsordonantie 1941 tersebut. Ordonansi tersebut
dikeluarkan untuk melindungi kekayaan alam di Hindia Belanda
(Indonesia). Peraturan-peraturan yang tercantum di dalamnya berlaku
terhadap suaka-suaka alam atau natuurmonumenten, dengan pembedaan
atas suaka-suaka margasatwa dan cagar-cagar alam.

Keempat ordonansi di bidang perlindungan alam dan satwa tersebut di atas telah
dicabut berlakunya dengan diundangkannya UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya 4 pada tanggal 10 Agustus 1990. Dalam
hubungan dengan pembentukan kota telah dikeluarkan Stadsordonnantie (Stbl. 1948
No. 168), disingkat SVO, yang mulai berlaku pada tanggal 23 Juli 1948. Berbagai
ordonansi tersebut telah dijabarkan lebih lanjut dalam verordeningen, misalnya:

4
UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
a) Dierenbeschermings verordening (Stbl. 1931 No. 266);
b) berbagai Bedrijfsreglementerings verordeningen logam, pabrik es,
pengolahan kembali karet, pengasapan karet, perusahaan tekstil;
c) Jachtverordening Java en Madura 1940 (Stbl. 1940 No. 247 jo. Stbl. 1941
No. 51);
d) Stadsvormingsverordening, disingkat SVV (Stbl. 1949 No. 40).
Begitu pula terdapat peraturan tentang air, yaitu Algemeen Waterreglement (Stbl. 1936
No. 489 jo. Stbl. 1949 No. 98).

II. Zaman Pendudukan Jepang


Setelah kedudukan penjajahan Hindia Belanda diambil alih oleh Jepang, tidak
ada peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur bidang lingkungan
hidup. Peraturan saat itu yang berkaitan dengan lingkungan hidup hanya diatur dalam
Osamu S. Kanrei No. 6 yaitu mengenai larangan menebang pohon aghata, alba, dan
balsem tanpa izin Gunseikan. Peraturan tersebut dibuat semata untuk memperkuat
kedudukan penguasa Jepang di Hindia Belanda. Kemudian, ada juga kemungkinan
bahwa peraturan tersebut dikeluarkan untuk mengamankan eksistensi ketiga jenis
pohon tersebut yang diketahui memiliki bobot yang ringan tetapi di sisi lain sangat kuat
sehingga sering digunakan sebagai bahan baku pembuatan pesawat peluncur untuk
mengangkut logistik tentara Jepang.

III. Zaman kemerdekaan


Tonggak sejarah politik hukum dari zaman kolonial ke zaman nasional dimulai
tanggal 17 Agustus 1945 dengan adanya pernyataan Proklamasi oleh Soekarno. Semua
aturan yang dibuat dalam rangka untuk menciptakan kemakmuran dan keadilan
masyarakat harus bersumber kepada sumber dari segala sumber hukum yaitu Pancasila
dan sumber tertib hukum yang tertinggi Undang- Undang Dasar 1945. Kebijaksanaan
pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia adalah menyangkut pertanyaan “apa yang
ingin dicapai, bagaimana dan jalan apa, dengan cara apa pengelolaan lingkungan
dilaksanakan”5

5
Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional. Airlangga University
Press, Surabaya, 2000, hlm 7.
Awal munculnya langkah dalam rangka penanganan masalah lingkungan hidup
secara serius yang diilhami oleh Deklarasi tentang Lingkungan Hidup (Stockholm
Declaration), hasil sidang/ konferensi PBB di Stockholm tanggal 5 s/d 16 Juni 1972,
diikuti oleh 113 negara peserta dan puluhan peninjau. Perhatian mengenai
permasalahan lingkungan hidup di Indonesia diinisiasi oleh kalangan akademisi. Dalam
rangka menyambut Konferensi Stockholm 1972, diselenggarakan seminar oleh
Universitas Padjajaran Bandung yang dihadiri akademisi, pejabat tinggi negara, dan
tokoh masyarakat yang kemudian menjadi kali pertama diselenggarakannya seminar
yang membahas masalah lingkungan nasional.
Selanjutnya, dikeluarkan Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1972, tentang
Pembentukan Panitia Interdepartemental yang disebut : Panitia Perumus dan Rencana
Kerja bagi Pemerintah di Bidang Pengembangan Lingkungan Hidup. Panitia ini
berhasil merumuskan program pembangunan lingkungan hidup, kemudian dituangkan
dalam Ketetapan MPR No. IV Tahun 1973, tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara
( GBHN 1973 - 1978 ) dalam BAB III, bagian B ayat 10, yang kemudian dijabarkan
lebih lanjut melalui Keputusan Presiden RI Nomor 11 Tahun 1974 tentang REPELITA
II, bab 4 tentang pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup. Pada 1978
Kantor Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup mulai
berinisiatif untuk membuat rancangan undang-undang tentang pengelolaan lingkungan
hidup.
Dibentuklah Tim Kerja yang khusus mempersiapkan konsep peraturan
perundang lingkungan hidup. Atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat maka pada
tanggal 11 Maret 1982, lahirlah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 (UULH Th.
1982) tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Lingkungan Hidup. Dengan demikian
terbukalah lembaran baru bagi kebijaksanaan lingkungan hidup di Indonesia menuju
pembangunan hukum lingkungan berdasarkan prinsip-prinsip hukum lingkungan
modern yang diakui secara internasional. Situasi politik hukum yang tengah
berlangsung secara global sangat mempengaruhi terbentuknya UULH Nomor 4 Tahun
1982, karena saat itu Pemerintah Indonesia sedang giat-giatnya menawarkan investasi
penanaman modal bagi investor asing, sementara konsep lingkungan dalam konsep
lingkungan global sedang dibahas. Oleh karena itu Indonesia menawarkan konsep
pembangunan yang berwawasan lingkungan yaitu kesejajaran antara pembangunan dan
pengelolaan lingkungan. Pembangunan boleh dapat terus berlangsung dengan segala
dinamika dan masalahnya, akan tetapi pembangunan tersebut tidak boleh menyebabkan
rusaknya daya dukung lingkungan demi generasi masa depan. Kita tidak perlu
mempertentangkan antara lingkungan dan pembangunan.
Dalam TAP MPR : NO II/MPR/1993 tentang GBHN yang antara lain
menentukan pemanfaatan sumber daya alam bagi peningkatan kesejahteraan rakyat,
telah diupayakan secara menyeluruh dan terpadu dengan memperhatikan
keseimbangan dan keserasian fungsi lingkungan hidup serta senantiasa memperhatikan
prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan demi untuk kepentingan generasi
yang akan datang. Ini merupakan komitmen politik dari pihak penguasa tentang
bagaimana kita menyikapi permasalahan lingkungan. Hal ini menimbulkan implikasi
bahwa semua kegiatan pembangunan harus memberikan jaminan bahwa pembangunan
tersebut tidak akan merusak lingkungan dan dengan demikian pembangunan yang
dilaksanakan harus berwawasan lingkungan.
Sementara itu permasalahan hukum yang berkembang memerlukan pengaturan
dalam bentuk hukum demi menjamin kepastian hukum. Di sisi lain perkembangan
lingkungan global serta aspirasi internasional makin mempengaruhi usaha pengelolaan
lingkungan sehingga pemerintah memandang perlu untuk memperbaharui dan
menyempurnakan UULH Nomor 4 Tahun 1982. Dengan dasar pemikiran tersebut
Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat telah mengganti Undang-Undang
Lingkungan Hidup Nomor 4 Tahun 1982 dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan disempurnakan dengan Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup. Undang-undang ini bertujuan antara lain melindungi wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia dari pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup, menjamin
keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia, makhluk hidup dan kelestarian
ekosistem serta menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini generasi masa
depan dan mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam dengan mewujudkan
pembangunan berkelanjutan dan mengantisipasi isu lingkungan global.
2.3. Hukum Lingkungan Modern di Indonesia
I. Sejarah Penyusunan
Pada dasarnya Rancangan Undang-Undang (RUU) Lingkungan Hidup dimulai
pada tahun 1976 yang kemudian ditingkatkan dengan dibentuknya Kelompok Kerja
Pembinaan Hukum dan Aparatur dalam Pengelolaan Sumber Alam dan Lingkungan
Hidup oleh Menteri Negara PPLH (Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup)
tepatnya pada bulan Maret tahun 1979. Secara konkrit tertuang dalam Keputusan
Menteri Negara Pengawasan Pembangunan Dan Lingkungan Hidup No.KEP-
006//MNPPLH/3/1979 tentang pembentukan kelompok kerja dalam Bidang
Pembinaan Hukum dan Aparatur dalam Pengelolaan Sumber Alam dan Lingkungan
Hidup (Pokja Hukum). Pokja hukum tersebut memiliki tugas menyusun rancangan
peraturan perundang-undangan yang mengatur ketentuan-ketentuan pokok tentang Tata
pengelolaan sumber alam dan lingkungan hidup. Hasil karya Kelompok Kerja tersebut
merupakan konsep rintisan dari Rancangan Undang-undang Pengelolaan lingkungan
hidup. Kemudian diadakan rapat antar departemen bertempat di Puncak selama dua hari
pada tanggal 16 sampai dengan 18 Maret 1981, dimana rapat ini membahas mengenai
naskah yang telah disiapkan oleh Kelompok Kerja PPLH. Berdasarkan rapat yang telah
dilaksanakan antar departemen ini dimana hasil pembicaraannya berupa diadakannya
perubahan-perubahan dalam naskah Rancangan Undang-Undang tersebut. Selanjutnya
pada tanggal 21 Maret 1981 Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan
Lingkungan Hidup mengirimkan konsep Rancangan Undang-Undang hasil dari
pembahasan antar departemen dengan tujuan meminta persetujuan para Menteri yang
diwakili dalam rapat antar departemen. Berdasarkan saran para Menteri, bahwasanya
konsep Rancangan Undang-Undang hasil pembahasan antar departemen tersebut
diperbaiki dan disampaikan kepada Menteri atau Sekretaris Negara pada Tanggal 3 Juli
1981. Pada tanggal 14 November 1981, Kepala Biro Hukum dan Perundang-undangan
Sekretariat Kabinet mengirimkan naskah konsep RUU yang telah diperbaiki kepada
beberapa menteri untuk penyempurnaan lebih lanjut. Akhirnya RUU tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup berhasil diajukan dalam
sidang DPR bulan Januari 1982 sebelum masa reses menghadapi pemilihan umum,
yaitu dengan Surat Presiden No. R.01/PU/I/1982 tanggal 12 Januari 1982 untuk
mendapatkan persetujuan pada tahun 1982.6
Badan Musyawarah DPR membentuk Panitia Khusus (PANSUS) yang
bertujuan untuk menangani Rancangan Undang-Undang Lingkungan Hidup tersebut.
Panitia Khusus terdiri atas 24 anggota, antara lain sebagai berikut.
1) 12 anggota Fraksi Karya Pembangunan.
2) 6 anggota Fraksi Partai Persatuan Pembangunan.
3) 4 anggota Fraksi ABRI.

6
Siti Sundari Rangkuti. 2000. Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional. Surabaya:
Airlangga University Press. (182).
4) 2 anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia.
5) Telah ditunjuk pula 24 anggota pengganti dengan komposisi yang sama.
Pada Tanggal 23 Januari 1982, Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan
Lingkungan Hidup menyampaikan Keterangan Pemerintah mengenai Rancangan
Undang-Undang Lingkungan Hidup, yang kemudian disusul dengan Pandangan Umum
Fraksi-fraksi yang dilaksanakan pada tanggal 2 Februari 1982, yang dimana jawaban
Pemerintah atas Pandangan Umum tersebut diberikan pada tanggal 15 Februari 1982
oleh Menteri Negara PPLH. Selanjutnya pembahasan tingkat III diadakan pada tanggal
17 Februari 1982 oleh PANSUS. Rapat-rapat Panitia khusus (PANSUS) diadakan pada
tanggal 17 sampai dengan 20 Februari 1982 secara terus-menerus untuk membahas
secara intensif mengenai RUU PPLH. Dengan sistem kerja nonstop tersebut dalam
waktu relative singkat hasil maksimal dapat dicapai. Untuk pertama kali dalam
pembahasan RUU telah diikutsertakan ahli bahasa Indonesia. 7 Pada tanggal 22 Februari
1982 PANSUS dapat menyetujui hasil perumusan Tim Perumus yang dibentuk oleh
PANSUS sendiri. Pada tanggal 25 Februari 1982 RUULH yang dimana telah
dirumuskan Kembali oleh PANSUS DPR diajukan ke sidang pleno DPR, dan dengan
aklamasi Rancangan Undang-Undang Lingkungan Hidup hasil PANSUS disetujui
melalui Sidang Paripurna DPR dengan ditetapkannya Undang-undang tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan lingkungan hidup. Selanjutnya pada tanggal
27 Februari 1982 Menteri Negara PPLH melaporkan kepada presiden mengenai segala
sesuatu yang berkaitan dengan proses penyelesaian Undang-Undang Lingkungan
Hidup tersebut. Pada tanggal 11 Maret 1982 telah disahkan Undang-undang Nomor 4
Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup
(UULH) dan diundangkan pada hari yang sama dengan penempatannya dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1982 Nomor 12, TLN RI No. 3215.
Kemudian, pada tanggal 19 September 1997, UULH disempurnakan dengan
diundangkannya Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup yang disingkat UUPLH. Pertimbangan utama penggantian UULH oleh UUPLH
adalah pada butir d pada konsiderans UUPLH bahwa penyelenggaraan pengelolaan
lingkungan hidup dalam rangka pembangunan berkelanjutan yang berwawasan
lingkungan hidup harus didasarkan pada norma hukum dengan memperhatikan tingkat
kesadaran masyarakat dan perkembangan lingkungan global serta perangkat hukum

7
Ibid, hlm. 182.
internasional yang berkaitan dengan lingkungan hidup. UUPLH diundangkan dalam
LNRI Tahun 1997 No. 68 dan TLNRI No. 3699.8 Rangkaian proses akhir dari
Rancangan Undang-Undang Lingkungan Hidup bertepatan dengan peristiwa penting
dalam bidang hukum lingkungan dimana diadakannya ad hoc meeting of senior
government officials expert in environmental law di Montevideo tepatnya tanggal 28
Oktober 1981. Dalam pertemuan ini para ahli hukum lingkungan tersebut berpendapat
bahwa: “…environmental law is an essential instrument for proper environmental
management and the improvement of the quality of life.”9 Program pengembangan dan
peninjauan secara berkala hukum lingkungan hendaklah action oriented dan diarahkan
kepada penyerasian pertimbangan pembangunan dan lingkungan menerima integrated
and coordinated approach in all aspect of environmental legislation and its
application.10 Pertemuan Montevideo menghasilkan kesepakatan bersama yang sangat
mendorong iklim bagi proses penyelesaian keberhasilan pengundangan Undang-
Undang Lingkungan Hidup. Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup (UUPLH) kemudian diperbaharui dengan Undang-Undang No. 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH)
yang disahkan oleh Presiden Dr. Haji Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 3
Oktober 2009 di Jakarta. UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup diundangkan oleh Menkumham Andi Mattalatta di Jakarta pada
tanggal 3 Oktober 2009.

II. Alasan Diajukannya RUU Lingkungan Hidup


Terdapat beberapa alasan yang mendasari disusunnya Rancangan Undang-Undang
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, antara lain sebagai berikut.
a) Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) III Bab 7 tentang Sumber Alam
dan Lingkungan Hidup, didalamnya memuat petunjuk mengenai diperlukannya
undang-undang yang berisi ketentuan-ketentuan pokok tentang masalah
lingkungan. Hal tersebut menunjukkan bawa pemerintah berkewajiban
mengusahakan terciptanya undang-undang tersebut terkhusus dalam kurun
waktu Repelita III. Petunjuk tersebut menyatakan bahwa “Sementara itu,

8
Ibid, hlm. 182.
9
Koesnadi Hardjasoemantri. 2002. Hukum Tata Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada University press. (62).
10
Ibid, hlm. 63.
bersamaan dengan pembuatan peraturan perundang-undangan secara sektoral
sesuai dengan kepentingan perlindungan dan pembangunan lingkungan hidup
di masing-masing bidang, perlu pula segera digarap suatu undang-undang yang
memuat ketentuan-ketentuan pokok tentang masalah lingkungan yang
menyangkut pengaturan:
1) pemukiman manusiawi dan lingkungan hidup;
2) pengelolaan sumber daya alam;
3) pencemaran lingkungan hidup;
4) yurisdiksi departemen-departemen di bidang lingkungan hidup.”
Selanjutnya, dalam hal merumuskan berbagai peraturan perundang-undangan
tersebut perlu diperhatikan asas serta prinsip-prinsip yang tertuang dalam
konvensi-konvensi internasional di bidang lingkungan hidup, dimana undang-
undang yang memuat asas serta prinsip-prinsip pokok tentang perlindungan dan
pengembangan lingkungan hidup yang disertai dengan sanksi-sanksinya akan
menjadi dasar bagi seluruh peraturan perundang-undangan lainnya yang
diciptakan secara sektoral. Perumusan undang-undang tersebut menjadi sebuah
urgensi untuk menghindari dan mengurangi kesimpangsiuran wewenang dan
tanggung jawab dalam pengelolaan sumber alam dan lingkungan hidup.
Keseluruhan dari peraturan perundang-undangan tersebut selanjutnya akan
membina suatu sistem hukum lingkungan nasional.
b) Peraturan perundang-undangan yang ada kurang memadai dimana tidak
memuat segi lingkungan hidup secara lebih mendalam. Sekarang masalah
lingkungan tidak lagi dapat dikatakan sebagai masalah yang semata-mata
bersifat alami, karena manusia memberikan faktor penyebab yang sangat
signifikan secara variabel bagi peristiwa-peristiwa lingkungan. Tidak bisa
disangkal bahwa masalah-masalah lingkungan yang lahir dan berkembang
karena faktor manusia jauh lebih besar dan rumit (complicated) dibandingkan
dengan faktor alam itu sendiri. 11 Selanjutnya, kesadaran lingkungan di kalangan
produsen selaku “perusak lingkungan potensial” dan di kalangan konsumen
masyarakat umum selaku “penderita kerusakan lingkungan potensial” telah
berkembang dan meningkat. Sehingga diperlukan pengembangan peraturan

11
Nina Herlina, S.H., M.H. (2015). Permasalahan Lingkungan Hidup dan Penegakan Hukum Lingkungan di
Indonesia. Jurnal Ilmiah Galuh Justisi, (3), hlm. 2-3.
perundang-undangan yang sesuai dengan kebutuhan dimana sejalan dengan
peningkatan kesadaran lingkungan dalam masyarakat.
c) Tahap industrialisasi telah memasuki Indonesia sejalan dengan pengembangan
pertanian dimana merupakan pelaksanaan pembangunan secara bertahap yang
memiliki tujuan, antara lain sebagai berikut.
1) Meningkatkan taraf hidup serta kesejahteraan seluruh masyarakat.
2) Meletakkan landasan yang kuat untuk pembangunan tahap lebih lanjut
atau berikutnya.
Sehingga dalam rangka peletakan landasan pembangunan yang kuat tersebut
disimpulkan urgensi mengusahakan pembangunan tanpa merusak lingkungan
serta mengelola sumber daya alam secara bijaksana dengan tujuan untuk dapat
menopang tahapan pembangunan jangka panjang.
d) Seperti yang tercantum dalam GBHN dimana bahwasanya arah pembangunan
jangka panjang tertuju kepada pembangunan “manusia” Indonesia, antara lain
sebagai berikut.
1) Mengejar kemajuan lahiriah, seperti pangan, sandang, perumahan,
kesehatan;
2) mengejar kepuasan batiniah, seperti pendidikan, rasa aman, bebas
mengeluarkan pendapat yang bertanggung jawab, rasa keadilan;
3) keselarasan, keserasian dan keseimbangan antara kemauan lahir dan
kepuasan batiniah tersebut di atas;
4) pembangunan yang merata di seluruh tanah-air dan benar-benar
dirasakan seluruh rakyat sebagai perbaikan tingkat hidup berkeadilan
sosial;
5) terciptanya keselarasan hubungan antara manusia dengan Tuhannya;
6) terciptanya keselarasan hubungan antara individu dengan masyarakat;
7) terciptanya keselarasan hubungan antara manusia dengan lingkungan
alam sekitarnya;
8) keserasian hubungan antara bangsa-bangsa;
9) keselarasan antara cita-cita hidup di dunia dan mengejar kebahagiaan di
akhirat;
10) kehidupan manusia dan masyarakat yang serba selaras sebagai tujuan
akhir pembangunan nasional yang secara ringkas disebut masyarakat
maju, adil, dan makmur berdasarkan Pancasila.
Sehingga disimpulkan pula tujuan pembangunan jangka panjang merupakan
keselarasan keserasan manusia dengan lingkungan hidup. Hal ini menunjukkan
sifat pembangunan mempunyai wawasan lingkungan hidup yang perlu diatur
dalam peraturan perundang-undangan. Kelangsungan keberadaan sumber daya
alam tergantung pada sejauh mana manusia mengakui dan melindungi nilai-
nilai ekologi, kendali iklim dan nilai sosial serta ekonominya.12 Dalam hal ini
pemerintah perlu melakukan kerja sama dengan dunia usaha, lembaga swadaya
masyarakat, ilmuwan, ahli teknologi, kelompok-kelompok masyarakat
setempat, penduduk asli, pemerintah setempat dan publik guna menciptakan
kebijaksanaan jangka panjang.13
Pada dasarnya diperlukan pengembangan hukum lingkungan yang bertumpu pada
strategi Sustainable Development, antara lain sebagai berikut.
a) Pemanfaatan sumber daya alam secara rasional.
b) Pembangunan tanpa merusak (Eco-Development).
c) Keterpaduan pengelolaan (Integrated Policy).
d) Keadilan antar dan inter generasi.
Hal-hal yang melatarbelakangi pembentukan hukum lingkungan di Indonesia, antara
lain sebagai berikut.
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
2) Deklarasi Stockholm (1972)
3) GBHN 1973
4) Deklarasi Rio De Janeiro 1992
5) GBHN 1993
6) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pengelolaan Lingkungan Hidup (UULH)
7) Undang-Undang Lingkungan Hidup. Undang-Undang No. 23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) kemudian diperbaharui
dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH)

12
Dr. Muhammad Sood, S.H., M.H. 2019. Hukum Lingkungan Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. (13).
13
Michael Keating. 2006. Bumi Lestari Menuju Abad 21 Agenda dan Hasil KTT Bumi. Jakarta: Konphlmindo.
(26-27).
Hukum Lingkungan Nasional (HLN) dibentuk berdasarkan falsafah Pancasila yang
tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 dan mencerminkan seluruh ketentuan dalam
UUD 1945 secara utuh. Selain itu, asas-asas maupun berbagai prinsip yang tertuang
dalam Deklarasi Stockholm maupun Deklarasi Rio De Janeiro perlu diadopsi dalam
perundang-undangan lingkungan nasional, antara lain sebagai berikut.
a. Prinsip tanggung jawab negara (state responsibility principle).
b. Jaminan adanya hak dasar atas lingkungan hidup yang baik dan sehat bagi setiap
orang (right to environment).
c. Prinsip keterpaduan pengelolaan lingkungan hidup (integrated policy).
d. Jaminan adanya hak berperan serta dalam pengelolaan lingkungan bagi setiap
orang baik sebagai individu maupun masyarakat (popular participation).
e. Jaminan terselenggaranya aksesibilitas pada informasi (right to information).
f. Prinsip kehati-hatian bagi setiap penyelenggaraan kegiatan dan/atau usaha yang
dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan (precautionary principle).
g. Prinsip pertanggungan beban biaya untuk mencegah pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan (pollution prevention pays principle).
h. Prinsip pencemar membayar (polluter pays principle).
i. Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability principle).
j. Penyelenggaraan pembangunan dan pemanfaatan sumber daya alam yang
berbasis keadilan inter dan antargenerasi.
k. Kewajiban bekerja sama (kemitraan).
l. Aksesibilitas pada teknologi lingkungan.
m. Hak bersama atas sumber daya alam lintas batas.
n. Jaminan hak untuk mengelola kepada masyarakat asli ataupun masyarakat
hukum adat atas sumber daya alam.

III. Fungsi Undang-Undang mengenai Lingkungan Hidup


Hukum lingkungan sudah dikenal secara luas di Indonesia. Pembangunan yang
berwawasan lingkungan mulai memperoleh tempat dalam GBHN pada PELITA II.
Perkembangan selanjutnya adalah diundangkannya Undang- Undang Nomor 4 Tahun
1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU LH),
yang merupakan undang-undang pengelolaan lingkungan hidup yang pertama
diundangkan di Indonesia setelah munculnya kesadaran global dan nasional tentang arti
pengelolaan lingkungan, yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PLH), juga dinyatakan tidak
berlaku oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). Dalam undang-undang tersebut terdapat
banyak prinsip dan pengertian hukum lingkungan yang masih memerlukan pengkajian
yang lebih mendalam. Upaya ini penting terutama sehubungan dengan penyusunan
peraturan perundang-undangan lingkungan sebagai tindak lanjut berlakunya UULH
sejak dasawarsa lingkungan hidup ke-2 (1982-1992) sejalan dengan gerakan nasional.14
UULH maupun UUPLH memuat asas dan prinsip pokok bagi pengelolaan lingkungan
hidup sehingga berfungsi sebagai payung (umbrella act) bagi penyusunan peraturan
perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan lingkungan hidup dan bagi
penyesuaian peraturan perundang-undangan yang telah ada.
UULH memuat ketentuan-ketentuan pokok sebagai berikut.
a. Pengelolaan lingkungan hidup berasaskan pelestarian kemampuan lingkungan
yang serasi dan seimbang untuk menunjang pembangunan yang
berkeseimbangan bagi peningkatan kesejahteraan manusia,
b. Tujuan pengelolaan lingkungan hidup ialah:
- Tercapainya keselarasan hubungan antara manusia dengan lingkungan
hidup sebagai bagian tujuan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya;
- Terkendalinya pemanfaatan sumber daya secara, bijaksana;
- Terwujudnya manusia Indonesia sebagai pembina lingkungan hidup;
- Terlaksananya pembangunan berwawasan lingkungan untuk kepentingan
generasi sekarang dan mendatang;
- Terlindunginya negara terhadap dampak kegiatan di luar wilayah negara
yang menyebabkan kerusakan dan pencemaran lingkungan.
c. Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta
berkewajiban memelihara lingkungan hidup dan mencegah serta
menanggulangi kerusakan dan pencemarannya. Dalam hubungan ini perlu
dikemukakan bahwa Pemerintah dapat membantu golongan ekonomi lemah
yang usahanya diperkirakan, telah merusak atau mencemari lingkungan
sehingga pembangunan lingkungan hidup dapat berlangsung searah dengan
pemerataan pembangunan.

14
Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional. Airlangga University
Press, Surabaya, 2000, hlm. 10.
d. Setiap orang mempunyai hak dan kewajiban untuk berperan serta dalam rangka
pengelolaan lingkungan hidup. Dalam kaitan ini lembaga swadaya masyarakat
tumbuh berperan sebagai penunjang pengelolaan lingkungan hidup dan
berkembang mendayagunakan dirinya sebagai sarana untuk mengikutsertakan
sebanyak mungkin anggota masyarakat dalam mencapai tujuan pengelolaan
lingkungan hidup.
e. Sebagai anggota masyarakat dunia maka langkah usaha di bidang lingkungan
hidup harus mempunyai makna bagi kehidupan antarbangsa. Oleh karena itu,
dalam kehidupan antarbangsa dikembangkan pula kebijaksanaan melindungi
dan mengembangkan lingkungan hidup sesuai dengan perkembangan kesadaran
lingkungan hidup umat manusia.
f. Pengelolaan lingkungan hidup menuntut dikembangkannya suatu sistem
dengan keterpaduan sebagai ciri utamanya. Lingkungan hidup terdiri dari
tatanan kesatuan dengan berbagai unsur lingkungan yang saling mempengaruhi.

IV. Kebijakan Lingkungan Hidup pada Undang-Undang di Indonesia


UULH diharapkan mampu menampung perkembangan baru di bidang hukum
lingkungan dan memiliki keluwesan yang diperlukan terhadap kebutuhan hukum.
Undang-undang tersebut praktis memuat semua segi pengelolaan lingkungan hidup,
sehingga dapat dijadikan dasar bagi pengaturan lebih lanjut dalam menghadapi
peningkatan pencemaran lingkungan di masa mendatang. Beberapa ketentuan Undang-
undang Lingkungan Hidup memuat prinsip-prinsip hukum lingkungan nasional
maupun internasional yang mempunyai implikasi terhadap pembangunan nasional,
yaitu :
a. Wawasan Nusantara
b. Hak atas lingkungan yang baik dan sehat
c. Prinsip pencemar membayar
d. Prinsip insentif dan disinsentif yang diwujudkan dalam bentuk pungutan
pencemaran
e. Sistem perizinan dan sanksi administrasi
f. Peran serta masyarakat dan keterpaduan
h. Ganti kerugian
i. Sanksi pidana15
Prinsip-prinsip hukum lingkungan tersebut diatas dituangkan sebagai
kebijaksanaan lingkungan dalam UULH dan memerlukan pengkajian yang dalam untuk
dapat dijabarkan lebih lanjut dalm peraturan perundang-undangan lingkungan sebagai
pelaksanaan UULH. Materi mengenai bidang lingkungan sangat luas, mencangkup
segi-segi dari angkasa sampai perut bumi dan dasar laut, dan meliputi sumber daya
manusia, dan lain sebagainya. Bidang yang demikian luas tidak mungkin diatur secara
lengkap dalam satu undang-undang tetapi memerlukan seperangkat peraturan
perundang-undangan dengan arah dan cirri yang serupa.16
Betapa sulitnya menyusun RUU yang mempunyai bobot pengaturan demikian
luasnya, mulai dari penuang pokok pikiran, sistematika materi sampai fase berlakunya
secara formal, tercermin dari proses pembentukan UULH. Apabila dibandingkan
dengan pembentukan undang-undang di masa lalu, terasa penting peran serta ahli
bahasa dan pusat pembinaan dan pengembangan bahasa, departemen pendidikan dan
kebudayaan (departemen pendidikan nasional) untuk membantu penyempurnaan
RUULH dari sudut bahasa Indonesia. Namun, sayangnya upaya ini tidak ditiru oleh
para konseptor UUPLH sewaktu mempersiapkan RUUPLH. Ketidakmampuan
demikian, ternyata masih terdapat beberapa hal yang kurang menunjukan kecermatan
dalam perancangan dan penyusunan konsep akhir RUULH tersebut, seperti misalnya 17:
a. Konsideran “mengingat”antara lain menyebutkan pasal 33 UUD 1945. Bila
diteliti dalam UUD 1945, ternyata pasal 33 merupakan bagian dari Bab XIV
kesejahteraan social, yang terdiri atas atas pasal 33 dan pasal 34. Pasal 33 adalah
pasal yang bertitik tolak pada penampilan prinsip/asas kehidupan ekonomi
bangsa dan Negara RI. Dan mengatur tentang lingkungan hidup. “Bumi dan air
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya” sebagai mana diatur dalam
pasal 33 ayat (1) merupakan unsur lingkungan hidup.
b. Pasal 8 seyogyanya berbunyi: “Pemerintah … upaya pelestarian
kemampuan lingkungan hidup (yang serasi dan seimbbang) untuk menunjang
pembangunan yang berkesinambungan”, karena ungkapan ini sudah merupakan
kesatuan pengertian yang utuh.

15
Koesnadi hardjasoemantri, Peraturan Perundang-Undangan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Andal,
kantor menteri Negara KLH, 1985
16
Ibid. Hal 9
17
Op Cit, Koesnadi Hardjasoemantri, hal. 261
c. Pasal 16 seyogyanya berbunyi: “ setiap rencan kegiatan yang diperkirakan
mempunyai dampak penting…” hal ini sesuai dengan penjelasan pasal tersebut,
bahwa yang menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup pada dasarnya
adalah semua usaha dan kegiatan pembangunan.
d. Pasal 20 ayat (1) dan ayat (3) redaksinya tidak konsisten: Ayat (1): barang
siapa … memikul tanggung jawab dengan kewajiban membayar ganti kerugian
kepada penderita …” Ayat (2): barang siapa … memikul tanggung jawab
membayar biaya pemulihan lingkungan hidup kepada Negara.” Istilah tanggung
jawab dalam pasal ini maksudnya adalah tanggung jawab dalam bidang perdata,
sedangkan perkataan dengan kewajiban dalam ayat (1) berlebihan sedangkan
dalam ayat (2) tidak dimuat.
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Berdasarkan materi-materi yang telah dipaparkan diatas, maka dapat disimpulkan
bahwa perkembangan hukum lingkungan tidak dapat dipisahkan dari gerakan sedunia untuk
memberikan perhatian lebih besar kepada lingkungan hidup, mengingat lingkungan hidup
menjadi masalah yang perlu ditanggulangi bersama demi kelangsungan hidup sedunia.
Pembangunan dan perlindungan lingkungan hidup di Indonesia menggunakan Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 pada alinea ke-4 sebagai kaidah dasar yang melandasi berdirinya
hal tersebut. Secara lebih konkritnya, pemikiran dasar tersebut dirumuskan dalam Pasal 33 ayat
(3) yang menyatakan bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pada saat
ini aturan yang menjadi sumber utama pengelolaan sumber daya alam Indonesia yaitu Pasal 33
ayat (3) UUD 1945 telah mengalami perubahan. Perubahan pada Pasal 33 tesebut yakni
terdapat penambahan ayat (4) dan (5) yang dimana dalam naskah perubahan (amendemen)
keempat telah disahkan oleh MPR-RI pada tanggal 10 Agustus 2002.
Dengan masuknya prinsip-prinsip keberlanjutan dan berwawasan lingkungan,
setidaknya dapat diartikan sebagai pengakuan akan pentingnya menjaga dan memelihara fungsi
lingkungan, termasuk Kebijakan Nasional (GBHN) MPR-RI untuk pengelolaan pengelolaan
daya dukung dan daya tamping. Namun, pada saat ini telah terjadi perubahan sistem
ketatanegaraan dan pemerintahan, yang dimana tidak ditetapkannya lagi perencanaan
pembangunan nasional (GBHN) melalui Ketetapan MPR dengan berlakunya Undang-Undang
No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.
Terkait dengan Sejarah Perundang-undangan Lingkungan di Indonesia, adapun
beberapa tahapan yang dilalui oleh perundang-undangan lingkungan di indonesia yakni mulai
dari Zaman Pemerintahan Hindia Belanda, Zaman Pendudukan Jepang, dan Zaman
kemerdekaan. Selanjutnya terkait dengan sejarah penyusunan hukum lingkungan modern di
indonesia Pada dasarnya Rancangan Undang-Undang (RUU) Lingkungan Hidup dimulai pada
tahun 1976 yang kemudian ditingkatkan dengan dibentuknya Kelompok Kerja Pembinaan
Hukum dan Aparatur dalam Pengelolaan Sumber Alam dan Lingkungan Hidup oleh Menteri
Negara PPLH (Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup) tepatnya pada bulan Maret
tahun 1979. Adapun alasan yang mendasari disusunnya Rancangan Undang-Undang tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup, karena Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) III Bab
7 tentang Sumber Alam dan Lingkungan Hidup, peraturan perundang-undangan yang ada
kurang memadai dimana tidak memuat segi lingkungan hidup secara lebih mendalam. Selain
itu karena tahap industrialisasi telah memasuki Indonesia sejalan dengan pengembangan
pertanian dan seperti yang tercantum dalam GBHN dimana bahwasanya arah pembangunan
jangka panjang tertuju kepada pembangunan “manusia” Indonesia.
Pada dasarnya UULH maupun UUPLH memuat asas dan prinsip pokok bagi
pengelolaan lingkungan hidup sehingga berfungsi sebagai payung (umbrella act) bagi
penyusunan peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan lingkungan hidup
dan bagi penyesuaian peraturan perundang-undangan yang telah ada. Undang-Undang
Lingkungan Hidup memuat prinsip-prinsip hukum lingkungan nasional maupun internasional
yang mempunyai implikasi terhadap pembangunan nasional, yaitu, wawasan nusantara; hak
atas lingkungan yang baik dan sehat; prinsip pencemar membayar; prinsip insentif dan
disinsentif yang diwujudkan dalam bentuk pungutan pencemaran; sistem perizinan dan sanksi
administrasi; peran serta masyarakat dan keterpaduan; ganti kerugian, dan sanksi pidana.
Prinsip-prinsip hukum lingkungan tersebutlah yang dituangkan sebagai kebijaksanaan
lingkungan dalam UULH.

3.2. Saran
Mengingat kesadaran masyarakat akan arti pentingnya pengelolaan lingkungan hidup
maka pemerintah harus lebih tegas akan sanksi apa yang diberikan kepada masyarakat yang
melakukan pelanggaran terhadap Undang-Undang yang mengatur terkait lingkungan hidup
sehingga dapat mencegah terjadinya perusakan dan pencemaran lingkungan hidup. Kepada
masyarakat diharapkan dapat tetap menjaga kebersihan lingkungan sekitar agar dapat
mencegah terjadinya pencemaran dan perusakan lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya

BUKU
Asshiddiqie, Jimly. 2010. Konstitusi dan Konstitusionalisme di Indonesia. Jakarta:
Sinar Grafik.
Dr. Muhammad Sood, S.H., M.H. (2019). Hukum Lingkungan Indonesia. Jakarta: Sinar
Grafika.
Hardjasoemantri, Koesnadi. (2002). Hukum Tata Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah
Mada University press.
Keating, Michael. (2006). Bumi Lestari Menuju Abad 21 Agenda dan Hasil KTT Bumi.
Jakarta:Konphlmindo.
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif &
Empiris, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rangkuti, Siti Sundari. (2000). Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan
Nasional. Surabaya: Airlangga University Press.

JURNAL
Nina Herlina, S.H., M.H. (2015). Permasalahan Lingkungan Hidup dan Penegakan
Hukum Lingkungan di Indonesia. Jurnal Ilmiah Galuh Justisi, 2-3.
Rispalman. (2018). Sejarah Perkembangan Hukum Lingkungan di Indonesia. Jurnal
Dusturiah. VOL.8. NO.2, 189-190.
Sutrisno. (2011). Politik Hukum Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Jurnal Hukum 3, 444-464.
TUGAS HUKUM LINGKUNGAN
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN LINGKUNGAN DI
INDONESIA SEBELUM BERLAKUNYA UU NO.32 TAHUN
2009

KELOMPOK 5
Ni Putu Intan Noviyanthi Muliartha (2004551057)
Sarmila Handri (2004551069)
Kadek Ayu Maharani (2004551070)
Kadek Sandra Putri Saniamarani (2004551088)

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
Daftar Isi
I. Pendahuluan ................................................................................................................. 1

1.1.Latar Belakang .............................................................................................................. 1

1.2.Rumusan Masalah ........................................................................................................ 4

1.3.Tujuan Penulisan............................................................................................................ 4

II. Pembahasan .................................................................................................................. 4

2.1.Peraturan Perundang-Undangan Sebelum UU No. 32 Tahun 2009 Pra Kemerdekaan


Indonesia ........................................................................................................................ 4

2.2. Peraturan Perundang-Undangan Sebelum UU No. 32 Tahun 2009 Pasca


Kemerdekaan Indonesia ................................................................................................ 8

III. Kesimpulan ................................................................................................................. 22

IV. Daftar Pustaka ........................................................................................................... 25


PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN LINGKUNGAN DI
INDONESIA SEBELUM BERLAKUNYA
UU NO.32 TAHUN 2009

I. Pendahuluan
1.1.Latar Belakang Masalah
Laju pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat bersamaan dengan
perkembangan pembangunan yang semakin pesat di berbagai sektor kehidupan
menjadikan lingkungan hidup semakin teracam kelestariannya dan semakin
menurunkan kualitasnya. Ruang di muka bumi ini dapat dikatakan terbatas dan
jumlahnya yang relatif tetap, sehingga lingkungan hidup perlu untuk dilindungi,
dijaga dan dikelola sedemikian rupa untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat,
memberikan manfaat bagi generasi sekarang tanpa mengorbankan kebutuhan
generasi yang akan datang. Lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak
asasi manusia sebagaimana yang termuat pada Pasal 28 H ayat (1) Undang -
Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam perkembangannya hak
atas lingkungan hidup yang baik dan sehat ini kemudian dipertegas dalam Undang-
Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia sebagai bentuk
reformasi dalam rangka memperbaiki kondisi lingkungan hidup bangsa dan negara
yang terpuruk. Hak atas lingkungan hidup merupakan hak dasar yang melekat pada
diri manusia, bersifat kodrati dan universal.1 Lingkungan hidup menyediakan
segala bentuk kebutuhan hidup manusia demi kelangsungan hidupnya. Kehidupan
manusia sangat bergantung pada ketersediaan sumber daya alam yang memadai
dalam lingkungan hidup.
Upaya perlindungan lingkungan hidup akan berimbas pula pada penegakan
hukum terhadap Hak Asasi Manusia khususnya yang berhubungan dengan hak
yang bersifat absolut yaitu hak untuk hidup. Hak untuk hidup meliputi hak untuk
mendapat hidup dan penghidupan yang layak melalui lingkungan yang baik dan

1
Tri, Ignas, Roni Giandono, Jadikan Bumi dan Hijau, (Jakarta Pusat, Sub Komisi EKOSOB Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia).

1
sehat. Kriteria hak lingkungan yang baik dan sehat tersebut adalah hak atas
lingkungan sehat, hak kehidupan yang sehat, hak perlindungan property serta hak
perlindungan bagi masyarakat pedalaman.2 Dari waktu ke waktu perusakan
lingkungan terus terjadi seperti polusi, pembuangan limbah sembarangan,
penggundulan hutan, perampasan sumber daya alam hingga pencemaran baik air,
udara maupun tanah yang berpotensi berujung pada pembunuhan ekosistem dan
mengancam manusia kehilangan hak - hak hidupnya. Dalam lingkungan hidup
terdapat materi kehidupan tentang hak-hak dasar manusia (basic rights), prinsip
keadilan lingkungan (environmental justice), dan akses yang setara terhadap
sumber - sumber kedidupan.3 Dengan demikian, suatu negara harus dapat
menbentuk produk hukum yang mengandung pengaturan perlindungan terhadap
lingkungan hidup agar sekaligus dapat menjamin penegakan hak asasi manusia.
Sesungguhnya pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia sudah berlaku
dan dimuat dalam kaidah yuridis normatif sejak zaman pemerintahan Hindia
Belanda, zaman pendudukan Jepang dan kemerdekaan. Tak sampai disana saja,
perhatian terhadap masalah lingkungan hidup yang semakin kompleks di seluruh
belahan dunia mendorong kalangan dewan ekonomi dan sosial PBB untuk
membahas mengenai kemungkinan diselenggarakannya suatu konfrensi
Internasional mengenai lingkungan hidup yang diselenggarakannya di Stockholm
pada tanggal 5 hingga 16 Juni 1972 yang diikuti oleh 113 negara dengan
menghasilkan Deklarasi Stockholm. Deklarasi Stockholm 1972 melahirkan prinsip-
prinsip hukum terkait dengan kedudukan manusia terhadap lingkungan dan
merupakan peristiwa penting yang bersejarah bagi perkembangan hukum
lingkungan4. Setelah Deklarasi Stockholm kemudian muncul beberapa deklarasi -
deklarasi yang ikut serta menyuarakan pentingnya lingkungan hidup terhadap
ekologi diantaranya Deklarasi Nairobi Tahun 1982, Deklarasi Rio De Jeneiro
Tahun 1992 dan Deklarasi Johannesburg Tahun 2002.

2
Sodikin, Hak Atas Lingkungan Hidup yang Baik dan Sehat pada Masyarakat Sidoarjo, dalam
https://publikasiilmiah.ums.ac.id/handle/11617/9470, diakses pada tanggal 1 Mei 2022.
3
Tri, Ignas, Roni Giandono, Jadikan Bumi dan Hijau, (Jakarta Pusat, Sub Komisi EKOSOB Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia).
4
Fadli, Moh, Mukhlish, dan Lutfi, Mustafa, Hukum dan Kebijakan Lingkungan, (Malang, UB Press,
2016), 9.

2
Melihat gencarnya dunia internasional mengumandangkan perhatiannya
terhadap urgensi lingkungan hidup, maka sejalan dengan itu dalam rangka
menyambut diselenggarakannya masing - masing konfrensi Internasional mengenai
lingkungan hidup tersebut maka Indonesia pun mulai membahas masalah
lingkungan hidup tingkat nasional pada Seminar yang dilaksanakan di Bandung
oleh Universitas Padjajaran. Berpijak dari terlaksananya seminar tersebut maka
pemerintah mulai bergerak untuk memasukan prinsip - prinsip hukum mengenai
lingkungan hidup ke dalam hukum nasional yang dilanjutkan dengan pengangkatan
seorang menteri untuk menangani masalah lingkungan hidup.
Berbagai dinamika telah dilalui, hingga akhirnya pada tanggal 11 Maret
1982, Indonesia berhasil menerbitkan sebuah produk hukum terkait pengelolaan
lingkungan yaitu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kemudian dengan banyaknya
perkembangan tentang konsep dan pemikiran atas masalah lingkungan dengan terus
menyesuaikan hasil dari konfrensi internasional mengenai lingkungan hidup maka
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 dirasa sudah tidak mampu lagi menjangkau
perkembangan yang ada hingga akhirnya resmi dicabut dan perlu dilakukan
peninjauan kembali. Dalam rangka memperbaharui produk hukum sebelumnya
agar sesuai dengan perkembangan masalah lingkungan hidup yang semakin
komples maka diterbitkannya Undang - Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dinamika memang akan selalu ada selama
manusia masih terus berkembang, dengan demikian Undang Nomor 23 Tahun 1997
dalam implementasinya dinyatakan tidak mampu menampung berbagai
perkembangan lingkungan hidup dan berujung pencabutan. Revisi demi revisi terus
dilakukan demi menghasilkan produk hukum yang benar - benar dapat melindungi
kepentingan masyarakat, maka diterbitkanlah Undang - Undang Nomor 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang berlalu hingga
sekarang.
Berdasarkan pada prinsip-prinsip hukum tersebut, dapat dibenarkan bahwa
kehadiran dan keberadaan hukum lingkungan itu menunjukkan kedudukan antara
alam dan lingkungan yang begitu substansi dalam kaitannya dengan manusia,

3
sehingga harus dihargai dan di lindungi agar tetap eksistensinya dapat
berdampingan dengan baik dalam kehidupan manusia. Undang-undang dan segala
bentuk produk hukum tentu akan menjadi alat pengendali (a tool of control)
hubungan antara manusia dengan lingkungan hidup.5

1.2.Rumusan Masalah
1.2.1. Bagaimana Pengaturan Peraturan Perundang-Undangan Lingkungan di
Indonesia Sebelum Berlakunya UU NO. 32 Tahun 2009 Sebelum Masa
Kemerdekaan Indonesia?
1.2.2. Bagaimana Pengaturan Peraturan Perundang-Undangan Lingkungan di
Indonesia Sebelum Berlakunya UU NO. 32 Tahun 2009 Setelah Masa
Kemerdekaan Indonesia?

1.3.Tujuan Makalah
1.3.1. Mengetahui Pengaturan Peraturan Perundang-Undangan Lingkungan di
Indonesia Sebelum Berlakunya UU NO. 32 Tahun 2009 Sebelum Masa
Kemerdekaan Indonesia.
1.3.2. Mengetahui Pengaturan Peraturan Perundang-Undangan Lingkungan di
Indonesia Sebelum Berlakunya UU NO. 32 Tahun 2009 Setelah Masa
Kemerdekaan Indonesia.

II. Pembahasan
2.1. Peraturan Perundang-Undangan Sebelum UU No. 32 Tahun 2009 Pra
Kemerdekaan Indonesia
Pada dasarnya di Indonesia sudah dikenal organisasi yang berhubungan dengan
lingkungan hidup, dimana sudah ada lebih dari sepuluh abad yang lalu. Ini bisa
dilihat pada prasasti Jurunan tahun 876 Masehi diketahui adanya jabatan
“Tuhalas” yakni pejabat yang mengawasi hutan atau alas, yang kira-kira identik
dengan jabatan petugas Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (PHPA).

5
Fadli, Moh, Mukhlish, dan Lutfi, Mustafa, Hukum dan Kebijakan Lingkungan, (Malang, UB
Press, 2016), 9.

4
Kemudian prasasti Haliwagbang pada tahun 877 Masehi menyebutkan adanya
jabatan “Tuhaburu” yakni pejabat yang mengawasi masalah perburuan hewan
di Hutan.6
Tercatat dalam sejarah bahwa pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia
sudah dilakukan dan diatur dalam kaidah yuridis normatif. Dan itu dimulai sejak
masa Hindia Belanda, masa Jepang dan masa Kemerdekaan. Masing-masing
memiliki cirikhas yang berbeda-beda selaras degan sudut pandang dan sangat
terkait dengan “kebijakan pembangunan lingkungan hidup” yang dicanangkan saat
itu. Meskipun begitu, secara global bisa disimpulkan bahwa terdapat berbagai hal
yang mempengaruhi tingkat kepedulian pada pengelolaan lingkungan hidup yang
diwujudkan pada perangkat hukum. Yaitu faktor-faktor semisal kondisi politik,
situasi sosial budaya dan ekonomi, serta kualitas sumber daya manusia hingga isu
globalisasi.
Perkembangan perundang-undangan lingkungan dimasa sebelum
kemerdekaan untuk lebih jelasnya dibagi menjadi 2 periode yaitu zaman
pemerintahan belanda dan zaman pendudukan jepang sebagai berikut:
1. Zaman Pemerintahan Hindia Belanda
Apabila diperhatikan peraturan perundang-undangan pada waktu zaman
Hindia Belanda sebagaimana tercantum dalam Himpunan Peraturan Perundang-
undangan di bidang Lingkungan Hidup yang disusun oleh Panitia Perumus dan
Rencana Kerja bagi Pemerintah di bidang Pengembangan Lingkungan Hidup dan
diterbitkan pada tanggal 5 Juni 1978 maka dapatlah dikemukakan bahwa yang
pertama kali diatur adalah mengenai perikanan mutiara dan perikanan bunga
karang, yaitu Parelvisscherij, Sponsenvisscherij ordonnantie (Stbl. 1926 No. 157),
dikeluarkan di Bogor oleh Gubernur Jenderal Idenburg pada tanggal 29 Januari
1916.

6 Muhammad Erwin, Hukum Lingkungan dalam Sistem Kebijaksanaan Pembangunan Lingkungan


Hidup (Bandung: Refika Aditama, 2011), hal. 2.

5
Ordonansi tersebut memuat peraturan umum dalam rangka melakukan perikanan
siput mutiara, kulit mutiara, teripang, dan bunga karang dalam jarak tidak lebih dari
3 mil-laut Inggris dari pantai-pantai Hindia Belanda (Indonesia).7
Pada tanggal 26 Mei 1920, dengan penetapan Gubernur Jenderal No. 86,
telah diterbitkan Visscherijordonnantie (Stbl. 1920 No. 396), yaitu peraturan
perikanan untuk melindungi keadaan ikan.
Adapun yang dimaksud dengan ikan meliputi pula telur ikan, benih ikan,
dan segala macam kerang-kerangan. Dalam Pasal 2 ditentukan bahwa menangkap
ikan dengan bahan-bahan beracun, bius atau bahan-bahan peledak dilarang.
Ordonansi lain di bidang perikanan adalah Kustvischerijordonnantie (Stbl.
1927 No. 144), berlaku sejak tanggal 1 September 1927. Ordonansi Perikanan telah
dicabut dengan Undang-undang No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan yang
diundangkan pada tanggal 19 Juni 1985.
Ordonansi yang sangat penting bagi lingkungan hidup adalah Hinder
ordonnantie (Stbl. 1926 No. 226), yang diubah/ditambah, terakhir dengan Stbl.
1940 No. 450), yaitu Ordonansi Gangguan.8 Di dalam Pasal 1 ditetapkan larangan
mendirikan tanpa izin tempat-tempat usaha yang perincian jenisnya dicantumkan
dalam ayat (1) pasal tersebut, meliputi 20 jenis perusahaan. Di dalam ordonansi ini
ditetapkan pula berbagai pengecualian atas larangan ini. Di bidang perusahaan telah
dikeluarkan Berdrijfsreglementeringsordonnantie 1934 (Stbl. 193 8 No. 86 jo. Stbl.
1948 No. 224).
Ordonansi yang penting di bidang perlindungan satwa adalah
Dierenbechermings- ordonnantie (Stbl. 1931 No. 134), yang mulai berlaku pada
tanggal I Juli 1931 untuk seluruh wilayah Hindia Belanda (Indonesia). Berkenaan
dengan ordonansi ini adalah peraturan tentang perburuan, yaitu Jacht- ordonnantie
1931 (Stbl. 1931 No. 133) dan Jachtordonnantie Java en Madura sejak Tanggal 1
Juli 1940.

7 Koesnadi Hardjasoemantri dan Harry Supriyono, Hukum Lingkungan (Jakarta: Universitas


Terbuka, 2006), hal. 24.
8 Erwin, Hukum Lingkungan dalam Sistem Kebijaksanaan Pembangunan Lingkungan Hidup, hal.
3.

6
Ordonansi yang mengatur perlindungan alam adalah Natuurbeschermings
ordonnantie 1941 (Stbl. 1941 No. 167). Ordonansi ini mencabut ordonansi yang
mengatur cagar-cagar alam dan suaka-suaka margasatwa, yaitu Natuurmonumenten
en Wildreservatenordonnantie 1932 (Stbl. 1932 No. 17) dan mengantarkannya
dengan Natuurbeschermingsordonantie 1941 tersebut.
Ordonansi tersebut dikeluarkan untuk melindungi kekayaan alam di Hindia
Belanda (Indonesia). Peraturan-peraturan yang tercantum di dalamnya berlaku
terhadap suaka-suaka alam atau natuurmonumenten, dengan pembedaan atas suaka-
suaka margasatwa dan cagar-cagar alam.
Semua ordonansi di bidang perlindungan alam dan satwa tersebut di atas
telah dicabut berlakunya dengan diundangkannya UU No. 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya pada tanggal 10 Agustus
1990.
Dalam hubungan dengan pembentukan kota telah dikeluarkan Stadsordonnantie
(Stbl. 1948 No. 168), disingkat SVO, yang mulai berlaku pada tanggal 23 Juli 1948.
Berbagai ordonansi tersebut telah dijabarkan lebih lanjut dalam
verordeningen, misalnya Dierenbeschermings verordening (Stbl. 1931 No. 266);
berbagai Bedrijfsreglementerings verordeningen logam, pabrik es, pengolahan
kembali karet, pengasapan karet, perusahaan tekstil; Jachtverordening Java en
Madura 1940 (Stbl. 1940 No. 247 jo. Stbl. 1941 No. 51); dan
Stadsvormingsverordening, disingkat SVV (Stbl. 1949 No. 40). Begitu pula
terdapat peraturan tentang air, yaitu Algemeen Waterreglement (Stbl. 1936 No. 489
jo. Stbl. 1949 No. 98).
2. Zaman pendudukan jepang
Pada waktu zaman pendudukan Jepang hampir tidak ada peraturan
perundang-undangan di bidang lingkungan hidup yang dikeluarkan, kecuali Osamu
S. Kanrei No. 6, yaitu mengenai larangan menebang pohon aghata, alba, dan balsem
tanpa izin Gunseikan.
Peraturan perundang-undangan di waktu itu terutama ditujukan kepada
memperkuat kedudukan penguasa Jepang.

7
Ada kemungkinan larangan tersebut di atas dikeluarkan untuk
mengamankan ketiga jenis pohon tersebut karena kayunya ringan dan sangat kuat.
Kayu agata, alba, dan balsem merupakan bahan baku untuk pembuatan pesawat
peluncur (gliders) dan pesawat peluncur pada waktu zaman pendudukan Jepang
sering digunakan untuk mengangkut logistik tentara.9

2.2.Peraturan Perundang-Undangan Sebelum UU No. 32 Tahun 2009


Pasca Kemerdekaan Indonesia

1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Pokok Pengelolaan


Lingkungan Hidup
Penyusunan RUU Lingkungan Hidup telah dimulai tahun 1979 dengan
dibentuknya Kelompok Kerja Pembinaan Hukum dan Aparatur dalam Pengelolaan
Sumber Alam dan Lingkungan Hidup dalam pada Maret 1979 oleh Menteri Negara
PPLH. Hal ini sejalan dengan gerakan kepedulian lingkungan hidup sedunia yang
ditandai dengan disepakatinya berbagai deklarasi dan konvensi internasional yang
telah menunjukkan komitmen Indonesia dalam rangka pengembangan Hukum
Lingkungan Nasional. Adapun kaidah dasar yang melandasi Pembangunan dan
Perlindungan Lingkungan Hidup Indonesia tertuang dalam Pembukaan UUD NRI
Tahun 1945 pada alinea ke-IV yang menegaskan "Kewajiban Negara" dan "Tugas
Pemerintah" untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dalam lingkungan hidup
Indonesia untuk kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia dan segenap umat manusia.
Kemudian, pemikiran tersebut dirumuskan lebih konkrit dalam Pasal 33 ayat (3)
UUD NRI Tahun 1945 yang mengatur bahwa "Bumi dan air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat." Jelaslah ketentuan tersebut memberikan hak
penguasaan kepada negara atas seluruh sumber daya alam Indonesia dan
memberikan kewajiban kepada negara untuk menggunakannya bagi sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Ketentuan-ketentuan dasar tersebut dijabarkan dalam

9
Hardjasoemantri dan Supriyono, Hukum Lingkungan, hal. 25.

8
Ketetapan MPR RI No. IV Tahun 1978 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara,
dengan penjabaran yang lebih terperinci dalam Keputusan Presiden RI No. 7 Tahun
1979 tentang Repelita III Bab VII Pengelolaan Sumber Alam dan Lingkungan
Hidup.10
Pembinaan lingkungan hidup dari segi yuridis di Indonesia pada mulanya
tertuang dalam Keputusan Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan
Lingkungan Hidup No.KEP-006//MNPPLH/3/1979 tentang pembentukan
kelompok kerja dalam Bidang Pembinaan Hukum dan Aparatur dalam Pengelolaan
Sumber Alam dan Lingkungan Hidup (Pokja Hukum). Pokja hukum dalam hal ini
bertugas untuk menyusun rancangan peraturan perundang-undangan yang
mengatur ketentuan-ketentuan pokok tentang tata pengelolaan sumber alam dan
lingkungan hidup. Hasil perumusan oleh pokja tersebut merupakan konsep rintisan
dari Rancangan Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Setelah
mengalami pembahasan pada Maret 1981, RUU tersebut disempurnakan oleh suatu
tim kerja Kantor Menteri Negara PPLH yang kemudian diajukan ke forum antar
departemen pada tanggal 16 s.d. 18 Maret 1981 untuk dibahas dan memperoleh
persetujuan dari menteri yang bersangkutan. Selanjutnya, RUU tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup berhasil diajukan pada sidang
DPR bulan Januari 1982 dengan Surat Presiden No. R.01/PU/I/1982 tanggal 12
Januari 1982 untuk mendapatkan persetujuan pada tahun 1982. Pada tanggal 25
Februari 1982 RUULH yang telah dirumuskan kembali oleh PANSUS DPR
diajukan ke sidang pleno DPR dengan aklamasi menetapkan Undang-undang
tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Akhirnya,
pada tanggal 11 Maret 1982, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup telah disahkan dengan
penandatanganan oleh Presiden Republik Indonesia dan diundangkan pada hari
yang sama dengan penetapannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1982 Nomor 12. 11

10
Koesnadi Hardjasoemantri, “Peraturan Perundang-Undangan Pengelolaan Lingkungan Hidup
dan Andal” Jurnal Hukum dan Pembangunan, Vol. 15 No. 2 (April, 1985), hlm. 119-120.
11
Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional (Surabaya:
Airlangga University Press, 2000), hlm. 182.

9
Lahirnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup merupakan tonggak awal dan
sejarah baru bagi pembangunan hukum lingkungan nasional di Indonesia dengan
menganut Hukum Lingkungan Modern. Hadirnya UUPLH 1982 ini dipandang
sebagai sebuah momentum penting dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia
khususnya berkaitan dengan pengaturan hukum lingkungan secara modern di
Indonesia, hal ini dikarenakan eksistensinya selain sebagai payung hukum, erat
kaitannya juga dengan aktivitas pembangunan nasional yang secara nyata dapat
mengancam bahkan merusak kelestarian fungsi lingkungan hidup. Menurut
pandangan Daud Silalahi,12 UUPLH 1982 mengandung prinsip-prinsip hukum
lingkungan modern yang menjadi dasar bagi pengaturan pelaksanaannya lebih
lanjut, baik di tingkat pusat maupun daerah dari semua segi atau aspek lingkungan,
dan menjadi landasan untuk menilai dan menyesuaikan semua peraturan
perundang-undangan yang memuat ketentuan tentang segi-segi lingkungan hidup
yang telah berlaku, seperti perundang-undangan di bidang pengairan,
pertambangan dan energi, kehutanan, industri dan lainnya. Dengan
diundangkannya Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 dimulailah suatu tahap baru
dalam konstelasi hukum di Indonesia yaitu pengembangan peraturan perundang-
undangan yang diarahkan kepada produk-produk hukum yang berorientasi kepada
lingkungan itu sendiri atau environment oriented law. Hal ini tercermin dalam asas
hukum lingkungan dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 pada Pasal 3, yang
mengatur bahwa “Pengelolaan lingkungan hidup berasaskan pelestarian
kemampuan lingkungan yang serasi dan seimbang untuk menunjang pembangunan
yang berkesinambungan bagi peningkatan kesejahteraan manusia”. Berdasarkan
rumusan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pasal ini mengandung 3 (tiga) asas
hukum lingkungan, yaitu:
1) Pengelolaan lingkungan hidup berasaskan pelestarian kemampuan yang
serasi dan seimbang;

12
Daud Silalahi, Hukum Lingkungan dalam Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia, Edisi
Ketiga (Bandung: Alumni, 1996), hlm. 32.

10
2) Pengelolaan dimaksud merupakan upaya yang menunjang pembangunan
yang berkesinambungan; dan
3) Peningkatan kesejahteraan manusia.
Pencantuman pembangunan yang berkesinambungan dalam Pasal 3
Undang-Undang No. 4 Tahun 1982, secara sederhana dapat diterjemahkan sebagai
integrasi dari prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development).
Perbedaan kata “berkesinambungan” dan “berkelanjutan” pada dasarnya tidak
menunjukkan perbedaan makna. Hal ini karena kedua makna kata dimaksud
menunjukkan sifat yang menghubungkan satu peristiwa di waktu lampau yang terus
berlanjut hingga kini dan masa datang.13 Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
sifat dan ciri dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 menonjolkan dua macam
segi, yaitu:
1) Sederhana tapi dapat mencakup kemungkinan perkembangan di masa
depan, sesuai dengan keadaan, waktu dan tempat. Undang-undang ini hanya
memberikan pengaturan secara garis besar dalam pokok pokoknya saja,
sedangkan aturan lebih terperinci diatur dalam berbagai peraturan
pelaksanaannya, salah satunya yakni PP No. 29 Tahun 1986 tentang
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan;
2) Mengandung ketentuan ketentuan pokok sebagai dasar bagi peraturan
pelaksanaannya lebih lanjut. Undang-undang ini tidak mengatur tentang
lingkungan hidup secara keseluruhan, akan tetapi hanya mengatur segi
pengelolaan lingkungan hidup. Oleh karena masalah lingkungan hidup
begitu luas, maka pengaturannya sulit dituangkan secara mendalam dalam
undang-undang, sehingga sifat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982
hanya mengatur ketentuan-ketentuan pokok tentang pengelolaan
lingkungan hidup yang memberi arah dan ciri-ciri bagi semua segi
lingkungan hidup untuk diatur dengan perundang-undangannya sendiri.14

13
Laode M. Syarif, & Andri G. Wibisana, Hukum Lingkungan: Teori, Legislasi, dan Studi Kasus,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010), hlm. 76-77.
14
Ketut Meta, “Perspektif Historis dan Perbandingan Pengaturan Masalah Lingkungan Hidup di
Indonesia”, Jurnal Cakrawala Hukum, Vol. 6 No. 1 (Juni, 2015), hlm. 67-68.

11
Selain itu, undang-undang ini akan menjadi landasan untuk menilai dan
menyesuaikan semua peraturan perundangan yang memuat ketentuan tentang segi
segi lingkungan hidup lainnya yang berlaku, seperti peraturan perundang-undangan
mengenai pengairan, pertambangan dan energi, kehutanan, perlindungan dan
pengawetan alam industri, pemukiman, tata ruang, tata guna tanah dan lainnya.
Dengan demikian, semua peraturan perundang-undangan tersebut termuat dalam
satu sistem hukum lingkungan Indonesia dengan tujuan untuk tercapainya
kemampuan lingkungan hidup yang serasi dan seimbang. Hal ini patut untuk
dilestarikan, sehingga setiap perubahan yang diadakan selalu disertai dengan upaya
mencapai keserasian dan keseimbangan lingkungan hidup pada tingkat yang baru.
Adanya pelestarian kemampuan lingkungan hidup yang serasi dan seimbang
membawa kepada keserasian antara pembangunan dan lingkungan hidup, sehingga
keduanya tidak dapat dipertentangkan satu sama lainnya.
Siahaan N.H.T.15 memaparkan bahwa kehadiran UUPLH 1982 tersebut
dinilai begitu penting karena lahir dalam situasi yang dapat digambarkan sebagai
berikut. Pertama, Indonesia saat itu sedang giatnya melancarkan pembangunan
nasionalnya di semua bidang kehidupan. Adapaun kebijakan yang diambil untuk
tujuan membangun, UUPLH 1982 ini selalu berhadapan dengan aspek ekologi
lingkungan hidup. Kedua, bahwa UUPLH 1982 adalah undang-undang pokok yang
merupakan dasar peraturan pelaksanaan bagi semua sektor yang menyangkut
lingkungan hidup. UUPLH 1982 disusun untuk dapat berfungsi sebagai ketentuan
payung (umbrella provision) bagi penyusunan peraturan-peraturan perundang-
undangan tentang lingkungan hidup lainnya baik peraturan-peraturan lingkungan
hidup yang sudah ada (lex lata) maupun bagi pengaturan lebih lanjut (lex feranda)
atas lingkungan hidup. Dikatakan pula bahwa sifat Undang-Undang Lingkungan
Hidup yang disusun itu secara khusus memberikan arah dan ciri ciri bagi semua
jenis tata pengaturan lingkungan hidup yang perlu dituangkan dalam bentuk
peraturan perundang-undangan tersendiri. Ketiga, bahwa corak ekologis Indonesia
sangat spesifik, yakni merupakan wilayah kepulauan yang terdiri dari dua pertiga

15
Moh. Fadli, Mukhlish, & Mustafa Lutfi, Hukum dan Kebijakan Lingkungan (Malang: UB Press,
2016), hlm. 35.

12
wilayah laut yang terletak antara benua Asia dan Australia serta samudera Hindia
dan Pasifik. Indonesia yang juga kaya dengan sumber daya alamnya itu dihuni oleh
penduduk dengan berbagai macam suku, budaya, agama, tingkatan sosial ekonomi
dan lain-lain.
Moestadji16 mengemukakan bahwa diundangkannya UUPLH 1982 tersebut
menimbulkan kegembiraan dan disertai harapan akan terlestarikannya kemampuan
lingkungan hidup yang menjadi tumpuan kesejahteraan dan mutu hidup
masyarakat. Harapan terlestarikannya kemampuan lingkungan hidup itu sangat
menyentuh hati nurani, bahkan merupakan dambaan setiap umat manusia dengan
mengandung nilai moral yang bersifat universal. Terlestarikannya kemampuan
lingkungan hidup yang serasi dan seimbang adalah menjadi dasar pengelolaan
lingkungan hidup di tengah gencarnya pembangunan nasional pada waktu itu.
Pembangunan nasional dalam semua aspek kehidupan, termasuk di bidang
pengelolaan lingkungan hidup yang dicanangkan oleh pemerintah pada waktu itu,
tentu saja akan dapat membawa dampak yang kurang baik terhadap lingkungan
hidup. Hal ini dapat terjadi apabila proses pembangunan hanya berorientasi pada
kepentingan-kepentingan ekonomi dengan mengabaikan fungsi kelestarian dan
kemampuan lingkungan hidup.
Sejalan dengan pendapat yang dikemukakan Koesnadi Hardjasoemantri 17
bahwa dalam proses pembangunan nasional harus dilakukan suatu upaya untuk
meniadakan atau mengurangi dampak negatif tersebut, sehingga keadaan
lingkungan hidup menjadi serasi dan seimbang lagi. Dalam konteks pembangunan
nasional, upaya pengelolaan lingkungan hidup disadari membutuhkan adanya
dukungan perangkat hukum seperti UUPLH 1982. Bahkan, secara teoritis dan
praktis, disepakati bahwa kehadiran UUPLH 1982 berfungsi sebagai ketentuan
“payung”, baik bagi penyusunan peraturan baru maupun penyesuaian terhadap
peraturan lama. Kesepakatan ini diharapkan untuk menghindarkan tumpang tindih
penyusunan dan penyempurnaan peraturan lain yang bertentangan dengan

16
Ibid, hlm. 36.
17
Ibid, hlm. 37.

13
Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH 1982)
sebagai landasan instrumen hukumnya.
Berkaitan dengan lahirnya UUPLH 1982 tersebut, secara objektif dapat
dipahami mengenai aktivitas pembangunan nasional yang meliputi berbagai macam
bidang kehidupan itu, cepat atau lambat berdampak pada kondisi lingkungan hidup.
Oleh karena itu, diundangkannya UUPLH 1982 selain sebagai ketentuan payung,
juga menjadi dasar pijakan pengelolaan lingkungan hidup dalam rutinitas
pembangunan nasional. Dengan demikian, kerusakan atau pencemaran lingkungan
hidup secara teoritis atau praktis diharapkan dapat dicegah melalui penerapan
perangkat hukum di bidang lingkungan hidup tersebut.18 Kendati demikian, yang
perlu menjadi perhatian bersama bahwa keberlakuan Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1982 ini harus dianggap bukan sebagai konsep yang final karena tidak luput
dari berbagai kekurangan dan kekurangannya itu akan semakin tampak seiring
berjalannya waktu dan perkembangan zaman. Oleh karena itu, usaha menuju
penyempurnaan undang-undang ini harus selalu terbuka setiap saat bilamana telah
tampak adanya kekurangan.
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup
Undang-undang Pengelolaan Lingkungan Hidup merupakan respon
daripada penegakan Deklarasi Stockholm yang diadakan pada tanggal 5—16 Juni
1972 yang kemudian menarik perhatian dunia dengan banyaknya protes pemerhati
lingkungan akibat permasalahan lingkungan yang tak kunjung selesai sehingga
diadakan Konferensi Rio de Janeiro 3—14 Juni 1992 untuk mengukuhkan dan
mengembangkan asas dan poin yang terkandung pada Deklarasi Stockholm.
Dimana pada Undang-Undang Pengolahan Lingkungan Hidup memuat norma
hukum lingkungan hidup dengan 11 bab dan 52 Pasal yang terdapat di dalamnya.
Undang-undang ini disusun untuk menjadi landasan untuk menilai dan
menyesuaikan semua peraturan perundang-undangan yang memuat ketentuan
tentang lingkungan hidup yang berlaku, yaitu peraturan perundang-undangan

18
Ibid, hlm. 36.

14
mengenai pengairan, pertambangan dan energi, kehutanan, konservasi sumber daya
alam hayati dan ekosistemnya, industri, permukiman, penataan ruang, tata guna
tanah, dan lain-lain karena merupakan basis yuridis sebagai Ius Constitutum untuk
membentuk Ius Constituendum.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 yang diundangkan pada LNRI
(Lembar Negara Republik Indonesia) Tahun 1997 No. 68 dan TLNRI (Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia) No. 3699. tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup memuat asas dan prinsip pokok bagi pengelolaan lingkungan hidup sehingga
berfungsi sebagai payung (umbrella act) bagi penyusunan peraturan perundang-
undangan lainnya yang berkaitan dengan lingkungan hidup dan bagi penyesuaian
peraturan perundangundangan yang telah ada. dengan tujuan yaitu:
1) Tercapainya keselarasan hubungan antara manusia dengan lingkungan
hidup sebagai bagian tujuan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya;
2) Terkendalinya pemanfaatan sumber daya secara, bijaksana;
3) Terwujudnya manusia Indonesia sebagai pembina lingkungan hidup;
4) Terlaksananya pembangunan berwawasan lingkungan untuk kepentingan
generasi sekarang dan mendatang; dan
5) Terlindunginya negara terhadap dampak kegiatan di luar wilayah negara
yang menyebabkan kerusakan dan pencemaran lingkungan.
Dimana apabila dilihat pada pengaturan sebelumnya sebagaimana yang
diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Lingkungan Hidup
yang memilki tujuan yaitu:
1) Berasaskan pelestarian kemampuan lingkungan yang serasi dan seimbang
untuk menunjang pembangunan;
2) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta
berkewajiban memelihara lingkungan hidup dan mencegah serta
menanggulangi kerusakan dan pencemarannya. Kelanjutan pokok ini bahwa
beban pencemaran dipertanggungjawabkan kepada pihak pencemar;
3) Setiap orang mempunyai hak dan kewajiban untuk berperan serta dalam
rangka pengelolaan lingkungan hidup, maka lembaga swadaya masyarakat

15
dikerahkan demi mendayagunakan anggota masyarakat dalam pengelolaan
lingkungan hidup;
4) Mengembangkan lingkungan hidup dalam kehidupan antar bangsa sesuai
dengan perkembangan kesadaran lingkungan hidup sesuai dengan
perkembangan kesadaran manusia; dan
5) Pengelolaan lingkungan hidup menuntut dikembangkannya suatu sistem
dengan keterpaduan sebagai ciri utamanya. Maka dari itu di tingkat
nasional, koordinasi pelaksanaan secara sektoral dan di daerah sehingga
semua ini terkait secara mantap dengan kebijaksanaan nasional pengelolaan
lingkungan hidup, dengan kesatuan gerak dan langkah mencapai tujuan
pengelolaan lingkungan hidup. 19
Dengan membandingkan daripada primat Undang-Undang Pokok
Pengelolaan Lingkungan Hidup Tahun 1982 (UUPLH Tahun 1982) dengan
Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup Tahun 1997 (UUPLH Tahun
1997) terdapat perbedaan cara pandang sehingga mendasari norma hukum yang
ada. dimana pada UUPLH Tahun 1982 yang difokuskan adalah pengelolaan
lingkungan tetapi tetap mengutamakan pemenuhan kehidupan manusia karena hak
atas lingkungan hidup daripada masyarakat sangat dijunjung tinggi sehingga alam
mampu mencukupi kebutuhan manusia dengan dampak seringan-ringannya yang
diakibatkan atau dapat dikatakan lingkungan ada untuk menunjang pembangunan
sehingga alam ada untuk manusia sedangkan pada UUPLH Tahun 1997 yang lebih
ditekankan adalah penjagaan lingkungan karena pembangunan tidak akan
berkembang tanpa lingkungan yang baik sehingga manusia berfungsi dalam
mendukung alam dalam keselarasan yang ada bukan alam yang mendukung
kehidupan manusia dengan adanya keterkaitan hak dan kewajiban daripada
manusia kepada alam atau lingkungan hidup.
a) Diubahnya Landasan Yuridis Hukum Lingkungan menjadi UUPLH Tahun
1997

19
Koesnadi Hardjasoemantri, Hary Supriyono, 2021, Sejarah Perkembangan Hukum Lingkungan,
http://repository.ut.ac.id/4372/1/LING1121-M1.pdf, diakses pada 3 Mei 2022 pada pukul 11.21
WITA.

16
Perubahan daripada UUPLH Tahun 1982 menjadi UUPLH Tahun 1997,
sesungguhnya berdasar pada alasan kegagalan dari kebijakan pengelolaan
lingkungan hidup akibat kelemahan penegakkan hukum UUPLH Tahun 1982.
Undang-Undang yang ada haruslah dilindungi daripada segala tendensi pengaturan
yang memiliki kesalahan karena akan berpengaruh pada perkembangan di
Indonesia masa sekarang hingga masa depan, terutamanya dalam pemenuhan
daripada hak yang paling dijunjung dalam Hukum Lingkungan, yaitu hak atas
lingkungan hidup sebagaimana yang ditegakkan baik pada Pasal 5 pada UUPLH
Tahun 1982 dan nantinya akan dibahas pada Pasal 5 UUPLH Tahun 1997 sehingga
undang-undang harus disempurnakan terutamanya permasalahan penegakan.
Kelemahan lainnya kurangnya komprehensif daripada Pasal-Pasal dalam UUPLH
Tahun 1982 karena masih merupakan bentuk kompilasi hukum yang masih berdiri
sendiri-sendiri yang terlepas satu sama lain dan untuk semakin memperkuat
daripada jaring yuridis di Indonesia. Maka dari itu dirancanglah UUPLH Tahun
1997 untuk menyempurnakan landasan yuridis yang telah ada. Selain daripada
perbaikan substansi yang ada, terdapat pula perbaikan lembaga yang ada juga
mencakup pada struktur hukum yang ada dimana dalam kelembagaan di Indonesia
mengalami perkembangan dengan semakin meningkatnya Pemerintah Daerah dan
lembaga penegakan daripada pengadilan untuk semakin menegaskan daripada
hukum lingkungan yang ada. Pada UUPLH Tahun 1982 yang menjadi utama
daripada pembuat kebijakan dari Hukum Lingkungan di Indonesia adalah
Pemerintah Pusat hal tersebut dianggap tidak sesuai karena pembangunan daripada
daerah yang berbeda-beda.20 Oleh karena itu budaya hukum daripada masyarakat
disasar akan mampu mengikuti kebutuhan daripada daerahnya. Pada proses
penyempurnaan ini tidak lain memiliki tujuan untuk meningkatkan pendayagunaan
berbagai ketentuan hukum. Maka dari itu perbaikan yang terjadi pada Undang-
Undang Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup yang diubah menjadi Undang-
Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup mencakup aspek struktur hukum yang ada.

20
Nopyandari, 2014, Hak Atas Lingkungan Hidup dan Kaitanya dengan Preran Serta
Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam Prespektif otonomi daerah,
https://media.neliti.com/media/publications/43227-ID-hak-atas-lingkungan-hidup-dan-kaitannya-
dengan-peran-serta-dalam-pengelolaan-lin.pdf, diakses pada 4 Mei 2022 pada pukul 17.52 WITA.

17
Akhirnya perkembangan yang dibutuhkan untuk menciptakan landasan
yuridis yang menyesuaikan dengan kebutuhan hukum lingkungan terbaru ini
berdampak secara langsung pada asas yang dianut ke dalam Undang-Undang ini
yang sangat berbeda sebagaimana yang ditentukan pada Pasal 3 Undang-Undang
Lingkungan Hidup dan Pasal 2 Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Pada Pasal 3 UUPLH Tahun 1982 mengatur bahwa “Pengelolaan lingkungan hidup
berasaskan pelestarian kemampuan lingkungan yang serasi dan seimbang untuk
menunjang pembangunan yang berkesinambungan bagi peningkatan kesejahteraan
manusia.” Dimana terdapat satu asas pada Pasal ini yaitu:
1) Asas serasi dan seimbang
Bahwa fokus daripada pembahasan norma hukum yang ada adalah
perlindungan lingkungan sehingga masih dapat dilakukan semaksimal mungkin
untuk perkembangan manusia.
Sedangkan pada Pasal 2 UUPLH Tahun 1997 mengatur bahwa
“Pengelolaan lingkungan hidup yang diselenggarakan dengan asas tanggung jawab
negara, asas berkelanjutan, dan asas manfaat bertujuan untuk mewujudkan
pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam rangka
pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat
Indonesia seluruhnya yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.”
Pada Pasal ini terdapat dua asas yang tercantum, yaitu:
1) Asas tanggung jawab negara
Dimana negara menjamin pemanfaatan SDA yangakan memberikan
manfaat bagi kesejahteraan rakyat sebesar-besarnya dari generasi kini hingga
mendatang. Selain itu negara menjamin dalam menjalankan kegiatan pemanfaatan
tidak melebihi yurisdiksinya agar tidak merugikan negara lain.
2) Asas berkelanjutan
Asas yang memberikan setiap orang kewajiban dan tanggung jawab yang
harus dipikul terhadap generasi mendatang dan terhadap sesamanya dalam satu
generasi hingga lingkungan dapat diwariskan dengan baik kepada generasi
pendatang.
3) Asas manfaat.

18
Asas ini bertalian dengan asas tanggung jawab negara dimana pemanfaat
lingkungan untuk kepentingan seluruh Masyarakat Indonesia dengan
mengedepankan perlindungan lingkungan sehingga keuntungan dirasakan sama
baik antara lingkungan dan manusia.
Dengan demikian fokus daripada UUPLH Tahun 1997 adalah adanya
tanggung jawab negara untuk memprioritaskan lingkungan dan melindungi
lingkungan agar tidak berbalik justru merugikan manusia dengan lingkungan yang
tidak sehat. Jika dilihat daripada segi teori yang ada dimana pada UUPLH Tahun
1982, pada kala itu masih mengedepankan teori hukum lingkungan klasik
sedangkan pada UUPLH Tahun 1997 yang disahkan pada Lembaran Negara Tahun
1997 telah menggunakan teori daripada hukum lingkungan modern. Perbedaan dari
keduanya yaitu hukum lingkungan modern lebih berorientasi kepada lingkungan
(environment oriented law), sedangkan hukum lingkungan klasik lebih beorientasi
kepada penggunaan lingkungan (use oriented law). Selain itu hukum lingkungan
modern berisikan norma-norma untuk mengatur perbuatan manusia dengan tujuan
melindungi lingkungan dari pencemaran lingkungan dan perusakan lingkungan.
Tujuan yang lain yaitu untuk kelestariannya agar terjamin dan dapat digunakan bagi
generasi yang akan datang. Hukum lingkungan klasik berisikan norma-norma yang
bertujuan untuk menjamin eksploitasi dan penggunaan sumber daya yang ada
sebanyak-banyaknya dalam waktu yang sesingkat mungkin. Daripada hal demikian
sesungguhnya bukan berarti UUPLH Tahun 1982 sama sekali tidak mengatur
perlindungan lingkungan, nyatanya dalam UUPLH Tahun 1982 pengelolaan
lingkungan telah ada dengan perlindungan daripada pemerintah, akan tetapi dalam
kepentingan yang ada masih sangat bercampur tangan dengan manusia sehingga
akan sangat sulit dalam melaksanakan hak dalam menyediakan lingkungan hidup
yang sehat kepada masyarakat saat perlindungan linkungan hidup dalam
pengelolaan masih sangat lemah.
Penyempurnaan yang terjadi juga untuk menambal kekurangan yang ada
pada peraturan perundang-undanga sebelumnya dengan menambah daripada
pendayagunaan daripada berbagai ketentuan hukum baik administrasi hukum
perdata maupun hukum pidana, dan usaha untuk mengefektifkan penyelesaian

19
sengketa lingkungan hidup secara alternatif, yaitu penyelesaian sengketa
lingkungan hidup di luar pengadilan untuk mencapai kesepakatan antarpihak yang
bersengketa. Di samping itu, perlu pula dibuka kemungkinan dilakukannya gugatan
perwakilan. Dengan cara penyelesaian sengketa lingkungan hidup tersebut
diharapkan akan meningkatkan ketaatan masyarakat terhadap sistem nilai tentang
betapa pentingnya pelestarian dan pengembangan kemampuan lingkungan hidup
manusia. Akan tetapi dalam menjalankan sanksi seperti sanksi pidana harus
diperhatikan asas subsidiatitas dimana sanksi pidana dianggap sebagai ultimum
remidium yang hanya dikeluarkan apabila sanksi bidang hukum lain, seperti sanksi
administrasi dan sanksi perdata, dan alternatif penyelesaian sengketa lingkungan
hidup tidak efektif atau tindak yang dilakukan dalam taraf yang berat baik tindakan
maupun efek yang ditimbulkan.
Perkembangan daripada Undang-Undang dari UUPLH Tahun 1982 menjadi
UUPLH Tahun 1997 juga diikuti dengan Peraturan Perundang-Undangan lainnya
karena pada masa keberlakuan UUPLH diciptakannya Peraturan Pemerintah yang
digunakan untuk melengkapi daripada pengaturan hukum yang ada sehingga dapat
mengelola dan melindungi lingkungan lebih komprehensif. Pada masa Undang-
Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup Tahun yaitu keberadaan daripada:
1) Peraturan Pemeritah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian
Pencemaran Dan/Atau Perusakan Laut.
2) Peraturan Pemeritah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian
Pencemaran Udara.
3) Peraturan Pemerintahn Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas
Air Dan Pengendalian Pencemaran Air.
Dimana ketiga Peraturan Pemerintah mampu terbentuk karena terbentuknya
Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Tahun 1997 karena adanya tuntutan
untuk megembangkan hukum lingkungan dalam melindungi aspek untuk
menyesuaikan dengan perjanjian internasional tersebut.
b. Dicabutnya ketentuan dari UUPLH Tahun 1997
Akan tetapi keberadaan dariapda Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan tidak pula luput daripada celah sehingga masih

20
memerlukan penyempurnaan. Sehingga Undang-Undang tersebut diganti dengan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup dikarenakan empat alasan yang dijabarkan sebagai berikut
yaitu:
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 setelah
perubahan secara tegas menyatakan bahwa pembangunan ekonomi nasional
diselenggarakan berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan dan
berwawasan lingkungan;
2) Kebijakan otonomi daerah dalam penyelenggaraan Pemerintahan Negara
Kesatuan Republik Indonesia telah membawa perubahan hubungan dan
kewenangan antara pemerintah daerah termasuk di bidang perlindungan
lingkungan hidup;
3) Pemanasan global yang semakin meningkat mengkibatkan perubahan iklim
sehingga memperparah penurunan kualitas lingkungan hidup. Ketiga alasan
ini belum ditampung dalam UUPLH 1997;
4) UUPLH 1997 sebagaimana UUPLH Tahun 1982 memiliki celah-celah
kelemahan kewenangan penegakan hukum administratif yang dimiliki oleh
Kementrian Lingkungan Hidup dan kewenangan penyidik-penyidik pejabat
pegawai negeri sipil sehingga perlu penguatan dengan mengundangkan
sebuah undang-undang baru guna peningkatan penegakan hukum.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
nyatanya masih memiliki banyak aspek yang perlu diperbaiki dimana Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup memberikan kewenangan luas kepada menteri untuk melaksanakan
perlindungan seluruh kewenangan pemerintahan perlidungan dan pengelolaan
lingkungan hidup dan pemerintah pusat dalam undang-undang ini juga memberikan
kewenangan seluas-luasnya kepada pemerintah daerah masing-masing untuk
melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sehingga akan lebih
memastikan adanya penjaminan Hak Asasi Manusia sebagaimana yang diatur
dalam TAP MPR RI No. XVII/MPR/1998. Dengan demikian Undang-Undang
Lingkungan Hidup resmi digantikan sehingga mencabut ketentuan yang ada pada

21
Undang-Undang tersebut dilanjutkan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 tentang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang
bahkan menambahkan konsekuensi daripada perusak lingkungan sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 66 Undang-Undang PPLH yang bahkan menyertakan
sanksi pidana jika terjadi tindak merusak lingkungan.

22
III. Kesimpulan
Hak atas lingkungan hidup merupakan hak dasar yang melekat pada
manusia, bersifat kodrati dan universal sehingga hak atas lingkungan hidup
merupakan bagian dari hak asasi manusia. Kehidupan manusia sangat bergantung
pada ketersediaan sumber daya alam yang memadai dalam lingkungan hidup.
Namun, dari waktu ke waktu perusakan lingkungan terus terjadi yang berpotensi
berujung pada pembunuhan ekosistem dan mengancam manusia kehilangan hak -
hak hidupnya. Oleh karena itu, agar tidak sampai terjadi rusaknya lingkungan yang
permanen maka diperlukan pengambilan sikap yang memperjuangkan keadilan
lingkungan melalui pembentukan produk hukum yang mengandung pengaturan
perlindungan terhadap lingkungan hidup agar sekaligus dapat menjamin penegakan
hak asasi manusia.
Dalam perkembangannya perundang-undangan lingkungan hidup dimasa
sebelum kemerdekaan terbagi menjadi 2 periode yaitu zaman pemerintahan belanda
meliputi ordonansi mengenai perikanan mutiara dan perikanan bunga karang,
ordonansi dalam bidang perikanan, ordonansi gangguan, ordonansi di bidang
perlindungan satwa serta ordonansi yang mengatur perlindungan alam. Sementara
itu pada zaman pendudukan jepang hanya terdapat Osamu S. Kanrei No. 6, yaitu
mengenai larangan menebang pohon aghata, alba, dan balsem tanpa izin Gunseikan.
Selanjutnya terkait perkembangan perundang - undangan lingkungan hidup
setelah kemerdekaan bangsa Indonesia dimulai pada Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1982 tentang Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Hadirnya UUPLH
1982 ini dipandang sebagai sebuah momentum penting dalam sejarah
ketatanegaraan Indonesia khususnya berkaitan dengan pengaturan hukum
lingkungan secara modern di Indonesia, hal ini dikarenakan eksistensinya selain
sebagai payung hukum, erat kaitannya juga dengan aktivitas pembangunan nasional
yang secara nyata dapat mengancam bahkan merusak kelestarian fungsi lingkungan
hidup. Keberlakuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 ini memang tidak luput
dari berbagai kekurangan. Berdasar pada alasan kegagalan dari kebijakan
pengelolaan lingkungan hidup akibat kelemahan penegakkan hukumnya serta
kurang komprehensifnya pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982

23
karena masih merupakan bentuk kompilasi hukum yang berdiri sendiri sehingga
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 dirasa tidak mampu lagi menjangkau
perkembangan yang ada hingga akhirnya dilakukan perubahan dengan
menyempurnakan landasan yuridis yang telah ada untuk meningkatkan
pendayagunaan berbagai ketentuan hukum serta memperkuat jaring yuridis. Dalam
memperbaharui produk hukum sebelumnya agar sesuai dengan perkembangan
masalah lingkungan hidup yang semakin komples maka diterbitkannya Undang -
Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang telah
menggunakan teori daripada hukum lingkungan modern.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
nyatanya masih memiliki banyak aspek yang perlu diperbaiki sehingga masih
memerlukan penyempurnaan. Salah satunya dalam hal kelemahan kewenangan
penegakan hukum administratif yang dimiliki oleh Kementrian Lingkungan Hidup
dan kewenangan penyidik-penyidik pejabat pegawai negeri sipil sehingga perlu
penguatan dengan mengundangkan sebuah undang-undang baru guna peningkatan
penegakan hukum. Dengan demikian dengan memperhatikan berbagai
pertimbangan maka Undang-Undang tersebut diganti dengan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Berdasarkan pembaharuan - pembaharuan hukum yang terjadi terhadap
produk hukum lingkungan, dapat diketahui bahwa lingkungan hidup merupakan hal
dasar yang menjadi sumber kehidupan sehingga sangat memerlukan kepastian
hukum. Apabila telah ditemukan kerancuan ataupun kelemahan yang berhubungan
dengan penegakan hukum, maka sudah selayaknya suatu produk hukum lingkungan
itu diperbaharui guna meningkatkan pendayagunaan berbagai ketentuan hukum di
dalamnya serta memperkuat penegakan hukumnya. Pembaharuan hukum tersebut
tentunya berdasar pada perkembangan kerusakan lingkungan yang semakin
beraneka macam sehingga perlu difasilitasi agar tidak memperburuk kondisi
lingkungan hidup serta manusia tidak akan kehilangan hak - hak hidupnya.

24
Daftar Pustaka

Peraturan Perundang-Undangan:
Pemerintah Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, Jakarta.
Pemerintah Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1982, Nomor 12, Jakarta.
Pemerintah Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup, Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1997, Nomor 68, Jakarta.

Buku:
Erwin, Muhammad, 2011, Hukum Lingkungan dalam Sistem Kebijaksanaan
Pembangunan Lingkungan Hidup, Bandung: Refika Aditama.
Fadli, Moh, Mukhlish, dan Lutfi, Mustafa, 2016, Hukum dan Kebijakan
Lingkungan, Malang; UB Press.
Hardjasoemantri, Koesnadi, 1986, Aspek Hukum Peran Serta Masyarakat dalam
Pengelolaan Lingkungan Hidup, Yogyakarta; Gadjah Mada University
Press.
Syarif, L. M. & Wibisana, A. G., 2010, Hukum Lingkungan: Teori, Legislasi, dan
Studi Kasus, Jakarta; PT Raja Grafindo Persada.

Jurnal Hukum:
Sodikin, 2022, Hak Atas Lingkungan Hidup yang Baik dan Sehat pada Masyarakat
Sidoarjo, https://publikasiilmiah.ums.ac.id/handle/11617/9470, diakses
pada tanggal 1 Mei 2022 pada Puklul 16.56 WITA.
Hardjasoemantri, K, 2017. Peraturan Perundang-Undangan Pengelolaan
Lingkungan Hidup & Andal. Jurnal Hukum & Pembangunan, 15(2), 118-
136.

25
Hardjasoemantri, Koesnadi, Hary Supriyono, 2021, Sejarah Perkembangan Hukum
Lingkungan, http://repository.ut.ac.id/4372/1/LING1121-M1.pdf, diakses
pada 3 Mei 2022 pada pukul 11.21 WITA.

Nasrullah, 2019, Hukum Lingkungan, https://mh.umy.ac.id/magister-ilmu-hukum-


umy-bahas-isu-regulasi-perlindungan-lingkungan/, diakses pada 2 Mei
2022 pada pukul 12.34 WITA.

Nopyandari, 2014, Hak Atas Lingkungan Hidup dan Kaitanya dengan Preran Serta
Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam Prespektif otonomi daerah,
https://media.neliti.com/media/publications/43227-ID-hak-atas-
lingkungan-hidup-dan-kaitannya-dengan-peran-serta-dalam-pengelolaan-
lin.pdf, diakses pada 4 Mei 2022 pada pukul 17.52 WITA.

Meta, K, 2015, Perspektif Historis dan Perbandingan Pengaturan Masalah


Lingkungan Hidup di Indonesia. Jurnal Cakrawala Hukum, 6(1), 67-76.
Meta, Ketut, 2014, Pendekatan Secara Historis Terhadap Permasalahan
Lingkungan di Indonesia,
https://jurnal.unmer.ac.id/index.php/jch/article/view/696, diakses pada 1
Mei 2022 pada pukul 08.48 WITA.

Rispalman, 2018, Sejarah Perkembangan Hukum Lingkungan di Indonesia,


https://hukum.uma.ac.id/2021/11/16/sejarah-singkat-perkembangan-
hukum-lingkungan-di-indonesia/, diakses pada 2 Mei 2022 pada pukul
12.45 WITA.

26
TUGAS HUKUM LINGKUNGAN
“ARTI PENTINGNYA HUKUM BAGI MASALAH LINGKUNGAN DAN
KEBIJAKSANAAN LINGKUNGAN”

Dosen Pengampu :
Prof. Dr. I Wayan Parsa S.H., M.Hum

Disusun Oleh:

Kelompok 4

Nama Anggota :

Gusti Ayu Shellomitha Agatha 2004551090

Ida Ayu Sabda Surya Laksmi 2004551096

Ni Putu Ayu Eka Pratiwi 2004551106

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas segala
berkat dan rahmat yang telah dilimpahkan-Nya, sehingga penulisan makalah yang berjudul
“ARTI PENTINGNYA HUKUM BAGI MASALAH LINGKUNGAN DAN
KEBIJAKSANAAN LINGKUNGAN” dapat diselesaikan dengan tepat waktu.

Penulis juga hendak menghaturkan terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah
Hukum Lingkungan, berdasarkan Prof. Dr. I Wayan Parsa S.H., M.Hum atas pemahaman yang
diberikan selama kelas berlangsung sehingga penulis dapat mengeksplorasi lebih jauh materi,
khususnya yang berkenaan dengan Hukum Lingkungan.

Penulis menyadari bahwa makalah yang telah penulis susun masih jauh dari kata
sempurna dan banyak kekurangan didalamnya. Oleh karenanya, penulis memohon kritik dan
saran dari pembaca, agar kedepannya penulis dapat menyusun paper yang lebih baik lagi.
Terakhir, penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan apabila terdapat
hal-hal yang kurang berkenan pada makalah ini, penulis memohon maaf yang sebesar-
besarnya.

Denpasar, 5 Mei 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................... ii

DAFTAR ISI.................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN................................................................................................. 4

1.1. Latar Belakang ..................................................................................................... 4

1.2. Rumusan Masalah................................................................................................. 4

1.3. Tujuan Penulisan .................................................................................................. 5

1.4. Manfaat Penulisan ................................................................................................ 5

BAB II PEMBAHASAN .................................................................................................. 6

2.1 Hukum Sebagai Norma Dalam Masyarakat. ............................................................... 6

2.2 Aspek-Aspek Hukum Dalam Pengelolaan Lingkungan. .............................................. 7

2.3 Penegakan Hukum Lingkungan................................................................................ 11

2.4 Kebijaksanaan Lingkungan. ..................................................................................... 23

BAB III PENUTUP ........................................................................................................ 31

3.1 Kesimpulan ............................................................................................................. 31

3.2 Saran ...................................................................................................................... 32

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................... 33

iii
BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Saat ini, permasalahan lingkungan hidup merupakan salah satu isu utama yang
penting untuk diperhatikan oleh setiap negara. Terdapat banyaknya permasalahan
lingkungan yang menyebabkan timbulnya keresahan pada tiap negara di seluruh dunia,
salah satunya terkait adanya perubahan iklim global. Hal tersebut pada dasarnya dapat
dipahami, karena lingkungan merupakan tempat yang menjadi sentral utama bagi
kehidupan makhluk hidup di bumi. Perhatian terhadap masalah lingkungan diawali
dengan kalangan dewan ekonomi dan sosial PBB mengadakan peninjauan terhadap
hasil-hasil gerakan Dasawarsa Pembangunan Dunia Ke I (1960-1970) guna
merumuskan strategi dasawarsa pembangunan dunia ke 2 (1970-1980). Pada tanggal
28 Mei 1968, pembicaraan tentang masalah lingkungan hidup ini diajukan oleh wakil
Swedia yang disertai dengan saran untuk kemungkinan diselenggarakan suatu
konferensi internasional mengenai lingkungan hidup. Dengan diselenggarakannya
konferensi lingkungan hidup yang pertama pada tahun 1972 di kota stockholm, swedia
telah memberikan kesadaran bagi tiap negara untuk menertibkan peraturan perundang-
undangan di bidang lingkungan hidup yang akan dijadikan pedoman yuridis dalam
mengatur pengelolaan lingkungan hidup pada setiap negara.
Menyadari perlunya dilakukan pengelolaan lingkungan hidup demi pelestarian
kemampuan lingkungan hidup yang serasi dan seimbang untuk menunjang
pembangunan yang berkesinambungan, maka perlu meningkatkan pemanfaatan potensi
sumber daya alam dan lingkungan hidup dengan melakukan konversi, rehabilitasi dan
penghematan penggunaan dengan menerapkan teknologi ramah lingkungan, serta
mendayagunakan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
dengan memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup,
pembangunan yang berkelanjutan, kepentingan ekonomi dan budaya masyarakat lokal
serta, penataan ruang, yang pengusahaannya diatur dengan hukum itu sendiri salah
satunya melalui peraturan perundang-undangan.

1.2. Rumusan Masalah


1) Bagaimana peranan hukum bagi permasalahan lingkungan hidup?
2) Apa saja aspek-aspek hukum dalam pengelolaan lingkungan hidup?

4
3) Bagaimana kedudukan hukum dalam penegakan hukum terhadap permasalahan
lingkungan?
4) Bagaimana kebijaksanaan hukum dalam pengelolaan serta mengatasi
permasalahan lingkungan?

1.3. Tujuan Penulisan


1) Untuk mengetahui bagaimana peranan hukum bagi permasalahan lingkungan
hidup.
2) Untuk mengetahui apa saja aspek-aspek hukum dalam pengelolaan lingkungan
hidup.
3) Untuk mengetahui bagaimana kedudukan hukum dalam penegakan hukum
terhadap permasalahan lingkungan
4) Untuk mengetahui bagaimana kebijaksanaan hukum dalam pengelolaan serta
mengatasi permasalahan lingkungan.

1.4. Manfaat Penulisan


1) Sebagai bentuk referensi kebijakan kepada pemerintah khususnya pada
Lembaga pembuat undang-undang untuk membuat dan menghasilkan
instrument hukum lingkungan yang dapat menyelesaikan berbagai permasalah
lingkungan hidup.
2) Sebagai sumber dan bahan masukan bagi penulis lain untuk menggali dan
melakukan eksperimen tentang arti pentingnya hukum bagi masalah lingkungan
dan kebijaksanaan lingkungan hidup.
3) Sebagai bentuk referensi bagi masyarakat untuk mengetahui pentingnya
menaati hukum lingkungan sebagai salah satu upaya untuk melakukan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

5
BAB II PEMBAHASAN

2.1 Hukum Sebagai Norma Dalam Masyarakat.


Dalam menghadapi permasalahan lingkungan, salah satu bidang yang berkaitan
dengan sistem aturan atau norma masyarakat dalam interaksinya dengan lingkungan
hidup adalah hukum lingkungan. Hukum lingkungan adalah merupakan salah satu
cabang hukum yang mengatur segala hal yang berhubungan dengan lingkungan hidup.
Disiplin hukum lingkungan eksistensinya tentu saja sejalan dengan dinamika
permasalahan lingkungan hidup yang mengalami banyak permasalahan kaitannya
dengan pembangunan. Hukum lingkungan menjadi sarana penting untuk mengatur
perilaku-perilaku manusia terhadap lingkungan dan segala aspeknya, supaya tidak
terjadi perusakan, gangguan, pencemaran dan kemerosotan nilai-nilai lingkungan itu
sendiri.1
Menurut Jan Gijssels dan Mark van Hoecke dalam N.H.T. Siahaan, 2
berpandangan bahwa hukum adalah suatu penataan terorganisasi atas perbuatan
lahiriyah manusia di dalam masyarakat. Ia mencakup keseluru han aturan-aturan
perilaku dan struktur-struktur kekuasaan (gezag strukturen). Hukum dirancang untuk
mencapai kebutuhan pada suatu situasi tertentu dan pula terdorong karena faktor
eksternal. Tendensi manusia yang sadar norma sebagai landasan dan pedoman
hidupnya adalah merupakan sumber daya tersendiri dalam rangka mengakomodasi
persoalan pembangunan terhadap lingkungan di satu segi, dan keberlanjutan
pembangunan sebagai kebutuhan yang tidak dapat dielakkan pada segi lain. Sedangkan
Rizal dan Brotosusilo, 3 mengatakan bahwa eksistensi hukum hanya dapat terealisasi
apabila dapat memenuhi dua hal, yaitu; (i) norma hukum demikian adalah sah menurut
kriteria validitas untuk dipatuhi oleh masyarakat; (ii) peraturan -peraturan sekunder
berupa peraturan-peraturan yang memberikan kekuatan atau kewenangan demikian,
harus dipatuhi pembentuk atau pejabat hukum sebagai standar bagi mereka
menciptakan peraturan.
Pengertian hukum lingkungan sebagaimana yang tercantum dalam ketentuan
Pasal 1 ayat (1) UUPPLH dinyatakan bahwa hukum lingkungan (lingkungan hidup)
adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup,

1 Siahaan.N.H.T.,2009. Hukum Lingkungan. Jakarta: Penerbit Pancuran Alam. (37)


2 Ibid.
3Koesnadi Hardjasoemantri, Aspek Hukum Peran Serta Masyarakat dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup,
Pidato Pengukuhan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1985.

6
termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan
perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya.4

2.2 Aspek-Aspek Hukum Dalam Pengelolaan Lingkungan.


Hukum lingkungan adalah hukum yang mengatur tatanan lingkungan hidup
yang mencakup manusia dan tindakan maupun perbuatannya, yang terdapat dalam
ruang dimana manusia berada dan mempengaruhi kelangsungan hidup serta
kesejahteraan manusia serta benda lainnya. dengan adanya unsur-unsur yang perlu
diperhatikan yakni mengenai mekanisme bekerjanya hukum lingkungan dalam
menjaga lingkungan hidup merupakan tindakan pengamanan hukum yang sangat
diperlukan sebagai sarana yang dapat digunakan untuk melindungi, melestarikan
lingkungan hidup serta perlindungan kehidupan umat manusia dari kemungkinan
kerusakan gangguan lingkungan yang antara lain disebabkan oleh pencemaran.
Hukum memiliki daya yang memaksa dalam mengatur hidup dan kehidupan
manusia. Oleh karena itu, daya dan kemampuan hukum yang dapat memaksa agar
individu maupun sekelompok orang tidak berbuat sesuatu yang menyimpang. Dengan
kata lain, hukum dapat memberikan pedoman untuk berp erilaku agar tidak
membahayakan kehidupan masyarakat, yang dimana hukum juga dapat mengatur
masyarakat demi tercapainya kesejahteraan kehidupan sosial.
Hukum lingkungan hidup merupakan instrument yuridis yang terdiri atas aspek
dan kidah tentang pengelolaan lingkungan hidup. Dalam hal ini “Hukum Lingkungan”
adalah konsep studi lingkungan hidup yang mengkhususkan pada ilmu hukum dengan
objek hukumnya adalah tingkat kesadaran dan pengertian masyarakat terhadap aspek
perlindungan sebagai kebutuhan hidup. Dalam penyusunan hukum lingkungan hidup
pada umumnya menganut sistem hukum privat (perdata), hukum publik meliputi
hukum administrasi lingkungan hidup dan hukum pidana lingkungan hidup. Pada
hukum public, acapkali pemerinta yang berinisiatif dalam penegakan h ukum,
sedangkan dalam hukum privat biasanya anggota masyarakat yang memiliki inisiatif.

a) Peranan Hukum Lingkungan


Dalam konteks pengelolaan lingkungan, eksistensi hukum lingkungan
diperlukan sebagai alat pergaulan sosial dalam masalah lingkungan. Perangkat

4
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009

7
hukum lingkungan dibutuhkan dalam kerangka menjaga agar supaya lingkungan
dan sumber daya alam dapat dimanfaatkan sesuai dengan daya dukung atau kondisi
kemampuan lingkungan itu sendiri. Dalam hukum lingkungan diatur tentang obyek
dan subyek, yang masing-masing adalah lingkungan dan manusia. Lingkungan
hidup sebagai objek pengaturan dilindungi dari perbuatan manusia supaya interaksi
antara keduanya tetap berada dalam suasana serasi dan saling mendukung.
Dalam perspektif ilmu ekologi, semua benda termasuk semua makhluk hidup,
daya, dan juga keadaan memiliki nilai fungsi ekosistem, yakni berperan dalam
mempengaruhi kelangsungan kehidupan manusia dan makhluk hidup lain.
Lingkungan hidup memberi fungsi yang amat penting dan mutlak bagi manusia.
Begitu juga, manusia dapat membina atau memperkokoh ketahanan lingkungan
melalui budidaya dan karsanya. Dengan demikian tidak ada yang tidak bernilai
dalam pengertian lingkungan hidup karena satu dengan lainnya memiliki kapasitas
mempengaruhi dalam pola ekosistem.
Dalam kehidupan manusia, lingkungan hidup adalah merupakan salah satu
aspek kebutuhan mendasar, dimana dalam memenuhi kebutuhan tersebut manusia
berhadapan atau melibatkan baik secara perorangan maupun antar manusia dan
kelompok. Dalam interaksinya, manusia, baik terhadap lingkungan hidupnya
maupun dengan sesamanya (antar manusia) dengan sasaran lingkungan atau
sumber-sumber alam, memerlukan hukum sebagai sarana pengaturan masyarakat.
Pengaturan dapat berwujud dalam bentuk apa yang boleh diperbuat, yang dalam
hal ini disebut dengan hak, dan apa pula yang terlarang atau tidak boleh dilakukan,
yang disebut dengan kewajiban oleh setiap subyek hukum. Pengaturan hukum
selain sebagai alat pengatur ketertiban masyarakat (law as a tool of social order),
serta untuk mengatur masyarakat (law as a tool of social engineering). 5
Maka dapat disimpulkan bahwa hukum lingkungan disini adalah mengandung
manfaat sebagai sarana pengatur interaksi manusia dengan lingkungan agar
tercapai suatu keteraturan dan ketertiban (social order). Hal ini tentu sejalan
dengan tujuan hukum yang tidak hanya semata-mata sebagai suatu alat ketertiban,
maka hukum lingkungan mengandung juga tujuan-tujuan kepada terciptanya
sebuah pembaruan masyarakat (social engineering). Hukum sebagai alat rekayasa
sosial sangat penting artinya dalam dimensi atau substansi h ukum lingkungan.

5
Silalahi.D., 1996. Hukum Lingkungan dalam Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia ,edisi III.
Bandung:Alumni.

8
Karena dengan demikian, hukum lingkungan yang memuat kandungan
sebagaimana dimaksud, masyarakat dalam interaksinya dengan lingkungan akan
dapat diarahkan untuk menerima dan merespon prinsip-prinsip pembangunan dan
kemajuan.
Dalam pandangan Hari Chand, 6 mengatakan bahwa hukum tidak hanya
mengandung dimensi sebagai sarana alat keteraturan dalam kehidupan manusia,
melainkan hukum juga harus mengandung nilai-nilai keadilan bagi semua orang.
Mengartikan substansi keadilan memang tidak mudah. Keadilan diartikan begitu
beragam, suatu kata yang tidak jelas, sarat dengan berbagai arti, dan tidak begitu
mudah kita mencernanya. Hal ini senada dengan apa yang dikemukakan oleh
Ulpianus, yang mengatakan bahwa keadilan adalah merupakan suatu kemauan
yang bersifat terus menerus untuk dapat memberikan kepada setiap orang apa yang
semestinya dimiliki. Bagi Aristoteles, mengartikan keadilan dengan memberikan
kepada seseorang apa yang menjadi haknya atau sesuatu yang menjadi miliknya.
Dengan demikian, peranan hukum lingkungan sangat penting dalam
pembangunan. Hukum berfungsi sebagai alat keteraturan, yakni menata perilaku
setiap orang dalam interaksinya dengan lingkungan. Hukum berfungsi sebagai alat
keadilan, memiliki peran untuk menciptakan keadilan bagi semua dalam kerangka
penataan dan pengelolaan lingkungan atas sumber daya alam. Hukum sebagai alat
sosial, berperan merubah sikap sosial masyarakat, mengarahkan perilaku budaya
setiap orang kepada paradigma pemanfaatan, pengelolaan energi/sumber-sumber
alam dengan pola efisien dengan mengurangi kerusakan dan dampak, demikian
juga terciptanya interaksi lingkungan yang bertujuan menyerasikan pembangunan
dengan lingkungan.

b) Kesadaran Hukum Lingkungan dalam Masyarakat


Kesadaran hukum masyarakat merupakan salah satu aspek terpenting dalam
tercapainya keberhasilan penegakan hukum lingkungan. Termasuk dalam
kesadaran hukum lingkungan yang dalam hal ini terkait dengan kegiatan
pengelolaan lingkungan hidup. Timbulnya kesadaran lingkungan mulai
berkembang setelah disadari bahwa berbagai macam pencemaran dan kerusakan
lingkungan dan sumber daya alam semakin meningkat justru bersumber dari

6
Chand.H., 1994. Modern Jurisprudence, International Law Book Service, Kuala Lumpur. (225)

9
dampak perbuatan manusia, apalagi dengan dikenalnya sistem industri, lebih-lebih
setelah revolusi industri pada awal abad 19.
Kesadaran hukum lingkungan, baik itu pelestarian maupun pengelolaannya,
pada hakikatnya manusia harus memiliki kesadaran hukum yang tinggi, karena
manusia memiliki hubungan sosiologis maupun biologis secara langsung dengan
lingkungan hidup di mana dia berada. Menurut Soerjono Soekanto, 7 kesadaran
hukum masyarakat terkait dengan faktor-faktor dalam suatu ketentuan hukum yang
dimana diketahui, dimengerti, ditaati dan dihargai. Akan tetapi, masyarakat hanya
mengetahui adanya suatu ketentuan hukum, maka taraf kesadaran hukumnya lebih
rendah daripada apabila mereka memahaminya dan seterusnya. kesadaran hukum
masih dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti ekonomi, sosial, budaya dan lain-
lain. Oleh karena itu, perlu adanya upaya-upaya strategis untuk menumbuhkan
kesadaran hukum tersebut, baik dari sisi mental manusianya maupun dari segi
kebijakan. Bagi pelaku usaha, misalnya melakukan AMDAL dan pengelolaan
limbah yang dihasilkan. Sementara bagi Pemerintah, misalnya dengan
memperketat proses AMDAL dan perizinan, serta menindak tegas pegawai yang
menyalahgunakan kewenangannya, seperti memberikan AMDAL dan izin tanpa
prosedur yang seharusnya. Selain itu, pemerintah dalam membuat kebijakan tata
kota dan perizinan area bisnis hendaknya memperhatikan kondisi lingkungan tidak
hanya untuk saat ini tetapi juga untuk masa yang akan datang.
Adapun dalam konteks menumbuhkembangkan kesadaran hukum lingkungan,
ada beberapa masalah yang perlu dicermati, yaitu:
1) unsur pengetahuan sekaligus pemahaman terhadap peraturan
perundang-undangan khususnya dibidang lingkungan hidup;
2) adanya unsur mengerti terhadap hal-hal yang berkaitan dengan
pengaturan hukum pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya
alam; dan
3) unsur mentaati terhadap segala peraturan perundang-undangan
dibidang lingkungan hidup dan sumber daya alam.

7
Soekanto.S.,1986. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta :CV. Rajawali.

10
2.3 Penegakan Hukum Lingkungan.
1. Istilah dan Pengertian Penegakkan Hukum Lingkungan
Dalam bahasa Belanda terminologi penegakan hukum lingkungan dikenal
dengan istilah ”handhaving van milieurecht”, sedangkan dalam bahasa Inggris dikenal
dengan istilah ”environmental law enforcement” atau ”enforcement of environmental
law”. Salah satu ahli hukum yakni Prof. Siti Sundari Rangkuti sendiri menggunakan
istilah pengawasan lingkungan kedalam terminologi penegakan hukum lin gkungan.
Sebelum kita membahas perihal definisi dari penegakan hukum lingkungan itu sendiri
terlebih dahulu akan kita bahas perihal definisi dari penegakan hukum.
Penegakan hukum merupakan istilah yang memiliki keberagaman makna.
Terdapat banyak para ahli yang mengungkapkan pendapatnya yang berbeda mengenai
definisi dari penegakan hukum itu sendiri. Menurut Satjipto Rahardjo, penegakan
hukum diartikan sebagai suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum,
yaitu pikiran-pikiran dari badan-badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dan
ditetapkan dalam peraturan-peraturan hukum yang kemudian menjadi kenyataan8.
Sedangkan Soedarto mengartikan penegakan hukum sebagai perhatian dan
penggarapan perbuatan melawan hukum yang sungguh-sungguh terjadi (onrecht in
actu) maupun perbuatan melawan hukum yang mungkin terjadi (onrecht in potentie).9
Definisi yang senada juga diberikan oleh Soerjono Soekanto, dimana beliau
menyatakan apabila penegakan hukum merupakan kegiatan untuk menyerasikan
hubungan nilai nilai yang terjabarkan di dalam kaedah-kaedah yang mantap dan
pengejawantahan dalam sikap dan tindakan sebagai rangkaian penjabaran nilai-nilai
tahap akhir, untuk menciptakan dan memelihara, serta memperthankan kedamaian dan
pergaulan. Secara konsepsional maka inti dan arti penegakan hukum terletak pada
pergaulan hidup.10 Lalu A. Hamzah, juga mengatakan bahwa penegakan hukum adalah
merupakan suatu pengawasan dan penerapan (atau dengan ancaman) penggunaan
instrumin administratif, kepidanaan, atau keperdataan untuk mencapai suatu penaatan
terhadap ketentuan hukum dan peraturan yang berlaku umum dan berlaku untuk
individu.

8
Rahardjo.S., 1993.Masalah Penegakan Hukum. Suatu Tinjauan Sosiologis. Bandung:Sinar Baru.(1)
9
Soedarto.1986. Kapita Selekta Hukum Pidana Cetakan Ke-2. Bandung: Alumni. (111)
10
Soekanto.S.,1993. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum Cetakan ke-3. Jakarta: Raja Grafindo
Persada. (5)

11
Lalu apakah yang dimaksud dengan penegakan hukum lingkungan? Menurut
Takdir Rahmadi Penegakan Hukum Lingkungan merupakan upaya untuk mencapai
ketaatan terhadap peraturan dan persyaratan dalam ketentuan hukum lingkungan yang
berlaku secara umum dan individual, melalui pengawasan dan penerapan sanksi
administrasi, gugatan perdata, dan pidana.11 Daud Silalahi juga menyatakan apabila
penegakan hukum lingkungan di Indonesia mencakup penaatan (compliance) dan
penindakan (enforcement), yang mencakup bidang hukum administrasi negara, bidang
hukum perdata, dan bidang hukum pidana. 12 G.A. Biezeveld menyatakan apabila tujuan
dilakukannya penegakan hukum lingkungan adalah untuk menjamin ketaatan terhadap
peraturan perundang-undangan lingkungan, yang mana dapat dilakukan dengan cara
sebagai berikut:
a) Pengawasan secara administratif (sebagai upaya preventif);
b) Penegakan hukum administrasi atau sanksi administrasi, dalam hal terdapat
pelanggaran secara administratif (sebagai upaya korektif);
c) Penegakan hukum lingkungan kepidanaan dalam hal terjadi pelanggaran
ketentuan hukum pidana (sebagai upaya represif);
d) Gugatan perdata untuk menggugat pelanggaran atau perbuatan yang
mengakibatkan perusakan atau pencemaran lingkungan (sebagai upaya
preventif atau korektif).
Dengan demikian, dapat kita simpulkan apabila yang dimaksud dengan
penegakan hukum lingkungan adalah upaya untuk mencapai ketaatan terhadap
peraturan dan persyaratan dalam ketentuan hukum lingkungan yang berlaku secara
umum dan individual, melalui pengawasan dan penerapan sanksi administrasi, gugatan
perdata, dan pidana.
Dari beberapa pengertian yang diberikan 3 ahli diatas maka dapat kita lihat
apabila Penegakan hukum lingkungan dapat dibedakan dalam tiga aspek, yaitu:
penegakan hukum lingkungan administrative oleh aparatur pemerintah (administrative
environmental law enforcement); penegakan hukum lingkungan kepidanaan yang
dilakukan melalui prosedur yuridis peradilan (criminal environmental law
enforcement); dan penegakan hukum lingkungan keperdataan yang ditempuh secara
litigasi maupun nonlitigasi (civil environmental law enforcement). Pengenaan atau
penjatuhan sanksi administrasi terhadap setiap kasus perusakan atau pencemaran

11
Rahmadi.T., 2019.Hukum Lingkungan di Indonesia. Jakarta:Rajawali Pers.(199)
12
Akib.M., 2014. Hukum Lingkungan, Perspektif Global dan Nasional. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. (208)

12
lingkungan haruslah terlebih dahulu mendapatkan prioritas utama. Dengan kata lain,
penjatuhan sanksi administrasi haruslah mendahului sanksi-sanksi lalnnya. Hal ini
didasarkan kepada bahwa sifat dari sanksi administratif itu adalah langsung ditujukan
untuk menyelesaikan sumber masalahnya. Tidak demikian halnya dengan sanksi pidana
yang bertujuan memenjarakan pelaku atau penjatuhan sanksi perdata yang
bertujuanpenuntutan ganti kerugian. Kedua jenis sanksi tersebut sangat jelas tidak
ditujukan langsung untuk menyelesaikan sumber masalahnya. Berapapun beratnya
sanksi pidana yang dijatuhkan dan berapapun besarnya ganti kerugian yang dibayarkan
tidaklah ada kaitannya dengan penyelesaian sumber masalahnya. Perusakan dan atau
pencemaran lingkungan tetap saja berlangsung, bahkan mungkin dampaknya sangat
potensial semakin meluas.
Penegakan hukum lingkungan pada pokoknya terdiri atas dua sistem atau
strategi. Penegakan hukum lingkungan itu sendiri dapat dilakukan secara preventif dan
represif, sesuai dengan sifat dan efektivitasnya. Berikut adalah penjelasannya:
a) Penegakan hukum yang bersifat preventif, berarti bahwa pengawasan aktif
dilakukan terhadap kepatuhan kepada peraturan tanpa kejadian langsung yang
menyangkut peristiwa konkrit yang menimbulkan sangkaan bahwa peraturan
hukum telah dilanggar. 13 Penegakan hukum preventif dilakukan dengan
melaksanakan penyuluhan, pemantauan dan penggunaan kewenangan yang
sifatnya pengawasan (pengambilan sampel, penghentian mesin-mesin dan
sebagainya). Dengan demikian, penegak hukum yang utama adalah pejabat /
aparat pemerintah yang berwenang memberi izin dan mencegah terjadinya
pencemaran lingkungan.
b) Penegakan hukum lingkungan yang bersifat represif dilakukan dalam hal
perbuatan yang melanggar peraturan dan bertujuan untuk mengakhiri secara
langsung perbuatan terlarang. 14 Penegakan hukum represif dilakukan melalui
pemberian sanksi atau proses pengadilan dalam hal terjadi perbuatan melanggar
peraturan. Penindakan secara pidana umumnya selalu menyusuli pelanggaran
peraturan dan biasanya tidak dapat meniadakan akibat pelanggaran tersebut.
Untuk menghindari penindakan pidana secara berulang-ulang, pelaku sendirilah
yang harus menghentikan keadaan itu.

13
Kim, S. W, 2009. “Kebijakan hukum pidana dalam upaya penegakan hukum lingkungan hidup “, Doctoral
Dissertation, Fakultas Hukum, Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro,Semarang, h.44.
14
Ibid.

13
2. Aparatur Penegakan Hukum Lingkungan
Menurut Soerjono Soekanto efektif atau tidaknya suatu penegakan hukum ditentukan
oleh 5 (lima) faktor, yaitu:15
a) Faktor Hukumnya sendiri (undang-undang), yaitu Undang-Undang dalam arti
materiil sebagai produk hukum yang dihasilkan oleh lembaga pembentuk
Undang-undang.
b) Faktor Penegak Hukum, yaitu pihak-pihak dalam masyarakat yang berwenang
dalam membentuk dan menegakkan hukum.
c) Faktor Sarana dan Fasilitas, yang mencakup mencakup tenaga manusia yang
berpendidikan dan trampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai,
keuangan yang cukup, dan seterusnya.
d) Faktor Masyarakat, yaitu lingkungan tempat norma hukum itu diterapkan.
e) Faktor Kebudayaan, yang mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang
berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi abstrak mengenai apa yang
dianggap baik sehingga dianut dan apa yang dianggap buruk sehingga dihindari.
Berdasarkan teori diatas maka penegakan hukum lingkungan itu sendiri akan sangat
dipengaruhi oleh peraturan perundang-undangan, paratur penegak hukum, dan
kesadaran masyarakat yang terkena pengaturan (hukum). Ini artinya lemahnya
substansi hukum atau peraturan perundang-undangan tentang lingkungan secara
langsung juga akan mengganggu jalanya penegakan hukum, tetap i tidak selamanya
substansi hukum yang baik menjamin terlaksananya penegakan hukum yang baik pula.
Substansi hukum yang baik apabila tidak didukung oleh aparatur penegak hukum yang
handal dan dapat melakukan tugasnya dengan baik tentu saja akan menghambat
efektivitas dari penerapan hukum itu sendiri dalam masyarakat.
Menurut pandangan Siti Sundari Rangkuti dalam konteks penegakan hukum
lingkungan yang melibatkan ketiga aspek hukum (administrasi, pidana dan perdata)
niscaya aparatur penegak hukum lingkungan tidak hanya mencakup: hakim, polisi,
jaksa/penuntut umum, dan pengacara/penasehat hukum, 16 tetapi juga menyangkut
pejabat yang berwenang dibidang perizinan lingkungan. Dalam konteks penegakan
hukum lingkungan ada sebuah prinsip yang menyatakan: “pejabat yang berwenang

15
Soekanto,S, 2008. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta:Raja Grafindo Persada.(8)
16
Rangkuti.S.S.,2005. Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional Edisi ke-3. Surabaya:
Penerbit Airlangga University Press.(209)

14
memberi izin (lingkungan) bertanggung jawab terhadap penegakan hukum lingkungan
administratif”. Bahkan dalam penegakan hukum lingkungan terdapat pernyataan
dimana organ pemerintah/pejabat yang berwenang memberi izin merupakan aparatur
penegak hukum lingkungan yang utama (dan) yang mampu mencegah terjadinya
pencemaran dan kerusakan atas lingkungan hidup.17

3. Dasar Hukum Mengenai Penegakan Hukum Lingkungan


Penegakan Hukum Lingkungan sendiri sejatinya sudah diatur dalam Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, namun sekarang
sudah diperbaharui dan disempurnakan menjadi dilakukan berdasarkan Undang-
Undang No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Di dalam undang-undang tersebut dimuat beberapa bentuk penegakan hukum
lingkungan tersebut, yaitu:
a) Sanksi administrasi, diatur dalam bab XII tentang Pengawasan dan Sanksi
Administratif khususnya dalam bagian kedua tentang sanksi administrative
yang diatur dari pasal 76 hingga pasal 83. Lebih lanjut mengenai pedoman
penerapan sanksi administrative di bidang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik
Indonesia No.02 tahun 2013 tanggal 22 Febuari 2013. Adapun jenis sanksi
administrative yang dapat diberikan, yaitu berupa teguran tertulis, paksaan
pemerintah, pembekuan izin lingkungan dan pencabutan izin lingkungan.
b) Penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan, diatur dalam bab XIII
tentang penyelesaian sengketa lingkungan khususnya dalam bagian kedua
tentang penyelesaian sengketa lingkungan hidup diluar pengadilan yang diatur
dari pasal 85 hingga pasal 86.
c) Penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan, diatur dalam bab XIII
tentang penyelesaian sengketa lingkungan khususnya dalam bagian ketiga
tentang penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui pengadilan yang diatur
dari pasal 87 hingga pasal 93.
d) Penegakan hukum pidana, diatur dalam bab XV tentang ketentuan pidana
yang diatur dari pasal 97 hingga pasal 120.

17
Fadli.M., Mukhlish, & Mustafa Luthfi. 2016. Hukum dan Kebijakan Lingkungan.Malang:UB Press. (77)

15
4. Kedudukan Hukum dalam Upaya Penegakan Hukum Lingkungan
Hukum diciptakan sebagai sarana untuk menjadi wadah yang akan mengatur
hak dan kewajiban warga negara sebagai subyek hukum untuk dapat melakukan hak
dan kewajibannya dengan baik dan tidak merugikan orang lain. Dalam hal ini terdapat
beberapa aturan untuk melakukan suatu kegiatan agar hukum dapat terwujud dengan
tertib dan teratur. Hukum berfungsi untuk dapat memberikan sesuatu yang nantinya
akan menjadi penggerak dalam pembangunan yaitu menjadikan masyarakat lebih maju
dari yang sebelumnya sehingga mereka dapat berfikir secara logis, rasionalis, dan
kritis.18 Hukum itu sendiri dapat berbentuk tertulis dan juga tidak tertulis. Sebagai salah
satu hukum tertulis di Indonesia, undang-undang dasar 1945 harus mampu memberi
rumusan yang jelas dan nyata mengenai berbagai bentuk permasalahan yang berkaitan
dengan kesejahteraan, hak dan kewajiban warga negara, memberikan perlindungan,
kebebasan, dan untuk menjamin perlindungan terhadap lingkungan hidup agar menjadi
lebih baik.
Secara umum hukum memiliki kedudukan yang sangat penting terhadap
penegakan hukum itu sendiri, keduanya sudah menjadi satu kesatuan yang tidak dapat
dilepaskan, bagaimana mungkin penegakan hukum dapat dilakukan tanpa adanya
hukum itu sendiri begitu juga sebaliknya bagaimana hukum dapat berjalan efektif dan
memberikan kepastian serta keadilan bagi masyarakat apabila tidak ada proses
penegakan hukum. Hal ini juga sejalan dengan teori system hukum oleh Lawrence M.
Friedman dimana menurut beliau dalam setiap sistem hukum terdiri dari 3 (tiga) sub
sistem, yaitu:
a) Substansi hukum (legal substance)
Menurut Lawrence M.Friedman substansi hukum (legal substance) artinya
“...the actual rules, norm, and behavioral patterns of people inside the system
…the stress here is on living law, not just rules in law books”. 19 Substansi
berarti aturan, norma, dan pola perilaku nyata orang-orang di dalam system
hukum tersebut. Substansi dapat diartikan sebagai suatu hasil nyata atau produk
asli yang dihasilkan atau dilahirkan oleh system hukum tersebut. Hasil nyata
tersebut tidak hanya berupa norma hukum yang dibuat oleh pembuat undang-
undang dan tertuang secara tertulis di dalam peraturan perundang-undangan,

18
Deni.B.,2014. Hukum Lingkungan Hidup. Bekasi: Gramata Publishing.(3)
19
Friedman.L.M., (2001). Hukum Amerika: Sebuah Pengantar, cet. II, terjemahan Wisnu Basuki, Tatanusa,
Jakarta,h.5

16
namun juga norma hukum yang hidup dan berkembang di masyarakat sebagai
hukum yang hidup (the living law).
b) Struktur hukum (legal structure)
Menurut Lawrence M.Friedman struktur hukum (legal structure) adalah “...its
skeleton or framework;it is the permanent shape, the institutional body o f the
system, the though rigid nones that keep the process flowing within
bounds…”.20 Struktur adalah kerangka atau rangkanya sistem hukum, bagian
yang permanen dan tetap. bertahan, bagian yang memberikan semacam bentuk
dan batasan terhadap keseluruhan bangunan hukum. Struktur adalah bagian dari
sistem hukum yang bergerak di dalam suatu mekanisme, berkaitan dengan
lembaga pembuat undang-undang, pengadilan, penyidikan, dan berbagai badan
yang diberi wewenang untuk menerapkan dan menegakkan hukum. Struktur
hukum tiada lain adalah kelembagaan atau penegak hukum termasuk kinerjanya
(pelaksanaan hukum).21
c) Budaya hukum (legal culture)
Menurut Lawrence M.Friedman budaya hukum (legal culture) adalah ““The
legal culture, system their beliefs, values, ideas and expectation...”. Budaya
hukum adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum, kepercayaan,
nilai, pemikiran, serta harapannya. Menurut Achmad Ali Kultur hukum
diartikan sebagai opini-opini, kepercayaan-kepercayaan (keyakinan-
keyakinan, kebiasaan-kebiasaan, cara berfikir, dan cara bertindak, baik dari para
penegak hukum maupun dari warga masyarakat, tentang hukum dan berbagai
fenomena yang berkaitan dengan hukum. 22
Berdasarkan teori diatas maka Hukum lingkungan dikatakan efektif jika telah
mencapai suatu tujuan yang mana terdapat berbagai aspek-aspek yang saling terkait dan
berjalan baik pada penegakan hukumnya. Penegakan hukum lingkungan suatu bagian
yang sangat penting dalam hukum lingkungan itu sendiri, dimana dengan adanya
penegakan hukum yang jelas maka dapat membuat masyarakat untuk dapat patuh
terhadap hukum. Penegakan Hukum hanya dapat memberikan dampak yang demikian

20
Ibid.
21
Sudjana, S. (2019). Penerapan Sistem Hukum Menurut Lawrence W Friedman Terhadap Efektivitas
Perlindungan Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000. Al Amwal
(Hukum Ekonomi Syariah), 2(2),82.
22
Achmad,A., 2009. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk
Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence).Jakarta:Kencana.(204)

17
ketika hukum materiil yang ada dapat memberikan kejelasan dan tidak memberikan
kekaburan norma ataupun kekosongan norma.
Seberapa bagusnya suatu peraturan perundang-undangan bila tidak didukung
dengan aparat penegak hukum yang baik maka keadilan hanya angan -angan. Oleh
sebab itu keadilan hanya dapat tercipta ketika substansi hukum dan struktur hukum ini
dapat berjalan dengan baik secara beriringan. Hukum memiliki kedudukan yang begitu
krusial sebagai mata rantai pertama dalam sirklus pengaturan (regulatory chain)
perencanaan kebijakan (policy planning) tentang lingkungan. Sebagaimana dijelaskan
oleh A. Hamzah bahwa urutan dalam siklus pengaturan dan perencanaan kebijakan
tentang lingkungan terdiri dari:
1) Perundang-undangan (legislation; wet en regelgeving);
2) Penentuan standar (standard setting; normzetting);
3) Pemberian izin (licencing; vergunning-verlening);
4) Penerapan (implementation; uitvoering)
5) Penegakan hukum (law enforcement, rechsthandhaving)23
Hal ini membuktikan apabila Hukum yang dalam hal ini adalah peraturan
perundang-undangan merupakan langkah pertama perlu dilewati sebelum dilakukannya
penegakan hukum atau mencapai suatu penyelesaian terhadap permasalahan
lingkungan hidup yang terjadi. Secara spesifik sebagaimana sudah dijelaskan
sebelumnya instrumen hukum yang mengatur mengenai pengelolaan dan perlindungan
lingkungan hidup sudah diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Adanya Undang-
Undang ini dapat dijadikan pedoman yang ditujukan untuk dapat lebih memperkuat
penegakan hukum, dimana Undang-Undang ini lebih memfokuskan kepada
perencanaan dan penengakan hukum secara lebih serius. Menurut Slater Anne Michelle
dalam salah satu jurnalnya yang berjudul “International Environmental Law, Policy,
And Ethics” dengan berlakunya undang-undang tersebut, maka peran hukum
nampaknya akan membawa pengaruh yang sangat besar terhadap perubahan terjadi,
dimana undang-undang itu nantinya akan lebih memperkuat pada aspek perencanaan
dan penegakan hukum. 24

23
Hamzah.A., Ibid.
24
Michelle.S.A., (2019). “International Environmental Law, Policy, And Ethics (2nd edition)”. Environmental
Law Review,17( 2),164.

18
Pentingnya kedudukan hukum lingkungan dalam upaya penegakan hukum
terhadap permasalahan lingkungan salah satunya dapat kita lihat dari kasus kebakaran
hutan yang sering kali terjadi di Indonesia. Contohnya kasus permasalahan kebakaran
yang terjadi di Palangkaraya, Kalimantan Tengah pada Minggu, 22 september 2019
baru baru ini. Kebakaran ini bisa terjadi karena ulah manusia sendiri yang tidak berhati-
hati dan tentunya merugikan banyak orang. Akibatnya sebagian hutan hangus terbakar
dalam kasus tersebut. 25 Dalam menangani kasus-kasus seperti ini maka aparat penegak
hukum tentunya memerlukan suatu substansi hukum yang jelas dan akurat. Untuk itu
khusus untuk permasalahan lingkungan hidup berkaitan dengan kebakaran hutan ini
secara spesifik diatur dalam peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 4 Tahun
2001 Tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang
berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan. Dalam kasus kebakaran ini, mereka
dapat dipidana jika terbukti bersalah sesuai dengan ketentuan Pasal 11, Pasal 14, Pasal
17, dan Pasal 18 yang mengakibatkan terjadinya kerusakan dan kebakaran hutan milik
warga sehingga menimbulkan pencemaran lingkungan berupa polusi udara dan dapat
diancam serta dipidana sesuai dengan Pasal 98 ayat 1 dan atau Pasal 99 ayat 1 Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan
Hidup.
Dari ketentuan Pasal-Pasal dalam kasus kebakaran hutan secara tegas
menjelaskan tentang isi dari Pasal yang mengatakan jika setiap orang melakukan
tindakan yang merugikan orang lain maka akan dipidana baik dalam sanksi hukuman
denda maupun hukuman pidana. Dengan adanya hukum melalui peraturan perundang-
undangan atau peraturan lainnya yang memberikan sanksi tegas berupa hukuman denda
maupun pidana serta dengan didukung adanya adanya pengawasan dan penegakan
hukum yang cukup ketat antara pemerintah dan aparat hukum maka untuk kedepannya
pasti akan dapat meminimalisir terjadinya kasus lingkungan hidup seperti kasus
kebakaran hutan di Indonesia.

5. Hambatan dalam Penegakan Hukum Lingkungan


Dalam penegakan hukum lingkungan hidup terdapat berbagai hambatan yang
mengakibatkan tidak efektivitasnya faktor pendukung dalam penegakan hukum
lingkungan. Banyak peraturan-peraturan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah,

25
Purwanto. 2019. Kasus Karhutla, Korporasi Dijerat UU LIngkungan Hidup< Kasus Karhutla, Korporasi Dijerat
UU Lingkungan Hidup - Nasional Tempo.co>, [ diakses pada pukul 10:19 WITA 6 Mei 2022}.

19
namun pelaksanaanya dilapangan masih menemui hambatan. Adapun hambatan-
hambatan yang ditemui yaitu sebagai berikut:
a) Substansi Hukum
Substansi hukum menjadi pertama yang perlu diperhatikan dalam penegakan
hukum lingkungan itu sendiri. Substansi hukum yang baik tentu akan menjadi
awal yang baik dalam upaya penegakan hukum lingkungan. Apabila substansi
hukum yang baik ini juga didukung dengan aparat penegak hukum atau struktur
hukum yang kompeten dan professional maka tentunya penegakan hukum
lingkungan juga dapat berjalan dengan lancar, tetapi kenyatannya seringkali
berbagai kebijakan operasional yang dikeluarkan seringkali tidak konsisten
dengan prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
didalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 maupun Undang-Undang
yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup lainnya. 26
b) Aparat Penegak Hukum
Banyaknya kasus-kasus yang berkaitan dengan lingkungan sering kali
terhambat dikarenakan factor jumlah aparat penegak hukum profesional yang
mampu menangani kasus-kasus lingkungan hidup masih sangat terbatas.
Lingkungan hidup yang mencakup sangat luas dan kompleks serta berkenaan
dengan berbagai disiplin ilmu menjadi salah satu alasan bagi aparat penegak
hukum mengalami kesusahan dalam upaya menegakkan hukum lingkungan itu
sendiri, karena nyatanya akan sulit kiranya bagi aparat penegak hukum tersebut
untuk menguasai aspek lingkungan hidup yang amat luas dan kompleks
tersebut. Keterbatasan pengetahuan dan pemahaman aspek-aspek lingkungan
hidup oleh penegak hukum ini menjadi salah satu factor penghambat yang
sangat dominan dalam upaya untuk menciptakan kesamaan presepsi penangan
perkara lingkungan. 27 Selain itu, kurang profesionalnya aparat penegak hukum
dalam meyelesaikan perkara lingkungan juga menjadi salah satu factor
penghambat yang mempersulit upaya penegakan hukum lingkungan itu sendiri.
Banyak kasus-kasus lingkungan yang tidak ditanggapi secara serius oleh aparat
penegak hukum, kasus pencemaran, kasus penebangan illegal, kasus impor

26Herlina,N. (2017). Permasalahan lingkungan hidup dan penegakan hukum lingkungan di Indonesia. Jurnal
Ilmiah Galuh Justisi, 3(2), 162-176. (12).
27
Ibid.

20
limbah B3, kasus pencemaran dan perusakan lingkungan oleh pertambangan-
pertambangan besar yang hampir tidak pernah ditindaklanjuti secara tuntas. 28
c) Fasilitas dan Sarana
Fasilitas dan sarana merupakan salah satu alat yang begitu peting untuk dimiliki
dalam upaya penegakan hukum lingkungan itu sendiri. Ketiadaan atau
keterbatasan fasilitas dan sarana penunjang (termasuk dana), akan sangat
mempengaruhi keberhasilan penegakan hukum lingkungan. Kenyataan
menunjukkan apabila dalam penanganan kasus-kasus yang berkaitan dengan
lingkungan pasti akan melibatkan berbagai perangkat berteknologi canggih
seperti peralatan laboratorium yang dalam operasionalisasinya juga
membutuhkan tenaga ahli serta biaya yang cukup mahal.29 Sehingga disini
untuk mencapai penegakan hukum lingkungan itu sendiri pemerintah harus bisa
untuk menginvestasikan dana yang cukup besar, apabila tidak demikian maka
sudah pasti factor fasilitas dan sarana ini akan menjadi factor penghambat dalam
penegakan hukum lingkungan itu sendiri.
d) Perizinan
Perizinan merupakan instrument utama hukum lingkungan yang berfungsi
untuk mencegah terjadinya pencemaran, tetapi dalam pelaksanaannya perizinan
malah menjadi salah satu masalah yang lebih banyak memberi peluan g bagi
berkembangnya masalah lingkungan ketimbang membatasinya. 30 Dengan
bermodalkan ijin, suatu perusahaan bisa melakukan berbagai usaha yang sering
merusak lingkungan. Untuk mengatasi hal tersebut perlu ada sistem perijinan
lingkungan yang terpadu.
e) Sistem Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan atau yang sering disingkat menjadi
AMDAL merupakan salah bagian dari prosedur perijinan yang harus dilewati
terlebih dahulu untuk dapat memperoleh suatu ijin. Dalam praktek AMDAL
malah lebih mengarah pada penonjolan pemenuhan ketentuan administrative
daripada subtantifnya. 31 Kenyatannya pesatnya permintaan akan AMDAL
hanya sebatas menjadi mata rantai kewajiban dalam urusan perizinan dalam

28
Johar, O. A. (2021). Realitas Permasalahan Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia. Jurnal Ilmu
Lingkungan, 15(1), 54-65. (63)
29
Herlina, N. Op.cit. (13).
30
Ibid.
31
Ibid.

21
suatu usaha atau dipandang sebagai performa untuk mendapatkan akad kredit
atau izin investasi. Hal ini menyebabkan pemenuhan persyaratan AMDAL
dilakukan karena sifatnya yang diwajibkan atau diperintahkan oleh undang-
undang bukan karena kesadaran ekologis terhadap kelestarian lingkungan.
Dalam praktek juga proses transparansi dan mekanisme keterbukaan dokumen
AMDAL bagi masyarakat tidak berjalan sesuai harapan, bahkan masyarakat
(yang terkena dampak) tidak mengetahui secara pasti adanya suatu aktifitas
kegiatan.
f) Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Lingkungan
Kesadaraan hukum masyarakat yang masih terbatas terhadap lingkungan
disebabkan karena keawaman atau kurangnya pengetahuan masyarakat perihal
aspek lingkungan itu sendiri. 32 Ketidaktahuan ini kemudian akan menjalar yang
kemudian menyebabkan masyarakat menjadi tidak peka terhadap dampak yang
dapat ditumbulkan dari perbuatan pencemaran dan perusakan lingkungan atau
bahkan masyarakat malah tidak mengetahui akibat seperti apa yang akan timbul
apabila melakukan suatu pencemaran dan perusakan lingkungan itu sendiri. Hal
ini tentunya akan menghambat upaya penegakan hukum lingkungan itu sendiri,
dimana nyatanya aparatur negara tidak bisa bekerja sendiri demi penegakan
hukum lingkungan itu sendiri. Bahkan Undang-Undang No.32 tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengatur secara
mandiri dalam bab XI mengenai peran masyarakat, yang pada pasal 70
dinyatakan apabila Masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang sama dan
seluas-luasnya untuk berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup. Untuk menumbukan kesadaran hukum masyarakat ini
terhadap lingkungan maka diperlukan usaha-usaha seperti penyuluhan,
bimbingan, teladan dan keterlibatan masyarakat dalam penanggulangan
masalah lingkungan.
Andi Hamzah dalam bukunya yang berjudul Penegakan Hukum Lingkungan juga
menyatakan hal serupa mengenai hambatan-hambatan dalam penegakan hukum
lingkungan. Menurut beliau hambatan atau kendala terhadap penegakan hukum
lingkungan di Indonesia terjadi karena:33

32
Ibid.
33
Hamzah.A.,2005. Penegakan Hukum Lingkungan. Jakarta: Sinar Grafika. (53)

22
a) Hambatan yang bersifat alamiah jumlah penduduk Indonesia yang besar dan
tersebar di beberapa pulau serta beragam suku dan budaya memperlihakan
persepsi hukum yang berbeda, terutama mengenai lingkungannya.
b) Kesadaran hukum dan budaya masyarakat tentang arti pentingnya me njaga
kelestarian lingkungan masih rendah kendala ini sangat terasa dalam penegakan
hukum lingkungan Indonesia. Untuk itu sangat diperlukan pemberian
penerangan dan penyuluhan hukum secara luas.
c) Peraturan hukum menyangkut penanggulangan masalah lingkungan belum
lengkap, khususnya masalah pencemaran, pengurasan, dan perusakan
lingkungan.
d) Para penegak hukum belum mantap khususnya untuk penegakan hukum
lingkungan dan para penegak hukum dalam hal pemberian izin dan belum
menguasai seluk beluk hukum lingkungan. Hal ini dapat diatasi dengan
memberikan pendidikan dan pelatihan. Serta Sarana/fasilatas yang belum
mendukung kinerja pemerintah. Program dan kegiatan mesti didukung dengan
dana yang memadai apabila mengharapkan keberhasilan dengan baik

2.4 Kebijaksanaan Lingkungan.


Tatanan kehidupan membutuhkan aturan untuk terciptanya sebuah
keseimbangan. Seperti halnya dalam hubungan antara individu manusia dengan
lingkungan di mana ada ilmu yang berbeda yang membahas secara khusus interaksi
antara manusia dan lingkungan, disebut ekologi Masalah lingkungan terus terjadi ketika
masalah lingkungan tidak ditangani oleh meloloskan undang-undang dan wajib
melaksanakannya. Penentuan hukum yang memuat perangkat hukum masih perlu diuji
implementasi (uitvoering atau implementation) dalam rantai rantai regulasi pengelolaan
lingkungan. Dalam merumuskan kebijakan lingkungan, pemerintah biasanya
menetapkan tujuan yang diinginkan agar tercapai. Kebijakan lingkungan dan arahan
tindak lanjut dengan bagaimana suatu tujuan dapat dicapai sehingga masyarakat
menganutnya.
1. Pengertian Kebijaksanaan Lingkungan
Kebijaksanaan lingkungan terdiri dari 2 (dua) ranah yakni “kebijaksanaan” dan
“lingkungan”. Menurut pandangan dari Jay A. Sigler menyatakan bahwa menurutnya
kebijaksanaan hanya mencakup pada produk kewenangan politik bukian pada proses

23
pembuatan keputusan. 34 Menurut Druopsteen dalam Siti Sundari Rangkuti, dikatakan
bahwa kebijaksanaan (beleid atau policy) bagi kalangan ilmu administrasi mengandung
berbagai definisi mengenai kebijaksanaan, tetapi pada umumnya semua pandangan
tersebut mengandung pengertian penetapan tujuan dan sarana. Berdasarkan dari
beberapa pandangan ahli mengenai kebijaksanaan dapat dirumuskan maksudnya
sebagai berikut:
1. Kebijaksanaan adalah kebijakan yang dibuat oleh administratur negara, atau
administratur publik. Maka, kebijaksanaan adalah segala sesuatu yang dikerjakan
dan tidak dikerjakan oleh pemerintah.
2. Kebijaksanaan adalah kebijakan yang mengatur kehidupan bersama atau
kehidupan publik. Dalam hal ini kebijakan publik akan mengatur masalah
bersama atau pribadi atau golongan yang sudah menjadi masalah bersama seluruh
masyarakat di daerah tersebut.
3. Kebijaksanaan dimaksudkan jika manfaat yang diperoleh masyarakat yang bukan
pengguna langsung dari produk yang dihasilkan jauh lebih banyak atau lebih
besar dari pengguna langsungnya
Dengan demikian, dari berbagai macam pengertian tentang kebijaksanaan, maka dapat
disimpulkan bahwa undang-undang adalah merupakan landasan hukum yang
mendasari kebijaksanaan pemerintah khususnya dalam bidang pengelolaan lingkungan
dan sumber daya alam.
Untuk ranah pengertian daripada “lingkungan” didapati beberapa pengertian
seperti, berdasarkan pasal 1 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2009 menyebutkan bahwa
“Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan
makhluk hidup termasuk manusia dan prilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri,
kelangsungan prikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.”
Menurut pandangan Munadjat Danusaputro menyatakakan bahwa “Lingkungan atau
lingkungan hidup adalah semua benda dan daya serta kondisi, termasuk di dalamnya
manusia dan tingkah-perbuatannya, yang terdapat dalam ruang dimana manusia berada
dan mempengaruhi kelangsungan hidup serta kesejahteraan manusia dan jasad-jasad
hidup lainnya.”
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut akan ditemui arti pentingnya
Lingkungan mengapa harus diperhatikan lebih lanjut. Hal ini karena manusia dan

34
Sigler, Jay. A., 1997. The Legal Sources of Public Policy. Toronto: D.C. Heart and Company. (3).

24
lingkungan tidak dapat dipisahkan, manusia tidak akan bisa hidup tanpa lin gkungan.
Kualitas manusia ditentukan oleh lingkungannya, lingkuan yang baik akan membawa
manusia mempunyai kualitas yang baik sebaliknya pun demikian kualitas manusia
yang baik akan menciptakan lingkungan yang baik dan optimal. Dengan itu manusia
dan lingkungan saling mempengaruhi.

2. Hubungan Hukum Lingkungan Dan Kebijaksanaan Lingkungan


Peranan hukum lingkungan dalam rangka pencegahan dan penanggulangart
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan terutama mengatur kegiatan-kegiatan yang
mempunyai dampak negatif terhadap lingkungan dan menuangkan kebijakan
lingkungan dalam peraturan perundang-undangan lingkungan. 35 Dalam konteks
pengelolaan lingkungan, hubungan antara hukum lingkungan dengan kebijaksanaan
lingkungan adalah merupakan bagian dari proses pembangunan hukum nasional.
Pengelolaan lingkungan hidup Indonesia telah mempunyai dasar hukum yang kuat dan
bersifat menyeluruh serta dilandasi oleh prinsip-prinsip hukum lingkungan.
Dalam kurun waktu antara tahun 1982 sampai dengan tahun 2010 Indonesia
telah memiliki 3 (tiga) buah peraturan perundang-undangan lingkungan, yaitu:
Undang-Undang No.4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan
Lingkungan Hidup yang sudah dicabut dan diganti dengan Undang-Undang No.23
Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kemudian UU ini juga sudah
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh Undang-Undang No.32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Liagkungan Hidup.
Di undangkannya Undang-Undang No.32 Tahun 2009 adalah bertujuan untuk
menyempurnakan kekurangan-kekurangan yang ada dalam Undang-Undang No.23
Tahun 1997, sehingga adanya perbedaan mendasar. Perbedaan ini dijelaskan dalam
Penjelasan umum angka 7 UU No. 32 Tahun 2009 menyatakan sebagai berikut:
“Perbedaan mendasar antara UndangUndang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan Undang-Undang ini (UUPPLH,) adalah
adanya penguatan yang terdapat dalam Undang-Undang ini tentang prinsip-prinsip
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang didasarkan pada tatakelola
pemerintahan yang baik karena dalam setiap proses perumusan dan penerapan
instrumen pencegahan pencemaran danlatau kerusakan lingkungan hidup serta

35
Rangkuti, S.S., Op.Cit. (1) .

25
penanggulangan dan penegakan hukum mewajibkan pengintegrasian aspek
transparansi, partisipasi, akuntabilitas, dan keadilan.”
Dengan demikian, peranan hukum lingkungan dalam rangka perlindungan
terhadap lingkungan adalah menuangkan kebijaksanaan lingkungan dalam peraturan
perundang-undangan lingkungan. Supaya suatu peraturan perundang-undangan
lingkungan efektif dalam penerapannya harus berlandaskan pada asas-asas umum
kebijaksanaan lingkungan.

3. Kedudukan Hukum Lingkungan Sebagai Bentuk Kebijaksanaan


Munadjat Danusaputro menyatakan salah satu alat yang kuat dan ampuh dalam
melindungi lingkungan hidup adalah hukum yang mengatur perlindungan lingkungan
hidup.36 Hukum yang dimaksud adalah hukum lingkungan (environmental law atau
milieurecht). Hukum lingkungan adalah instrumentarium yuridis bagi pengelolaan
lingkungan.37 Bedasarkan sejarah yang pernah tercatat di Indonesia bahwa hukum
lingkungan mulai diterapkan melalui undang-undang pada tahun 1982 yakni UU
Nomor 4 Tahun 1982 Pasal 1 ayat (1) tentang Ketentuan Pokok -Pokok Lingkungan
Hidup yang diperbaharui dengan UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup dan terakhir adalah UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).
Beberapa aturan lainnya yang mengatur perihal pengelolaan lingkungan hidup
antara lain; PP No. 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air jo. PP No.
82 Tahun 2001, PP No. 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah B3, PP No. 27
Tahun 1999 tentang AMDAL, PP No. 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian
Pencemaran Udara, PP No. 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau
Perusakan laut, dan PP No. 6 Tahun 1999 tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan
Hasil Hutan Produksi.
Untuk memahami kedudukan prinsip hukum lingkungan, yang didefinisikan
dalam hukum lingkungan sebagai kebijakan lingkungan Indonesia, harus terlebih
dahulu memahami dan memahami peran hukum (UU Perlindungan Lingkungan Hidup)
dan kebijakan lingkungan dalam pengelolaan lingkungan Kehidupan. Hukum
perlindungan lingkungan adalah segala kebijakan yang berkaitan dengan pencegahan,

36
Danusaputro, Munadjat., 1980. Hukum Lingkungan Buku Satu Umum. Bandung: Binacipta. (69- 70).
37
Hardjasoemantri, Koesnadi., 1999. Hukum Tata Lingkungan. Edisi Ketujuh. Yogyakarta: Gajahmada
University Press. (38-39).

26
penyelesaian sengketa lingkungan dan hukum lingkungan merupakan dasar untuk
melaksanakan kebijakan yang digunakan oleh pemerintah untuk beroperasi masalah
lingkungan, dalam hal ini terdapat hubungan yang erat antara hukum dan kebijakan
dalam undang-undang perlindungan lingkungan.
Hukum lingkungan berhubungan erat dengan kebijaksanaan lingkungan yang
ditetapkan oleh penguasa yang berwenang di bidang pengelolaan lingkungan. Dalam
menetapkan kebijaksanaan lingkungan, penguasa ingin mencapai tujuan tertentu.
Untuk itu dapat dipergunakan berbagai sarana. 38 Kebijaksanaan (beleid) pada
umumnya mengandung pengertian penetapan tujuan dan sarana. Kebijaksanaan
lingkungan di Indonesia menyangkut pertanyaan "apa yang ingin dicapai, bagaimana
dan jalan apa, dengan sarana apa pengelolaan lingkungan dilaksanakan"? 39 untuk
membahas tentang kebijaksanaan lingkungan di Indonesia perlu diketengahkan tujuan
pengelolaan lingkungan berdasarkan ketentuan Pasal 3 UUPPLH: Perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup bertujuan:
1. Melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup;
2. Menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia;
3. Menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian ekosistem;
4. Menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup;
5. Mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan hidup;
6. Menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa depan;
7. Menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup se bagai
bagian dari hak asasi manusia;
8. Mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana;
9. Mewujudkan pembangunan berkelanjutan; dan
10. Mengantisipasi isu lingkungan global.
Berdasarkan UUPLH juga disebutkan pada ketentuan pokoknya terkait bahwa
tujuan daripada lingkungan hidup adalah:
1. Tercapainya keselarasan hubungan antara manusia dengan lingkungan hidup
sebagai tujuan membangun manusia Indonesia seutuhnya;
2. Terkebdalinya pemanfaatan sumber daya secara bijaksana;
3. Terwujudnya manusia Indonesia sebagai pembina lingkungan hidup;

38
Rangkuti.S.S. Op.Cit, (5-6) .
39
Ibid, (6-7).

27
4. Terlaksananya pembangunan berwawasan lingkungan untuk kepentingan
generasi sekarang dan mendatang;
5. Terlindunginya negara terhadap dampak kegiatan di luar wilayah negara yang
menyebabkan kerusakan dan pencemaran lingkungan.

4. Asas-Asas Umum Kebijaksanaan Lingkungan


Untuk menilai dari keefektifan hukum lingkungan dalam tataran
implementasinya maka perumusannya harus didasarkan pada asas-asas umum
kebijaksanaan lingkungan (general principles of environmental policy). Dalam
pandangan hukum lingkungan: suatu peraturan perundang-undangan lingkungan
dipandang mampu menunjukkan peran fungsionalnya, apabila perumusannya berpijak
pada asas-asas kebijaksanaan lingkungan. Asas-asas kebijaksanaan lingkungan
merupakan dasar kebijaksanaan untuk hukum lingkungan. 40
Berdasarkan UU No, 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup(UUPPLH) memberikan jabaran asas-asas umum kebijaksaan
lingkungan, antara lain:
1. Asas Penanggulangan Pada Sumbernya (abatement the source)
Pada asas ini menekankan bahwa yang menjadi prioritas pada pengelolaan
lingkungan adalah pencegahan atau upaya preventif. Upaya pencegahan dipandang
lebih menguntungkan dari pada upaya penanggulangan pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan yang telah terjadi, sesuai dengan ungkapan: "mencegah
adalah lebih baik dari pada mengobati". Asas ini dapat terwujud melalui kewajiban
perizinan bagi perbuatan-perbuatan tertentu dengan berbagai macam
persyaratannya yang berfungsi sebagai sarana pencegahan pencemaran
lingkungan. Izin lingkungan adalah instrumen pencegahan pencemaran
lingkungan. Upaya dari UUPPLH untuk mencoba mengetengahkan penerapan asas
penanggulangan pada sumbernya melalui Pasal 14 yang menetapkan instrumen
pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan.
2. Asas Sarana Praktis Yang Terbaik/Sarana Teknis Yang Terbaik (the best
practicable mean "/"the best tecnical mean")
Asas ini cenderung menkankan pada adanya sarana guna menangulanggi
pencemaran lingkungan. Berdasarkan asas sarana praktis yang terba ik/sarana

40
Wijoyo, Suparto. 2005. Refleksi Matarantai Pengaturan Hukum Pengelolaan Lingkungan Secara Terpadu
(Studi Kasus Pencemaran Udara). Surabaya: Airlangga University Press. (142).

28
teknis yang terbaik ini berarti pengelolaan lingkungan harus dilakukan dengan
pengembangan teknologi bersih dan ramah lingkungan. Dengan teknologi ramah
lingkungan dapat dihindarkan terjadinya pencemaran lingkungan disamping itu
dari segi ekonomi dapat menguntungkan bagi pelaku usaha danlatau kegiatan.
Dalam keberlakuan UUPPLH asas sarana praktis yang terbaiklsarana teknis yang
terbaik dituangkan dalam ketentuan Pasal 10 huruf b yang menetapkan bahwa
dalam rangka pengelolaan lingkungan Pemerintah berkewajiban untuk
memanfaatkan dan mengembangkan teknologi yang akrab lingkungan.
3. Asas Pencemar Membayar (polluter pays principle)
Dalam asas ini terkandung makna bahwa pencemar harus memikul biaya
pencegahan pencemaran lingkungan yang ditimbulkan oleh kegiatan dan atau
usahanya. Dengan prinsip pencemar membayar (polluter pays principle) di
kembangkan penerapan instrumen ekonomik melalui pajak atau pungutan
(pollution charges) yang tujuannya adalah untuk membiayai upaya-upaya
pengendalian pencemaran lingkungan.41 Dalam UUPPLH prinsip pencemar
membayar dituangkan dalam ketentuan Pasal 2 tentang asas-asas perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup yang sa!ah satunya asasnya adalah prinsip pencemar
membayar.
4. Asas Cegat Tangkal/Cejak (stand still principle)
Dengan prinsip cegat tangkal (stand still principle) berarti dikehendaki
terjaganya suatu kompartemen atau wilayah tertentu atas terjadinya pencemaran di
bagian lingkungan atau lokasi lingkungan lain. Pencemaran lingkungan yang
terjadi pada suatu daerah harus dilokasir pada daerah itu sendiri, sehingga mutu
daerah lain tidak tumt menurun kualitasnya akibat pencemaran lingkungan yang
sedang terj adi didaerah lain. Terjadinya pencemaran lingkungan di suatu wilayah
tertentu hams diisolir agar merembet ke wilayah lain yang tidak tercemar.
5. Asas Perbedaan Regional (principle of regional differentiation)
Dengan prinsip perbedaan regional berarti pengelolaan lingkungan
dilakukan sesuai dengan kenyataan tentang adanya ketidaksamaan wilayah. Situasi
dan kondisi lingkungan berbeda-beda menurut daerahnya. 42 Penerapan prinsip

41
Rangkuti, Siti Sundari., 2008. lnstrumen Hokum Pengelolaan Lingkungan, dimuat dalam buku Dinamika
Perkembangan Hukum Tata Negara dan Hukum Lingkungan. Edisi Khusus, Kumpulan Tulisan Dalam Rangka
Purnabakti Prof. Dr. Siti Sundari Rangkuti, S.H. Surabaya: Airlangga University Press. (97).
42
Wijoyo, Suparto. 2005. Refleksi Matarantai Pengaturan Hukum Pengelolaan Lingkungan Secara Terpadu
(Studi Kasus Pencemaran Udara). Op.Cit (155).

29
perbedaan regional dalam hukum lingkungan dapat dilihat pada pengelolaan
kualitas lingkungan melalui penetapan baku mutu lingkungan. Baku mutu
lingkungan adalah sarana pencegahan pencemaran lingkungan. Penentuan baku
mutu lingkungan berbagai sumber daya tidak perlu sama, bahkan dapat berbeda
untuk setiap lingkungan, wilayah atau waktu. Baku mutu lingkungan ditentukan
sesuai dengan keadaan lingkungan masing-masing.
6. Asas Pembuktian Terbalik (het beginsel van de omkering van de bewijslast)
Asas beban pembuktian terbalik berarti ditekankan: barang siapa yang
melakukan kegiatan wajib menunjukkan bahwa kegiatannya tidak merugikan
lingkungan atau memang merugikan. Penerapan beban pembuktian terbalik in i
merupakan konsekuensi logis dari pergeseran konsep tanggunggugat berdasarkan
kesalahan menjadi tanggung gugat mutlak. Dengan tanggung gugat berdasarkan
kesalahan mengandung kesulitan dalam hal pembuktian kesalahan tergugat,
disamping mahalnya biaya perkara.
Dengan prinsip beban pembuktian terbalik tergugat harus membuktikan
bahwa perbuatan yang dilakukannya tidak ada unsur kesalahan sehingga dia
nantinya dibebaskan untuk membayar ganti kerugian. Dengan tidak diaturnya
beban pembuktian terbalik, maka UUPPLH telah melanggar apa yang telah
menjadi hak pihak tergugat (dalam konsep tanggung gugat mutlak) dalam kasus
sengketa lingkungan untuk membuktikan bahwa perbuatannya tidak mengandung
unsur kesalahan. Hal ini tentunya menciptakan ketidakadilan.

30
BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1) Hukum memiliki peranan penting dalam menyikapi permasalahan lingkungan, yakni
sebagai sarana penting untuk mengatur perilaku-perilaku manusia terhadap lingkungan
dan segala aspeknya, supaya tidak terjadi perusakan, gangguan, pencemaran dan
kemerosotan nilai-nilai lingkungan itu sendiri.
2) Lingkungan hidup adalah merupakan salah satu aspek kebutuhan mendasar, dimana
dalam memenuhi kebutuhan tersebut manusia berhadapan atau melibatkan baik secara
perorangan maupun dan kelompok. Pengaturan dapat berwujud dalam bentuk apa yang
boleh diperbuat, yang dalam hal ini disebut dengan hak, dan apa pula yang terlarang
atau tidak boleh dilakukan, yang disebut dengan kewajiban oleh setiap subyek hukum.
Pengaturan hukum selain sebagai alat pengatur ketertiban masyarakat (law as a tool of
social order), serta untuk mengatur masyarakat (law as a tool of social engineering).
3) Hukum memiliki kedudukan yang begitu penting dalam upaya penegakan hukum
lingkungan terhadap permasalahan lingkungan hidup itu sendiri. Hukum dalam bentuk
undang-undang dapat dijadikan pedoman yang ditujukan untuk dapat lebih
memperkuat penegakan hukum, dimana melalui undang-undang ini lebih
memfokuskan kepada perencanaan dan penengakan hukum secara lebih serius.
Penegakan hukum lingkungan adalah upaya untuk mencapai ketaatan terhadap
peraturan dan persyaratan dalam ketentuan hukum lingkungan yang berlaku secara
umum dan individual, melalui pengawasan dan penerapan sanksi administrasi, gugatan
perdata, dan pidana. Dalam penegakan hukum lingkungan hidup terdapat berbagai
hambatan yang mengakibatkan tidak efektivitasnya faktor pendukung dalam
penegakan hukum lingkungan. Faktor-faktor yang dapat menjadi hambatan tersebut
antara lain: Substansi Hukum, Aparat Penegak Hukum, Fasilitas dan Sarana, Perizinan,
Sistem Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan Kesadaran Hukum
Masyarakat Terhadap Lingkungan
4) Dalam konteks pengelolaan lingkungan, hubungan antara hukum lingkungan dengan
kebijaksanaan lingkungan adalah merupakan bagian dari proses pembangunan hukum
nasional. Pengelolaan lingkungan hidup Indonesia telah mempunyai dasar hukum yang
kuat dan bersifat menyeluruh serta dilandasi oleh prinsip-prinsip hukum lingkungan.
Hukum lingkungan adalah instrumentarium yuridis bagi pengelolaan lingkungan.
Peranan hukum lingkungan dalam rangka perlindungan terhadap lingkungan adalah

31
menuangkan kebijaksanaan lingkungan dalam peraturan perundang-undangan
lingkungan. Supaya suatu peraturan perundang-undangan lingkungan efektif dalam
penerapannya harus berlandaskan pada asas-asas umum kebijaksanaan lingkungan.
Untuk menilai dari keefektifan hukum lingkungan dalam tataran implementasinya
maka perumusannya harus didasarkan pada asas-asas umum kebijaksanaan lingkungan
(general principles of environmental policy). Asas-asas umum kebijaksanaan
lingkungan. yang menjadi landasan peraturan perundang-undangan lingkungan kungan
meliputi: asas penanggulangan pada sumbemya, asas sarana praktis yang terbaik/sarana
teknis yang terbaik, asas pencemar membayar, asas cegat tangkal, asas perbedaan
regional dan asas pembuktian terbalik.

3.2 Saran
1) Pemerintah seharusnya lebih gencar lagi untuk mengadakan penyuluhan dan bimbingan
kepada masyarakat untuk menumbuhkan kesadaran di dalam masyarakat tersebut
perihal aspek-aspek lingkungan hidup beserta dampak yang diakibatkan dari perbuatan
penghancuran atau pengerusakan lingkungan hidup terhadap kelangsungan dan kulitas
hidup masyarakat.
2) Pemerintah beserta masyarakat harus bekerja sama secara sinergis demi m encapai
tujuan pengelolaan lingkungan berdasarkan ketentuan Pasal 3 Undang-Undang
Nomor.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolan Lingkungan Hidup.

32
DAFTAR PUSTAKA

Buku
Achmad,A., 2009. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang
(Legisprudence).Jakarta:Kencana.
Chand.H., 1994. Modern Jurisprudence, International Law Book Service, Kuala Lumpur. (225)
Danusaputro, Munadjat., 1980. Hukum Lingkungan Buku Satu Umum. Bandung: Binacipta.
Fadli.M., Mukhlish, & Mustafa Luthfi. 2016. Hukum dan Kebijakan Lingkungan. Malang: UB
Press.
Hamzah.A.,1995. Penegakan Hukum Lingkungan. Jakarta: Penerbit Arikha Media Cipta.
Hamzah.A.,2005. Penegakan Hukum Lingkungan. Jakarta: Sinar Grafika.
Hardjasoemantri, Koesnadi., 1999. Hukum Tata Lingkungan. Edisi Ketujuh. Yogyakarta:
Gajahmada University Press.
Muhammad.A., 2014. Hukum Lingkungan, Perspektif Global dan Nasional. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada,
Rahardjo.S., 1993.Masalah Penegakan Hukum. Suatu Tinjauan Sosiologis. Bandung: Sinar
Baru.
Rahmadi.T., 2019.Hukum Lingkungan di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
Rangkuti, Siti Sundari., 2008. lnstrumen Hokum Pengelolaan Lingkungan, dimuat dalam buku
Dinamika Perkembangan Hukum Tata Negara dan Hukum Lingkungan. Edisi Khusus,
Kumpulan Tulisan Dalam Rangka Purnabakti Prof. Dr. Siti Sundari Rangkuti, S.H.
Surabaya: Airlangga University Press.
Rangkuti.S.S.,2005. Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasio nal Edisi
Ketiga. Surabaya: Penerbit Airlangga University Press.
Siahaan.N.H.T.,2009. Hukum Lingkungan. Jakarta: Penerbit Pancuran Alam.
Sigler, Jay. A., 1997. The Legal Sources of Public Policy. Toronto: D.C. Heart and Company.
Silalahi.D., 1996. Hukum Lingkungan dalam Penegakan Hukum Lingkungan di
Indonesia,edisi III. Bandung:Alumni.
Soedarto.1986. Kapita Selekta Hukum Pidana Cetakan Ke-2. Bandung: Alumni.
Soekanto.S, 2008. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: Raja
Grafindo Persad.
Soekanto.S.,1986. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: CV. Rajawali.

33
Soekanto.S.,1993. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum Cetakan ke-3.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Wijoyo, Suparto. 2005. Refleksi Matarantai Pengaturan Hukum Pengelolaan Lingkungan
Secara Terpadu (Studi Kasus Pencemaran Udara). Surabaya: Airlangga University
Press.

Jurnal, Karya Ilmiah dan Pidato


Herlina, N. (2017). Permasalahan lingkungan hidup dan penegakan hukum lingkungan di
Indonesia. Jurnal Ilmiah Galuh Justisi, 3(2), 162-176.
Johar, O. A. (2021). Realitas Permasalahan Penegakan Hukum Lingkungan di
Indonesia. Jurnal Ilmu Lingkungan, 15(1), 54-65.
Kim, S. W, 2009. “Kebijakan hukum pidana dalam upaya penegakan hukum lingkungan
hidup “, Doctoral Dissertation, Fakultas Hukum, Program Pasca Sarjana Universitas
Diponegoro, Semarang,
Sudjana, S. (2019). Penerapan Sistem Hukum Menurut Lawrence W Friedman Terhadap
Efektivitas Perlindungan Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu Berdasarkan Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2000. Al Amwal (Hukum Ekonomi Syariah), 2(2),82.
Koesnadi Hardjasoemantri, Aspek Hukum Peran Serta Masyarakat dalam Pengelolaan
Lingkungan Hidup, Pidato Pengukuhan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1985.

Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1997 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup .

Artikel
Purwanto. 2019. “Kasus Karhutla, Korporasi Dijerat UU Lingkungan Hidup”, < Kasus
Karhutla, Korporasi Dijerat UU Lingkungan Hidup - Nasional Tempo.co>, [ diakses
pada pukul 10:19 WITA 6 Mei 2022}.

34
HUKUM LINGKUNGAN

“Perkembangan Masalah Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan


Indonesia”

Dosen Pengampu:

Prof. Dr. I Wayan Parsa, SH., M.Hum.

Disusun oleh:

Kelompok 3

1. Sri Putri Mada Siltia Ughude (2004551062)

2. Desyane Pradilla Galuh Savitri (2004551093)

3. I Gusti Agung Ayu Gayatri Kharisma Venturini (2004551100)

4. Ni Putu Gita Mahayuni (2004551110)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2022
A. Latar Belakang
Lingkungan hidup sebagai karunia dan rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa kepada
rakyat dan bangsa Indonesia merupakan ruang bagi kehidupan dalam segala aspek dan
matranya sesuai dengan wawasan nusantara. Di dalam penyelenggaraan pengelolaan dan
pemantauan lingkungan dan pembangunan berwawasan lingkungan harus didasarkan pada
norma hukum dengan memperhatikan kesadaran masyarakat dan perkembangan lingkungan
global dan perangkat hukumnya. Permasalahan lingkungan hidup dari tahun ke tahun masih
memunculkan pekerjaan rumah bagi pemerintah sebagai pemangku kebijakan dan masyarakat
sebagai pihak yang diatur melalui peraturan-perundangan. Masalah lingkungan hidup dewasa
ini timbul karena kecerobohan manusia dalam pengelolaan lingkungan hidup. Masalah hukum
lingkungan dalam periode beberapa dekade akhir-akhir ini menduduki tempat perhatian dan
sumber pengkajian yang tidak ada habis-habisnya, baik ditingkat regional, nasional mauun
internasional dengan kata lain dapat dikatakan bahwa kelestarian lingkungan merupakan
sumber daya alam yang wajib kita semua lestarikan dan tetap menjaga kelanjutan guna
kelansungan hidup manusia. Menurut Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) yang dimaksud
dengan “Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan
makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri,
kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.”
Sedangkan menurut Pasal 1 angka (2) UUPPLH bahwa “perlindungan dan pengelolaan
lingkungan adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi
lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup
yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan dan
penegakan hukum.” Amanat pasal itu memiliki makna bahwa terdapat korelasi antara negara,
wujud perbuatan hukumnya berupa kebijakan (policy making), serta sistem tata kelola
lingkungan yang bertanggung jawab. Saat ini kerusakan lingkungan sudah menjadi masalah
yang sangat meresahkan dan sudah menjadi isu yang global pada era sekarang ini.1 Oleh
karena itu masyarakat bersama pemerintah dengan gencarnya melakukan upaya dalam
mengatasi permasalahan-permasalahan kerusakan lingkungan yang terjadi. Upaya-upaya yang
dilakukan tersebut bertujuan untuk menciptakan lingkungan bersih yang dapat dinikmati oleh
setiap makhluk hidup dan diharapkan dapat menjaga kelestarian fungsi lingkungan, sehingga

1
Deni Bram. 2014. Politik Hukum Pengelolaan Lingkungan Hidup Cetakan Pertama. Malang: Setara Press.
(23)
akan tetap mengedepankan prinsip berkelanjutan, dimana fungsi lingkungan akan tetap dapat
digunakan hingga generasi yang akan datang.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka dapat di tarik mengenai
rumusan masalah, diantaranya:
1. Bagaimana perkembangan masalah lingkungan Indonesia?
2. Bagaimana kebijaksanaan lingkungan Indonesia?

C. Pembahasan
1. Perkembangan Masalah Lingkungan Hidup Indonesia
Dalam perkembangannya, eksistensi hukum hanya terbatas dalam mengatur
hubungan manusia dengan manusia, di mana prinsip-prinsip hukum lebih ditujukan
kepada manusia dengan segala perilakunya dan dalam interaksinya dengan sesama. Hal
ini dikarenakan obyek hukum bersifat terbatas kepada manusia dan belum menguasai
hubungan antara manusia dengan lingkungannya, sehingga manusia bisa berkuasa
sepenuhnya dengan alam lingkungannya dengan cara bagaimana saja dan tidak ada yang
melarang maupun mengendalikannya, kecuali sudah bertemu dengan kepentingan sesama
(manusia).2

Dalam tataran normatif, prinsip-prinsip hukum dalam konteks kedudukan manusia


terhadap lingkungan meletakkan suatu nilai-nilai luhur bahwa betapa pentingnya nilai
lingkungan dan alam dalam kehidupan manusia. Deklarasi Stockholm 1972 melahirkan
prinsip-prinsip hukum terkait dengan kedudukan manusia terhadap lingkungan. Dalam
prinsip tersebut dikatakan bahwa:

“Man has the fundamental right to freedom, equality and adequate conditions of life,
in an environment of a quality…..responsibility to protect and improve the
environment.”

Demikian pula dalam Deklarasi Rio pada tahun 1982 menyatakan bahwa:

“Human being are at the center of concerns for sustainable development/ They are
entitled to a healthy and productive life in harmony with nature.”

2
Mukhlish, 2019. Buku Ajar: Hukum Lingkungan. Surabaya: Scopindo Media Pustaka. (8)
Berdasarkan prinsip-prinsip hukum tersebut, dapat dipastikan kehadiran dan
keberadaan hukum lingkungan menunjukkan bahwa kedudukan alam dan lingkungan
sangat substansi dalam hubungannya dengan manusia, untuk itu maka harus dihargai dan
dilindungi supaya tetap eksis berdampingan dalam kehidupan manusia. Tentunya, undang-
undang dan segala bentuk produk hukum akan menjadi alat pengendali (a tool of control)
hubungan antara manusia dengan lingkungan hidup.3

Di samping itu, kaitan keberadaan undang-undang pengelolaan lingkungan


dengan kedudukan manusia terhadap lingkungan berimplikasi bahwa manusia
ditempatkan sebagai satu elemen dari keseluruhan elemen lingkungan, yang meskipun dari
satu segi ialah sebagai obyek, tetapi dari segi lain juga sekaligus menjadi subyek dalam
kedudukan hukum. Dalam perspektif ini, maka keberadaan manusia memiliki keududukan
yang sama dan sejajar dengan segala benda-benda alam (air, udara, tanah, pohon, sungai,
gunung, dan sebagainya) dalam hubungan fungsional dengan alam.4

Sejalan dengan pandangan N.H.T. Siahaan yang mengatakan bahwa


mendudukkan manusia sebagai subyek di samping sebagai obyek lingkungan dapat
ditafsirkan dengan memiliki kedudukan khusus dalam perspektif ekologi dan lingkungan
yang pada tahapan selanjutnya membawa konsekuensi lebih jauh, padahal sebenarnya
dalam perkembangann tata nilai selanjutnya, semua benda-benda alam pada gilirannya
juga menjadi subyek. Namun, kedudukan hukum sebagai subyek yang diberikan kepada
manusia masih dirasakan belum memuaskan, sebab kenyataannya manusia
menyalahgunakan kedudukannya tersebut terhadap alam, yang mana pada akhirnya
menjadi berbenturan terhadap antar sesama (manusia).5

Kedudukan manusia terhadap lingkungan alam dalam perspektif hukum memiliki


arti bahwa “seharusnya” manusia dapat hidup berdampingan dengan sesama dan dengan
lingkungannya disertai memperagakan seoptimal mungkin penghayatan nilai-nilai etis
dalam praktek sehari-hari. Namun pada tataran realitas-pragmatis, justru kedudukan
manusia terhadap lingkungan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Keberadaan
lingkungan hanya menjadi obyek semata dari pemenuhan kepentingan manusia, tanpa

3
Ibid, (9).
4
Ibid.
5
Ibid, (10).
mengindahkan nilai-nilai fungsi kelestarian lingkungan hidup. Hal inilah yang pada
akhirnya menyebabkan terjadi banyaknya permasalahan lingkungan.

Berdasarkan sudut pandang para sarjana, setidak-tidaknya ada lima faktor yang
melatarbelakangi timbulnya masalah-masalah lingkungan, yakni teknologi, penduduk,
ekonomi, politik, dan tata nilai yang berlaku.

1. Teknologi
Barry Commoner (1973) dalam bukunya “The Closing Circle” melihat bahwa
teknologi merupakan sumber terjadinya masalah-masalah lingkungan. Semakin
berkembang teknologi maka semakin berkembang pula alat-alat hasil dari teknologi
itu. Meski sekarang ini sedang gencar-gencarnya diperkenalkan teknologi ramah
lingkungan tetapi tidak menutupi fakta bahwa banyak alat-alat hasil teknologi yang
masih menjadi penyebab pencemaran lingkungan.6

2. Pertumbuhan Penduduk
Ehrlich dan Holdren menekankan bahwa pertumbuhan penduduk dan
peningkatan kekayaan memberikan sumbangan penting terhadap penurunan kualitas
lingkungan hidup. Mereka menolak pandangan Commoner bahwa pengembangan dan
penerapan teknologi baru ke dalam berbagai sektor yang dimulai pada tahun 1940
sebagai terjadinya masalah-masalah lingkungan.7

3. Motif Ekonomi
Hardin (1977) dalam bukunya yang berjudul “The Tragedy of the Commons”
melihat bahwa alasan-alasan ekonomi yang sering kali menggerakkan perilaku
manusia dan keputusan-keputusan yang diambil oleh manusia secara perorangan
maupun dalam kelompok, terutama dalam hubungannya dengan pemanfaatan common
property. Oleh karena sumber daya itu dapat dan bebas untuk dimanfaatkan oleh setiap
orang untuk memenuhi kebutuhannya masing-masing, akibatnya setiap orang berusaha
dan berlomba-lomba untuk memanfaatkan atau mengeksploitasi sumber daya
semaksimal mungkin guna memperoleh keuntungan pribadi yang sebesar-besarnya.8

6
Aditia Syaprillah, 2018. Buku Ajar Mata Kuliah Hukum Lingkungan. Yogyakarta: Deepublish. (15)
7
Ibid, (16).
8
Ibid, (16).
4. Tata Nilai
Sebagian pakar berpendapat bahwa timbulnya masalah-masalah lingkungan
hidup disebabkan oleh tata nilai yang berlaku menempatkan kepentingan manusia
sebagai pusat dari segala-galanya dalam alam semesta. Nilai dari segala sesuatu yang
ada di alam semesta dilihat dari sudut pandang kepentingan manusia semata. Tata nilai
yang dimiliki ini dikenal dengan istilah antropocentric atau homocentric.9

M. Daud Silalahi menyampaikan bahwa masalah lingkungan dewasa ini


membawa perkembangan baru pada hukum lingkungan. Meningkatnya masalah
lingkungan nasional dan implikasinya secara regional dan global merupakan
konsekuensi dari perkembangan ilmu dan teknologi lingkungan yang sangat cepat pada
millenium ketiga. Masalah lingkungan yang disebabkan oleh perkembangan IPTEK
lingkungan, dengan segera pula membawa pengaruh pada perkembangan teori, filsafat
ilmu dan konsep hukum lingkungan berdasarkan konsep-konsep hukum perlindungan
dan pengelolaan lingkungan yang lebih mendalam secara ekologis dan bersifat holistik.
Pada perkembangan ini telah diperkenalkan berbagai gagasan baru, seperti “green
economy” sebagai bagian dari apa yang disebut kelompok ekologi mendalam
berdasarkan “green movement” dengan berbagai sudut pandang filsafat dan etika
lingkungan.10

Pelaksanaan hukum yang tidak efektif di Indonesia pada umumnya diakibatkan


oleh kurangnya pengetahuan dan kepedulian pemangku kepentingan terhadap berbagai
masalah lingkungan yang aspeknya makin luas dan rumit mengakibatkan penurunan
kualitas lingkungan secara signifikan. Masalah lingkungan di daerah diperkirakan akan
terus meningkat bilamana peningkatan kapasitas sumber daya manusia tidak disertai
dengan pemahaman dan pengetahuan mengenai pentingnya melakukan pelestarian
lingkungan. Memanfaatkan segala bentuk sumber daya yang disediakan oleh alam
memang tidak ada salahnya, namun harus diseimbangi juga dengan tindakan menjaga dan
melindungi lingkungan agar kualitas lingkungan alam dapat terjaga dan dirasakan
manfaatnya oleh generasi selanjutnya secara berkelanjutan.

Tidak jauh berbeda dari kondisi lingkungan global, kondisi lingkungan di


Indonesia makin hari makin menakutkan karena kerusakan yang dihasilkan dalam 30 tahun

9
Ibid, (16-17).
10
Ibid, (17).
terakhir sangat masif dan telah menimbulkan bencana yang dahsyat. Indonesia merupakan
salah satu penyumbang besar dalam kepunahan keanekaragaman hayati, pemanasan
global, dan penghancuran ekosistem laut.Untuk mempermudah, maka akan dibagi
berdasarkan sektor-sektor berikut: (i) kehutanan, (ii) pertambangan, (iii) kelautan, (iv)
limbah dan pencemaran (limbah B3, pencemaran air/sungai, pencemaran udara).11

A. Sektor Kehutanan
Sebagaimana dijelaskan pada pembahasan tentang permasalahan lingkungan
global di atas, Indonesia dianggap adalah perusak hutan terbesar di dunia karena
tingkat pengrusakan hutan di Indonesia sangat tinggi. Penyebab utama kerusakan
hutan di Indonesia dapat digolongkan ke dalam lima kategori utama, yakni:
a. pembakaran liar,
b. konsensi lahan untuk logging dan perkebunan (di atas kertas legal),
c. penambang liar,
d. konsensi hutan untuk pertambangan (di atas kertas legal).
e. perambahan hutan oleh masyarakat sekitar

B. Sektor Pertambangan
Sektor pertambangan tak kalah parahnya dengan sektor kehutanan. Hampir
semua pertambangan di Indonesia tidak patuh pada peraturan hukum yang berlaku di
negeri ini, termasuk pertambangan-pertambangan besar sekalipun yang diberi izin dan
diawasi oleh pemerintah. Menurut Greenpeace, sekitar 70 persen kerusakan
lingkungan di Indonesia disebabkan oleh pertambangan. Jumlah izin pertambangan
yang telah diberikan oleh pemerintah mencapai lebih dari 10.000 perizinan dan ini
belum termasuk perizinan tambang Galian C. Contoh nyata kerusakan lingkungan
yang dilakukan oleh pertambangan besar dapat dilihat pada sejumlah pertambangan
yang dikelola oleh perusahan-perusahaan berikut:
a. Kasus Pencemaran Teluk Buyat
b. Lumpur Lapindo Brantas
c. Pencemaran Freeport

C. Pencemaran Industri dan Transportasi

11
Laude M. Syarif dan Andri G. Wibisana, 2010. Hukum Lingkungan Teori, Legislasi, dan Studi
Kasus. Jakarta: PT Raja Grafindo. (21)
Di samping kerusakan lingkungan akibat eksploitasi sumber daya alam seperti
tambang, hutan, ikan dan lain-lain, sumber permasalahan lingkungan di Indonesia juga
disebabkan oleh industri, dunia usaha dan limbah domestik. Sampai hari ini, hampir
semua sungai besar di Indonesia, khususnya yang berada di Pulau Jawa sangat
tercemar dan telah melampaui baku mutu air yang ditetapkan oleh pemerintah. Sungai
Ciliwung yang membelah Jakarta dan Sungai Bengawan Solo yang membelah Pulau
Jawa adalah contoh klasik dari sungai yang tercemar bahkan tingkat cemarnya sudah
dalam kriteria sangat berbahaya. Kementerian Lingkungan Hidup bahkan menyatakan
‘Bengawan Solo sakit’, sehingga perlu diobati dan diselamatkan bersama-sama. Di
samping sungai-sungai di atas, hampir semua sungai besar di Indonesia juga
mengalami pencemaran yang sangat berat. Penyebab utama dari tercemarnya sungai-
sungai tersebut adalah kombinasi dari: (i) limbah rumah tangga (padat dan cair), (ii)
limbah industri (padat dan cair), (iii) limbah pertanian (pestisida, insektisida, pupuk
urea, dll). Namun demikian, limbah industri adalah yang paling berbahaya, karena
limbah cair industri biasanya mengandung zat-zat beracun. Kebanyakan industri di
Indonesia sering membuang limbah mereka ke sungai tanpa melalui instalasi
pengelolaan limbah (IPAL) yang baik dan memadai.
Sejumlah kasus pencemaran sungai yang telah diproses secara hukum dapat
dilihat pada kasus-kasus berikut:
a. Kasus Rumah Potong Hewan Surabaya
b. Kasus Wings Surya

2. Kebijaksanaan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


Menurut Mukhlish dalam buku Buku Ajar: Hukum Lingkungan kebijaksanaan
hukum lingkungan merupakan baian fundamental di dalam mengartikulasikan sekaligus
mengimplementasikan nilai-nilai yang terkandung di dalam hukum lingkungan itu sendiri.
Jay A. Sigler memandang bahwa definisi kebijaksanaan dapat dibedakan menjadi dua,
yaitu dalam pengertian yang sempit dan pengertian luas: “In a sense, any action taken by
any govermental agency is a public policy. In broader terms, according to David Aeston,
any authoritative allocation of values for society”. Lebih lanjut Jay A. Sigler
mengemukakan bahwa “The boundaries of public policy are not yet fixed; but by focussing
attention “on the intersection of the political system and the society around it’ rather than
on the social structure or the government, we concentrate on the product of te political
processes, not on decision making”. Pandangan Jay A. Sigler tersebut membawa
pengertian kebijaksaan hanya mencakup pada produk kewenangan politik bukan pada
proses pembuatan keputusan.12 Secara sederhana, definisi kebijaksanaan dapat
dirumuskan menjadi:13
1) Pertama, yaitu kebijaksanaan diartikan sebagai kebijakan yang dibuat oleh
administratur negara atau admistratur publik. Sehingga kebijaksanaan adalah segala
sesuatu yang dikerjakan dan yang tidak dikerjakan oleh pemerintah.
2) Kedua, kebijaksanaan adalah kebijakan yang mengatur kehidupan bersama atau
kehidupan publik, bukan kehidupan orang seorang atau golongan. Kebijakan publik
mengatur semua yang ada di domain lembaga administratur publik. Kebijakan publik
mengatur masalah bersama atau masalah pribadi atau golongan, yang sudah menjadi
masalah bersama dari seluruh masyarakat di daerah itu.
3) Ketiga, dikatakan sebagai suatu kebijaksanaan jika manfaat yang diperoleh
masyarakat yang bukan pengguna langsung dari produk yang dihasilkan jauh lebih
banyak atau lebih besar dari pengguna langsungnya.

Beragam pengertian mengenai kebijaksanaan tersebut akan bermuara pada sebuah


fakta, yakni undang-undang merupakan landasan hukum yang mendasari kebijaksanaan
pemerintah khususnya dalam bidang pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam.14
Dalam ketentuan-ketentuan pokok UUPLH disebutkan bahwa lingkungan hidup
bertujuan:
a. Tercapainya keselarasan hubungan antara manusia dengan lingkungan hidup sebagai
tujuan membangun manusia Indonesia seutuhnya;
b. Terkendalinya pemanfaatan sumber daya secara bijaksana;
c. Terwujudnya manusia Indonesia sebagai pembina lingkungan hidup;
d. Terlaksananya pembangunan berwawasan lingkungan untuk kepentingan generasi
sekarang dan mendatang;
e. Terlindunginya negara terhadap dampak kegiatan di luar wilayah negara yang
menyebabkan kerusakan dan pencemaran lingkungan.

Dilaksanakannya Seminar Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pembangunan


Nasional oleh Universitas Padjadjaran di Bandung tanggal 15-18 Mei 1972 menjadi
tonggak sejarah yang menandai kepedulian terhadap masalah lingkungan. Sebagai tindak

12
Mukhlish. 2019. Buku Ajar: Hukum Lingkungan. Surabaya: Scopindo Media Pustaka. (46-47).
13
Riant Nugroho Dwijowijoto. 2006. Kebijakan Publik Untuk Negara-Negara Berkembang. Jakarta: PT Elex
Media Komputindo. (23-27)
14
Mukhlish, op.cit (49)
lanjut dari Konferensi Stockholm 1972, kegiatan pengelolaan lingkungan di Indonesia
mulai ditangani secara langsung oleh pemerintah berdasarkan Keputusan Presiden Nomor
16 Tahun 1972 tentang Pembentukan Panitia Perumus dan rencana Kerja bagi Pemerintah
di Bidang Pengembangan Lingkungan Hidup. Panitia ini berhasil menyusun inventarisasi
dan rencana kerja bagi pemerintah di bidang pengembangan lingkungan hidup yang
kemudian dituangkan dalam TAP MPR RI Nomor IV/MPR/1973 tentang GBHN. 15

Sejalan dengan kebijakan yang digariskan dalam ketentuan Ketetapan MPR RI


Nomor II/MPR/1993 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (Bab IV Pembangunan
Lima Tahun Keenam, F. Kebijaksanaan Pembangunan Lima Tahun Keenam, HUKUM),
yang program-programnya sudah dijabarkan dalam Keputusan Presiden RI Nomor 17
Tahun 1994 tentang RAPELITA VI, Bab 39 Hukum. Bahkan dalam Ketetapan MPR RI
Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004,
penataan hukum nasional telah menjadi prioritas arah kebijaksanaan di bidang hukum.16

Dalam konteks pengelolaan lingkungan, hubungan antara hukum lingkungan


dengan kebijaksanaan lingkungan adalah merupakan bagian dari proses pembangunan
hukum nasional. Pengelolaan lingkungan hidup Indonesia telah mempunyai dasar hukum
yang kuat dan bersifat menyeluruh serta dilandasi oleh prinsip-prinsip hukum lingkungan
sebagaimana yang dituangkan dalam UUD’82 yang kemudian diganti menjadi UUPLH.17

Kehadiran UUPLH merupakan bagian dari ekses pembangunan yang digalakkan


oleh pemerintah Indonesia dalam segala aspek kehidupan. Pembangunan yang
memanfaakan secara terus menerusterhadap sumber daya alam guna meningkatkan
kesejahteraan dan mutu hidup rakyat. Sementara itu, ketersediaan sumber daya alam
terbatas dan tidak merata, baik dalam jumlah maupun dalam kualitas, sedangkan
permintaan akan sumber daya alam kian meningkat sebagai akibat meningkatnya kegiatan
pembangunan di segala bidang. Pada pihak lin, daya dukung lingkungan hidup daat
terganggu dan daya tampung lingkungan hidup dapat menurun.18

15
Khalisah Hayatuddin dan Selika Aprita. 2021. Hukum Lingkungan. Jakarta: Kencana. (61)
16
Ibid (49-50)
17
Siti Sundari Rangkuti. 2005. Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional. Surabaya:
Penerbit Airlangga University Press. (9)
18
Mukhlish, op.cit (50)
Menurut Yunus Wahid dalam buku Pengantar Hukum Lingkungan menyebutkan
bahwasannya kebijaksanaan lingkungan hidup atau PPLH dapat dibagi ke dalam dua era,
yaitu era sebelum amandemen dan sesudah amandemen UUD 1945.19

A. Sebelum Amandemen UUD 1945


Isu mengenai perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup untuk pertama
kalinya termuat dalam Ketetapan (Tap) MPR Nomor IV/MPR/1973-GBHN (1973-
1978) sebagai regulasi yang menuangkan PPLH sebagai bagian dari kebijaksanaan
nasional dalam arti kebijaksanaan politik pemerintahan tertinggi (Guideline of the State
Policy) sebagai kebijaksanaan nasional.20 Hal tersebut termuat dalam Bab III butir 10
yang menegaskan:

“Dalam pelaksanaan pembangunan, sumber-sumber alam Indonesia harus


digunakan secara rasional. Penggalian sumber kekayaan alam tersebut harus
diusahakan agar tidak merusak tata lingkungan hidup manusia, dilaksanakan
dengan kebijaksanaan yang menyeluruh dan dengan memperhitungkan
kebutuhan generasi yang akan datang.”

Ketentuan yang termuat dalam Bab III butir 10 TAP MPR Nomor
IV/MPR/1973-GBHN menjadi titik tolak kebijaksanaan nasional perlindungan dan
pengelolaan lingkugan hidup di Indonesia. Upaya penyempurnaan (penyesuaian) turut
dilakukan sesuai dengan perkembangan yang dicapai pada penetapan GBNH-GBHN
berikutnya. Terdapat sebuah persamaan pemikiran yang melandasi, yaitu
memanfaatkan sumber daya alam dan lingkungan hidup secara lestari dan lintas
generasi dengan beberapa variasi sebagai penekanan seperti mengembangkan hukum
lingkungan yang mulai dimasukkan pada GBHN (1978-1983, TAP MPR Nomor
IV/MPR/1978) yang kemudian menghasilkan UULH (Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1982) yang merupakan undang-undang lingkungan hidup pertama bagi sejarah
ketatanegaraan Indonesia.21

Dalam GBHN 1999-2004, TAP MPR Nomor IV/MPR/1999 PPLH tetap


diangkat sebagai bagian dari kebijaksanaan nasional yang intinya berupaya untuk
“Terwujudnya masyarakat Indonesia yang damai, berkesadaran hukum dan

19
Yunus Wahid. 2008. Pengantar Hukum Lingkungan. Jakarta: Kencana. (187)
20
Koesnadi Hardjasoemantri. 1989. Invironmental Legislation in Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press. (5)
21
Yunus Wahid, op.cit (188).
lingkungan”. Untuk maksud tersebut, diupayakan pemberdayaan masyarakat dan
seluruh kekuatan ekonomi nasional, berbasis pada sumber daya alam dan sumber daya
manusia yang produktif, berwawasan lingkungan hidup, dan berkelanjutan
sebagaimana termuat dalam Bab III, visi dan misi GBHN 1999-2004).22

Pada Bab IV GBHN 1999-2004, Arah Kebijakan Sub H : Sumber Daya Alam
dan Lingkungan Hidup, ditegaskan:
a. Mengelola sumber daya alam dan memelihara daya dukungnya agar bermanfaat
bagi peningkatan kesejahteraan dari generasi ke generasi.
b. Meningkatkan pemanfaatan potensi sumber daya alam dan lingkungan hidup
dengan melakukan konservasi, rehabilitasi, dan penghematan penggunaan, dengan
menerapkan teknologi ramah lingkungan.
c. Mendelegasikan secara bertahap wewenang pemerintah usat kepada pemerintah
daerah dalam pelaksanaan pengelolaan sumber daya alam secara selektif dan
pemeliharaan lingkungan hidup sehingga kualitas ekosistem tetap terjaga, yang
diatur dengan Undang-Undang.
d. Pendayagunaan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
dengna memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup,
pembangunan yang berkelanjutan, kepentingan ekonomi dan budaya lokal, serta
penataan ruang, yang pengusahananya diatur dengan Undang-Undang.
e. Merepkan indikator-indikator yang memungkinkan pelestarian (fungsi) dan
kemampuan keterbaruan dalam pengelolaan sumber daya alam yang dapat
diperbaharui untuk mencegah kerusakan sumber daya alam yang tidak dapat
balik.23

Sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 9 ayat (1) UUPLH disebutkan bahwa
kebijaksanaan pengelolaan lingkungan hidup oleh pemerintah, yang ditegaskan dengan
rumusan:

“Pemerintah menetapkan kebijaksanaan nasional tentang PLH dan penataan


ruang dengan memperhatikan nilai-nilai agama, adat istiadat, dan nilai-nilai
yang hidup dalam masyarakat”.

22
Ibid.
23
Ibid.
B. Sesudah Amandemen UUD 1945
Amandemen UUD 1945 turut membawa perubahan terhadap GBHN dalam
ketatanegaraan Republik Indonesia. Perubahan mendasar tersebut adalah ditiadakannya
GBHN dalam ketenagaraan Republik Indonesia sejalan dengan perubahan supremasi
MPR (lembaga tertinggi negara) sebagai pemegang dan pelaksana sepenuhnya
kedaulatan rakyat menjadi sejajar dengan lembaga-lembaga negara lainnya.24
Perubahan lembaga MPR yang sebelumnya sebagai lembaga tertinggi negara menjadi
lembaga tinggi negara menyebabkan MPR tidak lagi memiliki kewenangan untuk
menetapkan GBHN. Konsekuensi yang timbul adalah kebijaksanaan nasional,
termasuk kebijaksanaan di bidang lingkungan hidup diatur dalam dan berdasarkan
Undang-Undang.25

Regulasi yang mengatur mengenai hal tersebut adalah Undang-Undang Nomor


25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembagunan Nasional (LNRI Tahun 2004
Nomor 104-TLN RI Nomor 4421) tanggal 5 Oktober 2004. Undang-Undang ini
kemudian disebut dengan Undang-Undang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional (UUSPPN). Adapun landasan pemikiran yang melatarbelakangi UUSPPN
diantaranya:
a. Bahwa pemerintah Indonesia dibentuk untuk melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.
b. Tugas pokok selanjutnya adalah mengisi kemerdekaan tersebut dengan
pembangunan yang dilaksanakan secara bertahap dan berkelanjutan.
c. Agar pembangunan tersebut dapat berjalan efektif, efisien, dan bersaran, diperlukan
perencanaan pembangunan nasional.
d. Agar perencanaan tersebut dapat menjamin tercapainya tujuan negara sebagaimana
termuat dalam Alinea IV Pembukaan UUD 1945, perlu adanya sistem perencanaan
pembangunan nasional. Sehingga diperlukan Undang-Undang untuk mengatur
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN).

UUD 1945 sebagai landasan konstitusional penyelenggaraan negara menjadi


dasar pemikiran yang melahirkan SPPN. Dalam kurun waktu relatif singkat (1999-

24
Moh. Mahmud MD. 2010. Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca-Amandemen Konstitusi. Jakarta:
Rajawali Pers. (69)
25
Yunus Wahid, op.cit (189).
2002) landasan konstitusional tersebut telah mengalami serangkaian (empat kali)
perbuahan. Termasuk di dalamnya perubahan dalam hal pengelolaan pembangunan dan
penyelengaraan negara pada umumnya.26

GBHN atau TAP MPR-RI yang sebelum amandemen digunakan (1945-2002)


merupakan landasan hukum bagi pemerintah atau presiden untuk menyusun rencana
pembangunan lima tahunan (Repelita) di era Orde Baru tidak dianut lagi dalam UUD
NRI 1945. Sehingga pemerintah yang dalam hal ini adalah presiden tidak lagi memiliki
pedoman untuk rencana pembangunan. Di samping itu, perubahan juga dirasakan oleh
lembaga legislatif yang kedudukannya semakin diperkuat dan diperkuatnya otonomi
daerah. Pengaturan lebih lanjut mengenai proses perencanaan pembangunan nasional
menjadi harapan dalam mengharmonisasikan dan menyelaraskan pembangunan, baik
pembangunan nasional, pembangunan daerah, maupun pembangunan antar daerah.
Pasal 13 UUSPPN menetapkan bahwa:27
a. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) ditetapkan dengan
undang-undang.
b. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJP Daerah) ditetapkan dengan
peraturan daerah. RPJP Daerah mencakup provinsi, dan kabupaten/kota
(sebagaimana diatur dalam Pasal 1 butir 23 UUSPPN).
c. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) ditetapkan dengan
peraturan presiden.
d. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJM Daerah) ditetapkan
dengan peraturan kepala daerah.

D. Kesimpulan
Berdasarkan latar belakang dan pembahasan di atas, maka dapat ditarik beberapa
simpulan, yaitu:
1. Dalam perkembangannya, eksistensi hukum hanya terbatas dalam mengatur hubungan
manusia dengan manusia, di mana prinsip-prinsip hukum lebih ditujukan kepada
manusia dengan segala perilakunya dan dalam interaksinya dengan sesama. Ada lima
faktor yang melatarbelakangi timbulnya masalah-masalah lingkungan, yakni teknologi,
penduduk, ekonomi, politik, dan tata nilai yang berlaku. Ada 4 sektor juga yang menjadi

26
Ibid, (190).
27
Ibid.
Penyebab kerusakan lingkungan hidup diantaranya adalah sektor kehutanan, sektor
pertambangan, kelautan, limbah dan pencemaran udara. Oleh karena itu sangat
diperlukan kesadaran dari seluruh masyarakat serta pemerintah agar dapat melakukan
upaya dalam mengatasi permasalahan-permasalahan kerusakan lingkungan yang
terjadi.

2. Kebijaksanaan lingkungan hidup atau PPLH terbagi ke dalam dua era, era sebelum
amandemen yaitu mengenai perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang
termuat dalam Tap MPR Nomor IV/MPR/1973-GBHN (1973-1978) dan dalam
ketentuan ini juga khususnya pada Bab III butir 10 menjadi titik tolak kebijaksanaan
nasional perlindungan dan pengelolaan lingkugan hidup di Indonesia dan sesudah
amandemen UUD 1945 terjadi sebuah perubahan yang mendasar yaitu adalah
ditiadakannya GBHN dalam ketenagaraan Republik Indonesia sejalan dengan
perubahan supremasi MPR (lembaga tertinggi negara) sebagai pemegang dan
pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat yang menjadi sejajar dengan lembaga-
lembaga negara lainnya.
DAFTAR PUSTAKA

United Nations Conference on the Human Environment (UNCHE).

United Nations Conference on Environment and Development (UNCED).

Bram, Deni, 2014, Politik Hukum Pengelolaan Lingkungan Hidup Cetakan Pertama, Setara
Press, Malang.

Dwijowijoto, Riant Nugroho, 2006, Kebijakan Publik Untuk Negara-Negara Berkembang, PT


Elex Media Komputindo, Jakarta.

Hardjasoemantri, Koesnadi, 1989, Invironmental Legislation in Indonesia, Gadjah Mada


University Press, Yogyakarta.

Hayatuddin, Khalisah, Selika Aprita, 2021, Hukum Lingkungan, Kencana, Jakarta.

Laude M. Syarif dan Andri G. Wibisana, 2010, Hukum Lingkungan Teori, Legislasi, dan Studi
Kasus, PT Raja Grafindo, Jakarta.

MD, Moh. Mahmud, 2010, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca-Amandemen Konstitusi,
Rajawali Pers, Jakarta.

Mukhlish, 2019, Buku Ajar: Hukum Lingkungan, Scopindo Media Pustaka, Surabaya.

Rangkuti, Siti Sundari, 2005, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional,
Penerbit Airlangga University Press, Surabaya.

Syaprillah, Aditia, 2018, Buku Ajar Mata Kuliah Hukum Lingkungan, Deepublish, Yogyakarta.

Wahid, Yunus, 2008, Pengantar Hukum Lingkungan, Kencana, Jakarta.


HUKUM LINGKUNGAN

PERKEMBANGAN MASALAH LINGKUNGAN GLOBAL DAN KEBIJAKSANAAN


LINGKUNGAN GLOBAL

Disusun Oleh :

Nelci Priskila Kulle (2004551082)

Santa Maria Hutapea (2004551087)

Angelina Elizabet Hutasoit (2004551094)

Pedro Orao Lakhomi Dachi (2004551111)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2022
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Lingkungan hidup adalah kombinasi antara kondisi fisik yang mencakup keadaan
sumber daya alam seperti tanah, air, energi surya, mineral, serta flora dan fauna yang
tumbuh di atas tanah maupun di dalam lautan, dengan kelembagaan yang meliputi ciptaan
manusia seperti keputusan bagaimana menggunakan lingkungan fisik tersebut.
Lingkungan juga dapat diartikan menjadi segala sesuatu yang ada di sekitar manusia dan
mempengaruhi perkembangan kehidupan manusia. Lingkungan terdiri dari komponen
abiotik dan biotik. Komponen abiotik adalah segala yang tidak bernyawa seperti tanah,
udara, air, iklim, kelembaban, cahaya, bunyi. Sedangkan komponen biotik adalah segala
sesuatu yang bernyawa seperti tumbuhan, hewan, manusia dan mikroorganisme (virus
dan bakteri). Lingkungan hidup merupakan bagian terpenting dan sangat menentukan
bagi kelangsungan hidup manusia, kebudayaan nya, dan peradabannya. Selama ada
kehidupan manusia, sejak lahir bahkan ketika masih berada dalam alam kandungan,
faktor lingkungan adalah merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan secara mutlak
dari kehidupan manusia. Oleh karena itu, seberapapun kita memandang benda-benda
lingkungan, dalam kelangsungan kehidupan manusia, maka keberadaan benda-benda
lingkungan itu adalah sangat penting akan keberadaannya.

Berdasarkan pada berbagai pengertian lingkungan hidup, dapat dikatakan bahwa


lingkungan pada hakikatnya memiliki cakupan yang sangat luas. Tidak hanya manusia,
hewan, tumbuh-tumbuhan, atau benda-benda yang bersifat fisik. Lingkungan, adalah
mencakup di dalamnya berbagai hal, dari suatu yang bersifat biotik, organik (manusia,
hewan, tumbuh-tumbuhan), yang bersifat anorganik (tanah, sungai, bangunan, gunung,
udara) hingga sosial (masyarakat).

Berkaitan dengan lingkungan, sudah pasti sama seperti hal lainnya yang ada di dunia
ini, lingkungan pun memiliki suatu permasalahan tersendiri. Diambil dari arti katanya,
masalah berarti suatu pernyataan tentang keadaan yang belum sesuai dengan apa yang
diharapkan. Biasanya sebuah masalah dianggap sebagai suatu hal yang harus dipecahkan
atau diselesaikan. Dari pengertian tersebut, maka permasalahan lingkungan hidup dapat
diartikan sebagai hal-hal ataupun keadaan yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan
terhadap lingkungan, dan malah menimbulkan persoalan baru yang lebih kompleks.
Masalah lingkungan ini muncul bersamaan dengan munculnya peradaban manusia.
Sesudah manusia mampu memanfaatkan lingkungan sebagai sumber kehidupan. Kenapa
hal demikian bisa berhubungan? hal ini dikarenakan manusia sebagai salah satu pengguna
lingkungan melakukan eksploitasi lingkungan secara berlebihan tanpa memperhatikan
dampak yang terjadi kedepannya. Salah satu isu penting dalam globalisasi adalah masalah
lingkungan. Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban bagi semua orang untuk
memberikan perlindungan terhadap lingkungan secara proporsional. Demi terciptanya
lingkungan hidup yang seyogianya, terlebih dahulu kami akan membahas perkembangan
masalah lingkungan global, dan kebijakan global dalam menghadapi perkembangan
masalah lingkungan tersebut.

1.2. Rumusan Masalah

Setelah melihat dari latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka adapun rumusan
masalah yang didapatkan yakni sebagai berikut :

1. Bagaimanakah permasalahan lingkungan global danperkembangannya yang terjadi


saat ini ?
2. Bagaimana kebijakan global dalam menyikapi permasalahan lingkungan ini ?

1.3. Tujuan Penulisan


Adapun tujuan dari penulisan paper ini yaitu :
1. Mengetahui tentang permasalahan lingkungan global dan perkembangannya
2. Mengetahui kebijakan global dalam menyikapi permasalahan lingkungan global
3. Menyelesaikan Tugas Mata Kuliah Hukum Lingkungan
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Permasalahan Lingkungan Global dan Perkembangannya


Masalah lingkungan hidup global adalah refleksi masyarakat internasional khususnya
berkaitan dengan terjadinya berbagai macam kerusakan atau pencemaran lingkungan
yang melanda dunia akibat adanya pembangunan. Permasalahan lingkungan global telah
ada sejak ratusan tahun yang lalu, tapi kerusakan lingkungan global mulai terasa sejak
lahirnya revolusi industri di Eropa yang kemudian disusul oleh beberapa negara industri
lainnya. Namun demikian tingkat kerusakan lingkungan global makin tinggi dan cepat
intensitasnya pada tahun 1950-an setelah umat manusia memiliki kemampuan untuk
mengeksploitasi sumber daya alam dalam jumlah yang sangat besar. Pertumbuhan
penduduk yang makin tinggi juga memberikan kontribusi yang sangat signifikan dalam
pengerukan sumber daya alam sehingga mempercepat proses pengrusakan lingkungan.
Berikut merupakan gambaran permasalahan global yang dihadapi oleh negara-negara di
dunia sampai dengan saat ini termasuk di Indonesia :

1. Keanekaragaman Hayati
Pencemaran dan perusakan lingkungan yang terjadi secara global, secara
berkala telah mengancam kelestarian dan keanekaragaman hayati di dunia. Dampak
yang ditimbulkan menyebabkan makhluk yang ada di ekosistem darat dan laut
menjadi berkurang atau bahkan punah. Hal ini memicu ketidakseimbangan alam
dalam menjaga daya dukung lingkungan bagi keberlanjutan kehidupan manusia dan
makhluk lainnya. Penyebab dari terancamnya kelestarian dan keanekaragaman hayati
merupakan akibat langsung dari eksploitasi alam yang tidak terkendali dan makin hari
makin masif luasan dan jumlahnya. Contoh nyata dari eksploitasi dan tindakan
tersebut, antara lain:
(i) alih fungsi lahan hutan untuk tujuan: pemukiman, pertanian skala besar seperti
kelapa sawit, konsesi pembalakan (logging) hutan, pembakaran hutan,
pembukaan lahan tambang, dan perbuatan ilegal, seperti illegal logging,
illegal mining.
(ii) Eksploitasi berlebihan (overexploitation) sumber daya laut, seperti:
penangkapan ikan yang menggunakan alat tangkap yang dilarang, seperti
pukat harimau, bom ikan, bahan kimia, perusakan terumbu karang,
pencemaran air laut yang kian hari kian mengkhawatirkan, perusakan wilayah
pesisir untuk reklamasi pemukiman, industri, dan tambak (aquaculture)
(iii) Perusakan dan perburuan liar/ilegal, seperti: perburuan satwa liar untuk
diperjualbelikan (poaching), perambahan hutan.

2. Pemanasan Global
Pemanasan global (global warming) yang juga disebut darurat iklim atau
krisis iklim adalah suatu proses meningkatnya suhu rata-rata atmosfer, laut, dan
daratan Bumi.Pemanasan global (global warming) menjadi salah satu isu lingkungan
utama yang dihadapi dunia saat ini. Pemanasan global berhubungan dengan proses
meningkatnya suhu rata-rata permukaan bumi. Peningkatan suhu permukaan bumi ini
dihasilkan oleh adanya radiasi sinar matahari menuju ke atmosfer bumi, kemudian
sebagian sinar ini berubah menjadi energi panas dalam bentuk sinar infra merah
diserap oleh udara dan permukaan bumi.
Adapun penyebab utama dari pemanasan global, para ilmuwan telah sepakat
bahwa penyebab utamanya adalah meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca
(green house gases) seperti: karbon dioksida (Co2), metana (Ch4), Water vapor
(H2O), Nitrous oxide (N2O), Ozone (O3) dan CFCs. Gas-gas tersebut makin
menumpuk di lapisan atmosfer bumi sehingga sangat berpengaruh pada panas bumi.
Menurut laporan terakhir, konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmofer telah mencapai
400 ppm (part per million) padahal konsentrasi yang sehat seharusnya pada tingkatan
350 ppm. Adapun sumber dari gas-gas tersebut adalah berasal dari aktivitas manusia
yang membakar bahan bakar fosil (fossil fuels) seperti batu bara, minyak dan gas
bumi untuk kegiatan industri, pembangkit listrik, transportasi darat, laut dan udara dan
pada saat yang sama kemampuan bumi untuk menyerap CO2 makin hari makin
menurun karena hutan dan pohon-pohon yang menyerap CO2 (carbon sink) sudah
berkurang dengan signifikan, sebagaimana dikemukakan pada penjelasan tentang
keanekaragaman hayati di atas. Konsekuensinya adalah bumi semakin panas dan
mengakibatkan perubahan iklim (climate change). Negara-negara penyumbang emisi
CO2 adalah negara-negara industri maju dan negara-negara berkembang besar yang
sedang pertumbuhan ekonominya meningkat dengan pesat. Pemanasan global dan
perubahan iklim memiliki dampak negatif yang luar biasa dan saat ini telah dirasakan
oleh semua negara di dunia. Dari semua fenomena alam yang diakibatkan oleh
pemanasan global yang telah dirasakan sekarang (telah terjadi) adalah: suhu
meningkat dan menurun tajam pada saat siang dan malam, gelombang panas yang
sering terjadi, mencairnya es di Kutub Utara dan Kutub Selatan, peningkatan
permukaan laut di beberapa belahan bumi, bencana kekeringan sering terjadi,
frekuensi badai/taifun yang meningkat, (vii) memutih/rusaknya terumbu karang (coral
bleaching) akibat suhu yang meningkat. Jika trend ini berlanjut terus ditakutkan akan
meningkatkan menyebarnya penyakit tropis, dan akan mengganggu musim tanam
siklus pertanian dan lain-lain.

3. Rusaknya Lapisan Ozon


Atmosfer terdiri atas beberapa lapisan (layer) yang berbeda-beda dan setiap
lapisan memiliki fungsi tertentu. Para pakar membagi lapisan-lapisan tersebut
berdasarkan ketinggian dari permukaan bumi. Menurut para pakar, lapisan atmosfer
terbagi dalam lima lapisan yakni troposphere, stratosphere, mesosphere,
thermosphere, dan exosphere. lapisan ozon (ozone layer) terletak pada bagian bawah
lapisan stratosfer atau pada ketinggian antara 20-30 km dari permukaan laut,
tergantung variabilitas dari geografi alam disekitarnya. Lapisan bawah stratosfer
ditemukan banyak senyawa ozon (O3) sehingga lapisan ini disebut lapisan ozon.
Menurut para ahli, senyawa ozon dapat menyerap radiasi jahat dari sinar matahari
sehingga ketika mencapai bumi, sinar matahari tersebut tidak lagi berbahaya bagi
manusia dan makhluk hidup lainya. Sayangnya lapisan pelindung radiasi ultraviolet
ini semakin mengalami penipisan bahkan kerusakan. Hasil pengamatan di tahun
1980-1991 mendapati lubang pada lapisan ozon yang membesar hingga hampir seluas
benua Australia. pencemaran udara dan pemakaian senyawa-senyawa kimia,
khususnya (i) chloro fluoro carbon (CFC), (ii) carbon tetrachloride, (iii) methyl
chloroform, (iv) halons, dan (vi) Hydrochlorofluorocarbons dalam berbagai peralatan
seperti: (i) refrigeration (lemari es), (ii) air conditioning (pendingin ruangan), (iii)
foam blowing (pengembang busa), (iv) cleaning of electronics components
(pembersih komponen elektronik) dan (v) solvent (pengencer/pelarut), memberikan
kontribusi yang besar pada penipisan lapisan ozon (ozone layer depletion). Apa yang
terjadi jika lapisan ini mengalami penipisan bahkan berlobang? Penipisan lapisan
ozon akan meningkatkan radiasi sinar ultraviolet sinar matahari sampai ke bumi. Hal
ini berbagai dampak langsung bagi kesehatan manusia seperti kanker, tumbuhan, dan
hewan. Pun mengakibatkan meningkatnya suhu bumi (pemanasan global) yang
memicu mencairnya es di kutub, meningkatnya permukaan air laut, tidak menentunya
cuaca dan iklim, dan meningkatnya bencana alam. Kesemuanya memberikan dampak
lanjutan di berbagai bidang mulai kesehatan, ekonomi, sosial, hingga pertahanan dan
keamanan. Penipisan lapisan ozon menjadi masalah penting karena setiap penipisan
lapisan ozon sebesar 10% akan menyebabkan kenaikan intensitas sinar ultraviolet
(UV) B sebesar 20%. Tingginya UV-B bisa menimbulkan katarak mata, kanker kulit,
penurunan kekebalan tubuh, memusnahkan plankton dan menghambat pertumbuhan
tanaman. Penipisan lapisan ozon pun mengakibatkan meningkatkan radiasi ultraviolet
sinar matahari ke bumi yang dapat menimbulkan penyakit kanker kulit, katarak mata,
dan mengurangi daya tahan tubuh terhadap penyakit infeksi

Setelah membahas secara rinci mengenai beberapa permasalahan-permasalahan


lingkungan dan perkembangannya, adapun hasil dari salah satu literatur yang penulis
dapatkan menyebutkan bahwa Diperkirakan antara tahun 1990-2100 akan terjadi kenaikan
rata-rata suhu global sekitar 1,4 sampai 5,8 derajat celcius. Akibatnya akan terjadi kenaikan
rata-rata permukaan air laut disebabkan mencairnya gunung-gunung es di kutub. Banyak
kawasan di dunia akan terendam air laut. Akan terjadi perubahan iklim global. Hujan dan
banjir akan meningkat. Wabah beberapa penyakit akan meningkat pula. Produksi tumbuhan
pangan pun terganggu. Secara singkatnya, dari ketiga permasalahan global ini, tentunya
sudah memiliki perkembangan-perkembangan tersendiri, seperti misalnya pada masalah
keanekaragaman hayati, dilaporkan oleh World Resource Institute bahwa dari tahun 1960-
1990 seperlima hutan hujan tropis telah berkurang, lebih dari 10% terumbu karang rusak, dan
50% Hutan Mangrove telah Punah. Angka ini tentu saja akan bertambah, apalagi mengingat
sekarang sudah menginjak tahun 2022, yang berarti sudah semakin banyak perubahan
semenjak terakhir kali penelitian ini dilakukan, sekitar 32 Tahun yang lalu. Dampak dari
hilangnya alam ini tentunya berdampak pada binatang yang kehilangan habitat tempat
tinggalnya, dan menyebabkan ketidakseimbangan ekosistem.

Adapun terkait dengan pemanasan global, perkembangan terkait dengan pemanasan


global saat ini adalah seperti yang bisa dilihat sendiri dalam kehidupan manusia, bahwa suhu
udara yang semakin hari semakin panas dan cuaca yang kadang tidak menentu. Cuaca yang
seharusnya musim kemarau, bisa saja berubah tiba-tiba menjadi musim hujan dikarenakan
efek dari pemanasan global seperti yang telah dipaparkan sebelumnya. Contoh nyatanya
adalah berkurangnya lapisan es dikarenakan mencair di Gunung besar di dunia seperti
Pegunungan Alpen, Himalaya, dan bahkan salju abadi di Jayawijaya Papua diperkirakan akan
mencair disebabkan oleh pemanasan global ini. Udara panas ini juga tentunya dapat
menyebabkan kebakaran hutan, yang tentunya akan merugikan manusia dan makhluk hidup
lainnya karena hutan sebagai sumber oksigen dan habitat makhluk hidup.

Kontrol yang ketat atas perdagangan dan produksi bahan-bahan kimia di atas dan
ditemukannya bahan-bahan kimia yang lebih ramah dengan lingkungan, maka “lubang ozon”
yang dulunya besar dan luas, sekarang sedikit demi sedikit telah tertutup. ‘Keberhasilan’ ini
menunjukkan bahwa jika masyarakat internasional, pemerintah dan dunia usaha bersungguh-
sungguh untuk menyelesaikan permasalahan lingkungan global pasti bisa dilaksanakan.
Penelitian pada 2011 menunjukkan hasil yang mulai membaik. Lubang tersebut masih tersisa
di atas kutub utara, Rusia, dan Australia.

2.2 Kebijakan Global dalam Menyikapi Permasalahan Lingkungan Global

Pengelolaan lingkungan serta berbagai kebijaksanaan lingkungan dan konservasi sumber


daya alam berkaitan erat dengan rekomendasi yang merupakan kesepakatan internasional
maupun regional. Beberapa organisasi di bidang lingkungan dan konservasi yang
kegiatannyamempunyai peranan penting adalah:

1. United Nations Conference On The Human Environment(Konferensi PBB tentang


Lingkungan Hidup)
Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup telah diadakan pada tanggal 5-16 Juni
1972 di Stockholm yang dihadiri oleh wakil dari 110 negara. Peringatan Rachel Carson
(biolog kelautan dan penulis alam Amerika Serikat) dalam Silent Spring (1962) tentang
bahaya penggunaan insektisida dianggap sebagai pemikiran yang pertama kali menyadarkan
manusia mengenai lingkungan. Konferensi Stockholm-lah yang merupakan puncak perhatian
dan kesadaran manusia terhadap kualitas lingkungan, terutama permasalahan kesenjangan
antara negara maju dan berkembang. Masalah lingkungan di negara maju dengan latar
belakang dan faktor penyebab pencemaran yang berbeda, semula menimbulkan suara yang
sumbang dan prasangka terhadap Konferensi Stockholm dari peserta negara berkembang.
Konferensi Stockholm diadakan atas inisiatif negara Swedia berdasarkan keputusan yang
ditetapkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1968. Tema konferensi,
yaitu “Only One Earth” untuk menekankan bahwa semua makhluk yang hidup dan yang
mati adalah bagian dari satu sistem yang saling bergantung, dan manusia tidak punya tempat
lain untuk berpaling jika dia merusak lingkungannya melalui berbagai macam pencemaran.
Konferensi ini menghasilkan Declaration on the Human Environment (Deklarasi tentang
Lingkungan Hidup) yang berisi 26 asas serta menurut kesepakatan negara-negara yang
berkumpul di Stockholm merupakan pedoman bagi mereka di tahun-tahun mendatang. Di
samping itu, Konferensi Stockholm juga menyetujui 106 rekomendasi yang dimuat dalam
Action Plan International, yang terdiri atas tiga bagian kerangka yakni :
a. A global assessment programme yang dikenal sebagai Earthwatch (Sebuah program
penilaian global yang dikenal sebagai Earthwatch (penjaga bumi);
b. Environmental management activities (Kegiatan pengelolaan lingkungan);
c. Supporting measures: education and training, public information, and
organizational and financing arrangements (Langkah-langkah pendukung yang
berupa pendidikan dan pelatihan, informasi publik, dan pengaturan organisasi dan
pembiayaan.).
Dalam hubungannya dengan masalah lingkungan sedunia (global environment
problems), Sidang Umum PBB telah menerima 11 resolusi mengenai lingkungan hidup yang
dijadikan landasan bagi kebijaksanaan lingkungan. Sebagai realisasi dari keputusan bersama
tentang World Environment Day, setiap tanggal 5 Juni memperingati Hari Lingkungan Hidup
Sedunia yang di Indonesia salah satu bentuk perayaannya adalah dengan pemberian
penghargaan nasional Kalpataru kepada mereka yang berjasa di bidang lingkungan hidup.

2. Laporan Kepada The Club Of Rome


Laporan pertama kepada The Club of Rome ini mempunyai dampak yang cukup
besar, karena organisasi ini terdiri atas pemuka-pemuka berbagai negara. Organisasi ini
bermula dari suatu pertemuan antara 30 orang terkemuka dari 10 negara yang berkumpul di
Roma pada bulan April 1968 atas inisiatif Dr. Aurelio Pecci, seorang pengusaha terpandang
di Italia, untuk membahas topik yang menonjol, yaitu "the present and future predicament
of man" (kesulitan manusia saat ini dan masa depan). Meadows and Meadows dalam
publikasi “The Limits to Growth” yakni suatu laporan kepada The Club of Rome (Project on
the Predicament of Mankind). Publikasi yang merupakan laporan pertama kepada The Club
of Rome tersebut (1972) mengemukakan 5 faktor pokok penentu dan pembatas pertumbuhan
di planet bumi, yaitu penduduk, produksi pertanian, sumber daya alam, produksi industri, dan
polusi. Kelima masalah utama yang memerlukan perhatian global ialah kemajuan
industrialisasi, pertumbuhan penduduk yang cepat, kekurangan pangan yang meluas,
kerusakan sumber daya alam yang tak terbarui, dan pencemaran lingkungan yang
menimbulkan pemikiran agar negara-negara maju membatasi pertumbuhannya sedemikian
rupa, sehingga akibat yang lebih buruk dapat dihindarkan. Hasil penelitian tersebut di atas,
Meadows and Meadows mengemukakan hal-hal berikut ini :
a. Jika tren industrialisasi, polusi, produksi pangan, dan penipisan sumber daya terus
tidak berubah, batas pertumbuhan di planet ini akan tercapai dalam waktu seratus
tahun ke depan. Hasil yang paling mungkin adalah penurunan populasi dan kapasitas
industri yang agak tiba-tiba dan tidak terkendali.
b. Ada kemungkinan untuk mengubah tren pertumbuhan ini dan untuk membangun
kondisi stabilitas ekologi dan ekonomi yang berkelanjutan jauh di masa depan.
Keadaan equilibrium (keseimbangan) global dapat dirancang sedemikian rupa
sehingga kebutuhan materi dasar setiap orang di bumi terpenuhi dan setiap orang
memiliki kesempatan yang sama untuk mewujudkan potensi manusiawinya masing-
masing.
c. Jika orang-orang di dunia memutuskan untuk berjuang untuk hasil kedua ini daripada
yang pertama, semakin cepat mereka mulai bekerja untuk mencapainya, semakin
besar peluang mereka untuk sukses.
Pada pertengahan abad ke-20 jelas tampak, bahwa manusia - bila terus menerus
bertingkah demikian maka manusia sedang sibuk menghancurkan dirinya sendiri. Laporan
The Limits to Growth untuk The Club of Rome dan laporan tidak resmi Only One Earth
untuk persiapan Konferensi Stockholm telah jelas mengungkapkannya. Usaha dari Meadows
and Meadows mengajak semua pihak untuk memahami dan mempersiapkan periode transisi
dari pertumbuhan ke keseimbangan global.

3. United Nations Environment Programme (UNEP)


Sebagaimana diketahui, salah satu rekomendasi Konferensi Stockholm adalah
pembentukan Governing Council for Environmental Programme. Rekomendasi tersebut
dipertimbangkan oleh Sidang Umum PBB ke-27 yang menyetujui persiapan pembentukan
kelembagaan dan keuangan bagi UNEP - United Nations Environment Programme. Di
samping itu, Sidang Umum PBB menetapkan lokasi Environment Secretariat di salah satu
negara berkembang dan memutuskan penempatannya di Nairobi, Kenya. Pada bulan Januari
1973 UNEP memulai kegiatannya, semula berpusat di Geneva, kemudian di Nairobi, Kenya.
UNEP merupakan organisasi dunia dari PBB yang pertama dipusatkan di negara berkembang
dan juga sebagai badan yang baru dibentuk dari PBB, dalam pengertian konsepsi operasional
dan struktur organisasinya.
Kegiatan UNEP yang bersifat menggerakkan dunia untuk bertindak, dalam arti
berupaya agar dunia bekerja atas kemampuan sendiri. UNEP memprakarsai, merangsang,
mendukung, melengkapi, dan mempercepat tindakan di semua tingkat masyarakat manusia
dalam semua masalah yang berkaitan dengan lingkungan. Di tingkat internasional, UNEP
pada prinsipnya beroperasi di dalam sistem PBB, tetapi juga secara mandiri dengan
organisasi multinasional atau transnasional yang berhubungan dengan pembangunan dan
kerja sama ekonomi, perdagangan dan industri, ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada tingkat
nasional, UNEP bekerja dengan pemerintah untuk membantu menjamin tepatnya keputusan
yang diambil mengenai masalah lingkungan dari negara bersangkutan dan dalam perencanaan
pembangunan nasional. Di samping itu, pada tingkat yang lebih bawah, UNEP berusaha
memberi motivasi dan berkomunikasi melalui kegiatan-kegiatannya, melalui sistem
penerangan PBB, dan melalui NGO'S (Non Governmental Organizations) sedunia.
Program dari UNEP cukup luas, yaitu untuk mempertahankan pengawasan secara
konsisten mengenai 'keadaan lingkungan' yang berubah, untuk menganalisis berbagai
perkembangan secara mendalam, untuk menilai masalah menggunakan berbagai data dan
teknik, dan untuk mempromosikan 'rencana aksi' atau proyek yang mengarah pada
pembangunan yang ramah lingkungan. UNEP juga membantu pengembangan teknik dan
sarana untuk memperhitungkan pertimbangan lingkungan ke dalam pembangunan,
pengambilan keputusan di bidang sosial dan ekonomi. Di samping itu terdapat pula kegiatan
di bidang Hukum Lingkungan yakni menyediakan materi dan keahlian untuk penyusunan
konvensi, perjanjian, dan kode atau prinsip perilaku tentang isu-isu lingkungan yang
membantu Pemerintah untuk memperkuat UU lingkungan dan metode penegakan hukum dan
memelihara daftar yang relevan konvensi. Puncak kegiatan UNEP dilaksanakan pada sidang
Governing Council tanggal 20 Mei-2 Juni 1982 di Nairobi yang telah menerima Deklarasi
Nairobi yang terdiri atas 10 butir pokok pikiran sebagai tindak lanjut dari pertemuan sedunia
untuk memperingati 10 tahun Konferensi Stockholm, tanggal 10-18 Mei 1982 di Nairobi.
Dalam memasuki The SecondEnvironmental Decade (1982-1992), Deklarasi Nairobi
mengemukakan tentang perlunya intensifikasi upaya melindungi dan memajukan lingkungan
hidup pada tahap global, regional dan nasional.
4. Organization For Economic Co-Operation And Development (OECD)
Organisasi ini dibentuk di Paris tanggal 14 Desember 1960 yang semula anggotanya
terdiri atas: Amerika Serikat, Australia, Austria,Belanda, Belgia, Denmark, Finlandia,
Prancis,Islandia, Inggris, Irlandia, Italia, Jepang, Jerman (saat itu Jerman Barat),Kanada,
Luxembourg, Norwegia, Portugal, Selandia Baru, Spanyol, Swedia, Swiss, Turki,dan Yunani,
dan disusul Korea Selatan pada tahun 1996. Saat ini negara anggotanya terdiri dari 38
Negara. Dalam hubungannya dengan lingkungan hidup, OECD mendirikan suatu
Environmental Committee tersendiri, yang tergolong sangat aktif dalam melakukan
koordinasi dan harmonisasi kebijaksanaan lingkungan bagi negara-negara anggotanya. Pada
pertemuan ke-2 para Menteri Lingkungan anggota OECD di Paris tanggal 7 dan 8 Mei 1979
telah diletakkan dasar-dasar kebijaksanaan (the foundations of the policies) untuk dekade
mendatang dan diputuskan untuk memperkuat kerja sama dalam berbagai bidang yang
bersifat vital. Dengan mengakui pentingnya kebijaksanaan lingkungan yang berorientasi ke
masa depan (forward looking environmental policy). Deklarasi OECD (Declaration on
Anticipatory Environmental Policies) memuat 10 pokok pikiran tentang kebijaksanaan
lingkungan, antara lain menurut angka 10 “OECD akan terus bekerja sama semaksimal
mungkin, baik secara bilateral maupun melalui organisasi internasional yang sesuai, dengan
semua negara, khususnya negara berkembang untuk membantu mencegah kerusakan
lingkungan”.OECD juga membuka diri untuk membantu negara-negara berkembang dalam
mengatasi masalah lingkungan, terutama melalui upaya yang bersifat pencegahan. Berbagai
pemikiran yang berperan terhadap pengelolaan lingkungan telah dihasilkan oleh OECD,
seperti misalnya: The Polluter-Pays Principle (pencemar untuk menanggung sejumlah biaya
atas tindakan yang dilakukan untuk dapat mengurangi polusi sesuai dengan tingkat
kerusakan,rilis tahun 2001), Economic Implications of Pollution Control, Public
Participation and Environmental Matters dan sebagainya.

5. The World Conservation Union - International Union For The Conservation Of Nature
And Natural Resources (Iucn)
IUCN didirikan pada tanggal 5 Oktober 1948 dengan pengesahannya bertempat di
Istana Fontainebleau (Paris) oleh 18 wakil Negara, 7 organisasi internasional dan 107
organisasi nasional, untuk melindungi dan melestarikan lingkungan. Semula IUCN
dipersiapkan dalam Pertemuan Brunnen, tempat Konstitusi tersebut dirancang, sebagaimana
kemudian disempurnakan dan disahkan di Fontainebleau. IUCN mendirikan pusat
dokumentasi Environmental Law Centre (ELC) di Bonn, Jerman, yang berhasil
mengumpulkan bahan-bahan hukum dan perundang-undangan lingkungan. Landasan berpikir
mengenai konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya terdapat dalam World
Conservation Strategy (WCS), yang pada tanggal 6 Maret 1980 dicanangkan di 30 negara
oleh IUCN, dengan dukungan dari UNEP dan WWF. Strategi ini merupakan titik puncak dari
suatu upaya intensif di bidang konservasi yang melibatkan Pemerintah dari lebih 100 negara,
dengan tujuan utama sustainable development, yaitu:
a. Untuk memelihara proses ekologi penting dan sistem pendukung kehidupan.
b. Untuk melestarikan keragaman genetik.
c. Menjamin pemanfaatan spesies dan ekosistem yang berkelanjutan.
WCS juga menyatakan tentang pentingnya organisasi di bidang konservasi, juga
tentang upaya yang perlu dilaksanakan di bidang perundang-undangan dan pengorganisasian
konservasi yang tentunya termasuk juga pedoman kebijaksanaan konservasi di Indonesia,
sebagai negara pendukung WCS. September 1989 telah diedarkan Rancangan Pertama
pengganti WCS. Rancangan tersebut diberi judul sementara World Conservation Strategy for
the 1990's. Pada bulan Juni 1990 telah disiapkan Rancangan Kedua yang judulnya berubah
menjadi Caring for the World, A Strategy for Sustainability. Kedua rancangan tersebut
dipersiapkan oleh World Conservation Union (IUCN), UNEP dan World Wildlife Fund
(WWF). Draf kedua itu dibicarakan di General Assembly IUCN ke-18 di Perth, Australia, 20
November - 5 Desember 1990. Caring for the World (CW) menggambarkan apa yang dapat
dilakukan oleh penduduk dunia untuk memenuhi kebutuhan dan memperbaiki kehidupan
tanpa mengurangi kapasitas bumi guna menunjang generasi sekarang maupun mendatang.
CW menitikberatkan pada interdependensi antara konservasi dan pembangunan. Guna
mencapai keberlanjutan, CW mengemukakan bahwa tiga kendala utama harus diatasi, yaitu:
a. Kurang adanya komitmen etis terhadap keberlanjutan.
b. Pembagian yang tidak merata dari kekuasaan dan akses terhadap informasi dan
sumber daya, di dalam dan antar bangsa.
c. Pendapat, bahwa konservasi dan pembangunan dapat dikelola terpisah.
Pada bulan Oktober 1991 telah diumumkan strategi konservasi baru yang
menggantikan WCS, yaitu "Caring for the Earth: A Strategy for Sustainable Living".
Caring for the Earth (CE) diterbitkan dengan tujuan utama untuk membantu memperbaiki
keadaan masyarakat dunia, dengan menetapkan dua syarat. Pertama, untuk menjamin
komitmen yang meluas dan mendalam pada sebuah etika baru, yaitu etika kehidupan
berkelanjutan dan mewujudkan prinsip-prinsipnya dalam praktek. Kedua, untuk
mengintegrasikan konservasi dan pembangunan: konservasi untuk menjaga agar kegiatan-
kegiatan manusia berlangsung dalam batas daya dukung bumi, dan pembangunan untuk
memberi kesempatan kepada manusia di manapun guna menikmati kehidupan yang lama,
sehat serta memuaskan.

6. World Wildlife Fund (WWF)-World Wide Fund For Nature


Badan ini didirikan pada 11 September 1961 untuk melengkapi sarana penunjang
IUCN dan berpusat di Gland, Swiss. WWF adalah organisasi konservasi internasional swasta
terbesar, dengan 23 afiliasi nasional dan lebih dari satu juta pendukung tetap. Kegiatan WWF
dititikberatkan pada usaha konservasi satwa langka dan sumber daya alam. Sejak didirikan
pada tahun 1961 WWF telah membantu dalam pelestarian banyak hewan termasuk badak
Jawa, harimau Bengal, angsa Hawaii, vicuna dan kijang. Selain itu seperti yang diutarakan
dalam IUCN, WWF juga ikut membantu dalam perumusan-perumusan draf rancangan
strategi konservasi.

7. Association Of Southeast Asian Nations (Asean)


Pada tanggal 30 April - 1 Mei 1981 di Manila telah diadakan First Ministerial
Meeting on the Environment yang berhasil menetapkan kebijaksanaan lingkungan untuk
kawasan regional ASEAN. Kesepakatan bersama para Menteri ASEAN tersebut telah
dituangkan dalam bentuk Manila Declaration on the ASEAN Environment yang bertujuan
untuk menjamin perlindungan lingkungan di negara-negara ASEAN dan kelestarian sumber
daya alamnya sehingga dapat menopang pembangunan yang berkelanjutan dengan tujuan
mengentaskan kemiskinan dan mencapai kualitas hidup yang setinggi mungkin bagi
masyarakat negara-negara ASEAN. Deklarasi Manila telah mengesahkan penerapan ASEAN
Environmental Programme (ASEP) yang terlampir pada Deklarasi tersebut. Di samping itu,
diputuskan pula untuk merekomendasikan pembentukan "ASEAN Committee on
Environment".

8. Asia-Pacific Center For Environmental Law(APCEL)


Asia-Pacific Centre for Environmental Law (APCEL) didirikan pada tanggal 15
Februari 1996 oleh Faculty of Law National University of Singapore dan Commission on
Environmental Law (CEL) dari IUCN serta bekerja sama United Nations Environment
Programme (UNEP). Direktur APCEL adalah Prof. Koh Kheng Lian. Pembentukan APCEL
dimaksudkan sebagai upaya merespons adanya kebutuhan bagi pembangunan kapasitas
dalam pendidikan hukum lingkungan dan kebutuhan untuk mempromosikan kesadaran dalam
isu-isu lingkungan. Beberapa proyek dan program APCEL antara lain adalah :
a. Capacity-Building in Environmental Law in the Asia-Pacific Region. Dalam
melaksanakan Program ini APCEL mendapat dukungan dana dari Asia Development
Bank (ADB) dan National University of Singapore. APCEL bekerja sama dengan
IUCN dan UNEP.
b. APCEL Environmental Law Database. Dengan dukungan dari UNEP dan IUCN,
APCEL sedang mengembangkan database untuk hukum lingkungan yang terdiri dari
instrumen internasional dan regional, dan legislasi nasional dari negara-negara
anggota ASEAN dan kawasan.
c. Research Project: A Study of Environmental Law in ASEAN Countries. Proyek ini
mempunyai tujuan pertama, untuk menentukan kelayakan implementasi konvensi
internasional dan instrumen lainnya di negara-negara ASEAN; kedua untuk
mempertimbangkan kemungkinan harmonisasi dan unifikasi undang-undang
lingkungan yang dipilih dari negara-negara tersebut.

9. Pertemuan Montevideo
Pada tanggal 28 Oktober-6 November 1981, diadakan Ad Hoc Meeting of Senior
Government Official Expert in Environmental Law di Montevideo, Uruguay, yaitu
Pertemuan internasional dalam bidang hukum lingkungan yang pertama kali. Pertemuan ad
hoc tersebut diadakan untuk membuat kerangka, metode, dan program yang meliputi upaya-
upaya tingkat internasional, regional, dan nasional guna pengembangan serta peninjauan
berkala hukum lingkungan dan guna memberi sumbangan kepada persiapan dan pelaksanaan
komponen Hukum Lingkungan dalam System wide Medium Term Environment Program
UNEP. Pertemuan tersebut telah menghasilkan kesimpulan dan rekomendasinya yang sangat
berarti bagi perkembangan Hukum Lingkungan. Hasil dari pertemuan ini menghasilkan
sangat banyak kebijakan yang berkaitan dengan kelautan, penggunaan bahan kimia yang
dilarang, limbah, dan mengenai lapisan ozon.

10. Konferensi Rio De Janeiro


Laporan WCED telah digunakan sebagai materi untuk Konferensi Tingkat Tinggi
Bumi yang diadakan oleh PBB di Rio de Janeiro pada tanggal 3-14 Juni 1992 dan merupakan
peringatan 20 tahun Konferensi Stockholm 1972. Konferensi yang dinamakan United
Nations Conference on Environment and Development (UNCED), dihadiri oleh 178 kepala-
kepala negara dan wakil-wakil pemerintah yang berkumpul di Rio de Janeiro untuk bersama-
sama bekerja ke arah menjadikan pembangunan berkelanjutan. Empat pertemuan Panitia
Persiapan telah diadakan, sebuah proses yang dimulaidengan pertemuan yang pertama di
Nairobi pada bulan Agustus dan September 1990. Konferensi Rio de Janeiro bukanlah
semata-mata konferensi negara-negara. Akan tetapi, juga konferensi rakyat. Bersamaan
dengan konferensi resmi, di Flamingo Park yang letaknya berdekatan dengan tempat
konferensi resmi, diadakan pertemuan yang disebut The ’92 Global Forum, yang diikuti
kurang lebih 10.000 orang yang mewakili 9.000 organisasi dan telah menarik sebanyak
20.000 pengunjung. Global Forum menyediakan berbagai kegiatan yang diselenggarakan
oleh lembaga-lembaga swadaya masyarakat danasosiasi-asosiasi yangmeliputi International
Forum of NGO’s and Social Movement, Open Speakers Forum, dan pertemuan kelompok-
kelompok agama.

Adapun hasil-hasil yang didapatkan UNCED yang dituangkan menjadi berbagai dokumen
perjanjian yakni :
a. The Rio de Janeiro Declaration on Environment and Development yang
menggariskan 27 prinsip fundamental tentang lingkungan dan pembangunan.
b. Legally Binding Authoritative Statement of Principles for a Global Consensus on
the Management, Conservation and Sustainable Development of all Types of Forest
(Forestry Principles). Prinsip-prinsip kehutanan ini merupakan konsensus
internasional yang terdiri dari 16 pasal yang mencakup aspek pengelolaan, aspek
konservasi, serta aspek pemanfaatan dan pengembangan, bersifat tidak mengikat
secara hukum dan berlaku untuk semua jenis atau tipe hutan.
c. Agenda 21. Merupakan rencana kerja global yang pertama kali disusun secara
menyeluruh mengenai pembangunan berkelanjutan, meliputi berbagai isu ekonomi,
sosial dan lingkungan yang berbeda-beda, dan menampung masukan dari semua
negara di dunia. Agenda 21 Global merupakan suatu dokumen komprehensif setebal
700 halaman yang berisikan program aksi pembangunan berkelanjutan menjelang
abad ke-21. Agenda 21 ditandatangani oleh semua negara (termasuk Indonesia) yang
hadir pada konferensi tersebut. Agenda 21 dapat digunakan baik oleh pemerintah,
organisasi internasional, kalangan industri maupun masyarakat lainnya untuk
mendukung upaya pengintegrasian lingkungan ke dalam seluruh kegiatan sosial-
ekonomi. Agenda 21 juga membahas dampak kegiatan manusia terhadap lingkungan
dan kesinambungan sistem produksi. Tujuan dari setiap kegiatan yang tercantum
dalam Agenda 21 pada dasarnya adalah untuk mengentaskan kemiskinan, kelaparan,
pemberantasan penyakit, dan buta huruf di seluruh dunia, di samping untuk
menghentikan kerusakan ekosistem yang penting bagi kehidupan manusia.
d. The Framework Convention on Climate Change, yang memuat kesediaan negara-
negara maju untuk membatasi emisi gas rumah kaca dan melaporkan secara terbuka
mengenai kemajuan yang diperolehnya dalam hubungan tersebut. Indonesia telah
meratifikasi konvensi ini dengan Undang-undang No. 6 Tahun 1994 pada tanggal 1
Agustus 1994.
e. The Convention on Biological Diversity (Konvensi Keanekaragaman Hayati), yang
memberikan landasan untuk kerja sama internasional dalam rangka konservasi spesies
dan habitat. Indonesia telah meratifikasi Konvensi ini dengan Undang-undang No. 5
Tahun 1994 pada tanggal 1 Agustus 1994.
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Masalah lingkungan hidup global adalah refleksi masyarakat internasional khususnya


berkaitan dengan terjadinya berbagai macam kerusakan atau pencemaran lingkungan yang
melanda dunia akibat adanya pembangunan.Beberapa permasalahan lingkungan hidup global
saat ini adalah Keanekaragaman Hayati, Pemanasan Global, Penipisan Lapisan Ozon, dan
masalah-masalah lainnya seperti perpindahan penduduk. Berkaitan dengan permasalahan-
permasalahan ini, maka berbagai negara-negara di dunia menyikapi hal tersebut sebagai
bentuk kesadaran atas pentingnya keberlangsungan lingkungan hidup. Awal mula dari
kesadaran ini berasal dari Peringatan Rachel Carson (biolog kelautan dan penulis alam
Amerika Serikat) dalam Silent Spring (1962) tentang bahaya penggunaan insektisida
dianggap sebagai pemikiran yang pertama kali menyadarkan manusia mengenai lingkungan.
Dari sini kemudian muncul kesadaran global yang berbentuk Konferensi, Badan-Badan
Dunia, Organisasi Regional maupun Internasional, dan masih banyak lagi.
DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Fadli, Mohammad, Mukhlis, & Luthfi, Mustafa. 2016. Dalam Hukum dan Kebijakan
Lingkungan. Malang: UB Press.

Rangkuti, Siti Sundari. 2015. Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional.
Surabaya: Airlangga University Press.

Sarna, Kadek, Maskun, et al. 2015. Hukum Lingkungan: Teori, Legislasi, dan Studi Kasus.
Jakarta: Kemitraan Partnership.

JURNAL

Vania Zulfa, Milson Max, Iskar Hukum, Irfan Ilyas. 2016. "Isu-Isu Kritis Lingkungan dan
Perspektif Global". Jurnal Green Growth dan Manajemen Lingkungan, 1 (3), 29-40.

INTERNET

Anonim. "Isu-Isu Lingkungan Global". diakses melalui https://fa.itb.ac.id/wp-


content/uploads/sites/56/2016/06/TOPIK-5-Isu-Lingkungan-Global.pdf
HUKUM LINGKUNGAN
PERMASALAHAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN

KELOMPOK 1

Oleh:

Regent Hertony Christianto Tompodung (2004551063)

Jeannel Faustina Elvira Angels (2004551072)

Sultan Akbar Ramadhan (2004551084)

Evelyn Theresya Sugianto (2004551099)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2022
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Istilah ekosistem pertama kali dikenalkan oleh ahli ekologi Inggris, yaitu A. G.
Tansley. Ekosistem merupakan suatu sistem yang dibentuk dari hasil interaksi antara
organisme hidup dan organisme tak hidup atau lingkungan fisiknya. Berdasarkan Pasal 1
angka 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (“UU PPLH”), ekosistem adalah tatanan unsur
lingkungan hidup yang merupakan kesatuan utuh menyeluruh dan saling mempengaruhi
dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas lingkungan hidup. Dengan
demikian, salah satu komponen dari ekosistem adalah lingkungan hidup.

Manusia dan lingkungan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan.
Mereka memiliki hubungan yang saling mempengaruhi satu sama lainnya. Menurut Munadjat
Danusaputro, lingkungan (“lingkungan hidup”) merupakan semua benda dan daya serta
kondisi, termasuk di dalamnya manusia dan tingkah perbuatannya, yang terdapat dalam ruang
dimana manusia berada dan mempengaruhi kelangsungan hidup serta kesejahteraan manusia
dan jasad-jasad hidup lainnya. Adapun L. L. Benard dan N. H. T. Siahaan yang membagi
lingkungan menjadi lingkungan fisik/anorganik, lingkungan biologi/organik, dan lingkungan
sosial yang terdiri dari lingkungan fisiososial, lingkungan biososial, lingkungan psikososial,
dan lingkungan komposit/institusional.1

Pada dasarnya, Tuhan telah menciptakan alam dengan sebaik mungkin sehingga dapat
dimanfaatkan oleh semua kehidupan melalui berbagai proses seperti kelahiran, kematian, dan
perpindahan energi melalui jalur rantai makanan. Namun, keseimbangan ekosistem dapat
menjadi terganggu oleh berbagai kegiatan manusia. Ekosistem yang terganggu tersebut
kemudian memunculkan permasalahan bagi manusia itu sendiri. Adapun salah satu dari
kegiatan manusia yang mengganggu lingkungan hidup adalah pembangunan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu permasalahan lingkungan hidup?
2. Apa dampak pembangunan terhadap lingkungan hidup?
3. Bagaimana cara mengatasi permasalahan lingkungan hidup akibat pembangunan?
1
Moh. Fadli, dkk, 2016, Hukum dan Kebijakan Lingkungan, Malang: UB Press. (4)
C. Tujuan Penulisan
1. Memahami permasalahan lingkungan hidup
2. Memahami dampak pembangunan terhadap lingkungan hidup
3. Memahami cara mengatasi permasalahan lingkungan hidup akibat pembangunan
II. PEMBAHASAN
A. Permasalahan Lingkungan Hidup

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU PPLH, lingkungan hidup adalah kesatuan ruang


dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya,
yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan
manusia serta makhluk hidup lain. Masalah lingkungan merupakan sesuatu yang penting
karena lingkungan bukan hanya masalah pemerintah/negara Indonesia atau 1 (satu) negara
melainkan permasalahan seluruh dunia. Hal ini dapat dilihat dari deklarasi-deklarasi yang ada
di dunia seperti Deklarasi Stockholm 1972, Deklarasi Nairobi 1982, dan deklarasi-deklarasi
lingkungan hidup lainnya.

Permasalahan lingkungan hidup umumnya disebabkan oleh pencemaran lingkungan


yang diakibatkan oleh aktivitas manusia karena lingkungan tidak dapat dipisahkan dari
kehidupan manusia. Pencemaran lingkungan merupakan masuk atau dimasukkannya suatu
zat/benda yang dapat berupa zat kimia, fisika, maupun biologis ke dalam suatu lingkungan
yang menyebabkan fungsi lingkungan itu menjadi terganggu dan tidak berfungsi secara
optimal.2 Jika terus dibiarkan, hal ini akan mengancam keselamatan dan kelangsungan
makhluk hidup.3 Berdasarkan tempat terjadinya, pencemaran lingkungan dibedakan menjadi
3 (tiga), yaitu :4

1. Pencemaran air

Air merupakan sumber kehidupan. Air merupakan komponen penting dalam


kelangsungan hidup makhluk hidup. Tumbuhan, hewan, dan manusia membutuhkan
air untuk melangsungkan hidupnya. Bahkan, manusia dapat bertahan hidup tanpa
makanan selama beberapa hari, namun akan sukar bertahan hidup tanpa air. Menurut

2
Sunyo Adji Purnomo, dkk, 2019, Ilmu Pengetahuan Alam, Bandung: Yrama Widya. (261-276)
3
Anonim, 2019, “Jenis dan Tingkatan Pencemaran yang Merusak Lingkungan”, Dinas Perumahan,
Kawasan Permukiman, dan Pertanahan, URL:
https://disperkimta.bulelengkab.go.id/informasi/detail/artikel/jenis-dan-tingkatan-pencemaran-yang-me
rusak-lingkungan-75, diakses pada tanggal 6 Mei 2022 pukul 12.46
4
Indang Dewata dan Yun Hendri Danhas, 2018, Pencemaran Lingkungan, Depok: Rajawali Press.
(77-93)
Kristanto, disebut pencemaran air apabila terjadi penyimpangan sifat-sifat air dari
keadaan normal. Keadaan normal tidak sama dengan kemurnian air. Di alam, air tidak
pernah berbentuk murni, tetapi bukan berarti semua air itu tercemar. Semua air yang
ada di alam sudah bercampur dengan karbon dioksida, oksigen, nitrogen, dan
bahan-bahan tersuspensi lainnya yang terbawa oleh air hujan karena peristiwa
alamiah. Berdasarkan sumbernya, pencemaran air disebabkan oleh:

a. Limbah rumah tangga

Limbah yang berasal dari rumah tangga dapat berasal dari sisa cucian, kotoran,
dan sampah yang dibuang ke saluran air, seperti selokan dan sungai. sisa cucian
yang masuk ke dalam sungai dapat menyebabkan air di sungai tersebut tercemar.
Begitu pula dengan sampah dan kotoran hasil pembuangan metabolisme manusia.
Jika sungai telah tercemar, air sungai akan menjadi tidak layak untuk dikonsumsi.

b. Limbah kegiatan industri

Limbah kegiatan industri biasanya berupa zat-zat kimia berbahaya dan beracun.
Umumnya, limbah kegiatan industri jauh lebih berbahaya dibandingkan dengan
limbah rumah tangga karena biasanya mengandung zat kimia yang berbahaya.
Apabila air dan hewan yang di dalam tubuhnya telah terkontaminasi zat pencemar
air dikonsumsi oleh manusia, dapat menyebabkan gangguan kesehatan maupun
keracunan. Beberapa penyakit yang dapat disebabkan oleh air yang tercemar
diantaranya disentri, tipus, kolera, dan hepatitis A.

c. Limbah pertanian

Limbah pertanian umumnya berupa sisa-sisa pembasmi hama seperti pestisida


serta sisa-sisa pupuk yang tidak terserap oleh tumbuhan. Apabila hujan, limbah
pertanian tersebut akan terbawa menuju perairan sehingga akan terlarut di dalam
air. Sisa-sisa pupuk atau pestisida mengandung zat hara yang dapat meningkatkan
pertumbuhan tanaman air. Peristiwa ini dinamakan eutrofikasi yang dapat
menyebabkan kandungan oksigen terlarut di dalam air berkurang dan
lama-kelamaan akan mengakibatkan makhluk hidup yang berada di perairan
tersebut mati.
2. Pencemaran udara

Udara merupakan salah satu komponen abiotik yang mempengaruhi


komponen biotik. Sebagian besar makhluk hidup membutuhkan oksigen untuk
melangsungkan kehidupannya dan sebagian besar gas oksigen terkandung di udara.
Selain oksigen, udara juga mengandung gas-gas lain seperti gas nitrogen, gas karbon
dioksida, uap air, dan zat-zat lain seperti partikel debu dan gas lainnya. Dengan
demikian, saat manusia atau makhluk hidup menghirup udara, tidak hanya oksigen
yang terhirup, melainkan semua komponen yang ada di udara dapat masuk ke dalam
tubuh makhluk hidup tersebut. Udara yang baik merupakan udara yang tidak
mengandung gas atau partikel yang berbahaya bagi kesehatan, sedangkan udara yang
tercemar mengandung gas atau partikel yang berbahaya bagi kesehatan.

Pencemaran udara dapat diakibatkan oleh aktivitas alami dan aktivitas


manusia. Contoh pencemaran udara yang diakibatkan oleh aktivitas alami adalah
letusan gunung api. Letusan gunung api menghasilkan abu vulkanik yang
mengandung partikel-partikel halus dapat membahayakan manusia, hewan, dan
tumbuhan. Namun, penyebab utama dari pencemaran udara adalah aktivitas manusia
seperti:

a. Pemakaian kendaraan bermotor

Salah satu gas yang dihasilkan dari pembakaran kendaraan bermotor yang dapat
mencemari udara, yaitu gas karbon monoksida. Gas karbon monoksida tidak
berwarna, tidak berasa, dan tidak berbau, namun sangat berbahaya bagi manusia.
Darah dalam tubuh manusia lebih mudah mengikat gas karbon monoksida
dibandingkan dengan gas oksigen. Selain gas karbon monoksida, pembakaran gas
bermotor juga mengeluarkan gas berbahaya lainnya yakni gas nitrogen oksida.
Selain itu, bahan bakar kualitas rendah biasanya mengandung logam berat seperti
timbal yang dapat mencemari udara. Logam timbal dapat tersebar ke udara saat
pembuangan emisi kendaraan bermotor berlangsung. Jika logam ini terhirup
secara terus-menerus oleh saluran pernapasan manusia, dapat mengakibatkan
anemia yang merusak dan menyerang sel darah merah, memendekkan umur sel
darah merah, dan meningkatkan kandungan logam besi di dalam plasma darah.

b. Kegiatan industri
Asap hasil kegiatan industri yang tidak terolah dengan baik dapat menghasilkan
gas-gas berbahaya seperti gas sulfur dioksida dan gas nitrogen dioksida yang akan
mencemari udara. Apabila kedua gas ini mengkontaminasi udara dan bereaksi
dengan air hujan, dapat menyebabkan hujan asam. Hal ini tentu dapat
menyebabkan kerusakan tanah, tumbuhan, dan benda-benda yang terkena hujan
asam.

c. Pembakaran hutan

Penyebab utama kebakaran hutan adalah aktivitas manusia yang sengaja


membakar hutan untuk pembukaan lahan yang digunakan untuk kepentingan yang
bersangkutan. Asap api kebakaran hutan mengandung partikel padat dan gas-gas
berbahaya. Adapun partikel yang terkandung di dalam asap dapat bercampur
dengan kabut yang ada di udara dan membentuk kabut asap (smog) yang
mencemari lingkungan. Kabut asap berbahaya bagi lingkungan karena bentuknya
yang pekat dan menghalangi jarak pandang di udara. Umumnya, smog terjadi di
kota-kota besar yang kadar polusi udaranya yang sangat tinggi.

3. Pencemaran tanah

Tanah merupakan komponen yang sangat penting bagi kehidupan. Manusia,


hewan, tumbuhan, dan berbagai mikroorganisme membutuhkan tanah bagi
kelangsungan hidupnya. Manusia membutuhkan tanah untuk berbagai keperluan
seperti mendirikan bangunan, bercocok tanam, dan keperluan lainnya. Tak hanya
manusia, makhluk hidup lainnya juga membutuhkan tanah dalam kehidupannya.
Tanah berfungsi sebagai penyedia unsur hara bagi makhluk hidup yang hidup di
atasnya, terutama tumbuhan. Unsur hara merupakan unsur yang diperlukan bagi
makhluk hidup. Tanah juga berfungsi sebagai tempat penyimpanan cadangan air. Di
dalam tanah juga terkandung udara. Dengan demikian, hubungan ketergantungan
antara tanah, air, dan udara tidak dapat dipisahkan.

Pencemaran tanah juga sangat berhubungan dengan pencemaran air dan


pencemaran udara. Umumnya, pencemaran tanah dapat berasal dari sampah rumah
tangga, pasar, dan rumah sakit, limbah pertanian, dan limbah industri. Komponen dari
zat pencemar tersebut juga dapat dibedakan menjadi:
a. Zat yang dapat diuraikan (degradable)

Zat yang dapat diuraikan biasanya berupa sampah organik seperti sisa makanan,
dedaunan, kotoran hewan, dan bangkai hewan. Meskipun sampah organik dapat
diuraikan oleh mikroorganisme yang ada di dalam tanah, pada jumlah yang
banyak juga dapat menyebabkan terjadinya pencemaran yang mengganggu fungsi
fisik, kimia, maupun biologis dari tanah.

b. Zat yang tidak dapat diuraikan (nondegradable)

Zat yang tidak dapat diuraikan biasanya berupa sampah anorganik/non organik
seperti plastik, karet, dan kaca

Permasalahan lingkungan hidup merupakan isu/masalah besar yang dapat dibagi


menjadi 3 (tiga) tingkat, yaitu:

1. Isu lingkungan global

Isu lingkungan di tingkat global menunjukkan bahwa permasalahan


lingkungan dan dampak yang ditimbulkan dari permasalahan lingkungan tersebut
mengakibatkan dampak yang luas dan serius bagi dunia serta menyeluruh. Adapun
masalah dalam lingkungan global yang mulai muncul dalam beberapa dekade
belakangan ini, antara lain:

a. Pemanasan global

Pemanasan global merupakan proses peningkatan suhu rata-rata atmosfer, laut,


dan daratan yang disebabkan oleh berbagai faktor penyebab. Adapun penyebab
utamanya, yakni peningkatan konsentrasi gas-gas rumah kaca akibat aktivitas
manusia. Peningkatan suhu global akibat pemanasan global menyebabkan
perubahan lain yang mengikuti seperti naiknya permukaan air laut, meningkatnya
intensitas fenomena cuaca ekstrim, hilangnya gletser, dan punahnya berbagai
hewan. Adapun dampak lebih lanjut dari pemanasan global, yaitu iklim tidak
stabil, peningkatan permukaan air laut, suhu global meningkat, gangguan
ekologis, penyakit yang merajalela, perang, dan konflik.

b. Hujan asam
Hujan asam terjadi karena adanya polutan tertentu di atmosfer. Hujan asam dapat
disebabkan karena pembakaran bahan bakar fosil, akibat meletusnya gunung
berapi, atau membusuknya vegetasi yang melepaskan sulfur dioksida dan nitrogen
dioksida ke atmosfer. Hujan asam merupakan permasalahan lingkungan yang
dapat memiliki efek serius pada kesehatan manusia, satwa liar, dan spesies air.

c. Penipisan lapisan ozon

Penipisan lapisan ozon disebabkan oleh Bahan Perusak Ozon (BPO) yang terdiri
dari Chlorofluorocarbon (CFC), Hydrochlorofluorocarbon (HCFC), Halon, Metil
Bromida, Karbon Tetraklorida (CTC), dan Metil Chloroform yang banyak
digunakan dalam peralatan pendingin seperti lemari es, pendingin ruangan (AC),
pemadam kebakaran, industri busa, bahan pelarut, dan proses karantina
pelabuhan. penipisan lapisan ozon dapat menyebabkan peningkatan radiasi sinar
UV-B yang berdampak pada kerusakan sistem perlindungan alami makhluk hidup
sehingga meningkatkan kerentanan pada manusia, hewan, dan tanaman. Pada
manusia dan hewan, paparan sinar UV-B dapat menyebabkan katarak dan kanker
kulit.Sementara pada tumbuhan, radiasi sinar UV-B yang berlebihan dapat
menghambat metabolisme tanaman sehingga pertumbuhan menjadi lebih lambat
dan kerdil.5

d. Penyakit

Menurut J. Barros dan J. M. Johnston, aktivitas pembangunan yang dilakukan


manusia memiliki kaitan yang erat dengan pencemaran lingkungan dan
mengakibatkan berbagai macam penyakit seperti kanker, infeksi saluran
pernafasan akut (ISPA), penyakit kulit, pneumonia, dan penyakit-penyakit
lainnya. Adapun beberapa kegiatan yang dapat menimbulkan penyakit, antara
lain:6

1. Kegiatan industri yang menghasilkan limbah dan zat-zat buangan yang


berbahaya seperti logam berat dan zat radioaktif;

5
Anonim, 2019, “Perlindungan Lapisan Ozon”, Bidang Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan
Lingkungan Hidup Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Daerah Istimewa Yogyakarta, URL:
http://dlhk.jogjaprov.go.id/perlindungan-lapisan-ozon, diakses pada tanggal 6 Mei 2022 pukul 11.40
6
Narullah, 2015, Hukum Lingkungan, Yogyakarta: Universitas Muhammadiyah. (30-32)
2. Kegiatan pertambangan yang menimbulkan kerusakan instalasi, kebocoran,
pencemaran buangan penambangan, pencemaran udara, dan rusaknya lahan
bekas pertambangan;
3. Kegiatan transportasi yang menghasilkan kepulan asap, peningkatan suhu
udara, kebisingan kendaraan bermotor hingga tumpahan bahan bakar berupa
minyak bumi dari kapal tanker; dan
4. Kegiatan pertanian yang menghasilkan residu akibat penggunaan zat-zat kimia
untuk memberantas serangga/tumbuhan pengganggu seperti insektisida,
pestisida, herbisida, fungisida hingga pupuk anorganik.
e. Penyalahgunaan narkoba dan bahan adiktif lainnya

Penyalahgunaan narkoba dan bahan adiktif lainnya merupakan permasalahan


global yang menjangkit hampir seluruh negara di dunia. Hal itu berdampak negatif
baik secara fisik, psikis, ekonomi, sosial, budaya, dan sebagainya. United Nations
Office on Drugs and Crime (UNODC) sebagai badan dunia yang mengurus
masalah narkotika mencatat setidaknya ada 271 juta jiwa di seluruh dunia atau
5,5% dari jumlah populasi global penduduk dunia dengan rentang usia antara 15
sampai dengan 64 tahun telah mengkonsumsi narkoba. Penyalahgunaan narkoba
dan bahan adiktif lainnya tidak saja merusak dirinya, melainkan juga mengganggu
dan membawa kerugian bagi masyarakat yang berada di sekitarnya.

2. Isu lingkungan nasional

Di Indonesia, masalah lingkungan juga merupakan masalah besar. Masalah


lingkungan di Indonesia meliputi:

a. Polusi

Polusi merupakan masalah lingkungan hidup yang pertama, baik itu adalah polusi
udara air, maupun tanah. Hal ini dikarenakan polusi memerlukan waktu jutaan
tahun agar dapat normal kembali. Sumber polusi dapat berasal dari industri, asap
kendaraan bermotor, tumpahan minyak, hujan asam, limpasan perkotaan, sisa
pembakaran bahan bakar fosil, dan sebagainya.

b. Pemanasan global
Pemanasan global menyebabkan meningkatnya suhu lautan dan permukaan bumi
yang sehingga menyebabkan mencairnya es di kutub dan kenaikan permukaan air
laut. Pemanasan global juga mengubah pola alami musim dan curah hujan yang
dapat mengakibatkan perubahan cuaca ekstrim, banjir bandang, salju berlebihan,
dan sebagainya. Perubahan cuaca ekstrim kemudian dapat mengakibatkan
produksi pertanian sering mengalami gagal panen dan memperbesar peluang
terjadinya kebakaran hutan akibat terjadinya musim kering berkepanjangan.

c. Populasi

Kelebihan populasi dalam jangka waktu yang panjang akan menyebabkan


manusia kekurangan/kelangkaan sumber daya seperti air, bahan bakar, dan
makanan. Pertanian intensif yang bertujuan untuk meningkatkan produksi
makanan yang menggunakan pestisida justru pada akhirnya dapat menimbulkan
masalah baru seperti menurunnya kualitas tanah dan kesehatan manusia.

d. Penipisan sumber daya alam

Penggunaan bahan bakar fosil seperti minyak bumi bertanggung jawab


menciptakan pemanasan global dan perubahan iklim. Secara global, mulai banyak
pihak yang mulai beralih menggunakan sumber daya terbarukan, seperti listrik
tenaga surya, biogas, dan mobil tenaga matahari, yang diterapkan oleh negara
maju. Walaupun dalam jangka pendek, instalasi peralatan fasilitas teknologi ramah
lingkungan ini akan terlihat cukup mahal, tetapi dalam jangka panjang akan sangat
murah dibandingkan penggunaan energi fosil dan tidak terbarukan.

e. Pembuangan limbah

Pembuangan limbah rumah tangga seperti plastik dan sampah dapat dilihat di Kali
Ciliwung di Jakarta dan kota-kota di Indonesia lainnya. Selain itu, pembuangan
limbah industri ke sungai juga menyebabkan ikan-ikan mati dan hancurnya
ekosistem sungai padahal sungai-sungai ini penting untuk perekonomian dan
sumber makanan bagi masyarakat. Pembuangan limbah ini akhirnya akan
menyebabkan pencemaran laut di Indonesia dan merusak ekosistem laut sebagai
sumber perikanan.
f. Kepunahan keanekaragaman hayati

Aktivitas manusia yang menyebabkan kepunahan spesies dan habitat serta


hilangnya keanekaragaman hayati. Punahnya spesies berarti punahnya sumber
pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Selain itu, kerusakan terumbu karang di
berbagai lautan yang mendukung kehidupan laut yang kaya menyebabkan
ketersediaan ikan di laut berkurang padahal populasi manusia semakin bertambah.
Hal ini mengakibatkan keseimbangan ekosistem menjadi terganggu.

g. Penggundulan hutan

Pembukaan hutan untuk pengembangan sektor perkebunan terutama sawit


menyebabkan pelepasan karbon ke bumi sehingga meningkatkan perubahan suhu
bumi. Hutan yang sesungguhnya berperan menyerap racun karbon dioksida hasil
pencemaran, kemudian mengubahnya menjadi oksigen, membantu menciptakan
hujan, menjadi habitat bagi berbagai jenis satwa yang penting untuk mendukung
berbagai kehidupan manusia, hancur digantikan tanaman monokultur padahal
tanaman monokultur tidak akan mampu berperan selayaknya hutan dalam
mendukung pemenuhan kebutuhan hidup manusia.

h. Hujan asam

Hujan asam merupakan hujan yang mempunyai kadar keasaman dengan pH di


bawah 5,6. Dengan demikian, hujan asam memiliki kadar air hujan yang lebih
asam lagi dibandingkan dengan air hujan biasa. Sama halnya dengan isu
lingkungan di tingkat global, hujan asam juga menjadi isu lingkungan di
Indonesia. Hujan asam pernah melanda Sumatera, Kalimantan, Bandung, Jakarta,
dan masih banyak lagi.7

i. Rekayasa genetika

Produk makanan, peternakan, dan pertanian saat ini banyak dihasilkan oleh
teknologi rekayasa genetika/modifikasi genetik. Modifikasi genetik dari hasil
makanan secara umum akan meningkatkan racun dan resiko penyakit bagi

7
Ayu Rifka Sitoresmi, 2021, “Penyebab Hujan Asam di Indonesia, Ketahui Dampak dan Proses
Terjadinya”, Liputan 6, URL:
https://hot.liputan6.com/read/4592923/penyebab-hujan-asam-di-indonesia-ketahui-dampak-dan-prose
s-terjadinya, diakses pada tanggal 6 Mei 2022 pukul 12.59
manusia. Genetika tanaman/satwa yang dimodifikasi dapat menyebabkan masalah
serius bagi kesehatan manusia serta keseimbangan ekosistem. Selain itu,
peningkatan penggunaan racun untuk membuat tanaman tahan terhadap gangguan
serangga/hama dapat menyebabkan organisme yang dihasilkan menjadi resisten
(kebal) terhadap antibiotik.

3. Isu lingkungan lokal

Adapun isu lingkungan hidup yang terjadi di tingkat lokal meliputi:

a. Kekeringan

Kekeringan dapat disebabkan karena suatu wilayah tidak mengalami


hujan/kemarau dalam kurun waktu yang cukup lama atau curah hujan di bawah
normal sehingga kandungan air di dalam tanah berkurang atau bahkan tidak ada.8
Hal ini dapat terjadi akibat adanya penebangan pohon pada zona resapan air.

b. Banjir

Banjir merupakan salah satu bencana alam yang terjadi akibat kondisi alam atau
ulah manusia. Banjir terjadi ketika luapan air menenggelamkan tanah atau daratan
lain yang biasanya kering. Banjir sering terjadi di kota-kota besar dengan
permukaan tanah yang lebih rendah dibandingkan permukaan laut dan minim
resapan air.9 Pada Desember 2021 lalu, Badan Penanggulangan Bencana Daerah
Kota Denpasar menyimpulkan bahwa penyebab utama terjadinya banjir di kota
Denpasar pada saat itu adalah banyaknya timbunan sampah yang menyumbat
saluran air.10

c. Intrusi air laut

8
Anonim, 2022, “Kekeringan”, Badan Penanggulangan Bencana Daerah Nusa Tenggara Barat, URL:
https://bpbd.ntbprov.go.id/pages/kekeringan, diakses pada tanggal 6 Mei 2022 pukul 13.16
9
Kristina, 2021, “Apa Penyebab Banjir? Ini Jenis dan Cara Pencegahannya”, Detik Edu, URL:
https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5802735/apa-penyebab-banjir-ini-jenis-dan-cara-pencegahan
nya, diakses pada tanggal 6 Mei 2022 pukul 13.32
10
Didik Dwi Pratono, 2021, “BPBD Ungkap Penyebab Banjir di Denpasar Akibat Timbunan Sampah”,
Bali Intermedia Pers, URL:
https://radarbali.jawapos.com/bali/07/12/2021/bpbd-ungkap-penyebab-banjir-di-denpasar-akibat-timbu
nan-sampah/, diakses pada tanggal 6 Mei 2022 pukul 13.49
Pengambilan air bawah tanah di Pulau Bali semakin masif, terutama di
wilayah-wilayah wisata pesisir. Hal ini juga mengakibatkan penurunan kualitas air
bawah tanah.11

d. Abrasi pantai

Abrasi/erosi pantai adalah suatu proses alam berupa pengikisan tanah pada daerah
pesisir pantai yang diakibatkan oleh ombak dan arus laut yang sifatnya merusak.
Salah satu kerusakan garis pantai ini dipicu oleh terganggunya keseimbangan
alam di daerah pantai tersebut. Meskipun pada umumnya abrasi diakibatkan oleh
gejala alam, cukup banyak perilaku manusia yang juga ikut menjadi penyebab
abrasi pantai.12 Akibatnya, lahan daratan utama semakin berkurang dan
membahayakan masyarakat pesisir yang tinggal di pinggir pantai. Selain itu,
abrasi pantai juga mengakibatkan kerusakan hutan bakau, memperbesar resiko
bencana, dan berkurangnya sumber daya ikan dan plasma nutfah. Di Pantai
Selatan Bali, abrasi pantai telah mencapai 30 meter sejak tahun 1980.13

B. Dampak Pembangunan terhadap Lingkungan Hidup

Lingkungan dan pembangunan adalah merupakan satu kesatuan utuh yang tidak dapat
dipisahkan antara keduanya.14 Pembangunan pada dasarnya bertujuan untuk kesejahteraan
masyarakat di segala bidang yang menyangkut kehidupan manusia. Manusia harus pintar
dalam merancang pembangunan agar tidak berdampak buruk pada lingkungan, karena
lingkungan secara langsung sangat berpengaruh dan memegang peranan yang sangat penting
bagi semua makhluk hidup. Pembangunan yang berdampak buruk pada lingkungan dapat
menyebabkan banjir, longsor, air sungai yang terkena limbah, rusaknya pepohonan di hutan,
dan spesies hewan yang nyaris punah karena daerahnya dirusak. Oleh karena itu, manusia

11
Ayu Sulistyowati, 2019, “Intrusi Air Laut Bisa Meluas di Bali”, Kompas Media Nusantara, URL:
https://www.kompas.id/baca/utama/2019/07/03/intrusi-air-laut-bisa-meluas-di-bali, diakses pada
tanggal 6 Mei 2022 pukul 14.02
12
Anonim, 2021, “Sekilas Info Tentang Abrasi Pantai”, Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan
Laut Makassar, URL:
https://kkp.go.id/djprl/bpsplmakassar/artikel/35375-sekilas-info-tentang-abrasi-pantai#:~:text=Abrasi%
20adalah%20suatu%20proses%20alam,alam%20di%20daerah%20pantai%20tersebut., diakses pada
tanggal 6 Mei 2022 pukul 14.32
13
Anonim, 2021, “Abrasi di Pantai Slatan Bali Semakin Parah, Sampai 30 Meter”, CNN Indonesia,
URL:
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210930110848-20-701425/abrasi-di-pantai-selatan-bali-se
makin-parah-sampai-30-meter, diakses pada tanggal 6 Mei 2022 pukul 15.13
14
Moh. Fadli, dkk. op.cit. (10)
harus memperhatikan lingkungan di sekeliling pembangunan agar tidak menimbulkan
dampak buruk yang lebih besar dibandingkan dengan manfaatnya. Pembangunan yang baik
adalah pembangunan yang tidak merusak lingkungan sekitar, melainkan memberi dampak
yang baik bagi lingkungan.

Menurut Prof. Dr. Emil Salim, masalah lingkungan umumnya disebabkan oleh
perkembangan IPTEK dan penduduk serta dapat terjadi di negara maju maupun negara
berkembang. Pada negara berkembang, seperti Filipina, masalah lingkungan umumnya
disebabkan oleh faktor kemiskinan, eksploitasi sumber daya alam, penyusutan hutan, dan
polusi udara guna meningkatkan pembangunan dan membayar utang luar negeri. Sementara
pada negara maju, seperti Jepang dan Singapura, masalah lingkungan disebabkan oleh
industrialisasi dan pola hidup yang mewah dan boros dalam menggunakan energi yang
mengakibatkan polusi udara, polusi suara, menipisnya lapisan ozon, pemanasan global
hingga pencemaran air dan udara.15 Pada akhirnya, akan menimbulkan dampak yang menjadi
masalah lingkungan yang lebih besar seperti masalah kesehatan, biaya ekonomi, estetika, dan
kerusakan ekosistem.

Semakin meningkatnya upaya pembangunan akan menyebabkan semakin meningkat


dampaknya terhadap lingkungan hidup. Selain berdampak negatif, pembangunan juga
menimbulkan dampak positif bagi lingkungan hidup seperti:

1. Kemajuan di bidang teknologi

Pembangunan pada negara maju tentunya turut meningkatkan kemajuan di bidang


teknologinya. Mereka kemudian menggunakan teknologi sadar lingkungan agar di
dalam melakukan penggalian sumber daya alam tersebut tidak terjadi kerusakan dan
pencemaran lingkungan. Hal ini merupakan bagian dari konsep pembangunan
berkelanjutan (sustainable development).16

2. Peningkatan kualitas hidup manusia

Pembangunan yang memperhatikan lingkungan tentunya meningkatkan kualitas hidup


manusia itu sendiri karena kehidupan manusia, pembangunan, dan lingkungan hidup
tidak dapat dipisahkan, di antaranya:

15
Narullah, op.cit. (34)
16
Moh. Fadli, dkk, op.cit. (159)
a. Menambah penghasilan penduduk sehingga dapat meningkatkan kemakmuran

Pembangunan sangat dibutuhkan negara berkembang untuk kemakmuran


penduduknya. Di daerah terpencil atau daerah perbatasan pembangunan lebih
ditingkatkan yang mengakibatkan banyaknya lapangan kerja dan
penghasilan/pendapatan menjadi tinggi, selain itu pendapatan perkapita penduduk
dan negara pun menjadi lebih tinggi. Menurut Sukirno, pembangunan adalah
upaya yang dapat membantu meningkatkan pendapatan perkapita penduduknya.17

b. Menghasilkan barang yang dibutuhkan masyarakat, khususnya pembangunan di


sektor industri

Manfaat sektor industri bukan hanya bagi sektor pertanian, tetapi juga penting
bagi masyarakat atau penduduk. Barang-barang seperti pakaian, makanan,
kendaraan pribadi dan sebagainya adalah macam-macam kebutuhan manusia yang
dapat dihasilkan dari sektor industri, terutama sektor industri barang. Tak hanya
sektor industri barang, sektor industri jasa juga dapat memberi manfaat untuk
penduduk. Jasa transportasi, jasa produksi, dan jasa konsumen adalah beberapa
jenis industri jasa. Industri jasa transportasi dapat memberikan kebutuhan
penduduk berupa angkutan umum. Sementara itu, jasa produksi dapat
memberikan jasa pergudangan dan bank untuk kebutuhan penduduk. Jasa
konsumen dapat memberi jasa berupa pengacara, penjahit, dan sebagainya yang
memang ditujukan langsung untuk konsumen atau penduduk.

c. Mengurangi ketergantungan negara terhadap luar negeri

Pembangunan yang menghasilkan sektor lapangan industri yang melimpah


membuat lapangan kerja meningkat dan produksi pun melimpah. Barang mentah
yang diolah oleh industri bisa menjadi barang-barang yang dibutuhkan
masyarakat. Bila jumlah barang ini melimpah, Negara dipastikan mempunyai
persediaan kebutuhan yang banyak dan tidak perlu repot-repot mengimpor
kebutuhan-kebutuhan masyarakat dari negara lain. Selain itu, pendapatan per
kapita masyarakat pun juga tinggi. Bila sebuah negara mengalami hal-hal tersebut,

17
Sadono Sukirno, 1995, Pengantar Teori Mikroekonomi, Depok: Raja Grafindo Persada. (18)
bisa dipastikan bahwa negara tersebut memiliki ciri-ciri negara maju di bidang
ekonomi.

d. Terbukanya sarana dan prasarana baru

Selain kebutuhan masyarakat, pembangunan juga dapat menambah sarana dan


prasarana baru di suatu daerah. Mesin-mesin pabrik, kantor, dan traktor adalah
beberapa diantaranya. Bila dioptimalkan, sarana dan prasarana tersebut bisa
bermanfaat untuk masyarakat.

C. Cara Mengatasi Permasalahan Lingkungan Hidup Akibat Pembangunan

Pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup merupakan suatu permasalahan yang


serius mulai dari tingkat global, nasional hingga lokal.18 Oleh karena itu, diperlukan cara-cara
untuk mengatasi permasalahan hidup, salah satunya akibat pembangunan. Adapun
upaya-upaya yang dapat dilakukan oleh perusahaan untuk mengatasi permasalahan
lingkungan hidup akibat pembangunan terdiri dari:19

a. Corporate Social Responsibility (CSR)

CSR merupakan itikad perusahaan dalam turut serat bertanggung jawab terhadap
masalah sosial yang ditimbulkannya.

b. Good Corporate Governance (GCG)

GCG merupakan upaya yang dilakukan agar perusahaan industri memiliki tata kelola
yang baik dan tidak memberikan dampak buruk terhadap lingkungannya.

Dengan demikian, para pebisnis di dunia industri dituntut untuk menjalankan bisnis
yang berbudaya dan beretika, salah satunya adalah etika terhadap lingkungan hidup. Selain
para pebisnis, pemerintah Indonesia juga berupaya dalam melindungi dan mengelola
lingkungan hidup. Hal ini dapat dilihat dari ditetapkannya Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(“UU PPLH”). Berdasarkan UU PPLH, upaya-upaya yang dapat dilakukan oleh setiap orang
untuk mengatasi permasalahan lingkungan hidup akibat pembangunan terdiri dari:

18
Andi Taufan, dkk, 2021, Hukum Lingkungan, Bandung: Widina Bhakti Persada. (1)
19
Indang Dewata dan Yun Hendri Danhas, op.cit, (136)
1. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup

Berdasarkan Pasal 1 angka 2 UU PPLH, perlindungan dan pengelolaan lingkungan


hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi
lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian,
pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.

2. Pembangunan berkelanjutan

Berdasarkan Pasal 1 angka 3 UU PPLH, pembangunan berkelanjutan adalah upaya


sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi
ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta
keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan
generasi masa depan.

3. Rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (RPPLH)

Berdasarkan Pasal 1 angka 4 UU PPLH, RPPLH adalah perencanaan tertulis yang


memuat potensi, masalah lingkungan hidup, serta upaya perlindungan dan
pengelolaannya dalam kurun waktu tertentu.

4. Pelestarian fungsi lingkungan hidup

Berdasarkan Pasal 1 angka 6 UU PPLH, pelestarian fungsi lingkungan hidup adalah


rangkaian upaya untuk memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup.

5. Upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup


(UKL-UPL)

Berdasarkan Pasal 1 angka 12 UU PPLH, UKL-UPL adalah pengelolaan dan


pemantauan terhadap usaha dan/atau kegiatan yang tidak berdampak penting terhadap
lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang
penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan

III. PENUTUP/KESIMPULAN
Masalah lingkungan merupakan sesuatu yang penting karena lingkungan bukan hanya
masalah pemerintah/negara Indonesia atau 1 (satu) negara melainkan permasalahan seluruh
dunia. Oleh karena itu, permasalahan lingkungan merupakan isu yang terjadi pada tingkat
global, nasional, dan lokal. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU PPLH, lingkungan hidup adalah
kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia
dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan
kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Permasalahan lingkungan hidup umumnya
disebabkan oleh pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas manusia karena
lingkungan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Berdasarkan tempat terjadinya,
pencemaran lingkungan dibagi menjadi pencemaran air, pencemaran udara, dan pencemaran
tanah. Komponen dari zat pencemar tersebut juga dapat dibedakan menjadi zat yang dapat
diuraikan (degradable) dan zat yang tidak dapat diuraikan (nondegradable).
Lingkungan dan pembangunan adalah merupakan satu kesatuan utuh yang tidak dapat
dipisahkan antara keduanya. Pembangunan pada dasarnya bertujuan untuk kesejahteraan
masyarakat di segala bidang yang menyangkut kehidupan manusia. Pembangunan yang
berdampak buruk pada lingkungan dapat menyebabkan banjir, longsor, air sungai yang
terkena limbah, rusaknya pepohonan di hutan, dan spesies hewan yang nyaris punah karena
daerahnya dirusak. Menurut Prof. Dr. Emil Salim, masalah lingkungan umumnya disebabkan
oleh perkembangan IPTEK dan penduduk serta dapat terjadi di negara maju maupun negara
berkembang. Pada negara berkembang, seperti Filipina, masalah lingkungan umumnya
disebabkan oleh faktor kemiskinan, eksploitasi sumber daya alam, penyusutan hutan, dan
polusi udara guna meningkatkan pembangunan dan membayar utang luar negeri. Sementara
pada negara maju, seperti Jepang dan Singapura, masalah lingkungan disebabkan oleh
industrialisasi dan pola hidup yang mewah dan boros dalam menggunakan energi yang
mengakibatkan polusi udara, polusi suara, menipisnya lapisan ozon, pemanasan global
hingga pencemaran air dan udara. Selain berdampak buruk, pembangunan juga menimbulkan
dampak baik bagi lingkungan hidup seperti kemajuan di bidang teknologi dan peningkatan
kualitas hidup manusia.

Adapun upaya-upaya yang dapat dilakukan oleh perusahaan untuk mengatasi


permasalahan lingkungan hidup akibat pembangunan terdiri dari Corporate Social
Responsibility (CSR) dan Good Corporate Governance (GCG). Selain para pebisnis,
pemerintah Indonesia juga berupaya dalam melindungi dan mengelola lingkungan hidup. Hal
ini dapat dilihat dari ditetapkannya UU PPLH. Berdasarkan UU PPLH, beberapa upaya yang
dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan lingkungan hidup akibat pembangunan terdiri
dari perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, pembangunan berkelanjutan, rencana
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (RPPLH), pelestarian fungsi lingkungan
hidup, upaya pengelolaan lingkungan hidup, dan upaya pemantauan lingkungan hidup
(UKL-UPL).
DAFTAR PUSTAKA

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan


Pengelolaan Lingkungan Hidup

BUKU

Dewata, Indang dan Yun Hendri Danhas. 2018. Pencemaran Lingkungan. Depok: Rajawali
Press

Fadli. Moh, dkk. 2016. Hukum dan Kebijakan Lingkungan. Malang: UB Press

Narullah. 2015. Hukum Lingkungan. Yogyakarta: Universitas Muhammadiyah

Sukirno, Sadono. 1995. Pengantar Teori Mikroekonomi. Depok: Raja Grafindo Persada

Purnomo, Sunyo Adji, dkk. 2019. Ilmu Pengetahuan Alam. Bandung: Yrama Widya

INTERNET

Anonim. 2019. “Jenis dan Tingkatan Pencemaran yang Merusak Lingkungan”. Dinas
Perumahan, Kawasan Permukiman, dan Pertanahan. URL:
https://disperkimta.bulelengkab.go.id/informasi/detail/artikel/jenis-dan-tingkatan-penc
emaran-yang-merusak-lingkungan-75, diakses pada tanggal 6 Mei 2022 pukul 12.46

Anonim. 2019. “Perlindungan Lapisan Ozon”. Bidang Pengendalian Pencemaran dan


Kerusakan Lingkungan Hidup Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Daerah
Istimewa Yogyakarta. URL: http://dlhk.jogjaprov.go.id/perlindungan-lapisan-ozon,
diakses pada tanggal 6 Mei 2022 pukul 11.40

Anonim. 2021. “Abrasi di Pantai Slatan Bali Semakin Parah, Sampai 30 Meter”. CNN
Indonesia. URL:
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210930110848-20-701425/abrasi-di-pantai
-selatan-bali-semakin-parah-sampai-30-meter, diakses pada tanggal 6 Mei 2022 pukul
15.13
Anonim. 2021. “Sekilas Info Tentang Abrasi Pantai”. Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir
dan Laut Makassar. URL:
https://kkp.go.id/djprl/bpsplmakassar/artikel/35375-sekilas-info-tentang-abrasi-pantai
#:~:text=Abrasi%20adalah%20suatu%20proses%20alam,alam%20di%20daerah%20p
antai%20tersebut., diakses pada tanggal 6 Mei 2022 pukul 14.32

Anonim. 2022. “Kekeringan”. Badan Penanggulangan Bencana Daerah Nusa Tenggara Barat.
URL: https://bpbd.ntbprov.go.id/pages/kekeringan, diakses pada tanggal 6 Mei 2022
pukul 13.16

Kristina. 2021. “Apa Penyebab Banjir? Ini Jenis dan Cara Pencegahannya”. Detik Edu. URL:
https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5802735/apa-penyebab-banjir-ini-jenis-dan-c
ara-pencegahannya, diakses pada tanggal 6 Mei 2022 pukul 13.32

Pratono, Didik Dwi. 2021. “BPBD Ungkap Penyebab Banjir di Denpasar Akibat Timbunan
Sampah”. Bali Intermedia Pers. URL:
https://radarbali.jawapos.com/bali/07/12/2021/bpbd-ungkap-penyebab-banjir-di-denp
asar-akibat-timbunan-sampah/, diakses pada tanggal 6 Mei 2022 pukul 13.49

Sitoresmi, Ayu Rifka. 2021. “Penyebab Hujan Asam di Indonesia, Ketahui Dampak dan
Proses Terjadinya”. Liputan 6. URL:
https://hot.liputan6.com/read/4592923/penyebab-hujan-asam-di-indonesia-ketahui-da
mpak-dan-proses-terjadinya, diakses pada tanggal 6 Mei 2022 pukul 12.59

Sulistyowati, Ayu. 2019. “Intrusi Air Laut Bisa Meluas di Bali”. Kompas Media Nusantara.
URL:
https://www.kompas.id/baca/utama/2019/07/03/intrusi-air-laut-bisa-meluas-di-bali,
diakses pada tanggal 6 Mei 2022 pukul 14.02
TUGAS PAPER HUKUM LINGKUNGAN
“Penegakan Hukum Lingkungan Melalui Instrumen Pidana”

Dosen Pengampu:
Prof. Dr. I Wayan Parsa, SH., M.Hum

Disusun Oleh
Kelompok 13:

1. I Gede Aditya Putra (2004551095)


2. I Gusti Ayu Diah Nandini (2004551103)
3. Anak Agung Istri Agung Gita Gayatri Wangsa (2004551104)
4. Kadek Selamet Aris Swastika (2004551109)

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2022
A. LATAR BELAKANG
Lingkungan hidup merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang wajib
dilestarikan dan dikembangkan kemampuannya agar tetap dapat menjadi sumber penunjang
hidup bagi manusia dan makhluk hidup lainnya demi kelangsungan dan peningkatan kualitas
hidup itu sendiri. Lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi setiap warga
negara Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28H UUD RI 1945. Pembaharuan
dan pembangunan telah membawa banyak bencana bagi lingkungan hidup dan kemanusiaan,
dalam hal ini, lingkungan hidup ditafsirkan secara konvensional. Hingga hari ini pun bumi
terancam dengan adanya efek pemanasan global yang berdampak besar terhadap perubahan
lingkungan hidup. Ditambah lagi dengan eksploitasi sumber daya alam dan lingkungan yang
besar-besaran untuk pembangunan, hal ini tentu menjadi sebuah alibi pemerintah demi
pemasukan di kantong. Akhir-akhir ini penyebab rusaknya ekosistem dan lingkungan
diakibatkan oleh manusia itu sendiri. Menganggap bahwa sumber daya alam yang
dianugerahkan hanyalah untuk kepuasan semata tanpa melihat lebih dalam dampak yang
ditimbulkan. Pada akhirnya apakah lingkungan itu ada untuk manusia atau manusialah yang
seharusnya ada untuk lingkungan?
Perlu menjadi perhatian bersama bahwa permasalahan lingkungan di Indonesia saat
ini harus segera diatasi. Perkembangan permasalahan lingkungan yang semakin parah dari
waktu ke waktu seakan tidak diimbangi dengan penegakan hukum yang memadai, walaupun
segala peraturan telah dibuat mulai dari undang-undang dasar yang menjamin hak atas
lingkungan. Kaidah dasar yang melandasi pembangunan dan perlindungan lingkungan hidup
di Indonesia bahkan terdapat dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 pada Alinea
ke-4. Pembukaan UUD 45 tersebut menegaskan kewajiban negara dan tugas pemerintah
untuk melindungi segenap sumber-sumber alam Indonesia guna kebahagiaan seluruh rakyat
Indonesia dan segenap umat manusia. Pemikiran tersebut lebih dijabarkan lagi dalam Pasal
33 ayat (1) sebagai berikut: “...Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”.
Penegakan hukum di bidang lingkungan menurut Keith Hawkin, (Dalam Koesnadi
Hardjasoemantri) bahwa penegakan hukum lingkungan pada dasarnya dapat dilihat dari dua
sistem atau strategi yang berkarakter pembenahan peraturan dan pemberian sanksi. Oleh
karena itu merupakan suatu keharusan dalam pengaturan mengenai lingkungan dimasukkan
ketentuan pidana di dalamnya agar penegakan hukum lingkungan itu sendiri dapat berjalan
secara efektif.
B. PEMBAHASAN
Penegakan hukum lingkungan di Indonesia mencakup penataan dan penindakan
(compliance and enforcement).1 Penegakan hukum lingkungan dalam arti yang luas, yaitu
meliputi preventif dan represif. Pengertian preventif sama dengan compliance yang meliputi
negosiasi, supervise, penerangan, nasihat), sedangkan represif meliputi penyelidikan,
penyidikan sampai pada penerapan sanksi baik administratif maupun pidana.2 Penegakan
hukum pengelolaan lingkungan hidup saat ini masih sulit dilakukan oleh karena sulitnya
pembuktian dan menentukan kriteria baku kerusakan lingkungan. Upaya penegakan hukum
lingkungan hidup melalui hukum pidana adalah bagaimana tiga permasalahan pokok dalam
hukum pidana ini dituangkan dalam undang-undang yang sedikit banyak mempunyai peran
untuk melakukan rekayasa sosial (social engineering), yaitu yang meliputi perumusan tindak
pidana (criminal act), pertanggungjawaban pidana, dan sanksi (sanction) baik pidana maupun
tata-tertib. Sesuai dengan tujuan yang tidak hanya sebagai alat ketertiban, hukum lingkungan
mengandung pula tujuan pembaharuan masyarakat (social engineering).
Kasus pidana lingkungan hidup, umumnya kompleks dan berbeda dengan kasus-kasus
pidana pada umumnya yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari (tindak pidana yang
konvensional). Penanganan kasus pidana lingkungan hidup perlu memperhatikan aspek
keseimbangan antara pembangunan dan lingkungan hidup, antara kepentingan pembangunan
ekonomi dan investasi dengan kepentingan pelestarian fungsi lingkungan, dalam kerangka
mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup, serta
memperhatikan adanya keterpaduan dengan aspek teknis. Berikut ini beberapa pembahasan
mengenai Hukum Pidana sebagai Instrumen Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia,
yakni sebagai berikut:
1. Perumusan dan Kualifikasi Delik Lingkungan
Hukum pidana di Indonesia secara pokok dan umumnya berasal dari Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dimana yang telah digunakan sejak ratusan tahun
pada zaman kolonial sampai pada masa zaman sekarang ini. Pranata hukum pidana yang
terbuat secara kodifikasi, terdapat berbagai pengaturan pidana dari segala aspeknya, termasuk
dalam hal ini yang berkaitan dengan aspek lingkungan. Istilah “pidana” sering dipergunakan
dengan istilah “delik” dalam dunia akademis. Tetapi kata delik ini, tidak bisa dicantumkan
dalam perundang-undangan, dan lebih sering digunakan istilah pidana. Menurut pandangan

1
Daud Silalahi, “Manusia Kesehatan dan Lingkungan”, Jurnal Masalah Lingkungan Hidup, Mahkamah Agung
RI, 1994, hlm. 1.
2
Dyah Adriantini Sintha Dewi, “Konsep Pengelolaan Lingkungan Hidup, Menuju Kemakmuran Masyarakat”,
Jurnal Fakultas Hukum, Vol. 1 No. 1 Tahun 2012, Universitas Muhammadiyah Magelang
Roeslan Saleh3, bahwa untuk dapat menentukan apakah suatu perbuatan dapat dikategorikan
sebagai pencemaran dan kerusakan lingkungan dapat dipidana diperlukan suatu rumusan
“delik lingkungan” yang didasarkan kepada asas legalitas yang tertuang dalam ketentuan
Pasal 1 ayat (1) KUHP. Selanjutnya, istilah delik lingkungan atau milieu delicten (dalam
bahasa Belanda; memakai dua istilah, yaitu strafbaar feit dan delict, lalu di Indonesia dipakai
beragam istilah , dimulai dari tindak pidana, perbuatan pidana atau peristiwa pidana maupun
perbuatan yang boleh dihukum).
Adapun pandangan sarjana mengenai delik lingkungan, salah satunya Siti Sundari
Rangkuti,4 yang menyatakan bahwa merumuskan delik lingkungan adalah tidak dapat
dianggap mudah. Kemudian, ada Mardjono Reksodiputro, yang menyatakan bahwa
perumusan yang terpaksa bersifat umum, kurang tegas dan terinci akan mengandung bahaya,
bahwa ketentuan pidana yang perumusannya umum, maka dapat menghilangkan makna asas
legalitas. Bagaimana caranya hukum memutuskan, apakah suatu perbuatan termasuk delik
lingkungan atau tidak. Dilihat dalam perumusan delik lingkungan dapat diselesaikan dengan
cara memahami secara komprehensif terhadap makna yuridis terhadap perusakan dan
pencemaran lingkungan serta rumusan ketentuan sanksi pidana. Maka dengan kata lain,
perumusan terhadap delik lingkungan sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) Nomor 32 Tahun 2009 yang
memuat dua elemen dasar yaitu perbuatan dan akibat yang ditimbulkan. Kedua elemen
tersebut digunakan sebagai pedoman delik lingkungan sebagai “delik materiil” dan “delik
formil”.
Delik materiil adalah delik atau perbuatan yang dilarang oleh hukum yang dianggap
sudah sempurna atau terpenuhi apabila perbuatan itu telah menimbulkan akibat. Sedangkan
delik formil adalah delik atau perbuatan yang dilarang oleh hukum yang sudah dianggap
sempurna atau terpenuhi begitu perbuatan itu dilakukan tanpa mengharuskan adanya akibat
dari perbuatan.5 Jadi dapat dibedakan antara delik materiil dengan delik formil di dalam
hukum lingkungan6, yaitu dimana delik materil yang diancam pidana adalah “akibat dari
perbuatan” sedangkan delik formil yaitu dimana merujuk pada “perbuatannya yang dilarang
dan diancam pidana”.

3
Saleh, Roeslan. 1983. Beberapa Asas Hukum Pidana dalam Perspektif. Jakarta: Penerbit Aksara Baru. hlm, 21.
4
Rangkuti, Siti Sundari. 2005. Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional Edisi Ketiga.
Surabaya: Penerbit Airlangga University Press. hlm 333.
5
Rahmadi, Takdir. 2015. Hukum Lingkungan di Indonesia Edisi Kedua. Jakarta: Rajawali Pers. hlm 228.
6
Akib, Muhammad. 2014. Hukum Lingkungan Perspektif Global dan Nasional. Jakarta: Rajawali Pers. hlm
165-166.
UUPPLH 1997 merumuskan tindak pidana sebagai tindakan yang mengakibatkan
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup (sebagaimana diatur dalam Pasal 41),
sedangkan UUPPLH 2009 merumuskan tindak pidana yaitu sebagai tindakan yang
mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut,
atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup (sebagaimana diatur dalam Pasal 98).
UUPPLH 1997 merumuskan pidana dengan pidana maksimum, sedangkan UUPPLH 2009
merumuskan pidana dengan minimum dan maksimum. Selain itu, UUPPLH 2009 mengatur
mengenai hal-hal yang tidak diatur dalam UUPPLH 1997 yaitu diantaranya pemidanaan bagi
pelanggaran baku mutu (sebagaimana diatur dalam Pasal 100), perluasan alat bukti,
keterpaduan penegakan hukum pidana, dan pengaturan tindak pidana korporasi. UUPPLH,
dalam penjelasan umum, memandang hukum pidana sebagai upaya terakhir (ultimum
remedium) bagi tindak pidana formil tertentu, sementara untuk tindak pidana lainnya yang
diatur selain Pasal 100 UUPPLH, tidak berlaku asas ultimum remedium, yang diberlakukan
asas premium remedium (mendahulukan pelaksanaan penegakan hukum pidana). Asas
ultimum remedium menempatkan penegakan hukum pidana sebagai pilihan hukum yang
terakhir.7 Ketergantungan penerapan hukum pidana disandarkan pada keadaan sanksi
administrasi yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi, atau pelanggaran dilakukan lebih dari satu
kali.
2. Pembuktian dan Kausalitas

Dalam konteks delik lingkungan, terdapat empat aspek substansial dalam pembuktian,
yaitu: 1). lingkup pembuktian “de omvang van het bewijs”, 2). beban pembuktian “de
bewijslast”, 3). alat-alat pembuktian “de bewijsmiddelen, dan 4). penilaian pembuktian “de
bewijs waardering”.8 Keempat aspek pembuktian tersebut dalam pandangan Suparto Wijoyo
adalah berorientasi pada pemaparan dan evaluasi fakta (delik lingkungan) yang mendasari
konstruksi putusan hakim secara meyakinkan. Kebenaran fakta harus ditemukan dalam
prosedur peradilan pidana (penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan) agar
hakim dapat memilih hukum yang tepat “in abstracto” untuk dapat diterapkan pada delik
yang bersangkutan guna membuat keputusan “in concreto” yang executable.
Di Indonesia, pembuktian dalam mekanisme peradilan delik lingkungan adalah
merupakan suatu hal yang fundamental. Sebagaimana yang disebutkan dalam ketentuan Pasal
6 ayat (2) UU Kehakiman yaitu: “Tidak seorangpun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila

7
Salman Luthan, “Asas dan Kriteria Kriminalisasi”, Jurnal Hukum, Vol. 16 No. 1 Januari 2009, hlm. 8
8
Lihat dalam Bambang Waluyo, Sistem Pembuktian dalam Peradilan Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1992,
hlm, 3-9.
pengadilan, karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan,
bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan
yang dituduhkan atas dirinya”. Ketentuan sebagaimana dimaksud tentu saja sejalan dengan
ketentuan Pasal 183 KUHAP yang menyatakan bahwa: “Hakim tidak boleh menjatuhkan
pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah
ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Adapun alat bukti yang sah menurut ketentuan Pasal 6 ayat (2) UU Kehakiman dan
Pasal 183 KUHAP dalam Hukum Acara Pidana telah diatur dalam ketentuan Pasal 184
KUHAP, yang menyatakan bahwa:
1) Alat bukti yang sah: Keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan
keterangan terdakwa.
2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.

Berdasarkan pada ketentuan tersebut, maka delik lingkungan dalam konteks


pembuktiannya untuk dapat menemukan kausalitas adalah merupakan kisi krusial. Hal ini
dikarenakan bahwa masalah pembuktian berhubungan dengan kredibilitas pengadilan.
Selama ini, kasus lingkungan kalah karena lemah di bidang pembuktiannya. Upaya
penegakan hukum dalam kasus-kasus lingkungan melalui proses peradilan di pengadilan
hampir selalu mengalami kekalahan. Penyebab kekalahan itu antara lain karena dakwaan
yang diajukan maupun pembuktian di persidangan sangat lemah dan pemahaman yang
kurang pada jaksa dan hakim terhadap masalah lingkungan.

3. Pemidanaan dan Penetapan Sanksi Pidana

Penegakan hukum lingkungan yang bersifat represif ditujukan untuk menanggulangi


kerusakan atau pencemaran lingkungan dengan menjatuhkan atau memberikan sanksi
(hukuman) kepada perusak atau pencemar lingkungan. Menurut pandangan Muladi dan
Barda Nawawi menyatakan bahwa tujuan utama yang hendak dicapai dalam pemidanaan
terhadap delik lingkungan adalah; pertama, untuk mendidik masyarakat sehubungan dengan
kesalahan moral yang berkaitan dengan perilaku yang dilarang.9 Kedua, mencegah atau
menghalangi pelaku potensial agar tidak melakukan perilaku yang tidak bertanggung jawab
terhadap lingkungan hidup. Berdasarkan ketentuan Pasal 41, 42, 43, 44, 45, 46, dan Pasal 47

9
Lihat dalam Muladi dan Barda Nawawi, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Penerbit Alumni, Bandung, 1984,
hlm.7
UUPLH dapat diketahui bahwa jenis-jenis sanksi pidana yang dapat diancamkan kepada
pelaku perusakan atau pencemaran lingkungan adalah pidana penjara, denda, dan atau
tindakan tata tertib. Jenis sanksi pidana yang berupa pidana penjara dan denda bersifat
kumulatif. Pasal 47 UUPLH menyebutkan tentang “tindakan tata tertib”. Tindakan tata tertib
itu berupa: (a) perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana dan/atau (b)
penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan dan/atau (c) perbaikan akibat tindak pidana
dan/atau (d) mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak dan/atau (e) meniadakan
apa yang dilalaikan tanpa hak dan atau menempatkan perusahaan di bawah pengampuan
paling lama 3 (tiga) tahun. Sedangkan jenis sanksi pidana yang berupa tindakan tata tertib
lebih bersifat diskresi, sehingga sepenuhnya diserahkan kepada kebijaksanaan dari penuntut
umum (jaksa).

Pasal 41, 42 ,43, dan Pasal 44 UUPLH berkaitan dengan sanksi pidana yang dapat
diancamkan kepada pelaku perusakan atau pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh
individu. Pasal 45 dan Pasal 46 UUPLH adalah sanksi pidana yang dapat diancamkan kepada
pelaku perusakan atau pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh korporasi. Sedangkan
ketentuan Pasal 47 adalah sanksi pidana yang dapat diancamkan kepada pelaku perusakan
atau pencemaran lingkungan yang dilakukan baik oleh individu maupun korporasi. Dari
rumusan Pasal 41, Pasal 42, dan Pasal 43 UUPLH dapat diketahui bahwa pasal pasal tersebut
merupakan delik materiil yang membawa konsekuensi pembuktian adanya hubungan
kausalitas antara perbuatan perusakan dan. atau pencemaran lingkungan dan akibat yang
ditimbulkan, yaitu rusaknya dan atau tercemarnya lingkungan hidup yang dimaksud. Berbeda
halnya dengan Pasal 44 UUPLH lebih merupakan delik formil yang membawa konsekuensi
bahwa yang penting dapat membuktikan perbuatan melanggar hukumnya.

4. Contoh Kasus Penegakan Hukum Lingkungan Melalui Instrumen Hukum Pidana

1. Perusakan Lingkungan yang Dilakukan oleh Korporasi: Minyak Mentah Milik Pertamina
Tumpah di Pesisir Karawang

Masyarakat Karawang yang ada di pesisir dikejutkan oleh adanya oil spill pada 21
Juli 2019. Bentuk oil spill bulat dengan warna hitam dan memiliki bau seperti minyak
tanah.Setelah bertebaran di pantai, oil spill mencair. Dalam hitungan hari, beberapa ekosistem
laut mendapatkan efek buruk. Dalang di balik kasus tersebut ternyata adalah BUMN, yaitu
Pertamina Hulu Energi ONWJ. Mereka mengonfirmasi bahwa minyak mentah itu berasal dari
sumur mereka. Pencemaran terjadi karena sumur YYA-1 mengalami kebocoran. Tak tinggal
diam, Pertamina berupaya menangani masalah lingkungan yang terjadi selama hampir 5
bulan itu. Dalam kasus ini pihak pertamina telah mau untuk mempertanggungjawabkan
kejadian ini serta telah bertanggung jawab penuh mengenai persoalan ini dimana tergugat
dikena hukuman membayar ganti rugi lingkungan tanggung renteng Rp 10.15 triliun antara
lain, jasa lingkungan Rp 9,96 triliun, biaya pemulihan atau restorasi Rp 184,05 miliar dan
biaya penyelesaian sengketa lingkungan Rp 868, 628 juta. Ganti rugi itu jadi masalah besar
karena ada mangrove, biota laut dan pesisir yang tidak bisa dihitung secara murah. Yang
mana itu berkaitan dengan biodiversitas. Dalam hal ini penegakan hukumnya sudah diatur
dan diselesaikan oleh pihak pertamina secara langsung.

2. Perusakan Lingkungan yang Dilakukan oleh Individu/Perseorangan

Melalui Putusan Mahkamah Agung Nomor 1368 K/Pid.Sus/2009, Tanggal 31 Maret


2010. Bahwa mereka H. Abdul Aziz Ali Hamid, Aslam Als. Alam, dan Dy Luan Als. Akiat
Als. Ridwan secara melawan hukum dengan sengaja melakukan perbuatan yang
mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Perusakan lingkungan ini
disebabkan oleh para pelaku telah dengan sengaja dan atau melakukan pembiaran terhadap
lahan gambut yang terbakar. Jadi dalam permasalahan ini isu hukum/ pidana yang dilakukan
adalah pembakaran hutan untuk membuka lahan baru. Sehingga elemen penegakan hukum
lingkungan melalui instrumen pidana terdakwa pencemaran lingkungan tersebut bersalah
yang karena kealpaannya melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan hidup sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 42 ayat (1)
jo Pasal 46 ayat (2) Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup. Dan Menjatuhkan pidana penjara terhadap Terdakwa masing-masing selama 1 (satu)
tahun dikurangi masa tahanan telah dijalani dan denda sebesar Rp.10.000.000,- (sepuluh juta
rupiah) Subsidair 2 (dua) bulan kurungan, dengan perintah para Terdakwa tetap ditahan.

C. PENUTUP
Penegakan hukum lingkungan di Indonesia mencakup penataan dan penindakan
(compliance and enforcement). Penegakan hukum lingkungan dalam arti yang luas, yaitu
meliputi preventif dan represif. Upaya penegakan hukum lingkungan hidup melalui hukum
pidana adalah bagaimana tiga permasalahan pokok dalam hukum pidana ini dituangkan
dalam undang-undang yang sedikit banyak mempunyai peran untuk melakukan rekayasa
sosial (social engineering), yaitu yang meliputi perumusan tindak pidana (criminal act),
pertanggungjawaban pidana, dan sanksi (sanction) baik pidana maupun tata-tertib. suatu
perbuatan dapat dikategorikan sebagai pencemaran dan kerusakan lingkungan dapat dipidana
diperlukan suatu rumusan “delik lingkungan” yang didasarkan kepada asas legalitas yang
tertuang dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP. Perumusan terhadap delik lingkungan
sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup (UUPPLH) Nomor 32 Tahun 2009 yang memuat dua elemen dasar yaitu perbuatan
dan akibat yang ditimbulkan. Kedua elemen tersebut digunakan sebagai pedoman delik
lingkungan sebagai “delik materiil” dan “delik formil”. Dalam konteks delik lingkungan,
terdapat empat aspek substansial dalam pembuktian, yaitu: 1). lingkup pembuktian “de
omvang van het bewijs”, 2). beban pembuktian “de bewijslast”, 3). alat-alat pembuktian “de
bewijsmiddelen, dan 4). penilaian pembuktian “de bewijs waardering”.
Penegakan hukum lingkungan yang bersifat represif ditujukan untuk menanggulangi
kerusakan atau pencemaran lingkungan dengan menjatuhkan atau memberikan sanksi
(hukuman) kepada perusak atau pencemar lingkungan. Pemidanaan dan Penetapan Sanksi
Pidana dalam masalah lingkungan ini diatur dalam ketentuan Pasal 41, 42, 43, 44, 45, 46, dan
Pasal 47 UUPLH. Sehingga dari uraian diatas melihat banyaknya mekanisme mengenai
pengaturan delik lingkungan/perusakan lingkungan ini seharusnya kita mampu untuk
menjaga dan melestarikan serta memanfaatkan Sumber Daya Alam (SDA) yang kita miliki
dengan bijak serta tidak untuk dieksploitasi secara berlebihan yang mana akan menimbulkan
akibat hukum sesuai dengan yang telah diatur didalam setiap hukum yang berlaku di
Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

Daud Silalahi, “Manusia Kesehatan dan Lingkungan”, Jurnal Masalah Lingkungan Hidup,
Mahkamah Agung RI, 1994, hlm. 1.

Dyah Adriantini Sintha Dewi, “Konsep Pengelolaan Lingkungan Hidup, Menuju


Kemakmuran Masyarakat”, Jurnal Fakultas Hukum, Vol. 1 No. 1 Tahun 2012, Universitas
Muhammadiyah Magelang

Saleh, Roeslan. 1983. Beberapa Asas Hukum Pidana dalam Perspektif. Jakarta: Penerbit
Aksara Baru. hlm, 21.

Rangkuti, Siti Sundari. 2005. Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional
Edisi Ketiga. Surabaya: Penerbit Airlangga University Press. hlm 333.

Rahmadi, Takdir. 2015. Hukum Lingkungan di Indonesia Edisi Kedua. Jakarta: Rajawali
Pers. hlm 228.

Akib, Muhammad. 2014. Hukum Lingkungan Perspektif Global dan Nasional. Jakarta:
Rajawali Pers. hlm 165-166.

Salman Luthan, “Asas dan Kriteria Kriminalisasi”, Jurnal Hukum, Vol. 16 No. 1 Januari
2009, hlm. 8

Lihat dalam Bambang Waluyo, Sistem Pembuktian dalam Peradilan Indonesia, Sinar Grafika,
Jakarta, 1992, hlm, 3-9.

Anda mungkin juga menyukai