DOSEN PENGAMPU :
Prof. Dr. I Wayan Parsa, S.H., M.HUM.
DISUSUN OLEH :
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2022
I. LATAR BELAKANG
1
Nastain. Penegakan Hukum Lingkungan Dari Aspek Perdata Indonesia. Hlm 2
2
Ibid. Hlm 3
II. RUMUSAN MASALAH
2.2. Bagaimanakah penegakan hukum lingkungan jika ditinjau dalam aspek perdata?
III. PEMBAHASAN
3
Soerjono Soekanto dan Sri Mahmuji. Penelitian Hukum Normatif. (Jakarta: Rajawali Pers, 2007), hlm. 14.
4
Siti Sundari Rangkuti. Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional. Edisi Kedua. Airlangga
University Press, Surabaya. 2000. Hal. 208-210.
Aparatur penegak hukum lingkungan tidak hanya mencakup: hakim, polisi,
jaksa dan pengacara, tetapi juga pejabat/instansi yang berwenang memberi izin.
Bahkan dikonsepkan bahwa organ pemerintah yang berwenang memberi izin
merupakan aparatur penegak hukum lingkungan yang utama sedasar prinsip: “pejabat
yang berwenang memberi izin (lingkungan) bertanggung jawab terhadap penegakan
hukum lingkungan administratif”.
5
Siti Sundari Rangkuti. Penegakan Hukum Lingkungan Administratif di Indonesia. Pro Justitia. Tahun XVII.
No. 1. 1999. Hal. 3-4.
6
Made Nikita Novia Kusumantari, I Made Udiana, Penegakan Hukum Lingkungan Melalui Aspek Hukum
Perdata, Fakultas Hukum Universitas Udayana.
7
Hukum lingkungan keperdataan bertujuan untuk memberikan perlindungan
hukum bagi korban pencemaran lingkungan dengan cara mengajukan gugatan
sengketa lingkungan diperadilan umum untuk mengganti kerugian. Penyelesaian
sengketa lingkungan diartikan sebagai gugatan ganti kerugian atas dasar perbuatan
melawan hukum dibidang lingkungan keperdataan oleh korban pencemaran
lingkungan. 8
Salah satu aspek berkaitan dengan keperdataan dalam hukum lingkungan
adalah mengenai pertanggungjawaban ganti rugi (liability). Ganti rugi dalam
lingkungan adalah sebagaian dari hal-hal yang berhubungan dengan tanggungjawab
mengenai timbulnya pencemaran dan kerusakan lingkungan oleh perbuatan seseorang
(environmental responsbility) yang merupakan rangkaian kewajiban seseorang untuk
memikul tanggungjawab penderita yang telah dilanggar haknya atas lingkungan hidup
yang sehat.
Dalam UUPPLH menentukan environmental responsbility mencakup baik
kepada masalah ganti rugi kepada orang perorangan (private compensation) maupun
mengenai biaya pemulihan lingkungan (public compensation).
9
Dalam UUPPLH dasar hukum tentang penyelesaian sengketa lingkungan
diatur dalam BAB XIII yang berjudul Penyelesaian Lingkungan. Pasal 84 UUPPLH
menentukan:
7
Ibid.
8
Gabrielle Jacqueline Pondaag, 2013, Pertanggungjawaban Secara Perdata Dari Badan Usaha Pertambangan
Terhadap Pencemaran Lingkungan Hidup, Lex Privatum, Vol.1/No.1/Jan-Mrt/2013, Jurnal.
9
Moh. Fadli, Mukhlish, Mustafa Lutfi, Siti Nurbaya Bakar, 2016, Hukum&Kebijakan Lingkungan, UB Press,
Malang, Hal.86, Buku.
Aspek-aspek keperdataan yang tercantum dalam pasal-pasal tersebut berisikan
tentang penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang dapat ditempuh melalui jalur
pengadilan (litigasi) atau jalur diluar pengadilan (non litigasi) berdasarkan pilihan
secara sukarela para pihak yang bersengketa. Ketentuan tersebut dimaksudkan untuk
melindungi hak keperdataan para pihak yang bersengketa.
Penyelesaian sengketa diluar pengadilan (non litigasi) sebagaimana di atur
dalam Pasal 85 UUPLH, “Penyelesaian sengketa di lingkungan di luar pengadilan
diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti
rugi, tindakan pemulihan akibat pencemaran atau perusakan, mengenai tindakan
tertentu guna menjamin tidak akan terjadinya atau terulangnya pencemaran atau
perusakan, serta untuk mencegah timbulnya dampak negatif terhadap lingkungan
hidup”. Dalam penyelesaian sengketa diluar pengadilan dapat digunakan jasa pihak
ketiga netral untuk membantu menyelesaikan sengketa lingkungan hidup yakni
melalui penyelesaian sengketa alternatif yaitu, arbitrase, mediasi, negosiasi, dan
konsiliasi.
Sedangkan mengenai penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui
pengadilan (litigasi) diatur dalam UUPPLH Pasal 87 sampai Pasal 92. Pasal 87 ayat
(1) menyatakan, “Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan
perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib
membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu”. Berdasarkan ketentuan
Pasal 87 ayat (1), agar dapat diajukan gugatan lingkungan untuk memperoleh ganti
kerugian harus terpenuhi unsur unsur:
1. Setiap penanggung jawab usaha/kegiatan;
2. Melakukan perbuatan melanggar hukum;
3. Berupa pencemaran atau perusakan lingkungan;
4. Menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan;
5. Penanggung jawab kegiatan membayar ganti rugi dan/atau melakukan
tindakan tertentu.
Selain daripada itu, penyelesaian sengketa dalam aspek hukum perdata berupa
ganti rugi umumnya didasarkan atas :
1. Tidak dipenuhinya kewajiban perjanjian sebagaimana tercantum dalam Pasal
1243 KUH Perdata;
2. Perbuatan melawan hukum, sebagaimana tercantum dalam Pasal 1365
KUHPerdata.
Penyelesaian sengketa dalam aspek keperdataan juga di atur dalam UUPPLH
yakni mengenai konsep atau asas tanggung gugat mutlak (strict liability). Dalam
lapangan Hukum Perdata, asas tanggung jawab mutlak (strict liability) merupakan
salah satu jenis pertanggungjawaban perdata (civil liability).10 Pada Pasal 88
UUPPLH menyatakan, “Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau
kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3,
dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung
jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan”.
Unsur dalam Pasal 88 ini juga menjelaskan dengan jelas bahwa, dalam Pasal 88
UUPPLH ini sejatinya mencirikan pada ciri utama daripada strict liability, dimana
dalam pengaturannya ada klausula yang menjalaskan bahwa dalam timbulnya
tanggungjawab seketika pada saat terjadinya perbuatan, sehinga tidak perlu dikaitkan
dengan unsur kesalahan. 11
Selain daripada itu dalam penyelesaian sengketa keperdataan, dapat pula
dilakukan dengan mekanisme gugatan class action dalam rangka penyelesaian
sengketa lingkungan yang melibatkan korban orang dalam jumlah banyak. Class
Action adalah suatu gugatan perdata yang diajukan oleh satu orang atau lebih yang
mewakili kelompok yang dirugikan untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan karena
adanya kesamaan fakta dan dasar hukum antara satu orang atau lebih yang mewakili
kelompok dengan kelompok yang diwakili. Pengakuan hukum adanya class action di
Indonesia adalah diatur dalam UUPLH yakni pasal 37 ayat (1) dan (2). Secara khusus
kemudian diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1 Tahun
2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok. 12
Selain itu penyelesaian sengketa ini juga diatur dalam Pasal 91 dan Pasal 92
UUPPLH mengenai ketentuan serta penjelasan mengenai hak gugat organisasi
lingkungan hidup. Dalam Pasal 91 menentukan :
(1) Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan kelompok untuk kepentingan
dirinya sendiri dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
10
Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), ( Sinar Grafika: Jakarta, 2008). Hal. 45.
11
HT. Siahaan, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan,Hal. 310.
12
Yola Wulandari, I Gede Yusa, Efektivitas Penerapan Class Action Dalam Penyelesaian Sengketa Lingkungan
Di Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Jurnal.
(2) Gugatan dapat diajukan apabila terdapat kesamaan fakta atau peristiwa, dasar
hukum, serta jenis tuntutan di antara wakil kelompok dan anggota kelompoknya.
Dalam Pasal 92 ayat (1) UUPLH 2009 menyebutkan: “Dalam rangka
pelaksanaan tanggung jawab perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup,
organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan
pelestarian fungsi lingkungan hidup”.
IV. KESIMPULAN
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
BUKU
Soerjono Soekanto dan Sri Mahmuji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: Rajawali Pers,
2007, Hal 14.
Rangkuti, Siti Sundari, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, Edisi
Kedua, Airlangga University Press, Surabaya, 2000, Hal 208-210.
Moh. Fadli, Mukhlish, Mustafa Lutfi, Siti Nurbaya Bakar, 2016, Hukum&Kebijakan
Lingkungan, UB Press, Malang, Hal.86, Buku.
Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), ( Sinar Grafika: Jakarta, 2008). Hal. 45.
JURNAL
Made Nikita Novia Kusumantari, I Made Udiana, Penegakan Hukum Lingkungan Melalui
Aspek Hukum Perdata, Fakultas Hukum Universitas Udayana.
Yola Wulandari, I Gede Yusa, Efektivitas Penerapan Class Action Dalam Penyelesaian
Sengketa Lingkungan Di Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Jurnal.
Dosen Pengampu:
Prof. Dr. I Wayan Parsa, S.H., M.Hum.
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat,
rahmat, dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan tugas paper yang berjudul
“Penegakan Hukum Lingkungan Melalui Instrumen Hukum Administrasi (HAN)” ini tepat
pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan paper ini adalah untuk memenuhi tugas dari Prof. Dr. I
Wayan Parsa, S.H., M.Hum. pada mata kuliah Hukum Lingkungan. Selain itu, paper ini juga
bertujuan untuk menambah wawasan tentang Penegakan Hukum Lingkungan Melalui
Instrumen Hukum Administrasi (HAN) bagi para pembaca dan penulis sendiri.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. I Wayan Parsa, S.H., M.Hum.,
selaku dosen pengampu pada mata kuliah Hukum Lingkungan yang telah memberikan tugas
ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang
penulis tekuni. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membagi pengetahuannya sehingga paper ini dapat diselesaikan.
Penulis menyadari paper ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang membangun akan sangat berguna demi kesempurnaan makalah ini dan menjadi
referensi pembuatan paper penulis kedepannya.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang Masalah
Bumi merupakan tempat tinggal makhluk hidup dengan segala keseimbangan yang
ada didalamnya,1 termasuk lingkungan hidup itu sendiri. Lingkungan hidup merupakan ruang
bagi makhluk hidup untuk tumbuh dan berkembang serta saling berinteraksi dengan satu
sama lainnya. Kehidupan yang ditandai dengan interaksi dan saling ketergantungan secara
teratur merupakan tatanan ekosistem yang di dalamnya mengandung esensi penting, dimana
lingkungan hidup sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dibicarakan terpisah.2 Indonesia
sebagai salah satu negara di Bumi yang dianugerahi kekayaan alam yang berlimpah serta
keindahan alam yang sangat indah. Namun, kekayaan dan keindahan alam tersebut juga
dibarengi dengan permasalahan lingkungan hidup yang semakin lama semakin besar, meluas
dan serius.3 Masalah lingkungan hidup tersebut berupa pencemaran dan/atau perusakan.
Kerusakan lingkungan hidup itu sendiri dapat diakibatkan oleh faktor alam maupun
kesalahan dari tindakan manusia.4 Dampak kerusakan lingkungan tidak hanya terkait pada
satu dua segi saja, namun juga dapat mempengaruhi subsistem-subsistem yang ada
didalamnya. Apabila satu aspek dari lingkungan terkena masalah, maka berbegai aspek
lainnya akan mengalami dampak atau akibat pula.5 Sehingga, dampak daripada kerusakan
lingkungan tidak hanya berdampak pada kelangsungan kehidupan manusia sekarang, namun
juga mengancam kelangsungan hidup manusia di masa yang akan datang. Oleh karenanya,
perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan yang sungguh-sungguh dan
konsisten oleh semua pemangku kepentingan.6
Perlindungan yang dapat direalisasikan oleh pemangku kepentingan yakni berupa
pembentukan dan penegakan hukum. Tujuan daripada penegakan hukum, khususnya dalam
hal lingkungan, lebih kepada penataan (compliance) terhadap nilai-nilai perlindungan daya
dukung ekosistem dan fungsi lingkungan hidup yang pada umumnya diformalkan kedalam
1
Zulharman, “Penegakan Hukum Lingkungan Administrasi dalam Upaya Perlindungan Kawasan Karst di
Kabupaten Maros”, (Skripsi, Fakultas Hukum: Universitas Hasanuddin 2017) 1.
2
Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press 2000) 4.
3
Wahyu Rasyid, Sadriyah Mansur dan Burhanuddin, “Peran Hukum Administrasi dalam Penegakan Hukum
Lingkungan di Kota Parepare” 2021 (5) 1 Madani Legal Review 57.
4
Aditia Syaprillah, “Penegakan Hukum Administrasi Lingkungan Melalui Instrumen Pengawasan”, 2016 (1) 1
Bina Hukum Lingkungan 100.
5
N.H.T. Siahaan, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, (Jakarta: Erlangga 2004) 1-2.
6
Desita Andini, Risno Mina, “Instrumen Administrasi dalam Penegakan Hukum Atas Pelaksanaan Izin
Lingkungan”, 2020 (4) 2 Jurnal Yustisiabel 129.
1
peraturan perundang-undangan.7 Penerapan daripada penegakan hukum lingkungan dapat
dilakukan secara administrasi, keperdataan dan kepidanaan. Namun faktanya, penegakan
hukum bukanlah perihal yang sederhana dan masih terdapat masalah-masalah dalam
penerapannya. Masalah penegakan hukum bukan saja karena kompleksitas sistem hukum itu
sendiri, tetapi juga jalinan hubungan antara sistem hukum dengan sistem sosial, politik,
ekonomi dan budaya masyarakat.8 Oleh karenanya, penegakan hukum lingkungan tidak
hanya dapat didasarkan atas kemampuan aparatur negara, namun juga kepatuhan warga
masyarakat terhadap peraturan yang berlaku. Permasalahan mengenai lingkungan yang tidak
ada ujungnya menjadi latar belakang penulis dalam mengangkat topik terkait penegakan
hukum lingkungan, yang mana akan dibahas lebih mengkhusus, yakni melalui instrumen
hukum administrasi (HAN) itu sendiri.
1. 2 Rumusan Masalah
1. 2. 1 Bagaimana konsep daripada penegakan hukum lingkungan?
1. 2. 2 Bagaimana konsep daripada penegakan hukum administrasi lingkungan?
1. 2. 3 Apa saja bentuk-bentuk instrumen hukum administrasi dalam penegakan
hukum lingkungan?
1. 2. 4 Apa saja hal-hal yang dapat mempengaruhi penegakan hukum lingkungan?
1. 2. 5 Bagaimana konsep pengawasan penegakan hukum lingkungan?
1. 2. 6 Apa saja macam-macam sanksi administrasi dalam penegakan hukum
lingkungan?
1. 3 Tujuan Penulisan
1. 3. 1 Untuk mengetahui konsep penegakan hukum lingkungan.
1. 3. 2 Untuk mengetahui konsep penegakan hukum administrasi lingkungan.
1. 3. 3 Untuk mengetahui bentuk instrumen hukum administrasi dalam penegakan
hukum lingkungan.
1. 3. 4 Untuk mengetahui hal-hal yang dapat mempengaruhi penegakan hukum
lingkungan.
1. 3. 5 Untuk mengetahui konsep pengawasan penegakan hukum lingkungan.
1. 3. 6 Untuk mengetahui macam-macam sanksi administrasi dalam penegakan
hukum lingkungan.
7
Fitria, “Penegakan Hukum Administrasi Terhadap Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)
Berdasarkan Undang-Undang 32 Tahun 2009 di Kota Jambi”, 2015 Jurnal Ilmu Hukum 34-35.
8
Nurul Listiyani, Muzahid Akbar Hayat dan Ningrum Ambarsari, “Penegakan Hukum Administrasi Lingkungan
Melalui Instrumen Pengawasan: Rekonstruksi Materi Muatan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup”, 2020 (12) 1 Al’Adl 119.
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Konsep Penegakan Hukum Lingkungan
9
Suhartono, S. (2018) ‘Dinamika Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Di Indonesia’, Widya Yuridika,
1(2), p. 129. doi: 10.31328/wy.v1i2.742.
10
Nina Herlina (2017) ‘PERMASALAHAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PENEGAKAN HUKUM
LINGKUNGAN DI INDONESIA Oleh : Nina Herlina, S.H., M.H. *) ABSTRAK’, Unigal.Ac.Id, 3(2), pp. 1–
16.
3
terakhir dalam siklus pengaturan perencanaan kebijakan tentang lingkungan yang urutannya
dimulai dari: (1) Perundang-undangan; (2) Penentuan Standar; (3) Pemberian Izin; (4)
Penerapan; dan (5) Penegakan Hukum.11 Pada dasarnya untuk tercapainya kondisi pelestarian
kemampuan lingkungan hidup yang baik dan sehat maka diperlukan kemampuan aparatur
penegak hukum dan kepatuhan warga masyarakat terhadap peraturan yang berlaku salah
satunya melalui konsep hukum administrasi negara. Penegakan hukum lingkungan menurut
Nottie Handhaving Milieurecht ialah pengawasan dan penerapan atau ancaman, penggunaan
instrument administratif, kepidanaan atau keperdataan dicapailah penataan ketentuan hukum
dan peraturan yang berlaku umum dan individual.12 Sedangkan menurut Siti Sundari
Rangkuti, penegakan hukum lingkungan merupakan upaya untuk mencapai ketaatan terhadap
peraturan dan persyaratan dalam ketentuan hukum yang berlaku secara umum dan individual,
melalui pengawasan dan penerapan (atau ancaman) sarana administratif, kepidanaan, dan
keperdataan.13 Lebih lanjut menurut Siti Sundari Rangkuti, menyebutkan bahwa penegakan
hukum lingkungan dapat dilakukan secara preventif dan represif, sesuai dengan sifat dan
efektivitasnya. Penegakan hukum yang bersifat preventif berarti bahwa pengawasan aktif
dilakukan terhadap kepatuhan kepada peraturan tanpa kejadian langsung yang menyangkut
peristiwa konkrit yang menimbulkan sangkaan bahwa peraturan hukum telah dilanggar.
Adapun instrument penegakan hukum preventif adalah penyuluhan, pemantauan, dan
penggunaan kewenangan yang sifatnya pengawasan (pengambilan sampel, penghentian
mesin-mesin dan sebagainya). Dengan demikian, penegak hukum yang utama adalah pejabat
atau aparat pemerintah yang berwenang memberi izin dan mencegah terjadinya pencemaran
lingkungan. Sedangkan penegakan hukum yang bersifat represif dilakukan dalam hal
perbuatan yang melanggar peraturan dan bertujuan untuk mengakhiri secara langsung
perbuatan terlarang.14
11
Luthfillah Fazari, S. (2020) ‘Penegakan Hukum Lingkungan dan Pemanfaatan Ruang Udara’, Jurnal Ekologi,
Masyarakat dan Sains, 1(1), pp. 30–36. doi: 10.55448/ems.v1i1.4.
12
Nina Herlina (2017). Op.cit
13
Syaprillah, A. (2016) ‘Penegakan Hukum Administrasi Lingkungan Melalui Instrumen Pengawasan’, Bina
Hukum Lingkungan, 1(1), pp. 99–113. doi: 10.24970/jbhl.v1n1.8.
14
Ibid
4
Masyarakat, Pengusaha, dan Pers. Seperti yang dibahas sebelumnya, mengacu kepada
definisi dari penegakan hukum lingkungan menurut Siti Sundari Rangkuti bahwasannya
terdapat tiga sarana yang dapat digunakan dalam penegakan hukum lingkungan yaitu sarana
administratif, kepidanaan, dan keperdataan. Dalam penentuan penggunaan sarana penegakan
Hukum Administrasi, Perdata, dan Pidana, setidaknya ada beberapa syarat penindakan dan
penggunaan sarana penegakan hukum yang harus diperhatikan khususnya dalam Hukum
Administrasi Negara atau Hukum Tata Usaha Negara yang sesuai dengan fokus pembahasan
ini yaitu:15
15
Ibid
16
Philipus M. Hadjon, “ Penegakan Hukum Lingkungan Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup” dalam B.
Arief Sidharta, ed., ed., Butir-Butir Gagasan entang Penyelenggaraan Hukum dan Pemerintahan Yang Layak
(Sebuah Tanda Mata bagi 70 ahun Prof. Dr. Ateng Syafrudin. S.H), PT CITRA ADITYA BAKTI, Bandung,
1996, hlm. 335
17
Syaprillah, A. (2016). Op.cit
5
(compliance). Dikatakan sebagai langkah pertama, karena kasus lingkungan sebenarnya tidak
akan terjadi jika instrumen hukum administrasi lingkungan diterapkan dan ditegakkan dengan
baik. Sebagai langkah yang utama, karena pada prinsipnya penegakan hukum lingkungan
yang lebih utama bukanlah menghukum para pencemaran atau kerusakan lingkungan, tetapi
mencegah dan memulihkan kualitas dan daya dukung lingkungan.18 Adapun beberapa
kelebihan penerapan instrumen hukum lingkungan administrasi dalam penegakan hukum
lingkungan dibandingkan dengan istrumen hukum pidana dan perdata yang dikemukakan
oleh Mas Ahmad Santosa sebagai berikut:
Lebih lanjut, Mas Ahmad Sentosa menyebutkan bahwa perangkat penegakan hukum
dalam sebuah sistem hukum dan pemerintahan, minimal harus meliputi:
18
Ambarsari, N. L. M. A. H. N. (2020) ‘Penegakan Hukum Administrasi Lingkungan Melalui Instrumen
Pengawasan: Rekonstruksi Materi Muatan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup’, Al’Adl, 12(1), pp. 116–130. Available at: https://ojs.uniska-
bjm.ac.id/index.php/aldli/article/view/2650.
19
Ibid
6
2.3 Bentuk Instrumen Hukum Administrasi Dalam Penegakan Hukum Lingkungan
20
Vica J. E. Saija, 2014, Wewenang Pemerintah Daerah Dalam Pemberian Izin Lingkungan Hidup, Jurnal SASI
Fakultas Hukum Universitas Patimura Ambon ISSN 1693-0061, Volume 20 Nomor 1, 68-80.
7
Instrumen adminsitrasi penegakan hukum terkait dengan pelaksanaan izin lingkungan
menggunakan beberapa instrumen yaitu pengawasan, penegakan sanksi administrasi, dan
gugatan Tata Usaha Negara
1) Pengawasan
Pengawasan merupakan rangkaian kegiatan untuk mendeteksi sejauhmana
kebijakan dijalankan dan sampai sejauhmana penyimpangan yang terjadi dalam
pelaksanaan kebijakan tersebut. Menurut Yayat M. Herijitu21“pengawasan atau
controlling adalah mengamati dan mengalokasikan dengan tepat penyimpangan-
penyimpangan yang terjadi”. Selanjutnya dalam pengawasan tentunya tidak boleh
terlepas pada prinsip-prinsip pengawasa. Adapun prinsip-prinsip pengawasan
menurut Faisal Abdullah adalah:
a) Mencerminkan apa yang diawasi
b) Dapat segera diketahui adanya penyimpangan;
c) Luwes;
d) Mencerminkan pola organisasi;
e) Ekonomis;
f) Dapat mudah dipahami; dan
g) Dapat segera diadakan perbaikan
21
Faisal Abdullah, 2009, Jalan Terjal Good Governance, Prinsip, Konsep dan Tantangan dalam Negara
Hukum, Makassar: PUKAP hlm. 51-52
8
hidup. Selain itu pengawasan dilakukan untuk mendesak segera melakukan upaya
pemulihan atau penanggulangan lingkungan hidup
9
d) memberi efek jera bagi penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang
melanggar peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup dan ketentuan dalam Izin Lingkungan.
10
dianggapnya merugikan kepentingan usahanya. Sehingga dapat dikatakan bahwa
gugatan administasi dibidang lingkungan hidup dapat diajukan oleh setiap orang
terkait dengan kepentingannya masing-masing akibat diterbitkannya Keputusan
tata usaha negara.22
2.4 Hal-Hal yang Mempengaruhi Penegakan Hukum Lingkungan
Mewujudkan supremasi hukum melalui upaya penegakan hukum serta konsisten akan
memberikan landasan kuat bagi terselenggaranya pembangunan, baik dibidang ekonomi,
politik, sosial budaya, pertahanan keamanan. Namun dalam kenyataan untuk mewujudkan
supremasi hukum tersebut masih memerlukan proses dan waktu agar supremasi hukum dapat
benar-benar memberikan implikasi yang menyeluruh terhadap perbaikan pembangunan
nasional.
Penegakan Hukum disebut dalam bahasa Inggris yaitu Law Enforcement, dan bahasa
Belanda disebut rechtshandhaving. Dalam bahasa Indonesia, istilah penegakan hukum
membawa kita pada pemikiran bahwa penegakan hukum selalu dengan force sehingga ada
yang berpendapat bahwa penegakan hukum hanya bersangkutan dengan hukum pidana saja.
Sebenarnya pejabat administrasi juga menegakkan hukum23
22
Takdir Rahmadi, 2014, Hukum Lingkungan Di Indonesia, Jakarta: P.T. RajaGrafindo Persada
23
Andi Hamzah, 2005, Penegakan Hukum Lingkungan, Jakarta: Sinar Grafika hlm 48
11
yang terutama sekali dikuasai oleh kaidah-kaidah hukum tata usaha negara atau hukum
pemerintahan. Untuk itu dalam pelaksanaannya aparat pemerintah perlu memperhatikan
“Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik” (Algemene Beginselen van Behoorlijk
Bestuur/General Principles of Good Administration). Hal ini dimaksudkan agar dalam
pelaksanaan kebijaksanaannya tidak menyimpang dari tujuan pengelolaan lingkungan hidup.
24
Siti Sundari Rangkuti, 2005, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, Surabaya:
Airlangga University Pres hlm 191
25
Syaprillah, A. (2016). Op.cit
12
c. Stabilitatif, sebagai pemelihara (termasuk kedalamnya hasil-hasil pembangunan) dan
penjaga keselarasan, keserasian dan keseimbangan dalam kehidupan bernegara dan
bermasyarakat
d. Perfektif, sebagai penyempurna terhadap tindakan-tindakan administrasi negara,
maupun sikap tindak warga dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat
e. Korektif, baik terhadap warga negara maupun administrasi negara dalam
mendapatkan keadilan.
Persoalan yang menjadi kendala saat ini terutama dalam penegakan hukum
administrasi secara preventif adalah masih banyaknya jenis perizinan yang tidak berada pada
satu instansi, sehingga berkonsekuensi dalam hal kewenangan melakukan pengawasan
terhadap izin tersebut. Dalam hukum administrasi, terdapat prinsip umum yang selalu
menjadi pegangan utama, bahwa pejabat yang berwenang memberikan izin bertanggung
jawab dalam melakukan pengawasan terhadap izin yang diberikan. Izin yang telah diberikan
tidak hanya sekedar menjadi persyaratan formal yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha,
tetapi secara substansial juga harus dipenuhi sesuai persyaratan yang diwajibkan dalam izin
yang diberikan. Berdasarkan pada Penjelasan Umum Undang-Undang No. 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup angka (5) menyatakan bahwa
upaya preventif dalam rangka pengendalian dampak lingkungan hidup perlu dilaksanakan
dengan mendayagunakan secara maksimal instrumen pengawasan dan perizinan. Dari konten
Penjelasan Umum tersebut, tergambar bahwa pengawasan menempati kedudukan yang sama
pentingnya dengan perizinan sebagai elemen dalam pencegahan terjadinya kerusakan
dan/atau pencemaran lingkungan hidup.
13
merupakan hal yang esensial dalam pengelolaan lingkungan hidup. hal ini dengan tegas
diatur dalam pasal 18 UULH serta penjelasannya. Keterpaduan horisontal menjamin adanya
keserasian hubungan antar sektor, agar hasil yang diperoleh merupakan upaya bersama yang
memperhitungkan banyak kepentingan yang terkadang saling berbenturan satu sama lain.
Keterpaduan vertikal merupakan keserasian antara pelaksanaan kebijaksanaan dan program
pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.26
Dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 2 Tahun 2013
tentang Pedoman Penerapan Sanksi Administratif di Bidang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, menyebutkan bahwa “Sanksi Administratif adalah perangkat sarana
hukum administrasi yang bersifat pembebanan kewajiban/perintah dan/atau penarikan
kembali keputusan tata usaha negara yang dikenakan kepada penanggung jawab usaha
dan/atau kegiatan atas dasar ketidaktaatan terhadap peraturan perundang-undangan di bidang
perlindngan dan pengelolaan lingkungan hidup dan/atau ketentuan dalam izin lingkungan”.
Disamping itu menurut JJ Oosternbrink, sanksi administrasi adalah sanksi yang muncul dari
hubungan antara pemerintah dengan warga negara dan yang dilaksanakan tanpa perantara
pihak ketiga atau kekuasaan peradilan, tetapi dapat secara langsung dilaksanakan oleh
administrasi sendiri.27 Untuk sanksi administrasi sendiri, terdapat tiga jenis sanksi jika dilihat
dari segi sasarannya, yaitu sanksi reparatoir, sanksi punitif, dan sanksi regresif.28 Adapun
ketiga jenis sanksi tersebut sebagai berikut.
• Sanksi reparatoir, artinya sanksi yang diterapkan sebagai reaksi atas pelanggaran
norma, yang ditujukan untuk mengembalikan pada kondisi semula sebelum
terjadinya pelanggaran, misalnya paksaan pemerintah (bestuursdwang) &
pengenaan uang paksa (dwangsom).
➢ Paksaan pemerintah (bestuursdwang) merupakan tindakan nyata yang
dilakukan organ pemerintah atau atas nama pemerintah untuk
memindahkan, mengosongkan, menghalang-halangi, memperbaiki pada
keadaan semula apa yang telah dilakukan atau sedang dilakukan yang
bertentangan dengan kewajiban-kewajiban yang ditentukan dalam
26
Ambarsari, N. L. M. A. H. N. (2020). Op.cit
27
Raharja, Ivan Fauzani. 2014. Penegakan Hukum Sanksi Administrasi Terhadap Pelanggaran Perizinan. Jurnal
Inovatif, 7 (2). H. 125
28
Ibid.
14
peraturan perundang-undangan. Pelaksanaan paksaan pemerintah ini
didahului dengan suatu teguran, namun dapat dilakukan tanpa teguran
khusus terhadap pelanggaran yang menimbulkan ancaman yang serius bagi
manusia dan lingkungan hidup, dampak yang lebih besar dan lebih luas
jika tidak segera dihentikan pencemaran dan atau perusakannya, &
kerugian yang besar bagi lingkungan hidup jika tidak segera dihentikan
pencemaran dan/atau perusakannya.29 Surat teguran ini berlaku pula
sebagai peringatan bagi penanggung jawab usaha agar segera
mengehntikan pelanggarannya yang berisi teguran untuk melakukan
pengehentian sementara kegiatan produksi, melakukan penutupan saluran
pembuangan air limbah atau emisi.
➢ Pengenaan uang paksa (dwangsom) ini jumlahnya berdasarkan syarat
dalam perjanjian yang harus dibayar karena tidak menunaikan, tidak
sempurna melaksanakan atau tidak sesuai waktu yang ditentukan, dalam
hal ini berbeda dengan biaya ganti kerugian, kerusakan, dan pembayaran
bunga. Menurut hukum administrasi, pengenaan uang paksa ini dapat
dikenakan kepada seseorang atau warga negara yang tidak mematuhi atau
melanggar ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai alternatif
dari tindakan paksaan pemerintah.30
• Sanksi punitif, artinya sanksi yang ditujukan untuk memberikan hukuman pada
seseorang, misalnya berupa denda administratif yang tidak lebih dari sekedar
reaksi terhadap pelanggaran norma dan ditujukkan untuk menambah hukuman
yang pasti.
• Sanksi regresif, artinya sanksi yang diterapkan sebagai reaksi atas ketidakpatuhan
terhadap ketentuan yang terdapat pada ketetapan yang diterbitkan.
Selain itu, berdasarkan Pasal 76 ayat (1) Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyebutkan bahwa “Menteri, Gubernur,
atau Bupati/Walikota menerapkan sanksi administratif kepada penanggung jawab usaha
dan/atau kegiatan jika dalam pengawasan ditemukan pelanggaran terhadap izin lingkungan”.
Sanksi administratif yang dimaksud ini kemudian dipertegas dalam Pasal 76 ayat (2) Undang-
Undang No. 32 Tahun 2009, yang terdiri atas terguran tertulis, paksaan pemerintah,
29
Panambunan, Amelia. 2016. Penerapan Sanksi Administratif Dalam Penegakan Hukum Lingkungan di
Indonesia. Jurnal Lex Administratif, 6 (2). H. 97
30
Raharja, Ivan Fauzani. Op.cit, H.128
15
pembekuan izin lingkungan, dan pencabutan izin lingkungan. Untuk lebih rincinya,
penerapan sanksi administratif ini diatur dalam Pasal 4 ayat (2), (3), (4), dan (5) Peraturan
Menteri Lingkungan Hidup No. 2 Tahun 2013 tentang Pedoman Penerapan Sanksi
Administratif di Bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai berikut.
• Teguran tertulis disebutkan dalam Pasal 4 ayat (2) Peraturan Menteri ini diterapkan
kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan pelanggaran
terhadap persyaratan dan kewajiban yang tercantum dalam Izin Lingkungan
dan/atau Izin Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, tetapi belum
menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan;
• Paksaan pemerintah disebut dalam Pasal 4 ayat (3) Peraturan Menteri ini
diterapkan apabila penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan:
➢ Melakukan pelanggaran terhadap pesyaratan dan kewajiban yang tercantum
dalam Izin Lingkungan dan/atau Izin Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, dan/atau
➢ Menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
• Pembekuan izin lingkungan dan/atau izin perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup disebut dalam Pasal 4 ayat (4) Peraturan Menteri ini diterapkan
apabila penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan:
➢ Tidak melaksanakan paksaan pemerintah;
➢ Melakukan kegiatan selain kegiatan yang tercantum dalam Izin Lingkungan
serta Izin Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan;
➢ Dugaan pemalsuan dokumen persyaratan Izin Lingkungan dan/atau Izin
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan.
• Pencabutan Izin Lingkungan dan/atau Izin Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup disebut dalam Pasal 4 ayat (5) Peraturan Menteri ini diterapkan
apabila penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan:
➢ Memindahtangankan izin usahanya kepada pihak lain tanpa persetujuan
tertulis dari pemberi izin usaha;
➢ Tidak melaksanakan sebagian besar atau seluruh paksaan pemerintah yang
telah diterapkan dalam waktu tertentu; dan/atau
➢ Telah menyebabkan terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
yang membahayakan keselamatan dan kesehatan manusia.
16
Ketetapan penerapan sanksi administratif adalah ketepatan dalam menerapkan atau
menggunakan sanksi administratif.31 Parameter ketepatan yang digunakan dalam penerapan
sanksi administrasi meliputi 4 hal sebagai berikut.
Kemudian, dalam Pasal 5 ayat (2) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 2 Tahun
2013 tentang Pedoman Penerapan Sanksi Administratif di Bidang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, menyebutkan penerapan sanksi administratif dilakukan
melalui mekanisme, yaitu bertahap, bebas, dan/atau kumulatif. Pertama, bertahap ini berarti
penerapan sanksi administrasi dilakukan didahului oleh sanksi yang ringan hingga sanksi
yang berat. Kedua, bebas ini berarti penerapan sanksi administrasi dilakukan secara bebas
atau adanya keleluasaan bagi pejabat yang berwenang mengenakan sanksi untuk menentukan
31
Bachrul, Amiq. 2013. Penerapan Sanksi Administrasi Dalam Hukum Lingkungan. Yogyakarta: Laksbang
Mediatama. H.111
17
pilihan jenis sanksi yang didasarkan pada tingkat pelanggaran yang dilakukan oleh
penanggung jwab usaha dan/atau kegiatan. Ketiga, penerapan sanksi administratif secara
kumulatif ini terdiri dari kumulatif internal dan eksternal. Kumulatif internal adalah
penerapan sanksi yang dilakukan dengan menggabungkan beberapa jenis sanksi administrasi
pada satu pelanggaran, misalnya paksaan pemerintah digabungkan dengan pembekuan izin.
Sedangkan, kumulatif internal adalah penerapan sanksi yang dilakukan dengan
menggabungkan penerapan salah satu jenis sanksi administirasi dengan penerapan sanksi
lainnya, misalnya sanksi pidana atau perdata.32
32
Ibid.
18
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
19
asas umum dalam hukum pemerintahan yaitu: asas keabsahan, asas efisiensi dan
efektifitas, asas keterbukaan, dan asas berencana. Secara umum dalam penegakan
hukum lingkungan dengan instrument hukum administrasi merupakan bagian dari
penegakan hukum yang bersifat preventif karena dilaksanakan melalui instrumen
pengawasan dan perizinan. Selain itu, penegakan hukum lingkungan melalui
instrumen hukum administrasi merupakan langkah pertama dan utama untuk
mencapai penataan peraturan (compliance). Dikatakan sebagai langkah pertama,
karena kasus lingkungan sebenarnya tidak akan terjadi jika instrumen hukum
administrasi lingkungan diterapkan dan ditegakkan dengan baik. Sebagai langkah
yang utama, karena pada prinsipnya penegakan hukum lingkungan yang lebih utama
bukanlah menghukum para pencemaran atau kerusakan lingkungan, tetapi mencegah
dan memulihkan kualitas dan daya dukung lingkungan.
20
membentuk maupun yang menerapkan hukum. Ketiga, faktor sarana atau fasilitas
yang mendukung penegakan hukum. Keempat, faktor masyarakat, yakni lingkungan
tempat hukum tersebut berlaku atau diterapkan. Kelima, faktor budayanya, yakni
sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam
pergaulan hidup.
3.1.5 Konsep Pengawasan Penegakan Hukum Lingkungan
21
peraturan perundang-undangan di bidang perlindngan dan pengelolaan lingkungan
hidup dan/atau ketentuan dalam izin lingkungan”. Untuk sanksi administrasi sendiri,
terdapat tiga jenis sanksi jika dilihat dari segi sasarannya, yaitu sanksi reparatoir,
sanksi punitif, dan sanksi regresif. Selain itu, Sanksi administratif yang dimaksud ini
kemudian dipertegas dalam Pasal 76 ayat (2) Undang-Undang No. 32 Tahun 2009,
yang terdiri atas terguran tertulis, paksaan pemerintah, pembekuan izin lingkungan,
dan pencabutan izin lingkungan. Untuk lebih rincinya, penerapan sanksi administratif
ini diatur dalam Pasal 4 ayat (2), (3), (4), dan (5) Peraturan Menteri Lingkungan
Hidup No. 2 Tahun 2013 tentang Pedoman Penerapan Sanksi Administratif di Bidang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam menerapkan sanksi
administrasi, terdapat 4 parameter yaitu ketepatan bentuku hukum, ketepatan
substansi, kepastian tiada cacat yuridis, dan asas kelestarian & pemberlanjutan.
Kemudian, dalam Pasal 5 ayat (2) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 2 Tahun
2013 tentang Pedoman Penerapan Sanksi Administratif di Bidang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, menyebutkan penerapan sanksi administratif
dilakukan melalui mekanisme, yaitu bertahap, bebas, dan/atau kumulatif.
3.2 Saran
Adapun atas penyusunan paper ini penulis menyadari adanya kekurangan dalam isi
tulisan ini. Namun, dengan adanya beberapa riset sebelumnya mengenai permasalahan yang
penulis bahas, terdapat beberapa saran yang dapat penulis sampaikan antara lain sebagai
berikut.
22
➢ Bagi penulis selanjutnya, penuli menyarankan kepada penulis selanjutnya
untuk melakukan riset lebih dalam lagi mengenai penegakan hukum
lingkungan yang berkaitan dengan hukum administrasi negara agar dapat
menyempurnakan isi paper ini lebih baik lagi.
23
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Hardjasoemantri, K., 2000. Hukum Tata Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Siahaan, N., 2004. Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan. Jakarta: Erlangga.
Faisal Abdullah, 2009, Jalan Terjal Good Governance, Prinsip, Konsep dan Tantangan dalam Negara
Hukum, Makassar: PUKAP
Takdir Rahmadi, 2014, Hukum Lingkungan Di Indonesia, Jakarta: P.T. RajaGrafindo Persada
Siti Sundari Rangkuti, 2005, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, Surabaya:
Airlangga University Pres
Jurnal
Andini, D. & Mina, R., 2020. Instrumen Administrasi dalam Penegakan Hukum Atas
Pelaksanaan Izin Lingkungan. Jurnal Yustisiabel, IV(2), pp. 128-139.
Listiyani, N., Hayat, M. A. & Ambarsari, N., 2020. Penegakan Hukum Administrasi
Lingkungan Melalui Instrumen Pengawasan: Rekonstruksi Materi Muatan Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup. Al'Adl, XII(1), pp. 116-130.
Rasyid, W., Mansur, S. & Burhanuddin, 2021. Peran Hukum Administrasi dalam Penegakan
Hukum Lingkungan di Kota Parepare. Madani Legal Review, V(1), pp. 56-81.
24
Suhartono, S. (2018) ‘Dinamika Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Di Indonesia’,
Widya Yuridika, 1(2), p. 129. doi: 10.31328/wy.v1i2.742.
Luthfillah Fazari, S. (2020) ‘Penegakan Hukum Lingkungan dan Pemanfaatan Ruang Udara’,
Jurnal Ekologi, Masyarakat dan Sains, 1(1), pp. 30–36. doi: 10.55448/ems.v1i1.4.
Vica J. E. Saija, 2014, Wewenang Pemerintah Daerah Dalam Pemberian Izin Lingkungan Hidup,
Jurnal SASI Fakultas Hukum Universitas Patimura Ambon ISSN 1693-0061, Volume 20
Nomor 1
Raharja, Ivan Fauzani. 2014. Penegakan Hukum Sanksi Administrasi Terhadap Pelanggaran
Perizinan. Jurnal Inovatif, 7 (2).
Skripsi
25
Zulharman, “Penegakan Hukum Lingkungan Administrasi dalam Upaya Perlindungan
Kawasan Karst di Kabupaten Maros”, (Skripsi, Fakultas Hukum: Universitas
Hasanuddin 2017) 1.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 02 Tahun 2013 tentang Pedoman Penerapan Sanksi
Administratif di Bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Internet
26
INSTRUMEN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN
LINGKUNGAN HIDUP
Disusun Oleh:
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena atas
anugrahNYA, paper yang berjudul Instrumen Pencegahan dan Pengendalian
Lingkungan Hidup, ini dapat penulis selesaikan demi memenuhi tuntutan
pembelajaran mata kuliah Hukum Lingkungan, dengan dosen pengampu Prof. Dr.
I Wayan Parsa, SH., M.Hum. Tujuan penulisan paper ini selain untuk memenuhi
tuntutan pembelajaran mata kuliah Hukum Lingkungan, penulis juga berharap
paper ini dapat dipergunakan sebagai referensi dan memberikan dampak yang
positif bagi pembacanya.
Penulis
Halaman | I |
DAFTAR ISI
Halaman | II |
BAB I PENDAHULUAN
Halaman | 1 |
keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup.
Untuk mendapatkan jawaban dari standar atau variabel analisis, maka dilakukanlah
kajian lingkungan hidup strategis atau KLHS yang diperuntukan untuk melakukan
analisa yang sistematis, menyeluruh, dan partisipatif. Kemudian analisa mengenai
dampak lingkungan hidup ini dikenal dengan AMDAL yang merupakan kajian
mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada
lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang
penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.
Variabel-variabel, standar-standar, baku mutu, dan berbagai sarana
peneltian yang telah disebutkan di atas, merupakan bagian dari instrumen. Dalam
konteks ini merupakan instrumen untuk pencegahan dan pengendalian lingkungan
hidup. Instrumen-instrumen tersebut difungsikan untuk mencegah, mengendalikan,
hingga meminimalisir dampat negatif atau perusak yang akan diterima oleh
lingkungan, dari apa yang diperbuat oleh manusia. Sehingga kita dan generasi
penerus, sebagai manusia dapat menikmati lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Halaman | 2 |
I.II Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka penulis
mengangkat beberapa rumusan masalah yang akan dibahas lebih lanjut.
Adapun rumusan masalah tersebut yaitu:
I.II.I Apa saja instrumen pencegahan dan pengendalian lingkungan
hidup?
I.II.II Bagaimana efektivitas dari instrumen pencegahan dan pengendalian
lingkungan hidup yang berlaku?
I.III Tujuan
Halaman | 3 |
BAB II PEMBAHASAN
1
KBBI, tanpa tahun terbit, Instrumen, KBBI Online, URL:
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/instrumen. Diakses tanggal 01 Mei 2022.
Halaman | 4 |
Participative.2 Prinsip Penilaian Diri merupakan prinsip yang menitik beratkan
pada kesadaran diri pemangku kepentingan agar lebih mempertimbangkan prinsip-
prinsip pembangunan berkelanjutan dalam keputusan KRP (Kebijakan, Rencana,
dan Program). Prinsip Penyempurnaan KRP menitik beratkan pada fungsinya
sebagai katalisator atau media upaya penyempurnaan pengambilan keputusan.
Prinsip Peningkatan Kapasitas dan Pembelajaran Sosial menitik beratkan pada
fungsinya sebagai media belajar dan mengapresiasi isu pebangunan berkelanjutan
dalam keputusan KRP. Prinsip Pengaruh pada Pengabilan Keputusan menitik
beratkan pada pemberian makna melalui pengaruh yang positif suatu keputusan
KRP. Prinsip Akuntabel menitik beratkan pada keterbukaan dan
pertanggungjawaban kepada publik dan menegakkan tata pemerintahan yang baik.
Prinsip Partisipatif meniti beratkan pada pengelibatan pemangku kepentingan dan
publik secara luas.3
Tata Ruang menjadi instrumen dalam pencegahan dan pengendalian
lingkungan hidup, dikarenakan dengan dilakukannya penataan ruang berdasarkan
RTRW baik tingkat provinsi, maupun daerah kabupaten/kota dapat memberikan
gambaran atau hasil yang lebih tepat mengenai daya tampung dan daya dukung
lingkungan hidup wilayah tersebut. Selain itu, perencanaan tata ruang baru dapat
dilakukan, ketika didasarkan pada kajian lingkungan hidup strategis. Tata ruang
juga menjadi syarat wajib untuk menentukan lokasi rencana usaha dan/atau
kegiatan, hal ini sesuai dengan Pasal 4 ayat (2) Peraturan Pemerintah No 27 tahun
2012.
Baku Mutu Lingkungan Hidup berfungsi sebagai penentu terjadinya
pencemaran lingkungan hidup dan meliputi baku mutu air, air limbar, air laut, udara
ambien, emisi, gangguang, dan baku mutu lain sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Penyusunan baku mutu lingkungan hidup dilakukan
dengan cara identifikasi dari penggunaan sumber daya atau media ambien yang
harus dilindungi, merumuskan formulasi dari kriteria dengan menggunakan
kumpulan dan pengolahan dari berbagai informasi ilmiah, merumuskan baku mutu
ambien dari penyusunan kriteria, merumuskan baku mutu limbah yang boleh
dilepas ke dalam lingkungan yang akan menghasilkan eadaan kualitas baku mutu
ambien yang telah ditetapkan, membentuk program pemantauan dan
penyempurnaan untuk menilai apkah objektif yang telah ditetapkan tercapai.
Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup ditentukan dengan
menggunaan variabel kriteria baku mutu kerusakan lingkungan hidup yang meliputi
kriteria baku kerusakan ekosistem dan kriteria baku kerusakan akibat perubahan
iklim, seperti kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa, kerusakan
terumbu karang, kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran
hutan dan/atau lahan, kerusakan mangrove, kerusakan padang lamun, kerusakan
2
SPADA Universitas Sebelas Maret, tanpa tahun terbit, Kajian Lingkungan Hidup Strategis:
Pengertian, Dasar Hukum, Tujuan dan Prinsip-prinsip, URL:
https://spada.uns.ac.id/mod/resource/view.php?id=48182&forceview=1. Diakses 01 Mei 2022.
3
Ibid, hal. 15.
Halaman | 5 |
gambut, kerusakan karst, kerusakan ekosistem lainnya sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta kenaikan temperatur, muka
air laut, badai, dan kekeringan.
AMDAL atau Analisis Mengenai Dampak Lingkungan merupakan kajian
mengenai dampak besar dan penting untuk pengambilan keputusan suatu usaha
dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi
proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.
AMDAL berfungsi sebagai bahan bagi perencanaan pembangunan wilayah,
membantu proses pengambilan kepentingan tentang kelayakan lingkungan hidup
dari rencana dan/atau usaha kegiatan, memberi masukan untuk penyusunan desain
rinci teknis dari rencana usaha dan/kegiatan, memberi masukan untuk penyusunan
rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup, memberikan informasi
bagi masyaraat atas dampak yang ditimbulkan dari suatu rencana usaha dan/atau
kegiatan. Dalam penyususnan, dokumen AMDAL tersusun atas Kerangka Acuan
Analisis Dampak Lingkungan Hidup (KA-ANDAL) yang merupakan ruang
lingkup studi analisis dampak lingkunan hidup yang mirip hasil pelingkupan yang
disepakati pemrakarsa atau penyusun AMDAL dan Komisi AMDAL; Analisis
Dampak Lingkungan Hidup (ANDAL) merupakan telaah secara cermat dan
mendalam tentang dampak besar dan penting suatu renana usah dan/atau kegiatan;
Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL) merupakan dokumen yang
memuat upaya-upaya untuk mencegah, mengendalikan, dan menanggulangi
dampak besar dan penting lingkungan hidup yang bersifat negatif dan
meningkatkan dampak positif yang tibul sebagai akibat dari suatu rencana usaha
dan/atau kegiatan; dan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL) merupakan
dokumen yang memuat upaya pemantauan komponen lingkungan hidup ang
terkena dampak besar dan penting dari rencana usaha dan/atau kegiatan.
UKL-UPL merupakan upaya yang dilakukan dalam pengelolaan dan
pemantauan lingkungan hidup oleh penanggungjawab dan/atau kegiatan yang tidak
wajib melakukan AMDAL, sesuai dengan Keputusan Meteri Lingkungan Hidup
No 86 tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan UKL dan UPL. Proses dan
prosedur UKL-UPL dilakukan dengan menggunakan formulir isian yang berisi
identitas pemrakarsa, rencana usaha dan/atau kegiatan, dampak lingkungan yang
akan terjadi, program pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup, tanda tangan
dan cap. Formulit tersebut lantas diajukan oleh pemrakarsa kepada instansi yang
bertanggungjawab dalam bidang perlindungan lingkungan hidup kabupaten atau
kota untuk kegiatan yang berlokasi pada suatu wilayah kabupaten atau kota, instansi
yang bertanggungjawab dalam bidang perlindungan lingkungan hidup provinsi
untuk kegiatan yang berlokasi di lebih dari 1 kabupaten atau kota, dan instansi yang
bertanggung jawab dalam bidang perlindungan lingkungan hidup dan pengendalian
dampak lingkungan hidup untuk kegiatan yang berlokasi di lebih dari 1 provinsi
atau lintas batas negara.
Perizinan, dalam konteks ini merupaka izin lingkungan yaitu izin yang
wajib dimiliki setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib
Halaman | 6 |
AMDAL atau UKL-UPL dalam rangka pencegahan dan pengendalian lingkungan
hidup. Izin-izin tersebut yaitu izin lingkungan yang diterbikan sebagai prasyarat
untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan, izin pencegahan dan pengendalian
lingkungan hidup. Izin-izin tersebut diteritkan oleh pihak yang berwenang, dalam
konteks ini izin diterbitkan oleh menteri, gubernur, atau bupati/walikota yang sesuai
dengan kewenangannya. Proses pemrolehan izin lingkungan hidup dimulai dari
penyusunan AMDAL dan UKL-UPL, penilaian AMDAL dan pemeriksaaan UKL-
UPL, dan permohonan dan penerbitan izin lingkungan hidup. Izin kelayakan
lingkungan hidup ini mengikuti masa berlaku izin usahanya.
Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup meliputi perencanaan
pembangunan dan kegiatan ekonomi; pendanaan lingkungan hidup; dan insentif
dan/atau disinsentif. Pengaturan mengenai substansi undang-undang ini diatur
dalam Peraturan Pemerintah, menunjukkan bahwa substansi undang-undang No 27
tahun 2012 ini masih lemah, sehingga memerlukan Peraturan Pemerintah untuk
mengatur substansinya.
Peraturan Perundnag-Undangan Berbasis Lingkungan Hidup, berdasarkan
Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang No 27 tahun 2012
Anggaran Berbasis Lingkungan Hidup. Dalam Pasal 45 dan 46 UU PPLH,
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia serta pemerintah
daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah wajib mengalokasikan anggaran
yang memadai untuk membiayai:
Halaman | 7 |
kesehatan, sedangkan risiko yang terjadi kepada lingkungan disebut sebagai risiko
ekologi. Ekologi merupakan cabang dari ilmu biologi, dimana Ekologi adalah salah
satu komponen dalam sistem pengelolaan lingkungan hidup yang harus ditinjau
bersama dengan komponen lain untuk mendapatkan keputusan yang seimbang. Jd
dalam hal ini, Ekologilah yang menjadi titik pusat perhatian.
Halaman | 8 |
yang dapat terkandung dan diamanatkan dalam Undang-Undang Lingkungan
Hidup Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
hidup (UUPPLH) adalah upaya penegakan hukum yang terdiri dari:
1. Penegakan hukum secara administrasi
2. Penegakan hukum secara perdata
3. Penegakan hukum secara pidana
Pada pasal 14 UU 32/2009 tentang PPLH telah menjelaskan bahwa Amdal,
UKL-UPL dan perizinan merupakan salah satu instrumen pencegahan terhadap
pencemaran lingkungan hidup dari 13 instrument yang ada di UU 32/2009
(UUPPLH) dalam upaya pencegahan pencemaran dan kerusakan lingkungan, dan
Ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal 36 UU PPLH, telah menetapkan bahwa
setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki Amdal atau UKL-UPL wajib
memiliki Izin Lingkungan, Akan tetapi persoalan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup AMDAL/UKL-UPL dan perizinan bukanlah merupakan alat
serbaguna yang dapat menyelesaikan segala persoalan lingkungan hidup.
Efektivitas amdal dan UKL UPL sangat ditentukan oleh pengembangan berbagai
instrumen lingkungan hidup lainnya dan pengawasan yang dilakukan oleh
pemerintah atau instansi pemberi izin.
Berdasarkan pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 2012
tentang Izin Lingkungan yang mulai diberlakukan sejak tanggal 23 februari 2012
disebutkan bahwa izin lingkungan diberikan kepada setiap orang yang melakukan
usaha dan/atau kegiatan yang wajib AMDAL atau UKL-UPL dalam rangka
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai syarat untuk memperoleh
izin usaha dan/atau kegiatan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan bahwa izin
lingkungan merupakan persyaratan mendapatkan izin usaha dan/atau kegiatan.
Dalam hal perizinan, yang berwenang mengeluarkan izin adalah pejabat pemerintah
sesuai dengan kewenangannya untuk memberi pelayanan umum kepada
masyarakat/pelaku usaha yang membutuhkannya.
Adapun fungsi dari perizinan itu sendiri adalah selain dijadikan alat kontrol
bagi pemerintah/instansi pemberi izin, juga dapat dijadikan dasar pemerintah
dalam melakukan pengawasan dalam pengelolaan dan pemantauan lingkungan
hidup sebagaimana yang tercantum dalam dokumen lingkungan (AMDAL/UKL-
UPL) yang telah disepakati, ketaatan terhadap ketentuan yang tercantum dalam
perizinan dan mencegah terjadinya pelanggaran terhadap terlampauinya baku mutu
lingkungan hidup dan baku mutu kerusakan lingkungan hidup. Penegakan hukum
lingkungan berkaitan erat dengan kemampuan aparatur, ketegasan dan keseriusan
aparat penegak hukum dan kepatuhan warga masyarakat terhadap peraturan yang
berlaku, penegakan hukum lingkungan dapat dilakukan secara preventif dan
represif sesuai dengan sifat dan efektifitasnya. Adapun instrumen bagi penegak
hukum untuk melakukan preventif antara lain penyuluhan, pemantauan, dan
penggunaan kewenangan yang sifatnya pengawasan.
Halaman | 9 |
UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang PPLH dijadikan payung hukum bagi
peraturan-peraturan lingkungan hidup yang sudah ada atau yang akan ada dalam
upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, maka undang-undang
sektoral bidang lingkungan hidup yang diantaranya kehutanan, perkebunan, dan
pertambangan, pariwisata harus memenuhi beberapa kondisi yang antara lain:
1. UU tersebut harus tunduk terhadap UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang
PPLH,
2. Pelaksanaan UU sektoral bidang lingkungan hidup tidak boleh bertentangan
dengan UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang PPLH,
3. Segala penegakan hukum yang berkaitan dengan lingkungan hidup harus
berpedoman kepada UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang PPLH.
Pelanggaran terhadap izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
(izin PPLH) dapat dianggap sebagai suatu pelanggaran terhadap izin lingkungan,
berdasarkan pasal 76 UU 32/2009 tentang PPLH dimana
Menteri/Gubernur/Bupati/Walikota dapat menerapkan sanksi administrasi kepada
pelaku usaha sesuai dengan kewenangan jika didalam pelaksanaan pengawasan
ditemukannya suatu pelanggaran terhadap izin-izin perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup dimana sanksi administrasi yang dapat diterapkan adalah :
a. Teguran tertulis.
b. Paksaan pemerintah.
c. Pembekuan izin lingkungan,
d. Pencabutan izin lingkungan.
Sebagaimana konsekuensi izin lingkungan menjadi syarat memperoleh izin
usaha dan/atau kegiatan maka secara otomatis izin lingkungan dihentikan/dicabut
maka izin operasional/izin usaha dan/atau kegiatan akan tercabut dan jika izin
lingkungan dibekukan maka izin usaha dan/atau kegiatan akan dibekukan juga.
Berdasarkan pasal 77 UU/32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup , disampaikan bahwa dalam penerapan sanksi
administrasi Menteri dapat mengambil alih dalam menerapkan sanksi administratif
terhadap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan jika Pemerintah
(pusat/kementerian) menganggap pemerintah daerah secara sengaja tidak
melakukan/menerapkan sanksi administratif terhadap pelanggaran yang serius di
bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang telah dilakukan oleh
usaha dan/atau kegiatan yang telah melakukan pelanggaran.
Pasal 78 UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup dimana penerapan Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal
76 tidak serta merta membebaskan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dari
tanggung jawab pemulihan dan pidana sebagai konsekuensi pencemaran yang telah
dilakukannya.
Pengenaan sanksi administratif berupa pembekuan dan pencabutan izin
lingkungan berdasarkan pasal 79 UU 32/2009 tentang PPLH dapat dilakukan
Halaman | 10 |
manakala pelaku usaha tidak melaksanakan perintah paksaan pemerintah, dimana
paksaan pemerintah itu dimaksudkan untuk mencegah dan/atau mengakhiri
terjadinya pelanggaran dalam upaya penyelamatan, penanggulangan serta
pemulihan lingkungan hidup sebagai akibat dari pencemaran dan dampak dari
kegiatan usaha dan/atau kegiatan.
Paksaan pemerintah sebagaimana dimaksud diatas sesuai dengan pasal 80
UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang antara
lain adalah sebagai berikut:
Ayat (1)
a. penghentian sementara kegiatan produksi;
b. pemindahan sarana produksi;
c. penutupan saluran pembuangan air limbah atau emisi;
d. pembongkaran;
e. penyitaan terhadap barang atau alat yang berpotensi menimbulkan
pelanggaran;
f. penghentian sementara seluruh kegiatan; atau
g. tindakan lain yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran dan tindakan
memulihkan fungsi lingkungan hidup.
Ayat (2)
Pengenaan paksaan pemerintah dapat dijatuhkan tanpa didahului teguran apabila
pelanggaran yang dilakukan menimbulkan:
a. ancaman yang sangat serius bagi manusia dan lingkungan hidup;
b. dampak yang lebih besar dan lebih luas jika tidak segera dihentikan
pencemaran dan/atau perusakannya; dan/atau
c. kerugian yang lebih besar bagi lingkungan hidup jika tidak segera
dihentikan pencemaran dan/atau perusakannya.
Ancaman sebagaimana dimaksud pasal 80, ayat (2), UU 32/2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah dimana suatu keadaan
berupa ancaman yang terjadi atau akan yang terjadi dipandang sangat serius yang
secara langsung maupun tidak langsung dapat berpotensi sangat membahayakan
kehidupan, keselamatan dan kesehatan banyak orang, sehingga penggunaannya
tidak dapat ditunda.
Penerapan sanksi administrasi dalam penegakan hukum lingkungan
mengenai paksaan pemerintah sebagaimana diatur dalam pasal 80 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup (UU 32/2009 tentang PPLH) dapat dijatuhkan terlebih dahulu tanpa
didahului dengan teguran jika dipandang pelanggaran yang terjadi dapat
menimbulkan:
1. ancaman yang sangat serius bagi manusia dan lingkungan hidup,
Halaman | 11 |
2. dampak yang lebih besar dan lebih luas jika tidak segera dihentikan
pencemaran dan/atau perusakan,
3. kerugian yang lebih besar bagi lingkungan hidup jika tidak segera
dihentikan pencemaran dan/atau perusakannya.
Halaman | 12 |
BAB III PENUTUP
III.I Kesimpulan
Halaman | 13 |
kehidupan, keselamatan dan kesehatan banyak orang sehingga penggunaannya
tidak dapat ditunda.
III.II Saran
Penulis sadar akan kekurangan-kekurangan yang terdapat pada paper ini,
maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran serta pengoreksian secara
pribadi apabila terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan pembaca. Tidak lupa juga
penulis menyarankan pembaca untuk menambahkan lagi referensi-referensi dengan
kaitannya paper ini.
Halaman | 14 |
DAFTAR PUSATAKA
Buku-Buku
Chafid Fandeli et.al, Audit Lingkungan, Gajah Mada University Press, Yogyakarta,
2000.
Daud Silalahi, Amdal Dalam Sistem Hukum Lingkungan Indonesia, Mandar Maju,
Bandung, 1995.
--------------. Sistem Perizinan Lingkungan Instrumen Pencegahan Pencemaran
Lingkungan, Seminar Hukum Lingkungan, Kantor Menteri Negara Lingkungan
Hidup/Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (BAPEDAL), Hotel Indonesia,
Jakarta, 1-2 Mei 1996.
W. Riawan Tjandra, Perizinan Sebagai Instrumen Perlindungan Lingkungan,
Justitia Et Pax, Majalah Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 10
Juli 2005.
Internet
SPADA Universitas Sebelas Maret, tanpa tahun terbit, Kajian Lingkungan Hidup
Strategis: Pengertian, Dasar Hukum, Tujuan dan Prinsip-prinsip, URL:
https://spada.uns.ac.id/mod/resource/view.php?id=48182&forceview=1. Diakses
01 Mei 2022.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
Halaman | 15 |
HUKUM LINGKUNGAN
PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DI BEBERAPA NEGARA
Dosen Pengampu :
Prof. Dr. I Wayan Parsa, S.H., M.Hum.
Disusun oleh:
Ni Ketut Litawati 2004551060
Mira Widiantary 2004551065
Ni Made Cahyani Indiraswari 2004551066
I Gede Kesuma Sadhana 2004551074
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2022
BAB I
PENDAHULUAN
1
Irawati, E. (2017). Pengelolaan Lingkungan Hidup. hlm.1.
2
Dapat kita lihat keadaan lingkungan hidup di Indonesia sebagai negara
berkembang yang mulai rusak perlu ditangani dikarenakan adanya beberapa faktor
yang mempengaruhinya, salah satunya yaitu adanya masalah mengenai keadaan
lingkungan hidup seperti degradasi yang terjadi di berbagai daerah. Serta masalah
lingkungan hidup lainnya seperti, banjir, pembuangan limbah atau sampah
sembarangan. Kemudian, keadaan lingkungan hidup di negara Jepang sebagai
negara maju, sejalan dengan makin mudah dan nyamannya kehidupan modern,
berkembang kecenderungan orang membuat barang yang digunakan satu kali saja,
lalu membuangnya. Hal ini menyebabkan timbulnya banyak macam masalah
lingkungan, seperti pencemaran udara dan air, perusakan lingkungan alam,
pemanasan global, dan jumlah limbah yang luar biasa. Perlindungan lingkungan
merupakan tugas vital tidak saja bagi Indonesia dan Jepang tapi juga bagi seluruh
dunia. Di bawah pimpinan pemerintahnya, masyarakat Indonesia dan Jepang
dewasa ini sibuk melakukan usaha-usaha perlindungan lingkungan dalam lingkup
luas.2 Atas dasar tersebut, penulis akan mengkaji dan mempelajari permasalahan
tersebut dalam paper yang berjudul “Pengelolaan Lingkungan Hidup di
Beberapa Negara”.
2
Kedutaan Besar Jepang di Indonesia. https://www.id.emb-japan.go.jp/expljp_16.html. Di
akses pada tanggal 5 Mei 2022.
3
1.3.2 Untuk mengetahui penyebab terjadinya permasalahan lingkungan di
negara maju (Jepang) negara berkembang (Indonesia)
1.4 Manfaat
4
BAB II
PEMBAHASAN
3
Hartati, Anna Yulia. 2007. Lingkungan Hidup dan Liberalisasi Perdagangan: Upaya
Mencari Jalan Tengah. ISSN 1410-4946 Vol. 11: No. 2.
5
didirikan empat tahun kemudian. 4 Pengelolaan lingkungan hidup di Jepang
yaitu Jepang telah membuat hukum konservasi lingkungan yaitu Basic
Environment Law pada November 1993. Hukum tersebut mengatur prinsip
dasar dan arah dalam membuat kebijakan lingkungan. Selain itu, hukum
tersebut juga mendefinisikan pembagian tanggung jawab antara pemerintah
pusat, pemerintah daerah, pengusaha/ pebisnis hingga masyarakat demi
melindungi keberlangsungan lingkungan nasional.
Sebelum dibuatnya Basic Environment Law, Jepang telah memiliki
kebijakan lingkungan yang mengatur mengenai polusi pada tahun 1967.5
Walaupun kebijakan-kebijakan tersebut cukup sukses dalam memperbaiki
kerusakan lingkungan di lingkup Jepang, namun belum mampu untuk
mengontrol kerusakan lingkungan yang sudah menyebar di seluruh dunia
Kebijakan tersebut secara sistematis menjelaskan langkah-langkah yang
diambil oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat, pebisnis
hingga perusahaan swasta. Peran setiap pihak dan cara menetapkan kebijakan
juga dijelaskan dalam kebijakan tersebut. Pembagian tanggung jawab dari
setiap pihak dalam internal Jepang juga diatur dalam hukum lingkungan
tersebut. Adapun tanggung jawab dari setiap pihak adalah: 6
a) Pemerintah pusat
Bertanggung jawab memformulasikan dan mengimplementasikan
kebijakan yang bersifat fundamental dan komprehensif atas konservasi
lingkungan berdasarkan prinsip dasar konservasi lingkungan.
b) Pemerintah daerah
Bertanggung jawab memformulasikan dan mengimplementasikan
kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pusat menjadi
kebijakan lainnya yang sesuai dengan kondisi alam dan sosial.
c) Perusahaan
Tanggung jawab dari setiap unsur perusahaan dibagi atas beberapa
jenis, yaitu:
4
Japan's Environment. http://www.nationsencyclopedia.com/Asia-and-
Oceania/JapanENVIRONMENT.html diakses pada 6 Mei 2022
5
Wakana Takahashi, Environmental Cooperation in Northeast Asia, paper ini disampaikan
dalam the 9th Northeast Asian Conference on Environmental Cooperation tahun 2000. hal. 1
6
Ibid.
6
- Dalam melakukan kegiatan usaha, perusahaan bertanggung
jawab untuk mengambil tindakan yang diperlukan untuk
mencegah pencemaran lingkungan, seperti limbah udara, air
yang tercemar limbah, dan untuk melestarikan lingkungan
alam, sesuai dengan prinsip dasar.
- Dalam bidang manufaktur, pengolahan atau menjual produk,
atau terlibat dalam kegiatan bisnis lainnya, perusahaan
bertanggung jawab untuk mengambil langkah-langkah yang
diperlukan untuk memastikan pembuangan limbah yang
dihasilkan dari produk dan barang-barang lain yang terkait
dengan kegiatan mereka.
- Selain tanggung jawab yang ditentukan dalam bidang
manufaktur, pengolahan atau menjual produk, atau terlibat
dalam kegiatan bisnis lainnya, perusahaan yang bertanggung
jawab untuk melakukan upaya untuk mengurangi beban
lingkungan yang dihasilkan dari penggunaan atau pelepasan
produk dan barang-barang lainnya yang terkait dengan kegiatan
mereka untuk mencegah interferensi dengan pelestarian
lingkungan, sesuai dengan prinsip-prinsip dasar.
- Perusahaan bertanggung jawab untuk melakukan upaya
sukarela untuk melestarikan lingkungan seperti pengurangan
beban lingkungan dalam rangka kegiatan usahanya yang
berkaitan dengan pelestarian lingkungan.
d) Masyarakat
Masyarakat harus melakukan upaya untuk mengurangi beban
lingkungan yang terkait dengan kehidupan sehari-hari sehingga dapat
mencegah interferensi dan masyarakat juga bertanggung jawab untuk
melakukan upaya untuk melestarikan lingkungan dan untuk bekerja
sama dengan kebijakan yang diterapkan oleh negara atau pemerintah.
B. Indonesia
Pengelolaan lingkungan hidup merupakan upaya manusia untuk
berinteraksi dengan lingkungan guna mempertahankan kehidupan dan
mencapai kesejahteraannya. Di Indonesia pengaturan mengenai pengelolaan
lingkungan hidup diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
7
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Keberlanjutan pembangunan di suatu daerah
atau negara ditentukan oleh kemampuan daerah atau negara tersebut dalam
mengelola lingkungan hidupnya. Pendekatan pengelolaan lingkungan
dilakukan dengan menata sistem pengelolaannya.
Dalam hal pengelolaan lingkungan hidup, ada beberapa hal penting yang
harus diingat. Pertama, hukum lingkungan menjadi dasar dan pedoman dari
segala pengelolaan lingkungan hidup. Aspek pengelolaan lingkungan hidup
memiliki segi dan cakupan yang sangat luas seperti pemanfaatan sumber daya
alam dan lingkungan, penetapan perencanaan tata ruang, menetapkan sistem
zona dan baku mutu lingkungan, kebijakan pembuatan/penerapan AMDAL
(Analisis mengenai Dampak Lingkungan), perizinan, penegakan hukum (law
enforcement), pemberdayaan masyarakat, penanggulangan kerusakan
lingkungan dan bencana alam, dan sebagainya. Keseluruhan aspek-aspek
demikian diatur oleh hukum lingkungan guna tercapainya keberlanjutan
lingkungan bagi kesejahteraan manusia.
Kedua, kekuasaan untuk mengelola lingkungan dan semua sumber daya
alam berpusat di tangan negara. Hal ini sebagai konsekuensi dari kedaulatan
negara atas teritorialnya (tanah, udara, air, dan segala yang dikandungnya) juga
sebagai konsekuensi dari perlunya ada suatu organ kekuasaan berdaulat penuh
untuk mengatur, mengelola, mengawasi, dan mengendalikan lingkungan
supaya tercapai efektivitas dari tujuan mencapai keberlanjutan lingkungan bagi
kesejahteraan manusia.
Ketiga, interaksi lingkungan dengan antarmanusia. Interaksi manusia
dengan sesamanya tidak terlepas dengan pengaruhnya kepada lingkungan
maka interaksi antar sesama pun menjadi bagian dari pengaturan hukum
lingkungan. Sebab dalam jalinan interaksi pergaulan sosial antara manusia
(individu dengan individu lain atau alam masyarakat), konsekuensinya juga
menyangkut persoalan lingkungan hidup.
Terdapat beberapa ketentuan dalam peraturan-perundangan mengenai
pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia, yaitu:
1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok pengelolaan Lingkungan Hidup
8
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982, sesuai dengan namanya
Undang-Undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan
Lingkungan Hidup menonjolkan dua macam segi, yaitu:
1) Undang-Undang ini hanya memberikan pengaturan secara garis besar
dalam pokok pokoknya saja, sedangkan aturan lebih terperinci diatur
dalam berbagai peraturan pelaksanaannya.
2) Undang-undang ini bukan mengatur tentang lingkungan hidup secara
keseluruhan, akan tetapi hanya mengatur segi pengelolaan lingkungan
hidup.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 ini menyatakan bahwa sesuai
dengan hakikat Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum, maka
pengembangan sistem pengelolaan lingkungan hidup Indonesia haruslah
diberi dasar hukum yang jelas, tegas, dan menyeluruh guna menjamin
kepastian hukum bagi usaha pengelolaan berdasarkan Wawasan
Nusantara.7
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup
Menurut Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup dijelaskan bahwa Pengelolaan lingkungan hidup adalah
upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi
kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan,
pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup. 8 Pengelolaan
lingkungan hidup yang diselenggarakan dengan asas sebagai berikut:
1) Asas Tanggung Jawab Negara
“Negara menjamin pemanfaatan sumber daya alam memberikan
manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan mutu hidup
rakyat, baik generasi masa kini maupun generasi masa depan”.
2) Asas Berkelanjutan
“Setiap orang memikul kewajiban dan tanggung jawab terhadap
generasi mendatang dan terhadap sesamanya dalam satu generasi
7
Syahrul Machmud, op. cit. hlm 28.
8
Pasal 1 ayat 2 Undang-Undnag No 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
9
dengan melakukan upaya pelestarian daya dukung ekosistem dan
memperbaiki kualitas lingkungan hidup.”
3) Asas Manfaat
Asas ini bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang
merata berdasarkan prinsip kebersamaan dan keseimbangan untuk
mencegah terjadinya kesenjangan ekonomi, konflik sosial dan budaya.
➢ Adapun sasaran pengelolaan lingkungan hidup adalah :9
1) Tercapainya keselarasan, keserasian dan keseimbangan antara manusia
dan lingkungan hidup
2) Terwujudnya manusia Indonesia sebagai insane lingkungan hidup yang
memiliki sikap dan tindak melindungi dan membina lingkungan hidup
3) Terjaminnya kepentingan generasi masa kini dan generasi masa depan
4) Tercapainya kelestarian fungsi lingkungan hidup
5) Terkendalinya pemanfaatan sumber daya secara bijaksana
6) Terlindunginya Negara Kesatuan Republik Indonesia terhadap dampak
usaha dan/atau kegiatan di luar wilayah Negara yang menyebabkan
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup
Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 upaya pengelolaan
lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup, (UKL-UPL),
adalah pengelolaan dan pemantauan terhadap usaha dan/atau kegiatan yang
tidak berdampak penting terhadap lingkungan hidup bagi proses pengambilan
keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan kegiatan. Perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup meliputi perencanaan, pemanfaatan,
pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum. 10
Pengelolaan lingkungan hidup haruslah didasari dengan beberapa asas
yang penting antara lain sebagai berikut: 11
9
Wijayanti, Laksmi. Kedudukan Sistem Pelaporan Lingkungan dalam Sistem Pengelolaan
Lingkungan, hal. 126.
10
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup
11
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup
10
1) Asas tanggung jawab negara, yaitu Negara menjamin pemanfaatan sumber
daya alam akan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi
kesejahteraan dan mutu hidup rakyat, baik generasi masa kini maupun
generasi masa depan.
2) Asas kelestarian dan keberlanjutan, yaitu setiap orang memikul kewajiban
dan tanggung jawab terhadap generasi mendatang dan terhadap sesamanya
dalam satu generasi dengan melakukan upaya pelestarian daya dukung
ekosistem.
3) Asas keserasian dan keseimbangan, yaitu pemanfaatan lingkungan hidup
harus memperhatikan berbagai aspek seperti kepentingan ekonomi, sosial,
budaya, dan perlindungan serta pelestarian ekosistem.
4) Asas keterpaduan, yaitu perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
dilakukan dengan memadukan berbagai unsur atau komponen terkait.
5) Asas manfaat, yaitu segala usaha/atau kegiatan pembangunan sumber daya
alam dan lingkungan hidup untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat.
6) Asas kehati-hatian, yaitu terdapat langkah-langkah yang diperlukan untuk
meminimalisir atau menghindari ancaman terhadap kerusakan lingkungan
hidup.
7) Asas keadilan, yaitu perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus
mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara.
8) Asas ekoregion, yaitu perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
harus memperhatikan karakteristik sumber daya alam, ekosistem, kondisi
geografis, budaya masyarakat setempat, dan kearifan lokal.
9) Asas keanekaragaman hayati, yaitu perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup harus memperhatikan upaya terpadu.
10) Asas pencemar membayar, yaitu setiap penanggung jawab yang usaha
dan/atau kegiatannya menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup wajib menanggung biaya pemulihan lingkungan.
11) Asas partisipatif, yaitu setiap anggota masyarakat didorong untuk berperan
aktif dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup, baik secara langsung maupun tidak
langsung.
11
12) Asas kearifan lokal, yaitu dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup harus memperhatikan nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata
kehidupan masyarakat.
13) Asas tata kelola pemerintahan yang baik, yaitu perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup dijiwai oleh prinsip partisipasi, transparansi,
akuntabilitas, efisiensi, dan keadilan.
14) Asas otonomi daerah, yaitu pemerintah dan pemerintah daerah mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup.
Pengendalian pengelolaan lingkungan hidup dijelaskan dalam Pasal 13
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, yaitu: 12
1) Ayat 1 : pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup
dilaksanakan dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup.
2) Ayat 2 : pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pencegahan, penanggulangan,
dan pemulihan.
3) Ayat 3 : pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh pemerintah,
pemerintah daerah, dan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan sesuai
dengan kewenangan, peran, dan tanggung jawab masing-masing.
12
Pasal 13 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup
12
yang tak terbaharui, dan pencemaran lingkungan menimbulkan pemikiran Negara.13
Terkait dengan pembahasan yang akan dijelaskan lebih lanjut, maka terdapat penyebab
permasalahan lingkungan di Negara Jepang dan Negara Indonesia, yaitu:
A. Penyebab Permasalahan Lingkungan Di Jepang
Permasalahan Lingkungan di Jepang, dapat dibedakan menjadi dua yaitu:
a. Penyebab Permasalahan lingkungan di Jepang pada tahun 1950-1960 an
1. Pertambangan Tembaga Ashio
Ashio merupakan kota di prefektur Tochigi, Honshu. Ashio
merupakan tambang tembaga sentral terbesar dari awal periode Edo (1600-
1868) sampai tahun ditutup pada 1973.14 Ada beberapa jenis kerusakan
yang ditimbulkan, yaitu:
1) Kerusakan pada hutan (pohon) yang berada di sekitar kilang akibat dari
asam belerang
Hal ini disebabkan karena proses pemurnian bijih dan debu yang
mengandung logam dari asap kilang. Dalam proses penyulingan,
arsenik juga dilepaskan ke udara dengan gas belerang, ini
mengakibatkan pencemaran lingkungan yang sangat serius.
2) Kerusakan dari air asam yang dibuang dalam proses pertambangan dan
seleksi pemurnian bijih yang mencemari sungai, yang mengarah ke
penghancuran tanah lapisan atas yang disebabkan oleh racun yang
terbawa oleh air.
3) Banjir menyebabkan produk pertanian teracuni karena banyaknya air
asam yang berasal dari tambang dan terak. Terak adalah produk
sampingan atau ampas menyerupai batu kaca yang tersisa setelah
logam yang diinginkan telah dipisah dari bijih bahan baku logam
tersebut.
4) Tembaga yang hancur ini keadaan bagian hilir sungai akan sangat
buruk, sehingga tanah tidak mengandung oksigen, tanaman seperti
padi, gandum dan sayuran lainnya akan langsung mati.
2. Minamata (1958)
13
Wilsa. 2020. Hukum Lingkungan (Studi Pendekatan Sejarah Hukum Lingkungan).
Yogyakarta: Deepublish. hlm. 8.
14
Krisno, P. L. (2017). Kemajuan Industri Dan Dampak Lingkungannya Di Jepang Sebelum
Tahun 1950. Lensa Budaya: Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Budaya, 12(1). hlm 63-64.
13
Minamata adalah Kota di Selatan Prefektur Kumamoto, Kyushu, di laut
Yatsushiro. Dalam rangka meningkatkan perekonomian, pabrik-pabrik pun
didirikan, sehingga industrialisasi di Jepang meningkat sangat pesat.15
Berikut hal-hal yang ditimbulkan terkait permasalahan lingkungan di
Minamata, yaitu:
1) Adanya racun jenis zat kimia atau logam menjadi penyebabnya yang
terkandung dalam ikan atau kerang yang ditangkap oleh nelayan
yang berada di teluk Minamata diduga sebagai penyebab
terjangkitnya penyakit Minamata ini.
2) Pada bulan Juli 1959, substansi penyakit Minamata adalah
komponen merkuri, kemungkinan besar adalah methylmercury.
3) Zat methylmercury yang terkandung pada air di teluk Minamata
merupakan limbah dari industri plastik Chisso yang beroperasi di
berasal dari zat yang berbahaya, methylmercury.
4) Tahun 1965 perairan sungai agano ditemukan terkontaminasi
dengan polutan metil-merkuri disebabkan oleh pabrik Showa Denko
dengan zat kimia.
5) Pada tanggal 26 September 1965, bahwa penyakit kota Minamata di
Prefektur Kumamoto disebabkan oleh senyawa methylmercury yang
dihasilkan oleh asetaldehida (Asetaldehid adalah sebutan untuk
etanol.
6) Pengrusakan terparah terjadi pada tanah dan irigasi yang digunakan
oleh petani di sekitar tambang tembaga Ashio. 70 sampai 80 tahun
kemudian cadmium (kadmium adalah logam putih, malur, unsur
dengan nomor atom 48, berlambang Cd, bobot atom 112.41) akan
menyebabkan masalah kesehatan di kalangan petani karena padi
yang mereka tanam dan konsumsi mengandung sejumlah besar
kadmium.
b. Penyebab Permasalahan lingkungan di Jepang pada saat ini
1. Polusi Udara
15
Ibid. hlm. 65-67.
14
Kota-kota industri seperti Tokyo merupakan kota yang paling banyak
16
menderita akibat polusi udara. Pencemaran udara disebabkan oleh
berbagai gas dan racun yang dikeluarkan oleh industri dan pabrik-
pabrik serta sisa pembakaran bahan bakar fosil, sedangkan pencemaran
tanah terutama disebabkan oleh limbah industri yang merusak unsur
hara dan zat nutrisi di tanah yang penting bagi tumbuhan. Industri
manufaktur dan pembangkit listrik di Jepang berkontribusi dalam
peningkatan polusi udara di negara tersebut.
2. Pencemaran oleh limbah Pabrik
Konsep ekspor led growth di pabrik-pabrik berproduksi secara besar-
besaran, sehingga membuat lingkungan sekitar mengalami penurunan
indeks kesehatan. Disisi lain, terdapat kabut kimia beracun yang
dihasilkan oleh pabrik-pabrik yang berada Tiongkok melalui perantara
udara17.
3. Emisi Gas
Laju emisi CO2 yang dihasilkan cenderung fluktuatif dan terkontrol
menyebabkan munculnya hujan asam di Jepang. Pada pertengahan
1990-an, Jepang berada pada peringkat empat dalam hal penghasil
emisi CO2 tertinggi di dunia 18, sehingga masyarakat menderita
bronchitis dan asma akibat kondisi udara yang tidak sehat.
4. Pencemaran air
Negara tersebut memiliki 430 cu km dari sumberdaya terbarukan air
dengan 64% digunakan dalam kegiatan pertanian dan 17% digunakan
untuk keperluan industri.19 Peningkatan kadar asam karena polutan
industri telah mempengaruhi sumber air di Jepang seperti danau, sungai
dan perairan sekitar Jepang yang dicemari oleh DDT, BMC dan
merkuri.
5. Hujan Asam
16
Haryanti, Pitti. 2013. All About Japan. Yogyakarta. C.V Andi Offset. hlm. 49-52
17
Kunio, Yoshihara. 1987. Sogo Shosha : Pemandu Kemajuan Ekonomi Jepang.hlm 72
18
(http://www.nationsencyclopedia.com/Asia-and-Oceania/JapanENVIRONMENT.html)
diakses pada 1 Mei 2022
19
Ibid.
15
Kemajuan ekonomi yang dialami Jepang tidak terlepas dengan
industrialisasi yang dialami negara tersebut. Pabrik dan knalpot mobil
yang menghasilkan asap berkontribusi dalam menghasilkan sulfur
oksida yang kemudian bercampur dengan curah hujan.
6. Bencana alam
Jepang sering mengalami gempa bumi, topan, tanah longsor, hingga
tsunami. Dampak dari bencana alam ini mengakibatkan kerugian
finansial, kerusakan lingkungan, dan jatuhnya korban jiwa. 20
Permasalahan lingkungan yang disebabkan oleh bencana alam
mengakibatkan air bersih sulit untuk diperoleh karena telah tercampur
oleh senyawa seperti banjir.
B. Penyebab Permasalahan Lingkungan Di Indonesia
Permasalahan lingkungan di Indonesia sering kali terjadi di berbagai daerah
Indonesia yang mengakibatkan dampak serius. Berikut permasalahan lingkungan di
Indonesia, yaitu:
a. Penyebab Permasalahan Lingkungan Di Indonesia Secara Umum
1. Polusi
Masalah lingkungan hidup yang pertama adalah polusi atau pencemaran
lingkungan hidup. Sektor Industri dan asap kendaraan bermotor adalah sumber
pencemaran utama. Logam berat, nitrat dan plastik beracun bertanggung jawab
atas berbagai pencemaran yang ada. Sementara polusi air disebabkan oleh
tumpahan minyak, hujan asam, limpasan perkotaan. Disisi lain, pencemaran
udara disebabkan oleh berbagai gas dan racun. 21
2. Perubahan iklim
Perubahan iklim atau pemanasan global. Perubahan iklim seperti
pemanasan global adalah hasil dari praktik manusia seperti emisi gas rumah
kaca. Akibat perubahan cuaca tersebut, produksi pertanian sering mengalami
gagal panen dan memperbesar peluang terjadinya kebakaran hutan akibat
terjadinya musim kering berkepanjangan.
3. Populasi
20
Widiyani, Y., & Hanura, M. (2020). Analisa Dampak Pencemaran Lingkungan Tiongkok
Terhadap Aspek Human Security Di Jepang. Journal of International Relations, 6(2), hlm
334.
21
Haryanto, T. 2018. Pencemaran Lingkungan. Klaten: Cempaka Putih. hlm 15-16.
16
Ledakan populasi disetiap daerah Indonesia yang terus menyebabkan
semakin langkanya sumber daya. Pertanian intensif yang bertujuan untuk
meningkatkan produksi makanan dengan menggunakan pestisida justru pada
akhirnya menimbulkan masalah baru. Kerusakan itu berupa menurunnya
kualitas tanah dan kesehatan manusia. 22
4. Penipisan sumber daya alam
Penggunaan bahan bakar fosil seperti minyak bumi bertanggung jawab
menciptakan pemanasan global dan perubahan iklim. Secara global, mulai
banyak pihak yang mulai beralih menggunakan sumber daya terbarukan, seperti
listrik tenaga surya, biogas, mobil tenaga matahari, yang diterapkan oleh negara
maju.
5. Pencemaran oleh limbah bahan berbahaya dan beracun (B3)
Permasalahan lingkungan hidup selanjutnya adalah pembuangan limbah.
Pencemaran lingkungan dapat mengakibatkan menurunnya fungsi dan
peruntukan sumberdaya alam, seperti air, udara, bahan pangan, dan tanah. Bahan
pencemar yang terbanyak adalah limbah, terutama dari kawasan industri. 23 Hal
ini terutama limbah plastik dan sampah perkotaan seperti di Kali Ciliwung di
Jakarta atau kota-kota di Indonesia menyebabkan ikan-ikan mati dan hancurnya
ekosistem sungai.
6. Kepunahan keanekaragaman hayati
Aktivitas manusia menyebabkan kehilangan keanekaragaman hayati.
Aktivitas perburuan satwa yang tidak berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan
protein manusia, seperti perburuan telur penyu atau kura-kura indonesia yang
menyebabkan kura-kura sungai punah. Punahnya spesies berarti punahnya
sumber pemenuhan kebutuhan hidup manusia.
7. Deforestasi atau penggundulan hutan
Pembukaan hutan untuk pengembangan sektor perkebunan, terutama sawit,
menyebabkan pelepasan karbon ke bumi sehingga meningkatkan perubahan
suhu bumi. Hutan yang sesungguhnya berperan menyerap racun karbon dioksida
hasil pencemaran.
22
Ibid., hlm 18.
23
https://dlh.bulelengkab.go.id/informasi/detail/artikel/masalah-lingkungan-hidup-di-
indonesia-dan-dunia-saat-ini-15. (diakses pada 4 Mei 2022)
17
8. Fenomena pengasaman laut
Ini adalah dampak langsung dari produksi berlebihan gas Karbon Dioksida
(CO2). Dua puluh lima persen gas CO2 yang dihasilkan oleh manusia.
Keasaman laut telah meningkat dalam 250 tahun terakhir. Pada tahun 2100,
mungkin meningkat sekitar 150%. Dampak utama adalah pada punahnya kerang
dan plankton, sumber makanan ikan. 24
9. Penipisan lapisan ozon
Lapisan tipis ozon yang menyelimuti Bumi pada ketinggian antara 20
hingga 50 km di atas permukaan Bumi berfungsi menahan 99% dari radiasi sinar
ultraviolet (UV) yang berbahaya bagi kehidupan. Penipisan lapisan Ozon
diperkirakan disebabkan oleh polusi yang disebabkan oleh bahan kimia, seperti
CFC (chlorofluorocarbon) yang dihasilkan oleh aerosol (gas penyemprot
minyak wangi, insektisida), mesin pendingin, dan proses pembuatan plastik atau
karet busa (foam).
10. Pemanasan Global
Pemanasan global dapat terjadi akibat meningkatnya lapisan gas terutama
CO2 yang menyelubungi Bumi dan berfungsi sebagai lapisan seperti rumah
kaca. Dalam keadaan normal, lapisan gas rumah kaca (GRK) terdiri dari 55%
CO2, sisanya adalah hidrokarbon, NOx, SO2, O3, CH4 dan uap air. Dampak
dari rumah kaca ini adalah terjadinya kenaikan suhu Bumi atau perubahan iklim
secara keseluruhan.
11. Hujan asam
Hujan asam terjadi akibat polutan tertentu di atmosfer. Hujan asam dapat
disebabkan karena pembakaran bahan bakar fosil atau akibat meletusnya gunung
berapi atau membusuknya vegetasi yang melepaskan sulfur dioksida dan
nitrogen oksida ke atmosfer. Hujan asam menjadi permasalahan lingkungan
yang dapat memiliki efek serius pada kesehatan manusia, satwa liar dan spesies
air, menyebabkan keracunan dalam pernapasan, SOX menyebabkan pneumonia,
disamping itu bersama NOx mengakibatkan hujan asam dan banjir
12. Rekayasa genetika
Produk makanan, peternakan, pertanian saat ini banyak dihasilkan oleh
teknologi rekayasa genetika atau modifikasi genetik. Kelemahan lain yaitu
24
Ibid
18
terdapat peningkatan penggunaan racun untuk membuat tanaman tahan terhadap
gangguan serangga atau hama dapat menyebabkan organisme yang dihasilkan
menjadi resisten (kebal) terhadap antibiotik.
b. Penyebab Permasalahan Lingkungan Berdasarkan Pengelompokkan
1. Masalah lingkungan hidup alami
Peristiwa alam yang sering terjadi terutama di negara kita, seperti tsunami,
badai, gempa bumi, tanah longsor dan banjir merupakan tantangan bagi
kelangsungan hidup dan keselamatan manusia. 25 Peristiwa alam yang juga
sering terjadi adalah badai. Badai sebagai gabungan hujan deras disertai petir
dan halilintar juga merupakan tantangan bagi kelangsungan kehidupan dan
keselamatan manusia.
2. Masalah Deforestasi
Hutan Indonesia menduduki tempat kedua dalam luas setelah Brazil, dan
mewakili 10 persen dari hutan tropis dunia yang masih tersisa. Pada deforestasi
yang berlangsung dengan tingkat tinggi, akan mengancam penyediaan bahan
kayu dasar dan produk hutan sekunder dan mengurangi pelayanan lingkungan
seperti proteksi sumber mata air dan preservasi habitat alam yang penting.
Degradasi hutan yang diakibatkan oleh proses deforestasi di Indonesia
tergolong tinggi.
3. Masalah kesehatan
Demam berdarah, flu burung, polio dan kasus busung lapar adalah sebagian
masalah kesehatan yang kita alami akhir-akhir ini. Dampak dari masalah
kesehatan ini antara lain tidak diizinkannya ekspor bahan pangan dari Indonesia
karena negara tujuan khawatir dengan infeksi virus flu burung (Avian flu).26
4. Masalah sosial, ekonomi dan kemiskinan
Kemiskinan merupakan masalah sosial ekonomi, yang secara komprehensif
terjadi akibat faktor pendidikan, kesehatan, ketidakadilan, sistem
ketenagakerjaan, kebutuhan hidup minimum dan keamanan. Masalah
kemiskinan ini menimbulkan dampak seperti perambahan hutan untuk menjadi
binaan manusia. 27
25
Ibid. hlm 44.
26
Darmono. 2001. Lingkungan Hidup dan Pencemaran. Jakarta: Universitas Indonesia (UI-
Press). Hlm 42-44.
27
Ibid. hlm 46.
19
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
pengelolaan Lingkungan Hidup
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup
Buku
Irawati, E. (2017). Pengelolaan Lingkungan Hidup. hlm.1. Haryanti, Pitti. 2013. All
About Japan. Yogyakarta. C.V Andi Offset.
Haryanto, T. 2018. Pencemaran Lingkungan. Klaten: Cempaka Putih.
Kunio, Yoshihara. 1987. Sogo Shosha: Pemandu Kemajuan Ekonomi Jepang.
Ramli Utina. 2009. Ekologi dan Lingkungan Hidup. Gorontalo: Deepublish. hlm 42.
Syahrul Machmud, Hukum Lingkungan, Edisi Revisi, Cetakan III, Citra
Bhakti,Bandung. 2012, hlm 15.
Wijayanti, Laksmi. Kedudukan Sistem Pelaporan Lingkungan dalam Sistem
Pengelolaan Lingkungan, hal. 126.
Wilsa. 2020. Hukum Lingkungan (Studi Pendekatan Sejarah Hukum Lingkungan).
Yogyakarta: Deepublish.
Jurnal
Hartati, Anna Yulia. 2007. Lingkungan Hidup dan Liberalisasi Perdagangan: Upaya
Mencari Jalan Tengah. ISSN 1410-4946 Vol. 11: No. 2.
Krisno, P. L. (2017). Kemajuan Industri Dan Dampak Lingkungannya Di Jepang
Sebelum Tahun 1950. Lensa Budaya: Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Budaya, 12(1).
Wakana Takahashi, Environmental Cooperation in Northeast Asia, paper ini
disampaikan dalam the 9th Northeast Asian Conference on Environmental
Cooperation tahun 2000. hal. 1.
Widiyani, Y., & Hanura, M. (2020). Analisa Dampak Pencemaran Lingkungan
Tiongkok Terhadap Aspek Human Security Di Jepang. Journal of
International Relations, 6(2), hlm 334.
Internet
21
https://dlh.bulelengkab.go.id/informasi/detail/artikel/masalah-lingkungan-hidup-di-
indonesia-dan-dunia-saat-ini-15. diakses pada 4 Mei 2022
http://www.nationsencyclopedia.com/Asia-and-
Oceania/JapanENVIRONMENT.html diakses pada 1 Mei 2022
Kedutaan Besar Jepang di Indonesia. https://www.id.emb-japan.go.jp/expljp_16.html.
Di akses pada tanggal 5 Mei 2022.
Japan's Environment. http://www.nationsencyclopedia.com/Asia-and-
Oceania/JapanENVIRONMENT.html diakses pada 6 Mei 2022
22
HUKUM LINGKUNGAN HIDUP
DOSEN PENGAMPU:
DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 8
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa atas bimbingan beliau
kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Konvensi Internasional Bidang
Lingkungan Hidup” yang mana makalah ini disusun untuk memenuhi tugas dalam mata
kuliah Hukum Lingkungan
Makalah ini memuat tentang penjabaran hasil dari konferensi tingkat tinggi terhadap
perkembangan hukum lingkungan, walaupun makalah ini mungkin kurang sempurna tetapi di
dalam makalah ini sudah sangat detail mencakup tentang apa yang diarahkan semesetinya,
kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan keterbatasan dalam penyajian makalah
ini. Oleh karena itu, saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari dosen
pengampu dan semua pembaca demi kesempurnaan juga kami dapat memperbaiki makalah
kami kedepannya. Semoga makalah ini berguna dan dapat menambah pengetahuan pembaca.
Demikian makalah ini kami susun, apabila terdapat kata-kata yang kurang berkenan
dan banyak terdapat kekurangan, kami memohon maaf yang sebesar-besarnya.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................................ i
DAFTAR ISI..................................................................................................................... ii
PENDAHULUAN............................................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang ....................................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah .................................................................................................. 1
1.3. Tujuan .................................................................................................................... 2
PEMBAHASAN ............................................................................................................... 3
A. Konfrensi Tingkat Tinggi Stockholm..................................................................... 3
B. Konferensi Tingkat Tinggi Nairobi ........................................................................ 5
C. Konferensi Tingkat Tinggi Rio de Jenairo ............................................................. 8
D. Konferensi Tingkat Tinggi Johannesburg, Afrika Selatan .................................. 12
KESIMPULAN............................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................... 17
ii
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Permasalahan lingkungan hidup saat ini menjadi perhatian serius bagi dunia internasional.
Munculnya permasalahan ini terkait dengan hubungan manusia dan lingkungannya yang
bersifat eksploitasi secara berlebihan terhadap lingkungan. Lingkungan hidup menjadi masalah
yang multi dimensional dan kompleks karena berbagai faktor yang terkait didalamnya. Faktor-
faktor ekonomi, politik, sosial, ilmu pengetahuan, teknologi serta kemanusiaan, masuk menjadi
kepentingan yang saling terkait. Lingkungan hidup bukan hanya menjadi permasalahan bangsa
Indonesia saja, namun telah menjadi isu global negara-negara di dunia yang harus
ditanggulangi bersama seluruh umat manusia di muka bumi. Kesadaran lingkungan yang
bersifat global ini telah dituangkan dalam berbagai konferensi Internasional, Regional dan
Nasional. Perkembangan hukum lingkungan tidak dapat dipisahkan dari gerakan sedunia untuk
memberikan perhatian lebih besar kepada lingkungan hidup, mengingat kenyataan bahwa
lingkungan hidup telah menjadi masalah yang perlu ditanggulangi bersama demi kelangsungan
hidup di dunia ini. Pembicaraan tentang masalah lingkungan hidup ini diajukan oleh wakil
Swedia pada tanggal 28 Mei 1968, disertai saran untuk dijajaki kemungkinan guna
menyelenggarakan suatu konferensi internasional mengenai lingkungan hidup manusia.
Seiring berjalannya waktu, terdapat empat konferensi internasional yang terkenal hingga saat
ini yaitu Konferensi Tingkat Tinggi Stockholm, Konferensi Tingkat Tinggi Nairobi,
Konferensi Tingkat Tinggi Rio de Janeiro, dan Konferensi Tingkat Tinggi Johannesburg. Dari
Konferensi Tingkat Tinggi yang diadakan tersebut berhasil melahirkan kesepakatan
internasional dalam menangani masalah lingkungan hidup, dan mengembangkan hukum
lingkungan hidup baik pada tingkat Nasional maupun Internasional. Kesepakatan internasional
dapat berbentuk deklarasi, konvensi, agenda, dan/atau perjanjian internasional di bidang
lingkungan. Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai kesepakatan internasional yang
dihasilkan dari konferensi tersebut maka penulis membuat paper dengan judul “Konvensi
Internasional Bidang Lingkungan Hidup”
1.2.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang ada maka penulis menyusun sebuah rumusan masalah
yakni “Bagaimana hasil dari konferensi tingkat tinggi terhadap perkembangan hukum
lingkungan?”
1
1.3.Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui hasil dari konferensi
tingkat tinggi terhadap perkembangan hukum lingkungan.
2
PEMBAHASAN
1 K. Kubasek Nancy – Silverman Gary S, Environmental Law (Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall)
3
8. Pembangunan dibutuhkan untuk memperbaiki lingkungan
9. Negara-negara berkembang membutuhkan bantuan
10. Negara-negara berkembang memerlukan harga ekspor yang wajar untuk mengelola
lingkungan
11. Kebijakan lingkungan tidak boleh menghambat pembangunan
12. Negara-negara berkembang memerlukan uang untuk meningkatkan pelestarian
lingkungan
13. Perencanaan pembangunan yang berkelanjutan diperlukan
14. Perencanaan rasional harus menyelesaikan konflik antara lingkungan dan
pembangunan
15. Pemukiman penduduk harus direncanakan untuk menghilangkan masalah lingkungan
16. Pemerintah harus merencanakan kebijakan kependudukan yang sesuai
17. Lembaga nasional harus merencanakan pengembangan sumber daya alam negara
18. Ilmu pengetahuan dan teknologi harus digunakan untuk mengembangkan lingkungan
19. Pendidikan lingkungan sangat penting
20. Penelitian lingkungan harus didukung, terutama di negara berkembang
21. Negara boleh memanfaatkan sumber daya yang ada, tapi tidak boleh membahayakan
orang lain
22. Kompensasi diperlukan jika ada negara yang membahayakan
23. Tiap negara harus menetapkan standar masing-masing
24. Harus ada kerjasama dalam isu internasional
25. Organisasi internasional harus membantu memperbaiki lingkungan
26. Senjata pemusnah massal harus dihilangkan2
Setelah berlangsungnya Deklarasi Stockholm 1972, Indonesia mengambil beberapa
langkah untuk memperbaiki sistem pengelolaan lingkungan hidup, termasuk dengan
menerbitkan Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pengelolaan Lingkungan Hidup (“UU 4/1982”), yang kemudian digantikan oleh Undang-
Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (“UU 23/1997”). 3
2
Munadjat Danusaputro, (1980). Hukum Lingkungan, Buku I: Umum. Bandung: Binacipta.
3
Rahmadi, Takdir, Hukum Lingkungan di Indonesia (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada).
4
dapat dilihat dari pasal yang tercantum dalam UU 23/1997, yaitu Pasal 4 yang berbunyi:
“Pengelolaan lingkungan hidup yang diselenggarakan dengan asas tanggung jawab negara,
asas berkelanjutan, dan asas manfaat bertujuan untuk mewujudkan pembangunan
berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan manusia
Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.”
Selain itu, ada juga Pasal 5 yang berbunyi:
(1) Setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
(2) Setiap orang mempunyai ha katas informasi lingkungan hidup yang berkaitan dengan
peran dalam pengelolaan lingkungan hidup.
(3) Setiap orang mempunyai hak untuk berperan dalam rangka pengelolaan lingkungan
hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Atas dasar tersebut, dapat dikatakan bahwa Indonesia telah menerapkan asas-asas yang
tercantum dalam Deklarasi Stockholm 1972. 4
5
4. Ancaman yang masih sangat besar adalah bentuk pemborosan yang mengeksploitasi
berlebihan lingkungan hidupnya.
5. Lingkungan hidup manusia merupakan keuntungan dalam bentuk perdamaian dan
keamanan, bebas dari ancaman perang.
6. Masalah lingkungan melintasi lintas batas nasional dikonsultasikan antar negara dan
perlu tindakan internasional.
7. Ketidakefesienan lingkungan disebabkan oleh kondisi-kondisi keterbelakangan
termasuk faktor eksternal yang melebihi kontrol negara-negara, masalah teknik
pendistribusian sumber-sumber kekayaan alam diantara negara-negara.
8. Upaya selanjutnya dikembangkan managemen berwawasan lingkungan dan metode
untuk mengeksploitasi dan penggunaan sumber-sumber alam dan memodernisasi
sistem tradisional.
9. Pencegahan kerusakan lingkungan lebih disukai daripada perbaikan kerusakan
lingkungan.
10. Masyarakat dunia menegaskan kembali komitmen Deklarasi Stockhlom dan Action
Plan juga memperkuat dan memeperluas upaya kerjasama nasional dan internasional di
lapangan perlindungan lingkungan5 .
Konferensi Nairobi secara umum memandang bahwa asas atau prinsip yang telah
diputuskan dalam konferensi Stockholm masih relevan. Oleh karena itu, konferensi ini
menegaskan kembali tekad semua negara anggota PBB untuk menyelamatkan dan
membangun lingkungan hidup yang lebih baik bagi kelangsungan hidup umat manusia.
Perbedaannya bahwa jika Deklarasi Stockholm lahir di negara maju dan atas dasar
keinginan yang kuat dari negara maju untuk memperbaiki lingkungan akibat kemajuan
pembangunan dan penggunaan teknologi canggih, maka Deklarasi Nairobi lahir di negara
berkembang. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran lingkungan negara berkembang
semakin tinggi dan persoalan lingkungan bukan hanya menjadi monopoli negara maju6 .
Beberapa isu yang menjadi pusat perhatian pada konfrensi tersebut sampai sekarang ialah:
masalah atmosfer, seperti menurunnya kualitas udara di pemukiman kota, pencemaran
lautan oleh minyak bumi dan substansi lainnya, pencemaran air permukaan dan air tanah,
dan degradasi biota dan tata lingkungan biologis. Yang Pada intinya, Deklarasi Nairobi
5
Andreas Pramudionto., Diplomasi Lingkungan Hidup, diakses dari
https://staff.blog.ui.ac.id/andreas.pramudianto/2009/07/29/diplomasi-lingkungan-hidup/ Pada1Mei2022pukul
20.30
6
Khalisah Hayatuddin dan Serlika Aprita.,2021, Hukum Lingkungan, Kencana: Jakarta, Hal. 22
6
mendorong semua negara untuk mengemban tanggung jawab, baik secara bersama atau
individu, guna menjamin bahwa bumi yang kecil ini diwariskan kepada generasi
mendatang dalam kondisi yang menjamin kehidupan dan martabat manusia7 .
Sebagai tindak lanjut dari upaya untuk mengimplementasikan hasil-hasil Konferensi
Nairobi, di dalam sidang umum PBB pada bulan Desember 1983 dibentuk sebuah komisi
yang mengkaji suatu agenda global bagi perubahan. Selanjutnya, pada tahun 1984 oleh
Sekretaris Jenderal PBB diangkat Gro Hariem Brundtland (Perdana Menteri Norwegia),
mewakili negara maju sebagai Ketua Komisi dan Dr. Mansour Khalid (mantan Menteri
Luar Negeri Sudan), mewakili negara berkembang sebagai Wakil Ketua Komisi. Kedua
tokoh ini diberikan wewenang menyusun keanggotaan komisi yang kemudian menyebut
diri sebagai Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan (World Commission on
Environment and Develoment ) (WCED). Ada empat hal yang menjadi tugas WCED yang
sebenarnya cukup luas dan berat, sehingga komisi menganggap sebagai “suatu agenda
global bagi perubahan”, yaitu:
1. Mengusulkan strategi-strategi lingkungan jangka panjang agar tercapai pembangunan
berkesinambungan pada tahun 2000 dan seterusnya.
2. Merekomendasikan jalan keluar yang berkenan dengan masalah lingkungan agar dapat
diterjemahkan menjadi kerjasama erat di antara negara-negara berkembang dan negara-
negara maju dengan tahap pembangunan ekonomi dan sosial yang berbeda.
3. Mempertimbangkan jalan keluar dan cara-cara yang memungkinkan masyarakat
internasional menangani masalah-masalah lingkungan secara efektif,
4. Membantu menciptakan persepsi bersama tentang masalah masalah lingkungan jangka
panjang dan upaya-upaya yang diperlukan agar dapat menangani secara lebih berhasil
masalah perlindungan dan peningkatan lingkungan.
Pada tahun 1987 WCED telah memberikan laporannya yang diberi judul Our Common
Future, yang menekankan analisis terhadap hubungan antara lingkungan dan
pembangunan. Our Common Future merupakan suatu gagasan tentang kemungkinan untuk
memasuki era pertumbuhan ekonomi berdasarkan kebijakan daya dukung lingkungan
berkelanjutan. WCED ini juga mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai suatu
upaya yang mendorong tercapainya kebetuhan generasi kini tanpa mengorbankan
kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Di dalam konsep tersebut
7
Ferdinal Salamin., Rekam Jejak Konfrensi Tingkat Tinggi (KTT) Tentang Pembangunan Berkelanjutan,diakses
dari http://ferdinalasmin.blogspot.com/2014/11/rekam-jejak-konferensi-tingkat-tinggi.html?m=1 Pada 1 Mei
2022 pukul 20:52
7
terkandung dua gagasan penting. Pertama yaitu gagasan kebutuhan, khususnya kebutuhan
esensial, kaum miskin sedunia yang harus diberi prioritas utama dan Kedua yaitu gagasan
keterbatasan, yang bersumber pada kondisi teknologi dan organisasi sosial terhadap
kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebututuhan kini dan hari depan. Konsep ini
menekankan pentingnya pertumbuhan ekonomi tanpa mengorbankan standar lingkungan
yang tinggi Inilah underlying concept pembangunan berkelanjutan yang hingga saat ini
terus berkembang mengikuti dinamika perubahan. Selain itu, kelompok ahli hukum
lingkungan (Experts Group on Environmental Law) yang dibentuk WCED telah
menghasilkan sebuah laporan yang berjudul Strengthening the Legal and Institutional
Framework for Environmental Protection Development. Laporan kepada WCED ini terdiri
dari dua bagian dan beberapa tambahan (annex) yaitu: Legal principal for Environmental
Protection and Sustainable Development; dan Proposal for Strengthening the Legal and
Institutional Framework8 .
Konferensi Rio diadakan dalam rangka pelaksanaan resolusi Sidang Umum PBB No.
45/211 tertanggal 21 Desember 1990 dan keputusan No. 46/468 tertanggal 13 April 1992.
Konferensi ini merupakan salah satu konferensi yang terkenal karena diikuti oleh hamper
8
Khalisah Hayatuddin dan Serlika Aprita.,2021, Hukum Lingkungan, Jakarta: Kencana, Hal. 22-2
9
Ibid, hal. 27
8
200 negara di dunia. Konferensi Rio bukanlah semata-mata konferensi negara-negara,
namun juga konferensi rakyat. Bersamaan dengan konferensi resmi, di Flamingo Park yang
letaknya berdekatan dengan tempat konferensi resmi, diadakan pertemuan yang disebut
The ’92 Global Forum, yang diikuti kurang lebih 10.000 orang yang mewakili 9.000
organisasi dan telah menarik sebanyak 20.000 pengunjung. Global Forum menyediakan
berbagai kegiatan yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga swadaya masyarakat dan
asosiasi-asosiasi yang meliputi International Forum of NGO’s and Social Movement, Open
Speakers Forum, dan pertemuan kelompok-kelompok agama.
Terdapat lima kesepakatan internasional yang dihasilkan dalam UNCED di Rio de
Janeiro diantaranya 10:
a. Deklrasi Rio de Janeiro sebagai hasil dari UNCED yang terdiri dari 26 asas yang
menegaskan kembali isi dari Deklrasi Stockholm dan berusahan untuk membangun
dengan berlandaskan deklrasi tersebut. Adapun prinsip-prinsip penting yang telah
disepakati dalam Deklrasi Rio de Jenairo ini adalah pengakuan hak manusia atas
kehidupan yang layak dan produktif yang serasi dengan alam, hak kedaulatan negara
atas SDA-nya dan kewajiban menjaga lingkungannya prinsip keadilan antargenerasi,
prinsip perlindungan lingkungan sebagai bagian dari proses pembangunan, prinsip
kerjasama dalam semangat kemitraan global, dan prinsip bersama namun dengan
tanggung jawab yang berbeda.
b. Nonlegally Binding Authoritative Statement of Principles for a Global Consensus on
the Management, Conservation and Sustainable Development of all Types of Forest
(Forestry Principles) merupakan capaian tertinggi dibidang kehutanan. Forestry
principles merupakan konsensus internasional yang berkaitan dengan pembangunan
kehutanan berkelanjutan yang terdiri dari 16 pasal yang mencakup aspek pengelolaan,
aspek konservasi, serta aspek pemanfaatan dan pengembangan, bersifat tidak mengikat
secara hukum dan berlaku untuk semua jenis atau tipe hutan. Adapun pernyataan
prinsip-prinsip kehutanan yang terdapat dalam forestry principles diantaranya:
1. Negara memiliki kedaulatan penuh untuk mengelola hutan sepanjang tidak
menimbulkan kerusakan lingkungannya.
2. Sumber daya hutan dikelola secara lestari untuk memenuhi kebutuhan dasar
manusia.
10
Ibid, hal 28-30
9
3. Kebijaksanaan nasional harus mencerminkan pengelolaan hutan secara
berkelanjutan, termasuk didalamnya konversi lahan hutan bagi
pembangunan sosial ekonomi, sesuai dengan tata guna lahan rasional.
4. Kebijaksanaan dan strategi nasional harus mampu meningkatkan upaya
pembangunan, kelembagaan dan program pengelolaan hutan.
5. Langkah-langkah dalam rangka pengelolaan dan pembangunan hutan,
diantaranya:
a) Peningkatan perlindungan dalam memelihara nilai-nilai dan fungsi
hutan
b) Penyediaan informasi yang akurat dan teratur bagi masyarakat dan
pengambilan keputusan
c) Peningkatan peran serta semua pihak yang berkepentingan
d) Peningkatan peran serta wanita dalam pembangunan hutan, dan
e) Peningkatan kerja sama internasional dibidang kehutanan
f) Keputusan dalam pengelolaan hutan berkelanjutan didasarkan atas
hasil telaah yang meliputi nilai-nilai ekonomi dan non-ekonomi hasil
hutan, jasa, dan lingkungan hidup
g) Pengelolaan hutan harus terpadukan dalam pembangunan wilayah,
sehingga dapat memelihara keseimbangan ekologi dan manfaat yang
lestari
h) Kebijaksanaan nasional harus menjamin diberlakukannya AMDAL
i) Pelaksanaan kebijaksanaan dan program nasional dalam
pengelolaan hutan berkelanjutan harus didukung pendanaan
internasional, kerjasama teknik dan penyempurnaan sistem
pemasaran hasil hutan oalahan
j) Peran hutan tanaman ditingkatkan melalui reboisasi dan penghijauan
baik dengan tanaman asli maupun eksotik dalam rangka
mempertahankan hutan dan memperluas lahan hutan untuk
menemui kebutuhan kayu bagi industry, kayu bakar, lingkungan
hidup, dan memperluas kesempatan kerja
k) Peran hutan alam sebagai penghasil barang dan jasa harus
ditingkatkan
10
l) Kebijaksanaan pengolahan hutan harus memperhatikan aspek
produksi, konsumsi, pendauran, manfaat hasil hutan dan masyarakat
sekitar hutan
m) Ilmu pengetahuan dan teknologi, invertarisasi hutan dan evaluasi
harus dilakukan secara efektif.
n) Kebijaksanaan pengelolaan hutan yang berkelanjutan terkait dengan
perdagangan hasil hutan yang didasarkan atas aturan unilateral,
pengurangan/penghapusan tariff barriers.
c. Agenda 21 merupakan rencana kerja global yang pertama kali disusun secara
menyeluruh mengenai pembangunan berkelanjutan, terdiri dari berbagai isu ekonomi,
sosial dan lingkungan yang berbeda-beda, dan menampung masukan dari semua
negara di dunia. Tentunya dalam penerapannya, harus memperhatikan kondisi sosial
ekonomi, SDA, sumber daya manusia dan kelembagaan yang ada dimasing-masing
negara. Agenda 21 Global merupakan suatu dokumen komprehensif yang memiliki
ketebalan 700 halaman yang berisi program aksi pembangunan berkelanjutan
menjelang abad ke-21. Agenda 21 ditandatangani oleh semua negara (termasuk
Indonesia) yang hadir pada konferensi tersebut. Agenda 21 dapat digunakan baik oleh
pemerintah, organisasi internasional, kalangan industri maupun masyarakat lainnya
untuk mendukung upaya pengintegrasian lingkungan ke dalam seluruh kegiatan sosial-
ekonomi. Adapun tujuan dari setiap kegiatan yang tercantum dalam Agenda 21 adalah
untuk mengentaskan kemiskinan, kelaparan, pemberantasan penyakit, dan buta huruf
di seluruh dunia, di samping untuk menghentikan kerusakan ekosistem yang penting
bagi kehidupan manusia. Selanjutnya, Agenda 21 Indonesia meliputi aspek kebijakan,
pengembangan program dan strategi perencanaan pembangunan, baik aspek sosial,
ekonomi, maupun aspek lingkungan.memberikan serangkaian pandangan dan inspirasi
yang dapat dimasukkan ke dalam proses perencanaan pada setiap tingkatan
pembangunan di Indonesia, sedemikian rupa sehingga lembaga-lembaga pemerintah,
swasta, dan masyarakat luas lainnya dapat memanfaatkan dokumen ini sebagai
referensi bagi penyusunan perencanaan dan program-program jangka pendek dan
panjang dalam menghadapi pasar bebas di masa mendatang dan dalam mewujudkan
pembangunan berkelanjutan yang dicita-citakan. Dokumen ini secara komprehensif
dan terperinci mengungkapkan kaitan antara pembangunan ekonomi dan sosial, serta
memberikan “paradigma baru” bagi pencapaian pembangunan berkelanjutan di
Indonesia. Sebagai kesimpulan, Agenda 21 Indonesia dapat dijadikan sebagai suatu
11
advisory document yang mencakup aspek kebijakan, pengembangan program, dan
strategi yang meliputi hampir seluruh perencanaan pembangunan bidang sosial,
ekonomi, dan lingkungan. Sebagai advisory document , maka penerapan dari dokumen
Agenda 21 Indonesia ini sangat bergantung pada pengambil kebijakan dan kesadaran
lingkungan yang tinggi dari masyarakat. Dengan demikian, dukungan dari peraturan
perundang-undangan terhadap pelaksanaan Agenda 21 baik tingkat nasional maupun
daerah sangat diperlukan.
d. The Framework Convention on Climate Change, memuat kesediaan negara-negara
maju untuk membatasi emisi gas rumah kaca dan melaporkan secara terbuka mengenai
kemajuan yang diperolehnya dalam hubungan tersebut. Negara-negara maju juga
sepakat untuk membantu negara-negara berkembang dengan sumber daya dan
teknologi dalam upaya negara berkembang untuk memenuhi kewajiban sebagaimana
tercantum dalam konvensi. Indonesia telah meratifikasi konvensi ini dengan Undang-
undang No. 6 Tahun 1994 pada tanggal 1 Agustus 1994.
e. The Convention on Biological Diversity (Konvensi Keanekaragaman Hayati), yang
memberikan landasan untuk kerja sama internasional dalam rangka konservasi spesies
dan habitat. Dalam Pasal 1 Konvensi ini dinyatakan tentang tujuannya, yaitu
melestarikan dan mendayagunakan secara berkelanjutan keanekaragaman hayati dan
berbagai keuntungan secara adil dan merata dari hasil pemanfaatan sumber genetika
melalui akses terhadap sumber genetika tersebut, alih teknologi yang relevan, serta
pembiayaan yang cukup dan memadai. Asas dalam Pasal 3 menyatakan bahwa negara
memiliki kedaulatan untuk mengeksploitasi sumber alamnya sesuai dengan
kebijaksanaan pembangunan dan lingkungannya, serta mempunyai tanggung jawab
untuk menjamin bahwa kegiatannya itu tidak akan merusak lingkungan baik di dalam
maupun di luar wilayah negaranya. Indonesia telah meratifikasi Konvensi ini dengan
Undang-undang No. 5 Tahun 1994 pada tanggal 1 Agustus 1994.
12
badan di bawah PBB, lembaga keuangan internasional dan aktor penting lain untuk menilai
perubahan yang terjadi di seluruh dunia setelah 10 tahun dilaksanakan UNCED atau earth
Summit tahun 1992 di Rio de Janeiro, Brazil. 11
Agenda utama KTT Pembangunan Johannesburg adalah refleksi dan peninjauan
kembali atas pelaksanaan Agenda 21 mengenai pembangunan berkelanjutan yang
disepakati di negara-negara peserta pada KTT bumi di Rio, Brasil, tahun 1992. Fokus
sorotannya adalah sejumlah mana keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan pembangunan
berkelanjutan di masing-masing negara dan di tingkat global selama 10 tahun terakhir.
Demikian pula, agenda lingkungan apa yang perlu disepakati semua negara untuk masa
yang akan datang.
Untuk itu, penyelenggaraan KTT ini ditekankan pada rencana pelaksanaan (plan of
implementation), yang mengintegrasikan elemen ekonomi, ekologi, dan sosial yang
didasarkan pada tata penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance)
(Kehutanan, 2007). Program pelaksanaan yang dibahas dalam KTT ini memilik tiga sasaran
utama, yaitu:12
1. Pertama, pembangunan sosial ditujukan pada pemberantasan kemiskinan struktural di
berbagai bidang seperti, ketiadaan akses pendapatan, lapangan kerja, air minum, jasa
energi, permukiman, fasilitas kesehatan, pendidikan, dan lain-lain. Menjelang tahun
2015, berbagai pertanda kemiskinan harus dikurangi. Kelaparan harus enyah di muka
bumi yang mampu menghasilkan pangan.
2. Kedua, pembangunan ekonomi harus mengubah pola produksi dan pola konsumsi yang
tidak menopang keberlanjutan (unsustainable), terutama dalam penggunaan energi
yang tidak efisien dan mencemarkan, penggunaan SDA (seperti hutan, tanah, pantai,
dan laut) secara boros. Begitu pola konsumsi perlu diarakan ke daur-ulang bahan
kemasan dan hemat minyak karbon.
3. Ketiga, penyelamatan dan perlindungan ekosistem serta fungi lingkungan dari SDA
agar mampu menopang proses pembangunan berkelanjutan. Hutan, pantai, terumbu
karang, tanah, lautan, serta hewan dan tumbuh-tumbuhan, bias diperbarui atau
dibiakkan, sehingga pemanfaatannya bias berlanjut asalkan fungsi lingkungan
terpelihara.
11
Ibid, hal. 36
12
Ibid, hal.37
13
Pada akhirnya KTT Pembangunan berkelanjutan mengadopsi tiga dokumen utama, yaitu:13
1. Deklarasi Johannesburg yang menyatakan bahwa setiap negara memikul tanggung
jawab dalam pembangunan berkelanjutan dan kemiskinan.
2. Rencana Aksi Johannesburg mengenai pembangunan berkelanjutan (Johannesburg
Plan of Implementation/JPOI).
3. Program kemitraan (partnership) antar pemangku kepentingan dalam melaksanakan
pembangunan berkelanjutan. 14
Hasil penting yang perlu dikemukakan bahwa dalam rencana aksi pelaksanaan
pembangunan berkelanjutan tersebut difokuskan pada penghapusan kemiskinan, mengubah
produksi dan pola konsumsi yang tidak menopang keberlanjutan dan penyelamatan dan
perlindungan ekosistem serta fungi lingkungan dari SDA agar mampu menopang proses
pembangunan berkelanjutan.
13 Wilsa. 2020. Hukum Lingkungan (Studi Pendekatan Sejarah Hukum Lingkungan). Yokyakarta:Deeppublish,
hal. 32
14 Ibid
14
KESIMPULAN
1. Terdapat total 26 poin utama yang dihasilkan dalam Stockholm Declaration mengenai
isu lingkungan dan pembangunan yakni: hak asasi manusia (Prinsip 1); pengelolaan
sumber daya manusia (Prinsip 2 sampai dengan Prinsip 7); hubungan antara
pembangunan dan lingkungan (Prinsip 8 sampai dengan Prinsip 12); kebijakan
perencanaan pembangunan dan demografi (Prinsip 13 sampai dengan Prinsip 17); ilmu
pengetahuan dan teknologi (Prinsip 18 sampai dengan Prinsip 20); tanggung jawab
negara (Prinsip 21 sampai dengan 22); kepatuhan terhadap standar lingkungan nasional
dan semangat kerjasama antar negara (Prinsip 23 sampai dengan Prinsip 25); dan
ancaman senjata nuklir terhadap lingkungan (Prinsip 26). Setelah berlangsungnya
Deklarasi Stockholm 1972, Indonesia mengambil beberapa langkah untuk
memperbaiki sistem pengelolaan lingkungan hidup, termasuk dengan menerbitkan
Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan
Lingkungan Hidup (“UU 4/1982”), yang kemudian digantikan oleh Undang-Undang
No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (“UU 23/1997”).
2. Konfrensi lingkungan yang kedua diadakan di Markas Besar UNEP tepatnya di kota
Nairobi, Kenya Pada tanggal 10-18 Mei 1982, Konferensi kedua ini pada dasarnya
bertujuan untuk mengevaluasi implementasi konferensi Stockholm dan kendala yang
dihadapi selama 10 tahun terakhir. Konferensi Nairobi secara umum memandang
bahwa asas atau prinsip yang telah diputuskan dalam konferensi Stockholm masih
relevan. Oleh karena itu, konferensi ini menegaskan kembali tekad semua negara
anggota PBB untuk menyelamatkan dan membangun lingkungan hidup yang lebih baik
bagi kelangsungan hidup umat manusia.
3. Konferensi Tingkat Tinggi Bumi yang diadakan pada tanggal 3-14 Juni 1992 di Rio de
Janeiro, Brazil dengan nama United Nations Conference on Environment and
Development disingkat UNCED. Konferensi yang juga kerap disebut sebagai
Konferensi Rio ini merupakan peringatan 20 tahun dari Konferensi Stockholm 1972.
Terdapat lima kesepakatan internasional yang dihasilkan dalam UNCED di Rio de
Janeiro yaitu Deklrasi Rio de Janeiro, Nonlegally Binding Authoritative Statement of
Principles for a Global Consensus on the Management, Conservation and Sustainable
Development of all Types of Forest (Forestry Principles), Agenda 21, The Framework
Convention on Climate Change, dan The Convention on Biological Diversity (Konvensi
Keanekaragaman Hayati)
15
4. Konferensi PBB tentang lingkungan hidup yang keempat dilaksanakan di Jihannesburg,
Afrika Selatan, dari tanggal 2-11 September 2002. Konferensi ini mengambil tema
pembangunan berkelanjutan, sehingga sering disebut KTT Pembangunan
Berkelanjutan (World Summit on Sustainable Development). Pada akhirnya KTT
Pembangunan berkelanjutan mengadopsi tiga dokumen utama, yaitu Deklarasi
Johannesburg yang menyatakan bahwa setiap negara memikul tanggung jawab dalam
pembangunan berkelanjutan dan kemiskinan, Rencana Aksi Johannesburg mengenai
pembangunan berkelanjutan (Johannesburg Plan of Implementation/JPOI) dan
Program kemitraan (partnership) antar pemangku kepentingan dalam melaksanakan
pembangunan berkelanjutan.
16
DAFTAR PUSTAKA
Perundang-Undangan:
Buku :
Aprita, Serlika dan Khalisah Hayatuddin. 2021. Hukum Lingkungan. Jakarta: Kencana
Wilsa. 2020. Hukum Lingkungan (Studi Pendekatan Sejarah Hukum Lingkungan). Yokyakarta:
Deeppublish
Jurnal:
Nancy K. Kubasek - Gary S. Silverman, Environmental Law (Englewood Cliffs, New Jersey:
Prentice Hall)
Internet:
Asmin, F. 2014. Rekam Jejak Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Tentang Pembangunn
Berkelanjutan. Diakses dari http://ferdinalasmin.blogspot.com/2014/11/rekam-jejak-
konferensi-tingkat-tinggi.html?m=1 pada 1 Mei 2022 Pukul 20.52
17
HUKUM LINGKUNGAN
KELOMPOK 7
1
Muhammad Sood, 2019, Hukum Lingkungan Indonesia , Sinar Grafika, Jakarta , hlm 7
2
Takdir Rahmadi, 2015, Hukum Lingkungan di Indonesia, Divisi Buku Perguruan Tinggi PT RajaGrafindo Persada,
Jakarta, hlm. 1.
3. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
Hal-hal yang melatarbelakangi pembuatan Undang-undang tersebut diantaranya adalah
pembangunan ekonomi nasional yang diselenggarakan berdasarkan prinsip pembangunan
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Pada kenyataannya bahwa pemanasan global
yang semakin meningkat mengakibatkan perubahan iklim sehingga memperparah
penurunan kualitas lingkungan hidup karena itu perlu dilakukan perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup, bahwa agar lebih menjamin kepastian hukum dan
memberikan perlindungan terhadap hak setiap orang untuk mendapatkan lingkungan hidup
yang baik dan sehat sebagai bagian dari perlindungan terhadap keseluruhan ekosistem.
Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup merupakan peraturan yang saat ini mengatur mengenai perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia. Sehingga berdasarkan atas hal tersebut
penting dibahas lebih lanjut mengenai perlindungan dan pengelolaan tersebut dan peran
serta masyarakat menjadi sesuatu yang mutlak dalam kerangka menciptakan lingkungan
hidup yang sehat.
1.2.RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan dari hal yang melatarbelakangi tersebut maka didapat beberapa rumusan
masalah yaitu sebagai berikut :
1. Bagaimana bentuk perlindungan dan pengelolaan lingkungan berdasarkan UU
No. 32 Tahun 2009 ?
2. Bagaimana bentuk peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup
menurut UU No 32 Tahun 2009 ?
1.3.TUJUAN PEMBAHASAN
Adapun tujuan dari pembahasan berdasarkan atas rumusan masalah yang mendasari
pembahasan antara lain sebagai berikut :
1. Mengetahui dan memahami bentuk perlindungan yang diatur dalam Undang-
Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup
2. Mengetahui dan memahami pengaturan mengenai Pengelolaan Lingkungan Hidup
yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup
3. Memahami peran serta masyarakat dalam hal mengelola Lingkungan Hidup yang
diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup
1.4.MANFAAT PENULISAN
1. Sebagai media pengetahuan tentang pengaturan dalam Undang-Undang No. 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang disebut
UU Lingkungan Hidup (UULH)
2. Sebagai sumber dan bahan masukan penulis lain untuk mengakaji perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
3. Sebagai media sosialisasi tentang pentingnya peran serta masyarakat untuk
menjaga ekosistem atau lingkungan hidup
BAB II PEMBAHASAN
Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) UU No 32 Tahun 2009 yang menjelaskan bahwa yang
dimaksud dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan
terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan,
pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum. dalam UU No 32 Tahun
2009 ini juga membahas terkait beberapa pokok bahasan penting, yang mana diantaranya
meliputi :
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa
lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi dan hak konstitusional bagi
setiap warga negara Indonesia. Oleh karena itu, negara, pemerintah, dan seluruh
pemangku kepentingan berkewajiban untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan agar lingkungan
hidup Indonesia dapat tetap menjadi sumber dan penunjang hidup bagi rakyat Indonesia
serta makhluk hidup lain.
2. Negara Kesatuan Republik Indonesia terletak pada posisi silang antara dua benua dan
dua samudera dengan iklim tropis dan cuaca serta musim yang menghasilkan kondisi
alam yang tinggi nilainya. Di samping itu Indonesia mempunyai garis pantai terpanjang
kedua di dunia dengan jumlah penduduk yang besar. Indonesia mempunyai kekayaan
keanekaragaman hayati dan sumber daya alam yang melimpah. Kekayaan itu perlu
dilindungi dan dikelola dalam suatu sistem perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup yang terpadu dan terintegrasi antara lingkungan laut, darat, dan udara
berdasarkan wawasan Nusantara. Indonesia juga berada pada posisi yang sangat rentan
terhadap dampak perubahan iklim. Dampak tersebut meliputi turunnya produksi
pangan, terganggunya ketersediaan air, tersebarnya hama dan penyakit tanaman serta
penyakit manusia, naiknya permukaan laut, tenggelamnya pulau-pulau kecil, dan
punahnya keanekaragaman hayati.
Ketersediaan sumber daya alam secara kuantitas ataupun kualitas tidak merata,
sedangkan kegiatan pembangunan membutuhkan sumber daya alam yang semakin
meningkat. Kegiatan pembangunan juga mengandung risiko terjadinya pencemaran
dan kerusakan lingkungan. Kondisi ini dapat mengakibatkan daya dukung, daya
tampung, dan produktivitas lingkungan hidup menurun yang pada akhirnya menjadi
beban sosial. Oleh karena itu, lingkungan hidup Indonesia harus dilindungi dan dikelola
dengan baik berdasarkan asas tanggung jawab negara, asas keberlanjutan, dan asas
keadilan. Selain itu, pengelolaan lingkungan hidup harus dapat memberikan
kemanfaatan ekonomi, sosial, dan budaya yang dilakukan berdasarkan prinsip kehati-
hatian, demokrasi lingkungan, desentralisasi, serta pengakuan dan penghargaan
terhadap kearifan lokal dan kearifan lingkungan. Perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup menuntut dikembangkannya suatu sistem yang terpadu berupa suatu
kebijakan nasional perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang harus
dilaksanakan secara taat asas dan konsekuen dari pusat sampai ke daerah.
3. Penggunaan sumber daya alam harus selaras, serasi, dan seimbang dengan fungsi
lingkungan hidup. Sebagai konsekuensinya, kebijakan, rencana, dan/atau program
pembangunan harus dijiwai oleh kewajiban melakukan pelestarian lingkungan hidup
dan mewujudkan tujuan pembangunan berkelanjutan. Undang-Undang ini mewajibkan
Pemerintah dan pemerintah daerah untuk membuat kajian lingkungan hidup strategis
(KLHS) untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi
dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana,
dan/atau program. Dengan perkataan lain, hasil KLHS harus dijadikan dasar bagi
kebijakan, rencana dan/atau program pembangunan dalam suatu wilayah. Apabila hasil
KLHS menyatakan bahwa daya dukung dan daya tampung sudah terlampaui,
kebijakan, rencana, dan/atau program pembangunan tersebut wajib diperbaiki sesuai
dengan rekomendasi KLHS dan segala usaha dan/atau kegiatan yang telah melampaui
daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup tidak diperbolehkan lagi.
4. Ilmu pengetahuan dan teknologi telah meningkatkan kualitas hidup dan mengubah gaya
hidup manusia. Pemakaian produk berbasis kimia telah meningkatkan produksi limbah
bahan berbahaya dan beracun. Hal itu menuntut dikembangkannya sistem pembuangan
yang aman dengan risiko yang kecil bagi lingkungan hidup, kesehatan, dan
kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain. Di samping menghasilkan
produk yang bermanfaat bagi masyarakat, industrialisasi juga menimbulkan dampak,
antara lain, dihasilkannya limbah bahan berbahaya dan beracun, yang apabila dibuang
ke dalam media lingkungan hidup dapat mengancam lingkungan hidup, kesehatan, dan
kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain.
Oleh karena itu, lembaga yang mempunyai beban kerja berdasarkan Undang-
Undang ini tidak cukup hanya suatu organisasi yang menetapkan dan melakukan
koordinasi pelaksanaan kebijakan, tetapi dibutuhkan suatu organisasi dengan portofolio
menetapkan, melaksanakan, dan mengawasi kebijakan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup. Selain itu, lembaga ini diharapkan juga mempunyai ruang lingkup
wewenang untuk mengawasi sumber daya alam untuk kepentingan konservasi. Untuk
menjamin terlaksananya tugas pokok dan fungsi lembaga tersebut dibutuhkan
dukungan pendanaan dari anggaran pendapatan dan belanja negara yang memadai
untuk Pemerintah dan anggaran pendapatan dan belanja daerah yang memadai untuk
pemerintah daerah.
Berdasarkan Pasal 1 Ayat (4) UU No 32 Tahun 2009, Rencana perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup yang selanjutnya disingkat RPPLH adalah perencanaan tertulis
yang memuat potensi, masalah lingkungan hidup, serta upaya perlindungan dan
pengelolaannya dalam kurun waktu tertentu.
Bentuk perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup tersebut berupa :
1. Perencanaan
Perencanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan
melalui tahapan inventarisasi lingkungan hidup, penetapan wilayah ekoregion, dan
penyusunan RPPLH. Inventarisasi lingkungan hidup dilaksanakan untuk memperoleh
data dan informasi mengenai sumber daya alam yang meliputi potensi dan ketersediaan;
jenis yang dimanfaatkan; bentuk penguasaan; pengetahuan pengelolaan; bentuk
kerusakan; dan konflik dan penyebab konflik yang timbul akibat pengelolaan.
2. Pemanfaatan
Pemanfaatan sumber daya alam dilaksanakan berdasarkan daya dukung dan
daya tampung lingkungan hidup dengan memperhatikan keberlanjutan proses dan
fungsi lingkungan hidup; keberlanjutan produktivitas lingkungan hidup; dan
keselamatan, mutu hidup, dan kesejahteraan masyarakat.
3. Pengendalian
Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dilaksanakan
dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup yang meliputi pencegahan,
penanggulangan, dan pemulihan. Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan sesuai dengan kewenangan, peran, dan tanggung jawab
masing-masing. Instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup terdiri atas:
- KLHS
- tata ruang
- baku mutu lingkungan hidup
- kriteria baku kerusakan lingkungan hidup
- amdal
- UKL-UPL
- perizinan
- instrumen ekonomi lingkungan hidup
- peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan hidup
- anggaran berbasis lingkungan hidup
- analisis risiko lingkungan hidup
- audit lingkungan hidup
- instrumen lain sesuai dengan kebutuhan dan/atau perkembangan ilmu
pengetahuan.
4. Pemeliharaan
Pemeliharaan lingkungan hidup dilakukan melalui upaya konservasi sumber
daya alam; pencadangan sumber daya alam; dan/atau pelestarian fungsi atmosfer.
Konservasi sumber daya alam meliputi kegiatan perlindungan sumber daya alam,
pengawetan sumber daya alam, dan pemanfaatan secara lestari sumber daya alam.
Pencadangan sumber daya alam merupakan sumber daya alam yang tidak dapat
dikelola dalam jangka waktu tertentu. Pelestarian fungsi atmosfer meliputi upaya
mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, upaya perlindungan lapisan ozon, dan upaya
perlindungan terhadap hujan asam.
5. Pengawasan
Pejabat pengawas lingkungan hidup berwenang melakukan pemantauan;
meminta keterangan; membuat salinan dari dokumen dan/atau membuat catatan yang
diperlukan; memasuki tempat tertentu; memotret; membuat rekaman audio visual;
mengambil sampel; memeriksa peralatan; memeriksa instalasi dan/atau alat
transportasi; dan/atau menghentikan pelanggaran tertentu. Dalam melaksanakan
tugasnya, pejabat pengawas lingkungan hidup dapat melakukan koordinasi dengan
pejabat penyidik pegawai negeri sipil. Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
dilarang menghalangi pelaksanaan tugas pejabat pengawas lingkungan hidup.
6. Penegakan hukum.
Penegakan hukum pidana lingkungan tetap memperhatikan asas ultimum
remedium yang mewajibkan penerapan penegakan hukum pidana sebagai upaya
terakhir setelah penerapan penegakan hukum administrasi dianggap tidak berhasil.
Penerapan asas ultimum remedium ini hanya berlaku bagi tindak pidana formil tertentu,
yaitu pemidanaan terhadap pelanggaran baku mutu air limbah, emisi, dan gangguan.
2.2. Bentuk peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup menurut
UU No 32 Tahun 2009
Relevansinya Peran serta Masyarakat dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Keluarnya Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (UUPPLH) dianggap belum bisa menyelesaikan persoalan-persoalan
lingkungan banyak mendapat apresiasi dan sebagai upaya yang serius dari pemerintah dalam
menangani masalah-masalah pengelolaan lingkungan. Masih banyak hal-hal yang perlu
dibenahi dalam UUPPLH tersebut, seperti dalam Pasal 26 ayat (2) bahwa” pelibatan
masyarakat harus dilakukan berdasarkan prinsip pemberian informasi yang transparan dan
lengkap serta diberitahukan sebelum kegiatan dilaksanakan”. Dalam pasal ini, tidak diikuti
penjelasan seperti apa dan bagaimana bentuk informasi secara lengkap tersebut dan upaya
hukum apa yang dapat dilakukan bila hal tersebut tidak dilakukan, begitu pula dalam ayat (4)
“masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan keberatan terhadap
dokumen amdal” juga tidak diikuti penjelasan sehingga dapat menimbulkan kerancuan dalam
hal yang seperti apa masyarakat menolak dokumen tersebut, sehingga justru mereduksi hak-
hak masyarakat dalam proses awal pembangunan. Sebanyak 13 (tigabelas) instrumen
pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang termuat dalam pasal 14
UU No. 32 Tahun 2009 menjadi dasar peran serta masyarakat.
Dalam UU No. 32 Tahun 2009 itu sejatinya ada instrumen baru yang tidak terdapat
dalam UUPLH sebelumnya, yaitu Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang wajib
dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah untuk memastikan terintegrasinya prinsip
pembangunan berkelanjutan dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana
dan/atau program (Pasal 15 ayat 1 UU no. 32 tahun 2009). Pasal 66 dari UUPPLH menyebut
tentang peran serta yang sangat penting itu. Dinyatakan bahwa: Setiap orang yang
memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara
pidana maupun digugat secara perdata”. Tentunya bila ditelaah dengan baik, tidak ada yang
salah dari pasal ini. Namun dalam penjelasan pasal ini berbunyi bahwa ketentuan ini
dimaksudkan untuk melindungi korban dan / atau pelapor yang menempuh cara hukum akibat
pencemaran dan/ atau perusakan lingkungan hidup dan perlindungan dimaksudkan untuk
mencegah tindakan pembalasan dari terlapor melalui pemidanaan dan/gugatan perdata dengan
tetap memperhatikan kemandirian peradilan.
BAB III PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) UU No 32 Tahun 2009 yang menjelaskan bahwa yang
dimaksud dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan
terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan,
pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum. Dalam UU No 32 Tahun
2009 ini juga membahas terkait beberapa pokok bahasan penting, yang mana diantaranya yaitu
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa lingkungan
hidup, Penggunaan sumber daya alam yang sesuai dengan fungsi lingkungan hidup, Upaya
preventif dalam rangka pengendalian dampak lingkungan hidup, Penegakan hukum pidana
dalam Undang-Undang, serta membahas tentang Perbedaan mendasar antara Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan Undang- Undang ini
adalah adanya penguatan yang terdapat dalam Undang-Undang ini tentang prinsip-prinsip
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang didasarkan pada tata kelola
pemerintahan yang baik.
bentuk perlindungan dan pengelolaan lingkungan berdasarkan UU No. 32 Tahun 2009
Dilihat dalam Pasal 1 Ayat (4) UU No 32 Tahun 2009, Rencana perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup yang selanjutnya disingkat RPPLH adalah perencanaan tertulis yang memuat
potensi, masalah lingkungan hidup, serta upaya perlindungan dan pengelolaannya dalam kurun
waktu tertentu. Bentuk perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup tersebut berupa:
Perencanaan, Pemanfaatan, Pengendalian, Pemeliharaan, Pengawasan, Penegakan hukum.
Peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup menurut Pasal 70 UU No
32 Tahun 2009 yaitu : Masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya
untuk berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Peran masyarakat dapat berupa:
a. pengawasan sosial;
b. pemberian saran, pendapat, usul, keberatan, pengaduan; dan/atau
c. penyampaian informasi dan/atau laporan.
Peran masyarakat dilakukan untuk:
a. meningkatkan kepedulian dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
b. meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat, dan kemitraan;
c. menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat;
d. menumbuhkembangkan ketanggapsegeraan masyarakat untuk melakukan pengawasan
sosial; dan
e. mengembangkan dan menjaga budaya dan kearifan lokal dalam rangka pelestarian
fungsi lingkungan hidup.
Dalam UU No. 32 Tahun 2009 itu sejatinya ada instrumen baru yang tidak terdapat dalam
UUPLH sebelumnya, yaitu Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang wajib dilakukan
oleh pemerintah dan pemerintah daerah untuk memastikan terintegrasinya prinsip
pembangunan berkelanjutan dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana
dan/atau program (Pasal 15 ayat 1 UU no. 32 tahun 2009).
DAFTAR PUSTAKA
Rahmadi Takdir, 2015, Hukum Lingkungan di Indonesia, Divisi Buku Perguruan Tinggi, Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
Philipus M Hadjon. 1987. Perlindungan hukum Bagi Rakyat di Indonesia (Sebuah Study
Tentang Prinsip- Prinsipnya , Penangananya oleh Pengadilan Dalam Lingkungan
Peradilan Umum dan Pembentukan Administrasi Negara. Surabaya : PT Bina Ilmu.
Lalu Sabardi, 2014. Peran Serta Masyarakat Dallam Pengelolaan Lingkungan menurut UU
NO. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Yustitia Vol. 3
No. 1 Januari - April 2014
PAPER HUKUM LINGKUNGAN
DOSEN PENGAMPU:
ANGGOTA KELOMPOK:
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2022
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Seiring dengan berkembangnya zaman, kebutuhan manusia juga semakin
beragam. Manusia dengan segala kecerdasan akalnya membuat terobosan baru untuk
memenuhi kebutuhan tersebut secara lebih efisien melalui pembangunan. Gencarnya
perkembangan pembangunan segala sektor di seluruh dunia diakui telah berkontribusi
terhadap banyak hal termasuk dengan kemajuan teknologi di era modern yang kini
dinikmati oleh hampir seluruh masyarakat di dunia. Namun disisi lain, pembangunan
ini mengakibatkan banyak pula hal yang dikorbankan, salah satunya adalah lingkungan
hidup. Lancarnya pembangunan seringkali tidak sejalan dengan pelestarian lingkungan
sehingga banyak ditemukan kerusakan-kerusakan yang saat ini sudah menjadi urgensi
permasalahan tingkat global yang perlu segera diatasi.
Permasalahan lingkungan sejatinya telah menjadi isu sejak berabad-abad yang
lalu. Diketahui runtuhnya peradaban Mesopotamia disebabkan oleh permasalahan
lingkungan yang diakibatkan dari pembangunan penampung air dari dua jurusan sungai
yang berbeda yakni Tigris dan Euphrat. Namun, masalah lingkungan benar-benar
terlihat saat masa revolusi industri di Inggris. Sejak munculnya awal peradaban
teknologi dunia melalui revolusi industri, terdapat banyak perubahan terhadap kualitas
hidup manusia termasuk juga membawa perubahan terhadap kualitas lingkungan.
Dampak pembangunan yang terasa hingga kini adalah over eksploitasi terhadap
sumber daya alam, polusi udara akibat limbah industri dan transportasi, lingkungan
yang kumuh, ketergantungan ekologis yang berpengaruh terhadap punahnya flora dan
fauna, serta ketergantungan ekosistem sosial terhadap lingkungan itu sendiri.
Permasalahan ini memiliki dampak yang besar terhadap lingkungan hidup dalam
jangka panjang. Jika tidak segera diatasi, maka akan berdampak pada kerusakan
lingkungan hidup sampai pada tahap lingkungan tersebut tidak lagi dapat mendukung
aktivitas yang dikerjakan oleh manusia, atau dalam kata lain, tidak lagi dapat ditinggali.
Sehingga sangat penting untuk membuat regulasi untuk membentuk keseimbangan
antara pembangunan dengan pelestarian lingkungan.
Perhatian terhadap permasalahan lingkungan ini kemudian mulai menjadi
sorotan dikalangan dewan ekonomi dan sosial PBB pada waktu diadakan peninjauan
terhadap “Dasawarsa Pembangunan Dunia ke I (1960-1970) guna merumuskan strategi
dasawarsa pembangunan dunia ke 2 (1970-1980). Pembicaraan tentang masalah
lingkungan hidup ini diajukan oleh wakil Swedia disertai saran untuk kemungkinan
diselenggarakan suatu konferensi internasional mengenai lingkungan hidup 1.
Kemudian konferensi ini diselenggarakan di Stockholm pada tanggal 5-16 Juni 1972
yang diikuti oleh 113 negara. Konferensi ini menghasilkan Deklarasi Stockholm yang
kemudian dijadikan acuan untuk menyusun hukum lingkungan hidup secara nasional.
Indonesia sendiri sejak zaman penjajahan Belanda telah ditemukan beberapa
peraturan yang mengatur tentang kebijakan lingkungan hidup. Sampai saat berlakunya
UU No. 32 Tahun 2009 saat ini, Indonesia telah melewati banyak fase terkait dengan
peraturan perundang-undangan tentang lingkungan hidup. Di dalam tulisan ini, akan
dibahas mengenai perkembangan hukum lingkungan di Indonesia secara lebih detail
dan sistematis.
1
Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional. Airlangga University
Press, Surabaya, 2000, hlm 28
perkembangan hukum lingkungan di Indonesia.
1.5. Metode Penulisan
Metode pendekatan yang digunakan dalam pembuatan paper ini adalah metode
yuridis normatif, yaitu meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma.
Sistem norma yang dimaksud adalah mengenai asas-asas, norma, kaidah dari peraturan
perundang-undangan. 2 Penelitian ini mengkaji/menganalisis data sekunder, terutama
bahan-bahan hukum primer berupa perundang-undangan yang terkait dengan tugas dan
wewenang Badan Lingkungan Hidup dalam penegakan hukum di bidang lingkungan.
Data yang diperoleh kemudian diolah dan dianalisis secara kualitatif.
2
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, Yogyakarta,
Pustaka Pelajar, hlm 34.
BAB II
PEMBAHASAN
Oleh karenanya untuk memperoleh tingkat relevansi yang tinggi antara apa
yang ada dalam dokumen perencanaan pembangunan nasional sebagai materi
perencanaan dalam segala bidang itu dengan amanat UUD Tahun 1945, maka proses
penyusunan perencanaan pembangunan nasional haruslah mengikuti kaidah atau norma
tertentu dalam penyusunannya, di mana kaidah ataupun norma tersebut dianggap
strategis untuk mewujudkan amanat UUD Tahun 1945 dalam rumusan kebijakan
pembangunan nasional. Belajar dari kekurangan sistem demokrasi politik di berbagai
negara di dunia yang menjadikan undang-undang dasar hanya sebagai konstitusi
politik, di samping juga berisi dasar-dasar pikiran mengenai demokrasi ekonomi dan
demokrasi sosial. 3
3
Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi dan Konstitusionalisme di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafik. 2010.
Indonesia menggunakan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 pada alinea ke-4
sebagai kaidah dasar yang melandasi berdirinya hal tersebut. Ketentuan ini menegaskan
bahwa negara memiliki kewajiban dan pemerintah bertugas untuk melindungi segenap
sumber-sumber insani dalam lingkungan hidup Indonesia guna kebahagiaan seluruh
rakyat Indonesia dan segenap umat manusia. Dalam hal ini perlindungan yang
dimaksud ialah perlindungan menyeluruh yang mencakup segenap komponen sumber
daya manusianya, sumber daya alam hayati dan nonhayati dengan segenap
ekosistemnya, maupun sumber daya buatan yang menyangkut hajat hidup orang banyak
dan cagar budaya. Secara lebih konkritnya, pemikiran dasar tersebut dirumuskan dalam
Pasal 33 ayat (3) yang menyatakan bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat.
Pada saat ini aturan yang menjadi sumber utama pengelolaan sumber daya alam
Indonesia yaitu Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 telah mengalami perubahan. Perubahan
pada Pasal 33 tesebut yakni terdapat penambahan ayat (4) dan (5) yang dimana dalam
naskah perubahan (amendemen) keempat telah disahkan oleh MPR-RI pada tanggal 10
Agustus 2002, yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut.
Dalam GBHN 1999-2004 tercantum ketentuan tentang sumber daya alam dan
lingkungan hidup. Selanjutnya ketentuan dalam GBHN 1999-2004 tersebut dijabarkan
lebih lanjut dalam Undang-undang No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan
Nasional (Propenas) Tahun 2000 – 2004. Dalam undang-undang tentang Propenas
tersebut terdapat Bab X tentang Pembangunan Sumber Daya Alam dan Lingkungan
Hidup. Dalam Bagian Umum dinyatakan di antaranya bahwa pembangunan sumber
daya alam dan lingkungan hidup dalam bab tersebut menjadi acuan bagi kegiatan
berbagai sektor pembangunan agar tercipta keseimbangan dan kelestarian fungsi
sumber daya alam dan lingkungan hidup sehingga keberlanjutan pembangunan tetap
terjamin.
Namun, pada saat ini telah terjadi perubahan sistem ketatanegaraan dan
pemerintahan, yang dimana tidak ditetapkannya lagi perencanaan pembangunan
nasional (GBHN) melalui Ketetapan MPR dengan berlakunya Undang-Undang No. 25
Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Disebutkan dalam
undang-undang ini khususnya menurut Pasal 32 bahwa Presiden menyelenggarakan
dan bertanggung jawab atas Perencanaan Pembangunan Nasional, sedangkan Kepala
Daerah menyelenggarakan dan bertanggung jawab atas Perencanaan Pembangunan
Daerah. Demikian pula dengan adanya perubahan sistem pemerintahan dari sentralistik
ke desentralisasi sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 22 Tahun 1999,
kemudian dicabut dan diganti dengan Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah pada tanggal 15 Oktober 2004.
Keempat ordonansi di bidang perlindungan alam dan satwa tersebut di atas telah
dicabut berlakunya dengan diundangkannya UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya 4 pada tanggal 10 Agustus 1990. Dalam
hubungan dengan pembentukan kota telah dikeluarkan Stadsordonnantie (Stbl. 1948
No. 168), disingkat SVO, yang mulai berlaku pada tanggal 23 Juli 1948. Berbagai
ordonansi tersebut telah dijabarkan lebih lanjut dalam verordeningen, misalnya:
4
UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
a) Dierenbeschermings verordening (Stbl. 1931 No. 266);
b) berbagai Bedrijfsreglementerings verordeningen logam, pabrik es,
pengolahan kembali karet, pengasapan karet, perusahaan tekstil;
c) Jachtverordening Java en Madura 1940 (Stbl. 1940 No. 247 jo. Stbl. 1941
No. 51);
d) Stadsvormingsverordening, disingkat SVV (Stbl. 1949 No. 40).
Begitu pula terdapat peraturan tentang air, yaitu Algemeen Waterreglement (Stbl. 1936
No. 489 jo. Stbl. 1949 No. 98).
5
Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional. Airlangga University
Press, Surabaya, 2000, hlm 7.
Awal munculnya langkah dalam rangka penanganan masalah lingkungan hidup
secara serius yang diilhami oleh Deklarasi tentang Lingkungan Hidup (Stockholm
Declaration), hasil sidang/ konferensi PBB di Stockholm tanggal 5 s/d 16 Juni 1972,
diikuti oleh 113 negara peserta dan puluhan peninjau. Perhatian mengenai
permasalahan lingkungan hidup di Indonesia diinisiasi oleh kalangan akademisi. Dalam
rangka menyambut Konferensi Stockholm 1972, diselenggarakan seminar oleh
Universitas Padjajaran Bandung yang dihadiri akademisi, pejabat tinggi negara, dan
tokoh masyarakat yang kemudian menjadi kali pertama diselenggarakannya seminar
yang membahas masalah lingkungan nasional.
Selanjutnya, dikeluarkan Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1972, tentang
Pembentukan Panitia Interdepartemental yang disebut : Panitia Perumus dan Rencana
Kerja bagi Pemerintah di Bidang Pengembangan Lingkungan Hidup. Panitia ini
berhasil merumuskan program pembangunan lingkungan hidup, kemudian dituangkan
dalam Ketetapan MPR No. IV Tahun 1973, tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara
( GBHN 1973 - 1978 ) dalam BAB III, bagian B ayat 10, yang kemudian dijabarkan
lebih lanjut melalui Keputusan Presiden RI Nomor 11 Tahun 1974 tentang REPELITA
II, bab 4 tentang pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup. Pada 1978
Kantor Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup mulai
berinisiatif untuk membuat rancangan undang-undang tentang pengelolaan lingkungan
hidup.
Dibentuklah Tim Kerja yang khusus mempersiapkan konsep peraturan
perundang lingkungan hidup. Atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat maka pada
tanggal 11 Maret 1982, lahirlah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 (UULH Th.
1982) tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Lingkungan Hidup. Dengan demikian
terbukalah lembaran baru bagi kebijaksanaan lingkungan hidup di Indonesia menuju
pembangunan hukum lingkungan berdasarkan prinsip-prinsip hukum lingkungan
modern yang diakui secara internasional. Situasi politik hukum yang tengah
berlangsung secara global sangat mempengaruhi terbentuknya UULH Nomor 4 Tahun
1982, karena saat itu Pemerintah Indonesia sedang giat-giatnya menawarkan investasi
penanaman modal bagi investor asing, sementara konsep lingkungan dalam konsep
lingkungan global sedang dibahas. Oleh karena itu Indonesia menawarkan konsep
pembangunan yang berwawasan lingkungan yaitu kesejajaran antara pembangunan dan
pengelolaan lingkungan. Pembangunan boleh dapat terus berlangsung dengan segala
dinamika dan masalahnya, akan tetapi pembangunan tersebut tidak boleh menyebabkan
rusaknya daya dukung lingkungan demi generasi masa depan. Kita tidak perlu
mempertentangkan antara lingkungan dan pembangunan.
Dalam TAP MPR : NO II/MPR/1993 tentang GBHN yang antara lain
menentukan pemanfaatan sumber daya alam bagi peningkatan kesejahteraan rakyat,
telah diupayakan secara menyeluruh dan terpadu dengan memperhatikan
keseimbangan dan keserasian fungsi lingkungan hidup serta senantiasa memperhatikan
prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan demi untuk kepentingan generasi
yang akan datang. Ini merupakan komitmen politik dari pihak penguasa tentang
bagaimana kita menyikapi permasalahan lingkungan. Hal ini menimbulkan implikasi
bahwa semua kegiatan pembangunan harus memberikan jaminan bahwa pembangunan
tersebut tidak akan merusak lingkungan dan dengan demikian pembangunan yang
dilaksanakan harus berwawasan lingkungan.
Sementara itu permasalahan hukum yang berkembang memerlukan pengaturan
dalam bentuk hukum demi menjamin kepastian hukum. Di sisi lain perkembangan
lingkungan global serta aspirasi internasional makin mempengaruhi usaha pengelolaan
lingkungan sehingga pemerintah memandang perlu untuk memperbaharui dan
menyempurnakan UULH Nomor 4 Tahun 1982. Dengan dasar pemikiran tersebut
Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat telah mengganti Undang-Undang
Lingkungan Hidup Nomor 4 Tahun 1982 dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan disempurnakan dengan Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup. Undang-undang ini bertujuan antara lain melindungi wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia dari pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup, menjamin
keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia, makhluk hidup dan kelestarian
ekosistem serta menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini generasi masa
depan dan mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam dengan mewujudkan
pembangunan berkelanjutan dan mengantisipasi isu lingkungan global.
2.3. Hukum Lingkungan Modern di Indonesia
I. Sejarah Penyusunan
Pada dasarnya Rancangan Undang-Undang (RUU) Lingkungan Hidup dimulai
pada tahun 1976 yang kemudian ditingkatkan dengan dibentuknya Kelompok Kerja
Pembinaan Hukum dan Aparatur dalam Pengelolaan Sumber Alam dan Lingkungan
Hidup oleh Menteri Negara PPLH (Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup)
tepatnya pada bulan Maret tahun 1979. Secara konkrit tertuang dalam Keputusan
Menteri Negara Pengawasan Pembangunan Dan Lingkungan Hidup No.KEP-
006//MNPPLH/3/1979 tentang pembentukan kelompok kerja dalam Bidang
Pembinaan Hukum dan Aparatur dalam Pengelolaan Sumber Alam dan Lingkungan
Hidup (Pokja Hukum). Pokja hukum tersebut memiliki tugas menyusun rancangan
peraturan perundang-undangan yang mengatur ketentuan-ketentuan pokok tentang Tata
pengelolaan sumber alam dan lingkungan hidup. Hasil karya Kelompok Kerja tersebut
merupakan konsep rintisan dari Rancangan Undang-undang Pengelolaan lingkungan
hidup. Kemudian diadakan rapat antar departemen bertempat di Puncak selama dua hari
pada tanggal 16 sampai dengan 18 Maret 1981, dimana rapat ini membahas mengenai
naskah yang telah disiapkan oleh Kelompok Kerja PPLH. Berdasarkan rapat yang telah
dilaksanakan antar departemen ini dimana hasil pembicaraannya berupa diadakannya
perubahan-perubahan dalam naskah Rancangan Undang-Undang tersebut. Selanjutnya
pada tanggal 21 Maret 1981 Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan
Lingkungan Hidup mengirimkan konsep Rancangan Undang-Undang hasil dari
pembahasan antar departemen dengan tujuan meminta persetujuan para Menteri yang
diwakili dalam rapat antar departemen. Berdasarkan saran para Menteri, bahwasanya
konsep Rancangan Undang-Undang hasil pembahasan antar departemen tersebut
diperbaiki dan disampaikan kepada Menteri atau Sekretaris Negara pada Tanggal 3 Juli
1981. Pada tanggal 14 November 1981, Kepala Biro Hukum dan Perundang-undangan
Sekretariat Kabinet mengirimkan naskah konsep RUU yang telah diperbaiki kepada
beberapa menteri untuk penyempurnaan lebih lanjut. Akhirnya RUU tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup berhasil diajukan dalam
sidang DPR bulan Januari 1982 sebelum masa reses menghadapi pemilihan umum,
yaitu dengan Surat Presiden No. R.01/PU/I/1982 tanggal 12 Januari 1982 untuk
mendapatkan persetujuan pada tahun 1982.6
Badan Musyawarah DPR membentuk Panitia Khusus (PANSUS) yang
bertujuan untuk menangani Rancangan Undang-Undang Lingkungan Hidup tersebut.
Panitia Khusus terdiri atas 24 anggota, antara lain sebagai berikut.
1) 12 anggota Fraksi Karya Pembangunan.
2) 6 anggota Fraksi Partai Persatuan Pembangunan.
3) 4 anggota Fraksi ABRI.
6
Siti Sundari Rangkuti. 2000. Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional. Surabaya:
Airlangga University Press. (182).
4) 2 anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia.
5) Telah ditunjuk pula 24 anggota pengganti dengan komposisi yang sama.
Pada Tanggal 23 Januari 1982, Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan
Lingkungan Hidup menyampaikan Keterangan Pemerintah mengenai Rancangan
Undang-Undang Lingkungan Hidup, yang kemudian disusul dengan Pandangan Umum
Fraksi-fraksi yang dilaksanakan pada tanggal 2 Februari 1982, yang dimana jawaban
Pemerintah atas Pandangan Umum tersebut diberikan pada tanggal 15 Februari 1982
oleh Menteri Negara PPLH. Selanjutnya pembahasan tingkat III diadakan pada tanggal
17 Februari 1982 oleh PANSUS. Rapat-rapat Panitia khusus (PANSUS) diadakan pada
tanggal 17 sampai dengan 20 Februari 1982 secara terus-menerus untuk membahas
secara intensif mengenai RUU PPLH. Dengan sistem kerja nonstop tersebut dalam
waktu relative singkat hasil maksimal dapat dicapai. Untuk pertama kali dalam
pembahasan RUU telah diikutsertakan ahli bahasa Indonesia. 7 Pada tanggal 22 Februari
1982 PANSUS dapat menyetujui hasil perumusan Tim Perumus yang dibentuk oleh
PANSUS sendiri. Pada tanggal 25 Februari 1982 RUULH yang dimana telah
dirumuskan Kembali oleh PANSUS DPR diajukan ke sidang pleno DPR, dan dengan
aklamasi Rancangan Undang-Undang Lingkungan Hidup hasil PANSUS disetujui
melalui Sidang Paripurna DPR dengan ditetapkannya Undang-undang tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan lingkungan hidup. Selanjutnya pada tanggal
27 Februari 1982 Menteri Negara PPLH melaporkan kepada presiden mengenai segala
sesuatu yang berkaitan dengan proses penyelesaian Undang-Undang Lingkungan
Hidup tersebut. Pada tanggal 11 Maret 1982 telah disahkan Undang-undang Nomor 4
Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup
(UULH) dan diundangkan pada hari yang sama dengan penempatannya dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1982 Nomor 12, TLN RI No. 3215.
Kemudian, pada tanggal 19 September 1997, UULH disempurnakan dengan
diundangkannya Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup yang disingkat UUPLH. Pertimbangan utama penggantian UULH oleh UUPLH
adalah pada butir d pada konsiderans UUPLH bahwa penyelenggaraan pengelolaan
lingkungan hidup dalam rangka pembangunan berkelanjutan yang berwawasan
lingkungan hidup harus didasarkan pada norma hukum dengan memperhatikan tingkat
kesadaran masyarakat dan perkembangan lingkungan global serta perangkat hukum
7
Ibid, hlm. 182.
internasional yang berkaitan dengan lingkungan hidup. UUPLH diundangkan dalam
LNRI Tahun 1997 No. 68 dan TLNRI No. 3699.8 Rangkaian proses akhir dari
Rancangan Undang-Undang Lingkungan Hidup bertepatan dengan peristiwa penting
dalam bidang hukum lingkungan dimana diadakannya ad hoc meeting of senior
government officials expert in environmental law di Montevideo tepatnya tanggal 28
Oktober 1981. Dalam pertemuan ini para ahli hukum lingkungan tersebut berpendapat
bahwa: “…environmental law is an essential instrument for proper environmental
management and the improvement of the quality of life.”9 Program pengembangan dan
peninjauan secara berkala hukum lingkungan hendaklah action oriented dan diarahkan
kepada penyerasian pertimbangan pembangunan dan lingkungan menerima integrated
and coordinated approach in all aspect of environmental legislation and its
application.10 Pertemuan Montevideo menghasilkan kesepakatan bersama yang sangat
mendorong iklim bagi proses penyelesaian keberhasilan pengundangan Undang-
Undang Lingkungan Hidup. Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup (UUPLH) kemudian diperbaharui dengan Undang-Undang No. 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH)
yang disahkan oleh Presiden Dr. Haji Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 3
Oktober 2009 di Jakarta. UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup diundangkan oleh Menkumham Andi Mattalatta di Jakarta pada
tanggal 3 Oktober 2009.
8
Ibid, hlm. 182.
9
Koesnadi Hardjasoemantri. 2002. Hukum Tata Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada University press. (62).
10
Ibid, hlm. 63.
bersamaan dengan pembuatan peraturan perundang-undangan secara sektoral
sesuai dengan kepentingan perlindungan dan pembangunan lingkungan hidup
di masing-masing bidang, perlu pula segera digarap suatu undang-undang yang
memuat ketentuan-ketentuan pokok tentang masalah lingkungan yang
menyangkut pengaturan:
1) pemukiman manusiawi dan lingkungan hidup;
2) pengelolaan sumber daya alam;
3) pencemaran lingkungan hidup;
4) yurisdiksi departemen-departemen di bidang lingkungan hidup.”
Selanjutnya, dalam hal merumuskan berbagai peraturan perundang-undangan
tersebut perlu diperhatikan asas serta prinsip-prinsip yang tertuang dalam
konvensi-konvensi internasional di bidang lingkungan hidup, dimana undang-
undang yang memuat asas serta prinsip-prinsip pokok tentang perlindungan dan
pengembangan lingkungan hidup yang disertai dengan sanksi-sanksinya akan
menjadi dasar bagi seluruh peraturan perundang-undangan lainnya yang
diciptakan secara sektoral. Perumusan undang-undang tersebut menjadi sebuah
urgensi untuk menghindari dan mengurangi kesimpangsiuran wewenang dan
tanggung jawab dalam pengelolaan sumber alam dan lingkungan hidup.
Keseluruhan dari peraturan perundang-undangan tersebut selanjutnya akan
membina suatu sistem hukum lingkungan nasional.
b) Peraturan perundang-undangan yang ada kurang memadai dimana tidak
memuat segi lingkungan hidup secara lebih mendalam. Sekarang masalah
lingkungan tidak lagi dapat dikatakan sebagai masalah yang semata-mata
bersifat alami, karena manusia memberikan faktor penyebab yang sangat
signifikan secara variabel bagi peristiwa-peristiwa lingkungan. Tidak bisa
disangkal bahwa masalah-masalah lingkungan yang lahir dan berkembang
karena faktor manusia jauh lebih besar dan rumit (complicated) dibandingkan
dengan faktor alam itu sendiri. 11 Selanjutnya, kesadaran lingkungan di kalangan
produsen selaku “perusak lingkungan potensial” dan di kalangan konsumen
masyarakat umum selaku “penderita kerusakan lingkungan potensial” telah
berkembang dan meningkat. Sehingga diperlukan pengembangan peraturan
11
Nina Herlina, S.H., M.H. (2015). Permasalahan Lingkungan Hidup dan Penegakan Hukum Lingkungan di
Indonesia. Jurnal Ilmiah Galuh Justisi, (3), hlm. 2-3.
perundang-undangan yang sesuai dengan kebutuhan dimana sejalan dengan
peningkatan kesadaran lingkungan dalam masyarakat.
c) Tahap industrialisasi telah memasuki Indonesia sejalan dengan pengembangan
pertanian dimana merupakan pelaksanaan pembangunan secara bertahap yang
memiliki tujuan, antara lain sebagai berikut.
1) Meningkatkan taraf hidup serta kesejahteraan seluruh masyarakat.
2) Meletakkan landasan yang kuat untuk pembangunan tahap lebih lanjut
atau berikutnya.
Sehingga dalam rangka peletakan landasan pembangunan yang kuat tersebut
disimpulkan urgensi mengusahakan pembangunan tanpa merusak lingkungan
serta mengelola sumber daya alam secara bijaksana dengan tujuan untuk dapat
menopang tahapan pembangunan jangka panjang.
d) Seperti yang tercantum dalam GBHN dimana bahwasanya arah pembangunan
jangka panjang tertuju kepada pembangunan “manusia” Indonesia, antara lain
sebagai berikut.
1) Mengejar kemajuan lahiriah, seperti pangan, sandang, perumahan,
kesehatan;
2) mengejar kepuasan batiniah, seperti pendidikan, rasa aman, bebas
mengeluarkan pendapat yang bertanggung jawab, rasa keadilan;
3) keselarasan, keserasian dan keseimbangan antara kemauan lahir dan
kepuasan batiniah tersebut di atas;
4) pembangunan yang merata di seluruh tanah-air dan benar-benar
dirasakan seluruh rakyat sebagai perbaikan tingkat hidup berkeadilan
sosial;
5) terciptanya keselarasan hubungan antara manusia dengan Tuhannya;
6) terciptanya keselarasan hubungan antara individu dengan masyarakat;
7) terciptanya keselarasan hubungan antara manusia dengan lingkungan
alam sekitarnya;
8) keserasian hubungan antara bangsa-bangsa;
9) keselarasan antara cita-cita hidup di dunia dan mengejar kebahagiaan di
akhirat;
10) kehidupan manusia dan masyarakat yang serba selaras sebagai tujuan
akhir pembangunan nasional yang secara ringkas disebut masyarakat
maju, adil, dan makmur berdasarkan Pancasila.
Sehingga disimpulkan pula tujuan pembangunan jangka panjang merupakan
keselarasan keserasan manusia dengan lingkungan hidup. Hal ini menunjukkan
sifat pembangunan mempunyai wawasan lingkungan hidup yang perlu diatur
dalam peraturan perundang-undangan. Kelangsungan keberadaan sumber daya
alam tergantung pada sejauh mana manusia mengakui dan melindungi nilai-
nilai ekologi, kendali iklim dan nilai sosial serta ekonominya.12 Dalam hal ini
pemerintah perlu melakukan kerja sama dengan dunia usaha, lembaga swadaya
masyarakat, ilmuwan, ahli teknologi, kelompok-kelompok masyarakat
setempat, penduduk asli, pemerintah setempat dan publik guna menciptakan
kebijaksanaan jangka panjang.13
Pada dasarnya diperlukan pengembangan hukum lingkungan yang bertumpu pada
strategi Sustainable Development, antara lain sebagai berikut.
a) Pemanfaatan sumber daya alam secara rasional.
b) Pembangunan tanpa merusak (Eco-Development).
c) Keterpaduan pengelolaan (Integrated Policy).
d) Keadilan antar dan inter generasi.
Hal-hal yang melatarbelakangi pembentukan hukum lingkungan di Indonesia, antara
lain sebagai berikut.
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
2) Deklarasi Stockholm (1972)
3) GBHN 1973
4) Deklarasi Rio De Janeiro 1992
5) GBHN 1993
6) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pengelolaan Lingkungan Hidup (UULH)
7) Undang-Undang Lingkungan Hidup. Undang-Undang No. 23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) kemudian diperbaharui
dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH)
12
Dr. Muhammad Sood, S.H., M.H. 2019. Hukum Lingkungan Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. (13).
13
Michael Keating. 2006. Bumi Lestari Menuju Abad 21 Agenda dan Hasil KTT Bumi. Jakarta: Konphlmindo.
(26-27).
Hukum Lingkungan Nasional (HLN) dibentuk berdasarkan falsafah Pancasila yang
tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 dan mencerminkan seluruh ketentuan dalam
UUD 1945 secara utuh. Selain itu, asas-asas maupun berbagai prinsip yang tertuang
dalam Deklarasi Stockholm maupun Deklarasi Rio De Janeiro perlu diadopsi dalam
perundang-undangan lingkungan nasional, antara lain sebagai berikut.
a. Prinsip tanggung jawab negara (state responsibility principle).
b. Jaminan adanya hak dasar atas lingkungan hidup yang baik dan sehat bagi setiap
orang (right to environment).
c. Prinsip keterpaduan pengelolaan lingkungan hidup (integrated policy).
d. Jaminan adanya hak berperan serta dalam pengelolaan lingkungan bagi setiap
orang baik sebagai individu maupun masyarakat (popular participation).
e. Jaminan terselenggaranya aksesibilitas pada informasi (right to information).
f. Prinsip kehati-hatian bagi setiap penyelenggaraan kegiatan dan/atau usaha yang
dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan (precautionary principle).
g. Prinsip pertanggungan beban biaya untuk mencegah pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan (pollution prevention pays principle).
h. Prinsip pencemar membayar (polluter pays principle).
i. Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability principle).
j. Penyelenggaraan pembangunan dan pemanfaatan sumber daya alam yang
berbasis keadilan inter dan antargenerasi.
k. Kewajiban bekerja sama (kemitraan).
l. Aksesibilitas pada teknologi lingkungan.
m. Hak bersama atas sumber daya alam lintas batas.
n. Jaminan hak untuk mengelola kepada masyarakat asli ataupun masyarakat
hukum adat atas sumber daya alam.
14
Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional. Airlangga University
Press, Surabaya, 2000, hlm. 10.
d. Setiap orang mempunyai hak dan kewajiban untuk berperan serta dalam rangka
pengelolaan lingkungan hidup. Dalam kaitan ini lembaga swadaya masyarakat
tumbuh berperan sebagai penunjang pengelolaan lingkungan hidup dan
berkembang mendayagunakan dirinya sebagai sarana untuk mengikutsertakan
sebanyak mungkin anggota masyarakat dalam mencapai tujuan pengelolaan
lingkungan hidup.
e. Sebagai anggota masyarakat dunia maka langkah usaha di bidang lingkungan
hidup harus mempunyai makna bagi kehidupan antarbangsa. Oleh karena itu,
dalam kehidupan antarbangsa dikembangkan pula kebijaksanaan melindungi
dan mengembangkan lingkungan hidup sesuai dengan perkembangan kesadaran
lingkungan hidup umat manusia.
f. Pengelolaan lingkungan hidup menuntut dikembangkannya suatu sistem
dengan keterpaduan sebagai ciri utamanya. Lingkungan hidup terdiri dari
tatanan kesatuan dengan berbagai unsur lingkungan yang saling mempengaruhi.
15
Koesnadi hardjasoemantri, Peraturan Perundang-Undangan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Andal,
kantor menteri Negara KLH, 1985
16
Ibid. Hal 9
17
Op Cit, Koesnadi Hardjasoemantri, hal. 261
c. Pasal 16 seyogyanya berbunyi: “ setiap rencan kegiatan yang diperkirakan
mempunyai dampak penting…” hal ini sesuai dengan penjelasan pasal tersebut,
bahwa yang menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup pada dasarnya
adalah semua usaha dan kegiatan pembangunan.
d. Pasal 20 ayat (1) dan ayat (3) redaksinya tidak konsisten: Ayat (1): barang
siapa … memikul tanggung jawab dengan kewajiban membayar ganti kerugian
kepada penderita …” Ayat (2): barang siapa … memikul tanggung jawab
membayar biaya pemulihan lingkungan hidup kepada Negara.” Istilah tanggung
jawab dalam pasal ini maksudnya adalah tanggung jawab dalam bidang perdata,
sedangkan perkataan dengan kewajiban dalam ayat (1) berlebihan sedangkan
dalam ayat (2) tidak dimuat.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Berdasarkan materi-materi yang telah dipaparkan diatas, maka dapat disimpulkan
bahwa perkembangan hukum lingkungan tidak dapat dipisahkan dari gerakan sedunia untuk
memberikan perhatian lebih besar kepada lingkungan hidup, mengingat lingkungan hidup
menjadi masalah yang perlu ditanggulangi bersama demi kelangsungan hidup sedunia.
Pembangunan dan perlindungan lingkungan hidup di Indonesia menggunakan Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 pada alinea ke-4 sebagai kaidah dasar yang melandasi berdirinya
hal tersebut. Secara lebih konkritnya, pemikiran dasar tersebut dirumuskan dalam Pasal 33 ayat
(3) yang menyatakan bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pada saat
ini aturan yang menjadi sumber utama pengelolaan sumber daya alam Indonesia yaitu Pasal 33
ayat (3) UUD 1945 telah mengalami perubahan. Perubahan pada Pasal 33 tesebut yakni
terdapat penambahan ayat (4) dan (5) yang dimana dalam naskah perubahan (amendemen)
keempat telah disahkan oleh MPR-RI pada tanggal 10 Agustus 2002.
Dengan masuknya prinsip-prinsip keberlanjutan dan berwawasan lingkungan,
setidaknya dapat diartikan sebagai pengakuan akan pentingnya menjaga dan memelihara fungsi
lingkungan, termasuk Kebijakan Nasional (GBHN) MPR-RI untuk pengelolaan pengelolaan
daya dukung dan daya tamping. Namun, pada saat ini telah terjadi perubahan sistem
ketatanegaraan dan pemerintahan, yang dimana tidak ditetapkannya lagi perencanaan
pembangunan nasional (GBHN) melalui Ketetapan MPR dengan berlakunya Undang-Undang
No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.
Terkait dengan Sejarah Perundang-undangan Lingkungan di Indonesia, adapun
beberapa tahapan yang dilalui oleh perundang-undangan lingkungan di indonesia yakni mulai
dari Zaman Pemerintahan Hindia Belanda, Zaman Pendudukan Jepang, dan Zaman
kemerdekaan. Selanjutnya terkait dengan sejarah penyusunan hukum lingkungan modern di
indonesia Pada dasarnya Rancangan Undang-Undang (RUU) Lingkungan Hidup dimulai pada
tahun 1976 yang kemudian ditingkatkan dengan dibentuknya Kelompok Kerja Pembinaan
Hukum dan Aparatur dalam Pengelolaan Sumber Alam dan Lingkungan Hidup oleh Menteri
Negara PPLH (Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup) tepatnya pada bulan Maret
tahun 1979. Adapun alasan yang mendasari disusunnya Rancangan Undang-Undang tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup, karena Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) III Bab
7 tentang Sumber Alam dan Lingkungan Hidup, peraturan perundang-undangan yang ada
kurang memadai dimana tidak memuat segi lingkungan hidup secara lebih mendalam. Selain
itu karena tahap industrialisasi telah memasuki Indonesia sejalan dengan pengembangan
pertanian dan seperti yang tercantum dalam GBHN dimana bahwasanya arah pembangunan
jangka panjang tertuju kepada pembangunan “manusia” Indonesia.
Pada dasarnya UULH maupun UUPLH memuat asas dan prinsip pokok bagi
pengelolaan lingkungan hidup sehingga berfungsi sebagai payung (umbrella act) bagi
penyusunan peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan lingkungan hidup
dan bagi penyesuaian peraturan perundang-undangan yang telah ada. Undang-Undang
Lingkungan Hidup memuat prinsip-prinsip hukum lingkungan nasional maupun internasional
yang mempunyai implikasi terhadap pembangunan nasional, yaitu, wawasan nusantara; hak
atas lingkungan yang baik dan sehat; prinsip pencemar membayar; prinsip insentif dan
disinsentif yang diwujudkan dalam bentuk pungutan pencemaran; sistem perizinan dan sanksi
administrasi; peran serta masyarakat dan keterpaduan; ganti kerugian, dan sanksi pidana.
Prinsip-prinsip hukum lingkungan tersebutlah yang dituangkan sebagai kebijaksanaan
lingkungan dalam UULH.
3.2. Saran
Mengingat kesadaran masyarakat akan arti pentingnya pengelolaan lingkungan hidup
maka pemerintah harus lebih tegas akan sanksi apa yang diberikan kepada masyarakat yang
melakukan pelanggaran terhadap Undang-Undang yang mengatur terkait lingkungan hidup
sehingga dapat mencegah terjadinya perusakan dan pencemaran lingkungan hidup. Kepada
masyarakat diharapkan dapat tetap menjaga kebersihan lingkungan sekitar agar dapat
mencegah terjadinya pencemaran dan perusakan lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya
BUKU
Asshiddiqie, Jimly. 2010. Konstitusi dan Konstitusionalisme di Indonesia. Jakarta:
Sinar Grafik.
Dr. Muhammad Sood, S.H., M.H. (2019). Hukum Lingkungan Indonesia. Jakarta: Sinar
Grafika.
Hardjasoemantri, Koesnadi. (2002). Hukum Tata Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah
Mada University press.
Keating, Michael. (2006). Bumi Lestari Menuju Abad 21 Agenda dan Hasil KTT Bumi.
Jakarta:Konphlmindo.
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif &
Empiris, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rangkuti, Siti Sundari. (2000). Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan
Nasional. Surabaya: Airlangga University Press.
JURNAL
Nina Herlina, S.H., M.H. (2015). Permasalahan Lingkungan Hidup dan Penegakan
Hukum Lingkungan di Indonesia. Jurnal Ilmiah Galuh Justisi, 2-3.
Rispalman. (2018). Sejarah Perkembangan Hukum Lingkungan di Indonesia. Jurnal
Dusturiah. VOL.8. NO.2, 189-190.
Sutrisno. (2011). Politik Hukum Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Jurnal Hukum 3, 444-464.
TUGAS HUKUM LINGKUNGAN
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN LINGKUNGAN DI
INDONESIA SEBELUM BERLAKUNYA UU NO.32 TAHUN
2009
KELOMPOK 5
Ni Putu Intan Noviyanthi Muliartha (2004551057)
Sarmila Handri (2004551069)
Kadek Ayu Maharani (2004551070)
Kadek Sandra Putri Saniamarani (2004551088)
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
Daftar Isi
I. Pendahuluan ................................................................................................................. 1
1.3.Tujuan Penulisan............................................................................................................ 4
I. Pendahuluan
1.1.Latar Belakang Masalah
Laju pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat bersamaan dengan
perkembangan pembangunan yang semakin pesat di berbagai sektor kehidupan
menjadikan lingkungan hidup semakin teracam kelestariannya dan semakin
menurunkan kualitasnya. Ruang di muka bumi ini dapat dikatakan terbatas dan
jumlahnya yang relatif tetap, sehingga lingkungan hidup perlu untuk dilindungi,
dijaga dan dikelola sedemikian rupa untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat,
memberikan manfaat bagi generasi sekarang tanpa mengorbankan kebutuhan
generasi yang akan datang. Lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak
asasi manusia sebagaimana yang termuat pada Pasal 28 H ayat (1) Undang -
Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam perkembangannya hak
atas lingkungan hidup yang baik dan sehat ini kemudian dipertegas dalam Undang-
Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia sebagai bentuk
reformasi dalam rangka memperbaiki kondisi lingkungan hidup bangsa dan negara
yang terpuruk. Hak atas lingkungan hidup merupakan hak dasar yang melekat pada
diri manusia, bersifat kodrati dan universal.1 Lingkungan hidup menyediakan
segala bentuk kebutuhan hidup manusia demi kelangsungan hidupnya. Kehidupan
manusia sangat bergantung pada ketersediaan sumber daya alam yang memadai
dalam lingkungan hidup.
Upaya perlindungan lingkungan hidup akan berimbas pula pada penegakan
hukum terhadap Hak Asasi Manusia khususnya yang berhubungan dengan hak
yang bersifat absolut yaitu hak untuk hidup. Hak untuk hidup meliputi hak untuk
mendapat hidup dan penghidupan yang layak melalui lingkungan yang baik dan
1
Tri, Ignas, Roni Giandono, Jadikan Bumi dan Hijau, (Jakarta Pusat, Sub Komisi EKOSOB Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia).
1
sehat. Kriteria hak lingkungan yang baik dan sehat tersebut adalah hak atas
lingkungan sehat, hak kehidupan yang sehat, hak perlindungan property serta hak
perlindungan bagi masyarakat pedalaman.2 Dari waktu ke waktu perusakan
lingkungan terus terjadi seperti polusi, pembuangan limbah sembarangan,
penggundulan hutan, perampasan sumber daya alam hingga pencemaran baik air,
udara maupun tanah yang berpotensi berujung pada pembunuhan ekosistem dan
mengancam manusia kehilangan hak - hak hidupnya. Dalam lingkungan hidup
terdapat materi kehidupan tentang hak-hak dasar manusia (basic rights), prinsip
keadilan lingkungan (environmental justice), dan akses yang setara terhadap
sumber - sumber kedidupan.3 Dengan demikian, suatu negara harus dapat
menbentuk produk hukum yang mengandung pengaturan perlindungan terhadap
lingkungan hidup agar sekaligus dapat menjamin penegakan hak asasi manusia.
Sesungguhnya pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia sudah berlaku
dan dimuat dalam kaidah yuridis normatif sejak zaman pemerintahan Hindia
Belanda, zaman pendudukan Jepang dan kemerdekaan. Tak sampai disana saja,
perhatian terhadap masalah lingkungan hidup yang semakin kompleks di seluruh
belahan dunia mendorong kalangan dewan ekonomi dan sosial PBB untuk
membahas mengenai kemungkinan diselenggarakannya suatu konfrensi
Internasional mengenai lingkungan hidup yang diselenggarakannya di Stockholm
pada tanggal 5 hingga 16 Juni 1972 yang diikuti oleh 113 negara dengan
menghasilkan Deklarasi Stockholm. Deklarasi Stockholm 1972 melahirkan prinsip-
prinsip hukum terkait dengan kedudukan manusia terhadap lingkungan dan
merupakan peristiwa penting yang bersejarah bagi perkembangan hukum
lingkungan4. Setelah Deklarasi Stockholm kemudian muncul beberapa deklarasi -
deklarasi yang ikut serta menyuarakan pentingnya lingkungan hidup terhadap
ekologi diantaranya Deklarasi Nairobi Tahun 1982, Deklarasi Rio De Jeneiro
Tahun 1992 dan Deklarasi Johannesburg Tahun 2002.
2
Sodikin, Hak Atas Lingkungan Hidup yang Baik dan Sehat pada Masyarakat Sidoarjo, dalam
https://publikasiilmiah.ums.ac.id/handle/11617/9470, diakses pada tanggal 1 Mei 2022.
3
Tri, Ignas, Roni Giandono, Jadikan Bumi dan Hijau, (Jakarta Pusat, Sub Komisi EKOSOB Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia).
4
Fadli, Moh, Mukhlish, dan Lutfi, Mustafa, Hukum dan Kebijakan Lingkungan, (Malang, UB Press,
2016), 9.
2
Melihat gencarnya dunia internasional mengumandangkan perhatiannya
terhadap urgensi lingkungan hidup, maka sejalan dengan itu dalam rangka
menyambut diselenggarakannya masing - masing konfrensi Internasional mengenai
lingkungan hidup tersebut maka Indonesia pun mulai membahas masalah
lingkungan hidup tingkat nasional pada Seminar yang dilaksanakan di Bandung
oleh Universitas Padjajaran. Berpijak dari terlaksananya seminar tersebut maka
pemerintah mulai bergerak untuk memasukan prinsip - prinsip hukum mengenai
lingkungan hidup ke dalam hukum nasional yang dilanjutkan dengan pengangkatan
seorang menteri untuk menangani masalah lingkungan hidup.
Berbagai dinamika telah dilalui, hingga akhirnya pada tanggal 11 Maret
1982, Indonesia berhasil menerbitkan sebuah produk hukum terkait pengelolaan
lingkungan yaitu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kemudian dengan banyaknya
perkembangan tentang konsep dan pemikiran atas masalah lingkungan dengan terus
menyesuaikan hasil dari konfrensi internasional mengenai lingkungan hidup maka
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 dirasa sudah tidak mampu lagi menjangkau
perkembangan yang ada hingga akhirnya resmi dicabut dan perlu dilakukan
peninjauan kembali. Dalam rangka memperbaharui produk hukum sebelumnya
agar sesuai dengan perkembangan masalah lingkungan hidup yang semakin
komples maka diterbitkannya Undang - Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dinamika memang akan selalu ada selama
manusia masih terus berkembang, dengan demikian Undang Nomor 23 Tahun 1997
dalam implementasinya dinyatakan tidak mampu menampung berbagai
perkembangan lingkungan hidup dan berujung pencabutan. Revisi demi revisi terus
dilakukan demi menghasilkan produk hukum yang benar - benar dapat melindungi
kepentingan masyarakat, maka diterbitkanlah Undang - Undang Nomor 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang berlalu hingga
sekarang.
Berdasarkan pada prinsip-prinsip hukum tersebut, dapat dibenarkan bahwa
kehadiran dan keberadaan hukum lingkungan itu menunjukkan kedudukan antara
alam dan lingkungan yang begitu substansi dalam kaitannya dengan manusia,
3
sehingga harus dihargai dan di lindungi agar tetap eksistensinya dapat
berdampingan dengan baik dalam kehidupan manusia. Undang-undang dan segala
bentuk produk hukum tentu akan menjadi alat pengendali (a tool of control)
hubungan antara manusia dengan lingkungan hidup.5
1.2.Rumusan Masalah
1.2.1. Bagaimana Pengaturan Peraturan Perundang-Undangan Lingkungan di
Indonesia Sebelum Berlakunya UU NO. 32 Tahun 2009 Sebelum Masa
Kemerdekaan Indonesia?
1.2.2. Bagaimana Pengaturan Peraturan Perundang-Undangan Lingkungan di
Indonesia Sebelum Berlakunya UU NO. 32 Tahun 2009 Setelah Masa
Kemerdekaan Indonesia?
1.3.Tujuan Makalah
1.3.1. Mengetahui Pengaturan Peraturan Perundang-Undangan Lingkungan di
Indonesia Sebelum Berlakunya UU NO. 32 Tahun 2009 Sebelum Masa
Kemerdekaan Indonesia.
1.3.2. Mengetahui Pengaturan Peraturan Perundang-Undangan Lingkungan di
Indonesia Sebelum Berlakunya UU NO. 32 Tahun 2009 Setelah Masa
Kemerdekaan Indonesia.
II. Pembahasan
2.1. Peraturan Perundang-Undangan Sebelum UU No. 32 Tahun 2009 Pra
Kemerdekaan Indonesia
Pada dasarnya di Indonesia sudah dikenal organisasi yang berhubungan dengan
lingkungan hidup, dimana sudah ada lebih dari sepuluh abad yang lalu. Ini bisa
dilihat pada prasasti Jurunan tahun 876 Masehi diketahui adanya jabatan
“Tuhalas” yakni pejabat yang mengawasi hutan atau alas, yang kira-kira identik
dengan jabatan petugas Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (PHPA).
5
Fadli, Moh, Mukhlish, dan Lutfi, Mustafa, Hukum dan Kebijakan Lingkungan, (Malang, UB
Press, 2016), 9.
4
Kemudian prasasti Haliwagbang pada tahun 877 Masehi menyebutkan adanya
jabatan “Tuhaburu” yakni pejabat yang mengawasi masalah perburuan hewan
di Hutan.6
Tercatat dalam sejarah bahwa pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia
sudah dilakukan dan diatur dalam kaidah yuridis normatif. Dan itu dimulai sejak
masa Hindia Belanda, masa Jepang dan masa Kemerdekaan. Masing-masing
memiliki cirikhas yang berbeda-beda selaras degan sudut pandang dan sangat
terkait dengan “kebijakan pembangunan lingkungan hidup” yang dicanangkan saat
itu. Meskipun begitu, secara global bisa disimpulkan bahwa terdapat berbagai hal
yang mempengaruhi tingkat kepedulian pada pengelolaan lingkungan hidup yang
diwujudkan pada perangkat hukum. Yaitu faktor-faktor semisal kondisi politik,
situasi sosial budaya dan ekonomi, serta kualitas sumber daya manusia hingga isu
globalisasi.
Perkembangan perundang-undangan lingkungan dimasa sebelum
kemerdekaan untuk lebih jelasnya dibagi menjadi 2 periode yaitu zaman
pemerintahan belanda dan zaman pendudukan jepang sebagai berikut:
1. Zaman Pemerintahan Hindia Belanda
Apabila diperhatikan peraturan perundang-undangan pada waktu zaman
Hindia Belanda sebagaimana tercantum dalam Himpunan Peraturan Perundang-
undangan di bidang Lingkungan Hidup yang disusun oleh Panitia Perumus dan
Rencana Kerja bagi Pemerintah di bidang Pengembangan Lingkungan Hidup dan
diterbitkan pada tanggal 5 Juni 1978 maka dapatlah dikemukakan bahwa yang
pertama kali diatur adalah mengenai perikanan mutiara dan perikanan bunga
karang, yaitu Parelvisscherij, Sponsenvisscherij ordonnantie (Stbl. 1926 No. 157),
dikeluarkan di Bogor oleh Gubernur Jenderal Idenburg pada tanggal 29 Januari
1916.
5
Ordonansi tersebut memuat peraturan umum dalam rangka melakukan perikanan
siput mutiara, kulit mutiara, teripang, dan bunga karang dalam jarak tidak lebih dari
3 mil-laut Inggris dari pantai-pantai Hindia Belanda (Indonesia).7
Pada tanggal 26 Mei 1920, dengan penetapan Gubernur Jenderal No. 86,
telah diterbitkan Visscherijordonnantie (Stbl. 1920 No. 396), yaitu peraturan
perikanan untuk melindungi keadaan ikan.
Adapun yang dimaksud dengan ikan meliputi pula telur ikan, benih ikan,
dan segala macam kerang-kerangan. Dalam Pasal 2 ditentukan bahwa menangkap
ikan dengan bahan-bahan beracun, bius atau bahan-bahan peledak dilarang.
Ordonansi lain di bidang perikanan adalah Kustvischerijordonnantie (Stbl.
1927 No. 144), berlaku sejak tanggal 1 September 1927. Ordonansi Perikanan telah
dicabut dengan Undang-undang No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan yang
diundangkan pada tanggal 19 Juni 1985.
Ordonansi yang sangat penting bagi lingkungan hidup adalah Hinder
ordonnantie (Stbl. 1926 No. 226), yang diubah/ditambah, terakhir dengan Stbl.
1940 No. 450), yaitu Ordonansi Gangguan.8 Di dalam Pasal 1 ditetapkan larangan
mendirikan tanpa izin tempat-tempat usaha yang perincian jenisnya dicantumkan
dalam ayat (1) pasal tersebut, meliputi 20 jenis perusahaan. Di dalam ordonansi ini
ditetapkan pula berbagai pengecualian atas larangan ini. Di bidang perusahaan telah
dikeluarkan Berdrijfsreglementeringsordonnantie 1934 (Stbl. 193 8 No. 86 jo. Stbl.
1948 No. 224).
Ordonansi yang penting di bidang perlindungan satwa adalah
Dierenbechermings- ordonnantie (Stbl. 1931 No. 134), yang mulai berlaku pada
tanggal I Juli 1931 untuk seluruh wilayah Hindia Belanda (Indonesia). Berkenaan
dengan ordonansi ini adalah peraturan tentang perburuan, yaitu Jacht- ordonnantie
1931 (Stbl. 1931 No. 133) dan Jachtordonnantie Java en Madura sejak Tanggal 1
Juli 1940.
6
Ordonansi yang mengatur perlindungan alam adalah Natuurbeschermings
ordonnantie 1941 (Stbl. 1941 No. 167). Ordonansi ini mencabut ordonansi yang
mengatur cagar-cagar alam dan suaka-suaka margasatwa, yaitu Natuurmonumenten
en Wildreservatenordonnantie 1932 (Stbl. 1932 No. 17) dan mengantarkannya
dengan Natuurbeschermingsordonantie 1941 tersebut.
Ordonansi tersebut dikeluarkan untuk melindungi kekayaan alam di Hindia
Belanda (Indonesia). Peraturan-peraturan yang tercantum di dalamnya berlaku
terhadap suaka-suaka alam atau natuurmonumenten, dengan pembedaan atas suaka-
suaka margasatwa dan cagar-cagar alam.
Semua ordonansi di bidang perlindungan alam dan satwa tersebut di atas
telah dicabut berlakunya dengan diundangkannya UU No. 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya pada tanggal 10 Agustus
1990.
Dalam hubungan dengan pembentukan kota telah dikeluarkan Stadsordonnantie
(Stbl. 1948 No. 168), disingkat SVO, yang mulai berlaku pada tanggal 23 Juli 1948.
Berbagai ordonansi tersebut telah dijabarkan lebih lanjut dalam
verordeningen, misalnya Dierenbeschermings verordening (Stbl. 1931 No. 266);
berbagai Bedrijfsreglementerings verordeningen logam, pabrik es, pengolahan
kembali karet, pengasapan karet, perusahaan tekstil; Jachtverordening Java en
Madura 1940 (Stbl. 1940 No. 247 jo. Stbl. 1941 No. 51); dan
Stadsvormingsverordening, disingkat SVV (Stbl. 1949 No. 40). Begitu pula
terdapat peraturan tentang air, yaitu Algemeen Waterreglement (Stbl. 1936 No. 489
jo. Stbl. 1949 No. 98).
2. Zaman pendudukan jepang
Pada waktu zaman pendudukan Jepang hampir tidak ada peraturan
perundang-undangan di bidang lingkungan hidup yang dikeluarkan, kecuali Osamu
S. Kanrei No. 6, yaitu mengenai larangan menebang pohon aghata, alba, dan balsem
tanpa izin Gunseikan.
Peraturan perundang-undangan di waktu itu terutama ditujukan kepada
memperkuat kedudukan penguasa Jepang.
7
Ada kemungkinan larangan tersebut di atas dikeluarkan untuk
mengamankan ketiga jenis pohon tersebut karena kayunya ringan dan sangat kuat.
Kayu agata, alba, dan balsem merupakan bahan baku untuk pembuatan pesawat
peluncur (gliders) dan pesawat peluncur pada waktu zaman pendudukan Jepang
sering digunakan untuk mengangkut logistik tentara.9
9
Hardjasoemantri dan Supriyono, Hukum Lingkungan, hal. 25.
8
Ketetapan MPR RI No. IV Tahun 1978 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara,
dengan penjabaran yang lebih terperinci dalam Keputusan Presiden RI No. 7 Tahun
1979 tentang Repelita III Bab VII Pengelolaan Sumber Alam dan Lingkungan
Hidup.10
Pembinaan lingkungan hidup dari segi yuridis di Indonesia pada mulanya
tertuang dalam Keputusan Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan
Lingkungan Hidup No.KEP-006//MNPPLH/3/1979 tentang pembentukan
kelompok kerja dalam Bidang Pembinaan Hukum dan Aparatur dalam Pengelolaan
Sumber Alam dan Lingkungan Hidup (Pokja Hukum). Pokja hukum dalam hal ini
bertugas untuk menyusun rancangan peraturan perundang-undangan yang
mengatur ketentuan-ketentuan pokok tentang tata pengelolaan sumber alam dan
lingkungan hidup. Hasil perumusan oleh pokja tersebut merupakan konsep rintisan
dari Rancangan Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Setelah
mengalami pembahasan pada Maret 1981, RUU tersebut disempurnakan oleh suatu
tim kerja Kantor Menteri Negara PPLH yang kemudian diajukan ke forum antar
departemen pada tanggal 16 s.d. 18 Maret 1981 untuk dibahas dan memperoleh
persetujuan dari menteri yang bersangkutan. Selanjutnya, RUU tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup berhasil diajukan pada sidang
DPR bulan Januari 1982 dengan Surat Presiden No. R.01/PU/I/1982 tanggal 12
Januari 1982 untuk mendapatkan persetujuan pada tahun 1982. Pada tanggal 25
Februari 1982 RUULH yang telah dirumuskan kembali oleh PANSUS DPR
diajukan ke sidang pleno DPR dengan aklamasi menetapkan Undang-undang
tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Akhirnya,
pada tanggal 11 Maret 1982, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup telah disahkan dengan
penandatanganan oleh Presiden Republik Indonesia dan diundangkan pada hari
yang sama dengan penetapannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1982 Nomor 12. 11
10
Koesnadi Hardjasoemantri, “Peraturan Perundang-Undangan Pengelolaan Lingkungan Hidup
dan Andal” Jurnal Hukum dan Pembangunan, Vol. 15 No. 2 (April, 1985), hlm. 119-120.
11
Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional (Surabaya:
Airlangga University Press, 2000), hlm. 182.
9
Lahirnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup merupakan tonggak awal dan
sejarah baru bagi pembangunan hukum lingkungan nasional di Indonesia dengan
menganut Hukum Lingkungan Modern. Hadirnya UUPLH 1982 ini dipandang
sebagai sebuah momentum penting dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia
khususnya berkaitan dengan pengaturan hukum lingkungan secara modern di
Indonesia, hal ini dikarenakan eksistensinya selain sebagai payung hukum, erat
kaitannya juga dengan aktivitas pembangunan nasional yang secara nyata dapat
mengancam bahkan merusak kelestarian fungsi lingkungan hidup. Menurut
pandangan Daud Silalahi,12 UUPLH 1982 mengandung prinsip-prinsip hukum
lingkungan modern yang menjadi dasar bagi pengaturan pelaksanaannya lebih
lanjut, baik di tingkat pusat maupun daerah dari semua segi atau aspek lingkungan,
dan menjadi landasan untuk menilai dan menyesuaikan semua peraturan
perundang-undangan yang memuat ketentuan tentang segi-segi lingkungan hidup
yang telah berlaku, seperti perundang-undangan di bidang pengairan,
pertambangan dan energi, kehutanan, industri dan lainnya. Dengan
diundangkannya Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 dimulailah suatu tahap baru
dalam konstelasi hukum di Indonesia yaitu pengembangan peraturan perundang-
undangan yang diarahkan kepada produk-produk hukum yang berorientasi kepada
lingkungan itu sendiri atau environment oriented law. Hal ini tercermin dalam asas
hukum lingkungan dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 pada Pasal 3, yang
mengatur bahwa “Pengelolaan lingkungan hidup berasaskan pelestarian
kemampuan lingkungan yang serasi dan seimbang untuk menunjang pembangunan
yang berkesinambungan bagi peningkatan kesejahteraan manusia”. Berdasarkan
rumusan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pasal ini mengandung 3 (tiga) asas
hukum lingkungan, yaitu:
1) Pengelolaan lingkungan hidup berasaskan pelestarian kemampuan yang
serasi dan seimbang;
12
Daud Silalahi, Hukum Lingkungan dalam Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia, Edisi
Ketiga (Bandung: Alumni, 1996), hlm. 32.
10
2) Pengelolaan dimaksud merupakan upaya yang menunjang pembangunan
yang berkesinambungan; dan
3) Peningkatan kesejahteraan manusia.
Pencantuman pembangunan yang berkesinambungan dalam Pasal 3
Undang-Undang No. 4 Tahun 1982, secara sederhana dapat diterjemahkan sebagai
integrasi dari prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development).
Perbedaan kata “berkesinambungan” dan “berkelanjutan” pada dasarnya tidak
menunjukkan perbedaan makna. Hal ini karena kedua makna kata dimaksud
menunjukkan sifat yang menghubungkan satu peristiwa di waktu lampau yang terus
berlanjut hingga kini dan masa datang.13 Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
sifat dan ciri dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 menonjolkan dua macam
segi, yaitu:
1) Sederhana tapi dapat mencakup kemungkinan perkembangan di masa
depan, sesuai dengan keadaan, waktu dan tempat. Undang-undang ini hanya
memberikan pengaturan secara garis besar dalam pokok pokoknya saja,
sedangkan aturan lebih terperinci diatur dalam berbagai peraturan
pelaksanaannya, salah satunya yakni PP No. 29 Tahun 1986 tentang
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan;
2) Mengandung ketentuan ketentuan pokok sebagai dasar bagi peraturan
pelaksanaannya lebih lanjut. Undang-undang ini tidak mengatur tentang
lingkungan hidup secara keseluruhan, akan tetapi hanya mengatur segi
pengelolaan lingkungan hidup. Oleh karena masalah lingkungan hidup
begitu luas, maka pengaturannya sulit dituangkan secara mendalam dalam
undang-undang, sehingga sifat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982
hanya mengatur ketentuan-ketentuan pokok tentang pengelolaan
lingkungan hidup yang memberi arah dan ciri-ciri bagi semua segi
lingkungan hidup untuk diatur dengan perundang-undangannya sendiri.14
13
Laode M. Syarif, & Andri G. Wibisana, Hukum Lingkungan: Teori, Legislasi, dan Studi Kasus,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010), hlm. 76-77.
14
Ketut Meta, “Perspektif Historis dan Perbandingan Pengaturan Masalah Lingkungan Hidup di
Indonesia”, Jurnal Cakrawala Hukum, Vol. 6 No. 1 (Juni, 2015), hlm. 67-68.
11
Selain itu, undang-undang ini akan menjadi landasan untuk menilai dan
menyesuaikan semua peraturan perundangan yang memuat ketentuan tentang segi
segi lingkungan hidup lainnya yang berlaku, seperti peraturan perundang-undangan
mengenai pengairan, pertambangan dan energi, kehutanan, perlindungan dan
pengawetan alam industri, pemukiman, tata ruang, tata guna tanah dan lainnya.
Dengan demikian, semua peraturan perundang-undangan tersebut termuat dalam
satu sistem hukum lingkungan Indonesia dengan tujuan untuk tercapainya
kemampuan lingkungan hidup yang serasi dan seimbang. Hal ini patut untuk
dilestarikan, sehingga setiap perubahan yang diadakan selalu disertai dengan upaya
mencapai keserasian dan keseimbangan lingkungan hidup pada tingkat yang baru.
Adanya pelestarian kemampuan lingkungan hidup yang serasi dan seimbang
membawa kepada keserasian antara pembangunan dan lingkungan hidup, sehingga
keduanya tidak dapat dipertentangkan satu sama lainnya.
Siahaan N.H.T.15 memaparkan bahwa kehadiran UUPLH 1982 tersebut
dinilai begitu penting karena lahir dalam situasi yang dapat digambarkan sebagai
berikut. Pertama, Indonesia saat itu sedang giatnya melancarkan pembangunan
nasionalnya di semua bidang kehidupan. Adapaun kebijakan yang diambil untuk
tujuan membangun, UUPLH 1982 ini selalu berhadapan dengan aspek ekologi
lingkungan hidup. Kedua, bahwa UUPLH 1982 adalah undang-undang pokok yang
merupakan dasar peraturan pelaksanaan bagi semua sektor yang menyangkut
lingkungan hidup. UUPLH 1982 disusun untuk dapat berfungsi sebagai ketentuan
payung (umbrella provision) bagi penyusunan peraturan-peraturan perundang-
undangan tentang lingkungan hidup lainnya baik peraturan-peraturan lingkungan
hidup yang sudah ada (lex lata) maupun bagi pengaturan lebih lanjut (lex feranda)
atas lingkungan hidup. Dikatakan pula bahwa sifat Undang-Undang Lingkungan
Hidup yang disusun itu secara khusus memberikan arah dan ciri ciri bagi semua
jenis tata pengaturan lingkungan hidup yang perlu dituangkan dalam bentuk
peraturan perundang-undangan tersendiri. Ketiga, bahwa corak ekologis Indonesia
sangat spesifik, yakni merupakan wilayah kepulauan yang terdiri dari dua pertiga
15
Moh. Fadli, Mukhlish, & Mustafa Lutfi, Hukum dan Kebijakan Lingkungan (Malang: UB Press,
2016), hlm. 35.
12
wilayah laut yang terletak antara benua Asia dan Australia serta samudera Hindia
dan Pasifik. Indonesia yang juga kaya dengan sumber daya alamnya itu dihuni oleh
penduduk dengan berbagai macam suku, budaya, agama, tingkatan sosial ekonomi
dan lain-lain.
Moestadji16 mengemukakan bahwa diundangkannya UUPLH 1982 tersebut
menimbulkan kegembiraan dan disertai harapan akan terlestarikannya kemampuan
lingkungan hidup yang menjadi tumpuan kesejahteraan dan mutu hidup
masyarakat. Harapan terlestarikannya kemampuan lingkungan hidup itu sangat
menyentuh hati nurani, bahkan merupakan dambaan setiap umat manusia dengan
mengandung nilai moral yang bersifat universal. Terlestarikannya kemampuan
lingkungan hidup yang serasi dan seimbang adalah menjadi dasar pengelolaan
lingkungan hidup di tengah gencarnya pembangunan nasional pada waktu itu.
Pembangunan nasional dalam semua aspek kehidupan, termasuk di bidang
pengelolaan lingkungan hidup yang dicanangkan oleh pemerintah pada waktu itu,
tentu saja akan dapat membawa dampak yang kurang baik terhadap lingkungan
hidup. Hal ini dapat terjadi apabila proses pembangunan hanya berorientasi pada
kepentingan-kepentingan ekonomi dengan mengabaikan fungsi kelestarian dan
kemampuan lingkungan hidup.
Sejalan dengan pendapat yang dikemukakan Koesnadi Hardjasoemantri 17
bahwa dalam proses pembangunan nasional harus dilakukan suatu upaya untuk
meniadakan atau mengurangi dampak negatif tersebut, sehingga keadaan
lingkungan hidup menjadi serasi dan seimbang lagi. Dalam konteks pembangunan
nasional, upaya pengelolaan lingkungan hidup disadari membutuhkan adanya
dukungan perangkat hukum seperti UUPLH 1982. Bahkan, secara teoritis dan
praktis, disepakati bahwa kehadiran UUPLH 1982 berfungsi sebagai ketentuan
“payung”, baik bagi penyusunan peraturan baru maupun penyesuaian terhadap
peraturan lama. Kesepakatan ini diharapkan untuk menghindarkan tumpang tindih
penyusunan dan penyempurnaan peraturan lain yang bertentangan dengan
16
Ibid, hlm. 36.
17
Ibid, hlm. 37.
13
Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH 1982)
sebagai landasan instrumen hukumnya.
Berkaitan dengan lahirnya UUPLH 1982 tersebut, secara objektif dapat
dipahami mengenai aktivitas pembangunan nasional yang meliputi berbagai macam
bidang kehidupan itu, cepat atau lambat berdampak pada kondisi lingkungan hidup.
Oleh karena itu, diundangkannya UUPLH 1982 selain sebagai ketentuan payung,
juga menjadi dasar pijakan pengelolaan lingkungan hidup dalam rutinitas
pembangunan nasional. Dengan demikian, kerusakan atau pencemaran lingkungan
hidup secara teoritis atau praktis diharapkan dapat dicegah melalui penerapan
perangkat hukum di bidang lingkungan hidup tersebut.18 Kendati demikian, yang
perlu menjadi perhatian bersama bahwa keberlakuan Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1982 ini harus dianggap bukan sebagai konsep yang final karena tidak luput
dari berbagai kekurangan dan kekurangannya itu akan semakin tampak seiring
berjalannya waktu dan perkembangan zaman. Oleh karena itu, usaha menuju
penyempurnaan undang-undang ini harus selalu terbuka setiap saat bilamana telah
tampak adanya kekurangan.
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup
Undang-undang Pengelolaan Lingkungan Hidup merupakan respon
daripada penegakan Deklarasi Stockholm yang diadakan pada tanggal 5—16 Juni
1972 yang kemudian menarik perhatian dunia dengan banyaknya protes pemerhati
lingkungan akibat permasalahan lingkungan yang tak kunjung selesai sehingga
diadakan Konferensi Rio de Janeiro 3—14 Juni 1992 untuk mengukuhkan dan
mengembangkan asas dan poin yang terkandung pada Deklarasi Stockholm.
Dimana pada Undang-Undang Pengolahan Lingkungan Hidup memuat norma
hukum lingkungan hidup dengan 11 bab dan 52 Pasal yang terdapat di dalamnya.
Undang-undang ini disusun untuk menjadi landasan untuk menilai dan
menyesuaikan semua peraturan perundang-undangan yang memuat ketentuan
tentang lingkungan hidup yang berlaku, yaitu peraturan perundang-undangan
18
Ibid, hlm. 36.
14
mengenai pengairan, pertambangan dan energi, kehutanan, konservasi sumber daya
alam hayati dan ekosistemnya, industri, permukiman, penataan ruang, tata guna
tanah, dan lain-lain karena merupakan basis yuridis sebagai Ius Constitutum untuk
membentuk Ius Constituendum.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 yang diundangkan pada LNRI
(Lembar Negara Republik Indonesia) Tahun 1997 No. 68 dan TLNRI (Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia) No. 3699. tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup memuat asas dan prinsip pokok bagi pengelolaan lingkungan hidup sehingga
berfungsi sebagai payung (umbrella act) bagi penyusunan peraturan perundang-
undangan lainnya yang berkaitan dengan lingkungan hidup dan bagi penyesuaian
peraturan perundangundangan yang telah ada. dengan tujuan yaitu:
1) Tercapainya keselarasan hubungan antara manusia dengan lingkungan
hidup sebagai bagian tujuan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya;
2) Terkendalinya pemanfaatan sumber daya secara, bijaksana;
3) Terwujudnya manusia Indonesia sebagai pembina lingkungan hidup;
4) Terlaksananya pembangunan berwawasan lingkungan untuk kepentingan
generasi sekarang dan mendatang; dan
5) Terlindunginya negara terhadap dampak kegiatan di luar wilayah negara
yang menyebabkan kerusakan dan pencemaran lingkungan.
Dimana apabila dilihat pada pengaturan sebelumnya sebagaimana yang
diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Lingkungan Hidup
yang memilki tujuan yaitu:
1) Berasaskan pelestarian kemampuan lingkungan yang serasi dan seimbang
untuk menunjang pembangunan;
2) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta
berkewajiban memelihara lingkungan hidup dan mencegah serta
menanggulangi kerusakan dan pencemarannya. Kelanjutan pokok ini bahwa
beban pencemaran dipertanggungjawabkan kepada pihak pencemar;
3) Setiap orang mempunyai hak dan kewajiban untuk berperan serta dalam
rangka pengelolaan lingkungan hidup, maka lembaga swadaya masyarakat
15
dikerahkan demi mendayagunakan anggota masyarakat dalam pengelolaan
lingkungan hidup;
4) Mengembangkan lingkungan hidup dalam kehidupan antar bangsa sesuai
dengan perkembangan kesadaran lingkungan hidup sesuai dengan
perkembangan kesadaran manusia; dan
5) Pengelolaan lingkungan hidup menuntut dikembangkannya suatu sistem
dengan keterpaduan sebagai ciri utamanya. Maka dari itu di tingkat
nasional, koordinasi pelaksanaan secara sektoral dan di daerah sehingga
semua ini terkait secara mantap dengan kebijaksanaan nasional pengelolaan
lingkungan hidup, dengan kesatuan gerak dan langkah mencapai tujuan
pengelolaan lingkungan hidup. 19
Dengan membandingkan daripada primat Undang-Undang Pokok
Pengelolaan Lingkungan Hidup Tahun 1982 (UUPLH Tahun 1982) dengan
Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup Tahun 1997 (UUPLH Tahun
1997) terdapat perbedaan cara pandang sehingga mendasari norma hukum yang
ada. dimana pada UUPLH Tahun 1982 yang difokuskan adalah pengelolaan
lingkungan tetapi tetap mengutamakan pemenuhan kehidupan manusia karena hak
atas lingkungan hidup daripada masyarakat sangat dijunjung tinggi sehingga alam
mampu mencukupi kebutuhan manusia dengan dampak seringan-ringannya yang
diakibatkan atau dapat dikatakan lingkungan ada untuk menunjang pembangunan
sehingga alam ada untuk manusia sedangkan pada UUPLH Tahun 1997 yang lebih
ditekankan adalah penjagaan lingkungan karena pembangunan tidak akan
berkembang tanpa lingkungan yang baik sehingga manusia berfungsi dalam
mendukung alam dalam keselarasan yang ada bukan alam yang mendukung
kehidupan manusia dengan adanya keterkaitan hak dan kewajiban daripada
manusia kepada alam atau lingkungan hidup.
a) Diubahnya Landasan Yuridis Hukum Lingkungan menjadi UUPLH Tahun
1997
19
Koesnadi Hardjasoemantri, Hary Supriyono, 2021, Sejarah Perkembangan Hukum Lingkungan,
http://repository.ut.ac.id/4372/1/LING1121-M1.pdf, diakses pada 3 Mei 2022 pada pukul 11.21
WITA.
16
Perubahan daripada UUPLH Tahun 1982 menjadi UUPLH Tahun 1997,
sesungguhnya berdasar pada alasan kegagalan dari kebijakan pengelolaan
lingkungan hidup akibat kelemahan penegakkan hukum UUPLH Tahun 1982.
Undang-Undang yang ada haruslah dilindungi daripada segala tendensi pengaturan
yang memiliki kesalahan karena akan berpengaruh pada perkembangan di
Indonesia masa sekarang hingga masa depan, terutamanya dalam pemenuhan
daripada hak yang paling dijunjung dalam Hukum Lingkungan, yaitu hak atas
lingkungan hidup sebagaimana yang ditegakkan baik pada Pasal 5 pada UUPLH
Tahun 1982 dan nantinya akan dibahas pada Pasal 5 UUPLH Tahun 1997 sehingga
undang-undang harus disempurnakan terutamanya permasalahan penegakan.
Kelemahan lainnya kurangnya komprehensif daripada Pasal-Pasal dalam UUPLH
Tahun 1982 karena masih merupakan bentuk kompilasi hukum yang masih berdiri
sendiri-sendiri yang terlepas satu sama lain dan untuk semakin memperkuat
daripada jaring yuridis di Indonesia. Maka dari itu dirancanglah UUPLH Tahun
1997 untuk menyempurnakan landasan yuridis yang telah ada. Selain daripada
perbaikan substansi yang ada, terdapat pula perbaikan lembaga yang ada juga
mencakup pada struktur hukum yang ada dimana dalam kelembagaan di Indonesia
mengalami perkembangan dengan semakin meningkatnya Pemerintah Daerah dan
lembaga penegakan daripada pengadilan untuk semakin menegaskan daripada
hukum lingkungan yang ada. Pada UUPLH Tahun 1982 yang menjadi utama
daripada pembuat kebijakan dari Hukum Lingkungan di Indonesia adalah
Pemerintah Pusat hal tersebut dianggap tidak sesuai karena pembangunan daripada
daerah yang berbeda-beda.20 Oleh karena itu budaya hukum daripada masyarakat
disasar akan mampu mengikuti kebutuhan daripada daerahnya. Pada proses
penyempurnaan ini tidak lain memiliki tujuan untuk meningkatkan pendayagunaan
berbagai ketentuan hukum. Maka dari itu perbaikan yang terjadi pada Undang-
Undang Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup yang diubah menjadi Undang-
Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup mencakup aspek struktur hukum yang ada.
20
Nopyandari, 2014, Hak Atas Lingkungan Hidup dan Kaitanya dengan Preran Serta
Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam Prespektif otonomi daerah,
https://media.neliti.com/media/publications/43227-ID-hak-atas-lingkungan-hidup-dan-kaitannya-
dengan-peran-serta-dalam-pengelolaan-lin.pdf, diakses pada 4 Mei 2022 pada pukul 17.52 WITA.
17
Akhirnya perkembangan yang dibutuhkan untuk menciptakan landasan
yuridis yang menyesuaikan dengan kebutuhan hukum lingkungan terbaru ini
berdampak secara langsung pada asas yang dianut ke dalam Undang-Undang ini
yang sangat berbeda sebagaimana yang ditentukan pada Pasal 3 Undang-Undang
Lingkungan Hidup dan Pasal 2 Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Pada Pasal 3 UUPLH Tahun 1982 mengatur bahwa “Pengelolaan lingkungan hidup
berasaskan pelestarian kemampuan lingkungan yang serasi dan seimbang untuk
menunjang pembangunan yang berkesinambungan bagi peningkatan kesejahteraan
manusia.” Dimana terdapat satu asas pada Pasal ini yaitu:
1) Asas serasi dan seimbang
Bahwa fokus daripada pembahasan norma hukum yang ada adalah
perlindungan lingkungan sehingga masih dapat dilakukan semaksimal mungkin
untuk perkembangan manusia.
Sedangkan pada Pasal 2 UUPLH Tahun 1997 mengatur bahwa
“Pengelolaan lingkungan hidup yang diselenggarakan dengan asas tanggung jawab
negara, asas berkelanjutan, dan asas manfaat bertujuan untuk mewujudkan
pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam rangka
pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat
Indonesia seluruhnya yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.”
Pada Pasal ini terdapat dua asas yang tercantum, yaitu:
1) Asas tanggung jawab negara
Dimana negara menjamin pemanfaatan SDA yangakan memberikan
manfaat bagi kesejahteraan rakyat sebesar-besarnya dari generasi kini hingga
mendatang. Selain itu negara menjamin dalam menjalankan kegiatan pemanfaatan
tidak melebihi yurisdiksinya agar tidak merugikan negara lain.
2) Asas berkelanjutan
Asas yang memberikan setiap orang kewajiban dan tanggung jawab yang
harus dipikul terhadap generasi mendatang dan terhadap sesamanya dalam satu
generasi hingga lingkungan dapat diwariskan dengan baik kepada generasi
pendatang.
3) Asas manfaat.
18
Asas ini bertalian dengan asas tanggung jawab negara dimana pemanfaat
lingkungan untuk kepentingan seluruh Masyarakat Indonesia dengan
mengedepankan perlindungan lingkungan sehingga keuntungan dirasakan sama
baik antara lingkungan dan manusia.
Dengan demikian fokus daripada UUPLH Tahun 1997 adalah adanya
tanggung jawab negara untuk memprioritaskan lingkungan dan melindungi
lingkungan agar tidak berbalik justru merugikan manusia dengan lingkungan yang
tidak sehat. Jika dilihat daripada segi teori yang ada dimana pada UUPLH Tahun
1982, pada kala itu masih mengedepankan teori hukum lingkungan klasik
sedangkan pada UUPLH Tahun 1997 yang disahkan pada Lembaran Negara Tahun
1997 telah menggunakan teori daripada hukum lingkungan modern. Perbedaan dari
keduanya yaitu hukum lingkungan modern lebih berorientasi kepada lingkungan
(environment oriented law), sedangkan hukum lingkungan klasik lebih beorientasi
kepada penggunaan lingkungan (use oriented law). Selain itu hukum lingkungan
modern berisikan norma-norma untuk mengatur perbuatan manusia dengan tujuan
melindungi lingkungan dari pencemaran lingkungan dan perusakan lingkungan.
Tujuan yang lain yaitu untuk kelestariannya agar terjamin dan dapat digunakan bagi
generasi yang akan datang. Hukum lingkungan klasik berisikan norma-norma yang
bertujuan untuk menjamin eksploitasi dan penggunaan sumber daya yang ada
sebanyak-banyaknya dalam waktu yang sesingkat mungkin. Daripada hal demikian
sesungguhnya bukan berarti UUPLH Tahun 1982 sama sekali tidak mengatur
perlindungan lingkungan, nyatanya dalam UUPLH Tahun 1982 pengelolaan
lingkungan telah ada dengan perlindungan daripada pemerintah, akan tetapi dalam
kepentingan yang ada masih sangat bercampur tangan dengan manusia sehingga
akan sangat sulit dalam melaksanakan hak dalam menyediakan lingkungan hidup
yang sehat kepada masyarakat saat perlindungan linkungan hidup dalam
pengelolaan masih sangat lemah.
Penyempurnaan yang terjadi juga untuk menambal kekurangan yang ada
pada peraturan perundang-undanga sebelumnya dengan menambah daripada
pendayagunaan daripada berbagai ketentuan hukum baik administrasi hukum
perdata maupun hukum pidana, dan usaha untuk mengefektifkan penyelesaian
19
sengketa lingkungan hidup secara alternatif, yaitu penyelesaian sengketa
lingkungan hidup di luar pengadilan untuk mencapai kesepakatan antarpihak yang
bersengketa. Di samping itu, perlu pula dibuka kemungkinan dilakukannya gugatan
perwakilan. Dengan cara penyelesaian sengketa lingkungan hidup tersebut
diharapkan akan meningkatkan ketaatan masyarakat terhadap sistem nilai tentang
betapa pentingnya pelestarian dan pengembangan kemampuan lingkungan hidup
manusia. Akan tetapi dalam menjalankan sanksi seperti sanksi pidana harus
diperhatikan asas subsidiatitas dimana sanksi pidana dianggap sebagai ultimum
remidium yang hanya dikeluarkan apabila sanksi bidang hukum lain, seperti sanksi
administrasi dan sanksi perdata, dan alternatif penyelesaian sengketa lingkungan
hidup tidak efektif atau tindak yang dilakukan dalam taraf yang berat baik tindakan
maupun efek yang ditimbulkan.
Perkembangan daripada Undang-Undang dari UUPLH Tahun 1982 menjadi
UUPLH Tahun 1997 juga diikuti dengan Peraturan Perundang-Undangan lainnya
karena pada masa keberlakuan UUPLH diciptakannya Peraturan Pemerintah yang
digunakan untuk melengkapi daripada pengaturan hukum yang ada sehingga dapat
mengelola dan melindungi lingkungan lebih komprehensif. Pada masa Undang-
Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup Tahun yaitu keberadaan daripada:
1) Peraturan Pemeritah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian
Pencemaran Dan/Atau Perusakan Laut.
2) Peraturan Pemeritah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian
Pencemaran Udara.
3) Peraturan Pemerintahn Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas
Air Dan Pengendalian Pencemaran Air.
Dimana ketiga Peraturan Pemerintah mampu terbentuk karena terbentuknya
Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Tahun 1997 karena adanya tuntutan
untuk megembangkan hukum lingkungan dalam melindungi aspek untuk
menyesuaikan dengan perjanjian internasional tersebut.
b. Dicabutnya ketentuan dari UUPLH Tahun 1997
Akan tetapi keberadaan dariapda Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan tidak pula luput daripada celah sehingga masih
20
memerlukan penyempurnaan. Sehingga Undang-Undang tersebut diganti dengan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup dikarenakan empat alasan yang dijabarkan sebagai berikut
yaitu:
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 setelah
perubahan secara tegas menyatakan bahwa pembangunan ekonomi nasional
diselenggarakan berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan dan
berwawasan lingkungan;
2) Kebijakan otonomi daerah dalam penyelenggaraan Pemerintahan Negara
Kesatuan Republik Indonesia telah membawa perubahan hubungan dan
kewenangan antara pemerintah daerah termasuk di bidang perlindungan
lingkungan hidup;
3) Pemanasan global yang semakin meningkat mengkibatkan perubahan iklim
sehingga memperparah penurunan kualitas lingkungan hidup. Ketiga alasan
ini belum ditampung dalam UUPLH 1997;
4) UUPLH 1997 sebagaimana UUPLH Tahun 1982 memiliki celah-celah
kelemahan kewenangan penegakan hukum administratif yang dimiliki oleh
Kementrian Lingkungan Hidup dan kewenangan penyidik-penyidik pejabat
pegawai negeri sipil sehingga perlu penguatan dengan mengundangkan
sebuah undang-undang baru guna peningkatan penegakan hukum.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
nyatanya masih memiliki banyak aspek yang perlu diperbaiki dimana Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup memberikan kewenangan luas kepada menteri untuk melaksanakan
perlindungan seluruh kewenangan pemerintahan perlidungan dan pengelolaan
lingkungan hidup dan pemerintah pusat dalam undang-undang ini juga memberikan
kewenangan seluas-luasnya kepada pemerintah daerah masing-masing untuk
melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sehingga akan lebih
memastikan adanya penjaminan Hak Asasi Manusia sebagaimana yang diatur
dalam TAP MPR RI No. XVII/MPR/1998. Dengan demikian Undang-Undang
Lingkungan Hidup resmi digantikan sehingga mencabut ketentuan yang ada pada
21
Undang-Undang tersebut dilanjutkan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 tentang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang
bahkan menambahkan konsekuensi daripada perusak lingkungan sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 66 Undang-Undang PPLH yang bahkan menyertakan
sanksi pidana jika terjadi tindak merusak lingkungan.
22
III. Kesimpulan
Hak atas lingkungan hidup merupakan hak dasar yang melekat pada
manusia, bersifat kodrati dan universal sehingga hak atas lingkungan hidup
merupakan bagian dari hak asasi manusia. Kehidupan manusia sangat bergantung
pada ketersediaan sumber daya alam yang memadai dalam lingkungan hidup.
Namun, dari waktu ke waktu perusakan lingkungan terus terjadi yang berpotensi
berujung pada pembunuhan ekosistem dan mengancam manusia kehilangan hak -
hak hidupnya. Oleh karena itu, agar tidak sampai terjadi rusaknya lingkungan yang
permanen maka diperlukan pengambilan sikap yang memperjuangkan keadilan
lingkungan melalui pembentukan produk hukum yang mengandung pengaturan
perlindungan terhadap lingkungan hidup agar sekaligus dapat menjamin penegakan
hak asasi manusia.
Dalam perkembangannya perundang-undangan lingkungan hidup dimasa
sebelum kemerdekaan terbagi menjadi 2 periode yaitu zaman pemerintahan belanda
meliputi ordonansi mengenai perikanan mutiara dan perikanan bunga karang,
ordonansi dalam bidang perikanan, ordonansi gangguan, ordonansi di bidang
perlindungan satwa serta ordonansi yang mengatur perlindungan alam. Sementara
itu pada zaman pendudukan jepang hanya terdapat Osamu S. Kanrei No. 6, yaitu
mengenai larangan menebang pohon aghata, alba, dan balsem tanpa izin Gunseikan.
Selanjutnya terkait perkembangan perundang - undangan lingkungan hidup
setelah kemerdekaan bangsa Indonesia dimulai pada Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1982 tentang Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Hadirnya UUPLH
1982 ini dipandang sebagai sebuah momentum penting dalam sejarah
ketatanegaraan Indonesia khususnya berkaitan dengan pengaturan hukum
lingkungan secara modern di Indonesia, hal ini dikarenakan eksistensinya selain
sebagai payung hukum, erat kaitannya juga dengan aktivitas pembangunan nasional
yang secara nyata dapat mengancam bahkan merusak kelestarian fungsi lingkungan
hidup. Keberlakuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 ini memang tidak luput
dari berbagai kekurangan. Berdasar pada alasan kegagalan dari kebijakan
pengelolaan lingkungan hidup akibat kelemahan penegakkan hukumnya serta
kurang komprehensifnya pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982
23
karena masih merupakan bentuk kompilasi hukum yang berdiri sendiri sehingga
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 dirasa tidak mampu lagi menjangkau
perkembangan yang ada hingga akhirnya dilakukan perubahan dengan
menyempurnakan landasan yuridis yang telah ada untuk meningkatkan
pendayagunaan berbagai ketentuan hukum serta memperkuat jaring yuridis. Dalam
memperbaharui produk hukum sebelumnya agar sesuai dengan perkembangan
masalah lingkungan hidup yang semakin komples maka diterbitkannya Undang -
Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang telah
menggunakan teori daripada hukum lingkungan modern.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
nyatanya masih memiliki banyak aspek yang perlu diperbaiki sehingga masih
memerlukan penyempurnaan. Salah satunya dalam hal kelemahan kewenangan
penegakan hukum administratif yang dimiliki oleh Kementrian Lingkungan Hidup
dan kewenangan penyidik-penyidik pejabat pegawai negeri sipil sehingga perlu
penguatan dengan mengundangkan sebuah undang-undang baru guna peningkatan
penegakan hukum. Dengan demikian dengan memperhatikan berbagai
pertimbangan maka Undang-Undang tersebut diganti dengan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Berdasarkan pembaharuan - pembaharuan hukum yang terjadi terhadap
produk hukum lingkungan, dapat diketahui bahwa lingkungan hidup merupakan hal
dasar yang menjadi sumber kehidupan sehingga sangat memerlukan kepastian
hukum. Apabila telah ditemukan kerancuan ataupun kelemahan yang berhubungan
dengan penegakan hukum, maka sudah selayaknya suatu produk hukum lingkungan
itu diperbaharui guna meningkatkan pendayagunaan berbagai ketentuan hukum di
dalamnya serta memperkuat penegakan hukumnya. Pembaharuan hukum tersebut
tentunya berdasar pada perkembangan kerusakan lingkungan yang semakin
beraneka macam sehingga perlu difasilitasi agar tidak memperburuk kondisi
lingkungan hidup serta manusia tidak akan kehilangan hak - hak hidupnya.
24
Daftar Pustaka
Peraturan Perundang-Undangan:
Pemerintah Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, Jakarta.
Pemerintah Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1982, Nomor 12, Jakarta.
Pemerintah Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup, Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1997, Nomor 68, Jakarta.
Buku:
Erwin, Muhammad, 2011, Hukum Lingkungan dalam Sistem Kebijaksanaan
Pembangunan Lingkungan Hidup, Bandung: Refika Aditama.
Fadli, Moh, Mukhlish, dan Lutfi, Mustafa, 2016, Hukum dan Kebijakan
Lingkungan, Malang; UB Press.
Hardjasoemantri, Koesnadi, 1986, Aspek Hukum Peran Serta Masyarakat dalam
Pengelolaan Lingkungan Hidup, Yogyakarta; Gadjah Mada University
Press.
Syarif, L. M. & Wibisana, A. G., 2010, Hukum Lingkungan: Teori, Legislasi, dan
Studi Kasus, Jakarta; PT Raja Grafindo Persada.
Jurnal Hukum:
Sodikin, 2022, Hak Atas Lingkungan Hidup yang Baik dan Sehat pada Masyarakat
Sidoarjo, https://publikasiilmiah.ums.ac.id/handle/11617/9470, diakses
pada tanggal 1 Mei 2022 pada Puklul 16.56 WITA.
Hardjasoemantri, K, 2017. Peraturan Perundang-Undangan Pengelolaan
Lingkungan Hidup & Andal. Jurnal Hukum & Pembangunan, 15(2), 118-
136.
25
Hardjasoemantri, Koesnadi, Hary Supriyono, 2021, Sejarah Perkembangan Hukum
Lingkungan, http://repository.ut.ac.id/4372/1/LING1121-M1.pdf, diakses
pada 3 Mei 2022 pada pukul 11.21 WITA.
Nopyandari, 2014, Hak Atas Lingkungan Hidup dan Kaitanya dengan Preran Serta
Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam Prespektif otonomi daerah,
https://media.neliti.com/media/publications/43227-ID-hak-atas-
lingkungan-hidup-dan-kaitannya-dengan-peran-serta-dalam-pengelolaan-
lin.pdf, diakses pada 4 Mei 2022 pada pukul 17.52 WITA.
26
TUGAS HUKUM LINGKUNGAN
“ARTI PENTINGNYA HUKUM BAGI MASALAH LINGKUNGAN DAN
KEBIJAKSANAAN LINGKUNGAN”
Dosen Pengampu :
Prof. Dr. I Wayan Parsa S.H., M.Hum
Disusun Oleh:
Kelompok 4
Nama Anggota :
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas segala
berkat dan rahmat yang telah dilimpahkan-Nya, sehingga penulisan makalah yang berjudul
“ARTI PENTINGNYA HUKUM BAGI MASALAH LINGKUNGAN DAN
KEBIJAKSANAAN LINGKUNGAN” dapat diselesaikan dengan tepat waktu.
Penulis juga hendak menghaturkan terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah
Hukum Lingkungan, berdasarkan Prof. Dr. I Wayan Parsa S.H., M.Hum atas pemahaman yang
diberikan selama kelas berlangsung sehingga penulis dapat mengeksplorasi lebih jauh materi,
khususnya yang berkenaan dengan Hukum Lingkungan.
Penulis menyadari bahwa makalah yang telah penulis susun masih jauh dari kata
sempurna dan banyak kekurangan didalamnya. Oleh karenanya, penulis memohon kritik dan
saran dari pembaca, agar kedepannya penulis dapat menyusun paper yang lebih baik lagi.
Terakhir, penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan apabila terdapat
hal-hal yang kurang berkenan pada makalah ini, penulis memohon maaf yang sebesar-
besarnya.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................. 4
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................... 33
iii
BAB I PENDAHULUAN
4
3) Bagaimana kedudukan hukum dalam penegakan hukum terhadap permasalahan
lingkungan?
4) Bagaimana kebijaksanaan hukum dalam pengelolaan serta mengatasi
permasalahan lingkungan?
5
BAB II PEMBAHASAN
6
termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan
perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya.4
4
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
7
hukum lingkungan dibutuhkan dalam kerangka menjaga agar supaya lingkungan
dan sumber daya alam dapat dimanfaatkan sesuai dengan daya dukung atau kondisi
kemampuan lingkungan itu sendiri. Dalam hukum lingkungan diatur tentang obyek
dan subyek, yang masing-masing adalah lingkungan dan manusia. Lingkungan
hidup sebagai objek pengaturan dilindungi dari perbuatan manusia supaya interaksi
antara keduanya tetap berada dalam suasana serasi dan saling mendukung.
Dalam perspektif ilmu ekologi, semua benda termasuk semua makhluk hidup,
daya, dan juga keadaan memiliki nilai fungsi ekosistem, yakni berperan dalam
mempengaruhi kelangsungan kehidupan manusia dan makhluk hidup lain.
Lingkungan hidup memberi fungsi yang amat penting dan mutlak bagi manusia.
Begitu juga, manusia dapat membina atau memperkokoh ketahanan lingkungan
melalui budidaya dan karsanya. Dengan demikian tidak ada yang tidak bernilai
dalam pengertian lingkungan hidup karena satu dengan lainnya memiliki kapasitas
mempengaruhi dalam pola ekosistem.
Dalam kehidupan manusia, lingkungan hidup adalah merupakan salah satu
aspek kebutuhan mendasar, dimana dalam memenuhi kebutuhan tersebut manusia
berhadapan atau melibatkan baik secara perorangan maupun antar manusia dan
kelompok. Dalam interaksinya, manusia, baik terhadap lingkungan hidupnya
maupun dengan sesamanya (antar manusia) dengan sasaran lingkungan atau
sumber-sumber alam, memerlukan hukum sebagai sarana pengaturan masyarakat.
Pengaturan dapat berwujud dalam bentuk apa yang boleh diperbuat, yang dalam
hal ini disebut dengan hak, dan apa pula yang terlarang atau tidak boleh dilakukan,
yang disebut dengan kewajiban oleh setiap subyek hukum. Pengaturan hukum
selain sebagai alat pengatur ketertiban masyarakat (law as a tool of social order),
serta untuk mengatur masyarakat (law as a tool of social engineering). 5
Maka dapat disimpulkan bahwa hukum lingkungan disini adalah mengandung
manfaat sebagai sarana pengatur interaksi manusia dengan lingkungan agar
tercapai suatu keteraturan dan ketertiban (social order). Hal ini tentu sejalan
dengan tujuan hukum yang tidak hanya semata-mata sebagai suatu alat ketertiban,
maka hukum lingkungan mengandung juga tujuan-tujuan kepada terciptanya
sebuah pembaruan masyarakat (social engineering). Hukum sebagai alat rekayasa
sosial sangat penting artinya dalam dimensi atau substansi h ukum lingkungan.
5
Silalahi.D., 1996. Hukum Lingkungan dalam Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia ,edisi III.
Bandung:Alumni.
8
Karena dengan demikian, hukum lingkungan yang memuat kandungan
sebagaimana dimaksud, masyarakat dalam interaksinya dengan lingkungan akan
dapat diarahkan untuk menerima dan merespon prinsip-prinsip pembangunan dan
kemajuan.
Dalam pandangan Hari Chand, 6 mengatakan bahwa hukum tidak hanya
mengandung dimensi sebagai sarana alat keteraturan dalam kehidupan manusia,
melainkan hukum juga harus mengandung nilai-nilai keadilan bagi semua orang.
Mengartikan substansi keadilan memang tidak mudah. Keadilan diartikan begitu
beragam, suatu kata yang tidak jelas, sarat dengan berbagai arti, dan tidak begitu
mudah kita mencernanya. Hal ini senada dengan apa yang dikemukakan oleh
Ulpianus, yang mengatakan bahwa keadilan adalah merupakan suatu kemauan
yang bersifat terus menerus untuk dapat memberikan kepada setiap orang apa yang
semestinya dimiliki. Bagi Aristoteles, mengartikan keadilan dengan memberikan
kepada seseorang apa yang menjadi haknya atau sesuatu yang menjadi miliknya.
Dengan demikian, peranan hukum lingkungan sangat penting dalam
pembangunan. Hukum berfungsi sebagai alat keteraturan, yakni menata perilaku
setiap orang dalam interaksinya dengan lingkungan. Hukum berfungsi sebagai alat
keadilan, memiliki peran untuk menciptakan keadilan bagi semua dalam kerangka
penataan dan pengelolaan lingkungan atas sumber daya alam. Hukum sebagai alat
sosial, berperan merubah sikap sosial masyarakat, mengarahkan perilaku budaya
setiap orang kepada paradigma pemanfaatan, pengelolaan energi/sumber-sumber
alam dengan pola efisien dengan mengurangi kerusakan dan dampak, demikian
juga terciptanya interaksi lingkungan yang bertujuan menyerasikan pembangunan
dengan lingkungan.
6
Chand.H., 1994. Modern Jurisprudence, International Law Book Service, Kuala Lumpur. (225)
9
dampak perbuatan manusia, apalagi dengan dikenalnya sistem industri, lebih-lebih
setelah revolusi industri pada awal abad 19.
Kesadaran hukum lingkungan, baik itu pelestarian maupun pengelolaannya,
pada hakikatnya manusia harus memiliki kesadaran hukum yang tinggi, karena
manusia memiliki hubungan sosiologis maupun biologis secara langsung dengan
lingkungan hidup di mana dia berada. Menurut Soerjono Soekanto, 7 kesadaran
hukum masyarakat terkait dengan faktor-faktor dalam suatu ketentuan hukum yang
dimana diketahui, dimengerti, ditaati dan dihargai. Akan tetapi, masyarakat hanya
mengetahui adanya suatu ketentuan hukum, maka taraf kesadaran hukumnya lebih
rendah daripada apabila mereka memahaminya dan seterusnya. kesadaran hukum
masih dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti ekonomi, sosial, budaya dan lain-
lain. Oleh karena itu, perlu adanya upaya-upaya strategis untuk menumbuhkan
kesadaran hukum tersebut, baik dari sisi mental manusianya maupun dari segi
kebijakan. Bagi pelaku usaha, misalnya melakukan AMDAL dan pengelolaan
limbah yang dihasilkan. Sementara bagi Pemerintah, misalnya dengan
memperketat proses AMDAL dan perizinan, serta menindak tegas pegawai yang
menyalahgunakan kewenangannya, seperti memberikan AMDAL dan izin tanpa
prosedur yang seharusnya. Selain itu, pemerintah dalam membuat kebijakan tata
kota dan perizinan area bisnis hendaknya memperhatikan kondisi lingkungan tidak
hanya untuk saat ini tetapi juga untuk masa yang akan datang.
Adapun dalam konteks menumbuhkembangkan kesadaran hukum lingkungan,
ada beberapa masalah yang perlu dicermati, yaitu:
1) unsur pengetahuan sekaligus pemahaman terhadap peraturan
perundang-undangan khususnya dibidang lingkungan hidup;
2) adanya unsur mengerti terhadap hal-hal yang berkaitan dengan
pengaturan hukum pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya
alam; dan
3) unsur mentaati terhadap segala peraturan perundang-undangan
dibidang lingkungan hidup dan sumber daya alam.
7
Soekanto.S.,1986. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta :CV. Rajawali.
10
2.3 Penegakan Hukum Lingkungan.
1. Istilah dan Pengertian Penegakkan Hukum Lingkungan
Dalam bahasa Belanda terminologi penegakan hukum lingkungan dikenal
dengan istilah ”handhaving van milieurecht”, sedangkan dalam bahasa Inggris dikenal
dengan istilah ”environmental law enforcement” atau ”enforcement of environmental
law”. Salah satu ahli hukum yakni Prof. Siti Sundari Rangkuti sendiri menggunakan
istilah pengawasan lingkungan kedalam terminologi penegakan hukum lin gkungan.
Sebelum kita membahas perihal definisi dari penegakan hukum lingkungan itu sendiri
terlebih dahulu akan kita bahas perihal definisi dari penegakan hukum.
Penegakan hukum merupakan istilah yang memiliki keberagaman makna.
Terdapat banyak para ahli yang mengungkapkan pendapatnya yang berbeda mengenai
definisi dari penegakan hukum itu sendiri. Menurut Satjipto Rahardjo, penegakan
hukum diartikan sebagai suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum,
yaitu pikiran-pikiran dari badan-badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dan
ditetapkan dalam peraturan-peraturan hukum yang kemudian menjadi kenyataan8.
Sedangkan Soedarto mengartikan penegakan hukum sebagai perhatian dan
penggarapan perbuatan melawan hukum yang sungguh-sungguh terjadi (onrecht in
actu) maupun perbuatan melawan hukum yang mungkin terjadi (onrecht in potentie).9
Definisi yang senada juga diberikan oleh Soerjono Soekanto, dimana beliau
menyatakan apabila penegakan hukum merupakan kegiatan untuk menyerasikan
hubungan nilai nilai yang terjabarkan di dalam kaedah-kaedah yang mantap dan
pengejawantahan dalam sikap dan tindakan sebagai rangkaian penjabaran nilai-nilai
tahap akhir, untuk menciptakan dan memelihara, serta memperthankan kedamaian dan
pergaulan. Secara konsepsional maka inti dan arti penegakan hukum terletak pada
pergaulan hidup.10 Lalu A. Hamzah, juga mengatakan bahwa penegakan hukum adalah
merupakan suatu pengawasan dan penerapan (atau dengan ancaman) penggunaan
instrumin administratif, kepidanaan, atau keperdataan untuk mencapai suatu penaatan
terhadap ketentuan hukum dan peraturan yang berlaku umum dan berlaku untuk
individu.
8
Rahardjo.S., 1993.Masalah Penegakan Hukum. Suatu Tinjauan Sosiologis. Bandung:Sinar Baru.(1)
9
Soedarto.1986. Kapita Selekta Hukum Pidana Cetakan Ke-2. Bandung: Alumni. (111)
10
Soekanto.S.,1993. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum Cetakan ke-3. Jakarta: Raja Grafindo
Persada. (5)
11
Lalu apakah yang dimaksud dengan penegakan hukum lingkungan? Menurut
Takdir Rahmadi Penegakan Hukum Lingkungan merupakan upaya untuk mencapai
ketaatan terhadap peraturan dan persyaratan dalam ketentuan hukum lingkungan yang
berlaku secara umum dan individual, melalui pengawasan dan penerapan sanksi
administrasi, gugatan perdata, dan pidana.11 Daud Silalahi juga menyatakan apabila
penegakan hukum lingkungan di Indonesia mencakup penaatan (compliance) dan
penindakan (enforcement), yang mencakup bidang hukum administrasi negara, bidang
hukum perdata, dan bidang hukum pidana. 12 G.A. Biezeveld menyatakan apabila tujuan
dilakukannya penegakan hukum lingkungan adalah untuk menjamin ketaatan terhadap
peraturan perundang-undangan lingkungan, yang mana dapat dilakukan dengan cara
sebagai berikut:
a) Pengawasan secara administratif (sebagai upaya preventif);
b) Penegakan hukum administrasi atau sanksi administrasi, dalam hal terdapat
pelanggaran secara administratif (sebagai upaya korektif);
c) Penegakan hukum lingkungan kepidanaan dalam hal terjadi pelanggaran
ketentuan hukum pidana (sebagai upaya represif);
d) Gugatan perdata untuk menggugat pelanggaran atau perbuatan yang
mengakibatkan perusakan atau pencemaran lingkungan (sebagai upaya
preventif atau korektif).
Dengan demikian, dapat kita simpulkan apabila yang dimaksud dengan
penegakan hukum lingkungan adalah upaya untuk mencapai ketaatan terhadap
peraturan dan persyaratan dalam ketentuan hukum lingkungan yang berlaku secara
umum dan individual, melalui pengawasan dan penerapan sanksi administrasi, gugatan
perdata, dan pidana.
Dari beberapa pengertian yang diberikan 3 ahli diatas maka dapat kita lihat
apabila Penegakan hukum lingkungan dapat dibedakan dalam tiga aspek, yaitu:
penegakan hukum lingkungan administrative oleh aparatur pemerintah (administrative
environmental law enforcement); penegakan hukum lingkungan kepidanaan yang
dilakukan melalui prosedur yuridis peradilan (criminal environmental law
enforcement); dan penegakan hukum lingkungan keperdataan yang ditempuh secara
litigasi maupun nonlitigasi (civil environmental law enforcement). Pengenaan atau
penjatuhan sanksi administrasi terhadap setiap kasus perusakan atau pencemaran
11
Rahmadi.T., 2019.Hukum Lingkungan di Indonesia. Jakarta:Rajawali Pers.(199)
12
Akib.M., 2014. Hukum Lingkungan, Perspektif Global dan Nasional. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. (208)
12
lingkungan haruslah terlebih dahulu mendapatkan prioritas utama. Dengan kata lain,
penjatuhan sanksi administrasi haruslah mendahului sanksi-sanksi lalnnya. Hal ini
didasarkan kepada bahwa sifat dari sanksi administratif itu adalah langsung ditujukan
untuk menyelesaikan sumber masalahnya. Tidak demikian halnya dengan sanksi pidana
yang bertujuan memenjarakan pelaku atau penjatuhan sanksi perdata yang
bertujuanpenuntutan ganti kerugian. Kedua jenis sanksi tersebut sangat jelas tidak
ditujukan langsung untuk menyelesaikan sumber masalahnya. Berapapun beratnya
sanksi pidana yang dijatuhkan dan berapapun besarnya ganti kerugian yang dibayarkan
tidaklah ada kaitannya dengan penyelesaian sumber masalahnya. Perusakan dan atau
pencemaran lingkungan tetap saja berlangsung, bahkan mungkin dampaknya sangat
potensial semakin meluas.
Penegakan hukum lingkungan pada pokoknya terdiri atas dua sistem atau
strategi. Penegakan hukum lingkungan itu sendiri dapat dilakukan secara preventif dan
represif, sesuai dengan sifat dan efektivitasnya. Berikut adalah penjelasannya:
a) Penegakan hukum yang bersifat preventif, berarti bahwa pengawasan aktif
dilakukan terhadap kepatuhan kepada peraturan tanpa kejadian langsung yang
menyangkut peristiwa konkrit yang menimbulkan sangkaan bahwa peraturan
hukum telah dilanggar. 13 Penegakan hukum preventif dilakukan dengan
melaksanakan penyuluhan, pemantauan dan penggunaan kewenangan yang
sifatnya pengawasan (pengambilan sampel, penghentian mesin-mesin dan
sebagainya). Dengan demikian, penegak hukum yang utama adalah pejabat /
aparat pemerintah yang berwenang memberi izin dan mencegah terjadinya
pencemaran lingkungan.
b) Penegakan hukum lingkungan yang bersifat represif dilakukan dalam hal
perbuatan yang melanggar peraturan dan bertujuan untuk mengakhiri secara
langsung perbuatan terlarang. 14 Penegakan hukum represif dilakukan melalui
pemberian sanksi atau proses pengadilan dalam hal terjadi perbuatan melanggar
peraturan. Penindakan secara pidana umumnya selalu menyusuli pelanggaran
peraturan dan biasanya tidak dapat meniadakan akibat pelanggaran tersebut.
Untuk menghindari penindakan pidana secara berulang-ulang, pelaku sendirilah
yang harus menghentikan keadaan itu.
13
Kim, S. W, 2009. “Kebijakan hukum pidana dalam upaya penegakan hukum lingkungan hidup “, Doctoral
Dissertation, Fakultas Hukum, Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro,Semarang, h.44.
14
Ibid.
13
2. Aparatur Penegakan Hukum Lingkungan
Menurut Soerjono Soekanto efektif atau tidaknya suatu penegakan hukum ditentukan
oleh 5 (lima) faktor, yaitu:15
a) Faktor Hukumnya sendiri (undang-undang), yaitu Undang-Undang dalam arti
materiil sebagai produk hukum yang dihasilkan oleh lembaga pembentuk
Undang-undang.
b) Faktor Penegak Hukum, yaitu pihak-pihak dalam masyarakat yang berwenang
dalam membentuk dan menegakkan hukum.
c) Faktor Sarana dan Fasilitas, yang mencakup mencakup tenaga manusia yang
berpendidikan dan trampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai,
keuangan yang cukup, dan seterusnya.
d) Faktor Masyarakat, yaitu lingkungan tempat norma hukum itu diterapkan.
e) Faktor Kebudayaan, yang mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang
berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi abstrak mengenai apa yang
dianggap baik sehingga dianut dan apa yang dianggap buruk sehingga dihindari.
Berdasarkan teori diatas maka penegakan hukum lingkungan itu sendiri akan sangat
dipengaruhi oleh peraturan perundang-undangan, paratur penegak hukum, dan
kesadaran masyarakat yang terkena pengaturan (hukum). Ini artinya lemahnya
substansi hukum atau peraturan perundang-undangan tentang lingkungan secara
langsung juga akan mengganggu jalanya penegakan hukum, tetap i tidak selamanya
substansi hukum yang baik menjamin terlaksananya penegakan hukum yang baik pula.
Substansi hukum yang baik apabila tidak didukung oleh aparatur penegak hukum yang
handal dan dapat melakukan tugasnya dengan baik tentu saja akan menghambat
efektivitas dari penerapan hukum itu sendiri dalam masyarakat.
Menurut pandangan Siti Sundari Rangkuti dalam konteks penegakan hukum
lingkungan yang melibatkan ketiga aspek hukum (administrasi, pidana dan perdata)
niscaya aparatur penegak hukum lingkungan tidak hanya mencakup: hakim, polisi,
jaksa/penuntut umum, dan pengacara/penasehat hukum, 16 tetapi juga menyangkut
pejabat yang berwenang dibidang perizinan lingkungan. Dalam konteks penegakan
hukum lingkungan ada sebuah prinsip yang menyatakan: “pejabat yang berwenang
15
Soekanto,S, 2008. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta:Raja Grafindo Persada.(8)
16
Rangkuti.S.S.,2005. Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional Edisi ke-3. Surabaya:
Penerbit Airlangga University Press.(209)
14
memberi izin (lingkungan) bertanggung jawab terhadap penegakan hukum lingkungan
administratif”. Bahkan dalam penegakan hukum lingkungan terdapat pernyataan
dimana organ pemerintah/pejabat yang berwenang memberi izin merupakan aparatur
penegak hukum lingkungan yang utama (dan) yang mampu mencegah terjadinya
pencemaran dan kerusakan atas lingkungan hidup.17
17
Fadli.M., Mukhlish, & Mustafa Luthfi. 2016. Hukum dan Kebijakan Lingkungan.Malang:UB Press. (77)
15
4. Kedudukan Hukum dalam Upaya Penegakan Hukum Lingkungan
Hukum diciptakan sebagai sarana untuk menjadi wadah yang akan mengatur
hak dan kewajiban warga negara sebagai subyek hukum untuk dapat melakukan hak
dan kewajibannya dengan baik dan tidak merugikan orang lain. Dalam hal ini terdapat
beberapa aturan untuk melakukan suatu kegiatan agar hukum dapat terwujud dengan
tertib dan teratur. Hukum berfungsi untuk dapat memberikan sesuatu yang nantinya
akan menjadi penggerak dalam pembangunan yaitu menjadikan masyarakat lebih maju
dari yang sebelumnya sehingga mereka dapat berfikir secara logis, rasionalis, dan
kritis.18 Hukum itu sendiri dapat berbentuk tertulis dan juga tidak tertulis. Sebagai salah
satu hukum tertulis di Indonesia, undang-undang dasar 1945 harus mampu memberi
rumusan yang jelas dan nyata mengenai berbagai bentuk permasalahan yang berkaitan
dengan kesejahteraan, hak dan kewajiban warga negara, memberikan perlindungan,
kebebasan, dan untuk menjamin perlindungan terhadap lingkungan hidup agar menjadi
lebih baik.
Secara umum hukum memiliki kedudukan yang sangat penting terhadap
penegakan hukum itu sendiri, keduanya sudah menjadi satu kesatuan yang tidak dapat
dilepaskan, bagaimana mungkin penegakan hukum dapat dilakukan tanpa adanya
hukum itu sendiri begitu juga sebaliknya bagaimana hukum dapat berjalan efektif dan
memberikan kepastian serta keadilan bagi masyarakat apabila tidak ada proses
penegakan hukum. Hal ini juga sejalan dengan teori system hukum oleh Lawrence M.
Friedman dimana menurut beliau dalam setiap sistem hukum terdiri dari 3 (tiga) sub
sistem, yaitu:
a) Substansi hukum (legal substance)
Menurut Lawrence M.Friedman substansi hukum (legal substance) artinya
“...the actual rules, norm, and behavioral patterns of people inside the system
…the stress here is on living law, not just rules in law books”. 19 Substansi
berarti aturan, norma, dan pola perilaku nyata orang-orang di dalam system
hukum tersebut. Substansi dapat diartikan sebagai suatu hasil nyata atau produk
asli yang dihasilkan atau dilahirkan oleh system hukum tersebut. Hasil nyata
tersebut tidak hanya berupa norma hukum yang dibuat oleh pembuat undang-
undang dan tertuang secara tertulis di dalam peraturan perundang-undangan,
18
Deni.B.,2014. Hukum Lingkungan Hidup. Bekasi: Gramata Publishing.(3)
19
Friedman.L.M., (2001). Hukum Amerika: Sebuah Pengantar, cet. II, terjemahan Wisnu Basuki, Tatanusa,
Jakarta,h.5
16
namun juga norma hukum yang hidup dan berkembang di masyarakat sebagai
hukum yang hidup (the living law).
b) Struktur hukum (legal structure)
Menurut Lawrence M.Friedman struktur hukum (legal structure) adalah “...its
skeleton or framework;it is the permanent shape, the institutional body o f the
system, the though rigid nones that keep the process flowing within
bounds…”.20 Struktur adalah kerangka atau rangkanya sistem hukum, bagian
yang permanen dan tetap. bertahan, bagian yang memberikan semacam bentuk
dan batasan terhadap keseluruhan bangunan hukum. Struktur adalah bagian dari
sistem hukum yang bergerak di dalam suatu mekanisme, berkaitan dengan
lembaga pembuat undang-undang, pengadilan, penyidikan, dan berbagai badan
yang diberi wewenang untuk menerapkan dan menegakkan hukum. Struktur
hukum tiada lain adalah kelembagaan atau penegak hukum termasuk kinerjanya
(pelaksanaan hukum).21
c) Budaya hukum (legal culture)
Menurut Lawrence M.Friedman budaya hukum (legal culture) adalah ““The
legal culture, system their beliefs, values, ideas and expectation...”. Budaya
hukum adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum, kepercayaan,
nilai, pemikiran, serta harapannya. Menurut Achmad Ali Kultur hukum
diartikan sebagai opini-opini, kepercayaan-kepercayaan (keyakinan-
keyakinan, kebiasaan-kebiasaan, cara berfikir, dan cara bertindak, baik dari para
penegak hukum maupun dari warga masyarakat, tentang hukum dan berbagai
fenomena yang berkaitan dengan hukum. 22
Berdasarkan teori diatas maka Hukum lingkungan dikatakan efektif jika telah
mencapai suatu tujuan yang mana terdapat berbagai aspek-aspek yang saling terkait dan
berjalan baik pada penegakan hukumnya. Penegakan hukum lingkungan suatu bagian
yang sangat penting dalam hukum lingkungan itu sendiri, dimana dengan adanya
penegakan hukum yang jelas maka dapat membuat masyarakat untuk dapat patuh
terhadap hukum. Penegakan Hukum hanya dapat memberikan dampak yang demikian
20
Ibid.
21
Sudjana, S. (2019). Penerapan Sistem Hukum Menurut Lawrence W Friedman Terhadap Efektivitas
Perlindungan Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000. Al Amwal
(Hukum Ekonomi Syariah), 2(2),82.
22
Achmad,A., 2009. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk
Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence).Jakarta:Kencana.(204)
17
ketika hukum materiil yang ada dapat memberikan kejelasan dan tidak memberikan
kekaburan norma ataupun kekosongan norma.
Seberapa bagusnya suatu peraturan perundang-undangan bila tidak didukung
dengan aparat penegak hukum yang baik maka keadilan hanya angan -angan. Oleh
sebab itu keadilan hanya dapat tercipta ketika substansi hukum dan struktur hukum ini
dapat berjalan dengan baik secara beriringan. Hukum memiliki kedudukan yang begitu
krusial sebagai mata rantai pertama dalam sirklus pengaturan (regulatory chain)
perencanaan kebijakan (policy planning) tentang lingkungan. Sebagaimana dijelaskan
oleh A. Hamzah bahwa urutan dalam siklus pengaturan dan perencanaan kebijakan
tentang lingkungan terdiri dari:
1) Perundang-undangan (legislation; wet en regelgeving);
2) Penentuan standar (standard setting; normzetting);
3) Pemberian izin (licencing; vergunning-verlening);
4) Penerapan (implementation; uitvoering)
5) Penegakan hukum (law enforcement, rechsthandhaving)23
Hal ini membuktikan apabila Hukum yang dalam hal ini adalah peraturan
perundang-undangan merupakan langkah pertama perlu dilewati sebelum dilakukannya
penegakan hukum atau mencapai suatu penyelesaian terhadap permasalahan
lingkungan hidup yang terjadi. Secara spesifik sebagaimana sudah dijelaskan
sebelumnya instrumen hukum yang mengatur mengenai pengelolaan dan perlindungan
lingkungan hidup sudah diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Adanya Undang-
Undang ini dapat dijadikan pedoman yang ditujukan untuk dapat lebih memperkuat
penegakan hukum, dimana Undang-Undang ini lebih memfokuskan kepada
perencanaan dan penengakan hukum secara lebih serius. Menurut Slater Anne Michelle
dalam salah satu jurnalnya yang berjudul “International Environmental Law, Policy,
And Ethics” dengan berlakunya undang-undang tersebut, maka peran hukum
nampaknya akan membawa pengaruh yang sangat besar terhadap perubahan terjadi,
dimana undang-undang itu nantinya akan lebih memperkuat pada aspek perencanaan
dan penegakan hukum. 24
23
Hamzah.A., Ibid.
24
Michelle.S.A., (2019). “International Environmental Law, Policy, And Ethics (2nd edition)”. Environmental
Law Review,17( 2),164.
18
Pentingnya kedudukan hukum lingkungan dalam upaya penegakan hukum
terhadap permasalahan lingkungan salah satunya dapat kita lihat dari kasus kebakaran
hutan yang sering kali terjadi di Indonesia. Contohnya kasus permasalahan kebakaran
yang terjadi di Palangkaraya, Kalimantan Tengah pada Minggu, 22 september 2019
baru baru ini. Kebakaran ini bisa terjadi karena ulah manusia sendiri yang tidak berhati-
hati dan tentunya merugikan banyak orang. Akibatnya sebagian hutan hangus terbakar
dalam kasus tersebut. 25 Dalam menangani kasus-kasus seperti ini maka aparat penegak
hukum tentunya memerlukan suatu substansi hukum yang jelas dan akurat. Untuk itu
khusus untuk permasalahan lingkungan hidup berkaitan dengan kebakaran hutan ini
secara spesifik diatur dalam peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 4 Tahun
2001 Tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang
berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan. Dalam kasus kebakaran ini, mereka
dapat dipidana jika terbukti bersalah sesuai dengan ketentuan Pasal 11, Pasal 14, Pasal
17, dan Pasal 18 yang mengakibatkan terjadinya kerusakan dan kebakaran hutan milik
warga sehingga menimbulkan pencemaran lingkungan berupa polusi udara dan dapat
diancam serta dipidana sesuai dengan Pasal 98 ayat 1 dan atau Pasal 99 ayat 1 Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan
Hidup.
Dari ketentuan Pasal-Pasal dalam kasus kebakaran hutan secara tegas
menjelaskan tentang isi dari Pasal yang mengatakan jika setiap orang melakukan
tindakan yang merugikan orang lain maka akan dipidana baik dalam sanksi hukuman
denda maupun hukuman pidana. Dengan adanya hukum melalui peraturan perundang-
undangan atau peraturan lainnya yang memberikan sanksi tegas berupa hukuman denda
maupun pidana serta dengan didukung adanya adanya pengawasan dan penegakan
hukum yang cukup ketat antara pemerintah dan aparat hukum maka untuk kedepannya
pasti akan dapat meminimalisir terjadinya kasus lingkungan hidup seperti kasus
kebakaran hutan di Indonesia.
25
Purwanto. 2019. Kasus Karhutla, Korporasi Dijerat UU LIngkungan Hidup< Kasus Karhutla, Korporasi Dijerat
UU Lingkungan Hidup - Nasional Tempo.co>, [ diakses pada pukul 10:19 WITA 6 Mei 2022}.
19
namun pelaksanaanya dilapangan masih menemui hambatan. Adapun hambatan-
hambatan yang ditemui yaitu sebagai berikut:
a) Substansi Hukum
Substansi hukum menjadi pertama yang perlu diperhatikan dalam penegakan
hukum lingkungan itu sendiri. Substansi hukum yang baik tentu akan menjadi
awal yang baik dalam upaya penegakan hukum lingkungan. Apabila substansi
hukum yang baik ini juga didukung dengan aparat penegak hukum atau struktur
hukum yang kompeten dan professional maka tentunya penegakan hukum
lingkungan juga dapat berjalan dengan lancar, tetapi kenyatannya seringkali
berbagai kebijakan operasional yang dikeluarkan seringkali tidak konsisten
dengan prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
didalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 maupun Undang-Undang
yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup lainnya. 26
b) Aparat Penegak Hukum
Banyaknya kasus-kasus yang berkaitan dengan lingkungan sering kali
terhambat dikarenakan factor jumlah aparat penegak hukum profesional yang
mampu menangani kasus-kasus lingkungan hidup masih sangat terbatas.
Lingkungan hidup yang mencakup sangat luas dan kompleks serta berkenaan
dengan berbagai disiplin ilmu menjadi salah satu alasan bagi aparat penegak
hukum mengalami kesusahan dalam upaya menegakkan hukum lingkungan itu
sendiri, karena nyatanya akan sulit kiranya bagi aparat penegak hukum tersebut
untuk menguasai aspek lingkungan hidup yang amat luas dan kompleks
tersebut. Keterbatasan pengetahuan dan pemahaman aspek-aspek lingkungan
hidup oleh penegak hukum ini menjadi salah satu factor penghambat yang
sangat dominan dalam upaya untuk menciptakan kesamaan presepsi penangan
perkara lingkungan. 27 Selain itu, kurang profesionalnya aparat penegak hukum
dalam meyelesaikan perkara lingkungan juga menjadi salah satu factor
penghambat yang mempersulit upaya penegakan hukum lingkungan itu sendiri.
Banyak kasus-kasus lingkungan yang tidak ditanggapi secara serius oleh aparat
penegak hukum, kasus pencemaran, kasus penebangan illegal, kasus impor
26Herlina,N. (2017). Permasalahan lingkungan hidup dan penegakan hukum lingkungan di Indonesia. Jurnal
Ilmiah Galuh Justisi, 3(2), 162-176. (12).
27
Ibid.
20
limbah B3, kasus pencemaran dan perusakan lingkungan oleh pertambangan-
pertambangan besar yang hampir tidak pernah ditindaklanjuti secara tuntas. 28
c) Fasilitas dan Sarana
Fasilitas dan sarana merupakan salah satu alat yang begitu peting untuk dimiliki
dalam upaya penegakan hukum lingkungan itu sendiri. Ketiadaan atau
keterbatasan fasilitas dan sarana penunjang (termasuk dana), akan sangat
mempengaruhi keberhasilan penegakan hukum lingkungan. Kenyataan
menunjukkan apabila dalam penanganan kasus-kasus yang berkaitan dengan
lingkungan pasti akan melibatkan berbagai perangkat berteknologi canggih
seperti peralatan laboratorium yang dalam operasionalisasinya juga
membutuhkan tenaga ahli serta biaya yang cukup mahal.29 Sehingga disini
untuk mencapai penegakan hukum lingkungan itu sendiri pemerintah harus bisa
untuk menginvestasikan dana yang cukup besar, apabila tidak demikian maka
sudah pasti factor fasilitas dan sarana ini akan menjadi factor penghambat dalam
penegakan hukum lingkungan itu sendiri.
d) Perizinan
Perizinan merupakan instrument utama hukum lingkungan yang berfungsi
untuk mencegah terjadinya pencemaran, tetapi dalam pelaksanaannya perizinan
malah menjadi salah satu masalah yang lebih banyak memberi peluan g bagi
berkembangnya masalah lingkungan ketimbang membatasinya. 30 Dengan
bermodalkan ijin, suatu perusahaan bisa melakukan berbagai usaha yang sering
merusak lingkungan. Untuk mengatasi hal tersebut perlu ada sistem perijinan
lingkungan yang terpadu.
e) Sistem Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan atau yang sering disingkat menjadi
AMDAL merupakan salah bagian dari prosedur perijinan yang harus dilewati
terlebih dahulu untuk dapat memperoleh suatu ijin. Dalam praktek AMDAL
malah lebih mengarah pada penonjolan pemenuhan ketentuan administrative
daripada subtantifnya. 31 Kenyatannya pesatnya permintaan akan AMDAL
hanya sebatas menjadi mata rantai kewajiban dalam urusan perizinan dalam
28
Johar, O. A. (2021). Realitas Permasalahan Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia. Jurnal Ilmu
Lingkungan, 15(1), 54-65. (63)
29
Herlina, N. Op.cit. (13).
30
Ibid.
31
Ibid.
21
suatu usaha atau dipandang sebagai performa untuk mendapatkan akad kredit
atau izin investasi. Hal ini menyebabkan pemenuhan persyaratan AMDAL
dilakukan karena sifatnya yang diwajibkan atau diperintahkan oleh undang-
undang bukan karena kesadaran ekologis terhadap kelestarian lingkungan.
Dalam praktek juga proses transparansi dan mekanisme keterbukaan dokumen
AMDAL bagi masyarakat tidak berjalan sesuai harapan, bahkan masyarakat
(yang terkena dampak) tidak mengetahui secara pasti adanya suatu aktifitas
kegiatan.
f) Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Lingkungan
Kesadaraan hukum masyarakat yang masih terbatas terhadap lingkungan
disebabkan karena keawaman atau kurangnya pengetahuan masyarakat perihal
aspek lingkungan itu sendiri. 32 Ketidaktahuan ini kemudian akan menjalar yang
kemudian menyebabkan masyarakat menjadi tidak peka terhadap dampak yang
dapat ditumbulkan dari perbuatan pencemaran dan perusakan lingkungan atau
bahkan masyarakat malah tidak mengetahui akibat seperti apa yang akan timbul
apabila melakukan suatu pencemaran dan perusakan lingkungan itu sendiri. Hal
ini tentunya akan menghambat upaya penegakan hukum lingkungan itu sendiri,
dimana nyatanya aparatur negara tidak bisa bekerja sendiri demi penegakan
hukum lingkungan itu sendiri. Bahkan Undang-Undang No.32 tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengatur secara
mandiri dalam bab XI mengenai peran masyarakat, yang pada pasal 70
dinyatakan apabila Masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang sama dan
seluas-luasnya untuk berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup. Untuk menumbukan kesadaran hukum masyarakat ini
terhadap lingkungan maka diperlukan usaha-usaha seperti penyuluhan,
bimbingan, teladan dan keterlibatan masyarakat dalam penanggulangan
masalah lingkungan.
Andi Hamzah dalam bukunya yang berjudul Penegakan Hukum Lingkungan juga
menyatakan hal serupa mengenai hambatan-hambatan dalam penegakan hukum
lingkungan. Menurut beliau hambatan atau kendala terhadap penegakan hukum
lingkungan di Indonesia terjadi karena:33
32
Ibid.
33
Hamzah.A.,2005. Penegakan Hukum Lingkungan. Jakarta: Sinar Grafika. (53)
22
a) Hambatan yang bersifat alamiah jumlah penduduk Indonesia yang besar dan
tersebar di beberapa pulau serta beragam suku dan budaya memperlihakan
persepsi hukum yang berbeda, terutama mengenai lingkungannya.
b) Kesadaran hukum dan budaya masyarakat tentang arti pentingnya me njaga
kelestarian lingkungan masih rendah kendala ini sangat terasa dalam penegakan
hukum lingkungan Indonesia. Untuk itu sangat diperlukan pemberian
penerangan dan penyuluhan hukum secara luas.
c) Peraturan hukum menyangkut penanggulangan masalah lingkungan belum
lengkap, khususnya masalah pencemaran, pengurasan, dan perusakan
lingkungan.
d) Para penegak hukum belum mantap khususnya untuk penegakan hukum
lingkungan dan para penegak hukum dalam hal pemberian izin dan belum
menguasai seluk beluk hukum lingkungan. Hal ini dapat diatasi dengan
memberikan pendidikan dan pelatihan. Serta Sarana/fasilatas yang belum
mendukung kinerja pemerintah. Program dan kegiatan mesti didukung dengan
dana yang memadai apabila mengharapkan keberhasilan dengan baik
23
pembuatan keputusan. 34 Menurut Druopsteen dalam Siti Sundari Rangkuti, dikatakan
bahwa kebijaksanaan (beleid atau policy) bagi kalangan ilmu administrasi mengandung
berbagai definisi mengenai kebijaksanaan, tetapi pada umumnya semua pandangan
tersebut mengandung pengertian penetapan tujuan dan sarana. Berdasarkan dari
beberapa pandangan ahli mengenai kebijaksanaan dapat dirumuskan maksudnya
sebagai berikut:
1. Kebijaksanaan adalah kebijakan yang dibuat oleh administratur negara, atau
administratur publik. Maka, kebijaksanaan adalah segala sesuatu yang dikerjakan
dan tidak dikerjakan oleh pemerintah.
2. Kebijaksanaan adalah kebijakan yang mengatur kehidupan bersama atau
kehidupan publik. Dalam hal ini kebijakan publik akan mengatur masalah
bersama atau pribadi atau golongan yang sudah menjadi masalah bersama seluruh
masyarakat di daerah tersebut.
3. Kebijaksanaan dimaksudkan jika manfaat yang diperoleh masyarakat yang bukan
pengguna langsung dari produk yang dihasilkan jauh lebih banyak atau lebih
besar dari pengguna langsungnya
Dengan demikian, dari berbagai macam pengertian tentang kebijaksanaan, maka dapat
disimpulkan bahwa undang-undang adalah merupakan landasan hukum yang
mendasari kebijaksanaan pemerintah khususnya dalam bidang pengelolaan lingkungan
dan sumber daya alam.
Untuk ranah pengertian daripada “lingkungan” didapati beberapa pengertian
seperti, berdasarkan pasal 1 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2009 menyebutkan bahwa
“Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan
makhluk hidup termasuk manusia dan prilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri,
kelangsungan prikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.”
Menurut pandangan Munadjat Danusaputro menyatakakan bahwa “Lingkungan atau
lingkungan hidup adalah semua benda dan daya serta kondisi, termasuk di dalamnya
manusia dan tingkah-perbuatannya, yang terdapat dalam ruang dimana manusia berada
dan mempengaruhi kelangsungan hidup serta kesejahteraan manusia dan jasad-jasad
hidup lainnya.”
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut akan ditemui arti pentingnya
Lingkungan mengapa harus diperhatikan lebih lanjut. Hal ini karena manusia dan
34
Sigler, Jay. A., 1997. The Legal Sources of Public Policy. Toronto: D.C. Heart and Company. (3).
24
lingkungan tidak dapat dipisahkan, manusia tidak akan bisa hidup tanpa lin gkungan.
Kualitas manusia ditentukan oleh lingkungannya, lingkuan yang baik akan membawa
manusia mempunyai kualitas yang baik sebaliknya pun demikian kualitas manusia
yang baik akan menciptakan lingkungan yang baik dan optimal. Dengan itu manusia
dan lingkungan saling mempengaruhi.
35
Rangkuti, S.S., Op.Cit. (1) .
25
penanggulangan dan penegakan hukum mewajibkan pengintegrasian aspek
transparansi, partisipasi, akuntabilitas, dan keadilan.”
Dengan demikian, peranan hukum lingkungan dalam rangka perlindungan
terhadap lingkungan adalah menuangkan kebijaksanaan lingkungan dalam peraturan
perundang-undangan lingkungan. Supaya suatu peraturan perundang-undangan
lingkungan efektif dalam penerapannya harus berlandaskan pada asas-asas umum
kebijaksanaan lingkungan.
36
Danusaputro, Munadjat., 1980. Hukum Lingkungan Buku Satu Umum. Bandung: Binacipta. (69- 70).
37
Hardjasoemantri, Koesnadi., 1999. Hukum Tata Lingkungan. Edisi Ketujuh. Yogyakarta: Gajahmada
University Press. (38-39).
26
penyelesaian sengketa lingkungan dan hukum lingkungan merupakan dasar untuk
melaksanakan kebijakan yang digunakan oleh pemerintah untuk beroperasi masalah
lingkungan, dalam hal ini terdapat hubungan yang erat antara hukum dan kebijakan
dalam undang-undang perlindungan lingkungan.
Hukum lingkungan berhubungan erat dengan kebijaksanaan lingkungan yang
ditetapkan oleh penguasa yang berwenang di bidang pengelolaan lingkungan. Dalam
menetapkan kebijaksanaan lingkungan, penguasa ingin mencapai tujuan tertentu.
Untuk itu dapat dipergunakan berbagai sarana. 38 Kebijaksanaan (beleid) pada
umumnya mengandung pengertian penetapan tujuan dan sarana. Kebijaksanaan
lingkungan di Indonesia menyangkut pertanyaan "apa yang ingin dicapai, bagaimana
dan jalan apa, dengan sarana apa pengelolaan lingkungan dilaksanakan"? 39 untuk
membahas tentang kebijaksanaan lingkungan di Indonesia perlu diketengahkan tujuan
pengelolaan lingkungan berdasarkan ketentuan Pasal 3 UUPPLH: Perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup bertujuan:
1. Melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup;
2. Menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia;
3. Menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian ekosistem;
4. Menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup;
5. Mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan hidup;
6. Menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa depan;
7. Menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup se bagai
bagian dari hak asasi manusia;
8. Mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana;
9. Mewujudkan pembangunan berkelanjutan; dan
10. Mengantisipasi isu lingkungan global.
Berdasarkan UUPLH juga disebutkan pada ketentuan pokoknya terkait bahwa
tujuan daripada lingkungan hidup adalah:
1. Tercapainya keselarasan hubungan antara manusia dengan lingkungan hidup
sebagai tujuan membangun manusia Indonesia seutuhnya;
2. Terkebdalinya pemanfaatan sumber daya secara bijaksana;
3. Terwujudnya manusia Indonesia sebagai pembina lingkungan hidup;
38
Rangkuti.S.S. Op.Cit, (5-6) .
39
Ibid, (6-7).
27
4. Terlaksananya pembangunan berwawasan lingkungan untuk kepentingan
generasi sekarang dan mendatang;
5. Terlindunginya negara terhadap dampak kegiatan di luar wilayah negara yang
menyebabkan kerusakan dan pencemaran lingkungan.
40
Wijoyo, Suparto. 2005. Refleksi Matarantai Pengaturan Hukum Pengelolaan Lingkungan Secara Terpadu
(Studi Kasus Pencemaran Udara). Surabaya: Airlangga University Press. (142).
28
teknis yang terbaik ini berarti pengelolaan lingkungan harus dilakukan dengan
pengembangan teknologi bersih dan ramah lingkungan. Dengan teknologi ramah
lingkungan dapat dihindarkan terjadinya pencemaran lingkungan disamping itu
dari segi ekonomi dapat menguntungkan bagi pelaku usaha danlatau kegiatan.
Dalam keberlakuan UUPPLH asas sarana praktis yang terbaiklsarana teknis yang
terbaik dituangkan dalam ketentuan Pasal 10 huruf b yang menetapkan bahwa
dalam rangka pengelolaan lingkungan Pemerintah berkewajiban untuk
memanfaatkan dan mengembangkan teknologi yang akrab lingkungan.
3. Asas Pencemar Membayar (polluter pays principle)
Dalam asas ini terkandung makna bahwa pencemar harus memikul biaya
pencegahan pencemaran lingkungan yang ditimbulkan oleh kegiatan dan atau
usahanya. Dengan prinsip pencemar membayar (polluter pays principle) di
kembangkan penerapan instrumen ekonomik melalui pajak atau pungutan
(pollution charges) yang tujuannya adalah untuk membiayai upaya-upaya
pengendalian pencemaran lingkungan.41 Dalam UUPPLH prinsip pencemar
membayar dituangkan dalam ketentuan Pasal 2 tentang asas-asas perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup yang sa!ah satunya asasnya adalah prinsip pencemar
membayar.
4. Asas Cegat Tangkal/Cejak (stand still principle)
Dengan prinsip cegat tangkal (stand still principle) berarti dikehendaki
terjaganya suatu kompartemen atau wilayah tertentu atas terjadinya pencemaran di
bagian lingkungan atau lokasi lingkungan lain. Pencemaran lingkungan yang
terjadi pada suatu daerah harus dilokasir pada daerah itu sendiri, sehingga mutu
daerah lain tidak tumt menurun kualitasnya akibat pencemaran lingkungan yang
sedang terj adi didaerah lain. Terjadinya pencemaran lingkungan di suatu wilayah
tertentu hams diisolir agar merembet ke wilayah lain yang tidak tercemar.
5. Asas Perbedaan Regional (principle of regional differentiation)
Dengan prinsip perbedaan regional berarti pengelolaan lingkungan
dilakukan sesuai dengan kenyataan tentang adanya ketidaksamaan wilayah. Situasi
dan kondisi lingkungan berbeda-beda menurut daerahnya. 42 Penerapan prinsip
41
Rangkuti, Siti Sundari., 2008. lnstrumen Hokum Pengelolaan Lingkungan, dimuat dalam buku Dinamika
Perkembangan Hukum Tata Negara dan Hukum Lingkungan. Edisi Khusus, Kumpulan Tulisan Dalam Rangka
Purnabakti Prof. Dr. Siti Sundari Rangkuti, S.H. Surabaya: Airlangga University Press. (97).
42
Wijoyo, Suparto. 2005. Refleksi Matarantai Pengaturan Hukum Pengelolaan Lingkungan Secara Terpadu
(Studi Kasus Pencemaran Udara). Op.Cit (155).
29
perbedaan regional dalam hukum lingkungan dapat dilihat pada pengelolaan
kualitas lingkungan melalui penetapan baku mutu lingkungan. Baku mutu
lingkungan adalah sarana pencegahan pencemaran lingkungan. Penentuan baku
mutu lingkungan berbagai sumber daya tidak perlu sama, bahkan dapat berbeda
untuk setiap lingkungan, wilayah atau waktu. Baku mutu lingkungan ditentukan
sesuai dengan keadaan lingkungan masing-masing.
6. Asas Pembuktian Terbalik (het beginsel van de omkering van de bewijslast)
Asas beban pembuktian terbalik berarti ditekankan: barang siapa yang
melakukan kegiatan wajib menunjukkan bahwa kegiatannya tidak merugikan
lingkungan atau memang merugikan. Penerapan beban pembuktian terbalik in i
merupakan konsekuensi logis dari pergeseran konsep tanggunggugat berdasarkan
kesalahan menjadi tanggung gugat mutlak. Dengan tanggung gugat berdasarkan
kesalahan mengandung kesulitan dalam hal pembuktian kesalahan tergugat,
disamping mahalnya biaya perkara.
Dengan prinsip beban pembuktian terbalik tergugat harus membuktikan
bahwa perbuatan yang dilakukannya tidak ada unsur kesalahan sehingga dia
nantinya dibebaskan untuk membayar ganti kerugian. Dengan tidak diaturnya
beban pembuktian terbalik, maka UUPPLH telah melanggar apa yang telah
menjadi hak pihak tergugat (dalam konsep tanggung gugat mutlak) dalam kasus
sengketa lingkungan untuk membuktikan bahwa perbuatannya tidak mengandung
unsur kesalahan. Hal ini tentunya menciptakan ketidakadilan.
30
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1) Hukum memiliki peranan penting dalam menyikapi permasalahan lingkungan, yakni
sebagai sarana penting untuk mengatur perilaku-perilaku manusia terhadap lingkungan
dan segala aspeknya, supaya tidak terjadi perusakan, gangguan, pencemaran dan
kemerosotan nilai-nilai lingkungan itu sendiri.
2) Lingkungan hidup adalah merupakan salah satu aspek kebutuhan mendasar, dimana
dalam memenuhi kebutuhan tersebut manusia berhadapan atau melibatkan baik secara
perorangan maupun dan kelompok. Pengaturan dapat berwujud dalam bentuk apa yang
boleh diperbuat, yang dalam hal ini disebut dengan hak, dan apa pula yang terlarang
atau tidak boleh dilakukan, yang disebut dengan kewajiban oleh setiap subyek hukum.
Pengaturan hukum selain sebagai alat pengatur ketertiban masyarakat (law as a tool of
social order), serta untuk mengatur masyarakat (law as a tool of social engineering).
3) Hukum memiliki kedudukan yang begitu penting dalam upaya penegakan hukum
lingkungan terhadap permasalahan lingkungan hidup itu sendiri. Hukum dalam bentuk
undang-undang dapat dijadikan pedoman yang ditujukan untuk dapat lebih
memperkuat penegakan hukum, dimana melalui undang-undang ini lebih
memfokuskan kepada perencanaan dan penengakan hukum secara lebih serius.
Penegakan hukum lingkungan adalah upaya untuk mencapai ketaatan terhadap
peraturan dan persyaratan dalam ketentuan hukum lingkungan yang berlaku secara
umum dan individual, melalui pengawasan dan penerapan sanksi administrasi, gugatan
perdata, dan pidana. Dalam penegakan hukum lingkungan hidup terdapat berbagai
hambatan yang mengakibatkan tidak efektivitasnya faktor pendukung dalam
penegakan hukum lingkungan. Faktor-faktor yang dapat menjadi hambatan tersebut
antara lain: Substansi Hukum, Aparat Penegak Hukum, Fasilitas dan Sarana, Perizinan,
Sistem Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan Kesadaran Hukum
Masyarakat Terhadap Lingkungan
4) Dalam konteks pengelolaan lingkungan, hubungan antara hukum lingkungan dengan
kebijaksanaan lingkungan adalah merupakan bagian dari proses pembangunan hukum
nasional. Pengelolaan lingkungan hidup Indonesia telah mempunyai dasar hukum yang
kuat dan bersifat menyeluruh serta dilandasi oleh prinsip-prinsip hukum lingkungan.
Hukum lingkungan adalah instrumentarium yuridis bagi pengelolaan lingkungan.
Peranan hukum lingkungan dalam rangka perlindungan terhadap lingkungan adalah
31
menuangkan kebijaksanaan lingkungan dalam peraturan perundang-undangan
lingkungan. Supaya suatu peraturan perundang-undangan lingkungan efektif dalam
penerapannya harus berlandaskan pada asas-asas umum kebijaksanaan lingkungan.
Untuk menilai dari keefektifan hukum lingkungan dalam tataran implementasinya
maka perumusannya harus didasarkan pada asas-asas umum kebijaksanaan lingkungan
(general principles of environmental policy). Asas-asas umum kebijaksanaan
lingkungan. yang menjadi landasan peraturan perundang-undangan lingkungan kungan
meliputi: asas penanggulangan pada sumbemya, asas sarana praktis yang terbaik/sarana
teknis yang terbaik, asas pencemar membayar, asas cegat tangkal, asas perbedaan
regional dan asas pembuktian terbalik.
3.2 Saran
1) Pemerintah seharusnya lebih gencar lagi untuk mengadakan penyuluhan dan bimbingan
kepada masyarakat untuk menumbuhkan kesadaran di dalam masyarakat tersebut
perihal aspek-aspek lingkungan hidup beserta dampak yang diakibatkan dari perbuatan
penghancuran atau pengerusakan lingkungan hidup terhadap kelangsungan dan kulitas
hidup masyarakat.
2) Pemerintah beserta masyarakat harus bekerja sama secara sinergis demi m encapai
tujuan pengelolaan lingkungan berdasarkan ketentuan Pasal 3 Undang-Undang
Nomor.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolan Lingkungan Hidup.
32
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Achmad,A., 2009. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang
(Legisprudence).Jakarta:Kencana.
Chand.H., 1994. Modern Jurisprudence, International Law Book Service, Kuala Lumpur. (225)
Danusaputro, Munadjat., 1980. Hukum Lingkungan Buku Satu Umum. Bandung: Binacipta.
Fadli.M., Mukhlish, & Mustafa Luthfi. 2016. Hukum dan Kebijakan Lingkungan. Malang: UB
Press.
Hamzah.A.,1995. Penegakan Hukum Lingkungan. Jakarta: Penerbit Arikha Media Cipta.
Hamzah.A.,2005. Penegakan Hukum Lingkungan. Jakarta: Sinar Grafika.
Hardjasoemantri, Koesnadi., 1999. Hukum Tata Lingkungan. Edisi Ketujuh. Yogyakarta:
Gajahmada University Press.
Muhammad.A., 2014. Hukum Lingkungan, Perspektif Global dan Nasional. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada,
Rahardjo.S., 1993.Masalah Penegakan Hukum. Suatu Tinjauan Sosiologis. Bandung: Sinar
Baru.
Rahmadi.T., 2019.Hukum Lingkungan di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
Rangkuti, Siti Sundari., 2008. lnstrumen Hokum Pengelolaan Lingkungan, dimuat dalam buku
Dinamika Perkembangan Hukum Tata Negara dan Hukum Lingkungan. Edisi Khusus,
Kumpulan Tulisan Dalam Rangka Purnabakti Prof. Dr. Siti Sundari Rangkuti, S.H.
Surabaya: Airlangga University Press.
Rangkuti.S.S.,2005. Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasio nal Edisi
Ketiga. Surabaya: Penerbit Airlangga University Press.
Siahaan.N.H.T.,2009. Hukum Lingkungan. Jakarta: Penerbit Pancuran Alam.
Sigler, Jay. A., 1997. The Legal Sources of Public Policy. Toronto: D.C. Heart and Company.
Silalahi.D., 1996. Hukum Lingkungan dalam Penegakan Hukum Lingkungan di
Indonesia,edisi III. Bandung:Alumni.
Soedarto.1986. Kapita Selekta Hukum Pidana Cetakan Ke-2. Bandung: Alumni.
Soekanto.S, 2008. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: Raja
Grafindo Persad.
Soekanto.S.,1986. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: CV. Rajawali.
33
Soekanto.S.,1993. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum Cetakan ke-3.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Wijoyo, Suparto. 2005. Refleksi Matarantai Pengaturan Hukum Pengelolaan Lingkungan
Secara Terpadu (Studi Kasus Pencemaran Udara). Surabaya: Airlangga University
Press.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1997 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup .
Artikel
Purwanto. 2019. “Kasus Karhutla, Korporasi Dijerat UU Lingkungan Hidup”, < Kasus
Karhutla, Korporasi Dijerat UU Lingkungan Hidup - Nasional Tempo.co>, [ diakses
pada pukul 10:19 WITA 6 Mei 2022}.
34
HUKUM LINGKUNGAN
Dosen Pengampu:
Disusun oleh:
Kelompok 3
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2022
A. Latar Belakang
Lingkungan hidup sebagai karunia dan rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa kepada
rakyat dan bangsa Indonesia merupakan ruang bagi kehidupan dalam segala aspek dan
matranya sesuai dengan wawasan nusantara. Di dalam penyelenggaraan pengelolaan dan
pemantauan lingkungan dan pembangunan berwawasan lingkungan harus didasarkan pada
norma hukum dengan memperhatikan kesadaran masyarakat dan perkembangan lingkungan
global dan perangkat hukumnya. Permasalahan lingkungan hidup dari tahun ke tahun masih
memunculkan pekerjaan rumah bagi pemerintah sebagai pemangku kebijakan dan masyarakat
sebagai pihak yang diatur melalui peraturan-perundangan. Masalah lingkungan hidup dewasa
ini timbul karena kecerobohan manusia dalam pengelolaan lingkungan hidup. Masalah hukum
lingkungan dalam periode beberapa dekade akhir-akhir ini menduduki tempat perhatian dan
sumber pengkajian yang tidak ada habis-habisnya, baik ditingkat regional, nasional mauun
internasional dengan kata lain dapat dikatakan bahwa kelestarian lingkungan merupakan
sumber daya alam yang wajib kita semua lestarikan dan tetap menjaga kelanjutan guna
kelansungan hidup manusia. Menurut Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) yang dimaksud
dengan “Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan
makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri,
kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.”
Sedangkan menurut Pasal 1 angka (2) UUPPLH bahwa “perlindungan dan pengelolaan
lingkungan adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi
lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup
yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan dan
penegakan hukum.” Amanat pasal itu memiliki makna bahwa terdapat korelasi antara negara,
wujud perbuatan hukumnya berupa kebijakan (policy making), serta sistem tata kelola
lingkungan yang bertanggung jawab. Saat ini kerusakan lingkungan sudah menjadi masalah
yang sangat meresahkan dan sudah menjadi isu yang global pada era sekarang ini.1 Oleh
karena itu masyarakat bersama pemerintah dengan gencarnya melakukan upaya dalam
mengatasi permasalahan-permasalahan kerusakan lingkungan yang terjadi. Upaya-upaya yang
dilakukan tersebut bertujuan untuk menciptakan lingkungan bersih yang dapat dinikmati oleh
setiap makhluk hidup dan diharapkan dapat menjaga kelestarian fungsi lingkungan, sehingga
1
Deni Bram. 2014. Politik Hukum Pengelolaan Lingkungan Hidup Cetakan Pertama. Malang: Setara Press.
(23)
akan tetap mengedepankan prinsip berkelanjutan, dimana fungsi lingkungan akan tetap dapat
digunakan hingga generasi yang akan datang.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka dapat di tarik mengenai
rumusan masalah, diantaranya:
1. Bagaimana perkembangan masalah lingkungan Indonesia?
2. Bagaimana kebijaksanaan lingkungan Indonesia?
C. Pembahasan
1. Perkembangan Masalah Lingkungan Hidup Indonesia
Dalam perkembangannya, eksistensi hukum hanya terbatas dalam mengatur
hubungan manusia dengan manusia, di mana prinsip-prinsip hukum lebih ditujukan
kepada manusia dengan segala perilakunya dan dalam interaksinya dengan sesama. Hal
ini dikarenakan obyek hukum bersifat terbatas kepada manusia dan belum menguasai
hubungan antara manusia dengan lingkungannya, sehingga manusia bisa berkuasa
sepenuhnya dengan alam lingkungannya dengan cara bagaimana saja dan tidak ada yang
melarang maupun mengendalikannya, kecuali sudah bertemu dengan kepentingan sesama
(manusia).2
“Man has the fundamental right to freedom, equality and adequate conditions of life,
in an environment of a quality…..responsibility to protect and improve the
environment.”
Demikian pula dalam Deklarasi Rio pada tahun 1982 menyatakan bahwa:
“Human being are at the center of concerns for sustainable development/ They are
entitled to a healthy and productive life in harmony with nature.”
2
Mukhlish, 2019. Buku Ajar: Hukum Lingkungan. Surabaya: Scopindo Media Pustaka. (8)
Berdasarkan prinsip-prinsip hukum tersebut, dapat dipastikan kehadiran dan
keberadaan hukum lingkungan menunjukkan bahwa kedudukan alam dan lingkungan
sangat substansi dalam hubungannya dengan manusia, untuk itu maka harus dihargai dan
dilindungi supaya tetap eksis berdampingan dalam kehidupan manusia. Tentunya, undang-
undang dan segala bentuk produk hukum akan menjadi alat pengendali (a tool of control)
hubungan antara manusia dengan lingkungan hidup.3
3
Ibid, (9).
4
Ibid.
5
Ibid, (10).
mengindahkan nilai-nilai fungsi kelestarian lingkungan hidup. Hal inilah yang pada
akhirnya menyebabkan terjadi banyaknya permasalahan lingkungan.
Berdasarkan sudut pandang para sarjana, setidak-tidaknya ada lima faktor yang
melatarbelakangi timbulnya masalah-masalah lingkungan, yakni teknologi, penduduk,
ekonomi, politik, dan tata nilai yang berlaku.
1. Teknologi
Barry Commoner (1973) dalam bukunya “The Closing Circle” melihat bahwa
teknologi merupakan sumber terjadinya masalah-masalah lingkungan. Semakin
berkembang teknologi maka semakin berkembang pula alat-alat hasil dari teknologi
itu. Meski sekarang ini sedang gencar-gencarnya diperkenalkan teknologi ramah
lingkungan tetapi tidak menutupi fakta bahwa banyak alat-alat hasil teknologi yang
masih menjadi penyebab pencemaran lingkungan.6
2. Pertumbuhan Penduduk
Ehrlich dan Holdren menekankan bahwa pertumbuhan penduduk dan
peningkatan kekayaan memberikan sumbangan penting terhadap penurunan kualitas
lingkungan hidup. Mereka menolak pandangan Commoner bahwa pengembangan dan
penerapan teknologi baru ke dalam berbagai sektor yang dimulai pada tahun 1940
sebagai terjadinya masalah-masalah lingkungan.7
3. Motif Ekonomi
Hardin (1977) dalam bukunya yang berjudul “The Tragedy of the Commons”
melihat bahwa alasan-alasan ekonomi yang sering kali menggerakkan perilaku
manusia dan keputusan-keputusan yang diambil oleh manusia secara perorangan
maupun dalam kelompok, terutama dalam hubungannya dengan pemanfaatan common
property. Oleh karena sumber daya itu dapat dan bebas untuk dimanfaatkan oleh setiap
orang untuk memenuhi kebutuhannya masing-masing, akibatnya setiap orang berusaha
dan berlomba-lomba untuk memanfaatkan atau mengeksploitasi sumber daya
semaksimal mungkin guna memperoleh keuntungan pribadi yang sebesar-besarnya.8
6
Aditia Syaprillah, 2018. Buku Ajar Mata Kuliah Hukum Lingkungan. Yogyakarta: Deepublish. (15)
7
Ibid, (16).
8
Ibid, (16).
4. Tata Nilai
Sebagian pakar berpendapat bahwa timbulnya masalah-masalah lingkungan
hidup disebabkan oleh tata nilai yang berlaku menempatkan kepentingan manusia
sebagai pusat dari segala-galanya dalam alam semesta. Nilai dari segala sesuatu yang
ada di alam semesta dilihat dari sudut pandang kepentingan manusia semata. Tata nilai
yang dimiliki ini dikenal dengan istilah antropocentric atau homocentric.9
9
Ibid, (16-17).
10
Ibid, (17).
terakhir sangat masif dan telah menimbulkan bencana yang dahsyat. Indonesia merupakan
salah satu penyumbang besar dalam kepunahan keanekaragaman hayati, pemanasan
global, dan penghancuran ekosistem laut.Untuk mempermudah, maka akan dibagi
berdasarkan sektor-sektor berikut: (i) kehutanan, (ii) pertambangan, (iii) kelautan, (iv)
limbah dan pencemaran (limbah B3, pencemaran air/sungai, pencemaran udara).11
A. Sektor Kehutanan
Sebagaimana dijelaskan pada pembahasan tentang permasalahan lingkungan
global di atas, Indonesia dianggap adalah perusak hutan terbesar di dunia karena
tingkat pengrusakan hutan di Indonesia sangat tinggi. Penyebab utama kerusakan
hutan di Indonesia dapat digolongkan ke dalam lima kategori utama, yakni:
a. pembakaran liar,
b. konsensi lahan untuk logging dan perkebunan (di atas kertas legal),
c. penambang liar,
d. konsensi hutan untuk pertambangan (di atas kertas legal).
e. perambahan hutan oleh masyarakat sekitar
B. Sektor Pertambangan
Sektor pertambangan tak kalah parahnya dengan sektor kehutanan. Hampir
semua pertambangan di Indonesia tidak patuh pada peraturan hukum yang berlaku di
negeri ini, termasuk pertambangan-pertambangan besar sekalipun yang diberi izin dan
diawasi oleh pemerintah. Menurut Greenpeace, sekitar 70 persen kerusakan
lingkungan di Indonesia disebabkan oleh pertambangan. Jumlah izin pertambangan
yang telah diberikan oleh pemerintah mencapai lebih dari 10.000 perizinan dan ini
belum termasuk perizinan tambang Galian C. Contoh nyata kerusakan lingkungan
yang dilakukan oleh pertambangan besar dapat dilihat pada sejumlah pertambangan
yang dikelola oleh perusahan-perusahaan berikut:
a. Kasus Pencemaran Teluk Buyat
b. Lumpur Lapindo Brantas
c. Pencemaran Freeport
11
Laude M. Syarif dan Andri G. Wibisana, 2010. Hukum Lingkungan Teori, Legislasi, dan Studi
Kasus. Jakarta: PT Raja Grafindo. (21)
Di samping kerusakan lingkungan akibat eksploitasi sumber daya alam seperti
tambang, hutan, ikan dan lain-lain, sumber permasalahan lingkungan di Indonesia juga
disebabkan oleh industri, dunia usaha dan limbah domestik. Sampai hari ini, hampir
semua sungai besar di Indonesia, khususnya yang berada di Pulau Jawa sangat
tercemar dan telah melampaui baku mutu air yang ditetapkan oleh pemerintah. Sungai
Ciliwung yang membelah Jakarta dan Sungai Bengawan Solo yang membelah Pulau
Jawa adalah contoh klasik dari sungai yang tercemar bahkan tingkat cemarnya sudah
dalam kriteria sangat berbahaya. Kementerian Lingkungan Hidup bahkan menyatakan
‘Bengawan Solo sakit’, sehingga perlu diobati dan diselamatkan bersama-sama. Di
samping sungai-sungai di atas, hampir semua sungai besar di Indonesia juga
mengalami pencemaran yang sangat berat. Penyebab utama dari tercemarnya sungai-
sungai tersebut adalah kombinasi dari: (i) limbah rumah tangga (padat dan cair), (ii)
limbah industri (padat dan cair), (iii) limbah pertanian (pestisida, insektisida, pupuk
urea, dll). Namun demikian, limbah industri adalah yang paling berbahaya, karena
limbah cair industri biasanya mengandung zat-zat beracun. Kebanyakan industri di
Indonesia sering membuang limbah mereka ke sungai tanpa melalui instalasi
pengelolaan limbah (IPAL) yang baik dan memadai.
Sejumlah kasus pencemaran sungai yang telah diproses secara hukum dapat
dilihat pada kasus-kasus berikut:
a. Kasus Rumah Potong Hewan Surabaya
b. Kasus Wings Surya
12
Mukhlish. 2019. Buku Ajar: Hukum Lingkungan. Surabaya: Scopindo Media Pustaka. (46-47).
13
Riant Nugroho Dwijowijoto. 2006. Kebijakan Publik Untuk Negara-Negara Berkembang. Jakarta: PT Elex
Media Komputindo. (23-27)
14
Mukhlish, op.cit (49)
lanjut dari Konferensi Stockholm 1972, kegiatan pengelolaan lingkungan di Indonesia
mulai ditangani secara langsung oleh pemerintah berdasarkan Keputusan Presiden Nomor
16 Tahun 1972 tentang Pembentukan Panitia Perumus dan rencana Kerja bagi Pemerintah
di Bidang Pengembangan Lingkungan Hidup. Panitia ini berhasil menyusun inventarisasi
dan rencana kerja bagi pemerintah di bidang pengembangan lingkungan hidup yang
kemudian dituangkan dalam TAP MPR RI Nomor IV/MPR/1973 tentang GBHN. 15
15
Khalisah Hayatuddin dan Selika Aprita. 2021. Hukum Lingkungan. Jakarta: Kencana. (61)
16
Ibid (49-50)
17
Siti Sundari Rangkuti. 2005. Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional. Surabaya:
Penerbit Airlangga University Press. (9)
18
Mukhlish, op.cit (50)
Menurut Yunus Wahid dalam buku Pengantar Hukum Lingkungan menyebutkan
bahwasannya kebijaksanaan lingkungan hidup atau PPLH dapat dibagi ke dalam dua era,
yaitu era sebelum amandemen dan sesudah amandemen UUD 1945.19
Ketentuan yang termuat dalam Bab III butir 10 TAP MPR Nomor
IV/MPR/1973-GBHN menjadi titik tolak kebijaksanaan nasional perlindungan dan
pengelolaan lingkugan hidup di Indonesia. Upaya penyempurnaan (penyesuaian) turut
dilakukan sesuai dengan perkembangan yang dicapai pada penetapan GBNH-GBHN
berikutnya. Terdapat sebuah persamaan pemikiran yang melandasi, yaitu
memanfaatkan sumber daya alam dan lingkungan hidup secara lestari dan lintas
generasi dengan beberapa variasi sebagai penekanan seperti mengembangkan hukum
lingkungan yang mulai dimasukkan pada GBHN (1978-1983, TAP MPR Nomor
IV/MPR/1978) yang kemudian menghasilkan UULH (Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1982) yang merupakan undang-undang lingkungan hidup pertama bagi sejarah
ketatanegaraan Indonesia.21
19
Yunus Wahid. 2008. Pengantar Hukum Lingkungan. Jakarta: Kencana. (187)
20
Koesnadi Hardjasoemantri. 1989. Invironmental Legislation in Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press. (5)
21
Yunus Wahid, op.cit (188).
lingkungan”. Untuk maksud tersebut, diupayakan pemberdayaan masyarakat dan
seluruh kekuatan ekonomi nasional, berbasis pada sumber daya alam dan sumber daya
manusia yang produktif, berwawasan lingkungan hidup, dan berkelanjutan
sebagaimana termuat dalam Bab III, visi dan misi GBHN 1999-2004).22
Pada Bab IV GBHN 1999-2004, Arah Kebijakan Sub H : Sumber Daya Alam
dan Lingkungan Hidup, ditegaskan:
a. Mengelola sumber daya alam dan memelihara daya dukungnya agar bermanfaat
bagi peningkatan kesejahteraan dari generasi ke generasi.
b. Meningkatkan pemanfaatan potensi sumber daya alam dan lingkungan hidup
dengan melakukan konservasi, rehabilitasi, dan penghematan penggunaan, dengan
menerapkan teknologi ramah lingkungan.
c. Mendelegasikan secara bertahap wewenang pemerintah usat kepada pemerintah
daerah dalam pelaksanaan pengelolaan sumber daya alam secara selektif dan
pemeliharaan lingkungan hidup sehingga kualitas ekosistem tetap terjaga, yang
diatur dengan Undang-Undang.
d. Pendayagunaan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
dengna memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup,
pembangunan yang berkelanjutan, kepentingan ekonomi dan budaya lokal, serta
penataan ruang, yang pengusahananya diatur dengan Undang-Undang.
e. Merepkan indikator-indikator yang memungkinkan pelestarian (fungsi) dan
kemampuan keterbaruan dalam pengelolaan sumber daya alam yang dapat
diperbaharui untuk mencegah kerusakan sumber daya alam yang tidak dapat
balik.23
Sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 9 ayat (1) UUPLH disebutkan bahwa
kebijaksanaan pengelolaan lingkungan hidup oleh pemerintah, yang ditegaskan dengan
rumusan:
22
Ibid.
23
Ibid.
B. Sesudah Amandemen UUD 1945
Amandemen UUD 1945 turut membawa perubahan terhadap GBHN dalam
ketatanegaraan Republik Indonesia. Perubahan mendasar tersebut adalah ditiadakannya
GBHN dalam ketenagaraan Republik Indonesia sejalan dengan perubahan supremasi
MPR (lembaga tertinggi negara) sebagai pemegang dan pelaksana sepenuhnya
kedaulatan rakyat menjadi sejajar dengan lembaga-lembaga negara lainnya.24
Perubahan lembaga MPR yang sebelumnya sebagai lembaga tertinggi negara menjadi
lembaga tinggi negara menyebabkan MPR tidak lagi memiliki kewenangan untuk
menetapkan GBHN. Konsekuensi yang timbul adalah kebijaksanaan nasional,
termasuk kebijaksanaan di bidang lingkungan hidup diatur dalam dan berdasarkan
Undang-Undang.25
24
Moh. Mahmud MD. 2010. Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca-Amandemen Konstitusi. Jakarta:
Rajawali Pers. (69)
25
Yunus Wahid, op.cit (189).
2002) landasan konstitusional tersebut telah mengalami serangkaian (empat kali)
perbuahan. Termasuk di dalamnya perubahan dalam hal pengelolaan pembangunan dan
penyelengaraan negara pada umumnya.26
D. Kesimpulan
Berdasarkan latar belakang dan pembahasan di atas, maka dapat ditarik beberapa
simpulan, yaitu:
1. Dalam perkembangannya, eksistensi hukum hanya terbatas dalam mengatur hubungan
manusia dengan manusia, di mana prinsip-prinsip hukum lebih ditujukan kepada
manusia dengan segala perilakunya dan dalam interaksinya dengan sesama. Ada lima
faktor yang melatarbelakangi timbulnya masalah-masalah lingkungan, yakni teknologi,
penduduk, ekonomi, politik, dan tata nilai yang berlaku. Ada 4 sektor juga yang menjadi
26
Ibid, (190).
27
Ibid.
Penyebab kerusakan lingkungan hidup diantaranya adalah sektor kehutanan, sektor
pertambangan, kelautan, limbah dan pencemaran udara. Oleh karena itu sangat
diperlukan kesadaran dari seluruh masyarakat serta pemerintah agar dapat melakukan
upaya dalam mengatasi permasalahan-permasalahan kerusakan lingkungan yang
terjadi.
2. Kebijaksanaan lingkungan hidup atau PPLH terbagi ke dalam dua era, era sebelum
amandemen yaitu mengenai perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang
termuat dalam Tap MPR Nomor IV/MPR/1973-GBHN (1973-1978) dan dalam
ketentuan ini juga khususnya pada Bab III butir 10 menjadi titik tolak kebijaksanaan
nasional perlindungan dan pengelolaan lingkugan hidup di Indonesia dan sesudah
amandemen UUD 1945 terjadi sebuah perubahan yang mendasar yaitu adalah
ditiadakannya GBHN dalam ketenagaraan Republik Indonesia sejalan dengan
perubahan supremasi MPR (lembaga tertinggi negara) sebagai pemegang dan
pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat yang menjadi sejajar dengan lembaga-
lembaga negara lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Bram, Deni, 2014, Politik Hukum Pengelolaan Lingkungan Hidup Cetakan Pertama, Setara
Press, Malang.
Laude M. Syarif dan Andri G. Wibisana, 2010, Hukum Lingkungan Teori, Legislasi, dan Studi
Kasus, PT Raja Grafindo, Jakarta.
MD, Moh. Mahmud, 2010, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca-Amandemen Konstitusi,
Rajawali Pers, Jakarta.
Mukhlish, 2019, Buku Ajar: Hukum Lingkungan, Scopindo Media Pustaka, Surabaya.
Rangkuti, Siti Sundari, 2005, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional,
Penerbit Airlangga University Press, Surabaya.
Syaprillah, Aditia, 2018, Buku Ajar Mata Kuliah Hukum Lingkungan, Deepublish, Yogyakarta.
Disusun Oleh :
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2022
BAB I
PENDAHULUAN
Lingkungan hidup adalah kombinasi antara kondisi fisik yang mencakup keadaan
sumber daya alam seperti tanah, air, energi surya, mineral, serta flora dan fauna yang
tumbuh di atas tanah maupun di dalam lautan, dengan kelembagaan yang meliputi ciptaan
manusia seperti keputusan bagaimana menggunakan lingkungan fisik tersebut.
Lingkungan juga dapat diartikan menjadi segala sesuatu yang ada di sekitar manusia dan
mempengaruhi perkembangan kehidupan manusia. Lingkungan terdiri dari komponen
abiotik dan biotik. Komponen abiotik adalah segala yang tidak bernyawa seperti tanah,
udara, air, iklim, kelembaban, cahaya, bunyi. Sedangkan komponen biotik adalah segala
sesuatu yang bernyawa seperti tumbuhan, hewan, manusia dan mikroorganisme (virus
dan bakteri). Lingkungan hidup merupakan bagian terpenting dan sangat menentukan
bagi kelangsungan hidup manusia, kebudayaan nya, dan peradabannya. Selama ada
kehidupan manusia, sejak lahir bahkan ketika masih berada dalam alam kandungan,
faktor lingkungan adalah merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan secara mutlak
dari kehidupan manusia. Oleh karena itu, seberapapun kita memandang benda-benda
lingkungan, dalam kelangsungan kehidupan manusia, maka keberadaan benda-benda
lingkungan itu adalah sangat penting akan keberadaannya.
Berkaitan dengan lingkungan, sudah pasti sama seperti hal lainnya yang ada di dunia
ini, lingkungan pun memiliki suatu permasalahan tersendiri. Diambil dari arti katanya,
masalah berarti suatu pernyataan tentang keadaan yang belum sesuai dengan apa yang
diharapkan. Biasanya sebuah masalah dianggap sebagai suatu hal yang harus dipecahkan
atau diselesaikan. Dari pengertian tersebut, maka permasalahan lingkungan hidup dapat
diartikan sebagai hal-hal ataupun keadaan yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan
terhadap lingkungan, dan malah menimbulkan persoalan baru yang lebih kompleks.
Masalah lingkungan ini muncul bersamaan dengan munculnya peradaban manusia.
Sesudah manusia mampu memanfaatkan lingkungan sebagai sumber kehidupan. Kenapa
hal demikian bisa berhubungan? hal ini dikarenakan manusia sebagai salah satu pengguna
lingkungan melakukan eksploitasi lingkungan secara berlebihan tanpa memperhatikan
dampak yang terjadi kedepannya. Salah satu isu penting dalam globalisasi adalah masalah
lingkungan. Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban bagi semua orang untuk
memberikan perlindungan terhadap lingkungan secara proporsional. Demi terciptanya
lingkungan hidup yang seyogianya, terlebih dahulu kami akan membahas perkembangan
masalah lingkungan global, dan kebijakan global dalam menghadapi perkembangan
masalah lingkungan tersebut.
Setelah melihat dari latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka adapun rumusan
masalah yang didapatkan yakni sebagai berikut :
PEMBAHASAN
1. Keanekaragaman Hayati
Pencemaran dan perusakan lingkungan yang terjadi secara global, secara
berkala telah mengancam kelestarian dan keanekaragaman hayati di dunia. Dampak
yang ditimbulkan menyebabkan makhluk yang ada di ekosistem darat dan laut
menjadi berkurang atau bahkan punah. Hal ini memicu ketidakseimbangan alam
dalam menjaga daya dukung lingkungan bagi keberlanjutan kehidupan manusia dan
makhluk lainnya. Penyebab dari terancamnya kelestarian dan keanekaragaman hayati
merupakan akibat langsung dari eksploitasi alam yang tidak terkendali dan makin hari
makin masif luasan dan jumlahnya. Contoh nyata dari eksploitasi dan tindakan
tersebut, antara lain:
(i) alih fungsi lahan hutan untuk tujuan: pemukiman, pertanian skala besar seperti
kelapa sawit, konsesi pembalakan (logging) hutan, pembakaran hutan,
pembukaan lahan tambang, dan perbuatan ilegal, seperti illegal logging,
illegal mining.
(ii) Eksploitasi berlebihan (overexploitation) sumber daya laut, seperti:
penangkapan ikan yang menggunakan alat tangkap yang dilarang, seperti
pukat harimau, bom ikan, bahan kimia, perusakan terumbu karang,
pencemaran air laut yang kian hari kian mengkhawatirkan, perusakan wilayah
pesisir untuk reklamasi pemukiman, industri, dan tambak (aquaculture)
(iii) Perusakan dan perburuan liar/ilegal, seperti: perburuan satwa liar untuk
diperjualbelikan (poaching), perambahan hutan.
2. Pemanasan Global
Pemanasan global (global warming) yang juga disebut darurat iklim atau
krisis iklim adalah suatu proses meningkatnya suhu rata-rata atmosfer, laut, dan
daratan Bumi.Pemanasan global (global warming) menjadi salah satu isu lingkungan
utama yang dihadapi dunia saat ini. Pemanasan global berhubungan dengan proses
meningkatnya suhu rata-rata permukaan bumi. Peningkatan suhu permukaan bumi ini
dihasilkan oleh adanya radiasi sinar matahari menuju ke atmosfer bumi, kemudian
sebagian sinar ini berubah menjadi energi panas dalam bentuk sinar infra merah
diserap oleh udara dan permukaan bumi.
Adapun penyebab utama dari pemanasan global, para ilmuwan telah sepakat
bahwa penyebab utamanya adalah meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca
(green house gases) seperti: karbon dioksida (Co2), metana (Ch4), Water vapor
(H2O), Nitrous oxide (N2O), Ozone (O3) dan CFCs. Gas-gas tersebut makin
menumpuk di lapisan atmosfer bumi sehingga sangat berpengaruh pada panas bumi.
Menurut laporan terakhir, konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmofer telah mencapai
400 ppm (part per million) padahal konsentrasi yang sehat seharusnya pada tingkatan
350 ppm. Adapun sumber dari gas-gas tersebut adalah berasal dari aktivitas manusia
yang membakar bahan bakar fosil (fossil fuels) seperti batu bara, minyak dan gas
bumi untuk kegiatan industri, pembangkit listrik, transportasi darat, laut dan udara dan
pada saat yang sama kemampuan bumi untuk menyerap CO2 makin hari makin
menurun karena hutan dan pohon-pohon yang menyerap CO2 (carbon sink) sudah
berkurang dengan signifikan, sebagaimana dikemukakan pada penjelasan tentang
keanekaragaman hayati di atas. Konsekuensinya adalah bumi semakin panas dan
mengakibatkan perubahan iklim (climate change). Negara-negara penyumbang emisi
CO2 adalah negara-negara industri maju dan negara-negara berkembang besar yang
sedang pertumbuhan ekonominya meningkat dengan pesat. Pemanasan global dan
perubahan iklim memiliki dampak negatif yang luar biasa dan saat ini telah dirasakan
oleh semua negara di dunia. Dari semua fenomena alam yang diakibatkan oleh
pemanasan global yang telah dirasakan sekarang (telah terjadi) adalah: suhu
meningkat dan menurun tajam pada saat siang dan malam, gelombang panas yang
sering terjadi, mencairnya es di Kutub Utara dan Kutub Selatan, peningkatan
permukaan laut di beberapa belahan bumi, bencana kekeringan sering terjadi,
frekuensi badai/taifun yang meningkat, (vii) memutih/rusaknya terumbu karang (coral
bleaching) akibat suhu yang meningkat. Jika trend ini berlanjut terus ditakutkan akan
meningkatkan menyebarnya penyakit tropis, dan akan mengganggu musim tanam
siklus pertanian dan lain-lain.
Kontrol yang ketat atas perdagangan dan produksi bahan-bahan kimia di atas dan
ditemukannya bahan-bahan kimia yang lebih ramah dengan lingkungan, maka “lubang ozon”
yang dulunya besar dan luas, sekarang sedikit demi sedikit telah tertutup. ‘Keberhasilan’ ini
menunjukkan bahwa jika masyarakat internasional, pemerintah dan dunia usaha bersungguh-
sungguh untuk menyelesaikan permasalahan lingkungan global pasti bisa dilaksanakan.
Penelitian pada 2011 menunjukkan hasil yang mulai membaik. Lubang tersebut masih tersisa
di atas kutub utara, Rusia, dan Australia.
5. The World Conservation Union - International Union For The Conservation Of Nature
And Natural Resources (Iucn)
IUCN didirikan pada tanggal 5 Oktober 1948 dengan pengesahannya bertempat di
Istana Fontainebleau (Paris) oleh 18 wakil Negara, 7 organisasi internasional dan 107
organisasi nasional, untuk melindungi dan melestarikan lingkungan. Semula IUCN
dipersiapkan dalam Pertemuan Brunnen, tempat Konstitusi tersebut dirancang, sebagaimana
kemudian disempurnakan dan disahkan di Fontainebleau. IUCN mendirikan pusat
dokumentasi Environmental Law Centre (ELC) di Bonn, Jerman, yang berhasil
mengumpulkan bahan-bahan hukum dan perundang-undangan lingkungan. Landasan berpikir
mengenai konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya terdapat dalam World
Conservation Strategy (WCS), yang pada tanggal 6 Maret 1980 dicanangkan di 30 negara
oleh IUCN, dengan dukungan dari UNEP dan WWF. Strategi ini merupakan titik puncak dari
suatu upaya intensif di bidang konservasi yang melibatkan Pemerintah dari lebih 100 negara,
dengan tujuan utama sustainable development, yaitu:
a. Untuk memelihara proses ekologi penting dan sistem pendukung kehidupan.
b. Untuk melestarikan keragaman genetik.
c. Menjamin pemanfaatan spesies dan ekosistem yang berkelanjutan.
WCS juga menyatakan tentang pentingnya organisasi di bidang konservasi, juga
tentang upaya yang perlu dilaksanakan di bidang perundang-undangan dan pengorganisasian
konservasi yang tentunya termasuk juga pedoman kebijaksanaan konservasi di Indonesia,
sebagai negara pendukung WCS. September 1989 telah diedarkan Rancangan Pertama
pengganti WCS. Rancangan tersebut diberi judul sementara World Conservation Strategy for
the 1990's. Pada bulan Juni 1990 telah disiapkan Rancangan Kedua yang judulnya berubah
menjadi Caring for the World, A Strategy for Sustainability. Kedua rancangan tersebut
dipersiapkan oleh World Conservation Union (IUCN), UNEP dan World Wildlife Fund
(WWF). Draf kedua itu dibicarakan di General Assembly IUCN ke-18 di Perth, Australia, 20
November - 5 Desember 1990. Caring for the World (CW) menggambarkan apa yang dapat
dilakukan oleh penduduk dunia untuk memenuhi kebutuhan dan memperbaiki kehidupan
tanpa mengurangi kapasitas bumi guna menunjang generasi sekarang maupun mendatang.
CW menitikberatkan pada interdependensi antara konservasi dan pembangunan. Guna
mencapai keberlanjutan, CW mengemukakan bahwa tiga kendala utama harus diatasi, yaitu:
a. Kurang adanya komitmen etis terhadap keberlanjutan.
b. Pembagian yang tidak merata dari kekuasaan dan akses terhadap informasi dan
sumber daya, di dalam dan antar bangsa.
c. Pendapat, bahwa konservasi dan pembangunan dapat dikelola terpisah.
Pada bulan Oktober 1991 telah diumumkan strategi konservasi baru yang
menggantikan WCS, yaitu "Caring for the Earth: A Strategy for Sustainable Living".
Caring for the Earth (CE) diterbitkan dengan tujuan utama untuk membantu memperbaiki
keadaan masyarakat dunia, dengan menetapkan dua syarat. Pertama, untuk menjamin
komitmen yang meluas dan mendalam pada sebuah etika baru, yaitu etika kehidupan
berkelanjutan dan mewujudkan prinsip-prinsipnya dalam praktek. Kedua, untuk
mengintegrasikan konservasi dan pembangunan: konservasi untuk menjaga agar kegiatan-
kegiatan manusia berlangsung dalam batas daya dukung bumi, dan pembangunan untuk
memberi kesempatan kepada manusia di manapun guna menikmati kehidupan yang lama,
sehat serta memuaskan.
9. Pertemuan Montevideo
Pada tanggal 28 Oktober-6 November 1981, diadakan Ad Hoc Meeting of Senior
Government Official Expert in Environmental Law di Montevideo, Uruguay, yaitu
Pertemuan internasional dalam bidang hukum lingkungan yang pertama kali. Pertemuan ad
hoc tersebut diadakan untuk membuat kerangka, metode, dan program yang meliputi upaya-
upaya tingkat internasional, regional, dan nasional guna pengembangan serta peninjauan
berkala hukum lingkungan dan guna memberi sumbangan kepada persiapan dan pelaksanaan
komponen Hukum Lingkungan dalam System wide Medium Term Environment Program
UNEP. Pertemuan tersebut telah menghasilkan kesimpulan dan rekomendasinya yang sangat
berarti bagi perkembangan Hukum Lingkungan. Hasil dari pertemuan ini menghasilkan
sangat banyak kebijakan yang berkaitan dengan kelautan, penggunaan bahan kimia yang
dilarang, limbah, dan mengenai lapisan ozon.
Adapun hasil-hasil yang didapatkan UNCED yang dituangkan menjadi berbagai dokumen
perjanjian yakni :
a. The Rio de Janeiro Declaration on Environment and Development yang
menggariskan 27 prinsip fundamental tentang lingkungan dan pembangunan.
b. Legally Binding Authoritative Statement of Principles for a Global Consensus on
the Management, Conservation and Sustainable Development of all Types of Forest
(Forestry Principles). Prinsip-prinsip kehutanan ini merupakan konsensus
internasional yang terdiri dari 16 pasal yang mencakup aspek pengelolaan, aspek
konservasi, serta aspek pemanfaatan dan pengembangan, bersifat tidak mengikat
secara hukum dan berlaku untuk semua jenis atau tipe hutan.
c. Agenda 21. Merupakan rencana kerja global yang pertama kali disusun secara
menyeluruh mengenai pembangunan berkelanjutan, meliputi berbagai isu ekonomi,
sosial dan lingkungan yang berbeda-beda, dan menampung masukan dari semua
negara di dunia. Agenda 21 Global merupakan suatu dokumen komprehensif setebal
700 halaman yang berisikan program aksi pembangunan berkelanjutan menjelang
abad ke-21. Agenda 21 ditandatangani oleh semua negara (termasuk Indonesia) yang
hadir pada konferensi tersebut. Agenda 21 dapat digunakan baik oleh pemerintah,
organisasi internasional, kalangan industri maupun masyarakat lainnya untuk
mendukung upaya pengintegrasian lingkungan ke dalam seluruh kegiatan sosial-
ekonomi. Agenda 21 juga membahas dampak kegiatan manusia terhadap lingkungan
dan kesinambungan sistem produksi. Tujuan dari setiap kegiatan yang tercantum
dalam Agenda 21 pada dasarnya adalah untuk mengentaskan kemiskinan, kelaparan,
pemberantasan penyakit, dan buta huruf di seluruh dunia, di samping untuk
menghentikan kerusakan ekosistem yang penting bagi kehidupan manusia.
d. The Framework Convention on Climate Change, yang memuat kesediaan negara-
negara maju untuk membatasi emisi gas rumah kaca dan melaporkan secara terbuka
mengenai kemajuan yang diperolehnya dalam hubungan tersebut. Indonesia telah
meratifikasi konvensi ini dengan Undang-undang No. 6 Tahun 1994 pada tanggal 1
Agustus 1994.
e. The Convention on Biological Diversity (Konvensi Keanekaragaman Hayati), yang
memberikan landasan untuk kerja sama internasional dalam rangka konservasi spesies
dan habitat. Indonesia telah meratifikasi Konvensi ini dengan Undang-undang No. 5
Tahun 1994 pada tanggal 1 Agustus 1994.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
BUKU
Fadli, Mohammad, Mukhlis, & Luthfi, Mustafa. 2016. Dalam Hukum dan Kebijakan
Lingkungan. Malang: UB Press.
Rangkuti, Siti Sundari. 2015. Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional.
Surabaya: Airlangga University Press.
Sarna, Kadek, Maskun, et al. 2015. Hukum Lingkungan: Teori, Legislasi, dan Studi Kasus.
Jakarta: Kemitraan Partnership.
JURNAL
Vania Zulfa, Milson Max, Iskar Hukum, Irfan Ilyas. 2016. "Isu-Isu Kritis Lingkungan dan
Perspektif Global". Jurnal Green Growth dan Manajemen Lingkungan, 1 (3), 29-40.
INTERNET
KELOMPOK 1
Oleh:
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2022
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Istilah ekosistem pertama kali dikenalkan oleh ahli ekologi Inggris, yaitu A. G.
Tansley. Ekosistem merupakan suatu sistem yang dibentuk dari hasil interaksi antara
organisme hidup dan organisme tak hidup atau lingkungan fisiknya. Berdasarkan Pasal 1
angka 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (“UU PPLH”), ekosistem adalah tatanan unsur
lingkungan hidup yang merupakan kesatuan utuh menyeluruh dan saling mempengaruhi
dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas lingkungan hidup. Dengan
demikian, salah satu komponen dari ekosistem adalah lingkungan hidup.
Manusia dan lingkungan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan.
Mereka memiliki hubungan yang saling mempengaruhi satu sama lainnya. Menurut Munadjat
Danusaputro, lingkungan (“lingkungan hidup”) merupakan semua benda dan daya serta
kondisi, termasuk di dalamnya manusia dan tingkah perbuatannya, yang terdapat dalam ruang
dimana manusia berada dan mempengaruhi kelangsungan hidup serta kesejahteraan manusia
dan jasad-jasad hidup lainnya. Adapun L. L. Benard dan N. H. T. Siahaan yang membagi
lingkungan menjadi lingkungan fisik/anorganik, lingkungan biologi/organik, dan lingkungan
sosial yang terdiri dari lingkungan fisiososial, lingkungan biososial, lingkungan psikososial,
dan lingkungan komposit/institusional.1
Pada dasarnya, Tuhan telah menciptakan alam dengan sebaik mungkin sehingga dapat
dimanfaatkan oleh semua kehidupan melalui berbagai proses seperti kelahiran, kematian, dan
perpindahan energi melalui jalur rantai makanan. Namun, keseimbangan ekosistem dapat
menjadi terganggu oleh berbagai kegiatan manusia. Ekosistem yang terganggu tersebut
kemudian memunculkan permasalahan bagi manusia itu sendiri. Adapun salah satu dari
kegiatan manusia yang mengganggu lingkungan hidup adalah pembangunan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu permasalahan lingkungan hidup?
2. Apa dampak pembangunan terhadap lingkungan hidup?
3. Bagaimana cara mengatasi permasalahan lingkungan hidup akibat pembangunan?
1
Moh. Fadli, dkk, 2016, Hukum dan Kebijakan Lingkungan, Malang: UB Press. (4)
C. Tujuan Penulisan
1. Memahami permasalahan lingkungan hidup
2. Memahami dampak pembangunan terhadap lingkungan hidup
3. Memahami cara mengatasi permasalahan lingkungan hidup akibat pembangunan
II. PEMBAHASAN
A. Permasalahan Lingkungan Hidup
1. Pencemaran air
2
Sunyo Adji Purnomo, dkk, 2019, Ilmu Pengetahuan Alam, Bandung: Yrama Widya. (261-276)
3
Anonim, 2019, “Jenis dan Tingkatan Pencemaran yang Merusak Lingkungan”, Dinas Perumahan,
Kawasan Permukiman, dan Pertanahan, URL:
https://disperkimta.bulelengkab.go.id/informasi/detail/artikel/jenis-dan-tingkatan-pencemaran-yang-me
rusak-lingkungan-75, diakses pada tanggal 6 Mei 2022 pukul 12.46
4
Indang Dewata dan Yun Hendri Danhas, 2018, Pencemaran Lingkungan, Depok: Rajawali Press.
(77-93)
Kristanto, disebut pencemaran air apabila terjadi penyimpangan sifat-sifat air dari
keadaan normal. Keadaan normal tidak sama dengan kemurnian air. Di alam, air tidak
pernah berbentuk murni, tetapi bukan berarti semua air itu tercemar. Semua air yang
ada di alam sudah bercampur dengan karbon dioksida, oksigen, nitrogen, dan
bahan-bahan tersuspensi lainnya yang terbawa oleh air hujan karena peristiwa
alamiah. Berdasarkan sumbernya, pencemaran air disebabkan oleh:
Limbah yang berasal dari rumah tangga dapat berasal dari sisa cucian, kotoran,
dan sampah yang dibuang ke saluran air, seperti selokan dan sungai. sisa cucian
yang masuk ke dalam sungai dapat menyebabkan air di sungai tersebut tercemar.
Begitu pula dengan sampah dan kotoran hasil pembuangan metabolisme manusia.
Jika sungai telah tercemar, air sungai akan menjadi tidak layak untuk dikonsumsi.
Limbah kegiatan industri biasanya berupa zat-zat kimia berbahaya dan beracun.
Umumnya, limbah kegiatan industri jauh lebih berbahaya dibandingkan dengan
limbah rumah tangga karena biasanya mengandung zat kimia yang berbahaya.
Apabila air dan hewan yang di dalam tubuhnya telah terkontaminasi zat pencemar
air dikonsumsi oleh manusia, dapat menyebabkan gangguan kesehatan maupun
keracunan. Beberapa penyakit yang dapat disebabkan oleh air yang tercemar
diantaranya disentri, tipus, kolera, dan hepatitis A.
c. Limbah pertanian
Salah satu gas yang dihasilkan dari pembakaran kendaraan bermotor yang dapat
mencemari udara, yaitu gas karbon monoksida. Gas karbon monoksida tidak
berwarna, tidak berasa, dan tidak berbau, namun sangat berbahaya bagi manusia.
Darah dalam tubuh manusia lebih mudah mengikat gas karbon monoksida
dibandingkan dengan gas oksigen. Selain gas karbon monoksida, pembakaran gas
bermotor juga mengeluarkan gas berbahaya lainnya yakni gas nitrogen oksida.
Selain itu, bahan bakar kualitas rendah biasanya mengandung logam berat seperti
timbal yang dapat mencemari udara. Logam timbal dapat tersebar ke udara saat
pembuangan emisi kendaraan bermotor berlangsung. Jika logam ini terhirup
secara terus-menerus oleh saluran pernapasan manusia, dapat mengakibatkan
anemia yang merusak dan menyerang sel darah merah, memendekkan umur sel
darah merah, dan meningkatkan kandungan logam besi di dalam plasma darah.
b. Kegiatan industri
Asap hasil kegiatan industri yang tidak terolah dengan baik dapat menghasilkan
gas-gas berbahaya seperti gas sulfur dioksida dan gas nitrogen dioksida yang akan
mencemari udara. Apabila kedua gas ini mengkontaminasi udara dan bereaksi
dengan air hujan, dapat menyebabkan hujan asam. Hal ini tentu dapat
menyebabkan kerusakan tanah, tumbuhan, dan benda-benda yang terkena hujan
asam.
c. Pembakaran hutan
3. Pencemaran tanah
Zat yang dapat diuraikan biasanya berupa sampah organik seperti sisa makanan,
dedaunan, kotoran hewan, dan bangkai hewan. Meskipun sampah organik dapat
diuraikan oleh mikroorganisme yang ada di dalam tanah, pada jumlah yang
banyak juga dapat menyebabkan terjadinya pencemaran yang mengganggu fungsi
fisik, kimia, maupun biologis dari tanah.
Zat yang tidak dapat diuraikan biasanya berupa sampah anorganik/non organik
seperti plastik, karet, dan kaca
a. Pemanasan global
b. Hujan asam
Hujan asam terjadi karena adanya polutan tertentu di atmosfer. Hujan asam dapat
disebabkan karena pembakaran bahan bakar fosil, akibat meletusnya gunung
berapi, atau membusuknya vegetasi yang melepaskan sulfur dioksida dan nitrogen
dioksida ke atmosfer. Hujan asam merupakan permasalahan lingkungan yang
dapat memiliki efek serius pada kesehatan manusia, satwa liar, dan spesies air.
Penipisan lapisan ozon disebabkan oleh Bahan Perusak Ozon (BPO) yang terdiri
dari Chlorofluorocarbon (CFC), Hydrochlorofluorocarbon (HCFC), Halon, Metil
Bromida, Karbon Tetraklorida (CTC), dan Metil Chloroform yang banyak
digunakan dalam peralatan pendingin seperti lemari es, pendingin ruangan (AC),
pemadam kebakaran, industri busa, bahan pelarut, dan proses karantina
pelabuhan. penipisan lapisan ozon dapat menyebabkan peningkatan radiasi sinar
UV-B yang berdampak pada kerusakan sistem perlindungan alami makhluk hidup
sehingga meningkatkan kerentanan pada manusia, hewan, dan tanaman. Pada
manusia dan hewan, paparan sinar UV-B dapat menyebabkan katarak dan kanker
kulit.Sementara pada tumbuhan, radiasi sinar UV-B yang berlebihan dapat
menghambat metabolisme tanaman sehingga pertumbuhan menjadi lebih lambat
dan kerdil.5
d. Penyakit
5
Anonim, 2019, “Perlindungan Lapisan Ozon”, Bidang Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan
Lingkungan Hidup Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Daerah Istimewa Yogyakarta, URL:
http://dlhk.jogjaprov.go.id/perlindungan-lapisan-ozon, diakses pada tanggal 6 Mei 2022 pukul 11.40
6
Narullah, 2015, Hukum Lingkungan, Yogyakarta: Universitas Muhammadiyah. (30-32)
2. Kegiatan pertambangan yang menimbulkan kerusakan instalasi, kebocoran,
pencemaran buangan penambangan, pencemaran udara, dan rusaknya lahan
bekas pertambangan;
3. Kegiatan transportasi yang menghasilkan kepulan asap, peningkatan suhu
udara, kebisingan kendaraan bermotor hingga tumpahan bahan bakar berupa
minyak bumi dari kapal tanker; dan
4. Kegiatan pertanian yang menghasilkan residu akibat penggunaan zat-zat kimia
untuk memberantas serangga/tumbuhan pengganggu seperti insektisida,
pestisida, herbisida, fungisida hingga pupuk anorganik.
e. Penyalahgunaan narkoba dan bahan adiktif lainnya
a. Polusi
Polusi merupakan masalah lingkungan hidup yang pertama, baik itu adalah polusi
udara air, maupun tanah. Hal ini dikarenakan polusi memerlukan waktu jutaan
tahun agar dapat normal kembali. Sumber polusi dapat berasal dari industri, asap
kendaraan bermotor, tumpahan minyak, hujan asam, limpasan perkotaan, sisa
pembakaran bahan bakar fosil, dan sebagainya.
b. Pemanasan global
Pemanasan global menyebabkan meningkatnya suhu lautan dan permukaan bumi
yang sehingga menyebabkan mencairnya es di kutub dan kenaikan permukaan air
laut. Pemanasan global juga mengubah pola alami musim dan curah hujan yang
dapat mengakibatkan perubahan cuaca ekstrim, banjir bandang, salju berlebihan,
dan sebagainya. Perubahan cuaca ekstrim kemudian dapat mengakibatkan
produksi pertanian sering mengalami gagal panen dan memperbesar peluang
terjadinya kebakaran hutan akibat terjadinya musim kering berkepanjangan.
c. Populasi
e. Pembuangan limbah
Pembuangan limbah rumah tangga seperti plastik dan sampah dapat dilihat di Kali
Ciliwung di Jakarta dan kota-kota di Indonesia lainnya. Selain itu, pembuangan
limbah industri ke sungai juga menyebabkan ikan-ikan mati dan hancurnya
ekosistem sungai padahal sungai-sungai ini penting untuk perekonomian dan
sumber makanan bagi masyarakat. Pembuangan limbah ini akhirnya akan
menyebabkan pencemaran laut di Indonesia dan merusak ekosistem laut sebagai
sumber perikanan.
f. Kepunahan keanekaragaman hayati
g. Penggundulan hutan
h. Hujan asam
i. Rekayasa genetika
Produk makanan, peternakan, dan pertanian saat ini banyak dihasilkan oleh
teknologi rekayasa genetika/modifikasi genetik. Modifikasi genetik dari hasil
makanan secara umum akan meningkatkan racun dan resiko penyakit bagi
7
Ayu Rifka Sitoresmi, 2021, “Penyebab Hujan Asam di Indonesia, Ketahui Dampak dan Proses
Terjadinya”, Liputan 6, URL:
https://hot.liputan6.com/read/4592923/penyebab-hujan-asam-di-indonesia-ketahui-dampak-dan-prose
s-terjadinya, diakses pada tanggal 6 Mei 2022 pukul 12.59
manusia. Genetika tanaman/satwa yang dimodifikasi dapat menyebabkan masalah
serius bagi kesehatan manusia serta keseimbangan ekosistem. Selain itu,
peningkatan penggunaan racun untuk membuat tanaman tahan terhadap gangguan
serangga/hama dapat menyebabkan organisme yang dihasilkan menjadi resisten
(kebal) terhadap antibiotik.
a. Kekeringan
b. Banjir
Banjir merupakan salah satu bencana alam yang terjadi akibat kondisi alam atau
ulah manusia. Banjir terjadi ketika luapan air menenggelamkan tanah atau daratan
lain yang biasanya kering. Banjir sering terjadi di kota-kota besar dengan
permukaan tanah yang lebih rendah dibandingkan permukaan laut dan minim
resapan air.9 Pada Desember 2021 lalu, Badan Penanggulangan Bencana Daerah
Kota Denpasar menyimpulkan bahwa penyebab utama terjadinya banjir di kota
Denpasar pada saat itu adalah banyaknya timbunan sampah yang menyumbat
saluran air.10
8
Anonim, 2022, “Kekeringan”, Badan Penanggulangan Bencana Daerah Nusa Tenggara Barat, URL:
https://bpbd.ntbprov.go.id/pages/kekeringan, diakses pada tanggal 6 Mei 2022 pukul 13.16
9
Kristina, 2021, “Apa Penyebab Banjir? Ini Jenis dan Cara Pencegahannya”, Detik Edu, URL:
https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5802735/apa-penyebab-banjir-ini-jenis-dan-cara-pencegahan
nya, diakses pada tanggal 6 Mei 2022 pukul 13.32
10
Didik Dwi Pratono, 2021, “BPBD Ungkap Penyebab Banjir di Denpasar Akibat Timbunan Sampah”,
Bali Intermedia Pers, URL:
https://radarbali.jawapos.com/bali/07/12/2021/bpbd-ungkap-penyebab-banjir-di-denpasar-akibat-timbu
nan-sampah/, diakses pada tanggal 6 Mei 2022 pukul 13.49
Pengambilan air bawah tanah di Pulau Bali semakin masif, terutama di
wilayah-wilayah wisata pesisir. Hal ini juga mengakibatkan penurunan kualitas air
bawah tanah.11
d. Abrasi pantai
Abrasi/erosi pantai adalah suatu proses alam berupa pengikisan tanah pada daerah
pesisir pantai yang diakibatkan oleh ombak dan arus laut yang sifatnya merusak.
Salah satu kerusakan garis pantai ini dipicu oleh terganggunya keseimbangan
alam di daerah pantai tersebut. Meskipun pada umumnya abrasi diakibatkan oleh
gejala alam, cukup banyak perilaku manusia yang juga ikut menjadi penyebab
abrasi pantai.12 Akibatnya, lahan daratan utama semakin berkurang dan
membahayakan masyarakat pesisir yang tinggal di pinggir pantai. Selain itu,
abrasi pantai juga mengakibatkan kerusakan hutan bakau, memperbesar resiko
bencana, dan berkurangnya sumber daya ikan dan plasma nutfah. Di Pantai
Selatan Bali, abrasi pantai telah mencapai 30 meter sejak tahun 1980.13
Lingkungan dan pembangunan adalah merupakan satu kesatuan utuh yang tidak dapat
dipisahkan antara keduanya.14 Pembangunan pada dasarnya bertujuan untuk kesejahteraan
masyarakat di segala bidang yang menyangkut kehidupan manusia. Manusia harus pintar
dalam merancang pembangunan agar tidak berdampak buruk pada lingkungan, karena
lingkungan secara langsung sangat berpengaruh dan memegang peranan yang sangat penting
bagi semua makhluk hidup. Pembangunan yang berdampak buruk pada lingkungan dapat
menyebabkan banjir, longsor, air sungai yang terkena limbah, rusaknya pepohonan di hutan,
dan spesies hewan yang nyaris punah karena daerahnya dirusak. Oleh karena itu, manusia
11
Ayu Sulistyowati, 2019, “Intrusi Air Laut Bisa Meluas di Bali”, Kompas Media Nusantara, URL:
https://www.kompas.id/baca/utama/2019/07/03/intrusi-air-laut-bisa-meluas-di-bali, diakses pada
tanggal 6 Mei 2022 pukul 14.02
12
Anonim, 2021, “Sekilas Info Tentang Abrasi Pantai”, Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan
Laut Makassar, URL:
https://kkp.go.id/djprl/bpsplmakassar/artikel/35375-sekilas-info-tentang-abrasi-pantai#:~:text=Abrasi%
20adalah%20suatu%20proses%20alam,alam%20di%20daerah%20pantai%20tersebut., diakses pada
tanggal 6 Mei 2022 pukul 14.32
13
Anonim, 2021, “Abrasi di Pantai Slatan Bali Semakin Parah, Sampai 30 Meter”, CNN Indonesia,
URL:
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210930110848-20-701425/abrasi-di-pantai-selatan-bali-se
makin-parah-sampai-30-meter, diakses pada tanggal 6 Mei 2022 pukul 15.13
14
Moh. Fadli, dkk. op.cit. (10)
harus memperhatikan lingkungan di sekeliling pembangunan agar tidak menimbulkan
dampak buruk yang lebih besar dibandingkan dengan manfaatnya. Pembangunan yang baik
adalah pembangunan yang tidak merusak lingkungan sekitar, melainkan memberi dampak
yang baik bagi lingkungan.
Menurut Prof. Dr. Emil Salim, masalah lingkungan umumnya disebabkan oleh
perkembangan IPTEK dan penduduk serta dapat terjadi di negara maju maupun negara
berkembang. Pada negara berkembang, seperti Filipina, masalah lingkungan umumnya
disebabkan oleh faktor kemiskinan, eksploitasi sumber daya alam, penyusutan hutan, dan
polusi udara guna meningkatkan pembangunan dan membayar utang luar negeri. Sementara
pada negara maju, seperti Jepang dan Singapura, masalah lingkungan disebabkan oleh
industrialisasi dan pola hidup yang mewah dan boros dalam menggunakan energi yang
mengakibatkan polusi udara, polusi suara, menipisnya lapisan ozon, pemanasan global
hingga pencemaran air dan udara.15 Pada akhirnya, akan menimbulkan dampak yang menjadi
masalah lingkungan yang lebih besar seperti masalah kesehatan, biaya ekonomi, estetika, dan
kerusakan ekosistem.
15
Narullah, op.cit. (34)
16
Moh. Fadli, dkk, op.cit. (159)
a. Menambah penghasilan penduduk sehingga dapat meningkatkan kemakmuran
Manfaat sektor industri bukan hanya bagi sektor pertanian, tetapi juga penting
bagi masyarakat atau penduduk. Barang-barang seperti pakaian, makanan,
kendaraan pribadi dan sebagainya adalah macam-macam kebutuhan manusia yang
dapat dihasilkan dari sektor industri, terutama sektor industri barang. Tak hanya
sektor industri barang, sektor industri jasa juga dapat memberi manfaat untuk
penduduk. Jasa transportasi, jasa produksi, dan jasa konsumen adalah beberapa
jenis industri jasa. Industri jasa transportasi dapat memberikan kebutuhan
penduduk berupa angkutan umum. Sementara itu, jasa produksi dapat
memberikan jasa pergudangan dan bank untuk kebutuhan penduduk. Jasa
konsumen dapat memberi jasa berupa pengacara, penjahit, dan sebagainya yang
memang ditujukan langsung untuk konsumen atau penduduk.
17
Sadono Sukirno, 1995, Pengantar Teori Mikroekonomi, Depok: Raja Grafindo Persada. (18)
bisa dipastikan bahwa negara tersebut memiliki ciri-ciri negara maju di bidang
ekonomi.
CSR merupakan itikad perusahaan dalam turut serat bertanggung jawab terhadap
masalah sosial yang ditimbulkannya.
GCG merupakan upaya yang dilakukan agar perusahaan industri memiliki tata kelola
yang baik dan tidak memberikan dampak buruk terhadap lingkungannya.
Dengan demikian, para pebisnis di dunia industri dituntut untuk menjalankan bisnis
yang berbudaya dan beretika, salah satunya adalah etika terhadap lingkungan hidup. Selain
para pebisnis, pemerintah Indonesia juga berupaya dalam melindungi dan mengelola
lingkungan hidup. Hal ini dapat dilihat dari ditetapkannya Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(“UU PPLH”). Berdasarkan UU PPLH, upaya-upaya yang dapat dilakukan oleh setiap orang
untuk mengatasi permasalahan lingkungan hidup akibat pembangunan terdiri dari:
18
Andi Taufan, dkk, 2021, Hukum Lingkungan, Bandung: Widina Bhakti Persada. (1)
19
Indang Dewata dan Yun Hendri Danhas, op.cit, (136)
1. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
2. Pembangunan berkelanjutan
III. PENUTUP/KESIMPULAN
Masalah lingkungan merupakan sesuatu yang penting karena lingkungan bukan hanya
masalah pemerintah/negara Indonesia atau 1 (satu) negara melainkan permasalahan seluruh
dunia. Oleh karena itu, permasalahan lingkungan merupakan isu yang terjadi pada tingkat
global, nasional, dan lokal. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU PPLH, lingkungan hidup adalah
kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia
dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan
kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Permasalahan lingkungan hidup umumnya
disebabkan oleh pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas manusia karena
lingkungan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Berdasarkan tempat terjadinya,
pencemaran lingkungan dibagi menjadi pencemaran air, pencemaran udara, dan pencemaran
tanah. Komponen dari zat pencemar tersebut juga dapat dibedakan menjadi zat yang dapat
diuraikan (degradable) dan zat yang tidak dapat diuraikan (nondegradable).
Lingkungan dan pembangunan adalah merupakan satu kesatuan utuh yang tidak dapat
dipisahkan antara keduanya. Pembangunan pada dasarnya bertujuan untuk kesejahteraan
masyarakat di segala bidang yang menyangkut kehidupan manusia. Pembangunan yang
berdampak buruk pada lingkungan dapat menyebabkan banjir, longsor, air sungai yang
terkena limbah, rusaknya pepohonan di hutan, dan spesies hewan yang nyaris punah karena
daerahnya dirusak. Menurut Prof. Dr. Emil Salim, masalah lingkungan umumnya disebabkan
oleh perkembangan IPTEK dan penduduk serta dapat terjadi di negara maju maupun negara
berkembang. Pada negara berkembang, seperti Filipina, masalah lingkungan umumnya
disebabkan oleh faktor kemiskinan, eksploitasi sumber daya alam, penyusutan hutan, dan
polusi udara guna meningkatkan pembangunan dan membayar utang luar negeri. Sementara
pada negara maju, seperti Jepang dan Singapura, masalah lingkungan disebabkan oleh
industrialisasi dan pola hidup yang mewah dan boros dalam menggunakan energi yang
mengakibatkan polusi udara, polusi suara, menipisnya lapisan ozon, pemanasan global
hingga pencemaran air dan udara. Selain berdampak buruk, pembangunan juga menimbulkan
dampak baik bagi lingkungan hidup seperti kemajuan di bidang teknologi dan peningkatan
kualitas hidup manusia.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
BUKU
Dewata, Indang dan Yun Hendri Danhas. 2018. Pencemaran Lingkungan. Depok: Rajawali
Press
Fadli. Moh, dkk. 2016. Hukum dan Kebijakan Lingkungan. Malang: UB Press
Sukirno, Sadono. 1995. Pengantar Teori Mikroekonomi. Depok: Raja Grafindo Persada
Purnomo, Sunyo Adji, dkk. 2019. Ilmu Pengetahuan Alam. Bandung: Yrama Widya
INTERNET
Anonim. 2019. “Jenis dan Tingkatan Pencemaran yang Merusak Lingkungan”. Dinas
Perumahan, Kawasan Permukiman, dan Pertanahan. URL:
https://disperkimta.bulelengkab.go.id/informasi/detail/artikel/jenis-dan-tingkatan-penc
emaran-yang-merusak-lingkungan-75, diakses pada tanggal 6 Mei 2022 pukul 12.46
Anonim. 2021. “Abrasi di Pantai Slatan Bali Semakin Parah, Sampai 30 Meter”. CNN
Indonesia. URL:
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210930110848-20-701425/abrasi-di-pantai
-selatan-bali-semakin-parah-sampai-30-meter, diakses pada tanggal 6 Mei 2022 pukul
15.13
Anonim. 2021. “Sekilas Info Tentang Abrasi Pantai”. Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir
dan Laut Makassar. URL:
https://kkp.go.id/djprl/bpsplmakassar/artikel/35375-sekilas-info-tentang-abrasi-pantai
#:~:text=Abrasi%20adalah%20suatu%20proses%20alam,alam%20di%20daerah%20p
antai%20tersebut., diakses pada tanggal 6 Mei 2022 pukul 14.32
Anonim. 2022. “Kekeringan”. Badan Penanggulangan Bencana Daerah Nusa Tenggara Barat.
URL: https://bpbd.ntbprov.go.id/pages/kekeringan, diakses pada tanggal 6 Mei 2022
pukul 13.16
Kristina. 2021. “Apa Penyebab Banjir? Ini Jenis dan Cara Pencegahannya”. Detik Edu. URL:
https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5802735/apa-penyebab-banjir-ini-jenis-dan-c
ara-pencegahannya, diakses pada tanggal 6 Mei 2022 pukul 13.32
Pratono, Didik Dwi. 2021. “BPBD Ungkap Penyebab Banjir di Denpasar Akibat Timbunan
Sampah”. Bali Intermedia Pers. URL:
https://radarbali.jawapos.com/bali/07/12/2021/bpbd-ungkap-penyebab-banjir-di-denp
asar-akibat-timbunan-sampah/, diakses pada tanggal 6 Mei 2022 pukul 13.49
Sitoresmi, Ayu Rifka. 2021. “Penyebab Hujan Asam di Indonesia, Ketahui Dampak dan
Proses Terjadinya”. Liputan 6. URL:
https://hot.liputan6.com/read/4592923/penyebab-hujan-asam-di-indonesia-ketahui-da
mpak-dan-proses-terjadinya, diakses pada tanggal 6 Mei 2022 pukul 12.59
Sulistyowati, Ayu. 2019. “Intrusi Air Laut Bisa Meluas di Bali”. Kompas Media Nusantara.
URL:
https://www.kompas.id/baca/utama/2019/07/03/intrusi-air-laut-bisa-meluas-di-bali,
diakses pada tanggal 6 Mei 2022 pukul 14.02
TUGAS PAPER HUKUM LINGKUNGAN
“Penegakan Hukum Lingkungan Melalui Instrumen Pidana”
Dosen Pengampu:
Prof. Dr. I Wayan Parsa, SH., M.Hum
Disusun Oleh
Kelompok 13:
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2022
A. LATAR BELAKANG
Lingkungan hidup merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang wajib
dilestarikan dan dikembangkan kemampuannya agar tetap dapat menjadi sumber penunjang
hidup bagi manusia dan makhluk hidup lainnya demi kelangsungan dan peningkatan kualitas
hidup itu sendiri. Lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi setiap warga
negara Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28H UUD RI 1945. Pembaharuan
dan pembangunan telah membawa banyak bencana bagi lingkungan hidup dan kemanusiaan,
dalam hal ini, lingkungan hidup ditafsirkan secara konvensional. Hingga hari ini pun bumi
terancam dengan adanya efek pemanasan global yang berdampak besar terhadap perubahan
lingkungan hidup. Ditambah lagi dengan eksploitasi sumber daya alam dan lingkungan yang
besar-besaran untuk pembangunan, hal ini tentu menjadi sebuah alibi pemerintah demi
pemasukan di kantong. Akhir-akhir ini penyebab rusaknya ekosistem dan lingkungan
diakibatkan oleh manusia itu sendiri. Menganggap bahwa sumber daya alam yang
dianugerahkan hanyalah untuk kepuasan semata tanpa melihat lebih dalam dampak yang
ditimbulkan. Pada akhirnya apakah lingkungan itu ada untuk manusia atau manusialah yang
seharusnya ada untuk lingkungan?
Perlu menjadi perhatian bersama bahwa permasalahan lingkungan di Indonesia saat
ini harus segera diatasi. Perkembangan permasalahan lingkungan yang semakin parah dari
waktu ke waktu seakan tidak diimbangi dengan penegakan hukum yang memadai, walaupun
segala peraturan telah dibuat mulai dari undang-undang dasar yang menjamin hak atas
lingkungan. Kaidah dasar yang melandasi pembangunan dan perlindungan lingkungan hidup
di Indonesia bahkan terdapat dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 pada Alinea
ke-4. Pembukaan UUD 45 tersebut menegaskan kewajiban negara dan tugas pemerintah
untuk melindungi segenap sumber-sumber alam Indonesia guna kebahagiaan seluruh rakyat
Indonesia dan segenap umat manusia. Pemikiran tersebut lebih dijabarkan lagi dalam Pasal
33 ayat (1) sebagai berikut: “...Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”.
Penegakan hukum di bidang lingkungan menurut Keith Hawkin, (Dalam Koesnadi
Hardjasoemantri) bahwa penegakan hukum lingkungan pada dasarnya dapat dilihat dari dua
sistem atau strategi yang berkarakter pembenahan peraturan dan pemberian sanksi. Oleh
karena itu merupakan suatu keharusan dalam pengaturan mengenai lingkungan dimasukkan
ketentuan pidana di dalamnya agar penegakan hukum lingkungan itu sendiri dapat berjalan
secara efektif.
B. PEMBAHASAN
Penegakan hukum lingkungan di Indonesia mencakup penataan dan penindakan
(compliance and enforcement).1 Penegakan hukum lingkungan dalam arti yang luas, yaitu
meliputi preventif dan represif. Pengertian preventif sama dengan compliance yang meliputi
negosiasi, supervise, penerangan, nasihat), sedangkan represif meliputi penyelidikan,
penyidikan sampai pada penerapan sanksi baik administratif maupun pidana.2 Penegakan
hukum pengelolaan lingkungan hidup saat ini masih sulit dilakukan oleh karena sulitnya
pembuktian dan menentukan kriteria baku kerusakan lingkungan. Upaya penegakan hukum
lingkungan hidup melalui hukum pidana adalah bagaimana tiga permasalahan pokok dalam
hukum pidana ini dituangkan dalam undang-undang yang sedikit banyak mempunyai peran
untuk melakukan rekayasa sosial (social engineering), yaitu yang meliputi perumusan tindak
pidana (criminal act), pertanggungjawaban pidana, dan sanksi (sanction) baik pidana maupun
tata-tertib. Sesuai dengan tujuan yang tidak hanya sebagai alat ketertiban, hukum lingkungan
mengandung pula tujuan pembaharuan masyarakat (social engineering).
Kasus pidana lingkungan hidup, umumnya kompleks dan berbeda dengan kasus-kasus
pidana pada umumnya yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari (tindak pidana yang
konvensional). Penanganan kasus pidana lingkungan hidup perlu memperhatikan aspek
keseimbangan antara pembangunan dan lingkungan hidup, antara kepentingan pembangunan
ekonomi dan investasi dengan kepentingan pelestarian fungsi lingkungan, dalam kerangka
mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup, serta
memperhatikan adanya keterpaduan dengan aspek teknis. Berikut ini beberapa pembahasan
mengenai Hukum Pidana sebagai Instrumen Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia,
yakni sebagai berikut:
1. Perumusan dan Kualifikasi Delik Lingkungan
Hukum pidana di Indonesia secara pokok dan umumnya berasal dari Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dimana yang telah digunakan sejak ratusan tahun
pada zaman kolonial sampai pada masa zaman sekarang ini. Pranata hukum pidana yang
terbuat secara kodifikasi, terdapat berbagai pengaturan pidana dari segala aspeknya, termasuk
dalam hal ini yang berkaitan dengan aspek lingkungan. Istilah “pidana” sering dipergunakan
dengan istilah “delik” dalam dunia akademis. Tetapi kata delik ini, tidak bisa dicantumkan
dalam perundang-undangan, dan lebih sering digunakan istilah pidana. Menurut pandangan
1
Daud Silalahi, “Manusia Kesehatan dan Lingkungan”, Jurnal Masalah Lingkungan Hidup, Mahkamah Agung
RI, 1994, hlm. 1.
2
Dyah Adriantini Sintha Dewi, “Konsep Pengelolaan Lingkungan Hidup, Menuju Kemakmuran Masyarakat”,
Jurnal Fakultas Hukum, Vol. 1 No. 1 Tahun 2012, Universitas Muhammadiyah Magelang
Roeslan Saleh3, bahwa untuk dapat menentukan apakah suatu perbuatan dapat dikategorikan
sebagai pencemaran dan kerusakan lingkungan dapat dipidana diperlukan suatu rumusan
“delik lingkungan” yang didasarkan kepada asas legalitas yang tertuang dalam ketentuan
Pasal 1 ayat (1) KUHP. Selanjutnya, istilah delik lingkungan atau milieu delicten (dalam
bahasa Belanda; memakai dua istilah, yaitu strafbaar feit dan delict, lalu di Indonesia dipakai
beragam istilah , dimulai dari tindak pidana, perbuatan pidana atau peristiwa pidana maupun
perbuatan yang boleh dihukum).
Adapun pandangan sarjana mengenai delik lingkungan, salah satunya Siti Sundari
Rangkuti,4 yang menyatakan bahwa merumuskan delik lingkungan adalah tidak dapat
dianggap mudah. Kemudian, ada Mardjono Reksodiputro, yang menyatakan bahwa
perumusan yang terpaksa bersifat umum, kurang tegas dan terinci akan mengandung bahaya,
bahwa ketentuan pidana yang perumusannya umum, maka dapat menghilangkan makna asas
legalitas. Bagaimana caranya hukum memutuskan, apakah suatu perbuatan termasuk delik
lingkungan atau tidak. Dilihat dalam perumusan delik lingkungan dapat diselesaikan dengan
cara memahami secara komprehensif terhadap makna yuridis terhadap perusakan dan
pencemaran lingkungan serta rumusan ketentuan sanksi pidana. Maka dengan kata lain,
perumusan terhadap delik lingkungan sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) Nomor 32 Tahun 2009 yang
memuat dua elemen dasar yaitu perbuatan dan akibat yang ditimbulkan. Kedua elemen
tersebut digunakan sebagai pedoman delik lingkungan sebagai “delik materiil” dan “delik
formil”.
Delik materiil adalah delik atau perbuatan yang dilarang oleh hukum yang dianggap
sudah sempurna atau terpenuhi apabila perbuatan itu telah menimbulkan akibat. Sedangkan
delik formil adalah delik atau perbuatan yang dilarang oleh hukum yang sudah dianggap
sempurna atau terpenuhi begitu perbuatan itu dilakukan tanpa mengharuskan adanya akibat
dari perbuatan.5 Jadi dapat dibedakan antara delik materiil dengan delik formil di dalam
hukum lingkungan6, yaitu dimana delik materil yang diancam pidana adalah “akibat dari
perbuatan” sedangkan delik formil yaitu dimana merujuk pada “perbuatannya yang dilarang
dan diancam pidana”.
3
Saleh, Roeslan. 1983. Beberapa Asas Hukum Pidana dalam Perspektif. Jakarta: Penerbit Aksara Baru. hlm, 21.
4
Rangkuti, Siti Sundari. 2005. Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional Edisi Ketiga.
Surabaya: Penerbit Airlangga University Press. hlm 333.
5
Rahmadi, Takdir. 2015. Hukum Lingkungan di Indonesia Edisi Kedua. Jakarta: Rajawali Pers. hlm 228.
6
Akib, Muhammad. 2014. Hukum Lingkungan Perspektif Global dan Nasional. Jakarta: Rajawali Pers. hlm
165-166.
UUPPLH 1997 merumuskan tindak pidana sebagai tindakan yang mengakibatkan
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup (sebagaimana diatur dalam Pasal 41),
sedangkan UUPPLH 2009 merumuskan tindak pidana yaitu sebagai tindakan yang
mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut,
atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup (sebagaimana diatur dalam Pasal 98).
UUPPLH 1997 merumuskan pidana dengan pidana maksimum, sedangkan UUPPLH 2009
merumuskan pidana dengan minimum dan maksimum. Selain itu, UUPPLH 2009 mengatur
mengenai hal-hal yang tidak diatur dalam UUPPLH 1997 yaitu diantaranya pemidanaan bagi
pelanggaran baku mutu (sebagaimana diatur dalam Pasal 100), perluasan alat bukti,
keterpaduan penegakan hukum pidana, dan pengaturan tindak pidana korporasi. UUPPLH,
dalam penjelasan umum, memandang hukum pidana sebagai upaya terakhir (ultimum
remedium) bagi tindak pidana formil tertentu, sementara untuk tindak pidana lainnya yang
diatur selain Pasal 100 UUPPLH, tidak berlaku asas ultimum remedium, yang diberlakukan
asas premium remedium (mendahulukan pelaksanaan penegakan hukum pidana). Asas
ultimum remedium menempatkan penegakan hukum pidana sebagai pilihan hukum yang
terakhir.7 Ketergantungan penerapan hukum pidana disandarkan pada keadaan sanksi
administrasi yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi, atau pelanggaran dilakukan lebih dari satu
kali.
2. Pembuktian dan Kausalitas
Dalam konteks delik lingkungan, terdapat empat aspek substansial dalam pembuktian,
yaitu: 1). lingkup pembuktian “de omvang van het bewijs”, 2). beban pembuktian “de
bewijslast”, 3). alat-alat pembuktian “de bewijsmiddelen, dan 4). penilaian pembuktian “de
bewijs waardering”.8 Keempat aspek pembuktian tersebut dalam pandangan Suparto Wijoyo
adalah berorientasi pada pemaparan dan evaluasi fakta (delik lingkungan) yang mendasari
konstruksi putusan hakim secara meyakinkan. Kebenaran fakta harus ditemukan dalam
prosedur peradilan pidana (penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan) agar
hakim dapat memilih hukum yang tepat “in abstracto” untuk dapat diterapkan pada delik
yang bersangkutan guna membuat keputusan “in concreto” yang executable.
Di Indonesia, pembuktian dalam mekanisme peradilan delik lingkungan adalah
merupakan suatu hal yang fundamental. Sebagaimana yang disebutkan dalam ketentuan Pasal
6 ayat (2) UU Kehakiman yaitu: “Tidak seorangpun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila
7
Salman Luthan, “Asas dan Kriteria Kriminalisasi”, Jurnal Hukum, Vol. 16 No. 1 Januari 2009, hlm. 8
8
Lihat dalam Bambang Waluyo, Sistem Pembuktian dalam Peradilan Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1992,
hlm, 3-9.
pengadilan, karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan,
bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan
yang dituduhkan atas dirinya”. Ketentuan sebagaimana dimaksud tentu saja sejalan dengan
ketentuan Pasal 183 KUHAP yang menyatakan bahwa: “Hakim tidak boleh menjatuhkan
pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah
ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Adapun alat bukti yang sah menurut ketentuan Pasal 6 ayat (2) UU Kehakiman dan
Pasal 183 KUHAP dalam Hukum Acara Pidana telah diatur dalam ketentuan Pasal 184
KUHAP, yang menyatakan bahwa:
1) Alat bukti yang sah: Keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan
keterangan terdakwa.
2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.
9
Lihat dalam Muladi dan Barda Nawawi, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Penerbit Alumni, Bandung, 1984,
hlm.7
UUPLH dapat diketahui bahwa jenis-jenis sanksi pidana yang dapat diancamkan kepada
pelaku perusakan atau pencemaran lingkungan adalah pidana penjara, denda, dan atau
tindakan tata tertib. Jenis sanksi pidana yang berupa pidana penjara dan denda bersifat
kumulatif. Pasal 47 UUPLH menyebutkan tentang “tindakan tata tertib”. Tindakan tata tertib
itu berupa: (a) perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana dan/atau (b)
penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan dan/atau (c) perbaikan akibat tindak pidana
dan/atau (d) mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak dan/atau (e) meniadakan
apa yang dilalaikan tanpa hak dan atau menempatkan perusahaan di bawah pengampuan
paling lama 3 (tiga) tahun. Sedangkan jenis sanksi pidana yang berupa tindakan tata tertib
lebih bersifat diskresi, sehingga sepenuhnya diserahkan kepada kebijaksanaan dari penuntut
umum (jaksa).
Pasal 41, 42 ,43, dan Pasal 44 UUPLH berkaitan dengan sanksi pidana yang dapat
diancamkan kepada pelaku perusakan atau pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh
individu. Pasal 45 dan Pasal 46 UUPLH adalah sanksi pidana yang dapat diancamkan kepada
pelaku perusakan atau pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh korporasi. Sedangkan
ketentuan Pasal 47 adalah sanksi pidana yang dapat diancamkan kepada pelaku perusakan
atau pencemaran lingkungan yang dilakukan baik oleh individu maupun korporasi. Dari
rumusan Pasal 41, Pasal 42, dan Pasal 43 UUPLH dapat diketahui bahwa pasal pasal tersebut
merupakan delik materiil yang membawa konsekuensi pembuktian adanya hubungan
kausalitas antara perbuatan perusakan dan. atau pencemaran lingkungan dan akibat yang
ditimbulkan, yaitu rusaknya dan atau tercemarnya lingkungan hidup yang dimaksud. Berbeda
halnya dengan Pasal 44 UUPLH lebih merupakan delik formil yang membawa konsekuensi
bahwa yang penting dapat membuktikan perbuatan melanggar hukumnya.
1. Perusakan Lingkungan yang Dilakukan oleh Korporasi: Minyak Mentah Milik Pertamina
Tumpah di Pesisir Karawang
Masyarakat Karawang yang ada di pesisir dikejutkan oleh adanya oil spill pada 21
Juli 2019. Bentuk oil spill bulat dengan warna hitam dan memiliki bau seperti minyak
tanah.Setelah bertebaran di pantai, oil spill mencair. Dalam hitungan hari, beberapa ekosistem
laut mendapatkan efek buruk. Dalang di balik kasus tersebut ternyata adalah BUMN, yaitu
Pertamina Hulu Energi ONWJ. Mereka mengonfirmasi bahwa minyak mentah itu berasal dari
sumur mereka. Pencemaran terjadi karena sumur YYA-1 mengalami kebocoran. Tak tinggal
diam, Pertamina berupaya menangani masalah lingkungan yang terjadi selama hampir 5
bulan itu. Dalam kasus ini pihak pertamina telah mau untuk mempertanggungjawabkan
kejadian ini serta telah bertanggung jawab penuh mengenai persoalan ini dimana tergugat
dikena hukuman membayar ganti rugi lingkungan tanggung renteng Rp 10.15 triliun antara
lain, jasa lingkungan Rp 9,96 triliun, biaya pemulihan atau restorasi Rp 184,05 miliar dan
biaya penyelesaian sengketa lingkungan Rp 868, 628 juta. Ganti rugi itu jadi masalah besar
karena ada mangrove, biota laut dan pesisir yang tidak bisa dihitung secara murah. Yang
mana itu berkaitan dengan biodiversitas. Dalam hal ini penegakan hukumnya sudah diatur
dan diselesaikan oleh pihak pertamina secara langsung.
C. PENUTUP
Penegakan hukum lingkungan di Indonesia mencakup penataan dan penindakan
(compliance and enforcement). Penegakan hukum lingkungan dalam arti yang luas, yaitu
meliputi preventif dan represif. Upaya penegakan hukum lingkungan hidup melalui hukum
pidana adalah bagaimana tiga permasalahan pokok dalam hukum pidana ini dituangkan
dalam undang-undang yang sedikit banyak mempunyai peran untuk melakukan rekayasa
sosial (social engineering), yaitu yang meliputi perumusan tindak pidana (criminal act),
pertanggungjawaban pidana, dan sanksi (sanction) baik pidana maupun tata-tertib. suatu
perbuatan dapat dikategorikan sebagai pencemaran dan kerusakan lingkungan dapat dipidana
diperlukan suatu rumusan “delik lingkungan” yang didasarkan kepada asas legalitas yang
tertuang dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP. Perumusan terhadap delik lingkungan
sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup (UUPPLH) Nomor 32 Tahun 2009 yang memuat dua elemen dasar yaitu perbuatan
dan akibat yang ditimbulkan. Kedua elemen tersebut digunakan sebagai pedoman delik
lingkungan sebagai “delik materiil” dan “delik formil”. Dalam konteks delik lingkungan,
terdapat empat aspek substansial dalam pembuktian, yaitu: 1). lingkup pembuktian “de
omvang van het bewijs”, 2). beban pembuktian “de bewijslast”, 3). alat-alat pembuktian “de
bewijsmiddelen, dan 4). penilaian pembuktian “de bewijs waardering”.
Penegakan hukum lingkungan yang bersifat represif ditujukan untuk menanggulangi
kerusakan atau pencemaran lingkungan dengan menjatuhkan atau memberikan sanksi
(hukuman) kepada perusak atau pencemar lingkungan. Pemidanaan dan Penetapan Sanksi
Pidana dalam masalah lingkungan ini diatur dalam ketentuan Pasal 41, 42, 43, 44, 45, 46, dan
Pasal 47 UUPLH. Sehingga dari uraian diatas melihat banyaknya mekanisme mengenai
pengaturan delik lingkungan/perusakan lingkungan ini seharusnya kita mampu untuk
menjaga dan melestarikan serta memanfaatkan Sumber Daya Alam (SDA) yang kita miliki
dengan bijak serta tidak untuk dieksploitasi secara berlebihan yang mana akan menimbulkan
akibat hukum sesuai dengan yang telah diatur didalam setiap hukum yang berlaku di
Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Daud Silalahi, “Manusia Kesehatan dan Lingkungan”, Jurnal Masalah Lingkungan Hidup,
Mahkamah Agung RI, 1994, hlm. 1.
Saleh, Roeslan. 1983. Beberapa Asas Hukum Pidana dalam Perspektif. Jakarta: Penerbit
Aksara Baru. hlm, 21.
Rangkuti, Siti Sundari. 2005. Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional
Edisi Ketiga. Surabaya: Penerbit Airlangga University Press. hlm 333.
Rahmadi, Takdir. 2015. Hukum Lingkungan di Indonesia Edisi Kedua. Jakarta: Rajawali
Pers. hlm 228.
Akib, Muhammad. 2014. Hukum Lingkungan Perspektif Global dan Nasional. Jakarta:
Rajawali Pers. hlm 165-166.
Salman Luthan, “Asas dan Kriteria Kriminalisasi”, Jurnal Hukum, Vol. 16 No. 1 Januari
2009, hlm. 8
Lihat dalam Bambang Waluyo, Sistem Pembuktian dalam Peradilan Indonesia, Sinar Grafika,
Jakarta, 1992, hlm, 3-9.