Anda di halaman 1dari 30

PROBLEMATIKA PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN DI

INDONESIA

Suparto Wijoyo, Wilda Prihatiningtyas


Dosen Universitas Airlangga Surabaya
E-mail: suparto_wijoyo@yahoo.com / wilda.fhunair@gmail.com

ABSTRAK
Konstitusi RI mengamanatkan adanya hak atas lingkungan hidup yang baik dan
sehat. Namun dalam praktiknya, dengan masih banyaknya kasus lingkungan yang
terjadi dewasa ini, tentunya dapat menjadi kritik bagi Pemerintah sebagai organ
yang bertanggung jawab penuh terhadap pemenuhan hak tersebut. Berbagai
masalah lingkungan yang terjadi, baik kerusakan maupun pencemaran tidak
berbanding lurus dengan mekanisme penegakan hukum yang diterapkan oleh
Pemerintah. Lahirnya UU No. 32/2009 (UU PPLH) rupanya juga belum mampu
menjawab segala problematika penegakan hukum lingkungan di Indonesia. Oleh
karenanya dalam tulisan ini akan diuraikan mengenai mekanisme penegakan
hukum lingkungan yang berlaku di Indonesia, dan dilakukan perbandingan pula
dengan beberapa negara, diantaranya Amerika Serikat, Belanda, Jepang dan
Singapura.

Kata Kunci : Penegakan Hukum, Hukum Lingkungan.

A. PENDAHULUAN

Banyaknya kasus di bidang hukum lingkungan, baik kerusakan maupun


pencemaran di Indonesia dewasa ini membutuhkan penegakan hukum lingkungan
secara serius. Penegakan hukum lingkungan secara administratif, pidana maupun
perdata selama ini belum memberikan efek yang signifikan bagi perlindungan
lingkungan. Sebagaimana data yang dikeluarkan oleh Guinness Book of World
Record merilis bahwa kerusakan hutan Indonesia merupakan yang tercepat di
dunia, dimana Indonesia kehilangan lahan hutannya 2% pertahun atau 1,8 juta
hektar pertahun sejak antara tahun 2000-2005. Sungguh prestasi yang sangat
memalukan bagi bangsa Indonesia, yang mana ini juga menjadi indikasi bahwa
bangsa ini tidak bisa menjaga kelestarian hutan yang merupakan jantung
kehidupan ummat manusia.

Airlangga Development Journal │ Problematika Penegakan Hukum Lingkungan… | 1


Latar belakang lahirnya Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) adalah maraknya
kasus yang berkenaan dengan lingkungan hidup yang semakin hari-semakin
memperihatinkan, salah satunya terkait permasalahan di hutan. Banyaknya kasus
kebakaran hutan, pencurian kayu-kayu di hutan Indonesia atau yang lebih dikenal
dengan illegal longing case yang tidak tertangani dengan baik menandakan
bahwa undang-undang yang merupakan instrument pemerintah dalam rangka
merawat, menjaga, dan dan menangkal segala mara bahaya yang telah dan
mungkin akan terjadi tidaklah efektif bekerja. Sehingga UU PPLH yang lebih
menitikberatkan kepada penegakan hukum khususnya pidana lingkungan
diharapkan dapat menjawab permasalahan yang selama ini mengemuka ke publik
atas carut marutnya penyelesaian sengketa lingkungan hidup.

B. PEMBAHASAN

Pengertian Penegakan Hukum Lingkungan


Penegakan hukum lingkungan merupakan bagian integral “legislative
framework” dan tahapan terakhir “regulatory chain”.1 Tema penegakan hukum
lingkungan telah menarik perhatian publik termasuk menjadi topik utama dalam
“Fifth International Conference on Environmental Compliance and
Enforcement” di Monterey, California, Amerika Serikat (USA), 16-20
November 1998. Konferensi ini bermaksud untuk memberikan pengertian dasar
penegakan hukum lingkungan dan mengembangkannya dalam jalinan kerjasama
antar bangsa, khususnya mengenai “transboundary compliance issues”.2
Kata “penegakan hukum lingkungan” (“environmental law enforcement”
atau “handhaving van milieurecht”) memiliki pengertian yang mengandung

1
Rene Seerden and Michiel Heldeweg, “Comparative Environmental Law in Europe: An
Introduction to Public Environmental Law in the EU Member States” dalam G.H. Addink,
Environmental Law in a Comparative Perspective: National, European and International Law,
Literature, Institute of Constitutional and Administrative Law, Utrecht University, Utrecht, 2002,
h. 61.
2
Jo Gerardu and Cheryl Wasserman, Fifth International Conference on Environmental
Compliance and Enforcement: Conference Proceedings, Vol. 1 and 2, Monterey, California, USA,
1998, h. 3.

Airlangga Development Journal │ Problematika Penegakan Hukum Lingkungan… | 2


karakter keterpaduan lintas disiplin (ilmu) hukum. G.A. Biezeveld
mendefinisikan:
Environmental law enforcement can be defined as the application of legal
governmental powers to ensure compliance with environmental
regulations by means of:
a. administrative supervision of the compliance with environmental
regulations (inspection) (= mainly preventive activity);
b. administrative measures or sanctions in case of non compliance (=
corrective activity);
c. criminal investigation in case of presumed offences (= repressive
activity);
d. criminal measures or sanctions in case of offences (= repressive
activity);
e. civil action (law suit) in case of (threatening) non compliance (=
preventive or corrective activity).3
Penegakan hukum lingkungan dalam rangka pengendalian pencemaran
lingkungan dapat dibedakan dalam tiga aspek: (i) penegakan hukum lingkungan
administratif oleh aparatur pemerintah, (ii) penegakan hukum lingkungan
kepidanaan yang dilakukan melalui prosedur yuridis peradilan, dan (iii)
penegakan hukum lingkungan keperdataan serta “environmental disputes
resolution” yang ditempuh secara litigasi maupun nonlitigasi.4
Pembidangan penegakan hukum lingkungan dalam tiga rumpun disiplin
hukum5 merupakan konsekuensi logis dari kedudukan hukum lingkungan sebagai
matakuliah hukum fungsional (“functionele rechtsvakken”). Penegakan hukum
lingkungan dalam konteks pengendalian pencemaran lingkungan berarti
mendayagunakan sarana hukum (“legal means”) yang tersedia di bidang
penegakan hukum lingkungan administratif, kepidanaan dan keperdataan
(penyelesaian sengketa lingkungan) untuk melakukan perlindungan hukum dalam
rangka menjamin kualitas lingkungan bersih dan sehat berkelanjutan.

3
G.A. Biezeveld, “Course on Environmental Law Enforcement”, Syllabus, Surabaya,
January 9-14, 1995, h. 7.
4
Joseph M. Schilling and James B. Hare, Code Enforcement: A Comprehensive Approach,
Solano Press Books, Point Arena, California, 1995, h. 32. A.B. Blomberg, Integrale Handhaving
van Milieurecht, Boom Juridische Uitgevers, de Vrije Universiteit te Amsterdam, 2000.
5
W. Brussaard et al., Milieurecht, W.E.J. Tjeenk Willink, Zwolle, 1991, h. 426-506. D.
Schaffmesiter, Kekhawatiran Masa Kini, terjemahan Tristam P. Moeliono, PT Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1994, h. 1-30. F.P.C.L. Tonnaer, Het Nederlands Milieurecht in Ontwikkeling, Samson
H.D. Tjeenk Willink, Alphen aan den Rijn, 1990.

Airlangga Development Journal │ Problematika Penegakan Hukum Lingkungan… | 3


Penegakan hukum lingkungan berkaitan erat dengan kemampuan aparatur
dan kepatuhan warga masyarakat terhadap peraturan perundang-undangan.
Kemampuan aparatur penegak hukum lingkungan disinyalir belum banyak
mengalami kemajuan, bahkan terdapat pihak yang tidak mengerti “siapakah yang
dimaksud dengan aparatur penegak hukum lingkungan”?6
Aparatur penegak hukum lingkungan tidak hanya mencakup: hakim, polisi,
jaksa dan pengacara, tetapi juga pejabat/instansi yang berwenang memberi izin.
Bahkan dikonsepkan bahwa organ pemerintah yang berwenang memberi izin
merupakan aparatur penegak hukum lingkungan yang utama sedasar prinsip:
“pejabat yang berwenang memberi izin (lingkungan) bertanggung jawab
terhadap penegakan hukum lingkungan administratif”.7
Penegakan hukum lingkungan dalam konstalasi pengendalian pencemaran
(dan/atau perusakan) lingkungan bersentuhan pula dengan segmen “penyelesaian
sengketa lingkungan” melalui prosedur: “the litigation process and other tools
for resolving environmental disputes”.8 Penyelesaian sengketa lingkungan
tentang pengendalian pencemaran lingkungan dengan proses litigasi dipandang
sebagai langkah terakhir; sedangkan jalur berperkara di luar pengadilan lebih
diprioritaskan. Nancy K. Kubasek dan Gary S. Silverman meneguhkan: “…
litigition is being as a last resort, and alternate methods of dispute resolution are
favored … In environmental arena the two main alternatives are arbitration and
mediation …”.9 Hal ini berarti “arbiter” dan “mediator” dipandang pula sebagai
aparatur penegak hukum lingkungan dalam mekanisme penyelesaian sengketa
lingkungan akibat terjadinya pencemaran lingkungan. Di Jepang “konsiliator”
lebih utama, karena “arbiter” membuat keputusan yang mengikat para pihak.

6
Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, Edisi
Kedua, Airlangga University Press, Surabaya, 2000, h. 208-210. Soerjono Soekanto, Faktor-faktor
yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, CV Rajawali, Jakarta, 1986, h. 5-51.
7
Siti Sundari Rangkuti, “Penegakan Hukum Lingkungan Administratif di Indonesia”, Pro
Justitia, Tahun XVII, No, 1 Januari 1999, h. 3-4. Baca pula Van Dijk, J., “Public Influence on the
Supervision and Enforcement of Environmental Law in The Netherlands”, dalam Jo Gerardu and
Cheryl Wasserman (ed.), op.cit. h. 193-201.
8
Nancy K. Kubasek and Gary S. Silverman, Environmental Law, Prentice Hall, Upper
Saddle River, New Jersey, 1997, h. 36.
9
Ibid., h. 36 dan 58.

Airlangga Development Journal │ Problematika Penegakan Hukum Lingkungan… | 4


Aspek Administratif Penegakan Hukum Lingkungan
Penegakan hukum lingkungan administratif bertujuan untuk menghentikan
pencemaran lingkungan langsung pada sumbernya sesuai dengan prinsip
“abatement at the source” yang bersaranakan: pengawasan dan penerapan sanksi
administrasi.10 J.B.J.M. ten Berge berpendapat:
The administrative law enforcement instruments includes: 1) monitoring
and observance of prescriptions set by or pursuant to individual
obligations imposed by decisions, and (2) the use of administrative
sanctioning powers”.11

a. Pengawasan
Pengawasan secara periodik dilakukan terhadap kegiatan yang memiliki
izin lingkungan sebagai upaya pemantauan penaatan persyaratan perizinan oleh
instansi yang berwenang memberi izin lingkungan.12 Rosa Uylenburg
mengungkapkan: “The competent authority for the enforcement (administrative
enforcement of environmental law) is the authority that is also competent to grant
a license”.13
G.H. Addink menyatakan: “The competent authority is responsible for the
supervision of the compliance with the environmental provisions by the owner of
each installation …”.14 Dijelaskan oleh Foo Kim Boon, Lye Lin Heng dan Koh
Kheng Lian: “Lincensing ensures the monitoring of an activity on a continuous
basis …”.15

10
Siti Sundari Rangkuti, Penegakan Hukum … op.cit., h. 5. K.M. Clayton (ed.), Pollution
Abatement, David & Charles, Newton Abbot, IBM Press Roman, Devon, 1973.
11
J.B.J.M. ten Berge, Recent Development in General Administrative Law in the
Netherlands, Course Book, Utrecht, 1994, h. 1. Peter Cane, An Introduction to Administrative
Law, Clarendon Press, Oxford, 2001, h. 241-250.
12
Siti Sundari Rangkuti, “Izin Lingkungan Sebagai Instrumen Pencegahan Pencemaran
Lingkungan”, Kursus Perizinan Lingkungan Sebagai Instrumen Pencegahan Pencemaran
Lingkungan, Komisi Kerja Hukum Lingkungan BKPSL-Indonesia dan Pusat Penelitian
Lingkungan Hidup (PPLH), Lembaga Penelitian Universitas Airlangga, Surabaya, 6-7 Juni 2000.
13
Rosa Uylenberg, General Principles of Administrative Enforcement, Centre for
Environmental Law, University of Amsterdam, CELA, 2001, h. 1. A.Q.C. Tak, De Algemene Wet
Bestuursrecht: Het Nieuwe Bestuurs-procesrecht, W.E.J. Tjeenk Willink, Zwolle, 1993, h. 242.
14
G.H. Addink, Environmental Law … op.cit., h. 123. G.H. Addink, Enforcement of
Environmental Law … op.cit., h. 147.
15
Foo Kim Boon, Lye Lin Heng and Koh Kheng Lian, “Environmental Protection: The
Legal Framework” dalam IUCN/APCEL/UNEP Programme, Teaching Environmental Law at
University Level, National University of Singapore, Singapore, 11 June 1997, h. 113.

Airlangga Development Journal │ Problematika Penegakan Hukum Lingkungan… | 5


Amerika Serikat, Belanda, Jepang dan Singapura menerapkan pengaturan
tentang pengawasan sebagai sarana penegakan hukum lingkungan administratif
terhadap pencemaran lingkungan. Pasal 114 “Clean Air Act” (CAA) Amerika
Serikat misalnya memformulasikan pengawasan penaatan persyaratan perizinan
dalam rangka pengendalian pencemaran lingkungan dengan maksud untuk
mengembangkan penegakan hukum lingkungan.16
Berdasarkan ketentuan Pasal 90 “Wet inzake de Luchtverontreiniging”
(W.l.v) Belanda: pengawasan dalam pengendalian pencemaran lingkungan
mengacu Pasal 18 “Wet Milieubeheer” (Wm). Instansi yang berwenang
menerbitkan izin lingkungan melakukan pengawasan untuk mencegah
pencemaran lingkungan atas dasar Pasal 90 W.l.v. jo. Pasal 18.4 Wm.17 Prosedur
pengawasan diatur dalam “Chapter 5.2, General Administrative Law Act
(GALA)18/Algemene wet bestuursrecht (Awb, Wet van 4 Juni 1992, Stb. 1992 Nr.
315) yang mulai berlaku efektif 1 Januari 1994.19
Air Pollution Control Law (APCL) Jepang mengatur mekanisme
pengawasan dalam Pasal 22-24. Pengawasan dilakukan terhadap “stationary
sources” dan “motor vehicles sources” yang ternyata mampu meningkatkan
efektivitas pengendalian pencemaran lingkungan.20 Pola ini dapat ditiru Indonesia
yang memiliki pengaturan di bidang perizinan lingkungan bagi instalasi industri
(Izin HO, Izin Usaha Industri, Izin Pembuangan Limbah ke Media Lingkungan
(IPLM), serta Izin Lokasi) dan sarana transportasi publik (Perizinan Angkutan
dan Surat Izin Mengemudi).
Clean Air Act (CAA) Singapura tidak mengatur secara khusus instrumen
pengawasan. Pengawasan dalam rangka pengendalian pencemaran lingkungan

16
EPA, Sources Self-Monitoring, Reporting, and Recordkeeping Requirements:
International Comparison – Environmental Compliance and Enforcement Capacity Building
Resource Document, August, 1998, h. 1-2.
17
Ministry of Housing, Spatial Planning and the Environment, Environmental Management
Act, The Netherlands, 1997, h. 113. Koninklijke Vermande, Milieuwetgeving Teksten 1999/2000,
Lelystad, 1999, h. 4-87.
18
J.G. Brouwer and A.E. Schilder, A Survey of Dutch Administrative Law, Ars Aequi Libri,
Nijmegen, 1998, h. 49.
19
G.H. Addink, Algemene beginselen van behoorlijk bestuur, Kluwer, Deventer, 1999, h. v.
20
Environment Agency, Environmental Laws and Regulations in Japan (II) Air, Japan,
1987, h. 19-20.

Airlangga Development Journal │ Problematika Penegakan Hukum Lingkungan… | 6


menurut CAA diatur Pasal 37 Environmental Pollution Control Act (EPCA).21
Keberhasilan pelaksanaan pengawasan (internal dan eksternal) di Singapura tidak
terlepas dari pemanfaatan teknologi mutakhir:22 “The expertise available in the
various Ministries enables the effective monitoring of Singapore’s environment
using the latest technology”.
Dasar hukum umum pengawasan sebagai sarana penegakan hukum
lingkungan administratif dalam pengendalian pencemaran (lingkungan) di
Indonesia adalah Pasal 71-75 UU PPLH. Pasal 74 (1) UUPPLH menetapkan
beberapa kewenangan pengawas, yaitu: melakukan pemantauan, meminta
keterangan, membuat salinan dari dokumen dan/atau membuat catatan yang
diperlukan, memasuki tempat tertentu, memotret, membuat rekaman audio visual,
mengambil sampel, memeriksa peralatan, memeriksa instalasi dan/atau alat
transportasi, dan menghentikan pelanggaran tertentu.
Sarana pengawasan di bidang pengendalian pencemaran lingkungan
ternyata belum diatur secara komprehensif. Kenyataan ini meneguhkan
pandangan bahwa penegakan hukum lingkungan administratif dalam rangka
pengendalian pencemaran lingkungan melalui sarana yuridis yang bersifat
preventif belum berjalan optimal. Penguasaan metode dan teknik pengendalian
pencemaran lingkungan di kalangan aparatur penegak hukum lingkungan
administratif masih terbatas. Terdapat perbedaan (bahkan kekeliruan)
pemahaman tentang substansi dan mekanisme pengawasan penaatan persyaratan
perizinan lingkungan: “It is therefore recommended to socialize supervision tasks
among the supervising apparatus (environmental supervisor)”.23

b. Penerapan Sanksi Administrasi

21
Ong Teng Cheong, Environmental Pollution Control Act: Republic of Singapore No. 9 of
1999, Singapore, 1999, h. 145-146.
22
Lye Lin Heng, “The Enforcement of Environmental Law in Singapore” dalam Institute of
Developing Economics, Environmental Law in Asia – Issues of Enforcement, Tokyo, Japan, 1997,
h. 81.
23
F.X. Endro Susilo, Suparto Wijoyo and Ibrahim, An Overview of Indonesian
Environmental Law and Comparative Aspects, Institute of Constitutional and Administrative Law,
Utrecht University, Utrecht, 2002, h. 40.

Airlangga Development Journal │ Problematika Penegakan Hukum Lingkungan… | 7


Penerapan sanksi administrasi merupakan konsekuensi lanjutan dari
tindakan pengawasan:
Once supervising apparatus found legal violation related to air pollution
legislation (i.c. environmental licensing, air quality standards, emission
standards, etc.) committed by industry (or users of motor vehicles),
administrative sanctions was consequently enforce.24

Sanksi administrasi mempunyai "fungsi instrumental": pengendalian


perbuatan terlarang dan terdiri atas:
a. Paksaan pemerintahan atau tindakan paksa (“bestuursdwang” atau
“executive coercion”);
b. Uang paksa (“publiekrechtelijke dwangsom” atau “coercive sum”);
c. Penutupan tempat usaha (“sluiting van een inrichting”);
d. Penghentian kegiatan mesin perusahaan (“buitengebruikstelling van
een toestel”);
e. Pencabutan izin (“intrekking van een vergunning”) melalui proses:
teguran, paksaan pemerintahan, penutupan dan uang paksa.25
Dasar hukum utama penerapan sanksi administrasi di bidang pengendalian
pencemaran lingkungan terdapat dalam Pasal 76-83 UU PPLH yang mengatur
empat jenis sanksi administrasi: teguran tertulis, paksaan pemerintah, pembekuan
izin lingkungan, atau pencabutan izin lingkungan.
Di Belanda, penerapan sanksi administrasi terhadap kasus pencemaran
lingkungan atas dasar Pasal 90 W.l.v. merujuk Artikel 18.2- 18.16 Wm yang
menurut D. van der Meijden terdiri atas: "het toepassen van bestuursdwang”
(penerapan paksaan pemerintahan), "het opleggen van een dwangsom"
(pembebanan uang paksa), dan "het intrekken van een vergunning" (pencabutan
izin).26
CAA Amerika Serikat menuangkan sanksi administrasi sejenis “denda
administrasi” dengan istilah “administrative penalty" tanpa disertai jumlah
minimum dan maksimumnya. CAA memberikan kewenangan kepada EPA untuk

24
Ibid. G.H. Addink, Enforcement of Environmental Law … op.cit., h. 148.
25
Siti Sundari Rangkuti, Inovasi Hukum Lingkungan: Dari Ius Constitutum Ke Ius
Constituendum, Airlangga University Press, Surabaya, 1991, h. 8.
26
D. van der Meijden, Praktisch Milieurecht, W.E.J. Tjeenk Willink, Zwolle, 1996, h. 186.
Hal ini juga mendapatkan perhatian serius dalam Th.G. Drupsteen et al., De Toekomst van de Wet
Milieubeheer, Schoordijk Instituut Centrum voor Wetgevingsvraagstukken, Rijksuniversiteit
Leiden, W.E.J. Tjeenk Willink, Deventer, 1998.

Airlangga Development Journal │ Problematika Penegakan Hukum Lingkungan… | 8


memperkirakan tingkat kepantasan dalam menerapkan “administrative penalty"
terhadap badan usaha yang melanggar baku mutu emisi maupun persyaratan
lingkungan lainnya. Penetapan sanksi ini tidak boleh kurang dari nilai ekonomik
yang telah dinikmati pelanggar selama tidak mentaati persyaratan perizinan
lingkungan.27
Diketemukan beberapa varian sanksi administrasi yang diterapkan oleh
instansi yang berwenang menerbitkan izin lingkungan, yaitu: teguran, peringatan,
penyegelan, pemanggilan dan lain sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa
instansi yang berwenang menerbitkan “izin lingkungan” kurang menguasai
peraturan perundang-undangan yang mengatur jenis sanksi administrasi.
Penerapan sanksi administrasi juga belum dikaitkan dengan pelanggaran
persyaratan perizinan lingkungan dan ada pula yang lebih menekankan kepada
pelaksanaan Amdal.28
Pengkajian ini memaparkan realita betapa terbatasnya penuangan sarana
penegakan hukum lingkungan administratif, bahkan ada yang keliru rumusannya
dan rancu penerapannya. Kenyataan tersebut membuktikan bahwa penegakan
hukum lingkungan administratif belum efektif dan berdaya guna sebagai
instrumen hukum pengendalian pencemaran lingkungan.
Jepang mengedepankan aspek penegakan hukum lingkungan administratif
dalam pengendalian pencemaran lingkungan daripada “criminal sanctions".
APCL Jepang memberikan kewenangan kepada Pemerintah Pusat dan Propinsi
untuk menerapkan sanksi administrasi: perbaikan atau penutupan instalasi ("to
improve or to suspend operations") dan tindakan paksa ("coercive measures")
yang didahului dengan peringatan. Jepang mengutamakan penerapan sarana

27
Takdir Rahmadi, Pengaturan Hukum Tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan
Beracun di Indonesia, Disertasi, Program Pascasarjana, Universitas Airlangga, Surabaya, 1998, h.
282-283.
28
Siti Sundari Rangkuti et al., Penyusunan Pedoman … op.cit., h. 110-111. Siti Sundari
Rangkuti et al., Implementasi UUPLH Tentang Pengawasan dan Sanksi Administrasi Dalam
Pengelolaan Lingkungan di Daerah, Proyek Pendayagunaan Sistem dan Pelaksanaan Pengawasan
Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dan PPLH Lembaga Penelitian Universitas Airlangga,
Jakarta-Surabaya, 2000, h. 50-69.

Airlangga Development Journal │ Problematika Penegakan Hukum Lingkungan… | 9


pengawasan dan insentif ekonomik serta "reward a firm's positive environmental
performance" dalam pengendalian pencemaran lingkungan.29
Singapura mengembangkan tata laksana penegakan hukum lingkungan
administratif melalui pengawasan dan "record keeping"/ "proper records"
maupun peringatan "verbally as well as in writing" untuk menjamin penaatan
terhadap peraturan perundang-undangan (pengendalian pencemaran lingkungan).
Namun, penerapan sanksi paksaan pemerintahan dikaitkan dengan sanksi pidana
dan perdata sebagaimana halnya dengan setiap penyelesaian yuridis
permasalahan lingkungan pada umumnya.30
Sanksi pencabutan izin dijadikan alternatif terakhir guna mendorong
penaatan ("encourage compliance") terhadap persyaratan perizinan ataupun
peraturan perundang-undangan setelah melalui tahapan pengenaan denda dan
sanksi pidana. Sanksi "denda administrasi” maupun “denda pidana" merupakan
bentuk sanksi yang populer diterapkan dan telah memunculkan sebutan:
“Singapore is a fine city", di samping “a garden city" atau "a clean and green
city".31

Kasus Kebakaran Hutan


Penegakan hukum lingkungan administratif yang memiliki arti penting bagi
pengendalian pencemaran lingkungan di Indonesia diantaranya terlaksana dalam
kasus kebakaran hutan tahun 1997. Kasus ini dipandang World Wide Fund for
Nature (WWF) sebagai bencana nasional dengan implikasi internasional.32 Kabut
asap kebakaran hutan yang membubung tinggi melintasi batas-batas wilayah
Indonesia dipastikan jauh lebih berbahaya daripada pencemaran lingkungan
perkotaan. Pencemaran lingkungan akibat asap kebakaran hutan (saat itu) telah

29
Julian Grasser, Koichiro Fujikura and Akio Morishima, Environmental Law in Japan, The
MIT Press, Cambridge, Massachusetts, 1981, h. 259.
30
Lye Lin Heng, op.cit., h. 80-81. Foo Kim Boon, Lye Lin Heng and Koh Kheng Lian,
op.cit., h. 112-113.
31
Koh Kheng-Lian, Sustainable Singapore: A Model for Urban Cities?, Ministry for the
Environment, Singapore, 1997. David Turberfield, “ISO 14000: The Asia Pacific Perspective”,
Seminar on Environmental Management Systems – The Industrial Context, Singapore, 8
November 1995.
32
Jawa Pos, Kebakaran Hutan Jadi Bencana Internasional, 23 September 1997.

Airlangga Development Journal │ Problematika Penegakan Hukum Lingkungan… | 10


menjadikan lingkungan di kawasan Asia Tenggara memburuk. Menurut Derek
Elson, klimatolog dari Oxford Brookes University:
“… kabut asap tersebut membawa risiko kesehatan yang lebih serius ...
Tingkat polusi udara yang pernah mencapai indeks 781 adalah tujuh kali
lipat lebih besar dari standar kelayakan internasional. Angka 300-400 sudah
dianggap berbahaya. Lebih dari 500 bisa menyebabkan bahaya yang
signifikan. Tingkat pencemaran lingkungan di Mexico City, Athena, Kairo
dan Sao Paulo (yang dianggap sebagai kota-kota yang paling terpolusi di
dunia) pada hari yang paling buruk sekalipun sangat jarang mencapai angka
500 …”.33
Kerugian ekologis dan ekonomis akibat kebakaran hutan ditaksir sangat
besar. Hasil penelitian Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)
menunjukkan bahwa. kerugian material akibat kebakaran hutan tersebut telah
mencapai Rp. 11.753 triliun.34 Terhadap kasus ini Departemen Kehutanan pada
tanggal 15 dan 17 September 1997 telah mengumumkan 176 perusahaan yang
diduga melakukan pembakaran hutan di Propinsi: Sumatera Utara, Sumatera
Selatan, Jambi, Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan
dan Kalimantan Timur.35
Terhadap 176 perusahaan yang disinyalir terlibat pembakaran hutan telah
diadakan pengkajian mendalam sebagai tindak lanjut pengawasan yang dilakukan
Departemen Kehutanan. Akhirnya berdasarkan berbagai pertimbangan faktual
dan yuridis, pada tanggal 3 Oktober 1997 Menteri Kehutanan mencabut IPK (Izin
Pemanfaatan Kawasan atau Izin Pemanfaatan Kayu) bagi 29 perusahaan dari 176
perusahaan.36 Pelaksanaan penegakan hukum ini terlaksana dalam lingkup
berlakunya: (i) Undang-undang No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kehutanan, (ii) Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 1970 tentang Hak
Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan, (iii) Peraturan

33
Suara Pembaruan, Kabut Asap Jauh Lebih Berbahaya Dari Polusi Udara Perkotaan, 2
Oktober 1997. Lihat pula: Kompas, Kebakaran Hutan Meluas: Uni Eropa Dukung Kampanye
Pencegahan Kebakaran, 7 Juni 2003. Kompas, 90 Persen Kebakaran Hutan di Riau Disebabkan
Manusia, 7 Juni 2003.
34
Suara Pembaruan, Kerugian Rp. 11 Triliun Akibat Kebakaran Hutan, 23 Oktober 1997.
35
Suara Pembaruan, 176 Perusahaan Diindikasikan Sebagai Sumber Asap, 16-17
September 1997. Edisi ini secara khusus memuat nama-nama 176 perusahaan termaksud.
36
Suara Pembaruan, Daftar 29 Perusahaan yang Dicabut IPK-nya, 3 Oktober 1997. Suara
Pembaruan, Pembakar Hutan Bisa Dipenjara 15 Tahun dan Denda Rp 750 Juta, 22 Januari 1998.

Airlangga Development Journal │ Problematika Penegakan Hukum Lingkungan… | 11


Pemerintah No. 33 Tahun 1970 tentang Perencanaan Hutan, dan (iv) Peraturan
Pemerintah No. 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan.
Ke-29 perusahaan yang terbukti membakar hutan tersebut telah menerima
penerapan sanksi administrasi "pencabutan IPK" dari Menteri Kehutanan tanpa
"reserve". Tindakan Menteri Kehutanan mencabut IPK perusahaan pembakar
hutan dinilai positif bagi pengendalian pencemaran lingkungan. Kabut asap
akibat pembakaran hutan yang mencapai indeks 781 amat berbahaya. Menurut
Keputusan MENLH No. Kep-45/MENLH/10/1997 tentang Indeks Standar
Pencemar Lingkungan dan Keputusan Kepala Bapedal No.
Kep-107/KabapedaI/11/1997 tentang Pedoman Teknis Perhitungan dan
Pelaporan serta Informasi Indeks Standar Pencemar Lingkungan: indeks sebesar
300 saja sudah sangat berbahaya.
Namun, tragedi asap kebakaran hutan tahun 1997 belum menjadi pelajaran
yang berharga. Penegakan hukum lingkungan administratif yang dilakukan
Menteri Kehutanan ternyata kurang efektif. Setiap musim kemarau tiba
pembakaran (lahan) hutan terus marak di wilayah Sumatera dan Kalimantan.
Realita ini seyogianya semakin mendorong dilakukannya penegakan hukum
lingkungan administratif berlandaskan Undang-undang No. 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan (UU Kehutanan).37 Pasal 80 ayat (2) UU Kehutanan
menyatakan:
Setiap pemegang izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha
pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan, atau
izin pemungutan hasil hutan yang diatur dalam undang-undang ini,
apabila melanggar ketentuan di luar ketentuan pidana sebagaimana diatur
dalam Pasal 78 dikenakan sanksi administrasi.

Bertumpu pada Penjelasannya: sanksi administrasi yang dapat dijatuhkan


meliputi: “denda, pencabutan izin, penghentian kegiatan dan/atau pengurangan
areal”. Penerapan sanksi administrasi yang dirumuskan dalam UU Kehutanan

37
Bustanul Arifin, “Kepadatan Penduduk dan Kerusakan Hutan”, Suara Pembaruan, 27
Maret 1997. Soni Sisbudi Harsono, “Etiskah Pembukaan Lahan Dengan Pembakaran?”, Jawa
Pos, 1 Oktober 1997. Kompas, Kebakaran HTI di Jambi Belum Berhasil Dipadamkan, 7 Juni
2003. Kompas, Asap Tebal Selimuti Kota Pontianak, 3 Juli 2002. Kompas, Udara di Pontianak
Makin Buruk, 5 Juli 2002. Kompas, Di Tengah Kepentingan Ekologi, Duit, dan Perut Rakyat, 13
Juli 2003.

Airlangga Development Journal │ Problematika Penegakan Hukum Lingkungan… | 12


bersifat kumulatif dan akan diuji efektivitasnya pada tataran praktis kasus
pencemaran lingkungan akibat asap pembakaran hutan.

Aspek Kepidanaan Penegakan Hukum Lingkungan

a. Investigasi Terhadap Delik Lingkungan


Investigasi untuk menentukan apakah suatu perbuatan mencemarkan (atau
merusak) lingkungan dapat dipidana diperlukan perumusan "delik lingkungan38
(pencemaran lingkungan)" berdasarkan "asas legalitas" yang tertuang dalam
Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP): “nullum delictum
nulla poena sine praevia lege poenali”. UUPPLH mengatur "ketentuan pidana"
dalam Pasal 97-120, namun, UUPPLH tidak memformulasikan pengertian "delik
lingkungan” ("milieudelicten").
Masalah perumusan delik lingkungan pencemaran lingkungan dapat
diselesaikan dengan memahami pengertian yuridis pencemaran lingkungan
(lingkungan) dan rumusan sanksi pidana. Bertumpu pada Pasal 1 angka 14
UUPPLH dan Pasal 97-120 UUPPLH dapat diformulasikan pengertian delik
lingkungan pencemaran lingkungan:
Delik (lingkungan) pencemaran lingkungan adalah perbuatan yang
dilakukan dengan sengaja atau karena kealpaan yang mengakibatkan masuk
atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke
dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku
mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan.

Secara singkat dapat dikatakan bahwa delik lingkungan pencemaran


lingkungan adalah: "perbuatan yang dilakukan dengan sengaja atau karena
kealpaan yang menimbulkan pencemaran lingkungan". Mengacu pada Pasal 97-
120 UU PPLH diketahui: "subyek delik lingkungan pencemaran lingkungan"
yang memikul pertanggungjawaban pidana adalah “setiap orang" (baik individu
maupun badan hukum).

38
Pustaka yang relevan dengan pengkajian ini adalah Lien van Walle, “De Implicaties van
de Wet op de Strafrechtelijke Verantwoordelijkheid van de Rechtspersoon op de Vervolging van
Milieudelicten”, Tijdschrift voor Milieurecht, Mys & Breesch, Uitgevers-Gent, 2001, h. 116-144.

Airlangga Development Journal │ Problematika Penegakan Hukum Lingkungan… | 13


Perumusan delik lingkungan tersebut memiliki dua elemen dasar:
"perbuatan" dan "akibat yang ditimbulkan". Kedua elemen ini dapat digunakan
sebagai pedoman pengkualifikasian delik lingkungan pencemaran lingkungan
sebagai "delik materiil" ataukah "delik formal". Delik materiil berorientasi pada
“akibat” konstitutifnya, sedangkan delik formal menekankan pada
“perbuatannya”.39
Penetapan delik lingkungan sebagai delik materiil ataukah delik formal
membawa konsekuensi hukum yang berkaitan dengan kemampuan “penyajian
alat bukti (pembuktian)" dan "penentuan hubungaan kausal (kausalitas)" antara
perbuatan pencemar dengan tercemarnya lingkungan. Dalam rumusan delik
materiil dituntut pembuktian yang lebih rumit dibandingkan dengan rumusan
delik formal yang tidak memerlukan pembuktian akibat dari perbuatan
pencemar.40 Delik formal tidak membuktikan akibat melainkan (hanya) mem-
buktikan (terjadinya) "perbuatan" (berbuat atau tidak berbuat).
Substansi pembuktian berorientasi pada pemaparan dan evaluasi fakta
untuk mendasari konstruksi putusan hakim secara meyakinkan. Fungsi utama
investigasi41 maupun penuntutan delik lingkungan (pencemaran lingkungan) dan
proses perkaranya di pengadilan adalah memeriksa fakta dan bukan hukumnya.
Kebenaran fakta harus ditemukan dalam mekanisme peradilan pidana agar
hakim dapat memilih hukum yang tepat ("in abstracto") untuk membuat putusan
("in concreto") yang "executable".42
Pembuktian dalam mekanisme peradilan delik lingkungan pencemaran
lingkungan merupakan keharusan sedasar: Undang-undang No. 14 Tahun 1970
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman jo. Undang-undang
No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 14 Tahun 1970

39
Schaffmeister, M. Keijzer dan E.P.H. Sutarius, Hukum Pidana, Editor J.E. Sahetapy,
Liberty, Yogyakarta, 1995, h. 31.
40
Ibid., h. 330.
41
G.A. Biezeveld, Criminal enforcement of environmental law: general introduction,
investigation and prosecution (Dutch Side): Part one: General introduction on environmental
criminal law enforcement, CELA Course on Environmental Law and Administration, Sukabumi,
19-24 February 2001.

Airlangga Development Journal │ Problematika Penegakan Hukum Lingkungan… | 14


tentang Ketentuan- ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan
Kehakiman) dan Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (KUHAP).
Jenis alat bukti yang sah menurut Pasal 6 ayat (2) UU Kekuasaan
Kehakiman dan Pasal 183 KUHAP diatur dalam Pasal 184 KUHAP, yaitu:
keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.
Peranan investigator dalam delik lingkungan sangat penting, karena
bertugas mengumpulkan fakta dan alat bukti yang seringkali bersifat i1miah
("scientific") terutama bagi pencemaran lingkungan di perkotaan yang terjadi
secara kumulatif. Ditegaskan oleh G.A. Biezeveld:
Investigation can be hard work. Especially in environmental cases,
because:
a. environmental legislation is complex and not always adequate;
b. technical and chemical aspects require special expertise, including
the art of measuring and taking samples and understanding analysis
reports;
c. administrative and financial research (a.o. in accounting system on
paper or in digital version) require both special expertise and much
effort;
d. to most offences more than one person have contributed, so it may be
difficult to determine anyone’s part;
e. often witnesses are not available or not willing to talk;
f. and last but not least, quite often it appears that the competent
administrative authority or governmental officials have tolerated the
violations for a long time.43

Kesulitan yang dihadapi aparat investigasi di Jepang untuk menyediakan


alat bukti dalam kasus pencemaran lingkungan dikemukakan oleh Julian
Gresser, Koichiro Fujikura dan Akio Morishima:
From an evidentiary perspective, prosecution of a pollution offense is also
comparatively difficult because, although the police have strengthened
their capacity to investigate pollution violations, police training and
technical competence in the pollutivn field have been grossly deficient.
Consequently, in many areas (e.g. air pollution) the prosecutors have had
difficulty in marshalling concrete evidence.44
42
George Whitecross Paton, A Text-Book of Jurisprudence, Oxford at the Clarendon Press,
Amen House, London, 1955, h. 155.
43
G.A. Biezeveld, Criminal enforcement … Part two: … op.cit., h. 9.
44
Julian Gresser, Koichiro Fujikura dan Akio Morishima, op.cit., h. 261. Terhadap hal ini
relevan pula dibaca Akio Mishima, Bitter Sea: The Human Cost of Minamata Disease, Translated

Airlangga Development Journal │ Problematika Penegakan Hukum Lingkungan… | 15


Pengalaman Jepang menimbulkan kesadaran bahwa delik lingkungan
menurut Pasal 97-120 UUPPLH merupakan tantangan yang berat bagi penyidik
dalam menyajikan alat bukti yang kuat serta argumentatif. Untuk mengatasi
kesulitan pembuktian hubungan kausal delik lingkungan pencemaran lingkungan
di Indonesia dapat dikemukakan konsep inovatif yang terkandung dalam The Law
for the Punishment of Crimes Relating to Environmental Pollution Which
Adversely Affects the Health of Persons, Law No. 142 of 1970 Jepang yang mulai
berlaku tanggal 1 Juli 1971. Article 5 Undang-undang ini secara tegas
menetapkan “praduga hubungan kausal” ("presumption of causation").45
Gagasan praduga hubungan kausal merupakan temuan kreatif untuk
mengatasi problematika pembuktian (dan) kausalitas dalam delik lingkungan
(pencemaran lingkungan) yang menimbulkan bahaya seketika terhadap nyawa
dan kesehatan publik.46 Cara Jepang mengatasi keruwetan pembuktian dan
kausalitas dengan menetapkan asas "presumption of causation" merupakan
temuan hukum yang layak dipikirkan dalam rangka penyusunan RUU
KUHP-RUU KUHAP yang telah dipersiapkan Departemen Kehakiman dan Hak
Asasi Manusia.47 Langkah ini diharapkan segera dapat ditempuh dengan dasar
pertimbangan bahwa kelemahan dalam pembuktian dan penentuan kausalitas
delik lingkungan pencemaran lingkungan membawa konsekuensi yuridis yang
fatal: "pembebasan" maupun "pemidanaan (penerapan sanksi pidana) tanpa
bukti”.

b. Penerapan Sanksi Pidana (Pemidanaan)


Pemidanaan pencemar lingkungan merupakan reaksi atas delik lingkungan
yang secara filosofis bertujuan memberikan perlindungan hukum terhadap
kualitas lingkungan bagi masyarakat. Pemikiran ini telah termuat dalam resolusi
“The Eighth UN Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of

by Richard L. Gage and Susan B. Murata, with a foreword by Lester R. Brown, Kosei Publishing
Co., Tokyo, 1992.
45
Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan … op.cit., h. 331-332. Environment Agency,
Environmental Laws and Regulations in Japan (I) General, Japan, 1987, h. 11.
46
Siti Sundari Rangkuti, Inovasi Hukum … op.cit., h. 20-21.

Airlangga Development Journal │ Problematika Penegakan Hukum Lingkungan… | 16


Offenders”, Cairo, Mesir, 8 Mei 1995 dan Program Kerja “The Commission on
Crime Prevention and Criminal Justice 1992-1996”.48
Pada tahun 1994 di Portland, Oregon, Amerika Serikat telah pula diadakan
“International Meeting of Experts on Environmental Crime” yang secara khusus
membicarakan tentang “The Use of Criminal Sactions in the Protection of the
Environment: Internationally, Domestically and Regionally” dengan maksud
untuk mendidik masyarakat agar tidak melakukan tindakan yang tidak
bertanggung jawab terhadap lingkungan.49
Burton M. Leiser memahami pemidanaan sebagai: “… a harm inflicted by
a person in a position of authority upon another who is judged to have violated a
rule or a law".50 Pencapaian tujuan pemidanaan delik lingkungan ("perlindungan
publik dan mutu lingkungan”) tergantung dari akurasi perumusan sanksi pidana
("strafrechtelijke sancties") serta implementasinya. Sanksi pidana secara leksikal
diberi batasan tematik: "… punishments attached to conviction of crimes such as
fines, restitution, probation and sentences".51
Sanksi pidana kurang efektif dalam pengendalian pencemaran lingkungan
mengingat ia hanya memberikan nestapa kepada pelaku dan bukannya pada
perbuatan. Di Amerika Serikat penegakan hukum terhadap CAA lebih
mengutamakan sarana administratif pengawasan ("supervision"/"monitoring")
daripada sanksi pidana.52
Beragam perumusan sanksi pidana tersebut membutuhkan banyak
pemikiran dalam rangka efektivitas implementasi pemidanaan. Sanksi pidana

47
Kompas, Depkeh Siapkan 25 RUU Untuk Diserahkan Ke DPR, 17 Juni 2002.
48
Muladi, “Prinsip-prinsip Dasar Hukum Pidana Lingkungan Dalam Kaitannya Dengan
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997”, Jurnal Hukum Pidana dan Kriminologi, Vol. 1 No.
1/1998, h. 1-2.
49
Ibid., h. 7. Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan
Penanggulangan Kejahatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, h. 33, 83-116.
50
Muladi dan Barda Nawawi, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1984,
h. 3.
51
Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, St. Paull, Minn., West Publishing Co.,
1991, h. 261.
52
Goran Persson, “Organization and Operation of National Air Pollution Control Programs”
dalam Arthur C. Stern, Air Pollution, Vol. V Air Quality Management, Academic Press, New
York, 1970, h. 403-406.

Airlangga Development Journal │ Problematika Penegakan Hukum Lingkungan… | 17


yang diformulasikan WED Belanda perlu sebagai bahan perbandingan mengingat
muatan WED telah disadur ke dalam Undang-undang No. 7 Drt. Tahun 1955
tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi (UU
Tindak Pidana Ekonomi). WED sejak bulan April 1994 telah mengklasifikasi
tindak pidana lingkungan sebagai “delik ekonomi” (Stb. 1994, Nr. 135).
WED tidak saja mengatur delik lingkungan konvensional dalam klasifikasi
"kesengajaan" ("committed intentionally") maupun "kealpaan" ("not committed
intentionally"), tetapi juga berdasarkan pada potensi dampak yang ditimbulkan
dari delik: (i) berbahaya ("serious)”, (ii) sedang ("moderate"), dan (iii) ringan
("little") atau (iv) tidak berdampak sama sekali ("no impact").53 Pengaturan
demikian perlu ditindaklanjuti dengan upaya dan langkah-langkah peningkatan
profesionalitas seluruh aparatur penegak hukum lingkungan kepidanaan.
Profesionalisme merupakan kebutuhan dasar untuk melakukan penegakan hukum
lingkungan kepidanaan yang efektif dalam delik lingkungan. Ungkapan Herbert
L. Packer dapat dijadikan cermin introspeksi bagi polisi dan aparatur penegak
hukum lingkungan kepidanaan lainnya: "There is, to be sure, a danger that
occasionally police will not live up to professional standards".54

c. Pertanggungjawaban Pidana Individual dan Badan Hukum


Pertanggungjawaban pidana terhadap delik lingkungan dapat dibebankan
kepada perseorangan ("natuurlijke persoon") maupun badan hukum
("rechtspersoon").55 Sanksi pidana yang lazimnya bersifat individual
(personalitas) pada akhirnya dapat diterapkan pula kepada badan hukum yang
melakukan delik lingkungan pencemaran lingkungan.

53
G.H. Addink, Enforcement of Environment … op.cit., h. 150. G.A. Biezeveld, Criminal
Enforcement … loc.cit.
54
erbert L. Packer, The Limits of the Criminal Sanction, Standford University Press,
Standford, California, t.th., h. 189.
55
Michael Faure and Gunter Heine, Environmental Criminal Law in The European Union,
Course in Environmental Law and Administration for Indonesia Jurist, METRO Institute for
Transnational Legal Research, Maastricht, 14 August-25 September 1998, h. 12. Bakx R.C., Spel
A. and Wabeka J.W., Cooperation Among The Police, The Judiciary, and Government to Control
Against The Environment dalam Jo. Gerardu and Chery Wasserman, op.cit., h. 348.

Airlangga Development Journal │ Problematika Penegakan Hukum Lingkungan… | 18


Pertanggungiawaban pidana "badan hukum" sejalan dengan konsep badan
hukum sebagai subyek hukum. Meijers mengemukakan: "badan hukum ...
meliputi sesuatu yang menjadi pendukung hak dan kewajiban". Logemann
berpendapat: "badan hukum merupakan suatu personifikatie, suatu bestendigheid
(perwujudan, penjelmaan) hak dan kewajiban".56
Pemidanaan badan hukum dilakukan dengan menjatuhkan sanksi pidana
"denda" dan untuk individu pengurus badan hukum diterapkan sanksi pidana
berupa "penjara" (maupun "denda"). Maka unsur "barangsiapa" dalam delik
lingkungan atas dasar UU PPLH mengandung muatan bahwa “orang" yang
menjadi "pelaku delik" menjangkau "individu" dan "badan hukum". Pasal 1
angka 32 UU PPLH menopangnya: "Orang adalah orang perseorangan atau
badan usaha, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.”
Berdasarkan Pasal 116 UU PPLH disebutkan bahwa apabila tindak pidana
lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan
pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada: a. badan usaha; dan/atau b. orang
yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang
bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut.
Pertanggungjawaban pidana terhadap (para) pengurus ("corporate
officers") atau pimpinan ("chief executive officers") suatu badan hukum yang
melakukan delik lingkungan telah berkembang menjadi kecenderungan di
Amerika Serikat atas dasar prinsip “vicarious liability" yang diartikan: "the legal
responsibility of one person for the wrongful acts of another".57
Di Belanda telah dianut gagasan bahwa hampir semua delik dapat
dilakukan oleh badan hukum. Pasal 51 Wetboek van Strafrecht, Stb. 1998 No. 35
(W.v.S.) memformulasikan sanksi pidana dan pertanggungjawaban pidana bagi

56
Chidir Ali, Badan Hukum, Alumni, Bandung, 1991, h. 18-21. S.W. van der Meer,
Corporate Law, W.E.J. Tjeenk Willink, B.V., Zwolle-Holland, 1973, h. 3. A.L.J. Van Strien,
“Badan Hukum Sebagai Pelaku Tindak Pidana Lingkungan” dalam M.G. Faure, J.C. Oudijk dan
D. Schaffmeister, op.cit., h. 226.
57
Takdir Rahmadi, op.cit., h. 374. Muladi dan Barda Nawawi A., op.cit., h. 141.

Airlangga Development Journal │ Problematika Penegakan Hukum Lingkungan… | 19


badan hukum serta pengurusnya.58 Ketentuan serupa tertuang dalam Artikel 95
ayat (1) W.I.v. sampai direvisi tahun 1998 untuk diharmonisasi dengan Pasal 15
WED (1994)59 yang menetapkan: seorang pengurus ("managing director”)
memikul pertanggungjawaban pidana apabila:
➢ secara aktif atau pasif terlibat dalam tindak pidana;
➢ mengetahui fakta yang berhubungan dengan tindak pidana;
➢ tidak melaksanakan pengawasan yang memadai tentang jalannya
perusahaan, sehingga perusahaan tidak memenuhi ketentuan undang-
undang lingkungan;
➢ mengetahui secara nyata (“actually knew”) tentang terjadinya tindak
pidana bukan suatu persyaratan bagi timbulnya pertanggungjawaban
pidana.60

Pertanggungjawaban pidana terhadap pengurus maupun badan hukum juga


dianut Jepang. Pasal 3 dan 4 Law for the Punishment of Crimes Relating to
Environmental Pollution which Adversely Affects the Health of Persons jo. Pasal
36 APCL meletakkan pertanggungjawaban pidana kepada pimpinan ataupun
karyawan yang karena kelengahannya (tidak berhati-hati) membuang emisi yang
membahayakan kehidupan dan kesehatan publik.61
Singapura mengakui pula pertanggungjawaban pidana badan hukum.
“Criminal responsibility” korporasi atau pengurus terhadap delik lingkungan
pencemaran lingkungan tidak tercantum dalam CAA, tetapi terdapat pada Pasal
71 EPCA (1999).62
Selain dalam UU PPLH, peraturan perundang-undangan lingkungan yang
secara tegas mengatur tentang pertanggung-jawaban pidana badan hukum
misalnya adalah: (i) UU Tindak Pidana Ekonomi: Pasal 15, (ii) UU Perindustrian:
Pasal 21 ayat (1) jo. Pasal 27, (iii) UU Kehutanan: Pasal 78 ayat (14).

58
Louise Rayar and Stafford Wadsworth (Translators), The Dutch Penal Code, in
collaboration with Mona Cheung et al. and revision by Hans Lensing, Rothman & Co., Littleton,
Colorado, 1997, h. 78. Kluwer, Wetgevingseditie … op.cit., h. 3099 dan 3118.
59
G.H. Addink, Environmental Law … op.cit., h. 125.
60
Takdir Rahmadi, op.cit., h. 372-373. D. Schaffmeiter, “Environmental Criminal Law”
dalam Michael Faure and Gunter Heine, op.cit., h. 11. Kris Lulofs, “Schonere Afvalverbranding:
Zijn de Europese Richtlijn en de Nationale Regimes Kosten Effectief”, Beleidswetenschap, 2/01/4,
2001, h. 333-355.
61
Environment Agency Japan, op.cit., h. 112.
62
Ong Teng Cheong, op.cit., h. 164.

Airlangga Development Journal │ Problematika Penegakan Hukum Lingkungan… | 20


Mekanisme Penyelesaian Sengketa Lingkungan
a. Sengketa Lingkungan dan Mekanisme Penyelesaiannya
Berdasarkan Pasal 1 angka 25 UU PPLH: pencemaran lingkungan dapat
dikualifikasi secara yuridis sebagai kausa dan “conditio sine quanon” sengketa
lingkungan. Sengketa lingkungan merupakan "bagian" dari sengketa hukum yang
bermuatan kontroversi yang mengandung dan menimbulkan tuntutan
(“claims”).63
UU PPLH hanya menekankan sengketa lingkungan dalam aspek penegakan
hukum lingkungan keperdataan. Sehubungan dengan sengketa lingkungan harus
tetap menyadari bahwa yang terpenting dalam pembangunan berkelanjutan
adalah: "how to avoid dispute, not how to settle dispute" sesuai adagium:
“prevention is better than cure" dan pepatah "an ounce of prevention is worth a
pound of cure?".64 Namun, sebagai kenyataan yang terjadi dan terus menggejala,
sengketa lingkungan dalam kasus pencemaran lingkungan membutuhkan
penyelesaian yuridis.

b. Gugatan Melalui Badan Peradilan Administrasi


UU PTUN merupakan dasar hukum pengajuan gugatan administrasi atas
KTUN perizinan (seperti misalnya: Izin HO, Izin Usaha Industri, IPLM, Izin
Lokasi, Izin Usaha Angkutan, Izin Trayek, Izin Operasi Angkutan maupun
Surat Izin Mengemudi) yang dianggap "onrechtmatig" dan dapat menimbulkan
terjadinya pencemaran lingkungan.
Bertolak dari Pasal 53 ayat (1) dan Pasal 1 angka 4 UU PTUN: izin
lingkungan dapat digugat di lembaga Peradilan Administrasi yang berisi tuntutan
(petitum) agar KTUN (izin lingkungan) yang disengketakan dinyatakan batal
atau tidak sah dengan tujuan untuk menghentikan pencemaran lingkungan atas
dasar prinsip “abatement at the source”.

63
Henry Campbell Black, op.cit., h. 327. Willem L. Ury, Jeanne M. Brett and Stephen B.
Goldberg, Getting Disputes Resolved, Jossey-Bass Publisher, Sn Fransisco, 1988, h. 4.
64
Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan … op.cit., h. 265.

Airlangga Development Journal │ Problematika Penegakan Hukum Lingkungan… | 21


Keberadaan Peradilan Administrasi di Indonesia kurang didayagunakan
sebagai jalur hukum penyelesaian sengketa lingkungan.65 Sejak berlakunya UU
PTUN baru ditemukan dua sengketa lingkungan “monumental" yang telah
diselesaikan melalui mekanisme Peradilan Administrasi: Kasus Dana Reboisasi
(1994-2000) dan Kasus PT Freeport Indonesia Company (PT FIC) (1995-2000).
Dengan segala kekurangan dan kelemahannya, proses hukum kedua kasus
tersebut merupakan langkah apresiatif terhadap eksistensi dan fungsi Peradilan
Administrasi.66
Amerika Serikat, Belanda dan Jepang memanfaatkan Peradilan
Administrasi sebagai sarana hukum penyelesaian sengketa lingkungan. Di
Amerika Serikat, dalam kurun waktu tiga tahun sejak The National
Environmental Policy Act of 1969 (NEPA) diundangkan telah diajukan 149
gugatan administrasi untuk menguji keabsahan keputusan badan pemerintahan
yang berhubungan dengan: wajib atau tidaknya suatu kegiatan dilengkapi dengan
Amdal, memadai atau tidaknya studi Amdal yang telah dibuat, dan apakah badan
pemerintahan telah sungguh-sungguh mempertimbangkan informasi lingkungan
dalam membuat keputusan.67
Dasar hukum gugatan administrasi “pencemaran lingkungan” di Amerika
Serikat adalah: The Administrative Procedure Act of 1946 (APA) dan The Public
Information Act of 1967 (PIA) serta CAA (Pasal 304). Pengadilan di Amerika
Serikat mengembangkan "hard look doctrine": penelaahan secara cermat
tindakan pemerintahan yang berdampak terhadap kepentingan yang menyangkut
kehidupan, kesehatan dan kebebasan manusia.68
Gugatan administrasi dalam penyelesaian sengketa lingkungan di Belanda
dilakukan berdasarkan Section 20.1-20.17 dari (Chapter 20) EMA (Wm) tentang
“appeals to the administrative courts" jo. Section 7:1 GALA (Awb) mengenai

65
Siti Sundari Rangkuti, “Reformasi Bidang Hukum Lingkungan”, Suara Pembaruan, 26
Maret 1999.
66
Suparto Wijoyo, Penyelesaian Sengketa Lingkungan (Settlement of Environmental
Disputes), Cetakan Kedua, Airlangga University Press, Surabaya, 2003, h. 55-61.
67
Takdir Rahmadi, op.cit., h. 289-290.
68
Ibid., h. 290-292. Paulus Effendie Lotulung, Beberapa Sistem Tentang Kontrol Segi
Hukum Terhadap Pemerintahan, Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 1986, h. 54-64.

Airlangga Development Journal │ Problematika Penegakan Hukum Lingkungan… | 22


“notice of objection preceding appeal to an administrative court" dan Section 8:1
GALA yang mengatur "jurisdiction" dalam “appeals to the district court".69
Mengajukan gugatan administrasi ke badan Peradilan Administrasi (bagian
dari Raad van State) di Belanda merupakan upaya banding ("beroep" atau
“appeal") (Pasal 20.1 ayat (1) EMA). Berlakunya GALA dan EMA di Belanda
telah membuka peluang yang lebih luas bagi setiap orang untuk mengajukan
gugatan administrasi dalam kasus pencemaran lingkungan atas dasar W.l.v.
Mekanisme Peradilan Administrasi sebagai bagian "environmental
litigation" diintrodusir Jepang dalam prosedur penyelesaian "environmentally
hazardous governmental action".70 Gugatan administrasi dalam rangka
perlindungan lingkungan didasarkan pada The Administrative Litigation Act of
1960. Beberapa kasus lingkungan yang diselesaikan melalui "administrative
litigation" di Jepang adalah:
“… (i) Matsuyama Airport Case, (ii) Usuki Cement Case, (iii) Shinkansen
Bullet Train Case, (iv) Kunitachi Pedestrian Bridge and Date Electric
Power Plant Case, (v) Nikko Taro Cedar Tree Case, (vi) Ikata Nuclear
Power Plant Case, dan Musashino City Residential Development Case
..”..71

c. Dasar Hukum Gugatan Lingkungan


Berdasarkan Pasal 28H ayat (1) UUD NRI 1945 dan Pasal 28 Piagam Hak
Asasi Manusia yang dimuat dalam Ketetapan MPR-RI No. XVII/MPR/1998
tentang Hak Asasi Manusia (Ketetapan MPR-RI No. XVII/MPR/1998): "hak atas
lingkungan (hidup) yang baik dan sehat" merupakan "hak
fundamental-konstitusional". Penuangan "hak atas lingkungan (hidup) yang baik
dan sehat" sebagai "subjective rights" merupakan bentuk perlindungan hukum
paling ekstensif yang memberikan landasan yuridis gugatan hukum bagi individu

69
G.H. Addink, Environmental Law in a Comparative Perspective: National, European and
International Law: Legislation Part 1: Dutch Law, Institute of Constitutional and Administrative
Law, Utrecht University, Utrecht, 2002, h. 4-70 dan 73-162.
70
Julian Gresser, Koichiro Fujikura and Akio Morishima, op.cit., h. 201-225.
71
Disarikan dari berbagai uraian kasus lingkungan yang tertuang dalam Ibid., h. 202-218.
Takdir Rahmadi, op.cit., h. 295.

Airlangga Development Journal │ Problematika Penegakan Hukum Lingkungan… | 23


untuk merealisir kepentingannya atas “lingkungan hidup yang baik dan sehat".72
Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 28 Piagam Hak Asasi Manusia
(Ketetapan MPR-RI No. XVII/MPR/1998) merupakan dasar hukum gugatan
lingkungan yang sangat substantif bagi pemenuhan fungsi hak perseorangan
melalui forum pengadilan.
Dasar hukum gugatan lingkungan yang bersifat konstitusional telah
diterapkan di Philipina dalam The Minor Oposa Case (Supreme Court of the
Philippines Decision, July 30, 1993). Mahkamah Agung Philipina mengabulkan
gugatan penggugat (41 anak di bawah umur yang didampingi para orang tua
mereka melalui kuasa hukum Att. Antonio Oposa, sehingga kasus ini dikenal
dengan nama Minor Oposa) berdasarkan “the right to a balanced and healthful
environment” yang dirumuskan Konstitusi Philipina (1987), di samping asas
“intergenerational equity”.73
Dalam The Minor Oposa Case: para penggugat mengajukan petitum
pembatalan seluruh izin logging di Philipina yang dikeluarkan menurut Timber’s
Agreement oleh pihak tergugat, yaitu: Menteri Lingkungan dan Sumber Daya
Alam Philipina (Secretary of the Department of Environment and Natural
Resources (DENR). Majelis Hakim Mahkamah Agung Philipina pada tanggal 30
Juli 1993 memutuskan bahwa penerbitan izin atas dasar Timber’s Agreement
tidak sesuai dengan kewenangan DENR dan mendorong ke arah perusakan
lingkungan. Mahkamah Agung berpendapat: “the state of the Philippines and
DENR” berkewajiban untuk mencegah kegiatan-kegiatan yang dapat merusak
lingkungan. Kewajiban DENR untuk melindungi hak atas lingkungan (hidup)
yang baik dan sehat harus dipandang juga untuk kepentingan generasi mendatang
sedasar prinsip “intergenerational equity”.74
Di Indonesia, penyelesaian sengketa lingkungan diatur dalam Bab XIII UU
PPLH, yakni dibagi menjadi penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan

72
Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan … op.cit., h. 252-254. Koesnadi
Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1994, h.
120-121.
73
Kasus ini selengkapnya dapat dibaca dalam publikasi Supreme Court Report Annotated,
Oposa vs. Factoran, Jr., Vol. 224, July 20, 1993, h. 792-818.

Airlangga Development Journal │ Problematika Penegakan Hukum Lingkungan… | 24


dan penyelesaian sengketa lingkungan melalui pengadilan. Gugatan lingkungan
baru dapat dilakukan setelah mekanisme penyelesaian sengketa lingkungan di
luar pengadilan tidak dapat tercapai.

d. Kritik Terhadap Proses Litigasi Lingkungan


UU PPLH mengintrodusir penyelesaian sengketa lingkungan di luar
pengadilan untuk mencapai kesepakatan mengenai "bentuk dan besarnya ganti
kerugian serta tindakan (hukum) tertentu". Kemunculan mekanisme ini
merupakan reaksi kritis terhadap “litigation process” yang "adversarial".75
Problematika “evidence to the attention of the court",76 waktu, biaya,
responsibilitas, kualitas putusan dan kemampuan hakim serta rigiditas prosedur
hukum berperkara merupakan hambatan utama jalur litigasi "environmental
disputes".
Kelambanan proses litigasi penyelesaian sengketa lingkungan tercermin
dari waktu yang dibutuhkan: di Amerika Serikat 5-15 tahun, di Jepang 7-17
tahun, dan di Indonesia menapaki rentang waktu: 7-12 tahun atau 5-15 tahun,
bahkan 15-20 tahun. Pilihan berlitigasi berarti menerima gambaran J. David
Reitzel: “… there is a long wait for litigants to get trial ..." dan tanggapan Hetger
Muller: "... the advent of litigious society and the increasing case loads and
delays that this generate are already a matter of public concern …”. Peter
Lovenheim mengungkapkan: "A litigated case may be pending for two, three,
four or five years before trial".77
Biaya litigasi ditengarai melampaui nilai kemenangan berperkara.
Lawrence S. Clarkes mengatakan: "... so the cost of the lawsuit may exceeded the
value of winning …”. Ungkapan senada dinyatakan Tony McAdam: "... that

74
Ibid. Suparto Wijoyo, Penyelesaian Sengketa … op.cit., h. 81.
75
Takdir Rahmadi, “Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa Lingkungan”, Penataran
Hukum Lingkungan, Proyek Kerjasama Hukum Indonesia-Belanda, Fakultas Hukum Universitas
Airlangga, Surabaya, 4-12 Januari 1996, h. 7. Henry Campbell Black, op.cit., h. 34.
76
Nancy K. Kubasek and Gary S. Silverman, Environmental Law, Prentice Hall, Upper
Saddle River, New York, 1997, h. 36-37. Stephen B. Goldberg, Frank E.A. Sander and Nancy H.
Rogers, Dispute Resolution, Little, Brown and Company, Boston, 1992, h. 241-246.

Airlangga Development Journal │ Problematika Penegakan Hukum Lingkungan… | 25


litigation cost may be actually be doing damage to the nation's economy ...".
Muncullah satire: "... law grind the poor, but the rich men rule the law ...".78
Di Amerika Serikat ditemukan sindiran: “… law has become a very big
American business …”. Besarnya dana berlitigasi mengingatkan pada pepatah
Cina:"Going to the law is losing a cow for the sake of a cat".79 Peradilan juga
dianggap tidak tanggap terhadap kepentingan umum: "… the courts are
extremely clogged up and are generally unresponsive to the needs of the public
...”.80
Potret hitam dunia peradilan di Indonesia semakin diperparah oleh
rendahnya kualitas dan kapabilitas hakim. Banyak Putusan Hakim dalam kasus
lingkungan yang tidak argumentatif dan tidak berlandaskan "logika berpikir
yuridis" Hukum Lingkungan. Citra negatif pengadilan dan hakim telah
mencuatkan kecaman keras pencari keadilan.81 Masyarakat Jepang beranggapan
bahwa penyelesaian sengketa lingkungan melalui lembaga peradilan sangatlah
menjemukan. Secara sosio kultural pengadilan di Jepang tidak memainkan peran
besar di bidang lingkungan.82
Menghadapi berbagai realitas tersebut maka diperlukan suatu solusi-solusi
praktis dalam rangka menyelesaikan kasus lingkungan secara efektif dan efisien,
sehingga harapan terjadinya keberlanjutan lingkungan sebagaimana prinsip
sustainable development dapat terpenuhi.

77
M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian
Sengketa, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, h. 154-161.
78
Ibid., h. 243. T.M. Lutfi Yazid, “Penyelesaian Sengketa Lingkungan Melalui ADR”,
Jurnal Hukum Lingkungan, Tahun III No. I/1996, h. 96. Joni Emirzon, Alternatif Penyelesaian
Sengketa di Luar Pengadilan (Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi & Arbitrase), PT Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 2001.
79
Ibid.
80
Ibid. Peter Lovenheim, Mediate, Don’t Litigate: How to Resolve Disputes Quickly,
Privately, and Inexpensively Without Going to Court, McGraw-Hill, Inc. New York, 1989, h. 3.
81
Jawa Pos, Menkeh Akui Ada Kolusi Pengadilan, 26 Juni 1997. Jawa Pos, Yang Alami
Masalah Tak Lagi Lari Ke PN, 16 Juli 1997. Surabaya Post, Potret Suram Citra Hakim dan Jaksa,
2 Januari 1998. Majalah Berita Mingguan Tempo, Saatnya Berbenah Diri, 20 April 2003. Henry
P. Panggabean, Fungsi Mahkamah Agung Dalam Praktik Sehari-hari: Upaya penanggulangan
tunggakan perkara dan pemberdayaan fungsi pengawasan Mahkamah Agung, Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta, 2001. Benjamin Mangkoedilaga, “Sebuah Catatan Untuk Mahkamah Agung”,
Kompas, 16 Juli 2003.
82
Koesnadi Hardjasoemantri, Sebuah Studi Tentang Kankyo Kihon Ho 1993 (Undang-
undang Lingkungan Hidup Jepang 1993), Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1996, h. 6.

Airlangga Development Journal │ Problematika Penegakan Hukum Lingkungan… | 26


C. PENUTUP

Beragam permasalahan lingkungan baik kerusakan maupun pencemaran


yang terjadi di satu sisi oleh sebagian kalangan dianggap sebagai bencana alam
(act of God). Padahal dalam kondisi-kondisi realistis hal tersebut sesungguhnya
merupakan bencana lingkungan dan kemanusiaan yang dalam konteks kebijakan
amat sangat jelas penyebabnya. Berbagai permasalahan lingkungan yang terjadi
secara beruntun dalam sisi ekologis menjadi titik terang adanya
ketidaksungguhan pemegang otoritas publik untuk mengarusutamakan
kepentingan lingkungan dalam agenda kebijakan negara.
Banyaknya alternatif mekanisme dalam penegakan hukum lingkungan, baik
secara administratif, kepidanaan maupun keperdataan belum mampu menjamin
semakin berkurangnya permasalahan lingkungan. Dalam konteks penegakan
hukum kepidanaan juga belum mampu memberikan efek yang signifikan bagi
perlindungan lingkungan. Terhadap tindak pidana lingkungan ini jelas
dibutuhkan langkah-langkah hukum yang ditangani secara profesional oleh
aparatur kepolisian, PPNS, kejaksaan dan hakim yang bersertifikasi lingkungan.
Administrasi keadilan melalui langkah membangun aparatur penegak hukum
lingkungan yang berwawasan lingkungan dengan memperkuat diklat serta proses
sertifikasi penegak hukum lingkungan akan memiliki implikasi praktis
menuntaskan kasus kejahatan lingkungan sesuai dengan makna hukum
lingkungan kepidanaan. Pembentukan institusi penegak hukum lingkungan
kepidanaan dalam semangat keterpaduan model ORES (One Roof Enforcement
System) harus didorong demi terbangunnya penegakan hukum terhadap kejahatan
lingkungan secara terpadu. Keterpaduan ini penting guna membuka ruang akses
keadilan bagi rakyat yang dapat teradministrasikan secara baik dalam konteks
good environmental enforcement berdasarkan prinsip-prinsip good environmental
governance.

Hiroshi Wagatsuma and Arthur Roset, “The Implications of Apology: Law and Culture in Japan

Airlangga Development Journal │ Problematika Penegakan Hukum Lingkungan… | 27


D. DAFTAR BACAAN
Addink, G.H., Publications About the Implementation and Enforcement of the
Climate Change Convention and the Kyoto Protocol, Utrecht University,
The Netherlands, 1998.
------, Norms and Enforcement of Climate Change Convention, Utrecht
University, Utrecht, t.th.
Beroya, Mary Antonette A., Mengenal Lingkungan Hidup: Pedoman Untuk
Memperkuat Rakyat, Yakoma-PGI, Jakarta, 2000.
Biezeveld, G.A., Duurzame Milieuwetgeving, Boom Juridische Uitgevers, Den
Haag, 2002.
Blomberg, A.B., Integrale Handhaving van Milieurecht, Boom Juridische
Uitgevers, de Vrije Universiteit te Amsterdam, 2000.
Boer, Ben, (ed.), Environmental Law in the South Pacific, IUCN Environmental
Law Centre, United Kingdom, 1996.
------, et al., International Environmental Law in the Asia Pacific, Kluwer Law
International, 1998.
Boon, Foo Kim, Lye Lin Heng and Koh Kheng Lian, Environmental Protection:
The Legal Framework, IUCN/APCEL/UNEP Programme, Singapore, 1997.
Cane, Peter, An Introduction to Administrative Law, Clarendon Press, Oxford,
2001.
Dix, H.M., Environmental Pollution: Atmosphere, Land, Water, and Noise, John
Wiley & Sons Ltd., Chichester, 1981.
Drupsteen, Th.G., et al., De Toekomst van de Wet Milieubeheer, Rijksuniversiteit
Leiden, W.E.J. Tjeenk Willink, Deventer, 1998.
Eade, John, (ed.), Living the Global City, Routledge, London, 1997.
Emond, D. Paul, Environmental Law: Resource Materials for the Study of
Environmental Law in Indonesia and Canada, EMDI, Halifax and Jakarta,
1990.
Environment Agency Japan, Texbook for Training Course in Environmental
Engineering (Air Pollution Control), Japan, 1997.

and The United States”, Law & Sosiety Review, Vol. 20, Nr. 4, 1988, h. 461-496.

Airlangga Development Journal │ Problematika Penegakan Hukum Lingkungan… | 28


Euroconfidentiel S.A., The Rome, Maastricht and Amterdam Treaties, Belgium,
1999.
European Commission, The European Union and the Environment, Luxembourg,
1997.
------, The Customs Policy of the European Union, Luxembourg, 1999.
Faure, Michael and Gunter Heine, Environmental Criminal Law in The European
Union, METRO Institute for Transnational Legal Research, Maastricht, The
Netherlands, 1998.
Foque’, R. en S. Gutwirth (red.), Vraagstukken van Milieurechtelijke
Begripsvorming, Gouda Quint, Erasmus Universiteit Rotterdam, 2000.
Gilks, Mark, Interim Transport Plan 2000/2001, Environmental Department,
London, 2001.
Hoekema, A.J., et al., Integraal Bestuur, Amsterdam University Press,
Amsterdam, 1998.
Kiss, Alexandre and Dinah Shelton, Manual of European Environmental Law,
Grotius Publication Cambridge University Press, Cambridge, 1997.
Lee, C.C., Dictionary of Environmental Legal Terms, McGraw-Hill, New York,
USA, 1997.
Moussis, Nicholas, Guide to EU Policies, European Study Service, Belgium,
2000.
Mukono, H.J., Prinsip Dasar Kesehatan Lingkungan, Airlangga University Press,
Surabaya, 2000.
Murdiyarso, Daniel, Sepuluh Tahun Perjalanan Negosiasi Konvensi Perubahan
Iklim, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2003.
------, Protokol Kyoto: Implikasinya Bagi Negara Berkembang, Penerbit Buku
Kompas, Jakarta, 2003.
------, CDM: Mekanisme Pembangunan Bersih, Penerbit Buku Kompas, Jakarta,
2003.
NAA, Environmental Report’ 98: Creating an Eco-Airport, Vol. 3 January 1999.
Portney, Paul R. and Robert N. Stavins, Public Policies for Environmental
Protection, Resources for the Future, Washington, D.C., 2000.

Airlangga Development Journal │ Problematika Penegakan Hukum Lingkungan… | 29


Proyek Pembinaan Teknis Yustisial Mahkamah Agung RI, Undang-undang
Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan
Permasalahannya, Jakarta, 1998.
Rangkuti, Siti Sundari, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan
Nasional, Edisi Kedua, Airlangga University Press, Surabaya, 2000.
Susilo, F.X. Endro, Suparto Wijoyo and Ibrahim, An Overview of Indonesian
Environmental Law and Comparative Aspects, Faculty of Law, Utrecht
University, The Netherlands, 2002.
Syarif, La Ode Muhamad, The Implementation of International Responsibilities
for Atmospheric Pollution, LEAD Indonesia-ICEL, Jakarta, 2001.
United Nations, The Earth Charter, October, 2002.
Wijoyo, Suparto, Mata Rantai Pengaturan Hukum Pengelolaan Lingkungan di
Indonesia, Airlangga University Press, Surabaya, 2008.
--------, Otonomi Tanpa Politik Ekologi, Airlangga University Press, Surabaya,
2010.
--------, Konstitusionalitas Hak Atas Lingkungan, Airlangga University Press,
Surabaya, 2010.
-------- et.al., Pakde Karwo Pintu Gerbang MEA 2015 Harus Dibuka, Prenada
Media Group, Jakarta, 2015.
Wood, Christopher, Environmental Impact Assessment: A Comparative Review,
Logman Group Limited, England, 1996.

Internet Sites
http://www.epa.gov/oar/caa/contents.html
http://europa.eu.int/comm/dg01
http://europa.eu.int/eurostat.html
http://europa.eu.int/euro
http://www.tempointeraktif.com
http://www.tempointeractive.com
http://www.kompas.com

Airlangga Development Journal │ Problematika Penegakan Hukum Lingkungan… | 30

Anda mungkin juga menyukai