Anda di halaman 1dari 21

MATA KULIAH HUKUM LINGKUNGAN

ARTIKEL
URGENSI PEMBENTUKAN PENGADILAN LINGKUNGAN HIDUP DI
INDONESIA DAN PERBANDINGANNYA DENGAN AUSTRALIA

Raymond Tamsil (NIM 01051200207)

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
TANGERANG
2023
Latar Belakang
Indonesia dalam mengatur pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup
mempertimbangkan Pancasila dan UUD NRI 1945 sebagai dasar negara dan kiblat
konstitusinya. Pada Pasal 28H Ayat (1) UUD NRI 1945, dijelaskan bahwa setiap orang
berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup
yang baik dan sehat serta memperoleh pelayanan kesehatan.1 Serta pada Pasal 33 Ayat (3)
dan (4), yang menjelaskan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat,
untuk selanjutnya menyelenggarakan perekonomian nasional yang berdasar atas demokrasi
ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan
lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan
ekonomi nasional.2
Pasal-pasal tersebut setidaknya yang menjadi tujuan Negara Indonesia dalam
menyelenggarakan pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup. Dalam UU PPLH,
dijelaskan juga bahwa lingkungan hidup di Indonesia semakin lama semakin menurun
kualitasnya, serta pemanasan global yang semakin meningkat mengakibatkan perubahan
iklim sehingga memperburuk penurunan kualitas lingkungan hidup juga, dan memiliki
potensi mengancam kelangsungan perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya,

1
Pasal 28H Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945
2
Pasal 33 Ayat (3) dan (4) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945
sehingga diperlukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang sungguh-sungguh
dan konsisten oleh semua pemangku kepentingan.3
Dalam urgensi-urgensi tersebut, diperlukan upaya-upaya penegakan hukum
lingkungan yang mewujudkan keinginan hukum menjadi kenyataan,4 serta dalam rangka
menanggulangi kejahatan terhadap berbagai sarana sebagai reaksi yang dapat diberikan
kepada pelaku kejahatan, berupa sarana pidana maupun non hukum pidana, yang dapat
diintegrasikan satu dengan yang lainnya.5 Dalam UU PPLH pada BAB XIII dijelaskan
upaya-upaya penegakan hukum dan penyelesaian sengketa lingkungan. Pada Pasal 84 Ayat
(1) dijelaskan bahwa penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui
pengadilan atau di luar pengadilan.6 Pada bagian-bagian selanjutnya, dijelaskan bahwa
terdapat juga hak-hak gugat yang dapat diajukan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah,
Masyarakat, Organisasi Lingkungan Hidup, dan terdapat Gugatan Administratif yang dapat
diajukan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara.
Tidak dijelaskan bahwa terdapat pengadilan khusus yang menangani perkara
lingkungan hidup yang notabene memiliki karakteristik khusus, sehingga penanganannya pun
juga harus secara khusus dan tidak dapat disamakan dengan pelanggaran hukum lainnya.
Salah satu contoh karakteristik khususnya adalah bukti ilmiah (science evidence), sehingga
diperlukan ahli yang dapat mengidentifikasikan dan memformulasikan bukti ilmiah tersebut
menjadi bukti hukum (legal evidence).7 Demikian juga dengan maraknya perkara-perkara
lingkungan hidup yang semakin meningkat akhir-akhir ini, baik dari dampak yang
ditimbulkan, modus yang digunakan hingga karakter pelaku yang seringkali melibatkan
korporasi-korporasi besar, membawa implikasi meningkatnya tuntutan agar perkara-perkara
tersebut ditangani secara khusus dan akuntabel. Fakta menunjukkan bahwa dalam beberapa
kasus terakhir yang melibatkan korporasi- korporasi besar maupun perorangan, pengadilan
seringkali membuat putusan-putusan yang dirasakan tidak memenuhi rasa keadilan
masyarakat. Dengan demikian, mengingat tingkat urgensi dan emergensi permasalahan
lingkungan sudah sedemikian mengkhawatirkan, maka tujuan penelitian ini untuk

3
Bagian Pertimbangan huruf d dan e Undang-Undang RI No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
4
Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, (Bandung: CV. Sinar
Baru, 2009), hal. 24.
5
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002), hal. 109.
6
Pasal 84 Ayat (1) Undang-Undang RI No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup
7
Prayekti Muharjanti, Dkk, Menuju Peradilan Pro Lingkungan, (Jakarta: Indonesia Center for
Environmental (ICEL), 2009), hal. 32.
mendeskripsikan urgensinya penanganan secara khusus dan lebih serius terhadap rusaknya
lingkungan hidup dengan membentuk pengadilan lingkungan hidup.
Sengketa lingkungan yang semakin hari semakin meningkat membuat Pemerintah dan
para regulator harus memikirkan kembali proses penegakan hukum yang bersinergi dalam
menangani sengketa lingkungan. Berdasarkan Sofian Ardi dalam penelitiannya,
mengemukakan bahwa Pengadilan Nasional dan Internasional yang ada tidak lagi dapat
membendung penyelesaian sengketa lingkungan nasional maupun internasional, karena
terdapat bukti-bukti ilmiah yang semakin tidak dapat diidentifikasikan dan diformulasikan
menjadi bukti hukum, dan karenanya bumi semakin terancam oleh aktivitas manusia,
sehingga dibutuhkan lembaga peradilan internasional yang khusus dalam menangani
persoalan lingkungan hidup, baik nasional maupun internasional.8
Namun masih rendahnya penegakan hukum lingkungan dilihat dari sengketa
lingkungan yang terus meningkat di ranah litigasi, menyebabkan kepercayaan rasa tidak
pernah puas menjadi pendukung manusia memanfaatkan alam yang sewaktu-waktu dapat
melampaui batas dan merusak lingkungan. Dari perkara-perkara lingkungan hidup yang telah
diproses di pengadilan, dalam putusannya tidak pro lingkungan hidup, tidak berorientasi pada
keberlanjutan lingkungan hidup dan dinilai sering sangat mengecewakan serta tidak
memberikan rasa keadilan bagi masyarakat dan keadilan bagi lingkungan hidup itu sendiri.

Rumusan Masalah
1. Bagaimana tanggung jawab negara pada penegakan hukum lingkungan hidup?
2. Bagaimana pembentukan pengadilan lingkungan hidup berdasarkan pengadilan
lingkungan hidup Australia?

Metodologi Penelitian
Sesuai dengan permasalahan yang diteliti, metode penelitian yang digunakan Penulis
adalah penelitian hukum normatif yang berdasar pada penemuan suatu aturan hukum,
prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum untuk menyelesaikan persoalan
isu-isu hukum yang dijadikan topik penelitian, sehingga penelitian ini dilakukan untuk
mengkaji sumber kepustakaan.9

8
Sofian Ardi, Urgensi Dibentuknya Badan Peradilan Khusus Lingkungan Internasional dan Badan
Pembersih Sampah Antariksa (Space Debris), “Jurnal Opinio Juris 19”, 2016, hal. 64.
9
Soerjono Soekamto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta:
Rajawali Press, 1985), ha;. 8.
Bahan-bahan hukum primer yang digunakan adalah berdasarkan Undang-Undang RI
No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta
Undang-Undang RI No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Adapun
bahan-bahan hukum sekunder yang Penulis gunakan adalah terdiri dari beberapa dokumen
yang terkait dengan bahan hukum primer, yaitu buku-buku yang berkaitan dengan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan pembentukan pengadilan khusus. Serta
bahan hukum tersier yang digunakan adalah penunjang bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder.
Metode analisis data yang Penulis lakukan adalah melalui metode deskriptif kualitatif
yang memberikan gambaran atau pemaparan atas objek dan subjek penelitian sebagaimana
hasil penelitian dilakukan, dan berdasarkan bahan-bahan hukum yang relevan, valid, dan
berkualitas.10

Hasil dan Pembahasan


A. Tanggung Jawab Negara pada Penegakan Hukum Lingkungan Hidup
1. Pengaturan Penegakan Hukum Lingkungan Berdasarkan UU PPLH
Penegakan hukum merupakan suatu kegiatan yang tidak berdiri sendiri,
melainkan suatu kegiatan yang mempunyai hubungan timbal balik yang erat dengan
masyarakat dengan berbagai dinamikanya. Dinamika dan perubahan-perubahan yang
terdapat pada lingkup masyarakat memungkinkan adanya hambatan, kendala, dan
segala sesuatu hal yang memerlukan penyediaan sarana sosial dan penegakan hukum.
Menurut pendapat Satjipto Rahardjo, penegakan hukum pada dasarnya merupakan
penegakan ide atau konsep tentang kebenaran, keadilan, kemanfaatan sosial, dan
sebagainya. Hakikatnya, penegakan hukum merupakan upaya perwujudan niali-nilai
atau kaedah yang memuat keadilan dan kebenaran yang bukan hanya menjadi tugas
dan tanggung jawab para penegak hukum, tetapi menjadi tugas dan tanggung jawab
setiap orang.11
Upaya penegakan hukum juga dibagi atas upaya yang bersifat preventif dan
represif. Upaya penegakan hukum yang bersifat preventif, yaitu usaha mencegah
kejahatan yang dilakukan sebelum kejahatan itu terjadi, sedangkan upaya represif
adalah segala tindakan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum setelah terjadinya

10
Ibid, hal. 10.
11
Satjipto Rahardjo, Ibid, hal. 30.
kejahatan atau tindak pidana dilakukan. Berikut wujud upaya penegakan hukum
preventif dan represif yang dapat dilakukan berupa:12
1. Non-Penal, yaitu suatu pencegahan kejahatan, dimana dilakukan sebelum
kejahatan itu terjadi, sehingga upaya ini lebih dikenal dengan upaya yang
sifatnya preventif atau pencegahan. Hal ini seharusnya harus lebih diutamakan
daripada upaya yang sifatnya represif. Diadakan untuk mencegah agar tidak
dilakukan pelanggaran hukum oleh masyarakat dan tugas ini pada umumnya
diberikan pada badan eksekutif dan kepolisian.
2. Penal, yaitu upaya yang dilakukan adalah secara represif oleh aparat penegak
hukum yang diberi tugas penegakan hukum. Penegakan hukum represif pada
tingkat operasional didukung dan melalui berbagai lembaga yang secara
organisatoris terpisah satu dengan yang lainnya, namun tetap berada dalam
kerangka penegakan hukum. Upaya Penal Dilakukan apabila usaha preventif
telah dilakukan tetapi masih juga terdapat pelanggaran hukum.
Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi proses penegakan hukum,
antara lain:13
1. Faktor hukum, yaitu suatu kebijakan atau tindakan yang tidak sepenuhnya
berdasar hukum merupakan sesuatu yang dapat dibenarkan sepanjang
kebijakan atau tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum. Maka pada
hakikatnya penyelenggaraan hukum bukan hanya mencakup law enforcement,
namun juga peace maintenance, karena penyelenggaraan hukum
sesungguhnya merupakan proses penyerasian antara nilai kaedah dan pola
perilaku nyata yang bertujuan untuk mencapai kedamaian.
2. Faktor penegak hukum, yaitu mentalitas atau kepribadian petugas penegak
hukum memainkan peranan penting, kalau peraturan sudah baik, tetapi
kualitas petugas kurang baik, ada masalah. Oleh karena itu, mentalitas,
karakter, dan pengajaran pada aparat penegak hukum merupakan salah satu
kunci dan poros pada hasil keberhasilan dalam proses penegakan hukum.
3. Faktor sarana atau fasilitas pendukung, yaitu yang mencakup mencakup
perangkat lunak dan perangkat keras, salah satu contoh perangkat lunak adalah
pendidikan. Pendidikan yang diterima oleh Polisi dewasa ini cenderung pada

12
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Hukum dan Pengembangan Hukum
Pidana, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005), hal. 22.
13
Soerjono Soekamto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Cetakan Kedua,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008), hal. 8.
hal-hal yang praktis konvensional, sehingga dalam banyak hal polisi
mengalami hambatan di dalam tujuannya, diantaranya adalah pengetahuan
tentang kejahatan komputer, dalam tindak pidana khusus yang selama ini
masih diberikan wewenang kepada jaksa, hal tersebut karena secara teknis
yuridis polisi dianggap belum mampu dan belum siap.
4. Faktor masyarakat, yaitu setiap warga masyarakat atau kelompok sedikit
banyaknya mempunyai kesadaran hukum, persoalan yang timbul adalah taraf
kepatuhan hukum, yaitu kepatuhan hukum yang tinggi, sedang, atau kurang.
Adanya derajat kepatuhan hukum masyarakat terhadap hukum, merupakan
salah satu indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan.
5. Faktor kebudayaan, yaitu mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia
dan masyarakat, yaitu mengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana
seharusnya bertindak, berbuat, dan menentukan sikapnya kalau mereka
berhubungan dengan orang lain. Dengan demikian, kebudayaan adalah suatu
garis pokok tentang perikelakuan yang menetapkan peraturan mengenai apa
yang harus dilakukan, dan apa yang dilarang.
Serta terdapat juga penegakan penataan penegakan hukum lingkungan yang
berupa tindakan administratif dan tindakan yustisial, baik berupa keperdataan maupun
kepidanaan.14 Penegakan hukum lingkungan juga dapat melalui pengawasan serta
pelaksanaan sanksi administratif, pidana, dan perdata, dan upaya menyeluruh serta
holistik untuk mematuhi aturan dan persyaratan hukum yang berlaku secara individu
per individu.15Upaya-upaya penegakan hukum lingkungan tersebut diatur dalam
ketentuan UU PPLH, antara lain melalui:
1. Instrumen Hukum Administrasi
Sanksi hukum administrasi mengacu pada cara pejabat pemerintah dapat
menjatuhkan sanksi hukum kepada individu atau kegiatan bisnis yang melanggar
hukum lingkungan administrasi tanpa melalui proses pengadilan.16UU PPLH
mengatur penerapan sanksi administratif yang diatur Pasal 76 sampai dengan Pasal
83. Pasal 76 ayat (2) mengemukakan “sanksi administratif terdiri atas : (a)
teguran tertulis; (b) paksaan pemerintah; (c) pembekuan izin lingkungan; atau (d)
14
Yunus AM Wahid, Naswar Bohari, & Achmad, “Penegakan Hukum Lingkungan di Sektor Kehutanan
(Studi Kawasan Hutan Lindung di Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan)” Hasanudin Law Review Vol 1
No. 1 2015, hal. 65.
15
Franky Butar Butar, “Penegakan Hukum Lingkungan di Bidang Pertambangan”, Jurnal Yuridika Vol.
25 No. 2 2010, hal. 157.
16
Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2016), hal. 199.
pencabutan izin lingkungan. Sanksi administratif dalam Pasal 76 UU PPLH tidak
membebaskan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dari tanggung jawab
pemulihan dan pidana.”17
Teguran tertulis adalah sanksi administratif yang paling ringan. Teguran
tertulis tersebut wajib mengandung kepastian hukum, adalah yang mendapatkan
teguran itu menyadari secara absolut tindakan apa yang sudah dilakukan serta
konsekuensi dari tidak dilakukannya tindakan tersebut.18 Teguran tertulis wajib
memuat perintah yang jelas, supaya tidak sampai pada sanksi paksaan pemerintah.
Pada Pasal 80 Ayat (1) UU PPLH, menjelaskan bahwa: “Sanksi paksaan pemerintah
berupa: (a) penghentian sementara kegiatan produks; (b) pemindahan sarana produksi;
(c) penutupan saluran pembuangan air limbah atau emisi; (d) pembongkaran; (e)
penyitaan terhadap barang atau lalat yang berpotensi menimbulkan pelanggaran; (f)
penghentian sementara seluruh kegiatan; atau (g) tindakan lain yang bertujuan untuk
menghentikan pelanggaran dan tindakan yang memulihkan fungsi lingkungan hidup.19
Sedangkan pada Pasal 80 Ayat (2) UU PPLH, dijelaskan bahwa “Pengenaan
paksaan pemerintah dapat dijatuhkan tanpa didahului teguran apabila pelanggaran
yang dilakukan menimbulkan: (a) ancaman yang sangat serius bagi manusia dan
lingkungan hidup, ancaman tersebut sangat serius dan merupakan keadaan yang
berpotensi membahayakan keselamatan dan kesehatan masyarakat, yang berdampak
luas terhadap lingkungan hidup oleh karena itu penanganannya harus segera
dilakukan dan tidak dapat ditunda; (b) dampak yang lebih besar dan lebih luas jika
tidak segera dihentikan perusakan dan pencemarannya; dan (c) kerugian yang lebih
besar bagi lingkungan hidup.”20 Jika penanggung jawab usaha tak melaksanakan
paksaan pemerintah, maka sanksi administratif akan dijatuhkan berupa pembekuan
izin lingkungan atau pencabutan izin lingkungan, hal ini bertujuan agar para
pelanggar hukum memenuhi persyaratan administratif izin lingkungan hidup dan
dapat merasakan efek jera, serta dapat menghentikan dan memulihkan ke keadaan
semula sebelum terjadinya pelanggaran.21

17
Pasal 76 Ayat (2) Undang-Undang RI No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup
18
Wicipto Setiadi, “Sanksi Administratif Sebagai Salah Satu Instrumen Penegakan Hukum dalam
Peraturan Perundang-Undangan.” Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 6, No. 4 2018, hal. 609.
19
Pasal 80 Ayat (1) Undang-Undang RI No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup
20
Pasal 80 Ayat (2) Undang-Undang RI No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup
21
Franky Butar-butar, Op.Cit., hal. 165.
2. Instrumen Hukum Perdata
Pada BAB XIII, Pasal 84 hingga Pasal 93 UU PPLH dijelaskan mengenai
sengketa lingkungan yang mengatur mengatur mengenai penegakan hukum
lingkungan melalui instrumen hukum perdata yang dapat diselesaikan secara sukarela
oleh para pihak yang bersengketa, antara lain:
a. Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di luar Pengadilan
Pada Pasal 85 Ayat (1) UU PPLH dijelaskan bahwa “Penyelesaian
sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dilakukan untuk mencapai
kesepakatan mengenai: (a) bentuk dan besarnya ganti rugi; (b) tindakan
pemulihan akibat pencemaran dan/atau perusakan; (c) tindakan tertentu untuk
menjamin terulangnya perusakan dan/atau pencemaran; dan/atau (d) tindakan
untuk mencegah timbulnya dampak negatif terhadap lingkungan hidup.”22
Adapun Pasal 85 Ayat (3), mengatur “Dalam penyelesaian sengketa
lingkungan hidup di luar pengadilan dapat digunakan jasa mediator dan/atau
arbiter untuk membantu menyelesaikan sengketa lingkungan hidup.”23 Jika
penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak menemukan titik temu, maka
salah satu pihak dapat mengajukan somasi ke pihak lainnya untuk memastikan
keadilan dan kepastian hukumnya dalam rangka melindungi hak-hak sipil para
pihak yang bersengketa secara efektif dan cepat.24
b. Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup melalui Pengadilan
Telah dijelaskan di atas bahwa jika para pihak merasa tidak dapat
menemukan titik temu yang jelas, maka salah satu pihak dapat mengirimkan
somasi dan melanjutkannya melalui Pengadilan. UU PPLH mengatur dan
memberikan 2 (dua) jenis tuntutan yang dapat diajukan Penggugat, yaitu:25 (1)
menuntut kompensasi; dan (2) menuntut Tergugat melakukan tindakan
tertentu. Adapun pada Pasal 87 Ayat (1) yang menjelaskan mengenai
kewajiban membayar ganti rugi, yang menyebutkan “Setiap penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar hukum
berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan

22
Pasal 85 Ayat (1) Undang-Undang RI No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup
23
Pasal 85 Ayat (3) Undang-Undang RI No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup
24
Handri Wirastuti Sawitri & Rahadi Wasi Bintoro, “Sengketa Lingkungan dan Penyelesaiannya.”
Jurnal Dinamika Hukum Vol. 10, No. 2 2010, hal. 166.
25
Takdir Rahmadi, Op.Cit., hal. 272.
kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi
dan/atau melakukan tindakan tertentu.”26 Hal ini merupakan ketentuan
kewajiban ganti kerugian yang menjadi realisasi asas pencemar membayar
yang menyebutkan bahwa orang yang menghilangkan atau meniadakan
pencemaran yang disebabkan olehnya.
Tanggung jawab selanjutnya dijelaskan pada Pasal 88 UU PPLH,
dengan bentuk tanggung jawab mutlak, yang menyebutkan bahwa “Setiap
orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3,
menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan
ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas
kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.”27Adapun
pengaturan mengenai mengatur mengenai kerugian yang dialami oleh
masyarakat yang terdapat pada Pasal 91 Ayat (1) UU PPLH, yaitu
“Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan kelompok untuk
kepentingan dirinya sendiri dan/atau untuk kepentingan masyarakat apabila
mengalami kerugian akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup.”28
3. Instrumen Hukum Pidana
Instrumen hukum pidana sebagai ujung rantai panjang dan sebagai upaya akhir
yang mengurangi akibat negatif terhadap lingkunganya, jika pelaku tidak mengalami
efek jera dan akan diberikan sanksi. Hal ini menekankan bahwa sanksi pidana
merupakan ultimum remedium. UU PPLH memuat delik materiil dan delik formil.
Delik formil yang diperuntukkan tidak hanya kepada pelaku usaha atau penanggung
jawab kegiatan, tetapi juga kepada pejabat pemerintah dan tenaga penyusun
AMDAL.29
Sanksi-sanksi pidana dalam UU PPLH mengatur mengenai sanksi minimal
dan maksimum dengan tujuan untuk memberikan diskresi terhadap Hakim dalam
memutuskan perkara pidana lingkungan yang terdapat pada BAB XIV UU PPLH.
Pada Pasal 101 PPLH dijelaskan bahwa “Setiap orang yang melepaskan dan/atau

26
Pasal 87 Ayat (1) Undang-Undang RI No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup
27
Pasal 88 Undang-Undang RI No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup
28
Pasal 91 Ayat (1) Undang-Undang RI No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup
29
Takdir Rahmadi, Op.Cit., hal. 229.
mengedarkan produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup yang bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan atau izin lingkungan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 69 Ayat (1) huruf g, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit 1 miliar rupiah
30
dan paling banyak 3 miliar rupiah.” Serta pada Pasal 102 UU PPLH yaitu “Setiap
orang yang melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa izin, sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 59 Ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun
dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit sebanyak 1 miliar rupiah dan
paling banyak sebesar 3 miliar rupiah.”31
Pasal-pasal yang terdapat pada BAB XIV UU PPLH menjelaskan berbagai
ketentuan-ketentuan yang diperuntukkan untuk menegakan instrumen hukum pidana
dalam rangka kelestarian, perlindungan, dan pengelolaan lingkungan hidup yang
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, dan terus menerus, agar dapat terjalinnya
kemakmuran dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat di Indonesia.
2. Unsur-Unsur Peradilan
Berdasarkan pendapat Rochmat Soemitro mengenai peradilan, yaitu
merupakan suatu kekuasaan yang berdiri sendiri dan berdampingan dengan kekuasaan
lainnya.32 Berikut beberapa unsur-unsur peradilan yang berupa:33
a. Terdapat suatu aturan hukum yang abstrak dan mengikat umum, serta dapat
diterapkan pada suatu persoalan;
b. Terdapat suatu perselisihan hukum yang konkrit;
c. Terdapat sekurang-kurangnya 2 (dua) pihak; dan
d. Terdapat suatu aparatur peradilan yang berwenang untuk memutuskan
perselisihan.
Dalam peradilan lingkungan hidup maka unsur-unsur peradilan disesuaikan
dengan kebutuhan dalam peradilan lingkungan hidup. Kebutuhan dalam peradilan
lingkungan hidup adalah terciptanya keadilan yang memperhatikan akan perlindungan
terhadap lingkungan hidup. Dengan demikian maka unsur-unsur dalam peradilan
lingkungan hidup perlu memperhatikan lingkungan hidup itu sendiri guna
30
Pasal 101 Undang-Undang RI No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup
31
Pasal 102 Undang-Undang RI No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup
32
Rochmat Soemitro, Disertasi dengan Judul “Masalah Peradilan Administrasi Dalam Hukum Pajak di
Indonesia”, (Jakarta: PT. Eresco, 1976), hal. 10.
33
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, (Bandung: Sumur Bandung, 1960), hal.
87-90.
mewujudkan akan keberlanjutan lingkungan hidup. Dalam peradilan lingkungan
hidup yang hendak dilindungi tidak hanya manusia saja sebagai pihak yang
berperkara melainkan lingkungan hidup itu sendiri yang juga wajib untuk mendapat
perlindungan. Jadi yang dilindungi tidak hanya manusia saja tetapi juga non-manusia.
Selanjutnya dalam hal tanggung jawab negara pada penegakan lingkungan
hidup, negara bertanggung jawab atas yurisdiksi atau wilayah hukumnya, yaitu
membentuk undang-undang lingkungan hidup yang menaungi semua pihak,
memberikan keadilan dan kepastian hukum, serta memperkuat lembaga dan para
aparat penegak hukum di dalamnya. Negara harus memaksakan penegak hukum
untuk bertindak sesuai undang-undang dengan mengedepankan prinsip penyelamatan
lingkungan. Sesuai yurisdiksi negara tersebut, mengharuskan negara untuk
bertanggung jawab secara nasional dan internasional.
Tanggung jawab negara atas tindakan merusak lingkungan karena kebijakan
yang dikeluarkan oleh pemerintah baik itu sebagai pelaksananya pemerintah lansung
maupun pihak ketiga seperti perusahaan nasional maupun transnasional, selain itu
teori ini juga dapat digunakan untuk melaksanakan upaya jangka panjang mengisi
kekosongan hukum, maka terdapat 2 (dua) macam teori, yakni:34
a. Teori Risiko, bahwa suatu negara mutlak bertanggung jawab atas setiap
kegiatan yang menimbulkan akibat yang sangat membahayakan (harmful
effects of ultra-hazardous activities) walaupun kegiatan itu sendiri adalah
kegiatan yang sah menurut hukum
b. Teori Kesalahan, yaitu tanggung jawab negara atas perbuatan baru dikatakan
jika dapat dibuktikan adanya unsur kesalahan pada perbuatan itu.

B. Pembentukan Pengadilan Lingkungan Hidup


1. Landasan Hukum Pembentukan Pengadilan Khusus Lingkungan Hidup
Landasan hukum yang dijadikan dasar dan pedoman dalam kemungkinan
pembentukan Pengadilan Khusus Lingkungan Hidup terdapat pada at dilaksanakan
dengan mendasarkan pada peraturan perundang-undangan. Menurut Pasal 24 ayat (1),
ayat (2) dan ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD
NRI 1945) mengatur tentang Kekuasaan Kehakiman.

34
Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, (Jakarta: CV. Rajawali, 1991), hal.
39.
Dalam Ayat (1) dijelaskan bahwa “Kekuasaan kehakiman merupakan
kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan”. Ayat (2) menjelaskan,”Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh
sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan
militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi”. Ayat (3) menentukan bahwa, “Badan-badan peradilan yang fungsinya
melaksanakan kekuasaan kehakiman harus didasarkan pada undang- undang.35
Demikian juga dalam Pasal 27 Ayat (1) dan Ayat (2) UU RI No. 48 Tahun
2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, juga mengatur mengenai pembentukkan
pengadilan. Dalam undang- undang tersebut disebutkan, “Pengadilan khusus hanya
dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan yang berada di bawah
Mahkamah Agung” dan pada Ayat (2) dijelaskan bahwa “Ketentuan mengenai
pembentukan pengadilan khusus diatur dalam undang-undang.”36Serta dalam Pasal 8
UU RI No. 49 Tahun 2009 Tentang Peradilan Umum, yang menjelaskan bahwa
“Lingkungan peradilan umum dapat dibentuk pengadilan khusus yang diatur dengan
undang-undang.”37
Bahwa berdasarkan penjelasan pasal-pasal tersebut, pengertian pengadilan
khusus disimpulkan pada Pasal 1 Butir 8 UU RI No. 48 Tahun 2009 Tentang
Kekuasaan Kehakiman, yaitu “Pengadilan yang mempunyai kewenangan untuk
memeriksa mengadili dan memutus perkara tertentu yang hanya dapat dibentuk dalam
salah satu lingkungan badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yang
diatur dalam undang-undang.”38Dengan demikian secara yuridis dan terdapat dasar
hukumnya, bahwa diperkenankan untuk membentuk pengadilan khusus lingkungan
hidup. Perkara lingkungan hidup merupakan perkara yang bersifat khusus, maka
penyelesaiannya diperlukan lembaga peradilan khusus pula yang menyelesaikannya,
sehingga dapat mengakomodasi perkara lingkungan yang memerlukan penyelesaian
secara khusus.
Dalam jangka pendek rencana pembentukan Pengadilan Lingkungan Hidup
dapat dilakukan dengan memperhatikan dan mempertimbangkan adanya sistem empat

35
Pasal 24 Ayat (1), Ayat (2), dan Ayat (3) Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945
36
Pasal 27 Ayat (1) dan Ayat (2) Undang-Undang RI No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman
37
Pasal 8 Undang-Undang RI No. 49 Tahun 2009 Tentang Peradilan Umum.
38
Pasal 1 Butir 8 Undang-Undang RI No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
lingkungan peradilan yang disebut dalam Pasal 24 ayat (2) UUD NRI 1945 dan Pasal
27 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam
pembentukan Pengadilan Lingkungan Hidup agar tidak berbenturan dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan tersebut, maka perlu menempatkan sistem Ruang
Lingkungan Hidup dalam struktur Pengadilan Negeri untuk perkara perdata dan
perkara pidana dan juga ada Ruang Lingkungan Hidup. Hakim yang ditugaskan dalam
Ruang Lingkungan Hidup pada masing-masing pengadilan adalah hakim-hakim yang
mempunyai kompetensi dalam bidang lingkungan hidup dan mempunyai Sertifikasi
Lingkungan Hidup dari Mahkamah Agung. Demikian juga para penegak hukum yang
lainnya, baik itu advokat, polisi, jaksa dan saksi ahli yang menangani perkara
lingkungan hidup juga mempunyai kompetensi dalam bidang lingkungan hidup.
Pembentukan Pengadilan Lingkungan Hidup dapat dilakukan mengingat di
Indonesia juga sudah pernah melakukan hal yang sama yaitu dengan membentuk
pengadilan khusus. Sebagai contoh dengan telah dibentuknya Pengadilan Niaga,
Pengadilan Hak Asasi Manusia, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Pengadilan Pajak
dan Pengadilan Perikanan. Dengan mempertimbangkan perusahaan industri setiap
tahun secara kuantitas kerusakan lingkungan hidup mengalami peningkatan dan
kualitas lingkungan hidup serta penyelesaian perkara lingkungan hidup di pengadilan
belum berorientasi pada keberlanjutan lingkungan hidup maka sangat urgen untuk
membentuk Pengadilan Lingkungan Hidup.
Berdasarkan uraian dan penjelasan di atas bahwa dalam pembentukan
Pengadilan Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 UUD NRI
1945 dan Pasal 27 UU RI No. 38 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman hanya
dapat dilaksanakan dengan undang-undang dan dimasukkan dalam lingkungan
peradilan yang sudah ada. Apabila menyangkut perkara perdata dan perkara pidana
masuk dalam lingkungan Peradilan Umum dan apabila menyangkut perkara
administrasi masuk dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara. Dengan
demikian apabila akan membentuk Pengadilan Lingkungan Hidup perlu adanya
perubahan pada UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Undang-undang tersebut belum mengamanahkan untuk
membentuk Pengadilan Lingkungan hidup. Dalam perubahan terhadap UU No. 32
Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan
memasukkan rencana pembentukan Pengadilan Lingkungan Hidup serta pengaturan
hukum acaranya. Dalam Pengadilan Lingkungan Hidup diperlukan orang-orang yang
mempunyai kepakaran dalam bidang lingkungan hidup untuk menduduki sebagai
hakim ad hoc.
Maka, rencana penggunaan hakim ad hoc perlu dimasukkan dalam perubahan
UU No.32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Filosofis Pengadilan Lingkungan Hidup berbeda filosofisnya dengan Pengadilan
Umum. Bila pengadilan umum mempunyai kewenangan memeriksa, mengadili, dan
memutus perkara (Pasal 25 ayat (2) UU Kekuasan Kehakiman) sedangkan pengadilan
lingkungan hidup mempunyai kewenangan memeriksa, mengadili, memutus, dan
menyelesaikan perkara lingkungan hidup. Dengan demikian hakim pada pengadilan
lingkungan hidup bersifat aktif karena kewenangan hakim tidak hanya memeriksa,
mengadili, dan memutus perkara saja sebagaimana kewenangan yang dimiliki hakim
pengadilan umum.
2. Peluang Pembentukan Pengadilan Khusus Lingkungan Hidup
Secara berkesinambungan dari Deklarasi Stockholm tahun 1972 hingga
Konvensi Johannesburg tahun 2000 prinsip tanggung jawab negara diamanatkan
dalam bentuk pembangunan berkelanjutan agar terjadi lingkungan yang sehat dan
negara dapat meminimalisir kesalahan serta penegakan hukum lingkungan yang
efektif yang dapat mengakibatkan negara harus bertanggung jawab jika terjadi
kesalahan dan resiko yang ditimbulkan. Kemudian di Convensi Johanesburg tahun
2000 (Sustainable Development Goal (SDGs)) pada tujuan yang ke 16 (enam belas)
yaitu perdamaian, keadilan dan institusi yang kuat. kemudian World Summit on
Sustainable Development (WSSD) mengeluarkan Good Sustainable Development
Governance (GSDG) yaitu pemerintahan yang baik dan mempunyai komitmen
terhadap lingkungan hidup agar dapat mewujudkan lingkungan hidup yang baik.
Pengadilan khusus lingkungan dapat menjadi penunjang tercapainya amanat
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Pembentukan pengadilan khusus erat dengan kebutuhan untuk
melakukan dekonsentrasi, desentralisasi dan difusi terhadap fungsi-fungsi peradilan
dalam pengertian konvensional. Dengan dekonsentrasi berarti fungsi- fungsi
mengadili tidak harus terkonsentrasi dalam satu institusi. Dengan desentralisasi berarti
fungsi-fungsi mengadili tidak perlu lagi terpusat ke atas tetapi cukup diselesaikan
pada tingkat bawah. Dengan difusi berarti fungsi-fungsi mengadili itu makin tersebar
di banyak institusi, sehingga tidak semua masalah harus diselesaikan oleh lembaga
peradilan dalam pengertian konvensional. Fungsi-fungsi mengadili zaman sekarang
mengalami diferensiasi struktural yang makin kompleks dengan maksud untuk
efektifitas dan efisiensi perwujudan keadilan bagi semua (justice for all).
Upaya-upaya diferensiasi struktural terhadap sistem peradilan modern itu
merupakan suatu keniscayaan untuk memenuhi rasa keadilan dalam perikehidupan
modern atau bahkan pasca modern yang semakin kompleks ini.39 Dengan demikian,
pembentukan Pengadilan khusus lingkungan akan menjamin terpenuhinya
perlindungan dan penegakan hukum lingkungan serta hak hak masyarakat di
dalamnya. Kasus lingkungan yang selama ini usai tapi tidak oleh hakim yang
memiliki kompetensi hukum lingkungan, maka melalui pengadilan khusus lingkungan
hakim- hakimnya harus berpengetahuan hukum lingkungan.
Berdasarkan penjelasan Daud Silalahi, seorang Pakar Hukum Lingkungan
Universitas Padjadjaran, bahwa urgensi pembentukan sebuah lembaga peradilan yang
spesifik dan khusus menangani kasus-kasus lingkungan sangat tinggi di Indonesia
dimana perusahaan industri setiap tahun secara kuantitas kerusakan lingkungan hidup.
Maka, Pengadilan lingkungan bisa menjadi bagian dari usaha pemerintah dalam
rangka menyediakan akses terhadap keadilan, termasuk di dalamnya keadilan
lingkungan bagi masyarakat. Dilihat dari permasalahan sengketanya, isu-isu
lingkungan merupakan permasalahan yang rumit penanganannya. Hal itu bisa dilihat
dari proses pembuktian maupun kepentingan yang ada di balik konflik lingkungan.
Apalagi, jika sengketa tersebut melibatkan perusahaan di dalamnya. Sistem peradilan
lingkungan yang akan dibangun harus memperhatikan hal-hal yang spesifik mengenai
persoalan tersebut.
Berdasarkan Artikel dari Hukumonline.com yang ditulis oleh Wiwiek Awiati,
bahwa terdapat opsi-opsi untuk dapat dibentukya Pengadilan Khusus Lingkungan,
antara lain:40
1. Penggunaan hakim yang kapabilitas dan bersertifikat dalam perkara
lingkungan hidup, yaitu kasus-kasus lingkungan hanya akan ditangani dan
diproses oleh hakim yang sudah mempunyai sertifikat lingkungan. Para hakim
dididik secara khusus di bidang lingkungan, dan setelah lulus mendapat
sertifikat khusus dari MA. Dengan sistem ini penanganan perkara bisa
39
Jimly Asshiddiqie, Model-Model Peradilan Konstitusi di Berbagai Negara, (Jakarta: Sinar Grafika,
2010), hal. 36
40
Wiwiek Awiati, “Mendesak, Dibentuk Pengadilan Khusus Lingkungan”, Dari Laman
Hukumonline.com, 2020. WEB:
https://hukumonline.com/baca/hol6414/mendesak-dibentuk-pengadilan-khusus-lingkungan?Page=2.
Diakses pada 15 Mei 2023.
dilakukan secara detasering. Misalnya, Hakim dari Jakarta dapat dikirim
mengadili perkara lingkungan di Jawa Timur.
2. Sistem Hakim ahli (ad-hoc judges), yaitu hanya mereka yang dianggap ahli
saja yang diangkat sebagai hakim lingkungan. Dalam sistem ini, kepakaran
seseorang di bidang lingkungan mutlak perlu.
3. Sistem gabungan, yaitu antara Penggunaan hakim yang kapabilitas dan
bersertifikat dalam perkara lingkungan hidup dan Sistem Hakim ahli (ad-hoc
judges).
4. Menggunakan sistem pengadilan niaga, yaitu Pengadilan lingkungan
merupakan divisi khusus dari pengadilan umum. Artinya, ia tetap merupakan
bagian dari pengadilan umum.
5. Pengadilan khusus yang dibentuk dengan menerapkan sistem model peradilan
pajak.
Walaupun demikian perkara lingkungan hidup mempunyai karakteristik
tertentu yang berbeda dengan perkara lainnya. Perkara lingkungan hidup merupakan
suatu perkara atas hak yang dijamin di dalam konstitusi, dalam hal ini adalah hak atas
lingkungan hidup yang baik dan sehat. Di samping itu, perkara lingkungan hidup juga
dapat dikategorikan sebagai perkara yang bersifat struktural yang menghadapkan
secara vertikal antara pihak yang memiliki akses lebih besar terhadap sumberdaya
dengan pihak yang memiliki akses terbatas. Penanganan perkara lingkungan hidup
para hakim diharapkan bersikap progresif karena perkara lingkungan hidup sifatnya
rumit dan banyak ditemui adanya bukti-bukti ilmiah (scientific evidence), oleh
karenanya hakim lingkungan haruslah berani menerapkan prinsip-prinsip
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup antara lain prinsip kehati-hatian
(precautionary principles) dan melakukan judicial activism.
Prinsip ini menegaskan bahwa pembangunan berkelanjutan menghendaki
terjaminnya kualitas hidup yang baik bagi generasi sekarang dan generasi yang akan
datang melalui pelestarian daya dukung ekosistem. Artinya dalam proses dan capaian
pembangunan harus terdapat keseimbangan antara kepentingan ekonomi, sosial dan
pelestarian dan perlindungan ekosistem agar generasi yang akan datang memiliki
kemampuan yang sama untuk mendapatkan kualitas hidupnya.
C. Pengadilan Lingkungan Hidup di Australia
1. Urgensi Pembentukan Lingkungan Hidup
Dengan semakin meningkatnya indeks pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup yang terus terjadi di Indonesia, maka semakin banyak juga pihak
yang dirugikan, baik manusia maupun lingkungan hidup itu sendiri. Maka, perlu
pemikiran untuk dapat menyelesaikan perkara lingkungan hidup yang efektif dan
memperhatikan lingkungan hidup itu sendiri. Lingkungan hidup yang baik dan sehat
hendaknya dapat diwujudkan. Keinginan tersebut dapat diwujudkan dengan
membentuk lembaga pengadilan yang efektif guna menyelesaikan perkara lingkungan
hidup. Lembaga pengadilan tersebut adalah pengadilan lingkungan hidup untuk
menyelesaikan perkara lingkungan hidup. Dengan demikian setiap penyelesaian
perkara lingkungan hidup diharapkan dapat memperhatikan lingkungan hidup itu
sendiri yang menjadi obyek dalam perkara lingkungan hidup. Pengadilan lingkungan
hidup itu diharapkan agar dapat mengakomodasi setiap perkara lingkungan hidup
yang harus diselesaikan.
Menimbang bahwa negara-negara lain yang sudah membentuk Pengadilan
Lingkungan Hidup dan berhasil dapat menyelesaikan perkara lingkungan hidup
dengan efektif, menambah urgensitas dibentuknya Pengadilan Lingkungan Hidup di
Indonesia. Banyaknya kasus pelanggaran lingkungan hidup yang selama ini kurang
terakomodasi dalam penyelesaian melalui sistem pengadilan umum, memperkuat
keinginan untuk membentuk pengadilan yang secara khusus menangani dan
menyelesaikan perkara lingkungan hidup.
2. Perbandingan Pengadilan Lingkungan Hidup di Australia
Australia juga memiliki pengadilan lingkungan, (The Land and Environment
Court of South Wales) pengadilan tanah dan lingkungan New South Wales adalah
pengadilan tertinggi yang didirikan tanggal 1 April 1980 berdasarkan (Land and
Environment Court Act) Undang-Undang Pengadilan Tanah dan Lingkungan Tahun
1979 untuk menyelesaikan perselisihan lingkungan, pembangunan, perencanaan,
pembangunan perencanaan. Yurisdiksi pengadilan ini terbatas pada negara bagian
New South Wales, Australia. Pengadilan ini juga melakukan uji kelayakan,
peninjauan yudisial, penegakan sipil, penuntutan pidana, tuntutan pidana dan klaim
perdata tentang perencanaan, lingkungan, tanah, pertambangan dan Undang-Undang
lainnya.
Pengadilan ini terdiri dari hakim ketua, hakim jajaran dan komisaris. Hakim
memiliki peringkat, jabatan, status dan prioritas yang sama dengan hakim-hakim
Mahkamah Agung New South Wales. Para hakim memimpin semua masalah klaim
Tanah Aborigin, sebagian besar masalah kepemilikan lahan dan ganti rugi dan dapat
mendengar masalah-masalah di semua kelas lain dari yurisdiksi pengadilan. Pemohon
masalah konstitusional dapat meminta cuti khusus agar masalah ini dapat didengar di
hadapan pengadilan tinggi Australia dalam keadaan tertentu.41
Yurisdiksi yang dimiliki dari pengadilan tersebut adalah menyelesaikan
masalah yang berkaitan dengan Pembangunan dan Lingkungan dan juga memiliki
kekuasaan pidana dan perdata (Criminal and Civil Enforcement Powers) terutama
pelanggaran terhadap hukum konservasi dan pengelolaan lingkungan. The
environment, Resource and Development Court adalah; 2 (dua) orang hakim
pengadilan distrik (District Court), 1 (satu) orang magistrate, 3 (tiga) Commissioner
tetap (full-time), dan 24 (dua puluh empat) orang Commissioner tidak tetap
(part-time), Commissioner disini bukanlah dari kalangan ahli hukum melainkan
diangkat berdasarkan spesialisasi dan keahlian tertentu yang berhubungan dengan
yurisdiksi pengadilan itu sendiri.42

Kesimpulan
Sengketa lingkungan yang semakin hari semakin meningkat membuat Pemerintah dan
para regulator harus memikirkan kembali proses penegakan hukum yang bersinergi dalam
menangani sengketa lingkungan. Berdasarkan Sofian Ardi dalam penelitiannya,
mengemukakan bahwa Pengadilan Nasional dan Internasional yang ada tidak lagi dapat
membendung penyelesaian sengketa lingkungan nasional maupun internasional, karena
terdapat bukti-bukti ilmiah yang semakin tidak dapat diidentifikasikan dan diformulasikan
menjadi bukti hukum, dan karenanya bumi semakin terancam oleh aktivitas manusia,
sehingga dibutuhkan lembaga peradilan internasional yang khusus dalam menangani
persoalan lingkungan hidup, baik nasional maupun internasional.
Dalam urgensi-urgensi tersebut, diperlukan upaya-upaya penegakan hukum
lingkungan yang mewujudkan keinginan hukum menjadi kenyataan,43 serta dalam rangka
41
Berdasarkan Laman Online WIkipedia, “Australia Environmental Court of New South Wales.”
Diakses pada 15 Mei 2023
42
Rochmani, “Urgensi Pengadilan Lingkungan Hidup Dalam Penyelesaian Perkara Lingkungan Hidup
di Indonesia.” Jurnal Bina Hukum Lingkungan, Vol. 4 No. 2 April 2020, hal. 304-305.
43
Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, (Bandung: CV. Sinar
Baru, 2009), hal. 24.
menanggulangi kejahatan terhadap berbagai sarana sebagai reaksi yang dapat diberikan
kepada pelaku kejahatan, berupa sarana pidana maupun non hukum pidana, yang dapat
diintegrasikan satu dengan yang lainnya.
Tidak dijelaskan bahwa terdapat pengadilan khusus yang menangani perkara
lingkungan hidup yang notabene memiliki karakteristik khusus, sehingga penanganannya pun
juga harus secara khusus dan tidak dapat disamakan dengan pelanggaran hukum lainnya.
Salah satu contoh karakteristik khususnya adalah bukti ilmiah (science evidence), sehingga
diperlukan ahli yang dapat mengidentifikasikan dan memformulasikan bukti ilmiah tersebut
menjadi bukti hukum (legal evidence). Sehingga diperlukan kebijakan-kebijakan yang
mewadahi dan menaungi pembentukan lembaga peradilan khusus yang menangani
perkara-perkara lingkungan hidup, yang beberapa hal menurut hemat Penulis adalah
1. Diperlukan amandemen Pasal 24 ayat (2) UUD NRI 1945. Dalam perubahan Pasal 24
ayat (2) UUD NRI 1945 ditambah satu badan peradilan dalam lingkungan peradilan
yaitu peradilan lingkungan hidup.
2. Diperlukan perubahan dalam Pasal 25 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan dengan menambah satu badan peradilan yang sudah ada yaitu badan
peradilan lingkungan hidup.
3. Diperlukan perubahan terhadap terhadap UU RI No. 32 Tahun 2009 Tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan memasukkan rencana
pembentukan Pengadilan Lingkungan Hidup serta pengaturan hukum acaranya.
Peluang dibentuknya pengadilan khusus lingkungan adalah adanya jalur yang jelas
dan terpadu ditambah lagi dengan komposisi khusus untuk majelis hakimnya seperti halnya
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi bagi kasus korupsi. Karena pembentukan pengadilan
khusus lingkungan ke depan dapat dijadikan sebagai saluran mendapatkan rasa keadilan
ekologis perjuangan masyarakat sipil dan warga terdampak dalam kasus-kasus perusakan
lingkungan. Oleh karena itu, penting untuk menempatkan hakim yang tentu saja berintegritas,
memahami hukum lingkungan secara luas dan keberpihakan terhadap lingkungan hidup dan
hak asasi manusianya. Sedangkan tantangan dan hambatan dibentuknya pengadilan khusus
lingkungan ini adalah terletak pada political will negara/pemerintah dalam membuat konsep
dan realisasi dalam rangka mendukung keadilan ekologis. Dengan pertimbangan dalam hal
ini persiapan yang membutuhkan waktu dan biaya.
Pada perbandingan di atas, bahwa Australia telah menerapkan dan mengadakan
pembentukan Peradilan Khusus yang menangani perkara-perkara lingkungan sejak tahun
1980. Maka, Indonesia pun perlu mengadopsi penegakan hukum yang diterapkan oleh
Australia dengan membentuk pengadilan khusus lingkungan, serta memilih hakim-hakim
yang memiliki kapabilitas dan sertifikasi dalam hal lingkungan hidup dengan tujuan
mewujudkan impian seluruh rakyat Indonesia, yaitu menegakan keadilan, kepastian hukum,
dan kesejahteraan masyarakat, khususnya dalam hal lingkungan hidup.

DAFTAR PUSTAKA

UNDANG-UNDANG
Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945
Undang-Undang RI No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup
Undang-Undang RI No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-Undang RI No. 49 Tahun 2009 Tentang Peradilan Umum
BUKU
Adolf, Huala. Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional. Jakarta: CV.
Rajawali, 1991.
Arief, Barda Nawawi. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Hukum dan
Pengembangan Hukum Pidana. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005.
Arief, Barda Nawawi. Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
2002.
Asshiddiqie, Jimly. Model-Model Peradilan Konstitusi di Berbagai Negara. Jakarta:
Sinar Grafika, 2010.
Muharjanti, Prayekti, dkk. Menuju Peradilan Pro Lingkungan. Jakarta: Indonesia
Center For Environmental (ICEL), 2009.
Prodjodikoro, Wirjono. Hukum Acara Pidana di Indonesia. Bandung: Sumur
Bandung, 1960.
Rahardjo, Satjipto. Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis. Bandung:
CV. Sinar Baru, 2009.
Rahmadi, Takdir. Hukum Lingkungan di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 2016.
Rahardjo, Satjipto. Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis. Bandung:
CV. Sinar Baru, 2009.
Soekamto, Soerjono. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Cetakan
Kedua. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008.
Soekamto, Soerjono & Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan
Singkat. Jakarta: Rajawali Press, 1985.
Soemitro, Rochmat. Disertasi: Masalah Peradilan Administrasi Dalam Hukum Pajak
di Indonesia. Jakarta: PT. Eresco, 1976.
JURNAL
Ardi, Sofian. Urgensi Dibentuknya Badan Peradilan Khusus Lingkungan
Internasional dan Badan Pembersih Sampah Antariksa (Space Debris). Jurnal Opinio Juris,
2016.
Awiati, Wiwiek. Mendesak, Dibentuk Pengadilan Khsusu Lingkungan. Dari Laman
Hukumonline.com, 2020. WEB:
https://hukumonline.com/baca/hol6414/mendesak-dibentuk-pengadilan-khusus-lingk
ungan?Page=2.
Butar Butar, Franku. Penegakan Hukum Lingkungan di Bidang Pertambangan. Jurnal
Yuridika Vol. 25 No. 2, 2010.
Sawitri, Handri Wirastuti & Rahadi Wasi Bintoro. Sengketa Lingkungan dan
Penyelesaiannya. Jurnal Dinamika Hukum Vol. 10 No. 2, 2010.
Setiadi, Wicipto. Sanksi Administratif Sebagai Salah Satu Instrumen Penegakan
Hukum dalam Peraturan Perundang-Undangan. Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 6 No. 4, 2018.
Wahid, Yunus AM, Naswar Bohari, & Achmad. Penegakan Hukum Lingkungan di
Sektor Kehutanan (Studi Kawasan Hutan Lindung di Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan).
Hasanudin Law Review Vol. 1 No. 1, 2015.
Rochmani. Urgensi Pengadilan Lingkungan Hidup Dalam Penyelesaian Perkara
Lingkungan Hidup di Indonesia. Jurnal Bina Hukum Lingkungan Vol. 4 No. 2, 2020.
SUMBER INTERNET
Awiati, Wiwiek. Mendesak, Dibentuk Pengadilan Khusus Lingkungan. Dari Laman
Hukumonline.com, 2020. WEB:
https://hukumonline.com/baca/hol6414/mendesak-dibentuk-pengadilan-khusus-lingkungan?P
age=2.
Berdasarkan Laman Online Wikipedia. Australia Environmental Court of New South
Wales.

Anda mungkin juga menyukai