Anda di halaman 1dari 12

INSTRUMEN HUKUM LINGKUNGAN DAN

PERBANDINGAN PENGATURANNYA DALAM UU PPLH


DAN UU CIPTA KERJA
I Ketut Andika Wedananta. M, Fakultas Hukum Universitas Udayana,
e-mail : nyoman165@gmail.com

ABSTRAK
Tujuan dari penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui apa saja instrumen hukum lingkungan yang
ada dan berlaku di Indonesia dan untuk mengetahui perbandingan pengaturan instrumen hukum
lingkungan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 dan Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2020. Penulisan artikel ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan
perundang-undangan (statute approach). Hasil studi menunjukkan sejak diberlakukannya UU Cipta
Kerja, terdapat beberapa parubahan pada instrumen hukum lingkungan yang sebelumnya berlaku di
UUPPLH. Beberapa instrumen tersebut antara lain AMDAL, Baku Mutu Lingkungan Hidup, Kriteria
Baku Kerusakan Lingkungan Hidup, UKL-UPL, dan Perizinan.
Kata Kunci : Hukum Lingkungan, Instrumen Hukum Lingkungan, UU Cipta Kerja, Perbandingan

ABSTRACT
The purpose of writing this article is to find out what environmental law instruments exist and apply in
Indonesia and to find out the comparison of the arrangements for environmental law instruments
regulated in Law Number 32 of 2009 and Law Number 11 of 2020. The writing of this article uses
normative juridical method with a statute approach. The results of the study show that since the
enactment of the Job Creation Law, there have been several changes to the environmental law instruments
that were previously applicable in the UUPPLH. Some of these instruments include AMDAL,
Environmental Quality Standards, Environmental Damage Standard Criteria, UKL-UPL, and Permits.
Keywords : Environmental Law, Environmental Law Instruments, Job Creation Law, Comparison

1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Negara Indonesia adalah negara yang mempunyai sumber daya alam yang melimpah,
Sumber Daya Alam (selanjutnya disebut SDA) adalah segala sesuatu yang berasal dari alam
yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Yang tergolong di
dalamnya tidak hanya komponen biotik, seperti hewan, tumbuhan, dan mikroorganisme, tetapi
juga komponen abiotik, seperti minyak bumi, gas alam, berbagai jenis logam, air, dan tanah.
Seiring berjalannya waktu perindustrian di Indonesia juga berjalan dengan pesat, banyak sekali
daya alam di eksploitasi sehingga terus berkurang, yang dilakukan untuk memperoleh
kekayaan yang nantinya bisa memberikan kesejahteraan yang berkelanjutan tetapi tidak
dikelola kembali yang akan berdampak bagi lingkungan serta warga, kerusakan lingkungan
dapat mengakibatkan penderitaan kepada semua rakyat yang ada disekitarnya. 1 Selain itu,
seiring dengan perkembangan zaman, permasalahan lingkungan makin hari makin
menakutkan. Perkembangan industri dan pertambahan jumlah penduduk yang terkontrol
membuat kualitas lingkungan dunia makin parah, bahkan tak jarang kualitas ini tidak dapat
diperbaiki dan dipulihkan kembali seperti sediakala. Persoalan lingkungan adalah persoalan
yang sangat komplek. Kompleksitas persoalan lingkungan memerlukan penyelesaian dari
berbagai disiplin ilmu. Masalah lingkungan dapat ditinjau dari aspek medik, planalogis,
teknologis, teknik lingkungan, ekonomi dan hukum2
Munadjat Danusaputro menyatakan salah satu alat yang kuat dan ampuh dalam
melindungi lingkungan hidup adalah hukum yang mengatur perlindungan lingkungan hidup.3
Hukum yang dimaksud adalah hukum lingkungan (environmental law atau milieurecht). Hukum
lingkungan adalah instrumentarium yuridis bagi pengelolaan lingkungan. 4 Peranan hukum
lingkungan dalam rangka pencegahan dan penanggulangan pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan terutama mengatur kegiatan-kegiatan yang mempunyai dampak negatif terhadap
lingkungan dan menuangkan kebijakan lingkungan dalam peraturan perundang-undangan
lingkungan.5 Peraturan perundang-undangan lingkungan yang sekarang berlaku adalah
Undang-Undang No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(UUPPLH) yang mengantikan berlakunya Undang-Undang No.23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH). Dari aspek instrumentasi, hukum lingkungan
sebagai bagian hukum fungsional telah menyediakan instrumen-instrumen hukum lingkungan
yang berfungsi sebagai sarana pencegahan pencemaran lingkungan, yaitu: baku mutu
lingkungan, analisis mengenai dampak lingkungan hidup, izin lingkungan, UKL dan UPL.
RUU Cipta Kerja resmi disahkan menjadi UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
pada tanggal 5 Oktober 2020 lalu. Tujuan undang-undang ini antara lain untuk menciptakan
lapangan kerja yang seluas-luasnya bagi rakyat Indonesia secara merata diseluruh wilayah
Indonesia, perlindungan UMKM serta perkoperasian, kemudahan berusaha, serta peningkatan
perlindungan dan kesejahteraan pekerja. Selain itu, UU ini juga dirancang sedemikian rupa dan
lebih sederhana sehingga tidak terkesan memperlambat proses ekonomi. Akan tetapi, sejak
disahkan, UU Cipta Kerja selalu menjadi sorotan dan mendapatkan banyak protes serta kritik
dari berbagai pihak, termasuk para penggiat/aktivis lingkungan. Hal ini terjadi bukan tanpa
1
Nur, Muhammad Ilham. et al. “Persetujuan Lingkungan Dalam Undang-Undang Cipta Kerja Dan Dampak Dari
UU Ciptaker Bagi Lingkungan”, Jurnal Syntax Admiration 2 No.2 (2021)
2
Rangkuti, Siti Sundari. Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, Edisi Ketiga, Airlangga
University Press, Surabaya, 2005, hlm .1
3
Danusaputro, St. Munadjat. Hukum Lingkungan Buku Satu Umum, Binacipta, Bandung, 1980, hlm. 69- 70
4
Hardjasoemantri, Koesnadi. Hukum Tata Lingkungan, Edisi Ketujuh, Gajahmada University Press, Yogyakarta,
1999, hlm. 38-39
5
Rangkuti, Siti Sundari. Kesamaan Persepsi Terhadap Penegakan Hukum Lingkungan, Yuridika, Majalah Fakultas
Hukum Unair, No.5 Tahun IX September-Oktober 1994, hlm. 1
alasan, melainkan terdapat banyak klausa pasal baru yang menjadi kontroversi dikarenakan
penyusunan UU Cipta Kerja menggunakan teknik Omnibus Law dan beberapa ketentuan
dalam UUPPLH akan diubah dan dihapuskan. 6 Hal ini mendorong penulis untuk membahas
apa saja instrumen hukum lingkungan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 dan perbandingan pengaturannya dengan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2020.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah yang menjadi fokus pembahasan
penulis adalah:
1. Apa saja instrumen Hukum Lingkungan yang ada di Indonesia?
2. Bagaimana perbandingan pengaturan instrumen hukum lingkungan dalam Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020?

1.3 Tujuan Penulisan


Tujuan dari penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui apa saja instrumen hukum
lingkungan yang ada dan berlaku di Indonesia. Selain itu, tujuan penulisan artikel ini adalah
untuk mengetahui perbandingan pengaturan instrumen hukum lingkungan yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020.

2. Metode Penulisan
Penulisan artikel ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan
perundang-undangan (statute approach). Metode yuridis normatif merupakan metode penelitian
yang memandang norma hukum sebagai objek kajiannya. 7 Lebih lanjut, bahan hukum yang
digunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer serta bahan hukum sekunder.
Bahan hukum primer penulisan ini adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020
tentang Cipta Kerja. Sedangkan, bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini
adalah beberapa referensi berupa jurnal, buku, dan sumber lainnya yang berkaitan dengan
penelitian ini.

3. Hasil dan Pembahasan


3.1 Instrumen Hukum Lingkungan yang ada di Indonesia
1) AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan)

6
Benuf, Kornelius, dkk. “Kebijakan Penghapusan Izin Lingkungan dalam RUU Cipta Kerja dan Dampaknya
Terhadap Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia.” Jurnal Hukum & Pembangunan Vol. 51 No. 1 (2021), hal. 44.
7
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Kencana: Rawamangun, 2005. hlm. 47
AMDAL adalah instrumen hukum lingkungan yang berfungsi untuk mencegah
pencemaran lingkungan. Dengan diberlakukannya UUPPLH, dasar hukum AMDAL tertuang
dalam ketentuan Pasal 20 sampai dengan Pasal 33. Menurut Pasal 20 ayat (1) UUPPLH
mewajibkan setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan
hidup wajib memiliki AMDAL. AMDAL adalah suatu kegiatan (studi) yang dilakukan untuk
mengidentifikasi, memprediksi, menginterprestasi dan mengkomunikasikan uatu rencana
kegiatan (proyek) terhadap lingkungan. 8Pasal 1 ayat (1) PP AMDAL merumuskan pengertian
AMDAL, yakni : kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha atau kegiatan yang
direncanakan pada lingkungan hidup, yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan
tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.
AMDAL adalah salah satu instrumen penting hukum lingkungan. AMDAL pada
hakekatnya merupakan upaya prosedural guna melakukan pencegahan pencemaran
lingkungan yang terinternalisir dalam tata laksana perizinan lingkungan. 9Secara teoritik,
AMDAL adalah bagian dari prosedur perizinan lingkungan yang bertujuan untuk mencegah
pencemaran lingkungan melalui mekanisme administrasi. AMDAL merupakan instrumen
pengaman lingkungan yang perlu dimantapkan kedudukannya dalam pelaksanaan
pembangunan nasional. Pentingnya AMDAL sebagai instrumen pencegahan pencemaran
lingkungan lingkungan juga tertuang dalam principle 17 Deklarasi Rio yang berbunyi:
“environmental impact assessment, as national instrument, shall be undertaken for proposed activities
that are likely to have a significant adverse impact on the environment and are subject to a decision of a
competent national authority”

2) Baku Mutu Lingkungan


Baku mutu lingkungan adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau
komponen yang harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam
suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup (Pasal 1 angka 11 UUPLH).
Menurut UUPPLH, baku mutu lingkungan adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup,
zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan /atau unsur pencemar yang
ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup
(Pasal 1 angka 13 UUPPLH). Baku mutu lingkungan diperlukan untuk memberikan pedoman
terhadap pengelolaan lingkungan sebagai upaya pencegahan dan penanggulangan pencemaran
lingkungan secara kongkrit.10 Dari segi yuridis fungsi baku mutu lingkungan dalam
pengelolaan lingkungan adalah menentukan ada atau tidak ada pencemaran lingkungan
berdasarkan pengertian pencemaran lingkungan menurut UUPLH. Pencemaran lingkungan
adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan atau komponen lain
kedalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai
ketingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai
peruntukkannya (Pasal 1 angka 12 UUPLH). Berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (1) UUPPLH
dinyatakan secara tegas bahwa penentuan terjadinya pencemaran lingkungan diukur melalui
baku mutu lingkungan hidup.
Baku mutu lingkungan terdiri atas baku mutu ambien dan baku mutu limbah cair atau
baku mutu emisi. Baku mutu ambien berfungsi menentukan atau mengukur telah terjadinya
perubahan kualitas lingkungan. Baku mutu ambien memuat kualitas komponen lingkungan
atau bagian tertentu dari lingkungan, misalnya badan air sebuah daerah aliran sungai, danau,

8
Silalahi, Daud. AMDAL Dalam Sistem Hukum Lingkungan Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1995, hlm. 3
9
Siti Sundari Rangkuti, Op. Cit. hlm. 114
10
Ibid
laut dan kawasan udara tertentu. Baku mutu limbah cair atau baku mutu emisi yang berasal
dari kegiatan atau sumber pencemar individual.11

3) Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup


Menurut Pasal 1 angka 15 UU No. 32 Tahun 2009, kriteria baku kerusakan lingkungan
hidup merupakan ukuran batas perubahan sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup
yang dapat ditenggang oleh lingkungan hidup untuk dapat tetap melestarikan fungsinya.
Dalam ketentuan Pasal 21 ayat (1)UU No. 32 Tahun 2009 kemudian dirumuskan bahwa kriteria
baku kerusakan lingkungan hidup tersebut ditetapkan untuk menentukan ada tidaknya
kerusakan pada lingkungan hidup. Perlu diketahui bahwa kriteria baku kerusakan lingkungan
hidup terdiri atas dua bagian, yakni kriteria baku kerusakan ekosistem dan kriteria baku
kerusakan akibat perubahan iklim. Menurut ayat (3), kriteria baku kerusakan ekosistem terdiri
atas : a) Kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa; b) Kriteria baku kerusakan
terumbu karang; c) Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan
kebakaran hutan dan/atau lahan; d) Kriteria baku kerusakan mangrove; e) Kriteria baku
kerusakan padang lamun; f) Kriteria baku kerusakan gambut; g) Kriteria baku kerusakan karst;
dan/atau h) Kriteria baku kerusakan ekosistem lainnya sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Sementara itu, berdasarkan ayat (4), kriteria baku kerusakan akibat
perubahan iklim berdasarkan pada: a) Kenaikan temperatur; b) Kenaikan muka air laut; c)
Badai; dan/atau d) Kekeringan. Adanya kerusakan ekosistem dalam lingkungan hidup yaitu
penataan unsur-unsur lingkungan yang masih belum optimal, merupakan suatu masalah bagi
lingkungan hidup karena lingkungan hidup memiliki satu kesatuan yang utuh dan saling
mempengaruhi dalam pembentukan keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas lingkungan.
Penetapan baku mutu lingkungan hidup yang berjenjang tersebut bertujuan untuk pencegahan
kerusakan lingkungan hidup serta menjamin terpenuhinya komitmen dalam mempertahankan
kualitas lingkungan hidup. Sehingga pelaku usaha, terutama yang berkenaan langsung dengan
lingkungan hidup harus melaksanakan ketentuan kadar baku mutu lingkungan yang telah
ditetapkan. Hal ini sesuai dengan penetapan baku mutu lingkungan hidup yang pada dasarnya
bertujuan untuk menjaga kualitas lingkungan hidup agar secara berkelanjutan tetap dapat
mendukung kehidupan rakyat Indonesia.12

4) UKL dan UPL


Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup atau sering
disebut dengan UKL-UPL adalah upaya yang dilakukan dalam pengelolaan dan pemantauan lingkungan
hidup oleh penanggung jawab dan atau kegiatan yang tidak wajib melakukan AMDAL. UKL-UPL juga
merupakan perangkat pengelolaan lingkungan hidup untuk pengambilan keputusan dan dasar untuk

11
Rahmadi, Takdir. Hukum Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun, Airlangga University Press, Surabaya,
2003, hlm. 82
12
Riavinola dan Neni.. “Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup dan ImplementasinyaTerhadap Upaya
Pencegahan Kerusakan Lingkungan Hidup Akibat Penambangan Galian Pasir diKawasan Tutugan Leles
Kabupaten Garut.” Jurnal Prosiding Ilmu Hukum, Vol. 7, No. 1. (2011): hlm. 336
menerbitkan izin melakukan usaha dan atau kegiatan. Dokumen UKL-UPL berisikan penjabaran proses
pembangunan infrastruktur perusahaan, catatan mengenai limbah (baik berbentuk cair, padat, maupun
gas) selama kegiatan operasional berlangsung. Dokumen ini dinyatakan berlaku sepanjang usaha
dan/atau kegiatan tidak melakukan perubahan lokasi, desain, proses, bahan baku yang digunakan.
13
Tujuan dari UKL-UPL tercantum pada Pasal 36 Ayat (1) UUPPLH yang memiliki persamaan seperti
AMDAL, yaitu sebagai panduan dalam pengelolaan lingkungan. Akan tetapi, skala kegiatan yang
diwajibkan untuk pembuatan UKL-UPL lebih kecil dibandingkan dengan AMDAL.

5) Perizinan
Salah satu instrumen hukum kebijaksanaan lingkungan yang berfungsi sebagai sarana
pencegahan pencemaran lingkungan adalah izin lingkungan. Mengutip pendapat dari Siti
Sundari Rangkuti, jenis perizinan yang umumnya mengenai kegiatan kegiatan yang
mempunyai dampak penting terhadap lingkungan dikenal dengan istilah izin lingkungan
(environmental licence atau milieuvergunning).14 Perizinan merupakan kategori penting
keputusan-keputusan dalam rangka ketentuan-ketentuan larangan dan/atau keputusan-
keputusan perintah. Sistemnya adalah bahwa undang-undang melarang suatu tindakan
tertentu atau tindakan –tindakan tertentu yang saling berhubungan. Larangan ini tidak
dimaksudkan secara mutlak, namun untuk dapat bertindak dan mengendalikan masyarakat
dengan cara mengeluarkan izin.15
Perizinan lingkungan merupakan instrumen kebijaksanaan yang paling penting. Izin
tertulis diberikan dalam bentuk penetapan (beschikking) penguasa. Izin lingkungan difungsikan
sebagai instrumen dalam pengelolaan lingkungan yang dibutuhkan untuk pencegahan
pencemaran lingkungan. Perizinan lingkungan sebagai instrumen pencegahan pencemaran
lingkungan tidak berfungsi secara efektif. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya kasus-kasus
pencemaran lingkungan. Izin lingkungan bersifat sektoral dengan prosedur dan pejabat
berwenang yang berbeda, tidak ada system perizinan lingkungan secara terpadu.
Jenis perizinan yang berhubungan langsung dengan pengelolaan lingkungan dapat
dikualifikasi sebagai izin lingkungan berdasarkan Pasal 18 ayat (2) UUPLH mencakup :
1. izin HO berdasarkan Hinder Ordonantie.
2. izin usaha industri berdasarkan Undang-Undang N0mor 5 tahun 1984 tentang Perindustrian
dan PP Nomor 13 Tahun 1995 tentang Izin Usaha Industri.
3. izin pembuangan limbah ke media lingkungan berdasarkan Pasal 18 UUPLH
4. izin lokasi berdasarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 2 Tahun 1999 tentang Izin Lokasi

3.2 Perbandingan Pengaturan Instrumen Hukum Lingkungan dalam Undang-Undang


Nomor 32 Tahun 2009 dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020
1) Perbandingan AMDAL

13
Tijow, Lusiana “Kebijakan Hukum Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia.” Fakultas Ilmu Sosial Universitas
Negeri Gorontalo. (2013): hlm. 5
14
Rangkuti, Siti Sundari. Sistem Perizinan Lingkungan Instrumen Pencegahan Pencemaran Lingkungan, Seminar
Hukum Lingkungan, Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
(BAPEDAL), Hotel Indonesia, Jakarta, 1-2 Mei 1996, hlm. 2
15
M. Hadjon, Philipus. Pengantar Hukum Administrasi, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1994, hlm. 126
Perbandingan pengaturan mengenai AMDAL ini dapat dilihat dari pengaturan dalam
beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Dan Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2020, yaitu sebagai berikut.
a) UUPPLH : Pasal 1 angka (11) UU-PPLH dirumuskan bahwa AMDAL merupakan
kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada
lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang
penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.
UU Cipta Kerja : AMDAL diartikan sebagai kajian mengenai dampak penting pada
lingkungan hidup dari suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan, untuk digunakan
sebagai prasyarat pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan
serta termuat dalam Perizinan Berusaha, atau persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah
Daerah.

b) UUPPLH : Pasal 24 UU PPLH, menyebutkan bahwa “Dokumen AMDAL


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 merupakan dasar penetapan keputusan kelayakan
lingkungan hidup.”
UU Cipta Kerja : Pasal 24 UU Cipta Kerja menyebutkan bahwa dokumen AMDAL
merupakan dasar uji kelayakan lingkungan hidup untuk rencana usaha dan/atau kegiatan.

c) UUPPLH : Pasal 25 huruf (c) UU-PPLH dirumuskan bahwa dokumen AMDAL


memuat beberapa hal, salah satunya adalah saran masukan serta tanggapan masyarakat
terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan.
UU Cipta Kerja : Ketentuan tersebut berubah sehingga hanya saran masukan serta
tanggapan masyarakat yang terkena dampak langsung dan relevan terhadap rencana usaha
dan/atau kegiatan saja yang dapat dimuat dalam dokumen AMDAL.

d) UUPPLH : Pasal 26 UU-PPLH dirumuskan bahwa dokumen AMDAL disusun oleh


pemrakarsa dengan melibatkan masyarakat. Masyarakat yang dapat terlibat dalam penyusunan
AMDAL tersebut antara lain masyarakat yang terkena dampak, pemerhati lingkungan hidup;
dan/atau yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses AMDAL.
UU Cipta Kerja : Ketentuan Pasal 26 UU-PPLH berubah sehingga dokumen AMDAL
yang disusun oleh pemrakarsa tersebut hanya dapat melibatkan masyarakat yang terkena
dampak langsung terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan.

e) UUPPLH : Pasal 27 UU-PPLH dirumuskan bahwa dalam menyusun dokumen


AMDAL, pemrakarsa dapat meminta bantuan kepada pihak lain.
UU Cipta Kerja : Pasal 27 UU Cipta Kerja merumuskan “Dalam menyusun dokumen
AMDAL, pemrakarsa dapat menunjuk pihak lain”.
f) UUPPLH : Pasal 28 UU-PPLH merumuskan bahwa penyusun AMDAL wajib
memiliki sertifikat kompetensi penyusun AMDAL. Selain itu, dalam pasal tersebut juga diatur
mengenai kriteria untuk memperoleh sertifikat kompetensi penyusun AMDAL serta lembaga
yang berhak menerbitkan sertifikat kompetensi tersebut.
UU Cipta Kerja : Ketentuan dalam Pasal 28 UU-PPLH disederhanakan sehingga tidak lagi
mengatur mengenai kriteria untuk memperoleh sertifikat kompetensi penyusun AMDAL. Jadi,
dalam UU Cipta Kerja tersebut hanya merumuskan dua substansi saja, yakni (1) penyusun
AMDAL wajib memiliki sertifikat kompetensi penyusun AMDAL, serta (2) ketentuan lebih
lanjut mengenai sertifikasi dan kriteria kompetensi penyusun AMDAL diatur dalam Peraturan
Pemerintah.

g) UUPPLH : Pasal 32 UU-PPLH merumuskan bahwa pemerintah dan pemerintah


daerah membantu penyusunan AMDAL bagi usaha dan/atau kegiatan golongan ekonomi
lemah yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup.
UU Cipta Kerja : Dalam UU Cipta Kerja dirumuskan bahwasanya Pemerintah Pusat dan
pemerintah Daerah membantu penyusunan AMDAL bagi usaha dan/atau kegiatan Usaha
Mikro dan Kecil yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup.

2) Baku Mutu Lingkungan Hidup


Perbandingan pengaturan mengenai Baku Mutu Lingkungan Hidup ini dapat dilihat
dari pengaturan dalam beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Dan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020, yaitu sebagai berikut.
a) UUPPLH : Pasal 20 ayat (3) UU- PPLH merumuskan bahwa baku mutu lingkungan
hidup menjadi prasyarat yang harus dipenuhi apabila seseorang ingin membuang limbah ke
media lingkungan hidup, dan tentunya juga harus memperoleh izin dari menteri, gubernur,
atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
UU Cipta Kerja : Ketentuan Pasal 20 ayat (3) UU-PPLH merumuskan bahwa baku mutu
1ingkungan hidup merupakan syarat yang harus dipenuhi agar seseorang dapat membuang
limbah ke media lingkungan hidup, dan tentunya harus mendapatkan persetujuan dari
pemerintah pusat atau pemerintah daerah.

b) UUPPLH : Ketentuan lebih lanjut yang mengatur mengenai baku mutu lingkungan
hidup berada dalam peraturan yang terpisah, dimana baku mutu air, baku mutu air laut, baku
mutu udara ambien, serta baku mutu lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah. Sedangkan, baku mutu air limbah,
baku mutu emisi, serta baku mutu gangguan diatur lebih lanjut dalam peraturan menteri.
UU Cipta Kerja : Ketentuan lebih lanjut mengenai komponen-komponen baku mutu
lingkungan hidup diatur dalam satu peraturan yang sama, yakni dalam Peraturan Pemerintah
saja.

3) Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup


Perbandingan pengaturan mengenai Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup ini
dapat dilihat dari pengaturan dalam beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 Dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020, yaitu sebagai berikut.
a) UUPPLH : Pasal 21 UU-PPLH merupakan dasar hukum yang mengatur mengenai
kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. Dalam pasal tersebut terdapat beberapa
pengaturan, yakni kriteria baku kerusakan lingkungan hidup ditetapkan untuk menentukan
terjadinya kerusakan lingkungan hidup. Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup tersebut
terbagi atas dua bagian, antara lain kriteria baku kerusakan ekosistem dan kriteria baku
kerusakan akibat perubahan iklim. Kriteria baku kerusakan ekosistem terdiri atas: (1) kriteria
baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa; (2) kriteria baku kerusakan terumbu karang;
(3) kriteria baku kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan
dan/atau lahan; (4) kriteria baku kerusakan mangrove; (5) kriteria baku kerusakan padang
lamun; (6) kriteria baku kerusakan gambut; (7) kriteria baku kerusakan karst; dan/atau (8)
kriteria baku kerusakan ekosistem lainnya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Adapun kriteria baku kerusakan akibat perubahan iklim didasarkan pada beberapa
paramater, antara lain: (2) kenaikan temperatur; (2) kenaikan muka air laut; (3) badai; dan/atau
(4) kekeringan.
UU Cipta Kerja : Pengaturan yang mengatur mengenai Kriteria Baku Kerusakan
Lingkungan Hidup dihapus.

4) UKL dan UPL


Perbandingan pengaturan mengenai UKL dan UPL ini dapat dilihat dari pengaturan
dalam beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Dan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2020, yaitu sebagai berikut.
a) UUPPLH : Pasal 1 angka (12) UU-PPLH merumuskan bahwa UKL-UPL merupakan
pengelolaan dan pemantauan terhadap usaha dan/atau kegiatan yang tidak berdampak
penting terhadap lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan
tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.
UU Cipta Kerja : UKL-UPL merupakan rangkaian proses pengelolaan dan pemantauan
lingkungan hidup yang dituangkan dalam bentuk standar untuk digunakan sebagai prasyarat
pengambilan keputusan dan termuat dalam Perizinan Berusaha, atau persetujuan Pemerintah
Pusat atau Pemerintah Daerah.

b) UUPPLH : Pasal 34 UU-PPLH merumuskan bahwa usaha atau kegiatan yang wajib
memiliki UKL-UPL adalah setiap usaha atau kegiatan yang tidak termasuk dalam kriteria wajib
AMDAL, yang mana hal tersebut ditetapkan oleh gubernur atau bupati/walikota.
UU Cipta Kerja : Mengatur bahwa usaha atau kegiatan yang wajib memenuhi standar
UKL-UPL adalah setiap usaha atau kegiatan yang tidak berdampak penting terhadap
lingkungan hidup. Selain itu, terdapat juga beberapa penambahan substansi, yakni mengenai
Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam UU Cipta Kerja dirumuskan
bahwasanya pemenuhan standar UKL-UPL dinyatakan dalam Pernyataan Kesanggupan
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kemudian, Berdasarkan Pernyataan Kesanggupan
Pengelolaan Lingkungan Hidup tersebut, maka Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah
dapat menerbitkan Perizinan Berusaha, atau persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah
Daerah. Setelah itu, Pemerintah Pusat dapat menetapkan jenis usaha dan/atau kegiatan yang
wajib dilengkapi UKL-UPL.

c) UUPPLH : Pasal 35 UU-PPLH merumuskan bahwa usaha dan/atau kegiatan yang


tidak wajib dilengkapi UKL-UPL wajib membuat surat pernyataan kesanggupan pengelolaan
dan pemantauan lingkungan hidup yang didasarkan pada dua kriteria, yakni tidak termasuk
dalam kategori berdampak penting serta merupakan kegiatan usaha mikro dan kecil.
UU Cipta Kerja : Pasal 35 mengatur bahwa Usaha dan/atau kegiatan yang tidak wajib
dilengkapi UKL-UPL wajib membuat surat pernyataan kesanggupan pengelolaan dan
pemantauan lingkungan hidup yang diintegrasikan ke dalam Nomor Induk Berusaha. Adapun
Penetapan jenis usaha dan/atau kegiatan tersebut dilakukan terhadap kegiatan yang termasuk
dalam kategori berisiko rendah.

5) Perizinan
Perbandingan pengaturan mengenai Perizinan ini dapat dilihat dari pengaturan dalam
beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Dan Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2020, yaitu sebagai berikut.
a) UUPPLH : Dalam UU-PPLH dirumuskan bahwa setiap usaha dan/atau kegiatan
yang wajib memiliki AMDAL atau UKL-UPL harus memiliki izin lingkungan. Izin lingkungan
tersebut diterbitkan berdasarkan keputusan kelayakan lingkungan hidup atau rekomendasi
UKL-UPL dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota, sesuai dengan kewenangannya.
Dalam izin lingkungan tersebut pada hakikatnya harus mencantumkan persyaratan yang
dimuat dalam keputusan kelayakan lingkungan hidup atau rekomendasi UKL-UPL.
Menurut UU-PPLH, izin lingkungan dapat dibatalkan apabila: (1) persyaratan yang
diajukan dalam permohonan izin tersebut mengandung cacat hukum, kekeliruan,
penyalahgunaan, ketidakbenaran ataupun pemalsuan pada data, dokumen ataupun informasi;
(2) penerbitannya tidak memenuhi syarat sebagaimana yang tercantum dalam keputusan
komisi tentang kelayakan lingkungan hidup atau rekomendasi UKL-UPL, dan (3) penanggung
jawab dari usaha dan/atau kegiatan tersebut tidak melaksanakan kewajibannya yang
ditetapkan dalam dokumen AMDAL atau UKL-UPL. Selain itu, izin lingkungan juga dapat
dibatalkan melalui keputusan pengadilan tata usaha negara.
UU Cipta Kerja : Jika sebelumnya dalam UU-PPLH digunakan istilah “izin lingkungan”,
maka dalam UU Cipta Kerja sendiri diubah menjadi “persetujuan lingkungan”. Persetujuan
Lingkungan merupakan Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup atau pernyataan
Kesanggupan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang telah mendapatkan persetujuan dari
pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah. Oleh karena istilah “izin lingkungan” telah
dihapuskan dalam UU Cipta Kerja, dan secara tidak langsung pasal yang mengatur mengenai
hak gugat tata usaha negara juga turut terhapus. Persetujuan lingkungan tersebut pada
hakikatnya merupakan bentuk penyederhanaan dari perizinan berusaha.

4. Kesimpulan
Sejak diberlakukannya UU Cipta Kerja, terdapat beberapa parubahan pada instrumen
hukum lingkungan yang sebelumnya berlaku di UUPPLH. Beberapa instrumen tersebut antara
lain AMDAL, Baku Mutu Lingkungan Hidup, Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup,
UKL-UPL, dan Perizinan. Perubahan-perubahan yang terjadi pada pengaturan instrumen
hukum lingkungan sejak diberlakukannya UU Cipta Kerja tentunya menimbulkan pro dan
kontra dalam masyarakat. Ditambah lagi dengan adanya beberapa ketentuan yang dihapus,
seperti perizinan, yang membuat celah hukum dan dapat menjadi peluang bagi beberapa
oknum yang tidak bertanggung jawab bagi lingkungan. Oleh sebab itu, diperlukan peran
publik dalam melindungi serta mengelola lingkungan hidup agar tetap lestari dan bermanfaat
bagi kehidupan.

DAFTAR PUSTAKA

Buku
Danusaputro, St. Munadjat. Hukum Lingkungan Buku Satu Umum. Bandung : Binacipta,
1980.
Hadjon, Philipus M. Pengantar Hukum Administrasi, Yogyakarta: Gajah Mada University
Press, 1994.
Hardjasoemantri, Koesnadi. Hukum Tata Lingkungan. Yogyakarta: Gajahmada
University Press, 1999.
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Rawamangun: Kencana, 2005
Rahmadi, Takdir. Hukum Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun. Surabaya: Airlangga
University Press, 2003.
Rangkuti, Siti Sundari. Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional.
Surabaya: Airlangga University Press, , 2005.
Silalahi, Daud. AMDAL Dalam Sistem Hukum Lingkungan Indonesia. Bandung: Mandar
Maju, 1995.

Jurnal
Benuf, Kornelius, dkk. “Kebijakan Penghapusan Izin Lingkungan dalam RUU Cipta
Kerja dan Dampaknya Terhadap Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia.”
Jurnal Hukum & Pembangunan Vol. 51 No. 1 (2021),
Lusiana Tijow. “Kebijakan Hukum Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia.”
Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Gorontalo. (2013)
Nur, Muhammad Ilham. et al. “Persetujuan Lingkungan Dalam Undang-Undang Cipta
Kerja Dan Dampak Dari UU Ciptaker Bagi Lingkungan”, Jurnal Syntax
Admiration 2 No.2 (2021)
Riavinola., dan Neni Ruhaeni. “Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup dan
ImplementasinyaTerhadap Upaya Pencegahan Kerusakan Lingkungan Hidup
Akibat Penambangan Galian Pasir diKawasan Tutugan Leles Kabupaten Garut.”
Jurnal Prosiding Ilmu Hukum, Vol. 7, No. 1. (2011)
Siti Sundari Rangkuti, Sistem Perizinan Lingkungan Instrumen Pencegahan
Pencemaran Lingkungan, Seminar Hukum Lingkungan, Kantor Menteri Negara
Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (BAPEDAL),
Hotel Indonesia, Jakarta, 1-2 Mei 1996
Siti Sundari Rangkuti. “Kesamaan Persepsi Terhadap Penegakan Hukum Lingkungan”,
Majalah Fakultas Hukum Unair, No.5 Tahun IX September-Oktober (1994)

Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup

Anda mungkin juga menyukai