Anda di halaman 1dari 10

Peradilan Internasional dan Diplomasi dalam Sengketa Lingkungan

Hidup Maritim

Sengketa maritim terkait lingkungan hidup yang selama ini disidangkan dan diputuskan di
beberapa peradilan internasional seperti Mahkamah Internasional (International Court of
Justice/ICJ), Studi ini mencoba untuk mendeskripsikan kasus lingkungan hidup maritim melalui
jalur diplomasi dan peradilan internasional sehingga mampu memberikan hasil yang bermanfaat
bagi pengembangan hukum dan hubungan internasional. Kesimpulan menunjukan bahwa
diplomasi dan putusan peradilan internasional telah memberikan dasar dan petunjuk hukum bagi
negara-negara dan aktor bukan negara dalam hubungan internasional.

Pengembangan Hukum Lingkungan Hidup Melalui Penegakan


Hukum Perdata Di Indonesia

Dalam penegakan lingkungan hidup melalui pendekatan hak gugat perdata maka pihak penggugat
tidak hanya menderita kerugian materiil akan tetapi dapat pula dirugikan atas rusaknya
lingkungan hidup di sekitar tempat tinggalnya. Pada beberapa putusan perdata di bidang
lingkungan hidup ditemukan adanya putusan yang merupakan hal yang baru dalam perkembangan
hukum lingkungan di Indonesia. Dalam hal hak gugat, Pengadilan Negeri Samarinda telah
mengakomodir hak gugat warga negara yang dikenal juga dengan citizen lawsuit (action
popularis). Apabila gugatan diajukan oleh pemerintah melalui Kementrian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (KLHK) maka perkembangannya mengarah pada pro natura yaitu sistem pembuktian
yang menerapkan konsep strict liability sehingga KLHK sebagai penggugat tidak perlu lagi
membuktikan tentang adanya kesalahan tergugat. Namun demikian tidak seluruh putusan tersebut
diikuti dengan hukuman untuk memulihkan lingkungan yang telah rusak dan/atau tercemar,
seperti Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Pinang dan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara.
Putusan tersebut belum sejalan dengan ketentuan Pasal 54 UUPPLH yang mewajibkan kepada
setiap pencemar dan/atau perusak lingkungan hidup untuk melakukan pemulihan fungsi
lingkungan hidup. Putusan-putusan pengadilan tersebut menunjukkan bahwa majelis hakim dalam
memeriksa dan memutus perkara lingkungan hidup belum memahami dan mengusai perhitungan
biaya pemulihan lingkungan akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Oleh
karena itu hakim dalam menangani perkara-perkara perdata lingkungan hidup tidak cukup dengan
menerapkan ketentuan hukum yang telah ada, namun juga memerlukan suatu judicial activism
sebagai upaya untuk mengembangkan hukum lingkungan hidup di Indonesia.
PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP
PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA

Penegakan hukum lingkungan di Indonesia pada studi kasus kebakaran hutan yaitu Penegakan
hukum lingkungan di Indonesia di lakukan oleh pemerintah dengan tegas yaitu terbukti Kejagung
Terima 126 Surat Penyidikan Kasus Kebakaran Hutan, Kejaksaan Agung sampai sekarang sudah
menerima 126 Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kasus kebakaran hutan dan
lahan di seluruh Indonesia dari kepolisian, ini menandakan bahwa kepastian hukum, kemanfaatan
dan keadilan harus tercapai sebagai tujuan dari hukum itu sendiri. Undangundang Nomor 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengatur sanksi kepada
pihak yang terbukti melanggar yaitu penegakan hukum dibidang lingkungan hidup dapat
diklasifikasikan kedalam 3 (tiga) kategori yaitu : 1). Penegakan hukum Lingkungan dalam
kaitannya dengan Hukum Administrasi / Tata Usaha Negara, 2). Penegakan Hukum Lingkungan
dalam kaitannya dengan Hukum Perdata, 3). Penegakan Hukum Lingkungan dalam kaitannya
dengan Hukum Pidana. Pada Pasal 69 ayat (1) huruf H Undang-undang Nomor 32 tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup memuat tentang larangan melakukan
pembukaan lahan dengan cara membakar yaitu : (1) Setiap orang dilarang: h. melakukan
pembukaan lahan dengan cara membakar; Pasal 108 Jurnal Unifikasi, ISSN 2354-5976 Vol. 03
Nomor 01 Januari 2016 32 Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup memuat tentang sanksi bagi yang melanggar yaitu : Setiap orang
yang melakukan pembakaran lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf h,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) b. Analisis pengaruh penegakan hukum lingkungan
terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia yaitu : 1) Produk hukum yang menciptakan
kebingungan karena multitafsir sehingga tidak ada acuan yang jelas. 2) Sistem hukum peradilan di
mana Indonesia menganut pada hukum Belanda. Namun, ketika ada perkara, banyak
menggunakan dasar hukum dan berubah-ubah. Sedangkan yang 3) Risiko Politik. Setiap
pergantian pejabat maka kebijakan yang dibuat juga mengalami perubahan sehingga
membingungkan investor. PMA lebih mengharapkan adanya kepastian hukum yang baik di negeri
ini guna mendukung kepastian usaha karena kepastian hukum merupakan salah satu faktor dalam
pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi suatu negara tergantung sumber daya dan tata
kelolanya,sesuai dengan pandangan para ekonom klasik (Adam Smith, David Ricardo, Thomas
Robert Malthus dan John Stuart Mill), maupun para ekonom neoklasik (Robert Sollow Jurnal
Unifikasi, ISSN 2354-5976 Vol. 03 Nomor 01 Januari 2016 33 dan Trevor Swan), pada dasarnya
ada empat faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi yaitu : a) Jumlah penduduk, b)
Jumlah stok barang modal, c) Luas tanah dan kekayaan alam, dan d) Tingkat teknologi yang
digunakan. Suatu perekonomian dikatakan mengalami pertumbuhan atau berkembang apabila
tingkat kegiatan ekonominya lebih tinggi daripada apa yang dicapai pada masa sebelumnya.
PERAN HUKUM PIDANA DALAM PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN DI
INDONESIA

1. Hukum lingkungan adalah hukum yang mengatur ketentuan tentang tingkah laku manusia
dalam bermasyarakat agar mematuhi hukum lingkungan. hukum lingkungan berisi kaidah-
kaidah tentang perilaku masyarakat yang positif terhadap lingkungannya, baik langung
maupun tidak langsung. Hukum lingkungan sebagaimana diatur pada Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta
undang-undang yang berkaitan dengan lingkungan hidup di Indonesia termasuk ke dalam
golongan hukum publik karena seluruh undang-undang tersebut dominan mengatur
tentang hukum administrasi.
2. Penegakan hukum lingkungan merupakan satu usaha untuk mewujudkan ideide dan
konsep-konsep dalam hukum lingkungan untuk menjadi kenyataan yakni ide berupa
pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Mengenai penyelesaian
sengketa lingkungan hidup yang telah dijelaskan di atas, penulis berpendapat bahwa
penyelesaian sengketa di luar pengadilan adalah yang terbaik karena lebih banyak
manfaatnya dan secara filosofi menjunjung tinggi tradisi masyarakat Indonesia yang
cenderung mengutamakan musyawarah untuk mufakat. Dalam proses penegakan hukum
pidana, dimulai dari tingkat penyelidikan yang dilakukan oleh POLRI dan dibantu oleh
Pegawai Negeri Sipil Lingkungan Hidup, kemudian diteruskan ke Kejaksaan dan
selanjutnya dilimpahkan ke pengadilan untuk mendapatkan putusan hakim.
3. Peran hukum pidana dalam penegakan hukum lingkungan hidup yaitu sebagai ultimum
remedium (hukum pidana sebagai upaya hukum terakhir) dan sebagai primum remedium
(hukum pidana sebagai upaya hukum pertama)

PENERAPAN HUKUM DI TINDAK PIDANA LINGKUNGAN


HIDUP
1. Melihat semakin meningkatnya jumlah kejahatan dan/atau pelanggaran di bidang lingkungan
hidup, maka pemerintah beserta penegak hukum sebaiknya meninjau kembali tentang ketentuan
pidana yang tecantum dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan dan Undang-undang yang berkaitan dengan lingkungan hidup untuk
mengetahui ketentuan-ketentuan yang sudah harus diperbaharui, dihilangkan, dan/atau
meletakkan ketentuan pidana yang baru.
2. Melihat adanya kelemahan dalam menggunakan hukum pidna sebaai ultimum remedium, maka
ketentuan pidana Pasal 100 ayat (2) sebaiknya dihilangkan untuk membebaskan hakim dalam
menggunakan hukum pidana sebagai ultimum remedium atau sebagai primum remedium.
3. Penegak hukum harus memahami asas-asas hukum pidana termasuk asas subsidiaritas sehingga
penegakan hukum (pidana) dapat berjalan sesuai asasnya.
4. Teori progresif yang digagas oleh Satjipto Rahardjo dapat menjadi salah satu refrensi yang
penting bagi penegak hukum untuk menegakan hukum khususnya hukum lingkungan di
Indonesia.
Menanti Kebijakan Jokowi-JK atas Dampak Sampah Plastik ke Ekosistem
Pesisir dan Laut

Tahun 2016 menjadi salah satu tahun mulai munculnya perhatian pemerintah atas pembuangan
sampah plastik yang sampai ke wilayah pesisir dan laut. Perhatian ini muncul setelah data yang
dikeluarkan oleh jurnal science, Indonesia tercatat sebagai negara kedua penghasil sampah plastik
ke laut setelah Tiongkok.34 Pada tahun ini Indonesia menghasilkan sampah sebesar 3,2 juta ton,
sebanyak 1,29 juta ton diantaranya sampai ke laut. Fakta tersebut semakin menegaskan buruknya
manajemen pengelolaan sampah di Indonesia. Buruknya manajamen pengelolaan sampah yang
pada akhirnya menyebabkan pencemaran sampah plastik tentu berdampak buruk bagi ekosistem
pesisir dan maritim. Dampak yang akan muncul dari permasalahan sampah plastik beragam baik
bagi lingkungan maupun bagi habitat di laut. Sampah plastik sulit terurai di darat, apalagi di laut.
Plastik membentuk gugus sampah mengambang atau terakumulasi di dasar laut. Selain
membahayakan lingkungan, sampah-sampah tersebut sangat mematikan bagi hewan liar. Sampah
plastik berukuran besar bisa menjebak lumba-lumba, penyu, bahkan paus. Serpihan plastik kecil
juga berbahaya karena bisa termakan oleh ikan dan burung.. Banyak kura-kura di yang memakan
kantung plastik karena mengiranya sebagai ubur-ubur. Bahkan, sekitar 90 persen burung laut yang
mati di kawasan itu di perutnya ditemukan plastik di perutnya. pengaruh sampah plastik ke laut
juga akan berkontribusi mematikan habitat-habitat di laut seperti pohon bakau karena dan terumbu
karang. Atas dasar permasalahan ini, Pemerintah tercatat sudah 2 (dua) kali menyelanggarakan
forum besar yang melibatkan berbagai pihak yang khusus membahas sampah plastik di laut.
Pertama, National Workshop on Marine Plastics yang diselenggarakan pada bulan mei 2016 dan,
Kedua Marine Plastic Pollution Summit yang di selenggarakan pada bulan November 2016. Dari
kedua forum tersebut pemerintah mencoba merumuskan draft Peta Jalan untuk menyelesaikan 34
https://m.tempo.co/read/news/2015/11/06/061716482/indonesia-peringkat-keduapembuang-
sampah-ke-laut-di-dunia, diunggah pada 8 desember 2016 pukul 12.30 CATATAN AKHIR
TAHUN INDONESIAN CENTER FOR ENVIRONMENTAL LAW 2016 169 JURNAL
HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 2, MARET 2017 sampah plastik. Namun hasil dari
diskusi belum menghasilkan draft peta jalan pengelolaan sampah laut yang akan dikembangkan
menjadi kebijakan bagi Pemerintahan Jokowi-JK. Komitmen untuk menuntaskan permasalahan
sampah laut memang sudah terlihat dengan adanya kedua forum tersebut, namun menghasilkan
kebijakan yang berlandaskan hukum menjadi target utama agar penyelesai permasalahan sampah
laut dapat ditangani.
National Capital Integrated Coastal Development (NCICD):
Penyelematan Bencana atau Ambisi Pembangunan?
Ambisi pembangunan ini terlihat dengan menempatkan proyek National Capital Integrated
Coastal Development (NCICD) sebagai salah satu upaya pengendali pencemaran di laut dalam
Rencana Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Program NCICD terintegrasi bersama dengan
reklamasi 17 pulau. Selain itu, dua proyek lain sepeti reklamasi di Semarang dan Teluk Benoa
masuk menjadi rencana pemerintah dalam upaya mitigasi. ICEL menilai upaya mitigasi ini
merupakan kedok dari investasi pembangunan di wilayah pesisir yang sebenarnya dapat
menimbulkan dampak lingkungan. NCICD diperkirakan akan memperparah kondisi lingkungan
Teluk Jakarta karena akan memerangkap polutan di dalam daerahnya. Pembersihan air untuk
membaskan air terpolusi tersebut dapat menelan biaya sebesar Rp. 5 triliun rupiah setiap tahun
dan memicu kemunculan proyek-proyek lain. Setali tiga uang dengan pelaksanaan reklamasi,
Proyek NCICD yang kajiannya sedang dilakukan Bappenas dilakukan secara tertutup tanpa
adanya keterbukaan dokumen kajian. Kajian final yang sudah dilakukan Bappenas secara
teknokratis dapat menimbulkan persoalan konflik baru karena dilakukan sepihak. Proses kajia
tanggul laut ini pun tidak inklusif bukan hanya kepada masyarakat tetapi juga ahli-ahli yang tidak
sependapat dengan dibuatnya NCICD dikarenakan malah berdampak pada lingkungan laut dan
pesisir. Berbeda dengan RPJMN 2015-2019 yang menyatakan NCICD berfungsi sebagai
pengendali pencemaran di laut, penggunaan NCICD, terutama di tanggul B dan C, diperuntukan
untuk kawasan perdagangan dan perumahan mewah. Mengacu pada kajian yang menyatakan
mitigasi bencana dengan menggunakan tanggul laut tidak efisien bahkan kontra produktif
dengan perlindungan lingkungan hidup, 170 proyek NCICD semakin menegaskan bahwa
pembangunan di Indonesia masih bersifat sentralistik dan minim pertimbangan lingkungan
hidup.

Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia

(1) Kebijakan Pemerintah selama tahun 2016 lebih berpihak kepada proyekproyek
pembangunan, minim perhatian pada upaya perlindungan fungsi lingkungan hidup dan hak
masyarakat atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, yang diindikasikan oleh: a.
Lemahnya kebijakan standar lingkungan hidup; b. Percepatan proyek infrastruktur tanpa
pertimbangan secara menyeluruh terkait dengan perlindungan lingkungan dan sosial. (2)
Penegakan hukum lingkungan dan sumber daya alam belum berjalan secara transparan,
akuntabel, dan sinergis (antar institusi), yang diindikasikan oleh: a. Belum berjalannya
pengawasan kepatuhan perizinan secara transparan dan akuntabel pada level daerah
maupun pusat; b. Belum sierginya strategi dan sasaran penegakan hukum, contoh terkait
dengan Karhutla; c. Minimnya perhatian Presiden terkait dengan penguatan kelembagaan
bagi institusi penegak hukum lingkungan, antara lain : lembaga penegakan hukum
lingkungan terpadu, serta lembaga pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan yang
telah dimandatkan oleh UU. CATATAN AKHIR TAHUN INDONESIAN CENTER FOR
ENVIRONMENTAL LAW 2016 xi JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 3 ISSU
Mengawal Kebijakan dan Penegakan Hukum Dalam Pengelolaan dan
Perlindungan Lingkungan Hidup di Indonesia

Kebijakan dan penegakan hukum dalam pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup di
Indonesia saat ini merupakan hal yang perlu untuk dikawal secara intens. Setidaknya, sepanjang
tahun 2016 yang lalu, berbagai kritik telah dilayangkan kepada Pemerintah maupun aparat
penegak hukum yang masih belum menunjukkan “taring”-nya dalam memberikan perlindungan
lingkungan hidup di Indonesia secara menyeluruh. Beberapa momen penting sepanjang tahun
2016 yang mengundang respon keras antara lain : a) dikeluarkannya surat pengehentian
penyidikan kebakaran hutan dan lahan terhadap 15 korporasi di Riau ; b) putusan PTTUN Jakarta
yang kembali “mengesahkan” jalannya proyek reklamasi Pulau G ; hingga c) dikeluarkannya izin
lingkungan baru terhadap PT. Semen Indonesia oleh Gubernur Jawa Tengah untuk menjalankan
kegiatan usahanya di atas pegunungan Kendeng, yang notabene merupakan sebuah
“penyelundupan hukum” atas Putusan Mahkamah Agung No. 99/PK/TUN/2016 yang
memerintahkan pencabutan izin lingkungan untuk kegiatan tersebut. Sekalipun diterpa beberapa
catatan kelam selama tahun 2016, namun berbagai preseden positif perlindungan lingkungan
hidup di Indonesia juga patut untuk diapresiasi. Salah satu langkah besar adalah dikabulkannya uji
materiil atas Perpres Nomor 18 tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik
Berbasis Sampah di DKI Jakarta, Kota Tangerang, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota
Surakarta, Kota Surabaya, dan Kota Makassar. Adanya putusan ini diajukan untuk mendorong
pengelolaan sampah yang lebih berkelanjutan, ramah lingkungan, dan tanpa membakar sampah
tersebut. Selain itu, disahkannya PP Nomor 46 Tahun 2016 Tentang Kajian Lingkungan Hidup
Strategis – yang notabene merupakan amanat dari UU No. 32 Tahun 2009 – juga merupakan salah
satu patut diapresiasi untuk mengoptimalkan integrasi prinsip pembangunan vi berkelanjutan
dalam sebuah kebijakan, rencana, dan program. Adanya catatancatatan tersebut menandakan
bahwa masih terdapatnya pasang surut dalam komitmen Pemerintah maupun aparat penegak
hukum lainnya dalam memberikan perlindungan terhadap lingkungan hidup di Indonesia secara
menyeluruh. Berangkat dari hal tersebut, redaksi beranggapan bahwa masyarakat perlu untuk
mengawal proses pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup di Indonesia. Tidak hanya
kebijakan maupun regulasi Pemerintah, produk legislasi maupun putusan-putusan pengadilan juga
merupakan objek yang patut untuk mendapatkan perhatian lebih. Selain itu, ditengah isu
“percepatan pembangunan” yang sedang digalakkan di Indonesia saat ini, dibutuhkan adanya
integrasi oleh seluruh pemangku kepentingan terkait untuk memastikan penegakan konsep
pembangunan berkelanjutan. Tentu semua ini perlu diperhatikan untuk mewujudkan lingkungan
hidup yang baik dan sehat yang merupakan hak asasi serta hak konstitusional bagi setiap warga
Negara Indonesia. Hal-hal ini mendasari pemilihan tema “Mengawal Kebijakan dan Penegakan
Hukum Dalam Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup di Indonesia” untuk edisi Jurnal
Hukum Lingkungan Indonesia Volume 3 Issue 2 (Maret 2017). Berbagai analisis yang terdapat di
dalam tulisan-tulisan yang dimuat di dalam jurnal ini diharapkan mampu memantik diskursus
lintas sektor yang lebih dalam mengenai: (1) evaluasi norma dan implementasi hukum dan
kebijakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia secara umum; (2)
persoalan-persoalan hukum dan kebijakan yang dihadapi dalam permasalahan pengelolaan dan
perlindungan lingkungan hidup di Indonesia secara umum; dan (3) gagasan perbaikan dan
pengembangan untuk mengatasi permasalahanpermasalahan dimaksud. Redaksi mengucapkan
terima kasih kepada para Penulis yang telah mendedikasikan waktu, tenaga dan pikirannya dalam
menyelesaikan artikel ini dan melakukan revisi berdasarkan masukan substantif dari penelaahan
sejawat dan Sidang Redaksi. Terima kasih juga kami ucapkan kepada segenap anggota Sidang
Redaksi yang telah menelaah dengan cermat dan memberikan masukan substantif bagi tiap artikel.
Tidak lupa kepada Mitra Bebestari edisi ini, Andri G. Wibisana, S.H., LL.M., Ph.D. yang telah
melakukan blind peer review terhadap artikel dalam jurnal edisi ini. vii JURNAL HUKUM
LINGKUNGAN VOL. 3 ISSUE 2, MARET 2017 Akhir kata, JHLI Vol. 3 Issue 2 (Maret 2017)
ini tidak lepas dari kekurangan. Redaksi mempersilakan semua pihak memberikan kritik dan
masukan untuk memperbaiki proses maupun substansi, maupun hasil akhir artikel yang dimuat
dalam jurnal ini.

Penegakan Hukum Lingkungan

Hukum lingkungan adalah sebuah bidang hukum yang memiliki kekhasan yang oleh Drupsteen
disebut sebagai bidang hukum fungsional (functioneel rechtsgebeid), yaitu didalamnya terdapat
unsur-unsur hukum administrasi, hukum pidana dan hukum perdata.24 Oleh sebab itu, penegakan
hukum lingkungan dapat dimaknai sebagai penggunaan atau penerapan instrumen-instrumen dan
sanksi-sanksi dalam lapangan hukum administrasi, hukum pidana, dan hukum perdata dengan
tujuan memaksa subjek hukum yang menjadi sasaran mematuhi peraturan perundang-undangan
lingkungan hidup. Penggunaan instrumen dan sanksi hukum administrasi dilakukan oleh instansi
pemerintah dan juga oleh warga atau badan hukum perdata. Gugatan Tata Usaha Negara merupakan
sarana hukum administrasi negara yang dapat digunakan warga atau badan hukum perdata terhadap
instansi atau pejabat pemerintah yang menerbitkan keputusan tata usaha negara yang secara formal atau
materiil bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lingkungan hidup. Penggunaan sanksi-
sanksi hukum pidana hanya dapat dilakukan oleh instansi-instansi pemerintah. Penggunaan instrumen
hukum perdata, yaitu gugatan perdata dapat dilakukan oleh warga, badan hukum perdata dan juga
instansi pemerintah. Namun, jika dibandingkan di antara bidang hukum, sebagian besar norma-norma
hukum lingkungan termasuk ke dalam wilayah hukum administrasi.25 Dalam Kabinet Indonesia Bersatu
jilid II yang dinahkodai oleh Susilo Bambang Yudhoyono dan Budiono ini upaya untuk melakukan
penegakan hukum lingkungan dan penanganan berbagai kasus lingkungan belum menunjukkan hasil
menggembirakan. Pemerintah oleh kalangan aktivis lingkungan dinilai hanya mengurusi masalah politik
dan sibuk mengurusi partai tanpa ada keberpihakan pada lingkungan. Akibatnya persoalan lingkungan,
seperti kasus pencemaran Buyat, illegal loging, kebakaran hutan pencemaran dan perusakan lingkungan
di sejumlah daerah tidak dapat ditangani secara tuntas. Kebijakan pemerintah yang tidak memihak pada
lingkungan berakibat pada terjadinya musibah yang terus terjadi secara beruntun di berbagai tempat
hampir di seluruh wilayah Indonesia. Gambaran tersebut menunjukkan adanya indikasi bahwa bekerjanya
lembaga 24 Takdir Rahmadi, Op. Cit., hlm. 207 atau lihat juga pada Siti Sundari Rangkuti, Hukum
Lingkungan dan Kebijakan Nasional, (Surabaya: Airlangga University Press, 1996), hlm. 30 25 Ibid., hlm.
208. Politik Hukum Lingkungan Hidup di Indonesia Berdasarkan….. Dani Amran Hakim 127 pengadilan dan
penegakan hukum lingkungan di Indonesia masih amat dipengaruhi kepentingan politik.26 Seperti contoh
pada tahun 1995 Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) melakukan gugatan melawan
Departemen Petambangan dan Energi yang menerbitkan amdal kepada PT. Freeport ditolak oleh
Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) mengatur permasalahan lingkungan sebagai dasar pedoman
bagi aparat penegak hukum untuk menjerat pelaku tindak pidana lingkungan dikenakan hukuman pidana
sesuai aturan yang berlaku. Pasal 1 angka 16, menyatakan definisi perusakan lingkungan hidup adalah
“Tindakan orang yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia,
dan atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui ktriteria baku kerusakan lingkungan hidup”.
Rumusan Pasal ini mencantumkan kalimat “tindakan orang” yang tidak ada di dalam UUPLH sebelumnya,
sehingga memberikan keleluasan aparat untuk segera menindak bagi pelaku perusakan lingkungan baik
itu perseorangan maupun kelompok (perusahaan). Pasal 1 angka 17 juga menyatakan bahwa kerusakan
lingkungan hidup adalah perubahan langsung dan/atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia,
dan/atau hayati lingkungan hidup yang melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. Dengan
demikian di dalam undang-undang ini, perbuatan yang menimbulkan pencemaran lingkungan dan atau
perusakan lingkungan hidup yang dilakukan dengan sengaja atau tidak sengaja atau kealpaan diarahkan
menjadi perbuatan tindak pidana yang dalam undangundang ini merupakan kejahatan.27 Sesuai Pasal 71
ayat (1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib melakukan
pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan atas ketentuan yang
ditetapkan dalam peraturan perundang undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup; ayat (2) menteri, gubernur, atau bupati/walikota dapat mendelegasikan kewenangannya dalam
melakukan pengawasan kepada pejabat/instansi teknis yang bertanggung jawab di bidang perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup; ayat (3) dalam melaksanakan pengawasan, menteri, gubernur,
bupati/walikota menetapkan pejabat pengawas lingkungan hidup yang merupakan pejabat fungsional. Di
dalam Pasal 76 UUPPLH ini mengatur tentang sanksi administrasi. menteri, gubernur, atau
bupati/walikota menerapkan sanksi administratif kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan jika
dalam pengawasan ditemukan pelanggaran terhadap izin lingkungan. Sanksi administratif terdiri 26
Absori, Penegakan Hukum Lingkungan Pada Era Reformasi, artikel dalam Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 8. No. 2,
2005, hlm. 10. 27 Lihat Pasal 97 UUPPLH. Fiat Justisia Jurnal Ilmu Hukum Volume 9 No. 2, April-Juni 2015.
ISSN 1978-5186 128 atas; teguran tertulis, paksaan pemerintah, pembekuan izin lingkungan atau
pencabutan izin lingkungan. Pasal 80 ayat (1) mengatur tentang paksaan pemerintah kepada penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan yang yang melanggar izin lingkungan berupa; a) penghentian sementara
kegiatan produksi; b) pemindahan sarana produksi; c) penutupan saluran pembuangan air limbah atau
emisi; d) pembongkaran; e) penyitaan terhadap barang atau alat yang berpotensi menimbulkan
pelanggaran; f) penghentian sementara seluruh kegiatan; g) tindakan lain yang bertujuan untuk
menghentikan pelanggaran dan tindakan pemulihan fungsi lingkungan hidup. Pengenaan paksaan
pemerintah dapat dijatuhkan tanpa didahului teguran apabila pelanggaran yang dilakukan menimbulkan;
a) ancaman yang sangat serius bagi manusia dan lingkungan hidup; b) dampak yang lebih besar dan lebih
luas jika tidak segera dihentikan pencemaran dan/atau perusakannya; c) kerugian yang lebih besar bagi
lingkungan hidup jika tidak segera dihentikan pencemaran atau kerusakannya ayat (2). Pasal 87 mengatur
tentang kewajiban penanggung jawab usaha untuk memberi ganti rugi kepada orang atau lingkungan
yang dirugikan. Selain korban maka organisasi lingkungan hidup juga dapat meminta
pertanggungjawaban perdata kepada pelaku kegiatan usaha.28 Akan tetapi apabila gugatan tersebut
dilakukan oleh organisasi lingkungan hidup, permintaan yang dapat diajukan hanya sebatas melakukan
tindakan tertentu, kecuali biaya atau pengeluaran nyata. Sehingga bagi masyarakat yang menderita
kerugian akibat pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup dapat melakukan-gugatan secara
bersama-sama dengan cara gugatan perwakilan kelompok.29 Hal terpenting dalam melakukan gugatan
ini, kelompok masyarakat dapat menempuh cara-cara di luar pengadilan yang dikenal dengan mekanisme
alternatif penyelesaian sengketa. Bab XIV mengatur tentang Penyidikan dan Pembuktian. Selain penyidik
pejabat polisi, pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas
dan tanggung jawabnya di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan lingkungan hidup diberi
wewenang sebagai penyidik sebagai dimaksud dalam hukum acara pidana untuk melakukan penyidikan
tindak pidana lingkungan hidup. Penyidik pegawai negeri sipil berwenang antara lain : 1) melakukan
pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; 2) melakukan pemeriksaan terhadap setiap orang yang
diduga melakukan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; 3) meminta
28 Lihat Pasal 92 29 Lihat Pasal 91 Politik Hukum Lingkungan Hidup di Indonesia Berdasarkan….. Dani
Amran Hakim 129 keterangan dan bahan bukti dari setiap orang berkenaan dengan peristiwa tindak
pidana di bidang lingkungan hidup; 4) melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen
lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang lingkungan hidup; 5) melakukan penyitaan terhadap
bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana lingkungan
hidup; 6) meminta bantuan ahli dalam rangka tugas penyidikan; 7) menghentikan penyidikan; dan 8)
melakukan penggeledahan terhadap badan, pakaian, ruangan atau tempat lain yang diduga merupakan
tempat dilakukannya tindak pidana atau menangkap dan menahan pelaku tindak pidana. Adapun untuk
pembuktian diatur dalam Pasal 96, alat bukti yang sah dalam tuntutan tindak pidana lingkungan terdiri
atas; keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa, alat bukti lain, termasuk
alat bukti yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Sistem pembuktian yang harus dilakukan
penggugat atau aparat penegak hukum merupakan problem pembuktian yang sulit dan pelik selama ini.
Karena aparat penegak hukum akan mengalami kesulitan terutama dalam masalah pembuktiannya yang
berkaitan dengan hal-hal yang bersifat sangat teknis untuk menentukan klasifikasi ataupun unsur-unsur
yang harus dipenuhi sehingga dikatakan sebagai pelaku tindak pidana lingkungan. Kemudian juga adanya
keterbatasan pengetahuan tentang permasalahan, sarana, prasarana, dana maupun pemahaman
terhadap substansi hukum karena rata-rata korban adalah orang-orang yang berpendidikan rendah dan
kondisi ekonominya lemah. Setelah melihat uraian tentang pembaharuan dan perbedaan substansial
terhadap Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, apakah undang-undang tersebut berlaku efektif dalam
menanggulangi permasalahan lingkungan terutama masih sering terjadinya pencemaran air oleh limbah
industri atau ada segelintir manusia yang secara sadar masih membuang sampah ke dalam sungai,
sehingga sungai tersebut menjadi kotor.30 Efektivitas hukum dapat dijelaskan sebagai suatu keadaan di
mana terjadi kesesuaian antara cita-cita yang terkandung di dalam substansi hukum dengan realitas
berlakunya hukum tersebut di dalam masyarakat. Hukum dianggap kurang atau tidak efektif apabila
terdapat disparitas antara realita hukum dan ideal hukum, sehingga hukum tersebut harus dirombak dan
disusun kembali. Kalau ideal hukum itu mengacu kepada tujuan atau citacita yang terkandung di dalam
isi/substansi hukum, realita hukum mengacu kepada pengertian penerapan hukum yang indikatornya
adalah kesadaran dan/atau kepatuhan hukum yang tercermin dalam perilaku warga masyarakat 30
Sutrisno, Politik Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Jurnal Hukum No. 3 Volume 18, 2011,
hlm. 461. Fiat Justisia Jurnal Ilmu Hukum Volume 9 No. 2, April-Juni 2015. ISSN 1978-5186 130 tersebut.
Maka dapat dikatakan bahwa efektivitas hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat tidak terlepas dari
konsep kesadaran hukum dan atau kepatuhan hukum dari masyarakat itu sendiri. 31 Agar dapat berlaku
efektif, maka hukum dalam kegiatannya ditegakkan dengan dukungan sanksi baik administrasi, sanksi
perdata, maupun sanksi pidana. Sehingga untuk menjamin dukungan sanksi tersebut, maka haruslah
dijalin hubungan harmonisasi dan sinkronisasi pada semua lintas kehidupan bersama, dengan menjadikan
satu panduan sebagai pedoman berkaitan mengenai bagaimana seharusnya bertindak dan diharapkan
bertindak. Salah satu cara efektivitas dalam penegakan hukum lingkungan adalah dengan menggunakan
pendekatan multi door system, yaitu penggunaan berbagai macam peraturan perundang-undangan untuk
menangani kasus terkait lingkungan hidup, karena dengan penegakan hukum yang konsisten akan
mengaktifkan juga instrumen pencegahan. Masih sering terjadinya pencemaran yang dilakukan oleh
pihak perusahaan atau industri dan masih rendahnya ketaatan dan kepatuhan serta kesadaran warga
masyarakat untuk menjaga lingkungan yang bersih dan sehat menjadi indikator bahwa penegakan hukum
terhadap pengelolaan lingkungan yang bersih dan sehat belum berjalan. Dengan demikian secara
implementasi efektivitas UUPLH masih rendah hal ini dikarenakan penegakan hukum terutama dalam
masalah pembuktian sulit dilakukan dan pengawasan dalam rangka pengendalian dan pengelolaan
lingkungan hidup dapat dikatakan masih jalan di tempat walaupun dari aspek politik hukum secara
substansial isi/materi hukum lingkungan tersebut telah banyak terjadi perubahan disesuaikan dengan
kondisi sosial masyarakat.32

Anda mungkin juga menyukai