1. Bagaimana pengaturan kewenangan Pemerintah Daerah dalam perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan hidup berdasarkan Undang-Unndang Nomor 32 Tahun 2009? Jelaskan dengan singkat 2. Jelaskan dengan singkat apa yang menjadi kaidah dasar dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia dan bagaimana hubungannya dengan pembangunan nasional 3. Pemanfaatan sumber daya alam di Indonesia khususnya di Kalimantan Barat belum sepenuhnya memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Jelaskan dengan singkat mengenai hal ini terutama mengenai faktor penyebab dan apa yang harus dilakukan kedepan dalam mengatasi hal ini. 4. Mengapa inventarisasi Lingkungan Hidup memegang peran penting dalam Perencanaan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup? Jelaskan 5. Bagaimana hubungan pengendalian dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dengan ketentuan mengenai amdal dan UKL-UPL? Jelaskan dengan singkat 6. Kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Barat sering terjadi. Jelaskan dengan singkat apa yang menyebabkan terjadinya kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Barat, dan bagaimana penegakan hukumnya
JAWABAN
1. Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) menurut UU no 32
tahun 2009 pasal 1 ayat (2) adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum. Dalam UU ini tercantum jelas dalam Bab X bagian 3 pasal 69 mengenai larangan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang meliputi larangan melakukan pencemaran, memasukkan benda berbahaya dan beracun (B3), memasukkan limbah ke media lingkungan hidup, melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar, dan lain sebagainya. Larangan-larangan tersebut diikuti dengan sanksi yang tegas dan jelas tercantum pada Bab XV tentang ketentuan pidana pasal 97-123. Salah satunya adalah dalam pasal 103 yang berbunyi: Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). 2. Perkembangan hukum lingkungan modern di Indonesia lahir sejak diundangkannya Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan- Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, tanggal 11 Maret 1982 yang biasa disingkat dengan sebutan UULH 1982. UULH 1982 pada tanggal 19 September 1997 digantikan oleh Undang-undang No. 23 Tahun 1997 dan kemudian UU No. 23 Tahun 1997 (UULH 1997) juga dinyatakan tidak berlaku oleh UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (LN tahun 209 No. 140, disingkat dengan UUPPLH). UUPPLH 2009 sebagai sumber formal utama hukum lingkungan di Indonesia selain memuat ketentuan-ketentuan hukum dan instrumen-instrumen hukum seperti yang terkandung dalam undang-undang sebelumnya yaitu UULH 1982 dan UULH 1997 telah juga memuat norma-norma dan instrumen-instrumen hukum hukum baru. Beberapa norma hukum baru yang penting adalah tentang perlindungan hukum atas tiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup, UUPPLH telah secara tegas mengadopsi asas-asas yang terkandung dalam Delarasi Rio 1992, yaitu asas-asas tanggungjawab negara, keterpaduan, kehati-hatian, keadilan, pencemar membayar, partisipatif dan kearifan lokal. Pengadopsian ini merupakan politik hukum yang penting karena dapat memperkuat kepentingan pengelolaan lingkungan hidup mmanakala berhadapan dengan kepentingan ekonomi jangka pendek. Hakim dalam mengadili sebuah perkara dapat menggunakan asas-asas itu untuk memberikan perhatian atas kepentingan pengelolaan lingkungan hidup yang mungkin tidak diperhatikan oleh pelaku usaha ataupun pejabat pemerintah yang berwenang. Kedua, UUPPLH, khususnya dengan Pasal 66 UUPPLH sangat maju dalam memberikan perlindungan hukum kepada orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup dari kemungkinan tuntutan pidana dan perdata. Perlindungan hukum ini sangat penting karena pada masa lalu telah ada kasus-kasus di mana para aktivis lingkungan hidup yang melaporkan dugaan terjadinya pencemaran dan perusakan lingkungan hidup telah digugat secara perdata atau dituntut secara pidana atas dasar pencemaran nama baik perusahaan-perusahaan yang diduga telah menimbulkan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup. Ketiga, UUPPLH telah menimbulkan perubahan dalam bidang kewenangan penyidikan dalam perkara-perkara lingkungan. Berdasarkan Pasal 6 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), penyidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia (seterusnya disingkat dengan Polri) dan pejabat Pegawai Negeri Sipil (seterusnya disingkat dengan PPNS) tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. UUPPLH merupakan salah satu undang-undang sebagaimana dimaksud Pasal 6 ayat (1) yang menjadi dasar bagi keberadaan PPNS sebagaimana dirumuskan dalam Pasal Kewenangan Polri selain sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7 ayat (1) KUHAP, antara lain, melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan, pemeriksaan dan penyitaan surat dan wewenang koordinasi atas pelaksanaan tugas PPNS (Pasal 7 ayat (2), Polri sebagai institusi yang berwenang menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum (Pasal 8 ayat (2). Di era serba modern dan semakin berkembanganya pembangunan berbasis teknologi ini menjadikan persoalan baru bagi suatu daerah, apalagi daerah tersebut masih dalam masa berkembang. Semakin berkembang dan bertambahnya pembangunan di suatu tempat maka akan berpengaruh juga pada peningkatan penggunaan sumber daya alam maupun sumber daya manusianya. Pemanfaatan sumber daya ini bertujuan untuk menyokong berjalannya pembangunan dan akan menambah persoalan baru bagi tempat tersebut, salah satunya masalah lingkungan. Dalam proses pembangunan, sumber daya alam berperan sangat penting dalam kehidupan dan seharusnya pemanfaatan sumber daya alam berjalan dengan seimbang dengan pembangunan. Namun pada kenyataannya tidak demikian, sering kali dijumpai pengekplorasia sumber daya alam yang berlebihan sehinnga ekosistem atau lingkungan sekitar pembangunan mengalami kerusakan. Baik kerusakan secara ringan yang dapat dilakukan perbaikan kembali ataupun kerusakan yang berat sehingga lingkungan sulit untuk direboisasi. Jika hal ini terus berlanjut maka akan membahayakan kehidupan dikemudian hari. Berkembangnya pembangunan di era ini sebenarnya memiliki sisi baik, selain untuk memperbaiki fasilitas yang telah ada, meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar pembangunan. Pembangunan juga sebagai tanda bahwa suatu daerah mengalami kemajuan. Pembangunan yang berbasis teknologi dan sedang dikembangkan sekarang bias menjadikan masyarakat untuk lebih modern.
3. Di Kalimantan Barat sendiri pemanfaatan sumber daya alam sudah dibilang
sangat bagus. Sebagai contoh perkebunan kelapa sawit dan pertambangan bauksit. Namun, tidak didukung dengan upaya perlindungan terhadap lingkungan hidup setempat. Banyak dari perkebunan kelap sawit kurang mumpuni dalam penanganan limbahnya (tangkos), sisa pembuangan pabrik proses pengoalahan sawit dan begitu juga bauksit, dmapak yang dirasakan masyarakat yang bertempat tinggal ditempat pertambangan adalah jalanan yang rusak, dan hutan yang gundul. Hal ini terjadi karena kurangnya sumber daya manusia yang mumpuni untuk mengolah atau mencari alternatif lain agar dampak yang ditimbulkan tidak merusak lingkungan hidup. Kurangnya perhatian atau sikap acuh tak acuh sebagai masyarakat atau perangkat lingkungan setempat juga menjadi faktor mengapa sumber daya ala mini tidak sepenuhnya memperhatikan daya dukung lingkungan hidup. Diharapkan untuk kedepannya pemerintah menggencarkan adanya keharusan atau peraturan tentang bagaimana menanggulangi dampak yang disebabkan oleh pemanfaatan sumber daya alam tersebut dan sebagai masyarakat biasa hendaknya memiliki rasa bertanggungjawab terhadap lingkungan hidupnya sendiri.
4. Kegiatan inventarisasi lingkungan hidup dilakukan dengan tujuan lebih
mengetahui potensi sumber daya alam di darat, laut maupun udara berupa tanah, air, energi, flora dan fauna serta produktifitasnya yang diperlukan bagi pembangunan. Inventarisasi Lingkungan Hidup, dilaksanakan dalam rangka mengumpulkan data dan informasi sumber daya alam yang bersumber dari :
Status Lingkungan Hidup Daerah (SLHD) 5 Tahun terakhir
Profil Daerah Daerah Dalam Angka, 5 Tahun terakhir IKLH 3 Tahun terakhir Peta Indikasi Daya Dukung dan Daya Tampung Data dan Informasi Kehutanan tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota Neraca SDA, Jumlah SDA yang dimiliki untuk bisa dicadangkan.
Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) adalah
perencanaan tertulis yang memuat potensi, masalah lingkungan hidup, serta upaya perlindungan dan pengelolaannya dalam kurun waktu tertentu.
RPPLH disusun guna memberikan arahan melestarikan jasa LH dalam
rangka mendukung terlaksananya pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. RPPLH mengarahkan terselenggaranya pembangunan rendah karbon, yaitu membangun kota-kota rendah karbon dan hemat energi, dan menciptakan keserasian atau keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan perlindungan LH. PPLH dilaksanakan melalui proses partisipasi publik, yaitu melibatkan publik dalam seluruh proses mulai dari perencanaan, pelaksanaan, serta pemantauan dan evaluasi PPLH PPLH mengatur adanya kerjasama antar daerah dalam satu ekoregion dan/atau antar ekoregion, yaitu bahwa keterkaitan dan keterikatan jasa LH tidak bisa dibatasi oleh batas administrasi daerah, sehingga kerjasama antar daerah dalam PPLH adalah merupakan keniscayaan yang tidak bisa dihindari.
5. AMDAL adalah singkatan dari Analisis Dampak Lingkungan. Menurut PP No.
27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup, AMDAL adalah Kajian atas dampak besar dan penting untuk pengambilan keputusan suatu usaha atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha atau kegiatan. AMDAL adalah analisis yang meliputi berbagai macam faktor seperti fisik, kimia, sosial ekonomi, biologi dan sosial budaya yang dilakukan secara menyeluruh. Agar pelaksanaan AMDAL berjalan efektif dan dapat mencapai sasaran yang diharapkan, pengawasannya dikaitkan dengan mekanisme perijinan. Peraturan pemerintah tentang AMDAL secara jelas menegaskan bahwa AMDAL adalah salah satu syarat perijinan, dimana para pengambil keputusan wajib mempertimbangkan hasil studi AMDAL sebelum memberikan izin usaha/kegiatan. Alasan diperlukannya AMDAL untuk studi kelayakan sesuai dengan amanat dari undang-undang dan peraturan pemerintah serta sebagai bentuk menjaga lingkungan dari operasi proyek kegiatan industri atau kegiatan-kegiatan yang dapat menyebabkan kerusakan lingkungan. Tujuan AMDAL adalah menjaga segala bentuk kemungkinan dampak dari suatu rencana usaha atau kegiatan sehingga kegiatan bisnis yang dilakukan agar tidak memberikan dampak buruk bagi lingkungan. Sedangkan Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL) adalah upaya yang dilakukan dalam pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup oleh penanggung jawab dan atau kegiatan yang tidak wajib melakukan AMDAL (Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 86 tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup). UKL-UPL merupakan perangkat pengelolaan lingkungan hidup untuk pengambilan keputusan dan dasar untuk menerbitkan izin melakukan usaha dan atau kegiatan. Sementara Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup atau SPPL adalah Pernyataan kesanggupan dari penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk melakukan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup atas dampak lingkungan hidup dari usaha dan/atau kegiatannya di luar Usaha dan/atau kegiatan yang wajib Amdal atau UKL-UPL.
6. Berikut adalah berbagai ulah manusia yang bisa menyebabkan kebakaran
hutan:
a) Merokok. Terdapat kebiasaan orang merokok sambil mengemudi,
berjalan, atau bersepeda di sekitar hutan. Lalu mereka membuang puntung rokoknya begitu saja tanpa benar-benar mematikannya.
b) Perkemahan. Api unggun yang dinyalakan di perkemahan bisa
berbahaya jika tidak dimatikan dengan cara yang benar. Api unggun akan ditinggal karena dikira apinya sudah padam. Ternyata masih ada titik api di bawahnya dan bisa memicu kebakaran hutan yang lebih luas.
c) Membakar sampah. Membakar sampah menjadi kebiasaan di
beberapa daerah tanpa menyadari dampaknya. Baik dampak langsung berupa polusi udara, maupun risiko membakar hutan. d) Kembang api. Manusia sering menyalakan kembang api ketika perayaan sesuatu. Hanya butuh satu percikan api, sudah bisa menjadi penyebab kebakaran hutan.
e) Penggunaan api untuk persiapan lahan. Masyarakat di sekitar hutan
biasanya membakar lahan untuk membuat perkebunan, seperti sawit, kopi, dan coklat. Cara bahaya ini dipilih karena lebih mudah dan lebih cepat.
f) Illegal logging. Kegiatan ini menghasilkan lahan yang mudah terbakar
karena meninggalkan sisa daun dan ranting kering yang berpotensi menjadi bahan bakar ketika ada percikan api atau panas. Perambahan hutan.
g) Migrasi penduduk ke dalam hutan, baik disadari atau tidak, akan
menyebabkan kebutuhan lahan untuk hidup semakin luas. Ini akan membuat penduduk tersebut membakar hutan untuk kepentingan lahan mereka.
Untuk lebih lanjut dapat dilihat bagaimana ketentuan pidana bagi
pelaku pembakaran hutan dan lahan sesuai dengan tiga undang- undang tersebut:
a) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Pasal 49 UU Kehutanan menyatakan bahwa, Pemegang hak atau izin
bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya. Dan Pasal 50 ayat (3) huruf d menyatakan setiap orang dilarang membakar hutan. Namun sayangnya dalam undang-undang tersebut tidak menjelaskan ketentuan pidana mengenai Pasal 49. Ketentuan pidana sebagaimana diatur pada Pasal 50 ayat (3) huruf d diatur pada Pasal 78 ayat (3) yang menyatakan Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf d, diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). Sementara itu apabila pelakunya merupakan badan usaha maka Pasal 50 ayat (14) menyatakan bahwa Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila dilakukan oleh dan atau atas nama badan hukum atau badan usaha, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya, baik sendiri-sendiri maupun bersamasama, dikenakan pidana sesuai dengan ancaman pidana masing-masing ditambah dengan 1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan.
b) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan
Pasal 48 ayat (1) UU Perkebunan menyatakan setiap orang yang
dengan sengaja membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara pembakaran yang berakibat terjadinya pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Sementara dalam Pasal 48 ayat (2) menyatakan jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (1ima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah). Pasal 48 ini merupakan pasal yang mengatur ketentuan pidana tentang pembakaran lahan jika teradapat kesengajaan oleh pelaku. Pasal 49 ayat (1) menyatakan setiap orang yang karena kelalaiannya membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara pembakaran yang berakibat terjadinya pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Sementara ayat (2) menyatakan jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
c) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Panduan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup
Jika merujuk pada penjelasan Pasal 21 ayat (3) huruf c UU PPLH
menyatakan yang dimaksud dengan "kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan" adalah pengaruh perubahan pada lingkungan hidup yang berupa kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan yang diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan.