Anda di halaman 1dari 7

Nama : James Andrian Situmeang

NIM : A1011201203

Mata Kuliah : Hukum Lingkungan

Kelas :C

Hari, Tanggal: Rabu, 8 Juni 2022

Waktu : 12.30-14.00 WIB

Dosen : Hamdani, S.H., M.Hum.

1. Bagaimana pengaturan kewenangan Pemerintah Daerah dalam perlindungan


dan Pengelolaan Lingkungan hidup berdasarkan Undang-Unndang Nomor 32
Tahun 2009? Jelaskan dengan singkat
2. Jelaskan dengan singkat apa yang menjadi kaidah dasar dalam perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia dan bagaimana hubungannya
dengan pembangunan nasional
3. Pemanfaatan sumber daya alam di Indonesia khususnya di Kalimantan Barat
belum sepenuhnya memperhatikan daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup. Jelaskan dengan singkat mengenai hal ini terutama
mengenai faktor penyebab dan apa yang harus dilakukan kedepan dalam
mengatasi hal ini.
4. Mengapa inventarisasi Lingkungan Hidup memegang peran penting dalam
Perencanaan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup? Jelaskan
5. Bagaimana hubungan pengendalian dalam perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup dengan ketentuan mengenai amdal dan UKL-UPL?
Jelaskan dengan singkat
6. Kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Barat sering terjadi. Jelaskan
dengan singkat apa yang menyebabkan terjadinya kebakaran hutan dan
lahan di Kalimantan Barat, dan bagaimana penegakan hukumnya

JAWABAN

1. Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) menurut UU no 32


tahun 2009 pasal 1 ayat (2) adalah upaya sistematis dan terpadu yang
dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah
terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi
perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan
penegakan hukum. Dalam UU ini tercantum jelas dalam Bab X bagian 3 pasal
69 mengenai larangan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
yang meliputi larangan melakukan pencemaran, memasukkan benda
berbahaya dan beracun (B3), memasukkan limbah ke media lingkungan
hidup, melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar, dan lain
sebagainya. Larangan-larangan tersebut diikuti dengan sanksi yang tegas
dan jelas tercantum pada Bab XV tentang ketentuan pidana pasal 97-123.
Salah satunya adalah dalam pasal 103 yang berbunyi: Setiap orang yang
menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 59, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
2. Perkembangan hukum lingkungan modern di Indonesia lahir sejak
diundangkannya Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, tanggal 11 Maret 1982
yang biasa disingkat dengan sebutan UULH 1982. UULH 1982 pada tanggal
19 September 1997 digantikan oleh Undang-undang No. 23 Tahun 1997 dan
kemudian UU No. 23 Tahun 1997 (UULH 1997) juga dinyatakan tidak berlaku
oleh UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (LN tahun 209 No. 140, disingkat dengan UUPPLH).
UUPPLH 2009 sebagai sumber formal utama hukum lingkungan di Indonesia
selain memuat ketentuan-ketentuan hukum dan instrumen-instrumen hukum
seperti yang terkandung dalam undang-undang sebelumnya yaitu UULH 1982
dan UULH 1997 telah juga memuat norma-norma dan instrumen-instrumen
hukum hukum baru. Beberapa norma hukum baru yang penting adalah
tentang perlindungan hukum atas tiap orang yang memperjuangkan hak atas
lingkungan hidup, UUPPLH telah secara tegas mengadopsi asas-asas yang
terkandung dalam Delarasi Rio 1992, yaitu asas-asas tanggungjawab negara,
keterpaduan, kehati-hatian, keadilan, pencemar membayar, partisipatif dan
kearifan lokal. Pengadopsian ini merupakan politik hukum yang penting
karena dapat memperkuat kepentingan pengelolaan lingkungan hidup
mmanakala berhadapan dengan kepentingan ekonomi jangka pendek. Hakim
dalam mengadili sebuah perkara dapat menggunakan asas-asas itu untuk
memberikan perhatian atas kepentingan pengelolaan lingkungan hidup yang
mungkin tidak diperhatikan oleh pelaku usaha ataupun pejabat pemerintah
yang berwenang. Kedua, UUPPLH, khususnya dengan Pasal 66 UUPPLH
sangat maju dalam memberikan perlindungan hukum kepada orang yang
memperjuangkan hak atas lingkungan hidup dari kemungkinan tuntutan
pidana dan perdata. Perlindungan hukum ini sangat penting karena pada
masa lalu telah ada kasus-kasus di mana para aktivis lingkungan hidup yang
melaporkan dugaan terjadinya pencemaran dan perusakan lingkungan hidup
telah digugat secara perdata atau dituntut secara pidana atas dasar
pencemaran nama baik perusahaan-perusahaan yang diduga telah
menimbulkan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup. Ketiga,
UUPPLH telah menimbulkan perubahan dalam bidang kewenangan
penyidikan dalam perkara-perkara lingkungan. Berdasarkan Pasal 6 ayat (1)
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), penyidik adalah
pejabat Polisi Negara Republik Indonesia (seterusnya disingkat dengan Polri)
dan pejabat Pegawai Negeri Sipil (seterusnya disingkat dengan PPNS)
tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. UUPPLH
merupakan salah satu undang-undang sebagaimana dimaksud Pasal 6 ayat
(1) yang menjadi dasar bagi keberadaan PPNS sebagaimana dirumuskan
dalam Pasal Kewenangan Polri selain sebagaimana disebutkan dalam Pasal
7 ayat (1) KUHAP, antara lain, melakukan penangkapan, penahanan,
penggeledahan, dan penyitaan, pemeriksaan dan penyitaan surat dan
wewenang koordinasi atas pelaksanaan tugas PPNS (Pasal 7 ayat (2), Polri
sebagai institusi yang berwenang menyerahkan berkas perkara kepada
penuntut umum (Pasal 8 ayat (2). Di era serba modern dan semakin
berkembanganya pembangunan berbasis teknologi ini menjadikan persoalan
baru bagi suatu daerah, apalagi daerah tersebut masih dalam masa
berkembang. Semakin berkembang dan bertambahnya pembangunan di
suatu tempat maka akan berpengaruh juga pada peningkatan penggunaan
sumber daya alam maupun sumber daya manusianya. Pemanfaatan sumber
daya ini bertujuan untuk menyokong berjalannya pembangunan dan akan
menambah persoalan baru bagi tempat tersebut, salah satunya masalah
lingkungan. Dalam proses pembangunan, sumber daya alam berperan sangat
penting dalam kehidupan dan seharusnya pemanfaatan sumber daya alam
berjalan dengan seimbang dengan pembangunan. Namun pada
kenyataannya tidak demikian, sering kali dijumpai pengekplorasia sumber
daya alam yang berlebihan sehinnga ekosistem atau lingkungan sekitar
pembangunan mengalami kerusakan. Baik kerusakan secara ringan yang
dapat dilakukan perbaikan kembali ataupun kerusakan yang berat sehingga
lingkungan sulit untuk direboisasi. Jika hal ini terus berlanjut maka akan
membahayakan kehidupan dikemudian hari. Berkembangnya pembangunan
di era ini sebenarnya memiliki sisi baik, selain untuk memperbaiki fasilitas
yang telah ada, meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar
pembangunan. Pembangunan juga sebagai tanda bahwa suatu daerah
mengalami kemajuan. Pembangunan yang berbasis teknologi dan sedang
dikembangkan sekarang bias menjadikan masyarakat untuk lebih modern.

3. Di Kalimantan Barat sendiri pemanfaatan sumber daya alam sudah dibilang


sangat bagus. Sebagai contoh perkebunan kelapa sawit dan pertambangan
bauksit. Namun, tidak didukung dengan upaya perlindungan terhadap
lingkungan hidup setempat. Banyak dari perkebunan kelap sawit kurang
mumpuni dalam penanganan limbahnya (tangkos), sisa pembuangan pabrik
proses pengoalahan sawit dan begitu juga bauksit, dmapak yang dirasakan
masyarakat yang bertempat tinggal ditempat pertambangan adalah jalanan
yang rusak, dan hutan yang gundul. Hal ini terjadi karena kurangnya sumber
daya manusia yang mumpuni untuk mengolah atau mencari alternatif lain
agar dampak yang ditimbulkan tidak merusak lingkungan hidup. Kurangnya
perhatian atau sikap acuh tak acuh sebagai masyarakat atau perangkat
lingkungan setempat juga menjadi faktor mengapa sumber daya ala mini tidak
sepenuhnya memperhatikan daya dukung lingkungan hidup. Diharapkan
untuk kedepannya pemerintah menggencarkan adanya keharusan atau
peraturan tentang bagaimana menanggulangi dampak yang disebabkan oleh
pemanfaatan sumber daya alam tersebut dan sebagai masyarakat biasa
hendaknya memiliki rasa bertanggungjawab terhadap lingkungan hidupnya
sendiri.

4. Kegiatan inventarisasi lingkungan hidup dilakukan dengan tujuan lebih


mengetahui potensi sumber daya alam di darat, laut maupun udara berupa
tanah, air, energi, flora dan fauna serta produktifitasnya yang diperlukan bagi
pembangunan. Inventarisasi Lingkungan Hidup, dilaksanakan dalam rangka
mengumpulkan data dan informasi sumber daya alam yang bersumber dari :

 Status Lingkungan Hidup Daerah (SLHD) 5 Tahun terakhir


 Profil Daerah
 Daerah Dalam Angka, 5 Tahun terakhir
 IKLH 3 Tahun terakhir
 Peta Indikasi Daya Dukung dan Daya Tampung
 Data dan Informasi Kehutanan tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota
 Neraca SDA, Jumlah SDA yang dimiliki untuk bisa dicadangkan.

 Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) adalah


perencanaan tertulis yang memuat potensi, masalah lingkungan hidup, serta
upaya perlindungan dan pengelolaannya dalam kurun waktu tertentu.

 RPPLH disusun guna memberikan arahan melestarikan jasa LH dalam


rangka mendukung terlaksananya pembangunan berkelanjutan yang
berwawasan lingkungan.
 RPPLH mengarahkan terselenggaranya pembangunan rendah karbon,
yaitu membangun kota-kota rendah karbon dan hemat energi, dan
menciptakan keserasian atau keseimbangan antara pembangunan
ekonomi dan perlindungan LH.
 PPLH dilaksanakan melalui proses partisipasi publik, yaitu melibatkan
publik dalam seluruh proses mulai dari perencanaan, pelaksanaan,
serta pemantauan dan evaluasi PPLH
 PPLH mengatur adanya kerjasama antar daerah dalam satu ekoregion
dan/atau antar ekoregion, yaitu bahwa keterkaitan dan keterikatan jasa
LH tidak bisa dibatasi oleh batas administrasi daerah, sehingga
kerjasama antar daerah dalam PPLH adalah merupakan keniscayaan
yang tidak bisa dihindari.

5. AMDAL adalah singkatan dari Analisis Dampak Lingkungan. Menurut PP No.


27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup,
AMDAL adalah Kajian atas dampak besar dan penting untuk pengambilan
keputusan suatu usaha atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan
hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang
penyelenggaraan usaha atau kegiatan. AMDAL adalah analisis yang meliputi
berbagai macam faktor seperti fisik, kimia, sosial ekonomi, biologi dan sosial
budaya yang dilakukan secara menyeluruh. Agar pelaksanaan AMDAL
berjalan efektif dan dapat mencapai sasaran yang diharapkan,
pengawasannya dikaitkan dengan mekanisme perijinan. Peraturan
pemerintah tentang AMDAL secara jelas menegaskan bahwa AMDAL adalah
salah satu syarat perijinan, dimana para pengambil keputusan wajib
mempertimbangkan hasil studi AMDAL sebelum memberikan izin
usaha/kegiatan. Alasan diperlukannya AMDAL untuk studi kelayakan sesuai
dengan amanat dari undang-undang dan peraturan pemerintah serta sebagai
bentuk menjaga lingkungan dari operasi proyek kegiatan industri atau
kegiatan-kegiatan yang dapat menyebabkan kerusakan lingkungan. Tujuan
AMDAL adalah menjaga segala bentuk kemungkinan dampak dari suatu
rencana usaha atau kegiatan sehingga kegiatan bisnis yang dilakukan agar
tidak memberikan dampak buruk bagi lingkungan. Sedangkan Upaya
Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan
Hidup (UPL) adalah upaya yang dilakukan dalam pengelolaan dan
pemantauan lingkungan hidup oleh penanggung jawab dan atau kegiatan
yang tidak wajib melakukan AMDAL (Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup Nomor 86 tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Upaya
Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup).
UKL-UPL merupakan perangkat pengelolaan lingkungan hidup untuk
pengambilan keputusan dan dasar untuk menerbitkan izin melakukan usaha
dan atau kegiatan. Sementara Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan
dan Pemantauan Lingkungan Hidup atau SPPL adalah Pernyataan
kesanggupan dari penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk
melakukan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup atas dampak
lingkungan hidup dari usaha dan/atau kegiatannya di luar Usaha dan/atau
kegiatan yang wajib Amdal atau UKL-UPL.

6. Berikut adalah berbagai ulah manusia yang bisa menyebabkan kebakaran


hutan:

a) Merokok. Terdapat kebiasaan orang merokok sambil mengemudi,


berjalan, atau bersepeda di sekitar hutan. Lalu mereka membuang
puntung rokoknya begitu saja tanpa benar-benar mematikannya.

b) Perkemahan. Api unggun yang dinyalakan di perkemahan bisa


berbahaya jika tidak dimatikan dengan cara yang benar. Api unggun
akan ditinggal karena dikira apinya sudah padam. Ternyata masih ada
titik api di bawahnya dan bisa memicu kebakaran hutan yang lebih
luas.

c) Membakar sampah. Membakar sampah menjadi kebiasaan di


beberapa daerah tanpa menyadari dampaknya. Baik dampak langsung
berupa polusi udara, maupun risiko membakar hutan.
d) Kembang api. Manusia sering menyalakan kembang api ketika
perayaan sesuatu. Hanya butuh satu percikan api, sudah bisa menjadi
penyebab kebakaran hutan.

e) Penggunaan api untuk persiapan lahan. Masyarakat di sekitar hutan


biasanya membakar lahan untuk membuat perkebunan, seperti sawit,
kopi, dan coklat. Cara bahaya ini dipilih karena lebih mudah dan lebih
cepat.

f) Illegal logging. Kegiatan ini menghasilkan lahan yang mudah terbakar


karena meninggalkan sisa daun dan ranting kering yang berpotensi
menjadi bahan bakar ketika ada percikan api atau panas. Perambahan
hutan.

g) Migrasi penduduk ke dalam hutan, baik disadari atau tidak, akan


menyebabkan kebutuhan lahan untuk hidup semakin luas. Ini akan
membuat penduduk tersebut membakar hutan untuk kepentingan
lahan mereka.

Untuk lebih lanjut dapat dilihat bagaimana ketentuan pidana bagi


pelaku pembakaran hutan dan lahan sesuai dengan tiga undang-
undang tersebut:

a) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

Pasal 49 UU Kehutanan menyatakan bahwa, Pemegang hak atau izin


bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya.
Dan Pasal 50 ayat (3) huruf d menyatakan setiap orang dilarang
membakar hutan. Namun sayangnya dalam undang-undang tersebut
tidak menjelaskan ketentuan pidana mengenai Pasal 49. Ketentuan
pidana sebagaimana diatur pada Pasal 50 ayat (3) huruf d diatur pada
Pasal 78 ayat (3) yang menyatakan Barang siapa dengan sengaja
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3)
huruf d, diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)
tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar
rupiah). Sementara itu apabila pelakunya merupakan badan usaha
maka Pasal 50 ayat (14) menyatakan bahwa Tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
apabila dilakukan oleh dan atau atas nama badan hukum atau badan
usaha, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap
pengurusnya, baik sendiri-sendiri maupun bersamasama, dikenakan
pidana sesuai dengan ancaman pidana masing-masing ditambah
dengan 1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan.

b) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan

Pasal 48 ayat (1) UU Perkebunan menyatakan setiap orang yang


dengan sengaja membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara
pembakaran yang berakibat terjadinya pencemaran dan kerusakan
fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26,
diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Sementara dalam Pasal 48 ayat (2) menyatakan jika tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengakibatkan orang mati atau
luka berat, pelaku diancam dengan pidana penjara paling lama 15
(1ima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 15.000.000.000,00
(lima belas miliar rupiah). Pasal 48 ini merupakan pasal yang mengatur
ketentuan pidana tentang pembakaran lahan jika teradapat
kesengajaan oleh pelaku. Pasal 49 ayat (1) menyatakan setiap orang
yang karena kelalaiannya membuka dan/atau mengolah lahan dengan
cara pembakaran yang berakibat terjadinya pencemaran dan
kerusakan fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 26, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun
dan denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Sementara ayat (2) menyatakan jika tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) mengakibatkan orang mati atau luka berat,
pelaku diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan
denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

c) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Panduan dan


Pengelolaan Lingkungan Hidup

Jika merujuk pada penjelasan Pasal 21 ayat (3) huruf c UU PPLH


menyatakan yang dimaksud dengan "kerusakan lingkungan hidup yang
berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan" adalah pengaruh
perubahan pada lingkungan hidup yang berupa kerusakan dan/atau
pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan
dan/atau lahan yang diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan.

Anda mungkin juga menyukai