Anda di halaman 1dari 9

Kita dapat pahami bahwa secara akademis, kita juga telah berhasil mengenali berbagai

penyebabnya. Namun, dalam kenyataanya tetap sulit untuk mengimplementasikan


pencegahan ataupun penanggulangan kerusakan hutan dan lingkungan tersebut.
Menurut Simon (2007), mengemukakan bahwa proses tersebut terus berlanjut yaitu
kecepatan laju permudaan semakin tidak dapat mengimbangi laju penebangan,
sehingga umur hutan sekunder yang ditebang sudah dibawah daur tehnik. Karena
memang akar permasalahannya sangat rumit, menyangkut berbagai lapisan masyarakat
yang beranekaragam. Salah satu yang banyak disoroti di Seko adalah faktor kemiskinan,
persoalan perut ini memang harus segera dipecahkan secara komprehensip, sehingga
tepat jika agenda pengelolaan hutan dan lingkungan hidup dikaitkan dengan
kemiskinan.

Masyarakat adat Seko telah mendiami wilayah adatnya secara turun temurun.
Hingga sekarang masyarakat adat Seko masih tetap tumbuh dan berkembang. Mereka
memiliki aturan adat istiadat dalam berinteraksi dengan masyarakat dan lingkungan
sekitarnya. Mereka memiliki pula kearifan lokal yang masih dijalankan sampai saat ini.

Kearifan lokal adalah sebuah tatanan nilai yang berlaku dan dijaga secara
bersama-sama oleh komunitas masyarakat adat seko. Salah satunya bagaimana kearifan
masyarakat adat dalam menjaga hutan, Masyarakat tidak akan melakukan penebangan
pohon dihutan secara serampangan dan berlebihan, mereka sangat memahami dampak
daripada hal tersebut jika dilakukan. Selain itu, kearifan lokal dalam bercocok tanam,
pembuatan rumah, dan penanganan hama yang menyerang tanaman juga masih
dipraktekkan oleh masyarakat adat seko hingga saat ini, yang jika kita cermati
bermakna keseimbangan alam.

Sumberdaya alam yang melimpah menjadikan Seko sebagai wilayah rebutan para
investor. Sudah puluhan tahun masyarakat Seko dibuat resah oleh kehadiran PT. Seko
Fajar (HGU perkebunan) yang secara adinistrative menguasai kurang lebih 27.000 ha
atau 6 desa yang ada di Wilayah Seko Padang. Selain itu, keresahan masyarakat Seko
bertambah dengan adanya pembangunan PLTA oleh PT. Seko Power Prima dan PT. Seko
Power Prada, beserta beberapa perusahaan tambang emas dan biji besi yang telah
mengantongi izin eksplorasi di Wilayah Seko.
(https://perkumpulanwallacea.wordpress.com/, Tanggal 20 Februari). Hal lain yang
patut dicatat, salah satu dimensi kemiskinan yang selalu diabaikan oleh Negara adalah
dimensi agraria. Relasi agraria yang timpang merupakan dimensi kemiskinan yang
berkenaan dengan persoalan tenurial security, yakni bagaimana penguasaan
masyarakat atas sumber-sumber agraria dan bagaimana jaminan keamanannya.

Pada arti pembangunan harus sesuai dengan substansi yang akan dituju secara terpada
berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 19960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
pokok Agraria, yaitu Negara diberi wewenang untuk mengatur dan menyelenggarakan
peruntukan, penguasaan dan pemeliharaan bumi air dan ruang angkasa. Secara lebih
lanjut dalam Pasal 14 UUPA dijelaskan bahwa untuk mencapai hal yang menjadi cita-
cita bangsa, maka Pemerintah membuat suatu Rencana Umum mengenai persediaan,
peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa untuk berbagai kepentingan
hidup rakyat dan negara. Rencana Umum yang dibuat Pemerintah meliputi seluruh
wilayah Indonesia dan Pemerintah Daerah mengatur persediaan, peruntukan dan
penggunaan tanah di wilayah sesuai dengan kondisi daerah masing-masing dengan
Peraturan Daerah. Oleh karena itu perwujudan penggunaan dan pemanfaatan tanah
agar optimal harus menyesuaikan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah, maka untuk
kesesuian kebutuhan akan tanah telah diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 16
Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah.

Negara Indonesia adalah negara yang mempunyai sumber daya alam yang melimpah,
sumber daya alam merupakan sesuatu yang berasal dari alam yang dapat digunakan
untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Sumber daya alam tergolong dalam
beberapa komponen biotik, seperti hewan, tumbuhan, dan mikroorganisme, tetapi juga
komponen abiotik, seperti minyak bumi, gas alam, berbagai jenis logam, air, dan tanah.
Pengaturan hidup tidak hanya mengatur hubungan antara manusia dan manusia, tetapi
juga mengatur antara manusia dan lingkungan hidupnya. Misalnya bagaimana cara atau
upaya dalam menjaga agar sumber daya alam yang tersedia tetap digunakan dan
dimanfaatkan secara baik dan bijak agar dapat terjaga kelestariannya dan seberapa
besar dapat dilakukan eksploitasi suatu bahan tambang sehingga tetap dapat
dikendalikan persediaanya.

Kajian Lingkungan Hidup strategies yang dibuat dan dilaksanakan secara


komprehensif dan rinci sebagaimana dimaksud mengenai lokasi rencana usaha
dan/atau kegiatannya berada pada kabupaten/kota yang memiliki rencana detail tata
ruang yang telah dilengkapi dengan kajian lingkungan hidup strategis yang dibuat dan
dilaksanakan secara komprehensif dan rinci sesuai dengan program Pemerintah
dan/atau Pemerintah Daerah yang telah memiliki kebijakan, rencana, dan/atau
program berupa rencana induk yang diselenggarakan dengan pendekatan holistik,
integratif, tematik, dan spasial.

Lingkungan hidup merupakan kesatuan ruang dengan semua benda, daya,


keadaan dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya yang memengaruhi
alam itu sendiri, kelangsungan peri kehidupan dan kesejahteraan manusia serta
makhluk hidup lain. Izin lingkungan adalah izin yang diberikan kepada setiap orang
yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal atau UKL-UPL dalam
rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai sayarat untuk
memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan. Konsep perizinan berusaha di bidang
lingkungan hayati yang diatur pada Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 perihal
proteksi serta Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) menggunakan pendekatan
berbasis biar (licence approach) yang akan diubah sebagai penerapan standar serta
berbasis resiko (risk-based approach/RBA) serta Undang-undang Cipta Kerja, hal ini
berarti bahwa izin akan dilakukan oleh pemerintah sentra berdasarkan perhitungan
nilai taraf bahaya dan nilai potensi terjadi bahaya terhadap aspek kesehatan,
keselamatan, lingkungan dan/atau pemanfaatan sumber daya.

Potensi terjadinya bahaya dikelompokkan menjadi tidak pernah terjadi, jarang


terjadi, pernah terjadi dan sering terjadi. Hal ini berpotensi mengabaikan resiko-resiko
yang belum atau tidak teridentifikasi sebelumnya. Sedangkan supervise terhadap
aktivitas badan perjuangan dilakukan dengan inensitas pelaksanaan berdasarkan
tingkat resiko kegiatan perjuangan yang diatur lebih lanjut pada peraturan pemerintah
(Akhmaddhian : 2016)

Izin lingkungan diberlakukan atas kegiatan yang dapat menimbulkan pencemaran


lingkungan maupun kerusakan lingkungan hidup. Sehingga izin lingkungan merupakan
bagian dari mata rantai perizinan usaha/kegiatan. Dimana izin lingkungan menjadi
syarat terbitnya izin usaha atau kegiatan. Sehingga dokumen AMDAL dan UKL-UPL yang
kemudian melahirkan izin lingkungan sebagai syarat diterbitkannya izin usaha atau
kegiatan merupakan rangkaian instrument agar supaya pelaku usaha atau kegiatannya
selalu pada rambu-rambu perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
sebagaimana yang tertuang dalam UUPPLH.

Seperti halnya pemeriksaan formulir KA-ANDAL serta penilaian ANDAL dan


RKL_RPL, kewenangan pemeriksaan formulir UKL-UPL (UKL-UPL standar spesifik) juga
mengikuti tingkatan kewenangan (Pusat, Provinsi, atau Kabupaten/Kota) untuk
Penerbitan Perizinan Berusaha bagi Pelaku Usaha berdasarkan PP Nomor 5 Tahun
2021.

Prinsip-prinsip ini menunjukkan bahwa mendapatkan lingkungan hidup yang baik


dan sehat adalah hak semua orang, dan semua orang mempunyai hak yang sama.
Dengan demikian maka, mengelola dan memanfaatkan, serta menjaga kelestarian
lingkungan dengan baik. Lingkungan hidup merupakan bagian dari urusan
pemerintahan konkuren yang termasuk kedalam urusan pemerintahan Wajib Non
Pelayanan Dasar seperti termuat pada pasal 12 bagian Urusan Pemerintahan Undang-
undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Lingkungan hidup menurut Tandjung (1995) terdiri atas 3 komponen yang antara
lain sebagai berikut.
(1) Komponen Abiotik merupakan lingkungan fisik terdiri dari berbagai macam unsur
antara lain, air, udara, lahan dan berbagai macam potensi energi yang ada didalam
lingkungan fisik.
(2) Komponen Biotik merupakan lingkungan hayati terdiri dari berbagai macam unsur
antara lain hewan, tumbuhan, dan bahan baku industry hayati lainnya.
(3) Komponen Culture merupakan lingkungan culture sosial, ekonomi, dan budaya yang
terdiri dari berbagai macam unsur yang antara lain meliputi unsur ekonomi, sosial
dan budaya. Interaksi yang terjadi dari komponen abiotik, biotik dan culture akan
mempengaruhi keberlangsungan lingkungan hidup.
Menurut Soemarwoto (1994) sifat lingkungan hidup dapat ditentukan oleh
berbagai macam faktor yang antara lain jenis dan jumlah dari setiap unsur lingkungan
hidup, interaksi yang terjadi dari unsur-unsur dalam lingkungan hidup, dan faktor
lainnya seperti suhu, cahaya dan kebisingan. Lingkungan atau suatu ekologi terdiri dari
hubungan antara suatu sistem sosial dengan ekosistem. Sistem sosial terdiri dari
berbagai macam komponen yang antara lain pengetahuan, teknologi, eksploitasi
sumberdaya, dan ekonomi. Komponen-komponen ekosistem meliputi air, tanah, lahan,
flora, fauna, dan kehidupan makhluk hidup lainnya. Hubungan timbal balik inilah yang
erat kaitannya antara suatu sistem sosial yang dikelola oleh manusia dengan berbagai
macam komponen ekosistem yang ada, sehingga hubungan timbal balik keduanya
antara subsistem sosial dan ekosistem berjalan teratur (Rambo, 1981).
Kerusakan lingkungan hidup terdiri dari berbagai macam faktor yang
mempengaruhi. Berikut beberapa faktor yang mempengaruhi kerusakan lingkungan
hidup.
(1) Faktor Alam
Faktor alam merupakan rusaknya lingkungan dikarenakan oleh alam yang diantara
lain oleh bencana alam dan cuaca yang tidak menentu. Bencana Alam yang ada
antara lain banjir, tanah longsor, tsunami dan gempa. Faktor alam tidak hanya dari
bencana, tenaga yang berasal dari alam juga dapat menimbulkan kerusakan
lingkungan terhadap suatu ekosistem. Salah satu contoh yang ada seperti
gelombang lau yang mengakibatkan adanya erosi pantai sehingga ekosistem pantai
menjadi rusak dan dapat mengakibatkan unsur-unsur darri komponen lingkungan
yaitu abiotic, biotik dan culture terganggu. Bencana-bencana ini merupakan
bencana yang berbahaya bagi keselamatan manusia dan lingkungan.
(2) Faktor Manusia
Manusia sebagai makhluk hidup yang berakal dan memiliki kemampuan tinggi
dibandingkan makhluk lainnya. Kehidupan menuntut akan adanya perkembangan
pola kehidupan yang tentunnya kebutuhan hidup akan sangat berkembang.
Berdasarkan hal tersebut maka manusia melakukan eksploitasi sumberdaya
berlebihan. Aktivitas yang dilakukan manusia salah satunya aktivitas industry
dalam praktek pengolahan dan pembuangan limbah, aktivitas pengembangan hutan
dalam paraktek kegiatan penebangan pohon yang tidak memerhatikan fungsi ata
pengolahan yang berlebihan sehingga muncul kerusakan lingkungan.

2.3.1. Pengembangan hasil hutan produksi dan pengaruhnya terhadap


kerusakan lingkungan

Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang diperlukan dalam


hubungannya dengan pemanfaatan hutan, misalnya silvikultur dengan cabang-cabang
ilmunya, perlindungan hutan juga berkembang menjadi suatu disiplin ilmu.
Perlindungan hutan merupakan ilmu yang mepelajari upaya melindungi hutan dari
berbagai penyebab kerusakan hutan yang dalam telah dan pengembangan ilmunya juga
merupakan cabang ilmu silvikultur (Hawley dan Stickel, 1959; Evans , 1982).
Pergeseran komposisi jenis hutan yang terjadi di banyak bagian dunia, menyebabkan
hutan alam semakin sedikit dan hutan tanaman makin banyak diusahakan, sehingga
perlindungan hutan harus makiin memusatkan pengembangan ilmunya pada bentuk
pengelolaan hutan yang intensif. Kesepakatan global tentang pengelolaan sumber daya
hutan yang mengharuskan persyaratan kelestarian sumber daya juga merupakan faktor
lain yang berperan dalam pengembangan arah ilmu perlindungan hutan. Dalam
pegelolaan hutan lestari, ubstansi strategi silvikultur mendapat penekanan yang lebih
besar dibanding dengan pengelolaan yang hanya berorientasi pada tujuan produksi
kayu secara komersial. Perkembangan pengelolaan hutan seperti yang dijelaskan di atas
mengarahkan pada suatu kecenderungan bahwa Tindakan perlindungan hutan tidak
dapat dianggap sebagai suatu penyelesaian masalah kerusakan sesaat, atau hanya
merupakan tindakan darurat.
Seringkali aktivitas penyebab kerusakan hutan memicu penyebab-penyebab
kerusakan yang lain juga berkembang secara bersamaan. Akhirnya seorang pengelola
hutan harus mengetahui penyebab primernya dan dapat menyusun rencana tindakan
perlindungan untuk menghindari atau menekan kerugian akibat kerusakan tersebut.
Dalam hubungannya dengan tindakan pengelolaan, pencegahan dalam konsep
perlindungan hutan didekati melalui (Evans, 1982):
(1) Pengambilan keputusan terhadap langkah atau tindakan untuk mencegah agar
penyebab kerusakan tidak berkembang dan tidak menimbulkan kerusakan yang
serius
(2) Pengembangan suatu bentuk pengelolaan hutan yang “hati-hati” dan berwawasan
masa depan
Luasnya Kawasan dan lebatnya vegetasi hutan merupakan faktor potensial dalam
mempertahankan tata air sebagai penyangga kehidupan manusia. Sebgaimana
diketahui sumberdaya hutan merupakan satu diantara modal utama bagi kegiatan
perekonomian suatu bangsa untuk menyejahterakan rakyatnya, oleh karena itu harus
dijaga dan dimanfaatkan sebaik-bainya, agar tetap menjadi hutan lestari. Menurut
Sumardi (Sumardi, dkk, 2007) Pengembangan hasil hutan merupakan pelaku bisnis
yang harus tetap dilandasi oleh prinsip-prinsip tujuan pembangunan berkelanjutan
yang meliputi tiga aspek yang tidak terpisahkan satu sama lain, yakni:
(1) Kelestarian ekologi pada hutan yang dikelola,
(2) Manfaat ekonomi dalam pengusahaan hutan
(3) Manfaat sosial dari hutan untuk masyarakat sekitarnya.
Manfaat Ekonomi dari hutan harus dapat membiayai kegiatan pelestarian ekologi
dan pengembangan sosial masyarakat. Tujuan pengembangan sosial dalam rangka
meberdayakan masyarakat sehingga masyarakat dapat berpartisipasi dalam
melestarikan hutan dan pentingnya kelestarian ekologi. Pengambilan hasil-hasil hutan
dalam jumlah yang tidak melebihi jumlah pertumbuhan merupakan syarat manajemen
hutan lestari. Adapaun syarat-syarat pengelolaan hasi hutan, dinataranya:
(1) Jumlah pemanen harus ditetapkan pada tingkat yang lestari. Hal ini merupakan hal
yang mendasar bagi SFM. Bila memungkinkan, jumlah pemanen harus ditetapkan
untuk masing-masing hasil utama berupa kayu dan hasil hutan bukan kayu.
Meskipun Demikian, penentuan jumah pemanen lestari untuk hutan-hutan alam
sangat komplek, karena jumlah tersebut kemungkinan besar akan berubah sejalan
dengan pertumbuhan hutan dan pemanen hutan, dan juga berubah sesuai dengan
perubahan pasar untuk berbagai spesies yang berbeda. Di hutan-hutan alam,
pemanenan pertama terdiri dari akumulasi ‘modal’ kayu yang terjadi dalam jangka
waktu panjang. Setelah pemanenan pertama terjadi perubahan besar dalam
komposisi spesies dan campuran kelas ukuran.
(2) Data aktual harus dikumpulkan untuk menentukan tingkat pemanenan lestari.
Dokumen-dokumen dan catatan harus disimpan untuk memantu memonitoring dan
menentukan kecenderungan-kecenderungan yang terjadi sejalan dengan waktu.
Informasi ini perlu dianalisa, dan harus tersedia atau dapat diakses agar dapat
bermanfaat. Data-data utama meliputi:
a. Data inventaris hutan, menyediakan informasi mengenai kuantitas
ketersediaan sumberdaya saat ini yang dapat dipanen;
b. Informasi mengenai pertumbuhan dan hasil, untuk menentukan seberapa cepat
sumberdaya akan kembali pulih setelah pemanenan;
c. Informasi mengenai produksi benih dan regenerasi dari studi ekologi dan
pengalaman ilmiah;
d. Informasi mengenai hasil hutan produksi jika sumberdaya ini akan dipanen
atau akan terpengaruh oleh operasi pemanenan kayu (Lahjie, 2005).
Pendapat lain menurut Agung dan Henrich (2004) mengatakan aspek-aspek
produksi yang perlu diperhatikan adalah:
(1) Kepastian Kawasan merupakan pencerminan kondisi di dalam unit manajemen
yang mana terdapat kejelasan aspek status legal dari Kawasan hutan sebagau areal
unit manajemen, dan prediksi ke depan keamanan Kawasan tersebut dari berbagai
konflik penggunaan lahan yang mungkin terjadi (akibat dari kompensasi
masyarakat adat atau pihak-pihak lain yang merasa dirugikan)
(2) Perencanaan dan pemanenan hasil hutan, merupakan pencerminan kondisi kinerja
unit manajemen dalam membuat perencanaan makro dan terinci sistem
pemanfaatan hasil hutan khususnya menyangkut pembuatan petak dan blok
penyiapan sarana dan prasarana sesuai dengan standar (jalan, TPN dan jembatan),
dan pembuatan perencanaan dengan terinci serta sistematis mengenai pengaturan
hasil (jatah tebangan). Perencanaan penebangan (peta, kontur, posisi pohon,
perencanaan jalan, proses penebangan dengan RIL, penebangan
terarah/penyaradan dengan winching, menghindari penebangan di areal lindung:
badan sungai, mata air, danau daerah curam, daerah kerangasan).
(3) Administrasi tata usaha kayu, merupakan pencerminan lacak balak kayu (chain of
custody): kondisi sistem aliran kayu di unit manajemen dari petak tebang sampai
tempat pelegoan (log pond), kinerja tersebut dapat terlihat dari ketersediaan peta
pohon, pelabelan kayu di tunggak dan bontos serta kebenaran administrasinya
(lacak balak).
(4) Organisasi dan kelembagaan merupakan cerminan kondisi dari unit manajemen
dalam mengelola hutan oleh sistem manajemen beserta pelakunya yang
profesional. Adanya keseimbangan kerja dalam organisasi antar bagian
perencanaan, bagian produksi, bagian pembinaan, bagian administrasi dan bagian
monitoring serta evaluasi.

Mengingat penanganan bidang lingkungan hidup dan sumber-sumber alam termasuk


dalam kompetensi beberapa departemen maka timbul masalah mengenai sejauh mana
peran kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam hal penetapan
kebijakan lingkungan, terutama yang menyangkut masalah penanggulangan
pencemaran lingkungan akibat hasil hutan produksi. Selanjutnya perlu dipikirkan
tentang pelaksanaan dan penegakan hukum terhadap peraturan perundang-undangan
lingkungan sektor hutan produksi melalui peradilan serta seberapa jauh peradilan
mampu mengatasi perkara lingkungan.

Anda mungkin juga menyukai