Md, SH
Candra Jaya
Mahasiswa Magister Hukum Universitas Bangka Belitung
Pegawai pada LAPAS Narkotika Kelas IIA Pangkalpinang
CORECTIVE ACTION
DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM
Negara Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam.
Dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah menjadikan modal utama bagi
Keberlangsungan dan keberlanjutan pembangunan kehidupan berbangsa dan
bernegara. Pemanfaatan sumber daya alam yang dilakukan secara optimal mampu
membawa kesejahteraan dan kemakmuran untuk seluruh rakyat Indonesia. Dalam
konstitusi kita di Pasal 33 Ayat 3, disebutkan bahwa bumi, Air dan Kekayaan Alam
yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dikuasai oleh negara artinya bahwa rakyat
secara kolektif memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan
(beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad),
pengelolaan (beheersdaad) dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Sejak Amandemen UUD 1945 yang keempat tahun 2002, negara hadir dengan
membuat regulasi/ peraturan perundang undangan dalam hal Pengelolaan Sumber
Daya Alam Berkelanjutan. Ditegaskan dalam Perpres No 59/2017 tentang
Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (sustainable
development goals) bahwa pembangunan berkelanjutan bertujuan untuk
peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat secara berkesinambungan,
menjaga keberlanjutan kehidupan sosial bermasyarakat, dan menjaga kualitas
lingkungan hidup. Artinya pembangunan tidak lagi semata difokuskan pada
pertumbuhan ekonomi dan pemerataan sosial, tetapi juga bersamaan
memperhatikan kelestarian lingkungan hidup. Tentunya ini menjadi Tantangan buat
pemerintah, karena pengelolaan dan pemanfaatan Sumber Daya alam tidak hanya
mengeksplorasi kekayaan yang ada di bumi Indonesia semata, namun juga
menjaga, melindungi dan melestarikan kelestarian lingkungan hidup agar fungsi
lingkungan tetap terjamin/terjaga (kualitas lingkungan tidak rusak atau turun) agar
kekayaan sumber daya alam di Indonesia tidak hanya dinikmati oleh generasi
sekarang, namun juga oleh generasi yang akan datang. Ini sejalan dalam Undang
Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup bahwa Pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang
memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi
pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan,
kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa
depan.
Namun apa yang terjadi saat ini, kurangnya pemahaman mengenai
sustainable development goals membuat banyak pengelolaan Sumber Daya
Alam dilakukan dengan kurang bijaksana, masih banyak masyarakat yang
tidak arif dalam memanfaatkan Sumber Daya Alam tanpa menghiraukan
keberlanjutan Sumber Daya Alam. Inilah Tantangan yang dihadapi pemerintah
saat ini, diantaranya :
1. Konflik Sosaial yang terjadi dalam Pengelolan Sumber Daya Alam
Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam pengelolaan Sumber Daya alam akan
banyak terjadi gesekan/ konflik diantara pihak pihak yang berkepentingan
terhadap alam. Kita harus mulai mengakui bahwa konflik merupakan suatu
persoalan penting yang harus segera ditanggulangi dalam pengelolaan
sumberdaya alam, konflik baik antara masyarakat dengan investor, investor
dengan pemerintah ataupun masyarakat dengan pemerintah. Ini penyebab yang
menjadikan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan tidak berjalan
optimal dan menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan.
2. Defortasi Hutan akibat pengelolan Sumber Daya alam yang tidak Optimal.
Dijelaskan didalam Peraturan Meneteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Nomor P.70/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2017 disebutkan bahwa Defortasi
adalah perubahan secara permanen dari areal berhutan menjadi tidak berhutan.
Perubahan hutan ini diakibatkan oleh aktifitas manusia dalam usahanya
mengelola dan memanfaatkan Sumber daya alam. Defortasi hutan diakibatkan
oleh Pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit misalnya, terjadinya
kebakaran hutan, illegal loging dan penambangan rakyat tanpa izin.
Saat ini yang menjadi perhatian serius pemerintah adalah mengenai
pembukaan lahan sawit dan pertambangan tanpa izin (PETI). Kebakaran hutan
terjadi akibat dari pembukaan lahan baru untuk perkebunan Kelapa Sawit. Perluasan
lahan perkebunan kelapa sawit pada akhirnya akan mengkonversi kawasan hutan,
khususnya pada lahan gambut. Sehingga akan menyebabkan degradasi lahan
(kerusakan lahan) dimana lahan mengalami penurunan produktivitas. perkebunan
kelapa sawit mempunyai potensi dampak negatif terhadap ekositem dan pola
pemanfaatan lahan dan ruang. Kemudian Permasalahan penambangan tanpa izin
atau PETI yang sampai saat ini masih menjadi masalah buat Pemerintah, diperlukan
upaya bersama dan dukungan seluruh pihak untuk mendorong penanganan isu
PETI, juga dampak yang ditimbulkan dari aktifitas penambangan tanpa izin tersebut.
Penambangan tanpa izin dapat dilakukan oleh masyarakat atau perusahaan tanpa
memiliki izin, tidak menggunakan prinsip pertambangan yang baik, serta memiliki
dampak negatif bagi lingkungan hidup, ekonomi, dan sosial. Dampak negatif disini
maksudnya adalah memicu kerusakan lingkungan hidup, merusak hutan apabila
berada di dalam kawasan hutan, dapat menimbulkan bencana lingkungan,
mengganggu produktivitas lahan pertanian dan perkebunan, serta dapat
menimbulkan kekeruhan air sungai dan pencemaran air. Eksplorasi dalam kegiatan
penambangan dan Pengeboran Sumber Daya Alam menyebabkan adanya bekas
pertambangan di kawasan hutan yang kondisi tanahnya sudah berlubang-lubang,
meninggalkan void dan genangan air, sehingga lahan tersebut tidak dapat lagi
dimanfaatkan dengan baik juga potensi pencemaran air sungai, jika dalam
penambangan menggunakan bahan kimia dalam prosess pengolahan tambang
mineral. Kita baru saja mendengar baru baru ini diberitakan bahwa 3100 orang
ditetapkan jadi tersangka Tambang Ilegal, dan menurut data Kementerian Energi
dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Pertambangan Tanpa Izin (PETI) alias tambang
ilegal ini berada di 2.741 titik lokasi (sumber cnbcindonesia.com tanggal 2 Desember
2022). Apa yang sudah terjadi saat ini di Indonesia adalah pengelolaan dan
pemanfaatan Sumber Daya Alam yang tidak optimal dan tidak sesuai standart yang
akan berdampak pada menurunnya kualitas lingkungan hidup. Harus ada tindakan
dari pemerintah agar hal ini tidak terjadi, demi menjamin keutuhan lingkungan hidup
serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini
dan generasi masa depan. Corrective Action adalah tindakan untuk menghilangkan
penyebab dari suatu masalah. Dan Corrective Action ini harus bisa mencegah
recurrence atau kejadian yang sama terulang kembali. Corective actionnya adalah
kontrol ijin, atasi konflik masyarakat, perbaikan sistem rehabilitasi lahan (reklamasi),
melakukan pengaturan-pengaturan optimal dalam dinamika perkembangan
persoalan kehutanan dan lingkungan, Perbaikan tata kelola Sumber Daya Alam dan
mereformasi struktural dengan membentuk Badan Standarisasi Instrumen
Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Dengan corective action akan ada perbaikan
dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan agar keberlanjutannya dapat
terjaga. Dengan Corective action Harapannya, pengelolaan Sumber Daya Alam
lestari dapat tercapai, dan berkontribusi pada terwujudnya tujuan pembangunan
berkelanjutan. Tentunya kekayaan Sumber Daya Alam Indonesia harus menjadi
berkah bagi kemakmuran rakyat Indonesia, jangan sampai dari kebodohan dalam
mengelola Sumber Daya Alam tanpa standar seperti yang terjadi di Negara Nauru,
negara kaya raya sebagai penghasil fosfat bermutu tinggi yang jatuh miskin dan
mengalami kerusakan ekosistem luar biasa. Pertambangan fosfat meninggalkan
dampak besar terhadap kerusakan lingkungan di negara Nauru. Eksploitasi sumber
daya alam Nauru tanpa didahului dengan analisis dampak lingkungan serta
diversifikasi ekonomi membawa negara itu pada keterpurukan, tentunya apa yang
terjadi di Negara Nauru tidak boleh terjadi di negara kita tercinta.
. Sekitar 80 persen pulau mendapat label tanah kosong yang tak bisa dimanfaatkan
untuk pertanian
Artikel ini telah tayang di www.inews.id dengan judul " Kisah Nauru, Salah Satu
Negara Terkaya di Dunia yang Kini Jatuh Miskin ", Klik untuk baca:
https://www.inews.id/news/internasional/kisah-nauru-salah-satu-negara-terkaya-di-
dunia-yang-kini-jatuh-miskin.
Download aplikasi Inews.id untuk akses berita lebih mudah dan cepat:
https://www.inews.id/apps
Eksploitasi sumber daya alam Nauru tanpa didahului dengan analisis dampak
lingkungan serta diversifikasi ekonomi membawa negara itu pada keterpurukan atau
kutukan.
Artikel ini telah tayang di www.inews.id dengan judul " Kisah Nauru, Salah Satu
Negara Terkaya di Dunia yang Kini Jatuh Miskin ", Klik untuk baca:
https://www.inews.id/news/internasional/kisah-nauru-salah-satu-negara-terkaya-di-
dunia-yang-kini-jatuh-miskin/2.
Download aplikasi Inews.id untuk akses berita lebih mudah dan cepat:
https://www.inews.id/apps
Pasal 33 Ayat 3, “Bumi, Air dan Kekayaan Alam yang terkandung didalamnya
dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat”. DIkuaai oleh negara artinya
Sumber daya alam dan lingkungan hidup memiliki peran yang sangat strategis
dalam mengamankan kelangsungan pembangunan dan keberlanjutan kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Sumber daya alam dan lingkungan hidup merupakan modal utama pembangunan
untuk meningkatkan daya saing ekonomi sekaligus menjaga kualitas lingkungan
hidup.
tuk menjamin pengelolaan sumber daya alam adalah pada pemanfaatan sumber
daya alam yang dilakukan generasi saat ini tidak boleh mengorbankan kemampuan
alam untuk dapat mencukupi kebutuhan generasi yang akan datang.
corective action pada persoalan pemanfaatan sumber daya alam yang belum ramah
lingkungan (defortasi hutan dan pertambangan) dan memberikan kesejahteraan
kepada masyarakat sekitar, maka corective actionnya adalah kontrol ijin, atasi
konflik masyarakat, perbaikan sistem rehabilitasi lahan (reklamasi). dengan corective
action ini akan ada perbaikan dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan
agar keberlanjutannya dapat terjaga. Defortasi Hutan Tutupan dengan penanaman
Hutan kembali.
Sumber daya alam yang renewable dikelola seoptimal mungkin secara terencana
dengan baik sehingga dari waktu ke waktu semakin meningkat kualitas maupun
kuantitasnya. Sedangkan SDA yang non renewable tidak dieksploitasi habis-habisan
hanya demi kepentingan generasi sekarang.
Baca artikel detikjabar, "Pengertian Represif Adalah: Berikut Jenis Tindakan dan
Contohnya" selengkapnya https://www.detik.com/jabar/berita/d-6213626/pengertian-
represif-adalah-berikut-jenis-tindakan-dan-contohnya.
https://koran.tempo.co/read/berita-utama/461737/deforestasi-akibat-tambang-di-
kalimantan-selatan
Download aplikasi Kompas.com untuk akses berita lebih mudah dan cepat:
Android: https://bit.ly/3g85pkA
iOS: https://apple.co/3hXWJ0L
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Deforestasi, Indonesia Salah
Satu Negara Pembabat Hutan Terbanyak", Klik untuk baca:
https://www.kompas.com/sains/read/2021/11/04/130000223/deforestasi-indonesia-
salah-satu-negara-pembabat-hutan-terbanyak?page=all.
Download aplikasi Kompas.com untuk akses berita lebih mudah dan cepat:
Android: https://bit.ly/3g85pkA
iOS: https://apple.co/3hXWJ0L
2,
Pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan selalu menimbulkan masalah terutama konflik
baik antara masyarakat dengan investor, investor dengan pemerintah ataupun masyarakat
dengan pemerintah. Hal ini menjadikan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan tidak
berjalan optimal, menyebabkan kerusakan lingkungan dan menggerus rasa persatuan dan
kebangsaan masyarakat. Kabupaten Gunungkidul merupakan salah satu kabupaten yang
memiliki potensi sumber daya alam dan lingkungan. Untuk itu perlu dilakukan pemetaan konflik
pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan agar nantinya pengelolaan dapat optimal dan
tidak menimbulkan potensi konflik. Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu (1) mengetahui
penyebab dan aktor-aktor pelaku konflik di Gunungkidul; (2) mengetahui dampak konflik; (3)
menyusun peta konflik pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan di Kabupaten
Gunungkidul; dan (4) memberikan masukan atau rekomendasi kepada pembuat kebijakan untuk
menyelesaikan konflik. Gua Maria Giri Wening, penambangan batugamping di Bedoyo dan
penataan pantai Watu Kodok di Kemadang menjadi sasaran kajian konflik yang hingga saat ini
konflik masih berlanjut. Melalui metode penelitian kualitatif dengan in dept interview untuk
mengetahui inti penyebab konflik, aktor, dampak dan upaya penyelesaian konflik. Teori
penyebab konflik sumberdaya dan lingkungan sangat banyak dan perlu pembuktian bahwa
benar konflik tersebut sesuai dengan teori yang ada serta bagaimana upaya penyelesainnya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga konflik pengelolaan sumber daya alam dan
lingkungan di Kabupaten Gunungkidul disebabkan tidak adanya komunikasi terbuka dan jujur
sejak awal sehingga terjadi konflik dalam melaksanakan keinginan atau cita-cita. Dampak dari
konflik adalah terjadinya aksi unjuk rasa warga, menurunnya rasa toleransi dan kerukunan,
ketidakpercayaan kepada pemerintah, politisasi konflik dan merusak lingkungan. Rekomendasi
penyelesaian konflik yaitu (1) Pendirian tempat ibadah mengacu SKB 3 Menteri dan kewajiban
sosialisasi kepada warga sekitar sebelum didirikan tempat ibadah serta mengacu rasio jumlah
jemaah; (2) Pemerintah Gunungkidul membuat peta lokasi penambangan batugamping secara
detail dengan daerah yang diperbolehkan dan yang dilarang ditambang dengan pelibatan
kearifan lokal masyarakat dalam penentuan lokasi tambang; (3) Penataan tanah Sultan Ground
dan Paku Alam Ground berdasarkan sejarah dan mengendepankan kearifan lokal masyarakat
yang sudah menggunakan SG dan PAG selama bertahun-tahun dan permbuatan perundangan
investasi yang melibatkan masyarakat lokal.
Konflik merupakan hal yang tidak terhindarkan dalam pengelolaan sumberdaya alam
di Indonesia. Alasannya sederhana, karena banyak pihak yang berkepentingan
terhadap alam, sementara masing-masing pihak berbeda kebutuhan dan tujuannya.
Kebutuhan akan sumberdaya alam mengalami peningkatan bersamaan dengan
berbagai perkembangan yang terjadi seperti peningkatan standar hidup, turunnya
angka kematian, dan perkembangan infrastuktur yang pesat hingga menimbulkan
kesenjangan sosial dalam masyarakat, antara yang kaya dan miskin, kota dan desa,
kawasan bagian Barat dan Timur, dan juga antara laki-laki dan perempuan. Pada
masa lalu, konflik sumberdaya alam, seringkali ditutup-tutupi karena berbagai
alasan; dan apabila terjadi konflik, pihak yang kuat selalu mengalahkan yang lemah,
dan pihak yang lemah tidak pernah berani melawan yang kuat. Namun, era
reformasi telah merubah keadaan menjadi terbalik. Pihak yang lemah kini sudah
berani melawan yang kuat dengan berbagai cara, mulai dari tuntutan biasa, protes,
demonstrasi, sampai benturan fisik yang keras. Oleh karena itu, kita harus mulai
mengakui bahwa konflik merupakan suatu persoalan penting yang harus segera
ditanggulangi dalam pengelolaan sumberdaya alam. Bagaimana PT. Hevindo dapat
bertahan lama di wilayah Nanggung, padahal terjadi konflik dengan masyarakat dan
elemen pemerintahan desa, dan bagaimana hubungan antara pihak-pihak yang
berkonflik dan lembaga-lembaga yang terlibat konflik merupakan pertanyaan utama
yang secara spesifik diungkap dengan mempertanyakan: bagaimana karakteristik
pihak-pihak yang terlibat konflik pengelolaan sumberdaya alam, mengapa konflik
pengelolaan sumberdaya alam terjadi di Desa Curugbitung dan bertahan lama,
bagaimana karakteristik konflik yang terjadi, serta bagaimana upaya-upaya
pengelolaan dan hasil akhir konflik yang telah dilakukan oleh pihak-pihak yang
terlibat konflik.
Sumber: https://mediaindonesia.com/opini/126585/pengelolaan-sda-berkelanjutanKita
menyadari bahwa selama ini pengelolaan sumber daya alam yang dilakukan telah
banyak merusak ekosistem lingkungan serta meurunnya kualitas lingkungan hidup,
Defortasi Hutan yang hal utama yang banyak terjadi di indonesia akibat dari
pengelolaan Sumber Daya Alam yang tidak baik.
Disebut tantangan besar karena sampai saat ini dan beberapa dekade ke depan,
pertumbuhan ekonomi RI masih ditopang sektor-sektor sumber daya alam (SDA) berbasis
lahan yang ekstensif seperti sektor pertambangan dan perkebunan
Sumber: https://mediaindonesia.com/opini/126585/pengelolaan-sda-berkelanjutan
Tidak bisa dimungkiri, selama ini pengelolaan SDA di negara kita berdampak pada
menurunnya kualitas lingkungan hidup. Sebuah kajian di jurnal Nature Scientific Reports
2016 menunjukkan bahwa perkebunan monokultur berkontribusi hampir 30% atas hilangnya
hutan di Kalimantan. Kajian lain di jurnal Environmental Research Letters 2016 menemukan
bahwa meningkatnya frekuensi banjir di Kalimantan terkait dengan erat keberadaan
tambang dan perkebunan monokultur yang berada di daerah aliran sungai. Di lain pihak,
meniadakan kegiatan ekonomi berbasis SDA sama sekali juga bukan pilihan yang bijak.
Sebagai negara berkembang, pembangunan ekonomi di Indonesia tidak bisa terlepas dari
sektor-sektor itu. Usaha-usaha ekonomi berbasis SDA masih perlu dilakukan, tetapi dengan
memperhatikan beberapa hal untuk meminimalkan kerusakan lingkungan hidup.
Pengelolaan ramah lingkungan Untuk mencapai pengelolaan SDA berkelanjutan, Joseph
Kiesecker menawarkan konsep Development by Design dengan menerapkan hierarki
mitigasi kerusakan lingkungan yang terdiri dari avoid (hindari), minimize (meminimalkan),
dan offset (ganti rugi). Pertama, dalam merencanakan alokasi kawasan untuk usaha eko-
nomi berbasis SDA, hindari kawasan dengan manfaat lingkungan yang tinggi seperti daerah
aliran sungai, lereng curam, kawasan bernilai keanekaragaman hayati, hutan lebat, dan
kawasan gambut tebal. Alokasi pada kawasan yang mempunyai manfaat sosial juga
dilakukan dengan hati-hati untuk menghindari konflik lahan di kemudian hari. Penggunaan
data dan metode ilmiah dengan menggandeng akademisi sangat diperlukan pada tahap
perencanaan itu. Hal ini penting karena selama ini penentuan kawasan untuk kegiatan
ekonomi berbasis SDA seperti pertambangan dan perkebunan dilakukan serampangan dan
asal tunjuk bergantung kepentingan politik dan ekonomi sesaat. Pekerjaan rumahnya adalah
mengidentifikasi kawasan-kawasan yang boleh digunakan untuk kegiatan ekonomi SDA
dengan dampak lingkungan dan sosial yang minimal. Misalnya, perluasan perkebunan sawit
di masa datang diarahkan pada areal terbuka dengan tutupan hutan yang terbatas. Upaya
berikutnya ialah meminimalkan dampak melalui penerapan standar lingkungan yang tinggi.
Upaya ini memerlukan peran pemerintah untuk mengawasi tata kelola SDA oleh para pelaku
usaha. Selain itu, diperlukan instrumen pengawasan standar lingkungan oleh masyarakat
melalui sertifikasi. Kewajiban sertifikasi akan memaksa pelaku usaha meminimalkan
dampak negatif terhadap lingkungan dalam mengelola usahanya. Misalnya, dengan
pelarangan pembakaran lahan atau menghilangkan habitat penting kehidupan liar.
Kegagalan dalam memenuhi standar lingkungan berisiko pada menurunnya daya saing
produk. Hierarki terakhir adalah pelaku usaha perlu mengganti kerusakan lingkungan yang
ditimbulkan atau sering disebut ganti rugi lingkungan. Ganti rugi lingkungan bertujuan
memberikan kompensasi atas manfaat lingkungan yang hilang akibat suatu usaha di suatu
lokasi dengan menggantinya di lokasi lain. Ganti rugi lingkungan dapat menggunakan
mekanisme perlindungan dan rehabilitasi. Kedua mekanisme itu diarahkan pada kawasan
yang mempunyai manfaat ekologis tinggi, misalnya dengan cara konservasi hutan lindung,
rehabilitasi daerah aliran sungai, atau restorasi lahan gambut. Mekanisme ini bisa
melibatkan masyarakat setempat agar mendatangkan manfaat sosial dengan
dikoordinasikan dengan kebijakan lain seperti perhutanan sosial. Ketiga upaya itu diperlukan
dalam pengelolaan SDA untuk membantu tercapainya tujuan pembangunan berkelanjutan.
Tentu saja, sepanjang tata kelola birokrasi dan dunia usaha masih bernuansa kepentingan
politik dan ekonomi sesaat, tujuan itu akan sulit diwujudkan.
Sumber: https://mediaindonesia.com/opini/126585/pengelolaan-sda-berkelanjutan
Sumber: https://mediaindonesia.com/opini/126585/pengelolaan-sda-berkelanjutan
negara serius membuat aturan mengenai pengelolaan dan pemanfaatn sumber
daya alam yang baik, artinya bahwa Pemanfaatan sumber daya alam berdasarkan
pada prinsip ekoefisiensi, artinya tidak merusak ekosistem, pengambilan secara
efisien dalam memikirkan kelanjutan Sumber daya alam tidak hanya untuk generasi
sekarang namun juga dapat dirasakan untuk generasi yang akan datang. Di dalam
Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup bahwa Pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan
terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam
strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta
keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan
generasi masa depan/ generasi yang akan datang, dapat dirasakan oleh anak cucu
kita dari generasi ke generasi.
Jakarta - Pertambangan Tanpa Izin (PETI) alias tambang ilegal terus menjadi
perhatian Pemerintah. Diperlukan upaya bersama dan dukungan seluruh pihak
untuk mendorong penanganan isu PETI beserta dampak yang ditimbulkan.
Terdapat lebih dari 2.700 lokasi PETI yang tersebar di Indonesia. Dari jumlah
tersebut, lokasi PETI batu bara sekitar 96 lokasi dan PETI Mineral sekitar 2.645
lokasi berdasarkan data tahun 2021 (triwulan-3). Salah satu lokasi PETI yang
terbanyak yaitu di Provinsi Sumatera Selatan.
PETI adalah kegiatan memproduksi mineral atau batu bara yang dilakukan oleh
masyarakat atau perusahaan tanpa memiliki izin, tidak menggunakan prinsip
pertambangan yang baik, serta memiliki dampak negatif bagi lingkungan hidup,
ekonomi, dan sosial.
"PETI adalah kegiatan tanpa izin, dan memicu kerusakan lingkungan. Kegiatan ini
juga memicu terjadinya konflik horisontal di dalam masyarakat," kata Direktur Teknik
dan Lingkungan Mineral dan Batubara, Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral (ESDM) Sunindyo Suryo Herdadi di situs resmi Kementerian ESDM, Selasa
(12/7/2022).
Baca juga:
"Upaya yang dilakukan antara lain dengan inventarisasi lokasi PETI, penataan
wilayah pertambangan dan dukungan regulasi guna mendukung pertambangan
berbasis rakyat, pendataan dan pemantauan oleh Inspektur Tambang, usulan
penetapan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) sesuai usulan Pemerintah
Daerah, hDari sisi regulasi, PETI melanggar Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2021
tentang Perubahan atas Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara. Pada pasal 158 UU tersebut, disebutkan
bahwa orang yang melakukan penambangan tanpa izin dipidana penjara paling
lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp 100 miliar.
Termasuk juga setiap orang yang memiliki IUP pada tahap eksplorasi, tetapi
melakukan kegiatan operasi produksi, dipidana dengan pidana penjara diatur dalam
pDi pasal 161, juga diatur bahwa setiap orang yang menampung, memanfaatkan,
melakukan pengolahan dan/atau pemurnian, pengembangan dan/atau pemanfaatan
pengangkutan, penjualan mineral dan/atau batubara yang tidak berasal dari
pemegang IUP, IUPK, IPR, SIPB atau izin lainnya akan dipidana dengan pidana
penjara.
Dampak Negatif PETI
Perhatian khusus Pemerintah terhadap praktik tambang ilegal ini tidak lain
disebabkan karena banyaknya dampak negatif dari pengoperasian PETI, di
antaranya berkaitan dengan kehidupan sosial, ekonomi, dan lingkungan.
Dampak sosial kegiatan PETI antara lain menghambat pembangunan daerah karena
tidak sesuai RTRW, dapat memicu terjadinya konflik sosial di masyarakat,
menimbulkan kondisi rawan dan gangguan keamanan dalam masyarakat,
menimbulkan kerusakan fasilitas umum, berpotensi menimbulkan penyakit
masyarakat, dan gangguan kesehatan akibat paparan bahan kimia.
Dari sisi lingkungan, PETI akan menimbulkan kerusakan lingkungan hidup, merusak
hutan apabila berada di dalam kawasan hutan, dapat menimbulkan bencana
lingkungan, mengganggu produktivitas lahan pertanian dan perkebunan, serta dapat
menimbulkan kekeruhan air sungai dan pencemaran air.
Baca juga:
Mantan Petinggi Intelijen Nilai Izin Tambang Emas di Sangihe Tidak Sah
"Pada umumnya lahan bekas PETI dengan metode tambang terbuka yang sudah
tidak beroperasi meninggalkan void dan genangan air sehingga lahan tersebut tidak
dapat lagi dimanfaatkan dengan baik. Seluruh kegiatan PETI tidak memiliki fasilitas
pengolahan air asam tambang, sehingga genangan-genangan air serta air yang
mengalir di sekitar PETI bersifat asam. Ini berpotensi mencemari air sungai. Bahaya
lain yang ditimbulkan PETI adalah batu bara yang terekspos langsung ke
permukaan berpotensi menyebabkan swabakar, sehingga dalam skala besar
berpotensi menyebabkan kebakaran hutan," ujar Sunindyo.
https://finance.detik.com/energi/d-6174697/waduh-masih-ada-2700-tambang-ilegal-
di-ri-terbanyak-di-sumsel/2
Arief menegaskan, terhadap Pasal 33 Ayat (2) dan Ayat (3) UUD 1945, melalui
putusan-putusannya, Mahkamah Konstitusi telah membuat tafsir atas frasa “dikuasai
oleh negara”. Frasa “dikuasai negara” pada intinya dimaknai dalam arti luas berasal
dari kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan bumi, air, dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, termasuk pula di dalamnya
pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan
dimaksud. Lebh lanjut, rakyat secara kolektif itu dikontruksikan oleh UUD 1945
memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan
tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad),
pengelolaan (beheersdaad) dan pengawasan (toezichthoudendaad) untuk tujuan
sebesar besar kemakmuran rakyat.
Berkaca pada Negara Nauru, negara yang kaya akan Sumber daya alam Tambang,
berupa pertambangan guano atau bahan alami penghasil fospat yang bernilai
ekonomi tinggi menjadikan negara tersebut menjadi negara terkaya di dunia dengan
pendapatan perkapita tertinggi didunia jauh diatas pendapatan perkapita Amerika
Serikat. Namun Tanpa disadari cadangan fosfat di negara mereka mulai berkurang,
begitu juga pengelolan pertambangan tidak sesuai standart yang mengakbatkan
lahan pertanian/ perkebunan rusak karena pertambangan, bahkan lautnya pun ikut
tercemar. Nauru yang negara kaya raya kini jatuh miskin dan mengalami kerusakan
ekosistem luar biasa, tanah-tanah di Nauru sudah tidak bisa lagi dijadikan sebagai
lahan pertanian atau perkebunan akibat telah rusak karena pertambangan, bahkan
lautnya pun ikut tercemar akibat limbah tambang. Hal seperti ini jangan terjadi pada
negara Kita Indonesia.
Di dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup bahwa Pembangunan berkelanjutan adalah upaya
sadardan terencana yang memadukan aspek lingkunganhidup, sosial, dan ekonomi
ke dalam strategipembangunan untuk menjamin keutuhanlingkungan hidup serta
keselamatan, kemampuan,kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan
generasi masa depan.
Dan yang lebih menyedihkan tanah-tanah di Nauru sudah tidak bisa lagi dijadikan
sebagai lahan pertanian atau perkebunan akibat telah rusak karena pertambangan,
bahkan lautnya pun ikut tercemar akibat limbah tambang.
"Pembangunan besar-besaran era Presiden Jokowi tidak boleh berhenti atas nama
emisi karbon atau atas nama deforestasi," tulis MenLHK dikutip detikEdu pada
Kamis (4/11/2021).
Baca juga:
Astronaut Ungkap Rasa Prihatin Lihat Kondisi Bumi dari Antariksa, Ada Apa?
Berikut penjelasan lebih lanjut soal arti deforestasi, penyebab, dan dampaknya
A. Penyebab Deforestasi
Melansir dari laman Unpad, penyebab terjadinya deforestasi lahan adalah terjadi
karena pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit, terjadinya kebakaran
hutan, dan illegal loging atau produksi kayu yang berasal dari konsesi Hak
Pengusaha Hutan (HPH).
B. Dampak Deforestasi
Deforestasi memiliki dampak yang sangat buruk bagi tanah. Jika hutan hilang akan
mengakibatkan air tidak dapat meresap ke tanah. Sehingga air hujan yang turun
mengalir ke permukaan bumi akan menyebabkan erosi.
Efek samping dari terjadinya erosi sendiri adalah kehilangan kesuburan tanah akibat
pencucian tanah oleh air hujan yang terus menerus, banjir akibat tanah tidak dapat
meresap air, hingga tanah longsor.
Baca juga:
Gegara Kelamaan Kuliah Online, Mahasiswa Ini Kaget Kampusnya Seperti Hutan
C. Deforestasi di Indonesia
Menurut Laporan Deforestation Fronts yang dikutip dari WWF, deforestasi masih
terjadi di Indonesia namun dengan laju yang menurun di Sumatera dan Kalimantan.
Laporan ini merujuk pada data Laporan Deforestasi Indonesia tahun 2016 dan 2019
dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI dan beberapa sumber
lainnya.
5. Membuat kebijakan untuk memastikan semua komoditas dan produk hutan yang
diimpor bebas dari deforestasi.
Itulah penjelasan arti deforestasi, penyebab, dan dampaknya. Jadi apa kalian sudah
memahaminya detikers?
Baca artikel detikedu, "Apa Arti Deforestasi yang Disebut Menteri LHK? Berikut
Penjelasannya" selengkapnya https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5796738/apa-
arti-deforestasi-yang-disebut-menteri-lhk-berikut-penjelasannya.
Didalam Pasal 33 Ayat 3, “Bumi, Air dan Kekayaan Alam yang terkandung
didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat”.
Dalam bahasa Indonesia, Corrective Action adalah tindakan untuk menghilangkan
penyebab dari suatu masalah. Dan Corrective Action ini harus bisa mencegah
recurrence atau kejadian yang sama terulang kembali.
Kembali pada pembahasan Corrective Action, jadi untuk bisa membuat Corrective
Action yang bagus maka kita harus menemukan Root Cause yang sebenarnya.
Tidak mungkin kita bisa menghilangkan penyebab dari suatu masalah kalau kita
belum menemukan apa masalahnya. Untuk menemukan Root Cause ini bisa
menggunakan beberapa tools seperti fishbone chart, 5 Why, etc. Sedangkan
Correction definisinya adalah action untuk menghilangkan masalah, hanya
menghilangkan masalah untuk sementara waktu dan memungkinkan masalah yang
sama terjadi kembali.
Sumber daya alam dan lingkungan hidup memiliki peran yang sangat strategis
dalam mengamankan kelangsungan pembangunan dan keberlanjutan kehidupan
berbangsa dan bernegara. Sumber daya alam dan lingkungan hidup menjadi tulang
punggung sebagai penyedia pangan, energi, air, dan penyangga sistem kehidupan.
Kebijakkan dan pencapaian bidang Sumber daya alam dan lingkungan hidup
merupakan modal utama pembangunan untuk meningkatkan daya saing ekonomi
sekaligus menjaga kualitas lingkungan hidup.
Partisipasi publik dalam pengelolaan sumber kekayaan alam sangat penting,
sehingga pemerintah sebagai operator penyelenggara negara harus mau
memfasilitasi partisipasi publik. Dari partisipasi publik yang baik, maka pengelolaan
sumber daya alam yang berkelanjutan akan semakin mudah diwujudkan.
Partisipasi publik dalam masalah pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan
harus lebih luas, pemerintah harus lebih banyak mendengar masyarakat yang bisa
berasal dari berbagai sumber seperti dari LSM, perwakilan akademisi, dan aktivis,
Pemerintahan itu harus terbuka, sehingga di dalam operasionalnya dapat diketahui
oleh para stakeholdernya.
Indonesia mempunyai wilayah yang begitu besar oleh karena itu sumber daya alam
yang terkandung di wilayah Indonesia harus dikelola dengan usaha yang lebih keras
oleh seluruh komponen negara.
untuk menjamin pengelolaan sumber daya alam adalah pada pemanfaatan sumber
daya alam yang dilakukan generasi saat ini tidak boleh mengorbankan kemampuan
alam untuk dapat mencukupi kebutuhan generasi yang akan datang.
Salah satu contoh corective action adalah pada persoalan pemanfaatan sumber
daya alam yang belum ramah lingkungan (defortasi hutan dan pertambangan)
dan memberikan kesejahteraan kepada masyarakat sekitar, maka corective
actionnya adalah kontrol ijin, atasi konflik masyarakat, perbaikan sistem rehabilitasi
lahan (reklamasi). Harapannya dengan corective action ini akan ada perbaikan
dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan agar keberlanjutannya dapat
terjaga. Defortasi Hutan Tutupan dengan penanaman Hutan kembali.
Dalam memnafaatkan sumber daya alam, manusia perlu berdasar pada prinsip
ekoefisiensi, artinya tidak merusak ekosistem, pengambilan secara efisien dalam
memikirkan kelanjutan Sumber daya alam. Maka prioritas utama pengelolaan adalah
upaya pelestarian lingkungan.
Pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan merupakan suatu prinsip mutlak yang
harus dimiliki oleh RUU-PSDA yang akan disusun ini. Pengelolaan sumber daya
alam berkelanjutan yang dimaksudkan disini diadaptasi dari definisi pembangunan
berkelanjutan yang dikeluarkan oleh World Commmision on Environment and
Development (WCED) dalam Our Common Future yaitu ; “Pembangunan
berkelanjutan adalah pembangunan yang berorientasi pemenuhan generasi masa
kini tanpa mengorbankan kebutuhan generasi mendatang”. Pengelolaan sumber
daya alam berkelanjutan adalah pengelolaan sumber daya alam yang diarahkan
untuk memenuhi kebutuhan dalam mencapai mencapai kesejahteraan dan
kemakmuran generasi sekarang tanpa mengorbankan generasi mendatang. Sumber
daya alam yang renewable dikelola seoptimal mungkin secara terencana dengan
baik sehingga dari waktu ke waktu semakin meningkat kualitas maupun
kuantitasnya. Sedangkan SDA yang non renewable tidak dieksploitasi habis-habisan
hanya demi kepentingan generasi sekarang.
Melalui prinsip pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan ini diharapkan dari
masa ke masa seluruh generasi anak bangsa ini akan dapat menikmati kekayaan
potensi sumber daya alam yang dimiliki bangsanya. Melalui prinsip tersebut generasi
mendatang tentu juga akan dapat belajar bagaimana mengelola sumber daya alam
yang baik untuk diwariskan kepada generasi berikutnya.
Indonesia yang dikaruniai iklim tropis telah dikenal kaya SDA. Sumber daya alam
merupakan obyek menarik dan diperebutkan oleh ragam kepentingan. Oleh karena
itu, magnitude tantangan mengelolanya tinggi. Menjaga kelola tersebut, pemerintah
telah dan terus melakukan pengaturan-pengaturan. Di satu sisi pemerintah harus
memenuhi kebutuhan ekonomi, di sisi lain harus menjaga lingkungan.
Pemanfaatan SDA yang belum ramah lingkungan dan memberikan kesejahteraan
signifikan kepada masyarakat sekitar, masih mengemuka. Beberapa langkah koreksi
dilakukan pemerintah untuk melakukan pengaturan-pengaturan optimal dalam
dinamika perkembangan persoalan kehutanan dan lingkungan. Perbaikan tata kelola
SDA
Badan baru di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) ini mendapat
mandat untuk memastikan usaha-usaha kehutanan serta kegiatan-kegiatan
pemanfaatan SDA yang berimplikasi pada kualitas lingkungan hidup dan kelestarian
hutan dapat terkendali dengan baik. BSILHK tidak hanya memproduksi standar,
melainkan juga harus memastikan standar yang dibangun, diimplementasikan para
pelaku usaha bidang LHK.
Tanpa standar, maka usaha-usaha pemanfaatan SDA akan bergulir liar. Bisa jadi
tidak terkendali dan menguras SDA tanpa bisa kembali. Sebagai contoh, negara
Nauru yang dulunya kaya raya, kini jatuh miskin karena salah mengelola SDAnya.
Banyak contoh lain, kasus Minamata yang merupakan contoh konkrit betapa usaha-
usaha industri yang tidak memperhatikan lingkungan akan menuai bencana. Siapa
yang menanggung akibatnya? Telah terekam dalam memori kita bersama.
Standar juga berpotensi menjadi biaya transaksi dalam usaha dan investasi. Oleh
karenanya standar perlu dirancang serius untuk menjamin kepastian usaha, dengan
membangun orientasi insentif dan disinsentif. Catatan tapak mengekspresikan
bahwa pendekatan-pendekatan komando dan kontrol tidak cukup mengendalikan
dampak-dampak aktifitas ekonomi terhadap lingkungan dan kelestarian hutan.
Dalam bidang lingkungan hidup dan kehutanan (LHK), standar bukan hal baru.
Sejarah mencatat bahwa Tebang Pilih Indonesia (TPI) pada tahun 70an menjadi
standar sistem silvikultur hutan alam produksi saat itu. Berbagai penyempurnaan
terus dilakukan melalui sistem-sistem berikutnya.
Namun regenerasi hutan alam yang diharapkan sesuai proyeksi sistem tidak
sepenuhnya terjadi. Banyak faktor penyebab. Salah satunya adalah jenis
standarnya, yang lebih berorientasi pada proses, sehingga dipandang kaku dan
tidak menyisakan ruang gerak pengelola di lapangan untuk berkreasi menyesuaikan
dengan kondisi untuk memberikan hasil yang lebih baik, yang akhirnya terjebak
pada laporan-laporan administratif.
Implementasi standar LHK pada level sertifikasi juga telah diterapkan di Indonesia
pada akhir 1990, yang terus berkembang dalam puluhan inisiatif sertifikasi
kehutanan berkelanjutan hingga kini. Bahkan pemerintah pun telah membangun
standar wajib memperkuat sertifikasi kehutanan berkelanjutan secara signifikan
melalui Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) sejak 2009 silam.
Mengacu pada UUCK, dalam sebuah kesempatan, Menteri Siti menjelaskan bobot
utamanya pada penyederhanaan prosedur dan mengatasi hambatan birokratis.
UUCK menurutnya menegaskan posisi perizinan sebagai instrumen pengawasan.
UUCK juga memberikan jalan keluar pada berbagai kebuntuan dalam sengketa
regulasi, penggunaan kawasan hutan, serta akibat-akibat yang terjadi dalam waktu
yang panjang seperti konflik tenurial.
Orang nomor satu di KLHK ini juga menjelaskan bahwa UUCK memberikan
penegasan yang nyata akan kebijakan pemerintah yang berpihak kepada
masyarakat. Keberpihakan tersebut baik dalam alokasi penggunaan dan
pemanfaatan kawasan hutan dan hasil hutan, akses pemanfaatan untuk
kemantapan perhutanan sosial, hingga memberikan jalan untuk penyelesaian
masalah hutan adat, termasuk perubahan-perubahan dalam sistem pengelolaan
hutan.
Berkaca dari pengalaman standar pada masa lalu, maka bentuk dan sifat penerapan
standar di lapangan menjadi hal yang sangat menentukan. Untuk itu, berdasarkan
hasil inventarisasi jenis standar dalam program prioritas di atas, BSILHK akan
memetakan kebutuhan standar. Standar hasil atau standar proses? Bersifat pasti
atau dapat menyesuaikan kondisi di lapangan, sepanjang menjamin kesesuaian
hasil? Bagaimana standar mengkreasi bisnis tanpa menimbulkan biaya transaksi?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan menjadi kerangka berpikir utama perumusan
standar oleh BSILHK.
Di samping itu, BSILHK pun terbuka pada pelbagai dinamika yang terjadi. Berbagai
faktor baik dalam dan luar negeri berpotensi mengubah standar. Kebijakan nasional,
kebutuhan pasar dan industri, perkembangan standardisasi nasional, perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi, kondisi SDA termasuk hutan dan lingkungan hidup,
adalah beberapa faktor penentu. Untuk itu, BSILHK akan menjalankan peran
strategis lintas organisasi untuk mengakomodir faktor-faktor yang berpotensi
menyebabkan perubahan.
Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan, IPB,
Prof. Hariadi Kartodihardjo, melalui surat dari Darmaga, menyampaikan pesan
pentingnya. Menurut Hariadi, standar perlu dihubungkan dengan efisiensi
pelaksanaan kebijakan, sehingga tidak menambah biaya transaksi. Kompleksitas
ukuran harus dihindari agar biaya dapat ditekan sekecil mungkin. BSILHK
disarankan untuk memeriksa efektivitas kebijakan melalui pendekatan insentif atau
disinsentif.
Memanfaatkan kemajuan teknologi adalah salah satu cara untuk mengurangi biaya
transaksi. Komunikasi dan transaksi para pihak berkepentingan dilakukan dengan
mudah dan cepat melalui kanal-kanal daring dan disimpan dalam basis data. Ini
akan meningkatkan transparansi dan mengurangi celah KKN. Cara berikutnya
adalah pembaruan kelembagaan untuk mewujudkan tata kelola (governance) yang
baik, untuk tujuan mengurangi biaya administrasi dan mempercepat waktu
pelayanan.
Dalam hal standar terkait pengelolaan SDA, isu-isu hak kepemilikan (poperty rights)
dan penguasaan sumberdaya alam atau faktor produksi, ketidakseimbangan akses
dan penguasaan informasi (asymmetric information), serta perilaku opportunistik
(opportunistic behavior), juga harus dapat diminimalkan untuk mengurangi biaya
transaksi.
Dari semua standar yang telah, sedang, dan akan dikembangkan, standar
pelengkap yang harus tersedia adalah standar instrumen untuk mengukur
keberhasilan/kegagalan pembangunan dan penerapan standar. Melalui standar ini,
akan diketahui efektivitas pengendalian dampak lingkungan dan pengendalian
dampak usaha hutan dan kehutanan dari standar yang diterapkan. Ini
menjadi feedback bagi perubahan standar untuk hasil yang lebih baik ke depan.
"Masalah ini sering menjadi hambatan bagi kepala daerah dalam menjalankan
program aksi penyelamatan lingkungan hidup di daerah. Termasuk perizinan-
perizinan ekstraktif yang kini menurut UU Omnibus Law telah menjadi wewenang
pemerintah pusat sehingga daerah menjadi tidak berdaya," kata Prof Hariadi dalam
Evaluasi Akhir Tahun LP3ES : Politik Lingkungan Hidup dan Masalah Perubahan
Iklim yang digelar secara virtual pada Rabu, (15/12) malam.
Prof Hariadi mengingatkan lingkungan hidup banyak terkait dengan “hukum alam”.
Contohnya, hutan lindung jika dirusak oleh siapapun pasti akan memberikan
dampak kerusakan berupa bencana alam. Sehingga menurutnya perlu keputusan
pasti dan bukan hanya persoalan negosiasi politik.
Prof Hariadi juga menilai tata kelola dan peran lembaga negara dalam konteks
implementasi di lapangan tidak semakin baik. Apalagi seiring dengan bertambahnya
intensitas eksploitasi yang saat ini dipercepat dan berdampak negatif pada
lingkungan hidup. Oleh karena itu, dia menawarkan penguatan peran masyarakat
sipil.
"Peran masyarakat sipil harus terus diperkuat sebagai penyeimbang dari rendahnya
kontrol pemerintahan yang sedang berkuasa dan perangkatnya, seperti terjadi
sekarang ini," ucap Prof Hariadi.
Suatu siang di bulan Desember 2009. Ahmad Daryoko, Ketua Serikat Pekerja
Perusahaan Listrik Negara (SP-PLN) saat itu, memimpin kawan-kawannya saat
sidang pendahuluan uji-materi UU nomor 30/2009 tentang ketenagalistrikan di
Mahkamah Konstitusi.
Berbagai pendapat pun bermunculan, baik dari kalangan ekonom progressif maupun
dari kalangan ekonom pro-neoliberalisme.
Menteri Negara BUMN saat itu, Mustafa Abubakar, dalam keterangan tertulis di
sidang uji materi UU nomor 30/2009 menafsirkan “dikuasai oleh negara” berarti
negara sebagai regulator, fasilitator, dan operator yang secara dinamis menuju
negara hanya sebagai regulator dan fasilitator.
Dengan begitu, menurut penafsiran MK, pasal Pasal 33 UUD 1945 tidaklah menolak
privatisasi, asalkan privatisasi itu tidak meniadakan penguasaan negara. MK juga
mengatakan bahwa pengusaaan negara terhadap badan usaha cabang produksi
tidak harus selalu 100%.
Lebih jauh lagi, MK juga beranggapan bahwa Pasal 33 UUD 1945 juga tidak
menolak ide kompetisi di antara para pelaku usaha, sepanjang kompetisi itu tidak
meniadakan penguasaan oleh negara yang mencakup kekuasaan untuk mengatur
(regelendaad), mengurus (bestuursdaad), mengelola (beheersdaad), dan
mengawasi (toezichthoudensdaad) cabang-cabang produksi yang penting bagi
negara dan/atau yang mengusai hajat hidup orang banyak untuk tujuan sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat.
Dengan pijakan tafsiran itu, maka pantas saja jika lembaga penafsir konstitusi itu
menolak uji materi terhadap UU nomor 30/2009. Rupanya, paradigma berfikir yang
dominan di Mahkamah Konstitusi adalah liberalisme.
Tafsiran terhadap pasal 33 UUD 1945 itu sebetulnya tidak perlu, jikalau semua
orang bisa memahami penjelasan pasal pasal 33 UUD 1945 sebelum perubahan,
yang berbunyi: “Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi
semua orang. Sebab itu cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan
yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Kalau tidak,
tampuk produksi jatuh ke tangan orang-seorang yang berkuasa dan rakyat yang
banyak ditindasinya. Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang
banyak boleh di tangan orang-seorang”.
Menurut Professor Sri Edi Swasono, salah seorang ekonom kerakyatan dari
Universitas Indonsia, dari segi imperativisme suatu Undang-Undang Dasar, maka
“mengusai” haruslah disertai dengan “memiliki”. Sebab, jika tidak disertai penegasan
memiliki, maka pengusaan negara tidak akan berjalan efektif, apalagi dalam tata-
main era globalisasi saat ini.
Menurutnya, ayat (3) Pasal 33 UUD 1945 merupakan penegasan dari makna
demokrasi eonomi, yaitu perekonomian diselenggarakan demi kesejahteraan sosial
bagi rakyat. Kepentingan rakyatlah yang utama bukan kepentingan orang-seorang,
meskipun hak warganegara orang-seorang tetap dihormati.
Memang, pada peringatan Hari Koperasi, 12 Juli 1977, Bung Hatta berusaha
memberikan sebuah defenisi yang longgar mengenai makna “dikuasai oleh negara”
itu. Menurut Bung Hatta, makna “dikuasai” oleh negara dalam pasal 33 UUD 1945
tidak berarti negara sendiri menjadi pengusaha, usahawan, atau ondernemer. Lebih
tepat, kata Hatta, jika dikatakan bahwa kekuasaan negara terdapat pada pembuatan
peraturan guna melancarkan jalan ekonomi, sebuah peraturan yang melarang pula
“penghisapan” orang yang lemah oleh orang yang bermodal.
Menurut Rudi Hartono, salah seorang peneliti dari Lembaga Pembebasan Media
dan Ilmu Sosial (LPMIS), penafsiran terhadap pasal 33 UUD 1945 tidak bisa
dipisahkan dari semangat dari para penyusunnya dan kondisi historis yang
melingkupinya.
Rudi Hartono secara khusus merujuk kepada pemikiran Bung Karno tentang sosio-
nasionalisme dan sosio-demokrasi. Katanya, jika kita menjadi kedua konsep itu
sebagai acuan, maka UUD 1945 merupakan penegasan konstitusional untuk
menolak segala bentuk kolonialisme, imperiaisme, bahkan kapitalisme.
Harus diingat, kata dia, Bung Karno adalah ketua Panitia Perancang Undang-
Undang Dasar. Jadi, fikiran beliau sangat banyak tercurahkan dalam penyusunan
UUD 1945. Saat itu, anggota Badan Penyelidik dipilah-pilah menjadi Panitia
Perancang Undang-Undang Dasar dengan ketua Soekarno, Panitia Pembelaan
Tanah Air dengan ketua Abikoesno Tjokrosoejoso, serta Panitia Ekonomi dan
Keuangan dengan ketua Mohammad Hatta.
Selain itu, untuk merekam semangat para pendiri bangsa, maka ada baiknya
membuka kembali naskah dan dokumen-dokumen rapat Dokuritsu Junbi Cosakai
atau Badan untuk Menyelidiki Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan.
Lalu, menurut Rudi Hartono, kita juga tidak bisa menafikan latar-belakang historis
pembentukan UUD 1945. “UUD 1945 disusun dalam semangat untuk keluar dari
penjajahan selama ratusan tahun. Karena itu, hampir semua filosofi dan semangat
dalam pembukaan maupun pasal UUD 1945 adalah penegasan untuk melawan
penjajahan,” ujarnya.
Rudi menganggap tafsiran Meneg BUMN dan MK keluar dari kerangka filosofis yang
dikehendaki oleh para pendiri bangsa dan mengabakan aspek historis yang
melahirkan perasaan kebangsaan saat itu.
TENTANG
READERSBLOG
HUTAN HUJAN
FOTO
Sosial
oleh Taufik Wijaya dan Nopri Ismi [Bangka Belitung] di 3 September 2021
Sejak tahun 2000-an, marak penambangan timah ilegal di Pulau Bangka yang
meninggalkan ratusan kolam yang disebut kolong.
Berbagai Suku Melayu tua di Pulau Bangka, sejak dulu menolak penambangan
timah. Mata pencaharian mereka dari rempah-rempah dan ikan.
Selama belasan abad, Pulau Bangka menjadi bagian dari jalur kemaritiman
Nusantara. Rempah atau timah, yang membangun peradaban masyarakat di pulau
seluas 1,16 juta hektar ini?
Jika naik pesawat, menuju Pangkalpinang, Ibu Kota Kepulauan Bangka Belitung,
saat menjelang mendarat, kita melihat puluhan danau berwarna biru dan hijau.
Danau-danau tersebut bukan bentukan alam, tetapi kolam bekas penambangan
timah yang disebut “kolong”. Sebagian, kolong bekas penambangan timah ilegal itu
marak terjadi pada tahun 2000-an. Dulunya, kolong-kolong itu bukan hanya semak
belukar, tetapi juga perkebunan, hutan, mangrove, serta permukiman.
Dalam sejumlah perjalanan darat Mongabay Indonesia di Pulau Bangka, misalnya
dari Pangkalpinang ke Belinyu, Mentok, Toboali, Jebus, Permis, Sungaiselan,
Mapur, Pejem, Maras, atau Kota Kapur, ditemukan belasan hingga puluhan kolong
yang letaknya di sekitar jalan.
Kolong-kolong tersebut, ada yang masih dikelilingi tumpukan pasir dan tanah liat,
sudah ditumbuhi semak dan tanaman tertentu, atau dijadikan tempat mandi dan
mencuci, kolam ikan, serta tempat rekreasi. Bahkan, ada yang dijadikan sumber air
baku perusahaan daerah [PDAM].
Pada 2015, jumlah kolong di Kepulauan Bangka Belitung tercatat 192. Setiap kolong
luasannya antara 1-22 hektar. Data ini dikutip dari artikel “Pemulihan dan
Pemanfaatan Lahan Bekas Penambangan Timah” yang disiarkan
bappeda.babelprov.go.id.
Anggi Siahaan, Kepala Bagian Humas PT. Timah Tbk, kepada Mongabay Indonesia,
Senin [30/08/2021], tidak menjelaskan jumlah kolong di Pulau Bangka saat ini.
“Namun, seperti kita ketahui saat ini banyak wilayah konsesi perusahaan yang
ditambang tanpa izin atau ilegal. Sehingga, menyebabkan kerusakan lingkungan
karena tidak menerapkan kaidah yang baik. Bahkan, ada bekas lahan tambang yang
sudah kami reklamasi, ditambang lagi oleh penambang tanpa izin. Padahal konsesi
itu milik PT. Timah Tbk,” lanjutnya.
Reklamasi di darat, bentuknya revegetasi atau penanaman, dan ada juga bentuk lain
berdasarkan permintaan dan kebutuhan stakeholder. “Dari 2017 hingga Juli 2021,
perusahaan sudah mereklamasi 1.604 hektar lahan bekas tambang,” katanya.
“Rata-rata kolong pada lahan reklamasi dimanfaatkan untuk cadangan air, budidaya
ikan menggunakan keramba jaring apung, PLTS [Pembangkit Listrik Tenaga Surya]
Terapung, serta tempat wisata air,” katanya.
Peranan timah
Dr. Ibrahim, Rektor Universitas Bangka Belitung, menjelaskan maraknya aktivitas
tambang ilegal di Kepulauan Bangka Belitung, khususnya di Pulau Bangka,
dikarenakan pemerintah mengeluarkan kebijakan yang memberi peluang timah
dapat ditambang bukan hanya oleh PT. Timah Tbk.
“UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999
tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah, mendorong
Pemerintah Kepulauan Bangka Belitung berkeinginan memanfaatkan timah dengan
menerbitkan Perda No. 6 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Pertambangan Umum,”
kata Ibrahim, yang menulis buku “Sengkarut Timah dan Gagapnya Ideologi
Pancasila [2013]”.
“Pada masa Orde Baru, masyarakat dilarang menambang timah. Jika ketahuan,
langsung ditangkap dan dipenjara. Jadi, tambang ilegal itu semacam ekspresi
kebebasan era reformasi,” kata Ibrahim.
Baca: Terancamnya Tujuh Suku Melayu di Teluk Kelabat Bangka, Akibat Tambang
Timah Ilegal
Seorang penambang menunjukkan bongkah batuan yang mengandung timah. Foto:
Nopri Ismi/Mongabay Indonesia
“Provinsi ini dapat berkembang dan maju, salah satunya karena daerahnya
merupakan penghasil timah, dan bisa disebut sudah jadi tradisi sebagian besar
masyarakat Babel [Bangka Belitung] untuk menambang timah turun-temurun, di
kesempatan ini kami juga perlu sampaikan pejabat Babel bisa berkembang juga
karena timah,” kata Letkol Laut [PM] Fajar Hasta Kusuma, Palaksana Lanal
[Pangkalan TNI AL] Bangka Belitung, dalam Rapat Koordinasi Forkopimda Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung yang membahas persoalan antara penambang timah
dengan masyarakat terkait kawasan Teluk Kelabat Dalam, [05/8/2021], seperti
dikutip dari aspirasipos.com.
Fakhrizal Abubakar, Kepala Museum Timah Indonesia [TMI] Muntok, dikutip dari
National Geographic Indonesia, menjelaskan timah sudah ditambang sejak
kedatangan Kedatuan Sriwijaya di Kota Kapur pada abad ke-7. Saat itu, timah masih
untuk media barter dan bahan prasasti. Timah digali dalam skala kecil.
Pasir timah yang ditemukan di Bangka dan pulau-pulau lainnya, baik di darat
maupun laut. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia
Para leluhur berbagai Suku Melayu tersebut datang ke Pulau Bangka, jauh sebelum
Kesultanan Palembang menguasai Pulau Bangka. Mereka datang di masa Kerajaan
Funan [Indochina], Sriwijaya, dan Majapahit.
Selama belasan tahun, mereka menolak kehadiran tambang timah, baik yang
dilakukan PT. Timah Tbk maupun yang ilegal. Terakhir, sebagian warga ditangkap
dan ditahan karena dituduh menguasai dan merusak KIP [Kapal Isap Produksi] Citra
Bangka Lestari di Perairan Bedukang.
Mereka menjelaskan lada, cengkih, dan ikan yang menghidupi sukunya selama
ratusan tahun. Di Pulau Bangka, menanam lada dan mencari ikan, sementara di
pulau-pulau kecil, menanam cengkih dan mencari ikan.
Baca juga: Kebun Cengkih dan Jalur Rempah Nusantara di Pulau Nangka
Sejumlah perempuan yang baru turun dari ponton tambang ilegal di tengah laut.
Mereka meminta hasil timah dengan cara membantu memasak makanan untuk para
penambang. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia
Lada dan cengkih melahirkan kuliner khas Bangka yakni lempah kuning, dan
sejumlah obat herbal. Daun lada dijadikan motif kain cual, songket khas Bangka,
serta kata lada disebut dalam sejumlah sastra lisan.
“Timah tidak ada dalam sejarah kehidupan kami. Lada dan ikan yang
menyekolahkan anak-anak kami, dan membuat kami naik haji [muslim], atau
membuat rumah,” kata Sep Amir Ibrahim [80], tokoh masyarakat Desa Permis,
Kabupaten Bangka Selatan.
“Selama ratusan tahun, masyarakat yang menetap di pulau ini tidak pernah
menambang timah. Kami hanya menanam cengkih, buahan, dan mencari ikan di
laut. Tidak ada tradisi menambang timah,” kata Marsidi [66], tokoh masyarakat Pulau
Nangka, Desa Tanjung Pura, Kecamatan Sungaiselan, Kabupaten Bangka Tengah.
Umran [73], tokoh adat Suku Maras mengatakan, sejak dulu tidak ada
penambangan timah di sini. “Semuanya sudah di-ampak [di daratan] leluhur kami.
Kami hidup dari berkebun lada, karet, dan mencari ikan. Meskipun saat ini sudah
ada yang berkebun sawit, kami menolak kehadiran perusahaan sawit.”
Sukardi [52], tokoh adat Suku Mapur, menuturkan, leluhur mereka tidak pernah
mengenalkan tradisi menambang timah. “Turun menurun kami hidup dari berkebun
lada, kelapa, dan mencari ikan. Bahkan leluhur kami meng-ampak-an pasir timah di
sini [di daratan],” katanya.
Lada merupakan tanaman yang dikelola masyarakat Suku Lom di Dusun Pejem.
Foto: Taufik Wijaya/Mongabay Indonesia
Derita Prapti Rahayu, dari Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung, dalam
penelitiannya berjudul “Kearifan Lokal Tambang Rakyat sebagai Wujud Ecoliteracy
di Kabupaten Bangka” menjelaskan, ampak yang artinya dihilangkan, merupakan
kearifan lokal masyarakat di Bangka dalam menjaga lingkungannya, dari
penambangan timah.
Dia meneliti pada sejumlah wilayah di Kabupaten Bangka yang bebas dari tambang
ilegal, seperti Desa Balunijuk dan Desa Jade [Kecamatan Merawang], Desa Mabet
dan Desa Dalil [Kecamatan Bakam], serta Desa Petaling [Kecamatan Mendo Barat].
Lada sudah ditanam masyarakat di Bangka sekitar 300-400 tahun lalu, di masa awal
kedatangan Belanda. Hal ini terindikasi dari varietas tanaman lada dengan nama
Lampung Daun Lebar [LDL] dan Lampung Daun Kecil [LDK], serta Jambi.
Lada dari Pulau Bangka sangat terkenal di dunia, yang disebut “Muntok White
Pepper”.
Hingga saat ini, Kepulauan Bangka Belitung menjadi produsen utama lada di
Indonesia. Dikutip dari katadata.co.id, Badan Pusat Statistik [BPS] menyebutkan,
pada tahun 2020, Kepulauan Bangka Belitung merupakan produsen lada terbesar di
Indonesia, yakni 33,8 ribu ton atau 37,6 persen dari total produksi nasional.
Lempah kuning, kuliner khas Bangka Belitung yang kaya rempah. Foto: Nopri
Ismi/Mongabay Indonesia
“Timah itu bagian kecil dari sejarah masyarakat pribumi Bangka. Mereka menilai
timah itu bisnis para penguasa. Mereka memilih hidup dengan rempah-rempah dan
ikan karena tidak bertentangan dengan falsafah hidup yang menghargai alam.
Makanya, Kesultanan Palembang terpaksa mendatangkan pekerja tambang
Tionghoa,” kata Rendy.
“Jika dipaksa, mereka melawan. Dulu melawan dengan meng-ampak pasir timah,
kini dengan aksi protes,” lanjutnya.
by TaboolaPromoted Links
Apakah Anda ingin mempertahankan kejantanan Anda setelah usia 40 tahun? Baca
selengkapnya di sini!
lecrafft
Juliana Ojong, Bergerak Demi Bumi dan Sesama Lewat ‘Eco Enzyme’
16 makanan yang seharusnya tidak pernah disimpan di dalam kulkas
Story To Hear
Upaya Lestarikan Kopi Bacan dari Induk Tanaman Usia Lebih 100 Tahun
Wanita ini dipaksa keluar dari restoran, karena mereka tidak mengetahui siapa
sebenarnya wanita ini
Kingdom Of Men
Seorang istri menangkap benda aneh dari air, ketika suaminya melihat benda
tersebut ia berteriak
Women's Method
stair-lift-69054.com
berdasarkan topik
berdasarkan lokasi
BARU
September 2021
Disalah satu selasar Bandara Depati amir didesain sangat elegan demi kenyaman
penumpang pesawat yang baru tiba di pangkalpinang. Mereka akan disuguhi
berbagai foto berukuran besar yang terpampang di dinding kaca sepanjang selasar
menuju lantai bawah Bandara. Foto foto tersebut merupakan foto-foto kawasan
wisata serta foto fauna yang ada di daerah Propinsi Bangka Belitung. Namun dari
banyaknya foto yang terpampang disepanjang selasar Bandara, ada satu foto yang
menarik untuk diperhatikan, yaitu foto seekor fauna yang ditampilkan di dinding kaca
selasar bandara tersebut. Foto yang berukuran besar tersebut nampak hewan jenis
primata. Sekilas primata ini berbeda dan mempunyai keunikan dari jenis primata
yang biasa kita temui di Indonesia, keunikannya ada pada ukuran bola matanya
yang besar dan bulat yang tampak selalu melotot. Masyarakat di Bangka biasa
menyebut fauna tersebut Mentilin. Menurut situs Berita Lingkungan
MOGABAY/Ahmad Supardi [Bengkulu] di 28 January 2021, Keunikan dari hewan ini
ia tidak menggerakkan matanya melainkan memutarkan kepalanya karena mentilin
memiliki kemampuan memutar kepalanya 180 derajat. Mentilin memiliki ekor yang
panjangnya dapat melebihi panjang tubuhnya, mempunyai ukuran tubuh yang
sangat kecil. Mentilin merupakan Primata endemik Sumatra dan Kalimantan,
khusunya Pulau Bangka. Mentilin merupakan primata karnivora, memangsa
serangga seperti kumbang, semut, belalang, jangkrik, kecoak, ngengat, dan kupu-
kupu serta vertebrata kecil lainnya. Di Provinsi Bangka Belitung, mentilin ditemukan
dalam berbagai variasi hutan primer dan sekunder, serta habitat semak belukar.
Masyarakat luar Bangka Belitung tentu asing dengan hewan tersebut, namun tidak
dengan masyarakat Bangka Belitung. Pada tahun 2015 Pemerintah Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung sepakat menjadikan binatang khas daerah yaitu Mentilin
sebagai maskot Pekan Olahraga Wilayah (Porwil) IX, juga pada Tahun 2016 Mentilin
terpilih sebagai maskot pilkada gubernur Bangka Belitung dan terakhir pada tahun
2022 Mentilin dijadikan Peran Saka Nasional di Bumi Perkemahan Depati Amir.
Berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 522.53-958/2010, Mentilin
dietetapkan sebagai fauna identitas Provinsi Bangka Belitung dan berdasarkan
Permen LHK Nomor P.106/2018. Mentilin tercatat sebagai satwa yang dilindungi.
Kalau kita mendengar satwa yang dilindungi, maka pemikiran kita mengatakan
bahwa populasi satwa tersebut di alam jumlahnya semakin berkurang di habitatnya.
Saat ini sulit untuk bisa menemukan atau melihat mentilin dialam bebas, di hutan
Bangka. Bukan karena mentilin termasuk satwa jenis primata yang pemalu, namun
satwa ini merasa malu akan kondisi hutan yang ada di Pulau Bangka, sehingga
membuat mentelin sudah tidak mau menampakkan dirinya lagi dihutan bangka.
Keengganan mentilin untuk menampakkan dirinya karena habitat tempatnya hidup
sudah diganggu keberadaannya. Habitatnya kini terancam oleh perubahan fungsi
hutan. Hutan di Bangka saat ini, banyak dikonversi menjadi tambang timah ilegal,
perkebunan sawit, dan permukiman. Penulis sendiri pernah menanyakan mengenai
keberadaan mentilin kepada warga dimana habitat mentilin tersebut berada, dimana
didaerah Lubuk Besar di Kabupaten Bangka Tengah pernah terlihat mentilin
dizaman mereka masih bekebun sahang, namun sekarang sudah sulit
menemukannya, akibat adanya perubahan fungsi hutan sebagai tempat habitat
mentilin yang kini menjadi areal pembukaan perkebunan kelapa sawit. Sejak tahun
1995, perkebunan Kelapa Sawit mulai muncul di Pulau Bangka, menjadi pesaing
baru perkebunan lada dan karet. Pulau Bangka yang merupakan penghasil timah
terbesar diIndonesia, dieksploitasi oleh penambang timah ilegal tanpa
memperhatikan dampak lingkungan yang ada. Kegiatan penambangan yang tidak
dikelola dengan baik akan mengakibatkan berbagai kerusakan lingkungan. Bila kita
naik pesawat, menuju Pangkalpinang, Ibu Kota Kepulauan Bangka Belitung, saat
menjelang mendarat, kita melihat puluhan danau berwarna biru dan hijau. Danau-
danau tersebut bukan bentukan alam, tetapi kolam bekas penambangan timah yang
disebut “kolong”. Sebagian kolong merupakan bekas penambangan timah ilegal.
Penambangan ilegal tersebut marak terjadi pada tahun 2000-an. Dulunya, kolong-
kolong itu bukan hanya semak belukar, tetapi juga perkebunan, hutan, mangrove,
serta permukiman. Selain itu, aktivitas jual beli satwa juga berpengaruh terhadap
berkurangnya sejumlah satwa langka di Bangka Belitung. Pada Maret 2020 lalu, Tim
Animal Lovers Bangka Belitung Island [Alobi], BKSDA, dan Karantina Pertanian
Pangkal Pinang mengungkap kasus perdagangan ilegal mentilin. Mentilin yang
gagal diperjualbelikan tersebut di lepaskanliarkan di Taman Hutan Raya
Menumbing, Bangka Barat, ujar Valentino, Ketua Tim Alobi, dikutip
dari Kompas.com. Menurut peneliti satwa di Pulau Bangka bahwa Mentilin
merupakan pengontrol populasi serangga, artinya Hilangnya mentilin akan membuat
populasi serangga membludak dan menjadi hama di perkebunan, dan tentunya
menggangu ekosistem. Kegiatan tidak ramah lingkungan yang terjadi Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung, tidak hanya berdampak pada kehidupan manusia,
tetapi juga merusak habitat satwa liar dilindungi termasuk Mentilin. Untuk itu
Pemerintah Daerah wajib berperan dalam melestarikan dan mempertahankan
habitat mentilin, dengan membuat penangkaran kawasan hutan alami di Bangka
Belitung atau mentukan kawasan khusus untuk kelangsungan mentilin dan satwa liar
lainnya serta memberikan pemahaman kepada masyarakat terkait satwa liar yang
dilindungi, sehingga tidak ada lagi kasus jual beli satwa ilegal di Bangka Belitung.
Begitu juga mengenai keberadaan penambangan tanpa izin yang menimbulkan
dampak buruk terhadap lingkungan, sosial, dan ketertiban masyarakat. Berdasarkan
catatan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Republik Indonesia,
terdapat sekitar 123.000 hektare lahan kritis dan sudah mencapai 62.423 hektare
Sebaran lahan rusak akibat akibat maraknya penambangan bijih timah ilegal di
Pulau Bangka dan Belitung. Untuk itu penulis berharap Pemerintah Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung dapat membuat regulasi khusus yang bertujuan agar
penambangan masyarakat dapat dilakukan secara legal sesuai kaidah-kaidah
penambangan yang baik dan meredam penambangan ilegal yang merusak
lingkungan. Harapan penulis agar jangan sampai Mentilin hanya dijadikan Maskot
untuk gelaran resmi Pemerintah Daerah saja, namun tidak bisa menjaga habitat dan
kelangsungan kehidupan mentilin, sehingga ada masyarakat di Pulau Bangka
Belitung yang geleng kepala saat ditanya mengenai Mentilin dan keberadaan
mentilin.