Anda di halaman 1dari 63

Candra Jaya, A.

Md, SH

Candra Jaya
Mahasiswa Magister Hukum Universitas Bangka Belitung
Pegawai pada LAPAS Narkotika Kelas IIA Pangkalpinang

CORECTIVE ACTION
DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM

Negara Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam.
Dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah menjadikan modal utama bagi
Keberlangsungan dan keberlanjutan pembangunan kehidupan berbangsa dan
bernegara. Pemanfaatan sumber daya alam yang dilakukan secara optimal mampu
membawa kesejahteraan dan kemakmuran untuk seluruh rakyat Indonesia. Dalam
konstitusi kita di Pasal 33 Ayat 3, disebutkan bahwa bumi, Air dan Kekayaan Alam
yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dikuasai oleh negara artinya bahwa rakyat
secara kolektif memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan
(beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad),
pengelolaan (beheersdaad) dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Sejak Amandemen UUD 1945 yang keempat tahun 2002, negara hadir dengan
membuat regulasi/ peraturan perundang undangan dalam hal Pengelolaan Sumber
Daya Alam Berkelanjutan. Ditegaskan dalam Perpres No 59/2017 tentang
Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (sustainable
development goals) bahwa pembangunan berkelanjutan bertujuan untuk
peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat secara berkesinambungan,
menjaga keberlanjutan kehidupan sosial bermasyarakat, dan menjaga kualitas
lingkungan hidup. Artinya pembangunan tidak lagi semata difokuskan pada
pertumbuhan ekonomi dan pemerataan sosial, tetapi juga bersamaan
memperhatikan kelestarian lingkungan hidup. Tentunya ini menjadi Tantangan buat
pemerintah, karena pengelolaan dan pemanfaatan Sumber Daya alam tidak hanya
mengeksplorasi kekayaan yang ada di bumi Indonesia semata, namun juga
menjaga, melindungi dan melestarikan kelestarian lingkungan hidup agar fungsi
lingkungan tetap terjamin/terjaga (kualitas lingkungan tidak rusak atau turun) agar
kekayaan sumber daya alam di Indonesia tidak hanya dinikmati oleh generasi
sekarang, namun juga oleh generasi yang akan datang. Ini sejalan dalam Undang
Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup bahwa Pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang
memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi
pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan,
kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa
depan.
Namun apa yang terjadi saat ini, kurangnya pemahaman mengenai
sustainable development goals membuat banyak pengelolaan Sumber Daya
Alam dilakukan dengan kurang bijaksana, masih banyak masyarakat yang
tidak arif dalam memanfaatkan Sumber Daya Alam tanpa menghiraukan
keberlanjutan Sumber Daya Alam. Inilah Tantangan yang dihadapi pemerintah
saat ini, diantaranya :
1. Konflik Sosaial yang terjadi dalam Pengelolan Sumber Daya Alam
Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam pengelolaan Sumber Daya alam akan
banyak terjadi gesekan/ konflik diantara pihak pihak yang berkepentingan
terhadap alam. Kita harus mulai mengakui bahwa konflik merupakan suatu
persoalan penting yang harus segera ditanggulangi dalam pengelolaan
sumberdaya alam, konflik baik antara masyarakat dengan investor, investor
dengan pemerintah ataupun masyarakat dengan pemerintah. Ini penyebab yang
menjadikan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan tidak berjalan
optimal dan menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan.
2. Defortasi Hutan akibat pengelolan Sumber Daya alam yang tidak Optimal.
Dijelaskan didalam Peraturan Meneteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Nomor P.70/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2017 disebutkan bahwa Defortasi
adalah perubahan secara permanen dari areal berhutan menjadi tidak berhutan.
Perubahan hutan ini diakibatkan oleh aktifitas manusia dalam usahanya
mengelola dan memanfaatkan Sumber daya alam. Defortasi hutan diakibatkan
oleh Pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit misalnya, terjadinya
kebakaran hutan, illegal loging dan penambangan rakyat tanpa izin.
Saat ini yang menjadi perhatian serius pemerintah adalah mengenai
pembukaan lahan sawit dan pertambangan tanpa izin (PETI). Kebakaran hutan
terjadi akibat dari pembukaan lahan baru untuk perkebunan Kelapa Sawit. Perluasan
lahan perkebunan kelapa sawit pada akhirnya akan mengkonversi kawasan hutan,
khususnya pada lahan gambut. Sehingga akan menyebabkan degradasi lahan
(kerusakan lahan) dimana lahan mengalami penurunan produktivitas. perkebunan
kelapa sawit mempunyai potensi dampak negatif terhadap ekositem dan pola
pemanfaatan lahan dan ruang. Kemudian Permasalahan penambangan tanpa izin
atau PETI yang sampai saat ini masih menjadi masalah buat Pemerintah, diperlukan
upaya bersama dan dukungan seluruh pihak untuk mendorong penanganan isu
PETI, juga dampak yang ditimbulkan dari aktifitas penambangan tanpa izin tersebut.
Penambangan tanpa izin dapat dilakukan oleh masyarakat atau perusahaan tanpa
memiliki izin, tidak menggunakan prinsip pertambangan yang baik, serta memiliki
dampak negatif bagi lingkungan hidup, ekonomi, dan sosial. Dampak negatif disini
maksudnya adalah memicu kerusakan lingkungan hidup, merusak hutan apabila
berada di dalam kawasan hutan, dapat menimbulkan bencana lingkungan,
mengganggu produktivitas lahan pertanian dan perkebunan, serta dapat
menimbulkan kekeruhan air sungai dan pencemaran air. Eksplorasi dalam kegiatan
penambangan dan Pengeboran Sumber Daya Alam menyebabkan adanya bekas
pertambangan di kawasan hutan yang kondisi tanahnya sudah berlubang-lubang,
meninggalkan void dan genangan air, sehingga lahan tersebut tidak dapat lagi
dimanfaatkan dengan baik juga potensi pencemaran air sungai, jika dalam
penambangan menggunakan bahan kimia dalam prosess pengolahan tambang
mineral. Kita baru saja mendengar baru baru ini diberitakan bahwa 3100 orang
ditetapkan jadi tersangka Tambang Ilegal, dan menurut data Kementerian Energi
dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Pertambangan Tanpa Izin (PETI) alias tambang
ilegal ini berada di 2.741 titik lokasi (sumber cnbcindonesia.com tanggal 2 Desember
2022). Apa yang sudah terjadi saat ini di Indonesia adalah pengelolaan dan
pemanfaatan Sumber Daya Alam yang tidak optimal dan tidak sesuai standart yang
akan berdampak pada menurunnya kualitas lingkungan hidup. Harus ada tindakan
dari pemerintah agar hal ini tidak terjadi, demi menjamin keutuhan lingkungan hidup
serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini
dan generasi masa depan. Corrective Action adalah tindakan untuk menghilangkan
penyebab dari suatu masalah. Dan Corrective Action ini harus bisa mencegah
recurrence atau kejadian yang sama terulang kembali. Corective actionnya adalah
kontrol ijin, atasi konflik masyarakat, perbaikan sistem rehabilitasi lahan (reklamasi),
melakukan pengaturan-pengaturan optimal dalam dinamika perkembangan
persoalan kehutanan dan lingkungan, Perbaikan tata kelola Sumber Daya Alam dan
mereformasi struktural dengan membentuk Badan Standarisasi Instrumen
Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Dengan corective action akan ada perbaikan
dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan agar keberlanjutannya dapat
terjaga. Dengan Corective action Harapannya, pengelolaan Sumber Daya Alam
lestari dapat tercapai, dan berkontribusi pada terwujudnya tujuan pembangunan
berkelanjutan. Tentunya kekayaan Sumber Daya Alam Indonesia harus menjadi
berkah bagi kemakmuran rakyat Indonesia, jangan sampai dari kebodohan dalam
mengelola Sumber Daya Alam tanpa standar seperti yang terjadi di Negara Nauru,
negara kaya raya sebagai penghasil fosfat bermutu tinggi yang jatuh miskin dan
mengalami kerusakan ekosistem luar biasa. Pertambangan fosfat meninggalkan
dampak besar terhadap kerusakan lingkungan di negara Nauru. Eksploitasi sumber
daya alam Nauru tanpa didahului dengan analisis dampak lingkungan serta
diversifikasi ekonomi membawa negara itu pada keterpurukan, tentunya apa yang
terjadi di Negara Nauru tidak boleh terjadi di negara kita tercinta.

. Sekitar 80 persen pulau mendapat label tanah kosong yang tak bisa dimanfaatkan
untuk pertanian

Artikel ini telah tayang di www.inews.id dengan judul " Kisah Nauru, Salah Satu
Negara Terkaya di Dunia yang Kini Jatuh Miskin ", Klik untuk baca:
https://www.inews.id/news/internasional/kisah-nauru-salah-satu-negara-terkaya-di-
dunia-yang-kini-jatuh-miskin.
Download aplikasi Inews.id untuk akses berita lebih mudah dan cepat:

https://www.inews.id/apps

Eksploitasi sumber daya alam Nauru tanpa didahului dengan analisis dampak
lingkungan serta diversifikasi ekonomi membawa negara itu pada keterpurukan atau
kutukan.

Artikel ini telah tayang di www.inews.id dengan judul " Kisah Nauru, Salah Satu
Negara Terkaya di Dunia yang Kini Jatuh Miskin ", Klik untuk baca:
https://www.inews.id/news/internasional/kisah-nauru-salah-satu-negara-terkaya-di-
dunia-yang-kini-jatuh-miskin/2.

Download aplikasi Inews.id untuk akses berita lebih mudah dan cepat:

https://www.inews.id/apps

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya, menggarisbawahi


bahwa kebijakan tersebut adalah tentang keharusan aktualisasi keseimbangan
antara ekonomi dan lingkungan.  Untuk mendukung itu, dalam bidang LHK
pemerintah melakukan reformasi struktural dengan membentuk Badan Standardisasi
Instrumen Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BSILHK). Peraturan Presiden Nomor
92 tahun 2020 dan Peraturan Menteri LHK Nomor 15 tahun 2021 sebagai landasan
hukumnya.
Badan baru di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) ini mendapat
mandat untuk memastikan usaha-usaha kehutanan serta kegiatan-kegiatan
pemanfaatan SDA yang berimplikasi pada kualitas lingkungan hidup dan kelestarian
hutan dapat terkendali dengan baik. BSILHK tidak hanya memproduksi standar,
melainkan juga harus memastikan standar yang dibangun, diimplementasikan para
pelaku usaha bidang LHK.

Tingginya angka deforestasi di Indonesia sangat berhubungan erat dengan


permintaan lahan untuk konversi pertanian dan pertambangan. Pembukaan lahan
untuk perkebunan kelapa sawit, terjadinya kebakaran hutan, illegal loging
penambangan rakyat tanpa izin.

Pasal 33 Ayat 3, “Bumi, Air dan Kekayaan Alam yang terkandung didalamnya
dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat”. DIkuaai oleh negara artinya

Corrective Action adalah tindakan untuk menghilangkan penyebab dari suatu


masalah. Dan Corrective Action ini harus bisa mencegah recurrence atau kejadian
yang sama terulang kembali.
Kembali pada pembahasan Corrective Action, jadi untuk bisa membuat Corrective
Action yang bagus maka kita harus menemukan Root Cause yang sebenarnya.
Tidak mungkin kita bisa menghilangkan penyebab dari suatu masalah kalau kita
belum menemukan apa masalahnya.

Sumber daya alam dan lingkungan hidup memiliki peran yang sangat strategis
dalam mengamankan kelangsungan pembangunan dan keberlanjutan kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Sumber daya alam dan lingkungan hidup merupakan modal utama pembangunan
untuk meningkatkan daya saing ekonomi sekaligus menjaga kualitas lingkungan
hidup.

tuk menjamin pengelolaan sumber daya alam adalah pada pemanfaatan sumber
daya alam yang dilakukan generasi saat ini tidak boleh mengorbankan kemampuan
alam untuk dapat mencukupi kebutuhan generasi yang akan datang.

corective action pada persoalan pemanfaatan sumber daya alam yang belum ramah
lingkungan (defortasi hutan dan pertambangan) dan memberikan kesejahteraan
kepada masyarakat sekitar, maka corective actionnya adalah kontrol ijin, atasi
konflik masyarakat, perbaikan sistem rehabilitasi lahan (reklamasi). dengan corective
action ini akan ada perbaikan dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan
agar keberlanjutannya dapat terjaga. Defortasi Hutan Tutupan dengan penanaman
Hutan kembali.

Pembangunan Berkelanjutan merupakan Proses pengelolaan SDA dan Lingkungan


untuk memenuhi kebutuhan manusia agar hidupnya sejahtera (lahir dan bathin)
Proses pemanfaatan SDA dan Lingkungan untuk memenuhi kebutuhan manusia
untuk generasi saat ini dan generasi mendatang agar hidupnya sejahtera serta
kelestarian fungsi lingkungan tetap terjamin/terjaga (kualitas lingkungan tidak rusak
atau turun)

Sumber daya alam yang renewable dikelola seoptimal mungkin secara terencana
dengan baik sehingga dari waktu ke waktu semakin meningkat kualitas maupun
kuantitasnya. Sedangkan SDA yang non renewable tidak dieksploitasi habis-habisan
hanya demi kepentingan generasi sekarang.

Pemanfaatan SDA yang belum ramah lingkungan dan memberikan kesejahteraan


signifikan kepada masyarakat sekitar, masih mengemuka. Beberapa langkah koreksi
dilakukan pemerintah untuk melakukan pengaturan-pengaturan optimal dalam
dinamika perkembangan persoalan kehutanan dan lingkungan. Perbaikan tata kelola
SDA

Harapannya, pengelolaan SDA lestari dapat tercapai, dan berkontribusi pada


terwujudnya tujuan pembangunan berkelanjutan.  Kita tentu tidak ingin kekayaan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tindakan represif adalah tindakan
yang bersifat menekan, mengekang, menahan, atau menindas dengan tujuan
menyembuhkan. Mengutip Siti Masrur dalam artikel ilmiah yang diterbitkan
Universitas Muhammadiyah Malang, tindakan represif bertujuan mengembalikan
keserasian yang sebelumnya berlaku dan terganggu akibat suatu pelanggaran.

Sederhananya, represi dilakukan dengan cara memberikan hukuman atau sanksi


kepada orang yang melanggar. Tindakan represif juga ditujukan untuk mencegah
kemungkinan terulangnya kembali pelanggaran terhadap norma dan nilai sosial
yang berlaku dalam suatu kelompok masyarakat.

Baca artikel detikjabar, "Pengertian Represif Adalah: Berikut Jenis Tindakan dan
Contohnya" selengkapnya https://www.detik.com/jabar/berita/d-6213626/pengertian-
represif-adalah-berikut-jenis-tindakan-dan-contohnya.

Download Apps Detikcom Sekarang https://apps.detik.com/detik/

FORDA] _Pembangunan berkelanjutan ditujukan untuk melestarikan sumber


daya alam (SDA), sehingga dapat mendukung kesejahteraan masyarakat
dalam jangka panjang, tidak hanya untuk generasi sekarang tetapi juga untuk
generasi mendatang. Namun kurangnya pemahaman masyarakat tentang ini,
membuat banyak pengelolaan SDA dilakukan dengan kurang bijaksana. Hal ini
diungkapkan para narasumber Obrolan Pelepas Lelah (OPL) Seri 5, webinar
berseri Balai Litbang LHK Palembang, Selasa (17/11/2020) lalu.
Mengangkat tema “Harmoni Manusia dan Alam di Lahan Basah”, OPL seri 5
mengajak para sahabat OPL untuk melihat berbagai fenomena pemanfaatan
SDA yang dilakukan di beberapa kelompok masyarakat di lahan basah. Para
narasumber menyebutkan, masih banyak masyarakat yang tidak arif dalam
memanfaatkan SDA. Menurut mereka, banyak masyarakat yang hanya
menggunakan rasionalitas individu, mengambil keuntungan maksimum pribadi
tanpa menghiraukan keberlanjutan SDA.
Seperti yang digambarkan peneliti Balai Litbang LHK Palembang, Mamat
Rahmat mengenai aktivitas pemburu madu di hutan mangrove Rimba
Sembilang. Berburu madu telah menjadi mata pencaharian utama sebagian
penduduk Desa Mekar Sari, Lalan. Aktivitas berburu ini mereka lakukan setiap
hari.

https://koran.tempo.co/read/berita-utama/461737/deforestasi-akibat-tambang-di-
kalimantan-selatan

OMPAS.com - Para pemimpin dunia pada KTT iklim di Glasgow (COP26)


menyatakan tekad untuk mengakhiri dan mengatasi dampak penggundulan hutan
pada tahun 2030. Sudah ada banyak upaya untuk melindungi hutan, tetapi apakah
ada yang berhasil? Seberapa buruk penggundulan hutan sekarang? Hutan
menyerap karbon dioksida (CO2) dalam jumlah besar - penyumbang utama
pemanasan global - sehingga menebang pohon dapat berdampak besar pada
perubahan iklim. PBB mengatakan 420 juta hektare hutan telah musnah sejak tahun
1990. Alasan utamanya adalah pertanian. Baca juga: Viral Cuitan Menteri Siti Soal
Deforestasi, Greenpeace: Seharusnya KLHK Jadi Rem Upaya melindungi hutan
telah banyak dilakukan sebelumnya. Pada tahun 2014, PBB mengumumkan
kesepakatan untuk mengurangi deforestasi sampai setengahnya pada tahun 2020
dan mengakhiri sepenuhnya pada tahun 2030. Kemudian, pada tahun 2017, PBB
menetapkan target lain untuk meningkatkan lahan hutan sebesar 3 persen di seluruh
dunia pada tahun 2030. Menurut laporan 2019, deforestasi berlanjut pada laju yang
mengkhawatirkan, berdampak serius terhadap upaya melawan perubahan iklim.
Memang sudah ada beberapa reboisasi, melalui pertumbuhan alami atau
penanaman, tetapi pohon perlu waktu bertahun-tahun sebelum dapat menyerap
CO2 sepenuhnya. Selama dekade terakhir, 4,7 juta hektare hutan masih hilang
setiap tahunnya. Dari jumlah tersebut, Brasil, Republik Demokratik Kongo dan
Indonesia adalah negara-negara yang terkena dampak paling parah. Negara dengan
deforestasi terparah Brasil: Penebangan liar terus berlanjut Sekitar 60 persen dari
hutan hujan Amazon berada di Brasil. Hutan ini memainkan peran penting dalam
menyerap CO2 berbahaya yang tanpanya akan terlepas ke atmosfer. Setelah terus
menurun sejak 2004, deforestasi di Amazon Brasil telah meningkat lagi, menurut
National Space Research Institute (INPE) negara itu. Dikatakan pada tahun 2020
bahwa laju deforestasi adalah yang tertinggi dalam satu dekade lebih. Presiden
Brasil, Jair Bolsonaro, mengatakan kepada PBB bahwa, pada Agustus tahun ini,
deforestasi di Brasil turun dibandingkan dengan 2020. Namun, laju deforestasi
masih lebih tinggi daripada sebelum ia menjabat pada 2019. Dan Imazon - sebuah
lembaga penelitian yang berfokus pada Amazon - mengatakan datanya tidak
menunjukkan laju deforestasi melambat tahun ini. Presiden Bolsonaro telah dikritik
karena kebijakan "anti-lingkungan", seperti mendorong pertanian dan pertambangan
di Amazon. Dia telah memotong dana untuk lembaga pemerintah yang bertugas
menuntut petani dan penebang yang melanggar hukum lingkungan. Denda untuk
pembalakan liar turun 20% pada tahun 2020. Angka pastinya tidak tersedia, tetapi
studi terbaru menunjukkan sebanyak 94% deforestasi dan perusakan habitat di
Brasil bisa jadi ilegal. Brasil bukan satu-satunya negara yang bertanggung jawab
atas deforestasi Amazon - negara-negara tetangga, termasuk Bolivia, juga ikut
berkontribusi. Tahun lalu, Bolivia kehilangan hampir 300 hektare hutan tropis,
keempat tertinggi di dunia. Cekungan Kongo: Pertanian dan pertambangan
Cekungan hutan Kongo adalah hutan hujan terbesar kedua di dunia. Lebih dari
setengahnya terletak di Republik Demokratik Kongo. Kelompok kampanye
lingkungan Greenpeace mengatakan penebangan liar - oleh perusahaan besar dan
kecil - menyebabkan penggundulan hutan. Meskipun AS dan Uni Eropa telah
melarang impor kayu ilegal, kayu dari negara itu masih diselundupkan ke luar negeri.
Ancaman lainnya termasuk pertanian skala kecil, pembukaan lahan untuk arang dan
bahan bakar, ekspansi perkotaan dan pertambangan. Dalam lima tahun terakhir,
hutan primer yang hilang tiap tahunnya mencapai hampir setengah juta hektare,
menurut Global Forest Watch. Presiden Felix Tshisekedi bulan lalu memerintahkan
audit atas beberapa izin sewa yang dialokasikan untuk memanen hutan rakyat -
termasuk satu untuk lebih dari 1,4 juta hektar - karena ada dugaan korupsi. Langkah
tersebut disambut baik oleh para aktivis lingkungan. Namun awal tahun ini,
pemerintah Kongo juga mengumumkan rencana menghapus larangan operasi
penebangan baru yang telah berlaku sejak 2002 - meskipun hal itu belum
dilaksanakan. Greenpeace mengatakan langkah itu bertentangan dengan komitmen
yang dibuat awal tahun ini untuk melindungi hutan dan meningkatkan tutupan hutan
sebesar 8 persen. Indonesia: Perkebunan kelapa sawit Indonesia adalah salah satu
dari lima negara teratas dunia yang kehilangan banyak area hutan selama dua
dekade terakhir. Menurut data dari Global Forest Watch, Indonesia kehilangan 9,75
juta hektar hutan primer antara tahun 2002 dan 2020. Presiden Joko Widodo berjanji
pada tahun 2014 untuk memberantas deforestasi dengan mengatasi faktor
utamanya - pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit. Data resmi
menunjukkan bahwa hingga 80 persen kebakaran hutan terjadi untuk pembukaan
lahan kelapa sawit. Baca juga: Indonesia dan Lebih dari 100 Negara Janji Akhiri
Deforestasi Tahun 2030 di COP26 Pada tahun 2016, rekor 929.000 hektare hutan
musnah, tetapi telah terjadi penurunan laju deforestasi yang stabil sejak saat itu.
Pada tahun 2020, angka deforestasi tahunan turun menjadi 270.000 hektar. Pada
2019, Presiden Jokowi mengeluarkan moratorium tiga tahun pembukaan hutan baru,
yang mencakup sekitar 66 juta hektar hutan primer dan lahan gambut. Moratorium
itu diperpanjang tahun ini tanpa batas waktu. Dapatkan update berita pilihan dan
breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram
"Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate,
kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Indonesia: Perkebunan kelapa sawit


Indonesia adalah salah satu dari lima negara teratas dunia yang kehilangan
banyak area hutan selama dua dekade terakhir. Menurut data dari Global Forest
Watch, Indonesia kehilangan 9,75 juta hektar hutan primer antara tahun 2002 dan
2020. Presiden Joko Widodo berjanji pada tahun 2014 untuk memberantas
deforestasi dengan mengatasi faktor utamanya - pembukaan lahan untuk
perkebunan kelapa sawit. Data resmi menunjukkan bahwa hingga 80 persen
kebakaran hutan terjadi untuk pembukaan lahan kelapa sawit.
Indonesia dan Lebih dari 100 Negara Janji Akhiri Deforestasi Tahun 2030 di COP26
Pada tahun 2016, rekor 929.000 hektare hutan musnah, tetapi telah terjadi
penurunan laju deforestasi yang stabil sejak saat itu. Pada tahun 2020, angka
deforestasi tahunan turun menjadi 270.000 hektar. Pada 2019, Presiden Jokowi
mengeluarkan moratorium tiga tahun pembukaan hutan baru, yang mencakup
sekitar 66 juta hektar hutan primer dan lahan gambut. Moratorium itu diperpanjang
tahun ini tanpa batas waktu.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Deforestasi, Indonesia Salah
Satu Negara Pembabat Hutan Terbanyak", Klik untuk baca:
https://www.kompas.com/sains/read/2021/11/04/130000223/deforestasi-indonesia-
salah-satu-negara-pembabat-hutan-terbanyak?page=all.

Editor : Gloria Setyvani Putri

Download aplikasi Kompas.com untuk akses berita lebih mudah dan cepat:
Android: https://bit.ly/3g85pkA
iOS: https://apple.co/3hXWJ0L

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Deforestasi, Indonesia Salah
Satu Negara Pembabat Hutan Terbanyak", Klik untuk baca:
https://www.kompas.com/sains/read/2021/11/04/130000223/deforestasi-indonesia-
salah-satu-negara-pembabat-hutan-terbanyak?page=all.

Editor : Gloria Setyvani Putri

Download aplikasi Kompas.com untuk akses berita lebih mudah dan cepat:
Android: https://bit.ly/3g85pkA
iOS: https://apple.co/3hXWJ0L

Penyebab-penyebab Deforestasi Hilangnya tutupan lahan atau pengurangan secara


kuantitatif sangat berhubungan erat dengan aktivitas manusia atau adanya
gangguan alam. Diantara bentuk yang sering terjadi yaitu pembukaan area lahan
kehutanan yang dikonversi untuk lahan pertanian, penggembalaan, transmigrasi,
dan sebagainya. Angka deforestasi yang tinggi setiap tahunnya akan menyebabkan
hilangnya lahan hutan secara besar-besaran. Akibat dari kehilangan lahan hutan
yang berdampak negatif pada keberlanjutan lingkungan maupun kehidupan sosial.
Beberapa penyebab deforestasi yang umum dijumpai di Indonesia antara lain yaitu:
1. Kebakaran Hutan Hampir setiap tahunnya Indonesia dihadapkan dengan bencana
kebakaran hutan, pada tahun 2015 tercatat 1,7 juta hektar yang terbakar dan
menyebabkan bencana asap yang menimbulkan dampak serius pada pendidikan,
transportasi udara, kesehatan, ekonomi, dan tentunya kerusakan lingkungan.
Kebakaran membuat angka deforestasi menjadi semakin parah dibandingkan
kehilangan lahan yang disebabkan oleh kegiatan konversi lainnya. Kerugian akibat
kebakaran hutan juga berpotensi menghilangkan plasma nutfah. Fenomena
kebakaran hutan di Indonesia telah menjadi tradisi yang terus-menerus terjadi. 2.
Pembukaan Lahan Perkebunan Pembukaan lahan perkebunan seperti kelapa sawit
secara ekologis berdampak langsung terhadap angka penyusutan hutan.
Pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit menjadi salah satu faktor dominan
penyebab kehilangan tutupan dan lahan hutan di Indonesia. Kondisi ini disebabkan
karena perkebunan kelapa sawit dan tanaman perkebunan lainnya umumnya
diperoleh dengan dua metode, yaitu pengalihan fungsi lahan hutan dan pengalihan
fungsi lahan perkebunan. Pengalihan fungsi lahan perkebunan adalah metode yang
dilakukan dengan mengganti tanaman pokok perkebunan dengan tanaman baru
(kelapa sawit). 3. Perambahan Hutan untuk Memenuhi Keinginan Manusia Salah
satu penyebab deforestasi adalah adanya perambahan hutan. Masalah perambahan
hutan ini sudah menjadi masalah nasional. Beberapa faktor yang menyebabkan
masyarakat melakukan perambahan hutan yaitu faktor ekonomi, ketidaktahuan
masyarakat sekitar hutan tentang dampak buruk perambahan hutan, adanya
sponsor, keterbatasan petugas pengawas hutan, dan lemahnya sanksi hukum. 4.
Program Transmigrasi Kawasan permukiman transmigrasi terus bertambah dan
akan terus berkembang yang membutuhkan areal untuk mewadahi aktivitas
tersebut. Di satu sisi telah terjadi perubahan tutupan lahan hutan ke tutupan lahan
non hutan khususnya kawasan hutan yang bersentuhan langsung dengan kawasan
permukiman transmigrasi. 5. Pertambangan dan Pengeboran Sumber Daya Alam
Kegiatan pertambangan dan pengeboran minyak menyebabkan adanya bekas
pertambangan di kawasan hutan yang kondisi tanahnya sudah berlubang-lubang.
Jika tidak dilakukan penutupan kembali maka kawasan tersebut akan menyebabkan
dampak buruk pada kualitas dan perubahan fungsi lahan lingkungan di area
sekitarnya. Dampak-dampak Deforestasi Deforestasi menimbulkan dampak yang
sangat serius baik pada tingkat nasional maupun tingkat internasional. Tradisi
kebakaran hutan yang tidak terkendali dan terjadi setiap tahunnya, penebangan
yang merusak, pembukaan lahan yang dijadikan perkebunan, pertambangan dan
pengerukan bahan bakar, dan pembangunan wilayah transmigrasi merupakan
beberapa faktor deforestasi. Kegiatan tersebut berdampak pada sosial ekonomi bagi
masyarakat yang sangat bergantung dengan hasil alam atau hutan, dan dapat
menyebabkan timbulnya kerugian yang besar yakni bagi seluruh masyarakat
maupun negara. Karena perubahan lahan hutan tersebut menyebabkan
terganggunya keadaan lingkungan, antara lain : 1. Bencana Alam Kegiatan
penebangan yang mengesampingkan konversi hutan mengakibatkan penurunan
kualitas lingkungan dan akan meningkatkan peristiwa bencana alam, seperti tanah
longsor dan banjir. 2. Kepunahan Flora dan Fauna Alih fungsi lahan yang tidak
sesuai dengan fungsi kawasan hutan juga bisa berdampak pada kelestarian flora
dan fauna. Apabila deforestasi terus dibiarkan habitat asli mereka akan bergeser
menjadi kawasan yang hanya diuntungkan bagi aktivitas manusia saja. 3.
Pemanasan Global dan Perubahan Iklim Peran hutan berperan untuk menyimpan
cadangan-cadangan karbon secara besar. Hutan juga mampu menyerap karbon
dioksida berlebih yang ada di udara dan mengkonversinya menjadi oksigen melalui
proses fotosintesis yang dapat menyimpan karbon lebih dari dua ratus miliar ton.
Sehingga deforestasi berpengaruh sangat besar terhadap perubahan iklim yang
berkaitan dengan karbon-karbon yang ada di udara dan pada tanah gambut. Apabila
lahan gambut kehilangan pohon di atasnya maka akan melepaskan karbon yang
tersimpan ke udara. 4. Terganggunya Siklus Air Hutan yang hilang akan
mengakibatkan berkurangnya penguapan air tanah oleh pohon. Kondisi ini berakibat
pada iklim dan cuaca yang berubah menjadi lebih kering, karena curah hujan akan
berkurang. Baca juga: 9 Dampak Kerusakan Hutan bagi Manusia dan Alam
Pencegahan untuk Mengurangi Deforestasi Banyaknya sisi negatif yang ditimbulkan
dari deforestasi mengharuskan adanya bentuk upaya yang dilakukan untuk
mengurangi deforestasi agar tingkat kehilangan hutan tidak mengalami peningkatan.
Salah satu cara pencegahan deforestasi adalah melakukan upaya konservasi
sumber daya alam. Beberapa upaya yang dapat dilakukan diantaranya sebagai
berikut: 1. Penebangan dengan Sistem Tebang Pilih Tebang pilih adalah salah satu
sistem silvikultur yang diterapkan di Indonesia. Metode tebang pilih dilakukan pada
hutan hutan alam tak seumur sebagai salah satu sub sistem dari sistem pengelolaan
hutan. Sistem ini menjadi salah satu sarana utama dalam mewujudkan hutan
dengan struktur yang sesuai dengan lingkungan dan terwujudnya pengelolaan hutan
yang berkelanjutan. Sistem tebang pilih ini diharapkan mampu menjaga dalam
keberlangsungan ekosistem hutan dan berfungsi dalam penyangga kehidupan. Pada
metode tebang pilih juga melakukan penanaman kembali agar kegiatan-kegiatan
tersebut tidak menyebabkan kerugian. 2. Reboisasi dan Penghijauan Upaya
reboisasi dan penghijauan yaitu melakukan penanaman kembali pada kawasan
hutan, sedangkan melakukan penghijauan pada kawasan non hutan, karena hutan
yang mengalami gundul tak mampu menjalankan fungsinya dengan baik. Strategi ini
tertuang di dalam (RPJMN) 2020-2024 dalam upaya mengurangi kehilangan hutan
yang yaitu mengurangi tingkat deforestasi menjadi 310 hektar/per tahun. Langkah
yang dicanangkan dengan melakukan penanaman kembali dan pengkayaan di
hutan-hutan produksi dengan 1,97 juta hektar. Cara yang dicoba termasuk luas
ekosistem gambut yang telah terkoordinasi dan difasilitasi restorasi pada 7 provinsi
di Indonesia yang rentan terhadap bencana kebakaran dengan mencapai target
300.000 hektarnya pertahun. Baca juga: Reboisasi Adalah: Pengertian, Tujuan dan
Manfaat Reboisasi 3. Pembentukan REDD+ REDD+ atau Reducing Emissions from
Deforestation and Forest Degradation adalah sebuah pendekatan kepada
konservasi lahan hutan. Metode yang diambil menggunakan skema keuangan dalam
melakukan konservasi hutan yang menjadi usaha yang dapat memberikan
keuntungan atau penghasilan dibandingkan melakukan penebangan hutan melalui
pembayaran. Tujuan dari REDD+ adalah dilakukannya penghitungan terhadap nilai
karbon yang tersimpan di hutan. Upaya yang dilakukan berupa penawaran kepada
negara berkembang dalam upaya mengurangi emisi dalam rangka investasi di jalur
rendah karbon. Sehingga, negara-negara maju dapat bekerjasama dengan
membayar negara berkembang untuk pengurangan angka kehilangan hutan di
Indonesia, pembakaran lahan gambut dan degradasi hutan. 4. Pengawasan Hutan
Pengawasan dilakukan untuk pengamanan aset hutan dalam mencegah serta
mengendalikan terjadinya gangguan, kejahatan, maupun ancaman yang meliputi
hutan yang ada di Indonesia. Pengawasan dapat dilakukan secara langsung dengan
aparat yang berwenang ataupun dengan monitoring perkembangan menggunakan
teknologi terbaru dan turut dalam mengawasi hutan melalui teknologi satelit.
Teknologi satelit ini dapat meningkatkan transparansi pada rantai pasokan
perusahaan, melalui program Forest Cover Analyzer, Eyes On The Forest dan
Global Forest Watch 2.0 Teknologi ini memungkinkan setiap orang dapat melihat
kapan dan dimana perubahan wilayah hutan melalui internet. Pemerintah Indonesia
juga berinisiatif melakukan pengawasan hutan di berbagai badan-badan
pemerintahan. Baca juga: 10+ Jenis Pohon yang Hidup di Lahan Gambut FAQ Apa
itu Deforestasi? Deforestasi adalah fenomena kehilangan tutupan pohon dan area
hutan yang terjadi akibat aktivitas manusia atau kejadian alam. Apa Penyebab
Deforestasi? Penyebab deforestasi di Indonesia mayoritas berasal dari aktivitas
manusia seperti pembakaran hutan, pembukaan lahan, penebangan pohon ilegal
dan tidak terstruktur serta pemanfaatan area hutan untuk pertambangan,
pengeboran minyak dan pemukiman. Referensi dan rujukan artikel.

Tulisan ini diambil dari sumber: https://lindungihutan.com/blog/pengertian-


deforestasi-penyebab-dan-dampak/
Copyright LindungiHutan.com
Dukung hutan Indonesia hijau kembali dengan menanam pohon mulai 10 ribu/pohon
melalui lindungihutan.com/mulai

Tulisan ini diambil dari sumber: https://lindungihutan.com/blog/pengertian-


deforestasi-penyebab-dan-dampak/
Copyright LindungiHutan.com
Dukung hutan Indonesia hijau kembali dengan menanam pohon mulai 10 ribu/pohon
melalui lindungihutan.com/mulai

2,

Pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan selalu menimbulkan masalah terutama konflik
baik antara masyarakat dengan investor, investor dengan pemerintah ataupun masyarakat
dengan pemerintah. Hal ini menjadikan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan tidak
berjalan optimal, menyebabkan kerusakan lingkungan dan menggerus rasa persatuan dan
kebangsaan masyarakat. Kabupaten Gunungkidul merupakan salah satu kabupaten yang
memiliki potensi sumber daya alam dan lingkungan. Untuk itu perlu dilakukan pemetaan konflik
pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan agar nantinya pengelolaan dapat optimal dan
tidak menimbulkan potensi konflik. Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu (1) mengetahui
penyebab dan aktor-aktor pelaku konflik di Gunungkidul; (2) mengetahui dampak konflik; (3)
menyusun peta konflik pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan di Kabupaten
Gunungkidul; dan (4) memberikan masukan atau rekomendasi kepada pembuat kebijakan untuk
menyelesaikan konflik. Gua Maria Giri Wening, penambangan batugamping di Bedoyo dan
penataan pantai Watu Kodok di Kemadang menjadi sasaran kajian konflik yang hingga saat ini
konflik masih berlanjut. Melalui metode penelitian kualitatif dengan in dept interview untuk
mengetahui inti penyebab konflik, aktor, dampak dan upaya penyelesaian konflik. Teori
penyebab konflik sumberdaya dan lingkungan sangat banyak dan perlu pembuktian bahwa
benar konflik tersebut sesuai dengan teori yang ada serta bagaimana upaya penyelesainnya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga konflik pengelolaan sumber daya alam dan
lingkungan di Kabupaten Gunungkidul disebabkan tidak adanya komunikasi terbuka dan jujur
sejak awal sehingga terjadi konflik dalam melaksanakan keinginan atau cita-cita. Dampak dari
konflik adalah terjadinya aksi unjuk rasa warga, menurunnya rasa toleransi dan kerukunan,
ketidakpercayaan kepada pemerintah, politisasi konflik dan merusak lingkungan. Rekomendasi
penyelesaian konflik yaitu (1) Pendirian tempat ibadah mengacu SKB 3 Menteri dan kewajiban
sosialisasi kepada warga sekitar sebelum didirikan tempat ibadah serta mengacu rasio jumlah
jemaah; (2) Pemerintah Gunungkidul membuat peta lokasi penambangan batugamping secara
detail dengan daerah yang diperbolehkan dan yang dilarang ditambang dengan pelibatan
kearifan lokal masyarakat dalam penentuan lokasi tambang; (3) Penataan tanah Sultan Ground
dan Paku Alam Ground berdasarkan sejarah dan mengendepankan kearifan lokal masyarakat
yang sudah menggunakan SG dan PAG selama bertahun-tahun dan permbuatan perundangan
investasi yang melibatkan masyarakat lokal.

Konflik merupakan hal yang tidak terhindarkan dalam pengelolaan sumberdaya alam
di Indonesia. Alasannya sederhana, karena banyak pihak yang berkepentingan
terhadap alam, sementara masing-masing pihak berbeda kebutuhan dan tujuannya.
Kebutuhan akan sumberdaya alam mengalami peningkatan bersamaan dengan
berbagai perkembangan yang terjadi seperti peningkatan standar hidup, turunnya
angka kematian, dan perkembangan infrastuktur yang pesat hingga menimbulkan
kesenjangan sosial dalam masyarakat, antara yang kaya dan miskin, kota dan desa,
kawasan bagian Barat dan Timur, dan juga antara laki-laki dan perempuan. Pada
masa lalu, konflik sumberdaya alam, seringkali ditutup-tutupi karena berbagai
alasan; dan apabila terjadi konflik, pihak yang kuat selalu mengalahkan yang lemah,
dan pihak yang lemah tidak pernah berani melawan yang kuat. Namun, era
reformasi telah merubah keadaan menjadi terbalik. Pihak yang lemah kini sudah
berani melawan yang kuat dengan berbagai cara, mulai dari tuntutan biasa, protes,
demonstrasi, sampai benturan fisik yang keras. Oleh karena itu, kita harus mulai
mengakui bahwa konflik merupakan suatu persoalan penting yang harus segera
ditanggulangi dalam pengelolaan sumberdaya alam. Bagaimana PT. Hevindo dapat
bertahan lama di wilayah Nanggung, padahal terjadi konflik dengan masyarakat dan
elemen pemerintahan desa, dan bagaimana hubungan antara pihak-pihak yang
berkonflik dan lembaga-lembaga yang terlibat konflik merupakan pertanyaan utama
yang secara spesifik diungkap dengan mempertanyakan: bagaimana karakteristik
pihak-pihak yang terlibat konflik pengelolaan sumberdaya alam, mengapa konflik
pengelolaan sumberdaya alam terjadi di Desa Curugbitung dan bertahan lama,
bagaimana karakteristik konflik yang terjadi, serta bagaimana upaya-upaya
pengelolaan dan hasil akhir konflik yang telah dilakukan oleh pihak-pihak yang
terlibat konflik.

Sumber: https://mediaindonesia.com/opini/126585/pengelolaan-sda-berkelanjutanKita
menyadari bahwa selama ini pengelolaan sumber daya alam yang dilakukan telah
banyak merusak ekosistem lingkungan serta meurunnya kualitas lingkungan hidup,
Defortasi Hutan yang hal utama yang banyak terjadi di indonesia akibat dari
pengelolaan Sumber Daya Alam yang tidak baik.

Disebut tantangan besar karena sampai saat ini dan beberapa dekade ke depan,
pertumbuhan ekonomi RI masih ditopang sektor-sektor sumber daya alam (SDA) berbasis
lahan yang ekstensif seperti sektor pertambangan dan perkebunan

Sumber: https://mediaindonesia.com/opini/126585/pengelolaan-sda-berkelanjutan

Tidak bisa dimungkiri, selama ini pengelolaan SDA di negara kita berdampak pada
menurunnya kualitas lingkungan hidup. Sebuah kajian di jurnal Nature Scientific Reports
2016 menunjukkan bahwa perkebunan monokultur berkontribusi hampir 30% atas hilangnya
hutan di Kalimantan. Kajian lain di jurnal Environmental Research Letters 2016 menemukan
bahwa meningkatnya frekuensi banjir di Kalimantan terkait dengan erat keberadaan
tambang dan perkebunan monokultur yang berada di daerah aliran sungai. Di lain pihak,
meniadakan kegiatan ekonomi berbasis SDA sama sekali juga bukan pilihan yang bijak.
Sebagai negara berkembang, pembangunan ekonomi di Indonesia tidak bisa terlepas dari
sektor-sektor itu. Usaha-usaha ekonomi berbasis SDA masih perlu dilakukan, tetapi dengan
memperhatikan beberapa hal untuk meminimalkan kerusakan lingkungan hidup.
Pengelolaan ramah lingkungan Untuk mencapai pengelolaan SDA berkelanjutan, Joseph
Kiesecker menawarkan konsep Development by Design dengan menerapkan hierarki
mitigasi kerusakan lingkungan yang terdiri dari avoid (hindari), minimize (meminimalkan),
dan offset (ganti rugi). Pertama, dalam merencanakan alokasi kawasan untuk usaha eko-
nomi berbasis SDA, hindari kawasan dengan manfaat lingkungan yang tinggi seperti daerah
aliran sungai, lereng curam, kawasan bernilai keanekaragaman hayati, hutan lebat, dan
kawasan gambut tebal. Alokasi pada kawasan yang mempunyai manfaat sosial juga
dilakukan dengan hati-hati untuk menghindari konflik lahan di kemudian hari. Penggunaan
data dan metode ilmiah dengan menggandeng akademisi sangat diperlukan pada tahap
perencanaan itu. Hal ini penting karena selama ini penentuan kawasan untuk kegiatan
ekonomi berbasis SDA seperti pertambangan dan perkebunan dilakukan serampangan dan
asal tunjuk bergantung kepentingan politik dan ekonomi sesaat. Pekerjaan rumahnya adalah
mengidentifikasi kawasan-kawasan yang boleh digunakan untuk kegiatan ekonomi SDA
dengan dampak lingkungan dan sosial yang minimal. Misalnya, perluasan perkebunan sawit
di masa datang diarahkan pada areal terbuka dengan tutupan hutan yang terbatas. Upaya
berikutnya ialah meminimalkan dampak melalui penerapan standar lingkungan yang tinggi.
Upaya ini memerlukan peran pemerintah untuk mengawasi tata kelola SDA oleh para pelaku
usaha. Selain itu, diperlukan instrumen pengawasan standar lingkungan oleh masyarakat
melalui sertifikasi. Kewajiban sertifikasi akan memaksa pelaku usaha meminimalkan
dampak negatif terhadap lingkungan dalam mengelola usahanya. Misalnya, dengan
pelarangan pembakaran lahan atau menghilangkan habitat penting kehidupan liar.
Kegagalan dalam memenuhi standar lingkungan berisiko pada menurunnya daya saing
produk. Hierarki terakhir adalah pelaku usaha perlu mengganti kerusakan lingkungan yang
ditimbulkan atau sering disebut ganti rugi lingkungan. Ganti rugi lingkungan bertujuan
memberikan kompensasi atas manfaat lingkungan yang hilang akibat suatu usaha di suatu
lokasi dengan menggantinya di lokasi lain. Ganti rugi lingkungan dapat menggunakan
mekanisme perlindungan dan rehabilitasi. Kedua mekanisme itu diarahkan pada kawasan
yang mempunyai manfaat ekologis tinggi, misalnya dengan cara konservasi hutan lindung,
rehabilitasi daerah aliran sungai, atau restorasi lahan gambut. Mekanisme ini bisa
melibatkan masyarakat setempat agar mendatangkan manfaat sosial dengan
dikoordinasikan dengan kebijakan lain seperti perhutanan sosial. Ketiga upaya itu diperlukan
dalam pengelolaan SDA untuk membantu tercapainya tujuan pembangunan berkelanjutan.
Tentu saja, sepanjang tata kelola birokrasi dan dunia usaha masih bernuansa kepentingan
politik dan ekonomi sesaat, tujuan itu akan sulit diwujudkan.

Sumber: https://mediaindonesia.com/opini/126585/pengelolaan-sda-berkelanjutan

Sumber: https://mediaindonesia.com/opini/126585/pengelolaan-sda-berkelanjutan
negara serius membuat aturan mengenai pengelolaan dan pemanfaatn sumber
daya alam yang baik, artinya bahwa Pemanfaatan sumber daya alam berdasarkan
pada prinsip ekoefisiensi, artinya tidak merusak ekosistem, pengambilan secara
efisien dalam memikirkan kelanjutan Sumber daya alam tidak hanya untuk generasi
sekarang namun juga dapat dirasakan untuk generasi yang akan datang. Di dalam
Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup bahwa Pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan
terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam
strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta
keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan
generasi masa depan/ generasi yang akan datang, dapat dirasakan oleh anak cucu
kita dari generasi ke generasi.

Jakarta - Pertambangan Tanpa Izin (PETI) alias tambang ilegal terus menjadi
perhatian Pemerintah. Diperlukan upaya bersama dan dukungan seluruh pihak
untuk mendorong penanganan isu PETI beserta dampak yang ditimbulkan.

Terdapat lebih dari 2.700 lokasi PETI yang tersebar di Indonesia. Dari jumlah
tersebut, lokasi PETI batu bara sekitar 96 lokasi dan PETI Mineral sekitar 2.645
lokasi berdasarkan data tahun 2021 (triwulan-3). Salah satu lokasi PETI yang
terbanyak yaitu di Provinsi Sumatera Selatan.

PETI adalah kegiatan memproduksi mineral atau batu bara yang dilakukan oleh
masyarakat atau perusahaan tanpa memiliki izin, tidak menggunakan prinsip
pertambangan yang baik, serta memiliki dampak negatif bagi lingkungan hidup,
ekonomi, dan sosial.

"PETI adalah kegiatan tanpa izin, dan memicu kerusakan lingkungan. Kegiatan ini
juga memicu terjadinya konflik horisontal di dalam masyarakat," kata Direktur Teknik
dan Lingkungan Mineral dan Batubara, Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral (ESDM) Sunindyo Suryo Herdadi di situs resmi Kementerian ESDM, Selasa
(12/7/2022).

Selain itu, tambang ilegal juga mengabaikan kewajiban-kewajiban, baik terhadap


Negara maupun terhadap masyarakat sekitar.
"Karena mereka tidak berizin, tentu akan mengabaikan kewajiban-kewajiban yang
menjadi tanggung jawab penambang sebagaimana mestinya. Mereka tidak tunduk
kepada kewajiban sebagaimana pemegang IUP dan IUPK untuk menyusun program
pengembangan dan pemberdayaan masyarakat, termasuk juga pengalokasian
dananya," ujar Sunindyo.

Baca juga:

Tambang Ilegal di Madina Diminta Setop Atau Berurusan dengan Hukum

Pemerintah tidak tinggal diam dalam menghadapi tambang ilegal tersebut.


Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi, Kementerian Polhukam,
Kementerian ESDM bersama Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup
(KLHK), Kementerian Dalam Negeri, dan Kepolisian RI, terus bekerja sama untuk
mengatasi PETI.

"Upaya yang dilakukan antara lain dengan inventarisasi lokasi PETI, penataan
wilayah pertambangan dan dukungan regulasi guna mendukung pertambangan
berbasis rakyat, pendataan dan pemantauan oleh Inspektur Tambang, usulan
penetapan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) sesuai usulan Pemerintah
Daerah, hDari sisi regulasi, PETI melanggar Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2021
tentang Perubahan atas Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara. Pada pasal 158 UU tersebut, disebutkan
bahwa orang yang melakukan penambangan tanpa izin dipidana penjara paling
lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp 100 miliar.

Termasuk juga setiap orang yang memiliki IUP pada tahap eksplorasi, tetapi
melakukan kegiatan operasi produksi, dipidana dengan pidana penjara diatur dalam
pDi pasal 161, juga diatur bahwa setiap orang yang menampung, memanfaatkan,
melakukan pengolahan dan/atau pemurnian, pengembangan dan/atau pemanfaatan
pengangkutan, penjualan mineral dan/atau batubara yang tidak berasal dari
pemegang IUP, IUPK, IPR, SIPB atau izin lainnya akan dipidana dengan pidana
penjara.
Dampak Negatif PETI

Perhatian khusus Pemerintah terhadap praktik tambang ilegal ini tidak lain
disebabkan karena banyaknya dampak negatif dari pengoperasian PETI, di
antaranya berkaitan dengan kehidupan sosial, ekonomi, dan lingkungan.

Dampak sosial kegiatan PETI antara lain menghambat pembangunan daerah karena
tidak sesuai RTRW, dapat memicu terjadinya konflik sosial di masyarakat,
menimbulkan kondisi rawan dan gangguan keamanan dalam masyarakat,
menimbulkan kerusakan fasilitas umum, berpotensi menimbulkan penyakit
masyarakat, dan gangguan kesehatan akibat paparan bahan kimia.

"PETI juga berdampak bagi perekonomian negara karena berpotensi menurunkan


Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan penerimaan pajak. Selain itu, akan
memicu kesenjangan ekonomi masyarakat, menimbulkan kelangkaan BBM, dan
berpotensi terjadinya kenaikan harga barang kebutuhan masyarakat," imbuhnya.

Dari sisi lingkungan, PETI akan menimbulkan kerusakan lingkungan hidup, merusak
hutan apabila berada di dalam kawasan hutan, dapat menimbulkan bencana
lingkungan, mengganggu produktivitas lahan pertanian dan perkebunan, serta dapat
menimbulkan kekeruhan air sungai dan pencemaran air.

Baca juga:
Mantan Petinggi Intelijen Nilai Izin Tambang Emas di Sangihe Tidak Sah
"Pada umumnya lahan bekas PETI dengan metode tambang terbuka yang sudah
tidak beroperasi meninggalkan void dan genangan air sehingga lahan tersebut tidak
dapat lagi dimanfaatkan dengan baik. Seluruh kegiatan PETI tidak memiliki fasilitas
pengolahan air asam tambang, sehingga genangan-genangan air serta air yang
mengalir di sekitar PETI bersifat asam. Ini berpotensi mencemari air sungai. Bahaya
lain yang ditimbulkan PETI adalah batu bara yang terekspos langsung ke
permukaan berpotensi menyebabkan swabakar, sehingga dalam skala besar
berpotensi menyebabkan kebakaran hutan," ujar Sunindyo.

Pelaksanaan PETI juga umumnya mengabaikan keselamatan dan kesehatan kerja


(K3). Banyak terjadi pelanggaran seperti menggunakan peralatan yang tidak
standar, tidak menggunakan alat pengamanan diri (APD), tidak adanya ventilasi
udara pada tambang bawah tanah, dan tidak terdapat penyanggaan pada tambang
bawah tanah

https://finance.detik.com/energi/d-6174697/waduh-masih-ada-2700-tambang-ilegal-
di-ri-terbanyak-di-sumsel/2

Arief menegaskan, terhadap Pasal 33 Ayat (2) dan Ayat (3) UUD 1945, melalui
putusan-putusannya, Mahkamah Konstitusi telah membuat tafsir atas frasa “dikuasai
oleh negara”. Frasa “dikuasai negara” pada intinya dimaknai dalam arti luas berasal
dari kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan bumi, air, dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, termasuk pula di dalamnya
pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan
dimaksud. Lebh lanjut, rakyat secara kolektif itu dikontruksikan oleh UUD 1945
memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan
tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad),
pengelolaan (beheersdaad) dan pengawasan (toezichthoudendaad) untuk tujuan
sebesar besar kemakmuran rakyat.

Berkaca pada Negara Nauru, negara yang kaya akan Sumber daya alam Tambang,
berupa pertambangan guano atau bahan alami penghasil fospat yang bernilai
ekonomi tinggi menjadikan negara tersebut menjadi negara terkaya di dunia dengan
pendapatan perkapita tertinggi didunia jauh diatas pendapatan perkapita Amerika
Serikat. Namun Tanpa disadari cadangan fosfat di negara mereka mulai berkurang,
begitu juga pengelolan pertambangan tidak sesuai standart yang mengakbatkan
lahan pertanian/ perkebunan rusak karena pertambangan, bahkan lautnya pun ikut
tercemar. Nauru yang negara kaya raya kini jatuh miskin dan mengalami kerusakan
ekosistem luar biasa, tanah-tanah di Nauru sudah tidak bisa lagi dijadikan sebagai
lahan pertanian atau perkebunan akibat telah rusak karena pertambangan, bahkan
lautnya pun ikut tercemar akibat limbah tambang. Hal seperti ini jangan terjadi pada
negara Kita Indonesia.
Di dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup bahwa Pembangunan berkelanjutan adalah upaya
sadardan terencana yang memadukan aspek lingkunganhidup, sosial, dan ekonomi
ke dalam strategipembangunan untuk menjamin keutuhanlingkungan hidup serta
keselamatan, kemampuan,kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan
generasi masa depan.

bahwa kualitas lingkungan hidup yang semakin menurun telah mengancam


kelangsungan perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya sehingga perlu
dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang sungguh sungguh
dan konsisten oleh semua pemangku kepentingan;

Dalam pemanfaaan dan pengelolaan hasil tambang tanpa memikirkan SDA


Indonesia menjadi kutukan, melainkan harus menjadi berkah bagi kemakmuran
rakyat Indonesia.  Kisah pedih dari kebodohan mengelola SDA tanpa standar seperti
yang terjadi di Negara Nauru, negara kaya raya yang jatuh miskin dan mengalami
kerusakan ekosistem luar biasa, tidak boleh terjadi di negara kita tercinta.

Dan yang lebih menyedihkan tanah-tanah di Nauru sudah tidak bisa lagi dijadikan
sebagai lahan pertanian atau perkebunan akibat telah rusak karena pertambangan,
bahkan lautnya pun ikut tercemar akibat limbah tambang.

Pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadardan terencana yang memadukan


aspek lingkunganhidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategipembangunan untuk
menjamin keutuhanlingkungan hidup serta keselamatan,
kemampuan,kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa
depan.
Sumber daya alam yang melimpah di Indonesia tidak dapat dipungkiri menjadi
magnet bagi para pelaku ekonomi dalam memanfaatkan kekayaan sumber daya
alam yang ada, dengan kekayaan sumber daya alamnya yang melimpah merupakan
modal bagi Kelangsungan pembangunan dan keberlanjutan kehidupan berbangsa
dan bernegara Pemanfaatan sumber daya alam yang dilakukan secara optimal
akan mampu membawa kesejahteraan dan kemakmuran untuk seluruh rakyat
Indonesia. Bangsa Indoensia tidak perlu takut akan Sumber daya alam dan
lingkungan hidup memiliki peran yang sangat strategis dalam mengamankan
kelangsungan pembangunan dan keberlanjutan kehidupan berbangsa dan
bernegaraSesunguhnya Bangsa Indonesia tidak perlu takut Sumber daya alam
hayati/ Biotik dan sumber daya alam non hayati/abiotik baik itu sumber daya alam
yang dapat diperbaharui / renewable atau sumber daya alam yang tidak dapat
diperbaharui/ non-renewable baiknya dalam pemanfaatn dan pengelolannya
Sumber daya alam (SDA) menurut beberapa sumber merupakan potensi alam yang
dapat dikembangkan sebagai bahan untuk proses produksi yang berasal dari bumi,
biosfer, dan atmosfer. Sedangkan secara yudiris yang tercantum dalam UU No. 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pengertian
sumber daya alam adalah unsur lingkungan hidup terdiri atas sumber daya hayati
dan non hayati pembentuk suatu ekosistem. Jenis Sumber Daya Alam Berdasarkan
pengertian yang telah dijelaskan, sumber daya alam sebagai bahan untuk
pemenuhan kebutuhan dan keberlangsungan kehidupan manusia. SDA dapat
memberikan nilai ekonomi dalam bentuk mentah maupun yang harus atau telah
melewati proses. Berikut ini adalah klasifikasi SDA sesuai dengan beberapa kategori
antara lain yaitu: Berdasarkan Sumbernya Berdasarkan Sifatnya Berdasarkan
Potensi Kegunaannya Berdasarkan Pembentukannya

Tulisan ini diambil dari sumber: https://lindungihutan.com/blog/sumber-daya-alam/


Copyright LindungiHutan.com
Dukung hutan Indonesia hijau kembali dengan menanam pohon mulai 10 ribu/pohon
melalui lindungihutan.com/mulai
Jakarta - Deforestasi adalah suatu peristiwa hilangnya hutan alam beserta dengan
atributnya yang diakibatkan oleh penebangan hutan. Penebangan hutan sendiri
bertujuan mengubah lahan hutan menjadi non hutan.
Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) deforestasi adalah
kegiatan penebangan kayu komersial dalam skala besar. Di Indonesia tingginya
angka deforestasi di Indonesia sangat berhubungan erat dengan permintaan lahan
untuk konversi pertanian dan pertambangan.

Deforestasi disinggung Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti


Nurbaya Bakar dalam tweetnya di akun @SitiNurbayaLHK. Unggahan ini mendapat
tanggapan beragam dari para warganet.

"Pembangunan besar-besaran era Presiden Jokowi tidak boleh berhenti atas nama
emisi karbon atau atas nama deforestasi," tulis MenLHK dikutip detikEdu pada
Kamis (4/11/2021).

Baca juga:
Astronaut Ungkap Rasa Prihatin Lihat Kondisi Bumi dari Antariksa, Ada Apa?
Berikut penjelasan lebih lanjut soal arti deforestasi, penyebab, dan dampaknya

A. Penyebab Deforestasi
Melansir dari laman Unpad, penyebab terjadinya deforestasi lahan adalah terjadi
karena pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit, terjadinya kebakaran
hutan, dan illegal loging atau produksi kayu yang berasal dari konsesi Hak
Pengusaha Hutan (HPH).

B. Dampak Deforestasi
Deforestasi memiliki dampak yang sangat buruk bagi tanah. Jika hutan hilang akan
mengakibatkan air tidak dapat meresap ke tanah. Sehingga air hujan yang turun
mengalir ke permukaan bumi akan menyebabkan erosi.
Efek samping dari terjadinya erosi sendiri adalah kehilangan kesuburan tanah akibat
pencucian tanah oleh air hujan yang terus menerus, banjir akibat tanah tidak dapat
meresap air, hingga tanah longsor.

Baca juga:
Gegara Kelamaan Kuliah Online, Mahasiswa Ini Kaget Kampusnya Seperti Hutan
C. Deforestasi di Indonesia
Menurut Laporan Deforestation Fronts yang dikutip dari WWF, deforestasi masih
terjadi di Indonesia namun dengan laju yang menurun di Sumatera dan Kalimantan.
Laporan ini merujuk pada data Laporan Deforestasi Indonesia tahun 2016 dan 2019
dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI dan beberapa sumber
lainnya.

Di Sumatera, deforestasi terjadi pada tahun 2006-2009 dan meningkat di tahun


2015, namun lajunya menurun sejak itu. Demikian juga di Kalimantan, tingkat
deforestasi tertinggi terjadi di 2015, setelah itu menurun.

Laporan tersebut merekomendasikan kepada pemerintah negara-negara yang


termasuk dalam Analisa untuk meningkatkan perlindungan kawasan hutan melalui
beberapa cara seperti:

1. Penetapan hak-hak masyarakat adat dan komunitas lokal.

2. Mengkonservasi kawawasan yang kaya keanekaragaman hayati.

3. Memastikan produk yang bersumber dari hutan diproduksi dan diperdagangkan


secara legal dan lestari.

4. Memastikan rantai pasokan perusahaan berkelanjutan dan lembaga keuangan


berkomitmen pada zero deforestasi.

5. Membuat kebijakan untuk memastikan semua komoditas dan produk hutan yang
diimpor bebas dari deforestasi.
Itulah penjelasan arti deforestasi, penyebab, dan dampaknya. Jadi apa kalian sudah
memahaminya detikers?

Baca artikel detikedu, "Apa Arti Deforestasi yang Disebut Menteri LHK? Berikut
Penjelasannya" selengkapnya https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5796738/apa-
arti-deforestasi-yang-disebut-menteri-lhk-berikut-penjelasannya.

Download Apps Detikcom Sekarang https://apps.detik.com/detik/

Didalam Pasal 33 Ayat 3, “Bumi, Air dan Kekayaan Alam yang terkandung
didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat”.
Dalam bahasa Indonesia, Corrective Action adalah tindakan untuk menghilangkan
penyebab dari suatu masalah. Dan Corrective Action ini harus bisa mencegah
recurrence atau kejadian yang sama terulang kembali.
Kembali pada pembahasan Corrective Action, jadi untuk bisa membuat Corrective
Action yang bagus maka kita harus menemukan Root Cause yang sebenarnya.
Tidak mungkin kita bisa menghilangkan penyebab dari suatu masalah kalau kita
belum menemukan apa masalahnya. Untuk menemukan Root Cause ini bisa
menggunakan beberapa tools seperti fishbone chart, 5 Why, etc. Sedangkan
Correction definisinya adalah action untuk menghilangkan masalah, hanya
menghilangkan masalah untuk sementara waktu dan memungkinkan masalah yang
sama terjadi kembali.
Sumber daya alam dan lingkungan hidup memiliki peran yang sangat strategis
dalam mengamankan kelangsungan pembangunan dan keberlanjutan kehidupan
berbangsa dan bernegara. Sumber daya alam dan lingkungan hidup menjadi tulang
punggung sebagai penyedia pangan, energi, air, dan penyangga sistem kehidupan.
Kebijakkan dan pencapaian bidang Sumber daya alam dan lingkungan hidup
merupakan modal utama pembangunan untuk meningkatkan daya saing ekonomi
sekaligus menjaga kualitas lingkungan hidup.
Partisipasi publik dalam pengelolaan sumber kekayaan alam sangat penting,
sehingga pemerintah sebagai operator penyelenggara negara harus mau
memfasilitasi partisipasi publik. Dari partisipasi publik yang baik, maka pengelolaan
sumber daya alam yang berkelanjutan akan semakin mudah diwujudkan.
Partisipasi publik dalam masalah pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan
harus lebih luas, pemerintah harus lebih banyak mendengar masyarakat yang bisa
berasal dari berbagai sumber seperti dari LSM, perwakilan akademisi, dan aktivis,
Pemerintahan itu harus terbuka, sehingga di dalam operasionalnya dapat diketahui
oleh para stakeholdernya.

Indonesia mempunyai wilayah yang begitu besar oleh karena itu sumber daya alam
yang terkandung di wilayah Indonesia harus dikelola dengan usaha yang lebih keras
oleh seluruh komponen negara. 

untuk menjamin pengelolaan sumber daya alam adalah pada pemanfaatan sumber
daya alam yang dilakukan generasi saat ini tidak boleh mengorbankan kemampuan
alam untuk dapat mencukupi kebutuhan generasi yang akan datang.

Salah satu contoh corective action adalah pada persoalan pemanfaatan sumber
daya alam yang belum ramah lingkungan (defortasi hutan dan pertambangan)
dan memberikan kesejahteraan kepada masyarakat sekitar, maka corective
actionnya adalah kontrol ijin, atasi konflik masyarakat, perbaikan sistem rehabilitasi
lahan (reklamasi). Harapannya dengan corective action ini akan ada perbaikan
dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan agar keberlanjutannya dapat
terjaga. Defortasi Hutan Tutupan dengan penanaman Hutan kembali.

dalam pengelolaan SDA adalah pembangunan berkelanjutan yang didefiniskan


sebagai upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup,
sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan
lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup
generasi masa kini dan generasi masa depan. Jimmly Asshiddiqie menawarkan
gagasan tentang pentingnya konstitusi hijau, kedaulatan lingkungan dan bahkan
konsepsi demokrasi model baru yang diistilahkan sebagai ekokrasi (ecocracy).

Pembangunan Berkelanjutan merupakan Proses pengelolaan SDA dan Lingkungan


untuk memenuhi kebutuhan manusia agar hidupnya sejahtera (lahir dan bathin)
Proses pemanfaatan SDA dan Lingkungan untuk memenuhi kebutuhan manusia
untuk generasi saat ini dan generasi mendatang agar hidupnya sejahtera serta
kelestarian fungsi lingkungan tetap terjamin/terjaga (kualitas lingkungan tidak rusak
atau turun)

Dalam memnafaatkan sumber daya alam, manusia perlu berdasar pada prinsip
ekoefisiensi, artinya tidak merusak ekosistem, pengambilan secara efisien dalam
memikirkan kelanjutan Sumber daya alam. Maka prioritas utama pengelolaan adalah
upaya pelestarian lingkungan.

Pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan merupakan suatu prinsip mutlak yang
harus dimiliki oleh RUU-PSDA yang akan disusun ini. Pengelolaan sumber daya
alam berkelanjutan yang dimaksudkan disini diadaptasi dari definisi pembangunan
berkelanjutan yang dikeluarkan oleh World Commmision on Environment and
Development (WCED) dalam Our Common Future yaitu ; “Pembangunan
berkelanjutan adalah pembangunan yang berorientasi pemenuhan generasi masa
kini tanpa mengorbankan kebutuhan generasi mendatang”. Pengelolaan sumber
daya alam berkelanjutan adalah pengelolaan sumber daya alam yang diarahkan
untuk memenuhi kebutuhan dalam mencapai mencapai kesejahteraan dan
kemakmuran generasi sekarang tanpa mengorbankan generasi mendatang. Sumber
daya alam yang renewable dikelola seoptimal mungkin secara terencana dengan
baik sehingga dari waktu ke waktu semakin meningkat kualitas maupun
kuantitasnya. Sedangkan SDA yang non renewable tidak dieksploitasi habis-habisan
hanya demi kepentingan generasi sekarang.

Melalui prinsip pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan ini diharapkan dari
masa ke masa seluruh generasi anak bangsa ini akan dapat menikmati kekayaan
potensi sumber daya alam yang dimiliki bangsanya. Melalui prinsip tersebut generasi
mendatang tentu juga akan dapat belajar bagaimana mengelola sumber daya alam
yang baik untuk diwariskan kepada generasi berikutnya.

Indonesia yang dikaruniai iklim tropis telah dikenal kaya SDA. Sumber daya alam
merupakan obyek menarik dan diperebutkan oleh ragam kepentingan. Oleh karena
itu, magnitude tantangan mengelolanya tinggi. Menjaga kelola tersebut, pemerintah
telah dan terus melakukan pengaturan-pengaturan. Di satu sisi pemerintah harus
memenuhi kebutuhan ekonomi, di sisi lain harus menjaga lingkungan.
Pemanfaatan SDA yang belum ramah lingkungan dan memberikan kesejahteraan
signifikan kepada masyarakat sekitar, masih mengemuka. Beberapa langkah koreksi
dilakukan pemerintah untuk melakukan pengaturan-pengaturan optimal dalam
dinamika perkembangan persoalan kehutanan dan lingkungan. Perbaikan tata kelola
SDA

Kehadiran Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK)


semakin mempertegas kebutuhan akan standar tersebut. Penguatan ekonomi
nasional melalui peningkatan ekosistem investasi dan memperluas lapangan kerja
sebagai tujuan UUCK, mutlak harus dibarengi upaya-upaya terstruktur untuk
memastikan kualitas lingkungan dan kelestarian hutan terjaga baik.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya, menggarisbawahi


bahwa kebijakan tersebut adalah tentang keharusan aktualisasi keseimbangan
antara ekonomi dan lingkungan.  Untuk mendukung itu, dalam bidang LHK
pemerintah melakukan reformasi struktural dengan membentuk Badan Standardisasi
Instrumen Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BSILHK). Peraturan Presiden Nomor
92 tahun 2020 dan Peraturan Menteri LHK Nomor 15 tahun 2021 sebagai landasan
hukumnya.

Badan baru di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) ini mendapat
mandat untuk memastikan usaha-usaha kehutanan serta kegiatan-kegiatan
pemanfaatan SDA yang berimplikasi pada kualitas lingkungan hidup dan kelestarian
hutan dapat terkendali dengan baik. BSILHK tidak hanya memproduksi standar,
melainkan juga harus memastikan standar yang dibangun, diimplementasikan para
pelaku usaha bidang LHK.

Standar Apa yang Dibangun?

Tanpa standar, maka usaha-usaha pemanfaatan SDA akan bergulir liar. Bisa jadi
tidak terkendali dan menguras SDA tanpa bisa kembali. Sebagai contoh, negara
Nauru yang dulunya kaya raya, kini jatuh miskin karena salah mengelola SDAnya.
Banyak contoh lain, kasus Minamata yang merupakan contoh konkrit betapa usaha-
usaha industri yang tidak memperhatikan lingkungan akan menuai bencana. Siapa
yang menanggung akibatnya? Telah terekam dalam memori kita bersama.

Standar juga berpotensi menjadi biaya transaksi dalam usaha dan investasi. Oleh
karenanya standar perlu dirancang serius untuk menjamin kepastian usaha, dengan
membangun orientasi insentif dan disinsentif. Catatan tapak mengekspresikan
bahwa pendekatan-pendekatan komando dan kontrol tidak cukup mengendalikan
dampak-dampak aktifitas ekonomi terhadap lingkungan dan kelestarian hutan.

Dalam bidang lingkungan hidup dan kehutanan (LHK), standar bukan hal baru. 
Sejarah mencatat bahwa Tebang Pilih Indonesia (TPI) pada tahun 70an menjadi
standar sistem silvikultur hutan alam produksi saat itu. Berbagai penyempurnaan
terus dilakukan melalui sistem-sistem berikutnya.

Namun regenerasi hutan alam yang diharapkan sesuai proyeksi sistem tidak
sepenuhnya terjadi. Banyak faktor penyebab. Salah satunya adalah jenis
standarnya, yang lebih berorientasi pada proses, sehingga dipandang kaku dan
tidak menyisakan ruang gerak pengelola di lapangan untuk berkreasi menyesuaikan
dengan kondisi untuk memberikan hasil yang lebih baik, yang akhirnya terjebak
pada laporan-laporan administratif.

Implementasi standar LHK pada level sertifikasi juga telah diterapkan di Indonesia
pada akhir 1990, yang terus berkembang dalam puluhan inisiatif sertifikasi
kehutanan berkelanjutan hingga kini.  Bahkan pemerintah pun telah membangun
standar wajib memperkuat sertifikasi kehutanan berkelanjutan secara signifikan
melalui Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) sejak 2009 silam.

Penerapan SVLK tersebut dianggap berkontribusi pada penurunan tingkat


deforestasi di Indonesia menjadi di bawah 500.000 hektar setahun pada 2020. 
Berhasil menjauh dari puncaknya pada 1996-2000 yang mencapai 3,5 juta hektare.

Lantas, standar seperti apa yang kini perlu dibangun?

Mengacu pada UUCK, dalam sebuah kesempatan, Menteri Siti menjelaskan bobot
utamanya pada penyederhanaan prosedur dan mengatasi hambatan birokratis.
UUCK menurutnya menegaskan posisi perizinan sebagai instrumen pengawasan.
UUCK juga memberikan jalan keluar pada berbagai kebuntuan dalam sengketa
regulasi, penggunaan kawasan hutan, serta akibat-akibat yang terjadi dalam waktu
yang panjang seperti konflik tenurial.

Orang nomor satu di KLHK ini juga menjelaskan bahwa UUCK memberikan
penegasan yang nyata akan kebijakan pemerintah yang berpihak kepada
masyarakat. Keberpihakan tersebut baik dalam alokasi penggunaan dan
pemanfaatan kawasan hutan dan hasil hutan, akses pemanfaatan untuk
kemantapan perhutanan sosial, hingga memberikan jalan untuk penyelesaian
masalah hutan adat, termasuk perubahan-perubahan dalam sistem pengelolaan
hutan.

Untuk memenuhi itu, BSILHK menargetkan 2 agenda besar standardisasi. Pertama,


standar terkait dengan perizinan dan persetujuan baik perizinan berusaha,
persetujuan dasar, maupun persetujuan penggunaan/pemanfaatan kawasan hutan.
Kedua, standar non perizinan yaitu standar produk dan standar lain seperti standar
proses dan pelayanan.

Empat program prioritas segera dikerjakan BSILHK. Pertama, melakukan pemetaan


pelaku usaha dan entitas yang aktivitasnya berdampak pada lingkungan hidup.
Kedua, percepatan inventarisasi jenis standar untuk pengendalian lingkungan.
Ketiga, pembagian peran dengan entitas standardisasi secara nasional, dan
keempat adalah membangun standar instrumen untuk mengukur
keberhasilan/kegagalan pengendalian dampak lingkungan dan pengendalian
dampak usaha hutan dan kehutanan. Untuk sementara, BSILHK mencatat terdapat
4.396 usaha kehutanan. Data ini akan menjadi perintis kerja BSILHK di tapak.

Berkaca dari pengalaman standar pada masa lalu, maka bentuk dan sifat penerapan
standar di lapangan menjadi hal yang sangat menentukan. Untuk itu, berdasarkan
hasil inventarisasi jenis standar dalam program prioritas di atas, BSILHK akan
memetakan kebutuhan standar.  Standar hasil atau standar proses? Bersifat pasti
atau dapat menyesuaikan kondisi di lapangan, sepanjang menjamin kesesuaian
hasil? Bagaimana standar mengkreasi bisnis tanpa menimbulkan biaya transaksi?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan menjadi kerangka berpikir utama perumusan
standar oleh BSILHK.

Di samping itu, BSILHK pun terbuka pada pelbagai dinamika yang terjadi. Berbagai
faktor baik dalam dan luar negeri berpotensi mengubah standar. Kebijakan nasional,
kebutuhan pasar dan industri, perkembangan standardisasi nasional, perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi, kondisi SDA termasuk hutan dan lingkungan hidup,
adalah beberapa faktor penentu. Untuk itu, BSILHK akan menjalankan peran
strategis lintas organisasi untuk mengakomodir faktor-faktor yang berpotensi
menyebabkan perubahan.

Membangun Standar yang Menjamin Kepastian Usaha

Bagi negara-negara maju, standar digunakan sebagai infrastruktur untuk melindungi


pasar di wilayahnya. Standar juga digunakan untuk menguasai pasar dunia.
Standardisasi pada berbagai sektor saat ini terus meningkat sebagai upaya
menaikkan daya saing nasional dalam tataran ekonomi global. Ini juga menunjukkan
bahwa standar berperan penting dalam menjamin kepastian usaha. 

Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan, IPB,
Prof. Hariadi Kartodihardjo, melalui surat dari Darmaga, menyampaikan pesan
pentingnya.  Menurut Hariadi, standar perlu dihubungkan dengan efisiensi
pelaksanaan kebijakan, sehingga tidak menambah biaya transaksi. Kompleksitas
ukuran harus dihindari agar biaya dapat ditekan sekecil mungkin. BSILHK
disarankan untuk memeriksa efektivitas kebijakan melalui pendekatan insentif atau
disinsentif. 

Menjawab hal tersebut, termasuk tuntutan UUCK, melalui 2 agenda besar


standardisasi yang ditetapkannya, BSILHK akan fokus membangun standar yang
menjamin kepastian usaha.  Menekan biaya transaksi sekecil mungkin untuk
menghasilkan output tertentu, adalah strategi utamanya. Tentu dengan tetap
memegang prinsip keseimbangan antara ekonomi, sosial, dan lingkungan.

Memanfaatkan kemajuan teknologi adalah salah satu cara untuk mengurangi biaya
transaksi. Komunikasi dan transaksi para pihak berkepentingan dilakukan dengan
mudah dan cepat melalui kanal-kanal daring dan disimpan dalam basis data. Ini
akan meningkatkan transparansi dan mengurangi celah KKN. Cara berikutnya
adalah pembaruan kelembagaan untuk mewujudkan tata kelola (governance) yang
baik, untuk tujuan mengurangi biaya administrasi dan mempercepat waktu
pelayanan.

Dalam hal standar terkait pengelolaan SDA, isu-isu hak kepemilikan (poperty rights)
dan penguasaan sumberdaya alam atau faktor produksi, ketidakseimbangan akses
dan penguasaan informasi (asymmetric information), serta perilaku opportunistik
(opportunistic behavior), juga harus dapat diminimalkan untuk mengurangi biaya
transaksi.

Untuk itu, dalam setiap pengembangan standar, BSILHK akan menggunakan


pendekatan pendekatan insentif atau disinsentif; memetakan perbedaan karakteristik
biofisik, sosial dan budaya, serta ekonomi, maupun kapasitas lembaga
pelaksananya; serta mengadopsi perkembangan iptek terkini, pengetahuan
profesional, maupun pengetahuan lokal. BSILHK tidak dapat bekerja secara
sendirian, karena terhubung dengan pihak lain para pemanfaat/pengguna SDA,
pelaku usaha, dan regulator pemanfaatan SDA.

Dari semua standar yang telah, sedang, dan akan dikembangkan, standar
pelengkap yang harus tersedia adalah standar instrumen untuk mengukur
keberhasilan/kegagalan pembangunan dan penerapan standar. Melalui standar ini,
akan diketahui efektivitas pengendalian dampak lingkungan dan pengendalian
dampak usaha hutan dan kehutanan dari standar yang diterapkan. Ini
menjadi feedback bagi perubahan standar untuk hasil yang lebih baik ke depan.

Harapannya, pengelolaan SDA lestari dapat tercapai, dan berkontribusi pada


terwujudnya tujuan pembangunan berkelanjutan.  Kita tentu tidak ingin kekayaan
SDA Indonesia menjadi kutukan, melainkan harus menjadi berkah bagi kemakmuran
rakyat Indonesia.  Kisah pedih dari kebodohan mengelola SDA tanpa standar seperti
yang terjadi di Negara Nauru, negara kaya raya yang jatuh miskin dan mengalami
kerusakan ekosistem luar biasa, tidak boleh terjadi di negara kita tercinta.

Mari bekerja bersama, merumuskan standar-standar LHK terbaik untuk melindungi


bangsa, sumber daya alam, dan lingkungan, serta meningkatkan daya saing
Indonesia di dunia. (DP & YS)

Guru Besar Kebijakan Kehutanan, Fakultas Kehutanan IPB Hariadi Kartodiharjo


mengungkap sejumlah persoalan karut matur tata kelola lingkungan hidup dan
pemanfaatan sumber daya alam (SDA).Prof Hariadi mengungkapkan adanya
institusional corruption terkait praktik-praktik dan sistem yang korup dalam
pemanfaatan tata ruang dan SDA. Menurutnya, ada tekanan nyata dari perusahaan
yang beroperasi mengeksploitasi SDA di daerah dengan didukung oleh militer dan
paramiiter setempat. 

"Masalah ini sering menjadi hambatan bagi kepala daerah dalam menjalankan
program aksi penyelamatan lingkungan hidup di daerah. Termasuk perizinan-
perizinan ekstraktif yang kini menurut UU Omnibus Law telah menjadi wewenang
pemerintah pusat sehingga daerah menjadi tidak berdaya," kata Prof Hariadi dalam
Evaluasi Akhir Tahun LP3ES : Politik Lingkungan Hidup dan Masalah Perubahan
Iklim yang digelar secara virtual pada Rabu, (15/12) malam. 

Prof Hariadi mengingatkan lingkungan hidup banyak terkait dengan “hukum alam”.
Contohnya, hutan lindung jika dirusak oleh siapapun pasti akan memberikan
dampak kerusakan berupa bencana alam. Sehingga menurutnya perlu keputusan
pasti dan bukan hanya persoalan negosiasi politik. 

"Melainkan arah politik lingkunan hidup semakin melonggarkan pemanfaatan


eskploitasi sumberdaya alam dengan alasan adanya proyek strategis nasional
2021. Sayangnya tidak pernah terlihat proyek strategis nasional untuk dukungan
bagi kawasan lindung untuk hutan dan alam sekitarnya," ujar Prof Hariadi. 

Prof Hariadi juga menilai tata kelola dan peran lembaga negara dalam konteks
implementasi di lapangan tidak semakin baik. Apalagi seiring dengan bertambahnya
intensitas eksploitasi yang saat ini dipercepat dan berdampak negatif pada
lingkungan hidup. Oleh karena itu, dia menawarkan penguatan peran masyarakat
sipil. 

"Peran masyarakat sipil harus terus diperkuat sebagai penyeimbang dari rendahnya
kontrol pemerintahan yang sedang berkuasa dan perangkatnya, seperti terjadi
sekarang ini," ucap Prof Hariadi. 

Makna “Dikuasai Oleh Negara” Dalam Pasal 33 UUD 1945

SHARE ON:FacebookTwitter Google +

Suatu siang di bulan Desember 2009. Ahmad Daryoko, Ketua Serikat Pekerja
Perusahaan Listrik Negara (SP-PLN) saat itu, memimpin kawan-kawannya saat
sidang pendahuluan uji-materi UU nomor 30/2009 tentang ketenagalistrikan di
Mahkamah Konstitusi.

SP PLN beranggapan bahwa UU ketenagalistrikan yang baru itu sangat


bertentangan dengan ayat ke-2 pasal 33 UUD 1945: “Cabang-cabang produksi
yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai
oleh negara.”

Pasalnya, dengan kehadiran UU kelistrikan yang membolehkan privatisasi, maka


kontrol negara terhadap sektor kelistrikan pun semakin berkurang. Dengan begitu,
layanan listrik pun akan menjadi komoditi yang diperdagangkan secara bebas.
Muncul polemik saat itu: apa pengertian atau makna “dikuasai oleh
negara“sebagaimana tercantum dalam Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945?

Berbagai pendapat pun bermunculan, baik dari kalangan ekonom progressif maupun
dari kalangan ekonom pro-neoliberalisme.

Menteri Negara BUMN saat itu, Mustafa Abubakar, dalam keterangan tertulis di
sidang uji materi UU nomor 30/2009 menafsirkan “dikuasai oleh negara” berarti
negara sebagai regulator, fasilitator, dan operator yang secara dinamis menuju
negara hanya sebagai regulator dan fasilitator.

Pendapat semacam itu juga diadopsi oleh Mahkamah Konstitusi. Menurut


Mahkamah Konstitusi, makna dikuasai oleh negara adalah rakyat secara kolektif
mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan
pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad)
dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.

Dengan begitu, menurut penafsiran MK, pasal Pasal 33 UUD 1945 tidaklah menolak
privatisasi, asalkan privatisasi itu tidak meniadakan penguasaan negara. MK juga
mengatakan bahwa pengusaaan negara terhadap badan usaha cabang produksi
tidak harus selalu 100%.

MK berusaha menyimpulkan begini:


“Pemilikan saham Pemerintah dalam badan usaha yang menyangkut cabang
produksi yang penting bagi negara dan/atau yang menguasai hajat hidup orang
banyak dimaksud, dapat bersifat mayoritas mutlak (di atas 50%) atau bersifat
mayoritas relatif (di bawah 50%) sepanjang Pemerintah sebagai pemegang saham
mayoritas relatif tersebut secara hukum tetap memegang kedudukan menentukan
dalam pengambilan keputusan di badan usaha dimaksud.”

Lebih jauh lagi, MK juga beranggapan bahwa Pasal 33 UUD 1945 juga tidak
menolak ide kompetisi di antara para pelaku usaha, sepanjang kompetisi itu tidak
meniadakan penguasaan oleh negara yang mencakup kekuasaan untuk mengatur
(regelendaad), mengurus (bestuursdaad), mengelola (beheersdaad), dan
mengawasi (toezichthoudensdaad) cabang-cabang produksi yang penting bagi
negara dan/atau yang mengusai hajat hidup orang banyak untuk tujuan sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat.

Dengan pijakan tafsiran itu, maka pantas saja jika lembaga penafsir konstitusi itu
menolak uji materi terhadap UU nomor 30/2009. Rupanya, paradigma berfikir yang
dominan di Mahkamah Konstitusi adalah liberalisme.

Tafsiran terhadap pasal 33 UUD 1945 itu sebetulnya tidak perlu, jikalau semua
orang bisa memahami penjelasan pasal pasal 33 UUD 1945 sebelum perubahan,
yang berbunyi: “Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi
semua orang. Sebab itu cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan
yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Kalau tidak,
tampuk produksi jatuh ke tangan orang-seorang yang berkuasa dan rakyat yang
banyak ditindasinya. Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang
banyak boleh di tangan orang-seorang”.

Menurut Professor Sri Edi Swasono, salah seorang ekonom kerakyatan dari
Universitas Indonsia, dari segi imperativisme suatu Undang-Undang Dasar, maka
“mengusai” haruslah disertai dengan “memiliki”. Sebab, jika tidak disertai penegasan
memiliki, maka pengusaan negara tidak akan berjalan efektif, apalagi dalam tata-
main era globalisasi saat ini.

Menurutnya, ayat (3) Pasal 33 UUD 1945 merupakan penegasan dari makna
demokrasi eonomi, yaitu perekonomian diselenggarakan demi kesejahteraan sosial
bagi rakyat. Kepentingan rakyatlah yang utama bukan kepentingan orang-seorang,
meskipun hak warganegara orang-seorang tetap dihormati.

“Privatisasi yang terjadi di lingkungan Kementerian Negara BUMN, yang menjuali


BUMN demi demokratisasi (Barat), melawan UUD 1945,” kata Prof Sri Edi Swasono
dalam testimoninya di sidang uji materi UU nomor 30/2009 di Mahkamah Konstitusi.

Memang, pada peringatan Hari Koperasi, 12 Juli 1977, Bung Hatta berusaha
memberikan sebuah defenisi yang longgar mengenai makna “dikuasai oleh negara”
itu. Menurut Bung Hatta, makna “dikuasai” oleh negara dalam pasal 33 UUD 1945
tidak berarti negara sendiri menjadi pengusaha, usahawan, atau ondernemer. Lebih
tepat, kata Hatta, jika dikatakan bahwa kekuasaan negara terdapat pada pembuatan
peraturan guna melancarkan jalan ekonomi, sebuah peraturan yang melarang pula
“penghisapan” orang yang lemah oleh orang yang bermodal.

Menurut Rudi Hartono, salah seorang peneliti dari Lembaga Pembebasan Media
dan Ilmu Sosial (LPMIS), penafsiran terhadap pasal 33 UUD 1945 tidak bisa
dipisahkan dari semangat dari para penyusunnya dan kondisi historis yang
melingkupinya.

Rudi Hartono secara khusus merujuk kepada pemikiran Bung Karno tentang sosio-
nasionalisme dan sosio-demokrasi. Katanya, jika kita menjadi kedua konsep itu
sebagai acuan, maka UUD 1945 merupakan penegasan konstitusional untuk
menolak segala bentuk kolonialisme, imperiaisme, bahkan kapitalisme.
Harus diingat, kata dia, Bung Karno adalah ketua Panitia Perancang Undang-
Undang Dasar. Jadi, fikiran beliau sangat banyak tercurahkan dalam penyusunan
UUD 1945. Saat itu, anggota Badan Penyelidik dipilah-pilah menjadi Panitia
Perancang Undang-Undang Dasar dengan ketua Soekarno, Panitia Pembelaan
Tanah Air dengan ketua Abikoesno Tjokrosoejoso, serta Panitia Ekonomi dan
Keuangan dengan ketua Mohammad Hatta.

Selain itu, untuk merekam semangat para pendiri bangsa, maka ada baiknya
membuka kembali naskah dan dokumen-dokumen rapat Dokuritsu Junbi Cosakai
atau Badan untuk Menyelidiki Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan.

Panitia Keuangan dan Perekonomian, sebuah panitia bentukan BPUPKI yang


diketuai Mohammad Hatta –dalam Soal Perekonomian Indonesia Merdeka,
merumuskan pengertian dikuasai oleh Negara sbb:

Pemerintah harus menjadi pengawas dan pengatur dengan berpedoman


keselamatan rakyat;

Semakin besarnya perusahaan dan semakin banyaknya jumlah orang yang


menggantungkan dasar hidupnya karena semakin besar mestinya penyertaan
pemerintah;

Tanah air haruslah dibawah kekuasaan Negara; dan

Perusahaan tambang yang besar dijalankan sebagi usaha Negara.

Lalu, menurut Rudi Hartono, kita juga tidak bisa menafikan latar-belakang historis
pembentukan UUD 1945. “UUD 1945 disusun dalam semangat untuk keluar dari
penjajahan selama ratusan tahun. Karena itu, hampir semua filosofi dan semangat
dalam pembukaan maupun pasal UUD 1945 adalah penegasan untuk melawan
penjajahan,” ujarnya.
Rudi menganggap tafsiran Meneg BUMN dan MK keluar dari kerangka filosofis yang
dikehendaki oleh para pendiri bangsa dan mengabakan aspek historis yang
melahirkan perasaan kebangsaan saat itu.

“Mereka menafsirkan pasal 33 UUD dalam semangat turut berkifrah dalam


globalisasi neoliberal sekarang ini. Maka, jangan heran bila penafsiran mereka
sangat pro-neoliberal,” ujar aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) ini. (Rudi
Hartono)

English 中 文 (Chinese)Deutsch (German)Español (Spanish)Français


(French)Bahasa Indonesia (Indonesian)Italiano (Italian) 日本語 (Japanese)Português
(Portuguese)

TENTANG

READERSBLOG

HUTAN HUJAN

FOTO

PARA PENJAGA HUTAN

Untuk mencari, ketik dan tekan enter.

Sosial

Tambang Timah yang “Melubangi” Jejak Rempah Nusantara di Pulau Bangka

oleh Taufik Wijaya dan Nopri Ismi [Bangka Belitung] di 3 September 2021
Sejak tahun 2000-an, marak penambangan timah ilegal di Pulau Bangka yang
meninggalkan ratusan kolam yang disebut kolong.

Maraknya tambang ilegal di Pulau Bangka, dinilai akibat otonomi daerah di


Indonesia. Di sisi lain, muncul pendapat masyarakat Bangka terkait dengan
peradaban timah dan tradisi menambang timah.

Berbagai Suku Melayu tua di Pulau Bangka, sejak dulu menolak penambangan
timah. Mata pencaharian mereka dari rempah-rempah dan ikan.

Masyarakat Bangka dibangun oleh kebudayaan bahari. Rempah dan ikan


merupakan bagian dari sejarah peradabannya.

Selama belasan abad, Pulau Bangka menjadi bagian dari jalur kemaritiman
Nusantara. Rempah atau timah, yang membangun peradaban masyarakat di pulau
seluas 1,16 juta hektar ini?

Jika naik pesawat, menuju Pangkalpinang, Ibu Kota Kepulauan Bangka Belitung,
saat menjelang mendarat, kita melihat puluhan danau berwarna biru dan hijau.
Danau-danau tersebut bukan bentukan alam, tetapi kolam bekas penambangan
timah yang disebut “kolong”. Sebagian, kolong bekas penambangan timah ilegal itu
marak terjadi pada tahun 2000-an. Dulunya, kolong-kolong itu bukan hanya semak
belukar, tetapi juga perkebunan, hutan, mangrove, serta permukiman.
Dalam sejumlah perjalanan darat Mongabay Indonesia di Pulau Bangka, misalnya
dari Pangkalpinang ke Belinyu, Mentok, Toboali, Jebus, Permis, Sungaiselan,
Mapur, Pejem, Maras, atau Kota Kapur, ditemukan belasan hingga puluhan kolong
yang letaknya di sekitar jalan.

Kolong-kolong tersebut, ada yang masih dikelilingi tumpukan pasir dan tanah liat,
sudah ditumbuhi semak dan tanaman tertentu, atau dijadikan tempat mandi dan
mencuci, kolam ikan, serta tempat rekreasi. Bahkan, ada yang dijadikan sumber air
baku perusahaan daerah [PDAM].

Penelitian berjudul “Analisis Sebaran Kegiatan Pertambangan Timah Menggunakan


Sistem Informasi Geografi di Daerah Bangka, Provinsi Bangka Belitung” oleh
Mustafa Luthfi dan Bambang Sunarwan, yang diterbitkan Jurnal Teknologi Vol. I,
Edisi 13, Periode Juli-Desember 2008, menunjukkan di Pulau Bangka pada tahun
2006 terdapat 1.021 kolong.

Sejumlah kolong tersebut tersebar di Kabupaten Bangka [413], Bangka Selatan


[124], Bangka Tengah [208], Bangka Barat [244], dan Pangkalpinang [32].
Disebutkan, kolong-kolong itu bukan hanya di lokasi eks tambang ilegal, tapi juga di
wilayah KP [Kuasa Pertambangan] PT. Timah Tbk.

Pada 2015, jumlah kolong di Kepulauan Bangka Belitung tercatat 192. Setiap kolong
luasannya antara 1-22 hektar. Data ini dikutip dari artikel “Pemulihan dan
Pemanfaatan Lahan Bekas Penambangan Timah” yang disiarkan
bappeda.babelprov.go.id.

Baca: Rempah dan Jejak Peradaban Bahari di Kepulauan Bangka Belitung


Penampakan kolam bekas tambang timah ilegal di Desa Rindik, Kabupaten Bangka
Selatan. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

Berapa jumlah kolong di Pulau Bangka pada saat ini?

Anggi Siahaan, Kepala Bagian Humas PT. Timah Tbk, kepada Mongabay Indonesia,
Senin [30/08/2021], tidak menjelaskan jumlah kolong di Pulau Bangka saat ini.

Jelas dia, perusahaan berkomitmen mengimplementasikan good mining practices


dan bertanggung jawab melakukan reklamasi, di darat dan laut.

“Namun, seperti kita ketahui saat ini banyak wilayah konsesi perusahaan yang
ditambang tanpa izin atau ilegal. Sehingga, menyebabkan kerusakan lingkungan
karena tidak menerapkan kaidah yang baik. Bahkan, ada bekas lahan tambang yang
sudah kami reklamasi, ditambang lagi oleh penambang tanpa izin. Padahal konsesi
itu milik PT. Timah Tbk,” lanjutnya.
Reklamasi di darat, bentuknya revegetasi atau penanaman, dan ada juga bentuk lain
berdasarkan permintaan dan kebutuhan stakeholder. “Dari 2017 hingga Juli 2021,
perusahaan sudah mereklamasi 1.604 hektar lahan bekas tambang,” katanya.

Terhadap kolongnya, perusahaan melakukan treatment dengan stabilisasi lereng


melalui penataan dan penanaman tepian. serta, memasang rambu atau papan berisi
informasi larangan beraktivitas di kolong dan pemeliharaan tanaman.

“Rata-rata kolong pada lahan reklamasi dimanfaatkan untuk cadangan air, budidaya
ikan menggunakan keramba jaring apung, PLTS [Pembangkit Listrik Tenaga Surya]
Terapung, serta tempat wisata air,” katanya.

Baca: Ampak, Kearifan Masyarakat Melayu di Bangka Melawan Tambang Timah

Aktivitas tambang ilegal yang menciptakan kolong di Desa Rindik, Toboali,


Kabupaten Bangka Selatan. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

Peranan timah
Dr. Ibrahim, Rektor Universitas Bangka Belitung, menjelaskan maraknya aktivitas
tambang ilegal di Kepulauan Bangka Belitung, khususnya di Pulau Bangka,
dikarenakan pemerintah mengeluarkan kebijakan yang memberi peluang timah
dapat ditambang bukan hanya oleh PT. Timah Tbk.

“UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999
tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah, mendorong
Pemerintah Kepulauan Bangka Belitung berkeinginan memanfaatkan timah dengan
menerbitkan Perda No. 6 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Pertambangan Umum,”
kata Ibrahim, yang menulis buku “Sengkarut Timah dan Gagapnya Ideologi
Pancasila [2013]”.

Selanjutnya, Perda Nomor 20 Tahun 2001 tentang Penetapan dan Pengaturan


Tatalaksana Perdagangan Barang Strategis, Perda Nomor 21 Tahun 2001 tentang
Pajak Pertambangan Umum dan Mineral Ikutan Lainnya, serta Perda Nomor 10
Tahun 2002 tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Kolong.

“Pada masa Orde Baru, masyarakat dilarang menambang timah. Jika ketahuan,
langsung ditangkap dan dipenjara. Jadi, tambang ilegal itu semacam ekspresi
kebebasan era reformasi,” kata Ibrahim.

Baca: Terancamnya Tujuh Suku Melayu di Teluk Kelabat Bangka, Akibat Tambang
Timah Ilegal
Seorang penambang menunjukkan bongkah batuan yang mengandung timah. Foto:
Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

Di tengah maraknya tambang ilegal, muncul juga sejumlah pandangan mengenai


penambangan timah.

Dato Akhmad Elvian, budayawan dan sejarawan Bangka Belitung, menggambarkan


masyarakat Bangka tidak lepas dari peradaban timah. Pemikiran ini disampaikannya
melalui artikel “Masyarakat Bangka & Peradaban Timah” di babelpos.co. Ditulisnya,
banyak permukiman atau kota di Pulau Bangka, terbentuk karena aktivitas
penambangan timah. Misalnya, Muntok, Toboali, dan Pangkalpinang.

“Provinsi ini dapat berkembang dan maju, salah satunya karena daerahnya
merupakan penghasil timah, dan bisa disebut sudah jadi tradisi sebagian besar
masyarakat Babel [Bangka Belitung] untuk menambang timah turun-temurun, di
kesempatan ini kami juga perlu sampaikan pejabat Babel bisa berkembang juga
karena timah,” kata Letkol Laut [PM] Fajar Hasta Kusuma, Palaksana Lanal
[Pangkalan TNI AL] Bangka Belitung, dalam Rapat Koordinasi Forkopimda Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung yang membahas persoalan antara penambang timah
dengan masyarakat terkait kawasan Teluk Kelabat Dalam, [05/8/2021], seperti
dikutip dari aspirasipos.com.

Fakhrizal Abubakar, Kepala Museum Timah Indonesia [TMI] Muntok, dikutip dari
National Geographic Indonesia, menjelaskan timah sudah ditambang sejak
kedatangan Kedatuan Sriwijaya di Kota Kapur pada abad ke-7. Saat itu, timah masih
untuk media barter dan bahan prasasti. Timah digali dalam skala kecil.

Baru pada masa Kesultanan Palembang [Sultan Mahmud Badaruddin I],


penambangan timah di Pulau Bangka dilakukan besar-besaran, dari 1730-an sampai
1740-an.

Penambangan timah dilakukan para buruh Tionghoa. Mereka mempunyai sistem


kolong dengan menggunakan pacul dalam menambang. Alasan Kesultanan
Palembang memperkerjakan buruh-buruh Tionghoa karena lebih disiplin dan
bertenaga kuat dibandingkan pribumi. Sebagian masyarakat Bangka yang hidup
saat ini, merupakan keturunan para penambang Tionghoa tersebut.

Baca: Lempah Kuning, Harmonisnya Manusia dengan Alam dalam Kuliner

Pasir timah yang ditemukan di Bangka dan pulau-pulau lainnya, baik di darat
maupun laut. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

Memilih rempah, menolak timah


Sekitar empat bulan Mongabay Indonesia menelusuri berbagai Suku Melayu di
Pulau Bangka, seperti Suku Mapur, Suku Maras, Suku Jerieng, Suku Gudang, Suku
Sebagin, dan lainnya, tidak mendapatkan tradisi atau budaya terkait timah.

Misalnya, tradisi menempa timah, adanya peralatan rumah tangga, perhiasan,


peralatan pertanian, atau produk seni, seperti sastra, tari, musik, yang terkait timah.
Timah hanya digunakan sebagai pemberat jaring ikan.

Para leluhur berbagai Suku Melayu tersebut datang ke Pulau Bangka, jauh sebelum
Kesultanan Palembang menguasai Pulau Bangka. Mereka datang di masa Kerajaan
Funan [Indochina], Sriwijaya, dan Majapahit.

Didapatkan informasi, para penambang timah ilegal kebanyakan para pendatang.


Misalnya dari Tulungselapan, Air Sugihan dan Sungsang [Sumatera Selatan],
Lampung, dan Jawa.

Selama belasan tahun, mereka menolak kehadiran tambang timah, baik yang
dilakukan PT. Timah Tbk maupun yang ilegal. Terakhir, sebagian warga ditangkap
dan ditahan karena dituduh menguasai dan merusak KIP [Kapal Isap Produksi] Citra
Bangka Lestari di Perairan Bedukang.

Mereka menjelaskan lada, cengkih, dan ikan yang menghidupi sukunya selama
ratusan tahun. Di Pulau Bangka, menanam lada dan mencari ikan, sementara di
pulau-pulau kecil, menanam cengkih dan mencari ikan.
Baca juga: Kebun Cengkih dan Jalur Rempah Nusantara di Pulau Nangka

Sejumlah perempuan yang baru turun dari ponton tambang ilegal di tengah laut.
Mereka meminta hasil timah dengan cara membantu memasak makanan untuk para
penambang. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

Lada dan cengkih melahirkan kuliner khas Bangka yakni lempah kuning, dan
sejumlah obat herbal. Daun lada dijadikan motif kain cual, songket khas Bangka,
serta kata lada disebut dalam sejumlah sastra lisan.

“Timah tidak ada dalam sejarah kehidupan kami. Lada dan ikan yang
menyekolahkan anak-anak kami, dan membuat kami naik haji [muslim], atau
membuat rumah,” kata Sep Amir Ibrahim [80], tokoh masyarakat Desa Permis,
Kabupaten Bangka Selatan.

“Selama ratusan tahun, masyarakat yang menetap di pulau ini tidak pernah
menambang timah. Kami hanya menanam cengkih, buahan, dan mencari ikan di
laut. Tidak ada tradisi menambang timah,” kata Marsidi [66], tokoh masyarakat Pulau
Nangka, Desa Tanjung Pura, Kecamatan Sungaiselan, Kabupaten Bangka Tengah.
Umran [73], tokoh adat Suku Maras mengatakan, sejak dulu tidak ada
penambangan timah di sini. “Semuanya sudah di-ampak [di daratan] leluhur kami.
Kami hidup dari berkebun lada, karet, dan mencari ikan. Meskipun saat ini sudah
ada yang berkebun sawit, kami menolak kehadiran perusahaan sawit.”

Sukardi [52], tokoh adat Suku Mapur, menuturkan, leluhur mereka tidak pernah
mengenalkan tradisi menambang timah. “Turun menurun kami hidup dari berkebun
lada, kelapa, dan mencari ikan. Bahkan leluhur kami meng-ampak-an pasir timah di
sini [di daratan],” katanya.

Lada merupakan tanaman yang dikelola masyarakat Suku Lom di Dusun Pejem.
Foto: Taufik Wijaya/Mongabay Indonesia

Derita Prapti Rahayu, dari Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung, dalam
penelitiannya berjudul “Kearifan Lokal Tambang Rakyat sebagai Wujud Ecoliteracy
di Kabupaten Bangka” menjelaskan, ampak yang artinya dihilangkan, merupakan
kearifan lokal masyarakat di Bangka dalam menjaga lingkungannya, dari
penambangan timah.
Dia meneliti pada sejumlah wilayah di Kabupaten Bangka yang bebas dari tambang
ilegal, seperti Desa Balunijuk dan Desa Jade [Kecamatan Merawang], Desa Mabet
dan Desa Dalil [Kecamatan Bakam], serta Desa Petaling [Kecamatan Mendo Barat].

Lada sudah ditanam masyarakat di Bangka sekitar 300-400 tahun lalu, di masa awal
kedatangan Belanda. Hal ini terindikasi dari varietas tanaman lada dengan nama
Lampung Daun Lebar [LDL] dan Lampung Daun Kecil [LDK], serta Jambi.

Lada dari Pulau Bangka sangat terkenal di dunia, yang disebut “Muntok White
Pepper”.

Hingga saat ini, Kepulauan Bangka Belitung menjadi produsen utama lada di
Indonesia. Dikutip dari katadata.co.id, Badan Pusat Statistik [BPS] menyebutkan,
pada tahun 2020, Kepulauan Bangka Belitung merupakan produsen lada terbesar di
Indonesia, yakni 33,8 ribu ton atau 37,6 persen dari total produksi nasional.

Lempah kuning, kuliner khas Bangka Belitung yang kaya rempah. Foto: Nopri
Ismi/Mongabay Indonesia

Hidup dengan rempah


Rendy Hamzah, Peneliti Pusat Studi Budaya, Peradaban, dan Pariwisata
[Pusdappar] Universitas Bangka Belitung [UBB], menjelaskan masyarakat
Kepulauan Bangka Belitung tumbuh dalam kebudayaan bahari, seperti suku Melayu
lainnya di Nusantara. Rempah dan ikan merupakan bagian dari sejarah
peradabannya.

“Timah itu bagian kecil dari sejarah masyarakat pribumi Bangka. Mereka menilai
timah itu bisnis para penguasa. Mereka memilih hidup dengan rempah-rempah dan
ikan karena tidak bertentangan dengan falsafah hidup yang menghargai alam.
Makanya, Kesultanan Palembang terpaksa mendatangkan pekerja tambang
Tionghoa,” kata Rendy.

“Jika dipaksa, mereka melawan. Dulu melawan dengan meng-ampak pasir timah,
kini dengan aksi protes,” lanjutnya.

Perkebunan lada merupakan perkebunan skala besar yang masih bertahan di


Bangka dan Belitung saat ini. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia
Di Pulau Bangka akan dikembangkan hilirisasi Logam Tanah Jarang [LTJ]. LTJ atau
rare earth merupakan logam turunan dari penambangan timah, yang dinilai
Pemerintah Indonesia sebagai “harta karun”.

“Sebaiknya, pemerintah juga memikirkan masa depan masyarakat di Pulau Bangka


yang tidak mau terlibat dengan penambangan tersebut. Atau, jangan hilangkan jejak
rempah di Pulau Bangka. Biarkan para Suku Melayu tua di Bangka hidup nyaman
dengan lada, cengkih dan ikan,” kata Rendy.

Artikel yang diterbitkan oleh Rahmadi R

Bangka Belitung, Bencana Ekologis, Ekologi Pesisir, Featured, Kerusakan


Lingkungan, Konflik Sosial, Pertambangan, Sumatera, Sumber Daya Air

by TaboolaPromoted Links

You May Like

Apakah Anda ingin mempertahankan kejantanan Anda setelah usia 40 tahun? Baca
selengkapnya di sini!

lecrafft

Juliana Ojong, Bergerak Demi Bumi dan Sesama Lewat ‘Eco Enzyme’
16 makanan yang seharusnya tidak pernah disimpan di dalam kulkas

Story To Hear

Upaya Lestarikan Kopi Bacan dari Induk Tanaman Usia Lebih 100 Tahun

16 foto hasil belanja online yang akan membuat anda tertawa

The Family Breeze

Wanita ini dipaksa keluar dari restoran, karena mereka tidak mengetahui siapa
sebenarnya wanita ini

Kingdom Of Men

Seorang istri menangkap benda aneh dari air, ketika suaminya melihat benda
tersebut ia berteriak

Women's Method

Elevator Tangga Bisa Menjadi Impian Bagi Lansia Di Siring Agung

stair-lift-69054.com

Kisah Sungai di Sumatera, dari Kejayaan Menuju Kerusakan

berdasarkan topik

berdasarkan lokasi

BatubaraBurungDeforestasiDunia SatwaEnergiFiturHutanKabut AsapKelapa


SawitKonservasiLautanMasyarakat AdatOrangutanPenegakan HukumPerburuan
LiarPerkebunanPerubahan IklimPolusiSpesies BaruTeknologiMany more topics

BARU

RUU Konservasi Diharap Akomodir Kepentingan Masyarakat AdatShellBank,


Aplikasi untuk Memutus Perburuan dan Perdagangan Penyu IlegalJuliana Ojong,
Bergerak Demi Bumi dan Sesama Lewat ‘Eco Enzyme’Cerita Perempuan Jenggik
Utara Penuhi Pangan BersamaMengelola Sampah Tanpa Bakar, Cara Mudah
Pengendalian Emisi

September 2021
Disalah satu selasar Bandara Depati amir didesain sangat elegan demi kenyaman
penumpang pesawat yang baru tiba di pangkalpinang. Mereka akan disuguhi
berbagai foto berukuran besar yang terpampang di dinding kaca sepanjang selasar
menuju lantai bawah Bandara. Foto foto tersebut merupakan foto-foto kawasan
wisata serta foto fauna yang ada di daerah Propinsi Bangka Belitung. Namun dari
banyaknya foto yang terpampang disepanjang selasar Bandara, ada satu foto yang
menarik untuk diperhatikan, yaitu foto seekor fauna yang ditampilkan di dinding kaca
selasar bandara tersebut. Foto yang berukuran besar tersebut nampak hewan jenis
primata. Sekilas primata ini berbeda dan mempunyai keunikan dari jenis primata
yang biasa kita temui di Indonesia, keunikannya ada pada ukuran bola matanya
yang besar dan bulat yang tampak selalu melotot. Masyarakat di Bangka biasa
menyebut fauna tersebut Mentilin. Menurut situs Berita Lingkungan
MOGABAY/Ahmad Supardi [Bengkulu] di 28 January 2021, Keunikan dari hewan ini
ia tidak menggerakkan matanya melainkan memutarkan kepalanya karena mentilin
memiliki kemampuan memutar kepalanya 180 derajat. Mentilin memiliki ekor yang
panjangnya dapat melebihi panjang tubuhnya, mempunyai ukuran tubuh yang
sangat kecil. Mentilin merupakan Primata endemik Sumatra dan Kalimantan,
khusunya Pulau Bangka. Mentilin merupakan primata karnivora, memangsa
serangga seperti kumbang, semut, belalang, jangkrik, kecoak, ngengat, dan kupu-
kupu serta vertebrata kecil lainnya. Di Provinsi Bangka Belitung, mentilin ditemukan
dalam berbagai variasi hutan primer dan sekunder, serta habitat semak belukar.
Masyarakat luar Bangka Belitung tentu asing dengan hewan tersebut, namun tidak
dengan masyarakat Bangka Belitung. Pada tahun 2015 Pemerintah Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung sepakat menjadikan binatang khas daerah yaitu Mentilin
sebagai maskot Pekan Olahraga Wilayah (Porwil) IX, juga pada Tahun 2016 Mentilin
terpilih sebagai maskot pilkada gubernur Bangka Belitung dan terakhir pada tahun
2022 Mentilin dijadikan Peran Saka Nasional di Bumi Perkemahan Depati Amir.
Berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 522.53-958/2010, Mentilin
dietetapkan sebagai fauna identitas Provinsi Bangka Belitung dan berdasarkan
Permen LHK Nomor P.106/2018. Mentilin tercatat sebagai satwa yang dilindungi.
Kalau kita mendengar satwa yang dilindungi, maka pemikiran kita mengatakan
bahwa populasi satwa tersebut di alam jumlahnya semakin berkurang di habitatnya.
Saat ini sulit untuk bisa menemukan atau melihat mentilin dialam bebas, di hutan
Bangka. Bukan karena mentilin termasuk satwa jenis primata yang pemalu, namun
satwa ini merasa malu akan kondisi hutan yang ada di Pulau Bangka, sehingga
membuat mentelin sudah tidak mau menampakkan dirinya lagi dihutan bangka.
Keengganan mentilin untuk menampakkan dirinya karena habitat tempatnya hidup
sudah diganggu keberadaannya. Habitatnya kini terancam oleh perubahan fungsi
hutan. Hutan di Bangka saat ini, banyak dikonversi menjadi tambang timah ilegal,
perkebunan sawit, dan permukiman. Penulis sendiri pernah menanyakan mengenai
keberadaan mentilin kepada warga dimana habitat mentilin tersebut berada, dimana
didaerah Lubuk Besar di Kabupaten Bangka Tengah pernah terlihat mentilin
dizaman mereka masih bekebun sahang, namun sekarang sudah sulit
menemukannya, akibat adanya perubahan fungsi hutan sebagai tempat habitat
mentilin yang kini menjadi areal pembukaan perkebunan kelapa sawit. Sejak tahun
1995, perkebunan Kelapa Sawit mulai muncul di Pulau Bangka, menjadi pesaing
baru perkebunan lada dan karet. Pulau Bangka yang merupakan penghasil timah
terbesar diIndonesia, dieksploitasi oleh penambang timah ilegal tanpa
memperhatikan dampak lingkungan yang ada. Kegiatan penambangan yang tidak
dikelola dengan baik akan mengakibatkan berbagai kerusakan lingkungan. Bila kita
naik pesawat, menuju Pangkalpinang, Ibu Kota Kepulauan Bangka Belitung, saat
menjelang mendarat, kita melihat puluhan danau berwarna biru dan hijau. Danau-
danau tersebut bukan bentukan alam, tetapi kolam bekas penambangan timah yang
disebut “kolong”. Sebagian kolong merupakan bekas penambangan timah ilegal.
Penambangan ilegal tersebut marak terjadi pada tahun 2000-an. Dulunya, kolong-
kolong itu bukan hanya semak belukar, tetapi juga perkebunan, hutan, mangrove,
serta permukiman. Selain itu, aktivitas jual beli satwa juga berpengaruh terhadap
berkurangnya sejumlah satwa langka di Bangka Belitung. Pada Maret 2020 lalu, Tim
Animal Lovers Bangka Belitung Island [Alobi], BKSDA, dan Karantina Pertanian
Pangkal Pinang mengungkap kasus perdagangan ilegal mentilin. Mentilin yang
gagal diperjualbelikan tersebut di lepaskanliarkan di Taman Hutan Raya
Menumbing, Bangka Barat, ujar Valentino, Ketua Tim Alobi, dikutip
dari Kompas.com. Menurut peneliti satwa di Pulau Bangka bahwa Mentilin
merupakan pengontrol populasi serangga, artinya Hilangnya mentilin akan membuat
populasi serangga membludak dan menjadi hama di perkebunan, dan tentunya
menggangu ekosistem. Kegiatan tidak ramah lingkungan yang terjadi Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung, tidak hanya berdampak pada kehidupan manusia,
tetapi juga merusak habitat satwa liar dilindungi termasuk Mentilin. Untuk itu
Pemerintah Daerah wajib berperan dalam melestarikan dan mempertahankan
habitat mentilin, dengan membuat penangkaran kawasan hutan alami di Bangka
Belitung atau mentukan kawasan khusus untuk kelangsungan mentilin dan satwa liar
lainnya serta memberikan pemahaman kepada masyarakat terkait satwa liar yang
dilindungi, sehingga tidak ada lagi kasus jual beli satwa ilegal di Bangka Belitung.
Begitu juga mengenai keberadaan penambangan tanpa izin yang menimbulkan
dampak buruk terhadap lingkungan, sosial, dan ketertiban masyarakat. Berdasarkan
catatan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Republik Indonesia,
terdapat sekitar 123.000 hektare lahan kritis dan sudah mencapai 62.423 hektare
Sebaran lahan rusak akibat akibat maraknya penambangan bijih timah ilegal di
Pulau Bangka dan Belitung. Untuk itu penulis berharap Pemerintah Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung dapat membuat regulasi khusus yang bertujuan agar
penambangan masyarakat dapat dilakukan secara legal sesuai kaidah-kaidah
penambangan yang baik dan meredam penambangan ilegal yang merusak
lingkungan. Harapan penulis agar jangan sampai Mentilin hanya dijadikan Maskot
untuk gelaran resmi Pemerintah Daerah saja, namun tidak bisa menjaga habitat dan
kelangsungan kehidupan mentilin, sehingga ada masyarakat di Pulau Bangka
Belitung yang geleng kepala saat ditanya mengenai Mentilin dan keberadaan
mentilin.

Anda mungkin juga menyukai