ALAM BERKELANJUTAN
Yayat Nurkholid
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Kendari
yayatnurkholid@gmail.com
ABSTRAK
Kehidupan manusia di bumi ditunjang oleh tersedianya sumber daya alam. Yang
pada dasarnya telah menyediakan kebutuhan umat manusia baik yang bersifat
biotik maupun abiotik. Indonesia sebagai salah satu Negara yang memiliki
kekayaan sumber daya alam yang sangat besar, tidak hanya memiliki wilayah
daratan dan perairan yang luas tetapi juga kaya dengan sumber daya alamnya.
Dengan potensi sumber daya alam yang melimpah sesungguhnya potensi
kesejahteraan masyarakat Indonesia semakin besar. Tentunya dengan
memanfaatkan secara optimal dan berkelanjutan serta mempertimbangkan aspek
keseimbangannya. Aspek ekonomi adalah kebutuhan utama bagi keberlanjutan
hidup dan kesejahteraan masyarakat, namun ekologi dan sosial sesuatu yang
penting untuk menjadi substansi pertimbangan keseimbangan aspek tersebut.
Dengan demikian dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan harus
berdasarkan keseimbangan aspek ekonomi, ekologi dan sosial.
ABSTRACT
Human life on earth is supported by the availability of natural resources. Which
basically has provided the needs of mankind both biotic and abiotic.
Indonesia as one of the countries that has enormous natural resource wealth,
not only has extensive land and water areas but is also rich in natural resources.
With the abundant potential of natural resources, the potential of the welfare of
the Indonesian people is even greater. Of course, by optimally and sustainably
utilizing and considering aspects of balance. Economic aspects are the main needs
for the survival and welfare of the community, but the ecology and social aspects
are important to be the substance of the balance consideration of these aspects.
1
Thus in the management of natural resources and the environment must be based
on a balance of economic, ecological and social aspects.
PENDAHULUAN
Selama ini Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki kekayaan
sumberdaya alam yang paling berharga di planet bumi ini, disamping memiliki
hutan tropis (tropical rain forest) terluas kedua di dunia, hutan tropis Indonesia
juga menyimpan keanekaragaman hayati (biodiversity) yang sangat tinggi di
dunia. Garis pantai Indonesia sepanjang 81 ribu kilometer menjadikan Indonesia
sebagai negara yang memiliki garis pantai terpanjang di dunia yang menyimpan
potensi perikanan laut berkisar antara 6,7 sampai 7,7 metrik ton. Demikian pula,
sumber daya mineral yang terkandung di dalam perut bumi Indonesia, seperti
emas, tembaga, baru bara, perak, nikel, timah, bauksit, Dan lain-lain (Zainuddin et
al, 2010).
Karena kekayaan alamnya itu Indonesia merupakan salah satu negara yang paling
penting secara ekonomi dan lingkungan hidup. Untuk melindungi sumberdaya
alam tersebut, pemerintah menunjuk beberapa kawasan di Indonesia sebagai
kawasan konservasi, seperti Hutan lindung, Cagar alam, Taman Hutan Raya
(Tahura), Taman Nasional dan lain-lain, sebagai kawasan yang memiliki fungsi
pokok perlindungan keanekaragaman hayati dan wilayah perlindungan sistem
penyangga kehidupan. Namun upaya perlindungan tersebut dianggap gagal.
Banyaknya kasus yang menunjukkan kepada kita bahwa hampir semua daerah di
Indonesia sudah mengalami kerusakan SDA dan lingkungan yang sangat
menghawatirkan. Hal itu dapat dilihat dari Luas hutan alam asli Indonesia yang
mengalami penyusutan dengan kecepatan tinggi, yakni sebesar 72 persen sebagai
akibat dari penebangan hutan yang tidak terkendali selama puluhan tahun. Laju
kerusakan hutan sekitar 1 juta hektar per tahun pada 1980-an, kemudian
meningkat menjadi 1,7 juta hektar pada tahun 1990-an, dan terus meningkat rata-
rata 2 juta hektar sejak tahun 1996 per tahunatau lebih tinggi dari perkiraan
sebelumnya 0,6 1,2 juta hektar per tahun (Dharmawan dan Hadi, 2007).
2
Kekayaan sumber daya alam yang dianugerahkan Allah SWT kepada Bangsa
Indonesia, yang antara lain disebut di atas, yang seharusnya dikelola dengan adil,
demokratis, dan berkelanjutan, ternyata telah terjadi salah urus dan
(mismanagement) dan kegagalan kebijakan yang luar biasa, dengan bukti empirik
berupa kerusakan kawasan hutan yang telah mencapai angka 1,8 juta hektar
pertahun. Keanekaragaman hayati pada satu dekade terakhir ini terancam semakin
punah. Sekitar 70% terumbu karang mengalami rusak berat akibat endapan erosi,
pengambilan batu karang, penangkapan ikan dengan menggunakan bom atau
racun, dan pencemaran laut oleh limbah industri. Dari total hutan mangrove seluas
3 juta hektar, hanya 36% dalam kondisi baik, dan sisanya telah mengalami
kerusakan yang serius akibat penebangan untuk berbagai keperluan. Kegiatan
pertambangan yang dilakukan secara besar-besaran telah mengubah bentang alam,
selain merusak tanah juga menghilangkan vegetasi yang berada di atasnya.
Limbah industri dan domestik serta penggunaan pestisida yang tidak terkendali
telah menimbulkan pencemaran pada hampir seluruh air permukaan di Indonesia
(Kuswandi, 2015).
Pengelolaan sumber daya alam yang buruk tersebut juga menimbulkan berbagai
persoalan sosial, ekonomi, dan politik yang terjadi diberbagai daerah–terutama di
lokasi sumber adaya alam itu berada– telah amat merisaukan dan mencemaskan.
Berbagai konflik berkaitan dengan sumber daya alam yang lahir dari suatu
ketidakadilan dalam pemanfaatannya, telah melahirkan pula maraknya korupsi,
kolusi, dan nepotisme di berabagai jajaran pemerintahan. Selain itu pula
ketimpangan sosial dan pelanggaran hak asasi manusia pun kerap terjadi,
menyusul masuknya perusahaan swasta nasional dan multinasional ke wilayah
kehidupan masyarakat adat/lokal. Hal ini memuncak pada ketidakpuasan
pemerintah daerah terhadap Pemerintah Pusat yang menimbulkan saling
ketidakpercayaan, sebagai buah dari ketidakadilan pembagian wewenang dan
pendapatan dalam pengelolaan sumber daya alam ini (Pranadji, 2005).
3
sama lain, juga karena materi muatannya tidak sesuai dengan prinsip-prinsip tata
pemerintahan yang baik dalam pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam
atau yang dikenal dengan prinsip good environmental governance dan good
sustainable development governance. Hal ini dibuktikan antara lain dengan
menempatkan kewenangan yang sentralistik dan kuatnya ego sektoral daripada
desentralisasi dan keterpaduan antarsektor; lebih berorientasi pada eksploitasi
daripada konservasi (Hidayat, 2011).
4
terutama berkaitan dengan cara-cara eksploitasinya guna mencapai tujuan bisnis
dan ekonomi. Dalam laporan PBB pada awal tahun 2000 umpamanya, telah
diidentifikasi 5 jenis kerusakan ekosistem yang terancam mencapai limitnya, yaitu
meliputi ekosistem kawasan pantai dan sumberdaya bahari, ekosistem lahan
pertanian, ekosistem air tawar, ekosistem padang rumput dan ekosistem hutan.
Kerusakan-kerusakan sumberdaya alam di dalam ekosistem-ekosistem tersebut
terjadi terutama karena kekeliruan dalam pengelolaannya sehingga mengalami
kerusakan yang disebabkan karena terjadinya perubahan besar, yang mengarah
kepada pembangunan ekonomi yang tidak berkelanjutan. Padahal sumberdaya
tersebut merupakan pendukung utama bagi kehidupan manusia, dan karenanya
menjadi sangat penting kaitannya dengan kegiatan ekonomi dan kehidupan
masyarakat manusia yang mengarah kepada kecenderungan pengurasan
(depletion) dan degradasi (degradation). Kecenderungan ini baik dilihat dari segi
kualitas maupun kuantitasnya dan terjadi di hampir semua kawasan, baik terjadi di
negara-negara maju maupun negara berkembang atau miskin (Ribot dan Peluso,
2003).
5
pengelolaan yang tidak seimbang. Oleh karenanya pemenuhan kebutuhan
bukanlah hanya berdasarkan ekonomi, ekologi dan sosial adalah kebutuhan yang
dapat menselaraskan kemakmuran ekonomi.
PEMBAHASAN
Seiring dengan berakhirnya abad ke-20, masalah sumber dya alam dan lingkungan
menjadi hal yang utama. Serangkaian masalah-masalah global yang
membahayakan biosfer dan kehidupan manusia dalam bentuk-bentuk yang sangat
mengejutkan yang dalam waktu dekat akan segera menjadi tak dapat
dikembalikan lagi (irreversible). Agenda perubahan bagi keadilan lingkungan
tidak akan mungkin dilaksanakan tanpa kekuatan politik yang signifikan dan luas,
melibatkan berbagai elemen atau komponen penting dalam masyarakat. Dan tentu
saja didukung oleh kaum intelektual yang punya komitmen pada pembaruan
dengan memposisikan keseimbangan lingkungan pada arus utamanya.
Berbagai kerusakan sumber daya alam dan pencemaran lingkungan hidup selain
dipicu oleh kebijakan pemanfaatan sumber daya alam yang bercorak sentralistik,
juga karena pendekatan yang digunakan bersifat sektoral. Kebijakan Pemerintah
yang bercorak sentralistik dan pendekatan yang bersifat sektoral dalam
pengelolaan sumber daya alam pada pokoknya memiliki kelemahan-kelemahan
mendasar sebagai berikut:
1. Orientasi produksi komoditas bersifat spesifik di setiap sektor (misalnya
kayu dalam kehutanan, padi dalam pertanian). Pola ini tidak menghargai peran
SDA sebagai fungsi publik, misalnya hutan yang menjadi bagian penentuan
kualitas dan keberlanjutan daerah aliran sungai. Semakin rendah keragaman
pangan menyebabkan semakin rendah keamanan pangan. Secara inheren,
pendekatan sektoral merupakan pendekatan reduksionis sehingga memiliki cacat
bawaan karena ukuran kinerja pembangunan dirumuskan secara parsial. Dalam
kondisi yang demikian, seandainya setiap sektor berhasil pun berbagai kebutuhan
publik yang diperlukan seperti aspek lingkungan hidup, kebutuhan antar generasi,
dan lain-lain tidak akan mampu terpenuhi.
2. Perwujudan efisiensi ekonomi lebih menonjol daripada equity yang
berakibat minimnya perhatian terhadap penyelesaian masalah-
6
masalah tenurial, terjadinya kesenjangan penyediaan infrastruktur ekonomi antar
wilayah dan antar desa kota, dan rendahnya perhatian terhadap berbagai dampak
negatif pembangunan terhadap sumber daya alam dan lingkungan hidup.
3. Terdapat kecenderungan bahwa pelaksanaan otonomi daerah merupakan
replikasi dari pendekatan sektor di daerah dengan orientasi pada peningkatan
pendapatan asli daerah. Di sisi lain, pemerintah pusat yang memegang fungsi-
fungsi pengendalian dengan kriteria, standar, dan pedoman yang ditetapkan secara
sentralistik akan kehilangan sifat komprehensif, apabila fungsi-fungsi
pengendalian tersebut didasarkan pada kepentingan masing-masing sektor.
4. Pola ini makin diperburuk oleh kondisi di mana tidak terdapat
kementerian/lembaga yang mengkoordinasikan pemanfaatan dan pengelolaan
sumber daya alam, sehingga setiap kementerian berjalan sesuai dengan visi
sektoralnya masing-masing tanpa memperhatikan dan memperhitungkan
pelestarian dan keberlanjutan fungsi sumber daya alam.
5. Kebijakan hukum pengelolaan sumber daya alam yang bercorak
sentralistik seperti yang digunakan sampai saat ini selain tidak memberikan
perlindungan bagi kelestarian dan keberlanjutan fungsi sumber daya alam dan
lingkungan hidup, juga kurang memberi ruang bagi akses, kepentingan, dan hak-
hak masyarakat adat atas penguasaan, pemanfaatan, dan pengelolaan sumber daya
alam.
6. Implikasi dari kondisi-kondisi seperti diuraikan di atas dari segi politis
telah mengabaikan fakta pluralisme hukum dalam pengelolaan sumber daya alam;
dari segi ekonomi menghilangkan sumber-sumber kehidupan masyarakat adat;
dari segi kehidupan sosial-budaya secara nyata telah merusak sistem pengetahuan,
teknologi, institusi, tradisi, dan religi masyarakat adat dan secara ekologi telah
menimbulkan degradasi kuantitas maupun kualitas sumber daya alam, sehingga
kemudian selain muncul konflik-konflik penguasaan dan pemanfaatan sumber
daya alam, juga terjadi proses pemiskinan struktural dalam kehidupan masyarakat
local (Purwarianto, 2000).
7
KARAKTERISTIK DAN KELEMAHAN PERUNDANG-UNDANGAN
8
1. Peran Pemerintah yang masih mendominasi penguasaan dan pengelolaan
sumber daya alam (state-based resource management).
2. Keterpaduan dan koordinasi antar sektor dalam pengelolaan sumber daya alam
yang masih lemah.
3. Hak-hak masyarakat adat atas penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam
yang belum diakui secara utuh.
4. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam yang masih
terbatas.
5. Transparansi dan demokratisasi dalam proses pengambilan keputusan yang
belum diatur secara utuh.
6. Akuntabilitas Pemerintah kepada publik dalam pengelolaan sumber daya alam
yang belum diatur secara tegas.
Hampir seluruh sektor mineral batubara yang ada di Indonesia dikelola oleh badan
usaha swasta, seperti PT Freeport Indonesia, PT Newmont Nusa Tenggara, PT
9
Newmont Minahasa Raya dan lain sebagainya. Berdasarkan data-data di atas,
maka dapatlah diketahui bahwasanya pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia
lebih cenderung dilakukan oleh badan usaha swasta daripada badan usaha milik
negara. Sehingga tujuan pencapaian kemakmuran rakyat dari hasil pengelolaan
sumberdaya alam agaknya sulit tercapai, begitupula dengan kontribusinya dalam
kerusakan alam, sebab pengelolaan sumber daya alam di Indonesia telah
didominasi oleh badan usaha swasta yang kontribusinya terhadap bangsa
Indonesia bisa dikatakan hanya sebatas membayar pajak dan iuran bukan pajak.
10
pembangunan berkelanjutan melalui konservasi sumber daya alam hayati. Namun,
fokusnya agak terbatas, terutama menangani keberlanjutan ekologis, sebagai
lawan yang menghubungkan keberlanjutan isu-isu sosial dan ekonomi yang lebih
luas. Lebih lanjut Baker menambahkan bahwa tidak sampai 1987, ketika World
Commission on Enviroment and Development (WCED) menerbitkan laporannya
yang bertajuk Our Common Future, di mana hubungan antara dimensi sosial,
ekonomi dan ekologi pembangunan secara eksplisit ditunjukkan (WCED 1987).
WCED dipimpin oleh Gro Harlem Brundtland, Perdana Menteri Norwegia, dan
Our Common Future kadang-kadang dikenal sebagai Laporan Brundtland.
Pada kasus krisis-ekologis di Indonesia dapat kita ambil contoh pada persoalan
tata kelola hutan yang pengelolaannya tidak berkelanjutan meskipun pemerintah
hematnya telah berupaya mereformasi tata kelola kehutanan namun dalam
11
praktiknya masih menyisakan persoalan mendasar yakni paradigma lama yang
masih dipakai. Mengingat dalam pengelolaan kehutanan di Indonesia masih
menggunakan warisan paradigma politik kehutanan Orde Baru.
Politik kehutanan Orde Baru secara fundamental telah merubah secara radikal hak
penguasaan atas sumberdaya kehutanan dari traditional customary property
rights menjadi state property rights politik kehutanan ini tidak hanya berdampak
bagi ekosistem hutan tetapi juga berdampak luas terhadap harkat hidup
masyarakat setempat yang kehidupannya hanya bertumpu pada keberlanjutan
hutan. Warisan paradigma inilah yang masih menjadi bottleneck dalam tata kelola
kehutanan meskipun di era reformasi telah mengalami beberapa perubahan
kebijakan dan peraturan perundang-undangan namun tetap saja watak politik
kehutanan kita masih bergaya Orde Baru. Namun demikian, upaya untuk
mereformasi tata kelola kehutanan dan lingkungan di Indonesia terus dilakukan
secara serius(Hartanto, 2016)
Forest Watch Indonesia dalam sebuah laporannya yang dihimpun dalam sebuah
buku berjudul Potret Keadaan Hutan Indonesia Periode 1996-2000 dan Potret
Keadaan Hutan Indonesia Periode 2009-2013 mencatat bahwa laju deforestasi di
Indonesia mencapai 2 juta hektare per tahun. Pada rentang 10 tahun berikutnya,
laju deforestasi mencapai 1,5 juta hektare per tahun. Laju deforestasi yang
cenderung tinggi adalah dampak dari tata kelola kehutanan yang tak kunjung
membaik. Empat penyebab tidak langsung dari deforestasi dan degradasi hutan di
Indonesia adalah: (a) perencanaan tata ruang yang tidak efektif, (b) masalah-
masalah terkait dengan tenurial, (c) pengelolaan hutan yang tidak efisien dan
efektif, dan (d) penegakan hukum yang lemah serta maraknya korupsi di sektor
kehutanan dan lahan.
Hal yang sama juga dilaporkan Walhi dalam catatannya yang menyatakan bahwa
laju kerusakan hutan di Indonesia disinyalir mencapai 4 juta hektare per tahun,
sektor pertambangan dan perkebunan memberikan kontribusi terbesar bagi
kerusakan hutan. Persoalan hutan di Indonesia memang teramat rumit untuk
segera diatasi seperti pada kasus illegal logging, alih fungsi lahan, eksplorasi dan
eksploitasi industri ekstraktif di area hutan, dan kebakaran hutan, yang menjadi
12
penyebab utama terjadinya deforestasi. Institute for Global Justice (IGJ) sebuah
organisasi anti-globalisasi dalam amatannya melaporkan bahwa tidak hanya
sumber-sumber tambang mineral, minyak, gas dan batubara Indonesia yang
dieksploitasi untuk kepentingan modal asing, namun juga kekayaan perkebunan
dan hasil hutan. Hingga saat ini sedikitnya 9 juta hektar lahan di Indonesia telah
dialokasikan untuk perkebunan sawit, sementara lebih dari 30 juta hektar hutan
telah diserahkan kepada pemilik modal besar dalam bentuk hak pengelolaan hutan
(HPH) dan hutan tanaman industri (HTI). Hal yang sama juga dengan konsesi
pertambangan, luas konsesi yang diberikan hampir sama dengan luas negara
Irlandia itupun untuk konsesi tambang batubara dan belum termasuk konsesi
tambang lainnya.
Persoalan lingkungan hidup di Indonesia tak berhenti di isu kehutanan saja tetapi
juga di isu lainnya baik yang bersangkut paut dengan persoalan kehutanan
maupun persoalan lingkungan baik yang berdiri sendiri dan bersinggungan dengan
isu kehutanan seperti konflik agraria, privatisasi air, reklamasi, pertambangan dan
perkebunan, begitupun di lingkungan perkotaan seperti persoalan sanitasi, akses
air bersih, permukiman kumuh, banjir, dan polusi yang senantiasa menggerus
ekosistem. Selain itu, persoalan eksploitasi dan eksplorasi sumber daya alam di
pulau-pulau kecil tak bisa dianggap remeh malahan semakin intensifnya aktivitas
pemanfaatan lahan untuk kegiatan investasi ekstraktif mengakibatkan fungsi-
fungsi dasar ekosistem pulau-pulau kecil mengalami ketidakseimbangan dalam
menjaga sistem tata air, mencegah intrusi air laut, menjaga sumber ekonomi
masyarakat setempat, mitigasi bencana dan menjaga sistem ekologi pulau.
Ketidakseimbangan ekosistem terjadi apabila salah satu pulau rusak maka akan
berdampak bagi pulau sekitarnya. Kasus reklamasi adalah menyebab utama
terhadap rusaknya ekosistem pulau-pulau kecil karena pengerukan daratan
(reklamasi) akan berdampak terhadap arah aliran arus air laut. Perlu diketahui,
pulau-pulau kecil berfungsi dalam menjaga biota laut dan jalur migrasi burung-
burung. Dan jika ekosistem pulau-pulau kecil rusak bisa dipastikan mengacaukan
sistem navigasi burung-burung dan matinya biota laut. Krisis ekosistem di pulau-
pulau kecil adalah bagian dari kebijakan pengelolaan pulau-pulau kecil dan daerah
13
pesisir yang keliru karena tidak sesuai dengan prinsip pengelolaan pulau-pulau
kecil yang berkeadilan dan berkelanjutan.
14
Fakta dilapangan menunjukkan bahwa telah terjadi pemiskinan struktural,
perampasan ruang hidup dan pelanggaran HAM terhadap masyarakat setempat.
Mereka sama sekali tidak pernah dilibatkan dalam pembangunan dan malahan
terusir dari tanah leluhur yang selama ini telah memberikan mereka kehidupan.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan dan Iklim Global mencatat
bahwa dalam kawasan MIFEE tidak berlaku moratorium. Pembangunan mega
agro-industrial MIFEE ini seakan bertolak belakang dan menjadi pengecualian
dengan kebijakan moratorium hutan di mana klausul revisi kebijakan tersebut
adalah turut mendorong partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lahan melalui
program 12, 7 hektar lahan buat masyarakat.
Belum lama ini kasus ketidakadilan ekologi juga menimpa penduduk Rembang,
rencana pendirian pabrik semen adalah biang keladi dari persoalan ketidakadilan
ekologi yang dialami warga Rembang. Pokok masalahnya adalah menyangkut
soal hak atas air di mana berdirinya pabrik semen sudah bisa dipastikan
mengancam hak yang paling asasi yakni hak atas akses sumber air bersih. Suara-
suara keprihatinan dan penolakan lantang disuarakan oleh warga Rembang
terutama kaum Ibu-ibu. Ini membuktikan bahwa kasus Rembang sangat
berdampak sistemik bagi ruang hidup masyarakat. Kasus Rembang, Pati, dan
tentu saja kasus lumpur Lapindo adalah sebuah milestone persoalan krisis ekologi
di Indonesia.
15
Disamping itu, pemerintah benar-benar menegakkan law enforcement di bidang
tata kelola ekologi, misalnya mencabut izin bagi perusahaan yang nakal dan
memberlakukan regulasi yang kuat (high regulation) sesuai dengan visi
pembangunan berkelanjutan. Selain itu, peran aktif masyarakat sipil sangat
diperlukan untuk mengawal visi pembangunan berkelanjutan yang dituangkan
dalam agenda Post-2015. Dan tentu saja partisipasi masyarakat luas (participation
in decision-making) begitu penting kedudukannya dalam mengawal dan
mengimplementasikan tujuan pembangunan berkelanjutan. Bukankah komitmen
untuk berkelanjutan (Commitment to Sustainability) dari masing-masing pihak
entah pemerintah, korporasi dan lembaga-lembaga telah ramai-ramai
menyatakannya—atau komitmen tersebut hanya lip service belaka, yang tak lebih
dari retorika sumir tentang komitmen berkelanjutan.
Perlu pembuktian untuk komitmen berkelanjutan tersebut dan memang pada saat
ini kita sudah sama-sama saksikan bahwa pemerintah sudah berkomitmen untuk
melakukan reformasi tata kelola ekologi. Kebijakan reformasi tata kelola ekologi
perlu kita apresiasi sekaligus kita pantau implementasinya di lapangan, beberapa
kebijakan reformasi tata kelola ekologi yang terbaru adalah memperpanjang
moratorium hutan dan tak hanya itu pemerintah juga harus memperkuat
moratorium tersebut karena bagaimanapun memperpanjang saja tidak cukup perlu
ada upaya untuk memperkuatnya. Meskipun beberapa kali sudah revisi sejak
penerapan moratorium tahun 2011 silam hingga kini masih banyak ditemui fakta
di lapangan yang tidak sesuai dengan apa yang sudah ditanda tangani diatas
kertas. Ya, kita akui memang terobosan kebijakan yang dibuat oleh Kementerian
LHK di kabinet kerja Presiden Jokowi lebih terasa gregetnya ketimbang periode
SBY lalu meskipun demikian produk kebijakan moratorium masih setingkat
Inpres belum sampai ke tingkat Perpres apalagi PP (Peraturan Pemerintah). Publik
pun seakan berharap semoga kebijakan moratorium hutan yang progresif ini tidak
hanya menjadi macan kertas saja.
Kemudian hal yang tak kalah pentingnya adalah soal konsesi usaha pertambangan
yang perlu dikaji ulang meskipun sudah terlanjur mengeluarkan perijinan namun
pemerintah berkewajiban untuk tetap melakukan moratorium investasi
16
pertambangan dan juga perkebunan. Dalam perkembangannya, kini pemerintah
mengevaluasi penataan Ijin Usaha Pertambangan (IUP) karena diduga sekitar 40%
pemegang IUP bermasalah dan selebihnya pemerintah juga akan mengevaluasi
pemegang IUP yang telah memperoleh status clean and clear (CnC).
Pertambangan, bagaimanapun adalah investasi yang tidak membawa manfaat
banyak selain merusak lingkungan juga menghilangkan ruang hidup masyarakat
dan sama sekali bukanlah pilihan yang tepat untuk mendorong ekonomi
berkelanjutan karena energi fosil yang dihasilkan adalah energi kotor, energi yang
tidak dapat diperbaharui. Jadi, kita sama sekali tidak bisa berharap banyak kepada
energi fosil dan masa depan bumi sangat tergantung dari komitmen berkelanjutan
yang menggunakan energi terbarukan (renewable energy)sebagai pilihannya.
Tentunya, penggunaan energi terbarukan terutama untuk skala investasi meskipun
ramah lingkungan jangan sampai memarginalkan kelompok-kelompok
masyarakat rentan. Alih-alih green investment malah tidak melibatkan partisipasi
masyarakat dalam redistribusi kemakmuran.
Pengelolaan sumber daya alam berwawasan lingkungan adalah usaha sadar untuk
mengelola sumber daya alam sesuai dengan kemampuan dan kesesuaian suatu
lokasi dengan potensi produktivitas lingkungannya. Pengelolaan sumber daya
alam berwawasan lingkungan bertujuan untuk melestarikan sumber daya alam
agar lingkungan tidak cepat rusak. Selain itu, bertujuan untuk menghindarkan
manusia dari bencana lingkungan, seperti banjir, longsor, pencemaran lingkungan
dan berkurangnya keragaman flora dan fauna. Pelestarian lingkungan harus
senantiasa dijaga agar terjadi keseimbangan lingkungan, keselarasan, dan
mempertahankan daya dukung lingkungan, serta memberikan manfaat secara tetap
dari waktu ke waktu.
17
sosial dan praktik ekoefisiensi di tingkat perusahaan dengan mengintegrasikan
biaya lingkungan dan biaya sosial terhadap biaya produksi; (3) Menerapkan
teknologi yang terbaik dan tersedia, termasuk teknologi tradisional untuk kegiatan
konservasi, rehabilitasi sumber daya alam; (4) Optimalisasi pemanfaatan sumber
daya alam yang menjamin keseimbangan antara pemanfaatan dan konservasi
sumber daya alam, yang didukung oleh kepastian hukum atas kepemilikan dan
pengelolaan; (5) Menata kelembagaan, termasuk pendelegasian kewenangan
dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup secara bertahap
kepada pemerintah daerah; (6) Melakukan pembenahan terhadap sistem hukum
yang ada menuju sistem hukum yang responsif yang didasari prinsip-prinsip
keterpaduan, pengakuan hak-hak asasi manusia, serta keseimbangan ekologis,
ekonomis, dan pengarusutamaan gender; (7) Melakukan reorientasi paradigma
pembangunan yang mengakui hak-hak publik terhadap pengelolaan sumber daya
alam; serta (8) Mendorong budaya yang berwawasan lingkungan melalui
revitalisasi budaya lokal dan menumbuhkan etika lingkungan dalam pendidikan
dan lingkungan masyarakat; (9) Mengembangkan pola kemitraan dalam
pengelolaan sumber daya alam.
Salah satu masalah penting yang dihadapi dalam pembangunan ekonomi adalah
antara pemenuhan kebutuhan pembangunan dengan upaya mempertahankan
18
kelestarian lingkungan. Pembangunan ekonomi berbasis sumber daya alam yang
tidak memerhatikan aspek kelestarian lingkungan pada akhirnya akan berdampak
negatif pada lingkungan itu sendiri. Karena, pada dasarnya sumber daya alam dan
lingkungan memiliki kapasitas daya dukung yang terbatas. Dengan kata lain,
pembangunan ekonomi yang tidak memerhatikan kapasitas sumber daya alam dan
lingkungan akan menyebabkan permasalahan pembangunan di kemudian hari.
Konsep pembangunan berkelanjutan sudah lama menjadi perhatian para ahli.
Namun, istilah keberlajutan (sustainability) baru muncul beberapa dekade lalu.
Walau demikian, perhatian terhadap keberlanjutan sudah mulai mengkhawatirkan
ketersedian lahan di Inggris akibat ledakan penduduk yang pesat. Pembangunan
berkelanjutan adalah upaya manusia untuk memperbaiki mutu kehidupan dengan
tetap berusaha tidak melampaui ekosistem pendukung kehidupannya. Dewasa ini
masalah pembangunan berkelanjutan telah dijadikan sebagai isu penting yang
perlu terus disosialisasikan di tengah masyarakat.
Dari berbagai konsep yang ada terdapat rumusan prinsip dasar dari setiap elemen
pembangunan berkelanjutan. Dalam hal ini ada empat komponen perlu
diperhatikan, yaitu pemerataan, keanekaragaman, integrasi dan perspektif jangka
panjang.
19
Pembangunan yang Menghargai Keanekaragaman
20
Dengan memperhatikan fenomena yang ada maka perubahan paradigma
keberlanjutan hendaknya mempertimbangkan aspek berikut: (1) Perilaku generasi
kini tidak sepenuhnya menentukan perilaku generasi mendatang; (2) Generasi
mendatang harus dipastikan memperoleh paling tidak tingkat konsumsi minimum;
(3) Pergerakan harga sumber daya alam dan hak kepemilikan terhadap konsumsi
di masa mendatang harus ditentukan untuk menghindari eksploitasi yang
berlebihan terhadap sumber daya alam masa kini; (4) Dalam situasi pasar tidak
berfungsi, diperlukan intervensi non pasar; (5) Intervensi yang benar merupakan
strategi yang penting untuk menjaga keberlanjutan. Selain beberapa pemikiran di
atas, konsep operasional keberlanjutan masih akan terus berkembang. Namun
demikian, dengan memahami esensi dasar seperti yang telah dijelaskan dalam
tulisan ini hendaknya kita akan lebih mudah mengikuti perkembangan konsep
keberlanjutan di masa-masa mendatang.
KESIMPULAN
21
REKOMENDASI
22
4. Mensejahterakan rakyat, terutama melalui peningkatan kualitas sumber daya
manusia Indonesia;
5. Mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi dan optimalisasi
partisipasi rakyat;
6. Mewujudkan keadilan termasuk kesetaraan gender dalam penguasaan,
pemilikan, penggunaan, pemanfaatan, dan pemeliharaan sumber daya
agraria/sumber daya alam;
7. Memelihara keberlanjutan yang dapat memberi manfaat yang optimal, baik
untuk generasi sekarang maupun generasi mendatang, dengan tetap
memperhatikan daya tampung dan daya dukung lingkungan;
8. Melaksanakan fungsi sosial, kelestarian, dan fungsi ekologis sesuai dengan
kondisi sosial budaya setempat;
9. Meningkatkan keterpaduan dan koordinasi antarsektor pembangunan dan antar
daerah dalam pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya
alam;
10. Mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan
keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria/sumber daya alam;
11. Mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban negara, pemerintah (pusat,
daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat), masyarakat
dan individu;
12. Melaksanakan desentralisasi berupa pembagian kewenangan di tingkat
nasional, daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat,
berkaitan dengan alokasi dan pengelolaan sumber daya agraria/sumber daya
alam.
23
2. Mewujudkan optimalisasi pemanfaatan berbagai sumber daya alam melalui
identifikasi dan inventarisasi kualitas dan kuantitas sumber daya alam sebagai
potensi pembangunan nasional.
3. Memperluas pemberian akses informasi kepada masyarakat mengenai potensi
sumber daya alam di daerahnya dan mendorong terwujudnya tanggung jawab
sosial untuk menggunakan teknologi ramah lingkungan termasuk teknologi
tradisional.
4. Memperhatikan sifat dan karakteristik dari berbagai jenis sumber daya alam
dan melakukan upaya-upaya meningkatkan nilai tambah dari produk sumber
daya alam tersebut.
5. Menyelesaikan konflik-konflik pemanfaatan sumber daya alam yang timbul
selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang
guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas
prinsip-prinsip pengelolaan sumber daya alam yang sudah ditetapkan.
6. Mengupayakan pemulihan ekosistem yang telah rusak akibat eksploitasi
sumber daya alam secara berlebihan.
7. Menyusun strategi pemanfaatan sumber daya alam yang didasarkan pada
optimalisasi manfaat dengan memperhatikan potensi, kontribusi, kepentingan
masyarakat dan kondisi daerah maupun nasional.
IMPLIKASI
24
DAFTAR PUSTAKA
Dharmawan, dan Hadi. 2007. Dinamika Sosio Ekologi Pedesaan: Perspektif dan
Pertautan Keilmuan Ekologi Manusia, Sosiologi Lingkungan dan Ekologi
Politik Solidality. Jurnal Transdisiplin, Sosiologi, Komunikasi dan
Ekologi Manusia. Departemen KPM IPB, Vol. 1, No. 1: 102-104.
Hartanto, A. 2016. Merajut Asa, Membangun Industri, Menuju Indonesia yang
Sejahtera dan Berkelanjutan. PT.Gramedia, Jakarta.
Hidayat. 2011. Pngelolaan Sumber daya Alam Berbasis Kelembagaan Lokal.
Jurnal Sejarah Citra Lekha. Vol.XV, No.1 :19-20.
Kuswandi. 2015. Pengelolaan Sumber Daya Alam Untuk Sebesar-Besarnya
Kemakmuran Rakyat. Jurnal Mimbar Justicia. Vo.1, No.02: 518-519.
Mahanani, dan Subekti. 2001. Sumber Daya Agraria di Tengah Kapitalisasi
Negara (Politik Kebijakan Hukum Agraria Melanggengkan
Ketidakadilan). Jurnal Analisis Sosial, Vol. 6, No. 2:59-61.
Nurjaya. dan Nyoman. 1993. Politik Hukum Pengusahaan Hutan di Indonesia,
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Jakarta.
Pranadji, T. 2005. Keserakahan, kemiskinan, dan Kerusakan lingkungan. Pusat
Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan pertanian, Bogor.
Purwarianto, H. 2000. Kebudayaan dan Lingkungan Dalam Perspektif
Antropologi. Pustaka Pelajar,Yogyakarta.
Ribot, dan Peluso. 2003. A Theory of Acsess, Rural Sociology. A Critical
Introduction. Blackwell, Oxford.
Zainuddin, S. Soetarto, E. Adiwibowo, S. Dan Panjaitan, K. 2010. Kontestasi
Kekuasaan Dalam pengelolaan SDA. Jurnal Academica Fisip Untad.
Vol. 2, No 2 : 455-457.
25