Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

PARADIGMA PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DI

BIDANG KELAUTAN

Oleh

Indra (G2M121018)

Ainul Rahman (G2M122006)

Wa Fitriani (G2M122011)

ILMU PERIKANAN

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS HALU OLEO

2022
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia. Dua


pertiga dari wilayah Indonesia merupakan lautan yaitu sebesar 6,32 (enam koma tiga
dua) juta kilometer, 17.504 (tujuh belas ribu lima ratus empat) pulau-pulau serta
letak Indonesia diantara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik yang merupakan
kawasan paling dinamis dalam percaturan baik secara ekonomis maupun politik.
Letak geografis tersebut menjadikan Indonesia memiliki keunggulan serta
ketergantungan yang tinggi terhadap kelautan (Ida Krunia (2017:5)).
Adanya dukungan potensi dan keanekaragaman yang terkandung dalam
bentang alam laut oleh karena letak geografis Indonesia yang strategis menyebabkan
pembangunan pada bidang sektor maritim Indonesia menjadi penting. Dalam aspek
maritime salah satu hal yang perlu diantisipasi resiko kerusakan dan bencana ialah
perubahan lingkungan dan sumber daya alam. Perubahan kondisi lingkungan dan
sumber daya alam dapat disebabkan oleh faktor natural dan faktor humaneror.
Fenomena bencana oleh faktor natural disebabkan oleh perubuhan iklim yang
ekstrim. Adapun fenomena faktor kerusakan lingkungan laut akabit humaneror ialah
pembuangan limbah pada lingkungan laut serta pemanfaatan sumberdaya laut seperti
pasir dan terumbu karang untuk kepentingan pembangunan infrastruktur.
Di Indonesia, pengembangan kawasan konservasi perairan secara ekologis
dirasa cukup tepat pada kondisi beberapa perairan laut di Indonesia, yang diduga
telah mengalami kerusakan cukup parah akibat adanya praktek pemanfaatan sumber
daya laut yang berlebih dan merusak. Pemerintah Indonesia telah berkomitmen
untuk mendirikan kawasan konservasi perairan (laut) di seluruh Indonesia seluas 20
juta hektar pada tahun 2020. Niat Ini disampaikan oleh Presiden RI pada acara
World OceanConference (WOC) dan Coral Triangle Initiative (CTI) Summit di
Manado pada tahun 2009.
Berdasarkan fenomena yang terjadi diatas perlu adanya upaya untuk
mengantisipasi segala resiko dan bencana akibat perubahan lingkungan dan
sumberdaya alam dengan melakukan implementasi paradigma pembangunan
berkelanjutan dalam membangun sektor kelautan dan perikanan. Dikutip dalam
jurnal RetchVinding, pembangunan berkelanjutan itu sendiri merupakan suatu
proses pembangunan yang mengoptimalkan manfaat dari sumber daya alam (SDA)
dan sumber daya manusia (SDM) dengan menyerasikan sumber daya alam dan
manusia dalam pembangunan. Adapun maksud dan tujuan dalam penulisan ini ialah
ingin membahas mengenai paradigma pembangunan berkelanjutan di bidang
kelautan.

B. Rumusan Masalah

Melalui latar belakang diatas maka rumusan masalah yang dapat ditarik dalam
penulisan makalah ini, yaitu bagaimana paradigma pembangunan berkelanjutan di
bidang kelautan.
BAB II
IMPLEMENTASI PARADIGMA PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
TERHADAP SEKTOR KELAUTAN

A. Ecodevelopment dalam Makro policy

Menurut Brown (1981), konsep sustainable sendiri merujuk pada 4

(empat) nilai utama, yaitu tertinggalnya transisi energy, memburuknya

sistem biologis utama (perikanan laut padang rumput, hutan, lahan

pertanian) , ancaman perubahan iklim yang sangat ekstrem (polusi, dampak

rumah kaca, bencana banjir, musim panas yang sangat panas dan musin

dingin yang sangat dingin), dan kurangnya bahan makanan.

Dengan demikian, strategi pembangunan berkelanjutan khusus

dalam kelautan, merupakan strategi pembangunan yang berorientasi pada

pentingkan menjaga lingkungan Perairan, dimana Pembangunan yang tidak

semata-mata mengejar nilai ekonomis, tetapi disisi lain juga

memperhatikan ekologi maupun sosial di masa yang akan datang. Oleh

karena itu para ahli pembangunan setuju tentang konsep pembangunan

ecodevelopment dimana masyarakat dan lingkungan harus bersama-sama

berkembang menuju produktivitas dan pemenuhan kebutuhan yang lebih

baik.

Pembangunan berkelanjutan adalah terpenuhinya kebutuhan

generasi sekarang tanpa mengurangi kesempatan generasi masa depan

menikmati sumber daya alam dalam kondisi yang tak kalah baiknya dari

generasi sebelumnya. Dengan perkataan lain, dalam konsep pembangunan

berkelanjutan secara “inherent" sudah memuat soal tantangan itu dan


tanggung jawabnya sekaligus.

B. Kearifan Lokal Masyarakat Maritim

Dalam kearifan lokal juga terwujud upaya pengelolaan sumberdaya

alam dan lingkungan yang juga merupakan wujud dari konservasi oleh

masyarakat. Berkaitan dengan hal itu, maka

Nababan (1995) mengemukaka prinsip-prinsip konservasi dalam

pengelolaan sumberdaya alam secara tradisional sebagai berikut:

1. Rasa hormat yang mendorong keselarasan (harmoni). Hubungan

manusia dengan alam sekitarnya. Dalam hal ini masyarakat trad isional

lebih condong memandang dirinya sebagai bagian dari alam itu

sendiri.

2. Rasa memiliki yang eksklusif bagi komunitas atas suatu kawasan atau

jenis sumberdaya alam tertentu sebagai hak kepemilikan bersama

(communal property resource). Rasa memiliki ini mengikat semua

warga untuk menjaga dan mengamankan sumberdaya bersama ini dari

pihak luar.

3. Sistem pengetahuan masyarakat setempat (lokal knowledge system)

yang memberikan kemampuan kepada masyarakat untuk memecahkan

masalah- masalah yang mereka hadapi dalam memanfaatkan

sumberdaya alam yang terbatas.

4. Daya adaptasi dalam penggunaan teknologi sederhana yang tepat guna

dan hemat (input) energi sesuai dengan kondisi alam setempat.


5. Sistem alokasi dan penegakan aturan-aturan adat yang bisa

mengamankan sumberdaya milik bersama dari penggunaan berlebihan,

baik oleh masyarakat sendiri maupun oleh masyarakat luar

(pendatang). Dalam hal ini masyarakat tradisional sudah memiliki

pranata dan hukum adat yang mengatur semua aspek kehidupan

bermasyarakat dalam satu kesatuan sosial tertentu.

6. Mekanisme pemerataan (distribusi) hasil panen atau sumber daya

milik bersama yang dapat mencegah munculnya kesenjangan

berlebihan di dalam masyarakat tradisional. Tidak adanya

kecemburuan atau kemarahan sosial akan mencegah pencurian atau

penggunaan sumberdaya di luar aturan adat yang berlaku.

Fenomena ini dapat kita lihat pada masyarakat pesisir sekitar laut

Sawu (perairan Provinsi NTT) memiliki sejumlah kearifan local dalam

pemanfaatan hasil laut, salah satunya Budaya “Lilifuk” di desa Kuanheun

Kecamatan Kupang Barat Kabupaten Kupang, kearifan local bermula pada

kebiasaan masyarakat yang mencadangkan suatu area tertentu pada wilayah

perairan desa yang hanya mengijinkan operasi penangkapan ikan 2 (dua)

kali dalam satu tahun, lilifuk adalah suatu kolam besar, yang dimana

terdapat ragam larangan dalam pengelolaanya antara lain penggunaan

batasan waktu tadi, (Sumber KKP.go.id, BKKPN Kupang, Direktorat

jenderal Pengelolaan Ruang Laut)


C. Mikro Policy CBNRM (Community Based Nature Resource

Management)

CBNRM (Community Based Nature Resource Management) atau

pendekatan pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat merupakan

strategi pengelolaan Sumberdaya Hayati (SDH) dimana masyarakat

berpartisipasi secara aktif dan berperan dalam menanggulangi masalah

yang mempengaruhi kondisi SDH sehingga dalam hal ini CBNRM sangat

menaruh perhatian pada partisipasi masyarakat lokal dalam memanfaatkan

dan memelihara SDH di sekitarnya. CBNRM merupakan contoh

pendekatan dalam sistem pengelolaan SDA yang mempertimbangkan

aspek-aspek keadilan, pemerataan dan kesejahteraan masyarakat di sekitar

SDH secara berkelanjutan (Supriatna, 2008).

Peran masyarakat lokal dalam CBNRM mulai dari perencanaan,

pelaksanaan, monitoring dan evaluasi. Secara umum peran masyarakat

sendiri ditentukan oleh 3 hal yaitu : 1) sejauh mana pengetahuan lokal

dapat dihargai dan dimanfaatkan dalam membentuk sebuah sistem

pengelolaan kawasan konservasi yang baik; 2) seberapa besar kepedulian

warga komunitas lokal terhadap alamnya sehingga mampu mendorong ke

arah upaya- upaya untuk menjaga dan mengelola; sumberdaya alam dan

lingkungan di dalam mau pun di luar kawasan dan 3) seberapa banyak

manfaat (material dan nonmaterial) yang bisa diterima masyarakat dari

kawasan konservasi sehingga keberadaannya memiliki nilai yang

menguntungkan secara terus menerus.


D. Tantangan Pemberdayaan Masayrakat Pesisir

Saat ini banyak program pemberdayaan yang menklaim sebagai

program yang berdasar kepada keinginan dan kebutuhan masyarakat

(bottom up), tapi ironisnya masyarakat tetap saja tidak merasa memiliki

akan program-program tersebut sehingga tidak aneh banyak program yang

hanya seumur masa proyek dan berakhir tanpa dampak berarti bagi

kehidupan masyarakat.

Pertanyaan kemudian muncul apakah konsep pemberdayaan yang

salah atau pemberdayaan dijadikan alat untuk mencapai tujuan tertentu

dari segolongan orang? Memberdayakan masyarakat pesisir berarti

menciptakan peluang bagi masyarakat pesisir untuk menentukan

kebutuhannya, merencanakan dan melaksanakan kegiatannya, yang

akhirnya menciptakan kemandirian permanen dalam kehidupan masyarakat

itu sendiri. Memberdayakan masyarakat pesisir tidaklah seperti

memberdayakan kelompok-kelompok masyarakat lainnya, karena didalam

habitat pesisir terdapat banyak kelompok kehidupan masayarakat

diantaranya:

1. Masyarakat nelayan tangkap, adalah kelompok masyarakat pesisir

yang mata pencaharian utamanya adalah menangkap ikan dilaut.

Kelompok ini dibagi lagi dalam dua kelompok besar, yaitu nelayan

tangkap modern dan nelayan tangkap tradisional. Keduanya kelompok

ini dapat dibedakan dari jenis kapal/peralatan yang digunakan dan

jangkauan wilayah tangkapannya.


2. Masyarakat nelayan pengumpul/bakul, adalah kelompok masyarakt

pesisir yang bekerja disekitar tempat pendaratan dan pelelangan ikan.

Mereka akan mengumpulkan ikan-ikan hasil tangkapan baik melalui

pelelangan maupun dari sisa ikan yang tidak terlelang yang

selanjutnya dijual ke masyarakat sekitarnya atau dibawah ke pasar-

pasar lokal. Umumnya yang menjadi pengumpul ini adalah kelompok

masyarakat pesisir perempuan.

3. Masyarakat nelayan buruh, adalah kelompok masyarakat nelayan yang

paling banyak dijumpai dalam kehidupan masyarakat pesisir. Ciri dari

mereka dapat terlihat dari kemiskinan yang selalu membelenggu

kehidupan mereka, mereka tidak memiliki modal atau peralatan yang

memadai untuk usaha produktif. Umumnya mereka bekerja sebagai

buruh/anak buah kapal (ABK) pada kapal-kapal juragan dengan

penghasilan yang minim.

4. Masyarakat nelayan tambak, masyarakat nelayan pengolah, dan

kelompok masyarakat nelayan buruh.

Setiap kelompok masyarakat tersebut haruslah mendapat penanganan

dan perlakuan khusus sesuai dengan kelompok, usaha, dan aktivitas

ekonomi mereka. Pemberdayaan masyarakat tangkap minsalnya, mereka

membutukan sarana penangkapan dan kepastian wilayah tangkap. Berbeda

dengan kelompok masyarakat tambak, yang mereka butuhkan adalah modal

kerja dan modal investasi, begitu juga untuk kelompok masyarakat pengolah

dan buruh. Kebutuhan setiap kelompok yang berbeda tersebut, menunjukkan


keanekaragaman pola pemberdayaan yang akan diterapkan untuk setiap

kelompok tersebut.

Dengan demikian program pemberdayaan untuk masyarakat pesisir

haruslah dirancang dengan sedemikian rupa dengan tidak menyamaratakan

antara satu kelompk dengan kelompok lainnya apalagi antara satu daerah

dengan daerah pesisir lainnya. Pemberdayaan masyarakat pesisir haruslah

bersifat bottom up dan open menu, namun yang terpenting adalah

pemberdayaan itu sendiri yang harus langsung menyentuh kelompok

masyarakat sasaran. Persoalan yang mungkin harus dijawab adalah:

Bagaimana memberdayakannya? Banyak sudahprogram pemberdayaan

yang dilaksanakan pemerintah, salah satunya adalah pemberdayaan ekonomi

masyarakat pesisir (PEMP).


DAFTAR PUSTAKA

Ida Kurnia. 2017. Implementasi Pembangunan Berkelanjutan dalam


Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan di pesisir Indonesia.
Departemen of International Law. University of Tarumanegara. Bali.
Guntur Wibowo dkk. Panen lilifuk Eno Leles (Kearifan Lokal) Dalam Kawasan
Taman Nasional Perairan Laut Sawu. kkp.go.id. Diakses 25 September
2022.
Muhammad Hasan & Muhammad Aziz. 2018. Buku Pembangunan Ekonomi.
Edisi Dua. ISBN:978-602-51907-6-6. Jakarta: CV. Nur Lina-Pustaka
Taman Ilmu. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai